Jilid 019 Halaman 3


Ketika Swandaru mendengar Sutawijaya bersungguh-sungguh, maka ia kini tidak mau lagi memotong, meskipun ia menahan kegelian di dalam dirinya. Tetapi seperti yang telah disangka, Daruka tidak akan mudah percaya. Bahkan kemudian ia  pun bersiap dengan pedangnya. Sekali ia memandang berkeliling.
Sutawijaya menarik nafas. Tetapi ia mempunyai rencana yang baik dengan orang ini. Dengan orang terkuat di hutan Tambak Baya ini. Karena itu, maka katanya,
“Daruka, aku mendengar, bahwa kau adalah orang yang terkuat di antara para penyamun di hutan ini. Karena itu, maka kau sebenarnya dapat membantu kami, para prajurit Wira Tamtama. Kau dapat menebus dosa ini dengan perbuatan yang menguntungkan dirimu dan menguntungkan kami. Aku akan menanggungmu, bahwa kau kelak akan mendapat kedudukan yang baik. Bahkan mungkin kau akan dapat menjadi seorang bekel.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Sutawijaya. Tetapi lamat-lamat mereka dapat menerka maksud anak muda yang akan memiliki hutan Mentaok dan Tambak Baya itu. Apalagi Kiai Gringsing. Orang tua itu  pun tersenyum di dalam hati sambil bergumam lirih,
“Alangkah tajamnya otak putera Ki Gede Pemanahan ini,”
Tetapi agaknya Daruka sendiri merasa, bahwa Sutawijaya telah menghinanya. Sehingga karena itu maka sekali lagi ia menggeram sambil berkata,
“Persetan ocehanmu. Apakah kau Panglima Wira Tamtama, apakah kau Adipati Pajang, aku tidak peduli. Aku adalah raja di sini. Semua harus tunduk kepada perintah dan kemauanku.”
“Kau mencoba menipuku. Bagaimana dengan gerombolan-gerombolan lain yang merasa dirinya raja pula di sini?”
Wajah Daruka menjadi merah padam. Katanya,
“Tak ada yang berani melawan Daruka. Semua gerombolan akan dapat aku binasakan satu demi satu kalau aku mau.”
“Kenapa hal itu tidak kau lakukan? Ternyata kau tidak mampu berbuat demikian. Bahkan kadang-kadang anak buahmu sendiri dapat disergap dan dikalahkan.”
“Memang, mereka dapat berbuat demikian dengan licik. Tetapi Daruka belum pernah dengan sungguh-sungguh mencoba membinasakan mereka. Asal mereka tidak mengganggu secara langsung kerajaanku, maka aku tidak terlalu bernafsu membinasakan mereka. Orang-orangku masih aku perlukan untuk kepentingan lain.”
“Sekarang aku datang untuk menaklukkan kerajaanmu, atas nama Panglima Wira Tamtama di Pajaag,” sahut Sutawijaya.

Kesabaran Daruka kini telah sampai pada batasnya. Terdengar ia bersuit nyaring. Mendengar aba-aba itu beberapa orangnya segera mendesak maju dengan senjata-senjata mereka siap menembus tubuh lawannya. Tetapi lawannya ternyata benar-benar di luar dugaan mereka. Dengan lincahnya Sutawijaya meloncat mendesak Agung Sedayu sambil berkata,
“Serahkan orang ini kepadaku. Tolong, tundukkan orang-orangnya. Jangan kau binasakan mereka. Beri mereka kesempatan untuk hidup dan menyesali perbuatannya.”
Segera Agung Sedayu dapat menangkap maksud itu. Swandaru yang gemuk dan hanya berbuat seenaknya sendiri itu  pun dapat mengerti pula, sehingga betapa perasaannya sendiri melonjak-lonjak, namun ia mencoba mengekangnya. Kiai Gringsing yang berada di antara anak-anak muda itu menjadi termangu-mangu. Tetapi terdengar Sutawijaya berkata
”Kiai, apakah Kiai sudi bermain-main dengan kami?”
Kiai Gringsing tersenyum. Sementara itu ia melihat ketiga anak-anak muda dari Sangkal Putung itu sudah melibatkan diri dalam perkelahian melawan Daruka dan orang-orangnya. Sutawijaya sendirilah yang kini berhadapan dengan pemimpin gerombolan yang ditakuti oleh gerombolan-gerombolan Iain seisi hutan Tambak Baya dan Mentaok. Demikianlah, maka segera terjadilah perkelahian yang riuh antara anak-anak muda dari Sangkal Putung bersama Kiai Gringsing, melawan gerombolan Daruka yang langsung dipimpin oleh kepala gerombolannya sendiri. Daruka, yang namanya menakutkan di segenap sudut Alas Mentaok dan Tambak Baya. Tetapi kali ini yang dihadapinya bukan sekedar seorang pengawal dari padesan di ujung hutan. Tetapi yang dihadapinya adalah putera Panglima Wira Tamtama itu sendiri. Dengan demikian maka Daruka itu benar-benar terkejut. Hampir tidak kasat mata, maka tombak Sutawijaya telah memukul-mukul senjatanya.
“Gila,” geramnya. Meskipun anak muda itu membawa busur yang bersilang di punggungnya, serta endong panah di lambungnya, namun geraknya sama sekali tidak terganggu olehnya. Kelincahannya dan kecepatannya benar-benar mengagumkan kepala gerombolan yang garang itu. Di sisi lain, Agung Sedayu telah memutar pedangnya pula, sedangkan di sisi yang lain lagi Swandaru berkelahi sambil tertawa. Kiai Gringsing yang tua itu  pun tidak ketinggalan, tetapi karena ia tidak membawa pedang, maka ia berkelahi dengan tangannya. Salah seorang gerombolan itu berteriak,
“He, orang tua bangka. Apakah kau mau mati pula.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi begitu mulut orang itu terkatup, ia terkejut bukan buatan. Yang terasa olehnya adalah suatu dorongan yang keras. Hampir saja ia terlempar jatuh. Tetapi beruntunglah ia segera mampu berpegangan sebatang perdu. Tetapi matanya tiba-tiba terbelalak ketika ia melihat senjatanya telah berpindah ke tangan orang tua itu.
“Terima kasih,” berkata Kiai Gringsing.
Swandaru tertawa melihat perbuatan gurunya. Katanya,
“Kiai, tolong, ambilkan pula bagiku.”
“Hus!” kembali terdengar Agung Sedayu berdesis. Tetapi Swaudaru itu justru tertawa berkepanjangan.

Orang-orang Daruka itu  pun kemudian berdesakan maju bersama-sama, sehingga Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing harus bertempur melawan beberapa orang bersama-sama. Hanya Daruka sendirilah yang justru membentak-bentak ketika beberapa orang mencoba membantunya.
“Pergi!” teriaknya.
“Aku ingin membunuh anak ini dengan tanganku sendiri, tanpa kau ganggu sama sekali.“ Namun Daruka sendiri tidak meyakini kata-katanya Apalagi ketika tiba-tiba tangannya menjadi pedih. Hampir saja senjatanya terlepas dari tangannya. Beruntunglah ia bahwa ia masih mampu mempertahankannya. Dalam pada itu Sutawijaya  pun bergumam di dalam hatinya,
“Pantaslah kalau orang ini ditakuti oleh gerombolan-gerombolan lain di hutan ini. Tandangnya cukup meyakinkan. Tetapi ia harus segera dapat dijinakkan. Aku harus memberi kesan kepadanya, bahwa apa yang dilakukan sama sekali tidak berarti bagiku.”
Dengan demikian, maka Sutawijaya pun segera memperketat serangannya. Bergulung-gulung seperti ombak menghantam tebing. Adalah di luar dugaan Daruka, bahkan mimpi pun tidak, bahwa akan dijumpainya lawan setangkas anak muda itu. Bahkan belum pernah ia berkelahi dengan orang yang memiliki ketangkasan, kelincahan, dan keperkasaan seperti lawannya kini. Dengan demikian maka ia bergumam di dalam hatinya,
“Mungkin benar apa yang dikatakannya, bahwa ia adalah seorang prajurit Pajang.”
Tetapi kini ia sudah tidak mendapat kesempatan untuk menghindar. Ketika sekali ia sempat melihat orang-orangnya, maka ia pun terkejut bukan buatan. Duabelas orang-orangnya itu sama sekali tidak mampu mendesak ketiga orang lawannya. Orang yang tua itu  pun masih juga mampu berkelahi melawan beberapa orang-orangnya sekaligus. Sejenak kemudian Daruka itu  pun menjadi bingung. Ia tidak dapat mundur. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ia beserta anak buahnya itu pasti tidak akan mampu melawan ketiga anak-anak muda itu beserta seorang tua bangka. Maka jalan satu-satunya yang dapat dipilihnya untuk menyelamatkan diri adalah lari. Lari meninggalkan arena pertempuran itu. Bagi Daruka, maka nilai-nilai harga diri sama sekali tidak akan diperhitungkan. Bahkan mengorbankan anak buahnya pun termasuk kebiasaan pula baginya. Demikian pula kali ini. Ketika tekanan lawannya menjadi semakin ketat, maka Daruka itu pun telah mencoba mencari jalan yang mungkin akan dapat dilaluinya untuk menyelamatkan diri. Tetapi Sutawijaya melihat gelagat itu, baginya untuk menjatuhkan kepala gerombolan yang paling ditakuti itu ternyata tidak terlampau sulit. Dengan demikian, ketika Daruka itu telah bersiap-siap untuk lari terdengar Sutawijaya bergumam,
“Ayo, akan lari ke manakah kau? Apakah seorang yang namanya menggelegar di seluruh hutan Tambak Baya dan Mentaok ini akan tinggal-glanggang colong-playu. Apakah kau tidak malu terhadap dirimu sendiri, Daruka.”
Terdengar Daruka menggeram. Katanya,
“Aku tidak pernah meninggalkan arena sebelum lawanku menjadi mayat atau aku sendiri yang mati.”

Kembali mereka dikejutkan oleh suara Swandaru tertawa terputus-putus. Sambil menggerakkan pedangnya ia berkata,
“He Daruka. Apakah kau mengigau? Aku percaya bahwa kau belum pernah meninggalkan gelanggang dalam keadaan hidup. Jadi apa yang selalu kau lakukan adalah melarikan diri setelah kau mati.”
“Setan!” terdengar Daruka menggeram. Bahkan kemudian orang itu  pun mengumpat tak habis-habisnya. Namun justru suara tertawa Swandaru menjadi semakin keras. Lawan-lawannya sama sekali tidak mampu berbuat apa pun atasnya. Sambil tertawa dan berkelakar Swandaru telah membuat lawan-lawannya menjadi pening. Bahkan seorang dari antara mereka telah terluka. Agung Sedayu terpaksa berkelahi melawan lima orang. Tetapi kelimanya  pun tidak dapat mendesak anak muda itu, meskipun untuk melawannya, Agung Sedayu harus bekerja jauh lebih keras daripad Swandaru. Mungkin anak buah Daruka itu mencoba suatu cara untuk menjatuhkan lebih dahulu lawannya seorang demi seorang, untuk kemudian melenyapkan semuanya berturut-turut. Tetapi ternyata yang seorang itu pun tidak dapat dikalahkannya. Sedang Kiai Gringsing yang tua itu pun harus berkelahi dengan beberapa orang pula. Dengan sekedar melayani dan mempertahankan dirinya, Kiai Gringsing sama sekali tidak banyak berbuat. Ia menunggu saja Sutawijaya mengalahkan lawannya, dan berbuat menurut rencananya. Yang ditunggu Kiai Gringsing itu pasti segera akan terjadi. Sebab Daruka kini benar-benar kehilangan segala kesempatan. Apalagi kesempatan menyerang, kesempatan untuk mempertahankan dirinya pun telah hampir tidak dapat dilakukannya.
“Jangan lari,” gumam Sutawijaya ketika ia melihat Daruka selalu mencoba menarik diri.
“Aku bukan pengecut,” teriak Daruka
“Huh,” sahut Sutawijaya.
“Jawabanmu lebih memalukan dari perbuatanmu. Apakah kau telah melupakan kata-katamu sendiri bahwa hanya mautlah yang dapat memaksamu untuk menyerah? Kenapa kau kini akan melarikan diri?”
“Setan tetekan!” mulut Daruka menghamburkan sumpah serapah tidak karuan.
“Aku akan membunuhmu.”
Tetapi kata-katanya terputus. Tangkai tombak Sutawijaya tiba-tiba mengenai kepalanya yang botak, yang sama sekali tidak ditutupinya dengan ikat kepala. Sekali lagi Daruka menyumpah-nyumpah semakin kotor. Namun sekali lagi kepalanya yang botak itu terpukul oleh tangkai tombak Sutawijaya.
“Aku baru mempergunakan tangkai tombakku,” berkata Sutawijaya.
“Ayo, lebih baik menyerahlah. Aku tidak akan membunuhmu.”
Daruka membelalakkan matanya. Tetapi ia masih berkata,
“Daruka hanya menyerah kepada maut.”

Kini bukan sekedar tangkai tombak Sutawijaya mengenai kepalanya, tetapi tiba-tiba pedang Daruka tergetar keras. Tangannya tiba-tiba terasa nyeri bukan buatan. Ketika ia mencoba memperbaiki genggamannya, sekali lagi pedangnya terasa tersentuh senjata lawannya. Kali ini ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Pedangnya terlontar beberapa langkah daripadanya dan jatuh tergolek di tanah yang lembab. Daruka kini berdiri dengan gemetar. Kemarahannya masih mencengkam dadanya, tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ujung tombak Sutawijaya melekat di dadanya yang berbulu lebat.
“Apa katamu?” bertanya Sutawijaya.
Daruka menggeram. Tetapi ketika ujung tombak lawannya tertekan semakin keras, Daruka itu  pun menyeringai.
“Apakah kau hanya menyerah terhadap maut?”
Daruka tidak menjawab. Sementara itu kawan-kawannya masih juga berkelahi. Namun ketika mereka melihat lurah mereka sudah tidak berdaya, maka hati mereka  pun segera berkeriput. Anak buah gerombolan itu belum pernah melihat lurahnya berdiri kaku tegang tanpa dapat berbuat apa-apa karena ujung senjata lawan yang melekat di tubuhnya. Apalagi ketika sambil tertawa Swandaru berkata,
“Ayo, apa yang akan kalian lakukan. Lihat kepalamu telah menyerah.”
Dalam pada itu Sutawijaya  pun berkata pula,
“Ayo, lekas katakan apakah kau hanya menyerah terhadap maut?”
Daruka tidak juga segera menjawab. Tetapi ia menahan nafasnya ketika ujung tombak Sutawijaya menekan semakin keras.
“Kalau kau menyerah, maka perintahkan orang-orangmu berhenti melakukan perlawanan. Kalau tidak, maka satu persatu kalian akan aku penggal kepala kalian dan akan kutancapkan di ujung hutan ini sebagai pertanda bahwa Daruka kini sudah tidak menakutkan lagi.”
Terasa dada kepala penyamun yang menakutkan itu berdesir. Betapa tabah hatinya, namun ancaman itu mendirikan bulu kuduknya.
“Cepat!” bentak Sutawijaya.
“Pilihlah. Menyerah atau mati. Kalau kau malu mengakui kekalahanmu, maka kau dapat memberi perintah saja kepada anak buahmu supaya menyerah.”
Daruka masih juga ragu-ragu. Namanya yang menakutkan selama ini telah menahannya untuk tidak segera melakukan perintah itu. Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar sebuah pekik kesakitan. Ketika mereka berpaling, mereka melihat salah seorang yang berkelahi melawan Swandaru meloncat surut sambil memegangi lengannya yang berdarah.
“Nah,” berkata Sutawijaya,
“lihat, seorang anak buahmu terluka. Apakah kau menunggu mereka terbunuh?”

Daruka itu masih ragu-ragu. Sekali dipandanginya wajah Sutawijaya dan sekali dilontarkannya pandangan matanya berkeliling kepada anak buahnya yang sedang berkelahi itu. Tetapi sekali lagi terasa unung senjata Sutawijaya itu semakin menekan dadanya dan terdengar Sutawijaya membentak tidak sabar.
“Cepat, atau kau benar ingin mati.”
“Tidak,” tiba-tiba Daruka itu menjawab terbata-bata.
“Cepat, perintahkan kepada orang-orangmu.”
“Baik. Baik,” berkata kepala gerombolan itu, yang kemudian berteriak dengan penuh kebimbangan,
“Hentikan perlawanan!”
Beberapa orang Daruka yang sudah merasa, bahwa mereka tidak akan mampu melawan, tidak menunggu perintah itu terulang. Segera mereka berloncatan mundur menjauhi lawannya. Agung Sedayu, Swandaru, dan Ki Tanu Metir pun segera menghentikan perkelahian pula. Mereka sama sekali tidak mengejar lawan-lawan mereka, dan membiarkannya berdiri termangu-mangu meskipun senjata mereka masih tetap di dalam genggaman.
“Nah,” berkata Sutawijaya, “sekarang jawablah pertanyaanku. Apakah kau menyerah atau tidak?”
Mulut Daruka kembali terbungkam. Hanya matanya sajalah yang berkeredipan seperti anak burung yang menunggu induknya.
“He, apa katamu?” bertanya Sutawijaya mengejut.
Daruka itu pun terperanjat sehingga terhenyak selangkah surut. Tetapi ujung tombak Sutawijaya masih mengikutinya.
“Jawab!” bentak Sutawijaya.
“Ya,” akhirnya Daruka menjawab penuh keragu-raguan.
“Kau ragu-ragu.”
“Ya.”
“He?”
“Oh, tidak,” Daruka itu tergagap.
“Sekarang katakan. Apakah kau menyerah atau tidak?”
“Ya, aku menyerah.”
“Nah. Ternyata harga dirimu masih kalah bernilai dari nyawamu. Apakah kau benar-benar menyerah?”
“Ya.”
“Aku dapat mempercayaimu?”
“Ya.”

Sutawijaya menarik nafas. Jawaban orang itu sama sekali tidak meyakinkannya. Memang kemungkinan yang paling dekat adalah, Daruka sekedar mencoba menyelamatkan dirinya. Tetapi meskipun demikian Sutawijaya ingin mencobanya. Katanya,
“Daruka. Apakah kau benar orang yang paling ditakuti di hutan Tambak Baya dan Mentaok ini?”
Daruka kembali menjadi ragu-ragu. Tetapi ia menjawab,
“Ya. Demikianlah kata orang.”
“Ketahuilah Daruka. Kau memang seharusnya dimusnahkan dari hutan ini. Tak ada cara yang lebih baik daripada membunuhmu dan memenggal lehermu untuk ditanjir di mulut hutan ini.”
“Tetapi,” wajah Daruka tiba-tiba menjadi pucat.
“Apakah yang lebih baik menurut pendapatmu?” bertanya Sutawijaya.
Daruka menjadi makin pucat.
“Apakah kau mempunyai cara yang lebih baik daripada ditanjir di mulut hutan untuk mengabarkan bahwa orang-orang yang ingin menyeberangi hutan ini tidak perlu takut lagi kepada Daruka?
“Tetapi, tetapi, bukankah aku udah menyerah?”
“Kau menyerah di hadapanku. Apabila aku pergi, maka tak ada lagi yang kau takuti.”
“Aku tidak akan ingkar. Aku menyerah.”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Namun kembali ia bergumam seperti kepada diri sendiri,
“Mustahil. Mustahil orang semacam Daruka ini dapat dipercaya. Mulutnya baru dapat dipercaya apabila ia sudah tidak dapat berkata sepatah kata pun lagi.”
Tiba-tiba Daruka yang kekar itu menjadi gemetar.
“Jangan kau bunuh aku. Aku kira tidak akan banyak gunanya. Bukan hanya aku sendiri perampok dan penyamun di hutan ini.”
“He,” bentak Sutawijaya,
“kau ingin hidup karena bukan hanya kau sendiri perampok di dalam hutan ini?”
Adalah menggelikan sekali tampaknya bahwa seorang yang bertubuh segagah Daruka dapat menjadi gemetar dan ketakutan. Wajahnya kini benar-benar menjadi seputih kapas. Sekali lagi ia merengek seperti kanak-kanak yang melihat bapanya menggenggam cemeti.
“Ampun, Tuan. Ampun.”

Sutawijaya memandanginya dengan tajamnya. Kemudian memandang beberapa anak buah Daruka. Aneh. Mereka  pun menjadi gemetar dan ketakutan. Wajah-wajah mereka  pun menjadi seputih kapas.
“Hem,” desah Sutawijaya,
“aku sangka kalian tidak mengenal takut, meskipun berhadapan dengan maut.”
“Tuan,” berkata Daruka,
“kami bukan seorang prajurit. Kami berkelahi sekedar untuk mendapat makan. Sedang prajurit bertempur untuk kewajiban. Karena itu, maka mungkin Tuan sebagai seorang prajurit tidak takut mati dalam kewajiban Tuan. Tetapi kami ingin bahwa kami tidak mati hanya karena kami sedang mencari sesuap nasi.”
Betapa tegang hati Sutawijaya, namun ia harus tertawa di dalam hati mendengar kata-kata Daruka.
“Karena itu, Tuan,” Daruka meneruskan, “kami mohon ampun.”
“Daruka,” sahut Sutawijaya,
“mungkin kau sekarang menyadari bahwa seakan-akan tidaklah seimbang kesalahanmu dengan hukuman mati itu, karena kau hanya sekedar mencari makan untuk hidupmu. Tetapi bagaimana dengan para pengawal itu? bukankah mereka  pun bekerja sekedar untuk mendapatkan upah yang berarti sekedar untuk mendapatkan sesuap nasi juga? Apakah sudah selayaknya bahwa kau berkeras hati untuk mencarinya dan kemudian membunuh mereka karena mereka telah melawan anak buahmu dan mengalahkannya?”
“Aku tidak akan membunuh mereka, Tuan. Tidak.”
“Untuk apa kau cari mereka?”
“Kami hanya akan mencari siapakah yang telah mencelakai orang-orangku.”
“Ya, untuk apa?” bentak Sutawijaya.
Orang yang botak itu menundukkan kepalanya.
“Daruka,” berkata Sutawijaya kemudian.
Daruka mengangkat wajahnya.
“Wajahmu seram. Tubuhmu pun cukup mengerikan. Kau memang pantas bernama Daruka, seorang yang menakutkan di hutan Tambak Baya dan Mentaok. Seorang yang paling ditakuti oleh gerombolan-gerombolan lain di alas ini.”
Daruka tidak menjawab. Ia tidak tahu, apakah maksud Sutawijaya sebenarnya.
“Apakah kau sudah benar-benar menyerah?”
“Ya, Tuan,” sahut Daruka serta-merta.
“Dan menyesal?”
“Ya, Tuan.”
“Daruka, dengarlah baik-baik,” berkata Sutawijaya bersungguh-sungguh.
“Kau dengar bahwa sebentar lagi hutan ini akan dibuka menjadi sebuah negeri?”
“Ya, Tuan.”
“Nah, dengan demikian maka setiap kotoran yang ada di dalam hutan ini harus dibersihkan lebih dahulu. Panglima Wira Tamtama yang akan memiliki hutan ini tidak mau melihat orang-orang semacam kau ini tinggal di dalam hutan ini.”
“Aku akan pergi, Tuan.”
“He,” Sutawijaya membelalakkan matanya,
“begitu mudahnya? Kau menyamun dan merampok. Setelah kau tertangkap begitu saja kau pergi? Tidak. Kau pun pasti akan menyamun dan merampok di tempat lain sebab kau tidak punya pekerjaan tertentu.”
“Tidak, Tuan. Aku akan mencoba mencari tanah pertanian dengan anak buahku. Aku akan hidup bercocok tanam bersama dengan mereka.”
“Sementara ini kau tidak akan dapat melakukannya. Kau adalah seorang yang biasa hidup dengan berkelahi,” jawab Sutawijaya.
“Apalagi kau tertangkap saat kau melakukan perlawanan. Lain halnya kalau kau menyerah sebelum aku menarik pedang dari sarungnya.”
“Ampun, Tuan.”
“Kau harus dihukum.”
“Tetapi aku minta diampuni, Tuan. Aku masih belum ingin mati.”
“Orang-orang yang kau rampok dan kau bunuh pun belum ingin mati.”

Daruka terdiam. Beberapa titik keringat dingin menetes pada pundaknya. Tubuh yang gemetar itu menjadi kian menggigil.
“Daruka,” berkata Sutawijaya seterusnya,
“kau harus menerima hukuman. Kalau kau benar menyesal atas segala tingkah lakumu, maka kau harus dapat memenuhi beberapa syarat supaya kau tidak dihukum mati.”
Daruka mengangkat wajahnya. Tampaklah sebersit harapan di dalam wajahnya.
“Apakah syarat itu, Tuan?”
“Tetapi jangan mencoba melepaskan diri dari tanganku dan tangan Wira Tamtama.”
“Tidak, Tuan.”
“Tidak aka nada gunanya. Aku akan selalu dapat mengawasimu dan menangkap kau setiap saat. Kau tidak dapat mengalahkan aku, apalagi para pemimpin Wira Tamtama lainnya.”
“Ya, Tuan.”
“Nah, dengarlah syarat itu. dalam waktu yang dekat, sebelum hutan ini mulai dibuka, maka kau harus sudah menyelesaikan syarat itu. Kau harus mampu menangkap semua orang yang menjadi penyamun dan perampok di dalam hutan ini. Kau dan orang-orangmu harus mampu menumpas semuanya. Tetapi ingat. Aku tidak memerintahkan kepadamu untuk menumpas orang-orangnya, tetapi perbuatannya. Apakah kau dapat mengerti? Hanya apabila perlu kau boleh mempergunakan pedangmu. Kau mengerti?”
Wajah Daruka yang telah memutih kapas itu kini mulai dialiri oleh darahnya kembali. Ditatapnya wajah Sutawijaya seakan-akan ia ingin mendengar ketegasan dari kata-katanya.
“Apakah yang harus kau lakukan?”
“Membinasakan setiap gerombolan yang ada di hutan ini.”
“Tetapi jangan berlaku seperti apa yang pernah kau lakukan. Ingat, alangkah ngerinya menghadapi maut. Kau sendiri telah melupakan kejantanan dan kesombonganmu ketika kau sudah mulai dijamah oleh bahaya maut itu.”
“Kau dengar kata-kataku?” bertanya Sutawijaya.
“Ya, Tuan. Aku mendengar,” jawab Daruka.
“Kau mengerti?”
Daruka termangu-mangu sebentar. Tiba-tiba ia mengangguk.
“Ya, Tuan aku mengerti.”
Daruka mengerutkan keningnya.
“Kau merasa tidak seimbang bahwa kau harus mati karena sesuap nasi. Demikian pula orang-orang lain. Gerombolan-gerombolan yang lain. Tundukkan mereka, kalau mungkin tanpa pepati. Bawalah mereka memilih tanah yang paling baik di seluruh hutan Mentaok. Bukalah hutan itu, kalian akan mendapat hak untuk bertempat tinggal di sana kelak apabila tempat ini menjadi ramai. Kau mengerti?”
“Ya, aku mengerti,” sahut Daruka sambil mengangguk lemah. Ia tahu benar apa yang harus dilakukan. Mengalahkan gerombolan-gerombolan yang ada di hutan ini sejauh mungkin tanpa melukai kulit mereka. Apakah ia mampu berbuat seperti anak muda itu? tetapi Daruka tidak lagi bertanya.
“Nah, lakukan perintahku baik-baik. Dengan demikian kau telah menyelamatkan dirimu sendiri. Memberi harapan kepada kedamaian hatimu sendiri di masa-masa mendatang. Apakah apabila otot-ototmu telah menjadi rapuk dimakan umur, kau masih juga merasa orang yang paling ditakuti di hutan ini? Dan apakah kau masih merasa mampu mencari sesuap nasi dengan pedang di genggaman?”
“Ya, Tuan,” Daruka mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mulai hari ini kau sudah dapat melakukan pekerjaanmu. Tetapi ingat, jangan mencoba melepaskan diri dari pengawasan Wira Tamtama. Kalau kau lancang kali ini, maka hukumanmu bukan sekedar dipancung di alun-alun, tetapi kau akan dirampog setelah kau diadu melawan harimau di alun-alun. Kalau kau juga tidak mati, maka kau akan dihukum picis. Kau dengar?”

Meskipun Daruka selama ini tidak pernah ngeri mendengar nama harimau, namun diadu dengan harimau di alun-alun untuk mengganti rampogan adalah tidak menyenangkan sama sekali. Apabila ia masih hidup maka hukuman picis telah menunggu. Adalah tidak menyenangkan mati di celah-celah gigi harimau atau mati tersayat-sayat dalam menjalani hukuman picis. Karena itu maka ia tidak mempunyai pilihan lain dari bertempur melawan setiap gerombolan yang ada di hutan Tambak Baya dan Mentaok. Hampir setiap gerombolan telah dikenalnya dengan baik. Dan tak seorang  pun yang perlu dicemaskannya apabila mereka berhadapan beradu dada.
“Nah, apakah kau sanggup melakukan?” bertanya Sutawijaya.
Daruka tersentak mendengar pertanyaan itu. dengan serta-merta ia menjawab,
“Ya, Tuan. Aku sanggup.”
“Bagus,” berkata Sutawijaya pula.
“Pergilah. Lakukan perintah ini. Tetapi kau jangan berbuat semena-mena dan menyalahgunakan perintahku. Aku tidak memerintahkan kepadamu untuk mengadakan pembantaian dan pembunuhan besar-besaran. Kalau mungkin selesaikan dengan pembicaraan. Kau dapat menceriterakan kepada mereka apa yang kau alami. Kau dapat memberitahukan bahwa sebentar lagi sepasukan Wira Tamtama akan menjelajah seluruh isi hutan ini.”
“Ya, ya aku mengerti, Tuan,” sahut Daruka.
“Kalau demikian, pergilah. Bawa orang-orangmu. Apakah orang-orangmu hanya sebanyak dua belas orang ini?”
“Tidak, Tuan. Aku mempunyai lebih dari duapuluh lima kawan. Aku mengharap mereka dapat mengerti apa yang harus aku lakukan. Dan aku harap mereka dapat membantuku.”
“Bagus,” desis Sutawijaya,
“sekarang pergilah. Di Cupu watu, Nglipura, Mangir, Menoreh, tersebar prajurit-prajurit Wira Tamtama. Kalau kau ingkar, maka kau pasti akan menyesal.”
“Tidak, Tuan. Aku tidak akan ingkar. Berkelahi melawan gerombolan yang ada di hutan ini bagiku adalah jauh lebih ringan daripada berkelahi melawan Wira Tamtama seperti Tuan.”
Sutawijaya tersenyum di dalam hati. Kemudian sekali lagi ia berkata,
“Pergilah. Kumpulkan orang-orangmu, dan mulailah melakukan pekerjaanmu itu.”
“Baik, Tuan. Kami, seluruh orang-orangku mengucapkan beribu terima kasih atas kesempatan yang Tuan berikan kepada kami.”
“Jaga kepercayaan ini baik-baik.”
“Ya, Tuan.”

Sejenak kemudian Daruka beserta orang-orangnya  pun segera meninggalkan mereka. Satu-satu mereka menghilang ke dalam semak-semak. Satu dua di antara mereka masih juga berpaling memandangi wajah anak-anak muda itu. tetapi segera mereka membuang pandangan mata ketika mereka melihat Swandaru yang gemuk mencibirkan bibirnya.
“Mudah-mudahan usaha ini berhasil,” gumam Sutawijaya.
“Anakmas cukup cerdik,” sahut Kiai Gringsing.
“Aku kira Daruka benar-benar ketakutan. Ia pasti akan melakukan perintah itu, mudah-mudahan ia berhasil. Nanti Anakmas akan membuka hutan ini dengan tenteram. Orang-orang yang berdatangan tidak lagi takut mendapat gangguan dari para penyamun dan perampok. Untuk membasmi mereka dengan cepat, alangkah sulitnya. Sekarang Anakmas mendapat alat yang sebaik-baiknya untuk melakukan pekerjaan itu, dan pasti hasilnya  pun akan lebih baik daripada Anakmas mengerahkan sepasukan Wira Tamtama.”
Sutawijaya tersenyum. “Mudah-mudahan, Kiai,” katanya.
Swandaru yang masih berdiri di tempatnya menyahut,
“Aku tidak dapat mempercayai mereka sepenuhnya. Kalau Daruka sendiri mungkin benar-benar telah jera, tetapi aku tidak yakin melihat wajah-wajah dari anak buahnya.”
Sutawijaya masih saja memandangi semak-semak di mana Daruka dan orang-orangnya menghilang. Sejenak ia terdiam. Tetapi yang menjawab perkataan Swandaru adalah Kiai Gringsing,
“Tidak, Swandaru. Gerombolan perampok dan penyamun merasa jauh lebih takut kepada pimpinannya daripada prajurit yang mana pun juga. Seorang pemimpin perampok atau penyamun dapat saja menghukum mati anggotanya setiap saat dikehendaki. Tanpa banyak pertimbangan dan tanpa banyak pertanggungan jawab. Seorang yang dianggapnya berkhianat atau kurang baik melakukan pekerjaannya, akan dapat mengakibatkan kepalanya terlepas. Kalau kemudian ternyata bahwa tuduhan yang diberikan kepadanya itu keliru, maka pimpinannya cukup bergumam ‘Oh, ternyata keliru,’ tetapi yang mati itu tetap juga mati. Dengan demikian, maka setiap anggota perampok atau penyamun atau sebangsanya akan berusaha untuk mentaati dan menyenangkan hati pemimpinnya.”
Swandaru mengangguk-anggukan kepalanya. Apa yang ditemuinya kali ini benar-benar memberinya banyak pengalaman. Meskipun hanya berpapasan, tetapi ia melihat beberapa orang pengewal yang benar-benar telah mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi orang lain menurut kesanggupannya. Mereka adalah orang-orang yang sebenarnya mempunyai tanggungjawab yang tinggi atas pekerjaan yang mereka pilih. Kemudian Swandaru itu melihat sebuah gerombolan perampok dan penyamun. Dengan demikian, maka ia telah mendapat sedikit gambaran apa yang sebenarnya tersimpan di hutan-hutan yang besar dan lebat seperti hutan Mentaok dan Tambak Baya ini.

Bagi Sutawijaya, apa yang dilihat itu  pun telah memberikan petunjuk kepadanya, apakah yang kelak akan dihadapinya. Mungkin Daruka dapat melakukan sebagian dari tugasnya, tetapi mungkin juga ia akan menemui kegagalan. Seandainya Daruka benar-benar ingin melakukan tugasnya, maka yang dihadapinya bukan saja satu atau dua gerombolan, yang tidak begitu banyak mempunyai perbedaan kekuatan. Mungkin gerombolan yang lain dapat bergabung satu sama lain untuk bersama-sama mengadapi gerombolan Daruka atau bahkan memusnahkan gerombolan Daruka ini. Sejenak mereka saling berdiam diri tenggelam dalam angan-angan masing-masing. Yang mula-mula memecah kesenyapan itu adalah Kiai Gringsing,
“Bagaimana, Ngger. Apakah kita akan berjalan terus?”
“Kita sudah sampai di sini Kiai, apakah salahnya kalau kita berjalan terus?” jawab Sutawijaya.
“Kita tidak akan menemukan apa-apa lagi. Alas Mentaok hampir tak akan ada bedanya dengan hutan ini. Kita hanya dapat melihat pohon-pohon raksasa. Akar-akaran dan batang-batang yang merambat. Daun-daun yang mengandung racun yang sangat gatal, sejenis semut yang disebut semut Salaka, tetapi yang kini sudah hampir punah. Harimau yang garang dan kijang yang bertanduk panjang. Apa lagi?”
“Apakah sama sekali tidak ada daerah yang didiami orang Kiai?”
“Tentu saja tidak di tengah-tengah Alas Mentaok. Kalau Angger berjalan terus menembus sisi yang lain dari Alas Mentaok maka Angger akan sampai di daerah yang berpenduduk. Daerah Nglipura, Pliridan yang masih terlampau dekat dengan hutan ini, sebelum kita sampai di hutan Mentaok yang menjorok ke Selatan di daerah Beringan dan Pacetokan. Tetapi menurut pengelihatanku saat-saat terahir daerah ini sudah ditinggalkan oleh penduduknya karena gangguan para penjahat. Kemudian agak jauh ke Selatan Angger akan menemui daerah yang sudah agak ramai, Mangir.”
“Apakah daerah itu juga termasuk daerah Mentaok?”
Kiai Gringsing mengerutkan keninya. Tetapi kemudian ia menggeleng,
“Aku tidak tahu, Ngger. Meskipun daerah itu dahulu juga termasuk daerah yang tunduk kepada Sultan Demak. Apakah daerah itu kemudian akan tunduk juga kepada Adipati Pajang untuk seterusnya termasuk tanah yang akan dihadiahkan kepada ayahanda Ki Gede Pemanahan, aku tidak tahu.”
Sutawijaya berpikir sejenak. Tiba-tiba ia berkata,
“Aku ingin melihat daerah itu, Kiai.”
Kiai Gringsing menarik nafas. Katanya,
“Angger memerlukan waktu yang lama. Apalagi kedatangan angger belum tentu akan mendapat sambutan yang baik. Kita belum tahu, bagaimana tanggapan Mangir atas Pajang dan atas Alas Mentaok.”
“Karena itu aku ingin menemuinya. Siapakan yang memerintah Mangir? Seorang Demang?”
“Mangir adalah sebuah Tanah Perdikan, Ngger. Seperti daerah-daerah di Bukit Menoreh. Perdikan yang dikukuhkan oleh pengakuan Sultan Trenggana.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tanah itu tanah perdikan. Tiba-tiba dadanya menjadi berdebar-debar. Di samping tanah yang akan diterimanya, terletak sebuah tanah perdikan yang sudah menjadi ramai. Apakah tanah itu mengakui kekuasaan Pajang atas penyerahan kekuasaan daerah itu kepada Ki Gede Pemanahan? Lalu bagaimanahkah sifat dan bentuk Tanah Mentaok kelak?
Kiai Gringsing yang tua itu seakan-akan dapat membaca perasaan Sutawijaya. Maka katanya,
“Anakmas. Jangan terlampau pagi merisaukan tanah ini. Apakah Angger kini sedang dijalari oleh kecemasan tentang Mangir itu? Apakah tidak ada bahaya yang dapat datang dari tanah itu selagi Angger membuka Tanah Mentaok ini? Bukankah Angger berpikir tentang itu?”
“Ya Kiai.”
“Lupakanlah. Kita akan melihat perkembangan keadaan. Memang Mangir adalah tanah perdikan yang perlu mendapat perhatian, Tetapi tidak sekarang. Sekarang sebaiknya kita kembali ke Sangkal Putung.”
Sutawijaya menarik nafas. Mangir akan dapat menumbuhkan persoalan kelak. Kemudian dipalingkannya wajahnya kepada kedua kawan-kawannya yang perhatiannya agaknya tertarik kepada pohon-pohon raksasa dan jenis burung2 liar yang terbang hilir mudik dari dahan ke dahan.
“Bagaimana dengan kita?” bertanya Sutawijaya kepada kedua anak muda itu
Agung Sedayu dan Swandaru tidak segera menjawab. Bahkan sejenak mereka saling berpandangn. Tetapi keduanya ternyata saling berdiam diri. Meskipun Swandaru merasa banyak mendapatkan pengalaman dalam perjalanan itu, dan meskipun sebenarnya ia masih ingin menjelajahin tempat-tempat yang selama ini belum pernah dilihatnya, namun ia ingat juga kepada kademangannya. Kademangan yang selama ini dipertahankannya dengan pengorbanan yang tidak kecil. Bahkan nyawa dari beberapa orang telah pula dikorbankan. Sedang Agung Sedayu  pun mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang lain pula. Ia menjadi cemas, apakah kakaknya Untara membenarkannya. Kalau terjadi sesuatu atas Sangkal Putung dan para prajurit Pajang, bahkan atas kakaknya Untara dan pamannya Widura, maka ia tidak dapat melihatnya. Ia akan dapat dipersalahkan, bahwa ia telah meninggalkan kewajibannya. Tetapi mereka berdua tidak inin mendahului pendapat Sutawijaya. Mereka telah terlanjur berjanji ingin pergi bersamanya ke Alas Mentaok. Sehingga karena itu, maka dibiarkannya Sutawijaya itu sendiri menjawab pertanyaannya.
“Bagaimana, Ngger?” bertanya Kiai Gringsing kemudian.
“Aku harap Angger mempertimbangkannya. Meskipun Angger sampai juga di Alas Mentaok, maka yang akan Angger lihat adalah serupa ini juga. Pohon-pohon besar dan rimbun, gerumbul-gerumbul perdu yang pepat. Pohon-pohon yang merambat, yang tidak berduri dan yang berduri. Batu-batu padas yang kotor dan jamur-jamur dari segala macam jenis. Kemladean dan beberapa macam anggrek. Angger tidak akan dapat melihat dengen jelas, manakah batas-batas yang memisahkan Alas Mentaok dan Alas Tambak Baya. Mungkin sebuah padang rumput yang sempit yang masuk dalam sebuah lekukan hutan ini dapat dianggap sebagai batas tersebut. Tetapi di dalam hutan, maka batas itu tidak akan nampak.”

Sutawijaya menjadi bimbang. Ia menyadari, betapa hangatnya keadaan Sangkal Putung kini. Apalagi apabila ayahnya telah pergi meninggalkan kademangan itu. Maka Sangkal Putung akan mengalami saat yang paling lemah tanpa adanya Agung Sedayu, Swandaru dan lebih-lebih Kiai Gringsing. Sedang apa yang akan dilihatnya  pun tidak akan jauh berbeda dari apa yang dilihatnya sekarang. Beruntunglah bahwa ia telah bertemu dengan gerombolan terkuat dari Alas Mentaok, Daruka, yang dapat memberinya beberapa macam gambaran tentang Alas Mentaok yang liar. Liar wajah dan isinya. Ketika Agung Sedayu dan Swandaru tidak juga menjawab, maka terdengar Sutawijaya itu berdesis,
“Baiklah, Kiai. Aku telah puas melihat sebagian saja dari Alas Mentaok. Bagian yang bernama Tambak Baya. Aku mengerti, bahwa Sangkal Putung kini benar-benar dalam keadaan yang sulit apabila Ki Tambak Wedi mengambil kesempatan menyerangnya. Karena itu, baiklah kita kembali.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagus,” desisnya,
“ternyata Angger cukup bijaksana. Sejak saat ini kita akan memerlukan waktu sedikitnya dua malam untuk mencapai Sangkal Putung kembali. Hari ini telah lebih dari separo kita lampaui untuk bermain-main dengan Daruka dan kawan-kawannya. Kita masih memerlukan waktu lagi unuk memberi kesempatan Swandaru memburu makan malamnya nanti.”
Swandaru menggigit bibirnya, sedang kedua kawannya tertawa perlahan-lahan.
“Kalau begitu,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“kita segera kembali ke Sangkal Putung. Jangan kita lalui kembali Kademangan Prambanan. Kita pasti akan terhambat pula sedikitnya satu malam. Kita tidak akan sampai hati menyakiti perasaan mereka apabila kita menolak permintaan mereka untuk bermalam di kademangan itu.”
“Baik, Kiai,” sahut Sutawijaya.
“Kita berusaha mencari jalan lain pula. Mungkin Argajaya membuat persiapan yang baik untuk menyambut kedatangan kita di Sangkal Putung. Karena itu, biarlah kita mencoba menghindarinya.”
“Kenapa tidak kita penggal saja lehernya, Kiai?” potong Swandaru.
“Leher yang melekat ditubuh Argajaya bukanlah leher ayam. Ia pasti akan mempertahankan lehernya. Bahkan tidak seorang diri. Mungkin bersama Sidanti, Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan bahkan mungkin pula Ki Tambak Wedi. Nah, kalau demikian apakah bukan lehermu yang meremang?”
Swandaru tersenyum. Kedua kawannya  pun tersenyum pula.
“Nah, marilah. Kita harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu dengan Sangkal Putung.”
Tetapi dengan demikian, kata-kata Kiai Gringsing yang terakhir itu telah membuat jantung Swandaru menjadi berdebar-debar. Agung Sedayu  pun merasa cemas pula. Apakah sebenarnya yang paling mencemaskan baginya? Agung Sedayu sendiri kadang-kadang menjadi ragu-ragu. Untara barangkali? Untara adalah kakaknya. Untara adalah seorang senapati. Seorang yang memimpin sepasukan prajurit yang kuat. Kenapa ia mesti mencemaskannya? Sangkal Putung barangkali? Kademangan itu? Agung Sedayu tiba-tiba menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau menelusur lebih jauh, apakah sebabnya kecemasannya tentang Sangkal Putung menjadi kian memuncak. Keempatnya kini telah berjalan kembali ke arah yang berlawanan dari jalan yang telah ditempuhnya. Tiba-tiba saja mereka merasa bahwa mereka telah terlampau lama meninggalkan Sangkal Putung. Sutawijaya  pun merasa, bahwa ayahnya pasti tidak terlampau senang kepadanya karena kepergiannya yang tanpa pamit itu. Demikianlah maka mereka berusaha tanpa berjanji, berjalan secepat-cepatnya untuk mencapai Sangkal Putung. Mereka paling sedikit masih memrlukan dua malam satu hari di perjalanan. Kalau saja tidak ada rintangan apapun, kalau saja mereka tidak berjumpa dengan orang-orang Prambanan yang akan meminta mereka untuk singgah, kalau saja mereka tidak bertemu dengan Argajaya dan Sidanti.

Sebagian dari harapan mereka itu  pun terjadi. Mereka setelah bermalam satu malam, dapat melampaui Prambanan tanpa dilihat oleh seorang  pun sehingga mereka tidak perlu singgah. Bahkan mereka berusaha untuk sampai ke Sangkal Putung hari itu juga meskipun larut malam atau bahkan sampai fajar. Seolah-olah mereka mendapat suatu firasat, bahwa memang terjadi sesuatu di Sangkal Putung. Kiai Gringsing agaknya melihat kegelisahan di hati ketiga anak-anak muda itu. Maka untuk menenangkan mereka orang tua itu berkata,
“Anakmas bertiga. Kenapa Anakmas menjadi sedemikian tergesa-gesa sperti dikejar hantu?”
Ketiga anak-anak muda itu terkejut mendengar kata-kata Kiai Gringsing. Sejenak mereka saling berdiam diri, tetapi sejenak kemudian mereka tersenyum.
“Bukankah Kiai ingin segera sampai ke kademangan itu? Kita harus berjalan siang dan malam.”
“Tetapi tidak seperti dikejar hantu. Aku melihat kalian berjalan meloncat-loncat. Perjalanan kita cukup jauh. Kalau anak mas berjalan seperti itu, maka kita pasti akan kelelahan sebelum kita sampai ke Sangkal Putung.”
Kembali anak-anak muda itu tersenyum. Yang menjawab kemudian adalah Swandaru,
“Jadi apakah lebih baik kita berjalan perlahan-lahan? Mungkin aku akan mendapat banyak waktu untuk mendapatkan binatang buruan. Bahkan mungkin aku akan dapat membawa oleh-oleh buat ayah dan ibu di rumah.”
Kiai Gringsing tertawa. Katanya,
“Tidak terlampau cepat, tetapi tidak terlalu lambat. Sedang.”
Ketiga anak-anak muda itu tidak menjawab lagi. Tetapi kini mereka tidak lagi meloncat-loncat seperti orang yang ketakutan. Ketika malam datang, maka Sangkal Putung sudah tidak terlalu jauh lagi. Meskipun mereka masih berada di hutan yang tidak begitu lebat, namun mereka bertekad untuk berjalan terus.
“Bukankah kita sudah sampai di hutan tempat orang-orang Jipang dahulu berkemah?” gumam Agung Sedayu.
“Ya,” sahut Kiai Gringsing.
“Kalau begitu kita tidak usah bermalam lagi,” berkata Swandaru.
“Kita berjalan terus, meskipun perutku terlampau kosong. Justru karena itu aku harus segera sampai di rumah. Mungkin masih ada sisa nasi di dapur.”
“Kalau tidak?” potong Sutawijaya.
“Aku akan berburu.”
“Di mana kau akan berburu?”
“Di kandang ayam,” jawab Swandaru.
Yang mendengar jawaban itu tertawa. Swandaru  pun tertawa pula meskipun sekali-sekali ia harus menyerigai karena kakinya terantuk kayu atau batu-batu padas. Tetapi mereka berempat benar-benar tidak ingin berhenti berjalan.

Kiai Gringsing membiarkan saja anak-anak muda itu mengambil sikap. Namun tampak juga, bahwa anak-anak muda itu telah mulai dirayapi oleh perasaan lelah. Meskipun demikian, tak seorang  pun yang ingin berhenti di jalan. Sebelum fajar mereka harus sudah sampai di Sangkal Putung. Yang dapat mereka lakukan hanyalah memperlambat perjalanan untuk mengurangi kelelahan mereka. Tetapi tidak untuk berhenti. Meskipun demikian, meskipun mereka berjalan malam hari, namun mereka tidak menempuh jalan yang terpendek. Mereka masih juga memperhitungkan Argajaya dan Sidanti. Argajaya itu dua hari yang lalu pasti sudah bertemu dengan Sidanti. Paman Sidanti itu pasti sudah banyak berceritera, dan Sidanti pun telah banyak bercerita pula. Karena itu, maka dendam mereka pasti akan berganda. Gurunya Ki Tambak Wedi pasti tidak pula akan tinggal diam. Karena itu, maka mereka harus menghindari kemungkinan itu, kemungkinan bertemu dengan Sidanti, meskipun Swandaru sama sekali tidak ingin melakukannya. Ternyata sedikit lewat tengah malam mereka telah mendekati Kademangan Sangkal Putung. Mereka telah sampai di sebuah padang rumput yang tidak begitu luas. Karena itu mereka harus berjalan agak lebih cepat. Sebab di padang rumput, maka bayangan mereka pasti akan lebih mudah dilihat oleh siapapun, meskipun mereka telah bergeser beberapa puluh langkah dari jalan yang terdekat. Semakin dekat dengan mereka Kademangan Sangkal Putung, maka hati mereka  pun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak melihat sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Mereka tidak melihat kelainan daripada biasanya. Kalau terjadi sesuatu atas Kademangan itu, maka mereka pasti melihat suatu perubahan apapun. Mereka masih melihat lampu-lampu yang sinarnya kadang-kadang meloncat dari celah-celah dinding rumah. Di mulut lorong mereka masih melihat sebuah pelita yang menyala. Tiba-tiba Swandaru memperlambat jalannya sambil menarik nafas dalam-dalam.
“Hem, ternyata Sangkal Putung tidak mengalami sesuatu.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Begitulah agaknya.”
“Kalau begitu, sejak kini aku akan berjalan lambat-lambat. Bukankah kita tidak perlu tergesa-gesa.”
“Ah, kau”, sahut Agung Sedayu,
“akulah kini yang tergesa-gesa. Bukankah kau masih ingin berburu?”
Swandaru tertawa. Tetapi tiba-tiba ia menguap.
“Aku tidak terlalu lelah tetapi aku mengantuk.”
Namun mereka tidak lagi merasa gelisah. Apalagi ketika mereka sudah memasuki padesan. Namun agaknya Swandaru ingin mengejutkan orang-orang di kademangan, karena itu katanya,
“Marilah kita tidak melalui jalan. Kita membuat kejutan bagi orang-orang kademangan.”
Kedua kawan-kawannya tidak membantah. Kiai Gringsing pun menuruti saja kemauan muridnya yang aneh itu. Tetapi ketika mereka memasuki halaman kademangan lewat belakang, mereka benar-benar terperanjat. Ternyata kademangan itu benar-benar tidak seperti biasanya. Bahkan lamat-lamat Swandaru mendengar tangis perempuan. Tangis ibunya. Mereka berempat itu  pun tertegun sejenak. Suara tangis yang lamat-lamat itu masih mereka dengar. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun tak seorang  pun yang tahu, apakah sebenarnya yang telah terjadi.

Menilik tanda-tanda yang mereka jumpai di sepanjang jalan, mereka sama sekali tidak melihat bekas-bekas keributan. Dari tempat mereka menyelinap di antara pepohonan sambil meloncat-loncat di antara dinding-dinding halaman, mereka melihat gardu-gardu peronda masih juga seperti biasanya. Memang mereka melihat kesiapsiagaan yang agak lebih ketat dari kebiasaan. Tetapi mereka menyangka bahwa keadaan sekedar meningkat menjadi lebih genting, tetapi belum terlambat. Swandaru menjadi bertambah cemas ketika tangis itu tidak juga berkurang. Ibunya tidak pernah menangis karena hal-hal yang tidak terlampau penting. Betapapun ibunya sedang sakit, tetapi ia hanya berbaring diam. Hanya apabila ia sedang sakit gigi, maka ibunya itu menangis. Tetapi tangisnya tidak sekeras kali ini.
“Agaknya memang telah terjadi sesuatu,” bisik Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk, “Ya.”
“Tetapi tidak ada tanda-tanda yang kita temui,” sahut Sutawijaya.
Mereka  pun kemudian terdiam. Ketika mereka berpaling kepada Kiai Gringsing, orang tua itu  pun sedang termenung.
“Bagaimana Kiai?”
Kiai Gringsing menggeleng, “Aku tidak tahu. Marilah kita lihat.”
“Sebenarnya aku ingin bermain-main. Aku ingin mengejutkan orang-orang kademangan. Diam-diam aku ingin tidur, sehingga besok pagi mereka pasti terkejut melihat kami di pendapa, atau di gandok wetan. Tetapi agaknya kita harus berbuat lain.”
“Agaknya kita tidak sedang menghadapi persoalan yang dapat dibawa untuk bergurau,” gumam Kiai Gringsing.
“Marilah jangan terlampau lama.”
Ketiga anak-anak muda itu  pun kemudian mengikuti langkah Kiai Gringsing. Mereka tidak lagi berkata apa pun. Kiai Gringsing benar-benar sedang berpikir. Kalau saja Kiai Gringsing menjadi gelisah, maka persoalan yang mereka hadapi pasti bukan sekedar persoalan yang ringan. Memang sekali-kali Swandaru hanya menganggap bahwa ibunya pasti sedang sakit gigi. Sebab baik di setiap sudut penjagaan maupun di halaman itu sendiri mereka tidak melihat kekhususan yang mencolok. Tetapi anggapan itu tidak diyakininya sendiri. Setiap kali dadanya terasa berdesir, semakin lama menjadi semakin tajam.

Mereka berhenti ketika mereka melihat dua orang berjalan di bagian belakang halaman itu. Supaya tidak menimbulkan kegaduhan maka mereka pun berhenti dan menyelinap di balik pepohonan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat begitu terlalu lama, sebab kedua orang itu ternyata menuju ke tempat yang agak terlindung. Pada saat itulah baru mereka mengetahui, bahwa di sudut yang gelap itu ternyata telah diadakan sebuah penjagaan. Penjagaan di tempat itu tidak pernah ada sebelumnya. Penjagaan di bagian belakang ini berada di samping regol yang telah ditutup mati hanya malam hari apabila keadaan mengkhawatirkan. Sedang penjagaan yang biasa terdapat di tikungan, di gardu perondan. Sekarang di tempat itu ternyata ada sebuah penjagaan sehingga dengan demikian mereka dapat menduga sesuatu benar-benar telah terjadi. Tiba-tiba Swandaru menjadi tidak bersabar lagi. Dengan terbata-bata ia berbisik,
“Kiai, aku akan melihat apakah yang telah terjadi.”
“Tunggu,” cegah Kiai Gringsing.
“Jangan mengejutkan para penjaga yang sedang dalam kesiapsiagaan penuh. Kalau mereka melihat kita berempat, maka mereka pasti menyangka bahwa mereka menghadapi bahaya. Dengan demikian, maka kegaduhan pasti akan timbul. Karena itu, biarlah aku sendiri menemui mereka dan mengatakan bahwa kalian telah kembali.”
“Baik Kiai,” sahut Swandaru tidak sabar.
Kiai Gringsing  pun kemudian melangkah maju. Perlahan-lahan dan hati-hati. Ternyata para penjaga itu  pun belum melihatnya. Untuk menghindari kesalah-pahaman, maka Kiai Grinsing itu  pun terbatuk-batuk kecil. Sehingga dari tempat yang terlindung ia mendengar seseorang menyapanya,
“He, siapakah itu?”
“Aku, Tanu Metir.”
“Oh,” terdengar seseorang berdesah
 “Kenapa Kiai berada di situ?”
Kiai Grinsing tidak segera menjawab. Bahkan ia masih juga terbatuk-batuk.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 018                                                                                                       Jilid 020 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar