Jilid 023 Halaman 1



MAKA katanya kemudian,
“Alap-alap Jalatunda, aku tidak dapat mengerti maksud kata-katamu. Bukankah dengan demikian persoalan kita akan menjadi berkepanjangan? Kau harus berbuat sesuatu supaya kita untuk seterusnya tidak terganggu lagi. Baik oleh Sidanti maupun oleh orang-orang lain.”
“Sekar Mirah,” jawab Alap-alap Jalatunda,
“kalau aku dapat datang kemari tanpa diketahui oleh seorang pun, maka pasti tak akan ada yang mengganggu kita, seperti saat ini pula. Tak akan ada seorang  pun yang akan mengganggu kita, apa  pun yang akan kita lakukan.”
“Tetapi lambat laun pasti akan ada yang mengetahuinya pula. Apabila kau sering datang kemari. Karena itu, apakah kita tidak lebih baik menempuh suatu cara yang lain, yang tidak akan mendapat gangguan apa  pun lagi?”
“Apalagi yang harus kita lakukan? Cara yang mana lagi yang harus kita pilih? Kalau tidak ada orang yang mengganggu kita, maka kita tidak usah memikirkan cara yang mana  pun juga.”
Akhirnya Sekar Mirah tidak dapat lagi menahan diri ia ingin Alap-alap Jalatunda mengerti maksudnya. Namun agaknya pembicaraan itu menjadi bersimpang-siur. Karena itu maka Sekar Mirah berkata berterus terang.
“Begini maksudku Alap-alap Jalatunda. Kita tidak akan dapat berhubungan hanya sekedar bertemu selama kau mendatangi pondokku. Berbicara dan menyusun harapan-harapan saja. Marilah kita hadapi masa depan kita dengan bersungguh-sungguh. Kalau kau benar mengingini aku, maka lakukanlah usaha yang langsung dapat membuka jalan bagi persoalan itu. Bukankah kau masih harus datang kepada kedua ayah-bundaku untuk melamarku? Kemudian kita tentukan hari perkawinan kita. Setelah itu, maka kita akan dapat mencari perlindungan kepada orang-orang yang kita anggap mengerti persoalan kita. Maka semua perbuatanmu, semua yang telah kau lakukan pasti akan dilupakan orang. Akulah yang akan menanggung semuanya. Sehingga persoalan kita sekarang adalah, bagaimana kita berdua dapat menghadap ayah dan ibuku di Sangkal Pulung untuk membicarakan keputusan kita ini.”
Alap-alap Jalatunda mendengar kata-kata Sekar Mirah itu seperti mendengar gemelegarnya Gunung Merapi yang akan meledak. Tiba-tiba wajahnya menjadi pucat, tetapi sesaat kemudian menjadi kemerah-merahan. Sejenak ia terbungkam, tanpa dapat mengucapkan sepatah kata pun. Diingatnya pula pertanyaan Wuranta yang serupa, bagaimana ia akan mengawini Sekar Mirah. Tetapi hal itu sama sekali tidak ada di dalam benaknya.
“Sekar Mirah,” berkata Alap-alap Jalatunda kemudian dengan suara yang bergetar. Kepalanya menjadi semakin pening. Pening karena kata-kata Sekar Mirah itu dan pening karena pengaruh tuak yang semakin mencengkam jantungnya.
“Kenapa kau mencari cara yang terlampau sulit itu? Aku tidak akan mempedulikan apakah ayahmu sependapat atau tidak. Marilah kita nikmati pertemuan kita ini. Dengan bersusah payah aku berusaha memasuki pondokmu ini. Karena itu jangan pikirkan orang yang tidak ada. Yang ada di dalam ruangan ini adalah Sekar Mirah dan Alap-alap Jalatunda. Kita adalah orang-orang yang kesepian, dan kini kita telah bertemu tanpa seorang  pun yang akan mengganggu kita, apa  pun yang akan kita lakukan.”

Tanah tempatnya berpijak serasa berguncang dengan dahsyatnya ketika Sekar Mirah mendengar dan menangkap maksud Alap-alap Jalatunda. Anak muda yang berdiri di hadapannya itu kini tampak seperti seekor serigala buas yang siap untuk menerkamnya. Karena itu maka tubuh Sekar Mirah menjadi semakin menggigil karenanya. Wajahnya menjadi merah padam dan jantungnya menjadi semakin berdebar-debar. Untunglah bahwa gadis itu tetap menyadari dirinya. Menyadari bahwa pondoknya telah kemasukan seekor serigala yang buas dan liar. Sedang dirinya sendiri tak ubahnya seperti seekor anak kambing yang lemah.
“Aku harus mempergunakan otakku,” berkata Sekar Mirah di dalam batinya. Ia tidak mau menyerah dalam keputus-asaan.
Apa  pun yang dapat dilakukan, akan dilakukannya untuk menyelamatkan dirinya. Karena Sekar Mirah tidak segera menyahut, maka berkatalah Alap-alap Jalatunda yang menjadi semakin buas,
“Mirah. Apa lagi yang kita tunggu?”
Alap-alap Jalatunda itu maju selangkah, dan dengan kaki gemetar Sekar Mirah surut selangkah.
“Kemarilah Mirah,” desis Alap-alap Jalatunda. Tengkuk Sekar Mirah meremang mendengar panggilan itu.
Bahkan ia menjadi semakin jauh surut. Namun Alap-alap Jalatunda itu menjadi semakin mendekat.
“He, kenapa kau menjauh?” bertanya Alap-alap Jalatunda yang kepalanya menjadi semakin pening dan matanya menjadi semakin merah dan liar.
“Bukankah kau menunggu kedatanganku? Kini aku telah datang? Aku telah datang memenuhi janji.”
Sekar Mirah menjadi semakin ketakutan melihat wajah yang liar itu. Ia menyesal bahwa ia telah bermain-main dengan seekor serigala. Kini serigala itu telah siap untuk menerkamnya. Ketika Alap-alap Jalatunda itu melangkah semakin maju, maka Sekar Mirah itu  pun menjadi semakin surut. Tetapi akhirnya Sekar Mirah tidak dapat mundur lagi ketika tubuhnya telah melekat dinding biliknya. Hati gadis itu telah hampir menjadi pepat. Tetapi Sekar Mirah masih mencoba untuk bertahan dengan caranya.
“Mirah. Kenapa kau berdiri di situ?” bertanya Álap-alap Jalatunda.
“Apakah kau akan masuk ke dalam bilikmu?”
Pertanyaan itu benar-benar hampir merontokkan segenap nalar dan perasaannya. Namun Sekar Mirah masih berusaha untuk yang terakhir kalinya. Dengan mengumpulkan segenap kekuatannyai gadis itu tiba-tiba tersenyum dan berkata,
“Alap-alap Jalatunda. Kau memang terlampau tergesa-gesa. Kenapa? Apakah kau sangka bahwa hari hampir kiamat?”
Alap-alap Jalatunda terdiam. Dipandangnya wajah Sekar Mirah yang sedang tersenyum itu. Terpancarlah keheranan pada sorot matanya yang liar.
Dan terdengarlah suara Sekar Mirah,
“Duduklah. Bukankah kita dapat bercakap-cakap dengan baik?”
“Waktuku tidak banyak Mirah. Aku harus segera kembali ke banjar para pemimpin padepokan ini. Aku adalah seorang panglima sebuah pasukan yang besar. Pasukan Jipang. Sehingga karena itu tanggung jawabku  pun besar pula. Nah, jangan terlampau banyak tingkah. Kau harus membantu aku, supaya aku tidak terlambat apabila ada pembicaraan-pembicaraan yang penting di banjar nanti.”

Dada Sekar Mirah menjadi semakin terguncang-guncang mendengar jawaban-jawaban Alap-alap Jalatunda. Tetapi ia masih mencoba terus. Sekar Mirah yakin, bahwa ia tidak akan dapat membebaskan dirinya apabila Alap-alap Jalatunda memilih jalan kekerasan. Meskipun besok ia dapat mengatakan kepada Sidanti atau kepada orang lain, dan Alap-alap itu digantungnya, tetapi apa yang hilang daripadanya tak akan diketemukan lagi sepanjang hidupnya. Karena itu ia tidak boleh kehilangan akal. Sehingga Sekar Mirah itu masih saja tersenyum untuk melunakkan hati Alap-alap Jalatunda, supaya serigala itu tidak segera menerkamnya. Tetapi senyum Sekar Mirah itu telah membuat Alap-alap Jalatunda menjadi semakin gila. Pengaruh tuak di kepalanya, serta nafsunya yang hampir tak terkendali telah membuat ia menjadi mata gelap.
“Alap-alap Jalatunda,” berkata Sekar Mirah,
“jangan terlampau kasar, supaya Sidanti tidak mengetahui apa yang terjadi di pondok ini. Setidak-tidaknya pengawas-pengawasnya yang sering berkeliaran di sini. Kita harus berhati-hati dan kita harus dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.”
“Persetan dengan Sidanti,”sahut Alap-alap Jalatunda. Anak muda itu sudah tidak dapat lagi mempertimbangkan apa  pun juga. Yang tampak di matanya kini adalah Sekar Mirah itu saja.
“Kita tidak dapat menempuh jalan seperti yang kau kehendaki,” sambung Sekar Mirah.
“Dengan demikian kita tidak akan mendapatkan kebahagiaan. Kita akan selalu dikejar-kejar oleh waktu seperti sekarang ini. Tetapi apabila kita kelak menjadi suami isteri, maka hidup kita akan tenteram. Kau dapat hidup dengan tenang. Dan aku dapat melayanimu dengan tenteram pula.”
“Persetan semuanya itu.”
Dada Sekar Mirah berdesir. Namun Ia masih berkata lebih lanjut,
“Kau hanya terburu oleh nafsu-nafsu sesat. Tetapi kau tidak membayangkan suatu masa yang panjang. Alap-alap Jalatunda. Ingatlah masa depanmu. Marilah kita pergi ke orang tuaku. Kau akan mendapat tempat yang baik di Kademangan Sangkal Putung.”
Alap-alap Jalatunda itu terdiam sejenak. Dipandanginya wajah Sekar Mirah dengan mata yang membara. Tampaklah mulutnya berkomat-kamit. Sekar Mirah menunggu jawabannya dengan penuh harap. Tetapi gadis itu hampir menjadi pingsan ketika ia mendengar Alap-alap itu berkata,
“Kau akan membujukku, memperalat aku, dan kemudian menjebakku he? Aku bukan seorang yang gila Mirah.”
Sekar Mirah itu  pun kemudian berdiri saja seperti patung. Mulutnya serasa tersumbat dan darahnya serasa berhenti mengalir. Ditatapnya saja wajah Alap-alap Jalatunda seperti menatap wajah hantu yang akan menghisap darahnya. Dan sebenarnyalah Alap-alap Jalatunda itu akan menghisap mahkota hidupnya. Lebih baik ia mati dihisap darahnya oleh iblis pemakan darah daripada maksud Alap-alap Jalatunda yang kini berdiri di hadapannya. Dan Alap-alap Jalatunda itu agaknya benar-benar telah menjadi mata gelap. Selangkah ia maju sambil menggeram,
“Sekar Mirah. Kau sangka aku tidak tahu maksudmu itu? Kau pura-pura mengajakku menghadap kepada ayah bundamu. Tetapi belum lagi aku sampai ke Sangkal Pulung, maka leherku pasti akan sudah dijerat. Kau pasti akan memberi kesempatan kepada ayahmu atau kepada siapa saja. Mungkin kakakmu yang gemuk itu, untuk bersama-sama mengeroyokku seperti rampogan macan di alun-alun.”

Dada Sekar Mirah serasa akan pecah karenanya. Ia. kini melihat Alap-alap Jalatunda melangkah semakin dekat dan mulutnya masih saja bergumam,
“Bagiku Mirah, tak ada jalan lain daripada mendapatkan kau sekarang. Tak pernah ada perempuan yang menolak kedatanganku atau setidak-tidaknya menunda keinginanku. Nyai Lasem, Nyai Pinan, semuanya, dan kini kau. Kau tidak akan dapat menghindar lagi. Perempuan-perempuan justru mengejarku dan memegangi ujung bajuku apabila aku akan pergi. Kau  pun harus berbuat demikian.”
Wajah Sekar Mirah kini telah menjadi pucat seperti mayat. Tetapi ia masih juga menyadari bahwa ia tidak seharusnya menyerah dalam keputus-asaan. Dengan memeras keberaniannya ia berkata gemetar,
“Alap-alap Jalatunda. Urungkan niatmu.”
“Tak ada yang dapat menahan Alap-alap Jalatunda.”
“Aku akan dapat berteriak memanggil para pengawal. Aku tahu bahwa di halaman di depan rumah ini tinggal para pengawas yang bertugas mengawasi aku.”
“Kalau kau mencoba berteriak, aku cekik kau sampai pingsan. Dan kau tidak akan banyak tingkah lagi.”
“Sidanti akan mengetahui apa yang terjadi kalau kau tidak mengurungkan niatmu. Dan kau akan digantung besok.”
“Persetan Sidanti!” Alap-alap Jalatunda yang sudah bermata gelap dan menjadi kian pening karena pengaruh tuak di kepalanya itu sama sekali sudah tidak dapat berpikir bening. Apalagi ketika sekali lagi ditatapnya wajah Sekar Mirah yang pucat itu tampaknya menjadi kian kuning semburat kemerah-merahan karena cahaya pelita yang menggapai-gapai oleh sentuhan angin. Katanya selanjutnya,
“Sidanti tidak akan berani berbuat apa  pun atasku. Kini pasukan Untara sudah berada di depan hidung kita. Ia memerlukan anak-buahku. Apakah kira-kira yang akan dilakukan atasku meskipun ia melihat apa yang terjadi sekarang ini? Tidak. Ia tidak akan berani berbuat sesuatu. Ia akan menyesal sepanjang hidupnya, bahwa ia berbuat sebagai seorang banci. Dan aku tidak akan melupakan kemenanganku saat ini. Sekar Mirah. Jangan banyak solah. Kau tidak akan dapat melawan aku dan berteriak memanggil para pengawas. Apalagi menipu aku untuk melarikan kau dari tempat jahanam ini dan kemudian menjerat leherku sendiri.”
Sekar Mirah kini merasa bahwa ia telah berdiri di ujung bara api yang menyala. Sebentar lagi ia akan hangus terbakar. Tetapi ia tidak akan dapat menyerahkan diri tanpa berbuat sesuatu. Karena itu tiba-tiba Sekar Mirah  pun bergeser setapak. Alap-alap Jalatunda benar-benar menjadi seolah-olah gila. Mulutnya kemudian bergerak-gerak dan terdengarlah ia tertawa perlahan-lahan seperti iblis yang tertawa melihat sesosok mayat terkapar di hadapannya.
“Akan lari kemana kau Sekar Mirah?”
Sekar Mirah masih mempunyai secercah harapan, meskipun sangat tipisnya. Ia akan dapat berteriak dan para pengawas  pun pasti akan datang menengoknya. Tiba-tiba saja di kejauhan terdengar kentongan berbunyi. Empat pukulan sebelum nada dara muluk diulang dua kali. Alap-alap Jalatunda yang hampir gila itu masih mendengar tanda itu. Itu adalah tanda bahwa para pemimpin padepokan harus segera berkumpul termasuk para pemimpin laskar Jipang yang berada di padepokan itu.
“Setan!” geramnya.
“Apa lagi yang akan diperbuat oleh iblis tua itu.”
Sekar Mirah yang mendengar suara kentongan itu merasa bahwa serigala itu akan mengurungkan niatnya.
“Mudah-mudahan suara kentongan itu merupakan suatu pertanda yang memaksa Alap-alap yang liar ini pergi meninggalkan aku,” desisnya di dalam hati. Dan dengan luka di hatinya ia berdoa, “Semoga Tuhan menyelamatkan aku dari tangan anak muda yang gila ini.”

Tetapi kembali harapannya seakan-akan lenyap dihembus oleh angin malam yang kencang ketika tiba-tiba Alap-alap Jalatunda itu berkata,
“Persetan dengan segala pertemuan. Aku tidak perlu mengunjunginya. Biarlah semuanya diselesaikan oleh Sanakeling. Aku akan menyelesaikan urusanku sendiri.” Kemudian ia menggeram seperti seekor serigala lapar, “Mirah. Jangan menunda-nunda lagi. Kau dengar waktuku tidak terlampau banyak.”
Sekar Mirah itu kini hampir-hampir menjadi putus-asa. Satu-satunya kemungkinan yang dapat dilakukan adalah berteriak. Kini ia benar-benar kehilangan rasa takutnya seandainya ia akan dibunuh sekalipun. Sebab mati baginya akan lebih baik dari apa yang dapat terjadi saat itu. Karena itu, maka dengan segenap tenaga yang ada padanya, maka gadis itu telah mencoba untuk berteriak. Tetapi malang baginya. Ternyata Alap-alap Jalatunda adalah seorang prajurit muda yang lincah. Dengan kecepatan yang sukar dimengerti oleh Sekar Mirah, tiba-tiba saja tangan Alap-alap Jalatunda telah menyentuh mulutnya. Alangkah terkejutnya gadis itu, sehingga suaranya tertahan karenanya. Bahkan demikian terkejut cemas dan takut bercampur baur, Sekar Mirah itu seakan-akan telah kehilangan segenap tenaganya, sehingga ia tidak mendengar bahwa di kejauhan suara kentongan masih juga mengumandang memenuhi padepokan. Bukan saja Sekar Mirah yang tidak lagi mendengar suara kentongan itu, tetapi Alap-alap Jalatunda  pun kini sudah tidak mendengar lagi. Ia sama sekali tidak menghiraukan panggilan Sanakeling atau Sidanti lewat suara kentongan itu. Baginya lebih penting menerkam mangsanya daripada datang memenuhi panggilan itu. Sekar Mirah  pun kemudian benar-benar menjadi putus asa. Tak ada lagi cara yang dapat ditempuhnya untuk membebaskan dirinya. Apabila ia akan berusaha berteriak, maka secepat itu pula Alap-alap Jalatunda akan berhasil membungkam mulutuya. Tiba-tiba terbersitlah di dalam dada Sekar Mirah itu suatu cara yang masih dapat dilakukannya. Yaitu mati. Satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari tangan Alap-alap itu adalah mati. Justru karena itu maka timbullah kembali keberanian di dalam dada gadis itu. Keberanian di dalam keputus-asaan. Sehingga dengan demikian tiba-tiba gadis cantik itu menggeram. Alap-alap Jalatunda melihat sikap Sekar Mirah yang tiba-tiba menjadi garang. Tetapi ia adalah seorang prajurit. Apalagi Sekar Mirah, sedang seorang laki-laki yang menggenggam senjata di tangannya  pun dapat dilumpuhkannya. Perlahan-lahan Alap-alap Jalatunda itu melangkah maju. Dibiarkannya Sekar Mirah menjadi bertambah garang. Bahkan ketika ia telah menjadi semakin dekat, maka Sekar Mirah itu mencoba menerkam wajahnya dengan kuku-kukunya. Alap-alap Jalatunda tertawa sambil menarik kepalanya.

Tangan Sekar Mirah itu terayun tidak lebih setebal daun di hadapan wajah Alap-alap Jalatunda yang justru menjadi semakin liar. Dan dengan buasnya, Alap-alap Jalatunda itu  pun kemudian menangkap tangan Sekar Mirah dan memutar gadis itu sehingga membelakanginya. Sekar Mirah mengerahkan segenap kekuatannya untuk melepaskan dirinya. Tetapi tangan Alap-alap Jalatunda benar-benar telah menjepitnya seperti sebuah kancing besi. Ketika Sekar Mirah sekali lagi akan berteriak, maka suaranya hilang di dalam mulutnya, karena Alap-alap Jalatunda itu telah membungkamnya dengan telapak tangannya. Kemudian Sekar Mirah benar-benar tidak akan dapat berbuat sesuatu lagi. Bahkan bunuh diri  pun ia sudah tidak mampu. Alap-alap Jalatunda yang buas itu benar-benar telah dapat menguasainya dengan kekuatan yang berlipat-lipat dari kekuatan Sekar Mirah. Namun Alap-alap Jalatunda itu tidak menyadari, bahwa sepasang mata telah mengintipnya dari balik dinding di belakang rumah itu dengan tajamnya, setajam ujung mata keris berlipat tujuh. Dengan darah yang mendidih, orang yang mengintip ke dalam pondok itu mengikuti saja apa yang telah terjadi. Dibiarkannya kebuasan Alap-alap Jalatunda itu memuncak. Dengan demikian maka orang itu akan kehilangan segenap kewaspadaannya dan tidak akan melihatnya apabila ia memasuki pondok itu lewat jalan yang tadi dilalui oleh Alap-alap Jalatunda itu sendiri. Kini ia melihat bahwa Sekar Mirah sudah tidak berdaya lagi. Maka ia tidak akan dapat membiarkannya. Ia tidak ingin terlambat dan menemukan Sekar Mirah telah kehilangan. Karena itu, maka perlahan-lahan ia merayap mendekati sudut rumah yang dindingnya sudah terbuka. Tetapi orang itu tertegun ketika telinganya mendengar sesuatu di muka pondok itu. Baik orang yang mengintip di belakang dinding itu, maupun Alap-alap Jalatunda dan bahkan Sekar Mirah terkejut bukan kepalang ketika tiba-tiba saja pondok itu berderak dengan kerasnya, sehingga seluruh rumah kecil itu bergetar. Sejenak kemudian terdengar pintu itu terbuka dan sesosok tubuh yang tegap berdiri tegak di muka pintu, seperti sebuah tonggak yang kokoh kuat bertiang besi. Dari sepasang matanya memancar sinar kemerahan yang seakan-akan membakar wajah Alap-alap Jalatunda yang berdiri kaku tegang. Dengan suara bergetar maka orang yaug berdiri di muka pintu menggeram,
“Kau Alap-alap kerdil.”
Sejenak Alap-alap Jalatunda tidak menjawab. Tetapi sorot matanya pun kemudian memancarkan api kemarahan.
“Apakah kau sudah menjadi gila?” sambung orang yang berdiri di muka pintu.
“Kenapa kau menggangguku, Sidanti?” sahut Alap-alap Jalatunda tidak kalah garangnya.
Dada Sidanti hampir meledak mendengar kata-kata Alap-alap yang lapar itu. Tetapi ia menjawab,
“Perbuatanmu adalah perbuatan yang paling biadab yang pernah kau lakukan.”

Perlahan-lahan Alap-alap Jalatunda melapaskan Sekar Mirah. Demikian gadis itu terlepas dari tangannya, maka gadis itu pun segera terjatuh di tanah. Meskipun Sekar Mirah tidak pingsan, tetapi otot bayunya seakan-akan telah dilolosi. Namun kedatangan Sidanti itu sedikit memberinya harapan. Meskipun kalau ia kemudian lepas dari tangan Alap-alap itu, maka suatu ketika Sidanti sendiri akan menerkamnya pula. Tetapi ia masih mempunyai waktu. Kini Sidanti dan Alap-alap Jalatunda telah berdiri berhadapan, tetapi Alap-alap Jalatunda menyadari bahwa Sidanti tidak seorang diri. Tetapi Sidanti agaknya telah membawa beberapa orang laskarnya bersamanya.
“Sidanti, aku masih ingin memberimu peringatan. Tinggalkan tempat ini. Jangan kau ganggu aku.”
Terdengar gigi Sidanti gemeretak. Katanya,
“Apakah aku harus membiarkan kebiadabanmu itu tanpa berbuat sesuatu.”
“Jangan terkejut, bahwa Sekar Mirah telah memilih aku dari padamu.”
“Tutup mulutmu!” teriak Sidanti,
“aku tidak percaya. Kau pasti tidak usah mempergunakan kekerasan apabila demikian.”
“Persetan dengan mulutmu! Seandainya demikian, maka apakah yang akan kau lakukan? Ayo, majulah bersama semua orang-orangmu yang kau bawa sekarang. Aku tidak akan gentar. Aku tidak akan lari. bahkan saat inilah yang aku tunggu-tunggu. Kapan aku dapat membalas sakit hatiku, pada saat aku mendengar apa yang telah kau lakukan atas Kakang Plasa Ireng.”
Wajah Sidanti menjadi merah padam mendengar sindiran itu. Terdengar giginya gemeretak, tetapi justru mulutnya serasa terkunci untuk sesaat. Sehingga Alap-alap Jalatunda masih berkata terus,
“Kau menganggap perbuatanku ini sebagai suatu kebiadaban. Lalu katakan, apa yang pernah kau perbuat atas Kakang Plasa Ireng. Bukankah itu juga kebiadaban yang lebih biadab dari tindakanku kali ini. Aku hanya dapat dianggap melanggar pagar kesusilaan. Tetapi kau telah melanggar pagar perikemanusiaan. Menurut aku, maka kemanusiaan lebih berharga dari kesusilaan.”
“Persetan!” jawab Sidanti berteriak keras sekali.
“Pendirianmu itu benar-benar pendirian seorang yang telah menjadi gila. Kau sangka apa yang kau lakukan ini bukan suatu pelanggaran kemanusiaan. Kau akan merenggut sesuatu yang paling berharga dari Sekar Mirah. Gadis itu akan menderita sepanjang hidupnya. Ia akan merasa tidak berharga lagi. Dan bagi seorang gadis akan lebih baik mati bunuh diri daripada hidup dalam keadaannya.”
Terdengar Alap-alap Jalatunda itu tertawa terbahak-bahak. Kepalanya kini benar-benar telah dicengkam oleh pengaruh tuak. Jawabnya,
“O, Sidanti. Kau merasa tanganmu bersih sebersih tangan bayi. Siapakah yang membawa domba itu ke kandang serigala? Bukan salah serigala kalau ada kesempatan menerkam anak domba yang manis ini.”

Kembali terdengar gigi Sidanti gemeretak. Sejenak ia terbungkam tanpa dapat mengucapkan sepatah kata pun. Sepasang mata di balik dinding di belakang rumah itu mengikuti semua peristiwa itu dengan saksama. Dilihatnya raksasa-raksasa padepokan ini berkumpul di pondok yang kecil itu.
Orang itu bergumam dalam hatinya,
“Untung Sidanti itu tidak terlambat. Aku pergi lama kemudian sesudah ia meninggalkan pondoknya. Tetapi kenapa baru sekarang ia hadir di sini? Ah, sebagai seorang pemimpin mungkin ia memerlukan singgah di tempat-tempat tertentu.”
Suasana rumah itu untuk sesaat dicengkam oleh kesepian yang mengerikan. Wajah-wajah yang berada dipondok itu menjadi semakin lama semakin tegang. Apalagi ketika seorang yang tegap bersenjata sebatang tombak pendek melangkah masuk sambil berkata,
“Apa yang kau tunggu Sidanti. Sebaiknya kau binasakan monyet itu.”
“Ha, kau akan ikut serta pendatang dari Menoreh. Meskipun kau bernama Argajaya, tetapi kau sama sekali tidak dapat menakut-nakuti anak-anak sekalipun. Soal ini adalah soal antara Sidanti dan Alap-alap Jalatunda. Persoalan ini adalah persoalan seorang gadis, kau tahu. Nah, sebaiknya kau minggir saja. Meskipun seandainya kau akan turut serta, maka aku  pun bersedia melayanimu berdua.”
“Setan alas!” teriak Argajaya yang hampir saja meloncat sambil berteriak. “Aku sendiri mampu membunuhmu.”
Alap-alap Jalatunda mundur setapak. Tetapi Argajaya itu tidak jadi meloncat maju. Di antara orang-orang yang berdiri di muka pintu datanglah seorang yang acuh tidak acuh saja melihat semua peristiwa itu. ia berjalan sambil mulutnya mengunyah segumpal daging rusa muda. Dengan seenaknya ia masuk ke dalam gubug itu, kemudian bersandar dinding di dekat Alap-alap Jalatunda berdiri. Wajah Alap-alap Jalatunda menjadi semakin tegang melihat kehadirannya. Ia sama sekali tidak mengetahui, apakah maksud kedatangannya, karena wajahnya yang hitam itu sama sekali tidak menunjukkan kesan suatu apa. Baru sejenak kemudian orang itu berkata,
“Kau ulangi lagi peristiwa yang serupa Alap-alap yang malang. Dahulu kepalamu hampir melesat dipukul oleh Tohpati ketika kau membawa Nyai Pinan ke dalam pondokmu. Sekarang kau terpaksa berhadapan dengan Sidanti.”
Alap-alap Jalatunda menggeram, tetapi ia tidak segera menjawab.
“Aku tahu bahwa ilmumu maju dengan pesat tanpa bimbingan seorang guru pun. Tetapi kau tidak akan mampu melawan kedua orang itu bersama-sama.” Kemudian kepada Argajaya orang itu berkata,
“Kakang Argajaya. Biarkan saja persoalan anak-anak muda ini. Kita yang sudah lebih tua sebaiknya tidak usah turut campur.”
Wajah Argajaya menjadi merah pula. Jawabnya. “Tetapi ia telah menghina Sidanti.”
“Biarlah Sidanti yang menyelesaikannya. Tidak baik akibatnya seandainya kita yang tua-tua ini akan turut serta.”
“Apakah kau akan membela orangmu yang berbuat gila itu?”
Sanakeling, orang yang sedang mengunyah daging rusa muda itu menggeleng. Katanya,
“Tidak. Kalau ia harus bertanggung jawab secara jantan, maka aku akan membiarkannya. Tetapi kau  pun jangan mencampuri urusannya. Kau adalah seorang pendatang seperti kami di padepokan ini.”

Dada Argajaya hampir meledak mendengar kata-kata Sanakeling itu. Hampir-hampir ia berteriak menjawab kata-kata Sanakeling. Tetapi tiba-tiba terdengar sebuah panggilan yang mencengkam segenap jantung orang-orang yang berdiri di tempat itu, “Sidanti.”
Sidanti berpaling. Ia melihat Ki Tambak Wedi tergesa-gesa memasuki tempat itu. Dengan wajah yang merah padam ia bertanya,
“Apakah yang telah terjadi?”
Sidanti mengatakan dengan singkat apa yang telah dilihatnya, dan Ki Tambak Wedi  pun menggeram pula.
“Perempuan ini adalah biang keladi dari kegagalan rencanaku. Supaya tidak ada persoalan lagi di antara kita dan kita dapat meneruskan rencana penyerangan ke Jati Anom maka sebaiknya perempuan ini dibunuh saja. Besok fajar kita datang ke Jati Anom dan melemparkan mayatnya di hadapan pasukan Untara.”
Semua wajah yang mendengar kata-kata itu tampak berkerut-merut. Hampir tak masuk di dalam akal mereka, bahwa Ki TambaK Wedi telah mengucapkan kata-kata itu. Namun justru dengan demikian maka mereka berdiri tegang tanpa dapat mengucapkan sepatah kata pun. Sedang Sekar Mirah yang masih terduduk dengan lemahnya di tanah, tiba-tiba menengadahkan wajahnya. Dalam keputus-asaan ia bahkan mampu menyahut,
“Bagus. Itu adalah keputusan yang paling baik buat aku.”
Tetapi agaknya Sidanti berpendirian lain. Sejak lama ia terpikat oleh gadis itu, yang kemudian dengan susah payah diambilnya dari Sangkal Putung. Tetapi sekarang gurunya mengambil suatu sikap yang terlampau keras. Karena itu maka katanya,
“Guru. aku memerlukan gadis itu.”
“Buat apa kau inginkan gadis Sangkal Putung itu?” bertanya gurunya.
“Bukankah guru menyetujui pula pada saat aku mengambilnya?”
“Aku mempunyai kepentingan lain dengan gadis itu. Dengan gadis itu di sini, maka Untara tidak akan berani dengan serta-merta saja menghancurkan padepokan ini, meskipun ia membawa pasukan seluruh prajurit Pajang.”
“Kenapa ia akan dibunuh?” bertanya Sidanti.
“Apabila gadis itu sudah mati, maka Untara tidak akan terpengaruh oleh gadis yang sudah mati itu.”
“Ternyata pasukan Untara sama sekali tidak berarti bagi kita di sini. Kalau kalian tidak menjadi gila karena gadis itu, maka pada saat fajar nanti menyingsing maka kalian pasti sudah akan menghancurkan pasukan Untara di Jati Anom.”
“Guru,” berkata Sidanti kemudian,
“aku mohon gadis ini dihidupi. Aku ingin mengambilnya sebagai seorang isteri. Kalau Sidanti kelak menggantikan kedudukan ayahanda Argapati di pegunungan Menoreh, maka ia akan menjadi seorang isteri yang kajen keringan. Aku sama sekali tidak berhasrat mempermainkannya seperti Alap-alap yang gila ini.”
“Persetan dengan keinginanmu!” potong Alap-alap Jalatunda.
“Aku tidak peduli apakah ia akan kau ambil sebagai isterimu atau kau bunuh sekali. Aku hanya akan mengambilnya yang aku ingini daripadanya.”
“Diam!” teriak Sidanti dengan kemarahan yang meluap-luap.
“Seharusnya kau diam saja,” berkata Ki Tambak Wedi kepada Alap-alap Jalatunda.
“Itu tidak adil,” tiba-tiba terdengar Sanakeling yang berdiri bersandar dinding sambil melipat tangan di dadanya.
“Persoalan ini adalah persoalan Sidanti dan Alap-alap Jalatuda. Kalau Sidanti dapat dan boleh menyatakan pendiriannya, maka Alap-alap Jalatunda pun harus mendapat kesempatan yang serupa.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tetapi ia adalah seorang yang cukup memiliki perhitungan. Karena itu, betapa hatinya menjadi marah mendengar bantahan Sanakeling, tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu atasnya, karena di belakang Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda itu berdiri sepasukan laskar yang kuat.
“Aku  pun ingin bersikap adil,” tiba-tiba Sidanti menggeram,
“karena itu guru, serahkan persoalan ini kepadaku dan kepada Alap-alap Jalatunda.”
“Bagus!” sahut Alap-alap Jalatunda lantang.
“Itu adalah sikap jantan. Kita melakukan perang tanding, Kalau aku mati dalam perkelahian ini, maka aku merasa puas, karena taruhanya cukup berharga bagiku. Bukankah taruhan dari perang tanding itu nanti adalah Sekar Mirah? Kalau kau menang Sidanti, maka Sekar Mirah menjadi milikmu. Apakah ia akan kau peristeri atau apa saja, sekehendak hatimu. Tetapi kalau aku menang, maka kau tidak boleh mencampuri lagi urusanku dengan gadis itu. Apakah yang akan aku lakukan.”
“Aku terima tantanganmu,” sahut Sidanti tidak kalah lantangnya.
Namun kemudian ruang yang tidak terlalu luas itu digetarkan oleh teriakan Sekar Mirah,
“Tidak, tidak!”
Gadis itu  pun tiba-tiba berdiri. Seperti orang gila ia berlari ke arah Ki Tambak Wedi. Dengan serta-merta Sekar Mirah berpegang baju orang tua itu sambil berteriak-teriak,
“Kiai, Kiai. Apakah kau pemimpin orang-orang ini? Kalau demikian, tolong Kiai, perintahkan saja mereka membunuh aku, supaya persoalan ini tidak berlarut-larut. Aku tidak mau jatuh ketangan kedua-duanya. Aku ingin mati saja Kiai. Karena itu bunuh saja aku.”
Sejenak Ki Tambak Wedi diam mematung. Namun kemudian perlahan-lahan didorongnya Sekar Mirah. Tetapi Sekar Mirah tidak mau melepaskan baju Ki Tambak Wedi, sehingga orang tua itu berkata,
“Lepaskan bajuku. Lepaskan!”
Tetapi Sekar Mirah tidak mendengar kata-kata itu. ia masih saja berteriak-teriak seperti orang kesurupan.
“Lepaskan!” bentak Ki Tambak Wedi kemudian. Sekar Mirah terkejut mendengar bentakan itu. Tiba-tiba ia menyadari keadaannya. Ketika kemudian Ki Tambak Wedi mendorongnya perlahan-lahan, maka Sekar Mirah itu kembali terduduk di tanah.

Sejenak ruangan itu dicengkam oleh kesenyapan. Orang yang mengintip di belakang rumah itu  pun terpaksa menahan nafasnya, supaya Ki Tambak Wedi, yang bertelinga setajam telinga serigala itu tidak mendengarnya. Agaknya orang itu mampu menyesuaikan dirinya dengan keadaan, meskipun ia tidak berani berbuat apa-apa. Jangankan setelah kehadiran Ki Tambak Wedi. Terhadap Sidanti dan Alap-alap Jalatunda  pun ia harus memperhitungkan seribu satu macam pertimbangan. Namun orang itu menyadari pula, bahwa di depan rumah itu menjadi semakin banyak orang berkumpul. Baik ia orang padepokan itu sendiri, maupun orang-orang dari laskar Sanakeling. Sehingga di luar gubug itu  pun telah dirayapi pula ketegangan seperti yang terjadi di dalamnya. Ki Tambak Wedi, pemimpin dari padepokan itu menjadi pening melihat keadaan berkembang demikian buruknya. Sedangkan di hadapan hidung mereka telah berkumpul orang-orang Pajang yang sebentar lagi akan dimusnahkan. Tetapi kalau keadaan tidak segera dapat di atasi, maka rencananya pasti akan tertunda. Karena itu bagaimanapun juga, Ki Tambak Wedi mencoba berusaha untuk meredakan keadaan. Maka katanya,
“Baiklah. Kalau kalian telah sependapat untuk melakukan perang tanding, maka baiklah dilakukan lain kali. Sekarang, kita akan melakukan rencana yang telah kita susun. Kita harus turun ke Jati Anom dengan segenap kekuatan. Kita hancurkan pasukan Uutara yang tidak seberapa kuat itu.”
Kesenyapan yang tegang kembali mencengkam ruangan yang tidak terlampau luas itu, Sidanti dan Alap-alap Jalatunda berdiri berhadapan dengan wajah yang membara. Sedang Sanakeling masih saja berdiri sambil melipat tangan di dadanya. Di lambung kirinya tergantung sebilah pedang, sedang di lambung kanannya tergantung sebuah bindi. Di sisi lain Argajaya berdiri tegak meremas-remas tangkai tombak pendeknya.
“Kenapa kalian berdiri saja seperti patung!” bentak Tambak Wedi.
“Tinggalkan tempat ini. Siapkan pasukan kalian dan kita akan segera turun ke Jati Anom. Kita masih mempunyai waktu. Kita akan sampai ke Jati Anom sebelum fajar. Setelah beristirahat sebentar kita akan melanda Kademangan itu tepat pada saat matahari terbit.”
Tetapi Alap-alap Jalatunda dan Sidanti belum juga beranjak dari tempatnya, sehingga sekali lagi Ki Tambak Wedi berteriak,
“He apakah kalian telah menjadi tuli!”
Kedua orang yang sedang berdiri berhadapan itu benar-benar seperti patung yang mati. Mereka tidak beringsut sama sekali. Bahkan berkedip  pun tidak.
Yang berkata kemudian adalah Argajaya,
“Urusan ini harus diselesaikan dahulu Kiai. Kalau tidak, maka hubungan mereka di garis perang  pun akan dapat mengganggu kelancaran seluruh pasukan.”
“Tidak,” potong Ki Tambak Wedi,
“setiap prajurit pasti tahu menempatkan diri. Persoalan pribadi akan disimpan lebih dahulu sebelum persoalan kita bersama dapat diselesaikan. Persoalan Jati Anom bukan persoalan yang dapat diabaikan. Kalau kita kehilangan waktu ini, maka kita akan menyesal sepanjang hidup kita. Karena itu, maka tinggalkan urusan kalian. Kita akan segera berangkat.”
Sanakeling mengerutkan keningnya melihat sikap Argajaya. Karena itu maka ia menyahut,
“Aku sependapat, dengan tamu kita yang terhormat itu. Pasukanku tidak akan bergerak sebelum persoalan ini selesai.”
“Tidak, Tidak!” Ki Tambak Wedi benar-benar menjadi marah. Tetapi Sanakeling yang masih saja berdiri dalam sikapnya, tahu benar, bahwa Ki Tambak Wedi saat ini sedang memerlukannya. Memerlukan pasukannya untuk membantu menghancurkan Jati Anom, atau kalau Untara mengambil sikap lebih dahulu, Ki Tambak Wedi memerlukannya untuk mempertahankan padepokan ini.

Melihat sikap Sanakeling dada Argajaya hampir meledak karenanya, seperti juga dada Ki Tambak Wedi. Tetapi Ki Tambak Wedi terpaksa menahan segenap kemarahan itu di dadanya sehingga dada itu menjadi panas sepanas bara.
“Tak akan ada bedanya kalau serangan kita atas Jati Anom itu kita tunda sehari,” berkata Sanakeling.
“Kau seorang prajurit, Ngger,” berkata Ki Tambak Wedi yang tiba-tiba menjadi lunak.
“Kau pasti tahu. bahwa satu hari dalam kesempatan seperti ini adalah penting sekali. Jangankan satu hari, sedang sekejap  pun di dalam perhitungan tata peperangan akan sangat besar sekali artinya.”
“Kiai benar,” sahut Sanakeling,
“tetapi bagi sebuah pasukan yang utuh bulat. Sedang tak ada tanda-tanda pada lawan kita akan mendapat perubahan yang berarti, bukankah begitu? Bahkan seandainya besok datang sepasukan yang kuat dari Pajang, maka kita akan dapat menyusun perhitungan baru. Tetapi menilik keadaan Pajang sekarang, maka apa yang diberikan oleh Karebet kepada Untara itu sudah tidak akan dapat ditambah dengan segera.”
“Kau memperingan persoalan, Ngger,” sahut Ki Tambak Wedi. “Apa  pun yang sedang dilakukan oleh Karebet dan Pemanahan, tetapi semakin cepat pekerjaan kita selesai, maka kita  pun akan segera melakukan rencana kita berikutnya.”
“Kenapa Kiai berkeberatan memenuhi permintaannya,” potong Argajaya yang wajahnya benar-benar semerah bara.
“Beri malam ini kesempatan untuk melakukan perang tanding. Setelah itu apabila kita masih mempunyai kesempatan, kita pergi ke Jati Anom. Kalau tidak, kita tunda serangan kita dengan satu hari.”
Terdengar Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi ia merasa bahwa betapa sulitnya mengatasi keadaan ini. Ia menyesal bahwa ia dahulu mengijinkan Sidanti mengambil perempuan itu dari Sangkal Putung. Ternyata perempuan itu kini telah menumbuhkan kesulitan baginya dan bagi rencananya.
Sejenak Ki Tambak Wedi itu terdiam. Dipandanginya Sidanti dan Alap-alap Jalatunda berganti-ganti. Orang tua itu tahu, bahwa Alap-alap Jalatunda selama ini telah mesu diri, melatih berbagai macam ilmu yang telah dimilikinya dengan berbagai macam cara dan alat. Pasir, batang-batang kayu di tepian, batu-batu, dan melatih kecepatan bergerak. Tetapi menurut penilaian Ki Tambak Wedi, betapa kemajuan yang dicapai oleh Alap-alap Jalatunda, namun ia masih belum akan dapat menyusul Sidanti. Karena itu sebenarnya Ki Tambak Wedi tidak akan mencemaskan nasib muridnya. Meskipun demikian, ia masih juga mencemaskan sikap orang-orang Jipang yang lain. Seandainya Alap-alap Jalatunda itu terbunuh dalam perang tanding, apakah mereka tidak akan membelanya? Harapan Ki Tambak Wedi hanyalah terletak pada Sanakeling. Menilik sikapnya maka Sanakeling dapat dipercayanya, bahwa ia akan membiarkan perang tanding itu berlangsung dengan jujur dan dalam sikap jantan.

Karena itu, maka setelah tidak diketemukan lagi jalan lain, serta menurut penilikannya di Jati Anom, tidak ada tanda-tanda bahwa akan segera datang perubahan yang berarti, maka akhirnya Ki Tambak Wedi pun dengan hati yang berat berkata,
“Baiklah, kalau itu menjadi pilihan kalian. Tetapi ketahuilah, bahwa siapa  pun yang kalah dan siapa  pun yang menang, maka kita akan kehilangan satu tenaga yang sangat kita perlukan. Karena itu, untuk menghindari hal yang demikian, maka aku menentukan ketetapan, bahwa perang tanding itu berlangsung sampai salah seorang tidak lagi mampu melawan. Tetapi tidak sampai mati. Aku harap kebesaran jiwa kalian dan kejujuran kalian sebagai seorang prajurit jantan.”
Meskipun tanpa berjanji, tetapi hampir bersamaan Sidanti dan Alap-alap Jalatunda terpaling. Wajah-wajah mereka menyatakan, bahwa mereka tidak senang mendengar keputusan Ki Tambak Wedi itu. Bagi mereka, perang tanding hanya dapat diakhiri dengan maut. Sehingga tanpa sesadarnya Sidanti menyahut,
“Guru, itu tidak lazim bagi sebuah perang tanding.”
“Aku tidak peduli. Tetapi aku, tetua padepokan ini berhak membuat ketetapan sendiri yang sesuai dengan keadaan di padepokan ini. Satu kematian dari kau berdua, adalah pasti merugikan. Karena itu, maka aku tidak ingin kekuatan kita berkurang dengan sebuah kematian yang sia-sia,” jawab Ki Tambak Wedi.
“Kematian ini bukan kematian yang sia-sia,” potong Alap-alap Jalatunda.
“Tetapi kematian ini adalah kematian jantan. Karena itu biarlah kami saling membunuh dengan sikap jantan.”
“Tutup mulutmu!” Ki Tambak Wedi membentak keras sekali sehingga semua yang mendengarnya menjadi terkejut karenanya. Bahkan orang yang sedang bersembunyi di belakang dinding rumah itu  pun terkejut pula.
“Semua harus tunduk kepadaku. Kalau tidak, aku dapat berbuat apa saja sekehendak hatiku di sini. Tak ada orang yang dapat melawan kekuasaan Ki Tambak Wedi. Aku dapat membunuh seratus limapuluh orang sekaligus dan membunuh seribu orang tidak lebih dari satu malam. Ayo, kalau memang kita sudah ingin meninggalkan tujuan kita. Kalau kita sudah tidak mempedulikan lagi kepada pasukan Untara. Ayo, kita melakukan perang tanding, bunuh-bunuhan di antara kita. Aku cukup seorang diri, dan kalian semuanya di satu pihak. Aku akan berkelahi sampai aku menjadi bangkai. Tetapi di antara kalian yang hidup akan menjadi saksi, berapa banyaknya mayat akan bertimbun di samping mayatku.”
Pengaruh kata-kata orang tua itu ternyata tajam sekali. Sidanti dan Alap-alap Jalatunda tidak lagi berani mengucapkan sepatah kata pun. Sedang Sanakeling, meskipun masih saja berdiri bersandar dinding sambil melipat tangannya, namun ia  pun berdiam diri menunggu perkembangan keadaan.
Dengan demikian maka ruangan itu kembali menjadi sunyi. Sinar pelita yang redup bergerak-gerak oleh sentuhan angin malam dari lubang pintu yang menganga.
Karena tidak ada seorang  pun yang bersuara, maka berkata pula Ki Tambak Wedi,
“Ayo, sekarang, sediakanlah arena. Kita akan mulai dengan perang tanding. Kita akan segera melihat, siapakah yang kalah dan siapakah yang menang. Kemudian perempuan ini tidak akan menimbulkan keonaran lagi.”

Ki Tambak Wedi tidak lagi menunggu sebuah jawaban. Segera ia beranjak dari tempatnya, melangkah ke arah pintu. Tak seorang  pun yang menghalanginya. Bahkan beberapa orang segera menyibak memberinya jalan. Di muka pintu orang tua itu berhenti sejenak, sambil berpaling ia berkata,
“Arena itu berada di halaman banjar pimpinan padepokan ini. Para pemimpin akan menjadi saksi dan semua orang harus menyaksikannya, selain yang sedang meronda. Setelah itu, apabila masih saja timbul persoalan maka aku sendirilah yang akan membunuhnya.”
Orang-orang di sekitarnya kemudian melihat orang tua itu melangkah dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu hilang di dalam gelapnya malam.
Sepeninggal Ki Tambak Wedi, maka Sidanti  pun segera pergi pula sambil berkata,
“Aku tunggu kau Alap-alap cengeng.”
“Persetan!” sahut Alap-alap Jalatunda.
Langkah Sidanti terhenti. Hampir-hampir ia melangkah kembali kalau Sanakeling tidak berkata,
“Bukan di sinilah arena yang ditentukan oleh Ki Tambak Wedi.”
Sidanti menggeram mendengar kata-kata Sanakeling itu. Dipandanginya wajahnya yang hitam-kelam. Namun Sanakeling sendiri tampaknya seperti acuh tak acuh saja menanggapinya. Alangkah panasnya hati Sidanti. Namun ia tidak dapat membantah lagi, bahwa memang bukan di ruangan itulah arena yang sudah ditentukan.
Dengan hati yang bergelora ia meneruskan langkahnya diiringi oleh pamannya dan kemudian orang-orang di luar pintu ruangan itu. Alap-alap Jalatunda  pun kemudian melangkah keluar bersama Sanakeling yang bergumam,
“Kau memang bodoh Alap-alap kerdil. Kau terlampau percaya kepada latihanmu di pinggir kali itu. Dua kali kau terlibat dalam persoalan dengan perempuan, dalam keadaan yang serupa. Kau memang tidak dapat menyamakannya dengan perempuan jalanan yang kau jumpai di mana-mana.”
Alap-alap Jalatunda tidak menjawab. Tetapi ia sama sekali tidak menyesal menghadapi perang tanding ini. Kecuali kepalanya memang telah dicengkam oleh tuak, juga karena kebenciannya kepada Sidanti telah benar-benar memuncak.

Namun berbeda dengan Alap-alap Jalatunda, Sekar Mirah yang masih juga mendengar ucapan itu, hatinya menjadi semakin pedih. Ternyata dalam tanggapan Alap-alap Jalatunda, dirinya tidak lebih daripada perempuan-perempuan yang dijumpai orang itu di sepanjang jalan. Karena itu, maka tiba-tiba Sekar Murah itu jatuh tertelungkup. Wajahnya disembunyikannya di bawah telapak tangannya. Dan tangisnya meledak tanpa dapat dikendalikannya. Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda tertegun sejenak. Sesaat mereka berpaling, tetapi ketika Alap-alap Jalatunda akan berbalik, berkatalah Sanakeling,
“Kau masih harus melakukan perang tanding untuk dapat menjamahnya.”
Alap-alap Jalatunda mengangguk. Tetapi Sekar Mirah memekik tinggi. Dan tangisnya meledak-ledak semakin keras. Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda itu  pun kemudian meninggalkan ruangan itu pula diikuti oleh orang-orangnya. Dan pintu depan  pun kemudian tertutup. Dua orang pengawas telah mendapat tugas untuk mengawasinya. Ruangan itu  pun kemudian menjadi lengang. Hanya tangis Sekar Mirahlah yang masih terdengar memenuhinya. Tetapi tangis itu  pun seakan-akan hilang saja ditelan oleh gelapnya malam. Bahkan kedua pengawas itu  pun berjalan menjauh, karena mereka tidak tahan mendengar tangis Sekar Mirah yang sama sekali tidak terkendali. Tetapi di balik dinding belakang rumah itu, sepasang mata masih saja mengintai dari lubang-lubang dinding, melihat ke dalam ruangan yang lengang itu. Orang itu masih belum beranjak dari tempatnya. Bahkan seakan-akan ia tidak sampai hati untuk meninggalkan Sekar Mirah dalam keadaan itu. Sekali-sekali orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba timbullah niatnya untuk mencoba masuk dan mencoba menghibur gadis itu supaya berhenti menangis dan tidak lagi terlampau mencemaskan dirinya. Dengan hati-hati orang itu berdiri. Digesernya tubuhnya ke sudut rumah itu. Tidak dengan sengaja, maka dicobanya untuk melihat dinding di sudut rumah. Orang itu melihat tali-tali pengikat dinding rumah itu telah diputuskan. Sehingga segera ia tahu cara Alap-alap Jalatunda masuk. “Hem,” ia bergumam lirih sekali,
“dari sini Alap-alap itu masuk.”
Kemudaan bulat pulalah tekadnya untuk memasuki ruangan itu pula. Tak ada niat apa  pun di dalam hatinya, selain meredakan kepedihan hati Sekar Mirah. Mungkin dengan kehadirannya, maka luka hati gadis itu dapat sedikit terobati, dan dengan kehadirannya, maka gadis itu tidak terlampau dalam dicengkam oleh ketakutan melihat masa-masa yang akan datang. Perlahan-lahan dan hati-hati sekali ia mencoba menarik dinding bambu di sudut itu. Sedikit kekuatan yang diberikan, maka dinding itu telah menganga. Dan ia akan segera dapat masuk ke dalamnya. Tetapi orang itu terperanjat bukan main, sehingga darahnya hampir berhenti mengalir. Tanpa diketahui sangkanparan arah datangnya, tiba-tiba ia telah melihat sesosok tubuh berdiri di sampingnya. Karena itu, maka dengan serta-merta dilepaskannya dinding rumah itu. Selangkah ia meloncat surut sambil menarik pedangnya. Tetapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, maka pedang itu telah terlepas dari tangannya. Orang itu seolah-olah membeku karenanya. Ia tidak dapat membayangkan, kekuatan dan ilmu apakah yang telah menggerakkan bayangan itu demikian cepatnya, merampas pedang hanya dalam waktu sekejap, dengan seolah-olah tanpa menggerakkan tubuhnya? Sejenak orang itu tercenung memandangi bayangan yang hanya tampak kehitam-hitaman di dalam gelap malam. Hatinya berdesir ketika bayangan itu kemudian berkata perlahan-lahan,
“Kau memang berani, terlampau berani.”
Tanpa dikehendakinya sendiri orang itu  pun menjawab perlahan-lahan,
“Apa pedulimu? Tetapi siapakah kau?”
Terdengar suara tertawa lirih.
“Siapa?” orang itu mendesak.
“Untunglah bahwa Ki Tambak Wedi sedang ditegangkan oleh peristiwa yang dihadapinya, yang agaknya sangat memukul hatinya,” bayangan itu berkata seakan-akan tidak menghiraukan pertanyaan orang itu.
“Kalau tidak, maka kau pasti sudah menjadi pengewan-ewan di sini, Ngger.”
“Siapa kau?” orang itu mendesak pula, dan ia  pun seolah-olah tidak mendengar kata-kata bayangan itu.
“Inilah pedangmu,” berkata bayangan itu sambil memberikan pedang yang dirampasnya.
Orang itu merasa aneh. Tetapi ia merasa pula bahwa orang itu tidak bersikap bermusuhan terhadapnya. Ketika orang itu berkata seterusnya dalam nada yang berbeda, maka orang itu  pun sekali lagi terperanjat,
“Apakah kau tidak kenal aku, Ngger.”

Nada yang kini adalah nada yang pernah didengarnya. Bahkan sering didengarnya memberinya berbagai macam petunjuk, sehingga dengan serta-merta ia bertanya,
“Apakah Kiai ini Ki Tanu Metir?”
Terdengar bayangan itu tertawa. Suara tertawanya  pun kini berbeda dari suara yang didengarnya tadi.
“Ah,” desah orang itu, “Kiai mengganggu dan menakut-nakuti aku.”
“Tidak, Ngger,” jawab bayangan yang tidak lain adalah Ki Tanu Metir.
“Aku berkata sebenarnya. Angger terlampau berani berbuat malam ini. Mungkin Angger kurang menyadari bahaya yang dapat menerkam Angger setiap saat. Tetapi aku tidak sempat memperingatkan Angger. Untunglah Ki Tambak Wedi benar-benar sedang dibingungkan oleh muridnya.”
“Bagaimana Kiai dapat masuk ke dalam sini?” bertanya orang itu.
“Kenapa Angger Wuranta malam ini tidak turun ke Jati Anom?” bertanya Ki Tanu Metir.
Orang itu, yang tidak lain adalah Wuranta, menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Aku hampir digantung Kiai. Kalau malam ini aku tidak dapat keluar dari padepokan ini, maka besok pagi, sesudah perang tanding itu selesai, orang-orang padepokan ini akan beramai-ramai memburuku dan menangkap aku seperti menangkap kelinci.”
“Kenapa?”
“Ki Tambak Wedi telah mengetahui segalanya. Bahkan Ki Tambak Wedi telah mengetahui, bahwa Adi Swandaru dan Agung Sedayu berada di rumahku. Tetapi Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menyebut Kiai berada di sana pula.”
Orang tua yang terlindung dalam kegelapan itu tegak seperti patung. Tetapi terdengar nafasnya menjadi semakin cepat. Terasa hatinya menjadi berdebar-debar. Perlahan-lahan ia bertanya,
“Jadi Ki Tambak Wedi sendiri telah melihat Jati Anom dan rumahmu?”
“Ya. Lalu sepulang dari Jati Anom agaknya para pemimpin padepokan ini mengambil keputusan untuk malam ini juga menyerang Jati Anom.”
“Ya, aku sudah mendengarnya tadi. Tetapi serangan itu tertunda karena peristiwa ini.”
“Ya, Kiai.”
“Kita berselisih jalan,” gumam Ki Tanu Metir.
“Ki Tambak Wedi ke Jati Anom, dan aku datang ke mari. Mungkin Ki Tambak Wedi menempuh jalan yang sering kau lalui pula. Aku memang mengambil jalan lain. Hem,” Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam.

Wuranta  pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu sekarang, kenapa ketika Ki Tambak Wedi mengintip rumahnya, yang dijumpainya hanya Swandaru dan Agung Sedayu. Agaknya pada saat itu Ki Tanu Metir telah meninggalkan Jati Anom pula menuju ke padepokan ini.
Dan Wuranta itu  pun kemudian bertanya pula,
“Tetapi bagaimana Kiai dapat masuk ke dalam padepokan ini?”
Ki Tanu Metir tersenyum. Ia tidak segera menjawab pertanyaan itu, bahkan ia bertanya kepada Wuranta,
“Angger. Apakah sebabnya Angger besok akan menjadi orang buruan di dalam padepokan ini? Apakah Ki Tambak Wedi dapat mengetahui hubungan Angger dengan orang-orang Jati Anom?”
“Ya, Kiai,” sahut Wuranta,
“justru karena Adi Swandaru dan Agung Sedayu yang berada di rumahku. Sebelum itu Ki Tambak Wedi telah bertanya-tanya pula kepada Sidanti bagaimana saat-saat ia menemukan aku di Jati Anom. Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi berkesimpulan bahwa aku harus digantung.”
“Tetapi kenapa Angger dapat datang ke halaman ini?”
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Dipalingkannya wajahnya ke arah rumah tempat Sekar Mirah masih berbaring di lantai sambil menangis.
“Biarkan, Ngger. Tangis kadang-kadang dapat menjadi kawan yang baik bagi seorang wanita. Dan kali ini dapat menjadi kawan yang baik bagi kita, karena dengan demikian percakapan kita tidak didengar orang.”
Wuranta mengerutkan keningnya.
“Bukan maksudku membiarkannya dalam keadaan putus-asa, Ngger. Tetapi sementara ini, biarlah ia meringankan perasaannya dengan tangisnya.”
Wuranta masih tegak seperti patung.
“Sekarang, bagaimanakah kau dapat datang kemari? Apakah dengan keputusan Ki Tambak Wedi tentang dirimu, kau tidak mendapat pengawasan sama sekali?”
“Aku memang sudah ditahan Kiai,” jawab Wuranta.
“Aku ditahan di dalam sebuah gubug dengan empat orang pengawal.”
“Lalu?”
“Salah seorang daripada mereka memberi aku kesempatan meninggalkan rumah itu.”
“He?” Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya.
“Orang itu adalah seorang tua tempat aku menumpang selama aku berada di padepokan ini. Agaknya ia senang mendengar sendau-gurauku tepat pada siang hari sebelum aku harus masuk ke dalam rumah itu. Orang itu pulalah yang menangkap aku dan membawa aku ke dalam tahanan. Orang itu pulalah yang sepanjang jalan berada di sisiku sambil berbisik, bahwa aku akan dapat melepaskan diri lewat atap yang ditunjukkan kepadaku, yang ternyata beberapa utas talinya telah diputuskannya. Dan aku diperingatkan adanya seorang pengawas di sudut belakang halaman.”
“Kau dapat memaanfaatkannya?”
“Ya, Kiai. Aku berhasil keluar dari atas atap itu dan diam-diam menerkam penjaga yang terkantuk-kantuk di halaman belakang. Pedang ini adalah pedang penjaga itu.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya,
“Kau memang mempunyai bakat yang kuat di dalam tubuhmu untuk menjadi seorang petugas sandi. Lalu bukankah dengan demikian kau harus keluar dari padepokan ini supaya kau selamat?”
“Ya Kiai. Orang tua yang memberi aku kesempatan itu berkata kepadaku,
“Angger, aku hanya dapat memberi kau petunjuk sampai pada lubang di atap ini. Seterusnya, terserah kepadamu. Juga tentang penjaga yang berada di sudut halaman belakang, di bawah pohon ramin itu. Sayang, aku tidak dapat memberimu petunjuk, darimana kau harus keluar dari padepokan ini. Barangkali kau dapat melakukannya besok apabila pasukan padepokan ini sudah berangkat ke Jati Anom. Dengan demikian aku juga tidak berkhianat terhadap pimpinanku. Sebab apabila kau keluar dari padepokan malam ini, maka kau pasti akan menyampaikan kabar ini kepada orang-orang di Jati Anom.”

Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya mendengar ceritera Wuranta. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Angger, kau memang harus segera turun ke Jati Anom sebelum orang-orang itu mencarimu. Kau akan membawa pesan yang harus kau sampaikan kepada Untara. Agung Sedayu dan Swandaru akan mempertemukan kau meskipun kesan tentang dirimu bagi beberapa orang Jati Anom kurang menyenangkan.”
“Tetapi bagaimana aku harus keluar, Kiai?”
Ki Tanu Metir terdiam sesaat. Tiba-tiba ia bertanya,
“He, apakah sebabnya orang itu memberimu kesempatan? Apakah bukan sekedar suatu pancingan saja bagimu?”
“Aku rasa tidak, Kiai. Kemarin siang aku berbincang dengan orang itu tentang kesempatan untuk menikmati sinar matahari pagi. Ia berkata kepadaku sebelum aku dilepaskannya. ‘Aku sependapat dengan kau ngger. Aku memang tidak mendapat kesempatan menikmati cerahnya matahari hampir di sepanjang hidupku. Apalagi menikmati keagungan Penciptanya. Sampai setua ini aku adalah budak dari kerja duniawi melulu.’”
Sekali lagi Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Hem, agaknya kau mampu juga menyentuh perasaannya yang paling dalam. Nah, Ngger. Sekarang dengarlah. Sebaiknya kau turun ke Jati Anom. Cepat, secepat-cepatnya. Pasukan Untara harus berada di ambang pintu padepokan ini sebelum fajar.”
“He,” Wuranta terkejut, “bagaimana mungkin, Kiai?”
“Keluarlah dari padepokan ini. Aku membawa kuda. Kau pergunakan kudaku. Demikian kau sampai di Jati Anom, maka Agung Sedayu dan Swandaru harus masuk kepadepokan ini secepat-cepatnya. Pasukan Untara yang sempat mendapatkan kuda, kuda yang dibawanya dari Pajang atau kuda yang dapat diambil di Jati Anom harus mendahului yang lain, sedang yang lain secepatnya pula harus menyusul. Aku akan memberi tanda dengan panah sendaren. Ingat, Agung Sedayu harus membawa panah sendaren. Aku atau anak itu harus menunggu di sini.”
“Lalu bagaimana dengan pesan selanjutnya buat Kakang Untara?”
“Ia harus sudah siap secepatnya. Aku mengharap keadaan akan berkembang dengan cepat tanpa dapat terkendali lagi. Aku akan memberikan tanda-tanda untuk setiap gerakan berikutnya.”
Tetapi Wuranta tidak segera beranjak dari tempatnya. Ia masih saja berdiri memandangi wajah Ki Tanu Metir dengan sorot mata bertanya-tanya.
“Apakah masih ada yang ingin Angger tanyakan?”
“Ya, Kiai,” sahut Wuranta.
“Tentang apa?”
“Tentang pesan itu.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar