Jilid 006 Halaman 1


UNTARA dan Agung Sedayu kemudian tidak membuang-buang waktu lagi. Segera mereka mulai dengan suatu latihan yang keras. Ternyata Untara benar-benar ingin melihat, sampai dimana puncak kemampuan adiknya. Ketika latihan itu telah berjalan beberapa lama, maka tahulah Untara bahwa apa yang dikatakan oleh Widura itu memang sebenarnya demikian. Agung Sedayu mempunyai bekal yang cukup untuk menjadi seorang anak muda yang perkasa. Ketangkasan, kekuatan tenaga dan kelincahan. Apalagi kini, setelah anak muda itu menemukan kepercayaannya kepada diri sendiri, maka setiap geraknya pun seolah-olah menjadi lebih mantap. Meskipun beberapa kali Untara melihat kesalahan-kesalahan yang masih dilakukan oleh adiknya, namun kesalahan-kesalahan kecil itu segera dapat diperbaikinya. Dalam latihan-latihan itulah, maka Widura melihat betapa Untara sebenarnya mempunyai ilmu yang hampir mumpuni. Bahkan kemudian Widura itu tersenyum sendiri mengenangkan perkelahian antara Untara dan Sidanti.
“Aneh” pikirnya,
“Jarang aku temui anak muda sesabar Untara dalam menghadapi lawan perkelahian apa pun alasannya. Tetapi terbawa oleh tugas yang diembannya, maka agaknya Untara harus berlaku bijaksana. Kalau ia mau, maka Sidanti adalah bukan lawannya.”
Namun, Agung Sedayu ternyata telah mengagumkan pula. Kini anak itu tampaknya tidak ragu-ragu lagi untuk sekali-sekali membenturkan tenaganya apabila perlu. Meskipun beberapa kali ia terdorong surut oleh kekuatan Untara, namun segera ia berhasil menguasai keseimbangan dengan kelincahannya. Untara melihat ketangkasan adiknya itu dengan penuh kebanggaan di dalam dadanya. Apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu, benar-benar jarang ditemuinya. Melatih diri dalam lukisan-lukisan. Membuat perhitungan-perhitungan dengan gambar. Tetapi ternyata dalam pelaksanaannya pun Agung Sedayu mampu melakukan sebagian besar dari angan-angannya yang dituangkannya di atas rontal-rontal. Hanya di sana-sini Untara masih perlu memberinya beberapa petunjuk dan perubahan, sehingga dengan demikian ilmu Sedayu itu pun menjadi semakin sempurna. Ketika Untara telah cukup mengenal ilmu adiknya, serta menganggap latihan itu telah cukup, maka segera ia menghentikannya. Agung Sedayu, yang sebenarnya telah menjadi kelelahan, sgera meloncat surut dan dengan wajah yang riang ia berdiri bertolak pinggang. Meskipun demikian, tampak juga dadanya menggelombang karena nafasnya yang terengah-engah.
“Kau lelah” bertanya Untara.
Agung Sedayu mengangguk, jawabnya,
“latihan ini terlalu keras bagiku.”
“Belum sekeras perkelahian sebenarnya” Untara menyahut,
“Apalagi kalau kau bertemu dengan Macan Kepatihan dengan tongkatnya yang mengerikan itu.”

Agung Sedayu menarik nafas. Kemudian ia pun segera duduk di atas seonggok tanah di samping pamannya. Sedang Untara masih saja berdiri untuk kemudian memberikan beberapa petunjuk tentang kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh Agung Sedayu.
“Sedayu” berkata kakaknya,
“kau ternyata mampu bertempur seorang lawan seorang. Tetapi suatu ketika kau akan turut serta dalam pertempuran brubuh. Pertempuran antara laskar Pajang dan laskar Jipang. Dalam pertempuran yang demikian kau tidak hanya dapat membanggakan kekuatan pertempuran seorang lawan seorang. Tetapi kau harus dapat menempatkan dirimu di antara kawan dan lawan.”
Agung Sedayu kemudian memperhatikan dengan seksama petunjuk-petunjuk yang diberikan oelah kakaknya. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di dalam perang antara dua kekuatan dalam jumlah yang banyak. Hal-hal yang sebagian lagi pamannya telah memberitahukannya kepadanya. Tetapi Untara itu pun berhenti ketika dilihatnya sebuah bayangan yang bergerak-gerak di belakang pucuk kecil itu. Namun mereka tidak menjadi cemas karenanya. Orang itu telah mereka kenal baik-baik. Kiai Gringsing.
Namun mereka menjadi heran ketika melihat Kiai Gringsing itu tidak datang sendiri. Ketika Untara melihat orang yang datang bersama dengan Kiai Gringsing itu, tampak wajahnya menjadi tegang. Dengan agak tergesa-gesa ia kemudian bertanya,
“Apakah ada sesuatu yang penting dengan pekerjaanmu?”
Sebelum orang itu menjawab, terdengar Kiai Gringsing tertawa. Katanya,
“Kenapa kau tidak mempersilahkan aku dahulu, baru bertanya kepada orang ini?”
Untara tertawa. Jawabnya,
“Marilah Kiai. Aku mempersilahkan Kiai.”
“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata,
“Apakah muridmu bertambah seorang lagi Sedayu?”
Agung Sedayu tersenyum, tetapi ia tidak menjawab. Bahkan yang berkata kemudian adalah Kiai Gringsing,
“Nah, sekarang bertanyalah kepada orang itu.”
Untara mengerutkan keningnya. Kemudian katanya kepada orang yang datang bersama dengan Kiai Gringsing,
“Kemarilah”
Orang itu ragu-ragu sejenak. Ditatapnya wajah Agung Sedayu dan Widura berganti-ganti. Untara yang dapat meraba keraguan orang itu berkata,
“Mereka adalah pemimpin laskar-laskar Pajang di Sangkal Putung. Yang satu adalah adikku Agung Sedayu dan yang lain adalah paman Widura.”
Orang itu menganggukkan kepalanya sambil berkata,
“Aku pernah mendengar tentang paman Widura di Sangkal Putung, tetapi baru kali ini aku melihat orangnya.”
Widura tersenyum, sahutnya,
“inilah orangnya. Tak ada yang menarik.”

Orang itu tertawa pendek, yang mendengarpun tertawa pula. kemudian Untaralah yang berkata,
“Soma, berkatalah. Biarlah paman Widura mendengar pula.”
Soma menarik nafas dalam-dalam, kemudian setelah menelan ludahnya ia berkata,
“Ada beberapa berita tentang orang itu.”
Sebelum Soma meneruskan, terdengar Widura menyela,
“Untara, aku telah memperkenalkan diriku, tetapi siapakah ki sanak ini?”
Untara mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian jawabnya,
“ia salah seorang pembantuku.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia mengerti, orang itu pasti dari pasukan sandi. Karena itu maka Widura tidak bertanya lagi. Kemudian berkatalah Soma itu seterusnya,
“Ketika aku datang ke pondokan kakang, ternyata kakang telah tidak ada. Menurut pesan kakang terakhir, aku harus datang ke rumah itu. Dan yang aku jumpai adalah Kiai Gringsing.”
“Aku meninggalkan rumah itu dengan tergesa-gesa tanpa aku rencanakan terlebih dahulu. Tetapi bukankah aku telah berpesan kepada Kiai Gringsing?”
“Pesan yang aneh” gumam Kiai Gringsing.
Untara tersenyum dan Soma itu pun tersenyum.
“Tak ada orang yang dapat berbicara dalam bahasamu Untara” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“dan pesan itu sudah aku sampaikan.“ Kemudian kepada Agung Sedayu Kiai Gringsing berkata,
“He, Sedayu apakah kau dapat mengerti bahasa Untara itu. Bulan muda, angin selatan, bintang utara. Laju bersama gubug penceng.” Kiai Gringsing itu pun kemudian tertawa terkekeh-kekeh.
“Ayo Sedayu apakah kau tahu artinya?”
“Aku tahu Kiai” jawab Agung Sedayu.
“Apa?”
“Kisanak itu harus datang bersama Kiai menemui kakang Untara di sini.” Jawab Agung Sedayu sambil tertawa.
Untara tertawa, Soma itu pun tertawa dan yang lain-lain juga tertawa.
“Aku pun dapat memberikan arti menurut kehendakku” berkata Kiai Gringsing.
“Tetapi bukankah Ki sanak itu datang kemari bersama Kiai?” berkata Sedayu.
Kembali mereka tertawa. Tetapi Untara tidak berkata apa-apa tentang kata-kata sandi itu.
“Nah, Soma” berkata Untara kemudian,
“katakan berita itu?”
“Macan Kepatihan menempatkan beberapa orang untuk mengamat-amati Benda, namun kemudian pergi ke Timur.”
Untara mengerutkan keningnya, katanya,
“Apakah dapat diketahui, pada siapakah orang-orang Tohpati itu bersembunyi?”
“Sudah, tetapi kami belum mengetahui jumlah itu.” Jawab Soma,
“sedang di hutan-hutan di sebelah barat kadang-kadang tampak juga beberapa orang Jipang. Di antara mereka adalah Plasa Ireng.”

Kini tidak saja Untara yang mengerutkan keningnya. Tetapi Widura pun kemudian memperhatikan berita itu dengan seksama. Bahkan dengan serta-merta ia berkata,
“Ada tanda-tanda Tohpati akan menyergap dari barat?”
Untara mengangguk,
“Ya” jawabnya,
“Mereka sedang menyusun kekuatannya di barat. Plasa Ireng dan pasti Alap-alap Jalatunda telah ditarik pula kedalamnya.”
Widura kemudian termenung sejenak. Agaknya Tohpati benar-benar mengerahkan segala kekuatan dari sisa-sisa laskar Jipang, Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan mungkin pula pimpinan laskar Jipang di daerah utara, yang terkenal dengan nama Sanakeling.
Sesaat gunung Gowok itu menjadi sepi. Mereka masing-masing hanyut dalam arus angan-angannya. Widura merasa bersyukur bahwa sampai saat ini Sidanti masih dapat dikuasainya atas kebijaksanaan Untara,sehingga apabila sergapan Tohpati itu datang beserta beberapa orang terkenal dari laskar Jipang, tenaganya masih dapat dipergunakan. Widura pun mengharap Agung Sedayu akan memperkuat laskarnya pula di samping Untara sendiri. Untara itu pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada pembantunya,
“Aku terima beritamu. Hubungi Trigata. Aku berada di Sangkal Putung. Beritahukan setiap perkembangan keadaan.”
Orang itu mengangguk. Jawabnya,
“Tetapi pasti tidak malam ini. Mungkin besok malam atau lusa.”
“Apakah ada tanda-tanda Tohpati menyergap malam hari?”
“Mungkin. Mereka menyiapkan obor dan panah-panah api.”
“Setan” Untara menggeram,
“Tetapi bukan tujuan mereka menghancurkan Sangkal Putung, sebab mereka memerlukan lumbung-lumbung padi di sini. Tetapi bahwa mereka menyerang pada malam hari adalah mungkin sekali.”
“Nah, aku akan pergi dulu kakang. Mungkin keadaan berkembang terlalu cepat.”
“Baik,aku akan berada di Sangkal Putung.”
Orang itu pun kemudian mengangguk, minta diri kepada semua yang hadir di tempat itu, dan menghilang di antara gelapnya malam.
“Petugas yang baik” gumam Untara.

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya masih tegang. Sebagai seorang yang bertanggung jawab atas daerah itu, maka segera Widura membuat perhitungan-perhitungan. Tiba-tiba ia teringat kepada Tambak Wedi. “Sepasar” katanya dalam hati. Kini dua hari telah dilampauinya. Tiga dengan besok.
“Gila orang yang tak tahu keadaan itu. Ia terlalu mementingkan diri sendiri dan muridnya tanpa memandang segenap persoalan dalam jangkauan yang luas. Tetapi tiba-tiba ia teringat pula pada orang yang bertopeng yang duduk di mukanya. Dan dengan serta-merta Widura itu bertanya,
“Kiai” katanya,
“apakah Kiai bertemu dengan Tambak Wedi di lapangan. Bukankah Kiai telah melemparkan cemeti Kiai setelah Tambak Wedi melemparkan gelang besinya.”
Orang itu tertawa,
“ya” jawabnya,
“ia memberi aku salam yang hangat, sehangat api neraka. Tetapi setelah kalian bubar orang itu pergi juga tanpa berbuat sesuatu. Aku sangka ia akan marah kepadaku. Tetapi ia hanya mengancamku.”
“Apakah katanya?”
Kiai Gringsing itu diam sesaat. Kemudian dijawabnya,
“Ki Tambak Wedi minta aku tidak ikut mencampuri urusannya dengan kau. Kalau aku tidak memenuhinya, maka aku akan dibunuhnya.”
Widura mengangkat alisnya. Setelah termenung sejenak ia bertanya pula,
“Bagaimanakah jawaban Kiai?”
“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas. Kemudian katanya,
“Aku kira tak seorang  pun yang berhak berbuat seperti Ki Tambak Wedi itu. Kalau ia ingin berbuat sekehendaknya, maka aku pun akan berbuat sekehendakku. Bukankah nanti apabila Ki Tambak Wedi marah aku mencari perlindungan kepada Agung Sedayu?”
“Ah” Agung Sedayu mendesah, tetapi Widura dan Untara tertawa.
Dan Kiai Gringsing itu pun berkata seterusnya,
“Tetapi lupakan sajalah Ki Tambak Wedi itu. Aku harap ia tidak bersungguh-sungguh. Yang perlu kau pikirkan, bagaimana kau dapat menghindarkan Sangkal Putung dari bencana yang akan dapat ditimbulkan oleh Tohpati.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Untara pun kemudian berdiam diri, sedang Agung Sedayu memandang jauh ke langit, seakan-akan sedang menghitung bintang yang berhamburan di atas dataran yang biru pekat.

Sesaat mereka saling berdiam diri. Widura sedang mencoba menghitung-hitung kekuatan di pihaknya dan membandingkan dengan kekuatan Tohpati. Dalam jumlah, maka Widura dapat berbesar hati. Dengan anak-anak muda Sangkal Putung, laskarnya pasti berjumlah lebih banyak dari jumlah laskar Tohpati. Namun dalam penilaian seorang-seorang, maka Widura masih harus berkeprihatin. Meskipun setiap orang di dalam laskarnya tidak akan kalah dari setiap orang dalam laskar Jipang, tetapi anak-anak muda Sangkal Putung, Widura pun tidak yakin kalau jumlah laskarnya akan memadai. Karena laskar Jipang dapat berada dimana saja yang mereka kehendaki, sehingga suatu ketika, jumlah laskar Jipang itu dapat menjadi banyak sekali. Karena itu maka Widura mengambil kesimpulan, bahwa anak-anak muda Sangkal Putung itu pun selagi sempat harus mendapat penempaan sejauh-jauh mungkin. Bahkan orang-orang yang sudah agak lanjut usianya, asal mereka sanggup dan bersedia, pasti akan menjadi tenaga bantuan yang berarti. Sesaat kemudian, maka Kiai Gringsing itu pun pergi meninggalkan mereka. Katanya,
“Aku akan pulang ke rumahku di antara rumpun-rumpun bambu. Hati-hatilah, setiap saat Tohpati itu akan datang. Mungkin benar ia akan menyergap dari arah barat. Karena itu, awasilah arah itu baik-baik. Namun jangan lengahkan penjagaan-penjagaan di tempat-tempat lain.”
“Baik Kiai” jawab Widura.
Namun Kiai Gringsing itu berpaling pun tidak. Orang itu berjalan mendaki puntuk kecil, lewat di bawah pohon kelapa sawit dan seterusnya hilang di balik puntuk kecil itu.
Belum lagi Untara sempat berpaling, terdengar Agung Sedayu bertanya
”Siapakah sebenarnya orang itu?”
Untara tersenyum, jawabnya,
“Kiai Gringsing.”
Agung Sedayu hanya dapat menggigit bibirnya. Ketika kemudian Untara dan Widura tertawa, maka anak muda itu berdiri sambil menggeliat. Katanya
“Apakah kita akan tidur di sini?”
Widura bahkan tertawa semakin keras. Katanya
“Apakah kau berani tidur di sini? Bukankah setiap malam, apabila kita berada di tempat ini kau selalu saja mengajak pulang? apalagi ketika kau dengar Tohpati sedang berkeliaran di daerah ini?”
“Ketika itu tidak ada kakang Untara” jawab Sedayu.
“Bagaimanakah kalau aku lari apabila ada bahaya?” bertanya Untara.
“Apa kakang sangka aku tidak bisa lari secepat kakang?” bantah Agung Sedayu.

Kembali mereka tertawa. Namun terasa oleh Widura, betapa kemenakannya itu mengalami banyak perubahan. Kini ia sama sekali tidak tampak menjadi cemas seandainya bahaya betul-betul mengancamnya. Apalagi setelah ia mendapat beberapa petunjuk oleh kakaknya. Baik lukisan-lukisannya maupun pelaksanaannya, maka ternyata Agung Sedayu benar-benar dapat menjadi seorang anak muda yang perkasa. Apalagi hatinya benar-benar menjadi besar dan tangguh. Maka kekuatan Agung Sedayu pantas diperhitungkan. Sesaat kemudian Widura dan Untara pun berdiri pula. keperluan mereka agaknya sudah cukup buat kali ini. Sehingga dengan demikian segera mereka pun kembali ke kademangan. Hari itu setiap penjagaan menjadi lebih diperkuat. Gardu-gardu peronda dan peronda-peronda keliling. Tohpati yang berada di sekitar tempat mereka, setiap saat dapat menyergap. Namun yang harus mendapat pengawasan paling ketat adalah justru daerah barat. Sedang kerja Widura hari itu adalah menangani sendiri latihan-latihan bagi anak-anak muda Sangkal Putung di samping beberapa orang anak buahnya. Langsung diberikannya beberapa petunjuk penting apa dan bagaimana mereka harus berbuat di dalam pertempuran-pertempuran. Swandaru, yang memimpin anak-anak muda itu pun berlatih dengan sekuat-kuat tenaganya, supaya namanya tidak terlalu jauh dibawah nama-nama yang dikaguminya. Sidanti, Sedayu, Widura dan Untara.
Hanya Sidanti lah yang selalu bersikap acuh tak acuh atas semua kesibukan itu. Meskipun demikian, sampai saat itu, Sidanti masih berada dalam barisan Widura.
Hari itu pun ternyata Tohpati belum menyergap Sangkal Putung. Sehingga pada malam harinya dan Agung Sedayu masih dapat memanfaatkannya dengan beberapa latihan penting. Juga anak-anak muda Sangkal Putung, oleh Widura diajarinya bertempur di malam hari. Bagaimana mereka harus mengenal kawan dan lawan di dalam gelap dan bagaimana mereka harus memberikan ciri masing-masing dan tanda-tanda sandi. Selain itu Widura pun telah membuat beberapa persiapan untuk bertempur malam hari. Obor-obor dan panah-panah api untuk mengimbangi laskar Tohpati yang dengan api akan mencoba mengacaukan pertahanan pasukan yang berada di Sangkal Putung. Dipagi hari berikutnya, ketika Untara dan Agung Sedayu sedang sibuk mengurai lukisannya datanglah seorang penjual keris yang ingin menemui Untara. Kepada para penjaga dikatakannya bahwa ia mendapat pesanan dari Untara itu. Ketika seseorang menyampaikannya kepada Untara, maka Untara itu pun mengerutkan keningnya, kemudian katanya,
“Ya, aku memang memesan sebuah keris. Bawalah orang itu masuk.”
Sesaat kemudian orang yang menyebut dirinya pedagang keris itu diantar masuk ke pringgitan.
“Duduklah” Untara mempersilahkan.

Orang itu pun kemudian duduk di atas sehelai tikar pandan. Di punggungnya terselip sebilah keris, dan dianggarnya pula keris yang lain, pada sangkutannya di dalam jumbai di bagian depan ikat pinggangnya.
“Paman” berkata Untara kemudian kepada Widura,
“apakah paman tidak ingin melihat beberapa bilah keris?”
Widura tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Namun demikian ia duduk pula di hadapan orang yang menyebut dirinya pedagang keris itu. Agung Sedayu pun kemudian hadir juga di antara mereka.
Sesaat kemudian barulah Untara berkata kepada orang itu,
“Apakah kau membawa keris itu?”
Orang itu menggangguk. Kemudian dijawabnya,
“Ya, Soma telah menyampaikan pesan itu.”
Untara mengangguk-angguk. Bahkan Widura pun mengangguk-angguk pula. Sedang Agung Sedayu sekali-sekali mencoba memandang wajah orang itu.
“Nah, marilah aku perkenalkan dengan pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung” berkata Untara sambil menunjuk Widura,
“Paman Widura.”
Orang itu mengangguk dalam sambil berkata,
“Aku adalah utusan kakang Untara.”
Kembali Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia tahu bahwa orang itu sama sekali bukan pedagang keris. Tetapi orang itu adalah salah seorang pembantu sandi dari Untara dalam kedudukannya sebagai seorang senopati yang memegang kekuasaan atas nama Panglima Wira Tamtama. Ki Gede Pemanahan.
“Namanya Trigata” sambung Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu mengangguk-angguk pula, nama itu pernah didengarnya di Gunung Gowok dahulu, ketika kakaknya berpesan pada Soma.
“Nah sekarang, apakah yang akan kau sampaikan?”
“Kelanjutan dari berita-berita yang dibawa oleh Soma.”
“Ya”
“Tohpati hari ini berada di hutan-hutan sebelah barat padukuhan Benda.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“apakah sangkamu persiapannya sudah selesai?”
“Kami menyangka demikian. Orang menyelundup kami yang di sekitar lingkungan mereka yang dapat kami hubungi telah mendengar perintah untuk tetap di tempat bagi mereka.”
Kembali Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagaimanakah dengan obor dan panah api?”
Trigata berpikir sejenak, kemudian jawabnya,
“Mungkin akan benar-benar mereka pergunakan. Mereka tidak mau gagal kali ini. Karena itu mereka akan mempergunakan alat-alat untuk mengacaukan pertahanan kita di sini.”

Sesaat mereka kini berdiam diri. Masing-masing mencoba membayangkan apakah kira-kira yang akan terjadi seandainya laskar Macan Kepatihan itu benar-benar akan datang. Yang mula-mula berbicara adalah Widura, katanya,
“Aku harus menyiapkan orang-orangku.”
“Ya” berkata Untara, “Tetapi tidak sekarang. Nanti sore setelah matahari hampir tenggelam, supaya Tohpati tidak sempat mengetahui, bahwa rencananya telah kita mengerti sebelumnya.”
“Kau benar” berkata Widura,
“aku hanya akan membuat latihan-latihan khusus pagi ini.”
Untara menggangguk. Kemudian kepada Trigata Untara itu berkata,
“Apakah menurut dugaanmu malam nanti Tohpati akan bergerak.”
“Demikianlah” sahut Trigata.
“Baik” berkata Untara,
“usahakan melihat gerakan mereka meskipun dari jarak yang jauh. Berilah tanda dengan panah sanderan. Tetapi ingat, kau tidak usah membunuh diri. Demikian kau melepaskan anak panah sanderan, kau harus segera melarikan dirimu. Terserahlah kepadamu, siapakah yang berani bertaruh nyawa berdiri di ujung, yang lain akan menerima tanda itu dan meneruskan ke Sangkal Putung.”
“Ah pekerjaan itu tidak terlalu berbahaya” sahut Trigata,
“apalagi dimalam hari, kami akan dapat melakukannya dengan aman. Sebab dapat kami lakukan dari jarak yang cukup jauh. Pekerjaan ini jauh lebih aman dari melakukan pertempuran itu sendiri.”
“Bagus, dimana kalian berada?”
“Di Tegal” jawab Trigata,
“di rumah seorang petani miskin bernama Pada.”
“Kelak, apabila kau tidak datang sesudah serangan selesai, kami akan mencari kalian.”
“Terima kasih” sahut Trigata.

Kembali kemudian mereka berdiam diri. Wajah Agung Sedayu tampak tegang. Ada sesuatu yang bergolak di dalam dadanya. Setelah ia menemukan kepercayaannya pada kekuatan yang tersimpan dalam dirinya, tiba-tiba timbullah keinginannya untuk ikut serta dalam pertempuran itu. Meskipun demikian maksudnya itu tidak segera disampaikannya kepada kakaknya maupun pamannya. Ia akan menunggu sampai nanti apabila diadakan pertemuan di antara para pemimpin laskar di Sangkal Putung. Widura kemudian meninggalkan Pringgitan. Diberinya anak buahnya beberapa petunjuk khusus. Meskipun belum diberitahukannya bahwa Tohpati mungkin sekali akan menyergap malam nanti, namun secara tidak langsung telah dipersiapkannya anak buahnya untuk menghadapi kemungkinan itu. Dipersiapkannya pula anak-anak muda Sangkal Putung untuk menghadapi setiap kemungkinan, pula laki-laki yang telah berumur agak lanjut. Diberikannya petunjuk tempat-tempat yang harus mereka pertahankan dan diberitahukannya pula cara-cara untuk melawan api apabila timbul kebakaran. Meskipun Widura belum mengatakan, namun sudah terasa oleh anak buahnya, bahwa bahaya itu semakin dekat. Karena itu, maka mereka pun telah mulai mengatur hati masing-masing. Siap menghadapi setiap kemungkinan. Penduduk Sangkal Putung merasa pula, bahwa mereka harus ikut serta mempersiapkan diri. Perempuan-perempuan telah membuat persiapan secukupnya menghadapi masa-masa yang sulit. Kalau terjadi pertempuran, belum pasti sehari, dua hari akan selesai. Dan yang paling mengerikan bagi mereka, bagaimanakah kalau laskar Pajang bersama-sama anak-anak muda Sangkal Putung tidak mampu menahan arus Macan Kepatihan?
Siang itu juga, Trigata meninggalkan Sangkal Putung kembali ke tempatnya. Di tempat persembunyiannya ternyata telah berkumpul lima orang yang siap melakukan tugas-tugas mereka. Beberapa tanda sandi harus mereka berikan lewat panah sanderan yang nanti akan memberitahukan beberapa masalah mengenai gerakan Tohpati. Hari itu Sangkal Putung benar-benar menjadi sibuk. Di muka banjar anak-anak Sangkal Putung sibuk berlatih. Sedang anak buah Widura sibuk pula mempersiapkan senjata-senjata mereka.
“Jangan memeras tenaga kalian” Widura menasehati anak-anak muda Sangkal Putung,
“nanti apabila setiap saat diperlukan, kalian telah menjadi kelelahan.”
Anak-anak muda itu pun menurut pula. Mereka kini tinggal mendengarkan beberapa petunjuk-petunjuk yang harus mereka lakukan dalam pertempuran yang setiap saat mungkin akan datang.

Ketika matahari telah condong kebarat, beberapa orang penjaga di ujung induk desa Sangkal Putung terkejut mendengar panah sanderan yang meraung-raung di langit, kemudian jatuh di dekat mereka. Seseorang segera memungut anak panah itu. Namun mereka tidak melihat sesuatu pada anak panah itu. Karena itu, maka seorang dari mereka segera meloncat ke atas punggung kuda dan langsung berpacu ke Kademangan.
Widura dan beberapa orang terkejut karenanya, ketika seorang dengan tergesa-gesa lari naik ke pringgitan.
“Ki Lurah” berkata orang itu kepada Widura,
“sebuah anak panah sanderan telah jatuh didekat gardu penjagaan kami. Tetapi kami tidak menemukan sesuatu apa pun pada anak panah itu”
Widura mengerutkan keningnya.
“Bawalah kemari” berkata Widura, ketika Untara ikut serta melihat anak panah itu, maka ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada peronda yang menemukan anak panah itu ia berkata,
“Perkuat penjagaan di gardumu”
“Baik tuan” jawab orang itu.
“Kembalilah. Setiap perkembangan akan kami beritahukan, tetapi kau pun harus melaporkan setiap perkembangan yang kau ketahui” berkata Untara pula.
Orang itu pun kemudian pergi meninggalkan pringgitan. Di sepanjang jalan ia menggerutu,
“Tidak juga mau memberitahukan apakah sebenarnya yang akan terjadi” Namun karena itulah maka para peronda itu menjadi semakin berhati-hati.

Sepeninggal orang itu, maka Untara pun berkata kepada Widura,
“Paman, anak-anak buahku telah mendapat kepastian. Malam nanti Tohpati akan mulai menyergap Sangkal Putung. Anak panah yang dikirim saat ini hanya sebuah. Menurut pesan yang aku berikan kepada mereka, kalau Tohpati akan bergerak sebelum tengah malam, mereka harus mengirimkan dua anak panah. Sedang kalau kira-kira antara tengah malam atau sesudah itu, satu anak panah. Sehingga dengan demikian maka kemungkinan terbesar, Tohpati nanti akan bergerak pada tengah malam”
Widura mengerutkan keningnya.
“Waktu yang baik” gumamnya.
“Mungkin Tohpati memperhitungkan, bahwa pada saat fajar mereka akan memasuki Sangkal Putung”
Keduanya kemudian berdiam diri. Masing-masing sedang mencoba melihat setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Yang mula-mula berbicara adalah Agung Sedayu,
“Kakang, apakah Alap-alap Jalatunda akan ikut serta dengan Tohpati?”
Untara mengangguk,
“Mungkin sekali”
Agung Sedayu menarik nafas. Namun ia tidak berkata apapun. Untara yang melihat wajahnya, segera mengerti perasaan adiknya. “Apakah kau sudah rindu kepadanya?”
Agung Sedayu tersenyum, tetapi ia masih belum menjawab
“Kalau begitu, apakah kau ingin bertemu malam nanti?”
Kini Agung Sedayu mengangguk,
“Ya” jawabnya,
“Aku sangka Alap-alap Jalatunda itu tidak terlalu menakutkan”
Untara tersenyum, namun kini ia berkata kepada Widura,
“Paman, barangkali sudah sampai waktunya paman memberitahukan persoalan Sangkal Putung kepada para pemimpin kelompok anak buah paman”
Widura mengangguk,
“Ya. Aku sangka demikian. Aku akan memanggilnya beserta beberapa pemimpin anak-anak muda Sangkal Putung, bapak Ki Demang Sangkal Putung dan bapak Jagabaya”
“Jagabaya?” bertanya Untara
“Ya. Ia pun bekas prajurit yang baik. Meskipun umurnya telah agak lanjut, namun tekadnya masih menyala seperti anak-anak muda”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.

Widura pun kemudian memanggil semua orang-orang penting di Sangkal Putung. Orang-orangnya sendiri, maupun orang-orang Sangkal Putung. Dengan singkat Widura menjelaskan kepada mereka, apakah yang sedang mereka hadapi sekarang.
“Mungkin orang-orang Tohpati itu lebih banyak dari orang-orangnya terdahulu” berkata Widura kemudian.
“Karena itu setiap tenaga harus kita manfaatkan”
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun ikut bertanggung jawab atas apa saja yang terjadi diwilayahnya. Karena itu, maka katanya,
“Semua anak-anak, akan dikerahkan dan semua laki-laki yang masih mungkin mengangkat senjata. Ada beberapa orang bekas prajurit yang meskipun sudah ubanan, tetapi menyatakan kesediaan mereka untuk ikut serta dalam pertempuran ini. Enam atau tujuh orang. Bahkan mungkin lebih dari itu”
“Bagus” sambut Widura.
“Beberapa orangku akan berada dalam barisan anak-anak muda Sangkal Putung”
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagus” katanya,
“Anak-anak Sangkal Putung akan menjadi bergembira karenanya”
Tetapi hampir semuanya kemudian tak bersuara ketika Widura berkata,
“Tetapi perhatian terbesar harus kita berikan kepada pemimpin laskar Jipang itu, Macan Kepatihan. Di sini kita akan menentukan, siapakah yang pantas untuk melawannya tanpa menimbulkan kemungkinan yang terlalu buruk bagi kita”
Sesaat pringgitan itu menjadi sepi. Tak seorang pun yang menyahut. Mereka saling berpandangan dan sebagian dari mereka memandangi Untara dan Sidanti berganti-ganti. Tetapi ada pula di antara mereka yang berpikir,
“Ternyata yang pantas melawan Tohpati itu adalah Agung Sedayu”
Kesepian itu kemudian dipecahkan oleh suara Sidanti perlahan-lahan,
“Kakang Widura, siapakah yang menurut kakang paling pantas melawan Macan Kepatihan itu?

Widura terdiam sejenak. Ia menunggu Untara menjawab pertanyaan itu. Dan sebenarnyalah kemudian Untara berkata,
“Biarlah kita melihat keseluruhan dari musuh kita. Di antaranya mereka akan datang juga Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan beberapa orang yang lain. Karena itu, maka tugas kita akan menjadi berat. Aku sama sekali tidak menganggap bahwa akulah yang paling pantas melawan Tohpati. Tetapi aku akan bertanggung jawab terhadap atasanku. Biarlah aku mencoba melawannya, dan sudah tentu Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan yang lain-lain itu pun perlu mendapat perhatian.”
Sidanti tersenyum. Jawabnya,
“aku sudah menyangka” katanya,
“kemudian kami, yang lain-lain adalah anak-anak yang tidak perlu ikut campur dalam pertempuran itu.”
“Bukan begitu” sahut Untara,
“aku, paman Widura tak akan dapat berbuat sendiri-sendiri. Kekuatan laskar Sangkal Putung adalah karena kita semua. Satu-satu dari diri kita masing-masing.”
Sidanti itu masih tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Ia sudah memperhitungkan sejak semula, bahwa Untara pasti akan menempatkan dirinya melawan Macan Kepatihan. Sedang di tangan Untara itu tergenggam kekuasaan. Sehingga dengan demikian, tak akan ada kesempatan baginya untuk menyainginya. Namun meskipun demikian, Sidanti mengharap, mudah-mudahan kepala Untara dipecahkan olah Macan yang garang itu dengan tongkat baja putihnya. Untara melihat senyum yang aneh itu. Tetapi ia sama sekali tidak berkata apapun. Dalam keadaan yang demikian, maka kekuatan mereka sepenuhnya sangat diperlukannya. Karena itu, maka ia pura-pura sama sekali tidak melihat senyum Sidanti itu. Namun Hudaya, Citra Gati dan bahkan Agung Sedayu tidak dapat melepaskan perasaannya yang ganjil. Dari senyum itu mereka melihat, bahwa sesuatu tersembunyi di belakangnya.
“Kalau Untara itu telah mati oleh Tohpati” berkata Sidanti,
“Maka keadaan Sangkal Putung akan kembali seperti semula. Apalagi kalau aku mampu membunuh Macan Kepatihan itu. Mudah-mudahan apa yang aku peroleh sekarang ini dari guruku, setidak-tidaknya akan dapat mengimbanginya. Sebab Tohpati itu sudah tidak sempat lagi mendalami ilmunya”

Akhirnya setelah Widura memberikan beberapa pesan kepada pemimpin-pemimpin kelompok itu, maka pertemuan itu segera dibubarkan. Mereka masing-masing kembali kepada kelompoknya, memberikan kepada mereka beberapa petunjuk dan sesaat kemudian mereka itu telah mempersiapkan diri masing-masing untuk menghadapi suatu pertempuran yang berat. Anak-anak muda Sangkal Putung pun kemudian berlari-larian hilir mudik. Mereka segera memanggil kelompok masing-masing dan seperti juga anak buah Widura, mereka pun segera mempersiapkan diri mereka masing-masing. Ketika kemudian matahari tenggelam di balik punggung bukit, laskar Sangkal Putung itu pun telah siap di lapangan. Beberapa orang bekas prajurit ada di antara mereka. Meskipun orang-orang itu telah menjelang setengah abad, namun tubuh-tubuh mereka masih tegap, dan senjata-senjata mereka, yang selama ini disimpannya. Namun kini senjata-senjata itu diambilnya kembali. Terkenanglah mereka pada masa muda mereka. Bertempur untuk suatu keyakinan yang digenggamnya. Kini mereka pun akan bertempur kembali untuk suatu pengabdian atas kampung halaman mereka. Swandaru berdiri dengan gagahnya. Pedangnya yang besar tergantung dipinggangnya. Sekali-sekali ia menatap langit yang biru bersih, yang dibayangi oleh warna-warna merah. Matahari itu seakan-akan betapa malasnya. Gelap yang turun perlahan-lahan terasa sangat menjemukan. Mereka itu, anak-anak muda Sangkal Putung sedang menunggu datangnya tengah malam.
Orang-orang yang sudah setengah tua, mendapat tugas mereka sendiri. meskipun mereka membawa senjata pula, namun mereka harus berada di dalam desa mereka. Kalau orang-orang Macan Kepatihan itu berhasil menembus pertahanan laskar Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung, maka mereka pun akan ikut serta bertempur. Di samping itu, kalau Tohpati itu kemudian menjadi putus asa, dan mempergunakan panah-panah api untuk menimbulkan kebakaran, maka adalah pekerjaan mereka untuk mengatasinya. Sedang perempuan-perempuan muda tidak kalah sibuknya. Mereka mendapat pekerjaan yang pantas untuk mereka. Mempersiapkan makanan bagi mereka yang akan berangkat berperang. Meskipun demikian, di antara anak-anak gadis itu pun ada pula yang menyelipkan keris dan patrem di antara ikat pinggang mereka seakan-akan mereka pun siap pula, apabila perlu, untuk ikut serta bertempur bersama anak-anak mudanya. Tetapi di samping semuanya itu, perempuan-perempuan yang bersembunyi di balik-balik pintu rumahnya mendekap anak-anak mereka yang masih terlalu kecil dengan eratnya. Mereka mencoba untuk menghibur anak-anak mereka.

Ketika malam turun, maka Sangkal Putung benar-benar dikuasai oleh kegelapan. Hampir tak ada rumah yang menyalakan lampunya, dan bahkan hampir tiada rumah yang berpenghuni. Hampir setiap laki-laki telah keluar dengan senjata di tangan, dan hampir setiap perempuan pergi mengungsikan diri ke kademangan, berkumpul bersama mereka untuk menanggungkan segala macam keadaan bersama-sama. Apa pun yang mereka alami, apabila dipikulnya bersama-sama, maka terasa akan menjadi bertambah ringan. Meskipun hampir semua kekuatan laskar Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung ditarik ke arah barat, namun Widura tidak mengosongkan setiap gardu di sudut-sudut lain. Namun isi dari gardu-gardu itulah yang kemudian sebagian diserahkan kepada laki-laki Sangkal Putung yang tidak ikut serta dalam pertempuran langsung dengan anak-anak Macan Kepatihan, meskipun satu dua di antara mereka telah diperlengkapi dengan alat-alat tanda bahaya yang sebaik-baiknya, untuk setiap kali apabila bahaya mengancam mereka,segera mereka dapat memberitahukannya kepada laskar cadangan yang ditinggalkan di kademangan, bersama dengan beberapa orang Sangkal Putung sendiri, di sekitar lumbung-lumbung dan di banjar desa. Kini para peronda telah tahu benar, apa arti panah sanderan yang setiap saat akan meluncur di sekitar tempat-tempat mereka. Untara telah berpesan kepada anak buahnya, bahwa apabila ada tanda-tanda Tohpati menggerakkan laskarnya, supaya mereka segera mengirimkan anak panah sanderan dua kali ganda berturut-turut. Dan apabila keadaan amat mendesak karena suatu perubahan, sedang mereka para petugas yang telah dikirim oleh Untara, tidak sempat memberitahukan langsung, supaya dikirimnya panah sanderan tiga kali berturut-turut. Beberapa saat kemudian maka laskar Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung telah siap seluruhnya di lapangan di muka banjar desa, segera untuk berangkat. Beberapa orang laki-laki telah siap menempati tempat-tempat yang ditentukan, dan tanda-tanda telah mereka kenal dengan baiknya. Namun tiba-tiba mereka menjadi tegang ketika mereka mendengar derap kuda yang berlari kencang memecah kesepian. Widura dan Untara segera melangkah maju menyongsong orang berkuda itu, sedang di belakangnya Agung Sedayu berdiri dengan berdebar-debar. Kali ini untuk pertama kalinya ia mendapat kesempatan untuk ikut serta bertempur dengan lawan yang sebenarnya. Sebilah pedang tergantung di pinggangnya. Namun tanpa setahu kakaknya, disakunya terdapat beberapa butir batu sebesar telur ayam. Ia sendiri tidak tahu pasti apakah batu-batu itu akan bermanfaat. Namun begitu saja timbul keinginannya untuk mencoba apakah ia benar-benar dapat membidik dalam arti yang sebenarnya. Membidik tidak saja dalam permainan-permainan yang menggembirakan tetapi membidik dalam pertempuran yang berbahaya.

Sesaat kemudian tampaklah seekor kuda berlari dengan kencangnya. Demikian kuda itu berhenti, maka meloncatlah seorang prajurit di hadapan Widura. Widura dengan tergesa-gesa bertanya kepadanya,
“Ada yang penting dipenjagaanmu?”
Orang itu mengangguk, katanya,
“kami menerima panah sanderan tiga kali berturut-turut.”
Widura mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Untara maka tampaklah Untara sedang berpikir.
“Ada sesuatu yang menyimpang dari rencana semula.” desisnya.
Widura mengangguk.
Setelah Untara itu diam sejenak, maka katanya,
“siapkan seluruh laskar yang ada. Kita siap berangkat kemana saja. Beberapa orang berkuda supaya bersiap pula. Apabila ada perubahan arah, orang-orang itu dapat memberitahukannya ke segenap sudut penjagaan.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian terdengar ia bersuit dua kali. Seorang yang bertubuh kecil berlari-lari datang kepadanya.
“Sonja” berkata Widura,
“siapkan orang-orangmu. Setiap saat kami memerlukan mereka.”
“Baik” sahut Sonja. Kemudian ia pun berlari-lari kembali ke tempat kawan-kawannya sekelompoknya menunggu didekat kuda-kuda ditambatkan. Mereka adalah kelompok yang harus menyampaikan setiap berita kepada segenap tempat yang diperlukan.
Sebelum Widura memberikan perintah-perintah berikutnya, kembali mereka mendengar suara kaki kuda berderap. Sekali lagi Widura, Untara dan orang-orang di sekitarnya menjadi tegang. Seperti orang yang pertama orang itu pun tergesa-gesa berkata kepada Widura,
“kami telah menerima panah sanderan dua kali berturut-turut.”
“He” Widura mengerutkan keningnya,
“mereka mempercepat gerakan mereka.”
“itulah kecerdikan Macan Kepatihan itu” sahut Untara,
“setiap rencana dirahasiakan di dalam otaknya. Baru pada saat terakhir dilakukannya rencana itu, sehingga orang-orang mereka sendiri tidak dapat mengetahui sebelumnya. Karena itulah maka Trigata itu pun tidak dapat mengetahuinya dengan tepat apa yang akan dilakukan oleh Macan Kepatihan. Karena orang-orangnya yang dapat melakukan hubungan dengan orang-orang dalam laskar Tohpati itu pun tidak dapat mengatakan dengan tepat pula.”
Sekali lagi Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Kita juga sudah siap untuk berangkat. Bukankah kita segera berangkat pula.”
“Marilah” sahut Untara.
”Sementara tetap ke barat.”
Sekali lagi Widura bersuit dua kali. Dan sekali lagi Sonja berlari-lari kepadanya.
“Satu di antara kalian pergi ke Kademangan. Yang lain ke setiap gardu peronda. Tohpati telah mulai bergerak. Ingat jangan menimbulkan kegelisahan di antara mereka. Kemudian kalian kembali ke tempat ini dan separo dari kalian harus berada di gardu pertama sebelah barat.”
“Baik” Sonja mengangguk,kemudian kembali ia meloncat berlari kekelompoknya. Sesaat kemudian maka mereka telah menghambur ke segenap penjuru.

Kedua penjaga yang datang berkuda berturut-turut telah kembali ke tempat mereka pula mendahului laskar Widura. Sedang para penghubung telah menghubungi gardu-gardu yang lain. Mereka sengaja tidak mempergunakan tanda-tanda, seperti dahulu, supaya Tohpati tidak menyadari bahwa kehadirannya telah dinantikan. Para prajurit serta laki-laki dari Sangkal Putung yang merupakan kekuatan cadangan segera bersiap pula. Dengan senjata di tangan mereka, mereka mengawasi setiap tempat yang mereka anggap penting. Beberapa orang berjalan hilir-mudik, dari sudut yang satu ke sudut yang lain dengan pedang terhunus. Setiap jalan yang masuk ke induk desa Sangkal Putung telah tertutup rapat olah penjagaan yang ketat. Gardu-gardu peronda telah dilengkapi dengan senjata-senjata jarak jauh, panah, bandil dan alat-alat tanda bahaya. Sementara itu laskar Widura telah mulai merayap kepintu sebelah barat, lewat tiga jalan. Yang separi menyusur jalan besar, sednag yang separo lagi dibagi menjadi dua pula. Sebagian lewat sebelah utara dan sebagian lewat sebelah selatan. Demikian pula anak-anak muda Sangkal Putung itu pun dibagi menjadi tiga. Sepertiga lewat jalan besar, sepertiga lewat utara dan sepertiga lewat selatan. Laskar itu kini telah keluar dari induk desa Sangkal Putung. Setelah melewati sebuah bulat kecil mereka akan sampai ke sebuah desa kecil yang hampir-hampir telah dikosongkan. Semua orang-orangnya telah pergi mengungsi ke induk desa Sangkal Putung. Ketika Widura yang berjalan di samping Untara menengadahkan wajahnya, tampaklah langit yang bersih ditaburi oleh bintang-binang yang gemerlapan. Selembar-selembar awan mengalir dihanyutkan oleh angin yang lambut. Sejenak kemudian laskar itu pun telah sampai di desa kecil itu. Induk pasukan tepat berada di tengah, sedang kedua sayapnya masing-masing berada di ujung desa-desa itu sebelah utara dan selatan. Para penjaga masih tetap berada di tempat mereka. Namun mereka tidak lagi berada di dalam gardu. Mereka lebih senang berada di balik pepohonan. Ketika mereka melihat induk pasukan itu datang, maka seakan-akan mereka bersorak di dalam hati mereka. Sebab dengan demikian, apabila laskar Tohpati itu datang setiap saat, mereka tidak harus melakukan perlawanan darurat. Laskar Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung itu tidak maju terus. Mereka tinggal di dalam desa itu, supaya lawan mereka tidak segera melihat kehadiran mereka. Ketika Widura telah mengenal keadaan sejenak di tempat itu, maka segera diperintahkannya kepada para penjaga,
“Nyalakan pelita di dalam gardumu. Dan nyalakan beberapa lampu di rumah-rumah yang terdekat.”
“Kenapa justru dinyalakan, Ki Lurah?” bertanya penjaga itu.
“Biarlah laskar Tohpati menyangka, bahwa keadaan di dalam desa ini seperti dalam keadaan biasa. Kalau kau padamkan lampunya dan semua lampu-lampu, maka itu pasti akan mencurigakan Macan Kepatihan yang cerdik itu.”
Penjaga itu mengangguk-angguk.
“Alangkah bodohnya aku” katanya dalam hati.

Karena itu maka segera ia bergegas-gegas pergi ke rumah-rumah yang telah kosong, untuk menyalakan lampu-lampunya. Sedang di gardunya pun segera dinyalakannya pula.
“Bagus” desis Widura kemudian,
“desa ini akan memiliki wajah seperti wajahnya di setiap hari. Tohpati yang berpengalaman luas itu pasti pernah melihat pedesaan ini di malam hari sebelum ia memilih arah. Dan dengan demikian ia pasti akan mengenal keadaan ini baik-baik.”
Dalam pada itu, maka beberapa pengawas pun telah dikirim ke depan. Ke tengah-tengah sawah yang menurut perhitungan mereka akan dilalui oleh laskar Tohpati. Malam yang masih terlalu muda itu telah menjadi semakin gelap. Dan di dalam gelap itulah berkeliaran laskar dari kedua belah pihak dengan alat-alat penyebar maut di tangan mereka masing-masing. Sebenarnyalah Tohpati telah berada di hadapan hidung laskar Pajang itu. Namun mereka menunggu untuk menyakinkan, apakah yang sebenarnya terjadi di hadapan mereka. Laskar Tohpati yang bergerak jauh sebelum waktu yang ditentukan semula itu, dengan cepatnya mendekati Sangkal Putung. Namun laskar itu terhenti ketika Tohpati melihat suasana pedesaan di hadapannya.
“Desa itu terlampau sepi” desisnya.
Di sampingnya berdiri seorang yang berwajah keras itu, yang bernama Plasa Ireng, tertawa. Gumamnya,
“setidak-tidaknya mereka telah mendengar bahwa pedesaan mereka terancam bahaya.”
Tohpati berdesis, kemudian gumamnya,
“Sanakeling. Bawalah laskarmu melingkar ke selatan.”
“Baik” sahut orang yang bernama sanakeling. Bekas pimpinan laskar Jipang daerah utara. Namun untuk kepentingan kali ini agaknya mereka telah ditarik dalam satu kesatuan. Namun sebelum Sanakeling itu bergerak, terdengar Alap-alap Jalatunda yang berdiri di belakang mereka berkata,
“Aku melihat pelita-pelita itu dinyalakan.”
Tohpati tertawa. Dengan nada yang tinggi ia berkata,
“Paman Widura benar-benar cerdik. Ia ingin menjadikan desa itu seolah-olah tidak mengalami perubahan apa-apa. Namun agaknya anak buahnyalah yang terlalu bodoh. Sanakeling. Berjalanlah melingkari desa itu, langsung ke Sangkal Putung. Sayang Paman Widura agak terlambat menyalakan lampu-lampu itu. Kalau tidak maka kembali kami akan terjebak.”
Sanakeling kemudian dengan cepat membawa laskarnya ke selatan melingkari desa itu langsung menuju Sangkal Putung.

Tetapi Widura dan Untara pun bukan anak kemarin petang. Itulah sebabnya mereka telah memasang beberapa orang jauh di hadapan laskar mereka. Dalam keheningan malam yang dingin itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sanderan yang meraung-raung di udara. Sekali, dua kali dan kemudian satu kali lagi. Untara mengangka alisnya,
“ada sesuatu yang terjadi dalam barisan Tohpati itu.” Desis Untara.
Wajah Widura berubah menjadi tegang. Dengan gelisah ia menunggu orang-orangnya yang diperintahkannya untuk mengawasi setiap kemungkinan yang ada di hadapan mereka. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan seorang pengawas dengan nafas terengah-engah. Tubuhnya dan seluruh pakaiannya kotor oleh lumpur. Dengan tergesa-gesa ia berkata,
“aku melihat laskar berjalan melingkar di arah selatan langsung menuju induk desa Sangkal Putung. Mereka pasti masuk dari arah selatan pula. Tetapi barisan itu tidak begitu besar.”
“Hem” geram Widura,
“Macan Kepatihan itu selalu membuat berbagai macam permainan.”
“Mereka telah mencapai simpang empat di bulak sebelah” orang itu berkata seterusnya.
“He?” Widura terkejut,
“begitu cepatnya?”
“Ya”
Tiba-tiba demang Sangkal Putung itu memotong,
“serangan yang sangat berbahaya. Apakah aku boleh menarik laskar Sangkal Putung kembali menyongsong mereka?”
“Jangan” sahut Widura.
“kita belum tahu, siapakah yang memimpin laskar Jipang itu. Mungkin justru itu adalah induk pasukan mereka.”
Demang Sangkal Putung itu pun terdiam. Baru sesaat kemudian Widura berkata,
“keadaan itu sangat gawat. Biarlah aku bawa laskar sayap kiri kembali ke kademangan. Seterusnya aku serahkan pimpinan ini kepadamu Untara. Kalau keadaan tidak terlalu gawat aku akan kembali kemari.”
Untara mengangguk, “baiklah” jawabnya.
Widura itu pun dengan cepat berlari kesayap kiri. Kemudian segera laskar kiri itu ditarik mundur, kembali ke kademangan Sangkal Putung.

Dengan tergesa-gesa mereka berjalan memintas. Mereka tidak lagi lewat di atas jalan di antara daerah persawahan. Namun mereka langsung memotong arah. Melompati tanaman-tanaman yang menghijau. Bahkan sekali-sekali tanam-tanaman itu pun terpaksa terinjak-injak kaki mereka. Namun tanaman itu besok bisa disulami. Tetapi kehancuran kademangan mereka akan memerlukan banyak sekali pengorbanan. Harta, benda, tenaga dan waktu. Itulah sebabnya maka mereka tidak lagi sempat berpikir tentang tanaman-tanaman itu. Sesaat kemudian mereka dikejutkan oleh bunyi tanda bahaya dari gardu selatan. Ternyata para peronda sempat melihat kedatangan mereka, sehingga mereka terpaksa membunyikan tanda itu, sementara beberapa orang yang lain, telah mencoba menghambat gerakan itu dengan senjata-senjata jarak jauh.
Tetapi mereka terkejut ketika mereka mendengar suara tertawa dari barisan yang datang itu.
“He” kenapa kalian berteriak-teriak minta tolong?”
Pimpinan gardu itu sama sekali tidak memperhatikannya. Dengan cekatan mereka terus-menerus menghujani anak-anak panah dari balik gardu mereka seberang menyeberang. Dua orang lagi telah meloncat ke balik semak-semak di belakang pagar. Anak panah mereka pun meluncur tak henti-hentinya. Ternyata usaha itu menolong pula, gerakan laskar Sanakeling itu terpaksa berhenti sebentar. Mereka sedang melihat, apakah yang sedang dihadapi. Tetapi sesaat kemudian Sanakeling itu tertawa pula, katanya sambil menghitung,
“tiga orang di belakang gardu, dua orang di balik pagar dan satu orang memukul kentongan. Apakah kalian berenam sudah jemu hidup? Dua di antara kalian benar-benar mampu memanah. Namun yang tiga itu sama sekali tak akan berarti apa-apa. Jangan membidik terlalu tinggi. Tarik tali busurmu agak kuat, supaya lari panahmu agak cepat dan keras.”

Yang mendengar suara Sanakeling itu benar-benar manjadi sangat cemas. Orang itu dapat menebak dengan tepat berapa orang yang sedang berjaga-jaga digardu itu. Mungkin pemimpin barisan itu dapat melihat arah lepasnya anak-anak panah. Tetapi ternyata orang itu dapat menebak pula, siapakah di antara mereka yang benar-benar mampu melepaskan senjata-senjata itu. Karena itu maka orang itu pasti seorang yang telah kenyang makan garam pertempuran. Sebenarnyalah para pemuda di gardu itu berjumlah enam orang. Dua di antaranya adalah anggota laskar Widura. Sedang yang empat adalah orang-orang Sangkal Putung. Karena itu, maka perlawanan mereka pun berbeda dari mereka yang telah mengalami pertempuran berkali-kali. Meskipun demikian, panah-panah itu benar-benar menjengkelkan Sanakeling. Karena itu, maka tiba-tiba ia berteriak,
“He, dua atau tiga orang, pergilah mendahului kami. Ambillah orang-orang yang mencoba merintangi perjalanan kami”
Pemimpin gardu itu terkejut. Sanakeling hanya memerintahkan dua atau tiga orang. Apakah menurut perhitungannya, orang-orang yang berada digardu itu benar-benar tidak akan mampu berkelahi melawan tiga orang saja? Kedua prajurit Pajang itu menggeram. Mereka pun prajurit yang telah masak. Karena itu maka jawabnya,
“Kami berenam di sini seperti dugaanmu. Jangan mengirimkan dua atau tiga orang. Marilah, datanglah bersama-sama, supaya kalian dapat menilai pertahanan Sangkal Putung”
Sanakeling mengerutkan keningnya. Alangkah besarnya kata-kata penjaga gardu itu. Namun kemudian Sanakeling itu menjawab,
“Baiklah. Agaknya kau ingin bunuh diri” Sanakeling itu diam sejenak. Namun tiba-tiba ia berteriak,
“Menyebar. Masuki Sangkal Putung. Langsung ke kademangan dan kuasai daerah-daerah perbekalan”
Serentak laskarnya bergerak. Kini mereka sama sekali tak menghiraukan lagi anak panah yang menghujani mereka dari balik gardu dan semak-semak. Ketika kemudian terdengar seorang anggota laskar Sanakeling itu mengaduh, karena pundaknya terkena anak panah, Sanakeling menggeram,
“Setan, bunuh mereka berenam”

Para penjaga gardu mendengar pula perintah itu. Karena itu maka terasa dadanya berdesir. Betapapun juga, maka mereka benar-benar tidak sedang membunuh diri. Dengan demikian maka mereka harus memperhitungkan setiap kemungkinan yang akan terjadi.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar