AKHIRNYA dari tempat yang terlindung itu Kiai Gringsing melihat dua orang mendekatinya.
“Benarkah kau,
Kiai?”
“Ya, aku
datang bersama dengan Anakmas Swandaru dan Agung Sedayu.”
“Oh, di mana
mereka sekarang?”
“Itu, di situ.
Kami tidak ingin mengejutkan kalian. Kalau kalian melihat kami berempat, maka
kalian akan terkejut dan mungkin berbuat sesuatu di luar perhitungan kami.”
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dalam pada itu Swandaru yang tidak sabar telah keluar dari
persembunyiannya diikuti oleh Sutawijaya dan Agung Sedayu.
“Seluruh
kademangan menunggu kalian,” kata penjaga itu.
“Kita telah
menjadi bingung.”
“Apakah mereka
mencemaskan nasib kami?” bertanya Swandaru.
“Dan karena
itu ibu menangis?”
“Bukan saja
karena itu,” jawab penjaga,
“kami
menghadapi soal yang lain.”
Dada Swanadru
berdesir mendengar jawaban penjaga itu. Karena itu dengan serta-merta ia
bertanya,
“Apakah ada
soal lain yang penting?”
“Ya,” sahut
penjaga itu.
“Apa?”
Penjaga itu
menjadi ragu-ragu sejenak. Pendapa Kademangan itu itu tinggal beberapa puluh
langkah lagi. Di sana duduk para pemimpin Kademangan Sangkal Putung dan para
pemimpin prajurit Pajang yang akan dapat memberi penjelasan sebaik-baiknya
kepada anak itu. Karena itu maka prajurit itu menjawab,
“Biarlah Ki
Demang sendiri memberi penjelasan. Ki Demang berada di pringgitan.”
Swandaru tidak
dapat menahan diri lagi. Tanpa menjawab sepatah kata pun ia segera meloncat dan
berjalan tergesa-gesa ke pendapa. Di belakangnya berjalan Agung Sedayu dan
Sutawijaya bersama Kiai Gringsing. Di pendapa Swandaru melihat beberapa orang
prajurit Pajang masih juga duduk dalam beberapa gerombol. Di sana-sini mereka
agaknya sedang memperbincangkan sesuatu yang cukup penting. Tetapi kesan yang
didapat oleh Swandaru adalah bahwa tidak ada penyerbuan yang gawat telah
terjadi. Kalau demikian, soal apakah yang penting itu.
Dengan langkah
yang panjang anak-anak muda itu bersama Kiai Gringsing itu masuk ke dalam
pringgitan. Beberapa orang yang melihatnya menyapa pendek, dan mereka pun
menyapa pendek pula. Ketika pintu pringgitan terbuka, maka setiap orang yang
duduk melingkar di sekeliling sebuah pelita minyak kelapa, berpaling memandang
ke arah pintu. Hampir bersamaan mereka melihat Swandaru melangkah masuk dan
hampir bersamaan pula mereka berdesis,
“Kau,
Swandaru?”
Swandaru
tertegun. Ia melihat beberapa orang pemimpin kademangan dan prajurit Pajang
lengkap. Karena itu dadanya menjadi berdebar-debar.
“Masuklah,”
terdengar Untara mempersilakannya.
Swandaru
tersadar dari kegelisahannya yang mencekam dadanya. Ia pun kemudian melangkah dan meletakkan
busurnya di sisi pintu. Tetapi pedangnya masih juga menggantung di lambungnya.
Agung Sedayu dan Sutawijaya pun kemudian
meletakkan busur-busur mereka dan berjalan di belakang Swandaru duduk di dalam
lingkungan para pemimpin itu.
“Hem,” Ki
Demang Sangkal Putung berdesah. Ditatapnya wajah anaknya yang gemuk bulat itu
dalam pandangan yang aneh, setelah dipersilahkannya pula Kiai Gringsing duduk di
antara mereka.
“Kau pergi ke
Mentaok?” bertanya Ki Demang.
“Ya, Ayah,
bersama dengan Putranda Panglima Wira Tamtama. Mas Ngabaehi Loring Pasar.”
“Oh,” Ki
Demang pun menganggukkan kepalanya. Ia
tidak dapat langsung marah kepada anaknya yang gemuk itu karena kehadiran
Sutawijaya. Untara pun harus menahan
kejengkelannya pula akan kepergian adiknya tanpa seijinnya. Tetapi mereka tidak
berani menegurnya, menegur Swandaru dan Agung Sedayu, sebab di ruangan itu
hadir juga putera Ki Gede Pemanahan. Yang dapat mereka lakukan hanyalah
berdesah di dalam dada masing-masing, sambil sekali-sekali memandangi wajah
ketiga anak-anak muda itu berganti-ganti. Tetapi kedatangan mereka bersama-sama
dengan Kiai Gringsing yang selama ini seakan-akan menghilang menimbulkan teka-teki
pula di dalam hati mereka. Apakah Kiai Gringsing pergi juga bersama mereka?
Ataukah memang Kiai Gringsing yang telah membawa ketiga anak-anak muda itu
untuk bertamasya ke Alas Mentaok?
“Sepeninggalmu
Swandaru, kademangan ini menjadi geger,” berkata Ki Demang penuh tekanan.
Swandaru
mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak segera bertanya. Ia mengharap ayahnya
menceriterakan apa yang telah terjadi. Dan ayahnya itu berkata pula,
“Kami, seluruh
isi kademangan, termasuk para prajurit dari Pajang menjadi bingung. Bingung dan
cemas, sebab kami tidak tahu kemana kalian pergi. Kami hanya mendengar bahwa
kalian akan pergi ke Alas Mentaok. Dan kami mengerti bagaimana buasnya alas
itu.”
Swandaru
menundukkan kepalanya. Di dalam hati ia berkata,
“Kalau hanya
aku sajalah yang dicemaskannya, maka sebenarnya kademangan ini tak perlu
menjadi gelisah.” Tetapi kata-kata itu tidak terlontar lewat bibirnya. Sutawijaya
yang merasa telah membawa kedua anak-anak muda itu pun menundukkan kepalanya. Kini baru terasa
olehnya akibat dari keterlanjurannya. Dengan demikian ia dapat membayangkan,
bahwa ayahnya Ki Gede Pemanahan pun
pasti akan marah pula kepadanya. Tetapi semuanya telah terlanjur. Semuanya
telah terjadi. Meskipun di dalam hati kecilnya ia berkata,
“Bukankah kami
telah cukup dewasa. Adalah tidak sepantasnya kami harus selalu berada di dalam
pengawasan seperti kanak-kanak supaya kamu tidak terperosok ke dalam kubangan.”
Tetapi pula
pada mereka yang baru datang, bahwa sebenarnya yang telah terjadi bukanlah
sekedar kecemasan mengenai kepergian mereka. Tetapi pasti telah terjadi pula
sesuatu di kademangan ini sepeninggal mereka. Kecemasan atas kepergian
anak-anak muda itu pasti tidak akan menimbulkan penjagaan yang semakin ketat
seperti kini.
Karena itu
maka Swandaru kemudian bertanya kepada ayahnya,
“Ayah, apakah
hanya karena kepergianku itu ayah telah memperkuat penjagaan di halaman ini dan
di sudut-sudut padesan?”
Ki Demang
mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Tentu tidak.
Apakah kau dengar tangis ibumu?”
Swandaru
mengangguk. “Ya, Ayah.”
“Kau sangka
ibumu menangisimu?”
Swandaru tidak
menjawab. Tetapi hantinya bergumam, “Tidak.”
“Dengarlah
Swandaru. Sudah dua malam ini ibumu menangis tanpa berhenti di malam hari.
Hanya di siang hari agaknya ia dapat sekedar menahan diri.”
Debar di dada
Swandaru menjadi semakin cepat berderak, seakan-akan ia tidak sabar lagi
menunggu ayahnya berkata. Dengan tatapan mata yang tegang ia memandangi wajah
ayahnya itu.
Tiba-tiba
orang tua itu berpaling kepada Kiai Gringsing yang duduk terpekur ambil menggerak-gerakkan
jari-jarinya. Seakan-akan Ki Demang itu
pun berkata pula kepadanya, kenapa ia selama ini tidak pula berada di
kademangan?
“Kiai,”
berkata Ki Demang itu kemudian,
“isteriku
telah kehilangan miliknya yang paling disayanginya.”
Ki Tanu Metir
mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak dapat segera mengucapkan sesuatu.
“Ya, tetapi
apa yang hilang itu, Ayah?” desak Swandaru yang kehabisan kesabaran. Apakah
perhiasan ibu, emas, intan berlian, atau apa?”
Ki Demang
menggeleng.
“Yang hilang
itu adalah adikmu, Swandaru.”
“He,” Swandaru
berjingkat dari duduknya sehingga bergeser selangkah maju. Tetapi bukan saja
Swandaru, Agung Sedayu pun tidak kalah
terkejut. Bahkan Sutawijaya dan Kiai Gringsing pula.
Dengan
terbata-bata Swandaru berkata,
“Mirah, jadi
Sekar Mirah yang ayah maksud?”
Ayahnya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Ya, Sekar
Mirah telah hilang sejak kemarin.”
“Bagaimana
maka Sekar Mirah itu dapat hilang Ki Demang?” bertanya Agung Sedayu
terpatah-patah.
“Ya
bagaimana?” sahut Ki Demang.
“Ia hilang begitu
saja. Hilang dari kademangan ini. Aku pun bertanya seperti itu, kenapa Sekar
Mirah dapat hilang?”
Kiai Gringsing
masih juga berdiam diri. Ia tahu benar betapa perasaan Ki Demang menjadi gelap,
sehingga dengan demikian maka orang itu akan mudah menjadi marah.
“Nah, sekarang
aku bertanya kepadamu, Swandaru,” berkata Ki Demang itu,
“apa yang kau
dapat dengan perjalananmu itu? Kalau kau ada di rumah, mungkin keadaan akan
berbeda.”
Yang terdengar
adalah Swandaru menggeretakkan giginya. Dengan gemetar ia kemudian bertanya,
“Apakah tak
seorang pun yang tahu, dengan siapa
Sekar Mirah pergi? Apakah ia sengaja pergi dengan suka-rela, apakah seseorang
telah menculiknya?”
“Pertanyaanmu
itu gila sekali. Apakah kau sangka adikmu itu sebinal kau ini? Kenapa kau dapat
berpikir bahwa adikmu itu dengan suka-rela meninggalkan kademangan? Kau sangka
adikmu sudah tergila-gila pada Sidanti dan pergi mencarinya?”
Tetapi dada
Swandaru pun sudah sesak pula, sehingga
ia menjawab,
“Habis,
bagaimana aku harus menanggapi persoalan ini? Beri aku jalan untuk berbuat
sesuatu ayah. Malam ini juga aku akan berbuat.”
Wajah Ki
Demang pun menjadi kian tegang. Hampir
berteriak ia berkata,
“Terlambat.
Terlambat. Apa artinya kepergianmu selama ini?”
Swandaru tidak
menjawab. Tetapi ia mengepalkan tinjunya.
“Tak ada yang
kau dapatkan. Tetapi kalau kau mati juga di perjalanan maka ibumu akan mati
membeku, tahu? Sekarang adikmu telah hilang. Hilang masuk ke dalam lingkungan
yang tidak mudah dapat disusupi.”
“Ya, kemana.
Kemana ia pergi.”
“Seseorang
melihat, bahwa pada pagi-pagi hari ketika adikmu pergi ke warung, tiba-tiba ia
diterkam oleh seorang laki-laki. Bukan seorang laki-laki kademangan ini. Tetapi
orang yang melihat itu telah mengenalnya. Namanya Sidanti.”
“Sidanti.
Sidanti. Jadi, adikku dibawa oleh Sidanti?” teriak Swandaru.
“Ya. Orang
yang melihatnya itu pun hampir saja mati
ketakutan. Tetapi Sidanti tidak berbuat sesuatu atasnya. Bahkan anak itu
berkata,
“Katakan
kepada ayahnya, bahwa akulah yang telah membawa Sekar Mirah.”
Terdengar gigi
Swandaru berderak. Justru dengan demikian maka sejenak ia terbungkam, yang
terdengar hanyalah dengus nafasnya yang berkejaran lewat lubang-lubang
hidungnya.
Untara,
Widura, dan Kiai Gringsing sejenak hanya dapat mendengarkanaya. Persoalan itu
hampir merupakan persoalan keluarga, sehingga mereka tidak segera dapat turut
campur. Sedang Sutawijaya pun menjadi seakan-akan terbungkam. Ia menyadari
kesalahannya, bahwa ia telah membawa Swandaru pergi. Tetapi apakah apabila
Swandaru ada di rumah, hal itu dapat dihindari? Tiba-tiba Sutawijaya teringat
kepada Argajaya. Apakah ada hubungannya dengan dendam yang telah ditanamnya di
dalam dada orang itu? Dada Sutawijaya
pun menjadi berdebar-debar pula. Tetapi Agung Sedayu mempunyai sikap
yang lain, Meskipun ia bukan salah seorang keluarga Ki Demang Sangkal Putung,
tetapi ia pun merasa kehilangan pula.
Sehingga tiba-tiba ia pun berkata lancang,
“Tak ada
lingkungan yang tidak dapat disusupi. Tak ada dinding yang tidak dapat
dipecahkan.” Agung Sedayu itu pun kemudian
berpaling kepada kakaknya.
“Kakang
Untara. Aku akan kembali ke Jati Anom. Dari sana aku akan memanjat lereng
Merapi untuk menemukan Sekar Mirah kembali.”
Kini barulah
Untara dapat turut berbicara.
“Seharusnya
memang demikian, Agung Sedayu. Tetapi di lereng Merapi itu tidak hanya terdapat
Sidanti seorang diri.”
“Di Sangkal
Putung tidak hanya terdapat Sekar Mirah sendiri. Tidak hanya terdapat Ki Demang
sendiri. Tetapi Sidanti dapat mengambil Sekar Mirah. Apakah aku tidak dapat
melakukan hal yang sebaliknya?” sahut Agung Sedayu tidak kalah lantangnya
dengan suara Swandaru.
Tetapi
Sutawijaya yang merasa, bahwa ia telah terlibat pula dalam persoalan itu karena
ia telah membawa kedua anak-anak muda itu, berkata pula,
“Aku ikut
serta. Kita pergi bertiga. Kita masuki padepokan Tambak Wedi. Kita bakar
segenap isinya setelah kita membebaskan puteri Ki Demang itu.”
Semua orang
yang mendengar suara Sutawijaya itu berpaling kepadanya. Mereka segera melihat
wajah anak muda itu berwarna kemerah-merahan menahan perasaannya. Bahkan
tangannya pun telah dikepalkannya dan diketuk-ketuknya pahanya dengan tinjunya
itu. Tetapi terdengar kemudian Untara menjawab,
“Sayang Adi
Sutawijaya. Ayahanda berpesan kepadaku, bahwa adi Sutawijaya harus segera
kembali ke Pajang. Demikian Adi datang ke Sangkal Putung ini, maka secepat
mungkin Adi harus menyusul ayahanda supaya ayahanda tidak terlampau cemas dan
Gusti Adiwijaya pun tidak terlampau lama menanti-nanti kedatangan Adimas.”
Wajah
Sutawijaya yang tegang itu menjadi berkerut-merut. Dengan ragu-ragu ia
bertanya,
“Jadi ayah
sudah kembali ke Pajang?”
“Ya.
Sebagaimana Adimas lihat. Di sini ayahanda sudah tidak ada lagi. Hanya beberapa
orang prajurit pilihan berkuda telah ditinggalkannya untuk membawa Adi
kembali.”
Sutawijaya
terhenyak dalam kekecewaan. Namun tiba-tiba ia berkata,
“Baik. Baik,
aku akan kembali bersama prajurit pengawal itu. Tetapi biarlah aku turut
menyelesaikan masalah ini dahulu. Hilangnya Sekar Mirah merupakan tantangan
yang harus dijawab. Bukan sekedar direnungkan dan ditangisi.”
Untara
menganggukkan kepalanya. Bahkan dada Ki Demang Sangkal Putung pun menjadi berdebar-debar pula karenanya.
“Adi
Sutawijaya benar. Tetapi kita tidak boleh kehilangan kesadaran dalam berbuat.
Kita tahu benar siapakah Sidanti, siapakah Ki Tambak Wedi. Dan siapakah yang
berada bersama-sama dengan mereka di dalam sarangnya. Bagi Adimas, gambaran
padepokan itu masih terlampau kabur. Kita belum tahu pasti kekuatan mereka.
Bahkan bagi kita masih jauh lebih jelas melihat kekuatan Tohpati daripada
kekuatan Tambak Wedi.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Naluri keprajuritannya kini membenarkan pendapat Untara
itu mengatasi nafsu mudanya. Kembali ia mengangguk-angguk. Tetapi kemudian
ia pun terdiam. Tetapi dalam pada itu terdengar
Agung Sedayu berkata,
“Kakang
Untara, kita tidak dapat membiarkan Sekar Mirah terlampau lama di sarang
Sidanti. Itu terlampau berbahaya baginya. Bagi seorang gadis.”
“Kita berangkat
sekarang,” potong Swandarau.
“Sidanti mampu
mengambil Sekar Mirah di Sangkal Putung. Kenapa kita tidak mampu mengambilnya?”
“Ada bedanya
Adi Swandaru. Di sini Sekar Mirah bebas tanpa pengawasan. Sehingga karena
itulah maka di pagi-pagi itu Sidanti berhasil menunggunya di pinggir jalan di
tempat yang terlindung. Tetapi sudah tentu tidak demikian bagi Sekar Mirah di
padepokan Tambak Wedi. Di sana ia pasti terkurung di tempat yang selalu
mendapat pengawasan.
“Kalau begitu
kita serbu padepokan itu dengan kekuatan segelar sepapan. Semua anak-anak
Sangkal Putung siap melakukannya demi kehormatan kami, nama kademangan ini.
Sekar Mirah bukan saja adik kandungku, tetapi Sekar Mirah merupakan kembang
dari kesucian kami, kesucian nama keluarga kami. Setiap noda yang melekat
padanya, adalah noda yang tercoreng di wajah kami. Di wajah Kademangan Sangkal Putung.”
Mendengar
kata-kata itu tiba-tiba Ki Demang pun
menjadi bertambah tegang. Ia pun sadar
apa yang dapat terjadi atas gadisnya itu. Karena itu maka tiba-tiba orang tua
itu pun berkata,
“Kita akan
menyusulnya ke lereng Merapi. Setiap laki-laki akan turut serta merebut anak
itu kembali.”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi ia adalah seorang senopati. Ia tidak dapat berbuat
menurut nafsu yang menyala-nyala. Ia tidak dapat berbuat hanya berdasarkan
perasaan, tidak berdasarkan perhitungan. Karena itu ia berkata,
“Benar Ki
Demang. Kita akan segera menyusul Sekar Mirah ke padepokan Ki tambak Wedi.
Tetapi kita tidak boleh terjerumus dalam kesalahan karena penglihatan kita
tertutup oleh kemarahan yang meluap-luap. Dan itulah yang dikehendaki oleh
Sidanti dan Ki Tambak Wedi, sehingga kita akan kehilangan kejernihan pikiran.”
“Kita sudah
cukup lama berpikir. Bagi Sangkal Putung tidak akan ada jalan lain daripada
menerobos masuk ke dalam sarang orang gila itu,” sahut Swandaru, yang disambung
oleh Agung Sedayu,
“Hilangnya
Sekar Mirah, adalah tantangan dan penghinaan bagi kami yang berada di
kademangan ini pula. Bukankah dengan demikian Sidanti ingin mengatakan bahwa
tak ada laki-laki di kademangan ini? Tak ada seorang pun yang mampu melindungi gadis itu?”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa perasaan adiknya itu pun sedang terbakar. Ia tahu perasaan yang
tersimpan di dada anak muda itu terhadap Sekar Mirah, sehingga dengan demikian
maka hatinya pun menjadi gelap. Anak yang biasanya selalu mempergunakan
berbagai macam pertimbangan dalam setiap tindakan, bahkan lebih mirip dengan
sifat yang selalu ragu-ragu, kini tiba-tiba tidak lagi dapat membuat
pertimbangan-pertimbangan sama sekali. Tetapi menghadapi wajah-wajah yang
tegang, hati-hati yang tegang dan pikiran-pikiran yang gelap, Untara menjadi
cemas. Apalagi ketika Ki Demang sendiri berkata,
“Swandaru,
kita siapkan orang-orang kita besok. Kita segera menyusul adikmu.”
Untara
benar-benar kehilangan cara untuk mencegahnya. Tetapi ia tahu benar bahaya yang
dapat terjadi. Bahaya bagi pasukan Sangkal Putung. Sudah tentu bahwa pasukannya
sendiri tidak akan dapat membiarkan orang-orang Sangkal Putung itu bertindak.
Tetapi dengan cara yang demikian itu, maka ia akan berbuat suatu kesalahan bagi
seorang senopati. Bertindak dengan tergesa-gesa sebelum tahu benar imbangan
kekuatan yang ada. Sebab bukan mustahil bahwa di padepokan Ki Tambak Wedi telah
tersusun kekuatan yang sangat rapi. Bukan pula mustahil bahwa Ki Tambak Wedi
telah membuat rencana tertentu. Masuk ke dalam kademangan ini selagi kademangan
ini menjadi kosong. Itulah sebabnya ia harus membuat perhitungan-perhitungan
yang lebih masak menghadapi hantu lereng Merapi itu.
Untara menjadi
semakin bingung menghadapi orang-orang yang telah dibakar oleh perasaannya itu.
Swandaru yang mendapat perintah ayahnya itu segera menyahut,
“Baik, Ayah.
Malam ini juga aku akan mempersiapkan anak-anak muda Sangkal Putung.”
Untara menjadi
bertambah gelisah. Tiba-tiba tanpa disadarinya ditatapnya wajah pamannya,
Widura, kemudian Kiai Gringsing yang masih saja berdiam diri seakan-akan minta
pertimbangan, bagaimana mengatasi persoalan yang sedang dihadapinya. Kiai
Gringsing yang selama itu hanya berdiam diri sambil mendengarkan persoalan yang
terjadi di Sangkal Putung itu pun
mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan tetapi jelas ia berkata,
“Memang, kita
harus segera menemukan kembali Angger Sekar Mirah.”
Untara menarik
alisnya tinggi-tinggi. Tetapi dibiarkannya Kiai Gringsing berkata seterusnya,
“Kita tidak
akan sampai hati membiarkannya terlampau lama di tangan Angger Sidanti.”
Swandaru pun dengan serta-merta menyambung,
“Nah. Bukankah
begitu, Kiai. Kita harus segera menemukan Sekar Mirah.”
“Secepatnya,”
sahut Kiai Gringsing.
“Ya, secepatnya,”
Agung Sedayu memotong.
“Sekarang kita
harus segera mempersiapkan diri.”
“Tetapi ingat.
Kita harus menyelamatkannya. Karena itu secepatnya, namun tidak boleh
kehilangan maksudnya, menyelamatkannya.”
Swandaru dan
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun yang bertanya adalah Ki Demang
Sangkal Putung,
“Maksud Kiai?”
“Kita harus
menyadari bahwa Sekar Mirah kini berada di tangan Sidanti.”
Ki Demang
menjadi semakin tidak mengerti. Karena itu ia berkata,
“Ya, kita
menjadi bingung karena Sekar Mirah berada di tangan anak gila itu.”
“Nah, karena
itu kita harus memperhitungkan gadis itu. Gadis yang harus kita selamatkan.
Kita tidak boleh terbakar oleh nafsu dan kemarahan tanpa menghiraukan titik
bidik yang sebenarnya. Kita hanya memperhitungkan kekuatan pasukan yang mungkin
akan mampu memecahkan pertahanan padepokan Ki Tambak Wedi dan kemudian
menjadikannya karang abang. Tetapi kita lupa bahwa Sekar Mirah berada di sana,
di dalam kekuasaan orang-orang itu, di dalam pertahanan yang ingin kita
pecahkan.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Dilihatnya sorot pandangan mata
yang keheran-heranan di sekitarnya. Ki Demang, Swandaru, Agung Sedayu, dan
beberapa orang Sangkal Putung yang lain.
“Ki Demang,”
berkata Kiai Gringsing seterusnya,
“Sidanti dan
Ki Tambak Wedi adalah orang-orang yang dapat berbuat hal-hal yang tidak dapat
kita duga sebelumnya. Kalau kita dengan serta-merta memecahkan pertahanan
mereka, maka dengan demikian kita hanya menuruti nafsu sendiri. Kita telah
kehilangan tujuan kita, menyelamatkan Sekar Mirah. Sebab apabila pertahanan mereka
tidak dapat melindungi padepokan mereka, maka nyawa Sekar Mirah menjadi
terancam. Mereka akan melepaskan kemarahan mereka pada Sekar Mirah. Mungkin
dengan sengaja mereka membuat kita menjadi ngeri. Dengan alat gadis itu mereka
membalas kekalahan mereka. Membalas sakit hati mereka. Nah, bayangkanlah, apa
yang akan dapat terjadi dengan Sekar Mirah?”
Ki Demang yang
hampir-hampir tidak dapat mengekang dirinya itu tiba-tiba menyadari keadaannya
dan keadaan puterinya itu. Dengan demikian maka terasa dadanya menjadi kian
pepat, bahkan hampir-hampir meledak. Sedang Swandaru dan Agung Sedayu dapat
mendengar keterangan Kiai Gringsing itu dengan baik. Kata demi kata. Dengan
demikian berbenturanlah perasaan mereka dengan pengertian mereka yang mereka
dengar dari Kiai Gringsing itu. Sejenak suasana di pringgitan itu dicengkam
oleh kesepian. Kesepian yang seakan-akan membakar jantung. Tiba-tiba terdengar
suara Ki Demang menyobek,
“Lalu, apakah
yang harus kita lakukan, Kiai? Apakah kita akan membiarkan saja semuanya itu
terjadi tanpa berbuat sesuatu? Pendapat Kiai memang benar. Memang dapat
diterima oleh nalar. Tetapi apabila kita hanya berpangku tangan, apakah Sekar
Mirah itu akan dilepaskan atau akan dapat melepaskan dirinya sendiri? Atau kita
harus menunggu sampai Sidanti dan orang-orang liar di padepokan itu sudah puas
dengan segala macam perbuatannya atas gadis itu dan melemparkannya ke luar
sarang mereka, atau membunuhnya?”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi orang tua itu tidak kehilangan ketenangannya.
Dengan sareh ia berkata,
“Tentu tidak,
Ki Demang. Kita pasti harus berusaha. Tetapi usaha kita itulah yang harus kita
pertimbangkan masak-masak. Kita dapat menangkap ikannya tanpa mengeruhkan
airnya, bahkan membinasakan ikan itu sendiri.”
Ki Demang terdiam
sejenak. Tetapi hatinya masih juga bergolak. Seakan-akan ia akan segera
meloncat saat itu juga ke padepokan Tambak Wedi di lereng Merapi. Dalam pada
itu terdengar Untara berkata,
“Kita harus
mempunyai persiapan yang baik untuk merebut kembali Sekar Mirah. Bukan saja
merebut Sekar Mirah, tetapi sekaligus membinasakan orang-orang Jipang yang
tidak mau mempergunakan kesempatan yang baik, yang telah aku berikan kepada
mereka.”
“Ah,” desah Ki
Demang,
“aku akan
membantu membinasakan Sanakeling dengan segenap kekuatannya. Tetapi rencana itu
jangan menghambat usahaku membebaskan anak itu. Kalian jangan berpihak pada
kepentingan kalian sendiri. Jangan berpihak pada pandangan searah. Mungkin bagi
kalian tidak ada bedanya, apakah kita akan menyerang Sanakeling, Sidanti, dan
Tambak Wedi itu sekarang, atau besok, atau lusa, asal kalian yakin kekuatan
kita sudah cukup, kita menyerang. Kita hancurkan mereka. Tetapi aku tidak dapat
berbuat demikian. Aku harus segera membebaskan anakku sebelum terjadi sesuatu
atasnya.”
Untara hanya
dapat menarik nafas dalam-dalam mendengar jawaban Ki Demang Sangkal Putung yang
lebih banyak dipengaruhi oleh perasaan seorang ayah daripada seorang demang
yang menghadapi lawan di peperangan. Demikian juga agaknya Swandaru dan Agung
Sedayu. Bahkan segenap orang-orang Sangkal Putung. Bukan saja orang-orang
Sangkal Putung, sebagian prajurit-prajurit Pajang sendiri merasa apa yang
dilakukan oleh Sidanti itu merupakan penghinaan dan tantangan yang harus segera
mendapat pelayanan sewajarnya. Yang menjawab kemudian adalah Kiai Gringsing.
“Ki Demang
benar. Kita tidak dapat membuat pertimbangan dari segi yang timpang. Kita tidak
boleh memberatkan kepentingan Angger Untara sebagai seorang Senopati Pajang.
Tetapi kita pun tidak boleh hanya
menuruti perasaan sendiri. Harga diri yang berlebih-lebihan sebagai laki-laki
pilihan. Harga diri yang terbakar karena penghinaan itu. Dengan demikian, maka
kalian sudah kehilangan sasaran yang sebenarnya. Angger Untara terlalu
memberatkan tugasnya sebagai seorang senopati, sedang Ki Demang terlalu
dibebani oleh nilai-nilai kejantanan yang sedang terhina. Namun kedua-duanya
tidak akan menguntungkan Sekar Mirah. Terlalu cepat maupun terlalu lambat.”
“Ki Tanu
Metir,” sahut Ki Demang,
“Mirah adalah
seorang gadis yang berada di antara laki-laki yang buas. Apakah yang dapat
terjadi padanya?”
“Bermacam-macam,”
sahut Kiai Gringsing.
“Nah, bukankah
Kiai menyadari kemungkinan yang bermacam-macam itu?” bertanya Ki Demang.
“Ya,
bermacam-macam. Di antaranya mencincang Sekar Mirah dan mengikat mayatnya di
pintu gerbang yang akan kita lalui dengan pasukan segelar sepapan.”
“He,” mata Ki
Demang terbeliak. Namun kemudian wajah yang menyala itu tertunduk lesu. Jawaban
Kiai Gringsing tepat mengenai sasarannya. Kemungkinan itu pun memang dapat
terjadi seperti kemungkinan-kemungkinan yang lain.
“Tetapi, lalu
bagaimana?” terdengar suara Ki Demang menurun.
Kini kembali
pringgitan itu terdampar pada kesenyapan yang tegang. Masing-masing sibuk
dengan pikiran sendiri-sendiri. Apakah kira-kira yang dapat mereka lakukan
untuk membebaskan kembali Sekar Mirah dari tangan Sidanti?
Swandaru dan
Agung Sedayu menjadi kian gelisah, seakan-akan mereka itu duduk di atas bara.
Terdengar gigi mereka gemeretak dan nafas mereka saling memburu. Di sisi
mereka, Sutawijaya duduk tepekur. Kepalanya menjadi pening. Sebenarnya banyak
hal yang ingin dikatakannya, tetapi ia harus kembali ke Pajang. Tidak mungkin
baginya untuk menolak perintah ayahnya lagi. Karena itu betapa kecewanya,
betapa ia menyesal telah mengajak kedua anak-anak muda itu, dan kini ia
dikecewakan pula karena ia tidak mendapat kesempatan untuk ikut serta merebut
kembali Sekar Mirah. Bukan karena Sekar Mirah adalah seorang gadis yang cantik,
tetapi Sutawijaya pun merasa tersinggung pula atas perbuatan Sidanti itu. Dalam
pada itu terdengar suara Ki Demang bernada rendah,
“Apakah aku akan
membiarkan secercah noda melekat pada kademangan ini karena keluargaku? Apakah
aku harus membiarkan Sekar Mirah menjadi korban karena persoalan yang
seharusnya dipikul oleh kekuatan jantan di kademangan ini? Oh, persoalan itu
akan menjadi saling mengait. Seperti senjata Sidanti yang mengerikan itu
nenggala berujung rangkap. Dengan ujung dan pangkalnya, ia mampu membuat kita
luka rangkap sekali gerak.”
“Itulah yang
sebenarnya kita hadapi, Ki Demang,” sahut Ki Tanu Metir.
“Dengan
demikian kita harus berhati-hati menghadapinya. Kita tidak boleh tergesa-gesa
tanpa memperhitungkan setiap kemungkinan. Namun yang pertama-tama harus kita
perhatikan adalah keselamatan Sekar Mirah. Kalau kita berhasil membebaskan
Sekar Mirah dengan selamat, maka kedua-duanya telah dapat kami jawab sekaligus,
seperti kita juga menggerakkan senjata yang tajam di kedua ujungnya.”
“Ya,
demikianlah,” gumam Ki Demang.
“Tetapi,
bagaimana? Pertimbangan dan pertimbangan saja tidak akan banyak bermanfaat.”
“Memang tidak
bermanfaat. Tetapi perbuatan tanpa pertimbangan pun akan sama saja jeleknya.”
“Baiklah,
Kiai,” berkata Ki Demang,
“sekarang
bagaimana pertimbangan Kiai?”
Kiai Gringsing
menegakkan punggungnya. Seakan-akan punggung itu menjadi sangat pegal. Kemudian
orang itu pun menarik nafasnya
dalam-dalam. Kepada Untara Kiai Gringsing itu
pun bertanya,
“Angger
Untara, apakah ada kekuatan yang cukup kini di Sangkal Putung?”
Untara
memandang wajah orang tua itu dengan penuh pertanyaan. Senopati di tempat itu
adalah dirinya. Tetapi agaknya Kiai Gringsing mampu pula membuat
perhitungan-perhitungan menurut tata keprajuritan. Namun Untara tahu benar,
bahwa Kiai Gringsing memang bukan orang kebanyakan, sehingga dengan demikian ia
merasa tidak berkeberatan untuk menjawab.
“Tidak
terlampau cukup Kiai. Sebagian dari prajurit Pajang sedang mengawal orang-orang
Jipang yang telah menyerah bersama Ki Gede Pemanahan. Mereka sampai saat ini
belum kembali. Bahkan menurut Ki Gede Pemanahan, akan datang pula sepasukan
prajurit yang lain, yang harus pergi bersama aku ke Jati Anom untuk
menyelesaikan persoalan Sanakeling dan Sidanti.”
“Bagus,”
berkata Kiai Gringsing.
“Jadi akan
datang pasukan baru yang segar, sedang yang lain tetap berada di Sangkal Putung
ini bersama Angger Widura?”
“Demikianlah
seharusnya menurut perhitungan Ki Gede Pemanahan. Sebab Ki Tambak Wedi dapat
dengan tiba-tiba saja berada di sekitar tempat ini selagi kita berada di Jati
Anom.”
Kini Kiai
Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya satu demi satu
anak-anak muda yang sedang dilanda oleh arus kemarahan yang hampir tak
tertahankan. Tetapi Kiai Gringsing sendiri tidak segera menemukan jalan,
bagaimanakah sebaiknya yang harus dilakukan. Dalam keheningan yang kemudian
mencengkam pringgitan itu terdengar beberapa kali Swandaru berdesah.
Sekali-sekali ia menggeser duduknya dengan gelisah. Tetapi yang lebih dulu
bertanya adalah Agung Sedayu,
“Lalu
bagaimana Kiai? Apakah yang harus kita kerjakan?”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Kita harus
berpikir dengan kepala yang dingin. Kita harus mampu mempertimbangkan tanpa
diburu oleh nafsu supaya perimbangan kita menjadi jernih.”
“Ya, lalu
bagaimana pertimbangan yang jernih itu?” sahut Swandaru.
“Apakah kita
harus pergi segelar sepapan ke Jati Anom ataukah kita harus menunggu saja?”
Adalah sangat
sulit untuk menenangkan hati anak-anak muda itu. Karenanya maka Kiai
Gringsing pun harus segera berbuat
sesuatu untuk memecahkan ketegangan hati mereka. Kalau ketegangan yang telah
memuncak itu tidak dapat tersalur secara wajar, maka mereka pasti akan berbuat
sesuatu yang justru menguntungkan Sidanti. Bukan mustahil kalau Ki Tambak Wedi
telah menyusun rencana sebaik-baiknya untuk menjebak mereka. Rencana penculikan
itu pun mungkin adalah hasil dari perasan otak hantu tua itu. Karena itu maka
yang harus dilakukannya adalah terlampau rumit. Meskipun demikian, Kiai
Gringsing itu harus menemukan suatu pemecahan. Pemecahan yang tidak
membahayakan Sekar Mirah, tidak merugikan Untara sebagai senopati yang
mempunyai tanggung jawab yang besar. Bukan hanya sekedar soal Sekar Mirah saja,
tetapi persoalan yang jauh lebih luas lagi, namun tidak pula menahan arus
kemarahan anak-anak muda itu, Swandaru dan Agung Sedayu. Karena itu maka orang
tua itu pun berkata,
“Swandaru,
marilah kita lihat persoalan ini dari beberapa kemungkinan. Di antaranya
adalah, bahwa Ki Tambak Wedi telah mempergunakan Sekar Mirah sebagai perisai.”
“Tidak, Kiai,”
sahut Swandaru,
“Sidanti
benar-benar memerlukan Sekar Mirah sebagai kelanjutan hubungan mereka di
kademangan ini dahulu. Dengan demikian maka sangat besar kemungkinannya bahwa
Sekar Mirah akan tetap hidup. Tetapi akibat-akibat lain daripada itulah yang
harus kami cegah.”
“Mungkin juga,
tetapi ada juga kemungkinan yang lain. Kalau Sidanti harus lari meninggalkan
padepokannya karena serbuan pasukan Sangkal Putung dan Pajang, maka Sidanti
tidak akan sempat membawa gadis itu. Nah, daripada ia kehilangan Sekar Mirah,
maka lebih baik baginya apabila Sekar Mirah itu dibinasakannya sama sekali.
Itulah yang harus kita hindari.”
“Oh,” Swandaru
memegang kepalanya dengan kedua tangannya,
“soal itu akan
selalu kembali dan melingkar-lingkar. Tetapi kita tidak dapat membiarkannya
dengan berbantah tanpa berbuat sesuatu di sini.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Muridnya itu agak terlampau berani menjawab setiap
kata-katanya. Tetapi Kiai Gringsing yang sudah lanjut itu dapat mengerti,
apakah sebabnya maka Swandaru dan Agung Sedayu itu seakan-akan menjadi
kehilangan pengamatan diri.
Maka jawab
orang tua itu kemudian,
“Karena itu
Swandaru. Coba dengarlah, aku akan memberikan beberapa cara yang mungkin dapat
ditempuh.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Kepada Untara ia berkata,
“Angger.
Senapati di daerah ini adalah Angger Untara. Meskipun demikian perkenankanlah
saya mengusulkan beberapa cara yang mungkin dapat ditempuh.”
“Silahkanlah,
Kiai,” sahut Untara.
“Apakah
pasukan yang sekarang mengawal orang-orang Jipang ke Pajang itu akan segera
kembali dan bahkan bersama-sama dengan pasukan yang baru untuk Angger Untara?”
“Demikianlah
menurut Ki Gede Pemanahan.”
“Bagus. Kalau
yang berkata demikian adalah Ki Gede Pemanahan maka pasti akan terjadi,”
sejenak Kiai Gringsing itu berhenti, kemudian diteruskannya,
“Kalau
demikian, maka sebaiknya Angger Untara menunggu kedatangan pasukan itu di
sini.”
“Kenapa harus
menunggu Kiai,” potong Agung Sedayu,
“bagaimana
kalau pasukan itu tidak segera datang?”
“Kita tinggal
akan menemukan Sekar Mirah yang telah menjadi klaras. Menjadi daun yang telah
kering tanpa arti,” sambung Swandaru.
“Tunggu dulu,”
sahut Kiai Gringsing,
“bukan
maksudku bahwa kita hanya menunggu saja sampai pasukan itu datang. Kita harus
memperhitungkan, bahwa di belakang Sidanti dan Sanakeling itu berdiri Ki Tambak
Wedi,” Kiai Gringsing itu terdiam sejenak. Tampaklah kerut-merut menjadi
semakin dalam di dahinya. Kemudian ia berkata pula,
“Kita harus
bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Agal atau pun halus. Karena itu pasukan
Angger Untara itu sangat kami perlukan. Namun sementara itu kita tidak akan
tinggal diam. Kita harus berusaha mendekati padepokan Ki Tambak Wedi dengan
diam-diam. Nah, tugas itu dapat diserahkan kepadaku.”
“Bersama aku,”
hampir bersamaan Agung Sedayu dan Swandaru berteriak.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baik, baik,”
katanya,
“kami bertiga
pergi mendahului pasukan Pajang. Tetapi pesanku Sangkal Putung jangan
dikosongkan. Sangkal Putung harus tetap dijaga dengan kekuatan yang cukup. Ini
adalah tugas Angger Widura. Mudah-mudahan kita dapat memecah perhatian Ki
Tambak Wedi, seperti Ki Tambak Wedi berhasil membuat kepala kita menjadi
pening. Mudah-mudahan perhatian Ki Tambak Wedi tertarik pada pasukan Untara
yang segera akan mendekati padepokan mereka. Sementara itu kami bertiga
mendapat kesempatan untuk mendekat. Mudah-mudahan kita akan dapat melihat
setidak-tidaknya mendengar nasib Sekar Mirah.”
Pringgitan itu
kini terdiam, seakan-akan ingin mencernakan kata-kata Kiai Gringsing itu.
Beberapa orang saling berpandangan untuk mendapatkan pertimbangan, meskipun
hanya lewat sorot mata masing-masing. Ki Demang Sangkal Putung
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesah. Tetapi ia tidak berkata
sesuatu. Yang mula-mula berbicara adalah Widura, yang selama ini lebih
mendengarkan daripada menyatakan pendapatnya, katanya,
“Apakah
menurut pertimbangan Kiai, Ki Tambak Wedi masih akan kembali lagi ke kademangan
ini? Apakah Ki Tambak Wedi mempunyai kepentingan yang sama seperti Tohpati
terhadap Sangkal Putung?”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya,
“Aku kira
demikian. Ki Tambak Wedi tidak akan dapat menyediakan makan yang cukup untuk
waktu yang panjang kepada Sanakeling dan anak buahnya. Mereka pada suatu saat
pasti memerlukan lumbung yang dapat disadap untuk kepentingan makan mereka.”
“Apakah tidak
ada daerah yang lebih dekat dari Sangkal Putung, Kiai. Misalnya Jati Anom.”
“Tentu
mungkin. Tetapi kenapa Tohpati memilih kademangan ini daripada
kademangan-kademangan lain? Pasti Tohpati itu pun mempunyai alasan yang telah
memaksanya berbuat demikian. Bukan mustahil bahwa Ki Tambak Wedi pun mempunya
pilihan yang sama. Sebab menurut penilaian oang-orang di luar kademangan ini,
di Sangkal Putung tersimpan kekayaan yang berlipat ganda dibandingkan dengan
kademangan-kademangan yang lain, sehingga pengorbanan yang diberikan untuk
merebut kademangan ini tidak akan sia-sia.”
Ki Demang
Sangkal Putung mengangguk-angguk. Di dalam hati kecilnya terbersit pula
secercah kebanggaan atas pujian itu, tetapi kebanggaan itu benar-benar harus
ditebus dengan sangat mahal. Bahkan kini anak gadisnya harus direbutnya dari
tangan orang-orang yang memuakkan itu.
Widura pun
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Seperti Ki Demang ia merasa, bahwa Sangkal
Putung menelan tebusan yang mahal. Tetapi Widura adalah seorang prajurit.
Seorang prajurit yang bukan saja harus mempertahankan lumbung-lumbung yang akan
dapat memberi makan kepada lawan, tetapi prajurit memang harus melindungi hak
dan milik rakyat. Bukan sebaliknya. Karena itu, seandainya Sangkal Putung itu
tak ada apa-apa pun, adalah kewajiban setiap prajurit Pajang untuk menjaga dan
melindunginya dari pihak-pihak yang dapat menelan daerah itu, memperkosa hak
dan kemanusiaan.
Yang bertanya
kemudian adalah Swandaru,
“Nah, apakah
kita akan berangkat sekarang?”
“Jangan
tergesa-gesa dan kehilangan perhitungan,” jawab gurunya.
“Beristirahatlah.
Besok kita berangkat setelah kita membuat persiapan-persiapan secukupnya.”
“Kenapa besok,
guru?” sahut Agung Sedayu.
“Waktu yang
sekejap sangat berguna bagi kita. Yang sekejap itu akan dapat meluluhkan
segenap masa depan bagi Sekar Mirah. Yang sekejap itu akan bernilai seumur
hidupnya.”
“Itu kalau
kita dapat memanfaatkan waktu yang sekejap itu,” sahut Kiai Gringsing.
“Tetapi kalau
kita gagal sama sekali karena kita ditelan oleh nafsu, maka bagi kita bukan
saja kehilangan waktu yang sekejap, tetapi kita akan kehilangan semuanya.
Sekarang sebaiknya kita beristirahat. Kita dapat menilai pembicaraan ini.
Mungkin kita akan menemukan pikiran-pikiran yang ternyata lebih bernilai dari
pikiran-pikiran yang kita temukan dengan tergesa-gesa dalam pertemuan ini.
Pertemuan yang lebih banyak dipengaruhi oleh nafsu kemarahan, kecemasan dan
ketergesa-gesaan daripada perhitungan yang cermat. Apalagi perhitungan yang
bersasaran luas. Hubungan yang bersangkut-paut dengan sikap Pajang terhadap
Sanakeling dan Sidanti dan sikap Sangkal Putung atas hilangnya Sekar Mirah.
Kita masing-masing tidak dapat memandang dari satu segi. Sebab kedua-duanya
memiliki nilainya sendiri-sendiri yang tak dapat saling dipisahkan.”
Ki Demang
Sangkal Putung menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk dapat mengerti
keterangan itu. Keterangan Ki Tanu Metir. Ketika ia memandang Untara, maka anak
muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Ki Tanu Metir benar-benar
berpandangan cukup luas, mencakup segenap kepentingan yang dihadapi. Untuk
mendapatkan Sekar Mirah bukan berarti dapat merusak segenap rencana sikap yang
harus ditempuh oleh para prajurit Pajang. Sekar Mirah bagi Pajang hanya
merupakan salah satu soal dari seribu macam soal yang harus di atasi. Meskipun
demikian Untara tidak akan dapat mengabaikannya. Apalagi Untara menyadari,
bahwa adiknya, Agung Sedayu dan Swandaru benar-benar terbakar oleh peristiwa
hilangnya Sekar Mirah. Demikianlah maka akhirnya pertemuan itu pun dibubarkan.
Swandaru segera pergi ke bilik ibunya. Ditemuinya ibunya masih juga menangis
ditunggui oleh beberapa orang perempuan. Ketika dilihatnya Swandaru masuk ke
dalam biliknya maka tiba-tiba tangisnya mengeras. Seakan-akan diteriakkan
kepedihan hatinya sepuas-puasnya.
“Oh, anakku
Ngger, kemana kau pergi selama ini? Sepeninggalmu ternyata adikmu hilang dicuri
orang. Apakah kau akan membiarkannya saja? Apakah kau tidak akan berusaha untuk
mengambilnya kembali? Swandaru, kalau adikmu tidak dapat diketemukan, o, lebih
baik aku mati saja sama sekali.”
Dada Swandaru
seakan-akan terbelah mendengar tangis ibunya. Dengan dada yang sesak ia
berjongkok di samping pembaringan ibunya. Perlahan-lahan ia berkata,
“Ibu, aku
berjanji bahwa aku akan mengambil Sekar Mirah kembali bersama kakang Agung
Sedayu dan guru Kiai Gringsing. Aku tidak akan kembali sebelum aku membawa anak
itu menghadap ibu.”
Mendengar
janji anaknya, tangis ibunya bahkan seakan-akan meledak. Namun di antara suara
tangisnya terdengar ia berkata,
“Tidak sia-sia
aku melahirkanmu Swandaru. Kau adalah anak laki-laki yang harus dapat aku
banggakan. Ayahmu menjadi semakin tua. Kaulah yempat kami bergantung. Juga kali
ini.”
Terasa dada
Swandaru itu seolah-olah menggelegak. Hampir-hampir ia kembali kehilangan
pengamatan diri. Hampir-hampir ia meloncat dan berteriak, bahwa malam ini juga
ia akan berangkat ke lereng Merapi. Tetapi kemudian kesadarannya berhasil
mengekangnya. Ia tidak dapat memaksa gurunya berangkat sekarang. Ia pun tidak
akan dapat berangkat sendiri masuk ke dalam sarang hantu Merapi itu. Karena itu,
maka betapa dadanya menjadi sesak, namun ia harus bersabar sampai gurunya
bersedia membawanya pergi. Bilik itu pun
kemudian sepi. Yang terdengar hanyalah isak tangis Nyai Demang yang sedang
kehilangan anak gadisnya. Hilang diseret masuk ke dalam sarang yang penuh
dengan serigala yang sedang kelaparan.
Ternyata sisa
malam itu sama sekali tidak bermanfaat apa pun bagi pemimpin-pemimpin Sangkal
Putung dan prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung. Mereka tidak berhasil
menemukan pikiran-pikiran baru, meskipun mereka sama sekali tidak dapat
memejamkan mata mereka. Dengan demikian mereka tidak juga dapat beristirahat.
Malam itu, di
padepokan Ki Tambak Wedi, Sidanti duduk menunggui Sekar Mirah. Sekali-sekali
terdengar isak gadis itu memecah kesenyapan. Namun kemudian yang terdengar
adalah gemeretak giginya beradu. Tetapi betapa kemarahan memuncak di dalam dada
Sekar Mirah, namun ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Tiba-tiba Sekar
Mirah terkejut ketika ia mendengar suara Sidanti. Meskipun suara itu hanya perlahan-lahan,
namun sudah cukup untuk menghentak dadanya.
“Mirah.”
Sekar Mirah
berpaling. Dilihatnya mata Sidanti yang memerah liar seperti mata binatang buas
yang ingin menerkam mangsanya.
“Kau sekarang
berada di padepokanku. Di padepokan guruku. Kanapa agaknya kau tidak merasa
senang di sini?”
Sekar Mirah
tidak menjawab. Tetapi sorot matanya mamancarkan kebencian yang tiada taranya.
“Kau tidak
usah mengingkari, bahwa perasaan kita pernah bertaut. Betapapun orang lain
menyebut aku sebagai seorang yang paling kotor di muka bumi ini, tetapi aku
memiliki kesetiaan. Apakah kau juga memilikinya? Kau yang dikatakan orang
sebagai sekar lati Kademangan Sangkal Putung itu?”
Sekar Mirah
masih berdiam diri.
“Aku tidak
akan dapat melupakannya Mirah. Aku sadar bahwa kedatangan setan kecil yang
bernama Agung Sedayu itu telah mengganggu hubungan kita. Aku sadar pula, bukan
saja hubungan kita telah diganggunya, tetapi namaku di mata orang-orang Sangkal
Putung telah direbutnya. Anak itu berhasil memenangkan perlombaan memanah di
alun-alun di muka Banjar Desa Sangkal Putung. Bahkan sebelumnya, kedatangannya
untuk menyelamatkan Sangkal Putung telah mendesak kebanggaanku sebagai anak
muda yang paling jantan di kademangan itu.” Sidanti berhenti sejenak.
Ditatapnya wajah Sekar Mirah. Tetapi wajah itu seakan-akan menyala karena
kemarahan yang membara di dalam dadanya.
“Mirah,”
Sidanti meneruskan,
“itulah
sebabnya maka dendamku kepadanya bertimbun-timbun sampai ke langit. Apalagi
pada saat terakhir ini datang pamanku dari Menoreh. Adalah kebetulan sekali
bahwa paman yang bernama Argajaya itu bertemu dengan tiga anak-anak muda di
perjalanan. Aku tahu pasti bahwa kedua dari anak-anak muda itu pasti Agung
Sedayu dan Swandaru. Mereka telah menghinakan Paman Argajaya itu pula. Sehingga
kemarahanku tidak dapat lagi aku tahankan. Itulah sebab-sebab yang telah
mendorongku mengambil kau dari Sangkal Putung.”
“Pengecut!”
tiba-tiba Sekar Mirah itu berteriak sehingga Sidanti terkejut karenanya.
“Kau tidak
berani berhadapan dengan sikap jantan dengan Kakang Agung Sedayu dan Kakang
Swandaru yang pernah kau tampar pipinya beberapa kali itu, karena mereka kini
telah menemukan guru yang dapat menyaingi gurumu. Sekarang kau hanya berani
mengambil aku, seorang gadis yang lemah.”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa.
“Mirah, dengan
mengambil kau dari Sangkal Putung aku akan mendapatkan beberapa kemenangan
sekaligus. Bukankah dengan demikian adalah pertanda bahwa Sidanti mempunyai
banyak kelebihan dari orang-orang Sangkal Putung. Kalau tidak, bagaimana
mungkin aku dapat masuk ke dalam kademangan itu dan mengambilmu? Alangkah
ringkihnya pertahanan kademangan itu sekarang sepeninggalku. Seorang gadis,
puteri Demang Sangkal Putung masih juga sempat dilarikan orang.”
“Tutup
mulutmu!” potong Sekar Mirah beras-keras.
Kembali
Sidanti terkejut, tetapi kembali ia tertawa. Bahkan ia berkata,
“Bukankah cara
ini merupakan cara yang paling baik untuk menantang salah seorang daripada
kedua anak muda itu. Agung Sedayu atau Swandaru. Apabila mereka benar-benar
jantan, maka mereka pasti akan mengambilmu kemari. Tetapi ternyata mereka tidak
lebih dari betina-betina pengecut. Sudah lebih dari sehari semalam kau berada
di padepokan ini, tak seorang pun datang
menyusulmu. Apa yang disebut pasukan Sangkal Putung dan prajurit-prajurit
Pajang itu pun sama sekali tidak berbuat
sesuatu untuk membelamu.”
“Kau
mengigau,” jawab Sekar Mirah.
“Kau mengambil
kesempatan pada saat Kakang Agung Sedayu dan Kakang Swandaru tidak ada di
kademangan. Kau hanya berani berbuat demikian selagi mereka tidak ada. Apakah
dengan demikian kau merasa bahwa kau telah berbuat secara jantan. Bukankah kau
sendiri betina pengecut tiada taranya?”
“Oh,” Sidanti
mengernyitkan keningnya,
“jadi apakah
saat ini Agung Sedayu dan Swandaru tidak ada di rumah? Aku sama sekali tidak
mengetahuinya. Bahkan aku mengharap, bahwa aku akan dapat bertemu dengan
mereka. Bertempur melawan keduanya di sarang mereka sendiri.”
“Bohong!”
potong Sekar Mirah. “Kau sendiri mengatakan, bahwa pamanmu secara kebetulan bertemu
dengan kedua anak-anak muda dari Sangkal Putung itu. Di mana mereka bertemu?
Mereka sama sekali tidak bertemu di Sangkal Putung.”
Sidanti
terkejut mendengar jawaban Sekar Mirah. Ia tidak menduga sama sekali bahwa
gadis itu ternyata cukup cerdas menanggapi persoalan-persoalan yang
dihadapinya. Tak diduganya bahwa ia mampu mempertentangkan kata-katanya yang
dianggapnya berlawanan. Tetapi sejenak kemudia Sidanti itu pun berhasil menguasai perasaannya kembali.
Dengan demikian maka ia menjadi tenang, dan bahkan kembali tertawa. Katanya,
“Mirah, aku
tidak menyangka bahwa kau memiliki otak yang cerdas. Aku sangka kau hanya mampu
mengingat macam-macam bumbu di dapur untuk bermacam-macam jenis masakan. Namun
agaknya kau mampu juga menangkap tentangan-tentangan yang ada di sepanjang
ceriteraku. Bagus. Baiklah aku berkata sebenarnya, bahwa memang Paman Argajaya
bertemu dengan Agung Sedayu dan Swandaru di Prambanan. Tetapi, kemudian paman
itu sudah berjalan sampai di padepokan Ki Tambak Wedi ini. Menurut perhitungan,
maka jarak antara Prambanan kemari dan Prambanan ke Sangkal Putung tidak
terlampau banyak terpaut. Sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu dan
Swandaru pasti sudah ada di kademangan pada saat aku mengambilmu.”
“Bohong! Kau
bohong! Kalau kau katakan, bahwa kau ingin bertemu dengan mereka, maka kau
pasti sudah berdusta. Bukankah aku mempunyai ayah? Kalau kau jantan dan
berkesopanan kau akan datang kepada ayah. Minta aku untuk kau bawa kemari.
Kalau ayah tidak boleh, maka kau tantang ia berkelahi dalam perang tanding.
Kalau ayah tidak bersedia melakukan sendiri, ayah dapat menunjuk orang lain.
Kakang Untara misalnya atau Paman Widura yang pada saat itu berada di
kademangan.”
Sidanti itu
mengerutkan keningnya, namun kemudian ia menjawab,
“Perbuatanku
ini pun aku tujukan pula kepada mereka
berdua. Apakah gunanya prajurit-prajurit Pajang itu berada di Sangkal Putung?
Mereka hanya mampu menghabiskan beras rakyat Sangkal Putung tanpa dapat berbuat
sesuatu. Kau, anak Demang Sangkal Putung, yang memberi para prajurit itu makan
pagi, siang, dan malam, hilang tanpa seorang
pun yang mencarinya?”
Terdengar gigi
Sekar Mirah gemeretak. Kemarahannya benar-benar telah mendidihkan segenap urat
darahnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Hanya wajahnyalah yang menjadi
merah menyala dan matanya bagaikan berlapis darah.
“Mirah,”
tiba-tiba suara Sidanti menjadi lunak,
“kau tidak
usah marah. Marilah kita kenang kembali masa-masa di mana kita selalu
bersama-sama. Bukankah kau sering memijit pundakku apabila tanganku kelelahan
dalam peperangan? Bukankah kau juga yang membalut lenganku yang terluka ketika
aku berkelahi melawan Tohpati? Mirah. Aku tahu bahwa kau tidak dapat melupakan
aku seperti aku tidak dapat melupakan kau.”
“Diam!” teriak
Sekar Mirah. Tetapi Sidanti tertawa. Bahkan kemudian ia pun berdiri sambil
menggeliat.
“Padepokan ini
adalah padepokan guruku. Guruku tidak berputra dan berputri. Akulah muridnya
dan aku pulalah anaknya. Aku mempunyai kekuasaan di sini seperti kekuasaan Ki
Tambak Wedi sendiri. Nah, renungkan kata-kataku. Aku sengaja membawamu untuk
banyak kepentingan. Memancing orang-orang Sangkal Putung untuk masuk ke dalam
perangkapku, termasuk orang-orang Pajang. Dan apabila kau tetap berkeras
kepala, maka aku akan mendapatkan kau dengan tidak ada rasa hormat sama sekali.
Aku dapat berbuat apa saja.”
Dada Sekar
Mirah hampir meledak karenanya. Tetapi sebelum ia menjawab, maka Sidanti
itu pun telah melangkah pergi
meninggalkannya seorang diri.
“Tinggallah di
situ sampai ada perubahan keadaan yang akan membawamu ke luar,” kata-kata itu
terlontar dari sisi pintu yang sesaat kemudian telah didorong dan terbanting
keras. Kembali Sekar Mirah tersekat dalam bilik tertutup. Kembali ia melihat
dinding-dinding yang membatasi ruangan itu, seperti memisahkannya dari dunia
yang membatasi ruangan itu. Tiba-tiba ia merasa terdampar ke dalam sebuah dunia
yang asing. Dunia yang sempit yang dipenuhi oleh perasaan benci, dendam, muak,
dan bahkan putus asa. Dada Sekar Mirah itu
pun semakin lama menjadi semakin sesak. Nafasnya seakan-akan tersumbat
di kerongkongannya. Sejenak kemudian ia terhenyak dalam perasaan yang tidak
menentu. Namun tiba-tiba ia pun berteriak sedemikian kerasnya sambil
menjatuhkan dirinya telungkup ke atas sebuah amben bambu. Sekar Mirah itu kini
sama sekali tidak dapat menahan tangisnya yang meledak-ledak tanpa dapat
dikendalikan. Tetapi betapa kerasnya ia menangis, ia masih mendengar tiba-tiba
pintu bilik itu pun terbuka kembali. Ia
melihat Sidanti dengan tergesa-gesa meloncat masuk sambil berteriak pula,
“Kenapa kau,
Sekar Mirah?”
Oleh
pertanyaan itu justru tangis Sekar Mirah terhenti. Diangkatnya kepalanya dan
dipandanginya anak muda itu dengan sorot mata semerah nyala api.
“Pergi! Pergi
kau pengecut! Kau hanya berani berbuat atas seorang gadis. Kalau kau jantan,
ayo, tantang Agung Sedayu untuk berperang tanding!”
Sidanti
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjadi berlega hati ketika ia melihat
Sekar Mirah masih sanggup mengangkat wajahnya dan mengumpatnya.
“Kau
mengejutkan aku Mirah, bahkan guruku pun
terkejut, sehingga disuruhnya aku menengokmu.”
“Aku tidak
memerlukan kau.”
“Baik-baik.
Kini kau tidak memerlukan aku. Tetapi suatu ketika kau akan merasa sepi. Dan
kau akan menganggap aku adalah satu-satunya temanmu yang paling baik di sini.”
“Enyah, enyah
kau dari sini!”
“Alangkah
kerasnya hatimu Mirah. Tetapi hati yang keras itu pun pasti akan lekas dapat aku patahkan.”
“Hanya mautlah
yang dapat mematahkan hatiku,” bentak Sekar Mirah.
Mendengar
jawaban itu hati Sidanti Berdesir. Disadarinya bahwa gadis yang berdiri di
hadapannya itu adalah puteri Demang Sangkal Putung dan adik seorang anak muda
yang bernama Swandaru Geni. Betapa keras hati ayah dan kakaknya, maka hati
gadis ini pun pasti tidak jauh terpaut daripada mereka. Namun justru karena
itulah, maka hasrat di dalam hati Sidanti untuk menaklukkannya pun menjadi
semakin besar. Semakin keras sikap Sekar Mirah, maka semakin besar nyala api di
dalam dada Sidanti. Sebagai seorang laki-laki yang kuat dan kasar, maka Sidanti
merasa bahwa kesanggupan yang ada di dalam dirinya pasti mratani. Juga untuk
menundukkan gadis ini. Sejenak kemudian maka kembali Sidanti tersenyum. Sambil
melangkah ke pintu ia berkata,
“Baiklah
Mirah. Aku menyadari bahwa yang aku hadapi kali ini adalah seorang gadis yang
garang. Karena itu aku harus berhati-hati. Bukan saja berhati-hati, tetapi aku
harus bersabar hati.”
Sekar Mirah
kini tidak mau menjerit lagi. Ia tahu bahwa jeritnya pasti akan mengundang
Sidanti itu masuk kembali ke dalam biliknya, apabila anak muda itu belum terlampau
jauh.
“Lebih baik
aku mati daripada di jamah oleh iblis itu,” desis Sekar Mirah di dalam hatinya.
Tiba-tiba tangannya meraba ikat pinggangnya. Ia menjadi berlega hati ketika
tangannya menyentuh sebuah benda yang kecil. Patremnya masih terselip diikat
pinggangnya. Ternyata kemarin Sidanti tidak mengetahuinya, pada saat membawanya
ke lereng ini dalam keadaan pingsan.
“Kalau ia
mendekat, maka patrem ini akan membunuhnya atau membunuh diriku sendiri.”
Tetapi terasa
bilik itu menjadi semakin sempit. Ketika kembali malam mencekam lereng Gunung
Merapi, maka kembali bilik kecil itu menjadi gelap. Tetapi hati Sekar Mirah
jauh melampaui gelapnya malam yang paling pekat sekalipun. Ketika Sekar Mirah
mendengar pintu bergerit cepat-cepat ia bergeser menjauh. Tangannya segera
melekat pada tangkai patremnya yang kecil. Tetapi patrem itu akan dapat
mencapai jantungnya apabila ditusukkannya tepat di dada. Tetapi yang masuk
adalah seorang yang bertubuh kecil. Dengan nanar ia memandangi seisi bilik itu.
Ketika terlihat olehnya Sekar Mirah berdiri di sudut bersandar dinding, maka
tampaklah seleret giginya yang kemerah-merahan oleh sinar pelita yang
dibawanya.
“Heh, heh,
heh,” terdengar orang kecil itu tertawa,
“aku mendapat
tugas untuk memasang lampu ini Sekar Mirah. Jangan takut.”
Sekar Mirah
tidak menyahut. Ia menjadi ngeri melihat wajah itu. Kecil tapi liar. Ketika
orang yang bertubuh kecil itu telah meninggalkan biliknya, maka kepedihan di
dalam dada Sekar Mirah menjadi semakin menyekat dadanya. Kini biliknya tidak
lagi menjadi gelap. Sebuah pelita yang kecil telah terpancang di dinding.
Tetapi justru sinar yang samar-samar itu telah menjadikan Sekar Mirah bertambah
ngeri.
“Oh,”
desahnya,
“kenapa aku
terlempar ke dalam sarang hantu-hantu semacam ini.” Namun ketika terasa dadanya
mendesak air matanya menetes, ditahannya hatinya. Ia harus tetap dapat
menguasai dirinya. Ia harus tetap melihat dan mendengar keadaan di sekitarnya.
“Aku tidak
boleh tenggelam,” desahnya.
Pada saat yang
bersamaan, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu menunggu di depan pendapa Kademangan
Sangkal Putung dengan gelisah. Keberangkatan mereka tertunda karena
perkembangan keadaan di Sangkal Putung. Hari itu datang seorang pesuruh dari
Pajang yang mengabarkan bahwa pasukan Pajang sedang di perjalanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar