Jilid 052 Halaman 2


“Cobalah aku melihatnya.”
Kiai Gringsing pun kemudian meletakkan alat-alat kerjanya, dan dengan tergesa-gesa mendapatkan muridnya yang duduk tepekur.
“Kenapa kau Swandaru?” bertanya Kiai Gringsing.
Swandaru mengangkat wajahnya sambil menjawab,
“Tubuhku rasa-rasanya menjadi sangat lemah Guru. Panas di dalam, tetapi aku menggigil seperti orang kedinginan.”
Kiai Gringsing terkejut melihat keadaan muridnya. Apalagi ketika ia menyentuh tubuhnya.
“Bagaimana, Guru?” bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Anak ini memang benar-benar sakit. Bukan sekedar dipengaruhi oleh perasaannya.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sakit yang tiba-tiba itu telah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak segera dapat terjawab.
“Apakah kau makan sesuatu Swandaru?” bertanya gurunya.
Swandaru menggelengkan kepalanya, “Tidak, Guru.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dipijit-pijitnya tengkuk muridnya. Katanya kemudian,
“Berdirilah.”

Tetapi tubuh Swandaru menjadi sangat lemah. meskipun demikian dipaksanya juga untuk berdiri dibantu oleh Agung Sedayu. Dengan teliti Kiai Gringsing memeriksa tubuh Swandaru. Setiap bagian dilihatnya dengan saksama, kalau-kalau ada sesuatu yang dapat dipakainya sebagai pancadan untuk mengenai penyakitnya. Tetapi Kiai Gringsing tidak menemukan sesuatu.
“Bibirnya menjadi biru sekali, Guru,” desis Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk.
“Duduklah,” katanya kemudian. Dan di antara terdengar dan tidak, orang tua itu bergumam,
“Menurut tanda-tanda di badanmu, kau telah keracunan.”
“Keracunan?” desis Swandaru, “tetapi, aku tidak makan apa-apa.”
“Keracunan tidak hanya terjadi karena makanan.” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya,
“Mungkin kau digigit serangga atau binatang-binatang berbisa lainnya.”
“Aku tidak merasa, Guru.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia berkata,
“Tundukkan kepalamu.”
Swandaru tidak mengerti maksud gurunya, sehingga dengan termangu-mangu ia memandanginya
“Tundukkan kepalamu,” sekali lagi gurunya berkata.
Dengan ragu-ragu Swandaru menundukkan kepalanya, ia terperanjat ketika gurunya kemudian mencekam tengkuknya. Semakin lama semakin keras, sehingga hampir saja ia tercekik karenanya. Sejenak kemudian perutnya merasa mual sekali. Seakan-akan ada sesuatu yang bergejolak di dalam perut itu. Semakin lama semakin mual, sehingga pada suatu saat ia tidak dapat bertahan lagi. Dengan serta-merta, maka anak muda yang gemuk itu pun muntah-muntah. Tetapi sekali lagi ia terperanjat, seperti juga Agung Sedayu. Dari mulut Swandaru selain keluar isi perutnya, di antaranya meloncat pula gumpalan-gumpalan darah yang sudah menjadi kehitam-hitaman.
“Darah, Guru, darah,” suara Agung Sedayu gemetar.
Kiai Gringsing pun menjadi tegang pula. Karenanya,
“Ternyata Swandaru telah benar terserang oleh racun yang membahayakan jiwanya.”
Karena itu, maka Kiai Gringsing itu pun memijit lebih keras lagi. Sebagai seorang dukun yang berpengalaman, Kiai Gringsing dapat menyentuh urat-urat leher Swandaru, yang kemudian dapat membuatnya muntah.
“Muntahlah Swandaru,” berkata gurunya,
“jangan kau tahan-tahan lagi. Semakin banyak kau dapat mengeluarkan isi perutmu, akibatnya akan menjadi lebih baik.
Swandaru mengangguk lemah. Terasa sesuatu berputar lagi di perutnya, dan sejenak kemudian gumpalan-gumpalan darah yang sudah menjadi kehitam-hitaman meloncat keluar, disusul oleh darah yang merah segar.
“Kau benar-benar keracunan,” desis gurunya, “racun yang termasuk kuat.”
Swandaru menjadi semakin lemah. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya.
“Berbaringlah di atas pohon besar ini,” berkata gurunya. Swandaru pun kemudian dipapah oleh Agung Sedayu dan dibaringkannya di atas sebatang pohon besar yang telah roboh.
“Aturlah pernafasanmu,” berkata gurunya kemudian.
“Racun ini harus dilawan lebih dahulu, agar kau tidak menjadi semakin tidak berdaya menghadapinya.”
Swandaru tidak menjawab. Hanya matanya sajalah yang bergerak-gerak.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Tanpa disadarinya, angan-angannya terbang ke dunia yang lain. Anak itu sedang mempersiapkan dirinya untuk melamar seorang gadis yang ditinggalkannya di Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian ia akan menggantikan ayahnya seorang Demang di Sangkal Putung, atau mungkin ia akan memilih memerintah Tanah Perdikan Menoreh? Sekilas justru terbayang Pandan Wangi yang menanti keluarga Swandaru datang kepada keluarganya di Menoreh. Pandan Wangi yang duduk bertopang dagu di tangga pendapa rumahnya. Bukan saja Pandan Wangi, tetapi juga ayah dan ibunya. Kalau Sekar Mirah telah sampai di rumahnya, maka ia pasti akan segera berceritera tentang kakaknya yang gemuk itu.
“Kini ayah dan ibunya bahkan juga Sekar Mirah dan Sumangkar, pasti sedang menunggu kita di sana,” ia berkata di dalam hatinya.
Agung Sedayu itu tersentak ketika ia mendengar Swandaru berdesah. Wajahnya yang pucat menjadi semakin putih, sedang bibirnya tampak menjadi semakin biru.
“Bagaimana, Guru?” tiba-tiba ia bertanya.
Gurunya masih merenungi muridnya yang keracunan itu sejenak.
“Apakah …..,” kata Agung Sedayu tidak dilanjutkannya.
“Tidak,” desis gurunya,
“kau akan menghubungkan hal ini dengan hantu-hantu?”
Agung Sedayu tidak menyahut.
“Sama sekali tidak ada hubungannya dengan hantu-hantu. Anak ini benar-benar telah keracunan. Aku akan menunggu sesaat. Kemudian aku akan memberikan obat kepadanya, setelah gejolak di dalam perutnya mereda.”
Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. Dengan cemasnya ia memandang wajah adik seperguruannya yang semakin pucat, sedang nafasnya serasa menjadi semakin sesak.
“Kenapa Guru belum memberinya obat,” ia bertanya di dalam hatinya, tetapi ia tidak berani mengucapkannya,
“Guru pasti jauh-jauh lebih tahu daripada aku.”
Sejenak kemudian, Kiai Gringsing itu pun memijit-mijit perut Swandaru. Ditelusurnya bagian-bagian di sekitar pusarnya. Kemudian katanya,
“Belum terlambat. Untung kalian segera mengatakannya kepadaku. Racun ini termasuk racun yang kuat.”
Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia hampir tidak tahan lagi. Gurunya merasa bersyukur bahwa keadaan Swandaru masih belum terlambat, tetapi kenapa ia berdiam diri saja? Apakah Kiai Gringsing itu memang sedang menunggu agar terlambat? Tetapi sekali lagi Agung Sedayu menjawab sendiri di dalam hatinya,
“Guru pasti lebih tahu daripadaku.”
Ternyata bahwa sejenak kemudian Kiai Gringsing itu pun mengambil sesuatu dari tlekeman di ikat pinggangnya. Sebuah bumbung kecil yang disumbatnya dengan cempol kelapa. Dari dalam bumbung kecil itu, Kiai Gringsing mengeluarkan dua butir obat yang telah dikeringkan menjadi butiran-butiran yang kecil.
“Swandaru,” ia berdesis.
Swandaru menggerakkan kepalanya, tetapi ia tidak menjawab. Penyakit yang tiba-tiba mencekamnya itu rasa-rasanya seperti penyakit yang sudah bertahun-tahun hinggap di tubuhnya.
“Apakah perutmu sudah tenang?”
Swandaru mengangguk kecil.
“Sekarang makanlah obat ini, agar daya tahan tubuhmu bertambah kuat.”
Swandaru membuka mulutnya perlahan-lahan. Kemudian Kiai Gringsing melontarkan dua butir obat itu ke dalam mulut Swandaru. Sejenak Swandaru tidak bergerak. Namun kemudian ia menggeliat sambil berdesah.
“Guru,” dengan serta merta Agung Sedayu bergeser maju.
“Tenanglah Sedayu, benturan antara dua macam kekuatan telah terjadi di dalam tubuh Swandaru. Itulah sebabnya, badannya akan menjadi panas sekali. Tetapi setelah itu, mudah-mudahan ia akan berangsur baik. meskipun untuk beberapa hari ia harus beristirahat.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun seakan-akan di luar sadarnya ia berkata,
“Apakah yang akan dikatakan orang tentang Swandaru?”
“Tentu, mereka akan menghubung-hubungkannya dengan hantu. Apalagi kalau mereka melihat atau mendengar tentang orang yang terluka dan kemudian hilang itu.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun betapa pun juga, ia sendiri pun telah terpengaruh pula oleh peristiwa-peristiwa yang baru saja terjadi.
“Untunglah bahwa Guru seorang ahli obat-obatan. Kalau tidak, entahlah, apa yang akan terjadi atas Swandaru. Mungkin keadaannya akan menjadi semakin jelek dan berbahaya,” berkata Agung Sedayu dalam hatinya.
Dalam pada itu Swandaru tampaknya menjadi semakin gelisah. Meskipun matanya terpejam, tetapi tubuhnya selalu bergerak dan menggeliat. Agaknya perasaan sakit yang sangat telah mengganggunya. Agung Sedayu berdiri termangu-mangu di samping adik seperguruannya. Wajahnya membayangkan kecemasan yang sangat. Tetapi ia tidak berani bertanya lagi, karena gurunya pun menjadi tegang pula karenanya. Ketika Kiai Gringsing menyentuh kening Swandaru, terasa betapa tubuh anak itu menjadi panas. Sekali-sekali terdengar ia menahan desah di mulutnya. Agung Sedayu menengadahkan wajahnya ketika ia mendengar suara burung kedasih di kejauhan. Terasa desir yang lembut menyentuh dadanya. Biasanya burung kedasih berbunyi di malam hari. Tetapi kini, seperti kemarin, burung itu berbunyi tiada hentinya.
“Kalau Swandaru tidak sedang sakit, ia pasti berteriak keras-keras untuk mengejutkan burung itu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Ketika Agung Sedayu berpaling, memandang wajah adik seperguruannya itu pula, maka dilihatnya Swandaru sudah menjadi agak tenang, meskipun wajahnya masih tampak pucat.
“Bagaimana, Guru?” tanpa sesadarnya ia bertanya.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku harap keadaannya akan menjadi bertambah baik.”
Agung Sedayu pun tidak bertanya lagi. Dengan penuh pengharapan ia menunggui adik seperguruannya yang tampak menjadi bertambah baik. Nafasnya sudah menjadi teratur, dan wajahnya pun tidak begitu pucat lagi.
“Bagaimana Swandaru bisa keracunan, Guru,” Agung Sedayu bertanya sekenanya saja.
Gurunya menggeleng,
“Aku tidak tahu. Ia tidak merasa digigit atau disengat apa pun.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bergeser maju sambil bertanya,
“Guru, apakah ada kemungkinan orang yang terluka parah itu juga keracunan?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Aku tidak tahu. Tetapi menilik lukanya, ia benar-benar telah terkena senjata seperti yang dikatakannya.”
“Bukankah ia mengatakan bahwa hantu itu menggigit tengkuknya? Dan apa yang disebutnya hantu itu sesuatu yang mengandung racun?”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Keningnya menjadi berkerut-merut. Sejengkal ia bergeser maju. Kemudian diamatinya Swandaru dengan saksama. Tiba-tiba Kiai Gringsing itu tersentak. Disambarnya tangan Swandaru. Dilihatnya tangan itu dengan tajamnya. Pergelangan, kemudian punggung telapak tangan.
“Kenapa, Guru?” Agung Sedayu bertanya dengan herannya.
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Kini dilihatnya bagian-bagian tubuh Swandaru yang lain. Ketika Kiai Gringsing melihat sesuatu di leher Swandaru, ia pun mengerutkan keningnya. Sebuah luka yang hampir tidak nampak melekat di leher anak yang gemuk itu.
“Luka yang kecil ini pasti cukup dalam,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Apakah Guru menemukan sesuatu?” bertanya Agung Sedayu.
“Mudah-mudahan,” jawab Kiai Gringsing. Tetapi ia belum mengatakan apa yang dilihatnya.
Agung Sedayu kemudian dengan tegangnya memandang gurunya yang sedang merenungi sebuah bintik yang kehitam-hitaman di leher Swandaru itu. Kemudian dengan hati-hati Kiai Gringsing memijit-mijit bagian leher Swandaru di sekitar bintik yang kehitam-hitaman itu. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya kepalanya terangguk-angguk kecil. Katanya,
“Luka inilah sumber keracunan yang telan menjalar di seluruh tubuh Swandaru.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya,
“Darimana ia mendapatkan luka itu, Guru?”
“Itulah yang masih harus diselidiki,” jawab gurunya. Setelah merenung sejenak, maka ia melanjutkannya,
“Aku mempunyai beberapa macam dugaan. Mungkin di hutan itu ada sejenis pepohonan yang beracun. Tanpa disadarinya Swandaru telah tersentuh oleh durinya yang dapat memberikan racun ke dalam tubuhnya. Mungkin juga sejenis binatang kecil yang tampaknya tidak berbahaya sama sekali, tapi ternyata lewat ludah atau giginya, binatang itu telah meracuninya, atau ……,” Kiai Gringsing tidak melanjutkannya.
“Atau apa, Guru?”
Kiai Gringsing terdiam sejenak. Tampak keragu-raguan membayang di wajahnya.
“Agung Sedayu,” katanya kemudian,
“mudah-mudahan aku berhasil melenyapkan racun dari tubuh adik seperguruanmu. Tampaknya ia berangsur baik. Nafasnya sudah mulai teratur dan darahnya sudah mulai beredar dengan wajar.”
“Ya, Guru.”
“Aku memang mempunyai dugaan yang barangkali kurang dapat dipercaya. Seperti katamu, orang yang luka parah itu memang mungkin mengandung racun.”
“Jadi?”
“Bukankah orang itu telah dicengkam oleh ketakutan yang luar biasa sehingga ia telah mendekap Swandaru? Nah, dalam keadaan yang tidak terkendali, di dalam puncak ketakutannya, ia telah melukai leher Swandaru. Di pergelangan tangannya aku melihat juga goresan-goresan yang kehitam-hitaman, tetapi tidak cukup dalam untuk menyalurkan racun ke dalam darah. Sedang luka di leher yang kecil namun dalam inilah agaknya pintu yang telah dilalui racun itu.”
“Jadi, apakah maksud Guru orang itu juga keracunan?”
“Mungkin. Mungkin seperti yang dikatakan, lehernya digigit hantu, meskipun kenyataannya tidak setepat seperti yang dikatakan. Dalam puncak ketakutannya, ia tidak dapat membedakan apa saja yang telah melukainya itu.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun ia masih belum begitu jelas, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Namun agaknya keadaan Swandaru yang semakin baik, telah membuatnya menjadi agak tenteram. Meskipun demikian ia masih bertanya kepada gurunya,
“Guru, tetapi apakah orang yang keracunan itu dapat meracuni Swandaru dengan luka yang dibuatnya tanpa sengaja itu?”
“Hal itu memang mungkin meskipun masih harus dibuktikan kebenarannya,” jawab gurunya.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak bertanya lagi.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Swandaru yang sakit itu telah berangsur menjadi baik, meskipun tubuhnya masih terasa lemah sekali. Dalam keheningan itulah tiba-tiba mereka mendengar suara tertawa yang seakan-akan membelah Alas Mentaok. Tidak begitu keras, namun gemanya yang memantul dari segenap arah, membuat seakan-akan orang yang mendengarnya telah terlibat di dalam suatu kepungan suara hantu yang dahsyat. Agung Sedayu kemudian berdiri tegak dengan wajah yang tegang. Untuk sementara ia mengalami kesulitan, dari manakah sebenarnya sumber suara itu. Namun kemudian ia berdesis,
“Tidak terlampau dekat, Guru.”
Kiai Gringsing yang telah berdiri pula, mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Ya, tidak terlampau dekat.”
“Suara apakah itu, Guru?”
“Suara tertawa seseorang. Apakah kau ragu-ragu?”
Agung Sedayu tidak menjawab. Dan Kiai Gringsing berkata seterusnya,
“Kau sudah mulai ragu-ragu. Apakah kau sangka suara itu suara hantu?”
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi memang tumbuh pengakuan di dalam dirinya, bahwa ia memang mulai memikirkan, apakah mereka memang benar-benar sedang dilingkari oleh hantu-hantu. Suara tertawa itu pun kemudian hilang dengan sendirinya, sehingga hutan itu pun telah menjadi sepi kembali. Desah angin yang lembut sajalah yang terdengar mengusik dedaunan. Sementara itu langit pun telah menjadi semakin buram, karena matahari yang telah mengarungi hampir seluruh jalannya itu telah hampir sampai di batas cakrawala.
“Kita harus segera kembali,” berkata Kiai Gringsing,
“kalau keadaan menjadi semakin gelap, sukarlah kita membawa Swandaru melalui jalan-jalan yang masih sulit ini.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia memang ingin segera menyingkirkan Swandaru. Bukan karena ketakutan yang mencekam, tetapi apabila anak yang sakit itu sudah tidak berada di tempat terbuka yang aneh ini, maka mereka akan leluasa untuk berbuat apa pun, apalagi apabila keadaan memaksa.
Demikianlah maka Kiai Gringsing pun berkata kepada Swandaru,
“Swandaru, apakah keadaanmu sudah bertambah baik?”
Swandaru menganggukkan kepalanya.
“Baiklah. Marilah, kau akan kami papah pulang ke perkemahan. Tetapi ingat, kalau seseorang bertanya kepadamu, maka jawablah bahwa kau telah digigit oleh seekor ular Pudakgrama. Ular yang mempunyai racun yang cukup keras, tetapi masih terlawan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya pula, sedang Agung Sedayu bertanya,
“Kenapa digigit ular, Guru?”
“Jangan membuat orang-orang di perkemahan dan sekitarnya itu menjadi semakin ketakutan. Kalau kalian menceriterakan apa adanya, maka mereka akan langsung menanggapi keadaan ini dengan menghubungkannya langsung kepada hantu-hantu itu.”
“Tetapi apakah mereka tidak akan mendapat gambaran yang salah sehingga mereka tidak dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan yang sama?”
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Hanya daerah inilah yang selalu ditinggalkan oleh para pekerja yang sedang membuka hutan itu. Karena daerah ini adalah daerah yang paling ganas bagi mereka. Daerah yang mereka anggap paling banyak diraba oleh tangan-tangan hantu yang sangat mereka takuti itu.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia dapat mengerti maksud gurunya, meskipun di sudut hatinya yang paling dalam, memercik pula keragu-raguan dan kecemasan. Sejenak kemudian maka Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun segera memapah Swandaru yang sudah menjadi berangsur baik itu kembali ke perkemahan. Karena jalan yang harus mereka lewati adalah jalan-jalan yang sulit, maka mereka pun maju dengan lambannya. Sekali-sekali mereka masih harus melangkahi pohon-pohon yang membujur di tengah-tengah jalan, kemudian menyusup di bawah rimbunnya perdu yang liar, dan bahkan kadang-kadang berduri.
“Hati-hatilah,” desis Kiai Gringsing,
“ada kesengajaan untuk membuat kita menjadi takut.”
“Bagaimana Guru mengetahui?”
“Suara burung kedasih dan suara tertawa itu. Mungkin juga bukan kita bertigalah yang dimaksud, tetapi orang yang ketakutan dan hilang itu bersama dengan beberapa orang kawan-kawannya. Tetapi mungkin juga, memang kitalah sasaran mereka kali ini.”
“Sasaran hantu-hantu itu?”
“Untuk sementara, baiklah kita sebut demikian.”
“Kenapa untuk sementara Guru?”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk. Demikianlah maka mereka pun perlahan-lahan semakin dekat dengan perkemahan. Namun sebelum mereka sampai ke ujung hutan, maka orang-orang yang bekerja di tempat-tempat yang sudah semakin bersih segera melihat mereka. Karena itu, berlari-larilah orang-orang itu menyongsongnya sambil bertanya berebut dahulu,
“Kenapa dengan anakmu itu, Truna Podang?”
Kiai Gringsing berhenti sejenak. Dipandanginya orang-orang yang sudah mulai berkemas dan yang kini mengerumuninya itu sejenak.
“Kenapa he, kenapa?”
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ditatapnya setiap wajah yang menjadi tegang. Dari sorot mata mereka Kiai Gringsing menangkap siratan perasaan mereka. Ketakutan. mSwandaru yang lemah masih tergantung pada guru dan kakak seperguruannya. Suara orang yang mengerumuninya terdengar semakin ribut. Dan mereka terdiam ketika Kiai Gringsing menjawab,
“Anakku telah digigit ular.”
“Digigit ular?” hampir serentak orang-orang itu mengulang.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat ia menunggu. Kemudian didengarnya nafas yang berdesah dari hidung mereka yang mengerumuninya. Bahkan ada seseorang yang berkata tanpa disadarinya,
“Syukurlah.”
“He, kenapa kau berkata begitu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Maksudku itu lebih baik daripada digigit hantu. Digigit ular masih mungkin diobati. Tetapi digigit hantu?” orang itu mengangkat bahunya.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya wajah murid-muridnya sejenak, kemudian katanya,
“Ya. Syukurlah bahwa yang menggigit anakku adalah ular. Bukan hantu.”
Orang-orang yang mengerumuninya mengangguk-angguk. Tetapi sejenak kemudian salah seorang bertanya,
“Tetapi, meskipun anakmu hanya digigit ular, bagaimana keadaannya? Apakah ia sudah berangsur baik atau masih perlu mendapat pertolongan? Di perkemahan ada seorang dukun yang pandai, yang mungkin dapat mengobati bisa ular. Tetapi kalau sakitnya disebabkan oleh hantu-hantu, kau harus berhubungan dengan dukun yang lain.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian,
“Sementara anakku sudah tertolong. Tetapi baiklah aku akan menghubungi dukun yang pandai itu.”
“Baiklah. Baiklah. Marilah kita pulang. Kami pun telah mulai berkemas-kemas pula.”
Maka Kiai Gringsing pun kemudian meneruskan langkahnya sambil memapah Swandaru bersama-sama dengan orang-orang yang memang telah selesai bekerja untuk hari itu.
“Itulah rumahnya. Ia sudah berhasil membuat rumah sendiri meskipun kecil,” berkata orang yang mengenal dukun yang pandai itu. “Datanglah kepadanya.”
“O, ia tidak tinggal di perkemahan?”
“Beberapa orang yang tinggal dekat dengan perkemahan, menempati rumah mereka masing-masing. Tetapi setiap rumah masih dihuni oleh dua atau tiga keluarga untuk mengurangi ketakutan di malam hari. Sedang rumah-rumah yang meskipun sudah siap ditempati, tetapi terletak agak jauh, ternyata sampai saat ini masih tetap kosong.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Terima kasih,” katanya, “aku akan singgah ke rumah itu.”
Kiai Gringsing pun kemudian membawa Swandaru singgah ke rumah yang ditunjukkan kepadanya. Perlahan-lahan ia mengetuk pintu rumah itu yang masih sedikit terbuka. Seorang yang berjanggut dan berambut putih menjengukkan kepalanya dari lubang pintunya. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya,
“He, siapa kau?”
“Kiai,” berkata Kiai Gringsing,
“anakku telah keracunan. Apakah Kiai sudi mengobatinya?”
“He, anakmu?”
“Ya, anakku, Sangkan.”
Tetapi jawab yang didengarnya telah membuat hati Kiai Gringsing dan kedua muridnya kecewa,
“Tunggu. Bukankah kau lihat bahwa aku baru saja datang dari kerja seperti kalian? Aku masih belum mandi.”

Kiai Gringsing menjadi heran. Seorang dukun seharusnya lebih mementingkan orang-orang yang sakit daripada membersihkan diri betapa pun kotor tubuhnya. Apalagi keracunan. Karena itu ia mencoba menjelaskan,
“Kiai, anakku telah keracunan. Aku sudah berhasil menahannya untuk sementara. Tetapi aku memerlukan seorang dukun untuk meyakinkan kerja racun yang ada di dalam tubuh anakku.”
“Tunggu. Tunggu!” orang itu membentak.
“Lihat, aku belum meletakkan parang pemotong kayu ini. Ikat kepalaku pun masih tersangkut di leher. Kalau kau tidak sempat menunggu, pergilah.”
Kiai Gringsing benar-benar menjadi kecewa. Niatnya untuk mencoba bersama-sama mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang terjadi atas Swandaru telah lenyap. Dengan seorang kawan yang mengerti tentang berbagai macam racun ia mengharap dapat mencari jawab atas apa yang telah terjadi itu. Tetapi agaknya orang ini tidak dapat diajak berbicara dengan baik. Meskipun demikian sekali lagi Kiai Gringsing masih mencoba,
“Kiai anakku memerlukan pertolongan segera.”
“O, begitu,” jawabnya.
“Carilah orang lain yang bersedia memberikan pertolongan segera.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Terdengar Agung Sedayu berdesis,
“Kita pergi saja, Guru.”
Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu. Tetapi ia terpaksa mengusap dadanya ketika orang yang berjanggut dan berambut putih itu lenyap masuk ke dalam tanpa mempersilahkan mereka duduk.
“Sedayu,” bisiknya,
“memang perlakuan ini cukup menyakitkan hati, tetapi kalau benar-benar ia seorang yang menguasai masalah ini, mungkin aku akan mendapatkan petunjuk lebih banyak tentang keanehan-keanehan yang telah terjadi. Orang ini telah cukup lama tinggal di sini. Mungkin ia mempunyai banyak bahan yang dapat memberikan jalan atau setidak-tidaknya petunjuk.”
“Tetapi sikapnya, Guru. Apakah orang itu dapat diajak berbicara?”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Di samping orang yang kekurus-kurusan, kemudian orang yang bertubuh tinggi dan kekar, sekarang ia menemukan satu orang lagi yang telah menarik perhatiannya. Namun dengan demikian keinginan Kiai Gringsing kini justru beralih untuk mengenal orang itu lebih dekat. Karena itu maka ia pun menjadi termangu-mangu sejenak. Di satu pihak, Agung Sedayu yang merasa tersinggung ingin segera meninggalkan tempat itu, namun di lain pihak, ia akan mendapat kesempatan untuk mengenal dukun yang pandai itu.
“Bagaimana, Guru?” bertanya Agung Sedayu.
“Kasihan Adi Swandaru, ia harus segera berbaring dan beristirahat. Tubuhnya masih terlampau lemah.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih berdiri saja di tempatnya. Agung Sedayu pun akhirnya menjadi termangu-mangu juga. Ia tidak mengerti maksud gurunya yang sebenarnya.
“Sedayu,” berkata gurunya,
“ambil ketepe belarak itu. Kita baringkan Swandaru sebentar sambil menunggu.”
“Jadi, jadi Guru ingin juga bertemu dengan orang itu?”
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.
“Duduklah sebentar, Swandaru,” berkata gurunya,
“aku layani kau sejenak, sementara Agung Sedayu mengambil ketepe belarak itu. Meskipun sudah agak kering, tetapi kau dapat berbaring sambil menunggu. Orang ini sangat menarik perhatianku.”

Swandaru menganggukkan kepalanya, sedang Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain daripada meletakkan Swandaru duduk di tanah, dilayani oleh gurunya. Kemudian ia sendiri berjalan dengan penuh keragu-raguan mengambil ketepe di sudut rumah itu. Sejenak Swandaru terbaring diam. Sementara Kiai Gringsing berbisik kepada Agung Sedayu,
“Orang inilah yang sekarang menarik perhatianku. Aku tidak mau dibayangi oleh teka-teki dan rahasia yang semakin lama menjadi semakin banyak dan kisruh.”
Agung Sedayu pun kemudian dapat mengerti maksud gurunya. Karena itu, betapa ia merasa tersinggung, namun ditahankannya juga hatinya untuk duduk menunggu dukun yang sedang membersihkan dirinya itu.
“Begitu lama, Guru. Hari sudah menjadi semakin gelap.”
“Kebetulan, sekali,” jawab gurunya,
“bukankah kita memang ingin melihat gelap?”
“Tetapi Swandaru?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian.
“Keadaannya tidak mengkhawatirkan.”
Agung Sedayu tidak dapat membantah lagi. Gurunya pasti sudah mengetahui apa yang sebaiknya dilakukan untuk kepentingan Swandaru yang sedang sakit itu.
“Tetapi pesanku kepada kau berdua,” berkata gurunya kemudian,
“jangan terpengaruh oleh ceritera hantu itu. Aku tidak mengatakan bahwa kita harus menolak kepercayaan bahwa hantu itu memang ada. Tetapi kita harus berdiri di atas suatu kepercayaan, bahwa kita selalu menyerahkan nasib kita kepada Sumbernya. Sumber Yang Tunggal. Pusat dari segala kekuasaan. Mungkin hantu-hantu itu memang mempunyai kekuasaan untuk melakukan sesuatu, tetapi kekuasaannya sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan kekuasaan Yang Maha Kuasa. Karena itu, apabila kita percaya sepenuhnya, tanpa ragu-ragu, maka kita akan mendapat perlindungan-Nya . Itulah sebabnya aku sama sekali tidak terpengaruh oleh berita tentang hantu-hantu itu, meskipun aku tidak menolak kemungkinan itu.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Swandaru yang berbaring itu pun mengangguk-angguk pula. Keduanya merasa, seakan-akan gurunya itu melihat getar jantungnya. Keragu-raguan yang menyusup di dalam dada mereka. Bahkan hampir menjadi suatu kepercayaan, bahwa mereka memang harus menarik diri dari kerja yang sedang mereka lakukan, karena hantu-hantu itu tidak membenarkannya. Dalam pada itu, sejenak kemudian laki-laki yang berkumis dan berambut putih itu pun muncul dari balik pintu. Kini pakaiannya telah diaturnya dengan rapi. Ikat kepalanya sudah dikenakannya, menutupi rambutnya yang sudah hampir seluruhnya menjadi uban.
“Ternyata kalian masih menunggu,” desisnya.
“Ya, Kiai, kami masih menunggu karena kami memerlukan perawatan.”
“Anakmukah yang keracunan?”
“Ya, Kiai.”
“Kenapa?”
“Mungkin digigit ular. Mungkin oleh sebab-sebab yang lain.”
“Gila. Kenapa kau tidak dapat mengatakan dengan pasti?”
“Kami memang tidak pasti. Tiba-tiba saja anakku, Sangkan ini, menjadi muntah-muntah.”
“Darah?”
“Ya, Kiai.”
“Di tempat kerjamu yang terpencil itu?”
“Ya.”
Tiba-tiba orang itu menjadi tegang. Lalu katanya,
“Kenapa kau datang kemari? Itu sama sekali bukan urusanku. Aku tidak mau terlibat di dalam persoalan dengan kekuasaan yang tidak kasat mata itu.”
“Kekuasaan apa yang Kiai maksudkan?”
“Kekuasaan hantu-hantu.”
“Tidak, Kiai. Ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Anakku keracunan seperti tanda-tanda keracunan yang pernah aku dengar. Untunglah bahwa aku masih mempunyai sebutir obat pemunah racun yang aku bawa dari padukuhanku dahulu.”
“Tetapi kenapa kau dapat mengatakan bahwa anakmu digigit ular? Apakah anakmu merasakan gigitan itu?”
“Tidak, Kiai. Memang tidak. Ular adalah salah satu dari kemungkinan masuknya racun. Mungkin serangga-serangga berbisa atau mungkin semacam duri-durian. Atau apa pun.”
“Hantu. Aku sudah pasti.”
“Kalau sakitnya disebabkan oleh hantu-hantu, maka obat pemunah racun yang tinggal sebutir itu pasti tidak akan berdaya. Tetapi nyatanya ia berangsur baik.”
“Kalau anakmu sudah berangsur baik, kenapa ia kau bawa kemari.”
“Sudah aku katakan, aku ingin meyakinkannya, Kiai.”

Orang tua yang berkumis dan berambut putih itu memandang Swandaru yang terbaring di tanah beralaskan ketepe belarak yang sudah kering. Sedang langit pun telah menjadi semakin buram. Satu-satu bintang muncul seakan-akan dari ketiadaan.
“Sebentar lagi, malam yang kelam akan turun. Bagaimana kalian akan kembali?”
“Apakah kami dapat bermalam di pondok ini Kiai. Di mana pun kami dapat tidur nyenyak.”
“Gila kau,” bentak orang itu,
“rumah ini sudah dihuni oleh tiga keluarga. Aku sendiri tidak mempunyai sanak dan kadang.”
“Kalau begitu, baiklah kami akan segera kembali ke barak, apabila kami sudah mendapat keyakinan bahwa anakku akan menjadi baik.”
“Kalian memang orang-orang yang sombong. Kalian berpura-pura menjadi pemberani. Tetapi sebenarnya kalian adalah penakut yang paling licik.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya,
“Kami memang bukan pemberani,” jawabnya,
“itulah sebabnya aku mohon diperkenankan bermalam di sini. Kalau tidak, sudah tentu kami harus kembali ke barak.”
“Persetan,” geramnya sambil mendekati Swandaru. Perlahan-lahan ia pun berjongkok di samping anak yang gemuk itu. Dirabanya, kemudian perut dan tangannya.
Menilik sentuhan tangannya, Kiai Gringsing segera mengetahui bahwa sebenarnya orang itu memang memahami ilmu obat-obatan. Namun sampai berapa jauh ia menguasai masalahnya itulah yang ingin diketahuinya.
“Obatmu cukup baik,” berkata orang itu,
“tetapi kenapa sebenarnya anakmu ini?”
Kiai Gringsing menggeleng, “Aku tidak tahu pasti, Kiai.”
“Jadi tidak digigit ular?”
“Seperti yang aku katakan, ular hanyalah salah satu kemungkinan.”
Namun tiba-tiba wajah orang tua itu menjadi tegang. Katanya,
“Kau dengar suara dari jantungnya?”
Kiai Gringsing menjadi heran.
“Ia tidak digigit ular. Memang tidak.”
“Lalu?”
“Benar ia keracunan,” lalu orang itu menunjuk noda darah di pakaian Swandaru yang sudah kering dan tidak jelas lagi karena warnanya telah menjadi kehitam-hitaman,
“darah apa ini?”
Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu sejenak. Namun, kemudian ia berkata,
“Darahnya sendiri. Tetapi itu tidak ada hubungan apa-apa dengan sakitnya. Ketika ia kemarin terkena parang, maka tanpa disadarinya, diusapkannya tangannya ke bajunya.”
“Kemarin?”
“Ya,” jawab Kiai Gringsing.
“Kenapa sekarang baju yang bernoda darah ini masih dipakainya saja?”
“Anak ini tidak mempunyai pakaian yang lain.”
“Jangan bohongi aku. Darah ini bukan darah kemarin. Aku adalah dukun yang baik.”
Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Seandainya tidak digelapnya malam yang sedang turun, tampak betapa wajahnya menjadi merah. Mungkin orang lain tidak dapat membedakan apakah yang melekat di baju Swandaru itu darah atau getah pepohonan atau kotoran dan noda apa pun juga karena telah menjadi kering. Tetapi seorang dukun akan dapat membedakannya, bahwa darah itu sudah lama melekat atau baru beberapa saat. Dan ia khilaf bahwa yang dibawanya berbicara kali ini adalah seorang dukun.
“Berbicaralah terus terang,” desak dukun itu.
Tetapi Kiai Gringsing sudah terlanjur mengatakannya, sehingga untuk menutup kekeliruannya ia bertahan,
“Benar, Kiai, darah ini adalah darah yang kemarin.”
“Jangan, bohong,” dukun itu membentak,
“atau bawa saja anakmu pergi. Aku tidak akan bersedia mengobatinya.”
“Kiai,” berkata Kiai Gringsing,
“tolonglah anakku. Dan darah itu benar-benar darah kemarin.”
Dukun itu mengerutkan keningnya. Katanya Kemudian,
“Baiklah kalau kau tetap akan berbohong. Tetapi aku tetap berpendapat, bahwa darah ini adalah darah yang baru. Maksudku, hari ini.”

Kiai Gringsing tidak menjawab. Dipandanginya saja dukun yang kemudian meraba tubuh Swandaru itu kembali. Dipijit-pijitnya bagian perutnya dan kemudian menjalar naik sampai ke lehernya. Namun semuanya itu tidak lepas dari pengamatan mata Kiai Gringsing yang tajam. Semakin lama semakin yakinlah Kiai Gringsing, bahwa orang itu memang orang yang mengenal dengan baik ilmu pengobatan. Karena itu maka Kiai Gringsing sama sekali tidak boleh lengah. Namun tiba-tiba orang itu bergeser surut dan berkata,
“Anakmu sama sekali tidak digigit seperti yang aku katakan. Racun yang ada di dalam tubuhnya bukanlah racun yang membunuh.” Ia berhenti sejenak,
“Kenapa kau beri anakmu obat yang kau bawa dari pedukuhanmu itu?”
“Aku hanya mengikuti petunjuk dari seorang dukun yang baik di padukuhanku. Ia tahu aku akan menebas hutan. Karena itu ia berikan obat itu dengan pesan, setiap saat salah seorang dari kami keracunan, kami harus menelannya.”
“Tetapi kali ini obatmu tidak akan dapat menyembuhkannya. Racun yang ada di dalam tubuhnya bukanlah racun biasa. Aku belum pernah mengenal jenis racun seperti ini.”
“Lalu?” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
“Sudah aku katakan. Racun ini datangnya sama sekali bukan dari ular, serangga atau pepohonan yang beracun. Tetapi racun ini datangnya begitu saja tanpa sebab. Kau tahu maksudku?”
“Hantu? Begitu?”
“Bertanyalah kepada dukun yang mengenal ilmu gaib. Tidak kepadaku. Aku tidak berani menanggung kemarahan hantu-hantu itu kalau aku mencoba mengobatinya.”
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia yakin kalau dukun itu tidak berkata sebenarnya seperti yang ia ketahui. Racun yang ada di dalam tubuh Swandaru memang bukan racun ular, tetapi bukan berarti tidak dapat diobati. Tanda-tanda pada tubuh Swandaru menunjukkan bahwa ia keracunan. Tidak ada tanda-tanda yang menyimpang, Padahal ia menduga bahwa dukun itu memiliki pengetahuan pengobatan yang cukup.
“Apakah ada kesengajaan ia tidak mau mengobati Swandaru ataukah maksud-maksud yang lain?” orang itu bertanya di dalam hati.
“Pergilah,” berkata dukun itu.
“Kalau kau tidak segera mendapat pengobatan yang seharusnya, aku tidak tahu akibat apa yang bakal terjadi atas anakmu ini.”
“Tetapi apakah benar-benar Kiai tidak dapat berbuat apa-apa.”
“Kalau ia keracunan biasa, digigit ular atau binatang-binatang lain, aku sanggup mengobatinya. Tetapi kali ini tidak.”
“Jadi bagaimanakah dengan anakku ini?”
“Bawalah kepada dukun yang seharusnya mengobatinya.”
“Di manakah rumahnya.”
“Datanglah ke barak. Hampir setiap orang mengenal dukun itu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang itu benar-benar tidak bersedia mengobati luka-luka Swandaru. Karena itu maka katanya,
“Baiklah. Aku akan pergi ke dukun yang mengenal ilmu gaib itu.”
“Nah, sebaiknya kau memang pergi. Tetapi kau harus berkata berterus terang. Katakan pula bahwa kau telah datang ke rumah ini dan bertemu dengan aku.”
“Baiklah, Kiai, aku minta diri.”
“Tunggu,” berkata orang itu,
“aku mempunyai sesuatu.”
Orang itu pun kemudian masuk ke rumahnya. Sejenak kemudian ia keluar pula sambil membawa sebungkus obat-obatan. Katanya,
“Kalau kau bersedia datang ke dukun itu, bawalah obatku ini. Tunjukkan kepadanya dan mintalah syarat. Kau dapat juga bertanya kepadanya tentang bermacam-macam hal tentang penyakit anakmu dan kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang.”
“Jadi, jadi Kiai memberinya obat juga?”
“Bukan aku. Aku hanya memberikan bahan. Tanggung jawabnya akan diambil alih oleh dukun ilmu gaib itu. Kau mengerti? Kalau ia menolak obat ini, itu adalah haknya.”
“Baiklah. Baiklah.”
Kiai Gringsing pun kemudian minta diri bersama kedua anaknya.
“Hati-hatilah. Kau harus segera menemui dukun itu.”
“Malam ini?”
“Ya, malam ini.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baiklah. Terima kasih atas segala petunjuk Kiai.”

Ketiganya pun kemudian meninggalkan rumah itu. Hari sudah menjadi semakin gelap. Di kejauhan tampak lampu obor di gardu pengawas dan di sudut-sudut dan serambi barak. Beberapa buah rumah yang bertebaran telah menutup pintunya rapat-rapat. Ketika mereka telah keluar dari halaman rumah dukun itu, Agung Sedayu yang hampir tidak tahan lagi segera bertanya,
“Apakah Guru mempercayainya?”
“Tidak seluruhnya,” jawab Kiai Gringsing.
“Dan Guru akan pergi juga ke rumah dukun ilmu gaib itu?”
“Aku akan pergi ke sana.”
“Untuk mendapatkan kesembuhan Swandaru?”
“Aku ingin melihat apa yang dikerjakannya.”
Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Kali ini pun ia mengerti maksud gurunya. Dengan hati-hati Agung Sedayu bersama gurunya berjalan memapah Swandaru yang masih lemah. Tetapi ternyata keadaan Swandaru menjadi berangsur baik. Agaknya obat yang didapatkannya dari gurunya benar-benar mampu melawan racun yang ada di dalam tubuhnya. Sehingga sebenarnya, tidak ada lagi gunanya untuk pergi ke dukun yang lain untuk mendapatkan pengobatan.
“Guru,” Swandaru itu pun kemudian berdesis,
“apakah Guru masih menganggap perlu, berhubungan dengan orang lain? Bukankah dengan demikian justru akan timbul kemungkinan, obat yang aku dapatkan daripadanya tidak sebaik obat Guru sendiri.”
“Memang mungkin, Swandaru,” jawab gurunya,
“tetapi kami tidak akan mempergunakan obat-obat itu.”
“Jadi?”
“Semata-mata untuk mengetahui, apakah yang mereka lakukan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ketika mereka sampai di depan gardu pengawas, maka para petugas pun segera mengerumuninya dan bertanya tentang keadaannya.
“Aku dengar kau singgah di rumah dukun itu.”
“Ya, kami telah singgah di rumahnya. Anakku telah mendapat pengobatan seperlunya. Ia sudah berangsur baik,” jawab Kiai Gringsing.
“Syukurlah,” berkata salah seorang dari mereka.
“apakah kata dukun itu tentang penyakit anakmu.”
“Keracunan. Seperti yang sudah aku katakan. Anak ini memang digigit ular. Tetapi bukan ular yang bisanya tajam. Meskipun demikian, kalau terlambat, akibatnya tidak kita harapkan.”
“Syukurlah. Bawalah anakmu beristirahat.”
Kiai Gringsing pun kemudian membawa Swandaru berjalan terus. Di barak pun mereka telah dikerumuni oleh para penghuninya. Jawab Kiai Gringsing pun tidak berubah seperti yang selalu dikatakannya,
“Digigit ular. Namun dukun yang baik itu mengharap aku menemui dukun ilmu gaib. Di manakah tempatnya?”
“He,” beberapa orang mengerutkan keningnya,
“jadi anakmu tidak digigit ular biasa.”
“Ular biasa. Namun supaya semuanya yakin, aku diharap membawa anakku yang sakit ini.”
“Sekarang?”
“Ya. sekarang.”
“O, jangan sekarang. Jalan ke rumahnya sangat mengerikan.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi ia ingin memenuhi pesan dukun yang menyuruhnya pergi ke rumah orang yang menguasai ilmu gaib itu. Bukan karena ia mempercayainya sepenuhnya, tetapi Kiai Gringsing lebih condong untuk mengetahui, apakah sebenarnya yang terjadi di daerah penebasan hutan ini di dalam keseluruhan.
“Di manakah rumahnya?” Kiai Gringsing kemudian bertanya.
Orang-orang yang mengerumuninya saling berpandangan. Sejenak mereka tidak ada yang menjawab. Dan orang yang semakin lama semakin banyak itu telah dibayangi oleh keragu-raguan. Dalam pada itu orang yang kekurus-kurusan mendesak di antara mereka yang mengerumuni Kiai Gringsing sambil bertanya,
“Apa yang telah terjadi?”
Sebelum Kiai Gringsing menjawab, orang itu telah berkata pula,
“Nah lihat. Akibat dari keberanian kalian yang kurang perhitungan.”
“Bukan keberanian, tetapi kesombongan,” berkata orang yang bertubuh kekar.
Kiai Gringsing memandang kedua orang itu berganti-ganti, lalu,
“Anakku digigit ular.”
“Apa pun sebabnya, tetapi itu adalah akibat kemarahan hantu-hantu itu. Sekarang anakmu digigit ular, tetapi lain kali kau akan ditelan harimau. Atau kalian akan sakit tanpa sebab.”
Kiai Gringsing tidak menyahut. Namun tampak wajah-wajah yang ketakutan mengitarinya.
“Kalau hanya kalian bertiga saja yang menjadi korban oleh kesombonganmu, itu tidak berarti apa-apa bagi kami. Tetapi kalau mereka marah, dan kami pula harus menanggung akibatnya, maka itu adalah kecelakaan yang pahit. Dan sebab daripadanya adalah kau.”
Agung Sedayu bergeser setapak. Namun gurunya menggamitnya sambil mengedipkan matanya.
“Jadi, apakah yang sebaiknya aku lakukan?”
“Batalkan niatmu menebas hutan di bagian yang paling wingit itu.”
“Itu bukan maksudku. Bukan akulah yang memilihnya.”
“Tetapi kau dapat minta kepada para petugas, agar kau ditempatkan bersama dengan kami.”
“Baiklah. Aku akan membicarakannya dengan para petugas,” sahut Kiai Gringsing,
“tetapi di mana rumah dukun ilmu gaib itu?”
“Tunggulah sampai besok.”
“Aku tidak berani menanggung akibatnya. Menurut petunjuk, aku harus pergi sekarang juga.”
“Gila. Kalian memang orang-orang yang tidak mempunyai perhitungan,” geram orang yang kurus,
“tetapi baiklah. Niatmu pergi ke rumah dukun itu baik. Mengobati anakmu dan agaknya kau akan bertobat dan menurut segala petunjuknya, nasehatnya, dan sudah tentu cara-cara pengobatannya.”
“Ya.”
“Kalau begitu, kau dapat pergi kepadanya.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Tetapi bagaimana kalau niatku tidak demikian?”
“He, kau jangan berbuat gila.”
“Maksudku, kalau ada orang yang berbuat demikian.”
“Ia tidak akan sampai ke rumah dukun ilmu gaib itu.”
“Dan kenapa dukun ilmu gaib itu sendiri berani tinggal di tempat yang mengerikan.”
“Kau orang sombong yang bodoh,” berkata orang yang kekar.
“Ia memiliki segala macam ilmu lahir dan batin. Ia dapat bergaul dengan baik dengan hantu-hantu itu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kemudian katanya,
“Kalau begitu, aku akan mendahului para petugas. Mohon kepadanya agar ia bersedia berada di antara kita, supaya kita tidak selalu diganggu oleh hantu-hantu itu. Kalau dukun itu bersedia mengawani kita di sini, bukankah kita akan aman.”
“Gila kau. Itu pikiran gila. Aku nasehatkan kepadamu, jangan berpikir yang bukan-bukan supaya kau tidak dicekik di perjalanan.”
“Baiklah,” jawab Kiai Gringsing, “sebaiknya aku segera berangkat.”
“Tetapi kau belum makan,” berkata seseorang yang lain,
“rangsummu masih ada di tempatnya.”
“O, baiklah. Kami akan makan lebih dahulu. Tetapi kami belum mendapat petunjuk di mana rumah itu.”
Orang yang kurus itu pun kemudian berkata,
“Kau ikut jalan di muka barak ini terus ke Timur. Kemudian di sebelah pohon yang besar, di sebelah selokan yang baru dibuat itu, kau berbelok ke kanan.”
“Apakah di sana ada jalan?”
“Jalan setapak.”
“Jauh? “
“Tidak begitu jauh. Kau akan sampai ke sebuah sungai.”
“Yang curam itu?”
“Ya. Kau naik ke seberang, kemudian masuk ke daerah yang masih belum banyak diambah orang.”
“Apakah ia tinggal di dalam hutan?”
“Ya. Tetapi hutan itu tidak selebat yang kita kerjakan di sini. Justru karena hutan itu tidak begitu buas, maka daerah itu masih dibiarkan. Tetapi lebih daripada itu, daerah itu sangat wingit. Jauh lebih wingit dari yang kau kerjakan sekarang.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ia tinggal di antara batu-batu besar yang berserakan, di bawah sebatang pohon preh yang tua sekali. Ia membangun pondoknya di situ. Jarang sekali orang yang berani mengunjunginya apabila tidak didorong oleh keperluan yang sangat mendesak seperti kau ini”
“Ya, ya aku tahu. Tetapi jarak itu adalah jarak yang panjang. Lewat daerah yang belum cukup aku kenal dan tentu sangat gelap dan rimbun.”
“Tetapi sekali lagi, kalau niatmu baik, kau tidak akan menemui halangan apa pun.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa jalan ke tempat orang yang dicarinya itu adalah jalan yang memang rumit. Namun Kiai Gringsing adalah seorang perantau yang telah menempuh jalan yang bagaimanapun juga. Jangankan jalan yang pernah diambah oleh seseorang, sedangkan jalan yang belum pernah disentuh oleh seseorang pun pernah dilewatinya. Namun sebelum Kiai Gringsing memutuskan untuk pergi, mereka, Kiai Gringsing bersama kedua muridnya, lebih dahulu pergi ke sudut barak, untuk mengambil rangsum mereka.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar