KIAI GRINGSING termenung sejenak. Namun kemudian ia menjawab,
“Terima kasih,
Tuan.”
Maka Kiai
Gringsing yang dikenal bernama Truna Podang itu pun meninggalkan gardu pengawas
itu bersama kedua muridnya. Ketika mereka sudah berada beberapa langkah dari
gardu, Kiai Gringsing pun bergumam,
“Sayang.
Ketika hantu-hantu itu lewat kita berada di dalam gardu pengawas.”
“Sebenarnya
aku masih sempat meloncat,” sahut Swandaru.
“Berbahaya.”
“Tetapi,
apakah Guru percaya bahwa hantu-hantu itu dapat mengalahkan manusia.”
“Bukan. Bukan
hantu-hantu itu yang aku maksudkan, meskipun barangkali mereka berbahaya juga.
Tetapi yang aku maksudkan adalah para pengawas itu. Mereka akan menganggap kita
sombong dan ………. Sehingga mereka tidak akan senang lagi kepada kita. Bahkan
mungkin kita akan mereka usir dari daerah ini. Apalagi seandainya terjadi
bencana oleh sebab apa pun. Mereka pasti akan segera menuduh kita, bahwa kita
telah membuat hantu-hantu itu menjadi marah.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti maksud gurunya. Para petugas itu
tidak kalah berbahaya bagi mereka, apabila mereka tidak mau tunduk pada
perintahnya.
“Lalu
sekarang?” tiba-tiba Agung Sedayu bertanya.
Kiai Gringsing
termenung sejenak. Dan Swandaru menyahut,
“Apakah maksud
Guru, kita mencoba mencari hantu-hantu itu.”
“Mereka telah
pergi.”
“Kita
kehilangan kesempatan.”
“Tetapi
kesempatan yang bakal datang masih cukup banyak.”
“Apakah
hantu-hantu itu setiap malam datang kemari?” bertanya Agung Sedayu.
“Menurut
pembicaraan orang-orang yang terdahulu tinggal di sini tidak setiap malam.
Hanya kadang-kadang saja.”
“Pada suatu
saat Raden Sutawijaya pasti akan datang kemari.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Kalau laporan
itu kelak sampai pada Mas Ngabehi Loring Pasar, ia pasti akan datang kemari. Ia
ingin sekali pada suatu saat bertemu dengan hantu-hantu itu. Ia selalu membawa
pusakanya, tombak Kiai Pasir Sawukir. Bahkan mungkin ia membawa pula keris Kiai
Naga Kemala.”
Kedua
murid-muridnya menganggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba Swandaru bertanya,
“Sekarang kita
ke mana?”
“Kembali ke
barak itu dan tidur.”
Swandaru dan
Agung Sedayu tidak bertanya apa-apa lagi. Keduanya berjalan mengiringi gurunya
sambil menundukkan kepalanya. Masih terngiang suara gemerincing di sela-sela
derap kaki kuda. Ketika Agung Sedayu teringat sesuatu, tiba-tiba ia bertanya,
“Guru, kenapa
kita dapat mendengar derap kaki-kaki kuda itu?”
“Kenapa?”
“Bukankah
menurut ceritera orang, hantu-hantu itu tidak menyentuh tanah? Kalau kuda-kuda
itu kuda hantu, maka kaki-kaki kuda itu pun tidak akan menyentuh tanah. Apalagi
ada yang mengatakan, bahwa kuda yang dipakai oleh hantu-hantu itu adalah kuda semberani.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Seperti bergumam kepada diri sendiri ia berkata,
“Aku tidak
tahu, manakah yang benar. Tetapi memang sebaiknya kita melihat, apakah
hantu-hantu itu menyentuh tanah atau tidak.”
Agung Sedayu
tidak bertanya lagi. Di hadapan mereka lampu minyak di serambi barak masih
menyala. Di serambi itu nampak orang-orang yang tidur melingkar berkerudung
kain menyelubungi seluruh tubuh mereka.
“Mereka
agaknya ketakutan mendengar bunyi gemerincing itu,” desis Swandaru.
“Ya. Biarlah
mereka menyembunyikan diri di balik selimut mereka. Mereka sangka, seandainya
hantu-hantu itu ingin berbuat sesuatu, maka mereka yang berkerudung selimut itu
tidak dapat terlihat lagi oleh hantu-hantu itu,” desis Agung Sedayu.
Kiai Gringsing
tidak menyahut. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk lemah. Ketika mereka
kemudian menginjakkan kakinya di lantai serambi barak yang panjang itu, Kiai
Gringsing dan kedua murid-muridnya mendengar nafas mereka yang sedang
berkerudung selimut itu tersengal-sengal. Bahkan ada di antara mereka yang
menjadi gemetar dan tidur berhimpit-himpitan. Kiai Gringsing tidak mau
mengganggu mereka atau bahkan mengejutkan mereka. Dengan hati-hati ia berjalan
di antara orang-orang yang sedang menyembunyikan diri di bawah selimutnya,
diikuti oleh kedua orang murid-muridnya. Supaya orang-orang itu tidak menjadi
bertambah ketakutan, maka Kiai Gringsing pun berkata kepada muridnya,
“Tidurlah.
Kalian pasti sudah mengantuk.”
Beberapa orang
yang bersembunyi di bawah selimutnya itu pun mendengar pula suaranya. Sebagian
dari mereka mengenal bahwa suara itu suara Truna Podang. Karena itu dengan
herannya mereka mencoba mengintip orang tua itu dari sela-sela kerudungnya.
Sebenarnyalah bahwa mereka melihat Truna Podang yang sejak malam mulai gelap,
meninggalkan barak mereka. Salah seorang dari mereka memberanikan diri membuka
kerudung di kepalanya. Perlahan-lahan ia menyapa,
“Truna
Podang?”
Kiai Gringsing
berpaling. Dilihatnya seseorang mengangkat kepalanya memandanginya.
“Ya, aku Truna
Podang.”
“Dari mana
kalian?”
“Dari gardu
pengawas.”
“He, apakah
kalian pergi ke sana?”
“Ya.”
“Tetapi,
apakah kalian tidak mendengar?”
“Mendengar
apa?”
“Mendengar ….,
mendengar …,” orang itu tidak meneruskan kata-katanya.
“O,” Kiai
Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya,
“suara
gemerincing dan derap kaki kuda itu?”
“Sst, jangan
ribut.”
“Ya, kami
mendengarnya ketika kami berada di gardu pengawas. Para pengawas pun mendengar
pula.”
“Dan kalian
tidak takut pulang kemari?”
“Suara itu
sudah tidak terdengar lagi. Dan kuda-kuda yang gemerincing itu sudah pergi.”
Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu,
“Apakah kalian
di sini juga mendengar?”
“Sudahlah,
sudahlah,” tiba-tiba seseorang memotong dari balik selimutnya,
“jangan
bicarakan itu lagi. Kalau kalian mau tidur, tidurlah. Hari sudah larut malam.
Besok kita akan bangun pagi-pagi dan segera bekerja kembali.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian bersama, kedua muridnya mereka pun
melangkah ke sudut, tempat yang sudah disediakan untuk mereka bertiga, meskipun
sebenarnya terlampau sempit.
“Hem, untuk
aku sendiri saja tidak cukup,” gumam Swandaru.
“Perutmu
terlampau besar. Tetapi apa-boleh buat. Tempat yang disediakan untuk kami
hanyalah sejengkal ini.”
Tetapi
Swandaru tidak menghiraukannya. Ia pun segera merebahkan dirinya. Agung Sedayu
dan gurunya memandang anak muda yang gemuk itu sejenak. Namun mereka pun
tersenyum. Tempat itu benar-benar telah menjadi penuh.
“Kami berdua
tidak mendapat tempat lagi,” gumam Agung Sedayu.
Swandaru
pura-pura tidak mendengarnya. Bahkan ia pun kemudian memejamkan matanya. Tetapi
Agung Sedayu tidak mau duduk saja sambil menunggui Swandaru. Ia pun kemudian
mendesak anak yang gemuk itu ambil berkata,
“Minggir.
Kalau tidak perutmu akan tergilas.”
“He, nanti
dulu. Nanti dulu,” desis Swandaru.
“Nah, ingat.
Jangan kau letakkan perutmu di sembarang tempat. Bagaimana kalau kau taruh saja
perutmu di luar.”
“Uh, uh,”
Swandaru bergeser dengan susah payah.
“Tetapi
bagaimana dengan guru,” tiba-tiba Agung Sedayu bangkit dan bertanya kepada Kiai
Gringsing.
Kiai Gringsing
tersenyum,
“Aku sudah
biasa tidur sambil duduk. Apalagi aku mendapat sandaran tiang, sedangkan tanpa
sandaran sama sekali, aku dapat juga tidur nyenyak.”
“Kalau Guru
ingin berbaring, silahkanlah. Biarlah aku duduk bergantian, dengan Adi
Swandaru.”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya,
“Tidurlah. Aku
juga akan tidur.”
Agung Sedayu
termangu-mangu sejenak. Dan gurunya mengulanginya,
“Tidurlah.”
Akhirnya Agung
Sedayu pun berbaring pula di samping Swandaru yang sudah tidur mendengkur.
Di hari
berikutnya, pagi-pagi benar seisi barak itu pun sudah bangun. Sambil
berbisik-bisik mereka mempercakapkan, apa yang mereka dengar semalam. Suara
gemerincing dan derap kaki-kaki kuda.
“Ternyata
mereka benar-benar ketakutan,” desis Swandaru.
“Ya. Suara itu
memang aneh,” sahut Agung Sedayu.
“Aku jadi
benar-benar ingin melihat.”
“Tetapi kita
harus berusaha menyingkir dari orang-orang yang ketakutan itu, supaya mereka
tidak menyalahkan kita kalau terjadi sesuatu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Kita harus
mencari akal.”
Mereka
berhenti berbicara ketika orang yang tinggi kekar mendatanginya bersama orang
yang kurus. Belum lagi mereka mengucapkan apa-apa, orang yang kekar itu sudah
mendahului berkata sambil menegangkan lehernya,
“Nah, sekarang
kalian sudah mengalami sendiri. Bukankah semalam kalian mendengar suara itu?
Coba sebutkan suara apakah itu.”
“Suara genta
kecil-kecil yang banyak jumlahnya,” jawab Kiai Gringsing.
“Mirip suara
genta, tetapi sama sekali bukan suara genta,” sahut orang itu.
“Itulah yang
telah menyebar ketakutan di antara kami di sini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Beberapa orang lain pun kemudian ikut pula
berkerumun dan berbicara mengenai suara yang mereka dengar itu.
“Apakah belum
ada seorang pun yang melihat dengan pasti, bagaimana bentuk hantu-hantu itu?”
bertanya Swandaru tiba-tiba.
“Ah, kau anak
bengal,” orang yang kekar itu menjawab.
“Mungkin kau
perlu tahu, apa yang pernah dialami oleh Darpa Kancil. Hampir saja ia mati
karena ia mencoba melihat hantu itu.”
Orang yang
kurus, yang ternyata bernama Darpa Kancil itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku tidak
berani menyebut-nyebutnya lagi.”
“Tetapi
orang-orang baru ini perlu mengerti. Kasihan apabila mereka terdorong oleh
kesombongannya, akhirnya akan menjadi korban seperti kau. Jangan ingkar, bahwa
kau juga terlampau sombong waktu kau datang kemari.”
“Terserahlah
kepadamu kalau kau mau menceriterakan. Tetapi aku tidak,” orang yang kurus itu
telah benar-benar ketakutan.
Orang yang
kekar itu berpikir sejenak. Dengan wajah yang tegang ia memandang berkeliling,
seolah-olah ingin melihat apakah hantu-hantu itu ada di sekitarnya.
“Waktu itu,”
ia berbisik,
“suara itu
datang. Ini, orang ini dengan sombongnya berkata, bahwa ia tidak takut kepada
hantu-hantu. Dengan beraninya ia turun dari barak dan mengejar suara itu.
Tetapi katanya, dan orangnya sekarang ada di sini, bahwa ia tidak dapat
menemukan suara itu. Kadang-kadang suara itu ada di depan, tetapi kemudian
suara itu seakan-akan mengikutinya di belakang. Tetapi orang yang kurus ini
agaknya orang yang memang berani, sehingga ia masih juga berusaha mencari terus.
Namun ia tidak menemukannya.”
Orang yang kekar
itu berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi apa
yang terjadi di pagi harinya telah membuat barak itu gempar. Ia tiba-tiba saja
kesurupan dan mengigau. Tubuhnya menjadi panas sekali seperti bara. Agaknya
hantu yang dicarinya semalam itulah yang merasuk di dalam dirinya, ia mengancam
semua orang yang sombong seperti orang yang kurus kering ini. Bahkan akan
membunuhnya.” Sekali lagi ia berhenti. Kemudian suaranya menjadi semakin lirih,
“Kami mencoba
untuk mencegah kalian.”
“Ya.
Hindarilah bencana itu. Kau orang baru di sini. Seperti beberapa orang yang
terdahulu. Tetapi orang-orang yang merasa dirinya berani itulah yang akhirnya
paling awal pergi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Terima kasih.
Terima kasih atas nasehat kalian.”
“Ini orangnya
masih hidup. Aku tidak berbohong. Maksudku bukan menakut-nakuti, tetapi sekedar
menghindarkan kalian dari bencana, karena aku menganggap semua orang yang
datang di tempat ini adalah saudara-saudara senasib.”
“Ya, ya. Aku
mengerti maksudmu. Para petugas pun pernah mengatakannya. Tetapi kini aku
bertemu langsung dengan orang yang mengalaminya.”
“Aku sudah
minta maaf dengan syarat seperti yang dinasehatkan seorang dukun. Ayam putih
mulus, nasi kuning, dan tuntut pisang,” berkata orang yang kurus kemudian.
Kiai Gringsing
sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang di barak itu memang
merasa selalu dibayangi oleh ketakutan. Sedang kedua muridnya mengerutkan
keningnya sambil mempertimbangkan semua peristiwa yang didengarnya. Tetapi
belum lagi mereka meninggalkan tempat itu dan pergi ke kerja masing-masing
sambil mengambil bekal rangsum mereka di gardu pengawas, mereka dikejutkan oleh
seorang perempuan yang datang berlari-lari.
“Kakang,
Kakang,” perempuan itu berteriak dengan cemasnya, dan langsung menemui orang
yang kurus itu,
“anak kita,
anak kita.”
“Kenapa dengan
anak kita?”
“Ia tiba-tiba
saja jatuh pingsan.”
“Pingsan?”
orang yang kurus itu menjadi gelisah.
“Ya. Pingsan
tanpa sebab.”
“Apakah
sekarang masih juga pingsan?”
Perempuan itu
menggeleng,
“Beberapa
orang perempuan menolong kami. Anak itu, kini sudah sadar.”
“O, tetapi,
tetapi, anak itu tidak apa-apa?”
“Aku tidak
tahu, apa yang akan terjadi nanti.” Perempuan itu berhenti sejenak, lalu,
“di dalam
pingsannya anak itu mengigau.”
“He, mengigau?
Apa katanya?”
“Ia hanya
berbisik-bisik. Katanya ‘jangan ulangi, jangan ulangi’.”
“O,” orang
yang kurus itu menarik nafas dalam-dalam,
“mereka masih
mengancam. Sekali aku bersalah, maka setiap kali aku selalu mendapat
peringatan.”
“Tetapi,
tengoklah anak itu sebelum kau berangkat kerja.”
Laki-laki
kurus itu mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baiklah. Aku
akan menengoknya sebentar.”
Kedua suami
isteri itu pun kemudian pergi meninggalkan mereka yang sedang berbincang. Kiai
Gringsing dan kedua muridnya berdiri termangu-mangu. Sedang orang yang bertubuh
kekar itu berkata,
“Nah ini
adalah suatu bukti. Ia terlampau sombong pada saat ia baru saja datang kemari.”
Kiai Gringsing
termangu-mangu sejenak, dan orang yang tinggi kekar itu berkata,
“Marilah, kita
mempersiapkan diri dengan alat-alat kita. Sebentar lagi kita akan berangkat.”
“Tetapi di
manakah anak yang sakit itu?”
“Ia berada di
barak khusus untuk perempuan dan anak-anak yang masih terlampau kecil.
Perempuan yang tidak mempunyai anak-anak kecil menyediakan makan kita
sehari-hari. Bukankah kau lihat mereda sedang memasak?”
“Maksudku
anak-anak kecil itu. Aku ingin melihatnya,” sahut Kiai Gringsing. Sebagai
seorang dukun timbullah niatnya untuk melihat jenis-jenis penyakit yang aneh
itu.
“Tidak perlu.
Anak itu sudah baik. Jangan menambah persoalan lagi. Hantu-hantu yang merasuk
ke dalam tubuhnya telah pergi setelah mereka sekedar memberikan peringatan.”
Kiai Gringsing
tidak dapat memaksa orang itu untuk mengantarkannya. Sebab dengan demikian,
mungkin akan dapat timbul salah paham yang semakin dalam. Sejenak kemudian maka
orang-orang yang bersiap-siap untuk pergi ke daerah garapan masing-masing pun
sudah siap. Mereka berjalan beriringan sambil menerima bekal rangsum mereka
yang akan mereka bawa ke tempat kerja mereka. Menjelang tengah hari mereka akan
berhenti bekerja dan makan rangsum itu. Peristiwa-peristiwa yang terjadi
berurutan itu memang telah mempengaruhi sikap Kiai Gringsing dan kedua
muridnya. Bahkan Swandaru mulai berpikir, apakah hantu-hantu itu memang ada.
“Bagaimana
pendapat Guru?”
Gurunya menggeleng-gelengkan
kepalanya,
“Aku belum
dapat menemukan jawaban. Tetapi hantu-hantu itu memang telah mengganggu.”
“Tetapi
menurut orang yang kurus itu, dengan ayam putih mulus dan kelengkapannya,
persoalan hantu-hantu itu dapat segera diselesaikan. Bukankah Guru juga seorang
dukun? Agaknya Guru dapat juga mencari jalan untuk berhubungan, dengan
hantu-hantu itu dengan cara yang lain daripada hubungan wadag.”
Kiai Gringsing
tersenyum. Jawabnya,
“Aku memang
seorang dukun, tetapi bukan dukun hantu-hantu. Aku dukun yang hanya dapat
berusaha mengobati penyakit. Itu pun terbatas sekali, karena setiap persoalan,
keputusan terakhir ada di tangan Yang Maha Kuasa.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Agung Sedayu bertanya,
“Apakah
masalah hantu itu pada suatu saat dapat menggoncang rencana Ki Gede Pemanahan?”
“Tentu. Kalau
hantu-hantu itu telah tersebar di segala penjuru dari daerah yang baru dan
sedang mengembangkan diri ini, dan setiap orang akhirnya dicengkam oleh
ketakutan, maka akhirnya daerah ini akan menjadi sepi kembali. Tanah garapan
yang sudah dibuka itu akan menjadi rimbun kembali oleh batang-batang ilalang
yang liar, karena tidak lagi disentuh tangan.”
Kedua murid
Kiai Gringsing itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa terasa mereka
telah sampai ke tanah garapan mereka yang agak terpencil.
“Aku
memerlukan busur,” desis Swandaru.
“Buat apa?”
“Aku sudah
ketagihan daging rusa.”
“Ah kau,”
desis Agung Sedayu sambil menyiapkan alat-alat mereka.
Sejenak
kemudian mereka pun telah tenggelam di dalam kerja. Seperti di hari pertama
mereka tidak menjumpai masalah-masalah yang aneh bagi mereka, selain suara
burung kedasih yang tidak ada putus-putusnya.
“He,
burung-burung itu agaknya tidak mau pergi dari tempat ini,” desis Swandaru.
“Begitulah
suara burung kedasih. Ia tidak dapat berbunyi dengan nada yang lain. Tidak
seperti kau. Kau dapat menyebut jenang alot, jadah ketan ireng, atau pondoh
nasi gaga,” sahut Agung Sedayu.
Suara tertawa
Swandaru meledak tanpa dapat dikendalikan. Namun tiba-tiba suara tertawanya itu
pun terputus. Perlahan-lahan ia berdesis,
“He, suara
kedasih itu pun berhenti pula.”
Agung Sedayu
dan gurunya pun kemudian memasang telinganya. Suara burung kedasih itu telah
berhenti pula. Sehingga dengan demikian, hutan itu pun menjadi serasa sunyi
sekali.
“Bukankah
suara burung itu terhenti pula?” bertanya Swandaru.
Agung Sedayu
menganggukkan kepalanya.
“Aneh.”
“Tidak aneh,”
berkata Kiai Gringsing,
“burung itu
pun terkejut mendengar suara tertawamu.”
“Bukan karena
burung itu berhenti berbunyi,” jawab Swandaru.
“Lalu, apakah
yang aneh?”
“Burung
kedasih biasanya berbunyi di malam hari. Tetapi hari ini, hampir sehari penuh,
suara burung itu tidak henti-hentinya.
“Ya. Tetapi
tidak selalu malam hari. Kadang-kadang di siang hari pun burung kedasih
berbunyi pula seperti burung kedasih itu.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi masih nampak keheranan membayang di
wajahnya, karena suara burung kedasih itu. Demikianlah maka ketika menjelang
senja hari, Kiai Gringsing dan kedua muridnya itu pun menyudahi kerjanya.
Setelah mereka menyimpan alat-alat mereka di tempat yang kemarin, di bawah
sebatang kayu yang besar, yang telah dirobohkan oleh orang-orang yang bekerja
di tempat itu sebelum mereka, maka ketiganya pun kemudian meninggalkan tanah
garapan itu. Beberapa orang segera mendapatkannya dan bertanya, apakah yang
dilihatnya dan dialaminya.
“Tidak ada
apa-apa,” jawab Kiai Gringsing.
Tetapi
Swandaru menambahkannya,
“Hanya suara
burung kedasih yang terus-menerus. Menjengkelkan sekali.”
“Hus, jangan
berkata begitu.”
“Kenapa?”
bertanya Swandaru.
“Jangan.
Jangan berkata kurang sopan terhadap peristiwa-peristiwa yang aneh-aneh yang
terjadi di sekitarmu,” desis seorang yang telah beruban di keningnya.
Swandaru
menjadi heran. Tetapi kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Orang-orang di tempat itu percaya bahwa kadang-kadang hal-hal yang aneh itu
dapat mendatangkan bencana. Ketika kemudian malam tiba, Kiai Gringsing dan
kedua muridnya tidak lagi pergi ke gardu pengawas. Disana mereka tidak akan
mendapat kesempatan untuk melihat apabila mereka mendengar gemerincing genta
dan suara derap kaki kuda.
“Kemana kita?”
bertanya Agung Sedayu.
“Asal kita
keluar,” jawab gurunya.
Ketika malam
menjadi semakin malam, dan datang saatnya seperti kemarin malam ketika suara
gemerincing itu mengitari barak. Kiai Gringsing itu berdesah,
“Uh perutku sakit.”
Seseorang yang
sudah berbaring di sampingnya bertanya,
“Kenapa
perutmu?”
“Sakit, aku
akan pergi ke sungai.”
“He,” orang
itu terkejut, “malam-malam begini?”
“Ya, perutku
sakit tidak tertahankan lagi.”
“Kau berani
pergi ke sungai?”
“Tidak. Tetapi
biarlah kedua anak-anakku itu mengantarkan aku.”
“Bodoh sekali.
Kau bodoh sekali. Kemarin malam. Di saat-saat seperti ini….. O, ngeri sekali,”
orang itu tidak berani menyebutkan apa yang telah terjadi kemarin malam.
Tetapi Kiai
Gringsing dan muridnya mengerti, bahwa yang dimaksudkan itu adalah suara
gemerincing genta itu.
“Tetapi,
bagaimana dengan perutku ini.”
Orang itu tiba-tiba
mengerutkan keningnya,
“Apakah kau
mengalami sesuatu siang tadi?”
Kiai Gringsing
menggeleng.
“Anakmu yang
telah mengumpati burung kedasih itu. Burung itu memang sering terdengar
berbunyi di siang hari.”
“O, tetapi
kenapa perutku yang sakit? Aku tentu tidak akan dapat mengganggu kalian di sini
dengan bau yang tidak sedap. Karena itu biarlah aku pergi ke sungai.”
“Jangan
pergi.”
“Terpaksa
sekali. Sebentar saja.”
Kiai Gringsing
pun kemudian mengajak kedua anak-anaknya pergi. Beberapa orang telah berusaha
mencegahnya. Orang yang kurus itu bahkan menahan tangannya sambil berkata,
“O, jangan kau
lakukan. Jangan membuat dirimu menjadi korban kebodohanmu sendiri.”
“Tetapi
bagaimana dengan isi perutku ini.”
Dan orang yang
tinggi kekar berkata,
“Kau bukan
sanak dan bukan kadangku. Seharusnya aku pun tidak merasa kehilangan kalau
kalian tidak akan dapat kembali lagi ke barak ini. Tetapi aku masih mencoba
berbuat baik terhadapmu.”
“Terima kasih.
Tetapi apakah kau dapat memberi jalan lain untuk menyelesaikan perutku ini.”
Orang yang
tinggi kekar itu mengerutkan keningnya.
“O, aku sudah
tidak kuat lagi. Apakah aku sudah dikutuknya? Sakit perutku tidak tertahankan
lagi. Aduh….,” Kiai Gringsing menyeringai sambil memegangi perutnya, sedang
orang-orang yang kemudian mengerumuninya menjadi saling berpandangan.
“Apa boleh
buat,” berkata salah seorang dari mereka,
“kita sudah
berusaha mencegahnya. Tetapi ia tetap akan pergi.”
“Bukan
maksudku untuk tidak mendengarkan nasehat kalian. Aku pun sebenarnya takut
sekali pergi ke sungai itu. Tetapi apakah memang ada jalan lain?” Kiai
Gringsing menghentak-hentakkan kakinya sambil berdesis.
“Apa boleh
buat,” dan yang lain menyahut, “apa boleh buat.”
Kiai Gringsing
kemudian diantar oleh Agung Sedayu dan Swandaru melangkah pergi. Orang tua itu
masih sempat bertanya,
“Siapakah yang
mau menolong kami, mengawani kami pergi ke sungai?”
Tidak ada
seorang pun yang menganggukkan kepalanya. Bahkan orang yang kurus itu berkata,
“Kami tidak
mau mati ketakutan.”
Beberapa orang
melihat ketiga orang yang menghilang ke dalam gelap itu dengan hati yang
berdebar-debar. Beberapa dari antara mereka menarik nafas sambil berdesah,
“Mereka adalah
orang-orang yang berani.”
Tetapi orang
yang tinggi kekar berkata,
“Mereka
terlampau sombong. Kalau mereka sudah mengalami peristiwa seperti si kurus itu
barulah mereka akan percaya.”
Kiai Gringsing
dan kedua muridnya, setelah menghilang ke dalam gelap, segera berhenti. Dari
balik pepohonan mereka masih dapat melihat lamat-lamat cahaya lampu-lampu
minyak di serambi barak yang panjang.
“Kemana kita,
Guru?” bertanya Agung Sedayu.
“Menunggu.
Menunggu kuda semberani yang bergemerincing itu lewat.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Swandaru-lah yang bertanya kemudian,
“Kita menunggu
di sini?”
“Ya,” jawab
Kiai Gringsing.
“Kalau begitu
aku harus mendapatkan sandaran duduk.”
“Kenapa?”
bertanya Agung Sedayu.
“Aku akan
tidur.”
“Ah, kau,”
desah Agung Sedayu. Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Beberapa langkah ia
beringsut, kemudian bersandar pada sebatang pohon lamtara yang hanya sebesar
lengan. Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun kemudian duduk pula. Mereka
menunggu suara gemerincing dan telapak kaki kuda itu lewat. Dengan dada yang
berdebar-debar mereka duduk tanpa berbicara apa pun lagi. Tetapi suara
gemerincing itu tidak kunjung datang. Waktu yang mereka pergunakan untuk
menunggu sudah jauh lebih panjang dari waktu yang wajar bagi orang yang pergi
ke sungai. Namun kuda itu tidak lewat juga.
Swandaru
menjadi tidak sabar lagi. Sambil terkantuk-kantuk ia bergumam,
“Lebih baik
kita yang mencari.”
“Kemana?”
bertanya Agung Sedayu.
Swandaru tidak
menjawab. Tetapi ia sibuk menggaruk-garuk kakinya yang digigit nyamuk.
“Marilah kita kembali,”
desis Kiai Gringsing,
“kita tidak
berhasil lagi malam ini.”
“Apakah
hantu-hantu itu mengetahui bahwa kita sedang menunggu mereka di sini?” bertanya
Swandaru kemudian.
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya,
“Aku tidak
tahu.”
Ketiganya pun
kemudian kembali ke barak mereka. Ketika Kiai Gringsing mendehem, hampir
bersamaan beberapa orang menarik selimut yang mereka selubungkan ke kepala.
“Kau Truna?”
bertanya seseorang.
“Uh, kau pergi
terlampau lama. Kami sudah cemas, jangan-jangan kau tidak akan kembali lagi
kemari.”
“Jalan ke
sungai itu gelap sekali,” jawab Kiai Gringsing.
Orang-orang
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tidak seorang pun yang menanyakan
kepadanya, apakah Truna Podang itu tidak bertemu dengan hantu. Sedang Kiai
Gringsing pun sadar, bahwa mereka harus menyimpan pertanyaan itu sampai besok,
karena mereka tidak berani mengucapkannya saat itu. Sebenarnyalah di pagi hari
berikutnya, Truna Podang sudah dikerumuni oleh beberapa orang yang bertanya
kepadanya,
“Apakah kau
melihat sesuatu?”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya.
“Tidak,”
jawabnya, “aku tidak melihat apa pun.”
Beberapa orang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi beberapa orang yang lain berkata di
antara mereka,
“Belum saja mereka
mengalami. Apabila pada suatu saat mereka benar-benar bertemu dengan hantu itu,
barulah mereka menjadi jera.”
“Kalau hanya
sekedar bertemu dengan hantu, tentu tidak akan menyedihkan. Tetapi kalau
hantu-hantu itu benar-benar marah dan mencabut nyawa mereka?”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Seseorang berdesis,
“Kasihan.
Mereka terlampau keras kepala.”
Ketika
matahari menjadi semakin terang, maka orang-orang itu pun segera meninggalkan
tempat itu pergi ke tanah garapan masing-masing, setelah mereka mengambil bekal
mereka dari gardu pengawas. Kiai Gringsing dan kedua muridnya pun pergi pula ke
tempat kerja mereka.
“Apakah burung
kedasih itu masih berbunyi lagi di sepanjang hari?” tiba-tiba saja Swandaru
berdesis.
“Bukankah kita
sudah mendapatkan cara untuk menghentikannya?” sahut Agung Sedayu.
“Bagaimana?”
bertanya Swandaru.
“Kau berteriak
keras-keras. Burung itu akan ketakutan.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut. Demikianlah, maka
mereka bertiga bekerja dengan tekunnya. Suara burung kedasih itu sudah tidak
mengganggu lagi. Namun terik matahari yang semakin tinggi serasa telah membakar
tubuh mereka. Ketika mereka sedang sibuk menebasi batang-batang pepohonan yang
sudah rebah, maka mereka pun kehilangan perhatian mereka kepada keadaan di
sekitar tanah yang sunyi itu. Yang menjadi pusat perhatian mereka adalah
kapak-kapak mereka yang terayun-ayun dengan kerasnya, melontarkan bunyi yang
membelah sepinya suasana hutan. Namun tiba-tiba mereka bertiga terkejut ketika
mereka mendengar pekik memanjang. Gemanya terpantul dari segala arah, sehingga
pekik itu terdengar seakan-akan terulang-ulang. Swandaru, Agung Sedayu, dan
gurunya segera berhenti bekerja. Meskipun kapak mereka masih ada di dalam
genggaman namun mereka kini berdiri tegak bagaikan patung yang beku. Sekali
lagi suara itu terdengar meninggi dan berkepanjangan. Tiba-tiba saja Swandaru
melemparkan kapaknya dan meloncat berlari. Namun langkahnya tertahan karena
gurunya segera menangkap lengannya.
“Tunggu, Swandaru,”
desis Kiai Gringsing,
“kita berada
di tempat yang asing. Jangan tergesa-gesa berbuat sesuatu kalau kau tidak ingin
terjebak.”
Sejenak
Swandaru berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam.
Kini ditatapnya hutan yang lebat di sebelah tanah yang sedang digarap. Dan, ia
memang tidak mengetahui, apakah yang tersimpan di dalam lebatnya hutan itu, di
balik pohon-pohon raksasa dan di dalam gerumbul-gerumbul perdu yang liar. Agung
Sedayu telah meletakkan kapaknya pula. Tanpa disadarinya tangannya telah meraba
tangkai cambuknya yang melilit di lambung. Dalam keragu-raguan itu Kiai
Gringsing dan kedua muridnya mendengar lengking yang tinggi itu sekali lagi.
Dan kini berada agak lebih-dekat.
“Hati-hatilah,”
berkata Kiai Gringsing kemudian,
“kita
berhadapan dengan sesuatu yang masih belum dapat kita jajagi.”
Kedua muridnya
menganggukkan kepalanya. Setapak Agung Sedayu bergeser maju, sedang Kiai
Gringsing berdiri tegak sambil menengadahkan kepalanya.
“Seseorang
mendekat kemari,” bisiknya.
Kedua muridnya
pun mencoba untuk mendengar sesuatu. Namun baru sejenak kemudian mereka
mendengar langkah orang berlari-lari.
“Ya, seseorang
telah datang kemari,” ulang Agung Sedayu.
Ternyata
dugaan mereka benar. Sejenak kemudian seseorang muncul dari balik gerumbul-gerumbul
perdu yang lebat. Masih terdengar betapa ia merintih kesakitan. Ditekankannya
kedua telapak tangannya di dadanya yang ternyata menghamburkan darah yang
merah.
“Tolong,
tolong Ki Sanak,” suaranya gemetar, sedang langkahnya menjadi terhuyung-huyung.
Kiai Gringsing
selangkah demi selangkah maju mendekatinya.
“Kenapa kau Ki
Sanak?” bertanya orang tua itu.
“O, hantu,
hantu itu.”
Dada ketiga
orang itu berdesir.
“Kenapa?”
“Mereka telah
menerkam aku. Aku digigitnya dengan taring.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Beberapa langkah ia maju mendekat, sedang Swandaru
langsung menghampirinya sambil bertanya,
“Apakah kau
bertemu dengan hantu itu?”
Orang itu
terdiam sejenak. Dipandanginya Swandaru dengan mata yang merah. Tiba-tiba ia berpaling.
Dengan penuh ketakutan ia berteriak,
“He, ia
mengejar aku. Tolong, tolong Ki Sanak.”
Semua orang
berpaling ke arah tatapan mata orang yang terluka itu. Tetapi mereka tidak
melihat sesuatu.
“Itu. Itu.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Tetapi ia sama sekali tidak melihat apa pun, selain daun
yang bergerak-gerak disentuh angin. Tiba-tiba saja orang itu berada di puncak
ketakutannya. Sekali lagi ia berteriak,
“Ampun, Ampun.
Tolong Ki Sanak, tolong.”
Tanpa
menghiraukan apa pun lagi, dengan serta-merta ia meloncat mendekap Swandaru
yang berdiri di dekatnya. Dengan suara gemetar ia masih saja berteriak-teriak,
“Tolong Ki
Sanak, tolong.”
Swandaru
terperanjat ketika tiba-tiba saja nafasnya serasa menjadi sesak. Orang itu
mendekapnya terlampau kuat dan bahkan mengguncang-guncangnya sehingga hampir
saja Swandaru itu pun terjatuh karenanya.
“He, jangan
berbuat seperti anak kecil,” teriak Swandaru.
Tetapi orang
itu tidak menghiraukannya.
“Itu, lihat.
Hantu itu mengejar aku.”
“Tenanglah Ki
Sanak,” desis Kiai Gringsing,
“tenanglah dan
berbicaralah supaya kami mengerti apa yang telah terjadi atasmu.”
“Aku dikejar
hantu. Hantu jerangkong bermata bara, membawa sebatang tongkat panjang. Oh,
dadaku terluka dan tengkukku telah digigitnya.”
“Kenapa dadamu
terluka?”
“Tongkat itu.
Tongkat itu,” dan sejenak kemudian sambil mendekap Swandaru semakin erat, ia
melonjak-lonjak.
“Tolong,
tolong. Aduh. Ia akan menerkam aku.”
Kiai Gringsing
kemudian mendekatinya. Tetapi sebelum ia sempat meraba orang itu, tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh suara sebuah benda yang berat terjatuh. Kiai Gringsing
tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat ke arah suara itu,
meskipun ia cukup berhati-hati. Dengan indera pendengarannya yang tajam ia
mengenali apa yang ada di sekitarnya. Agung Sedayu pun mengikutnya pula, sedang
Swandaru tiba-tiba saja telah mendorong orang yang mendekapnya sambil berkata,
“Tunggu di
sini. Aku akan melihat.”
Orang itu
terdorong beberapa langkah sebelum ia terjatuh di tanah, tetapi Swandaru tidak
menghiraukannya lagi. Ia pun segera berlari menyusul gurunya. Ketika Kiai
Gringsing sudah memasuki hutan, maka langkahnya pun segera diperlambatnya.
Dicobanya untuk mendengar setiap desah yang mencurigakan. Tetapi yang
didengarnya hanyalah desir angin di dedaunan.
“Hati-hatilah,”
ia berdesis kepada murid-muridnya.
Agung Sedayu
dan Swandaru yang sudah ada di sampingnya pun mengangguk pula. Tetapi sampai
beberapa, langkah kemudian, mereka tidak menjumpai apa pun juga. Apalagi hantu,
seekor kelinci pun tidak. Namun tiba-tiba Kiai Gringsing itu mengerutkan
keningnya. Dilihatnya sebuah batu yang besar tergolek di tanah.
“Batu ini,”
desis Kiai Gringsing.
“Kenapa dengan
batu ini?” bertanya Swandaru.
“Suara itu
adalah suara batu ini terjatuh.”
“Dari mana?”
bertanya Agung Sedayu.
Ketiganya pun
serentak menengadahkan wajah mereka. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu,
selain sebatang pohon yang tinggi dan lebat. Dengan teliti Kiai Gringsing
mencoba mengamat-amati pohon itu. Tetapi ia memang tidak melihat atau mendengar
sesuatu. Perhatiannya kemudian dialihkan kepada batu besar yang tergolek di
dekat ujung kakinya. Batu itu adalah batu hitam yang berat.
“Apakah Guru
memastikan bahwa suara itu adalah suara batu ini?” bertanya Swandaru.
“Ya, “ jawab
gurunya,
“lihatlah,
rerumputan di sekitarnya. Ranting-ranting perdu yang berpatahan. Bekas itu
adalah bekas-bekas batu sehingga batu ini pasti baru saja jatuh dari atas.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Sedang Agung Sedayu memandangi daun pohon yang rimbun
itu sekali lagi. Ia hampir tidak dapat mempercayainya bahwa batu itu jatuh
begitu saja dari atas sebatang pohon yang demikian tinggi.
“Aneh,” tanpa
sesadarnya ia berdesis.
Kiai Gringsing
pun mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun ia belum dapat menebak teka-teki
yang sulit itu. Sebagai seseorang yang banyak melakukan pengembaraan sejak masa
mudanya, Kiai Gringsing sudah banyak sekali mengalami masalah-masalah yang aneh
dan berbahaya. Tetapi kali ini ia tidak segera menemukan jawaban dari peristiwa
yang membingungkannya itu.
“Sudahlah,”
berkata Kiai Gringsing,
“jangan
hiraukan lagi batu itu. Biarlah ia tetap di situ. Sekarang, marilah kita lihat
orang yang luka itu.” Lalu ia berpaling kepada Swandaru,
“Orang itu kau
tinggalkan di dalam ketakutan.”
Swandaru tidak
segera menyahut.
“Sebaiknya kau
tunggui orang itu,” sambung gurunya,
“mungkin ia
akan mati ketakutan.”
“Aku ingin
juga melihat apa yang terjadi di sini,” jawab Swandaru tanpa memandang wajah
gurunya.
“Sudahlah.
Marilah kita lihat,” sahut Kiai Gringsing kemudian.
Ketiganya pun
berjalan dengan tergesa-gesa kembali ke tanah garapan mereka. Mereka ingin
segera melihat, apakah yang sudah terjadi dengan orang yang terluka dan
ketakutan itu. Ketika mereka muncul dari balik pepohonan yang rimbun, mereka
melihat tanah garapan mereka itu masih tetap sepi. Namun mereka tidak segera
melihat orang yang sedang dicengkam oleh ketakutan itu. Karena itu, maka
langkah mereka pun menjadi semakin cepat, meloncati pepohonan yang sudah
dirobohkan, tetapi masih saja malang melintang.
“Di mana orang
itu?” desis Swandaru.
“Di mana kau
tinggalkan tadi?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku
mendorongnya sehingga ia jatuh tertelentang.”
“O, mungkin ia
pingsan. Marilah kita lihat.”
Ketiganya
berjalan semakin cepat. Bahkan kemudian mereka pun seolah-olah berlari sambil meloncat-loncat,
melangkahi kayu-kayu yang roboh dan gerumbul-gerumbul perdu. Namun darah mereka
serasa berhenti mengalir, ketika mereka tidak melihat orang yang ketakutan itu
di tempatnya. Yang mereka lihat adalah percikan-percikan darah di sekitarnya.
Bahkan sesobek dari pakaian orang yang terluka itu.
“Guru, apakah
yang kira-kira sudah terjadi?” Swandaru terpekik.
Kiai Gringsing
pun dengan serta merta berjongkok di tempat itu untuk melihat apa-apa yang
kiranya sudah terjadi.
“Mungkinkah
ada binatang buas?” bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya,
“Tentu bukan
binatang buas,” katanya,
“tidak ada
bekas binatang buas sama sekali.”
Ketiganya
sejenak saling berdiam diri. Dengan cermat mereka melihat bekas-bekas yang
dapat mereka pergunakan sebagai bahan untuk mengenali peristiwa yang aneh itu.
“Darah itu
menodai rerumputan di sekitar tempat ini, Guru,” desis Agung Sedayu kemudian.
“Apakah telah
terjadi pergulatan yang sengit?”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya,
“Mungkin bukan
pergulatan. Tetapi orang yang ketakutan itu telah meronta-ronta sehingga
darahnya memercik ke segala arah.”
“Lihat,”
tiba-tiba Swandaru berteriak.
Kiai Gringsing
dan Agung Sedayu pun segera berdiri dan mendekatinya.
“Darah itu
menitik menuju kemari.”
“Terus,” sambung
Agung Sedayu, “di sini pun terdapat bekas-bekasnya memanjang.”
“Tentu orang
itu sudah dibawa masuk ke dalam hutan itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya. Orang itu
sudah dibawa masuk kembali ke dalam hutan. Tetapi agaknya bukan binatang buas.”
“Atau ada
binatang jenis lain yang belum kita kenal, Guru?”
Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Hampir semua
jenis binatang di hutan ini sudah aku kenal. Memang mungkin ada satu dua yang
belum pernah aku lihat. Tetapi bekas-bekasnya pasti ada di sekitar tempat ini.
Bekas-bekas kaki atau kuku atau apa pun.”
“Apakah
mungkin dongeng tentang burung garuda raksasa itu benar-benar ada, Guru?”
“Garuda
raksasa itu pun pasti akan meninggalkan bekas. Sentuhan sayapnya atau kuku-kuku
kakinya. Tetapi kita tidak melihat bekas apa pun selain percikan-percikan
darah.”
Swandaru dan
Agung Sedayu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi mereka
sudah mulai dirayapi oleh kebimbangan menghadapi masalah yang bagi mereka
sangat membingungkan ini. Gurunya pun segera melihat kebimbangan yang melonjak
di dada murid-muridnya. Usia mereka dan pengalaman mereka yang masih terlampau
sedikit, memang masih memungkinkan keteguhan hati mereka tergoyahkan.
Karena itu,
maka katanya,
“Jangan kau
ributkan lagi masalah ini. Mungkin kita belum menemukan pemecahannya saja.
Tetapi hampir tidak ada rahasia lahiriah yang tidak terpecahkan.”
“Tetapi
orang-orang yang sudah lama di tempat ini pun masih belum dapat menduga apa
yang sebenarnya telah terjadi, selain anggapan mereka bahwa semuanya ini
disebabkan oleh hantu-hantu.”
“Itu adalah
satu dari banyak kemungkinan, tetapi bukan satu-satunya.”
Kedua murid
Kiai Gringsing itu pun kemudian tidak bertanya lagi. Tetapi mereka masih saja
memandangi percikan darah yang berserakan. Berbagai macam dugaan telah merayapi
dada mereka. Bahkan betapapun kecilnya, tetapi tumbuh juga pertanyaan, “Apakah
daerah ini benar-benar telah dijelajahi oleh hantu-hantu?”
Ketika
kemudian Kiai Gringsing kembali mengambil kapaknya, maka kedua muridnya itu pun
kembali pula kepada kerja mereka, meskipun dengan hati yang bimbang. Orang yang
ketakutan itu telah menumbuhkan pertanyaan yang masih belum terjawab. Apalagi
orang itu tiba-tiba saja telah hilang tanpa bekas.
“Inikah
sebabnya, maka tanah ini ditinggalkan oleh penggarap-penggarapnya yang
terdahulu?” bertanya Swandaru sambil berbisik kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Mungkin juga.
Tetapi kita tidak akan dapat meyakinkan hal itu.”
“Ya. Memang
benar juga kata guru bahwa mencari jawabnya pada hantu-hantu adalah salah satu
saja dari sekian banyak jawaban-jawaban yang lain.”
“Ya. Dan itu
termasuk rencana kita untuk memecahkan teka-teki ini. Seandainya kita
benar-benar berhadapan dengan hantu-hantu, maka kita pun pasti, hantu yang mana
yang mengganggu kerja yang besar dari Ki Gede Pemanahan ini.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia sudah tidak bertanya lagi.
Perlahan-lahan ia mulai mengangkat kapaknya, kemudian terayun pada
batang-batang pohon yang besar, yang harus mereka singkirkan.
“Badanku terasa
lungkrah,” desis Swandaru,
“tenagaku
tidak seperti biasanya.”
“Kau
terpengaruh oleh peristiwa yang baru saja terjadi,” sahut Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Memang, hal
itu mungkin sekali,” jawabnya.
“Aku tidak
dapat melepaskan pikiran itu. Orang itu telah dibawa oleh seseorang atau
katakan sesuatu yang sangat ditakutinya. Hal itu tentu merupakan suatu
peristiwa yang mengerikan sekali baginya. Mungkin juga tidak akan menjadi
sangat ketakutan seperti itu seandainya ia dihukum mati sama sekali.”
“Ya,” jawab
Agung Sedayu.
“Dan tidak
seorang pun yang mengetahui, apa yang telah terjadi atasnya kini. Apakah
tubuhnya telah menjadi santapan harimau lapar, atau oleh serigala liar, atau
memang diperlukan oleh hantu-hantu itu.”
Swandaru tidak
menyahut. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Dicobanya untuk melupakan apa yang
telah terjadi.
“Aku bukan
apa-apanya. Orang itu bukan keluarga atau sahabatku,” ia mencoba berkata di
dalam dirinya untuk mengurangi perasaan ibanya yang menghentak-hentak.
Namun Swandaru
tidak berhasil. Seperti juga Agung Sedayu, Swandaru selalu diganggu oleh
perasaan iba dan belas kasihan. Tetapi yang sama sekali tidak dimengerti oleh
Swandaru, badannya sendiri serasa menjadi tidak enak. Nafasnya serasa semakin
sesak, dan wajahnya menjadi panas. Dengan susah payah ia mencoba untuk bertahan
agar ia tidak mengganggu gurunya yang sedang asyik bekerja. meskipun Kiai
Gringsing sudah agak lanjut usia, tetapi tenaganya masih melampaui tenaga
anak-anak muda. Kapaknya terayun-ayun deras sekali.
“Kakang,”
desis Swandaru kemudian, “badanku benar-benar terasa tidak enak.”
“Tenanglah,”
jawab Agung Sedayu,
“kau sudah
terpengaruh oleh perasaanmu sendiri. Aku memang menaruh belas kasihan kepada orang
itu. Aku juga membayangkan apa yang kira-kira terjadi atasnya. Tetapi jangan
terlampau merasuk ke dalam hati.” Agung Sedayu berhenti sejenak,
“Kita memang
kadang-kadang merasa seolah-olah kita diterkam oleh perasaan tidak enak. Bukan
karena tubuh kita memang disentuh oleh penyakit, tetapi semata-mata karena
perasaan kita.”
“Tetapi sudah
tentu tidak sekuat ini, Kakang. Aku merasa seakan-akan tubuhku menjadi panas
seperti terbakar.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Tetapi ketika ia memandang wajah adik seperguruannya
dengan saksama, maka ia pun terkejut. Wajah itu menjadi pucat sekali.
“Apakah kau
merasa panas?”
Swandaru
mengangguk.
Disentuhnya
kening Swandaru dengan punggung telapak tangannya. Dan Agung Sedayu menjadi
semakin terkejut karenanya, “Dingin sekali.”
“Ya, tetapi di
dalam dadaku, serasa darahku telah mendidih.”
“Kita berkata
kepada guru.”
“Jangan. Aku
hanya akan mengganggu saja. Guru pasti akan berkata seperti yang kau katakan.
Aku terlampau dipengaruhi oleh perasaanku.”
“Aku kira kau
benar Swandaru, bahwa kau tidak sekedar dipengaruhi oleh perasaanmu.”
“Tetapi,
jangan kau katakan kepada guru,” Swandaru berhenti sejenak.
“Jangan-jangan
kita akan ditertawakannya.”
“Kenapa?”
“Kita sudah
menjadi ketakutan kepada hantu-hantu itu.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya,
“Tetapi
keadaanmu agaknya memerlukan perhatiannya.”
Swandaru tidak
menyahut. Tetapi kini tubuhnya serasa menggigil kedinginan meskipun di dalam
dadanya masih terasa panas sekali. Dengan kekuatan yang masih ada padanya masih
mencoba untuk bekerja, karena ia tidak mau disebut oleh gurunya sebagai anak
yang cengeng dan manja. Diangkatnya kapaknya tinggi-tinggi, kemudian
diayunkannya deras sekali. Tetapi untuk mengangkat kapak itu kembali, nafasnya
telah menjadi terengah-engah
“Jangan kau
paksa,” desis Agung Sedayu,
“beristirahatlah.
Keringatmu menjadi semakin banyak.”
Swandaru
menjadi semakin termangu-mangu. Tetapi tubuhnya memang menjadi lemah sekali,
sehingga mau tidak mau ia pun kemudian duduk di atas sebatang pohon yang rebah
sambil memijit-mijit keningnya yang sakit. Gurunya pun kemudian melihatnya
pula. Tetapi sama sekali tidak menyangka bahwa muridnya telah terserang oleh
sesuatu penyakit begitu cepatnya.
“Aku harus
mengatakannya kepada guru,” berkata Agung Sedayu kemudian.
“Kau menjadi
semakin pucat.”
“Jangan dulu,”
suara Swandaru menjadi dalam,
“biarlah aku
mencoba mengatasi perasaanku.”
“Jangan
menunggu sampai terlambat,” berkata Agung Sedayu.
“Aku kira kau
tidak sekedar sedang dipengaruhi oleh perasaanmu saja.”
“Kakang,” berkata
Swandaru dengan nafas yang terengah-engah,
“aku pernah
melihat orang yang terserang penyakit karena perasaannya seperti yang kau
katakan. Meskipun Guru hanya memberikan air biasa, yang diambilnya dari sumur,
dan disuruhnya ia minum, maka orang itu merasa badannya segera sembuh.”
“Tetapi tentu
tidak sekuat ini. Gejala-gejala yang tampak pada tubuhmu bukan sekedar karena
kau tidak dapat melupakan orang yang luka parah itu saja.”
Swandaru tidak
menyahut lagi. Kepalanya ditundukkannya dalam-dalam.
“Duduklah,”
desisnya.
Swandaru tidak
mencegahnya lagi. Dengan mata yang suram dipandanginya kakak seperguruannya
yang melangkah mendekati gurunya yang sedang bekerja keras.
“Apakah kalian
sudah lelah?” bertanya Kiai Gringsing.
“Sebentar lagi
matahari sudah menjadi semakin rendah. Kita akan segera beristirahat.”
“Guru,”
berkata Agung Sedayu dengan bersungguh-sungguh,
“Adi Swandaru
tiba-tiba saja menjadi sakit.”
Gurunya
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum,
“Swandaru
sangat dipengaruhi oleh peristiwa yang baru saja terjadi. Mungkin ia merasa
bersalah, karena ia sudah meninggalkan orang yang terluka itu seorang diri,
sehingga orang itu kemudian hilang tidak berbekas. Perasaan itulah yang agaknya
membuat ia menjadi seolah-olah sakit.”
“Guru,”
berkata Agung Sedayu, “tubuhnya dingin meskipun ia merasa panas.”
“Itulah
gejalanya.”
“Keringatnya
seakan-akan terperas dan wajahnya menjadi sangat pucat.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar