Jilid 006 Halaman 2


Pemimpin peronda itu pun kemudian menusup di balik semak-semak pula bersama ketiga orang yang berada di sekitar gardu. Ketika tanda bahaya dari gardu itu telah disahut oleh gardu-gardu yang lain dengan tanda kekhususannya, bahwa sumber tanda itu adalah dari gardunya, maka pemukul tanda bahaya itu pun melepaskan kentongannya dan bersama-sama dengan kawan-kawannya menyusup di balik semak-semak pula. dengan beringsut sedikit demi sedikit, mereka terus mengadakan perlawanan dengan anak-anak panah mereka. Namun laskar lawan mereka, menjadi semakin dekat pula. bahkan beberapa orang telah berlari melingkar dan meloncati pagar-pagar batu yang melingkari desa itu. Orang-orang yang berada di dalam semak-semak itu merasa, bahwa mereka tidak akan dapat melawan mereka. Karena itu maka mereka pun semakin dalam membenamkan diri ke dalam padesan sambil mencari perlindungan di dalam gelapnya malam. Tiba-tiba, keenam orang itu menengadahkan wajah-wajah mereka. Dari kejauhan mereka mendengar derap orang berlari-lari.
“Laskar cadangan” pikir mereka. Karena itu maka pemimpin gardu itu pun segera memberikan tanda sandi kepada mereka.
“Gardu selatan. Langsung dari arah angin. Laskar lawan mendekati pada jarak limapuluh depa”
Sebenarnyalah mereka adalah laskar cadangan yang berada di kademangan. Namun kekuatan mereka pun tidak seberapa. Meskipun demikian, keenam orang peronda itu menjadi berbesar hati. Sebab dengan demikian, maka perlawanan mereka akan menjadi lebih berarti. Dari kejauhan terdengar pemimpin laskar cadangan itu menjawab,
“Kami segera datang”
Yang menyahut kemudian adalah suara Sanakeling.
“Hem. Kalian memanggil kawan-kawan kalian. Baiklah. Agaknya kalian ingin mendapat kawan lebih banyak lagi dalam perjalanan kalian ke akhirat”

Namun beberapa orang Sanakeling itu pun telah sedemikian dekatnya. Sehingga tiba-tiba saja mereka telah terlibat dalam perkelahian. Kedua laskar Widura itu segera melepaskan busur mereka, dan dengan serta-merta mereka telah mencabut pedang-pedang mereka. Ketika beberapa orang melompat menerkamnya, maka segera terjadi perkelahian yang sengit. Keempat kawannya itu pun tidak membiarkan kedua orang itu bertempur sendiri. ketika mereka sudah tidak dapat membidikkan anak panah mereka, maka mereka pun segera melemparkan busur mereka, dan dengan golok di tangan mereka menyerbu pula dalam perkelahian iu. Namun mereka benar-benar belum banyak berpengalaman dalam pertempuran malam. Karena itu, maka mereka tidak dapat melakukan perlawanan dengan sebaik-baiknya. Setapak demi setapak mereka terdesak mundur. Apalagi lawan-lawan mereka kemudian datang berloncatan. Tetapi dalam pada itu, laskar cedangan itu pun telah datang pula. segera mereka melibatkan diri dalam perkelahian itu. Meskipun jumlah mereka belum memadai jumlah laskar Sanakeling, namun di dalam malam yang gelap itu, amatlah sukar untuk membedakan, siapa kawan siapa lawan. Meskipun laskar masing-masing agaknya telah memiliki tanda-tanda sandi mereka masing-masing, namun dalam keributan pertempuran itu, maka banyak diatara mereka yang menjadi ragu-ragu. Laskar Jipang dan laskar Pajang yang telah jauh lebih berpengalaman dari anak-anak muda Sangkal Putung itu pun masih juga belum dapat menempatkan diri mereka dengan baik. Sebab sebenarnya mereka tidak terlalu biasa mengadakan pertempuran dimalam hari dalam jumlah yang cukup besar. Sanakeling melihat kesulitan itu. Maka teriaknya kemudian,
“Nyalakan obor. Jumlah kita lebih banyak. Apalagi lawan-lawan kita adalah cucurut-cucurut dari Sangkal Putung”
Pemimpin laskar cadangan itu pun tak mau anak buahnya berkecil hati karena teriakan-teriakan lawannya. Maka dengan lantang pula mereka menjawab,
“He anak-anak muda Sangkal Putung yang ikut dalam pertempuran ini. Lihatlah apa yang kami lakukan, anggaplah pertempuran ini sebagai latihan. Sebab ternyata yang dikirim oleh Tohpati kemari tidak lebih dari laskar yang mereka temukan di sepanjang pengungsian mereka”
“Gila” sahut Sanakeling.
“Inilah Sanakeling. Siapa yang berteriak-teriak itu”

Pemimpin laskar cadangan itu tergetar hatinya. Sanakeling. Nama itu pernah didengarnya sebagai pemimpin laskar Jipang di sebelah utara. Namun ia tidak mau mengecilkan hati anak buahnya yang sedang bertempur itu. Maka kata di dalam gelap,
“Ha. Bukankah terkaanku benar. Sanakeling yang lari dari tekanan laskar Pajang di sebelah utara, yang dipimpin langsung oleh Ki Panjawi”
“Gila. Siapakah kau. Ayo tampakkan dirimu”
Namun pemimpin laskar cadangan itu tidak mendekati Sanakeling. Sebab ia tahu, bahwa orang itu benar-benar bukan lawannya. Meskipun demikian ia menjawab,
“Di sini. Datanglah kemari”
Sanakeling menjadi marah bukan buatan. Ia meloncat dengan garangnya ke arah suara itu. Namun perkelahian menjadi semakin ribut. Dan sekali lagi ia berteriak,
“Tenaga kita berlebihan. Sebagian dari kalian nyalakan obor”
Sesaat kemudian beberapa obor telah menyala. Karena itu daerah pertempuran itu menjadi agak terang. Di beberapa bagian segera tampak wajah-wajah mereka samar-samar di dalam bayang-bayang yang selalu bergerak-gerak. Pemimpin laskar Pajang menjadi cemas karenanya. Dengan demikian keringkihan laskarnya segera akan nampak. Namun demikian, laskar Pajang bersama laki-laki dari Sangkal Putung sendiri itu telah siap mengorbankan apa saja yang ada pada mereka. Karena itu, maka betapapun besarnya bahaya yang mengancam, namun mereka sama sekali tidak gentar. Bahkan dengan demikian, mereka segera menyerbu musuh-musuh mereka, mengamuk sejadi-jadinya. Mereka telah siap berkorban untuk kampung halaman mereka yang mereka cintai. Sawah ladang mereka yang telah memberi kepada mereka makan dan minum, serta lumbung-lumbung mereka, persediaan buat hari-hari mendatang, persediaan buat anak-anak mereka dimusim paceklik. Dengan demikian, maka pertempuran di ujung desa Sangkal Putung itu segera berkobar dengan dahsyatnya. Sanakeling yang melihat keberanian laskar Sangkal Putung itu menggeram marah. Dengan wajah yang merah padam segera ia pun terjun ke kancah pertempuran itu. Namun segera mereka dikejutkan oleh sorak-sorai yang membahana, seolah-olah mengalir di sepanjang jalan di sisi desa itu. Sesaat kemudian mereka melihat obor yang beterbangan menuju ke kancah pertempuran itu. Kemudian di antara sorak yang menggelegar itu terdengar suara lantang,
“He, siapakah yang memimpin sempalan laskar Tohpati?”

Suara itu belum terjawab. Namun obor-obor yang seolah-olah beterbangan berebut dahulu itu menjadi semakin dekat. Dari antara mereka terdengar kembali suara,
“Angin barat. Sayap selatan. Ayo, siapa yang berada di pihak lawan?”
Mendengar suara itu laskar Pajang yang sedang bertempur itu pun tiba-tiba bersorak pula. mereka mengenal tanda sandi itu, dan mereka pun mengenal suara itu, suara Widura. Karena itu maka segera mereka menyahut,
“Laskar mereka dipimpin oleh Sanakeling”
“Setan” geram Sanakeling, “Siapa yang datang?”
Sebenarnyalah yang datang itu adalah Widura beserta sebagian laskarnya. Dengan tergesa-gesa mereka berloncatan di atas parit-parit dan pematang supaya mereka segera sampai ke Sangkal Putung. Ketika mereka melihat nyala obor yang menerangi daerah sekitar gardu selatan itu hati mereka menjadi berdebar-debar. Rupanya laskar lawan benar-benar telah sampai ke Sangkal Putung. Tanda bahaya yang menggema di seluruh kademangan, telah mendorong mereka untuk berjalan lebih cepat. Karena itu kemudian mereka tidak saja berjalan cepat-cepat, namun mereka telah berlari-larian berebut dahulu. Demikian mereka memasuki Sangkal Putung. Maka segera Widura memerintahkan kepada laskarnya untuk mempengaruhi pertempuran itu dengan caranya. Laskar yang dibawanya itu segera bersorak dengan riuhnya.
Ternyata usaha Widura itu pun mempunyai pengaruh pula, laskar cadangan yang lebih dahulu telah terlibat dalam pertempuran itu menjadi berbesar hati, sehingga karena itu maka perlawanannya menjadi semakin seru. Meskipun saat-saat itu tidak terlalu panjang, namun saat-saat itu adalah saat-saat yang menentukan. Tekanan yang berat dari laskar Sanakeling, hampir-hampir menjebolkan laskar cadangan itu. Apabila demikian, maka arus mereka benar-benar akan melanda kademangan. Sehingga kademangan dan seluruh Sangkal Putung pasti akan menjadi geger. Beberapa orang dari laskar Sanakeling itu telah siap untuk langsung menerobos masuk ke Sangkal Putung. Namun karena sorak sorai yang riuh itu, serta nyala api obor yang meluncur dengan cepatnya ke daerah pertempuran, terpaksa mereka mengurungkan niat itu. Mereka menunggu sementara apa yang akan terjadi.

Sanakeling yang melihat perubahan di dalam tata pertempuran itu segera mengatur anak buahnya. Mereka yang telah bersiap untuk langsung masuk ke jantung Sangkal Putung segera ditariknya kembali. Mula-mula Sanakeling itu berharap, bahwa dengan sebagian saja dari laskarnya, maka laskar cadangan itu akan dapat dimusnahkan, sedang yang lain-lain akan dapat merambas jalan masuk ke pusat kademangan itu sebelum laskar Tohpati datang. Namun tiba-tiba rencananya itu terpaksa diurungkan. Dengan marahnya terdengar Sanakeling itu menggeram,
“He, ternyata cecurut-cecurut itu bertambah pula, jangan diberi kesempatan untuk memandang fajar esok”
Terdengar kemudian suara tertawa,
“Aku pernah mendengar suara itu” berkata suara itu di antara tertawanya.
“Setan” Sanakeling itu mengumpat,
“Siapakah yang memimpin laskar Pajang itu?”
“Apakah kau Sanakeling?” sahut Widura yang belum menampakkan dirinya.
Sanakeling menggeram keras sekali. Sementara itu, laskar Widura telah terjun pula kedalam pertempuran yang menjadi semakin riuh.
“Inilah Sanakeling” teriak Sanakeling.
Sesaat Widura melihat pertempuran itu. Ia melihat beberapa orang laskarnya menebar. Mengambil arah yang tepat, langsung menghadapi laskar Sanakeling. Beberapa orang di antaranya memegang obor di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Sedang beberapa orang yang lain berusaha melindunginya. Karena itu maka pertempuran itu pun bertambah ribut pula. Obor-obor berhamburan kian kemari pada kedua belah pihak. Sedang kawan-kawan mereka sibuk mempertaruhkan nyawa mereka. Gemerincing pedang di antara pekik sorak gemuruh membelah sepi malam. Sekali-sekali terdengar sebuah jerit yang membumbung tinggi. Tajam pedang berkilat-kilat dalam sinar obor yang kemerah-merahan. Tetapi warna merah itu telah bertambah merah karena darah yang tertumpah.
“Perang brubuh” desah Widura,
“keduanya tidak lagi pasang gelar. Tetapi tiba-tiba Widura terkejut. Di antara riuhnya pedang, tampaklah seseorang yang meloncat-loncat dengan lincahnya. Sekali-sekali pedangnya terjulur dan kemudian terayun deras sekali. Widura itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“itulah Sanakeling” desisnya.
“Pedang di tangan kanan dan bindi di tangan kiri.”

Widura tidak dapat membiarkannya menyambar-nyambar di antara laskarnya. Karena itu, maka dengan tangkasnya ia meloncat langsung menghadapi pemimpin laskar Jipang dari utara itu.
“He” Sanakeling itu terkejut ketika ia melihat Widura hadir dalam pertempuran itu.
Widura kini telah tegak di hadapannya dengan sebuah pedang yang khusus. Pedang yang tidak terlalu tajam, namun ujungnya runcing seruncing ujung jarum.
“Aku memang mengharap dapat bertemu dalam pertempuran ini.” Berkata Sanakeling.
“Sekarang kau telah berhadapan dengan Widura. Menyesal bahwa pertempuran kita kali ini tidak terlalu leluasa.” Sahut Widura.
Sanakeling menggeram. Widura telah lama dikenalnya, dan ia telah mengenal pula kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya. Mereka dulu adalah kawan yang baik meskipun tidak terlalu akrab. Namun keadaan yang memisahkan Pajang dan Jipang sesudah Sultan Trenggana wafat, telah memutuskan hubungan mereka pula. Dan Sanakeling pun tahu, siapa yan memimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Dari Tohpati dia mendengar, bahwa Widura beberapa waktu dahulu, setelah ia memimpin sendiri laskar Pajang di Sangkal Putung. Mungkin karena tanggung jawab yang sepenuhnya berada di pundaknya. Mungkin karena ketekunannya berlatih. Dan dari Tohpati ia mendengar bahwa dalam barisan Widura itu pula terdapat seorang anak muda yang bernama Sidanti, murid Ki Tambak Wedi. Sanakeling menyadari bahwa ia harus berhadapan dengan salah satu di antara keduanya. Kalau ia harus melawan Sidanti maka Plasa Ireng lah yang harus melawan Widura atau sebaliknya. Sedangkan Tohpati akan dapat dengan leluasa membuat rencana mengatur laskarnya untuk langsung menembus jantung Sangkal Putung. Mungkin Plasa Ireng masih belum memadai kekuatan Widura atau Sidanti, namun Alap-alap Jalatunda akan dapat menyelesaikannya. Betapapun, tetapi anak muda yang menamakan dirinya Alap-alap Jalatunda memiliki beberapa kelebihan dari orang-orang lain di dalam laskar Tohpati yang diperkuat itu. Dan kini, ternyata yang tampil di hadapannya adalah Widura. Karena itu maka katanya,
“Apakah aku berhadapan dengan induk pasukan?”
Widura mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berpaling dan berkata kepada seseorang yang berdiri tegak di sampingnya dengan sebuah tombak pendek di tangan. Orang itu adalah seorang penghubung yang memang sedang menunggu perintah. Karena itu ia tidak turut bertempur.
“Sampaikan kepada laskar yang tinggal, bahwa aku tetap berada di Sangkal Putung. Sebab aku bertemu kawan lamaku Sanakeling.”
Orang itu mengangguk, namun ketika ia sedang bergerak maka Sanakeling itu berteriak,
“tungggu”
Orang itu berhenti, namun Widura memberi isyarat untuk berjalan terus.
“He” teriak Sanakeling,
“berhenti”
Tetapi orang itu tidak berhenti. Karena itu Sanakeling berteriak pada anak buahnya,
“hentikan orang itu”

Seseorang meloncat maju memburunya. Namun orang itu telah tenggelam di balik lindungan beberapa orang kawannya, sehingga Sanakeling seterusnya hanya mengumpat-umpat.
“He,Widura,” bertanya Sanakeling itu pula,
“apakah aku berhadapan dengan induk pasukan?”
Widura berpikir sejenak, kemudian katanya,
“ya, kau berhadapan dengan induk pasukan.”
Sanakeling mengerutkan keningnya, namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Katanya,
“jadi inikah induk pasukan Sangkal Putung yang kau bangga-banggakan?”
“Aku tak pernah membangga-banggakannya. Sekarang kau melihatnya sendiri.”
“Hem” Sanakeling menggeram pula. Sekali lagi ia memandang pertempuran itu. Ia kini benar-benar terkejut. Dalam pertempuran itu terjadi banyak sekali perubahan hanya dalam waktu yang sangat pendek. Ternyata kehadiran laskar Widura benar-benar telah merubah keseimbangan pertempuran itu.
“Gila” Sanakeling mengumpat dengan kasarnya,
“ketahuilah Widura, di belakangku masih ada bagian dari laskar yang jauh lebih kuat dari laskar ini. Kalau aku sudah berhadapan dengan induk pasukan maka pasukanmu yang lain sesaat kemudian pasti sudah akan musnah. Dan kemudian akan datang saatnya induk pasukanmu ini musnah pula.
Widura tersenyum. Jawabnya,
“Ya, aku tahu. Sisa-sisa laskar Jipang agaknya benar-benar telah dipusatkan di sekitar Sangkal Putung. Kalau sempalan laskarnya di sini dipimpin Sanakeling, maka di bagian yang lain masih ada Tohpati sendiri, Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan siapa lagi?”
“Gila, kau sadari kedudukanmu Widura, kalau begitu kau telah benar-benar siap mati. Nah lihatlah, Sangkal Putung untuk yang terakhir kalinya.

Widura bergeser setapak. Di sekitarnya pertempuran masih berkecamuk. Namun mereka seolah-olah sama sekali tak menghiraukan kedua pemimpin yang asyik bercakap-cakap itu. Tetapi kini mereka sudah tidak bercakap-cakap lagi. Mereka masing-masing telah mengangkat pedang, dan terdengar Sanakeling itu berkata,
“kau harus mati dulu Widura. Laskarmu akan buyar dengan sendirinya.”
“Aku atau kau” sahut Widura.
Sanakeling tidak menjawab. Digerakkannya pedangnya sambil berkata,
“apakah dadamu sudah berperisai baja.”
Widura menyilangkan pedangnya di muka dadanya sambil, menjawab,
“Inilah perisaiku.”
Sanakeling sudah tidak melihat kemungkinan lain daripada menyelesaikan dahulu orang ini, pemimpin laskar Sangkal Putung itu. Dengan demikian maka laskar Sangkal Putung itu akan menjadi tercerai berai dengan sendirinya. Apalagi kalau laskar Tohpati kemudian datang melanda desa yang sedang ketakutan itu maka semuanya akan segera selesai. Meskipun ia menjadi cemas juga melihat perkembangan pertempuran itu. Karena itu maka segera ditundukkannya pedangnya. Dengan gerakan pendek dijulurkannya pedang itu ke dada Widura.
Gerak Sanakeling itu menjadi isyarat dari suatu perkelahian yang akan menjadi dasyat sekali. Sebab Widura kemudian mundur selangkah sambil menangkis dengan pedangnya. Sentuhan dari kedua pedang itu untuk yang pertama kalinya, disusul dengan sentuhan-sentuhan yang berikutnya. Semakin lama menjadi semakin dasyat. Dan berkobarlahh pertempuran antara Widura dan Sanakeling itu. Kedua-duanya adalah pemimpin yang telah cukup banyak makan asam garamnya peperangan. Masing-masing telah banyak memiliki perbendaharaan pengalaman di dalam dirinya. Karena itu maka perkelahian itu segera menjadi perkelahian yang sengit. Sanakeling pernah mendengar keteguhan perlawanan Widura dari Tohpati sehingga ia dapat membandingkannya dengan apa yang pernah dilihatnya atas orang itu dahulu. Sedang Widura pernah mendengar tentangan dari berbagai pihak. Ketrampilannya, kecepatannya dan ketangguhannya. Kini mereka berhadapan dalam satu pertempuran. Dan ternyata apa yang telah mereka dengar itu sebenarnyalah demikian. Sanakeling terpaksa mengagumi ketangguhan lawannya, sedang Widura terpaksa berhati-hati karena ketrampilan Sanakeling itu benar-benar mengherankan.

Dalam pada itu, penghubung yang mendapat perintah Widura memberitahukan keadaan Sangkal Putung itu kepada Untara, segera melakukan tugasnya. Dengan berlari-lari kecil ia menghampiri kudanya yang ditambatkannya di dalam gelap tidak jauh dari pertempuran itu, ditunggui oleh beberapa orang kawannya. Dengan tangkasnya ia meloncat ke atas punggung kudanya, dan seperti angin kuda itu dipacunya ke tempat kedudukan Untara, di ujung Barat dari sebuah desa kecil dari kademangan Sangkal Putung. Untara menerima berita itu dengan mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“baik. Aku terima beritamu.”
Sesaat kemudian Untara segera mengurai keadaan yang dihadapinya. Kini ia benar-benar memimpin induk pasukan yang diserahkan oleh Widura itu kepadanya.
Ketika ia melihat Sidanti di antara mereka, maka anak muda itu segera dipanggilnya,
“Sidanti, sampai saat ini belum ada laporan bahwa induk pasukan Tohpati akan merubah arah. Kalau ia menempuh jurusan ini, maka kita segera akan berhadapan. sekarang, kau aku serahi untuk memimpin laskar sayap kanan. Atas nama kakang Widura, yang dikuasakan kepadaku, ambillah pimpinan itu. Kalau Tohpati telah terlibat dalam pertempuran dengan induk pasukan ini, maka ambillah arah lambung dan usahakan serangan itu dengan sangat tiba-tiba”
Tetapi Untara itu terkejut ketika Sidanti menjawab sama sekali diluar dugaannya,
“Aku adalah anak buah kakang Widura, berilah perintah kepada kakang Widura, dan biarlah kakang Widura yang memberi perintah kepadaku”
Untara mengerutkan keningnya. Meskipun demikian ditahannya hatinya, katanya,
“Aku di sini mendapat kekuasaan dari kakang Widura”
Sidanti itu tersenyum.
“Aneh, pangkat serta jabatanmu lebih tinggi dari kakang Widura. Apakah wajar kalau kau mewakilinya?”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Pandangan matanya melontar jauh menembus gelapnya malam, telah siap menerkamnya, Macan Kepatihan beserta laskarnya yang benar-benar telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada pada mereka. Karena itu, betapa darahnya bergolak, namun Untara mencoba sekuat-kuat tenagana untuk melawannya. Bahkan katanya kemudian,
“Sidanti, kau benar-benar perasa. Dalam keadaan seperti sekarang ini, marilah kita lupakan segala persoalan di antara kita masing-masing. Marilah kita lupakan seandainya ada perselisihan di antara pribadi kita masing-masing. Marilah kita pusatkan kemampuan yang ada pada kita untuk menghadapi lawan kita. Macan Kepatihan beserta laskarnya”
Sidanti mendengar kata-kata Untara itu. Terasa juga sesuatu menyentuh dadanya, sehingga karena itu katanya,
“Baiklah. Untuk kali ini aku penuhi perintah yang tidak lewat saluran yang sewajarnya itu, demi keselamatan Sangkal Putung”
“Terima kasih Sidanti” sahut Untara
Sidanti itu pun segera pergi kesayap kanan. Atas nama pimpinan laskar Sangkal Putung ia memegang pimpinan sayap kanan. Apabila induk pasukan telah terlibat dalam pertempuran, maka ia harus segera menyerang dari arah lambung. Beberapa orang yang berada di sayap kanan itu menjadi kecewa atas kehadirannya. Tetapi mereka dalam keadaan yang genting, sehingga karena itu mereka tidak berbuat apa-apa, mereka menyadari bahwa Sidanti adalah kekuatan yang tangguh untuk melawan setiap pimpinan yang namanya menakutkan dari pihak lawan. Para anggota itu pun telah mendengar bahwa di dalam pasukan lawan itu terdapat pula nama-nama Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda, Sanakeling dan yang lain-lain.

Di seberang kegelapan malam, Tohpati sedang sibuk menilai keadaan pula, ketika didengarnya tanda bahaya meraung-raung di seluruh Sangkal Putung, maka Macan Kepatihan itu tertawa, katanya kepada Plasa Ireng,
“Mudah-mudahan laskar Pajang ditarik sebagian besar ke arah suara itu”
Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda yang muda itu tertawa pula, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mereka berkata,
“Tanda bahaya itu pasti akan menarik sebagian besar dari mereka. Karena itu marilah kita menerobos langsung ke pusat Kademangan Sangkal Putung. Sebagian dari kita, masih akan sempat menyelamatkan laskar Sanakeling, apabila ia keroban lawan.
Macan Kepatihan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Bagus. Marilah kita bergerak”
Plasa Ireng dan Alap-alap Jalatunda segera pergi ke kelompoknya masing-masing. Dan sesaat kemudian Tohpati itu pun segera memerintahkan laskar induk itu untuk maju. Ternyata laskar induk itu tidak saja berjalan dalam gerombolan yang liar. Mereka berada dalam sebuah garis yang luas, hampir dalam gelar Garuda Ngalayang meskipun tidak sempurna. Sengaja Tohpati memisahkan sayap-sayapnya dengan jarak yang cukup untuk memberi kesempatan kepada sayap-sayapnya itu melakukan kebijaksanaan menurut keadaan. Apabila ternyata laskar lawan tidak begitu berat, maka sayap-sayap pasukannya dapat berjalan terus menuju ke jantung Sangkal Putung. Menduduki tempat-tempat yang penting, terutama lumbung-lumbung padi serta tempat-tempat perbekalan yang lain. Kemudian kademangan dan banjar desa. Tetapi kalau lawan yang dihadapi cukup kuat, maka mereka harus menempuhnya dari lambung. Pengawas yang dipasang oleh Widura segera melihat kedatangan laskar lawan itu dalam tebaran yang luas. Karena itu segera ia merangkak-rangkak dan berusaha secepatnya menyampaikan berita itu kepada induk pasukannya. Untara yang menerima berita itu segera mengatur laskarnya. Dipecahnya sebagian dari induk pasukan itu, untuk dengan tergesa-gesa menempati sayap kiri.
“Citra Gati memimpin sayap ini?” berkata Untara.
Citra Gati termangu-mangu sejenak. Dipandangnya Agung Sedayu dengan sudut matanya. Namun ia tidak bertanya sesuatu. Meskipun demikian Untara memaklumi. Katanya,
“Citra Gati, pimpinlah sayap ini. Biarlah Agung Sedayu besertamu. Ia bukan salah seorang dari laskar paman Widura, sehingga ia tidak dapat memegang pimpinan apapun. Tetapi ia akan dapat memberimu bantuan.”

Agung Sedayu menarik nafas. Meskipun kini ia tidak gemetar lagi, namun bagaimanapun juga, ia masih selalu ingin bersama-sama dengan kakaknya. Tetapi ia tidak dapat membantah. Karena itu maka katanya,
“Baik, kakang.”
“Cepat, berangkatlah.”
Citra Gati dan Agung Sedayu itu pun segera membawa sebagian laskar Pajang dan beberapa anak-anak muda Sangkal Putung beserta mereka. Di antara mereka adalah Swandaru yang seolah-olah ingin berada didekat Agung Sedayu. Kini Untara tinggal menantikan kedatangan laskar Tohpati. Namun Untara tidak ingin bertempur di dalam desa yang gelap pekat. Karena itu, maka dibawanya laskarnya menyongsong induk laskar Tohpati yang semakin lama semakin dekat. Setelah Untara itu menempuh jarak beberapa puluh langkah dari pedesaan maka laskarnya segera dihentikan. Diperintahkannya untuk menempatkan diri masing-masing sedemikian, sehingga tidak segera dapat dilihat oleh lawan-lawan mereka yang sedang mendekati. Apalagi dalam malam yang gelap segelap malam itu. Hanya cahaya bintang yang berkedipan di langit sajalah yang dapat memberi kemungkinan untuk dapat memandang pada jarak yang dekat. Tetapi ternyata laskar Tohpati itu tidak maju langsung dalam gelarnya. Ternyata beberapa orang diperintahkan oleh Macan Kepatihan itu merambas jalan. Mereka berkewajiban untuk mengetahui, apakah jalan yang mereka tempuh itu tidak berbahaya. Sebab Tohpati memang sudah menyangka, bahwa laskar Widura tidak akan menunggunya saja di padesan yang berada di mukanya itu. Meskipun demikian, namun laskar yang dipimpin oleh Untara itu pun memiliki pengalaman yang cukup. Karena itu, ketika mereka telah mengendap di balik pematang, maka dibiarkannya tiga orang laskar Tohpati yang mendahului barisannya untuk berjalan dengan tenang. Dibiarkannya orang itu melampaui barisan Untara yang diam-diam menunggu kehadiran lawannya. Karena itulah maka, laskar Tohpati pun berjalan dengan tenangnya setenang ketiga orang yang mendahuluinya itu. Mereka tidak menduga bahwa laskar Widura yang dipimpin Untara beserta anak-anak muda Sangkal Putung itu telah menunggu mereka di balik lindungan bayangan pematang yang hitam kelam. Maka ketika laskar Tohpati itu sudah semakin dekat, tiba-tiba terdengar suara Untara memecah sepi malam, mengatasi suara angin yang berdesah di antara daun-daun padi yang masih sangat muda. Di antara heningnya malam terdengar suara itu,
“Sergap…….!”
Seperti kuda yang lepas dari ikatan, maka laskar Untara itu pun berloncatan dari balik-balik pematang, langsung menyergap lawan-lawan mereka yang terhenti karena terkejut. Ternyata mereka masih memerlukan waktu sekejap untuk melenyapkan desir yang menggoncangkan dada mereka. Dengan serta-merta mereka menjulurkan senjata-senjata mereka untuk menyongsong laskar Pajang yang melibat mereka seperti badai.
“Setan” geram Tohpati. Dengan lantang ia berkata,
“Sayap kanan dan kiri, lihat perkembangan keadaan”

Sayap-sayap kanan dan kiri itu pun tidak segera meneruskan perjalanan mereka menyusup langsung ke jantung Sangkal Putung. Mereka menunggu sesaat untuk melihat perkembangan keadaan induk pasukannya. Tiga orang yang mendahului gelar laskar Macan Kepatihan itu ternyata terkejut bukan kepalang. Cepat mereka berloncatan kembali dan langsung melibatkan diri dalam pertempuran melawan orang-orang Pajang. Keadaan itu benar-benar tak disangkanya. Ternyata orang-orang Pajang telah berhasil dengan baik, menjebaknya dan menyergap pasukannya. Pertempuran itu pun segera berkobar dengan sengitnya. Tetapi pertempuran ini tidak berlangsung di tengah-tengah desa yang rimbun dalam gelap pepat. Di udara terbuka, maka mereka masih mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk mengamati kawan dan lawan. Meskipun demikian pertempuran itu tidak berlangsung terlalu cepat. Masing-masing masih juga ragu-ragu untuk mengayunkan pedang-pedang mereka dengan lepas. Karena itu, baik laskar Macan Kepatihan maupun laskar Widura dibawah pimpinan Untara itu pun menganggap perlu bahwa beberapa orang di antara mereka menyalakan obor-obor. Ternyata laskar yang dihadapi oleh Tohpati itu cukup berat, sehingga terdengar suara Macan Kepatihan itu lantang,
“Sayap-sayap kanan dan kiri, ikutlah menghancurkan lawan di sini. Baru kemudian kami bersama-sama memasuki Sangkal Putung”
Untara mendengar pula aba-aba itu. Tetapi ia tidak memberi aba-aba imbangan. Dibiarkannya sayap-sayapnya menyergap kemudian setelah pertempuran menjadi riuh. Sayap-sayap kanan dan kiri dari laskar Tohpati itu pun kemudian segera menyergap lawannya dari arah lambung. Sehingga dengan demikian pertempuran itu menjadi bertambah sengit. Ketika sekali lagi Untara mengawasi pertempuran itu, maka hatinya menjadi tenang. Jumlah laskarnya kini telah seimbang dengan laskar Tohpati. Namun meskipun demikian, kemudian disadarinya, bahwa anak-anak muda Sangkal Putung yang ikut serta dengan mereka, masih belum memiliki kekuatan yang sama dengan laskar Pajang sendiri. Karena itu maka Untara kemudian memerintahkan kepada dua orang penghubung untuk segera menggerakkan sayap-sayap laskar mereka. Macan Kepatihan itu tersenyum melihat keseimbangan pertempuran. Menurut perhitungannya, maka ia akan dapat mengatasi lawannya itu. Namun ia tidak tahu, bagaimanakah keadaan laskar Sanakeling. Kalau induk pasukan Pajang telah ditarik untuk melawan laskar Sanakeling, maka keadaan Sanakeling pasti akan gawat. Karena itu maka Macan Kepatihan segera mengerahkan segenap kekuatan yang ada padanya untuk menebus kekalahan kecil yang dialaminya pada benturan pertama.

Tetapi semakin lama Macan Kepatihan itu menjadi semakin yakin, bahwa laskarnya akan dapat menjebolkan pertahanan pasukan Pajang dan akan dapat langsung memasuki induk desa Sangkal Putung. Namun tiba-tiba ia terkejut. Dilihatnya sekumpulan pasukan muncul di arah selatan, langsung menyerbu ke dalam perkelahian itu. Sesaat ia berdiri tegak seperti patung, kemudian terdengar suaranya lantang,
“Sayap kiri, siap melawan sayap lawan”
Yang berdiri di sayap kiri terkejut mendengar teriakan itu. Seorang anak muda dengan mata yang tajam setajam mata alap-alap menengadahkan wajahnya, dilihatnya sekelompok laskar langsung menyerbu ke arah mereka yang sedang menghantam lawan dari arah lambung itu. Dengan tergesa-gesa anak muda itu menarik beberapa orangnya, yang dengan tergesa-gesa pula melepaskan lawan-lawan mereka. Dengan marahnya anak muda yang memimpin sayap kanan laskar Macan Kepatihan itu menggeram. Kemudian dengan senjata di tangan ia mendahului anak buahnya menloncat menyongsong laskar yang datang itu. Yang berdiri di paling depan dari laskar Pajang adalah Citra Gati. Ketika ia melihat lawan menyongsongna, segera ditundukkannya pedangnya. Dan tanpa berkata sepatah kata pun maka kedua orang itu telah terlibat dalam satu perkelahian, sedang anak buah mereka pun segera menghambur, dan dengan sengitnya kemudian campuh beradu senjata. Agung Sedayu yang berada di dalam sayap itu melihat Citra Gati bertempur dengan sekuat tenaganya. Lawannya adalah seorang anak muda yang lincah, namun serangannya kuat dan garang. Tiba-tiba dada Agung Sedayu bedesir,
“Alap-alap Jalatunda” desisnya. Namun ia tidak berbuat sesuatu atas perkelahian di antara kedua pemimpin sayap itu. Ketika kedua belah pihak telah tenggelam dalam suatu pertempuran, Agung Sedayu pun ikut bertempur pula, pertempuran ini adalah pertempuran yang pertama kali dialami. Meskipun dengan pedangnya ia mampu melawan setiap serangan yang datang kepadanya, namun terasa sesuatu bergolak di dalam dadanya. Ketika sekali pedangnya terayun, memukul pedang lawannya dengan kekuatannya yang tercurah sepenuhnya, maka pedang lawannya itu terpental jatuh. Kini kesempatan terbuka baginya. Lamat-lamat ia melihat wajah orang itu dalam cahaya obor di kejauhan menyeringai pedih. Dilihatnya betapa wajah itu menjadi ketakutan melihat pedangnya. Ketika tangan Agung Sedayu terjulur, dan ujung pedangnya hampir menembus dada lawannya, tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Ketakutan yang terbayang di wajah lawannya yang telah tidak bersenjata itu membangkitkan iba di hatinya. Ia belum pernah membunuh orang. Dan ia sendiri pernah mengalami, betapa sakit perasaan yang dikejar-kejar oleh ketakutan. Karena itu maka tiba-tiba tangannya yang sudah terjulur itu digerakkan ke samping, sehingga pedangnya tidak menembus dada lawannya yang telah berputus asa. Lawannya terkejut bukan main. Matanya telah menjadi gelap dan harapannya telah putus. Sekilas terbayang istrinya yang masih muda menunggunya, serta anaknya yang baru berumur tiga bulan. Anak yang masih belum pernah ditimangnya, sebab selama ini ia selalu mengembara dari satu tempat ke lain tempat bersama-sama dengan Alap-alap Jalatunda atau pemimpin-pemimpin Jipang yang lain.

Tetapi tiba-tiba terasa kaki lawannya itu mendesak dadanya, dan terdengar suaranya lirih,
“Pergi. Kalau kau masih berdiri di situ, aku bunuh kau”
Orang itu benar-benar tidak mengerti. Namun secepat kilat ia meloncat ke samping, menyusup di antara teman-temannya dan dengan nafas terengah-engah ia berdiri di belakang pertempuran itu. Sesaat ia mencoba untuk mengenangkan apa yang baru saja terjadi.
“Mustahil, mustahil” katanya dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun ternyata ia masih hidup. Ketika ia menggeleng-gelengkan kepalanya, maka yang dilihatnya masih saja perkelahian yang seru. Ia tidak sedang mimpi. Karena itu segera ia meloncat kembali, mengambil pedang seorang kawannya yang terluka,
“Mari, berikan senjata itu kepadaku”
Kawannya yang terluka itu merangkak ke samping. Diberikannya pedangnya kepada kawannya sambil berdesah,
“Bunuhlah. Bunuhlah siapa saja yang kau temui. Aku sudah dilukainya. Dan lukaku parah”
Orang itu menerima pedang itu dengan tangan gemetar. Kawannya dilukai dadanya, sedang dirinya sendiri, yang telah pasrah pada nasib, tiba-tiba mendapat kesempatan untuk hidup. Dan apakah sekarang ia harus membunuh?
Tetapi ia tidak mendapat kesempatan ntuk berpikir lebih panjang. Sekali lagi ia meliat seorang kawannya jatuh terlentang dengan luka di dadanya. Karena itu segera ia meloncat kembali memasuki arena pertempuran yang menjadi kian sengit.
Agung Sedayu masih juga bertempur dengan gagahnya. Namun ketika ia melihat beberapa orang kawan dan lawannya terluka, maka kepalanya menjadi serasa pening. Kini lututnya sudah tidak gemetar karena ketakutan. Apalagi setelah ternyata ia dapat melepaskan diri dari berbagai bahaya. Namun ia masih belum sampai hati untuk membunuh orang, meskipun dalam pertempuran. Tetapi sementara itu pertempuran berjalan terus. Citra Gati dengan gigihnya bertempur melawan Alap-alap Jalatunda. Alap-alap yang masih muda itu bertempur dengan tangkasnya. Pedangnya menyambar-nyambar seperti beratus-ratus pedang. Tetapi Citra Gati pun cukup berpengalaman. Pedangnya pun berputar seperti baling-baling. Dengan sepenuh tenaga dicobanya untuk melawan Alap-alap Jalatunda. Namun Alap-alap Jalatunda itu mempunyai beberapa kelebihan daripadanya. Kelincahan dan kecepatannya. Sekali ia menyambar dari samping, namun dengan cepatnya pedangnya telah terjulur ke arah lambung.

Agung Sedayu yang berdiri beberapa langkah dari pertempuran itu kadang-kadang dapat menyaksikannya dengan cermat. Ia melihat, bahwa Alap-alap Jalatunda itu benar-benar tangkas. Tetapi meskipun demikian, kini Agung Sedayu itu tidak menjadi gentar seperti pada saat ia melihat Alap-alap Jalatunda bertempur melawan kakaknya. Bahkan tiba-tiba terungkatlah kebenciannya kepada Alap-alap Jalatunda itu. Sebab ia adalah salah seorang dari mereka yang menyebabkan kakaknya terluka pada waktu itu. Karena itu untuk melepaskan kebimbangannya melawan setiap orang yang belum pernah dikenalnya dalam laskar lawannya, maka tiba-tiba Agung Sedayu itu pun meloncat mendekati Citra Gati. Ia sama sekali tidak cemas lagi melihat pedang Alap-alap Jalatunda itu. Meskipun demikian, ia menjadi berdebar-debar juga. Kalau ia terpaksa terlibat dalam pertempuran yang seimbang, apakah ia harus membunuh lawannya? Namun demikian, ada juga keinginannya untuk melepaskan gelora yang tersekap di dalam dadanya. Gelora kemarahannya kepada Sidanti yang belum ditumpahkannya. Alap-alap Jalatunda yang sedang bertempur melawan Citra Gati itu melihat seseorang mendekati perkelahian itu. Karena itu segera ia berteriak,
“Ha, siapa lagi yang ingin bertempur melawan Alap-alap Jalatunda?”
Dalam pada itu seorang prajurit Jipang tiba-tiba menyerang Agung Sedayu. Namun dengan tangkasnya Agung Sedayu menghindari serangan itu, bahkan dengan kerasnya ia memukul pedang lawannya, ke arah yang sama, sehingga justru karena itu, maka pedang itu pun meloncat dan terlepas dari tangannya. Alap-alap Jalatunda sempat menyaksikan ketangkasan itu. Karena itu maka segera perhatiannya tertarik kepada lawan yang mendekatinya. Sambil bertempur melawan Citra Gati ia berkata,
“He, alangkah tangkasnya anak itu. Siapakah kau? Apakah kau ingin melawan Alap-alap Jalatunda?”
Agung Sedayu tidak segera menjawab. namun diamatinya perkelahian antara alap-alap itu melawan Citra Gati. Baru sesaat kemudian ia berkata,
“Aku Agung Sedayu, adik Untara yang kau cegat berempat di sekitar Macanan”
“He, kaukah itu? Pengecut yang selama ini aku cari-cari”
“Kita bertemu di sini. Apakah aku benar-benar pengecut?”
Citra Gati menjadi heran. Apakah mereka sudah berkenalan? Tetapi kemudian diingatnya cerita Agung Sedayu tentang perjalanannya malam-malam ia pertama kali datang di Sangkal Putung. Karena itu maka katanya sambil menggerakkan pedangnya, menangkis serangan Alap-alap Jalatunda,
“Apakah kau bertemu dengan kawan lama?”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
“Kalau kau yang bertempur melawan aku sekarang, maka aku akan dapat melepaskan sakit hatiku. Bukankah kakakmu yang namanya Untara itu membunuh tiga orang kawan-kawanku?” teriak Alap-alap Jalatunda.
Agung Sedayu menarik nafas. Kemudian katanya,
“Kau masih marah?”
“Setan” desis Alap-alap Jalatunda.
“Kalau kau tidak melarikan diri waktu itu, maka kau telah aku cincang di bawah randu alas ditikungan”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
“Ya” katanya dalam hati.
“Kalau pada saat itu Kiai Gringsing tidak menolongku, mungkin aku benar-benar telah dicincangnya”
Kemudian jawabnya,
“Tetapi sekarang kita bertemu lagi”
“Jangan lari. Setelah aku menyelesaikan yang seorang ini, akan datang giliranmu”
Citra Gati tersinggung mendengar kata-kata itu. Karena itu ia memperketat serangannya sambil berteriak,
“Apa kau sangka aku ini dapat kau kalahkan?”
Alap-alap Jalatunda terkejut. Serangan Citra Gati benar-benar berbahaya. Sedang seorang yang lain telah menyerang Agung Sedayu pula, namun sekali lagi dengan mudahnya Agung Sedayu dapat menghindarinya. Bertempur beberapa saat, kemudian dengan sekuat tenaga melawan serangan orang itu dengan serangan pula, sehingga kedua senjata mereka beradu. Ketika pedang lawannya itu masih bergetar di tangannya, maka dengan cepatnya Agung Sedayu memukul pedang itu sehingga terlepas pula dari genggamannya. Namun sekali lagi ia ragu-ragu untuk membunuhnya. Maka dibiarkannya lawannya itu berlari menyusup di antara riuhnya pertempuran.

Kini, setelah beberapa kali Agung Sedayu meyakinkan kemampuannya, maka dengan tangkasnya ia meloncat mendekati Citra Gati sambil berkata,
“Lepaskan anak muda itu paman. Biarlah ia melawan aku dahulu”
Citra Gati mengangkat dahinya. Sebenarnya ia ingin menyobek mulut Alap-alap Jalatunda yang telah menghinanya itu. Tetapi ia tidak mampu. Karena itu maka jawabnya,
“Silahkan. Kalau kawan lama sudah bertemu, maka aku akan menyingkir”
“Kau mau bunuh diri?” teriak Alap-alap Jalatunda,
“Beberapa waktu yang lalu kau melarikan dirimu, sekarang kau bersombong diri, melawan aku”
“Pada waktu itu pun aku tidak lari” sahut Agung Sedayu yang mencoba menutupi kekecewaannya atas masa lampau itu,
“Waktu itu aku sedang menyelamatkan kakang Untara”
Alap-alap Jalatunda mencibirkan bibirnya. Anak muda itu dapat mengingatnya dengan baik ketika Agung Sedayu berdiri dengan gemetar melihat Untara bertempur seorang diri. Tetapi Alap-alap Jalatunda itu benar-benar menjadi heran, bahwa kini Agung Sedayu benar-benar berani melawannya atas kehendak sendiri, bahkan sengaja mendatanginya dan menyatakan dirinya untuk bertempur melawannya. Sementara itu pertempuran masih berlangsung terus. Citra Gati yang kemudian melepaskan lawannya, segera mendapat serangan dari orang-orang Alap-alap Jalatunda yang menyangka bahwa Agung Sedayu dan Citra Gati akan mengeroyok pimpinan sayapnya. Tetapi Citra Gati segera berkisar dari tempatnya, dan menyambut serangan itu dalam jarak yang cukup dari Alap-alap Jalatunda. Kini Alap-alap Jalatunda berdiri bebas tanpa lawan seperti Agung Sedayu. Anak buahnya segera mengerti bahwa mereka berdua akan berhadapan sebagai lawan. Demikian juga dengan anak buah Citra Gati. Karena itu maka mereka tidak akan mengganggu kedua orang yang sudah siap untuk bertempur itu. Bahkan mereka sedang sibuk melayani lawan masing-masing.

Alap-alap Jalatunda itu sekali melayangkan pandangannya ke arena yang tidak begitu luas itu. Perkelahian masih berlangsung dengan sengitnya. Terasa bahwa jumlah lawannya agak sedikit lebih banyak. Tetapi beberapa orang diatara mereka adalah anak-anak muda yang belum begitu tangkas mempergunakan senjata-senjata mereka, sehingga mereka terpaksa bertempur berpasangan. Tetapi anak buah Widura sendiri, telah bertempur mati-matian. Dan sebenarnya tandang mereka ngedap-edab. Dengan demikian maka anak-anak muda Sangkal Putung yang berbekal tekad yang menyala di dalam dada mereka itu pun menjadi garang pula. Di antara mereka, Swandaru tampak mempunyai beberapa kelebihan. Bahkan kini ia tidak kalah tangkas dengan setiap orang di dalam pasukan kecil itu. Pedangnya yang besar berputar menyambar-nyambar seperti baling-baling. Dan setiap benturan, langsung terasa oleh lawannya bahwa kekuatannya benar-benar bukan main. Karena itulah maka Swandaru itu benar-benar mengamuk seperti banteng yang terluka. Alap-alap Jalatunda itu kemudian memandang Agung Sedayu yang telah siap berdiri di mukanya. Dengan wajah yang tegang Alap-alap Jalatunda itu membentak,
“He, apakah kau sekarang sudah mendapat seorang guru yang pilih tanding? Yang mampu meremas prahara?”
Agung Sedayu masih juga berdebar-debar. Meskipun demikian ia merasa bahwa ia tidak takut lagi menghadapinya. Karena itu maka katanya,
“Alap-alap Jalatunda, aku telah mendapat guru yang sangat baik. Aku berguru pada keadaan dan waktu. Akhirnya aku berani menghadapmu kini”
Alap-alap Jalatunda tertawa. katanya,
“Nah, berperisailah dengan segala macam mantra, doa, aji dan ilmu. Namun sebentar lagi dadamu akan tembus oleh ujung pedangku”
“Tidak. Aku hanya berperisai dengan keyakinan akan kebenaran perjuanganku. Mudah-mudahan Tuhan membenarkan pula”
“Huh, setiap orang meyakini kebenaran perjuangannya. Aku pun yakin, Karena itu jangan membual tentang kebenaran”
“Kau benar” sahut Agung Sedayu,
“Tetapi marilah kita cari kebenaran yang jujur. Kebenaran yang dibenarkan oleh Tuhan kita. Bukankah kau juga mengakui kebenaran yang mutlak itu?”
“Pandangan kita tak akan bertemu”
“Mungkin tidak. Tetapi apa yang kau lakukan selama ini, perampokan, pencegatan, perkosaan atas kebebasan dan kemanusiaan adalah sama sekali tidak mencerminkan kebenaran perjuanganmu”
“Jangan menggurui aku. Kita sudah memegang pedang di tangan masing-masing”
“Bagus. Aku sudah siap”

Alap-alap Jalatunda tidak berbicara lagi. Segera ia meloncat sambil menjulurkan pedangnya. Namun Agung Sedayu pun telah siap pula, ia telah banyak mengalami penempaan selama ini. Dari kakaknya dimasa kanak-kanaknya, dari ayahnya dan akhirnya dari pamannya. Namun ia sendiri telah menemukan banyak persoalan yang dapat dipecahkannya lewat lukisan-lukisannya yang telah disempurnakan oleh kakaknya, sehingga dengan demikian, maka Alap-alap Jalatunda benar-benar menjadi heran. Agung Sedayu adalah anak muda yang perkasa. Mereka terlibat dalam perkelahian yang sengit. Alap-alap Jalatunda yang bertanggung-jawab atas anak buahnya, segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk secepat-cepatnya berusaha menyelesaikan pertempuran itu. Sedang Agung Sedayu kemudian melawannya dengan gigih. Namun dalam pada itu, tiba-tiba timbullah berbagai pertanyaan di dalam diri Agung Sedayu. Ia belum pernah mengalami pertempuran yang sebenarnya. Karena itu, ia menjadi heran. Apakah Alap-alap Jalatunda itu tidak bertempur dengan segenap kemampuannya? Apakah anak muda itu sengaja memancingnya atau membiarkannya menjadi lelah? Sampai sedemikian lama, Agung Sedayu sama sekali tidak merasakan sesuatu kesulitan untuk melawan Alap-alap Jalatunda yang ditakutinya. Ia dapat melawan dengan baik, bahkan kadang-kadang ia mampu melibat lawannya dalam keadaan yang sangat sulit. Karena itu maka Agung Sedayu justru menjadi bingung. Ia akhirnya menyangka bahwa Alap-alap Jalatunda belum bertempur dengan sepenuh kemampuannya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun berusaha menyimpan sebagian dari tenaganya untuk menghadapi setiap saat apabila Alap-alap Jalatunda itu mengerahkan ilmunya. Tetapi sebenarnya bahwa Alap-alap Jalatunda telah berjuang mati-matian untuk membinasakan lawannya. Namun betapa ia menjadi heran. Lawannya itu menjadi seperti hantu yang sangat membingungkannya. Sekali-sekali ia dapat menghadapinya dengan mantap, namun tiba-tiba bayangannya telah melontar mengitarinya seperti bayangan hantu yang tidak berjejak di atas tanah. Karena itu, maka keringat dingin telah mengalir di segenap wajah kulitnya. Meskipun demikian Alap-alap Jalatunda itu masih bertempur dengan garangnya. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Agung Sedayu. Ia masih menyangka bahwa Alap-alap Jalatunda belum bertempur sebenarnya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu itu pun masih menunggu. Disimpannya sebagian dari tenaganya. Apabila saatnya datang, maka segera ia siap untuk bertempur mati-matian. Bagaimanapun juga, Agung Sedayu itu masih juga terpengaruh kenangan masa-masa lampaunya. Ia masih menganggap bahwa Alap-alap Jalatunda adalah seorang anak muda yang perkasa. Karena itu maka ketika ia mengalami pertempuran melawan alap-alap itu, ia menjadi ragu-ragu. Sebab dalam perkelahian itu ternyata, bahwa Alap-alap Jalatunda sama sekali tidak segarang yang disangkanya, sehingga dengan demikian ia tetap mengira, bahwa Alap-alap Jalatunda masih menyimpan sesuatu yang akan dipakainya untuk mengakhiri pertempuran. Maka mereka berdua masih berempur dengan serunya, di dalam riuhnya pertempuran antara laskar Widura dan anak-anak Sangkal Putung disatu pihak dan laskar Tohpati dilain pihak.

Sementara itu, induk pasukan mereka pun bertempur dengan serunya pula. mereka telah berjuang sekuat-kuat tenaga mereka. Sejak munculnya laskar yang dipimpin oleh Citra Gati itu maka Macan Kepatihan yang cerdik segera dapat menduga, bahwa akan datang pula serangan dari sayap lain. Karena itu segera ia berteriak,
“Siapkan sayap kiri”
Dan sebenarnyalah laskar Pajang yang dipimpin oleh Sidanti itu pun segera melanda lawannya seperti arus banjir yang berusaha memecahkan tebing. Bergulung-gulung gelombang demi gelombang. Sidanti telah mengatur anak buahnya dalam sap-sap yang tipis. Sebagian anak buahnya langsung berusaha masuk ke dalam barisan lawan. Sedang lawan-lawan mereka yang berdiri di baris terdepan, harus berhadapan dengan lapis-lapis yang berikutnya. Dengan demikian, maka mereka menjadi ragu-ragu. Karena itu itu maka pertempuran yang ribut itu berlangsung dalam suasana yang tidak menentu. Apalagi malam yang pekat telah melindungi wajah-wajah mereka sehingga sukar untuk membedakan siapakah lawan dan yang manakah kawan. Tetapi dengan demikian Sidanti telah berhasil mengurangi kemungkinan yang tidak diharapkan bagi mereka yang masih belum lanyah mempermainkan senjata, sebab dalam keadaan demikian, mereka bertempur berpasang-pasang, bahkan kadang-kadang dalam jumlah tiga atau empat bersama-sama. Dalam keadaan demikian itulah maka kedua belah pihak memandang perlu untuk menyalakan obor-obor lebih banyak lagi sehingga oleh sinar obor-obor itu mereka dapat sedikit membedakan, antara lawan dan kawan. Namun Plasa Ireng tidak membiarkan pertempuran itu menjadi kisruh tidak menentu. Karena itu maka segera ia berteriak,
“Jangan berkisar dari satu titik. Merengganglah, dan carilah jarak di antara kawan sendiri”
Arena pertempuran yang mula-mula justru menjadi kian sempit itu, maka perlahan-lahan menebar kembali. Laskar Jipang bukan pula laskar kemarin petang. Karena itu segera mereka dapat menempatkan diri mereka dengan baik. Sidanti yang memimpin laskar Pajang itu pun segera dapat melihat siapakah yang memegang perintah dalam laskar lawannya. Karena itu maka tanpa berkata apa pun segera ia meloncat menyerbunya.
Plasa Ireng terkejut melihat anak muda itu. Sekali ia meloncat ke samping kemudian dengan menggeram ia berkata,
“Siapakah kau?”
“Sidanti” sahut Sidanti. Namun sementara itu, senjatanya yang berujung tajam di kedua sisinya berputar dengan cepatnya. Sekali-sekali mematuk dan sekali-sekali menyambar hampir menyentuh wajah Plasa Ireng.
Plasa Ireng itu menjadi marah bukan buatan. Dengan menangkis setiap serangan Sidanti ia menggeram,
“apakah kau sudah jemu hidup?”
Sidanti menyerang semakin garang. Meskipun demikian ia menjawab,
“Kita berada di medan pertempuran. Jangan ribut”
Plasa Ireng itu pun kemudian berteriak nyaring. Dengan garangnya ia melawan serangan-serangan Sidanti. Ia pun bukan anak-anak yang baru sekali menyaksikan darah tertumpah. Plasa Ireng adalah prajurit sejak mudanya. Seakan-akan ia memang dilahirkan untuk memanggul senjata. Perkelahian itu cepat menanjak menjadi dahsyat sekali. Sidanti bergerak dengan lincahnya, sedang Plasa Ireng bertempur dengan tangguhnya. Keduanya memiliki beberapa kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Namun ketika Plasa Ireng sempat memperhatikan senjata lawannya, maka ia pun menjadi berdebar-debar. Ciri yang ada di tangan Sidanti itu adalah ciri perguruan Tambak Wedi.
“Hem” desisnya sambil bertempur,
“Apakah kau murid Ki Tambak Wedi?”
Sidanti menjadi berbangga hati mendengar pertanyan itu,
“Ya” jawabnya singkat.
Sekali lagi Plasa Ireng menggeram,
“Jangan berbangga. Aku mendengar nama Ki Tambak Wedi dari Macan Kepatihan. Karena itu aku akan mencoba, apakah berita tentang Tambak Wedi itu benar-benar mendebarkan hati”

Sidanti menjadi tersinggung karenanya. Maka senjatanya menjadi semakin dahsyat berputar-putar mengitari tubuh lawannya. Bagaimana Plasa Ireng pun telah mencapai puncak kemarahannya. Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi bertambah seru. Sebenarnyalah Sidanti memiliki beberapa keanehan. Ia mampu meloncat-loncat seperti kijang, namun kadang-kadang ia menyambar seperti elang. Dengan penuh tekad, ia ingin menunjukkan kelebihannya dari setiap orang dari kedua belah pikak. Ia ingin membunuh lawannya itu, dan karena itu ia ingin membanggakan dirinya kepada setiap orang di Sangkal Putung. Tetapi Plasa Ireng itu pun ingin berbuat serupa. Ia ingin segera membinasakan murid Ki Tambak Wedi itu. Dengan demikian ia pun akan dapat membanggakan dirinya pula. Plasa Ireng pernah mendengar dari Macan Kepatihan bahwa murid Ki Tambak Wedi ternyata telah berhasil menyelamatkan dirinya ketika ia bertempur melawan Macan Kepatihan itu sendiri,
“Tetapi ia akan mati kali ini” berkata Plasa Ireng di dalam hatinya. Dengan demikian maka pertempuran di antara mereka menjadi semakin seru. Masing-masing berhasrat untuk membunuh lawannya. Tanpa ampun, tanpa pertimbangan lain. Ketika kedua sayapnya telah mendapatkan lawan masing-masing, maka kini Tohpati menjadi tenang. Kini ia tinggal mengatur induk pasukannya. Ketika dengan seksama ia memperhatikan pertempuran itu, maka ia menarik nafas dalam-dalam. Ia menyesal bahwa kunci pertempuran itu telah dibuka oleh laskar Pajang. Sesaat yang pendek itu ternyata benar-benar berpengaruh atas laskarnya.
”Hem” ia menggeram.
“Sekali lagi dapat disegap oleh Widura. Jaringan pengawasannya benar-benar luar biasa. Tetapi sejak pertempuran ini dimulai, aku belum melihatnya. Aku belum melihat seorang pun yang memberi aba-aba pada laskar ini”
Sasaat ia masih berdiri tegak di belakang garis pertempuran. Namun kemudian ia tidak akan berdiri saja seperti patung. Ketika ia melihat bahwa jumlah laskar lawannya agak lebih banyak maka ia mengerutkan keningnya,
“Tidak akan berpengaruh apa-apa” desah Tohpati itu. Namun ia heran juga, kenapa mereka tidak terpancing oleh tanda bahaya yang bergema di seluruh Sangkal Putung itu sehingga jumlah mereka masih cukup banyak. Apakah jumlah laskar Widura itu telah ditambah?

Namun mata Macan Kepatihan itu benar-benar tajam. Sekali-sekali ia melihat satu dua orang di antara laskar Widura yang mempunyai cara dan sikap yang agak berbeda dari kawan-kawan mereka.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar