Jilid 020 Halaman 1


AKHIRNYA dari tempat yang terlindung itu Kiai Gringsing melihat dua orang mendekatinya.
“Benarkah kau, Kiai?”
“Ya, aku datang bersama dengan Anakmas Swandaru dan Agung Sedayu.”
“Oh, di mana mereka sekarang?”
“Itu, di situ. Kami tidak ingin mengejutkan kalian. Kalau kalian melihat kami berempat, maka kalian akan terkejut dan mungkin berbuat sesuatu di luar perhitungan kami.”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dalam pada itu Swandaru yang tidak sabar telah keluar dari persembunyiannya diikuti oleh Sutawijaya dan Agung Sedayu.
“Seluruh kademangan menunggu kalian,” kata penjaga itu.
“Kita telah menjadi bingung.”
“Apakah mereka mencemaskan nasib kami?” bertanya Swandaru.
“Dan karena itu ibu menangis?”
“Bukan saja karena itu,” jawab penjaga,
“kami menghadapi soal yang lain.”
Dada Swanadru berdesir mendengar jawaban penjaga itu. Karena itu dengan serta-merta ia bertanya,
“Apakah ada soal lain yang penting?”
“Ya,” sahut penjaga itu.
“Apa?”
Penjaga itu menjadi ragu-ragu sejenak. Pendapa Kademangan itu itu tinggal beberapa puluh langkah lagi. Di sana duduk para pemimpin Kademangan Sangkal Putung dan para pemimpin prajurit Pajang yang akan dapat memberi penjelasan sebaik-baiknya kepada anak itu. Karena itu maka prajurit itu menjawab,
“Biarlah Ki Demang sendiri memberi penjelasan. Ki Demang berada di pringgitan.”
Swandaru tidak dapat menahan diri lagi. Tanpa menjawab sepatah kata pun ia segera meloncat dan berjalan tergesa-gesa ke pendapa. Di belakangnya berjalan Agung Sedayu dan Sutawijaya bersama Kiai Gringsing. Di pendapa Swandaru melihat beberapa orang prajurit Pajang masih juga duduk dalam beberapa gerombol. Di sana-sini mereka agaknya sedang memperbincangkan sesuatu yang cukup penting. Tetapi kesan yang didapat oleh Swandaru adalah bahwa tidak ada penyerbuan yang gawat telah terjadi. Kalau demikian, soal apakah yang penting itu.

Dengan langkah yang panjang anak-anak muda itu bersama Kiai Gringsing itu masuk ke dalam pringgitan. Beberapa orang yang melihatnya menyapa pendek, dan mereka pun menyapa pendek pula. Ketika pintu pringgitan terbuka, maka setiap orang yang duduk melingkar di sekeliling sebuah pelita minyak kelapa, berpaling memandang ke arah pintu. Hampir bersamaan mereka melihat Swandaru melangkah masuk dan hampir bersamaan pula mereka berdesis,
“Kau, Swandaru?”
Swandaru tertegun. Ia melihat beberapa orang pemimpin kademangan dan prajurit Pajang lengkap. Karena itu dadanya menjadi berdebar-debar.
“Masuklah,” terdengar Untara mempersilakannya.
Swandaru tersadar dari kegelisahannya yang mencekam dadanya. Ia  pun kemudian melangkah dan meletakkan busurnya di sisi pintu. Tetapi pedangnya masih juga menggantung di lambungnya. Agung Sedayu dan Sutawijaya  pun kemudian meletakkan busur-busur mereka dan berjalan di belakang Swandaru duduk di dalam lingkungan para pemimpin itu.
“Hem,” Ki Demang Sangkal Putung berdesah. Ditatapnya wajah anaknya yang gemuk bulat itu dalam pandangan yang aneh, setelah dipersilahkannya pula Kiai Gringsing duduk di antara mereka.
“Kau pergi ke Mentaok?” bertanya Ki Demang.
“Ya, Ayah, bersama dengan Putranda Panglima Wira Tamtama. Mas Ngabaehi Loring Pasar.”
“Oh,” Ki Demang  pun menganggukkan kepalanya. Ia tidak dapat langsung marah kepada anaknya yang gemuk itu karena kehadiran Sutawijaya. Untara  pun harus menahan kejengkelannya pula akan kepergian adiknya tanpa seijinnya. Tetapi mereka tidak berani menegurnya, menegur Swandaru dan Agung Sedayu, sebab di ruangan itu hadir juga putera Ki Gede Pemanahan. Yang dapat mereka lakukan hanyalah berdesah di dalam dada masing-masing, sambil sekali-sekali memandangi wajah ketiga anak-anak muda itu berganti-ganti. Tetapi kedatangan mereka bersama-sama dengan Kiai Gringsing yang selama ini seakan-akan menghilang menimbulkan teka-teki pula di dalam hati mereka. Apakah Kiai Gringsing pergi juga bersama mereka? Ataukah memang Kiai Gringsing yang telah membawa ketiga anak-anak muda itu untuk bertamasya ke Alas Mentaok?
“Sepeninggalmu Swandaru, kademangan ini menjadi geger,” berkata Ki Demang penuh tekanan.

Swandaru mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak segera bertanya. Ia mengharap ayahnya menceriterakan apa yang telah terjadi. Dan ayahnya itu berkata pula,
“Kami, seluruh isi kademangan, termasuk para prajurit dari Pajang menjadi bingung. Bingung dan cemas, sebab kami tidak tahu kemana kalian pergi. Kami hanya mendengar bahwa kalian akan pergi ke Alas Mentaok. Dan kami mengerti bagaimana buasnya alas itu.”
Swandaru menundukkan kepalanya. Di dalam hati ia berkata,
“Kalau hanya aku sajalah yang dicemaskannya, maka sebenarnya kademangan ini tak perlu menjadi gelisah.” Tetapi kata-kata itu tidak terlontar lewat bibirnya. Sutawijaya yang merasa telah membawa kedua anak-anak muda itu  pun menundukkan kepalanya. Kini baru terasa olehnya akibat dari keterlanjurannya. Dengan demikian ia dapat membayangkan, bahwa ayahnya Ki Gede Pemanahan  pun pasti akan marah pula kepadanya. Tetapi semuanya telah terlanjur. Semuanya telah terjadi. Meskipun di dalam hati kecilnya ia berkata,
“Bukankah kami telah cukup dewasa. Adalah tidak sepantasnya kami harus selalu berada di dalam pengawasan seperti kanak-kanak supaya kamu tidak terperosok ke dalam kubangan.”
Tetapi pula pada mereka yang baru datang, bahwa sebenarnya yang telah terjadi bukanlah sekedar kecemasan mengenai kepergian mereka. Tetapi pasti telah terjadi pula sesuatu di kademangan ini sepeninggal mereka. Kecemasan atas kepergian anak-anak muda itu pasti tidak akan menimbulkan penjagaan yang semakin ketat seperti kini.
Karena itu maka Swandaru kemudian bertanya kepada ayahnya,
“Ayah, apakah hanya karena kepergianku itu ayah telah memperkuat penjagaan di halaman ini dan di sudut-sudut padesan?”
Ki Demang mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Tentu tidak. Apakah kau dengar tangis ibumu?”
Swandaru mengangguk. “Ya, Ayah.”
“Kau sangka ibumu menangisimu?”
Swandaru tidak menjawab. Tetapi hantinya bergumam, “Tidak.”
“Dengarlah Swandaru. Sudah dua malam ini ibumu menangis tanpa berhenti di malam hari. Hanya di siang hari agaknya ia dapat sekedar menahan diri.”
Debar di dada Swandaru menjadi semakin cepat berderak, seakan-akan ia tidak sabar lagi menunggu ayahnya berkata. Dengan tatapan mata yang tegang ia memandangi wajah ayahnya itu.

Tiba-tiba orang tua itu berpaling kepada Kiai Gringsing yang duduk terpekur ambil menggerak-gerakkan jari-jarinya. Seakan-akan Ki Demang itu  pun berkata pula kepadanya, kenapa ia selama ini tidak pula berada di kademangan?
“Kiai,” berkata Ki Demang itu kemudian,
“isteriku telah kehilangan miliknya yang paling disayanginya.”
Ki Tanu Metir mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak dapat segera mengucapkan sesuatu.
“Ya, tetapi apa yang hilang itu, Ayah?” desak Swandaru yang kehabisan kesabaran. Apakah perhiasan ibu, emas, intan berlian, atau apa?”
Ki Demang menggeleng.
“Yang hilang itu adalah adikmu, Swandaru.”
“He,” Swandaru berjingkat dari duduknya sehingga bergeser selangkah maju. Tetapi bukan saja Swandaru, Agung Sedayu  pun tidak kalah terkejut. Bahkan Sutawijaya dan Kiai Gringsing pula.
Dengan terbata-bata Swandaru berkata,
“Mirah, jadi Sekar Mirah yang ayah maksud?”
Ayahnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, Sekar Mirah telah hilang sejak kemarin.”
“Bagaimana maka Sekar Mirah itu dapat hilang Ki Demang?” bertanya Agung Sedayu terpatah-patah.
“Ya bagaimana?” sahut Ki Demang.
“Ia hilang begitu saja. Hilang dari kademangan ini. Aku pun bertanya seperti itu, kenapa Sekar Mirah dapat hilang?”
Kiai Gringsing masih juga berdiam diri. Ia tahu benar betapa perasaan Ki Demang menjadi gelap, sehingga dengan demikian maka orang itu akan mudah menjadi marah.
“Nah, sekarang aku bertanya kepadamu, Swandaru,” berkata Ki Demang itu,
“apa yang kau dapat dengan perjalananmu itu? Kalau kau ada di rumah, mungkin keadaan akan berbeda.”
Yang terdengar adalah Swandaru menggeretakkan giginya. Dengan gemetar ia kemudian bertanya,
“Apakah tak seorang  pun yang tahu, dengan siapa Sekar Mirah pergi? Apakah ia sengaja pergi dengan suka-rela, apakah seseorang telah menculiknya?”
“Pertanyaanmu itu gila sekali. Apakah kau sangka adikmu itu sebinal kau ini? Kenapa kau dapat berpikir bahwa adikmu itu dengan suka-rela meninggalkan kademangan? Kau sangka adikmu sudah tergila-gila pada Sidanti dan pergi mencarinya?”
Tetapi dada Swandaru  pun sudah sesak pula, sehingga ia menjawab,
“Habis, bagaimana aku harus menanggapi persoalan ini? Beri aku jalan untuk berbuat sesuatu ayah. Malam ini juga aku akan berbuat.”
Wajah Ki Demang  pun menjadi kian tegang. Hampir berteriak ia berkata,
“Terlambat. Terlambat. Apa artinya kepergianmu selama ini?”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia mengepalkan tinjunya.
“Tak ada yang kau dapatkan. Tetapi kalau kau mati juga di perjalanan maka ibumu akan mati membeku, tahu? Sekarang adikmu telah hilang. Hilang masuk ke dalam lingkungan yang tidak mudah dapat disusupi.”
“Ya, kemana. Kemana ia pergi.”
“Seseorang melihat, bahwa pada pagi-pagi hari ketika adikmu pergi ke warung, tiba-tiba ia diterkam oleh seorang laki-laki. Bukan seorang laki-laki kademangan ini. Tetapi orang yang melihat itu telah mengenalnya. Namanya Sidanti.”
“Sidanti. Sidanti. Jadi, adikku dibawa oleh Sidanti?” teriak Swandaru.
“Ya. Orang yang melihatnya itu  pun hampir saja mati ketakutan. Tetapi Sidanti tidak berbuat sesuatu atasnya. Bahkan anak itu berkata,
“Katakan kepada ayahnya, bahwa akulah yang telah membawa Sekar Mirah.”
Terdengar gigi Swandaru berderak. Justru dengan demikian maka sejenak ia terbungkam, yang terdengar hanyalah dengus nafasnya yang berkejaran lewat lubang-lubang hidungnya.
Untara, Widura, dan Kiai Gringsing sejenak hanya dapat mendengarkanaya. Persoalan itu hampir merupakan persoalan keluarga, sehingga mereka tidak segera dapat turut campur. Sedang Sutawijaya pun menjadi seakan-akan terbungkam. Ia menyadari kesalahannya, bahwa ia telah membawa Swandaru pergi. Tetapi apakah apabila Swandaru ada di rumah, hal itu dapat dihindari? Tiba-tiba Sutawijaya teringat kepada Argajaya. Apakah ada hubungannya dengan dendam yang telah ditanamnya di dalam dada orang itu? Dada Sutawijaya  pun menjadi berdebar-debar pula. Tetapi Agung Sedayu mempunyai sikap yang lain, Meskipun ia bukan salah seorang keluarga Ki Demang Sangkal Putung, tetapi ia  pun merasa kehilangan pula. Sehingga tiba-tiba ia  pun berkata lancang,
“Tak ada lingkungan yang tidak dapat disusupi. Tak ada dinding yang tidak dapat dipecahkan.” Agung Sedayu itu  pun kemudian berpaling kepada kakaknya.
“Kakang Untara. Aku akan kembali ke Jati Anom. Dari sana aku akan memanjat lereng Merapi untuk menemukan Sekar Mirah kembali.”
Kini barulah Untara dapat turut berbicara.
“Seharusnya memang demikian, Agung Sedayu. Tetapi di lereng Merapi itu tidak hanya terdapat Sidanti seorang diri.”
“Di Sangkal Putung tidak hanya terdapat Sekar Mirah sendiri. Tidak hanya terdapat Ki Demang sendiri. Tetapi Sidanti dapat mengambil Sekar Mirah. Apakah aku tidak dapat melakukan hal yang sebaliknya?” sahut Agung Sedayu tidak kalah lantangnya dengan suara Swandaru.

Tetapi Sutawijaya yang merasa, bahwa ia telah terlibat pula dalam persoalan itu karena ia telah membawa kedua anak-anak muda itu, berkata pula,
“Aku ikut serta. Kita pergi bertiga. Kita masuki padepokan Tambak Wedi. Kita bakar segenap isinya setelah kita membebaskan puteri Ki Demang itu.”
Semua orang yang mendengar suara Sutawijaya itu berpaling kepadanya. Mereka segera melihat wajah anak muda itu berwarna kemerah-merahan menahan perasaannya. Bahkan tangannya pun telah dikepalkannya dan diketuk-ketuknya pahanya dengan tinjunya itu. Tetapi terdengar kemudian Untara menjawab,
“Sayang Adi Sutawijaya. Ayahanda berpesan kepadaku, bahwa adi Sutawijaya harus segera kembali ke Pajang. Demikian Adi datang ke Sangkal Putung ini, maka secepat mungkin Adi harus menyusul ayahanda supaya ayahanda tidak terlampau cemas dan Gusti Adiwijaya pun tidak terlampau lama menanti-nanti kedatangan Adimas.”
Wajah Sutawijaya yang tegang itu menjadi berkerut-merut. Dengan ragu-ragu ia bertanya,
“Jadi ayah sudah kembali ke Pajang?”
“Ya. Sebagaimana Adimas lihat. Di sini ayahanda sudah tidak ada lagi. Hanya beberapa orang prajurit pilihan berkuda telah ditinggalkannya untuk membawa Adi kembali.”
Sutawijaya terhenyak dalam kekecewaan. Namun tiba-tiba ia berkata,
“Baik. Baik, aku akan kembali bersama prajurit pengawal itu. Tetapi biarlah aku turut menyelesaikan masalah ini dahulu. Hilangnya Sekar Mirah merupakan tantangan yang harus dijawab. Bukan sekedar direnungkan dan ditangisi.”
Untara menganggukkan kepalanya. Bahkan dada Ki Demang Sangkal Putung  pun menjadi berdebar-debar pula karenanya.
“Adi Sutawijaya benar. Tetapi kita tidak boleh kehilangan kesadaran dalam berbuat. Kita tahu benar siapakah Sidanti, siapakah Ki Tambak Wedi. Dan siapakah yang berada bersama-sama dengan mereka di dalam sarangnya. Bagi Adimas, gambaran padepokan itu masih terlampau kabur. Kita belum tahu pasti kekuatan mereka. Bahkan bagi kita masih jauh lebih jelas melihat kekuatan Tohpati daripada kekuatan Tambak Wedi.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Naluri keprajuritannya kini membenarkan pendapat Untara itu mengatasi nafsu mudanya. Kembali ia mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia  pun terdiam. Tetapi dalam pada itu terdengar Agung Sedayu berkata,
“Kakang Untara, kita tidak dapat membiarkan Sekar Mirah terlampau lama di sarang Sidanti. Itu terlampau berbahaya baginya. Bagi seorang gadis.”
“Kita berangkat sekarang,” potong Swandarau.
“Sidanti mampu mengambil Sekar Mirah di Sangkal Putung. Kenapa kita tidak mampu mengambilnya?”
“Ada bedanya Adi Swandaru. Di sini Sekar Mirah bebas tanpa pengawasan. Sehingga karena itulah maka di pagi-pagi itu Sidanti berhasil menunggunya di pinggir jalan di tempat yang terlindung. Tetapi sudah tentu tidak demikian bagi Sekar Mirah di padepokan Tambak Wedi. Di sana ia pasti terkurung di tempat yang selalu mendapat pengawasan.
“Kalau begitu kita serbu padepokan itu dengan kekuatan segelar sepapan. Semua anak-anak Sangkal Putung siap melakukannya demi kehormatan kami, nama kademangan ini. Sekar Mirah bukan saja adik kandungku, tetapi Sekar Mirah merupakan kembang dari kesucian kami, kesucian nama keluarga kami. Setiap noda yang melekat padanya, adalah noda yang tercoreng di wajah kami. Di wajah Kademangan Sangkal Putung.”
Mendengar kata-kata itu tiba-tiba Ki Demang  pun menjadi bertambah tegang. Ia  pun sadar apa yang dapat terjadi atas gadisnya itu. Karena itu maka tiba-tiba orang tua itu  pun berkata,
“Kita akan menyusulnya ke lereng Merapi. Setiap laki-laki akan turut serta merebut anak itu kembali.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia adalah seorang senopati. Ia tidak dapat berbuat menurut nafsu yang menyala-nyala. Ia tidak dapat berbuat hanya berdasarkan perasaan, tidak berdasarkan perhitungan. Karena itu ia berkata,
“Benar Ki Demang. Kita akan segera menyusul Sekar Mirah ke padepokan Ki tambak Wedi. Tetapi kita tidak boleh terjerumus dalam kesalahan karena penglihatan kita tertutup oleh kemarahan yang meluap-luap. Dan itulah yang dikehendaki oleh Sidanti dan Ki Tambak Wedi, sehingga kita akan kehilangan kejernihan pikiran.”
“Kita sudah cukup lama berpikir. Bagi Sangkal Putung tidak akan ada jalan lain daripada menerobos masuk ke dalam sarang orang gila itu,” sahut Swandaru, yang disambung oleh Agung Sedayu,
“Hilangnya Sekar Mirah, adalah tantangan dan penghinaan bagi kami yang berada di kademangan ini pula. Bukankah dengan demikian Sidanti ingin mengatakan bahwa tak ada laki-laki di kademangan ini? Tak ada seorang  pun yang mampu melindungi gadis itu?”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa perasaan adiknya itu  pun sedang terbakar. Ia tahu perasaan yang tersimpan di dada anak muda itu terhadap Sekar Mirah, sehingga dengan demikian maka hatinya pun menjadi gelap. Anak yang biasanya selalu mempergunakan berbagai macam pertimbangan dalam setiap tindakan, bahkan lebih mirip dengan sifat yang selalu ragu-ragu, kini tiba-tiba tidak lagi dapat membuat pertimbangan-pertimbangan sama sekali. Tetapi menghadapi wajah-wajah yang tegang, hati-hati yang tegang dan pikiran-pikiran yang gelap, Untara menjadi cemas. Apalagi ketika Ki Demang sendiri berkata,
“Swandaru, kita siapkan orang-orang kita besok. Kita segera menyusul adikmu.”
Untara benar-benar kehilangan cara untuk mencegahnya. Tetapi ia tahu benar bahaya yang dapat terjadi. Bahaya bagi pasukan Sangkal Putung. Sudah tentu bahwa pasukannya sendiri tidak akan dapat membiarkan orang-orang Sangkal Putung itu bertindak. Tetapi dengan cara yang demikian itu, maka ia akan berbuat suatu kesalahan bagi seorang senopati. Bertindak dengan tergesa-gesa sebelum tahu benar imbangan kekuatan yang ada. Sebab bukan mustahil bahwa di padepokan Ki Tambak Wedi telah tersusun kekuatan yang sangat rapi. Bukan pula mustahil bahwa Ki Tambak Wedi telah membuat rencana tertentu. Masuk ke dalam kademangan ini selagi kademangan ini menjadi kosong. Itulah sebabnya ia harus membuat perhitungan-perhitungan yang lebih masak menghadapi hantu lereng Merapi itu.

Untara menjadi semakin bingung menghadapi orang-orang yang telah dibakar oleh perasaannya itu. Swandaru yang mendapat perintah ayahnya itu segera menyahut,
“Baik, Ayah. Malam ini juga aku akan mempersiapkan anak-anak muda Sangkal Putung.”
Untara menjadi bertambah gelisah. Tiba-tiba tanpa disadarinya ditatapnya wajah pamannya, Widura, kemudian Kiai Gringsing yang masih saja berdiam diri seakan-akan minta pertimbangan, bagaimana mengatasi persoalan yang sedang dihadapinya. Kiai Gringsing yang selama itu hanya berdiam diri sambil mendengarkan persoalan yang terjadi di Sangkal Putung itu  pun mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan tetapi jelas ia berkata,
“Memang, kita harus segera menemukan kembali Angger Sekar Mirah.”
Untara menarik alisnya tinggi-tinggi. Tetapi dibiarkannya Kiai Gringsing berkata seterusnya,
“Kita tidak akan sampai hati membiarkannya terlampau lama di tangan Angger Sidanti.”
Swandaru  pun dengan serta-merta menyambung,
“Nah. Bukankah begitu, Kiai. Kita harus segera menemukan Sekar Mirah.”
“Secepatnya,” sahut Kiai Gringsing.
“Ya, secepatnya,” Agung Sedayu memotong.
“Sekarang kita harus segera mempersiapkan diri.”
“Tetapi ingat. Kita harus menyelamatkannya. Karena itu secepatnya, namun tidak boleh kehilangan maksudnya, menyelamatkannya.”
Swandaru dan Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun yang bertanya adalah Ki Demang Sangkal Putung,
“Maksud Kiai?”
“Kita harus menyadari bahwa Sekar Mirah kini berada di tangan Sidanti.”
Ki Demang menjadi semakin tidak mengerti. Karena itu ia berkata,
“Ya, kita menjadi bingung karena Sekar Mirah berada di tangan anak gila itu.”
“Nah, karena itu kita harus memperhitungkan gadis itu. Gadis yang harus kita selamatkan. Kita tidak boleh terbakar oleh nafsu dan kemarahan tanpa menghiraukan titik bidik yang sebenarnya. Kita hanya memperhitungkan kekuatan pasukan yang mungkin akan mampu memecahkan pertahanan padepokan Ki Tambak Wedi dan kemudian menjadikannya karang abang. Tetapi kita lupa bahwa Sekar Mirah berada di sana, di dalam kekuasaan orang-orang itu, di dalam pertahanan yang ingin kita pecahkan.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Dilihatnya sorot pandangan mata yang keheran-heranan di sekitarnya. Ki Demang, Swandaru, Agung Sedayu, dan beberapa orang Sangkal Putung yang lain.
“Ki Demang,” berkata Kiai Gringsing seterusnya,
“Sidanti dan Ki Tambak Wedi adalah orang-orang yang dapat berbuat hal-hal yang tidak dapat kita duga sebelumnya. Kalau kita dengan serta-merta memecahkan pertahanan mereka, maka dengan demikian kita hanya menuruti nafsu sendiri. Kita telah kehilangan tujuan kita, menyelamatkan Sekar Mirah. Sebab apabila pertahanan mereka tidak dapat melindungi padepokan mereka, maka nyawa Sekar Mirah menjadi terancam. Mereka akan melepaskan kemarahan mereka pada Sekar Mirah. Mungkin dengan sengaja mereka membuat kita menjadi ngeri. Dengan alat gadis itu mereka membalas kekalahan mereka. Membalas sakit hati mereka. Nah, bayangkanlah, apa yang akan dapat terjadi dengan Sekar Mirah?”

Ki Demang yang hampir-hampir tidak dapat mengekang dirinya itu tiba-tiba menyadari keadaannya dan keadaan puterinya itu. Dengan demikian maka terasa dadanya menjadi kian pepat, bahkan hampir-hampir meledak. Sedang Swandaru dan Agung Sedayu dapat mendengar keterangan Kiai Gringsing itu dengan baik. Kata demi kata. Dengan demikian berbenturanlah perasaan mereka dengan pengertian mereka yang mereka dengar dari Kiai Gringsing itu. Sejenak suasana di pringgitan itu dicengkam oleh kesepian. Kesepian yang seakan-akan membakar jantung. Tiba-tiba terdengar suara Ki Demang menyobek,
“Lalu, apakah yang harus kita lakukan, Kiai? Apakah kita akan membiarkan saja semuanya itu terjadi tanpa berbuat sesuatu? Pendapat Kiai memang benar. Memang dapat diterima oleh nalar. Tetapi apabila kita hanya berpangku tangan, apakah Sekar Mirah itu akan dilepaskan atau akan dapat melepaskan dirinya sendiri? Atau kita harus menunggu sampai Sidanti dan orang-orang liar di padepokan itu sudah puas dengan segala macam perbuatannya atas gadis itu dan melemparkannya ke luar sarang mereka, atau membunuhnya?”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi orang tua itu tidak kehilangan ketenangannya. Dengan sareh ia berkata,
“Tentu tidak, Ki Demang. Kita pasti harus berusaha. Tetapi usaha kita itulah yang harus kita pertimbangkan masak-masak. Kita dapat menangkap ikannya tanpa mengeruhkan airnya, bahkan membinasakan ikan itu sendiri.”
Ki Demang terdiam sejenak. Tetapi hatinya masih juga bergolak. Seakan-akan ia akan segera meloncat saat itu juga ke padepokan Tambak Wedi di lereng Merapi. Dalam pada itu terdengar Untara berkata,
“Kita harus mempunyai persiapan yang baik untuk merebut kembali Sekar Mirah. Bukan saja merebut Sekar Mirah, tetapi sekaligus membinasakan orang-orang Jipang yang tidak mau mempergunakan kesempatan yang baik, yang telah aku berikan kepada mereka.”
“Ah,” desah Ki Demang,
“aku akan membantu membinasakan Sanakeling dengan segenap kekuatannya. Tetapi rencana itu jangan menghambat usahaku membebaskan anak itu. Kalian jangan berpihak pada kepentingan kalian sendiri. Jangan berpihak pada pandangan searah. Mungkin bagi kalian tidak ada bedanya, apakah kita akan menyerang Sanakeling, Sidanti, dan Tambak Wedi itu sekarang, atau besok, atau lusa, asal kalian yakin kekuatan kita sudah cukup, kita menyerang. Kita hancurkan mereka. Tetapi aku tidak dapat berbuat demikian. Aku harus segera membebaskan anakku sebelum terjadi sesuatu atasnya.”

Untara hanya dapat menarik nafas dalam-dalam mendengar jawaban Ki Demang Sangkal Putung yang lebih banyak dipengaruhi oleh perasaan seorang ayah daripada seorang demang yang menghadapi lawan di peperangan. Demikian juga agaknya Swandaru dan Agung Sedayu. Bahkan segenap orang-orang Sangkal Putung. Bukan saja orang-orang Sangkal Putung, sebagian prajurit-prajurit Pajang sendiri merasa apa yang dilakukan oleh Sidanti itu merupakan penghinaan dan tantangan yang harus segera mendapat pelayanan sewajarnya. Yang menjawab kemudian adalah Kiai Gringsing.
“Ki Demang benar. Kita tidak dapat membuat pertimbangan dari segi yang timpang. Kita tidak boleh memberatkan kepentingan Angger Untara sebagai seorang Senopati Pajang. Tetapi kita  pun tidak boleh hanya menuruti perasaan sendiri. Harga diri yang berlebih-lebihan sebagai laki-laki pilihan. Harga diri yang terbakar karena penghinaan itu. Dengan demikian, maka kalian sudah kehilangan sasaran yang sebenarnya. Angger Untara terlalu memberatkan tugasnya sebagai seorang senopati, sedang Ki Demang terlalu dibebani oleh nilai-nilai kejantanan yang sedang terhina. Namun kedua-duanya tidak akan menguntungkan Sekar Mirah. Terlalu cepat maupun terlalu lambat.”
“Ki Tanu Metir,” sahut Ki Demang,
“Mirah adalah seorang gadis yang berada di antara laki-laki yang buas. Apakah yang dapat terjadi padanya?”
“Bermacam-macam,” sahut Kiai Gringsing.
“Nah, bukankah Kiai menyadari kemungkinan yang bermacam-macam itu?” bertanya Ki Demang.
“Ya, bermacam-macam. Di antaranya mencincang Sekar Mirah dan mengikat mayatnya di pintu gerbang yang akan kita lalui dengan pasukan segelar sepapan.”
“He,” mata Ki Demang terbeliak. Namun kemudian wajah yang menyala itu tertunduk lesu. Jawaban Kiai Gringsing tepat mengenai sasarannya. Kemungkinan itu pun memang dapat terjadi seperti kemungkinan-kemungkinan yang lain.
“Tetapi, lalu bagaimana?” terdengar suara Ki Demang menurun.
Kini kembali pringgitan itu terdampar pada kesenyapan yang tegang. Masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri. Apakah kira-kira yang dapat mereka lakukan untuk membebaskan kembali Sekar Mirah dari tangan Sidanti?

Swandaru dan Agung Sedayu menjadi kian gelisah, seakan-akan mereka itu duduk di atas bara. Terdengar gigi mereka gemeretak dan nafas mereka saling memburu. Di sisi mereka, Sutawijaya duduk tepekur. Kepalanya menjadi pening. Sebenarnya banyak hal yang ingin dikatakannya, tetapi ia harus kembali ke Pajang. Tidak mungkin baginya untuk menolak perintah ayahnya lagi. Karena itu betapa kecewanya, betapa ia menyesal telah mengajak kedua anak-anak muda itu, dan kini ia dikecewakan pula karena ia tidak mendapat kesempatan untuk ikut serta merebut kembali Sekar Mirah. Bukan karena Sekar Mirah adalah seorang gadis yang cantik, tetapi Sutawijaya pun merasa tersinggung pula atas perbuatan Sidanti itu. Dalam pada itu terdengar suara Ki Demang bernada rendah,
“Apakah aku akan membiarkan secercah noda melekat pada kademangan ini karena keluargaku? Apakah aku harus membiarkan Sekar Mirah menjadi korban karena persoalan yang seharusnya dipikul oleh kekuatan jantan di kademangan ini? Oh, persoalan itu akan menjadi saling mengait. Seperti senjata Sidanti yang mengerikan itu nenggala berujung rangkap. Dengan ujung dan pangkalnya, ia mampu membuat kita luka rangkap sekali gerak.”
“Itulah yang sebenarnya kita hadapi, Ki Demang,” sahut Ki Tanu Metir.
“Dengan demikian kita harus berhati-hati menghadapinya. Kita tidak boleh tergesa-gesa tanpa memperhitungkan setiap kemungkinan. Namun yang pertama-tama harus kita perhatikan adalah keselamatan Sekar Mirah. Kalau kita berhasil membebaskan Sekar Mirah dengan selamat, maka kedua-duanya telah dapat kami jawab sekaligus, seperti kita juga menggerakkan senjata yang tajam di kedua ujungnya.”
“Ya, demikianlah,” gumam Ki Demang.
“Tetapi, bagaimana? Pertimbangan dan pertimbangan saja tidak akan banyak bermanfaat.”
“Memang tidak bermanfaat. Tetapi perbuatan tanpa pertimbangan pun akan sama saja jeleknya.”
“Baiklah, Kiai,” berkata Ki Demang,
“sekarang bagaimana pertimbangan Kiai?”
Kiai Gringsing menegakkan punggungnya. Seakan-akan punggung itu menjadi sangat pegal. Kemudian orang itu  pun menarik nafasnya dalam-dalam. Kepada Untara Kiai Gringsing itu  pun bertanya,
“Angger Untara, apakah ada kekuatan yang cukup kini di Sangkal Putung?”

Untara memandang wajah orang tua itu dengan penuh pertanyaan. Senopati di tempat itu adalah dirinya. Tetapi agaknya Kiai Gringsing mampu pula membuat perhitungan-perhitungan menurut tata keprajuritan. Namun Untara tahu benar, bahwa Kiai Gringsing memang bukan orang kebanyakan, sehingga dengan demikian ia merasa tidak berkeberatan untuk menjawab.
“Tidak terlampau cukup Kiai. Sebagian dari prajurit Pajang sedang mengawal orang-orang Jipang yang telah menyerah bersama Ki Gede Pemanahan. Mereka sampai saat ini belum kembali. Bahkan menurut Ki Gede Pemanahan, akan datang pula sepasukan prajurit yang lain, yang harus pergi bersama aku ke Jati Anom untuk menyelesaikan persoalan Sanakeling dan Sidanti.”
“Bagus,” berkata Kiai Gringsing.
“Jadi akan datang pasukan baru yang segar, sedang yang lain tetap berada di Sangkal Putung ini bersama Angger Widura?”
“Demikianlah seharusnya menurut perhitungan Ki Gede Pemanahan. Sebab Ki Tambak Wedi dapat dengan tiba-tiba saja berada di sekitar tempat ini selagi kita berada di Jati Anom.”
Kini Kiai Gringsing itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya satu demi satu anak-anak muda yang sedang dilanda oleh arus kemarahan yang hampir tak tertahankan. Tetapi Kiai Gringsing sendiri tidak segera menemukan jalan, bagaimanakah sebaiknya yang harus dilakukan. Dalam keheningan yang kemudian mencengkam pringgitan itu terdengar beberapa kali Swandaru berdesah. Sekali-sekali ia menggeser duduknya dengan gelisah. Tetapi yang lebih dulu bertanya adalah Agung Sedayu,
“Lalu bagaimana Kiai? Apakah yang harus kita kerjakan?”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Kita harus berpikir dengan kepala yang dingin. Kita harus mampu mempertimbangkan tanpa diburu oleh nafsu supaya perimbangan kita menjadi jernih.”
“Ya, lalu bagaimana pertimbangan yang jernih itu?” sahut Swandaru.
“Apakah kita harus pergi segelar sepapan ke Jati Anom ataukah kita harus menunggu saja?”

Adalah sangat sulit untuk menenangkan hati anak-anak muda itu. Karenanya maka Kiai Gringsing  pun harus segera berbuat sesuatu untuk memecahkan ketegangan hati mereka. Kalau ketegangan yang telah memuncak itu tidak dapat tersalur secara wajar, maka mereka pasti akan berbuat sesuatu yang justru menguntungkan Sidanti. Bukan mustahil kalau Ki Tambak Wedi telah menyusun rencana sebaik-baiknya untuk menjebak mereka. Rencana penculikan itu pun mungkin adalah hasil dari perasan otak hantu tua itu. Karena itu maka yang harus dilakukannya adalah terlampau rumit. Meskipun demikian, Kiai Gringsing itu harus menemukan suatu pemecahan. Pemecahan yang tidak membahayakan Sekar Mirah, tidak merugikan Untara sebagai senopati yang mempunyai tanggung jawab yang besar. Bukan hanya sekedar soal Sekar Mirah saja, tetapi persoalan yang jauh lebih luas lagi, namun tidak pula menahan arus kemarahan anak-anak muda itu, Swandaru dan Agung Sedayu. Karena itu maka orang tua itu  pun berkata,
“Swandaru, marilah kita lihat persoalan ini dari beberapa kemungkinan. Di antaranya adalah, bahwa Ki Tambak Wedi telah mempergunakan Sekar Mirah sebagai perisai.”
“Tidak, Kiai,” sahut Swandaru,
“Sidanti benar-benar memerlukan Sekar Mirah sebagai kelanjutan hubungan mereka di kademangan ini dahulu. Dengan demikian maka sangat besar kemungkinannya bahwa Sekar Mirah akan tetap hidup. Tetapi akibat-akibat lain daripada itulah yang harus kami cegah.”
“Mungkin juga, tetapi ada juga kemungkinan yang lain. Kalau Sidanti harus lari meninggalkan padepokannya karena serbuan pasukan Sangkal Putung dan Pajang, maka Sidanti tidak akan sempat membawa gadis itu. Nah, daripada ia kehilangan Sekar Mirah, maka lebih baik baginya apabila Sekar Mirah itu dibinasakannya sama sekali. Itulah yang harus kita hindari.”
“Oh,” Swandaru memegang kepalanya dengan kedua tangannya,
“soal itu akan selalu kembali dan melingkar-lingkar. Tetapi kita tidak dapat membiarkannya dengan berbantah tanpa berbuat sesuatu di sini.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Muridnya itu agak terlampau berani menjawab setiap kata-katanya. Tetapi Kiai Gringsing yang sudah lanjut itu dapat mengerti, apakah sebabnya maka Swandaru dan Agung Sedayu itu seakan-akan menjadi kehilangan pengamatan diri.
Maka jawab orang tua itu kemudian,
“Karena itu Swandaru. Coba dengarlah, aku akan memberikan beberapa cara yang mungkin dapat ditempuh.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Kepada Untara ia berkata,
“Angger. Senapati di daerah ini adalah Angger Untara. Meskipun demikian perkenankanlah saya mengusulkan beberapa cara yang mungkin dapat ditempuh.”
“Silahkanlah, Kiai,” sahut Untara.
“Apakah pasukan yang sekarang mengawal orang-orang Jipang ke Pajang itu akan segera kembali dan bahkan bersama-sama dengan pasukan yang baru untuk Angger Untara?”
“Demikianlah menurut Ki Gede Pemanahan.”
“Bagus. Kalau yang berkata demikian adalah Ki Gede Pemanahan maka pasti akan terjadi,” sejenak Kiai Gringsing itu berhenti, kemudian diteruskannya,
“Kalau demikian, maka sebaiknya Angger Untara menunggu kedatangan pasukan itu di sini.”
“Kenapa harus menunggu Kiai,” potong Agung Sedayu,
“bagaimana kalau pasukan itu tidak segera datang?”
“Kita tinggal akan menemukan Sekar Mirah yang telah menjadi klaras. Menjadi daun yang telah kering tanpa arti,” sambung Swandaru.
“Tunggu dulu,” sahut Kiai Gringsing,
“bukan maksudku bahwa kita hanya menunggu saja sampai pasukan itu datang. Kita harus memperhitungkan, bahwa di belakang Sidanti dan Sanakeling itu berdiri Ki Tambak Wedi,” Kiai Gringsing itu terdiam sejenak. Tampaklah kerut-merut menjadi semakin dalam di dahinya. Kemudian ia berkata pula,
“Kita harus bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Agal atau pun halus. Karena itu pasukan Angger Untara itu sangat kami perlukan. Namun sementara itu kita tidak akan tinggal diam. Kita harus berusaha mendekati padepokan Ki Tambak Wedi dengan diam-diam. Nah, tugas itu dapat diserahkan kepadaku.”
“Bersama aku,” hampir bersamaan Agung Sedayu dan Swandaru berteriak.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baik, baik,” katanya,
“kami bertiga pergi mendahului pasukan Pajang. Tetapi pesanku Sangkal Putung jangan dikosongkan. Sangkal Putung harus tetap dijaga dengan kekuatan yang cukup. Ini adalah tugas Angger Widura. Mudah-mudahan kita dapat memecah perhatian Ki Tambak Wedi, seperti Ki Tambak Wedi berhasil membuat kepala kita menjadi pening. Mudah-mudahan perhatian Ki Tambak Wedi tertarik pada pasukan Untara yang segera akan mendekati padepokan mereka. Sementara itu kami bertiga mendapat kesempatan untuk mendekat. Mudah-mudahan kita akan dapat melihat setidak-tidaknya mendengar nasib Sekar Mirah.”

Pringgitan itu kini terdiam, seakan-akan ingin mencernakan kata-kata Kiai Gringsing itu. Beberapa orang saling berpandangan untuk mendapatkan pertimbangan, meskipun hanya lewat sorot mata masing-masing. Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesah. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Yang mula-mula berbicara adalah Widura, yang selama ini lebih mendengarkan daripada menyatakan pendapatnya, katanya,
“Apakah menurut pertimbangan Kiai, Ki Tambak Wedi masih akan kembali lagi ke kademangan ini? Apakah Ki Tambak Wedi mempunyai kepentingan yang sama seperti Tohpati terhadap Sangkal Putung?”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya,
“Aku kira demikian. Ki Tambak Wedi tidak akan dapat menyediakan makan yang cukup untuk waktu yang panjang kepada Sanakeling dan anak buahnya. Mereka pada suatu saat pasti memerlukan lumbung yang dapat disadap untuk kepentingan makan mereka.”
“Apakah tidak ada daerah yang lebih dekat dari Sangkal Putung, Kiai. Misalnya Jati Anom.”
“Tentu mungkin. Tetapi kenapa Tohpati memilih kademangan ini daripada kademangan-kademangan lain? Pasti Tohpati itu pun mempunyai alasan yang telah memaksanya berbuat demikian. Bukan mustahil bahwa Ki Tambak Wedi pun mempunya pilihan yang sama. Sebab menurut penilaian oang-orang di luar kademangan ini, di Sangkal Putung tersimpan kekayaan yang berlipat ganda dibandingkan dengan kademangan-kademangan yang lain, sehingga pengorbanan yang diberikan untuk merebut kademangan ini tidak akan sia-sia.”
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-angguk. Di dalam hati kecilnya terbersit pula secercah kebanggaan atas pujian itu, tetapi kebanggaan itu benar-benar harus ditebus dengan sangat mahal. Bahkan kini anak gadisnya harus direbutnya dari tangan orang-orang yang memuakkan itu.
Widura pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Seperti Ki Demang ia merasa, bahwa Sangkal Putung menelan tebusan yang mahal. Tetapi Widura adalah seorang prajurit. Seorang prajurit yang bukan saja harus mempertahankan lumbung-lumbung yang akan dapat memberi makan kepada lawan, tetapi prajurit memang harus melindungi hak dan milik rakyat. Bukan sebaliknya. Karena itu, seandainya Sangkal Putung itu tak ada apa-apa pun, adalah kewajiban setiap prajurit Pajang untuk menjaga dan melindunginya dari pihak-pihak yang dapat menelan daerah itu, memperkosa hak dan kemanusiaan.
Yang bertanya kemudian adalah Swandaru,
“Nah, apakah kita akan berangkat sekarang?”
“Jangan tergesa-gesa dan kehilangan perhitungan,” jawab gurunya.
“Beristirahatlah. Besok kita berangkat setelah kita membuat persiapan-persiapan secukupnya.”
“Kenapa besok, guru?” sahut Agung Sedayu.
“Waktu yang sekejap sangat berguna bagi kita. Yang sekejap itu akan dapat meluluhkan segenap masa depan bagi Sekar Mirah. Yang sekejap itu akan bernilai seumur hidupnya.”
“Itu kalau kita dapat memanfaatkan waktu yang sekejap itu,” sahut Kiai Gringsing.
“Tetapi kalau kita gagal sama sekali karena kita ditelan oleh nafsu, maka bagi kita bukan saja kehilangan waktu yang sekejap, tetapi kita akan kehilangan semuanya. Sekarang sebaiknya kita beristirahat. Kita dapat menilai pembicaraan ini. Mungkin kita akan menemukan pikiran-pikiran yang ternyata lebih bernilai dari pikiran-pikiran yang kita temukan dengan tergesa-gesa dalam pertemuan ini. Pertemuan yang lebih banyak dipengaruhi oleh nafsu kemarahan, kecemasan dan ketergesa-gesaan daripada perhitungan yang cermat. Apalagi perhitungan yang bersasaran luas. Hubungan yang bersangkut-paut dengan sikap Pajang terhadap Sanakeling dan Sidanti dan sikap Sangkal Putung atas hilangnya Sekar Mirah. Kita masing-masing tidak dapat memandang dari satu segi. Sebab kedua-duanya memiliki nilainya sendiri-sendiri yang tak dapat saling dipisahkan.”

Ki Demang Sangkal Putung menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk dapat mengerti keterangan itu. Keterangan Ki Tanu Metir. Ketika ia memandang Untara, maka anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Ki Tanu Metir benar-benar berpandangan cukup luas, mencakup segenap kepentingan yang dihadapi. Untuk mendapatkan Sekar Mirah bukan berarti dapat merusak segenap rencana sikap yang harus ditempuh oleh para prajurit Pajang. Sekar Mirah bagi Pajang hanya merupakan salah satu soal dari seribu macam soal yang harus di atasi. Meskipun demikian Untara tidak akan dapat mengabaikannya. Apalagi Untara menyadari, bahwa adiknya, Agung Sedayu dan Swandaru benar-benar terbakar oleh peristiwa hilangnya Sekar Mirah. Demikianlah maka akhirnya pertemuan itu pun dibubarkan. Swandaru segera pergi ke bilik ibunya. Ditemuinya ibunya masih juga menangis ditunggui oleh beberapa orang perempuan. Ketika dilihatnya Swandaru masuk ke dalam biliknya maka tiba-tiba tangisnya mengeras. Seakan-akan diteriakkan kepedihan hatinya sepuas-puasnya.
“Oh, anakku Ngger, kemana kau pergi selama ini? Sepeninggalmu ternyata adikmu hilang dicuri orang. Apakah kau akan membiarkannya saja? Apakah kau tidak akan berusaha untuk mengambilnya kembali? Swandaru, kalau adikmu tidak dapat diketemukan, o, lebih baik aku mati saja sama sekali.”
Dada Swandaru seakan-akan terbelah mendengar tangis ibunya. Dengan dada yang sesak ia berjongkok di samping pembaringan ibunya. Perlahan-lahan ia berkata,
“Ibu, aku berjanji bahwa aku akan mengambil Sekar Mirah kembali bersama kakang Agung Sedayu dan guru Kiai Gringsing. Aku tidak akan kembali sebelum aku membawa anak itu menghadap ibu.”
Mendengar janji anaknya, tangis ibunya bahkan seakan-akan meledak. Namun di antara suara tangisnya terdengar ia berkata,
“Tidak sia-sia aku melahirkanmu Swandaru. Kau adalah anak laki-laki yang harus dapat aku banggakan. Ayahmu menjadi semakin tua. Kaulah yempat kami bergantung. Juga kali ini.”
Terasa dada Swandaru itu seolah-olah menggelegak. Hampir-hampir ia kembali kehilangan pengamatan diri. Hampir-hampir ia meloncat dan berteriak, bahwa malam ini juga ia akan berangkat ke lereng Merapi. Tetapi kemudian kesadarannya berhasil mengekangnya. Ia tidak dapat memaksa gurunya berangkat sekarang. Ia pun tidak akan dapat berangkat sendiri masuk ke dalam sarang hantu Merapi itu. Karena itu, maka betapa dadanya menjadi sesak, namun ia harus bersabar sampai gurunya bersedia membawanya pergi. Bilik itu  pun kemudian sepi. Yang terdengar hanyalah isak tangis Nyai Demang yang sedang kehilangan anak gadisnya. Hilang diseret masuk ke dalam sarang yang penuh dengan serigala yang sedang kelaparan.
Ternyata sisa malam itu sama sekali tidak bermanfaat apa pun bagi pemimpin-pemimpin Sangkal Putung dan prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung. Mereka tidak berhasil menemukan pikiran-pikiran baru, meskipun mereka sama sekali tidak dapat memejamkan mata mereka. Dengan demikian mereka tidak juga dapat beristirahat.

Malam itu, di padepokan Ki Tambak Wedi, Sidanti duduk menunggui Sekar Mirah. Sekali-sekali terdengar isak gadis itu memecah kesenyapan. Namun kemudian yang terdengar adalah gemeretak giginya beradu. Tetapi betapa kemarahan memuncak di dalam dada Sekar Mirah, namun ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Tiba-tiba Sekar Mirah terkejut ketika ia mendengar suara Sidanti. Meskipun suara itu hanya perlahan-lahan, namun sudah cukup untuk menghentak dadanya.
“Mirah.”
Sekar Mirah berpaling. Dilihatnya mata Sidanti yang memerah liar seperti mata binatang buas yang ingin menerkam mangsanya.
“Kau sekarang berada di padepokanku. Di padepokan guruku. Kanapa agaknya kau tidak merasa senang di sini?”
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi sorot matanya mamancarkan kebencian yang tiada taranya.
“Kau tidak usah mengingkari, bahwa perasaan kita pernah bertaut. Betapapun orang lain menyebut aku sebagai seorang yang paling kotor di muka bumi ini, tetapi aku memiliki kesetiaan. Apakah kau juga memilikinya? Kau yang dikatakan orang sebagai sekar lati Kademangan Sangkal Putung itu?”
Sekar Mirah masih berdiam diri.
“Aku tidak akan dapat melupakannya Mirah. Aku sadar bahwa kedatangan setan kecil yang bernama Agung Sedayu itu telah mengganggu hubungan kita. Aku sadar pula, bukan saja hubungan kita telah diganggunya, tetapi namaku di mata orang-orang Sangkal Putung telah direbutnya. Anak itu berhasil memenangkan perlombaan memanah di alun-alun di muka Banjar Desa Sangkal Putung. Bahkan sebelumnya, kedatangannya untuk menyelamatkan Sangkal Putung telah mendesak kebanggaanku sebagai anak muda yang paling jantan di kademangan itu.” Sidanti berhenti sejenak. Ditatapnya wajah Sekar Mirah. Tetapi wajah itu seakan-akan menyala karena kemarahan yang membara di dalam dadanya.
“Mirah,” Sidanti meneruskan,
“itulah sebabnya maka dendamku kepadanya bertimbun-timbun sampai ke langit. Apalagi pada saat terakhir ini datang pamanku dari Menoreh. Adalah kebetulan sekali bahwa paman yang bernama Argajaya itu bertemu dengan tiga anak-anak muda di perjalanan. Aku tahu pasti bahwa kedua dari anak-anak muda itu pasti Agung Sedayu dan Swandaru. Mereka telah menghinakan Paman Argajaya itu pula. Sehingga kemarahanku tidak dapat lagi aku tahankan. Itulah sebab-sebab yang telah mendorongku mengambil kau dari Sangkal Putung.”
“Pengecut!” tiba-tiba Sekar Mirah itu berteriak sehingga Sidanti terkejut karenanya.
“Kau tidak berani berhadapan dengan sikap jantan dengan Kakang Agung Sedayu dan Kakang Swandaru yang pernah kau tampar pipinya beberapa kali itu, karena mereka kini telah menemukan guru yang dapat menyaingi gurumu. Sekarang kau hanya berani mengambil aku, seorang gadis yang lemah.”

Sidanti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa.
“Mirah, dengan mengambil kau dari Sangkal Putung aku akan mendapatkan beberapa kemenangan sekaligus. Bukankah dengan demikian adalah pertanda bahwa Sidanti mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang Sangkal Putung. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku dapat masuk ke dalam kademangan itu dan mengambilmu? Alangkah ringkihnya pertahanan kademangan itu sekarang sepeninggalku. Seorang gadis, puteri Demang Sangkal Putung masih juga sempat dilarikan orang.”
“Tutup mulutmu!” potong Sekar Mirah beras-keras.
Kembali Sidanti terkejut, tetapi kembali ia tertawa. Bahkan ia berkata,
“Bukankah cara ini merupakan cara yang paling baik untuk menantang salah seorang daripada kedua anak muda itu. Agung Sedayu atau Swandaru. Apabila mereka benar-benar jantan, maka mereka pasti akan mengambilmu kemari. Tetapi ternyata mereka tidak lebih dari betina-betina pengecut. Sudah lebih dari sehari semalam kau berada di padepokan ini, tak seorang  pun datang menyusulmu. Apa yang disebut pasukan Sangkal Putung dan prajurit-prajurit Pajang itu  pun sama sekali tidak berbuat sesuatu untuk membelamu.”
“Kau mengigau,” jawab Sekar Mirah.
“Kau mengambil kesempatan pada saat Kakang Agung Sedayu dan Kakang Swandaru tidak ada di kademangan. Kau hanya berani berbuat demikian selagi mereka tidak ada. Apakah dengan demikian kau merasa bahwa kau telah berbuat secara jantan. Bukankah kau sendiri betina pengecut tiada taranya?”
“Oh,” Sidanti mengernyitkan keningnya,
“jadi apakah saat ini Agung Sedayu dan Swandaru tidak ada di rumah? Aku sama sekali tidak mengetahuinya. Bahkan aku mengharap, bahwa aku akan dapat bertemu dengan mereka. Bertempur melawan keduanya di sarang mereka sendiri.”
“Bohong!” potong Sekar Mirah. “Kau sendiri mengatakan, bahwa pamanmu secara kebetulan bertemu dengan kedua anak-anak muda dari Sangkal Putung itu. Di mana mereka bertemu? Mereka sama sekali tidak bertemu di Sangkal Putung.”

Sidanti terkejut mendengar jawaban Sekar Mirah. Ia tidak menduga sama sekali bahwa gadis itu ternyata cukup cerdas menanggapi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Tak diduganya bahwa ia mampu mempertentangkan kata-katanya yang dianggapnya berlawanan. Tetapi sejenak kemudia Sidanti itu  pun berhasil menguasai perasaannya kembali. Dengan demikian maka ia menjadi tenang, dan bahkan kembali tertawa. Katanya,
“Mirah, aku tidak menyangka bahwa kau memiliki otak yang cerdas. Aku sangka kau hanya mampu mengingat macam-macam bumbu di dapur untuk bermacam-macam jenis masakan. Namun agaknya kau mampu juga menangkap tentangan-tentangan yang ada di sepanjang ceriteraku. Bagus. Baiklah aku berkata sebenarnya, bahwa memang Paman Argajaya bertemu dengan Agung Sedayu dan Swandaru di Prambanan. Tetapi, kemudian paman itu sudah berjalan sampai di padepokan Ki Tambak Wedi ini. Menurut perhitungan, maka jarak antara Prambanan kemari dan Prambanan ke Sangkal Putung tidak terlampau banyak terpaut. Sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu dan Swandaru pasti sudah ada di kademangan pada saat aku mengambilmu.”
“Bohong! Kau bohong! Kalau kau katakan, bahwa kau ingin bertemu dengan mereka, maka kau pasti sudah berdusta. Bukankah aku mempunyai ayah? Kalau kau jantan dan berkesopanan kau akan datang kepada ayah. Minta aku untuk kau bawa kemari. Kalau ayah tidak boleh, maka kau tantang ia berkelahi dalam perang tanding. Kalau ayah tidak bersedia melakukan sendiri, ayah dapat menunjuk orang lain. Kakang Untara misalnya atau Paman Widura yang pada saat itu berada di kademangan.”
Sidanti itu mengerutkan keningnya, namun kemudian ia menjawab,
“Perbuatanku ini  pun aku tujukan pula kepada mereka berdua. Apakah gunanya prajurit-prajurit Pajang itu berada di Sangkal Putung? Mereka hanya mampu menghabiskan beras rakyat Sangkal Putung tanpa dapat berbuat sesuatu. Kau, anak Demang Sangkal Putung, yang memberi para prajurit itu makan pagi, siang, dan malam, hilang tanpa seorang  pun yang mencarinya?”
Terdengar gigi Sekar Mirah gemeretak. Kemarahannya benar-benar telah mendidihkan segenap urat darahnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Hanya wajahnyalah yang menjadi merah menyala dan matanya bagaikan berlapis darah.
“Mirah,” tiba-tiba suara Sidanti menjadi lunak,
“kau tidak usah marah. Marilah kita kenang kembali masa-masa di mana kita selalu bersama-sama. Bukankah kau sering memijit pundakku apabila tanganku kelelahan dalam peperangan? Bukankah kau juga yang membalut lenganku yang terluka ketika aku berkelahi melawan Tohpati? Mirah. Aku tahu bahwa kau tidak dapat melupakan aku seperti aku tidak dapat melupakan kau.”
“Diam!” teriak Sekar Mirah. Tetapi Sidanti tertawa. Bahkan kemudian ia pun berdiri sambil menggeliat.
“Padepokan ini adalah padepokan guruku. Guruku tidak berputra dan berputri. Akulah muridnya dan aku pulalah anaknya. Aku mempunyai kekuasaan di sini seperti kekuasaan Ki Tambak Wedi sendiri. Nah, renungkan kata-kataku. Aku sengaja membawamu untuk banyak kepentingan. Memancing orang-orang Sangkal Putung untuk masuk ke dalam perangkapku, termasuk orang-orang Pajang. Dan apabila kau tetap berkeras kepala, maka aku akan mendapatkan kau dengan tidak ada rasa hormat sama sekali. Aku dapat berbuat apa saja.”

Dada Sekar Mirah hampir meledak karenanya. Tetapi sebelum ia menjawab, maka Sidanti itu  pun telah melangkah pergi meninggalkannya seorang diri.
“Tinggallah di situ sampai ada perubahan keadaan yang akan membawamu ke luar,” kata-kata itu terlontar dari sisi pintu yang sesaat kemudian telah didorong dan terbanting keras. Kembali Sekar Mirah tersekat dalam bilik tertutup. Kembali ia melihat dinding-dinding yang membatasi ruangan itu, seperti memisahkannya dari dunia yang membatasi ruangan itu. Tiba-tiba ia merasa terdampar ke dalam sebuah dunia yang asing. Dunia yang sempit yang dipenuhi oleh perasaan benci, dendam, muak, dan bahkan putus asa. Dada Sekar Mirah itu  pun semakin lama menjadi semakin sesak. Nafasnya seakan-akan tersumbat di kerongkongannya. Sejenak kemudian ia terhenyak dalam perasaan yang tidak menentu. Namun tiba-tiba ia pun berteriak sedemikian kerasnya sambil menjatuhkan dirinya telungkup ke atas sebuah amben bambu. Sekar Mirah itu kini sama sekali tidak dapat menahan tangisnya yang meledak-ledak tanpa dapat dikendalikan. Tetapi betapa kerasnya ia menangis, ia masih mendengar tiba-tiba pintu bilik itu  pun terbuka kembali. Ia melihat Sidanti dengan tergesa-gesa meloncat masuk sambil berteriak pula,
“Kenapa kau, Sekar Mirah?”
Oleh pertanyaan itu justru tangis Sekar Mirah terhenti. Diangkatnya kepalanya dan dipandanginya anak muda itu dengan sorot mata semerah nyala api.
“Pergi! Pergi kau pengecut! Kau hanya berani berbuat atas seorang gadis. Kalau kau jantan, ayo, tantang Agung Sedayu untuk berperang tanding!”
Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjadi berlega hati ketika ia melihat Sekar Mirah masih sanggup mengangkat wajahnya dan mengumpatnya.
“Kau mengejutkan aku Mirah, bahkan guruku  pun terkejut, sehingga disuruhnya aku menengokmu.”
“Aku tidak memerlukan kau.”
“Baik-baik. Kini kau tidak memerlukan aku. Tetapi suatu ketika kau akan merasa sepi. Dan kau akan menganggap aku adalah satu-satunya temanmu yang paling baik di sini.”
“Enyah, enyah kau dari sini!”
“Alangkah kerasnya hatimu Mirah. Tetapi hati yang keras itu  pun pasti akan lekas dapat aku patahkan.”
“Hanya mautlah yang dapat mematahkan hatiku,” bentak Sekar Mirah.

Mendengar jawaban itu hati Sidanti Berdesir. Disadarinya bahwa gadis yang berdiri di hadapannya itu adalah puteri Demang Sangkal Putung dan adik seorang anak muda yang bernama Swandaru Geni. Betapa keras hati ayah dan kakaknya, maka hati gadis ini pun pasti tidak jauh terpaut daripada mereka. Namun justru karena itulah, maka hasrat di dalam hati Sidanti untuk menaklukkannya pun menjadi semakin besar. Semakin keras sikap Sekar Mirah, maka semakin besar nyala api di dalam dada Sidanti. Sebagai seorang laki-laki yang kuat dan kasar, maka Sidanti merasa bahwa kesanggupan yang ada di dalam dirinya pasti mratani. Juga untuk menundukkan gadis ini. Sejenak kemudian maka kembali Sidanti tersenyum. Sambil melangkah ke pintu ia berkata,
“Baiklah Mirah. Aku menyadari bahwa yang aku hadapi kali ini adalah seorang gadis yang garang. Karena itu aku harus berhati-hati. Bukan saja berhati-hati, tetapi aku harus bersabar hati.”
Sekar Mirah kini tidak mau menjerit lagi. Ia tahu bahwa jeritnya pasti akan mengundang Sidanti itu masuk kembali ke dalam biliknya, apabila anak muda itu belum terlampau jauh.
“Lebih baik aku mati daripada di jamah oleh iblis itu,” desis Sekar Mirah di dalam hatinya. Tiba-tiba tangannya meraba ikat pinggangnya. Ia menjadi berlega hati ketika tangannya menyentuh sebuah benda yang kecil. Patremnya masih terselip diikat pinggangnya. Ternyata kemarin Sidanti tidak mengetahuinya, pada saat membawanya ke lereng ini dalam keadaan pingsan.
“Kalau ia mendekat, maka patrem ini akan membunuhnya atau membunuh diriku sendiri.”
Tetapi terasa bilik itu menjadi semakin sempit. Ketika kembali malam mencekam lereng Gunung Merapi, maka kembali bilik kecil itu menjadi gelap. Tetapi hati Sekar Mirah jauh melampaui gelapnya malam yang paling pekat sekalipun. Ketika Sekar Mirah mendengar pintu bergerit cepat-cepat ia bergeser menjauh. Tangannya segera melekat pada tangkai patremnya yang kecil. Tetapi patrem itu akan dapat mencapai jantungnya apabila ditusukkannya tepat di dada. Tetapi yang masuk adalah seorang yang bertubuh kecil. Dengan nanar ia memandangi seisi bilik itu. Ketika terlihat olehnya Sekar Mirah berdiri di sudut bersandar dinding, maka tampaklah seleret giginya yang kemerah-merahan oleh sinar pelita yang dibawanya.
“Heh, heh, heh,” terdengar orang kecil itu tertawa,
“aku mendapat tugas untuk memasang lampu ini Sekar Mirah. Jangan takut.”
Sekar Mirah tidak menyahut. Ia menjadi ngeri melihat wajah itu. Kecil tapi liar. Ketika orang yang bertubuh kecil itu telah meninggalkan biliknya, maka kepedihan di dalam dada Sekar Mirah menjadi semakin menyekat dadanya. Kini biliknya tidak lagi menjadi gelap. Sebuah pelita yang kecil telah terpancang di dinding. Tetapi justru sinar yang samar-samar itu telah menjadikan Sekar Mirah bertambah ngeri.
“Oh,” desahnya,
“kenapa aku terlempar ke dalam sarang hantu-hantu semacam ini.” Namun ketika terasa dadanya mendesak air matanya menetes, ditahannya hatinya. Ia harus tetap dapat menguasai dirinya. Ia harus tetap melihat dan mendengar keadaan di sekitarnya.
“Aku tidak boleh tenggelam,” desahnya.

Pada saat yang bersamaan, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu menunggu di depan pendapa Kademangan Sangkal Putung dengan gelisah. Keberangkatan mereka tertunda karena perkembangan keadaan di Sangkal Putung. Hari itu datang seorang pesuruh dari Pajang yang mengabarkan bahwa pasukan Pajang sedang di perjalanan.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar