MAKA katanya
kemudian,
“Alap-alap
Jalatunda, aku tidak dapat mengerti maksud kata-katamu. Bukankah dengan
demikian persoalan kita akan menjadi berkepanjangan? Kau harus berbuat sesuatu
supaya kita untuk seterusnya tidak terganggu lagi. Baik oleh Sidanti maupun
oleh orang-orang lain.”
“Sekar Mirah,”
jawab Alap-alap Jalatunda,
“kalau aku
dapat datang kemari tanpa diketahui oleh seorang pun, maka pasti tak akan ada
yang mengganggu kita, seperti saat ini pula. Tak akan ada seorang pun yang akan mengganggu kita, apa pun yang akan kita lakukan.”
“Tetapi lambat
laun pasti akan ada yang mengetahuinya pula. Apabila kau sering datang kemari.
Karena itu, apakah kita tidak lebih baik menempuh suatu cara yang lain, yang
tidak akan mendapat gangguan apa pun
lagi?”
“Apalagi yang
harus kita lakukan? Cara yang mana lagi yang harus kita pilih? Kalau tidak ada
orang yang mengganggu kita, maka kita tidak usah memikirkan cara yang mana pun juga.”
Akhirnya Sekar
Mirah tidak dapat lagi menahan diri ia ingin Alap-alap Jalatunda mengerti
maksudnya. Namun agaknya pembicaraan itu menjadi bersimpang-siur. Karena itu
maka Sekar Mirah berkata berterus terang.
“Begini
maksudku Alap-alap Jalatunda. Kita tidak akan dapat berhubungan hanya sekedar
bertemu selama kau mendatangi pondokku. Berbicara dan menyusun harapan-harapan
saja. Marilah kita hadapi masa depan kita dengan bersungguh-sungguh. Kalau kau
benar mengingini aku, maka lakukanlah usaha yang langsung dapat membuka jalan
bagi persoalan itu. Bukankah kau masih harus datang kepada kedua ayah-bundaku
untuk melamarku? Kemudian kita tentukan hari perkawinan kita. Setelah itu, maka
kita akan dapat mencari perlindungan kepada orang-orang yang kita anggap
mengerti persoalan kita. Maka semua perbuatanmu, semua yang telah kau lakukan
pasti akan dilupakan orang. Akulah yang akan menanggung semuanya. Sehingga
persoalan kita sekarang adalah, bagaimana kita berdua dapat menghadap ayah dan
ibuku di Sangkal Pulung untuk membicarakan keputusan kita ini.”
Alap-alap
Jalatunda mendengar kata-kata Sekar Mirah itu seperti mendengar gemelegarnya
Gunung Merapi yang akan meledak. Tiba-tiba wajahnya menjadi pucat, tetapi
sesaat kemudian menjadi kemerah-merahan. Sejenak ia terbungkam, tanpa dapat
mengucapkan sepatah kata pun. Diingatnya pula pertanyaan Wuranta yang serupa,
bagaimana ia akan mengawini Sekar Mirah. Tetapi hal itu sama sekali tidak ada
di dalam benaknya.
“Sekar Mirah,”
berkata Alap-alap Jalatunda kemudian dengan suara yang bergetar. Kepalanya
menjadi semakin pening. Pening karena kata-kata Sekar Mirah itu dan pening
karena pengaruh tuak yang semakin mencengkam jantungnya.
“Kenapa kau
mencari cara yang terlampau sulit itu? Aku tidak akan mempedulikan apakah
ayahmu sependapat atau tidak. Marilah kita nikmati pertemuan kita ini. Dengan
bersusah payah aku berusaha memasuki pondokmu ini. Karena itu jangan pikirkan
orang yang tidak ada. Yang ada di dalam ruangan ini adalah Sekar Mirah dan
Alap-alap Jalatunda. Kita adalah orang-orang yang kesepian, dan kini kita telah
bertemu tanpa seorang pun yang akan
mengganggu kita, apa pun yang akan kita
lakukan.”
Tanah
tempatnya berpijak serasa berguncang dengan dahsyatnya ketika Sekar Mirah mendengar
dan menangkap maksud Alap-alap Jalatunda. Anak muda yang berdiri di hadapannya
itu kini tampak seperti seekor serigala buas yang siap untuk menerkamnya.
Karena itu maka tubuh Sekar Mirah menjadi semakin menggigil karenanya. Wajahnya
menjadi merah padam dan jantungnya menjadi semakin berdebar-debar. Untunglah
bahwa gadis itu tetap menyadari dirinya. Menyadari bahwa pondoknya telah
kemasukan seekor serigala yang buas dan liar. Sedang dirinya sendiri tak
ubahnya seperti seekor anak kambing yang lemah.
“Aku harus
mempergunakan otakku,” berkata Sekar Mirah di dalam batinya. Ia tidak mau
menyerah dalam keputus-asaan.
Apa pun yang dapat dilakukan, akan dilakukannya
untuk menyelamatkan dirinya. Karena Sekar Mirah tidak segera menyahut, maka
berkatalah Alap-alap Jalatunda yang menjadi semakin buas,
“Mirah. Apa
lagi yang kita tunggu?”
Alap-alap
Jalatunda itu maju selangkah, dan dengan kaki gemetar Sekar Mirah surut
selangkah.
“Kemarilah
Mirah,” desis Alap-alap Jalatunda. Tengkuk Sekar Mirah meremang mendengar panggilan
itu.
Bahkan ia
menjadi semakin jauh surut. Namun Alap-alap Jalatunda itu menjadi semakin
mendekat.
“He, kenapa
kau menjauh?” bertanya Alap-alap Jalatunda yang kepalanya menjadi semakin
pening dan matanya menjadi semakin merah dan liar.
“Bukankah kau
menunggu kedatanganku? Kini aku telah datang? Aku telah datang memenuhi janji.”
Sekar Mirah
menjadi semakin ketakutan melihat wajah yang liar itu. Ia menyesal bahwa ia
telah bermain-main dengan seekor serigala. Kini serigala itu telah siap untuk
menerkamnya. Ketika Alap-alap Jalatunda itu melangkah semakin maju, maka Sekar
Mirah itu pun menjadi semakin surut.
Tetapi akhirnya Sekar Mirah tidak dapat mundur lagi ketika tubuhnya telah
melekat dinding biliknya. Hati gadis itu telah hampir menjadi pepat. Tetapi
Sekar Mirah masih mencoba untuk bertahan dengan caranya.
“Mirah. Kenapa
kau berdiri di situ?” bertanya Álap-alap Jalatunda.
“Apakah kau
akan masuk ke dalam bilikmu?”
Pertanyaan itu
benar-benar hampir merontokkan segenap nalar dan perasaannya. Namun Sekar Mirah
masih berusaha untuk yang terakhir kalinya. Dengan mengumpulkan segenap
kekuatannyai gadis itu tiba-tiba tersenyum dan berkata,
“Alap-alap
Jalatunda. Kau memang terlampau tergesa-gesa. Kenapa? Apakah kau sangka bahwa
hari hampir kiamat?”
Alap-alap
Jalatunda terdiam. Dipandangnya wajah Sekar Mirah yang sedang tersenyum itu.
Terpancarlah keheranan pada sorot matanya yang liar.
Dan terdengarlah
suara Sekar Mirah,
“Duduklah.
Bukankah kita dapat bercakap-cakap dengan baik?”
“Waktuku tidak
banyak Mirah. Aku harus segera kembali ke banjar para pemimpin padepokan ini.
Aku adalah seorang panglima sebuah pasukan yang besar. Pasukan Jipang. Sehingga
karena itu tanggung jawabku pun besar
pula. Nah, jangan terlampau banyak tingkah. Kau harus membantu aku, supaya aku
tidak terlambat apabila ada pembicaraan-pembicaraan yang penting di banjar
nanti.”
Dada Sekar
Mirah menjadi semakin terguncang-guncang mendengar jawaban-jawaban Alap-alap
Jalatunda. Tetapi ia masih mencoba terus. Sekar Mirah yakin, bahwa ia tidak akan
dapat membebaskan dirinya apabila Alap-alap Jalatunda memilih jalan kekerasan.
Meskipun besok ia dapat mengatakan kepada Sidanti atau kepada orang lain, dan
Alap-alap itu digantungnya, tetapi apa yang hilang daripadanya tak akan
diketemukan lagi sepanjang hidupnya. Karena itu ia tidak boleh kehilangan akal.
Sehingga Sekar Mirah itu masih saja tersenyum untuk melunakkan hati Alap-alap
Jalatunda, supaya serigala itu tidak segera menerkamnya. Tetapi senyum Sekar
Mirah itu telah membuat Alap-alap Jalatunda menjadi semakin gila. Pengaruh tuak
di kepalanya, serta nafsunya yang hampir tak terkendali telah membuat ia
menjadi mata gelap.
“Alap-alap Jalatunda,”
berkata Sekar Mirah,
“jangan
terlampau kasar, supaya Sidanti tidak mengetahui apa yang terjadi di pondok
ini. Setidak-tidaknya pengawas-pengawasnya yang sering berkeliaran di sini.
Kita harus berhati-hati dan kita harus dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.”
“Persetan
dengan Sidanti,”sahut Alap-alap Jalatunda. Anak muda itu sudah tidak dapat lagi
mempertimbangkan apa pun juga. Yang
tampak di matanya kini adalah Sekar Mirah itu saja.
“Kita tidak
dapat menempuh jalan seperti yang kau kehendaki,” sambung Sekar Mirah.
“Dengan
demikian kita tidak akan mendapatkan kebahagiaan. Kita akan selalu
dikejar-kejar oleh waktu seperti sekarang ini. Tetapi apabila kita kelak
menjadi suami isteri, maka hidup kita akan tenteram. Kau dapat hidup dengan
tenang. Dan aku dapat melayanimu dengan tenteram pula.”
“Persetan
semuanya itu.”
Dada Sekar
Mirah berdesir. Namun Ia masih berkata lebih lanjut,
“Kau hanya
terburu oleh nafsu-nafsu sesat. Tetapi kau tidak membayangkan suatu masa yang
panjang. Alap-alap Jalatunda. Ingatlah masa depanmu. Marilah kita pergi ke
orang tuaku. Kau akan mendapat tempat yang baik di Kademangan Sangkal Putung.”
Alap-alap
Jalatunda itu terdiam sejenak. Dipandanginya wajah Sekar Mirah dengan mata yang
membara. Tampaklah mulutnya berkomat-kamit. Sekar Mirah menunggu jawabannya
dengan penuh harap. Tetapi gadis itu hampir menjadi pingsan ketika ia mendengar
Alap-alap itu berkata,
“Kau akan
membujukku, memperalat aku, dan kemudian menjebakku he? Aku bukan seorang yang
gila Mirah.”
Sekar Mirah
itu pun kemudian berdiri saja seperti
patung. Mulutnya serasa tersumbat dan darahnya serasa berhenti mengalir.
Ditatapnya saja wajah Alap-alap Jalatunda seperti menatap wajah hantu yang akan
menghisap darahnya. Dan sebenarnyalah Alap-alap Jalatunda itu akan menghisap
mahkota hidupnya. Lebih baik ia mati dihisap darahnya oleh iblis pemakan darah
daripada maksud Alap-alap Jalatunda yang kini berdiri di hadapannya. Dan
Alap-alap Jalatunda itu agaknya benar-benar telah menjadi mata gelap. Selangkah
ia maju sambil menggeram,
“Sekar Mirah.
Kau sangka aku tidak tahu maksudmu itu? Kau pura-pura mengajakku menghadap
kepada ayah bundamu. Tetapi belum lagi aku sampai ke Sangkal Pulung, maka
leherku pasti akan sudah dijerat. Kau pasti akan memberi kesempatan kepada
ayahmu atau kepada siapa saja. Mungkin kakakmu yang gemuk itu, untuk
bersama-sama mengeroyokku seperti rampogan macan di alun-alun.”
Dada Sekar
Mirah serasa akan pecah karenanya. Ia. kini melihat Alap-alap Jalatunda
melangkah semakin dekat dan mulutnya masih saja bergumam,
“Bagiku Mirah,
tak ada jalan lain daripada mendapatkan kau sekarang. Tak pernah ada perempuan
yang menolak kedatanganku atau setidak-tidaknya menunda keinginanku. Nyai
Lasem, Nyai Pinan, semuanya, dan kini kau. Kau tidak akan dapat menghindar
lagi. Perempuan-perempuan justru mengejarku dan memegangi ujung bajuku apabila
aku akan pergi. Kau pun harus berbuat demikian.”
Wajah Sekar
Mirah kini telah menjadi pucat seperti mayat. Tetapi ia masih juga menyadari
bahwa ia tidak seharusnya menyerah dalam keputus-asaan. Dengan memeras keberaniannya
ia berkata gemetar,
“Alap-alap
Jalatunda. Urungkan niatmu.”
“Tak ada yang
dapat menahan Alap-alap Jalatunda.”
“Aku akan
dapat berteriak memanggil para pengawal. Aku tahu bahwa di halaman di depan
rumah ini tinggal para pengawas yang bertugas mengawasi aku.”
“Kalau kau
mencoba berteriak, aku cekik kau sampai pingsan. Dan kau tidak akan banyak
tingkah lagi.”
“Sidanti akan
mengetahui apa yang terjadi kalau kau tidak mengurungkan niatmu. Dan kau akan
digantung besok.”
“Persetan
Sidanti!” Alap-alap Jalatunda yang sudah bermata gelap dan menjadi kian pening
karena pengaruh tuak di kepalanya itu sama sekali sudah tidak dapat berpikir
bening. Apalagi ketika sekali lagi ditatapnya wajah Sekar Mirah yang pucat itu
tampaknya menjadi kian kuning semburat kemerah-merahan karena cahaya pelita
yang menggapai-gapai oleh sentuhan angin. Katanya selanjutnya,
“Sidanti tidak
akan berani berbuat apa pun atasku. Kini
pasukan Untara sudah berada di depan hidung kita. Ia memerlukan anak-buahku.
Apakah kira-kira yang akan dilakukan atasku meskipun ia melihat apa yang
terjadi sekarang ini? Tidak. Ia tidak akan berani berbuat sesuatu. Ia akan
menyesal sepanjang hidupnya, bahwa ia berbuat sebagai seorang banci. Dan aku
tidak akan melupakan kemenanganku saat ini. Sekar Mirah. Jangan banyak solah.
Kau tidak akan dapat melawan aku dan berteriak memanggil para pengawas. Apalagi
menipu aku untuk melarikan kau dari tempat jahanam ini dan kemudian menjerat
leherku sendiri.”
Sekar Mirah
kini merasa bahwa ia telah berdiri di ujung bara api yang menyala. Sebentar
lagi ia akan hangus terbakar. Tetapi ia tidak akan dapat menyerahkan diri tanpa
berbuat sesuatu. Karena itu tiba-tiba Sekar Mirah pun bergeser setapak. Alap-alap Jalatunda
benar-benar menjadi seolah-olah gila. Mulutnya kemudian bergerak-gerak dan
terdengarlah ia tertawa perlahan-lahan seperti iblis yang tertawa melihat
sesosok mayat terkapar di hadapannya.
“Akan lari
kemana kau Sekar Mirah?”
Sekar Mirah
masih mempunyai secercah harapan, meskipun sangat tipisnya. Ia akan dapat
berteriak dan para pengawas pun pasti
akan datang menengoknya. Tiba-tiba saja di kejauhan terdengar kentongan
berbunyi. Empat pukulan sebelum nada dara muluk diulang dua kali. Alap-alap
Jalatunda yang hampir gila itu masih mendengar tanda itu. Itu adalah tanda
bahwa para pemimpin padepokan harus segera berkumpul termasuk para pemimpin laskar
Jipang yang berada di padepokan itu.
“Setan!”
geramnya.
“Apa lagi yang
akan diperbuat oleh iblis tua itu.”
Sekar Mirah
yang mendengar suara kentongan itu merasa bahwa serigala itu akan mengurungkan
niatnya.
“Mudah-mudahan
suara kentongan itu merupakan suatu pertanda yang memaksa Alap-alap yang liar
ini pergi meninggalkan aku,” desisnya di dalam hati. Dan dengan luka di hatinya
ia berdoa, “Semoga Tuhan menyelamatkan aku dari tangan anak muda yang gila
ini.”
Tetapi kembali
harapannya seakan-akan lenyap dihembus oleh angin malam yang kencang ketika
tiba-tiba Alap-alap Jalatunda itu berkata,
“Persetan
dengan segala pertemuan. Aku tidak perlu mengunjunginya. Biarlah semuanya
diselesaikan oleh Sanakeling. Aku akan menyelesaikan urusanku sendiri.”
Kemudian ia menggeram seperti seekor serigala lapar, “Mirah. Jangan
menunda-nunda lagi. Kau dengar waktuku tidak terlampau banyak.”
Sekar Mirah
itu kini hampir-hampir menjadi putus-asa. Satu-satunya kemungkinan yang dapat
dilakukan adalah berteriak. Kini ia benar-benar kehilangan rasa takutnya
seandainya ia akan dibunuh sekalipun. Sebab mati baginya akan lebih baik dari
apa yang dapat terjadi saat itu. Karena itu, maka dengan segenap tenaga yang
ada padanya, maka gadis itu telah mencoba untuk berteriak. Tetapi malang baginya.
Ternyata Alap-alap Jalatunda adalah seorang prajurit muda yang lincah. Dengan
kecepatan yang sukar dimengerti oleh Sekar Mirah, tiba-tiba saja tangan
Alap-alap Jalatunda telah menyentuh mulutnya. Alangkah terkejutnya gadis itu,
sehingga suaranya tertahan karenanya. Bahkan demikian terkejut cemas dan takut
bercampur baur, Sekar Mirah itu seakan-akan telah kehilangan segenap tenaganya,
sehingga ia tidak mendengar bahwa di kejauhan suara kentongan masih juga
mengumandang memenuhi padepokan. Bukan saja Sekar Mirah yang tidak lagi
mendengar suara kentongan itu, tetapi Alap-alap Jalatunda pun kini sudah tidak mendengar lagi. Ia sama
sekali tidak menghiraukan panggilan Sanakeling atau Sidanti lewat suara
kentongan itu. Baginya lebih penting menerkam mangsanya daripada datang
memenuhi panggilan itu. Sekar Mirah pun
kemudian benar-benar menjadi putus asa. Tak ada lagi cara yang dapat
ditempuhnya untuk membebaskan dirinya. Apabila ia akan berusaha berteriak, maka
secepat itu pula Alap-alap Jalatunda akan berhasil membungkam mulutuya. Tiba-tiba
terbersitlah di dalam dada Sekar Mirah itu suatu cara yang masih dapat
dilakukannya. Yaitu mati. Satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari tangan
Alap-alap itu adalah mati. Justru karena itu maka timbullah kembali keberanian
di dalam dada gadis itu. Keberanian di dalam keputus-asaan. Sehingga dengan
demikian tiba-tiba gadis cantik itu menggeram. Alap-alap Jalatunda melihat
sikap Sekar Mirah yang tiba-tiba menjadi garang. Tetapi ia adalah seorang
prajurit. Apalagi Sekar Mirah, sedang seorang laki-laki yang menggenggam
senjata di tangannya pun dapat
dilumpuhkannya. Perlahan-lahan Alap-alap Jalatunda itu melangkah maju.
Dibiarkannya Sekar Mirah menjadi bertambah garang. Bahkan ketika ia telah
menjadi semakin dekat, maka Sekar Mirah itu mencoba menerkam wajahnya dengan
kuku-kukunya. Alap-alap Jalatunda tertawa sambil menarik kepalanya.
Tangan Sekar
Mirah itu terayun tidak lebih setebal daun di hadapan wajah Alap-alap Jalatunda
yang justru menjadi semakin liar. Dan dengan buasnya, Alap-alap Jalatunda
itu pun kemudian menangkap tangan Sekar
Mirah dan memutar gadis itu sehingga membelakanginya. Sekar Mirah mengerahkan
segenap kekuatannya untuk melepaskan dirinya. Tetapi tangan Alap-alap Jalatunda
benar-benar telah menjepitnya seperti sebuah kancing besi. Ketika Sekar Mirah
sekali lagi akan berteriak, maka suaranya hilang di dalam mulutnya, karena
Alap-alap Jalatunda itu telah membungkamnya dengan telapak tangannya. Kemudian
Sekar Mirah benar-benar tidak akan dapat berbuat sesuatu lagi. Bahkan bunuh
diri pun ia sudah tidak mampu. Alap-alap
Jalatunda yang buas itu benar-benar telah dapat menguasainya dengan kekuatan
yang berlipat-lipat dari kekuatan Sekar Mirah. Namun Alap-alap Jalatunda itu
tidak menyadari, bahwa sepasang mata telah mengintipnya dari balik dinding di
belakang rumah itu dengan tajamnya, setajam ujung mata keris berlipat tujuh. Dengan
darah yang mendidih, orang yang mengintip ke dalam pondok itu mengikuti saja
apa yang telah terjadi. Dibiarkannya kebuasan Alap-alap Jalatunda itu memuncak.
Dengan demikian maka orang itu akan kehilangan segenap kewaspadaannya dan tidak
akan melihatnya apabila ia memasuki pondok itu lewat jalan yang tadi dilalui
oleh Alap-alap Jalatunda itu sendiri. Kini ia melihat bahwa Sekar Mirah sudah
tidak berdaya lagi. Maka ia tidak akan dapat membiarkannya. Ia tidak ingin
terlambat dan menemukan Sekar Mirah telah kehilangan. Karena itu, maka
perlahan-lahan ia merayap mendekati sudut rumah yang dindingnya sudah terbuka.
Tetapi orang itu tertegun ketika telinganya mendengar sesuatu di muka pondok
itu. Baik orang yang mengintip di belakang dinding itu, maupun Alap-alap
Jalatunda dan bahkan Sekar Mirah terkejut bukan kepalang ketika tiba-tiba saja
pondok itu berderak dengan kerasnya, sehingga seluruh rumah kecil itu bergetar.
Sejenak kemudian terdengar pintu itu terbuka dan sesosok tubuh yang tegap
berdiri tegak di muka pintu, seperti sebuah tonggak yang kokoh kuat bertiang
besi. Dari sepasang matanya memancar sinar kemerahan yang seakan-akan membakar
wajah Alap-alap Jalatunda yang berdiri kaku tegang. Dengan suara bergetar maka
orang yaug berdiri di muka pintu menggeram,
“Kau Alap-alap
kerdil.”
Sejenak
Alap-alap Jalatunda tidak menjawab. Tetapi sorot matanya pun kemudian
memancarkan api kemarahan.
“Apakah kau
sudah menjadi gila?” sambung orang yang berdiri di muka pintu.
“Kenapa kau
menggangguku, Sidanti?” sahut Alap-alap Jalatunda tidak kalah garangnya.
Dada Sidanti
hampir meledak mendengar kata-kata Alap-alap yang lapar itu. Tetapi ia
menjawab,
“Perbuatanmu
adalah perbuatan yang paling biadab yang pernah kau lakukan.”
Perlahan-lahan
Alap-alap Jalatunda melapaskan Sekar Mirah. Demikian gadis itu terlepas dari
tangannya, maka gadis itu pun segera terjatuh di tanah. Meskipun Sekar Mirah
tidak pingsan, tetapi otot bayunya seakan-akan telah dilolosi. Namun kedatangan
Sidanti itu sedikit memberinya harapan. Meskipun kalau ia kemudian lepas dari
tangan Alap-alap itu, maka suatu ketika Sidanti sendiri akan menerkamnya pula.
Tetapi ia masih mempunyai waktu. Kini Sidanti dan Alap-alap Jalatunda telah
berdiri berhadapan, tetapi Alap-alap Jalatunda menyadari bahwa Sidanti tidak
seorang diri. Tetapi Sidanti agaknya telah membawa beberapa orang laskarnya
bersamanya.
“Sidanti, aku
masih ingin memberimu peringatan. Tinggalkan tempat ini. Jangan kau ganggu
aku.”
Terdengar gigi
Sidanti gemeretak. Katanya,
“Apakah aku
harus membiarkan kebiadabanmu itu tanpa berbuat sesuatu.”
“Jangan
terkejut, bahwa Sekar Mirah telah memilih aku dari padamu.”
“Tutup
mulutmu!” teriak Sidanti,
“aku tidak
percaya. Kau pasti tidak usah mempergunakan kekerasan apabila demikian.”
“Persetan
dengan mulutmu! Seandainya demikian, maka apakah yang akan kau lakukan? Ayo,
majulah bersama semua orang-orangmu yang kau bawa sekarang. Aku tidak akan gentar.
Aku tidak akan lari. bahkan saat inilah yang aku tunggu-tunggu. Kapan aku dapat
membalas sakit hatiku, pada saat aku mendengar apa yang telah kau lakukan atas
Kakang Plasa Ireng.”
Wajah Sidanti
menjadi merah padam mendengar sindiran itu. Terdengar giginya gemeretak, tetapi
justru mulutnya serasa terkunci untuk sesaat. Sehingga Alap-alap Jalatunda
masih berkata terus,
“Kau
menganggap perbuatanku ini sebagai suatu kebiadaban. Lalu katakan, apa yang
pernah kau perbuat atas Kakang Plasa Ireng. Bukankah itu juga kebiadaban yang
lebih biadab dari tindakanku kali ini. Aku hanya dapat dianggap melanggar pagar
kesusilaan. Tetapi kau telah melanggar pagar perikemanusiaan. Menurut aku, maka
kemanusiaan lebih berharga dari kesusilaan.”
“Persetan!”
jawab Sidanti berteriak keras sekali.
“Pendirianmu
itu benar-benar pendirian seorang yang telah menjadi gila. Kau sangka apa yang
kau lakukan ini bukan suatu pelanggaran kemanusiaan. Kau akan merenggut sesuatu
yang paling berharga dari Sekar Mirah. Gadis itu akan menderita sepanjang
hidupnya. Ia akan merasa tidak berharga lagi. Dan bagi seorang gadis akan lebih
baik mati bunuh diri daripada hidup dalam keadaannya.”
Terdengar
Alap-alap Jalatunda itu tertawa terbahak-bahak. Kepalanya kini benar-benar
telah dicengkam oleh pengaruh tuak. Jawabnya,
“O, Sidanti.
Kau merasa tanganmu bersih sebersih tangan bayi. Siapakah yang membawa domba
itu ke kandang serigala? Bukan salah serigala kalau ada kesempatan menerkam
anak domba yang manis ini.”
Kembali
terdengar gigi Sidanti gemeretak. Sejenak ia terbungkam tanpa dapat mengucapkan
sepatah kata pun. Sepasang mata di balik dinding di belakang rumah itu
mengikuti semua peristiwa itu dengan saksama. Dilihatnya raksasa-raksasa
padepokan ini berkumpul di pondok yang kecil itu.
Orang itu bergumam
dalam hatinya,
“Untung
Sidanti itu tidak terlambat. Aku pergi lama kemudian sesudah ia meninggalkan
pondoknya. Tetapi kenapa baru sekarang ia hadir di sini? Ah, sebagai seorang
pemimpin mungkin ia memerlukan singgah di tempat-tempat tertentu.”
Suasana rumah
itu untuk sesaat dicengkam oleh kesepian yang mengerikan. Wajah-wajah yang
berada dipondok itu menjadi semakin lama semakin tegang. Apalagi ketika seorang
yang tegap bersenjata sebatang tombak pendek melangkah masuk sambil berkata,
“Apa yang kau
tunggu Sidanti. Sebaiknya kau binasakan monyet itu.”
“Ha, kau akan
ikut serta pendatang dari Menoreh. Meskipun kau bernama Argajaya, tetapi kau
sama sekali tidak dapat menakut-nakuti anak-anak sekalipun. Soal ini adalah
soal antara Sidanti dan Alap-alap Jalatunda. Persoalan ini adalah persoalan
seorang gadis, kau tahu. Nah, sebaiknya kau minggir saja. Meskipun seandainya
kau akan turut serta, maka aku pun
bersedia melayanimu berdua.”
“Setan alas!”
teriak Argajaya yang hampir saja meloncat sambil berteriak. “Aku sendiri mampu
membunuhmu.”
Alap-alap
Jalatunda mundur setapak. Tetapi Argajaya itu tidak jadi meloncat maju. Di
antara orang-orang yang berdiri di muka pintu datanglah seorang yang acuh tidak
acuh saja melihat semua peristiwa itu. ia berjalan sambil mulutnya mengunyah
segumpal daging rusa muda. Dengan seenaknya ia masuk ke dalam gubug itu,
kemudian bersandar dinding di dekat Alap-alap Jalatunda berdiri. Wajah
Alap-alap Jalatunda menjadi semakin tegang melihat kehadirannya. Ia sama sekali
tidak mengetahui, apakah maksud kedatangannya, karena wajahnya yang hitam itu
sama sekali tidak menunjukkan kesan suatu apa. Baru sejenak kemudian orang itu
berkata,
“Kau ulangi
lagi peristiwa yang serupa Alap-alap yang malang. Dahulu kepalamu hampir
melesat dipukul oleh Tohpati ketika kau membawa Nyai Pinan ke dalam pondokmu.
Sekarang kau terpaksa berhadapan dengan Sidanti.”
Alap-alap
Jalatunda menggeram, tetapi ia tidak segera menjawab.
“Aku tahu
bahwa ilmumu maju dengan pesat tanpa bimbingan seorang guru pun. Tetapi kau
tidak akan mampu melawan kedua orang itu bersama-sama.” Kemudian kepada
Argajaya orang itu berkata,
“Kakang
Argajaya. Biarkan saja persoalan anak-anak muda ini. Kita yang sudah lebih tua
sebaiknya tidak usah turut campur.”
Wajah Argajaya
menjadi merah pula. Jawabnya. “Tetapi ia telah menghina Sidanti.”
“Biarlah
Sidanti yang menyelesaikannya. Tidak baik akibatnya seandainya kita yang
tua-tua ini akan turut serta.”
“Apakah kau
akan membela orangmu yang berbuat gila itu?”
Sanakeling,
orang yang sedang mengunyah daging rusa muda itu menggeleng. Katanya,
“Tidak. Kalau
ia harus bertanggung jawab secara jantan, maka aku akan membiarkannya. Tetapi
kau pun jangan mencampuri urusannya. Kau
adalah seorang pendatang seperti kami di padepokan ini.”
Dada Argajaya
hampir meledak mendengar kata-kata Sanakeling itu. Hampir-hampir ia berteriak
menjawab kata-kata Sanakeling. Tetapi tiba-tiba terdengar sebuah panggilan yang
mencengkam segenap jantung orang-orang yang berdiri di tempat itu, “Sidanti.”
Sidanti
berpaling. Ia melihat Ki Tambak Wedi tergesa-gesa memasuki tempat itu. Dengan
wajah yang merah padam ia bertanya,
“Apakah yang
telah terjadi?”
Sidanti
mengatakan dengan singkat apa yang telah dilihatnya, dan Ki Tambak Wedi pun menggeram pula.
“Perempuan ini
adalah biang keladi dari kegagalan rencanaku. Supaya tidak ada persoalan lagi
di antara kita dan kita dapat meneruskan rencana penyerangan ke Jati Anom maka
sebaiknya perempuan ini dibunuh saja. Besok fajar kita datang ke Jati Anom dan
melemparkan mayatnya di hadapan pasukan Untara.”
Semua wajah
yang mendengar kata-kata itu tampak berkerut-merut. Hampir tak masuk di dalam
akal mereka, bahwa Ki TambaK Wedi telah mengucapkan kata-kata itu. Namun justru
dengan demikian maka mereka berdiri tegang tanpa dapat mengucapkan sepatah kata
pun. Sedang Sekar Mirah yang masih terduduk dengan lemahnya di tanah, tiba-tiba
menengadahkan wajahnya. Dalam keputus-asaan ia bahkan mampu menyahut,
“Bagus. Itu
adalah keputusan yang paling baik buat aku.”
Tetapi agaknya
Sidanti berpendirian lain. Sejak lama ia terpikat oleh gadis itu, yang kemudian
dengan susah payah diambilnya dari Sangkal Putung. Tetapi sekarang gurunya
mengambil suatu sikap yang terlampau keras. Karena itu maka katanya,
“Guru. aku
memerlukan gadis itu.”
“Buat apa kau
inginkan gadis Sangkal Putung itu?” bertanya gurunya.
“Bukankah guru
menyetujui pula pada saat aku mengambilnya?”
“Aku mempunyai
kepentingan lain dengan gadis itu. Dengan gadis itu di sini, maka Untara tidak
akan berani dengan serta-merta saja menghancurkan padepokan ini, meskipun ia
membawa pasukan seluruh prajurit Pajang.”
“Kenapa ia akan
dibunuh?” bertanya Sidanti.
“Apabila gadis
itu sudah mati, maka Untara tidak akan terpengaruh oleh gadis yang sudah mati
itu.”
“Ternyata
pasukan Untara sama sekali tidak berarti bagi kita di sini. Kalau kalian tidak
menjadi gila karena gadis itu, maka pada saat fajar nanti menyingsing maka
kalian pasti sudah akan menghancurkan pasukan Untara di Jati Anom.”
“Guru,”
berkata Sidanti kemudian,
“aku mohon
gadis ini dihidupi. Aku ingin mengambilnya sebagai seorang isteri. Kalau
Sidanti kelak menggantikan kedudukan ayahanda Argapati di pegunungan Menoreh,
maka ia akan menjadi seorang isteri yang kajen keringan. Aku sama sekali tidak
berhasrat mempermainkannya seperti Alap-alap yang gila ini.”
“Persetan
dengan keinginanmu!” potong Alap-alap Jalatunda.
“Aku tidak
peduli apakah ia akan kau ambil sebagai isterimu atau kau bunuh sekali. Aku
hanya akan mengambilnya yang aku ingini daripadanya.”
“Diam!” teriak
Sidanti dengan kemarahan yang meluap-luap.
“Seharusnya
kau diam saja,” berkata Ki Tambak Wedi kepada Alap-alap Jalatunda.
“Itu tidak
adil,” tiba-tiba terdengar Sanakeling yang berdiri bersandar dinding sambil
melipat tangan di dadanya.
“Persoalan ini
adalah persoalan Sidanti dan Alap-alap Jalatuda. Kalau Sidanti dapat dan boleh
menyatakan pendiriannya, maka Alap-alap Jalatunda pun harus mendapat kesempatan
yang serupa.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Tetapi ia adalah seorang yang cukup memiliki
perhitungan. Karena itu, betapa hatinya menjadi marah mendengar bantahan
Sanakeling, tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu atasnya, karena di belakang
Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda itu berdiri sepasukan laskar yang kuat.
“Aku pun ingin bersikap adil,” tiba-tiba Sidanti
menggeram,
“karena itu
guru, serahkan persoalan ini kepadaku dan kepada Alap-alap Jalatunda.”
“Bagus!” sahut
Alap-alap Jalatunda lantang.
“Itu adalah
sikap jantan. Kita melakukan perang tanding, Kalau aku mati dalam perkelahian
ini, maka aku merasa puas, karena taruhanya cukup berharga bagiku. Bukankah
taruhan dari perang tanding itu nanti adalah Sekar Mirah? Kalau kau menang
Sidanti, maka Sekar Mirah menjadi milikmu. Apakah ia akan kau peristeri atau
apa saja, sekehendak hatimu. Tetapi kalau aku menang, maka kau tidak boleh
mencampuri lagi urusanku dengan gadis itu. Apakah yang akan aku lakukan.”
“Aku terima
tantanganmu,” sahut Sidanti tidak kalah lantangnya.
Namun kemudian
ruang yang tidak terlalu luas itu digetarkan oleh teriakan Sekar Mirah,
“Tidak,
tidak!”
Gadis itu pun tiba-tiba berdiri. Seperti orang gila ia
berlari ke arah Ki Tambak Wedi. Dengan serta-merta Sekar Mirah berpegang baju
orang tua itu sambil berteriak-teriak,
“Kiai, Kiai.
Apakah kau pemimpin orang-orang ini? Kalau demikian, tolong Kiai, perintahkan
saja mereka membunuh aku, supaya persoalan ini tidak berlarut-larut. Aku tidak
mau jatuh ketangan kedua-duanya. Aku ingin mati saja Kiai. Karena itu bunuh
saja aku.”
Sejenak Ki
Tambak Wedi diam mematung. Namun kemudian perlahan-lahan didorongnya Sekar
Mirah. Tetapi Sekar Mirah tidak mau melepaskan baju Ki Tambak Wedi, sehingga
orang tua itu berkata,
“Lepaskan
bajuku. Lepaskan!”
Tetapi Sekar
Mirah tidak mendengar kata-kata itu. ia masih saja berteriak-teriak seperti
orang kesurupan.
“Lepaskan!”
bentak Ki Tambak Wedi kemudian. Sekar Mirah terkejut mendengar bentakan itu.
Tiba-tiba ia menyadari keadaannya. Ketika kemudian Ki Tambak Wedi mendorongnya
perlahan-lahan, maka Sekar Mirah itu kembali terduduk di tanah.
Sejenak
ruangan itu dicengkam oleh kesenyapan. Orang yang mengintip di belakang rumah
itu pun terpaksa menahan nafasnya,
supaya Ki Tambak Wedi, yang bertelinga setajam telinga serigala itu tidak
mendengarnya. Agaknya orang itu mampu menyesuaikan dirinya dengan keadaan,
meskipun ia tidak berani berbuat apa-apa. Jangankan setelah kehadiran Ki Tambak
Wedi. Terhadap Sidanti dan Alap-alap Jalatunda
pun ia harus memperhitungkan seribu satu macam pertimbangan. Namun orang
itu menyadari pula, bahwa di depan rumah itu menjadi semakin banyak orang
berkumpul. Baik ia orang padepokan itu sendiri, maupun orang-orang dari laskar
Sanakeling. Sehingga di luar gubug itu
pun telah dirayapi pula ketegangan seperti yang terjadi di dalamnya. Ki
Tambak Wedi, pemimpin dari padepokan itu menjadi pening melihat keadaan
berkembang demikian buruknya. Sedangkan di hadapan hidung mereka telah
berkumpul orang-orang Pajang yang sebentar lagi akan dimusnahkan. Tetapi kalau
keadaan tidak segera dapat di atasi, maka rencananya pasti akan tertunda. Karena
itu bagaimanapun juga, Ki Tambak Wedi mencoba berusaha untuk meredakan keadaan.
Maka katanya,
“Baiklah.
Kalau kalian telah sependapat untuk melakukan perang tanding, maka baiklah
dilakukan lain kali. Sekarang, kita akan melakukan rencana yang telah kita
susun. Kita harus turun ke Jati Anom dengan segenap kekuatan. Kita hancurkan
pasukan Uutara yang tidak seberapa kuat itu.”
Kesenyapan
yang tegang kembali mencengkam ruangan yang tidak terlampau luas itu, Sidanti
dan Alap-alap Jalatunda berdiri berhadapan dengan wajah yang membara. Sedang
Sanakeling masih saja berdiri sambil melipat tangan di dadanya. Di lambung
kirinya tergantung sebilah pedang, sedang di lambung kanannya tergantung sebuah
bindi. Di sisi lain Argajaya berdiri tegak meremas-remas tangkai tombak
pendeknya.
“Kenapa kalian
berdiri saja seperti patung!” bentak Tambak Wedi.
“Tinggalkan
tempat ini. Siapkan pasukan kalian dan kita akan segera turun ke Jati Anom.
Kita masih mempunyai waktu. Kita akan sampai ke Jati Anom sebelum fajar.
Setelah beristirahat sebentar kita akan melanda Kademangan itu tepat pada saat
matahari terbit.”
Tetapi
Alap-alap Jalatunda dan Sidanti belum juga beranjak dari tempatnya, sehingga
sekali lagi Ki Tambak Wedi berteriak,
“He apakah
kalian telah menjadi tuli!”
Kedua orang
yang sedang berdiri berhadapan itu benar-benar seperti patung yang mati. Mereka
tidak beringsut sama sekali. Bahkan berkedip
pun tidak.
Yang berkata
kemudian adalah Argajaya,
“Urusan ini
harus diselesaikan dahulu Kiai. Kalau tidak, maka hubungan mereka di garis
perang pun akan dapat mengganggu
kelancaran seluruh pasukan.”
“Tidak,”
potong Ki Tambak Wedi,
“setiap
prajurit pasti tahu menempatkan diri. Persoalan pribadi akan disimpan lebih
dahulu sebelum persoalan kita bersama dapat diselesaikan. Persoalan Jati Anom
bukan persoalan yang dapat diabaikan. Kalau kita kehilangan waktu ini, maka
kita akan menyesal sepanjang hidup kita. Karena itu, maka tinggalkan urusan
kalian. Kita akan segera berangkat.”
Sanakeling
mengerutkan keningnya melihat sikap Argajaya. Karena itu maka ia menyahut,
“Aku
sependapat, dengan tamu kita yang terhormat itu. Pasukanku tidak akan bergerak
sebelum persoalan ini selesai.”
“Tidak,
Tidak!” Ki Tambak Wedi benar-benar menjadi marah. Tetapi Sanakeling yang masih
saja berdiri dalam sikapnya, tahu benar, bahwa Ki Tambak Wedi saat ini sedang
memerlukannya. Memerlukan pasukannya untuk membantu menghancurkan Jati Anom,
atau kalau Untara mengambil sikap lebih dahulu, Ki Tambak Wedi memerlukannya
untuk mempertahankan padepokan ini.
Melihat sikap
Sanakeling dada Argajaya hampir meledak karenanya, seperti juga dada Ki Tambak
Wedi. Tetapi Ki Tambak Wedi terpaksa menahan segenap kemarahan itu di dadanya
sehingga dada itu menjadi panas sepanas bara.
“Tak akan ada
bedanya kalau serangan kita atas Jati Anom itu kita tunda sehari,” berkata
Sanakeling.
“Kau seorang
prajurit, Ngger,” berkata Ki Tambak Wedi yang tiba-tiba menjadi lunak.
“Kau pasti
tahu. bahwa satu hari dalam kesempatan seperti ini adalah penting sekali.
Jangankan satu hari, sedang sekejap pun
di dalam perhitungan tata peperangan akan sangat besar sekali artinya.”
“Kiai benar,”
sahut Sanakeling,
“tetapi bagi
sebuah pasukan yang utuh bulat. Sedang tak ada tanda-tanda pada lawan kita akan
mendapat perubahan yang berarti, bukankah begitu? Bahkan seandainya besok
datang sepasukan yang kuat dari Pajang, maka kita akan dapat menyusun
perhitungan baru. Tetapi menilik keadaan Pajang sekarang, maka apa yang
diberikan oleh Karebet kepada Untara itu sudah tidak akan dapat ditambah dengan
segera.”
“Kau
memperingan persoalan, Ngger,” sahut Ki Tambak Wedi. “Apa pun yang sedang dilakukan oleh Karebet dan
Pemanahan, tetapi semakin cepat pekerjaan kita selesai, maka kita pun akan segera melakukan rencana kita berikutnya.”
“Kenapa Kiai
berkeberatan memenuhi permintaannya,” potong Argajaya yang wajahnya benar-benar
semerah bara.
“Beri malam
ini kesempatan untuk melakukan perang tanding. Setelah itu apabila kita masih
mempunyai kesempatan, kita pergi ke Jati Anom. Kalau tidak, kita tunda serangan
kita dengan satu hari.”
Terdengar Ki
Tambak Wedi menggeram. Tetapi ia merasa bahwa betapa sulitnya mengatasi keadaan
ini. Ia menyesal bahwa ia dahulu mengijinkan Sidanti mengambil perempuan itu
dari Sangkal Putung. Ternyata perempuan itu kini telah menumbuhkan kesulitan
baginya dan bagi rencananya.
Sejenak Ki
Tambak Wedi itu terdiam. Dipandanginya Sidanti dan Alap-alap Jalatunda
berganti-ganti. Orang tua itu tahu, bahwa Alap-alap Jalatunda selama ini telah
mesu diri, melatih berbagai macam ilmu yang telah dimilikinya dengan berbagai
macam cara dan alat. Pasir, batang-batang kayu di tepian, batu-batu, dan
melatih kecepatan bergerak. Tetapi menurut penilaian Ki Tambak Wedi, betapa
kemajuan yang dicapai oleh Alap-alap Jalatunda, namun ia masih belum akan dapat
menyusul Sidanti. Karena itu sebenarnya Ki Tambak Wedi tidak akan mencemaskan
nasib muridnya. Meskipun demikian, ia masih juga mencemaskan sikap orang-orang
Jipang yang lain. Seandainya Alap-alap Jalatunda itu terbunuh dalam perang
tanding, apakah mereka tidak akan membelanya? Harapan Ki Tambak Wedi hanyalah
terletak pada Sanakeling. Menilik sikapnya maka Sanakeling dapat dipercayanya,
bahwa ia akan membiarkan perang tanding itu berlangsung dengan jujur dan dalam
sikap jantan.
Karena itu,
maka setelah tidak diketemukan lagi jalan lain, serta menurut penilikannya di
Jati Anom, tidak ada tanda-tanda bahwa akan segera datang perubahan yang
berarti, maka akhirnya Ki Tambak Wedi pun dengan hati yang berat berkata,
“Baiklah,
kalau itu menjadi pilihan kalian. Tetapi ketahuilah, bahwa siapa pun yang kalah dan siapa pun yang menang, maka kita akan kehilangan
satu tenaga yang sangat kita perlukan. Karena itu, untuk menghindari hal yang
demikian, maka aku menentukan ketetapan, bahwa perang tanding itu berlangsung
sampai salah seorang tidak lagi mampu melawan. Tetapi tidak sampai mati. Aku
harap kebesaran jiwa kalian dan kejujuran kalian sebagai seorang prajurit
jantan.”
Meskipun tanpa
berjanji, tetapi hampir bersamaan Sidanti dan Alap-alap Jalatunda terpaling.
Wajah-wajah mereka menyatakan, bahwa mereka tidak senang mendengar keputusan Ki
Tambak Wedi itu. Bagi mereka, perang tanding hanya dapat diakhiri dengan maut.
Sehingga tanpa sesadarnya Sidanti menyahut,
“Guru, itu
tidak lazim bagi sebuah perang tanding.”
“Aku tidak
peduli. Tetapi aku, tetua padepokan ini berhak membuat ketetapan sendiri yang
sesuai dengan keadaan di padepokan ini. Satu kematian dari kau berdua, adalah
pasti merugikan. Karena itu, maka aku tidak ingin kekuatan kita berkurang
dengan sebuah kematian yang sia-sia,” jawab Ki Tambak Wedi.
“Kematian ini
bukan kematian yang sia-sia,” potong Alap-alap Jalatunda.
“Tetapi
kematian ini adalah kematian jantan. Karena itu biarlah kami saling membunuh
dengan sikap jantan.”
“Tutup
mulutmu!” Ki Tambak Wedi membentak keras sekali sehingga semua yang mendengarnya
menjadi terkejut karenanya. Bahkan orang yang sedang bersembunyi di belakang
dinding rumah itu pun terkejut pula.
“Semua harus
tunduk kepadaku. Kalau tidak, aku dapat berbuat apa saja sekehendak hatiku di
sini. Tak ada orang yang dapat melawan kekuasaan Ki Tambak Wedi. Aku dapat
membunuh seratus limapuluh orang sekaligus dan membunuh seribu orang tidak
lebih dari satu malam. Ayo, kalau memang kita sudah ingin meninggalkan tujuan
kita. Kalau kita sudah tidak mempedulikan lagi kepada pasukan Untara. Ayo, kita
melakukan perang tanding, bunuh-bunuhan di antara kita. Aku cukup seorang diri,
dan kalian semuanya di satu pihak. Aku akan berkelahi sampai aku menjadi
bangkai. Tetapi di antara kalian yang hidup akan menjadi saksi, berapa
banyaknya mayat akan bertimbun di samping mayatku.”
Pengaruh
kata-kata orang tua itu ternyata tajam sekali. Sidanti dan Alap-alap Jalatunda
tidak lagi berani mengucapkan sepatah kata pun. Sedang Sanakeling, meskipun
masih saja berdiri bersandar dinding sambil melipat tangannya, namun ia pun berdiam diri menunggu perkembangan
keadaan.
Dengan
demikian maka ruangan itu kembali menjadi sunyi. Sinar pelita yang redup
bergerak-gerak oleh sentuhan angin malam dari lubang pintu yang menganga.
Karena tidak
ada seorang pun yang bersuara, maka
berkata pula Ki Tambak Wedi,
“Ayo,
sekarang, sediakanlah arena. Kita akan mulai dengan perang tanding. Kita akan
segera melihat, siapakah yang kalah dan siapakah yang menang. Kemudian
perempuan ini tidak akan menimbulkan keonaran lagi.”
Ki Tambak Wedi
tidak lagi menunggu sebuah jawaban. Segera ia beranjak dari tempatnya,
melangkah ke arah pintu. Tak seorang pun
yang menghalanginya. Bahkan beberapa orang segera menyibak memberinya jalan. Di
muka pintu orang tua itu berhenti sejenak, sambil berpaling ia berkata,
“Arena itu
berada di halaman banjar pimpinan padepokan ini. Para pemimpin akan menjadi
saksi dan semua orang harus menyaksikannya, selain yang sedang meronda. Setelah
itu, apabila masih saja timbul persoalan maka aku sendirilah yang akan
membunuhnya.”
Orang-orang di
sekitarnya kemudian melihat orang tua itu melangkah dengan tergesa-gesa
meninggalkan tempat itu hilang di dalam gelapnya malam.
Sepeninggal Ki
Tambak Wedi, maka Sidanti pun segera
pergi pula sambil berkata,
“Aku tunggu
kau Alap-alap cengeng.”
“Persetan!”
sahut Alap-alap Jalatunda.
Langkah
Sidanti terhenti. Hampir-hampir ia melangkah kembali kalau Sanakeling tidak
berkata,
“Bukan di
sinilah arena yang ditentukan oleh Ki Tambak Wedi.”
Sidanti
menggeram mendengar kata-kata Sanakeling itu. Dipandanginya wajahnya yang
hitam-kelam. Namun Sanakeling sendiri tampaknya seperti acuh tak acuh saja
menanggapinya. Alangkah panasnya hati Sidanti. Namun ia tidak dapat membantah
lagi, bahwa memang bukan di ruangan itulah arena yang sudah ditentukan.
Dengan hati
yang bergelora ia meneruskan langkahnya diiringi oleh pamannya dan kemudian
orang-orang di luar pintu ruangan itu. Alap-alap Jalatunda pun kemudian melangkah keluar bersama
Sanakeling yang bergumam,
“Kau memang
bodoh Alap-alap kerdil. Kau terlampau percaya kepada latihanmu di pinggir kali
itu. Dua kali kau terlibat dalam persoalan dengan perempuan, dalam keadaan yang
serupa. Kau memang tidak dapat menyamakannya dengan perempuan jalanan yang kau
jumpai di mana-mana.”
Alap-alap
Jalatunda tidak menjawab. Tetapi ia sama sekali tidak menyesal menghadapi
perang tanding ini. Kecuali kepalanya memang telah dicengkam oleh tuak, juga
karena kebenciannya kepada Sidanti telah benar-benar memuncak.
Namun berbeda
dengan Alap-alap Jalatunda, Sekar Mirah yang masih juga mendengar ucapan itu,
hatinya menjadi semakin pedih. Ternyata dalam tanggapan Alap-alap Jalatunda,
dirinya tidak lebih daripada perempuan-perempuan yang dijumpai orang itu di
sepanjang jalan. Karena itu, maka tiba-tiba Sekar Murah itu jatuh tertelungkup.
Wajahnya disembunyikannya di bawah telapak tangannya. Dan tangisnya meledak
tanpa dapat dikendalikannya. Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda tertegun
sejenak. Sesaat mereka berpaling, tetapi ketika Alap-alap Jalatunda akan
berbalik, berkatalah Sanakeling,
“Kau masih
harus melakukan perang tanding untuk dapat menjamahnya.”
Alap-alap
Jalatunda mengangguk. Tetapi Sekar Mirah memekik tinggi. Dan tangisnya
meledak-ledak semakin keras. Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda itu pun kemudian meninggalkan ruangan itu pula
diikuti oleh orang-orangnya. Dan pintu depan
pun kemudian tertutup. Dua orang pengawas telah mendapat tugas untuk
mengawasinya. Ruangan itu pun kemudian
menjadi lengang. Hanya tangis Sekar Mirahlah yang masih terdengar memenuhinya.
Tetapi tangis itu pun seakan-akan hilang
saja ditelan oleh gelapnya malam. Bahkan kedua pengawas itu pun berjalan menjauh, karena mereka tidak
tahan mendengar tangis Sekar Mirah yang sama sekali tidak terkendali. Tetapi di
balik dinding belakang rumah itu, sepasang mata masih saja mengintai dari
lubang-lubang dinding, melihat ke dalam ruangan yang lengang itu. Orang itu
masih belum beranjak dari tempatnya. Bahkan seakan-akan ia tidak sampai hati
untuk meninggalkan Sekar Mirah dalam keadaan itu. Sekali-sekali orang itu
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba timbullah niatnya untuk mencoba
masuk dan mencoba menghibur gadis itu supaya berhenti menangis dan tidak lagi
terlampau mencemaskan dirinya. Dengan hati-hati orang itu berdiri. Digesernya
tubuhnya ke sudut rumah itu. Tidak dengan sengaja, maka dicobanya untuk melihat
dinding di sudut rumah. Orang itu melihat tali-tali pengikat dinding rumah itu
telah diputuskan. Sehingga segera ia tahu cara Alap-alap Jalatunda masuk. “Hem,”
ia bergumam lirih sekali,
“dari sini Alap-alap
itu masuk.”
Kemudaan bulat
pulalah tekadnya untuk memasuki ruangan itu pula. Tak ada niat apa pun di dalam hatinya, selain meredakan
kepedihan hati Sekar Mirah. Mungkin dengan kehadirannya, maka luka hati gadis
itu dapat sedikit terobati, dan dengan kehadirannya, maka gadis itu tidak
terlampau dalam dicengkam oleh ketakutan melihat masa-masa yang akan datang. Perlahan-lahan
dan hati-hati sekali ia mencoba menarik dinding bambu di sudut itu. Sedikit
kekuatan yang diberikan, maka dinding itu telah menganga. Dan ia akan segera
dapat masuk ke dalamnya. Tetapi orang itu terperanjat bukan main, sehingga
darahnya hampir berhenti mengalir. Tanpa diketahui sangkanparan arah datangnya,
tiba-tiba ia telah melihat sesosok tubuh berdiri di sampingnya. Karena itu,
maka dengan serta-merta dilepaskannya dinding rumah itu. Selangkah ia meloncat
surut sambil menarik pedangnya. Tetapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, maka
pedang itu telah terlepas dari tangannya. Orang itu seolah-olah membeku
karenanya. Ia tidak dapat membayangkan, kekuatan dan ilmu apakah yang telah
menggerakkan bayangan itu demikian cepatnya, merampas pedang hanya dalam waktu
sekejap, dengan seolah-olah tanpa menggerakkan tubuhnya? Sejenak orang itu
tercenung memandangi bayangan yang hanya tampak kehitam-hitaman di dalam gelap
malam. Hatinya berdesir ketika bayangan itu kemudian berkata perlahan-lahan,
“Kau memang
berani, terlampau berani.”
Tanpa
dikehendakinya sendiri orang itu pun
menjawab perlahan-lahan,
“Apa pedulimu?
Tetapi siapakah kau?”
Terdengar
suara tertawa lirih.
“Siapa?” orang
itu mendesak.
“Untunglah
bahwa Ki Tambak Wedi sedang ditegangkan oleh peristiwa yang dihadapinya, yang
agaknya sangat memukul hatinya,” bayangan itu berkata seakan-akan tidak
menghiraukan pertanyaan orang itu.
“Kalau tidak,
maka kau pasti sudah menjadi pengewan-ewan di sini, Ngger.”
“Siapa kau?”
orang itu mendesak pula, dan ia pun
seolah-olah tidak mendengar kata-kata bayangan itu.
“Inilah
pedangmu,” berkata bayangan itu sambil memberikan pedang yang dirampasnya.
Orang itu
merasa aneh. Tetapi ia merasa pula bahwa orang itu tidak bersikap bermusuhan
terhadapnya. Ketika orang itu berkata seterusnya dalam nada yang berbeda, maka
orang itu pun sekali lagi terperanjat,
“Apakah kau
tidak kenal aku, Ngger.”
Nada yang kini
adalah nada yang pernah didengarnya. Bahkan sering didengarnya memberinya
berbagai macam petunjuk, sehingga dengan serta-merta ia bertanya,
“Apakah Kiai
ini Ki Tanu Metir?”
Terdengar
bayangan itu tertawa. Suara tertawanya
pun kini berbeda dari suara yang didengarnya tadi.
“Ah,” desah
orang itu, “Kiai mengganggu dan menakut-nakuti aku.”
“Tidak,
Ngger,” jawab bayangan yang tidak lain adalah Ki Tanu Metir.
“Aku berkata
sebenarnya. Angger terlampau berani berbuat malam ini. Mungkin Angger kurang
menyadari bahaya yang dapat menerkam Angger setiap saat. Tetapi aku tidak
sempat memperingatkan Angger. Untunglah Ki Tambak Wedi benar-benar sedang
dibingungkan oleh muridnya.”
“Bagaimana
Kiai dapat masuk ke dalam sini?” bertanya orang itu.
“Kenapa Angger
Wuranta malam ini tidak turun ke Jati Anom?” bertanya Ki Tanu Metir.
Orang itu,
yang tidak lain adalah Wuranta, menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Aku hampir
digantung Kiai. Kalau malam ini aku tidak dapat keluar dari padepokan ini, maka
besok pagi, sesudah perang tanding itu selesai, orang-orang padepokan ini akan
beramai-ramai memburuku dan menangkap aku seperti menangkap kelinci.”
“Kenapa?”
“Ki Tambak
Wedi telah mengetahui segalanya. Bahkan Ki Tambak Wedi telah mengetahui, bahwa
Adi Swandaru dan Agung Sedayu berada di rumahku. Tetapi Ki Tambak Wedi sama
sekali tidak menyebut Kiai berada di sana pula.”
Orang tua yang
terlindung dalam kegelapan itu tegak seperti patung. Tetapi terdengar nafasnya
menjadi semakin cepat. Terasa hatinya menjadi berdebar-debar. Perlahan-lahan ia
bertanya,
“Jadi Ki
Tambak Wedi sendiri telah melihat Jati Anom dan rumahmu?”
“Ya. Lalu
sepulang dari Jati Anom agaknya para pemimpin padepokan ini mengambil keputusan
untuk malam ini juga menyerang Jati Anom.”
“Ya, aku sudah
mendengarnya tadi. Tetapi serangan itu tertunda karena peristiwa ini.”
“Ya, Kiai.”
“Kita berselisih
jalan,” gumam Ki Tanu Metir.
“Ki Tambak
Wedi ke Jati Anom, dan aku datang ke mari. Mungkin Ki Tambak Wedi menempuh
jalan yang sering kau lalui pula. Aku memang mengambil jalan lain. Hem,” Ki
Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam.
Wuranta pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu
sekarang, kenapa ketika Ki Tambak Wedi mengintip rumahnya, yang dijumpainya
hanya Swandaru dan Agung Sedayu. Agaknya pada saat itu Ki Tanu Metir telah
meninggalkan Jati Anom pula menuju ke padepokan ini.
Dan Wuranta itu pun kemudian bertanya pula,
“Tetapi
bagaimana Kiai dapat masuk ke dalam padepokan ini?”
Ki Tanu Metir
tersenyum. Ia tidak segera menjawab pertanyaan itu, bahkan ia bertanya kepada Wuranta,
“Angger.
Apakah sebabnya Angger besok akan menjadi orang buruan di dalam padepokan ini?
Apakah Ki Tambak Wedi dapat mengetahui hubungan Angger dengan orang-orang Jati
Anom?”
“Ya, Kiai,”
sahut Wuranta,
“justru karena
Adi Swandaru dan Agung Sedayu yang berada di rumahku. Sebelum itu Ki Tambak
Wedi telah bertanya-tanya pula kepada Sidanti bagaimana saat-saat ia menemukan
aku di Jati Anom. Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi berkesimpulan bahwa aku
harus digantung.”
“Tetapi kenapa
Angger dapat datang ke halaman ini?”
Wuranta
menarik nafas dalam-dalam. Dipalingkannya wajahnya ke arah rumah tempat Sekar
Mirah masih berbaring di lantai sambil menangis.
“Biarkan,
Ngger. Tangis kadang-kadang dapat menjadi kawan yang baik bagi seorang wanita.
Dan kali ini dapat menjadi kawan yang baik bagi kita, karena dengan demikian
percakapan kita tidak didengar orang.”
Wuranta
mengerutkan keningnya.
“Bukan
maksudku membiarkannya dalam keadaan putus-asa, Ngger. Tetapi sementara ini,
biarlah ia meringankan perasaannya dengan tangisnya.”
Wuranta masih
tegak seperti patung.
“Sekarang,
bagaimanakah kau dapat datang kemari? Apakah dengan keputusan Ki Tambak Wedi
tentang dirimu, kau tidak mendapat pengawasan sama sekali?”
“Aku memang
sudah ditahan Kiai,” jawab Wuranta.
“Aku ditahan
di dalam sebuah gubug dengan empat orang pengawal.”
“Lalu?”
“Salah seorang
daripada mereka memberi aku kesempatan meninggalkan rumah itu.”
“He?” Ki Tanu
Metir mengerutkan keningnya.
“Orang itu
adalah seorang tua tempat aku menumpang selama aku berada di padepokan ini.
Agaknya ia senang mendengar sendau-gurauku tepat pada siang hari sebelum aku
harus masuk ke dalam rumah itu. Orang itu pulalah yang menangkap aku dan
membawa aku ke dalam tahanan. Orang itu pulalah yang sepanjang jalan berada di
sisiku sambil berbisik, bahwa aku akan dapat melepaskan diri lewat atap yang
ditunjukkan kepadaku, yang ternyata beberapa utas talinya telah diputuskannya.
Dan aku diperingatkan adanya seorang pengawas di sudut belakang halaman.”
“Kau dapat
memaanfaatkannya?”
“Ya, Kiai. Aku
berhasil keluar dari atas atap itu dan diam-diam menerkam penjaga yang
terkantuk-kantuk di halaman belakang. Pedang ini adalah pedang penjaga itu.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya,
“Kau memang
mempunyai bakat yang kuat di dalam tubuhmu untuk menjadi seorang petugas sandi.
Lalu bukankah dengan demikian kau harus keluar dari padepokan ini supaya kau
selamat?”
“Ya Kiai.
Orang tua yang memberi aku kesempatan itu berkata kepadaku,
“Angger, aku
hanya dapat memberi kau petunjuk sampai pada lubang di atap ini. Seterusnya,
terserah kepadamu. Juga tentang penjaga yang berada di sudut halaman belakang,
di bawah pohon ramin itu. Sayang, aku tidak dapat memberimu petunjuk, darimana
kau harus keluar dari padepokan ini. Barangkali kau dapat melakukannya besok
apabila pasukan padepokan ini sudah berangkat ke Jati Anom. Dengan demikian aku
juga tidak berkhianat terhadap pimpinanku. Sebab apabila kau keluar dari
padepokan malam ini, maka kau pasti akan menyampaikan kabar ini kepada
orang-orang di Jati Anom.”
Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya mendengar ceritera Wuranta. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berkata,
“Angger, kau
memang harus segera turun ke Jati Anom sebelum orang-orang itu mencarimu. Kau
akan membawa pesan yang harus kau sampaikan kepada Untara. Agung Sedayu dan
Swandaru akan mempertemukan kau meskipun kesan tentang dirimu bagi beberapa
orang Jati Anom kurang menyenangkan.”
“Tetapi
bagaimana aku harus keluar, Kiai?”
Ki Tanu Metir
terdiam sesaat. Tiba-tiba ia bertanya,
“He, apakah
sebabnya orang itu memberimu kesempatan? Apakah bukan sekedar suatu pancingan
saja bagimu?”
“Aku rasa
tidak, Kiai. Kemarin siang aku berbincang dengan orang itu tentang kesempatan
untuk menikmati sinar matahari pagi. Ia berkata kepadaku sebelum aku dilepaskannya.
‘Aku sependapat dengan kau ngger. Aku memang tidak mendapat kesempatan
menikmati cerahnya matahari hampir di sepanjang hidupku. Apalagi menikmati
keagungan Penciptanya. Sampai setua ini aku adalah budak dari kerja duniawi
melulu.’”
Sekali lagi Ki
Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Hem, agaknya
kau mampu juga menyentuh perasaannya yang paling dalam. Nah, Ngger. Sekarang
dengarlah. Sebaiknya kau turun ke Jati Anom. Cepat, secepat-cepatnya. Pasukan
Untara harus berada di ambang pintu padepokan ini sebelum fajar.”
“He,” Wuranta
terkejut, “bagaimana mungkin, Kiai?”
“Keluarlah
dari padepokan ini. Aku membawa kuda. Kau pergunakan kudaku. Demikian kau
sampai di Jati Anom, maka Agung Sedayu dan Swandaru harus masuk kepadepokan ini
secepat-cepatnya. Pasukan Untara yang sempat mendapatkan kuda, kuda yang
dibawanya dari Pajang atau kuda yang dapat diambil di Jati Anom harus
mendahului yang lain, sedang yang lain secepatnya pula harus menyusul. Aku akan
memberi tanda dengan panah sendaren. Ingat, Agung Sedayu harus membawa panah
sendaren. Aku atau anak itu harus menunggu di sini.”
“Lalu
bagaimana dengan pesan selanjutnya buat Kakang Untara?”
“Ia harus
sudah siap secepatnya. Aku mengharap keadaan akan berkembang dengan cepat tanpa
dapat terkendali lagi. Aku akan memberikan tanda-tanda untuk setiap gerakan
berikutnya.”
Tetapi Wuranta
tidak segera beranjak dari tempatnya. Ia masih saja berdiri memandangi wajah Ki
Tanu Metir dengan sorot mata bertanya-tanya.
“Apakah masih
ada yang ingin Angger tanyakan?”
“Ya, Kiai,”
sahut Wuranta.
“Tentang apa?”
“Tentang pesan
itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar