Pemimpin peronda itu pun kemudian menusup di balik semak-semak pula bersama ketiga orang yang berada di sekitar gardu. Ketika tanda bahaya dari gardu itu telah disahut oleh gardu-gardu yang lain dengan tanda kekhususannya, bahwa sumber tanda itu adalah dari gardunya, maka pemukul tanda bahaya itu pun melepaskan kentongannya dan bersama-sama dengan kawan-kawannya menyusup di balik semak-semak pula. dengan beringsut sedikit demi sedikit, mereka terus mengadakan perlawanan dengan anak-anak panah mereka. Namun laskar lawan mereka, menjadi semakin dekat pula. bahkan beberapa orang telah berlari melingkar dan meloncati pagar-pagar batu yang melingkari desa itu. Orang-orang yang berada di dalam semak-semak itu merasa, bahwa mereka tidak akan dapat melawan mereka. Karena itu maka mereka pun semakin dalam membenamkan diri ke dalam padesan sambil mencari perlindungan di dalam gelapnya malam. Tiba-tiba, keenam orang itu menengadahkan wajah-wajah mereka. Dari kejauhan mereka mendengar derap orang berlari-lari.
“Laskar
cadangan” pikir mereka. Karena itu maka pemimpin gardu itu pun segera memberikan
tanda sandi kepada mereka.
“Gardu
selatan. Langsung dari arah angin. Laskar lawan mendekati pada jarak limapuluh
depa”
Sebenarnyalah
mereka adalah laskar cadangan yang berada di kademangan. Namun kekuatan mereka
pun tidak seberapa. Meskipun demikian, keenam orang peronda itu menjadi
berbesar hati. Sebab dengan demikian, maka perlawanan mereka akan menjadi lebih
berarti. Dari kejauhan terdengar pemimpin laskar cadangan itu menjawab,
“Kami segera
datang”
Yang menyahut
kemudian adalah suara Sanakeling.
“Hem. Kalian
memanggil kawan-kawan kalian. Baiklah. Agaknya kalian ingin mendapat kawan
lebih banyak lagi dalam perjalanan kalian ke akhirat”
Namun beberapa
orang Sanakeling itu pun telah sedemikian dekatnya. Sehingga tiba-tiba saja
mereka telah terlibat dalam perkelahian. Kedua laskar Widura itu segera
melepaskan busur mereka, dan dengan serta-merta mereka telah mencabut
pedang-pedang mereka. Ketika beberapa orang melompat menerkamnya, maka segera
terjadi perkelahian yang sengit. Keempat kawannya itu pun tidak membiarkan
kedua orang itu bertempur sendiri. ketika mereka sudah tidak dapat membidikkan
anak panah mereka, maka mereka pun segera melemparkan busur mereka, dan dengan
golok di tangan mereka menyerbu pula dalam perkelahian iu. Namun mereka
benar-benar belum banyak berpengalaman dalam pertempuran malam. Karena itu,
maka mereka tidak dapat melakukan perlawanan dengan sebaik-baiknya. Setapak
demi setapak mereka terdesak mundur. Apalagi lawan-lawan mereka kemudian datang
berloncatan. Tetapi dalam pada itu, laskar cedangan itu pun telah datang pula.
segera mereka melibatkan diri dalam perkelahian itu. Meskipun jumlah mereka
belum memadai jumlah laskar Sanakeling, namun di dalam malam yang gelap itu,
amatlah sukar untuk membedakan, siapa kawan siapa lawan. Meskipun laskar
masing-masing agaknya telah memiliki tanda-tanda sandi mereka masing-masing,
namun dalam keributan pertempuran itu, maka banyak diatara mereka yang menjadi
ragu-ragu. Laskar Jipang dan laskar Pajang yang telah jauh lebih berpengalaman
dari anak-anak muda Sangkal Putung itu pun masih juga belum dapat menempatkan
diri mereka dengan baik. Sebab sebenarnya mereka tidak terlalu biasa mengadakan
pertempuran dimalam hari dalam jumlah yang cukup besar. Sanakeling melihat
kesulitan itu. Maka teriaknya kemudian,
“Nyalakan
obor. Jumlah kita lebih banyak. Apalagi lawan-lawan kita adalah cucurut-cucurut
dari Sangkal Putung”
Pemimpin
laskar cadangan itu pun tak mau anak buahnya berkecil hati karena
teriakan-teriakan lawannya. Maka dengan lantang pula mereka menjawab,
“He anak-anak
muda Sangkal Putung yang ikut dalam pertempuran ini. Lihatlah apa yang kami
lakukan, anggaplah pertempuran ini sebagai latihan. Sebab ternyata yang dikirim
oleh Tohpati kemari tidak lebih dari laskar yang mereka temukan di sepanjang
pengungsian mereka”
“Gila” sahut
Sanakeling.
“Inilah
Sanakeling. Siapa yang berteriak-teriak itu”
Pemimpin
laskar cadangan itu tergetar hatinya. Sanakeling. Nama itu pernah didengarnya
sebagai pemimpin laskar Jipang di sebelah utara. Namun ia tidak mau mengecilkan
hati anak buahnya yang sedang bertempur itu. Maka kata di dalam gelap,
“Ha. Bukankah
terkaanku benar. Sanakeling yang lari dari tekanan laskar Pajang di sebelah
utara, yang dipimpin langsung oleh Ki Panjawi”
“Gila.
Siapakah kau. Ayo tampakkan dirimu”
Namun pemimpin
laskar cadangan itu tidak mendekati Sanakeling. Sebab ia tahu, bahwa orang itu benar-benar
bukan lawannya. Meskipun demikian ia menjawab,
“Di sini.
Datanglah kemari”
Sanakeling
menjadi marah bukan buatan. Ia meloncat dengan garangnya ke arah suara itu.
Namun perkelahian menjadi semakin ribut. Dan sekali lagi ia berteriak,
“Tenaga kita
berlebihan. Sebagian dari kalian nyalakan obor”
Sesaat
kemudian beberapa obor telah menyala. Karena itu daerah pertempuran itu menjadi
agak terang. Di beberapa bagian segera tampak wajah-wajah mereka samar-samar di
dalam bayang-bayang yang selalu bergerak-gerak. Pemimpin laskar Pajang menjadi
cemas karenanya. Dengan demikian keringkihan laskarnya segera akan nampak.
Namun demikian, laskar Pajang bersama laki-laki dari Sangkal Putung sendiri itu
telah siap mengorbankan apa saja yang ada pada mereka. Karena itu, maka
betapapun besarnya bahaya yang mengancam, namun mereka sama sekali tidak
gentar. Bahkan dengan demikian, mereka segera menyerbu musuh-musuh mereka,
mengamuk sejadi-jadinya. Mereka telah siap berkorban untuk kampung halaman
mereka yang mereka cintai. Sawah ladang mereka yang telah memberi kepada mereka
makan dan minum, serta lumbung-lumbung mereka, persediaan buat hari-hari
mendatang, persediaan buat anak-anak mereka dimusim paceklik. Dengan demikian,
maka pertempuran di ujung desa Sangkal Putung itu segera berkobar dengan
dahsyatnya. Sanakeling yang melihat keberanian laskar Sangkal Putung itu
menggeram marah. Dengan wajah yang merah padam segera ia pun terjun ke kancah
pertempuran itu. Namun segera mereka dikejutkan oleh sorak-sorai yang membahana,
seolah-olah mengalir di sepanjang jalan di sisi desa itu. Sesaat kemudian
mereka melihat obor yang beterbangan menuju ke kancah pertempuran itu. Kemudian
di antara sorak yang menggelegar itu terdengar suara lantang,
“He, siapakah
yang memimpin sempalan laskar Tohpati?”
Suara itu
belum terjawab. Namun obor-obor yang seolah-olah beterbangan berebut dahulu itu
menjadi semakin dekat. Dari antara mereka terdengar kembali suara,
“Angin barat.
Sayap selatan. Ayo, siapa yang berada di pihak lawan?”
Mendengar suara
itu laskar Pajang yang sedang bertempur itu pun tiba-tiba bersorak pula. mereka
mengenal tanda sandi itu, dan mereka pun mengenal suara itu, suara Widura.
Karena itu maka segera mereka menyahut,
“Laskar mereka
dipimpin oleh Sanakeling”
“Setan” geram
Sanakeling, “Siapa yang datang?”
Sebenarnyalah
yang datang itu adalah Widura beserta sebagian laskarnya. Dengan tergesa-gesa
mereka berloncatan di atas parit-parit dan pematang supaya mereka segera sampai
ke Sangkal Putung. Ketika mereka melihat nyala obor yang menerangi daerah
sekitar gardu selatan itu hati mereka menjadi berdebar-debar. Rupanya laskar
lawan benar-benar telah sampai ke Sangkal Putung. Tanda bahaya yang menggema di
seluruh kademangan, telah mendorong mereka untuk berjalan lebih cepat. Karena itu
kemudian mereka tidak saja berjalan cepat-cepat, namun mereka telah
berlari-larian berebut dahulu. Demikian mereka memasuki Sangkal Putung. Maka
segera Widura memerintahkan kepada laskarnya untuk mempengaruhi pertempuran itu
dengan caranya. Laskar yang dibawanya itu segera bersorak dengan riuhnya.
Ternyata usaha
Widura itu pun mempunyai pengaruh pula, laskar cadangan yang lebih dahulu telah
terlibat dalam pertempuran itu menjadi berbesar hati, sehingga karena itu maka
perlawanannya menjadi semakin seru. Meskipun saat-saat itu tidak terlalu
panjang, namun saat-saat itu adalah saat-saat yang menentukan. Tekanan yang
berat dari laskar Sanakeling, hampir-hampir menjebolkan laskar cadangan itu.
Apabila demikian, maka arus mereka benar-benar akan melanda kademangan.
Sehingga kademangan dan seluruh Sangkal Putung pasti akan menjadi geger. Beberapa
orang dari laskar Sanakeling itu telah siap untuk langsung menerobos masuk ke
Sangkal Putung. Namun karena sorak sorai yang riuh itu, serta nyala api obor
yang meluncur dengan cepatnya ke daerah pertempuran, terpaksa mereka
mengurungkan niat itu. Mereka menunggu sementara apa yang akan terjadi.
Sanakeling
yang melihat perubahan di dalam tata pertempuran itu segera mengatur anak
buahnya. Mereka yang telah bersiap untuk langsung masuk ke jantung Sangkal
Putung segera ditariknya kembali. Mula-mula Sanakeling itu berharap, bahwa
dengan sebagian saja dari laskarnya, maka laskar cadangan itu akan dapat
dimusnahkan, sedang yang lain-lain akan dapat merambas jalan masuk ke pusat
kademangan itu sebelum laskar Tohpati datang. Namun tiba-tiba rencananya itu
terpaksa diurungkan. Dengan marahnya terdengar Sanakeling itu menggeram,
“He, ternyata
cecurut-cecurut itu bertambah pula, jangan diberi kesempatan untuk memandang
fajar esok”
Terdengar
kemudian suara tertawa,
“Aku pernah
mendengar suara itu” berkata suara itu di antara tertawanya.
“Setan”
Sanakeling itu mengumpat,
“Siapakah yang
memimpin laskar Pajang itu?”
“Apakah kau
Sanakeling?” sahut Widura yang belum menampakkan dirinya.
Sanakeling
menggeram keras sekali. Sementara itu, laskar Widura telah terjun pula kedalam
pertempuran yang menjadi semakin riuh.
“Inilah
Sanakeling” teriak Sanakeling.
Sesaat Widura
melihat pertempuran itu. Ia melihat beberapa orang laskarnya menebar. Mengambil
arah yang tepat, langsung menghadapi laskar Sanakeling. Beberapa orang di
antaranya memegang obor di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Sedang
beberapa orang yang lain berusaha melindunginya. Karena itu maka pertempuran
itu pun bertambah ribut pula. Obor-obor berhamburan kian kemari pada kedua
belah pihak. Sedang kawan-kawan mereka sibuk mempertaruhkan nyawa mereka. Gemerincing
pedang di antara pekik sorak gemuruh membelah sepi malam. Sekali-sekali
terdengar sebuah jerit yang membumbung tinggi. Tajam pedang berkilat-kilat
dalam sinar obor yang kemerah-merahan. Tetapi warna merah itu telah bertambah
merah karena darah yang tertumpah.
“Perang
brubuh” desah Widura,
“keduanya
tidak lagi pasang gelar. Tetapi tiba-tiba Widura terkejut. Di antara riuhnya
pedang, tampaklah seseorang yang meloncat-loncat dengan lincahnya.
Sekali-sekali pedangnya terjulur dan kemudian terayun deras sekali. Widura itu mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“itulah
Sanakeling” desisnya.
“Pedang di
tangan kanan dan bindi di tangan kiri.”
Widura tidak
dapat membiarkannya menyambar-nyambar di antara laskarnya. Karena itu, maka
dengan tangkasnya ia meloncat langsung menghadapi pemimpin laskar Jipang dari
utara itu.
“He”
Sanakeling itu terkejut ketika ia melihat Widura hadir dalam pertempuran itu.
Widura kini
telah tegak di hadapannya dengan sebuah pedang yang khusus. Pedang yang tidak
terlalu tajam, namun ujungnya runcing seruncing ujung jarum.
“Aku memang
mengharap dapat bertemu dalam pertempuran ini.” Berkata Sanakeling.
“Sekarang kau
telah berhadapan dengan Widura. Menyesal bahwa pertempuran kita kali ini tidak
terlalu leluasa.” Sahut Widura.
Sanakeling
menggeram. Widura telah lama dikenalnya, dan ia telah mengenal pula kemampuan
yang tersimpan di dalam dirinya. Mereka dulu adalah kawan yang baik meskipun
tidak terlalu akrab. Namun keadaan yang memisahkan Pajang dan Jipang sesudah
Sultan Trenggana wafat, telah memutuskan hubungan mereka pula. Dan Sanakeling
pun tahu, siapa yan memimpin laskar Pajang di Sangkal Putung. Dari Tohpati dia
mendengar, bahwa Widura beberapa waktu dahulu, setelah ia memimpin sendiri
laskar Pajang di Sangkal Putung. Mungkin karena tanggung jawab yang sepenuhnya
berada di pundaknya. Mungkin karena ketekunannya berlatih. Dan dari Tohpati ia
mendengar bahwa dalam barisan Widura itu pula terdapat seorang anak muda yang
bernama Sidanti, murid Ki Tambak Wedi. Sanakeling menyadari bahwa ia harus
berhadapan dengan salah satu di antara keduanya. Kalau ia harus melawan Sidanti
maka Plasa Ireng lah yang harus melawan Widura atau sebaliknya. Sedangkan
Tohpati akan dapat dengan leluasa membuat rencana mengatur laskarnya untuk
langsung menembus jantung Sangkal Putung. Mungkin Plasa Ireng masih belum
memadai kekuatan Widura atau Sidanti, namun Alap-alap Jalatunda akan dapat
menyelesaikannya. Betapapun, tetapi anak muda yang menamakan dirinya Alap-alap
Jalatunda memiliki beberapa kelebihan dari orang-orang lain di dalam laskar
Tohpati yang diperkuat itu. Dan kini, ternyata yang tampil di hadapannya adalah
Widura. Karena itu maka katanya,
“Apakah aku
berhadapan dengan induk pasukan?”
Widura
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berpaling dan berkata kepada seseorang yang
berdiri tegak di sampingnya dengan sebuah tombak pendek di tangan. Orang itu
adalah seorang penghubung yang memang sedang menunggu perintah. Karena itu ia
tidak turut bertempur.
“Sampaikan
kepada laskar yang tinggal, bahwa aku tetap berada di Sangkal Putung. Sebab aku
bertemu kawan lamaku Sanakeling.”
Orang itu
mengangguk, namun ketika ia sedang bergerak maka Sanakeling itu berteriak,
“tungggu”
Orang itu
berhenti, namun Widura memberi isyarat untuk berjalan terus.
“He” teriak
Sanakeling,
“berhenti”
Tetapi orang
itu tidak berhenti. Karena itu Sanakeling berteriak pada anak buahnya,
“hentikan
orang itu”
Seseorang
meloncat maju memburunya. Namun orang itu telah tenggelam di balik lindungan
beberapa orang kawannya, sehingga Sanakeling seterusnya hanya mengumpat-umpat.
“He,Widura,”
bertanya Sanakeling itu pula,
“apakah aku
berhadapan dengan induk pasukan?”
Widura
berpikir sejenak, kemudian katanya,
“ya, kau
berhadapan dengan induk pasukan.”
Sanakeling
mengerutkan keningnya, namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak. Katanya,
“jadi inikah
induk pasukan Sangkal Putung yang kau bangga-banggakan?”
“Aku tak
pernah membangga-banggakannya. Sekarang kau melihatnya sendiri.”
“Hem”
Sanakeling menggeram pula. Sekali lagi ia memandang pertempuran itu. Ia kini
benar-benar terkejut. Dalam pertempuran itu terjadi banyak sekali perubahan
hanya dalam waktu yang sangat pendek. Ternyata kehadiran laskar Widura
benar-benar telah merubah keseimbangan pertempuran itu.
“Gila” Sanakeling
mengumpat dengan kasarnya,
“ketahuilah
Widura, di belakangku masih ada bagian dari laskar yang jauh lebih kuat dari
laskar ini. Kalau aku sudah berhadapan dengan induk pasukan maka pasukanmu yang
lain sesaat kemudian pasti sudah akan musnah. Dan kemudian akan datang saatnya
induk pasukanmu ini musnah pula.
Widura
tersenyum. Jawabnya,
“Ya, aku tahu.
Sisa-sisa laskar Jipang agaknya benar-benar telah dipusatkan di sekitar Sangkal
Putung. Kalau sempalan laskarnya di sini dipimpin Sanakeling, maka di bagian
yang lain masih ada Tohpati sendiri, Plasa Ireng, Alap-alap Jalatunda dan siapa
lagi?”
“Gila, kau
sadari kedudukanmu Widura, kalau begitu kau telah benar-benar siap mati. Nah
lihatlah, Sangkal Putung untuk yang terakhir kalinya.
Widura
bergeser setapak. Di sekitarnya pertempuran masih berkecamuk. Namun mereka
seolah-olah sama sekali tak menghiraukan kedua pemimpin yang asyik
bercakap-cakap itu. Tetapi kini mereka sudah tidak bercakap-cakap lagi. Mereka
masing-masing telah mengangkat pedang, dan terdengar Sanakeling itu berkata,
“kau harus
mati dulu Widura. Laskarmu akan buyar dengan sendirinya.”
“Aku atau kau”
sahut Widura.
Sanakeling
tidak menjawab. Digerakkannya pedangnya sambil berkata,
“apakah dadamu
sudah berperisai baja.”
Widura
menyilangkan pedangnya di muka dadanya sambil, menjawab,
“Inilah
perisaiku.”
Sanakeling
sudah tidak melihat kemungkinan lain daripada menyelesaikan dahulu orang ini,
pemimpin laskar Sangkal Putung itu. Dengan demikian maka laskar Sangkal Putung
itu akan menjadi tercerai berai dengan sendirinya. Apalagi kalau laskar Tohpati
kemudian datang melanda desa yang sedang ketakutan itu maka semuanya akan
segera selesai. Meskipun ia menjadi cemas juga melihat perkembangan pertempuran
itu. Karena itu maka segera ditundukkannya pedangnya. Dengan gerakan pendek
dijulurkannya pedang itu ke dada Widura.
Gerak
Sanakeling itu menjadi isyarat dari suatu perkelahian yang akan menjadi dasyat
sekali. Sebab Widura kemudian mundur selangkah sambil menangkis dengan
pedangnya. Sentuhan dari kedua pedang itu untuk yang pertama kalinya, disusul
dengan sentuhan-sentuhan yang berikutnya. Semakin lama menjadi semakin dasyat.
Dan berkobarlahh pertempuran antara Widura dan Sanakeling itu. Kedua-duanya
adalah pemimpin yang telah cukup banyak makan asam garamnya peperangan.
Masing-masing telah banyak memiliki perbendaharaan pengalaman di dalam dirinya.
Karena itu maka perkelahian itu segera menjadi perkelahian yang sengit.
Sanakeling pernah mendengar keteguhan perlawanan Widura dari Tohpati sehingga
ia dapat membandingkannya dengan apa yang pernah dilihatnya atas orang itu
dahulu. Sedang Widura pernah mendengar tentangan dari berbagai pihak.
Ketrampilannya, kecepatannya dan ketangguhannya. Kini mereka berhadapan dalam
satu pertempuran. Dan ternyata apa yang telah mereka dengar itu sebenarnyalah
demikian. Sanakeling terpaksa mengagumi ketangguhan lawannya, sedang Widura
terpaksa berhati-hati karena ketrampilan Sanakeling itu benar-benar
mengherankan.
Dalam pada
itu, penghubung yang mendapat perintah Widura memberitahukan keadaan Sangkal
Putung itu kepada Untara, segera melakukan tugasnya. Dengan berlari-lari kecil
ia menghampiri kudanya yang ditambatkannya di dalam gelap tidak jauh dari
pertempuran itu, ditunggui oleh beberapa orang kawannya. Dengan tangkasnya ia
meloncat ke atas punggung kudanya, dan seperti angin kuda itu dipacunya ke
tempat kedudukan Untara, di ujung Barat dari sebuah desa kecil dari kademangan
Sangkal Putung. Untara menerima berita itu dengan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya,
“baik. Aku
terima beritamu.”
Sesaat
kemudian Untara segera mengurai keadaan yang dihadapinya. Kini ia benar-benar
memimpin induk pasukan yang diserahkan oleh Widura itu kepadanya.
Ketika ia
melihat Sidanti di antara mereka, maka anak muda itu segera dipanggilnya,
“Sidanti,
sampai saat ini belum ada laporan bahwa induk pasukan Tohpati akan merubah arah.
Kalau ia menempuh jurusan ini, maka kita segera akan berhadapan. sekarang, kau
aku serahi untuk memimpin laskar sayap kanan. Atas nama kakang Widura, yang
dikuasakan kepadaku, ambillah pimpinan itu. Kalau Tohpati telah terlibat dalam
pertempuran dengan induk pasukan ini, maka ambillah arah lambung dan usahakan
serangan itu dengan sangat tiba-tiba”
Tetapi Untara
itu terkejut ketika Sidanti menjawab sama sekali diluar dugaannya,
“Aku adalah
anak buah kakang Widura, berilah perintah kepada kakang Widura, dan biarlah
kakang Widura yang memberi perintah kepadaku”
Untara
mengerutkan keningnya. Meskipun demikian ditahannya hatinya, katanya,
“Aku di sini
mendapat kekuasaan dari kakang Widura”
Sidanti itu
tersenyum.
“Aneh, pangkat
serta jabatanmu lebih tinggi dari kakang Widura. Apakah wajar kalau kau
mewakilinya?”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Pandangan matanya melontar jauh menembus gelapnya malam,
telah siap menerkamnya, Macan Kepatihan beserta laskarnya yang benar-benar
telah mengerahkan segenap kekuatan yang ada pada mereka. Karena itu, betapa
darahnya bergolak, namun Untara mencoba sekuat-kuat tenagana untuk melawannya.
Bahkan katanya kemudian,
“Sidanti, kau
benar-benar perasa. Dalam keadaan seperti sekarang ini, marilah kita lupakan
segala persoalan di antara kita masing-masing. Marilah kita lupakan seandainya
ada perselisihan di antara pribadi kita masing-masing. Marilah kita pusatkan
kemampuan yang ada pada kita untuk menghadapi lawan kita. Macan Kepatihan
beserta laskarnya”
Sidanti
mendengar kata-kata Untara itu. Terasa juga sesuatu menyentuh dadanya, sehingga
karena itu katanya,
“Baiklah.
Untuk kali ini aku penuhi perintah yang tidak lewat saluran yang sewajarnya
itu, demi keselamatan Sangkal Putung”
“Terima kasih
Sidanti” sahut Untara
Sidanti itu pun
segera pergi kesayap kanan. Atas nama pimpinan laskar Sangkal Putung ia
memegang pimpinan sayap kanan. Apabila induk pasukan telah terlibat dalam
pertempuran, maka ia harus segera menyerang dari arah lambung. Beberapa orang
yang berada di sayap kanan itu menjadi kecewa atas kehadirannya. Tetapi mereka
dalam keadaan yang genting, sehingga karena itu mereka tidak berbuat apa-apa,
mereka menyadari bahwa Sidanti adalah kekuatan yang tangguh untuk melawan
setiap pimpinan yang namanya menakutkan dari pihak lawan. Para anggota itu pun
telah mendengar bahwa di dalam pasukan lawan itu terdapat pula nama-nama Plasa
Ireng, Alap-alap Jalatunda, Sanakeling dan yang lain-lain.
Di seberang
kegelapan malam, Tohpati sedang sibuk menilai keadaan pula, ketika didengarnya tanda
bahaya meraung-raung di seluruh Sangkal Putung, maka Macan Kepatihan itu
tertawa, katanya kepada Plasa Ireng,
“Mudah-mudahan
laskar Pajang ditarik sebagian besar ke arah suara itu”
Plasa Ireng
dan Alap-alap Jalatunda yang muda itu tertawa pula, sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya mereka berkata,
“Tanda bahaya
itu pasti akan menarik sebagian besar dari mereka. Karena itu marilah kita
menerobos langsung ke pusat Kademangan Sangkal Putung. Sebagian dari kita,
masih akan sempat menyelamatkan laskar Sanakeling, apabila ia keroban lawan.
Macan
Kepatihan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Bagus.
Marilah kita bergerak”
Plasa Ireng
dan Alap-alap Jalatunda segera pergi ke kelompoknya masing-masing. Dan sesaat
kemudian Tohpati itu pun segera memerintahkan laskar induk itu untuk maju. Ternyata
laskar induk itu tidak saja berjalan dalam gerombolan yang liar. Mereka berada
dalam sebuah garis yang luas, hampir dalam gelar Garuda Ngalayang meskipun
tidak sempurna. Sengaja Tohpati memisahkan sayap-sayapnya dengan jarak yang
cukup untuk memberi kesempatan kepada sayap-sayapnya itu melakukan
kebijaksanaan menurut keadaan. Apabila ternyata laskar lawan tidak begitu
berat, maka sayap-sayap pasukannya dapat berjalan terus menuju ke jantung
Sangkal Putung. Menduduki tempat-tempat yang penting, terutama lumbung-lumbung
padi serta tempat-tempat perbekalan yang lain. Kemudian kademangan dan banjar
desa. Tetapi kalau lawan yang dihadapi cukup kuat, maka mereka harus
menempuhnya dari lambung. Pengawas yang dipasang oleh Widura segera melihat
kedatangan laskar lawan itu dalam tebaran yang luas. Karena itu segera ia
merangkak-rangkak dan berusaha secepatnya menyampaikan berita itu kepada induk
pasukannya. Untara yang menerima berita itu segera mengatur laskarnya. Dipecahnya
sebagian dari induk pasukan itu, untuk dengan tergesa-gesa menempati sayap
kiri.
“Citra Gati
memimpin sayap ini?” berkata Untara.
Citra Gati
termangu-mangu sejenak. Dipandangnya Agung Sedayu dengan sudut matanya. Namun
ia tidak bertanya sesuatu. Meskipun demikian Untara memaklumi. Katanya,
“Citra Gati,
pimpinlah sayap ini. Biarlah Agung Sedayu besertamu. Ia bukan salah seorang
dari laskar paman Widura, sehingga ia tidak dapat memegang pimpinan apapun.
Tetapi ia akan dapat memberimu bantuan.”
Agung Sedayu
menarik nafas. Meskipun kini ia tidak gemetar lagi, namun bagaimanapun juga, ia
masih selalu ingin bersama-sama dengan kakaknya. Tetapi ia tidak dapat membantah.
Karena itu maka katanya,
“Baik,
kakang.”
“Cepat,
berangkatlah.”
Citra Gati dan
Agung Sedayu itu pun segera membawa sebagian laskar Pajang dan beberapa
anak-anak muda Sangkal Putung beserta mereka. Di antara mereka adalah Swandaru
yang seolah-olah ingin berada didekat Agung Sedayu. Kini Untara tinggal
menantikan kedatangan laskar Tohpati. Namun Untara tidak ingin bertempur di
dalam desa yang gelap pekat. Karena itu, maka dibawanya laskarnya menyongsong
induk laskar Tohpati yang semakin lama semakin dekat. Setelah Untara itu
menempuh jarak beberapa puluh langkah dari pedesaan maka laskarnya segera dihentikan.
Diperintahkannya untuk menempatkan diri masing-masing sedemikian, sehingga
tidak segera dapat dilihat oleh lawan-lawan mereka yang sedang mendekati.
Apalagi dalam malam yang gelap segelap malam itu. Hanya cahaya bintang yang
berkedipan di langit sajalah yang dapat memberi kemungkinan untuk dapat
memandang pada jarak yang dekat. Tetapi ternyata laskar Tohpati itu tidak maju
langsung dalam gelarnya. Ternyata beberapa orang diperintahkan oleh Macan
Kepatihan itu merambas jalan. Mereka berkewajiban untuk mengetahui, apakah
jalan yang mereka tempuh itu tidak berbahaya. Sebab Tohpati memang sudah
menyangka, bahwa laskar Widura tidak akan menunggunya saja di padesan yang
berada di mukanya itu. Meskipun demikian, namun laskar yang dipimpin oleh
Untara itu pun memiliki pengalaman yang cukup. Karena itu, ketika mereka telah
mengendap di balik pematang, maka dibiarkannya tiga orang laskar Tohpati yang
mendahului barisannya untuk berjalan dengan tenang. Dibiarkannya orang itu
melampaui barisan Untara yang diam-diam menunggu kehadiran lawannya. Karena
itulah maka, laskar Tohpati pun berjalan dengan tenangnya setenang ketiga orang
yang mendahuluinya itu. Mereka tidak menduga bahwa laskar Widura yang dipimpin
Untara beserta anak-anak muda Sangkal Putung itu telah menunggu mereka di balik
lindungan bayangan pematang yang hitam kelam. Maka ketika laskar Tohpati itu
sudah semakin dekat, tiba-tiba terdengar suara Untara memecah sepi malam,
mengatasi suara angin yang berdesah di antara daun-daun padi yang masih sangat muda.
Di antara heningnya malam terdengar suara itu,
“Sergap…….!”
Seperti kuda
yang lepas dari ikatan, maka laskar Untara itu pun berloncatan dari balik-balik
pematang, langsung menyergap lawan-lawan mereka yang terhenti karena terkejut.
Ternyata mereka masih memerlukan waktu sekejap untuk melenyapkan desir yang
menggoncangkan dada mereka. Dengan serta-merta mereka menjulurkan
senjata-senjata mereka untuk menyongsong laskar Pajang yang melibat mereka
seperti badai.
“Setan” geram
Tohpati. Dengan lantang ia berkata,
“Sayap kanan
dan kiri, lihat perkembangan keadaan”
Sayap-sayap
kanan dan kiri itu pun tidak segera meneruskan perjalanan mereka menyusup
langsung ke jantung Sangkal Putung. Mereka menunggu sesaat untuk melihat
perkembangan keadaan induk pasukannya. Tiga orang yang mendahului gelar laskar
Macan Kepatihan itu ternyata terkejut bukan kepalang. Cepat mereka berloncatan
kembali dan langsung melibatkan diri dalam pertempuran melawan orang-orang
Pajang. Keadaan itu benar-benar tak disangkanya. Ternyata orang-orang Pajang
telah berhasil dengan baik, menjebaknya dan menyergap pasukannya. Pertempuran
itu pun segera berkobar dengan sengitnya. Tetapi pertempuran ini tidak
berlangsung di tengah-tengah desa yang rimbun dalam gelap pepat. Di udara
terbuka, maka mereka masih mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk mengamati
kawan dan lawan. Meskipun demikian pertempuran itu tidak berlangsung terlalu
cepat. Masing-masing masih juga ragu-ragu untuk mengayunkan pedang-pedang
mereka dengan lepas. Karena itu, baik laskar Macan Kepatihan maupun laskar
Widura dibawah pimpinan Untara itu pun menganggap perlu bahwa beberapa orang di
antara mereka menyalakan obor-obor. Ternyata laskar yang dihadapi oleh Tohpati
itu cukup berat, sehingga terdengar suara Macan Kepatihan itu lantang,
“Sayap-sayap
kanan dan kiri, ikutlah menghancurkan lawan di sini. Baru kemudian kami
bersama-sama memasuki Sangkal Putung”
Untara
mendengar pula aba-aba itu. Tetapi ia tidak memberi aba-aba imbangan.
Dibiarkannya sayap-sayapnya menyergap kemudian setelah pertempuran menjadi
riuh. Sayap-sayap kanan dan kiri dari laskar Tohpati itu pun kemudian segera
menyergap lawannya dari arah lambung. Sehingga dengan demikian pertempuran itu
menjadi bertambah sengit. Ketika sekali lagi Untara mengawasi pertempuran itu,
maka hatinya menjadi tenang. Jumlah laskarnya kini telah seimbang dengan laskar
Tohpati. Namun meskipun demikian, kemudian disadarinya, bahwa anak-anak muda
Sangkal Putung yang ikut serta dengan mereka, masih belum memiliki kekuatan
yang sama dengan laskar Pajang sendiri. Karena itu maka Untara kemudian
memerintahkan kepada dua orang penghubung untuk segera menggerakkan sayap-sayap
laskar mereka. Macan Kepatihan itu tersenyum melihat keseimbangan pertempuran.
Menurut perhitungannya, maka ia akan dapat mengatasi lawannya itu. Namun ia
tidak tahu, bagaimanakah keadaan laskar Sanakeling. Kalau induk pasukan Pajang
telah ditarik untuk melawan laskar Sanakeling, maka keadaan Sanakeling pasti
akan gawat. Karena itu maka Macan Kepatihan segera mengerahkan segenap kekuatan
yang ada padanya untuk menebus kekalahan kecil yang dialaminya pada benturan
pertama.
Tetapi semakin
lama Macan Kepatihan itu menjadi semakin yakin, bahwa laskarnya akan dapat
menjebolkan pertahanan pasukan Pajang dan akan dapat langsung memasuki induk
desa Sangkal Putung. Namun tiba-tiba ia terkejut. Dilihatnya sekumpulan pasukan
muncul di arah selatan, langsung menyerbu ke dalam perkelahian itu. Sesaat ia
berdiri tegak seperti patung, kemudian terdengar suaranya lantang,
“Sayap kiri,
siap melawan sayap lawan”
Yang berdiri
di sayap kiri terkejut mendengar teriakan itu. Seorang anak muda dengan mata
yang tajam setajam mata alap-alap menengadahkan wajahnya, dilihatnya sekelompok
laskar langsung menyerbu ke arah mereka yang sedang menghantam lawan dari arah
lambung itu. Dengan tergesa-gesa anak muda itu menarik beberapa orangnya, yang
dengan tergesa-gesa pula melepaskan lawan-lawan mereka. Dengan marahnya anak
muda yang memimpin sayap kanan laskar Macan Kepatihan itu menggeram. Kemudian
dengan senjata di tangan ia mendahului anak buahnya menloncat menyongsong
laskar yang datang itu. Yang berdiri di paling depan dari laskar Pajang adalah
Citra Gati. Ketika ia melihat lawan menyongsongna, segera ditundukkannya
pedangnya. Dan tanpa berkata sepatah kata pun maka kedua orang itu telah
terlibat dalam satu perkelahian, sedang anak buah mereka pun segera menghambur,
dan dengan sengitnya kemudian campuh beradu senjata. Agung Sedayu yang berada
di dalam sayap itu melihat Citra Gati bertempur dengan sekuat tenaganya.
Lawannya adalah seorang anak muda yang lincah, namun serangannya kuat dan
garang. Tiba-tiba dada Agung Sedayu bedesir,
“Alap-alap
Jalatunda” desisnya. Namun ia tidak berbuat sesuatu atas perkelahian di antara
kedua pemimpin sayap itu. Ketika kedua belah pihak telah tenggelam dalam suatu
pertempuran, Agung Sedayu pun ikut bertempur pula, pertempuran ini adalah
pertempuran yang pertama kali dialami. Meskipun dengan pedangnya ia mampu
melawan setiap serangan yang datang kepadanya, namun terasa sesuatu bergolak di
dalam dadanya. Ketika sekali pedangnya terayun, memukul pedang lawannya dengan
kekuatannya yang tercurah sepenuhnya, maka pedang lawannya itu terpental jatuh.
Kini kesempatan terbuka baginya. Lamat-lamat ia melihat wajah orang itu dalam
cahaya obor di kejauhan menyeringai pedih. Dilihatnya betapa wajah itu menjadi
ketakutan melihat pedangnya. Ketika tangan Agung Sedayu terjulur, dan ujung
pedangnya hampir menembus dada lawannya, tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu.
Ketakutan yang terbayang di wajah lawannya yang telah tidak bersenjata itu
membangkitkan iba di hatinya. Ia belum pernah membunuh orang. Dan ia sendiri
pernah mengalami, betapa sakit perasaan yang dikejar-kejar oleh ketakutan.
Karena itu maka tiba-tiba tangannya yang sudah terjulur itu digerakkan ke
samping, sehingga pedangnya tidak menembus dada lawannya yang telah berputus
asa. Lawannya terkejut bukan main. Matanya telah menjadi gelap dan harapannya
telah putus. Sekilas terbayang istrinya yang masih muda menunggunya, serta
anaknya yang baru berumur tiga bulan. Anak yang masih belum pernah ditimangnya,
sebab selama ini ia selalu mengembara dari satu tempat ke lain tempat
bersama-sama dengan Alap-alap Jalatunda atau pemimpin-pemimpin Jipang yang
lain.
Tetapi
tiba-tiba terasa kaki lawannya itu mendesak dadanya, dan terdengar suaranya
lirih,
“Pergi. Kalau
kau masih berdiri di situ, aku bunuh kau”
Orang itu
benar-benar tidak mengerti. Namun secepat kilat ia meloncat ke samping,
menyusup di antara teman-temannya dan dengan nafas terengah-engah ia berdiri di
belakang pertempuran itu. Sesaat ia mencoba untuk mengenangkan apa yang baru
saja terjadi.
“Mustahil,
mustahil” katanya dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun
ternyata ia masih hidup. Ketika ia menggeleng-gelengkan kepalanya, maka yang
dilihatnya masih saja perkelahian yang seru. Ia tidak sedang mimpi. Karena itu
segera ia meloncat kembali, mengambil pedang seorang kawannya yang terluka,
“Mari, berikan
senjata itu kepadaku”
Kawannya yang
terluka itu merangkak ke samping. Diberikannya pedangnya kepada kawannya sambil
berdesah,
“Bunuhlah.
Bunuhlah siapa saja yang kau temui. Aku sudah dilukainya. Dan lukaku parah”
Orang itu
menerima pedang itu dengan tangan gemetar. Kawannya dilukai dadanya, sedang
dirinya sendiri, yang telah pasrah pada nasib, tiba-tiba mendapat kesempatan
untuk hidup. Dan apakah sekarang ia harus membunuh?
Tetapi ia
tidak mendapat kesempatan ntuk berpikir lebih panjang. Sekali lagi ia meliat
seorang kawannya jatuh terlentang dengan luka di dadanya. Karena itu segera ia
meloncat kembali memasuki arena pertempuran yang menjadi kian sengit.
Agung Sedayu
masih juga bertempur dengan gagahnya. Namun ketika ia melihat beberapa orang
kawan dan lawannya terluka, maka kepalanya menjadi serasa pening. Kini lututnya
sudah tidak gemetar karena ketakutan. Apalagi setelah ternyata ia dapat
melepaskan diri dari berbagai bahaya. Namun ia masih belum sampai hati untuk
membunuh orang, meskipun dalam pertempuran. Tetapi sementara itu pertempuran
berjalan terus. Citra Gati dengan gigihnya bertempur melawan Alap-alap
Jalatunda. Alap-alap yang masih muda itu bertempur dengan tangkasnya. Pedangnya
menyambar-nyambar seperti beratus-ratus pedang. Tetapi Citra Gati pun cukup
berpengalaman. Pedangnya pun berputar seperti baling-baling. Dengan sepenuh
tenaga dicobanya untuk melawan Alap-alap Jalatunda. Namun Alap-alap Jalatunda
itu mempunyai beberapa kelebihan daripadanya. Kelincahan dan kecepatannya.
Sekali ia menyambar dari samping, namun dengan cepatnya pedangnya telah terjulur
ke arah lambung.
Agung Sedayu
yang berdiri beberapa langkah dari pertempuran itu kadang-kadang dapat
menyaksikannya dengan cermat. Ia melihat, bahwa Alap-alap Jalatunda itu
benar-benar tangkas. Tetapi meskipun demikian, kini Agung Sedayu itu tidak menjadi
gentar seperti pada saat ia melihat Alap-alap Jalatunda bertempur melawan
kakaknya. Bahkan tiba-tiba terungkatlah kebenciannya kepada Alap-alap Jalatunda
itu. Sebab ia adalah salah seorang dari mereka yang menyebabkan kakaknya
terluka pada waktu itu. Karena itu untuk melepaskan kebimbangannya melawan
setiap orang yang belum pernah dikenalnya dalam laskar lawannya, maka tiba-tiba
Agung Sedayu itu pun meloncat mendekati Citra Gati. Ia sama sekali tidak cemas
lagi melihat pedang Alap-alap Jalatunda itu. Meskipun demikian, ia menjadi
berdebar-debar juga. Kalau ia terpaksa terlibat dalam pertempuran yang
seimbang, apakah ia harus membunuh lawannya? Namun demikian, ada juga
keinginannya untuk melepaskan gelora yang tersekap di dalam dadanya. Gelora
kemarahannya kepada Sidanti yang belum ditumpahkannya. Alap-alap Jalatunda yang
sedang bertempur melawan Citra Gati itu melihat seseorang mendekati perkelahian
itu. Karena itu segera ia berteriak,
“Ha, siapa
lagi yang ingin bertempur melawan Alap-alap Jalatunda?”
Dalam pada itu
seorang prajurit Jipang tiba-tiba menyerang Agung Sedayu. Namun dengan
tangkasnya Agung Sedayu menghindari serangan itu, bahkan dengan kerasnya ia
memukul pedang lawannya, ke arah yang sama, sehingga justru karena itu, maka
pedang itu pun meloncat dan terlepas dari tangannya. Alap-alap Jalatunda sempat
menyaksikan ketangkasan itu. Karena itu maka segera perhatiannya tertarik
kepada lawan yang mendekatinya. Sambil bertempur melawan Citra Gati ia berkata,
“He, alangkah
tangkasnya anak itu. Siapakah kau? Apakah kau ingin melawan Alap-alap
Jalatunda?”
Agung Sedayu
tidak segera menjawab. namun diamatinya perkelahian antara alap-alap itu
melawan Citra Gati. Baru sesaat kemudian ia berkata,
“Aku Agung
Sedayu, adik Untara yang kau cegat berempat di sekitar Macanan”
“He, kaukah
itu? Pengecut yang selama ini aku cari-cari”
“Kita bertemu
di sini. Apakah aku benar-benar pengecut?”
Citra Gati
menjadi heran. Apakah mereka sudah berkenalan? Tetapi kemudian diingatnya
cerita Agung Sedayu tentang perjalanannya malam-malam ia pertama kali datang di
Sangkal Putung. Karena itu maka katanya sambil menggerakkan pedangnya, menangkis
serangan Alap-alap Jalatunda,
“Apakah kau
bertemu dengan kawan lama?”
“Ya” sahut
Agung Sedayu.
“Kalau kau
yang bertempur melawan aku sekarang, maka aku akan dapat melepaskan sakit
hatiku. Bukankah kakakmu yang namanya Untara itu membunuh tiga orang
kawan-kawanku?” teriak Alap-alap Jalatunda.
Agung Sedayu menarik
nafas. Kemudian katanya,
“Kau masih
marah?”
“Setan” desis
Alap-alap Jalatunda.
“Kalau kau
tidak melarikan diri waktu itu, maka kau telah aku cincang di bawah randu alas
ditikungan”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya.
“Ya” katanya
dalam hati.
“Kalau pada
saat itu Kiai Gringsing tidak menolongku, mungkin aku benar-benar telah
dicincangnya”
Kemudian
jawabnya,
“Tetapi
sekarang kita bertemu lagi”
“Jangan lari.
Setelah aku menyelesaikan yang seorang ini, akan datang giliranmu”
Citra Gati
tersinggung mendengar kata-kata itu. Karena itu ia memperketat serangannya
sambil berteriak,
“Apa kau sangka
aku ini dapat kau kalahkan?”
Alap-alap
Jalatunda terkejut. Serangan Citra Gati benar-benar berbahaya. Sedang seorang
yang lain telah menyerang Agung Sedayu pula, namun sekali lagi dengan mudahnya
Agung Sedayu dapat menghindarinya. Bertempur beberapa saat, kemudian dengan sekuat
tenaga melawan serangan orang itu dengan serangan pula, sehingga kedua senjata
mereka beradu. Ketika pedang lawannya itu masih bergetar di tangannya, maka
dengan cepatnya Agung Sedayu memukul pedang itu sehingga terlepas pula dari
genggamannya. Namun sekali lagi ia ragu-ragu untuk membunuhnya. Maka
dibiarkannya lawannya itu berlari menyusup di antara riuhnya pertempuran.
Kini, setelah
beberapa kali Agung Sedayu meyakinkan kemampuannya, maka dengan tangkasnya ia
meloncat mendekati Citra Gati sambil berkata,
“Lepaskan anak
muda itu paman. Biarlah ia melawan aku dahulu”
Citra Gati
mengangkat dahinya. Sebenarnya ia ingin menyobek mulut Alap-alap Jalatunda yang
telah menghinanya itu. Tetapi ia tidak mampu. Karena itu maka jawabnya,
“Silahkan.
Kalau kawan lama sudah bertemu, maka aku akan menyingkir”
“Kau mau bunuh
diri?” teriak Alap-alap Jalatunda,
“Beberapa
waktu yang lalu kau melarikan dirimu, sekarang kau bersombong diri, melawan
aku”
“Pada waktu
itu pun aku tidak lari” sahut Agung Sedayu yang mencoba menutupi kekecewaannya
atas masa lampau itu,
“Waktu itu aku
sedang menyelamatkan kakang Untara”
Alap-alap
Jalatunda mencibirkan bibirnya. Anak muda itu dapat mengingatnya dengan baik
ketika Agung Sedayu berdiri dengan gemetar melihat Untara bertempur seorang
diri. Tetapi Alap-alap Jalatunda itu benar-benar menjadi heran, bahwa kini
Agung Sedayu benar-benar berani melawannya atas kehendak sendiri, bahkan
sengaja mendatanginya dan menyatakan dirinya untuk bertempur melawannya. Sementara
itu pertempuran masih berlangsung terus. Citra Gati yang kemudian melepaskan
lawannya, segera mendapat serangan dari orang-orang Alap-alap Jalatunda yang
menyangka bahwa Agung Sedayu dan Citra Gati akan mengeroyok pimpinan sayapnya.
Tetapi Citra Gati segera berkisar dari tempatnya, dan menyambut serangan itu
dalam jarak yang cukup dari Alap-alap Jalatunda. Kini Alap-alap Jalatunda
berdiri bebas tanpa lawan seperti Agung Sedayu. Anak buahnya segera mengerti
bahwa mereka berdua akan berhadapan sebagai lawan. Demikian juga dengan anak
buah Citra Gati. Karena itu maka mereka tidak akan mengganggu kedua orang yang
sudah siap untuk bertempur itu. Bahkan mereka sedang sibuk melayani lawan
masing-masing.
Alap-alap
Jalatunda itu sekali melayangkan pandangannya ke arena yang tidak begitu luas
itu. Perkelahian masih berlangsung dengan sengitnya. Terasa bahwa jumlah
lawannya agak sedikit lebih banyak. Tetapi beberapa orang diatara mereka adalah
anak-anak muda yang belum begitu tangkas mempergunakan senjata-senjata mereka,
sehingga mereka terpaksa bertempur berpasangan. Tetapi anak buah Widura
sendiri, telah bertempur mati-matian. Dan sebenarnya tandang mereka
ngedap-edab. Dengan demikian maka anak-anak muda Sangkal Putung yang berbekal
tekad yang menyala di dalam dada mereka itu pun menjadi garang pula. Di antara
mereka, Swandaru tampak mempunyai beberapa kelebihan. Bahkan kini ia tidak
kalah tangkas dengan setiap orang di dalam pasukan kecil itu. Pedangnya yang
besar berputar menyambar-nyambar seperti baling-baling. Dan setiap benturan,
langsung terasa oleh lawannya bahwa kekuatannya benar-benar bukan main. Karena
itulah maka Swandaru itu benar-benar mengamuk seperti banteng yang terluka. Alap-alap
Jalatunda itu kemudian memandang Agung Sedayu yang telah siap berdiri di mukanya.
Dengan wajah yang tegang Alap-alap Jalatunda itu membentak,
“He, apakah
kau sekarang sudah mendapat seorang guru yang pilih tanding? Yang mampu meremas
prahara?”
Agung Sedayu
masih juga berdebar-debar. Meskipun demikian ia merasa bahwa ia tidak takut
lagi menghadapinya. Karena itu maka katanya,
“Alap-alap
Jalatunda, aku telah mendapat guru yang sangat baik. Aku berguru pada keadaan
dan waktu. Akhirnya aku berani menghadapmu kini”
Alap-alap
Jalatunda tertawa. katanya,
“Nah,
berperisailah dengan segala macam mantra, doa, aji dan ilmu. Namun sebentar
lagi dadamu akan tembus oleh ujung pedangku”
“Tidak. Aku
hanya berperisai dengan keyakinan akan kebenaran perjuanganku. Mudah-mudahan
Tuhan membenarkan pula”
“Huh, setiap
orang meyakini kebenaran perjuangannya. Aku pun yakin, Karena itu jangan
membual tentang kebenaran”
“Kau benar”
sahut Agung Sedayu,
“Tetapi
marilah kita cari kebenaran yang jujur. Kebenaran yang dibenarkan oleh Tuhan
kita. Bukankah kau juga mengakui kebenaran yang mutlak itu?”
“Pandangan kita
tak akan bertemu”
“Mungkin
tidak. Tetapi apa yang kau lakukan selama ini, perampokan, pencegatan,
perkosaan atas kebebasan dan kemanusiaan adalah sama sekali tidak mencerminkan
kebenaran perjuanganmu”
“Jangan
menggurui aku. Kita sudah memegang pedang di tangan masing-masing”
“Bagus. Aku
sudah siap”
Alap-alap
Jalatunda tidak berbicara lagi. Segera ia meloncat sambil menjulurkan
pedangnya. Namun Agung Sedayu pun telah siap pula, ia telah banyak mengalami
penempaan selama ini. Dari kakaknya dimasa kanak-kanaknya, dari ayahnya dan
akhirnya dari pamannya. Namun ia sendiri telah menemukan banyak persoalan yang
dapat dipecahkannya lewat lukisan-lukisannya yang telah disempurnakan oleh
kakaknya, sehingga dengan demikian, maka Alap-alap Jalatunda benar-benar menjadi
heran. Agung Sedayu adalah anak muda yang perkasa. Mereka terlibat dalam
perkelahian yang sengit. Alap-alap Jalatunda yang bertanggung-jawab atas anak
buahnya, segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk secepat-cepatnya
berusaha menyelesaikan pertempuran itu. Sedang Agung Sedayu kemudian melawannya
dengan gigih. Namun dalam pada itu, tiba-tiba timbullah berbagai pertanyaan di
dalam diri Agung Sedayu. Ia belum pernah mengalami pertempuran yang sebenarnya.
Karena itu, ia menjadi heran. Apakah Alap-alap Jalatunda itu tidak bertempur
dengan segenap kemampuannya? Apakah anak muda itu sengaja memancingnya atau
membiarkannya menjadi lelah? Sampai sedemikian lama, Agung Sedayu sama sekali
tidak merasakan sesuatu kesulitan untuk melawan Alap-alap Jalatunda yang
ditakutinya. Ia dapat melawan dengan baik, bahkan kadang-kadang ia mampu
melibat lawannya dalam keadaan yang sangat sulit. Karena itu maka Agung Sedayu
justru menjadi bingung. Ia akhirnya menyangka bahwa Alap-alap Jalatunda belum
bertempur dengan sepenuh kemampuannya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun
berusaha menyimpan sebagian dari tenaganya untuk menghadapi setiap saat apabila
Alap-alap Jalatunda itu mengerahkan ilmunya. Tetapi sebenarnya bahwa Alap-alap
Jalatunda telah berjuang mati-matian untuk membinasakan lawannya. Namun betapa
ia menjadi heran. Lawannya itu menjadi seperti hantu yang sangat
membingungkannya. Sekali-sekali ia dapat menghadapinya dengan mantap, namun
tiba-tiba bayangannya telah melontar mengitarinya seperti bayangan hantu yang tidak
berjejak di atas tanah. Karena itu, maka keringat dingin telah mengalir di segenap
wajah kulitnya. Meskipun demikian Alap-alap Jalatunda itu masih bertempur
dengan garangnya. Hal inilah yang tidak diketahui oleh Agung Sedayu. Ia masih
menyangka bahwa Alap-alap Jalatunda belum bertempur sebenarnya. Dengan
demikian, maka Agung Sedayu itu pun masih menunggu. Disimpannya sebagian dari
tenaganya. Apabila saatnya datang, maka segera ia siap untuk bertempur
mati-matian. Bagaimanapun juga, Agung Sedayu itu masih juga terpengaruh
kenangan masa-masa lampaunya. Ia masih menganggap bahwa Alap-alap Jalatunda
adalah seorang anak muda yang perkasa. Karena itu maka ketika ia mengalami
pertempuran melawan alap-alap itu, ia menjadi ragu-ragu. Sebab dalam
perkelahian itu ternyata, bahwa Alap-alap Jalatunda sama sekali tidak segarang
yang disangkanya, sehingga dengan demikian ia tetap mengira, bahwa Alap-alap
Jalatunda masih menyimpan sesuatu yang akan dipakainya untuk mengakhiri
pertempuran. Maka mereka berdua masih berempur dengan serunya, di dalam riuhnya
pertempuran antara laskar Widura dan anak-anak Sangkal Putung disatu pihak dan
laskar Tohpati dilain pihak.
Sementara itu,
induk pasukan mereka pun bertempur dengan serunya pula. mereka telah berjuang
sekuat-kuat tenaga mereka. Sejak munculnya laskar yang dipimpin oleh Citra Gati
itu maka Macan Kepatihan yang cerdik segera dapat menduga, bahwa akan datang
pula serangan dari sayap lain. Karena itu segera ia berteriak,
“Siapkan sayap
kiri”
Dan
sebenarnyalah laskar Pajang yang dipimpin oleh Sidanti itu pun segera melanda
lawannya seperti arus banjir yang berusaha memecahkan tebing. Bergulung-gulung
gelombang demi gelombang. Sidanti telah mengatur anak buahnya dalam sap-sap
yang tipis. Sebagian anak buahnya langsung berusaha masuk ke dalam barisan
lawan. Sedang lawan-lawan mereka yang berdiri di baris terdepan, harus
berhadapan dengan lapis-lapis yang berikutnya. Dengan demikian, maka mereka
menjadi ragu-ragu. Karena itu itu maka pertempuran yang ribut itu berlangsung
dalam suasana yang tidak menentu. Apalagi malam yang pekat telah melindungi
wajah-wajah mereka sehingga sukar untuk membedakan siapakah lawan dan yang
manakah kawan. Tetapi dengan demikian Sidanti telah berhasil mengurangi
kemungkinan yang tidak diharapkan bagi mereka yang masih belum lanyah
mempermainkan senjata, sebab dalam keadaan demikian, mereka bertempur
berpasang-pasang, bahkan kadang-kadang dalam jumlah tiga atau empat
bersama-sama. Dalam keadaan demikian itulah maka kedua belah pihak memandang
perlu untuk menyalakan obor-obor lebih banyak lagi sehingga oleh sinar
obor-obor itu mereka dapat sedikit membedakan, antara lawan dan kawan. Namun
Plasa Ireng tidak membiarkan pertempuran itu menjadi kisruh tidak menentu.
Karena itu maka segera ia berteriak,
“Jangan berkisar
dari satu titik. Merengganglah, dan carilah jarak di antara kawan sendiri”
Arena
pertempuran yang mula-mula justru menjadi kian sempit itu, maka perlahan-lahan
menebar kembali. Laskar Jipang bukan pula laskar kemarin petang. Karena itu
segera mereka dapat menempatkan diri mereka dengan baik. Sidanti yang memimpin
laskar Pajang itu pun segera dapat melihat siapakah yang memegang perintah
dalam laskar lawannya. Karena itu maka tanpa berkata apa pun segera ia meloncat
menyerbunya.
Plasa Ireng
terkejut melihat anak muda itu. Sekali ia meloncat ke samping kemudian dengan
menggeram ia berkata,
“Siapakah
kau?”
“Sidanti”
sahut Sidanti. Namun sementara itu, senjatanya yang berujung tajam di kedua
sisinya berputar dengan cepatnya. Sekali-sekali mematuk dan sekali-sekali
menyambar hampir menyentuh wajah Plasa Ireng.
Plasa Ireng
itu menjadi marah bukan buatan. Dengan menangkis setiap serangan Sidanti ia
menggeram,
“apakah kau
sudah jemu hidup?”
Sidanti
menyerang semakin garang. Meskipun demikian ia menjawab,
“Kita berada
di medan pertempuran. Jangan ribut”
Plasa Ireng
itu pun kemudian berteriak nyaring. Dengan garangnya ia melawan
serangan-serangan Sidanti. Ia pun bukan anak-anak yang baru sekali menyaksikan
darah tertumpah. Plasa Ireng adalah prajurit sejak mudanya. Seakan-akan ia
memang dilahirkan untuk memanggul senjata. Perkelahian itu cepat menanjak
menjadi dahsyat sekali. Sidanti bergerak dengan lincahnya, sedang Plasa Ireng
bertempur dengan tangguhnya. Keduanya memiliki beberapa kelebihan dari
orang-orang kebanyakan. Namun ketika Plasa Ireng sempat memperhatikan senjata
lawannya, maka ia pun menjadi berdebar-debar. Ciri yang ada di tangan Sidanti
itu adalah ciri perguruan Tambak Wedi.
“Hem” desisnya
sambil bertempur,
“Apakah kau
murid Ki Tambak Wedi?”
Sidanti
menjadi berbangga hati mendengar pertanyan itu,
“Ya” jawabnya
singkat.
Sekali lagi
Plasa Ireng menggeram,
“Jangan
berbangga. Aku mendengar nama Ki Tambak Wedi dari Macan Kepatihan. Karena itu
aku akan mencoba, apakah berita tentang Tambak Wedi itu benar-benar mendebarkan
hati”
Sidanti
menjadi tersinggung karenanya. Maka senjatanya menjadi semakin dahsyat
berputar-putar mengitari tubuh lawannya. Bagaimana Plasa Ireng pun telah
mencapai puncak kemarahannya. Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi bertambah
seru. Sebenarnyalah Sidanti memiliki beberapa keanehan. Ia mampu
meloncat-loncat seperti kijang, namun kadang-kadang ia menyambar seperti elang.
Dengan penuh tekad, ia ingin menunjukkan kelebihannya dari setiap orang dari
kedua belah pikak. Ia ingin membunuh lawannya itu, dan karena itu ia ingin
membanggakan dirinya kepada setiap orang di Sangkal Putung. Tetapi Plasa Ireng
itu pun ingin berbuat serupa. Ia ingin segera membinasakan murid Ki Tambak Wedi
itu. Dengan demikian ia pun akan dapat membanggakan dirinya pula. Plasa Ireng
pernah mendengar dari Macan Kepatihan bahwa murid Ki Tambak Wedi ternyata telah
berhasil menyelamatkan dirinya ketika ia bertempur melawan Macan Kepatihan itu
sendiri,
“Tetapi ia
akan mati kali ini” berkata Plasa Ireng di dalam hatinya. Dengan demikian maka
pertempuran di antara mereka menjadi semakin seru. Masing-masing berhasrat
untuk membunuh lawannya. Tanpa ampun, tanpa pertimbangan lain. Ketika kedua
sayapnya telah mendapatkan lawan masing-masing, maka kini Tohpati menjadi
tenang. Kini ia tinggal mengatur induk pasukannya. Ketika dengan seksama ia
memperhatikan pertempuran itu, maka ia menarik nafas dalam-dalam. Ia menyesal
bahwa kunci pertempuran itu telah dibuka oleh laskar Pajang. Sesaat yang pendek
itu ternyata benar-benar berpengaruh atas laskarnya.
”Hem” ia
menggeram.
“Sekali lagi
dapat disegap oleh Widura. Jaringan pengawasannya benar-benar luar biasa.
Tetapi sejak pertempuran ini dimulai, aku belum melihatnya. Aku belum melihat
seorang pun yang memberi aba-aba pada laskar ini”
Sasaat ia
masih berdiri tegak di belakang garis pertempuran. Namun kemudian ia tidak akan
berdiri saja seperti patung. Ketika ia melihat bahwa jumlah laskar lawannya
agak lebih banyak maka ia mengerutkan keningnya,
“Tidak akan
berpengaruh apa-apa” desah Tohpati itu. Namun ia heran juga, kenapa mereka
tidak terpancing oleh tanda bahaya yang bergema di seluruh Sangkal Putung itu
sehingga jumlah mereka masih cukup banyak. Apakah jumlah laskar Widura itu
telah ditambah?
Namun mata
Macan Kepatihan itu benar-benar tajam. Sekali-sekali ia melihat satu dua orang
di antara laskar Widura yang mempunyai cara dan sikap yang agak berbeda dari
kawan-kawan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar