Jilid 004 Halaman 1


APALAGI apabila mereka berhadapan. Namun agaknya Widura sama sekali tidak bersikap demikian. Karena itu, maka sekali lagi Ki Tambak Wedi itu berkata,
“Widura, orang-orang seperti kau ini benar-benar merupakan mutiara-mutiara yang tersimpan dalam perbendaharaan keprajuritan Pajang. Aku ingin agar mutiara-mutiara demikian itu tidak akan hilang tertimbun oleh lumpur. Karena itu Widura, aku minta kau membantu Sidanti dalam usahanya mendapatkan tempat yang baik dalam hidupnya yang penuh dengan cita-cita itu. Aku sendiri pasti akan merupakan kekuatan yang mengalasinya”
Sekali lagi Widura menjadi muak. Bahkan ia menjadi muak melihat wajah yang panjang bermata seperti mata burung hantu dan berhidung terlalu runcing itu. Meskipun demikian, tak ada suatu pun yang dapat dilakukannya. Dan ia masih mendengar Ki Tambak Wedi meneruskan,
“Apabila kelak Sidanti akan sampai di tempat itu, maka kau pun akan ikut serta mukti pula bersamanya”
Widura menggeleng tegas. Jawabnya,
“Biarlah aku di tempatku. Apa pun yang akan aku alami”
Dada Ki Tambak Wedi itu pun sudah mulai dirayapi oleh kemarahan yang semakin lama semakin menyala. Agaknya Widura sudah tidak mungkin dapat dibujuknya. Karena itu katanya,
“Widura, apakah kau benar-benar menunggu aku marah?”
Widura yang berdiri seperti pucang kanginan itu menjawab,
“Sudah aku katakan Kiai. Namun aku tetap pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Bukan orang lain”
“Widura” sahut Ki Tambak Wedi yang mulai tidak dapat mengendalikan kemarahannya.
“Kau tetap pemimpin laskar di Sangkal Putung. Tetapi kau harus menurut perintah-perintah Sidanti yang akan diberikan terus menerus kepadamu. Perintah-perintahmu hanyalah saluran dari perintah-perintahnya. Tetapi di mata para prajurit itu, kau tetap seorang pemimpin yang berwibawa. Bersedia?”
Sekali lagi Widura menggeleng tegas, “Tidak” jawabnya.
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku sudah menduga bahwa kau akan tetap pada pendirianmu. Nah, bagaimanakah kalau aku membunuhmu sekarang?”

Widura menyadari keadaannya. Ia tidak lebih dari seorang yang kecil di hadapan Ki Tambak Wedi. Tetapi ia tidak mau mengorbankan kewibawaan, saluran kewajiban prajurit. Sedang orang seperti Ki Tambak Wedi itu pasti akan dapat melakukan apa saja yang dikatakannya. Meskipun demikian Widura menjawab,
“Kiai pasti akan mampu melakukannya. Terserahlah kepada Kiai. Tetapi Kiai harus menyadari keadaan Sidanti. Anak itu keluar bersama aku. Apakah kata mereka kalau anak itu kembali seorang diri, dan besok mayatku diketemukan di sini?”
Mendengar jawaban itu Ki Tambak Wedi tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Katanya di antara derai tawanya,
“He Widura, ternyata kau tidak sejantan yang aku sangka. Ternyata kau mulai ketakutan dan mencari jalan untuk menolong dirimu sendiri”
Mendengar suara tertawa dan kata-kata Ki Tambak Wedi itu, telinga Widura seperti terjilat api. Sehingga ia lupa, dengan siapa ia berhadapan. hampir berteriak ia membentak,
“Cukup!”
Ki Tambak Wedi terkejut mendengar bentakan itu, sehingga dengan serta-merta derai tertawanya itu terputus. Dengan tajamnya ia memandang wajah Widura yang masih berkata terus,
“Apakah kau sangka bahwa setiap makhluk akan menyerahkan hidupnya demikian saja tanpa usaha untuk menyelamatkan diri. Bukankah hak setiap hidup untuk mempertahankan hidupnya?”
“Tetapi caramu adalah cara yang licik” sahut Ki Tambak Wedi.
“Tidak” bantah Widura.
“Tetapi aku hanya ingin mengatakan, kalau kau bunuh aku, maka pekerjaanmu itu tidak akan bermanfaat. Setiap orang dapat segera mengambil kesimpulan apa yang sudah terjadi”
“Seandainya mereka mengetahui sekalipun, apa yang akan mereka lakukan terhadap Sidanti? Apakah mereka berani melakukan tindakan apa pun terhadap anak itu?”
“Tentu”
“Aku akan dapat membunuh mereka semua”
“Mereka adalah prajurit-prajurit. Kalau mereka tak dapat mengatasi seseorang, maka atasannyalah yang akan melakukan. Bagaimana anggapan Kiai tentang seorang perwira tamtama yang bernama Pemanahan? Juru Mertani atau adipati Pajang sendiri?”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Persetan dengan mereka. Tetapi aku tidak sebodoh yang kau sangka. Aku sudah bersedia alat untuk membunuhmu. Semua orang mengenal bahwa senjata Sidanti adalah senjata tajam. Sekarang aku akan membunuhmu dengan senjata pemukul”

Dada Widura menjadi berdebar-debar karenanya. Apalagi ketika tiba-tiba ia melihat, Ki Tambak Wedi itu menarik sebuah tongkat besi dari pinggangnya di bawah kain panjangnya. Besi itu tidak terlalu panjang. Hanya dua jengkal, sebesar ibu jari kaki. Diamat-amatinya senjata sambil bergumam seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri,
“Hem, bukankah orang yang bersenjata pemukul itu seorang senapati Jipang yang bernama Tohpati? Dan bukankah mulut Sidanti juga dapat berkata demikian kepada kawan-kawannya? Lihatlah wajah Sidanti itu sendiri, dan hampir di seluruh tubuhnya menjadi merah biru. Itu akan bagus sekali untuk melengkapi ceritanya. Kau berdua berjumpa dengan Tohpati dan beberapa orangnya. Kalian bertempur mati-matian, dan kau terbunuh dalam perkelahian itu”
Getar di dalam dada Widura menjadi semakin cepat. Kini ia benar-benar berhadapan dengan maut. Dan ia tidak akan dapat menemukan jalan untuk menyelamatkan diri. Meskipun demikian sama sekali tak terlintas di dalam otaknya untuk memenuhi permintaan Sidanti, menebus nyawanya dengan menjual kewibawaan Pajang. Maka sesaat mereka berada dalam keadaan yang tegang. Widura, Sidanti dan Ki Tambak Wedi seperti tonggak-tonggak yang kaku. Yang mula-mula menyobek kesepian adalah Ki Tambak Wedi. katanya,
“Bagaimana Widura. Apakah kau masih ingin bertahan pada pendirianmu? Memang keadaanmu masih cukup baik. Kalau kau mati, maka kau akan dihormati sebagai pahlawan. Namun bukankah lebih baik apabila kita dapat melihat dan merasakan dalam hidup kita ini kehormatan itu daripada sesudah kita mati?”
Widura tidak menjawab sepatah katapun. Ia sedang mempersiapkan dirinya menghadapi maut.
“Bagaimana Widura?” bentak Ki Tambak Wedi yang sudah mulai kehilangan kesabaran.
“Kalau kau mati, aku akan berusaha Sidanti lah yang akan mengganti kedudukanmu. Aku akan pancing Tohpati, aku akan bunuh pula dia atas nama Sidanti”
Widura menggeram mendengar rencana gila-gilaan itu. Namun kali ini pun ia tidak menjawab. baginya, sudah tidak ada gunanya lagi untuk berbicara apapun. Maka yang dapat dilakukan adalah menunggu apa saja yang akan terjadi. Ki Tambak Wedi ternyata benar-benar telah kehilangan kesabaran. Dengan sepotong besi itu ia berjalan mendekati Widura sambil berkata,
“Aku tidak biasa mempergunakan senjata semacam ini. Tetapi untuk kepentingan Sidanti, aku akan memecah batok kepalamu, sehingga orang benar-benar menyangka kau mati karena pukulan tongkat baja putih milik Tohpati itu”

Sekali lagi Widura menggeram. Tanpa disengaja ia mengangkat pedangnya. Melihat gerak pedang itu Ki Tambak Wedi tertawa terbahak-bahak. Katanya,
“Gila. Apakah kau akan melawan aku? Dengan satu sentuhan dari anak kecil, kau pasti sudah akan roboh. Jangan gila. Kau hanya tinggal mempersiapkan kepalamu saja. Manakah yang sebaiknya aku pukul supaya kau segera mati. Dengan demikian aku sudah bermurah hati kepadamu”
Mulut Widura benar-benar telah terkunci. Sesaat ia ingat kepada kemenakannya, Sedayu. Namun ia tidak menyalahkannya. Saat yang lain dikenangnya kemenakannya yang satu lagi, Untara. Katanya dalam hati,
“mudah-mudahan anak itu masih hidup, dan mudah-mudahan suatu ketika dijumpainya adiknya itu dan diselamatkannya dari kerakusan Sidanti yang gila ini”
Widura kini melihat Ki Tambak Wedi itu semakin lama semakin dekat. Suara tertawanya masih saja terdengar berkepanjangan. Tetapi tiba-tiba suara tertawa itu pun terputus. Mereka semua terkejut bukan buatan. Apalagi Widura dan Sidanti. Dalam sepi malam itu terdengar tiba-tiba sebuah ledakan dahsyat. Sehingga getarannya telah menggerakkan daun-daun pepohonan dan menggugurkan daun-daun kuning yang tidak mampu berpegangan dahan-dahannya lagi. Bahkan ledakan itu telah menggetarkan dada mereka yang mendengarnya. Lebih-lebih Widura dan Sidanti. Ki Tambak Wedi itu kini tegak seperti patung. Namun tampaklah ia memusatkan perhatiannya memandang segenap arah. Matanya yang tajam setajam mata burung hantu itu pun menjadi liar. Dalam ketegangan itu pun sekali lagi terdengar suara ledakan itu. Lebih keras dan getarannya semakin dalam menusuk dada. Widura dan Sidanti terpaksa memejamkan mata mereka dan memusatkan perlawanan mereka dengan kekuatan batin melawan getaran yang aneh itu. Mata Ki Tambak Wedi itu pun menjadi semakin liar. Bahkan tiba-tiba ia berteriak,
“Dahsyat. Kekuatan orang itu pasti sama dengan kekuatan raksasa. Tetapi jangan seperti seorang pengecut. Mari, datanglah kemari. Aku bersedia menyambutmu”
Namun tak ada jawaban. Yang terdengar sekali lagi suara ledakan itu. Lebih keras pula dari yang terdahulu. Ki Tambak Wedi itu pun kemudian menjadi marah bukan kepalang. Seperti orang gila ia berteriak-teriak,
“Ayo, kemarilah. Jangan bersembunyi. Inilah Tambak Wedi”

Tetapi kemudian tegal itu menjadi sepi. Suara ledakan itu pun tak terdengar lagi. Mengerutkan keningnya Ki Tambak Wedi itu masih tegak seperti patung. Ia masih mencoba mengetahui dari manakah arah suara ledakan-ledakan itu. Namun suara itu tak terdengar lagi. Dalam pada itu, tumbuhlah suatu persoalan di dalam dirinya. Dalam diri Ki Tambak Wedi yang perkasa itu. Ia tidak akan takut berhadapan dengan setiap orang bagaimanapun saktinya. Ki Tambak Wedi itu merasa, bahwa dirinya pasti akan mampu menghadapi siapa saja dalam pertempuran seorang lawan seorang. Biar pun orang itu Adiwijaya, yang terkenal memiliki aji Lembu sekilan, Rog-rog Asem, Sapu Angin sejak masa kanak-kanaknya, sejak ia masih bernama Mas Karebet. Setidak-tidaknya ia pasti akan dapat menyelamatkan dirinya dari lawannya. Namun orang yang meledakkan lecutan-lecutan itu pun bukan orang kebanyakan, sehingga apabila ia mengejarnya, maka ada kemungkinan orang itu berhasil melarikan diri. Yang kemudian mengganggunya adalah, apabila Widura itu dibunuhnya, maka ternyata akan hadir sedikit-dikitnya seorang saksi. Orang yang menyuarakan lecutan-lecutan dahsyat itu. Dengan demikian maka cerita Sidanti lambat atau cepat, pasti akan diketahui kebohongannya. Karena itu, tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu pun mengumpat tak habis-habisnya. Katanya,
“Setan itu ternyata berhasil menolong memperpanjang nyawamu Widura. Ia akan merupakan saksi yang mengganggu jalan Sidanti. meskipun demikian, ingatlah, Sidanti tak akan pernah melepaskan tuntutannya. Biarlah kali ini kau tetap hidup. Aku beri waktu kau sepasar. Kalau dalam sepasar kau tidak merubah pendirianmu, dalam setiap kesempatan aku akan dengan mudah membunuhmu. Mungkin dengan cara-cara yang sangat mengerikan”
Widura masih berdiam diri. Apalagi kini, dadanya masih dipengaruhi oleh getaran-getaran leacutan yang dahsyat itu. Karena itu ia sama sekali tidak menjawab kata-kata Ki Tambak Wedi.
“Pulanglah berdua. Jangan membuat persoalan supaya aku mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain”
Widura masih tetap tegak seperti tiang-tiang yang beku. Ia mendengar kata-kata Ki Tambak Wedi itu, namun seakan-akan ia tidak mengerti maknanya. Setelah ia kehilangan harapan untuk dapat menyelesaikan tugasnya, membersihkan sisa-sisa laskar Jipang, karena keinginan Sidanti yang melonjak-lonjak, maka tiba-tiba dadanya digetarkan oleh suara lecutan yang hampir menggugurkan isi dadanya, kini ia mendengar Ki Tambak Wedi itu mengurungkan niatnya.

Untuk sesaat Sidanti  pun menjadi seolah-olah kehilangan kesadarannya. Namun seperti orang yang tersentak bangun dari tidurnya ia mendengar gurunya itu berkata, bahwa Widura akan dibebaskannya. Karena itu, maka timbullah berbagai pertanyaan di dalam dirinya. Keadaan itu sudah terlanjur sedemikian buruknya. Apabila Widura itu masih tetap hidup, apakah keadaannya tidak menjadi semakin sulit. Maka dengan terbata-bata terdengarlah Sidanti itu bertanya,
“Guru, apakah guru akan memaafkan kakang Widura?”
“Tidak” sahut gurunya. “Aku hanya memberinya waktu sepasar”
“Kenapa guru masih memberinya waktu?”
“Ada bermacam-macam pertimbangan. Aku masih berusaha untuk mencari jalan yang baik bagimu. Kecuali apabila dalam sepasar Widura masih tetap keras kepala. Selain yang sudah kua katakan, setan yang memperdengarkan suara lecutan itu pun dapat mengganggu jalanmu Sidanti,“
“Kenapa guru tidak menangkapnya saja, dan membunuhnya pula?”
“Kau dengar suara lecutannya?” bertanya gurunya.
“Kau merasakan getaran di dadamu? Nah, itu pertanda bahwa orang itu pun bukan orang kebanyakan. Mungkin ia dapat melepaskan diri dari tanganku meskipun ia tidak berani langsung melawan aku dalam satu perkelahian”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun masih tampak di wajahnya, bahwa ia menyesal akan keadaan itu. Seandainya Widura itu terbunuh dan orang mempercayainya, bahwa yang membunuh Widura itu Tohpati, menilik dari bekasnya, maka tak seorang pun yang berani menyatakan dirinya, mengganti kedudukan Widura. Semua orang di Sangkal Putung menyadari, bahwa tak seorang pun yang dapat melampaui Sidanti. kecuali kalau Pajang menunjuk orang lain yang dikirim langsung dari Pajang. Namun siapa pun orang itu, nasibnya tidak akan lebih baik dari Widura. Kemudian terdengarlah kembali suara Ki Tambak Wedi, kali ini kepada Widura.
“Nah Widura. Aku masih akan membiarkan kau hidup sepasar lagi. Kembalilah kalian berdua. Sekali lagi aku memperingatkan kau Widura. Jangan membuat persoalan atas Sidanti, supaya aku tidak datang kepadamu bersama-sama dengan Tohpati, untuk memenggal lehermu dan seluruh laskarmu”
Kini Widura telah menyadari keadaannya seluruhnya. Ia mendengar semua kata-kata Ki Tambak Wedi. ternyata orang itu sama sekali tidak mempunyai pendirian berpihak antara Pajang dan Jipang. Ia dapat berada dimana saja yang dapat memberinya keuntungan. Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi mau pun Sidanti adalah benar-benar orang yang sangat berbahaya. Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tambak Wedi pula,
“Nah Sidanti. Jangan cemas, aku akan terus menerus mengawasi keadaan. Kau dengar pula itu, Widura?”

Sebelum Widura berkata sepatah katapun, dan sebelum Sidanti menjawab terdengarlah Ki Tambak Wedi itu menggeram. Kemudian dengan serta-merta dilemparkan potongan besi yang masih digenggamnya ke arah kaki Widura. Kemudian dengan satu loncatan yang cepat, Ki Tambak Wedi itu menghilang di balik pepohonan. Ia masih akan mencoba mencari, siapakah yang telah memperdengarkan suara lecutan yang dahsyat, yang telah mengganggu pekerjaannya. Namun karena suara itu sudah tidak terdengar lagi, serta Ki Tambak Wedi menyadari, bahwa belum pasti ia kan dapat menangkapnya, akhirnya Ki Tambak Wedi itu pun melepaskan maksudnya. Sidanti dan Widura masih tegak di tempat masing-masing. Ketika tanpa sesadarnya Widura memandang potongan besi yang tergeletak beberapa jengkal di muka kakinya ia terkejut bukan buatan. Besi itu kini melengkung sehingga kedua ujung-ujungnya hampir bertemu. Adalah kekuatan yang luar biasa yang dapat melakukannya. Sepotong besi sebesar ibu jari kaki, yang panjangnya tidak lebih dari dua jengkal itu dapat dilengkungkannya sedemikian, sehingga hanpir menjadi sebuah lingkaran. Widura menarik nafas dalam-dalam. Ki Tambak Wedi benar-benar luar biasa. Namanya yang menakutkan itu, tidak saja karena kesombongannya, namun ia benar-benar memiliki kekuatan yang tidak ada taranya.
Sidanti yang melihat wajah Widura dalam keremangan malam, serta sikapnya yang gelisah, dan kemudian dengan serta-merta memungut besi yang hampir menjadi lingkaran itu, tertawa pendek. Desisnya,
“Apa kau heran kakang, bahwa Ki Tambak Wedi dapat melakukannya? Melengkungkan besi sebesar itu dengan tangannya?”
“Tidak” jawab Widura. “Orang yang sakti seperti Ki Tambak Wedi itu pasti akan dapat berbuat lebih banyak dari permainan ini, meskipun permainan ini telah menggoncangkan dadaku”
Sekali lagi Sidanti tertawa. Dengan bibir yang ditarik kesisi ia berkata,
“Sejak saat ini kau jangan terlalu sombong dan berkeras kepala supaya umurmu tidak hanya terbatas pada lima hari ini saja”
Widura menggeleng. Sahutnya,
“Aku tidak senang orang lain mencampuri persoalan dalam tata kelaskaran Pajang. Sudah aku katakan, hidup matiku akan aku pertaruhkan untuk kewibawaan Pajang”
Sidanti mengangkat alisnya. Namun kemudian ia tertawa pula. Katanya,
“Marilah kita pulang. Setelah kakang Widura beristirahat mungkin kakang mempunyai pertimbangan lain”
“Pulanglah dahulu” sahu Widura,
“Aku masih mempunyai pekerjaan”
Sidanti menjadi heran. Apakah yang akan dilakukan oleh Widura itu. Tetapi Sidanti yang sombong itu tak mau merajuk. Karena itu ia menjawab,
“Baiklah aku pulang dahulu”
Sidanti kemudian tidak menungu jawaban Widura. Segera ia melangkah meninggalkan tempat itu, kembali ke kademangan Sangkal Putung. Kini ia merasa dapat berbuat sekehendaknya. Sedang Widura pasti tak akan berani menghalanginya lagi.
“Widura itu hanya malu-malu saja mengakui kekuasaanku sekarang” katanya dalam hati.
“Namun aku yakin bahwa ia tidak akan berani mengganggu aku lagi”
Sidanti itu tersenyum sendiri. Akan datang gilirannya Sedayu ditundukkannya. Kalau ia tak mampu melakukan sendiri, maka cara yang sama seperti yang dilakukan atas Widura itu akan ditempuhnya,
“Anak itu akan jauh lebih mudah diselesaikan”. Katanya pula,
“Kalau ia terbunuh, tak akan ada yang mempersoalkannya selain Widura. Dan aku yakin Widura  pun kini akan berdiam diri”
Sidanti itu kemudian berjalan dengan wajah yang terang, seakan-akan Sangkal Putung itu benar-benar telah dikuasainya. Seluruhnya. Dan terbayanglah di wajahnya, seorang gadis yang manis dan lincah, yang pernah mengaguminya pula, Sekar Mirah. Dengan modal pimpinan atas Sangkal Putung dan kemudian apabila ia berhasil membinasakan Tohpati atas namanya, maka pasti ia akan cepat menanjak. Seterusnya, ia harus pandai memanfaatkan setiap kesempatan.

Widura yang masih tegak di tempatnya, memandang Sidanti itu sampai hilang dalam gelapnya malam. Ia tersadar ketika kemudian didengarnya ayam hutan berkokok dikejauhan. Ternyata malam telah jauh melampaui pusatnya. Dan sebentar lagi akan terdengar kokok ayam jantan yang terakhir kalinya menjelang fajar. Perlahan-lahan Widura itu pun menyarungkan pedangnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh berbagai persoalan yang menekan. Ternyata tugasnya menjadi sangat berat dan berbahaya. Tidak saja Tohpati dan sisa-sisa laskar Jipang yang lain yang memusingkan kepalanya, namun Sidanti, bagian dari tubuh sendiri, itu pun benar-benar hampir mencabut nyawanya. Berturut-turut beterbanganlah angan-angannya atas pekerjaannya yang berat itu. Tohpati, Sidanti, Ki Tambak Wedi, Agung Sedayu, dan tak dapat diabaikan pula, usaha untuk menemukan Untara. Widura menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia bergumam,
“Aku tidak dapat menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban itu. Meskipun tubuhku akan menjadi lumat karenanya.”
Perlahan-lahan Widura itu pun melangkahkan kakinya. Tiba-tiba saja ia merasa muak untuk berjalan bersama-sama dengan Sidanti. Karena itu dibiarkannya anak muda itu berjalan dahulu. Dan kini ia pun berjalan meninggalkan tegal yang sepi, sesepi taman pekuburan. Ketika sekali ia menoleh, dilihatnya pohon jambu mete itu seperti hantu raksasa yang mengembangkan tangan-tangannya yang banyak sekali jumlahnya untuk menyergapnya. Namun Widura bukan seorang penakut. Karena itu ia sama sekali tidak menjadi ngeri melihatnya. Dan ia masih tetap berjalan perlahan-lahan sambil menghirup udara malam yang segar. Meskipun tubuhnya menjadi bertambah segar, namun hatinya tidak dapat menjadi sesegar tubuhnya. Berbagai-bagai persoalan, satu demi satu membelit di hatinya. Dan ia tidak mempunyai seorang kawan pun yang dapat diajaknya untuk membicarakan kesulitan-kesulitannya. Ki Demang Sangkal Putung  pun tidak. Sebab dengan demikian Demang Sangkal Putung itu akan mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda arah penelaahannya. Hudaya, Citra Gati dan orang lain pun pasti akan menuruti perasaannya saja, tanpa mempertimbangkan dengan pikiran, serta tanpa memandang kepentingan yang lebih besar dan jauh. Karena itu pikiran Widura itu pun menjadi suram. Namun betapa pun juga, dicobanya untuk mengatasi kesulitan itu dengan sebaik-baiknya.
Ketika Widura telah keluar dari daerah pategalan itu, tiba-tiba saja ia membelok kekiri. Ia terkejut sendiri atas langkahnya,
“Hem” gumamnya, “Akan kemanakah aku ini?” Tetapi ia meneruskan langkahnya. Tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk pergi ke gunung Gowok. Ia tidak menyadari sepenuhnya, apakah kepergiannya itu akan bermanfaat baginya. Namun, karena pikiran yang suram itu, inginlah ia berbuat sesuatu. Kiai Gringsing yang hampir setiap malam ditemuinya di gunung Gowok, kemudian ternyata mendapat tempat tersendiri di dalam hatinya. Orang yang berbuat dan berbicara seenaknya, seakan-akan hidup ini hanyalah sebuah permainan yang menyenangkan saja.
“Apakah aku dapat berbicara dengan orang itu?” gumamnya. Tetapi kemudian ia pun sadar, bahwa ia pasti akan menjadi kecewa karenanya. Orang bertopeng itu pasti akan mentertawakannya, dan menyuruhnya supaya membicarakan dengan orang yang disebutnya gurunya, Sedayu. Karena itu pulalah Widura itu sering mengumpat di dalam hati. Namun kali ini ia benar-benar ingin menemuinya.

Tetapi Widura itu menjadi ragu-ragu. Apakah Kiai Gringsing masih berada di sana? Hampir setiap malam ia datang bersama Sedayu, tetapi sebelum tengah malam. Dan kali ini tengah malam itu telah jauh lampau. Meskipun demikian Widura itu berjalan terus. Di perjalanan itu, kadang-kadang pikirannya diganggu juga oleh suara lecutan yang dahsyat yang telah menyelamatkannya. Bahkan kemudian timbul juga berbagai pertanyaan di dalam dirinya, siapakah orang yang telah berbuat itu? Apakah ada orang aneh lagi selain Kiai Gringsing? Apakah mungkin Kiai Gringsing pula yang melakukannya? Widura menjadi ragu-ragu. Ia mengagumi kesaktian Kiai Gringsing, namun apakah orang itu mampu menggetarkan dadanya dengan suara lecutan itu, dan memaksa Ki Tambak Wedi merubah rencananya?
Gunung Gowok itu kini sudah tidak jauh lagi berada di hadapannya. Dalam keremangan malam, telah dilihatnya pohon kelapa sawit tegak di atas puntuk kecil itu. Namun sebelum ia meloncati parit dan berjalan di atas pematang, tiba-tiba Widura itu terkejut bukan kepalang, sehingga ia terlonjak karenanya. Dekat di belakangnya, didengarnya sebuah letusan yang dahsyat, yang hampir saja menggugurkan isi dadanya. Secepat-cepatnya Widura berusaha untuk memutar tubuhnya. Dan dengan gerak naluriah tangannya meraba hulu pedangnya. Namun tenaganya yang memang belum pulih itu, seakan-akan tidak mampu untuk melakukan sesuatu. Apalagi getaran di dalam dadanya masih terasa memukul-mukul tak henti-hentinya. Namun Widura tak melihat seorangpun. Dengan sekuat-kuat tenaganya ia memusatkan kekuatan batinnya melawan getaran-getaran yang masih saja melanda jantungnya. Sehingga lambat laun ia berhasil pula menenangkan dirinya. Tetapi ia masih belum melihat seorang pun di sekitarnya. Karena itu Widura menjadi gelisah. Tangan kanannya masih melekat dihulu pedangnya. Dan bahkan setelah getaran-getaran di dalam dadanya mereda, Widura itu pun telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi, meskipun ia sadar, bahwa tenaganya masih belum separo pulih kembali. Tetapi sekali lagi Widura terkejut. Bukan oleh suara lecutan yang dahsyat. Tetapi kali ini terdengarlah suara tertawa. Suara yang bernada tinggi dan nyaring. Dengan serta-merta Widura itu pun berpaling. Hampir ia mengumpat ketika dilihatnya seseorang duduk di atas pematang di antara batang-batang padi muda. Dan Widura itu pun segera mengenalnya. Orang itulah yang dicarinya, Kiai Gringsing.
“Ah” desis Widura. “Kiai benar-benar mengejutkan aku”
“Oh” sahut Kiai Gringsing,
“Maafkan aku. Aku kira kau senang mendengar lecutan-lecutan itu. Coba Widura apakah kau bisa berbuat seperti aku?”
Sebelum Widura menjawab, Kiai Gringsing itu sudah berdiri dan diberikannya kepada Widura sebuah cambuk lembu yang sederhana. Bertangkai bambu cendani dan ujungnya pun dibuatnya dari anyaman bambu siladan pula.
Dada Widura bergetar karena itu. Ternyata orang yang membunyikan lecutan-lecutan itu adalah Kiai Gringsing dengan cambuk bambu yang sangat sederhana pula. Karena itu, maka betapa kagumnya pemimpin laskar Pajang itu. Bahkan dengan serta-merta terloncatlah pertanyaannya,
“Jadi adakah Kiai tadi yang membunyikan cambuk itu berturut-turut tiga kali?”
Kiai Gringsing itu tertawa. Jawabnya,
“Aku sedang bermain-main”
“Tetapi perbuatan Kiai itu ternyata telah menolong jiwaku” sahut Widura.
“He” Kiai Gringsing terkejut. Katanya,
“Bagaimana itu terjadi. Apa hubungannya bunyi lecutan itu dengan jiwamu?”

Widura telah mengenal Kiai Gringsing beberapa lama. Karena itu maka ia pun telah dapat mengerti serba sedikit tentang sifat orang bertopeng itu. Maka jawabnya,
“Suara lecutan itu telah menakut-nakuti orang yang akan membunuhku”
“Kau akan dibunuh orang?” bertanya Kiai Gringsing itu.
Widura kini benar-benar mengumpat di dalam hati. Ia tahu benar bahwa Kiai Gringsing telah berbuat dengan sadar untuk menolongnya. Namun terpaksa ia menjawab pula,
“Ya Kiai”
“Apakah persoalannya, sehingga seseorang berbuat demikian jahatnya?” orang bertopeng itu bertanya
Widura menjadi ragu-ragu sejenak. Ingin ia mengutarakan semua persoalan-persoalan yang menyumbat dadanya, namun setelah ia bertemu dengan orang aneh itu, ia menjadi ragu-ragu. Karena itu ia ingin menjajaginya, apakah pintu terbuka baginya untuk menyatakan kesulitan-kesulitannya.
“Kiai” katanya,
“Aku ternyata mempunyai banyak persoalan-persoalan di sini. Persoalan di dalam lingkungan sendiri dan persoalan yang aku hadapi atas sisa-sisa laskar Jipang”
Widura benar-benar menjadi kecewa ketika tiba-tiba Kiai Gringsing itu tertawa. Katanya,
“Kau benar bodoh Widura. Bukankah di Sangkal Putung ada gurumu. Nah katakan kepadanya kesulitan-kesulitanmu itu. Jangan kau katakan kepadaku”
“Tetapi bukankah Kiai bertanya?” potong Widura.
“Marilah kita tidak mempersoalkan lagi tentang hal-hal yang mengerikan. Aku takut mendengar perkara-perkara pembunuhan. Sekarang coba, apakah kau dapat membunyikan cambuk itu”
Sekali lagi Widura menarik nafas panjang. Panjang sekali. Ditatapnya wajah yang bersembunyi di balik topeng itu. Namun yang tampak baginya tidak lebih dari wajah mayat dari kayu yang menyelubungi wajah Kiai Gringsing itu. Widura mengangkat alisnya ketika ia pun mendengar orang bertopeng itu menarik nafas dalam-dalam. Namun hanya sesaat. Yang kemudian terdengar adalah kata-kata orang bertopeng itu pula,
“Nah, cobalah”
Widura tidak dapat berbuat lain daripada mencoba membunyikan cambuk itu. Dengan satu gerakan menyentak sendal pancing ia mencobanya. Dan terdengarlah sebuah lecutan yang keras, namun hanya sekeras para penggembala membunyikan pecut-pecut mereka.
“Ternyata kau tidak sepandai aku” berkata Kiai Gringsing, “Berikan cambuk itu” mintanya.
Dengan hati yang kosong Widura menyerahkan cambuk bambu itu. Dan tiba-tiba sekali lagi menggeletar suara cambuk yang dahsyat. Dan sekali lagi getaran yang dahsyat pula menghantam dada Widura. Untunglah ia segera berhasil memusatkan kekuatan batinnya, sehingga dadanya tidak meledak karenanya. Dengan penuh ketekunan Widura kemudian mencoba menenangkan hatinya. Mencoba meredakan getaran-getaran yang menghentak-hentak jantungnya.
Ketika ia hampir berhasil terdengarlah suara Kiai Gringsing tertawa. Katanya,
“Jangan marah Widura. Aku hanya bermain-main. Agaknya kau terkejut karenanya”.
Widura yang menjadi jengkel itu tiba-tiba teringat pada besi yang dibawanya. Besi yang hampir menjadi sebuah lingkaran. Karena itu tiba-tiba ia berkata,
“Kiai, aku juga mempunyai permainan. Apakah Kiai pernah bermain-main dengan lingkaran ini?”
Suara tertawa Kiai Gringsing itu pun terputus. Diperhatikannya potongan besi di tangan Widura itu dengan seksama. Dilihatnya sepotong besi yang melengkung, sehingga kedua ujung dan pangkalnya hampir bertemu.
“Permainan apakah ini?” bertanya Kiai Gringsing.
Widura kemudian memberikan potongan besi itu kepada Kiai Gringsing sambil berkata,
“Permainan yang dibawa oleh Ki Tambak Wedi”
Kiai Gringsing menerima sepotong besi itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya,
“Permainan aneh. Bagaimanakah Ki Tambak Wedi itu bermain? Dilemparkan atau diguling-gulingkan?”

Sekali lagi Widura mengumpat di dalam hati. Namun Widura  pun menyadari, bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap Kiai Gringsing yang dibuat-buat itu. Meskipun demikian, ia menjawab,
“Tidakkah Kiai pernah bermain-main dengan benda-benda yang demikian? Aku sangka orang-orang tua suka bermain-main dengan potongan-potongan besi demikian seperti Ki Tambak Wedi. Aku sendiri tidak tahu, apakah yang menyenangkan Ki Tambak Wedi namun ia membuat lingkaran-lingkaran semacam itu”
Kiai Gringsing itu pun menggeleng. Jawabnya,
“Aku tidak pernah bermain-main dengan benda-benda semacam itu. Inilah”
Sekali lagi Widura menjadi kecewa. Ia ingin mengatakan kepada Kiai Gringsing bahwa kekuatan Ki Tambak Wedi itu telah berhasil melengkungkan besi itu. Namun sebelum ia berkata apaun, dilihatnya Kiai Gringsing melemparkan besi itu ke arahnya sambil berkata, “Terimalah”
Dengan gerak naluriah Widura melangkah ke samping. Potongan besi itu tepat mengarah ke mata kakinya. Karena itu ia harus menghindarinya. Namun ketika kemudian ditatapnya potongan besi yang kini tergeletak di sampingnya, kembali dadanya bergoncang dahsyat sekali. Ia menjadi lebih terkejut lagi dari pada saat ia melihat besi melengkung itu dilemparkan di bawah kakinya, oleh Ki Tambak Wedi. Dengan dada yang bergolak, tanpa sesadarnya Widura memungut potongan besi itu. Dan dengan tangan gemetar ia memeganginya. Namun potongan besi itu kini telah lurus kembali.
“Alangkah dahsyatnya!” katanya di dalam hati.
“Meluruskan potongan besi ini dengan tangan jauh lebih sulit daripada melengkungkannya. Tetapi orang bertopeng itu telah melakukannya”
Sebelum getaran di dalam dadanya itu mereda, terdengarlah Kiai Gringsing itu berkata,
“Nah Widura, kalau kau bertemu sekali lagi dengan Ki Tambak Wedi, tanyakanlah kepadanya. Apakah yang menarik hatinya untuk bermain-main dengan besi-besi semacam itu. Apakah besi-besi semacam itu pulalah yang dipakainya sebagai gelang di tangan atau kakinya? Aku sendiri tidak senang bergelang dan berbinggel di kaki. Apakah bergelang akar atau besi sekalipun”
Kini Widura telah berhasil menenangkan dirinya dari ketakjubannya. Meskipun demikian, kekagumannya kepada orang bertopeng itu menjadi bertambah-tambah. Katanya,
“Kiai, ternyata Kiai lebih pandai bermain dengan potongan-potongan besi daripada Ki Tambak Wedi”
“He?” orang bertopeng itu terkejut, “Apakah aku bermain-main dengan besi itu?”
“Kiai telah berhasil meluruskannya, “sahut Widura.
“Aku menjadi takjub ketika aku melihat Ki Tambak Wedi dengan tangannya berhasil melengkungkan potongan besi itu. Aku kagum akan kekuatan yang tersimpan di dalam tangannya. Tetapi kini, ternyata Kiai dapat pula berbuat demikian, bahkan lebih mentakjubkan lagi. Bukankah meluruskan besi itu lebih sulit dari melengkungkannya?”

Terdengarlah kemudian Kiai Gringsing itu tertawa terkekeh-kekeh. Di antara derai tawanya itu terdengar ia berkata,
“Kau memuji aku Widura. Aku menjadi senang sekali karenanya. Apakah kau sudah kawin?”
Pertanyaan itu benar-benar tak diduganya. Karena itu Widura menjadi bingung, sehingga Kiai Gringsing itu mendesaknya,
“He Widura, apakah kau sudah kawin?”
“Sudah Kiai” jawab Widura.
“Sudah punya anak?”
“Sudah Kiai, seorang”
“Sayang” berkata orang bertopeng itu masih dalam derai tertawanya,
“Kalau belum, kau akan aku ambil untuk menantu meskipun aku tidak punya anak perempuan”
Kembali Widura menarik nafas dalam-dalam sambil mengumpat di dalam hati. Namun ia berdiam diri. Dibiarkannya Kiai Gringsing berkata sekehendak hatinya. Namun ia masih dicengkam oleh kekaguman pada orang itu. Orang yang dengan suara lecutan yang dahsyat telah memperpanjang umurnya, dan dengan kedua tangannya, tanpa dilihatnya telah berhasil meluruskan besi yang melengkung itu.
“Kalau demikian” katanya dalam hati,
“Apakah dugaan Ki Tambak Wedi tidak keliru? Ki Tambak Wedi menganggap bahwa tidak ada orang sakti selain dirinya di daerah ini. Bagaimanakah dengan orang bertopeng ini? Orang yang namanya sama sekali tak dikenal selain olehku dan Agung Sedayu”
Tetapi Widura kemudian terkejut ketika dikejauhan terdengar suara ayam jantan berkokok bersahut-sahutan. Ketika ia memandang ke timur, membayanglah warna-warna semburat merah di atas garis cakrawala.
“Hampir fajar” desisnya.
Kiai Gringsing itu pun menengadahkan wajahnya, kemudian katanya,
“Ya, hampir fajar. Aku harus segera kembali sebelum terang tanah. Orang akan menyangka aku sebagai penari topeng yang kesiangan”
“Kenapa Kiai pakai topeng?” tiba-tiba saja terluncur pertanyaan itu dari mulut Widura.
Kiai Gringsing tiba-tiba terpaku pula di tempatnya. Diawasinya wajah Widura dengan tajamnya. Namun tanpa menjawab pertanyaan itu, Kiai Gringsing melangkah meninggalkan Widura seorang diri. Widura mengawasi langkah Kiai Gringsing dengan hati yang berdebar-debar. Tiba-tiba saja keinginannya untuk mengetahui siapakah sebenarnya orang bertopeng itu melonjak-lonjak di dalam dadanya. Sehingga tiba-tiba ia meloncat sambil berteriak,
“Kiai, berhentilah”
Kiai Gringsing itu pun berhenti. Ketika ia berpaling, dilihatnya Widura meloncati parit dan berlari ke arahnya,
“Aku ingin tahu, siapakah Kiai sebenarnya”
“Jangan” jawab Kiai Gringsing. “Kelak akan sampai saatnya, kau tahu siapakah aku, sekarang belum”
“Tidak” jawab Widura. “Aku ingin tahu sekarang”
“Jangan” berkata Kiai Gringsing seperti orang yang ketakutan. Ketika ia melihat Widura menjadi semakin dekat, tiba-tiba Kiai Gringsing itu pun berlari pula, sambil berkata,
“Jangan Widura. Kenapa kau masih saja akan menangkap aku?”

Namun Widura tidak memperdulikannya. Bahkan ia semakin mempercepat larinya. Ia benar-benar berusaha untuk dapat menangkap Kiai Gringsing. Maka mereka berdua berlari berkejar-kejaran. Kiai Gringsing itu berlari-lari di sepanjang pematang, melingkari gunung Gowok dan berputar-putar. Meskipun demikian, Widura belum berhasil menangkapnya. Bahkan jarak mereka semakin lama menjadi semakin jauh. Akhirnya, Widura itu pun tertegun sendiri. Kiai Gringsing itu seakan-akan lenyap begitu saja, seperti asap dihembus angin. Widura yang terengah-engah itu berdiri tegak seperti patung di atas pematang yang basah. Ketika kemudian disapukannya pandangan matanya berkeliling, dilihatnya dikejauhan, Kiai Gringsing melambaikan cambuknya. Hanya lamat-lamat terdengar suaranya,
“Besok kita bermain-main lagi di gunung kecil itu Widura”
Widura menarik nafas. Tiba-tiba saja ia menjadi geli sendiri atas kelakuannya. Bahkan ia menjadi malu pula. Gumamnya,
“Gila. Apakah aku telah kejangkitan penyakit Kiai Gringsing itu pula? Untunglah tak seorang pun yang melihatnya”
Widura yang kemudian menyadari keadaannya itu, kini melangkah di atas pematang menuju jalan kembali kekademangan Sangkal Putung. Kadang-kadang ia tersenyum sendiri. Dan berkali-kali iam merasa, bahwa hampir-hampir saja ia kejangkitan penyakit Kiai Gringsing yang aneh itu.
Widura itu pun kemudian mempercepat langkahnya. Ia tidak mau kesiangan sampai di kademangan.
Warna-warna merah di ujung timur semakin lama menjadi semakin tegas. Ketika Widura menjadi semakin dekat dengan induk desa Sangkal Putung, semakin riuhlah suara kokok ayam jantan yang seakan-akan menyambutnya. Namun Sangkal Putung tampaknya masih lelap di balik kabut malam yang seakan-akan awan yang keabu-abuan menyelimuti raksasa yang kedinginan. Widura itu pun mempercepat langkahnya. Ia masih harus sembahyang subuh, sebelum melakukan pekerjaannya yang lain. Karena itu, ia harus sampai di kademangan sebelum hari menjadi terang. Ketika Widura itu hampir sampai di regol halaman kademangan, ia menjadi terkejut. Dalam keremangan embun menjelang fajar, dilihatnya beberapa orang bergerombol di muka regol itu, lebih banyak dari yang seharusnya.
Dan Widura menjadi berdebar-debar pula, ketika tiba-tiba ia mendengar salah seorang yang melihatnya berteriak,
“Itulah Ki Widura telah datang”
Widura itu pun berjalan semakin cepat pula. Di muka regol itu dilihatnya Hudaya, Citra Gati, Sonya, Sendawa dan beberapa orang lainnya. Hampir semua dari mereka itu, memegang senjata mereka masing-masing.
“Apa yang terjadi?” bertanya Widura serta-merta.
Citra Gati itup pun kemudian melangkah maju. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menjawab,
“Ternyata kami hanya berprasangka”
“Tentang apa” bertanya Widura pula.
Citra Gati berpaling ke arah Hudaya. Seakan-akan ia minta pertimbangan sahabatnya itu. Namun Hudaya segera memalingkan wajah ke arah lain. Tampaklah mulut Citra Gati berkumat kamit mengumpati Hudaya. Namun yang kemudian dikatakannya adalah,
“Kami berprasangka atas Sidanti,“
“Kenapa dengan Sidanti?” bertanya Widura pula
Sekali lagi Citra Gati berpaling ke arah Hudaya, namun Hudaya masih memandang ke bintang-bintang yang masih bergemerlapan di langit. Karena itu ia menjawab sendiri,
“Kami mengetahui bahwa kakang pergi bersama Sidanti, namun kemudian Sidanti itu kembali seorang diri. Ketika ada di antara kami yang menanyakan kepadanya, ia menjawab namun sangat meragukan kami”

Widura itu pun menarik nafas dalam-dalam. Dadanya benar-benar berguncang mendengar kata-kata Citra Gati. Ia menjadi berbangga bahwa anak buahnya itu demikian setia kepadanya. Namun ia melihat bahaya yang besar pula yang ada di antara mereka. Bahaya yang setiap saat dapat meledak. Ternyata kawan-kawan Sidanti sudah demikian muaknya kepada anak muda yang sombong itu, sehingga setiap kesempatan, benturan-benturan di antara mereka agaknya sulit untuk dihindarkan. Namun betapa pun juga Widura harus memperhitungkan kekuatan di belakang Sidanti. Ki Tambak Wedi. Kalau sampau terjadi sesuatu atas muridnya itu, maka tidak mustahil Ki Tambak Wedi akan melakukan pembalasan dendam yang mengerikan. Bahkan tidak mustahil bahwa Ki Tambak Wedi dapat meminjam tangan Tohpati untuk melakukannya. Kalau Ki Tambak Wedi kehilangan Sidanti, maka Tohpati dapat diambilnya menjadi gantinya. Dan keadaannya akan menjadi semakin kalut. Karena itu, selagi ia belum menemukan cara penyelesaian yang sebaik-baiknya, maka ia harus menghindarkan setiap bentrokan yang mungkin terjadi. Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang kawan-kawannya itu masih berdiri di seputar Widura. Sehingga dengan demikian Widura itu terpaksa membubarkannya,
“Nah, kembalilah kalian ke tempat kalian masing-masing. Kalian jangan terlalu berprasangka kepada seseorang. Untunglah belum terjadi sesuatu atas kalian. Ternyata aku sekarang aku kembali utuh”. Namun di dalam hatinya Widura itu berkata,
“Hampir saja aku tidak kembali. Kalau terjadi demikian, maka apakah kira-kira yang dapat timbul di kademangan ini? Apakah anak-anak ini percaya bahwa aku terbunuh oleh Tohpati?
Tetapi Widura itu tidak berkata apa-apa lagi. Ia langsung berjalan menyibak orang-orang yang berdiri di muka regol itu masuk ke pringgitan. Demikian ia membuka pintu pringgitan, ia melihat Agung Sedayu masih duduk terpekur. Anak muda itu terkejut ketika mendengar pintu bergerit, dan ketika berpaling, dan dilihatnya pamannya kembali, tiba-tiba wajahnya menjadi cerah. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu itu menarik nafas dalam-dalam. Widura itu pun segera pergi ke pembaringannya, melepaskan ikat pinggangnya dan meletakkan pedangnya.
“Apakah kau sudah bersembahyang?” terdengar ia bertanya.
“Sudah paman” jawab Agung Sedayu.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa berkata sepatah pun ia melangkah keluar kembali, pergi ke perigi. Ketika sekali lagi ia menengadahkan wajahnya kelangit, terdengar ia bergumam,
“Hampir fajar”
Baru setelah Widura itu selesai bersembahyang, maka ia pun segera duduk pula bersama-sama Sedayu. Widura itu menggigit bibirnya ketika dilihatnya Sekar Mirah membawa minuman hangat untuk mereka. Bukanlah kebiasaannya untuk menyuguhkan makan dan minum itu dahulu. Tetapi sejak Agung Sedayu berada di kademangan itu, pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh pembantu-pembantunya, kini telah diambil alih olehnya.
“Marilah paman” katanya, “Mumpung masih hangat”
“Terima kasih Mirah” sahut Widura.
“Apakah kakang Sedayu tidak ingin berjalan-jalan?” terdengar gadis itu bertanya pula kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu menggeleng lemah. Jawabnya singkat,
“Tidak, Mirah”
“Ah, hari cerah. Apakah kakang dapat mengantarkan aku kewarung sebentar?” ajak gadis itu.
Sekali lagi Sedayu menggeleng.meskipun sebenarnya ingin juga ia pergi, namun ia tidak berani melakukannya. Karena itu jawabnya,
“Tidak Mirah. Aku sedang sibuk di sini”
Sekar Mirah menjadi kecewa. Ditatapnya wadah Widura seakan-akan ia minta ijin untuk Sedayu. Namun Widura itu menundukkan wajahnya, merenungi air jahe panas di hadapannya. Meskipun demikian Sekar Mirah itu masih mencoba memaksanya, katanya,
“Aku harus berbelanja untuk kalian, namun aku takut seandainya aku bertemu dengan Sidanti di jalan”

Widura kini mengangkat wajahnya. Dilihatnya Agung Sedayu menjadi bingung untuk menjawab pertanyaan Sekar Mirah itu. Maka Widura itu pun berkata,
“Mirah, jangan takut kepada Sidanti. Anak itu bukanlah anak yang jahat. Namun kadang-kadang ia menjadi kecewa karena sikap Sedayu. Nah, pergilah tanpa Sedayu. Aku menjadi jaminan, bahwa tak akan terjadi sesuatu. Apabila kau pergi bersama Sedayu, maka anak muda itu akan bertambah kecewa, dan ia akan dapat berbuat aneh-aneh di Sangkal Putung ini.”
Wajah Sekar Mirah itu menjadi merah. Betapa ia menjadi sangat kecewa mendengar kata-kata Widura itu. Ternyata menurut penilaiannya, Widura berpihak kepada Sidanti.
“Aneh” katanya dalam hati.
“Bukankah Sedayu itu kemenakannya sendiri?” Meskipun demikian ia tidak berkata apa pun lagi. Ketika sekali ia memandang wajah Sedayu, dilihatnya wajah itu menunduk dalam-dalam.
“Anak muda itu menjadi kecewa pula” pikir gadis itu.
Perlahan-lahan Sekar Mirah pergi meninggalkan pringgitan. Sekali-sekali ia berpaling. Namun baik Widura mau pun Agung Sedayu tidak lagi memandanginya. Meskipun demikian, Sekar Mirah itu masih dapat menghibur dirinya,
“Sedayu tidak marah kepadaku” katanya dalam hati.
“Ia hanya takut kepada pamannya”
Pagi itu, Sekar Mirah pergi kewarung seorang diri. Sebenarnya ia pun sama sekali tidak takut seandainya Sidanti berbuat sesuatu atasnya. Apalagi hari telah berangsur terang, dan di sepanjang jalan telah menjadi riuh oleh orang-orang yang pergi datang kewarung di ujung desa. Widura dan Agung Sedayu yang duduk di pringgitan itu terkejut ketika mereka mendengar gerit pintu terbuka. Mereka menggeser duduk mereka, ketika dari pintu itu muncul Ki Demang Sangkal Putung. Wajahnya yang sudah mulai ditumbuhi oleh garis-garis umur itu tampak tersenyum. sambil duduk di samping Widura terdengar ia berkata,
“Hampir semalam suntuk adi berkeliling malam ini”
Widura tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya kakang”
“Bukankah tidak ada sesuatu yang mencurigakan?” bertanya ki Demang itu pula.
Widura menggeleng, “Tidak kakang”
Ki Demang Sangkal Putung itu pun kini mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Anak-anak sudah siap untuk mengadakan perlombaan-perlombaan yang dapat menarik hati mereka dan menghilangkan kejemuan. Apakah anak-anak adi Widura berminat pula?”
“Ya” sahut Widura, “Aku senang dengan rencana itu”
“Kita dapat segera menyelenggarakannya” berkata Ki Demang itu pula.

Widura itu pun tiba-tiba termenung. Apakah perlombaan-perlombaan itu akan dapat menggembirakan anak buahnya dalam keadaan seperti kini. Ia pasti bahwa perlombaan apa pun Sidanti lah yang akan memenangkannya. Namun akhirnya ia menjawab,
“Baiklah kakang, meskipun kami semuanya sudah tahu, siapakah yang akan menjadi pemenangnya. Namun akan menyenangkan pula bagi mereka yang akan menjadi pemenang kedua, ketiga dan seterusnya”
Mendengar keputusan Widura itu, Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Peristiwa itu pasti akan menyenangkan anak-anak muda Sangkal Putung. Perlombaan-perlombaan yang demikian akan menghilangkan kejemuan, dan mereka merasa bahwa dengan perlombaan-perlombaan itu, mereka mendapatkan beberapa kebanggaan.
“Kapan perlombaan itu akan kita adakan?” bertanya ki Demang.
Widura mengerutkan keningnya. Tiba-tiba terngiang ditelinganya kata-katanya Ki Tambak Wedi bahwa waktu yang diberikan kepadanya hanyalah sepasar. Karena itu, maka apa pun yang akan dilakukan harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinannya dengan ancaman itu. Widura percaya bahwa orang semacam Ki Tambak Wedi itu pasti akan mampu melakukan apa saja yang dikatakannya.
Karena itu maka katanya,
“Adakah anak-anak Sangkal Putung telah bersiap untuk melakukan perlombaan ini?”
“Sudah lama mereka mempersiapkan diri” jawab Ki Demang.
“Mereka telah berlatih menggunakan panah, tombak dan bermacam-macam alat untuk berlomba. Sodoran di atas kuda dan bermacam-macam lagi”
“Bagus” sahut Widura. namun kemudian terlintas di dalam angan-angannya setiap sikap dan prasangka pada anak buahnya. Apakah perlombaan-perlombaan yang demikian tidak akan menimbulkan persoalan baru? Pedang, tombak dan semacam itu akan sangat berbahaya bagi anak buahnya yang sedang dibakar oleh ketidak puasan atas sikap satu dengan yang lain. Karena itu, maka kemudian jawabnya,
“Kakang. Kita memilih segi-segi yang paling tidak berbahaya dalam perlombaan ini. Terutama bagi anak buahku sendiri. Mereka adalah prajurit-prajurit yang telah mengalami pertempuran, sebenarnya pertempuran, beberapa puluh kali. Karena itu perlombaan-perlombaan dengan pedang dan tombak tidak akan menyenangkan mereka. Sekali pedang dan tombak mereka terayun, maka tujuan mereka adalah melepaskan nyawa lawan-lawan mereka. Sehingga dengan demikian pedang-pedang rotan dan tombak yang berujung bola hanya akan menimbulkan kekecewaan saja. Meskipun demikian, biarlah mereka diberi kesempatan untuk bermain-main. Yang paling baik adalah lomba mempergunakan panah. Sedang bagi anak-anak Sangkal Putung biarlah mereka mendapat kesempatan untuk mempergunakan segala macam senjata”
Ki Demang Sangkal Putung itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak langsung menangani anak-anak Widura, namun terasa pula olehnya, sikap-sikap yang amat menyulitkan bagi Widura untuk mengatasinya. Karena itu maka jawabnya,
“Baiklah adi. Aku sependapat. Jadi kapan kita adakan perlombaan ini?”
Sekali lagi Widura merenung. Harus sebelum waktu yang sepasar itu tiba. Maka jawabnya,
“Secepatnya kakang”
“Besok?” bertanya Ki Demang.
“Apakah hal itu mungkin?” sahut Widura.
“Mungkin sekali bagi anak-anak Sangkal Putung” jawab Ki Demang. “Tetapi bagaimana dengan anak buah adi?”
“Anak buahku bersiap setiap saat” sahut Widura, “Jangankan perlombaan, bertempur pun siap”
Ki Demang tersenyum mendengar jawaban Widura. katanya,
“Tentu. Hampir aku lupa, bahwa mereka adalah prajurit-prajurit”
Widura  pun kemudian tersenyum pula.

Ketika kemudian Ki Demang itu keluar dari pringgitan, Swandaru telah berdiri tegak bertolak pinggang di pendapa. Terdengar ia tertawa riuh sambil berkata,
“He paman Hudaya, kenapa paman tidur di situ?”
Hudaya yang terkantuk-kantuk bersandar pohon sawo terkejut mendengar sapa Swandaru. Kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepala seakan-akan hendak mengusir kantuknya ia menjawab,
“Hem, semalam aku hampir tidak tidur sekejappun”
“Kenapa? Apa paman sedang bertugas?”
Hudaya menggeleng,
“Tidak. Tetapi aku bermimpi buruk”
Swandaru tertawa pula, “Mimpi apa?”
“Aku mimpi kau digigit anjing” jawab Hudaya.
Sekali lagi Swandaru tertawa terkekeh-kekeh. Tubuhnya yang bulat itu terguncang-guncang. Beberapa orang yang mendengar suara tertawanya berpaling ke arahnya. Ketika mereka melihat Swandaru, maka mereka tidak memperdulikannya lagi. Anak itu selalu saja tertawa, seakan-akan ia tidak mempunyai pekerjaan lain, selain tertawa. Tetapi sekali lagi orang-orang itu berpaling ketika suara Swandaru itu tiba-tiba saja terputus. Dan orang-orang itulah yang kemudian tertawa di dalam hatinya. Menggelikan sekali. Swandaru itu tiba-tiba saja menjadi tegang ketika melihat Sidanti lewat di mukanya. Namun Sidanti itu berpaling pun tidak.
“Apa kerjamu di sini Swandaru?” terdengar Ki Demang bertanya.
Swandaru mengerutkan keningnya. Dengan lantang ia menjawab seakan-akan sengaja supaya Sidanti mendengarnya,
“Apa pun yang aku lakukan, bukankah aku berada di rumahku sendiri?”
“Hus” bentak ayahnya.
“Jangan ngelindur. Pergi ke kawan-kawanmu. Katakan, perlombaan diadakan besok di tanah lapang di muka banjar desa”
“He” Swandaru menjadi sangat gembira,
“Besok ayah?”
“Ya”
Swandaru itu pun segera berlari menghambur. Langsung ia berlari ke banjar desa dimana kawan-kawannya sering berkumpul. Tetapi selain Swandaru, anak buah Widura pun mendengar kata-kata ki Demang itu. Mereka sudah mendengar pula sebelumnya bahwa akan diadakan perlombaan bagi mereka. Meskipun mereka senang juga menyelenggarakannya, namun mereka tidak segembira anak-anak muda Sangkal Putung itu. Sidanti pun mendengar kabar itu. Di sudut pendapa, di tempatnya, ia tersenyum. Katanya dalam hati,
“Hem, siapa yang akan mencoba melawan Sidanti? Dengan rotan pun aku akan mampu membunuh, setidak-tidaknya melumpuhkan orang-orang macam Hudaya, Citra Gati dan tikus-tikus bodoh itu. Apalagi dengan tombak berujung bola. Atau barangkali anak muda yang bernama Agung Sedayu itu?”

Hari itu Sangkal Putung benar-benar menjadi sibuk. Seakan-akan di Sangkal Putung akan diselenggarakan suatu peralatan yang maha besar. Anak-anak muda berjalan hilir mudik simpang siur dengan tergesa-gesa. Hudaya, Citra Gati dan beberapa orang lagi terpaksa ikut sibuk dengan anak-anak muda itu. Mereka terpaksa memberi mereka beberapa petunjuk tentang penyelenggaraan perlombaan besok di muka banjar kademangan. Diberinya anak-anak muda itu petunjuk-petunjuk bagaimana mereka harus membuat lingkaran-lingkaran dengan kapur di tengah-tengah lapangan kecil itu. Bagaimana mereka membuat garis batas bagi sodoran yang akan diselenggarakan pula. Semuanya dibuat dengan tergesa-gesa. Namun justru karena itu anak-anak muda Sangkal Putung menjadi sangat gembira. Sehari-harian mereka bekerja tampa mengenal lelah. Apalagi mereka yang besok akan ikut bertanding. Tetapi justru karena itu pula beberapa anak buah Widura yang ditugaskan membantu penyelenggaraan itu mengumpat tak habis-habisnya. Mereka lebih senang bertempur daripada merentang-rentang tali dipanas yang terik, membuat pagar dan garis-garis batas, membuat orang-orangan untuk lomba memanah. Dan masih terlalu banyak yang harus mereka kerjakan. Namun betapa sibuknya mereka, Sidanti sama sekali tidak mau turun dari pendapa. Apalagi membantu mereka. Bahkan hampir sehari-harian ia berbaring. Kadang-kadang ia tersenyum senyum sendiri sambil bergumam,
“Alangkah bodohnya orang-orang itu. Mereka bekerja keras mempersiapkan arena. Besok akulah yang akan mendapat tepuk sorak dari penonton”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar