“Cobalah aku melihatnya.”
Kiai Gringsing
pun kemudian meletakkan alat-alat kerjanya, dan dengan tergesa-gesa mendapatkan
muridnya yang duduk tepekur.
“Kenapa kau
Swandaru?” bertanya Kiai Gringsing.
Swandaru mengangkat
wajahnya sambil menjawab,
“Tubuhku
rasa-rasanya menjadi sangat lemah Guru. Panas di dalam, tetapi aku menggigil
seperti orang kedinginan.”
Kiai Gringsing
terkejut melihat keadaan muridnya. Apalagi ketika ia menyentuh tubuhnya.
“Bagaimana,
Guru?” bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Anak ini
memang benar-benar sakit. Bukan sekedar dipengaruhi oleh perasaannya.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Sakit yang tiba-tiba itu telah menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan yang tidak segera dapat terjawab.
“Apakah kau
makan sesuatu Swandaru?” bertanya gurunya.
Swandaru
menggelengkan kepalanya, “Tidak, Guru.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Dipijit-pijitnya tengkuk muridnya. Katanya kemudian,
“Berdirilah.”
Tetapi tubuh
Swandaru menjadi sangat lemah. meskipun demikian dipaksanya juga untuk berdiri
dibantu oleh Agung Sedayu. Dengan teliti Kiai Gringsing memeriksa tubuh
Swandaru. Setiap bagian dilihatnya dengan saksama, kalau-kalau ada sesuatu yang
dapat dipakainya sebagai pancadan untuk mengenai penyakitnya. Tetapi Kiai
Gringsing tidak menemukan sesuatu.
“Bibirnya
menjadi biru sekali, Guru,” desis Agung Sedayu.
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk.
“Duduklah,”
katanya kemudian. Dan di antara terdengar dan tidak, orang tua itu bergumam,
“Menurut
tanda-tanda di badanmu, kau telah keracunan.”
“Keracunan?”
desis Swandaru, “tetapi, aku tidak makan apa-apa.”
“Keracunan
tidak hanya terjadi karena makanan.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya,
“Mungkin kau
digigit serangga atau binatang-binatang berbisa lainnya.”
“Aku tidak
merasa, Guru.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia berkata,
“Tundukkan
kepalamu.”
Swandaru tidak
mengerti maksud gurunya, sehingga dengan termangu-mangu ia memandanginya
“Tundukkan
kepalamu,” sekali lagi gurunya berkata.
Dengan
ragu-ragu Swandaru menundukkan kepalanya, ia terperanjat ketika gurunya
kemudian mencekam tengkuknya. Semakin lama semakin keras, sehingga hampir saja
ia tercekik karenanya. Sejenak kemudian perutnya merasa mual sekali.
Seakan-akan ada sesuatu yang bergejolak di dalam perut itu. Semakin lama
semakin mual, sehingga pada suatu saat ia tidak dapat bertahan lagi. Dengan
serta-merta, maka anak muda yang gemuk itu pun muntah-muntah. Tetapi sekali
lagi ia terperanjat, seperti juga Agung Sedayu. Dari mulut Swandaru selain
keluar isi perutnya, di antaranya meloncat pula gumpalan-gumpalan darah yang
sudah menjadi kehitam-hitaman.
“Darah, Guru,
darah,” suara Agung Sedayu gemetar.
Kiai Gringsing
pun menjadi tegang pula. Karenanya,
“Ternyata
Swandaru telah benar terserang oleh racun yang membahayakan jiwanya.”
Karena itu,
maka Kiai Gringsing itu pun memijit lebih keras lagi. Sebagai seorang dukun
yang berpengalaman, Kiai Gringsing dapat menyentuh urat-urat leher Swandaru,
yang kemudian dapat membuatnya muntah.
“Muntahlah
Swandaru,” berkata gurunya,
“jangan kau
tahan-tahan lagi. Semakin banyak kau dapat mengeluarkan isi perutmu, akibatnya
akan menjadi lebih baik.
Swandaru
mengangguk lemah. Terasa sesuatu berputar lagi di perutnya, dan sejenak
kemudian gumpalan-gumpalan darah yang sudah menjadi kehitam-hitaman meloncat
keluar, disusul oleh darah yang merah segar.
“Kau
benar-benar keracunan,” desis gurunya, “racun yang termasuk kuat.”
Swandaru
menjadi semakin lemah. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya.
“Berbaringlah
di atas pohon besar ini,” berkata gurunya. Swandaru pun kemudian dipapah oleh
Agung Sedayu dan dibaringkannya di atas sebatang pohon besar yang telah roboh.
“Aturlah
pernafasanmu,” berkata gurunya kemudian.
“Racun ini
harus dilawan lebih dahulu, agar kau tidak menjadi semakin tidak berdaya
menghadapinya.”
Swandaru tidak
menjawab. Hanya matanya sajalah yang bergerak-gerak.
Agung Sedayu
menjadi berdebar-debar. Tanpa disadarinya, angan-angannya terbang ke dunia yang
lain. Anak itu sedang mempersiapkan dirinya untuk melamar seorang gadis yang
ditinggalkannya di Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian ia akan menggantikan
ayahnya seorang Demang di Sangkal Putung, atau mungkin ia akan memilih
memerintah Tanah Perdikan Menoreh? Sekilas justru terbayang Pandan Wangi yang
menanti keluarga Swandaru datang kepada keluarganya di Menoreh. Pandan Wangi
yang duduk bertopang dagu di tangga pendapa rumahnya. Bukan saja Pandan Wangi,
tetapi juga ayah dan ibunya. Kalau Sekar Mirah telah sampai di rumahnya, maka
ia pasti akan segera berceritera tentang kakaknya yang gemuk itu.
“Kini ayah dan
ibunya bahkan juga Sekar Mirah dan Sumangkar, pasti sedang menunggu kita di
sana,” ia berkata di dalam hatinya.
Agung Sedayu
itu tersentak ketika ia mendengar Swandaru berdesah. Wajahnya yang pucat
menjadi semakin putih, sedang bibirnya tampak menjadi semakin biru.
“Bagaimana,
Guru?” tiba-tiba ia bertanya.
Gurunya masih
merenungi muridnya yang keracunan itu sejenak.
“Apakah …..,”
kata Agung Sedayu tidak dilanjutkannya.
“Tidak,” desis
gurunya,
“kau akan
menghubungkan hal ini dengan hantu-hantu?”
Agung Sedayu
tidak menyahut.
“Sama sekali
tidak ada hubungannya dengan hantu-hantu. Anak ini benar-benar telah keracunan.
Aku akan menunggu sesaat. Kemudian aku akan memberikan obat kepadanya, setelah
gejolak di dalam perutnya mereda.”
Agung Sedayu
masih tetap berdiam diri. Dengan cemasnya ia memandang wajah adik
seperguruannya yang semakin pucat, sedang nafasnya serasa menjadi semakin
sesak.
“Kenapa Guru
belum memberinya obat,” ia bertanya di dalam hatinya, tetapi ia tidak berani
mengucapkannya,
“Guru pasti
jauh-jauh lebih tahu daripada aku.”
Sejenak
kemudian, Kiai Gringsing itu pun memijit-mijit perut Swandaru. Ditelusurnya
bagian-bagian di sekitar pusarnya. Kemudian katanya,
“Belum
terlambat. Untung kalian segera mengatakannya kepadaku. Racun ini termasuk
racun yang kuat.”
Agung Sedayu
mengangguk. Tetapi ia hampir tidak tahan lagi. Gurunya merasa bersyukur bahwa
keadaan Swandaru masih belum terlambat, tetapi kenapa ia berdiam diri saja?
Apakah Kiai Gringsing itu memang sedang menunggu agar terlambat? Tetapi sekali
lagi Agung Sedayu menjawab sendiri di dalam hatinya,
“Guru pasti
lebih tahu daripadaku.”
Ternyata bahwa
sejenak kemudian Kiai Gringsing itu pun mengambil sesuatu dari tlekeman di ikat
pinggangnya. Sebuah bumbung kecil yang disumbatnya dengan cempol kelapa. Dari
dalam bumbung kecil itu, Kiai Gringsing mengeluarkan dua butir obat yang telah
dikeringkan menjadi butiran-butiran yang kecil.
“Swandaru,” ia
berdesis.
Swandaru
menggerakkan kepalanya, tetapi ia tidak menjawab. Penyakit yang tiba-tiba
mencekamnya itu rasa-rasanya seperti penyakit yang sudah bertahun-tahun hinggap
di tubuhnya.
“Apakah
perutmu sudah tenang?”
Swandaru
mengangguk kecil.
“Sekarang
makanlah obat ini, agar daya tahan tubuhmu bertambah kuat.”
Swandaru
membuka mulutnya perlahan-lahan. Kemudian Kiai Gringsing melontarkan dua butir
obat itu ke dalam mulut Swandaru. Sejenak Swandaru tidak bergerak. Namun
kemudian ia menggeliat sambil berdesah.
“Guru,” dengan
serta merta Agung Sedayu bergeser maju.
“Tenanglah
Sedayu, benturan antara dua macam kekuatan telah terjadi di dalam tubuh
Swandaru. Itulah sebabnya, badannya akan menjadi panas sekali. Tetapi setelah
itu, mudah-mudahan ia akan berangsur baik. meskipun untuk beberapa hari ia
harus beristirahat.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun seakan-akan di luar sadarnya ia berkata,
“Apakah yang
akan dikatakan orang tentang Swandaru?”
“Tentu, mereka
akan menghubung-hubungkannya dengan hantu. Apalagi kalau mereka melihat atau
mendengar tentang orang yang terluka dan kemudian hilang itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun betapa pun juga, ia sendiri pun telah
terpengaruh pula oleh peristiwa-peristiwa yang baru saja terjadi.
“Untunglah
bahwa Guru seorang ahli obat-obatan. Kalau tidak, entahlah, apa yang akan
terjadi atas Swandaru. Mungkin keadaannya akan menjadi semakin jelek dan
berbahaya,” berkata Agung Sedayu dalam hatinya.
Dalam pada itu
Swandaru tampaknya menjadi semakin gelisah. Meskipun matanya terpejam, tetapi
tubuhnya selalu bergerak dan menggeliat. Agaknya perasaan sakit yang sangat
telah mengganggunya. Agung Sedayu berdiri termangu-mangu di samping adik
seperguruannya. Wajahnya membayangkan kecemasan yang sangat. Tetapi ia tidak
berani bertanya lagi, karena gurunya pun menjadi tegang pula karenanya. Ketika
Kiai Gringsing menyentuh kening Swandaru, terasa betapa tubuh anak itu menjadi
panas. Sekali-sekali terdengar ia menahan desah di mulutnya. Agung Sedayu
menengadahkan wajahnya ketika ia mendengar suara burung kedasih di kejauhan.
Terasa desir yang lembut menyentuh dadanya. Biasanya burung kedasih berbunyi di
malam hari. Tetapi kini, seperti kemarin, burung itu berbunyi tiada hentinya.
“Kalau
Swandaru tidak sedang sakit, ia pasti berteriak keras-keras untuk mengejutkan
burung itu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Ketika Agung
Sedayu berpaling, memandang wajah adik seperguruannya itu pula, maka dilihatnya
Swandaru sudah menjadi agak tenang, meskipun wajahnya masih tampak pucat.
“Bagaimana,
Guru?” tanpa sesadarnya ia bertanya.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku harap
keadaannya akan menjadi bertambah baik.”
Agung Sedayu
pun tidak bertanya lagi. Dengan penuh pengharapan ia menunggui adik
seperguruannya yang tampak menjadi bertambah baik. Nafasnya sudah menjadi
teratur, dan wajahnya pun tidak begitu pucat lagi.
“Bagaimana
Swandaru bisa keracunan, Guru,” Agung Sedayu bertanya sekenanya saja.
Gurunya
menggeleng,
“Aku tidak
tahu. Ia tidak merasa digigit atau disengat apa pun.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bergeser maju sambil bertanya,
“Guru, apakah
ada kemungkinan orang yang terluka parah itu juga keracunan?”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Aku tidak
tahu. Tetapi menilik lukanya, ia benar-benar telah terkena senjata seperti yang
dikatakannya.”
“Bukankah ia
mengatakan bahwa hantu itu menggigit tengkuknya? Dan apa yang disebutnya hantu
itu sesuatu yang mengandung racun?”
Kiai Gringsing
tidak menjawab. Keningnya menjadi berkerut-merut. Sejengkal ia bergeser maju.
Kemudian diamatinya Swandaru dengan saksama. Tiba-tiba Kiai Gringsing itu
tersentak. Disambarnya tangan Swandaru. Dilihatnya tangan itu dengan tajamnya.
Pergelangan, kemudian punggung telapak tangan.
“Kenapa,
Guru?” Agung Sedayu bertanya dengan herannya.
Kiai Gringsing
tidak segera menjawab. Kini dilihatnya bagian-bagian tubuh Swandaru yang lain. Ketika
Kiai Gringsing melihat sesuatu di leher Swandaru, ia pun mengerutkan keningnya.
Sebuah luka yang hampir tidak nampak melekat di leher anak yang gemuk itu.
“Luka yang
kecil ini pasti cukup dalam,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Apakah Guru
menemukan sesuatu?” bertanya Agung Sedayu.
“Mudah-mudahan,”
jawab Kiai Gringsing. Tetapi ia belum mengatakan apa yang dilihatnya.
Agung Sedayu
kemudian dengan tegangnya memandang gurunya yang sedang merenungi sebuah bintik
yang kehitam-hitaman di leher Swandaru itu. Kemudian dengan hati-hati Kiai
Gringsing memijit-mijit bagian leher Swandaru di sekitar bintik yang
kehitam-hitaman itu. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya
kepalanya terangguk-angguk kecil. Katanya,
“Luka inilah
sumber keracunan yang telan menjalar di seluruh tubuh Swandaru.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya,
“Darimana ia
mendapatkan luka itu, Guru?”
“Itulah yang
masih harus diselidiki,” jawab gurunya. Setelah merenung sejenak, maka ia
melanjutkannya,
“Aku mempunyai
beberapa macam dugaan. Mungkin di hutan itu ada sejenis pepohonan yang beracun.
Tanpa disadarinya Swandaru telah tersentuh oleh durinya yang dapat memberikan
racun ke dalam tubuhnya. Mungkin juga sejenis binatang kecil yang tampaknya
tidak berbahaya sama sekali, tapi ternyata lewat ludah atau giginya, binatang
itu telah meracuninya, atau ……,” Kiai Gringsing tidak melanjutkannya.
“Atau apa,
Guru?”
Kiai Gringsing
terdiam sejenak. Tampak keragu-raguan membayang di wajahnya.
“Agung
Sedayu,” katanya kemudian,
“mudah-mudahan
aku berhasil melenyapkan racun dari tubuh adik seperguruanmu. Tampaknya ia
berangsur baik. Nafasnya sudah mulai teratur dan darahnya sudah mulai beredar
dengan wajar.”
“Ya, Guru.”
“Aku memang
mempunyai dugaan yang barangkali kurang dapat dipercaya. Seperti katamu, orang
yang luka parah itu memang mungkin mengandung racun.”
“Jadi?”
“Bukankah
orang itu telah dicengkam oleh ketakutan yang luar biasa sehingga ia telah
mendekap Swandaru? Nah, dalam keadaan yang tidak terkendali, di dalam puncak
ketakutannya, ia telah melukai leher Swandaru. Di pergelangan tangannya aku
melihat juga goresan-goresan yang kehitam-hitaman, tetapi tidak cukup dalam
untuk menyalurkan racun ke dalam darah. Sedang luka di leher yang kecil namun
dalam inilah agaknya pintu yang telah dilalui racun itu.”
“Jadi, apakah
maksud Guru orang itu juga keracunan?”
“Mungkin.
Mungkin seperti yang dikatakan, lehernya digigit hantu, meskipun kenyataannya
tidak setepat seperti yang dikatakan. Dalam puncak ketakutannya, ia tidak dapat
membedakan apa saja yang telah melukainya itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun ia masih belum begitu jelas, apakah
yang sebenarnya telah terjadi. Namun agaknya keadaan Swandaru yang semakin
baik, telah membuatnya menjadi agak tenteram. Meskipun demikian ia masih
bertanya kepada gurunya,
“Guru, tetapi
apakah orang yang keracunan itu dapat meracuni Swandaru dengan luka yang
dibuatnya tanpa sengaja itu?”
“Hal itu
memang mungkin meskipun masih harus dibuktikan kebenarannya,” jawab gurunya.
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak bertanya lagi.
Sejenak mereka
saling berdiam diri. Swandaru yang sakit itu telah berangsur menjadi baik,
meskipun tubuhnya masih terasa lemah sekali. Dalam keheningan itulah tiba-tiba
mereka mendengar suara tertawa yang seakan-akan membelah Alas Mentaok. Tidak
begitu keras, namun gemanya yang memantul dari segenap arah, membuat
seakan-akan orang yang mendengarnya telah terlibat di dalam suatu kepungan
suara hantu yang dahsyat. Agung Sedayu kemudian berdiri tegak dengan wajah yang
tegang. Untuk sementara ia mengalami kesulitan, dari manakah sebenarnya sumber
suara itu. Namun kemudian ia berdesis,
“Tidak
terlampau dekat, Guru.”
Kiai Gringsing
yang telah berdiri pula, mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Ya, tidak
terlampau dekat.”
“Suara apakah
itu, Guru?”
“Suara tertawa
seseorang. Apakah kau ragu-ragu?”
Agung Sedayu
tidak menjawab. Dan Kiai Gringsing berkata seterusnya,
“Kau sudah
mulai ragu-ragu. Apakah kau sangka suara itu suara hantu?”
Agung Sedayu
tidak menjawab. Tetapi memang tumbuh pengakuan di dalam dirinya, bahwa ia
memang mulai memikirkan, apakah mereka memang benar-benar sedang dilingkari
oleh hantu-hantu. Suara tertawa itu pun kemudian hilang dengan sendirinya,
sehingga hutan itu pun telah menjadi sepi kembali. Desah angin yang lembut
sajalah yang terdengar mengusik dedaunan. Sementara itu langit pun telah
menjadi semakin buram, karena matahari yang telah mengarungi hampir seluruh
jalannya itu telah hampir sampai di batas cakrawala.
“Kita harus
segera kembali,” berkata Kiai Gringsing,
“kalau keadaan
menjadi semakin gelap, sukarlah kita membawa Swandaru melalui jalan-jalan yang
masih sulit ini.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia memang ingin segera menyingkirkan
Swandaru. Bukan karena ketakutan yang mencekam, tetapi apabila anak yang sakit
itu sudah tidak berada di tempat terbuka yang aneh ini, maka mereka akan
leluasa untuk berbuat apa pun, apalagi apabila keadaan memaksa.
Demikianlah
maka Kiai Gringsing pun berkata kepada Swandaru,
“Swandaru,
apakah keadaanmu sudah bertambah baik?”
Swandaru
menganggukkan kepalanya.
“Baiklah.
Marilah, kau akan kami papah pulang ke perkemahan. Tetapi ingat, kalau
seseorang bertanya kepadamu, maka jawablah bahwa kau telah digigit oleh seekor
ular Pudakgrama. Ular yang mempunyai racun yang cukup keras, tetapi masih
terlawan.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya pula, sedang Agung Sedayu bertanya,
“Kenapa
digigit ular, Guru?”
“Jangan
membuat orang-orang di perkemahan dan sekitarnya itu menjadi semakin ketakutan.
Kalau kalian menceriterakan apa adanya, maka mereka akan langsung menanggapi
keadaan ini dengan menghubungkannya langsung kepada hantu-hantu itu.”
“Tetapi apakah
mereka tidak akan mendapat gambaran yang salah sehingga mereka tidak dapat
mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan yang sama?”
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Hanya daerah
inilah yang selalu ditinggalkan oleh para pekerja yang sedang membuka hutan
itu. Karena daerah ini adalah daerah yang paling ganas bagi mereka. Daerah yang
mereka anggap paling banyak diraba oleh tangan-tangan hantu yang sangat mereka
takuti itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia dapat mengerti maksud gurunya, meskipun
di sudut hatinya yang paling dalam, memercik pula keragu-raguan dan kecemasan. Sejenak
kemudian maka Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun segera memapah Swandaru yang
sudah menjadi berangsur baik itu kembali ke perkemahan. Karena jalan yang harus
mereka lewati adalah jalan-jalan yang sulit, maka mereka pun maju dengan
lambannya. Sekali-sekali mereka masih harus melangkahi pohon-pohon yang
membujur di tengah-tengah jalan, kemudian menyusup di bawah rimbunnya perdu
yang liar, dan bahkan kadang-kadang berduri.
“Hati-hatilah,”
desis Kiai Gringsing,
“ada
kesengajaan untuk membuat kita menjadi takut.”
“Bagaimana
Guru mengetahui?”
“Suara burung
kedasih dan suara tertawa itu. Mungkin juga bukan kita bertigalah yang
dimaksud, tetapi orang yang ketakutan dan hilang itu bersama dengan beberapa
orang kawan-kawannya. Tetapi mungkin juga, memang kitalah sasaran mereka kali
ini.”
“Sasaran
hantu-hantu itu?”
“Untuk
sementara, baiklah kita sebut demikian.”
“Kenapa untuk
sementara Guru?”
Kiai Gringsing
tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk. Demikianlah maka mereka pun
perlahan-lahan semakin dekat dengan perkemahan. Namun sebelum mereka sampai ke
ujung hutan, maka orang-orang yang bekerja di tempat-tempat yang sudah semakin
bersih segera melihat mereka. Karena itu, berlari-larilah orang-orang itu
menyongsongnya sambil bertanya berebut dahulu,
“Kenapa dengan
anakmu itu, Truna Podang?”
Kiai Gringsing
berhenti sejenak. Dipandanginya orang-orang yang sudah mulai berkemas dan yang
kini mengerumuninya itu sejenak.
“Kenapa he,
kenapa?”
Kiai Gringsing
tidak segera menjawab. Ditatapnya setiap wajah yang menjadi tegang. Dari sorot
mata mereka Kiai Gringsing menangkap siratan perasaan mereka. Ketakutan. mSwandaru
yang lemah masih tergantung pada guru dan kakak seperguruannya. Suara orang
yang mengerumuninya terdengar semakin ribut. Dan mereka terdiam ketika Kiai
Gringsing menjawab,
“Anakku telah
digigit ular.”
“Digigit
ular?” hampir serentak orang-orang itu mengulang.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia menunggu. Kemudian didengarnya nafas
yang berdesah dari hidung mereka yang mengerumuninya. Bahkan ada seseorang yang
berkata tanpa disadarinya,
“Syukurlah.”
“He, kenapa
kau berkata begitu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Maksudku itu
lebih baik daripada digigit hantu. Digigit ular masih mungkin diobati. Tetapi digigit
hantu?” orang itu mengangkat bahunya.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya wajah murid-muridnya sejenak,
kemudian katanya,
“Ya. Syukurlah
bahwa yang menggigit anakku adalah ular. Bukan hantu.”
Orang-orang
yang mengerumuninya mengangguk-angguk. Tetapi sejenak kemudian salah seorang
bertanya,
“Tetapi,
meskipun anakmu hanya digigit ular, bagaimana keadaannya? Apakah ia sudah
berangsur baik atau masih perlu mendapat pertolongan? Di perkemahan ada seorang
dukun yang pandai, yang mungkin dapat mengobati bisa ular. Tetapi kalau
sakitnya disebabkan oleh hantu-hantu, kau harus berhubungan dengan dukun yang
lain.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian,
“Sementara
anakku sudah tertolong. Tetapi baiklah aku akan menghubungi dukun yang pandai
itu.”
“Baiklah.
Baiklah. Marilah kita pulang. Kami pun telah mulai berkemas-kemas pula.”
Maka Kiai
Gringsing pun kemudian meneruskan langkahnya sambil memapah Swandaru
bersama-sama dengan orang-orang yang memang telah selesai bekerja untuk hari
itu.
“Itulah
rumahnya. Ia sudah berhasil membuat rumah sendiri meskipun kecil,” berkata
orang yang mengenal dukun yang pandai itu. “Datanglah kepadanya.”
“O, ia tidak
tinggal di perkemahan?”
“Beberapa
orang yang tinggal dekat dengan perkemahan, menempati rumah mereka
masing-masing. Tetapi setiap rumah masih dihuni oleh dua atau tiga keluarga
untuk mengurangi ketakutan di malam hari. Sedang rumah-rumah yang meskipun
sudah siap ditempati, tetapi terletak agak jauh, ternyata sampai saat ini masih
tetap kosong.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Terima
kasih,” katanya, “aku akan singgah ke rumah itu.”
Kiai Gringsing
pun kemudian membawa Swandaru singgah ke rumah yang ditunjukkan kepadanya.
Perlahan-lahan ia mengetuk pintu rumah itu yang masih sedikit terbuka. Seorang
yang berjanggut dan berambut putih menjengukkan kepalanya dari lubang pintunya.
Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya,
“He, siapa
kau?”
“Kiai,”
berkata Kiai Gringsing,
“anakku telah
keracunan. Apakah Kiai sudi mengobatinya?”
“He, anakmu?”
“Ya, anakku,
Sangkan.”
Tetapi jawab
yang didengarnya telah membuat hati Kiai Gringsing dan kedua muridnya kecewa,
“Tunggu.
Bukankah kau lihat bahwa aku baru saja datang dari kerja seperti kalian? Aku
masih belum mandi.”
Kiai Gringsing
menjadi heran. Seorang dukun seharusnya lebih mementingkan orang-orang yang
sakit daripada membersihkan diri betapa pun kotor tubuhnya. Apalagi keracunan. Karena
itu ia mencoba menjelaskan,
“Kiai, anakku
telah keracunan. Aku sudah berhasil menahannya untuk sementara. Tetapi aku
memerlukan seorang dukun untuk meyakinkan kerja racun yang ada di dalam tubuh
anakku.”
“Tunggu.
Tunggu!” orang itu membentak.
“Lihat, aku
belum meletakkan parang pemotong kayu ini. Ikat kepalaku pun masih tersangkut
di leher. Kalau kau tidak sempat menunggu, pergilah.”
Kiai Gringsing
benar-benar menjadi kecewa. Niatnya untuk mencoba bersama-sama mempelajari
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi atas Swandaru telah lenyap. Dengan seorang
kawan yang mengerti tentang berbagai macam racun ia mengharap dapat mencari
jawab atas apa yang telah terjadi itu. Tetapi agaknya orang ini tidak dapat
diajak berbicara dengan baik. Meskipun demikian sekali lagi Kiai Gringsing
masih mencoba,
“Kiai anakku
memerlukan pertolongan segera.”
“O, begitu,”
jawabnya.
“Carilah orang
lain yang bersedia memberikan pertolongan segera.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Terdengar Agung Sedayu berdesis,
“Kita pergi
saja, Guru.”
Kiai Gringsing
menjadi ragu-ragu. Tetapi ia terpaksa mengusap dadanya ketika orang yang berjanggut
dan berambut putih itu lenyap masuk ke dalam tanpa mempersilahkan mereka duduk.
“Sedayu,”
bisiknya,
“memang
perlakuan ini cukup menyakitkan hati, tetapi kalau benar-benar ia seorang yang
menguasai masalah ini, mungkin aku akan mendapatkan petunjuk lebih banyak
tentang keanehan-keanehan yang telah terjadi. Orang ini telah cukup lama
tinggal di sini. Mungkin ia mempunyai banyak bahan yang dapat memberikan jalan
atau setidak-tidaknya petunjuk.”
“Tetapi
sikapnya, Guru. Apakah orang itu dapat diajak berbicara?”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Di samping orang yang kekurus-kurusan, kemudian
orang yang bertubuh tinggi dan kekar, sekarang ia menemukan satu orang lagi
yang telah menarik perhatiannya. Namun dengan demikian keinginan Kiai Gringsing
kini justru beralih untuk mengenal orang itu lebih dekat. Karena itu maka ia
pun menjadi termangu-mangu sejenak. Di satu pihak, Agung Sedayu yang merasa
tersinggung ingin segera meninggalkan tempat itu, namun di lain pihak, ia akan
mendapat kesempatan untuk mengenal dukun yang pandai itu.
“Bagaimana,
Guru?” bertanya Agung Sedayu.
“Kasihan Adi
Swandaru, ia harus segera berbaring dan beristirahat. Tubuhnya masih terlampau
lemah.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih berdiri saja di tempatnya. Agung
Sedayu pun akhirnya menjadi termangu-mangu juga. Ia tidak mengerti maksud
gurunya yang sebenarnya.
“Sedayu,”
berkata gurunya,
“ambil ketepe
belarak itu. Kita baringkan Swandaru sebentar sambil menunggu.”
“Jadi, jadi
Guru ingin juga bertemu dengan orang itu?”
Kiai Gringsing
menganggukkan kepalanya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak berkata sesuatu.
“Duduklah
sebentar, Swandaru,” berkata gurunya,
“aku layani
kau sejenak, sementara Agung Sedayu mengambil ketepe belarak itu. Meskipun
sudah agak kering, tetapi kau dapat berbaring sambil menunggu. Orang ini sangat
menarik perhatianku.”
Swandaru
menganggukkan kepalanya, sedang Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain daripada
meletakkan Swandaru duduk di tanah, dilayani oleh gurunya. Kemudian ia sendiri
berjalan dengan penuh keragu-raguan mengambil ketepe di sudut rumah itu. Sejenak
Swandaru terbaring diam. Sementara Kiai Gringsing berbisik kepada Agung Sedayu,
“Orang inilah
yang sekarang menarik perhatianku. Aku tidak mau dibayangi oleh teka-teki dan
rahasia yang semakin lama menjadi semakin banyak dan kisruh.”
Agung Sedayu
pun kemudian dapat mengerti maksud gurunya. Karena itu, betapa ia merasa
tersinggung, namun ditahankannya juga hatinya untuk duduk menunggu dukun yang
sedang membersihkan dirinya itu.
“Begitu lama,
Guru. Hari sudah menjadi semakin gelap.”
“Kebetulan,
sekali,” jawab gurunya,
“bukankah kita
memang ingin melihat gelap?”
“Tetapi
Swandaru?”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian.
“Keadaannya
tidak mengkhawatirkan.”
Agung Sedayu
tidak dapat membantah lagi. Gurunya pasti sudah mengetahui apa yang sebaiknya
dilakukan untuk kepentingan Swandaru yang sedang sakit itu.
“Tetapi
pesanku kepada kau berdua,” berkata gurunya kemudian,
“jangan
terpengaruh oleh ceritera hantu itu. Aku tidak mengatakan bahwa kita harus
menolak kepercayaan bahwa hantu itu memang ada. Tetapi kita harus berdiri di
atas suatu kepercayaan, bahwa kita selalu menyerahkan nasib kita kepada
Sumbernya. Sumber Yang Tunggal. Pusat dari segala kekuasaan. Mungkin
hantu-hantu itu memang mempunyai kekuasaan untuk melakukan sesuatu, tetapi
kekuasaannya sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan kekuasaan Yang Maha
Kuasa. Karena itu, apabila kita percaya sepenuhnya, tanpa ragu-ragu, maka kita
akan mendapat perlindungan-Nya . Itulah sebabnya aku sama sekali tidak
terpengaruh oleh berita tentang hantu-hantu itu, meskipun aku tidak menolak
kemungkinan itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Swandaru yang berbaring itu pun
mengangguk-angguk pula. Keduanya merasa, seakan-akan gurunya itu melihat getar
jantungnya. Keragu-raguan yang menyusup di dalam dada mereka. Bahkan hampir
menjadi suatu kepercayaan, bahwa mereka memang harus menarik diri dari kerja
yang sedang mereka lakukan, karena hantu-hantu itu tidak membenarkannya. Dalam
pada itu, sejenak kemudian laki-laki yang berkumis dan berambut putih itu pun
muncul dari balik pintu. Kini pakaiannya telah diaturnya dengan rapi. Ikat
kepalanya sudah dikenakannya, menutupi rambutnya yang sudah hampir seluruhnya
menjadi uban.
“Ternyata
kalian masih menunggu,” desisnya.
“Ya, Kiai,
kami masih menunggu karena kami memerlukan perawatan.”
“Anakmukah
yang keracunan?”
“Ya, Kiai.”
“Kenapa?”
“Mungkin
digigit ular. Mungkin oleh sebab-sebab yang lain.”
“Gila. Kenapa
kau tidak dapat mengatakan dengan pasti?”
“Kami memang
tidak pasti. Tiba-tiba saja anakku, Sangkan ini, menjadi muntah-muntah.”
“Darah?”
“Ya, Kiai.”
“Di tempat
kerjamu yang terpencil itu?”
“Ya.”
Tiba-tiba
orang itu menjadi tegang. Lalu katanya,
“Kenapa kau
datang kemari? Itu sama sekali bukan urusanku. Aku tidak mau terlibat di dalam
persoalan dengan kekuasaan yang tidak kasat mata itu.”
“Kekuasaan apa
yang Kiai maksudkan?”
“Kekuasaan
hantu-hantu.”
“Tidak, Kiai.
Ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Anakku keracunan seperti tanda-tanda
keracunan yang pernah aku dengar. Untunglah bahwa aku masih mempunyai sebutir
obat pemunah racun yang aku bawa dari padukuhanku dahulu.”
“Tetapi kenapa
kau dapat mengatakan bahwa anakmu digigit ular? Apakah anakmu merasakan gigitan
itu?”
“Tidak, Kiai.
Memang tidak. Ular adalah salah satu dari kemungkinan masuknya racun. Mungkin
serangga-serangga berbisa atau mungkin semacam duri-durian. Atau apa pun.”
“Hantu. Aku
sudah pasti.”
“Kalau
sakitnya disebabkan oleh hantu-hantu, maka obat pemunah racun yang tinggal
sebutir itu pasti tidak akan berdaya. Tetapi nyatanya ia berangsur baik.”
“Kalau anakmu
sudah berangsur baik, kenapa ia kau bawa kemari.”
“Sudah aku
katakan, aku ingin meyakinkannya, Kiai.”
Orang tua yang
berkumis dan berambut putih itu memandang Swandaru yang terbaring di tanah
beralaskan ketepe belarak yang sudah kering. Sedang langit pun telah menjadi
semakin buram. Satu-satu bintang muncul seakan-akan dari ketiadaan.
“Sebentar
lagi, malam yang kelam akan turun. Bagaimana kalian akan kembali?”
“Apakah kami
dapat bermalam di pondok ini Kiai. Di mana pun kami dapat tidur nyenyak.”
“Gila kau,”
bentak orang itu,
“rumah ini
sudah dihuni oleh tiga keluarga. Aku sendiri tidak mempunyai sanak dan kadang.”
“Kalau begitu,
baiklah kami akan segera kembali ke barak, apabila kami sudah mendapat
keyakinan bahwa anakku akan menjadi baik.”
“Kalian memang
orang-orang yang sombong. Kalian berpura-pura menjadi pemberani. Tetapi
sebenarnya kalian adalah penakut yang paling licik.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya,
“Kami memang
bukan pemberani,” jawabnya,
“itulah
sebabnya aku mohon diperkenankan bermalam di sini. Kalau tidak, sudah tentu
kami harus kembali ke barak.”
“Persetan,”
geramnya sambil mendekati Swandaru. Perlahan-lahan ia pun berjongkok di samping
anak yang gemuk itu. Dirabanya, kemudian perut dan tangannya.
Menilik
sentuhan tangannya, Kiai Gringsing segera mengetahui bahwa sebenarnya orang itu
memang memahami ilmu obat-obatan. Namun sampai berapa jauh ia menguasai
masalahnya itulah yang ingin diketahuinya.
“Obatmu cukup
baik,” berkata orang itu,
“tetapi kenapa
sebenarnya anakmu ini?”
Kiai Gringsing
menggeleng, “Aku tidak tahu pasti, Kiai.”
“Jadi tidak
digigit ular?”
“Seperti yang
aku katakan, ular hanyalah salah satu kemungkinan.”
Namun
tiba-tiba wajah orang tua itu menjadi tegang. Katanya,
“Kau dengar
suara dari jantungnya?”
Kiai Gringsing
menjadi heran.
“Ia tidak
digigit ular. Memang tidak.”
“Lalu?”
“Benar ia
keracunan,” lalu orang itu menunjuk noda darah di pakaian Swandaru yang sudah
kering dan tidak jelas lagi karena warnanya telah menjadi kehitam-hitaman,
“darah apa
ini?”
Kiai Gringsing
menjadi ragu-ragu sejenak. Namun, kemudian ia berkata,
“Darahnya
sendiri. Tetapi itu tidak ada hubungan apa-apa dengan sakitnya. Ketika ia
kemarin terkena parang, maka tanpa disadarinya, diusapkannya tangannya ke
bajunya.”
“Kemarin?”
“Ya,” jawab
Kiai Gringsing.
“Kenapa
sekarang baju yang bernoda darah ini masih dipakainya saja?”
“Anak ini
tidak mempunyai pakaian yang lain.”
“Jangan
bohongi aku. Darah ini bukan darah kemarin. Aku adalah dukun yang baik.”
Kiai Gringsing
menjadi berdebar-debar. Seandainya tidak digelapnya malam yang sedang turun,
tampak betapa wajahnya menjadi merah. Mungkin orang lain tidak dapat membedakan
apakah yang melekat di baju Swandaru itu darah atau getah pepohonan atau
kotoran dan noda apa pun juga karena telah menjadi kering. Tetapi seorang dukun
akan dapat membedakannya, bahwa darah itu sudah lama melekat atau baru beberapa
saat. Dan ia khilaf bahwa yang dibawanya berbicara kali ini adalah seorang
dukun.
“Berbicaralah
terus terang,” desak dukun itu.
Tetapi Kiai
Gringsing sudah terlanjur mengatakannya, sehingga untuk menutup kekeliruannya
ia bertahan,
“Benar, Kiai,
darah ini adalah darah yang kemarin.”
“Jangan,
bohong,” dukun itu membentak,
“atau bawa
saja anakmu pergi. Aku tidak akan bersedia mengobatinya.”
“Kiai,”
berkata Kiai Gringsing,
“tolonglah
anakku. Dan darah itu benar-benar darah kemarin.”
Dukun itu
mengerutkan keningnya. Katanya Kemudian,
“Baiklah kalau
kau tetap akan berbohong. Tetapi aku tetap berpendapat, bahwa darah ini adalah
darah yang baru. Maksudku, hari ini.”
Kiai Gringsing
tidak menjawab. Dipandanginya saja dukun yang kemudian meraba tubuh Swandaru
itu kembali. Dipijit-pijitnya bagian perutnya dan kemudian menjalar naik sampai
ke lehernya. Namun semuanya itu tidak lepas dari pengamatan mata Kiai Gringsing
yang tajam. Semakin lama semakin yakinlah Kiai Gringsing, bahwa orang itu
memang orang yang mengenal dengan baik ilmu pengobatan. Karena itu maka Kiai
Gringsing sama sekali tidak boleh lengah. Namun tiba-tiba orang itu bergeser
surut dan berkata,
“Anakmu sama
sekali tidak digigit seperti yang aku katakan. Racun yang ada di dalam tubuhnya
bukanlah racun yang membunuh.” Ia berhenti sejenak,
“Kenapa kau
beri anakmu obat yang kau bawa dari pedukuhanmu itu?”
“Aku hanya
mengikuti petunjuk dari seorang dukun yang baik di padukuhanku. Ia tahu aku
akan menebas hutan. Karena itu ia berikan obat itu dengan pesan, setiap saat
salah seorang dari kami keracunan, kami harus menelannya.”
“Tetapi kali
ini obatmu tidak akan dapat menyembuhkannya. Racun yang ada di dalam tubuhnya
bukanlah racun biasa. Aku belum pernah mengenal jenis racun seperti ini.”
“Lalu?” Kiai
Gringsing mengerutkan keningnya.
“Sudah aku
katakan. Racun ini datangnya sama sekali bukan dari ular, serangga atau
pepohonan yang beracun. Tetapi racun ini datangnya begitu saja tanpa sebab. Kau
tahu maksudku?”
“Hantu?
Begitu?”
“Bertanyalah
kepada dukun yang mengenal ilmu gaib. Tidak kepadaku. Aku tidak berani
menanggung kemarahan hantu-hantu itu kalau aku mencoba mengobatinya.”
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Ia yakin kalau dukun itu tidak berkata sebenarnya
seperti yang ia ketahui. Racun yang ada di dalam tubuh Swandaru memang bukan
racun ular, tetapi bukan berarti tidak dapat diobati. Tanda-tanda pada tubuh
Swandaru menunjukkan bahwa ia keracunan. Tidak ada tanda-tanda yang menyimpang,
Padahal ia menduga bahwa dukun itu memiliki pengetahuan pengobatan yang cukup.
“Apakah ada
kesengajaan ia tidak mau mengobati Swandaru ataukah maksud-maksud yang lain?”
orang itu bertanya di dalam hati.
“Pergilah,”
berkata dukun itu.
“Kalau kau
tidak segera mendapat pengobatan yang seharusnya, aku tidak tahu akibat apa
yang bakal terjadi atas anakmu ini.”
“Tetapi apakah
benar-benar Kiai tidak dapat berbuat apa-apa.”
“Kalau ia
keracunan biasa, digigit ular atau binatang-binatang lain, aku sanggup
mengobatinya. Tetapi kali ini tidak.”
“Jadi
bagaimanakah dengan anakku ini?”
“Bawalah
kepada dukun yang seharusnya mengobatinya.”
“Di manakah
rumahnya.”
“Datanglah ke
barak. Hampir setiap orang mengenal dukun itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang itu benar-benar tidak bersedia mengobati
luka-luka Swandaru. Karena itu maka katanya,
“Baiklah. Aku
akan pergi ke dukun yang mengenal ilmu gaib itu.”
“Nah,
sebaiknya kau memang pergi. Tetapi kau harus berkata berterus terang. Katakan
pula bahwa kau telah datang ke rumah ini dan bertemu dengan aku.”
“Baiklah,
Kiai, aku minta diri.”
“Tunggu,”
berkata orang itu,
“aku mempunyai
sesuatu.”
Orang itu pun
kemudian masuk ke rumahnya. Sejenak kemudian ia keluar pula sambil membawa sebungkus
obat-obatan. Katanya,
“Kalau kau
bersedia datang ke dukun itu, bawalah obatku ini. Tunjukkan kepadanya dan mintalah
syarat. Kau dapat juga bertanya kepadanya tentang bermacam-macam hal tentang
penyakit anakmu dan kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang.”
“Jadi, jadi
Kiai memberinya obat juga?”
“Bukan aku.
Aku hanya memberikan bahan. Tanggung jawabnya akan diambil alih oleh dukun ilmu
gaib itu. Kau mengerti? Kalau ia menolak obat ini, itu adalah haknya.”
“Baiklah.
Baiklah.”
Kiai Gringsing
pun kemudian minta diri bersama kedua anaknya.
“Hati-hatilah.
Kau harus segera menemui dukun itu.”
“Malam ini?”
“Ya, malam ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baiklah.
Terima kasih atas segala petunjuk Kiai.”
Ketiganya pun
kemudian meninggalkan rumah itu. Hari sudah menjadi semakin gelap. Di kejauhan
tampak lampu obor di gardu pengawas dan di sudut-sudut dan serambi barak.
Beberapa buah rumah yang bertebaran telah menutup pintunya rapat-rapat. Ketika
mereka telah keluar dari halaman rumah dukun itu, Agung Sedayu yang hampir tidak
tahan lagi segera bertanya,
“Apakah Guru
mempercayainya?”
“Tidak
seluruhnya,” jawab Kiai Gringsing.
“Dan Guru akan
pergi juga ke rumah dukun ilmu gaib itu?”
“Aku akan
pergi ke sana.”
“Untuk
mendapatkan kesembuhan Swandaru?”
“Aku ingin
melihat apa yang dikerjakannya.”
Agung Sedayu
tidak bertanya lagi. Kali ini pun ia mengerti maksud gurunya. Dengan hati-hati
Agung Sedayu bersama gurunya berjalan memapah Swandaru yang masih lemah. Tetapi
ternyata keadaan Swandaru menjadi berangsur baik. Agaknya obat yang
didapatkannya dari gurunya benar-benar mampu melawan racun yang ada di dalam
tubuhnya. Sehingga sebenarnya, tidak ada lagi gunanya untuk pergi ke dukun yang
lain untuk mendapatkan pengobatan.
“Guru,” Swandaru
itu pun kemudian berdesis,
“apakah Guru
masih menganggap perlu, berhubungan dengan orang lain? Bukankah dengan demikian
justru akan timbul kemungkinan, obat yang aku dapatkan daripadanya tidak sebaik
obat Guru sendiri.”
“Memang mungkin,
Swandaru,” jawab gurunya,
“tetapi kami
tidak akan mempergunakan obat-obat itu.”
“Jadi?”
“Semata-mata
untuk mengetahui, apakah yang mereka lakukan.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ketika mereka sampai di depan gardu
pengawas, maka para petugas pun segera mengerumuninya dan bertanya tentang
keadaannya.
“Aku dengar
kau singgah di rumah dukun itu.”
“Ya, kami
telah singgah di rumahnya. Anakku telah mendapat pengobatan seperlunya. Ia
sudah berangsur baik,” jawab Kiai Gringsing.
“Syukurlah,”
berkata salah seorang dari mereka.
“apakah kata
dukun itu tentang penyakit anakmu.”
“Keracunan.
Seperti yang sudah aku katakan. Anak ini memang digigit ular. Tetapi bukan ular
yang bisanya tajam. Meskipun demikian, kalau terlambat, akibatnya tidak kita
harapkan.”
“Syukurlah.
Bawalah anakmu beristirahat.”
Kiai Gringsing
pun kemudian membawa Swandaru berjalan terus. Di barak pun mereka telah
dikerumuni oleh para penghuninya. Jawab Kiai Gringsing pun tidak berubah seperti
yang selalu dikatakannya,
“Digigit ular.
Namun dukun yang baik itu mengharap aku menemui dukun ilmu gaib. Di manakah
tempatnya?”
“He,” beberapa
orang mengerutkan keningnya,
“jadi anakmu
tidak digigit ular biasa.”
“Ular biasa.
Namun supaya semuanya yakin, aku diharap membawa anakku yang sakit ini.”
“Sekarang?”
“Ya.
sekarang.”
“O, jangan
sekarang. Jalan ke rumahnya sangat mengerikan.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Tetapi ia ingin memenuhi pesan dukun yang menyuruhnya
pergi ke rumah orang yang menguasai ilmu gaib itu. Bukan karena ia
mempercayainya sepenuhnya, tetapi Kiai Gringsing lebih condong untuk
mengetahui, apakah sebenarnya yang terjadi di daerah penebasan hutan ini di
dalam keseluruhan.
“Di manakah
rumahnya?” Kiai Gringsing kemudian bertanya.
Orang-orang
yang mengerumuninya saling berpandangan. Sejenak mereka tidak ada yang
menjawab. Dan orang yang semakin lama semakin banyak itu telah dibayangi oleh
keragu-raguan. Dalam pada itu orang yang kekurus-kurusan mendesak di antara
mereka yang mengerumuni Kiai Gringsing sambil bertanya,
“Apa yang
telah terjadi?”
Sebelum Kiai
Gringsing menjawab, orang itu telah berkata pula,
“Nah lihat.
Akibat dari keberanian kalian yang kurang perhitungan.”
“Bukan
keberanian, tetapi kesombongan,” berkata orang yang bertubuh kekar.
Kiai Gringsing
memandang kedua orang itu berganti-ganti, lalu,
“Anakku
digigit ular.”
“Apa pun
sebabnya, tetapi itu adalah akibat kemarahan hantu-hantu itu. Sekarang anakmu
digigit ular, tetapi lain kali kau akan ditelan harimau. Atau kalian akan sakit
tanpa sebab.”
Kiai Gringsing
tidak menyahut. Namun tampak wajah-wajah yang ketakutan mengitarinya.
“Kalau hanya
kalian bertiga saja yang menjadi korban oleh kesombonganmu, itu tidak berarti
apa-apa bagi kami. Tetapi kalau mereka marah, dan kami pula harus menanggung
akibatnya, maka itu adalah kecelakaan yang pahit. Dan sebab daripadanya adalah
kau.”
Agung Sedayu
bergeser setapak. Namun gurunya menggamitnya sambil mengedipkan matanya.
“Jadi, apakah
yang sebaiknya aku lakukan?”
“Batalkan
niatmu menebas hutan di bagian yang paling wingit itu.”
“Itu bukan
maksudku. Bukan akulah yang memilihnya.”
“Tetapi kau
dapat minta kepada para petugas, agar kau ditempatkan bersama dengan kami.”
“Baiklah. Aku
akan membicarakannya dengan para petugas,” sahut Kiai Gringsing,
“tetapi di
mana rumah dukun ilmu gaib itu?”
“Tunggulah
sampai besok.”
“Aku tidak
berani menanggung akibatnya. Menurut petunjuk, aku harus pergi sekarang juga.”
“Gila. Kalian memang
orang-orang yang tidak mempunyai perhitungan,” geram orang yang kurus,
“tetapi
baiklah. Niatmu pergi ke rumah dukun itu baik. Mengobati anakmu dan agaknya kau
akan bertobat dan menurut segala petunjuknya, nasehatnya, dan sudah tentu
cara-cara pengobatannya.”
“Ya.”
“Kalau begitu,
kau dapat pergi kepadanya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Tetapi
bagaimana kalau niatku tidak demikian?”
“He, kau
jangan berbuat gila.”
“Maksudku,
kalau ada orang yang berbuat demikian.”
“Ia tidak akan
sampai ke rumah dukun ilmu gaib itu.”
“Dan kenapa
dukun ilmu gaib itu sendiri berani tinggal di tempat yang mengerikan.”
“Kau orang
sombong yang bodoh,” berkata orang yang kekar.
“Ia memiliki
segala macam ilmu lahir dan batin. Ia dapat bergaul dengan baik dengan
hantu-hantu itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kemudian katanya,
“Kalau begitu,
aku akan mendahului para petugas. Mohon kepadanya agar ia bersedia berada di
antara kita, supaya kita tidak selalu diganggu oleh hantu-hantu itu. Kalau
dukun itu bersedia mengawani kita di sini, bukankah kita akan aman.”
“Gila kau. Itu
pikiran gila. Aku nasehatkan kepadamu, jangan berpikir yang bukan-bukan supaya
kau tidak dicekik di perjalanan.”
“Baiklah,”
jawab Kiai Gringsing, “sebaiknya aku segera berangkat.”
“Tetapi kau
belum makan,” berkata seseorang yang lain,
“rangsummu
masih ada di tempatnya.”
“O, baiklah.
Kami akan makan lebih dahulu. Tetapi kami belum mendapat petunjuk di mana rumah
itu.”
Orang yang
kurus itu pun kemudian berkata,
“Kau ikut
jalan di muka barak ini terus ke Timur. Kemudian di sebelah pohon yang besar,
di sebelah selokan yang baru dibuat itu, kau berbelok ke kanan.”
“Apakah di
sana ada jalan?”
“Jalan
setapak.”
“Jauh? “
“Tidak begitu
jauh. Kau akan sampai ke sebuah sungai.”
“Yang curam
itu?”
“Ya. Kau naik
ke seberang, kemudian masuk ke daerah yang masih belum banyak diambah orang.”
“Apakah ia
tinggal di dalam hutan?”
“Ya. Tetapi
hutan itu tidak selebat yang kita kerjakan di sini. Justru karena hutan itu
tidak begitu buas, maka daerah itu masih dibiarkan. Tetapi lebih daripada itu,
daerah itu sangat wingit. Jauh lebih wingit dari yang kau kerjakan sekarang.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ia tinggal di
antara batu-batu besar yang berserakan, di bawah sebatang pohon preh yang tua
sekali. Ia membangun pondoknya di situ. Jarang sekali orang yang berani
mengunjunginya apabila tidak didorong oleh keperluan yang sangat mendesak
seperti kau ini”
“Ya, ya aku
tahu. Tetapi jarak itu adalah jarak yang panjang. Lewat daerah yang belum cukup
aku kenal dan tentu sangat gelap dan rimbun.”
“Tetapi sekali
lagi, kalau niatmu baik, kau tidak akan menemui halangan apa pun.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa jalan ke tempat orang yang
dicarinya itu adalah jalan yang memang rumit. Namun Kiai Gringsing adalah
seorang perantau yang telah menempuh jalan yang bagaimanapun juga. Jangankan
jalan yang pernah diambah oleh seseorang, sedangkan jalan yang belum pernah
disentuh oleh seseorang pun pernah dilewatinya. Namun sebelum Kiai Gringsing
memutuskan untuk pergi, mereka, Kiai Gringsing bersama kedua muridnya, lebih
dahulu pergi ke sudut barak, untuk mengambil rangsum mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar