UNTARA dan Agung Sedayu kemudian tidak membuang-buang waktu lagi. Segera mereka mulai dengan suatu latihan yang keras. Ternyata Untara benar-benar ingin melihat, sampai dimana puncak kemampuan adiknya. Ketika latihan itu telah berjalan beberapa lama, maka tahulah Untara bahwa apa yang dikatakan oleh Widura itu memang sebenarnya demikian. Agung Sedayu mempunyai bekal yang cukup untuk menjadi seorang anak muda yang perkasa. Ketangkasan, kekuatan tenaga dan kelincahan. Apalagi kini, setelah anak muda itu menemukan kepercayaannya kepada diri sendiri, maka setiap geraknya pun seolah-olah menjadi lebih mantap. Meskipun beberapa kali Untara melihat kesalahan-kesalahan yang masih dilakukan oleh adiknya, namun kesalahan-kesalahan kecil itu segera dapat diperbaikinya. Dalam latihan-latihan itulah, maka Widura melihat betapa Untara sebenarnya mempunyai ilmu yang hampir mumpuni. Bahkan kemudian Widura itu tersenyum sendiri mengenangkan perkelahian antara Untara dan Sidanti.
“Aneh”
pikirnya,
“Jarang aku
temui anak muda sesabar Untara dalam menghadapi lawan perkelahian apa pun
alasannya. Tetapi terbawa oleh tugas yang diembannya, maka agaknya Untara harus
berlaku bijaksana. Kalau ia mau, maka Sidanti adalah bukan lawannya.”
Namun, Agung
Sedayu ternyata telah mengagumkan pula. Kini anak itu tampaknya tidak ragu-ragu
lagi untuk sekali-sekali membenturkan tenaganya apabila perlu. Meskipun
beberapa kali ia terdorong surut oleh kekuatan Untara, namun segera ia berhasil
menguasai keseimbangan dengan kelincahannya. Untara melihat ketangkasan adiknya
itu dengan penuh kebanggaan di dalam dadanya. Apa yang dilakukan oleh Agung
Sedayu, benar-benar jarang ditemuinya. Melatih diri dalam lukisan-lukisan.
Membuat perhitungan-perhitungan dengan gambar. Tetapi ternyata dalam
pelaksanaannya pun Agung Sedayu mampu melakukan sebagian besar dari
angan-angannya yang dituangkannya di atas rontal-rontal. Hanya di sana-sini
Untara masih perlu memberinya beberapa petunjuk dan perubahan, sehingga dengan
demikian ilmu Sedayu itu pun menjadi semakin sempurna. Ketika Untara telah
cukup mengenal ilmu adiknya, serta menganggap latihan itu telah cukup, maka
segera ia menghentikannya. Agung Sedayu, yang sebenarnya telah menjadi
kelelahan, sgera meloncat surut dan dengan wajah yang riang ia berdiri bertolak
pinggang. Meskipun demikian, tampak juga dadanya menggelombang karena nafasnya
yang terengah-engah.
“Kau lelah”
bertanya Untara.
Agung Sedayu
mengangguk, jawabnya,
“latihan ini
terlalu keras bagiku.”
“Belum sekeras
perkelahian sebenarnya” Untara menyahut,
“Apalagi kalau
kau bertemu dengan Macan Kepatihan dengan tongkatnya yang mengerikan itu.”
Agung Sedayu
menarik nafas. Kemudian ia pun segera duduk di atas seonggok tanah di samping
pamannya. Sedang Untara masih saja berdiri untuk kemudian memberikan beberapa
petunjuk tentang kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh Agung Sedayu.
“Sedayu”
berkata kakaknya,
“kau ternyata
mampu bertempur seorang lawan seorang. Tetapi suatu ketika kau akan turut serta
dalam pertempuran brubuh. Pertempuran antara laskar Pajang dan laskar Jipang.
Dalam pertempuran yang demikian kau tidak hanya dapat membanggakan kekuatan
pertempuran seorang lawan seorang. Tetapi kau harus dapat menempatkan dirimu di
antara kawan dan lawan.”
Agung Sedayu
kemudian memperhatikan dengan seksama petunjuk-petunjuk yang diberikan oelah
kakaknya. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di dalam perang antara dua
kekuatan dalam jumlah yang banyak. Hal-hal yang sebagian lagi pamannya telah
memberitahukannya kepadanya. Tetapi Untara itu pun berhenti ketika dilihatnya
sebuah bayangan yang bergerak-gerak di belakang pucuk kecil itu. Namun mereka
tidak menjadi cemas karenanya. Orang itu telah mereka kenal baik-baik. Kiai
Gringsing.
Namun mereka
menjadi heran ketika melihat Kiai Gringsing itu tidak datang sendiri. Ketika
Untara melihat orang yang datang bersama dengan Kiai Gringsing itu, tampak
wajahnya menjadi tegang. Dengan agak tergesa-gesa ia kemudian bertanya,
“Apakah ada
sesuatu yang penting dengan pekerjaanmu?”
Sebelum orang
itu menjawab, terdengar Kiai Gringsing tertawa. Katanya,
“Kenapa kau
tidak mempersilahkan aku dahulu, baru bertanya kepada orang ini?”
Untara
tertawa. Jawabnya,
“Marilah Kiai.
Aku mempersilahkan Kiai.”
“Hem” Kiai
Gringsing menarik nafas. Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata,
“Apakah
muridmu bertambah seorang lagi Sedayu?”
Agung Sedayu
tersenyum, tetapi ia tidak menjawab. Bahkan yang berkata kemudian adalah Kiai
Gringsing,
“Nah, sekarang
bertanyalah kepada orang itu.”
Untara
mengerutkan keningnya. Kemudian katanya kepada orang yang datang bersama dengan
Kiai Gringsing,
“Kemarilah”
Orang itu
ragu-ragu sejenak. Ditatapnya wajah Agung Sedayu dan Widura berganti-ganti. Untara
yang dapat meraba keraguan orang itu berkata,
“Mereka adalah
pemimpin laskar-laskar Pajang di Sangkal Putung. Yang satu adalah adikku Agung
Sedayu dan yang lain adalah paman Widura.”
Orang itu
menganggukkan kepalanya sambil berkata,
“Aku pernah mendengar
tentang paman Widura di Sangkal Putung, tetapi baru kali ini aku melihat
orangnya.”
Widura
tersenyum, sahutnya,
“inilah
orangnya. Tak ada yang menarik.”
Orang itu
tertawa pendek, yang mendengarpun tertawa pula. kemudian Untaralah yang
berkata,
“Soma,
berkatalah. Biarlah paman Widura mendengar pula.”
Soma menarik
nafas dalam-dalam, kemudian setelah menelan ludahnya ia berkata,
“Ada beberapa
berita tentang orang itu.”
Sebelum Soma
meneruskan, terdengar Widura menyela,
“Untara, aku
telah memperkenalkan diriku, tetapi siapakah ki sanak ini?”
Untara
mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian jawabnya,
“ia salah
seorang pembantuku.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia mengerti, orang itu pasti dari
pasukan sandi. Karena itu maka Widura tidak bertanya lagi. Kemudian berkatalah
Soma itu seterusnya,
“Ketika aku
datang ke pondokan kakang, ternyata kakang telah tidak ada. Menurut pesan
kakang terakhir, aku harus datang ke rumah itu. Dan yang aku jumpai adalah Kiai
Gringsing.”
“Aku
meninggalkan rumah itu dengan tergesa-gesa tanpa aku rencanakan terlebih
dahulu. Tetapi bukankah aku telah berpesan kepada Kiai Gringsing?”
“Pesan yang
aneh” gumam Kiai Gringsing.
Untara
tersenyum dan Soma itu pun tersenyum.
“Tak ada orang
yang dapat berbicara dalam bahasamu Untara” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“dan pesan itu
sudah aku sampaikan.“ Kemudian kepada Agung Sedayu Kiai Gringsing berkata,
“He, Sedayu
apakah kau dapat mengerti bahasa Untara itu. Bulan muda, angin selatan, bintang
utara. Laju bersama gubug penceng.” Kiai Gringsing itu pun kemudian tertawa
terkekeh-kekeh.
“Ayo Sedayu
apakah kau tahu artinya?”
“Aku tahu
Kiai” jawab Agung Sedayu.
“Apa?”
“Kisanak itu
harus datang bersama Kiai menemui kakang Untara di sini.” Jawab Agung Sedayu sambil
tertawa.
Untara
tertawa, Soma itu pun tertawa dan yang lain-lain juga tertawa.
“Aku pun dapat
memberikan arti menurut kehendakku” berkata Kiai Gringsing.
“Tetapi
bukankah Ki sanak itu datang kemari bersama Kiai?” berkata Sedayu.
Kembali mereka
tertawa. Tetapi Untara tidak berkata apa-apa tentang kata-kata sandi itu.
“Nah, Soma”
berkata Untara kemudian,
“katakan
berita itu?”
“Macan
Kepatihan menempatkan beberapa orang untuk mengamat-amati Benda, namun kemudian
pergi ke Timur.”
Untara mengerutkan
keningnya, katanya,
“Apakah dapat
diketahui, pada siapakah orang-orang Tohpati itu bersembunyi?”
“Sudah, tetapi
kami belum mengetahui jumlah itu.” Jawab Soma,
“sedang di
hutan-hutan di sebelah barat kadang-kadang tampak juga beberapa orang Jipang.
Di antara mereka adalah Plasa Ireng.”
Kini tidak
saja Untara yang mengerutkan keningnya. Tetapi Widura pun kemudian
memperhatikan berita itu dengan seksama. Bahkan dengan serta-merta ia berkata,
“Ada
tanda-tanda Tohpati akan menyergap dari barat?”
Untara
mengangguk,
“Ya” jawabnya,
“Mereka sedang
menyusun kekuatannya di barat. Plasa Ireng dan pasti Alap-alap Jalatunda telah
ditarik pula kedalamnya.”
Widura
kemudian termenung sejenak. Agaknya Tohpati benar-benar mengerahkan segala
kekuatan dari sisa-sisa laskar Jipang, Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan
mungkin pula pimpinan laskar Jipang di daerah utara, yang terkenal dengan nama
Sanakeling.
Sesaat gunung
Gowok itu menjadi sepi. Mereka masing-masing hanyut dalam arus angan-angannya.
Widura merasa bersyukur bahwa sampai saat ini Sidanti masih dapat dikuasainya
atas kebijaksanaan Untara,sehingga apabila sergapan Tohpati itu datang beserta
beberapa orang terkenal dari laskar Jipang, tenaganya masih dapat dipergunakan.
Widura pun mengharap Agung Sedayu akan memperkuat laskarnya pula di samping
Untara sendiri. Untara itu pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
kepada pembantunya,
“Aku terima
beritamu. Hubungi Trigata. Aku berada di Sangkal Putung. Beritahukan setiap
perkembangan keadaan.”
Orang itu
mengangguk. Jawabnya,
“Tetapi pasti
tidak malam ini. Mungkin besok malam atau lusa.”
“Apakah ada
tanda-tanda Tohpati menyergap malam hari?”
“Mungkin.
Mereka menyiapkan obor dan panah-panah api.”
“Setan” Untara
menggeram,
“Tetapi bukan
tujuan mereka menghancurkan Sangkal Putung, sebab mereka memerlukan
lumbung-lumbung padi di sini. Tetapi bahwa mereka menyerang pada malam hari
adalah mungkin sekali.”
“Nah, aku akan
pergi dulu kakang. Mungkin keadaan berkembang terlalu cepat.”
“Baik,aku akan
berada di Sangkal Putung.”
Orang itu pun
kemudian mengangguk, minta diri kepada semua yang hadir di tempat itu, dan
menghilang di antara gelapnya malam.
“Petugas yang
baik” gumam Untara.
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya masih tegang. Sebagai seorang
yang bertanggung jawab atas daerah itu, maka segera Widura membuat
perhitungan-perhitungan. Tiba-tiba ia teringat kepada Tambak Wedi. “Sepasar”
katanya dalam hati. Kini dua hari telah dilampauinya. Tiga dengan besok.
“Gila orang
yang tak tahu keadaan itu. Ia terlalu mementingkan diri sendiri dan muridnya
tanpa memandang segenap persoalan dalam jangkauan yang luas. Tetapi tiba-tiba
ia teringat pula pada orang yang bertopeng yang duduk di mukanya. Dan dengan serta-merta
Widura itu bertanya,
“Kiai”
katanya,
“apakah Kiai bertemu
dengan Tambak Wedi di lapangan. Bukankah Kiai telah melemparkan cemeti Kiai
setelah Tambak Wedi melemparkan gelang besinya.”
Orang itu
tertawa,
“ya” jawabnya,
“ia memberi
aku salam yang hangat, sehangat api neraka. Tetapi setelah kalian bubar orang
itu pergi juga tanpa berbuat sesuatu. Aku sangka ia akan marah kepadaku. Tetapi
ia hanya mengancamku.”
“Apakah
katanya?”
Kiai Gringsing
itu diam sesaat. Kemudian dijawabnya,
“Ki Tambak
Wedi minta aku tidak ikut mencampuri urusannya dengan kau. Kalau aku tidak
memenuhinya, maka aku akan dibunuhnya.”
Widura
mengangkat alisnya. Setelah termenung sejenak ia bertanya pula,
“Bagaimanakah
jawaban Kiai?”
“Hem” Kiai
Gringsing menarik nafas. Kemudian katanya,
“Aku kira tak
seorang pun yang berhak berbuat seperti
Ki Tambak Wedi itu. Kalau ia ingin berbuat sekehendaknya, maka aku pun akan
berbuat sekehendakku. Bukankah nanti apabila Ki Tambak Wedi marah aku mencari
perlindungan kepada Agung Sedayu?”
“Ah” Agung
Sedayu mendesah, tetapi Widura dan Untara tertawa.
Dan Kiai
Gringsing itu pun berkata seterusnya,
“Tetapi
lupakan sajalah Ki Tambak Wedi itu. Aku harap ia tidak bersungguh-sungguh. Yang
perlu kau pikirkan, bagaimana kau dapat menghindarkan Sangkal Putung dari
bencana yang akan dapat ditimbulkan oleh Tohpati.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Untara pun kemudian berdiam diri, sedang Agung
Sedayu memandang jauh ke langit, seakan-akan sedang menghitung bintang yang
berhamburan di atas dataran yang biru pekat.
Sesaat mereka
saling berdiam diri. Widura sedang mencoba menghitung-hitung kekuatan di
pihaknya dan membandingkan dengan kekuatan Tohpati. Dalam jumlah, maka Widura
dapat berbesar hati. Dengan anak-anak muda Sangkal Putung, laskarnya pasti
berjumlah lebih banyak dari jumlah laskar Tohpati. Namun dalam penilaian
seorang-seorang, maka Widura masih harus berkeprihatin. Meskipun setiap orang
di dalam laskarnya tidak akan kalah dari setiap orang dalam laskar Jipang,
tetapi anak-anak muda Sangkal Putung, Widura pun tidak yakin kalau jumlah
laskarnya akan memadai. Karena laskar Jipang dapat berada dimana saja yang
mereka kehendaki, sehingga suatu ketika, jumlah laskar Jipang itu dapat menjadi
banyak sekali. Karena itu maka Widura mengambil kesimpulan, bahwa anak-anak
muda Sangkal Putung itu pun selagi sempat harus mendapat penempaan sejauh-jauh
mungkin. Bahkan orang-orang yang sudah agak lanjut usianya, asal mereka sanggup
dan bersedia, pasti akan menjadi tenaga bantuan yang berarti. Sesaat kemudian,
maka Kiai Gringsing itu pun pergi meninggalkan mereka. Katanya,
“Aku akan
pulang ke rumahku di antara rumpun-rumpun bambu. Hati-hatilah, setiap saat
Tohpati itu akan datang. Mungkin benar ia akan menyergap dari arah barat.
Karena itu, awasilah arah itu baik-baik. Namun jangan lengahkan
penjagaan-penjagaan di tempat-tempat lain.”
“Baik Kiai”
jawab Widura.
Namun Kiai
Gringsing itu berpaling pun tidak. Orang itu berjalan mendaki puntuk kecil,
lewat di bawah pohon kelapa sawit dan seterusnya hilang di balik puntuk kecil
itu.
Belum lagi
Untara sempat berpaling, terdengar Agung Sedayu bertanya
”Siapakah
sebenarnya orang itu?”
Untara
tersenyum, jawabnya,
“Kiai
Gringsing.”
Agung Sedayu
hanya dapat menggigit bibirnya. Ketika kemudian Untara dan Widura tertawa, maka
anak muda itu berdiri sambil menggeliat. Katanya
“Apakah kita
akan tidur di sini?”
Widura bahkan
tertawa semakin keras. Katanya
“Apakah kau
berani tidur di sini? Bukankah setiap malam, apabila kita berada di tempat ini
kau selalu saja mengajak pulang? apalagi ketika kau dengar Tohpati sedang
berkeliaran di daerah ini?”
“Ketika itu
tidak ada kakang Untara” jawab Sedayu.
“Bagaimanakah
kalau aku lari apabila ada bahaya?” bertanya Untara.
“Apa kakang
sangka aku tidak bisa lari secepat kakang?” bantah Agung Sedayu.
Kembali mereka
tertawa. Namun terasa oleh Widura, betapa kemenakannya itu mengalami banyak
perubahan. Kini ia sama sekali tidak tampak menjadi cemas seandainya bahaya
betul-betul mengancamnya. Apalagi setelah ia mendapat beberapa petunjuk oleh
kakaknya. Baik lukisan-lukisannya maupun pelaksanaannya, maka ternyata Agung
Sedayu benar-benar dapat menjadi seorang anak muda yang perkasa. Apalagi
hatinya benar-benar menjadi besar dan tangguh. Maka kekuatan Agung Sedayu
pantas diperhitungkan. Sesaat kemudian Widura dan Untara pun berdiri pula.
keperluan mereka agaknya sudah cukup buat kali ini. Sehingga dengan demikian
segera mereka pun kembali ke kademangan. Hari itu setiap penjagaan menjadi
lebih diperkuat. Gardu-gardu peronda dan peronda-peronda keliling. Tohpati yang
berada di sekitar tempat mereka, setiap saat dapat menyergap. Namun yang harus
mendapat pengawasan paling ketat adalah justru daerah barat. Sedang kerja
Widura hari itu adalah menangani sendiri latihan-latihan bagi anak-anak muda
Sangkal Putung di samping beberapa orang anak buahnya. Langsung diberikannya
beberapa petunjuk penting apa dan bagaimana mereka harus berbuat di dalam
pertempuran-pertempuran. Swandaru, yang memimpin anak-anak muda itu pun
berlatih dengan sekuat-kuat tenaganya, supaya namanya tidak terlalu jauh
dibawah nama-nama yang dikaguminya. Sidanti, Sedayu, Widura dan Untara.
Hanya Sidanti
lah yang selalu bersikap acuh tak acuh atas semua kesibukan itu. Meskipun
demikian, sampai saat itu, Sidanti masih berada dalam barisan Widura.
Hari itu pun
ternyata Tohpati belum menyergap Sangkal Putung. Sehingga pada malam harinya
dan Agung Sedayu masih dapat memanfaatkannya dengan beberapa latihan penting.
Juga anak-anak muda Sangkal Putung, oleh Widura diajarinya bertempur di malam
hari. Bagaimana mereka harus mengenal kawan dan lawan di dalam gelap dan
bagaimana mereka harus memberikan ciri masing-masing dan tanda-tanda sandi.
Selain itu Widura pun telah membuat beberapa persiapan untuk bertempur malam
hari. Obor-obor dan panah-panah api untuk mengimbangi laskar Tohpati yang
dengan api akan mencoba mengacaukan pertahanan pasukan yang berada di Sangkal
Putung. Dipagi hari berikutnya, ketika Untara dan Agung Sedayu sedang sibuk
mengurai lukisannya datanglah seorang penjual keris yang ingin menemui Untara.
Kepada para penjaga dikatakannya bahwa ia mendapat pesanan dari Untara itu. Ketika
seseorang menyampaikannya kepada Untara, maka Untara itu pun mengerutkan
keningnya, kemudian katanya,
“Ya, aku
memang memesan sebuah keris. Bawalah orang itu masuk.”
Sesaat
kemudian orang yang menyebut dirinya pedagang keris itu diantar masuk ke
pringgitan.
“Duduklah”
Untara mempersilahkan.
Orang itu pun
kemudian duduk di atas sehelai tikar pandan. Di punggungnya terselip sebilah
keris, dan dianggarnya pula keris yang lain, pada sangkutannya di dalam jumbai
di bagian depan ikat pinggangnya.
“Paman”
berkata Untara kemudian kepada Widura,
“apakah paman
tidak ingin melihat beberapa bilah keris?”
Widura
tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Namun demikian ia duduk pula di hadapan
orang yang menyebut dirinya pedagang keris itu. Agung Sedayu pun kemudian hadir
juga di antara mereka.
Sesaat
kemudian barulah Untara berkata kepada orang itu,
“Apakah kau
membawa keris itu?”
Orang itu menggangguk.
Kemudian dijawabnya,
“Ya, Soma
telah menyampaikan pesan itu.”
Untara
mengangguk-angguk. Bahkan Widura pun mengangguk-angguk pula. Sedang Agung
Sedayu sekali-sekali mencoba memandang wajah orang itu.
“Nah, marilah
aku perkenalkan dengan pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung” berkata Untara
sambil menunjuk Widura,
“Paman
Widura.”
Orang itu mengangguk
dalam sambil berkata,
“Aku adalah
utusan kakang Untara.”
Kembali Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia tahu bahwa orang itu sama sekali
bukan pedagang keris. Tetapi orang itu adalah salah seorang pembantu sandi dari
Untara dalam kedudukannya sebagai seorang senopati yang memegang kekuasaan atas
nama Panglima Wira Tamtama. Ki Gede Pemanahan.
“Namanya
Trigata” sambung Untara.
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agung Sedayu mengangguk-angguk pula, nama itu
pernah didengarnya di Gunung Gowok dahulu, ketika kakaknya berpesan pada Soma.
“Nah sekarang,
apakah yang akan kau sampaikan?”
“Kelanjutan
dari berita-berita yang dibawa oleh Soma.”
“Ya”
“Tohpati hari
ini berada di hutan-hutan sebelah barat padukuhan Benda.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“apakah
sangkamu persiapannya sudah selesai?”
“Kami
menyangka demikian. Orang menyelundup kami yang di sekitar lingkungan mereka
yang dapat kami hubungi telah mendengar perintah untuk tetap di tempat bagi
mereka.”
Kembali Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagaimanakah
dengan obor dan panah api?”
Trigata berpikir
sejenak, kemudian jawabnya,
“Mungkin akan
benar-benar mereka pergunakan. Mereka tidak mau gagal kali ini. Karena itu
mereka akan mempergunakan alat-alat untuk mengacaukan pertahanan kita di sini.”
Sesaat mereka
kini berdiam diri. Masing-masing mencoba membayangkan apakah kira-kira yang
akan terjadi seandainya laskar Macan Kepatihan itu benar-benar akan datang. Yang
mula-mula berbicara adalah Widura, katanya,
“Aku harus
menyiapkan orang-orangku.”
“Ya” berkata
Untara, “Tetapi tidak sekarang. Nanti sore setelah matahari hampir tenggelam,
supaya Tohpati tidak sempat mengetahui, bahwa rencananya telah kita mengerti
sebelumnya.”
“Kau benar”
berkata Widura,
“aku hanya akan
membuat latihan-latihan khusus pagi ini.”
Untara
menggangguk. Kemudian kepada Trigata Untara itu berkata,
“Apakah
menurut dugaanmu malam nanti Tohpati akan bergerak.”
“Demikianlah”
sahut Trigata.
“Baik” berkata
Untara,
“usahakan
melihat gerakan mereka meskipun dari jarak yang jauh. Berilah tanda dengan
panah sanderan. Tetapi ingat, kau tidak usah membunuh diri. Demikian kau
melepaskan anak panah sanderan, kau harus segera melarikan dirimu. Terserahlah
kepadamu, siapakah yang berani bertaruh nyawa berdiri di ujung, yang lain akan
menerima tanda itu dan meneruskan ke Sangkal Putung.”
“Ah pekerjaan
itu tidak terlalu berbahaya” sahut Trigata,
“apalagi
dimalam hari, kami akan dapat melakukannya dengan aman. Sebab dapat kami
lakukan dari jarak yang cukup jauh. Pekerjaan ini jauh lebih aman dari
melakukan pertempuran itu sendiri.”
“Bagus, dimana
kalian berada?”
“Di Tegal”
jawab Trigata,
“di rumah
seorang petani miskin bernama Pada.”
“Kelak,
apabila kau tidak datang sesudah serangan selesai, kami akan mencari kalian.”
“Terima kasih”
sahut Trigata.
Kembali
kemudian mereka berdiam diri. Wajah Agung Sedayu tampak tegang. Ada sesuatu
yang bergolak di dalam dadanya. Setelah ia menemukan kepercayaannya pada
kekuatan yang tersimpan dalam dirinya, tiba-tiba timbullah keinginannya untuk
ikut serta dalam pertempuran itu. Meskipun demikian maksudnya itu tidak segera
disampaikannya kepada kakaknya maupun pamannya. Ia akan menunggu sampai nanti
apabila diadakan pertemuan di antara para pemimpin laskar di Sangkal Putung. Widura
kemudian meninggalkan Pringgitan. Diberinya anak buahnya beberapa petunjuk
khusus. Meskipun belum diberitahukannya bahwa Tohpati mungkin sekali akan
menyergap malam nanti, namun secara tidak langsung telah dipersiapkannya anak
buahnya untuk menghadapi kemungkinan itu. Dipersiapkannya pula anak-anak muda
Sangkal Putung untuk menghadapi setiap kemungkinan, pula laki-laki yang telah
berumur agak lanjut. Diberikannya petunjuk tempat-tempat yang harus mereka
pertahankan dan diberitahukannya pula cara-cara untuk melawan api apabila
timbul kebakaran. Meskipun Widura belum mengatakan, namun sudah terasa oleh
anak buahnya, bahwa bahaya itu semakin dekat. Karena itu, maka mereka pun telah
mulai mengatur hati masing-masing. Siap menghadapi setiap kemungkinan. Penduduk
Sangkal Putung merasa pula, bahwa mereka harus ikut serta mempersiapkan diri.
Perempuan-perempuan telah membuat persiapan secukupnya menghadapi masa-masa
yang sulit. Kalau terjadi pertempuran, belum pasti sehari, dua hari akan
selesai. Dan yang paling mengerikan bagi mereka, bagaimanakah kalau laskar
Pajang bersama-sama anak-anak muda Sangkal Putung tidak mampu menahan arus
Macan Kepatihan?
Siang itu
juga, Trigata meninggalkan Sangkal Putung kembali ke tempatnya. Di tempat
persembunyiannya ternyata telah berkumpul lima orang yang siap melakukan
tugas-tugas mereka. Beberapa tanda sandi harus mereka berikan lewat panah
sanderan yang nanti akan memberitahukan beberapa masalah mengenai gerakan
Tohpati. Hari itu Sangkal Putung benar-benar menjadi sibuk. Di muka banjar
anak-anak Sangkal Putung sibuk berlatih. Sedang anak buah Widura sibuk pula
mempersiapkan senjata-senjata mereka.
“Jangan
memeras tenaga kalian” Widura menasehati anak-anak muda Sangkal Putung,
“nanti apabila
setiap saat diperlukan, kalian telah menjadi kelelahan.”
Anak-anak muda
itu pun menurut pula. Mereka kini tinggal mendengarkan beberapa
petunjuk-petunjuk yang harus mereka lakukan dalam pertempuran yang setiap saat
mungkin akan datang.
Ketika
matahari telah condong kebarat, beberapa orang penjaga di ujung induk desa
Sangkal Putung terkejut mendengar panah sanderan yang meraung-raung di langit,
kemudian jatuh di dekat mereka. Seseorang segera memungut anak panah itu. Namun
mereka tidak melihat sesuatu pada anak panah itu. Karena itu, maka seorang dari
mereka segera meloncat ke atas punggung kuda dan langsung berpacu ke
Kademangan.
Widura dan
beberapa orang terkejut karenanya, ketika seorang dengan tergesa-gesa lari naik
ke pringgitan.
“Ki Lurah” berkata
orang itu kepada Widura,
“sebuah anak panah
sanderan telah jatuh didekat gardu penjagaan kami. Tetapi kami tidak menemukan
sesuatu apa pun pada anak panah itu”
Widura
mengerutkan keningnya.
“Bawalah
kemari” berkata Widura, ketika Untara ikut serta melihat anak panah itu, maka
ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada peronda yang menemukan
anak panah itu ia berkata,
“Perkuat
penjagaan di gardumu”
“Baik tuan”
jawab orang itu.
“Kembalilah.
Setiap perkembangan akan kami beritahukan, tetapi kau pun harus melaporkan
setiap perkembangan yang kau ketahui” berkata Untara pula.
Orang itu pun
kemudian pergi meninggalkan pringgitan. Di sepanjang jalan ia menggerutu,
“Tidak juga
mau memberitahukan apakah sebenarnya yang akan terjadi” Namun karena itulah
maka para peronda itu menjadi semakin berhati-hati.
Sepeninggal
orang itu, maka Untara pun berkata kepada Widura,
“Paman,
anak-anak buahku telah mendapat kepastian. Malam nanti Tohpati akan mulai
menyergap Sangkal Putung. Anak panah yang dikirim saat ini hanya sebuah.
Menurut pesan yang aku berikan kepada mereka, kalau Tohpati akan bergerak
sebelum tengah malam, mereka harus mengirimkan dua anak panah. Sedang kalau
kira-kira antara tengah malam atau sesudah itu, satu anak panah. Sehingga
dengan demikian maka kemungkinan terbesar, Tohpati nanti akan bergerak pada
tengah malam”
Widura mengerutkan
keningnya.
“Waktu yang
baik” gumamnya.
“Mungkin
Tohpati memperhitungkan, bahwa pada saat fajar mereka akan memasuki Sangkal
Putung”
Keduanya
kemudian berdiam diri. Masing-masing sedang mencoba melihat setiap kemungkinan
yang dapat terjadi. Yang mula-mula berbicara adalah Agung Sedayu,
“Kakang,
apakah Alap-alap Jalatunda akan ikut serta dengan Tohpati?”
Untara
mengangguk,
“Mungkin
sekali”
Agung Sedayu
menarik nafas. Namun ia tidak berkata apapun. Untara yang melihat wajahnya,
segera mengerti perasaan adiknya. “Apakah kau sudah rindu kepadanya?”
Agung Sedayu
tersenyum, tetapi ia masih belum menjawab
“Kalau begitu,
apakah kau ingin bertemu malam nanti?”
Kini Agung
Sedayu mengangguk,
“Ya” jawabnya,
“Aku sangka Alap-alap
Jalatunda itu tidak terlalu menakutkan”
Untara
tersenyum, namun kini ia berkata kepada Widura,
“Paman,
barangkali sudah sampai waktunya paman memberitahukan persoalan Sangkal Putung
kepada para pemimpin kelompok anak buah paman”
Widura
mengangguk,
“Ya. Aku
sangka demikian. Aku akan memanggilnya beserta beberapa pemimpin anak-anak muda
Sangkal Putung, bapak Ki Demang Sangkal Putung dan bapak Jagabaya”
“Jagabaya?”
bertanya Untara
“Ya. Ia pun
bekas prajurit yang baik. Meskipun umurnya telah agak lanjut, namun tekadnya
masih menyala seperti anak-anak muda”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Widura pun
kemudian memanggil semua orang-orang penting di Sangkal Putung. Orang-orangnya
sendiri, maupun orang-orang Sangkal Putung. Dengan singkat Widura menjelaskan
kepada mereka, apakah yang sedang mereka hadapi sekarang.
“Mungkin
orang-orang Tohpati itu lebih banyak dari orang-orangnya terdahulu” berkata
Widura kemudian.
“Karena itu
setiap tenaga harus kita manfaatkan”
Ki Demang
Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun ikut bertanggung jawab
atas apa saja yang terjadi diwilayahnya. Karena itu, maka katanya,
“Semua
anak-anak, akan dikerahkan dan semua laki-laki yang masih mungkin mengangkat
senjata. Ada beberapa orang bekas prajurit yang meskipun sudah ubanan, tetapi
menyatakan kesediaan mereka untuk ikut serta dalam pertempuran ini. Enam atau
tujuh orang. Bahkan mungkin lebih dari itu”
“Bagus” sambut
Widura.
“Beberapa
orangku akan berada dalam barisan anak-anak muda Sangkal Putung”
Ki Demang Sangkal
Putung mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagus”
katanya,
“Anak-anak
Sangkal Putung akan menjadi bergembira karenanya”
Tetapi hampir
semuanya kemudian tak bersuara ketika Widura berkata,
“Tetapi
perhatian terbesar harus kita berikan kepada pemimpin laskar Jipang itu, Macan
Kepatihan. Di sini kita akan menentukan, siapakah yang pantas untuk melawannya
tanpa menimbulkan kemungkinan yang terlalu buruk bagi kita”
Sesaat
pringgitan itu menjadi sepi. Tak seorang pun yang menyahut. Mereka saling
berpandangan dan sebagian dari mereka memandangi Untara dan Sidanti
berganti-ganti. Tetapi ada pula di antara mereka yang berpikir,
“Ternyata yang
pantas melawan Tohpati itu adalah Agung Sedayu”
Kesepian itu
kemudian dipecahkan oleh suara Sidanti perlahan-lahan,
“Kakang
Widura, siapakah yang menurut kakang paling pantas melawan Macan Kepatihan itu?
Widura terdiam
sejenak. Ia menunggu Untara menjawab pertanyaan itu. Dan sebenarnyalah kemudian
Untara berkata,
“Biarlah kita
melihat keseluruhan dari musuh kita. Di antaranya mereka akan datang juga Plasa
Ireng, Alap-alap Jalatunda dan beberapa orang yang lain. Karena itu, maka tugas
kita akan menjadi berat. Aku sama sekali tidak menganggap bahwa akulah yang
paling pantas melawan Tohpati. Tetapi aku akan bertanggung jawab terhadap
atasanku. Biarlah aku mencoba melawannya, dan sudah tentu Plasa Ireng,
Alap-alap Jalatunda dan yang lain-lain itu pun perlu mendapat perhatian.”
Sidanti
tersenyum. Jawabnya,
“aku sudah
menyangka” katanya,
“kemudian
kami, yang lain-lain adalah anak-anak yang tidak perlu ikut campur dalam
pertempuran itu.”
“Bukan begitu”
sahut Untara,
“aku, paman
Widura tak akan dapat berbuat sendiri-sendiri. Kekuatan laskar Sangkal Putung
adalah karena kita semua. Satu-satu dari diri kita masing-masing.”
Sidanti itu masih
tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Ia sudah memperhitungkan sejak semula,
bahwa Untara pasti akan menempatkan dirinya melawan Macan Kepatihan. Sedang di
tangan Untara itu tergenggam kekuasaan. Sehingga dengan demikian, tak akan ada
kesempatan baginya untuk menyainginya. Namun meskipun demikian, Sidanti
mengharap, mudah-mudahan kepala Untara dipecahkan olah Macan yang garang itu
dengan tongkat baja putihnya. Untara melihat senyum yang aneh itu. Tetapi ia
sama sekali tidak berkata apapun. Dalam keadaan yang demikian, maka kekuatan
mereka sepenuhnya sangat diperlukannya. Karena itu, maka ia pura-pura sama
sekali tidak melihat senyum Sidanti itu. Namun Hudaya, Citra Gati dan bahkan
Agung Sedayu tidak dapat melepaskan perasaannya yang ganjil. Dari senyum itu
mereka melihat, bahwa sesuatu tersembunyi di belakangnya.
“Kalau Untara
itu telah mati oleh Tohpati” berkata Sidanti,
“Maka keadaan
Sangkal Putung akan kembali seperti semula. Apalagi kalau aku mampu membunuh
Macan Kepatihan itu. Mudah-mudahan apa yang aku peroleh sekarang ini dari
guruku, setidak-tidaknya akan dapat mengimbanginya. Sebab Tohpati itu sudah
tidak sempat lagi mendalami ilmunya”
Akhirnya
setelah Widura memberikan beberapa pesan kepada pemimpin-pemimpin kelompok itu,
maka pertemuan itu segera dibubarkan. Mereka masing-masing kembali kepada
kelompoknya, memberikan kepada mereka beberapa petunjuk dan sesaat kemudian
mereka itu telah mempersiapkan diri masing-masing untuk menghadapi suatu
pertempuran yang berat. Anak-anak muda Sangkal Putung pun kemudian
berlari-larian hilir mudik. Mereka segera memanggil kelompok masing-masing dan
seperti juga anak buah Widura, mereka pun segera mempersiapkan diri mereka
masing-masing. Ketika kemudian matahari tenggelam di balik punggung bukit,
laskar Sangkal Putung itu pun telah siap di lapangan. Beberapa orang bekas
prajurit ada di antara mereka. Meskipun orang-orang itu telah menjelang
setengah abad, namun tubuh-tubuh mereka masih tegap, dan senjata-senjata
mereka, yang selama ini disimpannya. Namun kini senjata-senjata itu diambilnya
kembali. Terkenanglah mereka pada masa muda mereka. Bertempur untuk suatu
keyakinan yang digenggamnya. Kini mereka pun akan bertempur kembali untuk suatu
pengabdian atas kampung halaman mereka. Swandaru berdiri dengan gagahnya.
Pedangnya yang besar tergantung dipinggangnya. Sekali-sekali ia menatap langit
yang biru bersih, yang dibayangi oleh warna-warna merah. Matahari itu
seakan-akan betapa malasnya. Gelap yang turun perlahan-lahan terasa sangat
menjemukan. Mereka itu, anak-anak muda Sangkal Putung sedang menunggu datangnya
tengah malam.
Orang-orang
yang sudah setengah tua, mendapat tugas mereka sendiri. meskipun mereka membawa
senjata pula, namun mereka harus berada di dalam desa mereka. Kalau orang-orang
Macan Kepatihan itu berhasil menembus pertahanan laskar Pajang dan anak-anak
muda Sangkal Putung, maka mereka pun akan ikut serta bertempur. Di samping itu,
kalau Tohpati itu kemudian menjadi putus asa, dan mempergunakan panah-panah api
untuk menimbulkan kebakaran, maka adalah pekerjaan mereka untuk mengatasinya.
Sedang perempuan-perempuan muda tidak kalah sibuknya. Mereka mendapat pekerjaan
yang pantas untuk mereka. Mempersiapkan makanan bagi mereka yang akan berangkat
berperang. Meskipun demikian, di antara anak-anak gadis itu pun ada pula yang
menyelipkan keris dan patrem di antara ikat pinggang mereka seakan-akan mereka
pun siap pula, apabila perlu, untuk ikut serta bertempur bersama anak-anak
mudanya. Tetapi di samping semuanya itu, perempuan-perempuan yang bersembunyi
di balik-balik pintu rumahnya mendekap anak-anak mereka yang masih terlalu
kecil dengan eratnya. Mereka mencoba untuk menghibur anak-anak mereka.
Ketika malam
turun, maka Sangkal Putung benar-benar dikuasai oleh kegelapan. Hampir tak ada
rumah yang menyalakan lampunya, dan bahkan hampir tiada rumah yang berpenghuni.
Hampir setiap laki-laki telah keluar dengan senjata di tangan, dan hampir
setiap perempuan pergi mengungsikan diri ke kademangan, berkumpul bersama
mereka untuk menanggungkan segala macam keadaan bersama-sama. Apa pun yang
mereka alami, apabila dipikulnya bersama-sama, maka terasa akan menjadi
bertambah ringan. Meskipun hampir semua kekuatan laskar Widura dan anak-anak
muda Sangkal Putung ditarik ke arah barat, namun Widura tidak mengosongkan setiap
gardu di sudut-sudut lain. Namun isi dari gardu-gardu itulah yang kemudian
sebagian diserahkan kepada laki-laki Sangkal Putung yang tidak ikut serta dalam
pertempuran langsung dengan anak-anak Macan Kepatihan, meskipun satu dua di
antara mereka telah diperlengkapi dengan alat-alat tanda bahaya yang
sebaik-baiknya, untuk setiap kali apabila bahaya mengancam mereka,segera mereka
dapat memberitahukannya kepada laskar cadangan yang ditinggalkan di kademangan,
bersama dengan beberapa orang Sangkal Putung sendiri, di sekitar
lumbung-lumbung dan di banjar desa. Kini para peronda telah tahu benar, apa
arti panah sanderan yang setiap saat akan meluncur di sekitar tempat-tempat
mereka. Untara telah berpesan kepada anak buahnya, bahwa apabila ada
tanda-tanda Tohpati menggerakkan laskarnya, supaya mereka segera mengirimkan
anak panah sanderan dua kali ganda berturut-turut. Dan apabila keadaan amat
mendesak karena suatu perubahan, sedang mereka para petugas yang telah dikirim
oleh Untara, tidak sempat memberitahukan langsung, supaya dikirimnya panah
sanderan tiga kali berturut-turut. Beberapa saat kemudian maka laskar Widura
dan anak-anak muda Sangkal Putung telah siap seluruhnya di lapangan di muka
banjar desa, segera untuk berangkat. Beberapa orang laki-laki telah siap
menempati tempat-tempat yang ditentukan, dan tanda-tanda telah mereka kenal
dengan baiknya. Namun tiba-tiba mereka menjadi tegang ketika mereka mendengar
derap kuda yang berlari kencang memecah kesepian. Widura dan Untara segera
melangkah maju menyongsong orang berkuda itu, sedang di belakangnya Agung
Sedayu berdiri dengan berdebar-debar. Kali ini untuk pertama kalinya ia
mendapat kesempatan untuk ikut serta bertempur dengan lawan yang sebenarnya.
Sebilah pedang tergantung di pinggangnya. Namun tanpa setahu kakaknya,
disakunya terdapat beberapa butir batu sebesar telur ayam. Ia sendiri tidak
tahu pasti apakah batu-batu itu akan bermanfaat. Namun begitu saja timbul
keinginannya untuk mencoba apakah ia benar-benar dapat membidik dalam arti yang
sebenarnya. Membidik tidak saja dalam permainan-permainan yang menggembirakan
tetapi membidik dalam pertempuran yang berbahaya.
Sesaat
kemudian tampaklah seekor kuda berlari dengan kencangnya. Demikian kuda itu
berhenti, maka meloncatlah seorang prajurit di hadapan Widura. Widura dengan tergesa-gesa
bertanya kepadanya,
“Ada yang
penting dipenjagaanmu?”
Orang itu
mengangguk, katanya,
“kami menerima
panah sanderan tiga kali berturut-turut.”
Widura
mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Untara maka tampaklah Untara
sedang berpikir.
“Ada sesuatu
yang menyimpang dari rencana semula.” desisnya.
Widura
mengangguk.
Setelah Untara
itu diam sejenak, maka katanya,
“siapkan
seluruh laskar yang ada. Kita siap berangkat kemana saja. Beberapa orang
berkuda supaya bersiap pula. Apabila ada perubahan arah, orang-orang itu dapat
memberitahukannya ke segenap sudut penjagaan.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian terdengar ia bersuit dua kali. Seorang
yang bertubuh kecil berlari-lari datang kepadanya.
“Sonja”
berkata Widura,
“siapkan
orang-orangmu. Setiap saat kami memerlukan mereka.”
“Baik” sahut
Sonja. Kemudian ia pun berlari-lari kembali ke tempat kawan-kawannya
sekelompoknya menunggu didekat kuda-kuda ditambatkan. Mereka adalah kelompok
yang harus menyampaikan setiap berita kepada segenap tempat yang diperlukan.
Sebelum Widura
memberikan perintah-perintah berikutnya, kembali mereka mendengar suara kaki
kuda berderap. Sekali lagi Widura, Untara dan orang-orang di sekitarnya menjadi
tegang. Seperti orang yang pertama orang itu pun tergesa-gesa berkata kepada
Widura,
“kami telah
menerima panah sanderan dua kali berturut-turut.”
“He” Widura
mengerutkan keningnya,
“mereka
mempercepat gerakan mereka.”
“itulah
kecerdikan Macan Kepatihan itu” sahut Untara,
“setiap
rencana dirahasiakan di dalam otaknya. Baru pada saat terakhir dilakukannya
rencana itu, sehingga orang-orang mereka sendiri tidak dapat mengetahui
sebelumnya. Karena itulah maka Trigata itu pun tidak dapat mengetahuinya dengan
tepat apa yang akan dilakukan oleh Macan Kepatihan. Karena orang-orangnya yang
dapat melakukan hubungan dengan orang-orang dalam laskar Tohpati itu pun tidak
dapat mengatakan dengan tepat pula.”
Sekali lagi
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Kita juga
sudah siap untuk berangkat. Bukankah kita segera berangkat pula.”
“Marilah”
sahut Untara.
”Sementara
tetap ke barat.”
Sekali lagi
Widura bersuit dua kali. Dan sekali lagi Sonja berlari-lari kepadanya.
“Satu di
antara kalian pergi ke Kademangan. Yang lain ke setiap gardu peronda. Tohpati
telah mulai bergerak. Ingat jangan menimbulkan kegelisahan di antara mereka.
Kemudian kalian kembali ke tempat ini dan separo dari kalian harus berada di
gardu pertama sebelah barat.”
“Baik” Sonja
mengangguk,kemudian kembali ia meloncat berlari kekelompoknya. Sesaat kemudian
maka mereka telah menghambur ke segenap penjuru.
Kedua penjaga
yang datang berkuda berturut-turut telah kembali ke tempat mereka pula
mendahului laskar Widura. Sedang para penghubung telah menghubungi gardu-gardu
yang lain. Mereka sengaja tidak mempergunakan tanda-tanda, seperti dahulu,
supaya Tohpati tidak menyadari bahwa kehadirannya telah dinantikan. Para
prajurit serta laki-laki dari Sangkal Putung yang merupakan kekuatan cadangan
segera bersiap pula. Dengan senjata di tangan mereka, mereka mengawasi setiap
tempat yang mereka anggap penting. Beberapa orang berjalan hilir-mudik, dari
sudut yang satu ke sudut yang lain dengan pedang terhunus. Setiap jalan yang
masuk ke induk desa Sangkal Putung telah tertutup rapat olah penjagaan yang
ketat. Gardu-gardu peronda telah dilengkapi dengan senjata-senjata jarak jauh,
panah, bandil dan alat-alat tanda bahaya. Sementara itu laskar Widura telah
mulai merayap kepintu sebelah barat, lewat tiga jalan. Yang separi menyusur
jalan besar, sednag yang separo lagi dibagi menjadi dua pula. Sebagian lewat
sebelah utara dan sebagian lewat sebelah selatan. Demikian pula anak-anak muda
Sangkal Putung itu pun dibagi menjadi tiga. Sepertiga lewat jalan besar,
sepertiga lewat utara dan sepertiga lewat selatan. Laskar itu kini telah keluar
dari induk desa Sangkal Putung. Setelah melewati sebuah bulat kecil mereka akan
sampai ke sebuah desa kecil yang hampir-hampir telah dikosongkan. Semua
orang-orangnya telah pergi mengungsi ke induk desa Sangkal Putung. Ketika
Widura yang berjalan di samping Untara menengadahkan wajahnya, tampaklah langit
yang bersih ditaburi oleh bintang-binang yang gemerlapan. Selembar-selembar
awan mengalir dihanyutkan oleh angin yang lambut. Sejenak kemudian laskar itu
pun telah sampai di desa kecil itu. Induk pasukan tepat berada di tengah,
sedang kedua sayapnya masing-masing berada di ujung desa-desa itu sebelah utara
dan selatan. Para penjaga masih tetap berada di tempat mereka. Namun mereka
tidak lagi berada di dalam gardu. Mereka lebih senang berada di balik
pepohonan. Ketika mereka melihat induk pasukan itu datang, maka seakan-akan
mereka bersorak di dalam hati mereka. Sebab dengan demikian, apabila laskar
Tohpati itu datang setiap saat, mereka tidak harus melakukan perlawanan
darurat. Laskar Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung itu tidak maju terus.
Mereka tinggal di dalam desa itu, supaya lawan mereka tidak segera melihat
kehadiran mereka. Ketika Widura telah mengenal keadaan sejenak di tempat itu,
maka segera diperintahkannya kepada para penjaga,
“Nyalakan
pelita di dalam gardumu. Dan nyalakan beberapa lampu di rumah-rumah yang
terdekat.”
“Kenapa justru
dinyalakan, Ki Lurah?” bertanya penjaga itu.
“Biarlah
laskar Tohpati menyangka, bahwa keadaan di dalam desa ini seperti dalam keadaan
biasa. Kalau kau padamkan lampunya dan semua lampu-lampu, maka itu pasti akan
mencurigakan Macan Kepatihan yang cerdik itu.”
Penjaga itu
mengangguk-angguk.
“Alangkah
bodohnya aku” katanya dalam hati.
Karena itu
maka segera ia bergegas-gegas pergi ke rumah-rumah yang telah kosong, untuk
menyalakan lampu-lampunya. Sedang di gardunya pun segera dinyalakannya pula.
“Bagus” desis
Widura kemudian,
“desa ini akan
memiliki wajah seperti wajahnya di setiap hari. Tohpati yang berpengalaman luas
itu pasti pernah melihat pedesaan ini di malam hari sebelum ia memilih arah.
Dan dengan demikian ia pasti akan mengenal keadaan ini baik-baik.”
Dalam pada
itu, maka beberapa pengawas pun telah dikirim ke depan. Ke tengah-tengah sawah
yang menurut perhitungan mereka akan dilalui oleh laskar Tohpati. Malam yang
masih terlalu muda itu telah menjadi semakin gelap. Dan di dalam gelap itulah
berkeliaran laskar dari kedua belah pihak dengan alat-alat penyebar maut di
tangan mereka masing-masing. Sebenarnyalah Tohpati telah berada di hadapan
hidung laskar Pajang itu. Namun mereka menunggu untuk menyakinkan, apakah yang
sebenarnya terjadi di hadapan mereka. Laskar Tohpati yang bergerak jauh sebelum
waktu yang ditentukan semula itu, dengan cepatnya mendekati Sangkal Putung.
Namun laskar itu terhenti ketika Tohpati melihat suasana pedesaan di
hadapannya.
“Desa itu
terlampau sepi” desisnya.
Di sampingnya
berdiri seorang yang berwajah keras itu, yang bernama Plasa Ireng, tertawa.
Gumamnya,
“setidak-tidaknya
mereka telah mendengar bahwa pedesaan mereka terancam bahaya.”
Tohpati
berdesis, kemudian gumamnya,
“Sanakeling.
Bawalah laskarmu melingkar ke selatan.”
“Baik” sahut
orang yang bernama sanakeling. Bekas pimpinan laskar Jipang daerah utara. Namun
untuk kepentingan kali ini agaknya mereka telah ditarik dalam satu kesatuan.
Namun sebelum Sanakeling itu bergerak, terdengar Alap-alap Jalatunda yang berdiri
di belakang mereka berkata,
“Aku melihat
pelita-pelita itu dinyalakan.”
Tohpati
tertawa. Dengan nada yang tinggi ia berkata,
“Paman Widura
benar-benar cerdik. Ia ingin menjadikan desa itu seolah-olah tidak mengalami
perubahan apa-apa. Namun agaknya anak buahnyalah yang terlalu bodoh.
Sanakeling. Berjalanlah melingkari desa itu, langsung ke Sangkal Putung. Sayang
Paman Widura agak terlambat menyalakan lampu-lampu itu. Kalau tidak maka
kembali kami akan terjebak.”
Sanakeling
kemudian dengan cepat membawa laskarnya ke selatan melingkari desa itu langsung
menuju Sangkal Putung.
Tetapi Widura
dan Untara pun bukan anak kemarin petang. Itulah sebabnya mereka telah memasang
beberapa orang jauh di hadapan laskar mereka. Dalam keheningan malam yang
dingin itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sanderan yang meraung-raung di
udara. Sekali, dua kali dan kemudian satu kali lagi. Untara mengangka alisnya,
“ada sesuatu
yang terjadi dalam barisan Tohpati itu.” Desis Untara.
Wajah Widura
berubah menjadi tegang. Dengan gelisah ia menunggu orang-orangnya yang
diperintahkannya untuk mengawasi setiap kemungkinan yang ada di hadapan mereka.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan seorang pengawas dengan nafas
terengah-engah. Tubuhnya dan seluruh pakaiannya kotor oleh lumpur. Dengan
tergesa-gesa ia berkata,
“aku melihat
laskar berjalan melingkar di arah selatan langsung menuju induk desa Sangkal
Putung. Mereka pasti masuk dari arah selatan pula. Tetapi barisan itu tidak
begitu besar.”
“Hem” geram
Widura,
“Macan
Kepatihan itu selalu membuat berbagai macam permainan.”
“Mereka telah
mencapai simpang empat di bulak sebelah” orang itu berkata seterusnya.
“He?” Widura
terkejut,
“begitu
cepatnya?”
“Ya”
Tiba-tiba demang
Sangkal Putung itu memotong,
“serangan yang
sangat berbahaya. Apakah aku boleh menarik laskar Sangkal Putung kembali
menyongsong mereka?”
“Jangan” sahut
Widura.
“kita belum
tahu, siapakah yang memimpin laskar Jipang itu. Mungkin justru itu adalah induk
pasukan mereka.”
Demang Sangkal
Putung itu pun terdiam. Baru sesaat kemudian Widura berkata,
“keadaan itu
sangat gawat. Biarlah aku bawa laskar sayap kiri kembali ke kademangan. Seterusnya
aku serahkan pimpinan ini kepadamu Untara. Kalau keadaan tidak terlalu gawat
aku akan kembali kemari.”
Untara
mengangguk, “baiklah” jawabnya.
Widura itu pun
dengan cepat berlari kesayap kiri. Kemudian segera laskar kiri itu ditarik
mundur, kembali ke kademangan Sangkal Putung.
Dengan
tergesa-gesa mereka berjalan memintas. Mereka tidak lagi lewat di atas jalan di
antara daerah persawahan. Namun mereka langsung memotong arah. Melompati
tanaman-tanaman yang menghijau. Bahkan sekali-sekali tanam-tanaman itu pun
terpaksa terinjak-injak kaki mereka. Namun tanaman itu besok bisa disulami.
Tetapi kehancuran kademangan mereka akan memerlukan banyak sekali pengorbanan.
Harta, benda, tenaga dan waktu. Itulah sebabnya maka mereka tidak lagi sempat
berpikir tentang tanaman-tanaman itu. Sesaat kemudian mereka dikejutkan oleh
bunyi tanda bahaya dari gardu selatan. Ternyata para peronda sempat melihat
kedatangan mereka, sehingga mereka terpaksa membunyikan tanda itu, sementara
beberapa orang yang lain, telah mencoba menghambat gerakan itu dengan
senjata-senjata jarak jauh.
Tetapi mereka
terkejut ketika mereka mendengar suara tertawa dari barisan yang datang itu.
“He” kenapa
kalian berteriak-teriak minta tolong?”
Pimpinan gardu
itu sama sekali tidak memperhatikannya. Dengan cekatan mereka terus-menerus
menghujani anak-anak panah dari balik gardu mereka seberang menyeberang. Dua
orang lagi telah meloncat ke balik semak-semak di belakang pagar. Anak panah
mereka pun meluncur tak henti-hentinya. Ternyata usaha itu menolong pula,
gerakan laskar Sanakeling itu terpaksa berhenti sebentar. Mereka sedang
melihat, apakah yang sedang dihadapi. Tetapi sesaat kemudian Sanakeling itu
tertawa pula, katanya sambil menghitung,
“tiga orang di
belakang gardu, dua orang di balik pagar dan satu orang memukul kentongan.
Apakah kalian berenam sudah jemu hidup? Dua di antara kalian benar-benar mampu
memanah. Namun yang tiga itu sama sekali tak akan berarti apa-apa. Jangan
membidik terlalu tinggi. Tarik tali busurmu agak kuat, supaya lari panahmu agak
cepat dan keras.”
Yang mendengar
suara Sanakeling itu benar-benar manjadi sangat cemas. Orang itu dapat menebak
dengan tepat berapa orang yang sedang berjaga-jaga digardu itu. Mungkin
pemimpin barisan itu dapat melihat arah lepasnya anak-anak panah. Tetapi
ternyata orang itu dapat menebak pula, siapakah di antara mereka yang
benar-benar mampu melepaskan senjata-senjata itu. Karena itu maka orang itu
pasti seorang yang telah kenyang makan garam pertempuran. Sebenarnyalah para
pemuda di gardu itu berjumlah enam orang. Dua di antaranya adalah anggota
laskar Widura. Sedang yang empat adalah orang-orang Sangkal Putung. Karena itu,
maka perlawanan mereka pun berbeda dari mereka yang telah mengalami pertempuran
berkali-kali. Meskipun demikian, panah-panah itu benar-benar menjengkelkan
Sanakeling. Karena itu, maka tiba-tiba ia berteriak,
“He, dua atau
tiga orang, pergilah mendahului kami. Ambillah orang-orang yang mencoba
merintangi perjalanan kami”
Pemimpin gardu
itu terkejut. Sanakeling hanya memerintahkan dua atau tiga orang. Apakah
menurut perhitungannya, orang-orang yang berada digardu itu benar-benar tidak
akan mampu berkelahi melawan tiga orang saja? Kedua prajurit Pajang itu
menggeram. Mereka pun prajurit yang telah masak. Karena itu maka jawabnya,
“Kami berenam
di sini seperti dugaanmu. Jangan mengirimkan dua atau tiga orang. Marilah,
datanglah bersama-sama, supaya kalian dapat menilai pertahanan Sangkal Putung”
Sanakeling
mengerutkan keningnya. Alangkah besarnya kata-kata penjaga gardu itu. Namun kemudian
Sanakeling itu menjawab,
“Baiklah.
Agaknya kau ingin bunuh diri” Sanakeling itu diam sejenak. Namun tiba-tiba ia
berteriak,
“Menyebar.
Masuki Sangkal Putung. Langsung ke kademangan dan kuasai daerah-daerah
perbekalan”
Serentak
laskarnya bergerak. Kini mereka sama sekali tak menghiraukan lagi anak panah
yang menghujani mereka dari balik gardu dan semak-semak. Ketika kemudian
terdengar seorang anggota laskar Sanakeling itu mengaduh, karena pundaknya
terkena anak panah, Sanakeling menggeram,
“Setan, bunuh
mereka berenam”
Para penjaga
gardu mendengar pula perintah itu. Karena itu maka terasa dadanya berdesir.
Betapapun juga, maka mereka benar-benar tidak sedang membunuh diri. Dengan
demikian maka mereka harus memperhitungkan setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar