Jilid 003 Halaman 3


“Kakang” tiba-tiba terdengar Citra Gati berkata pula,
“Kenapa kakang tidak membiarkan angger Agung Sedayu sekali-sekali mengajarnya untuk bersopan santun?”
Kembali dada Widura bergetar. Namun jawabnya,
“Aku benci melihat perkelahian karena perempuan”
“Oh” Citra Gati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak dapat berkata apa pun lagi. Itu adalah persoalan antara paman dan kemenakannya. Karena itu maka ia pun kemudian kembali ke pendapa dan duduk di samping Sonya dan Sendawa.
“Apa katanya kakang Gati?” bertanya Sendawa setelah Citra Gati duduk di sampingnya.
“Entahlah. Terasa sesuatu dirahasiakan oleh kakang Widura” jawab Citra Gati.
Sendawa, yang matanya cacat sebelah itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tangannya masih sibuk menggosok-gosok senjatanya, sebuah kelewang yang besar dan tebal, sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar. Kemudian mereka tenggelam dalam kesenyapan. Angan-angan mereka masing-masing terbang bersama awan di langit. Sekali-sekali burung elang terbang melingkar-lingkar di udara, mencari mangsanya. Namun induk-induk ayam dengan bulu-bulunya yang tebal, segera menyelimuti anak-anaknya yang ketakutan. Widura  pun kemudian kembali ke pringgitan. Dilihatnya Agung Sedayu duduk terpekur. Dan tiba-tiba saja timbullah perasaan jemu melihat anak itu. Namun ia adalah kemenakannya. Dan ia datang untuk keselamatannya. Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Widura adalah mengumpat-umpat saja di dalam hati.

Matahari pun semakin lama semakin condong kebarat. Dan Widura tidak melupakan janjinya. Malam nanti. Dan akhirnya malam itu datang. Ketika pringgitan itu mulai dinyalakan lampu, Widura melihat Demang Sangkal Putung masuk kedalamnya.
“Silakan kakang” sambut Widura.
Ki Demang dengan lelahnya duduk di samping Agung Sedayu yang duduk terpekur. Sejengkal ia menggeser diri, dan terdengar ia berkata lirih,
“Marilah Bapak Demang”
“Silakan, silakan ngger” jawab demang Sangkal Putung itu.
“Ah, aku baru saja melihat-lihat apakah sawah kita masih sempat ditanami”
“Oh” sahut Widura sambil duduk pula, “Bagaimana keadaannya?”
“Baik” jawab ki Demang.
“Aku mencari ki Demang sejak siang tadi” berkata Widura.
“Ya ya. Aku mendengar dari Swandaru. Aku mendengar pula apa yang telah terjadi. Aku menyesal”
“Kami harus minta maaf kepada kakang” berkata Widura.
“Aku juga. Bukankah Sekar Mirah itu anakku? Anak itu memang seharusnya mendapat peringatan”
Wajah Sedayu menjadi semakin tunduk. Ia sama sekali tidak berani ikut serta dalam pembicaraan itu. Kemudian terdengar Ki Demang meneruskan,
“Dan itu sudah aku lakukan. mudah-mudahan hal yang tak diharapkan ini tidak terulang kembali”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Untunglah demang Sangkal Putung itu sudah cukup usianya untuk dapat memandang setiap persoalan dengan tenang. Karena itu, maka keadaan Widura tidak menjadi bertambah parah lagi.
“Mudah-mudahan” berkata Widura kemudian. “Mudah-mudahan aku akan berhasil menguasai anak buahku”
Ki Demang tersenyum. Namun kemudian ia berkata,
“Ah sudahlah, aku ingin bicara masalah lain”
“Apakah itu?” bertanya Widura.
“Aku melihat kejemuan di antara anak-anak kita. Bukankah begitu?”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya” jawabnya.
“Terasa benar kejemuan itu. Dan karena itu pulalah maka sering terjadi hal-hal yang sama sekali tak diharapkan. Anak-anak itu kadang-kadang membuat hal-hal yang aneh yang kadang-kadang berbahaya”
“Tepat” sahut ki Demang.
“Jangankan anak-anak adi Widura, anak-anak muda Sangkal Putung yang hidup diatara keluarganya pun menjadi jemu oleh ketegangan ini. Nah, aku ada pendapat, kalau adi menyetujui”
“Bagaimana?”
Anak-anak muda Sangkal Putung akan mengadakan perlombaan ketangkasan”
“Bagus” sahut Widura dengan serta-merta.
“Ketegangan mereka akan tersalur. Biarlah anak-anakku juga mengadakannya”
Ki Demang tersenyum. “Nah, kita tinggal membicarakan kapan dan perlombaan apa?”
“Baik kakang” jawab Widura. “Biarlah nanti anak-anak menentukan sendiri”

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Rencana itu adalah rencana yang baik sekali baginya. Tidak saja untuk menyalurkan ketegangan yang menghimpit mereka terus-menerus, namun juga untuk memberikan petunjuk-petunjuk bagi anak-anak muda Sangkal Putung untuk lebih maju dalam olah senjata. Dan lebih dari itu, permainan yang demikian akan dapat memberi mereka kegembiraan.
“Baiklah” berkata ki Demang itu kemudian,
“Biarlah anak-anak membicarakannya. Kini aku ingin beristirahat”
Ki Demang itu pun kemudian berdiri dan berjalan keluar. Widura yang mengantarkannya sampai kepintu, melihat anak-anaknya sudah berbaring di tempat masing-masing. Tetapi ketika pandangan matanya hinggap di sudut pendapa, tempat Sidanti, hatinya menjadi berdebar-debar. Tempat itu ternyata kosong.
“Anak itu belum berada di tempatnya” gumamnya. Namun ia tidak berkata sepatah katapun.
Ketika ki Demang telah turun ke halaman, segera Widura masuk kembali ke pringgitan. Dibenahinya pakaiannya, dikeraskannya ikat pinggangnya dan kemudian disangkutkannya pedangnya di lambungnya. Ia kini sudah benar-benar siap, apa pun yang akan terjadi atasnya malam nanti dalam kedudukannya sebagai pimpinan pasukan Pajang di Sangkal Putung. Ia masih akan berusaha menguasai Sidanti seorang diri. Janjinya untuk bertemu Sidanti tanpa diketahui oleh siapa pun benar-benar akan dipenuhi.
Ketika Widura telah siap benar, berkatalah ia kepada Agung Sedayu,
“Kau tinggal di rumah kali ini Sedayu. Aku akan pergi seorang diri”
Dada Agung Sedayu berdebar-debar. Justru baru siang tadi terjadi peristiwa yang mengusutkan hatinya. Karena itu ia bertanya, “Kenapa aku tidak ikut serta paman?”
“Tidak apa-apa. Kau tinggal di rumah” Widura tidak menunggu jawaban Agung Sedayu. Segera ia melangkah keluar. Katanya dalam hati,
“Biarlah anak itu aku tunggu di regol halaman”

Widura meninggalkan pringgitan, demikian hati Agung Sedayu kembali keriput. Tiba-tiba saja terasa dadanya menjadi sesak oleh kecemasan yang menghentak-hentak.
“Apakah paman sengaja membiarkan Sidanti membunuhku?” katanya di dalam hati. Dan tiba-tiba saja timbullah keinginan yang aneh,
“Ah, apabila demikian, biarlah lebih baik aku ikut saja kepada Kiai Gringsing”. Namun kembali timbul ragunya,
“Jangan-jangan Kiai Gringsing benar-benar menganggapnya seorang yang sakti. Dengan demikian pada suatu kali ia harus berhadapan pula dengan seorang lawan apa pun alasannya”
Tiba-tiba Sedayu hampir pingsan ketika didengarnya pintu berderit dan dilihatnya kepala Sidanti terjulur masuk. Tetapi anak muda itu tidak meloncat masuk dan memukulnya. Dengan tersenyum ia bertanya,
“Dimanakah kakang Widura?”
“Di luar” jawabnya singkat, tetapi terdengar suaranya bergetar.
Tiba-tiba pandangan mata Sidanti itu menjadi aneh. Ditatapnya tiap sudut ruangan. Dan kembali ia bertanya,
“Kakang Widura tidak di sini?”
Sedayu menggeleng, dan dadanya menjadi semakin bergetar. Sidanti masih saja menjulurkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian tiba-tiba saja ia melangkah masuk. Ditatapnya wajah Agung Sedayu dengan nyala dendam di matanya. Kemudian terdengarlah Sidanti berkata,
“Sayang, kakang Widura tidak mengijinkan kita menyelesaikan masalah kita sendiri”
Betapa pun dada Sedayu bergetar, namun dengan sekuat tenaga masih dicobanya untuk tidak berkesan di wajahnya. Dengan tergagap ia menjawab,
“Demikianlah”
“Tetapi bukankah kita bisa menempuh jalan lain?” berkata Sidanti pula,
“Kita tidak usah minta ijin kepada kakang Widura”
Tetapi Sidanti terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar suara Widura di luar pintu,
“Sidanti, aku menunggumu di sini”
“Oh” sahut Sidanti, “Aku sedang mencari kakang”
“Marilah Sidanti, biarkan Sedayu di tempatnya. Jangan mencoba melanggar perintahku”

Sidanti menarik alisnya. Tampaklah wajahnya menjadi tidak senang. Namun ia tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa ia melangkah keluar sambil menggeram,
“Baik kakang Widura”. Tetapi kemarahannya kepada Widura semakan membakar dadanya.
“Aku akan memenuhi permintaanmu” berkata Widura kemudian.
Sidanti tersenyum,
“Terima kasih” sahutnya.
“Kita pergi sekarang” Widura meneruskan. “Aku masih akan melihat gardu-gardu peronda lebih dahulu”
Sidanti tidak menjawab. Namun ia melangkah kesudut pendapa. Dari dinding di atas pembaringannya diraihnya senjatanya yang menyeramkan itu. Kemudian katanya kepada Widura,
“Marilah kakang”
Widura tidak menjawab. Langsung ia melangkah menuruni pendapa, sedang Sidanti berjalan di belakangnya. Di regol halaman Widura berhenti sejenak. Kepada salah seorang penjaga ia berkata,
“Aku akan nganglang kademangan. Lakukan tugasmu baik-baik”
“Baik tuan” jawab penjaga itu. Namun matanya memancarkan keheranannya. Biasanya Widura pergi hampir setiap malam dengan Agung Sedayu, namun kini ia pergi bersama Sidanti.
Mereka mencoba meraba-raba apakah sebabnya. Tetapi tak seorang pun di antara mereka yang berani bertanya.
Sepeninggal Widura dan Sidanti, perlahan-lahan Hudaya berjalan keregol itu pula.
Gumamnya, “Aneh”
“Apa yang aneh kakang?” bertanya salah seorang penjaga.
“Aku tidak bisa mengerti, apakah sebenarnya yang memukau kakang Widura. Anak muda yang sombong itu seakan-akan tak pernah berbuat salah di hadapan kakang Widura. Kalau aku menjadi kakang Widura, aku biarkan kemenakannya, angger Agung Sedayu sekali-sekali menghajarnya. Namun agaknya angger Sedayu lah yang dianggap bermasalah. Lihat, kini anak yang sombong itulah yang dibawanya”
“Aku pun tak mengerti” sahut Sendawa yang berada di tempat itu pula.
“Siang tadi aku melihat Sidanti bercakap-cakap di halaman dengan kakang Widura. Aku tidak tahu, apakah Sidanti itu sedang minta maaf kepada kakang Widura. Tetapi dengan tidak dibawanya Sedayu kali ini benar-benar mengherankan. Tetapi aku mempunyai beberapa prasangka”
Semua orang berpaling kepadanya,
“apakah prasangka itu?” bertanya Hudaya
“Terlalu kabur” jawab Sendawa, “Tetapi prasangka yang jelek”
Semua yang mendengar kata-katanya itu menjadi semakin terpaku. Dan terdengar orang yang bertubuh raksasa itu meneruskan, “Kakang Widura agaknya segan juga terhadap Sidanti”
“Janganlah berkata begitu” sahut salah seorang diataranya.
“Bukankah ki Widura itu telah berkata, menurut kakang Citra Gati, bahwa tenaga Sidanti itu sangat diperlukan di sini? Ialah satu-satunya orang di samping ki Widura, yang setidak-tidaknya dapat menahan arus kemarahan Macan Kepatihan di antara kita”

Sendawa terdiam. Namun di dalam hatinya, ia membenarkan pula pendapat itu. Tetapi sikap Sidanti benar-benar telah memuakkan pula. Sedemikian muaknya sehingga tanpa disengajanya ia bergumam,
“Anak muda itu benar-benar anak setan”
“Siapa?” bertanya Hudaya.
“Sidanti, siapa lagi?”
“Kenapa tidak kau tantang saja berkelahi?” bertanya salah seorang sambil tersenyum.
“Tak ada sebabnya” jawab Sendawa
“Gampang. Kalau sekali-sekali kau tangkap gadis anak Ki Demang itu, kau pasti akan berkelahi dengan Sidanti”
“Belum tentu. Aku dapat juga berhadapan dengan ki Demang atau anaknya yang gemuk bulat itu”
“Kau bersetuju dulu dengan mereka”
“Bagus” Sendawa berhenti sebentar, “Tetapi aku tidak berani berkelahi melawan anak kecil itu”
Yang mendengar pengakuan itu pun tersenyum geli. Sendawa sendiri tersenyum. namun hatinya mengumpat tak habis-habisnya. Seandainya ia mampu, maka Sidanti pasti sudah dihajarnya. Regol halaman itu kemudian menjadi sepi. Hudaya kemudian melangkah kembali ke pendapa diikuti oleh Sendawa sambil menyeret kelewangnya yang besar dan tebal seperti tubuhnya. Hampir semua orang telah tertidur. Citra Gati tidur dengan gelisahnya. Sedang Patra dengan nyenyaknya mendengkur di samping Sonya.

Widura dan Sidanti masih berjalan menyusur jalan-jalan desa, singgah dari satu gardu kemudian gardu yang lain seperti setiap malam dilakukan oleh Widura. Namun kali ini nampaknya ia sangat tergesa-gesa. Beberapa orang  pun menjadi heran, hampir tidak pernah mereka melihat Sidanti meronda bersama Widura. Tetapi seperti orang-orang di regol halaman, mereka  pun tidak bertanya pula. Digardu anak-anak muda Sangkal Putung Swandaru berdiri bertolak pinggang sambil menguap di muka pintu. Tetapi cepat-cepat mulutnya terkatub ketika ia melihat Widura datang kegardu itu bersama-sama Sidanti. Tetapi Swandaru pun tidak bertanya sesuatu. Hanya matanya sajalah yang memancarkan dendam yang tersimpan di hatinya terhadap anak muda yang perkasa, murid Kiai Tambak Wedi yang namanya menakutkan segenap daerah-daerah di sekitar gunung Merapi. Baru setelah semuanya itu selesai, berkatalah Widura,
“Aku sudah selesai dengan pekerjaanku Sidanti, sekarang kau mendapat giliran”
Mendengar kata-kata Widura itu, Sidanti  pun menjadi berdebar-debar pula. Meskipun demikian ia menyimpan juga kegembiraan di dalam dadanya. Jawabnya,
“Baik kakang. Kemana kita akan pergi?”
“Terserah kepadamu” jawab Widura.
“Kita pergi ke tegal” ajak Sidanti.
Widura tidak menjawab. Tetapi ketika mereka sampai di simpang tiga di luar desa induk Sangkal Putung, Widura membelok ke kanan, ke tegal. Sidanti yang berjalan di sampingnya, mencoba untuk menenangkan dirinya. Meskipun gurunya sendiri telah memberitahukannya, bahwa Widura tidak lebih daripadanya, namun wibawa orang itu telah menjadikannya gelisah. Beberapa saat mereka  pun sampai kepategalan yang luas. Di antara tanaman-tanaman buah-buahan, terdapatlah beberapa bagian tanah yang kosong. Meskipun Widura tidak bertanya sesuatu, namun timbullah dugaan dalam hati, bahwa di daerah sekitar inilah Sidanti mendapat tempaan dari gurunya. Bahkan mungkin kali ini pun gurunya ada di sekitar tempat ini. Meskipun demikian Widura sama sekali tidak gentar. Sebagai seorang pemimpin ia akan tetap pada pendiriannya. Apa pun yang akan dihadapi. Di bawah sebatang pohon jambu mete yang besar Sidanti berhenti. Katanya,
“Kita berhenti di sini kakang”
Widura  pun berhenti pula. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Dalam keremangan malam, yang dilihatnya hanyalah batang-batang pohon buah-buahan yang tegak di sekitarnya. Batang-batang yang seakan-akan berwana hitam kelam. Kemudian dengan suara yang berat Widura berkata,
“Nah, apakah yang akan kau lakukan Sidanti?”

Dada Sidanti berdesir mendengar pertanyaan itu. Bagaimanapun juga Widura memiliki cukup pengaruh atas dirinya. Namun dengan sekuat tenaga ia berusaha melepaskan diri dari pengaruh itu. Maka jawabnya,
“Aku ingin minta ijin itu kakang”
“Ijin untuk berkelahi dengan Sedayu?”
“Ya”
“Sudah aku jawab”
Sidanti menarik nafas. Jawabnya,
“Kakang tidak berhak melarang”
“Sidanti” berkata Widura. Sebagai seorang yang lebih tua maka segera ia pun tahu maksud Sidanti yang sebenarnya. Karena itu ia meneruskan,
“Kau tidak usah melingkar-lingkar. Katakan bahwa kau tidak puas dengan keputusan itu. Namun jangan mimpi aku akan merubah keputusan itu”
“Nah” sahut Sidanti, “Sekarang aku tahu, bahwa Sedayu sebenarnya sama sekali bukan seorang pahlawan. Bukan seorang jantan. Apabila demikian, ia pasti sudah berbuat sesuatu. Tetapi ia lebih senang bersembunyi di balik punggung kakang Widura. Bukankah demikian?”
Widura memandang wajah Sidanti dengan sinar mata yang menyala. Jawabnya,
“Terserah atas penilaiannmu Sidanti”
“Apakah bukan sebenarnya demikian?”
Widura tidak menjawab. Tetapi ia masih menatap wajah Sidanti dengan tajamnya. Sehingga kemudian terdengar Sidanti mengulangi, “Bukankah sebenarnya demikian?”
Widura masih tetap berdiam diri. Dan pandangannya pun masih tetap menghunjam kedalam biji mata Sidanti. Dengan demikian Sidanti menjadi semakin gelisah. Untuk menutupi kegelisahannya tiba-tiba saja ia berkata lantang,
“Kakang Widura, kalau tak kau ijinkan Sedayu bertempur, siapakah yang akan mewakilinya?”
Widura sudah menyangka bahwa akhirnya Sidanti akan sampai pada saatnya, menantangnya berkelahi. Widura  pun sadar bahwa Sidanti merasa bahwa ia tidak akan dapat dikalahkannya. Karena itu maka terdengar Widura menjawab,
“Sidanti, katakan sajalah apa yang tersimpan di dalam dadamu. Kau tidak puas dengan keputusanku. Sedang kau merasa sebagai orang yang tak terkalahkan di Sangkal Putung. Sekarang kau sedang mencoba memaksakan kehendakmu. Nah, dengarlah. Aku tetap pada pendirianku” Widura berhenti sejenak kemudian terdengar ia meneruskan,
“Tetapi, itu bukan satu-satunya alasan yang ada di dalam hatimu. Kau juga ingin mengatakan kepadaku, bahwa kau tak akan dapat aku kalahkan, sehingga setiap persoalan aku harus mengingat kepentinganmu. Bahkan tersimpan pula di dalam otakmu, keinginan untuk memegang pimpinan, setidak-tidaknya apabila aku berhalangan”
“Bohong” potong Sidanti tiba-tiba. Tetapi ia terdiam pula ketika Widura bertanya,
“Apakah aku salah duga?”

Sidanti menjadi seakan-akan terbungkam. Kegelisahannya kini benar-benar sangat mengganggunya. Meskipun kemarahannya telah memuncak namun ia masih berdiri terpaku tanpa sepatah kata pun yang dapat diucapkannya. Sehingga ia terkejut ketika Widura mendesaknya,
“Jawab”
“Ya” kata itu meloncat begitu saja dari mulutnya. Namun sesaat kemudian barulah ia menyadari keadaannya. Menyadari jawaban yang sudah terlanjur meloncat dari mulutnya. Karena itu Sidanti sudah tidak akan menelannya kembali. Apalagi ketika ia mendengar Widura berkata,
“Bagus. Kau memiliki kejujuran juga. Namun kau seharusnya sudah memperhitungkan jawabannya. Aku tidak dapat dipaksa oleh siapa pun juga. Juga olehmu. Nah, sekarang apa katamu?”
Kembali Sidanti terdiam untuk sesaat. Namun kemudian dipaksanya juga dirinya untuk mengambil sikap. Karena itu maka tiba-tiba ditengadahkannya dadanya sambil berkata,
“Kakang Widura, kau harus merubah pendirianmu itu. Aku bukan anak-anak lagi. Tak ada orang lain yang dapat berbuat seperti yang aku lakukan. Nah, siapakah yang sudah menahan kemarahan Macan Kepatihan? Apakah yang kira-kira terjadi seandainya tidak ada Sidanti?”
“Aku akui kau berjasa kepada Sangkal Putung khususnya. Namun aku tidak dapat membenarkan, kau berbuat sekehendakmu. Betapa pun besarnya jasamu, namun kau adalah satu di antara kita yang telah menjalin diri dalam kehidupan bersama untuk kepentingan bersama”
Tiba-tiba mata Sidanti itu pun menjadi liar. Kemarahannya kini benar-benar telah membakar dadanya. Katanya,
“Aku akan memaksakan kehendakku”
“Aku sudah menyangka” jawab Widura, “Dan aku sudah siap”
Tetapi Sidanti masih saja berdiri di tempatnya. Hanya bola matanya sajalah yang seakan-akan meloncat dari kelopaknya. Widura yang sudah siap itu pun menunggu apa saja yang akan dilakukan oleh anak muda yang sombong itu. Bahkan Widura masih juga berkata,
“Kalau aku memberimu kesempatan kali ini Sidanti, maka kesempatan yang serupa akan berulang dan berulang kembali. Sekali aku membiarkan perintahku dilanggar maka pelanggaran itu pun akan selalu terjadi”
Sidanti benar-benar telah dibakar oleh kemarahannya. Namun ia masih berdiri saja, seolah-olah sebuah tonggak yang mati. Sehingga dengan demikian tegal itu pun menjadi sepi. Kesepian yang tegang.

Sesaat kemudian, kesepian itu dipecahkan oleh bunyi bilalang di atas dahan-dahan kayu. Dalam kesepian, terdengar suara bilalang itu demikian kerasnya sehingga Widura menjadi terkejut karena suara itu, namun Widura terkejut, karena kedewasaannya berpikir sebagai seorang prajurit. Demikian telinganya mendengar bunyi bilalang itu, demikian Widura menjadi pasti, Ki Tambak Wedi ada di sekitar tempat itu. Demikian suara bilalang itu berhenti, terdengar Sidanti berkata,
“Apakah kakang Widura tetap pada pendirianmu?”
Widura tidak menjawab, tetapi ia mengangguk.
“Bagus” berkata Sidanti lantang, “Kita lihat, apakah Sidanti tidak berhak menyamai kakang Widura di Sangkal Putung”
“Hak itu hanya dapat kau terima dari panglima tamtama Pajang, Ki Gede Pemanahan” sahut Widura.
“Omong kosong!” bentak Sidanti.
Sekali lagi Widura membiarkan anak itu membentak-bentak. Tetapi dalam pada itu kegelisahan Sidanti  pun tidak juga berkurang. Maka kemudian ia berkata,
“Sekarang bersiaplah kakang, aku akan memaksakan kehendakku dengan nilai-nilai seorang jantan”
“Silakan. Meskipun penilaianmu atas kejantanan terlalu kerdil” sahut Widura.
Sidanti sudah tidak dapat berbicara apa-apa lagi. Dengan gemetar ia berjalan kesebatang pohon perdu, menyangkutkan senjatanya, untuk kemudian dengan gemetar pula ia putar tubuhnya menghadapi Widura tanpa senjata di tangan.

Widura heran melihat kelakuan Sidanti. Namun kedewasaannya segera menolongnya untuk memecahkan teka-teki itu. Sidanti adalah seorang pelaku. Di belakangnya berdiri Ki Tambak Wedi. Apa yang dilakukan oleh Sidanti itu, agaknya telah diatur oleh gurunya. Dan kali ini gurunya memerintahkannya untuk berkelahi tanpa senjata. Widura kemudian melepaskan ikat pinggangnya. Dengan demikian pedangnya pun terlepas pula. Seperti Sidanti, Widura  pun menyangkutkan pedangnya pula di dahan perdu. Kini mereka berdua telah tegak berhadap-hadapan tanpa senjata. Sidanti agaknya sudah tidak dapat bersabar lagi. Dengan serta-merta ia berkata,
“Aku akan mulai kakang”
Sebelum Widura menjawab Sidanti telah meloncat dengan garangnya. Kedua tangannya terjulur lurus ke depan mengarah satu ke leher Widura dengan ibu jarinya, sedang yang lain menghantam dada dengan keempat ujung-ujung jarinya. Namun Widura tidak sedang tidur. Karena itu, dengan tangkasnya ia berputar setengah lingkaran sambil merendahkan dirinya. Sehingga serangan Sidanti itu terbang beberapa jengkal dari tubuhnya. Bahkan demikian serangan Sidanti itu lewat, segera Widura membalasnya dengan sebuah serangan pula. Sebuah serangan mendatar pada lambung Sidanti. Tetapi Sidanti itu benar-benar tangkas. Meskipun tubuhnya masih melambung karena tekanan serangannya, ia berhasil menggeliat dan menghindari serangan Widura.
“Hem” Widura menggeram. Katanya dalam hati, “murid Kiai Tambak Wedi ini benar-benar lincah”
Sebenarnyalah Sidanti dapat bergerak selincah burung walet yang menari-nari di udara pada senja hari di atas pantai. Geraknya cepat dan cekatan. Sekali-sekali ia mampu menyambar seperti burung elang, namun kadang-kadang ia menukik seperti merpati jantan. Tetapi Widura sendiri mirip seekor burung rajawali yang tangguh. Dengan kedua tangannya yang kokoh kuat, sekuat sayap-sayap rajawali, ia selalu berhasil melindungi tubuhnya dari sergapan yang tiba-tiba. Bahkan sepasang kakinya itu pun sangat mendebarkan jantung. Dengan putaran-putaran yang berbahaya kaki Widura itu merupakan sebuah perlawanan tersendiri di samping gerak tangannya yang cepat cekatan. Sehingga Widura itu seakan-akan memiliki sepasang otak yang masing-masing dapat mengatur kaki dan tangan dalam gerak pasangan yang tersendiri. Perkelahian itu menjadi semakin lama semakin seru. Sidanti yang lincah menjadi semakin lincah, dan Widura yang kokoh itu pun menjadi semakin tangguh. Kini mereka seakan-akan telah luluh dalam satu lingkaran yang berputar-putar. Bayangan mereka melontar-lontar seakan-akan tak terjendali lagi. Saling menyerang dan saling melibat dalam gerakan-gerakan yang aneh dan membingungkan. Tetapi Sidanti dan Widura tidak menjadi bingung karenanya. Mereka memiliki daya pengamatan yang cukup kuat. Meskipun tangan Sidanti yang cepat itu bisa berubah menjadi berpasang-pasang dan menyerang dari segenap penjuru, namun kaki Widura itu pun seolah-olah menjadi berpuluh-puluh jumlahnya, melontar-lontarkan tubuhnya dari satu titik ketitik yang lain. Sekali-sekali terjadi benturan antara keduanya. Namun ternyata bahwa kekuatan mereka  pun berimbang.

Sekali-sekali Widura terdorong surut, namun kali yang lain Sidanti terlempar beberapa langkah. Kalau mereka dalam kesiagaan yang sama, maka setiap benturan akan memaksa keduanya surut beberapa langkah mundur. Ketika peluh telah membasahi tubuh-tubuh mereka, maka perkelahian itu pun menjadi bertambah sengit. Sekali-sekali Sidanti harus merasakan, betapa wajahnya menjadi panas oleh sengatan tangan Widura yang berat dan mantap. Sekali ia terdorong surut, dan sebelum ia berhasil memperbaiki keseimbangannya, tangan Widura telah menyusulnya. Kembali wajah Sidanti terangkat. Namun ketika sekali lagi tangan Widura menyambar wajah itu, Sidanti berhasil mengelakkannya. Kali ini, Widura sendiri terseret oleh tenaga tangannya sehingga hampir-hampir saja ia tidak mampu melepaskan diri dari serangan Sidanti yang tiba-tiba. Untunglah kemampuan Widura cukup tinggi, sehingga ketika sebuah pukulan mengarah kepelipisnya, Widura sempat merendahkan dirinya. Tetapi ternyata Sidanti pun cukup lincah. Ketika disadarinya bahwa serangan tak menyentuh tubuh Widura, cepat-cepat ia menggerakkan kakinya langsung menyerang dada. Widura yang sedang merendahkan dirinya itu terkejut. Ia tidak sempat mengelak, yang dapat dilakukannya adalah, memukul kaki Sidanti dengan kedua sisi telapak tangannya. Benturan kekuatan itu pun telah mendorong mereka masing-masing beberapa langkah surut. Dan sesaat kemudian mereka telah berloncatan kembali, saling menyerang dan saling bertahan. Sidanti yang lebih muda dari lawannya memiliki nafsu dan tenaga yang lebih baik dari lawannya, namun Widura memiliki ketenangan dan pengalaman melampaui Sidanti . Karena itu , maka dengan pengalamannya itu, Widura selalu dapat menempatkan dirinya, sehingga meskipun Sidanti lebih banyak menyerangnya, namun keadaan Widura tidak mencemaskan. Yang menjadi cemas kemudian adalah Sidanti . Menurut gurunya, Widura itu pasti akan dapat dikalahkan setelah ia mendapat tempaan yang khusus untuk kepentingan itu. Namun ternyata setelah ia berkelahi beberapa lama, Widura itu masih dapat melawannya dengan baik, sebaik pada saat mereka baru mulai. Meskipun Sidanti yakin, bahwa Widura itu pun tak akan dapat memenangkan perkelahian itu, tetapi ia menjadi gelisah, apabila ia tak pula dapat menang daripadanya. Bahkan Widura sendiri kadang-kadang menjadi kagum pada geraknya sendiri. Tiba-tiba saja ia berhasil melepaskan serangan yang seolah-olah dengan sendirinya meluncur dari kedua tangan dan kaki-kakinya. Sebagai seorang yang cukup mempunyai pengalaman dalam pertempuran bersama dan seorang-seorang, maka Widura merasakan, bahwa ada sisipan ilmu pada ilmunya yang telah dimilikinya dari kakak iparnya, Ki Sadewa. Namun ilmu itu terasa sama sekali tidak mengganggunya, bahkan terasa keserasian dan nafas yang sama pula dengan ilmunya. Tiba-tiba teringatlah ia kepada seorang aneh yang selalu datang melihat latihan-latihan Agung Sedayu di gunung Gowok. Orang yang memakai ciri kain gringsing dan juga menamakan dirinya Kiai Gringsing.
“Hem” gumam Widura dalam hati. “Agaknya ilmu orang aneh itu pun telah menyusup masuk ke dalam perbendaharaan ilmu yang telah aku miliki. Dan ternyata sikapnya yang aneh-aneh itu menolong aku pula kali ini”
Dan teringatlah oeh Widura kata-katanya orang bertopeng itu,
“Sidanti pun selalu melatih diri bersama gurunya”

Tangkapannya atas kata-kata itu ternyata benar. Pada suatu saat ia harus bertempur melawan anak muda yang sombong itu. Dan hal itu kini telah terjadi. Dengan nafsu yang bergejolak di dalam dadanya, Sidanti berusaha untuk dapat mengalahkan Widura, dan memaksakan kehendak-kehendaknya atas pimpinannya itu. Tidak saja dalam persoalannya dengan Agung Sedayu, tetapi jauh dari itu. Ia ingin memaksakan kehendaknya dalam setiap persoalan. Tetapi ternyata bahwa ia tidak segera dapat menundukkan Widura. Betapa pun ia telah berjuang. Diperasnya segenap kemampuan yang telah diterimanya dari gurunya, namun Widura itu masih saja dengan gigihnya melakukan perlawanan. Tetapi, baik Sidanti sendiri mau pun Ki Tambak Wedi, sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa hampir setiap malam, seperti juga Sidanti yang mendapat tempaan terus-menerus, Widura  pun selalu berkelahi melawan orang aneh yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Bahkan orang aneh itu berkelahi tidak saja dengan tangan dan kakinya, tetapi dengan mulutnya juga. Orang itu ternyata sempat melihat kekurangan Widura dan bahkan kesalahan-kesalahan kecil sekalipun. Perkelahian yang sengit itu masih berlangsung lama. Mereka sudah hampir menumpahkan segenap tenaga mereka. Karena itu maka tenaga masing-masing semakin lama menjadi semakin susut. Bintang-bintang di langit telah melampaui pertengahannya. Karena itulah maka Sidanti menjadi semakin gelisah karenanya. Kalau ia gagal mengalahkan Widura, maka nasibnya bukan menjadi bertambah baik, tetapi Widura pasti akan semakin bersikap keras kepadanya. Tiba-tiba Sidanti dan Widura kembali mendengar suara bilalang. Seperti suara yang semula mereka dengar. Karena itu Widura  pun menjadi semakin berwaspada. Ia yakin, bahwa suara itu adalah suatu aba-aba yang harus dilakukan oleh Sidanti. Ternyata dugaan Widura itu pun benar. Demikian Sidanti mendengar suara bilalang itu, tiba-tiba saja ia meloncat surut. Kemudian sambil berdiri tegak di atas kedua kakinya yang kokoh, ia berkata lantang,
“Kakang, perkelahian kita tidak akan ada akhirnya”
Widura tidak segera menyerangnya. Ia pun kemudian berdiri beberapa langkah dari Sidanti, katanya,
“Apakah yang kau inginkan kemudian?”
“Bukankah kita membawa senjata masing-masing?”
Widura menarik nafas dalam-dalam, ditatapnya wajah anak muda itu dengan seksama. Namun dalam malam yang kelam itu tak dilihatnya kesan apa pun pada wajah itu, selain kesan kemarahan yang membakar jantung Sidanti. Dalam pada itu terdengar Widura berkata,
“Apakah kau menyadari perkataanmu itu Sidanti?”
“Tentu” jawab Sidanti,
“Bukankah maksud kakang Widura mengatakan, bahwa dengan senjata-senjata itu, dada kita masing-masing akan mungkin terbelah karenanya?”
“Ya”
“Aku menyadari kemungkinan itu. Namun bukan maksudku membunuh kakang Widura. Kalau kakang bersedia memenuhi setiap permintaanku, baik dalam hubunganku dengan Sedayu, mau pun kedudukanku di Sangkal Putung dan seterusnya sebagai prajurit Pajang, maka aku tak akan menyentuh senjataku dalam perkelahian ini”

Sekali lagi Widura menarik nafas dalam-dalam. Yang terloncat dari mulutnya adalah,
“Sidanti, aku telah siap mempertahankan keputusanku”
“Bagus” teriak Sidanti sambil meloncat meraih pusakanya. Sesaat Widura masih tegak di tempatnya. Tetapi ketika ia melihat Sidanti telah menggenggam senjatanya, maka perlahan-lahan Widura itu pun berjalan mengambil senjatanya. Pedang yang tidak begitu tajam, namun ujungnya runcing melampaui ujung jarum.
“Kita akan bertempur sebagai laki-laki, kakang” berkata Sidanti.
“Tentu” sahut Widura.
“Kita tidak ingin saling membunuh, namun siapa yang mula-mula mengalirkan darah dari lukanya, ialah yang kalah”
“Bagus” sahut Widura.
“Yang kalah harus tunduk pada setiap keputusan dari yang menang”
Tiba-tiba Widura menggeleng,
“Tidak” katanya segera. “Kekalahan kita masing-masing di sini tidak mempengaruhi kedudukan kita. Akulah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung”
Dada Sidanti serasa menggelegar karenanya. Tiba-tiba ia berteriak,
“Lalu apakah gunanya kita bertempur di sini?”
“Aku tidak tahu. Aku hanya memenuhi permintaanmu. Sebab bagaimanapun, kau tidak akan dapat mempersoalkan atas Sangkal Putung dan kekuasaan yang ada di tanganku. Aku akan mengambil keputusan menurut keyakinanku, menurut kebenaran yang aku yakini. Tidak dapat seorang pun yang akan mempengaruhi keputusan itu”
“Gila. Apakah kau sangka aku tidak dapat membunuhmu kakang” teriak Sidanti pula.
“Kalau aku mati, maka aku akan mati sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Bukan sebagai kelinci yang sedang melarikan diri dari terkaman anjing hutan”

Tubuh Sidanti tiba-tiba bergetar karena kemarahannya. Matanya yang bulat itu sesaat menjadi redup. Kemudian ditariknya keningnya kesisi, namun kemudian meledaklah kata-katanya,
“Apakah kau ingin kita bertempur sampai mati?”
“Tidak” sahut Widura. “Aku tidak mempunyai keinginan untuk berkelahi dengan kekuatan dalam lingkunganku sendiri. Apalagi sampai mati. Tetapi aku juga tidak ingin melihat kewibawaanku dikurangi. Sebab aku bertanggung jawab kepada panglima Tamtama di Pajang. Tidak kepadamu dan tidak kepada Agung Sedayu. Sedang panglima di Pajang itu menyalurkan perintah adipati Pajang yang sedang menegakkan kewibawaan Demak. Nah, kewibawaanku adalah sebagian dari kewibawaan adipati pajang itu”
“Persetan” potong Sidanti hampir hangus dibakar kemarahannya, “Bersiaplah”
Widura kini benar-benar tak dapat menghindarkan diri dari perkelahian bersenjata. Tiba-tiba saja Sidanti telah meloncat menyerang dengan garangnya. Senjatanya yang tajam di ujung dan pangkalnya itu berputar seperti baling-baling, kemudian melontar seperti jarum pemintalan. Sekali-sekali menyambar dengan ujungnya namun kemudian mematuk dengan pangkalnya. Widura menggigit bibirnya. Dengan tangkasnya ia meloncat-loncat menghindari serangan itu. Pedangnya pun kemudian bergerak-gerak datar, kadang-kadang menyilang dan tiba-tiba saja terjulur lurus kedada lawannya. Kali ini pun Sidanti merasakan, bahwa olah pedang Widura itu cukup mampu untuk melawan senjatanya. Namun ia masih akan mencoba menggunakan kelincahannya dan kecepatannya untuk menembus dinding baja dari putaran pedang lawannya. Perkelahian di antara keduanya kini menjadi bertambah mengerikan. Senjata Sidanti benar-benar merupakan senjata yang berbahaya. Setiap sentuhan dari tajam di ujung dan pangkal senjata itu akan menyobek tubuh lawam. Tetapi pedang Widura itu pun setiap saat dapat membelah dada lawannya. Dengan kekuatan yang mengagumkan pedang itu menyambar-nyambar seoerti alap-alap di udara. Tetapi perkelahian ini pun tak akan berujung pangkal. Karena kepandaian mereka mempergunakan senjata masing-masing. Maka yang terjadi hanyalah benturan-benturan di antara senjata mereka. Demikian besar kekuatan mereka berdua, maka dalam setiap sentuhan di antara senjata-senjata itu, terperciklah bunga api yang seakan-akan berloncatan dari kedua senjata itu. Sidanti pun telah berjuang memeras segenap ilmunya, dan Widura  pun tak kalah sengitnya mempergunakan segenap tenaganya. Demikian dahsyatnya perkelahian itu, sehingga seakan-akan tenaga mereka pun segera terhisap habis. Baik Sidanti mau pun Widura telah mempergunakan pula setiap tenaga cadangan di dalam tubuh mereka. Kekuatan-kekuatan yang dilambari dengan ketekunan latihan-latihan dimasa-masa lampau telah mereka kerahkan. Namun keadan mereka maih tetap berimbang. Bahkan setelah tenaga mereka semakin susutpun, mereka tak dapat melampaui satu dari yang lain.

Kini serangan-serangan mereka sudah tidak secermat pada saa mereka mulai. Kadang-kadang mereka terseret beberapa langkah karena tarikan senjata mereka sendiri. Namun dalam saat yang demikian, lawannya pun tidak segera sempat menyerang. Dengan lemahnya, mereka terpaksa melangkah terhuyung-huyung maju. Bahkan kadang-kadang, karena sentuhan batu-batu kecil pada kaki mereka, mereka telah kehilangan keseimbangan. Pertempuran itu menjadi aneh. Ketika Sidanti mencoba menembus pertahanan Widura dengan sebuah tusukan pada lambungnya, maka Widura  pun berusaha untuk menghindarinya. Ketika ia meloncat ke samping, tiba-tiba kakinya terperosok oleh lubang-lubang yang telah terjadi selama perkelahian itu. Widura yang kelelahan itu pun tidak dapat menahan diri, sehingga ia terhuyung-huyung hampir jatuh. Sidanti ingin mempergunakan kesempatan itu, tetapi ketika serangannya gagal, bahkan ia terseret beberapa langkah oleh senjatanya. Dalam keadaan yang demikian, masing-masing ingin mencoba mempergunakan kelemahan-kelemahan lawannya, namun mereka sendiri seakan-akan telah tidak mampu lagi menggerakkan tangan dan kaki mereka. Sehingga dengan demikian, tidak ada keseimbangan antara kehendak dan perhitungan mereka dalam tata perkelahian itu, dengan tenaga-tenaga mereka yang seakan-akan telah terperas habis. Namun tak seorang pun diatara mereka yang mendahului mengakhiri perkelahian yang aneh itu. Malam semakin lama menjadi semakin dalam, dan bintang-bintang pun menjadi semakin bergeser kebarat. Langit yang biru gelap tersaput leoh mega yang selembar-selembar mengalir dihanyutkan oleh angin yang lembut. Namun yang berkelahi masih berkelahi juga. Tetapi perkelahian itu kini sama sekali sudah tidak berbahaya lagi bagi kedua belah pihak. Meskipun sekali-sekali Sidanti masih menusukkan senjatanya, namun senjata itu tak akan sampai menyentuh tubuh lawannya. Sedang apabila Widura mencoba mengayunkan pedangnya dengan kedua tangannya, maka ia sendirilah yang akan terpelanting jatuh. Nafas mereka berdua kini satu-satu tersangkut di dalam kerongkongan. Peluh mereka mengalir seperti mereka sedang bertempur di dalam hujan yang pekat. Bahkan apabila sekali-sekali terjadi juga benturan di antara senjata-senjata mereka, maka mereka berdua itu pun terdorong surut dn kemudian terbanting jatuh di tanah. Dengan susah payah mereka berebut dahulu untuk bangkit, dan apabila mungkin menyerang sebelum lawannya menguasai diri sepenuhnya. Namun usaha itu tak akan pernah berhasil. Sebab lutut-lutut mereka seakan-akan sudah tidak berpaut lagi.

Meskipun tenaganya sudah hampir habis terperas, namun Sidanti masih mengumpat-umpat dalam hati. Bahkan ia menjadi heran, bahwa Widura mampu melawan dengan baiknya. Pada saat mereka berdua bertempur melawan Tohpati berganti-ganti, Widura itu ternyata tidak lebih baik daripadanya. Kini ia telah mendapat tempaan yang padat dari gurunya, dan bahkan gurunya itu pun berkata, bahwa ilmunya pasti akan lebih baik meskipun hanya selapis tipin dari Widura. Namun ternyata kini, bahwa ilmunya benar-benar tidak melampaui ilmu Widura itu sendiri. Apakah tempaan selama ini, dihampir setiap malam dengan ilmu-ilmu gurunya yang hampir sempurna itu sama sekali tak berpengaruh atasnya? Sedang Widura  pun benar-benar kagum kepada anak muda murid Kiai Tambak Wedi itu. Namun di dalam lekuk-lekuk hatinya, terasa juga bahwa ia sedang mengagumi dirinya sendiri. Ternyata bahwa merah biru di wajah-wajah kulitnya, hampir setiap malam apabila ia berkelahi melawan Kiai Gringsing yang memegang cemetinya di tengah-tengah itu ada juga manfaatnya baginya. Kini ia benar-benar menghadapi senjata Sidanti bukan sekedar cemeti kuda. Apabila senjata yang mengerikan itu benar-benar dapat menyentuhnya, maka akibatnya tidak saja sekedar merah biru di wajah-wajah kulitnya, tetapi luka-luka yang pedih akan menganga. Karena itu  pun Widura bersyukur dalam hati. Siapakah sebenarnya orang aneh yang menamakan dri Kiai Gringsing itu? Tetapi Widura tidak sempat berangan-angan. Kini mereka berdua berhadap-hadapan dengan tubuh gemetar. Bukan karena marah yang membakar dada mereka, namun karena tenaga nr telah terkuras habis. Sidanti yang dengan susah payah masih mencoba tegak di atas kedua kakinya, menggeram dengan suara parau yang gemetar. Katanya,
“Mampus kau kakang Widura”
Keadaan Widura  pun tidak lebih naik dari keadaan Sidanti . namun otaknyalah yan glebih baik. Meskipun nafasnya telah hampir putus di tenggorokan, namun ia berkata di antara engah nafasnya,
“Sidanti, apakah hasil yang kita dapatkan dari perkelahian ini?”
Terdengar Sidanti menggeram. Matanya msih menyalakan kemarahannya yang meluap-luap. Bahkan ia menjadi semakin marah, ketika ia menyadari keadaannya. Ternyata Widura tak dapat ditundukkannya. Apalagi ketika ia mendengar pertanyaan Widura itu. Namun sesaat kemudian pertanyaan itu benar-benar membingungkannya.
“Ya, apakah yang sudah didapatnya dari perkelahian itu?”
Namun yang terlontar dari mulutnya adalah sebuah makian yang kasar.
“Setan. Bukankah dengan demikian kau tahu bahwa kau bukan orang yang aneh di Sangkal Putung. Bahwa Widura  pun manusia juga yang tidak lebih dari Sidanti?”
“Tentu” sahut Widura.
“Apakah aku pernah berkata bahwa aku keturunan malaikat?”
“Tetapi kau merasa, seakan-akan dirimu tak terkena salah. Semua orang harus tunduk atas kehendakmu”
“Itu bukan karena aku Widura. Tetapi itu karena wewenang yang aku terima”
“Omong kosong” bentak Sidanti,
“Sejak sekarang kau harus merubah sikap itu”
Widura menggeleng,
“Tidak” jawabnya tegas.

Dada Sidanti benar-benar akan meledak karenanya. Namun ketika ia ingin menyerang lawannya kembali, ia terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia mencoba untuk menemukan keseimbangannya kembali.
“Gila” anak itu mengumpat lagi. Tetapi kali ini tak ditujukannya kepada siapapun. Sedang Widura masih tegak di tempatnya. Namun seandainya sebuah angin kencang menyentuhnya maka Widura itu pun pasti akan roboh. Karena itu, ia tidak ingin berbuat sesuatu. Otaknya yang telah dipenuhi dengan berpuluh-puluh ribu macam persoalan ternyata masih tetap baik, betapa pun tenaganya telah terhisap oleh embun malam. Kini ia yakin bahwa Sidanti itu sama sekali sudah tak berdaya seperti dirinya sendiri. Dalam pada itu, tiba-tiba mereka berdua terkejut. Namun Sidanti hanya sesaat. Tetapi Widura lah kemudian terguncang dadanya. Meskipun telah disangkanya lebih dahulu, namun kehadiran yang tiba-tiba di antara mereka, benar-benar mengejutkan. Dan dengan wajah cerah Sidanti berkata kepada orang yang baru datang itu,
“Selamat datang guru”
Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya yang panjang runcing serta sepasang matanya yang tajam, setajam mata burung hantu merupakan pertanda, bahwa Kiai Tambak Wedi adalah seorang yang tidak dapat mengenal puas atas segenap usaha yang pernah dicapainya. Widura  pun kemudian mengangguk pula. Seperti Sidanti, ia pun mencoba memberi salam kepada orang sakti itu,
“Selamat datang Kiai”
Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Widura dengan tajamnya, seperti akan ditelannya hidup-hidup. Kemudian sambil mengangguk kecil ia menjawab,
“Hem, selamat Widura”
Widura  pun mencoba untuk mengenal wajah orang yang namanya terkenal di daerah sebelah timur gunung Merapi itu. Semakin jelas ia mengenal wajah itu, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Di antara sepasang matanya yang tajam itu, tampaklah hidung Kiai Tambak Wedi besar dan melengkung seperti paruh burung. Sayang, malam yang pekat itu tak memberi kesempatan kepada Widura untuk melihat setiap garis yang tergores di wajah itu.
“Widura” berkata Kiai Tambak Wedi itu kemudian. Suaranya besat dan seakan-akan bergetar saja di dalam dadanya,
“Ternyata kau mampu menyamai muridku”
Widura mangguk kecil. Jawabnya,
“Aku hanya mecoba melayani adi Sidanti bermain-main Kiai”
“Jangan sombong” sahut Kiai Tambak Wedi.
“Meskipun kau berhasil mempertahankan namamu, tapi jangan berkeras kepala. Aku tidak senang melihat sikapmu”
Widura tidak segera menjawab. Sekali lagi ia mencoba menatap wajah Kiai Tambak Wedi yang sedemikian saktinya, sehingga orang mengatakan bahwa ia mampu menangkap angin.
“Widura” berkata Kiai Tambak Wedi kemudian.
“Aku heran, bahwa kau mampu bertempur dalam tataranmu sekarang. Aku sangka kau tidak akan dapat menyamai muridku. Namun agaknya ilmumu pun bertambah. Aku sangka, setelah Sidanti menambah ilmunya akhir-akhir ini kau akan menjadi ketinggalan karenanya”
Kali ini pun Widura tidak menjawab. Ia masih tegak seperti patung. Patung yang kurang seimbang, sehingga setiap sentuhan akan dapat merobohkannya.
“Tetapi” berkata Kiai Tambak Wedi itu pula,
“Sangkaanku itu keliru” Kiai Tambak Wedi diam untuk sesaat. Kemudian katanya,
“Meskipun demikian itu bukan berarti bahwa setiap tuntutan Sidanti sudah dilepaskan”

Widura menjadi semakin berdebar-debar. Guru Sidanti itu kini ternyata telah secara langsung turut dalam setiap persoalan di Sangkal Putung. Meskipun demikian dibiarkannya Kiai Tambak Wedi itu berkata,
“Widura, sebenarnya aku tidak ingin mencampuri persoalanmu sebagai pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung. Apabila kau tidak berbuat banyak kesalahan. Aku bermaksud membiarkan Sidanti melakukannya sendiri, tetapi ternyata karena Sidanti tak dapat mengalahkanmu, maka kau pasti masih akan berkeras kepala. Kini biarlah aku meneruskan permintaan Sidanti itu. Terus terang, tanpa berbelit-belit. Widura, kau harus menyingkirkan Agung Sedayu. Kedua, setiap kau berhalangan maka Sidanti lah pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Kemudian kau harus menyampaikan kemenangan Sidanti atas Tohpati. Seterusnya kau harus mengusulkan kepada atasanmu, panglima wiratamtama. Untuk kedudukan yang lebih baik bagi Sidanti, ingat, masa depan Sidanti harus berbeda dari masa depanmu. Kau sudah puas dengan kedudukanmu sekarang. Tetapi Sidanti tidak. Sidanti melihat jauh ke masa depan. Dengarlah Widura, bukankah dengan menyingkirkan Jipang, maka adipati Pajang sekarang ini, adalah pewaris satu-satunya kerajaan Demak. Aku kira sultan Cirebon, manantu Trenggana pula, tidak akan mempunyai tuntutan apa-apa. nah, apa pula yang kelak akan terjadi dengan janji tanah Mentaok dan Pati bagi mereka yang dapat membunuh adipati Jipang? Bukankah dengan demikian hari depan Pajang sendiri masih akan berbelit-belit. Dalam keadaan yang demikian Sidanti harus tampil ke depan. Kau dengar? Kalau kemudian Sidanti telah menemukan kedudukan yang pantas baginya, kau adalah salah seorang dari panglimanya. Begitu?”
Widura masih berdiam diri. Namun tiba-tiba ia menjadi muak mendengar semua kata-katanya Kiai Tambak Wedi. Tetapi ia harus menjaga dirinya. Kiai Tambak Wedi adalah seorang yang sakti. Bahkan ia terkejut ketika Kiai Tambak Wedi itu berkata,
“Kau adalah anak tangga yang pertama bagi Sidanti , Widura. Bagaimana?”
Tiba-tiba Widura itu pun menggeleng. Kini ia menjawab dengan ketegasan yang sama seperti jawabannya kepada Sidanti.
“Sayang Kiai, aku tidak dapat memberikan apa-apa kepada Sidanti”
Kiai Tambak Wedi menarik alisnya. Kemudian ia tersenyum. Katanya,
“Jangan berkeras kepala Widura. Ingat, nasibmu akan dapat menjadi kurang baik”
Sekali lagi Widura menggeleng.
“Kiai, mungkin aku dapat menjanjikannya di sini karena aku takut kepada Kiai. Namun aku tidak akan dapat melaksanakannya kelak. Bukankah dengan demikian aku sekedar menipu Kiai. Karena itu lebih baik berkata terus terang”

Sidanti yang mendengar percakapan itupun, wajahnya menjadi semakin membara. Bahkan kemudian ia menggeram,
“Bukankah guru dapat memaksanya?”
“Tentu Sidanti” sahut Kiai Tambak Wedi.
“Aku akan bisa memaksanya. Menangkapnya sekarang dan mengikatnya di batang  jambu mete ini. Kemudian dengan kukuku ini aku dapat menggores kulitnya sehingga terkelupas. Tetapi Widura tidak akan membiarkannya aku berbuat demikian, bukankah begitu?”
Dada Widura  pun menjadi semakin berdebar-debar. Meskipun demikian ia menjawab,
“Benar Kiai, aku mengharap Kiai tidak akan berbuat demikian. Tetapi permintaan Kiai itu pun tak akan dapat aku penuhi”
Kiai Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Jangan begitu Widura. Nasibmu, hidup matimu kini ada di tanganku”
“Terserahlah kepada Kiai”
Kiai Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Jawaban itu benar-benar tidak menyenangkan. Katanya,
“Widura, jangan membuat aku marah. Aku bisa membunuhmu sekarang”
“Terserah kepada Kiai. Aku harus tetap pada perintahku. Hidup atau mati adalah akibat yang sudah aku ketahui sejak aku masuk menjadi seorang prajurit. Adalah sudah seharusnya aku mati sambil menggenggam kewajiban. Bukan mengingkari” Kiai Tambak Wedi, seorang yang sudah kenyang mengenyam pahit manisnya kehidupan itu, mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban Widura. Ia kagum pada kejantanannya. Kagum pada tanggung-jawabnya. Meskipun demikian, ia sama sekali tidak senang mendengar jawaban itu. Dengan demikian seakan-akan Widura itu sama sekali tidak takut kepadanya. Ia ingin agar setiap orang menjadi gemetar dan menggigil ketakutan mendengar namanya.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 002                                                                                                       Jilid 004 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar