Ketika Swandaru mendengar Sutawijaya bersungguh-sungguh, maka ia kini tidak mau lagi memotong, meskipun ia menahan kegelian di dalam dirinya. Tetapi seperti yang telah disangka, Daruka tidak akan mudah percaya. Bahkan kemudian ia pun bersiap dengan pedangnya. Sekali ia memandang berkeliling.
Sutawijaya
menarik nafas. Tetapi ia mempunyai rencana yang baik dengan orang ini. Dengan
orang terkuat di hutan Tambak Baya ini. Karena itu, maka katanya,
“Daruka, aku
mendengar, bahwa kau adalah orang yang terkuat di antara para penyamun di hutan
ini. Karena itu, maka kau sebenarnya dapat membantu kami, para prajurit Wira
Tamtama. Kau dapat menebus dosa ini dengan perbuatan yang menguntungkan dirimu
dan menguntungkan kami. Aku akan menanggungmu, bahwa kau kelak akan mendapat
kedudukan yang baik. Bahkan mungkin kau akan dapat menjadi seorang bekel.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Sutawijaya. Tetapi
lamat-lamat mereka dapat menerka maksud anak muda yang akan memiliki hutan
Mentaok dan Tambak Baya itu. Apalagi Kiai Gringsing. Orang tua itu pun tersenyum di dalam hati sambil bergumam
lirih,
“Alangkah
tajamnya otak putera Ki Gede Pemanahan ini,”
Tetapi agaknya
Daruka sendiri merasa, bahwa Sutawijaya telah menghinanya. Sehingga karena itu
maka sekali lagi ia menggeram sambil berkata,
“Persetan
ocehanmu. Apakah kau Panglima Wira Tamtama, apakah kau Adipati Pajang, aku
tidak peduli. Aku adalah raja di sini. Semua harus tunduk kepada perintah dan
kemauanku.”
“Kau mencoba
menipuku. Bagaimana dengan gerombolan-gerombolan lain yang merasa dirinya raja
pula di sini?”
Wajah Daruka
menjadi merah padam. Katanya,
“Tak ada yang
berani melawan Daruka. Semua gerombolan akan dapat aku binasakan satu demi satu
kalau aku mau.”
“Kenapa hal
itu tidak kau lakukan? Ternyata kau tidak mampu berbuat demikian. Bahkan
kadang-kadang anak buahmu sendiri dapat disergap dan dikalahkan.”
“Memang,
mereka dapat berbuat demikian dengan licik. Tetapi Daruka belum pernah dengan
sungguh-sungguh mencoba membinasakan mereka. Asal mereka tidak mengganggu
secara langsung kerajaanku, maka aku tidak terlalu bernafsu membinasakan
mereka. Orang-orangku masih aku perlukan untuk kepentingan lain.”
“Sekarang aku
datang untuk menaklukkan kerajaanmu, atas nama Panglima Wira Tamtama di
Pajaag,” sahut Sutawijaya.
Kesabaran
Daruka kini telah sampai pada batasnya. Terdengar ia bersuit nyaring. Mendengar
aba-aba itu beberapa orangnya segera mendesak maju dengan senjata-senjata
mereka siap menembus tubuh lawannya. Tetapi lawannya ternyata benar-benar di
luar dugaan mereka. Dengan lincahnya Sutawijaya meloncat mendesak Agung Sedayu
sambil berkata,
“Serahkan
orang ini kepadaku. Tolong, tundukkan orang-orangnya. Jangan kau binasakan
mereka. Beri mereka kesempatan untuk hidup dan menyesali perbuatannya.”
Segera Agung
Sedayu dapat menangkap maksud itu. Swandaru yang gemuk dan hanya berbuat
seenaknya sendiri itu pun dapat mengerti
pula, sehingga betapa perasaannya sendiri melonjak-lonjak, namun ia mencoba
mengekangnya. Kiai Gringsing yang berada di antara anak-anak muda itu menjadi
termangu-mangu. Tetapi terdengar Sutawijaya berkata
”Kiai, apakah
Kiai sudi bermain-main dengan kami?”
Kiai Gringsing
tersenyum. Sementara itu ia melihat ketiga anak-anak muda dari Sangkal Putung
itu sudah melibatkan diri dalam perkelahian melawan Daruka dan orang-orangnya.
Sutawijaya sendirilah yang kini berhadapan dengan pemimpin gerombolan yang
ditakuti oleh gerombolan-gerombolan Iain seisi hutan Tambak Baya dan Mentaok. Demikianlah,
maka segera terjadilah perkelahian yang riuh antara anak-anak muda dari Sangkal
Putung bersama Kiai Gringsing, melawan gerombolan Daruka yang langsung dipimpin
oleh kepala gerombolannya sendiri. Daruka, yang namanya menakutkan di segenap
sudut Alas Mentaok dan Tambak Baya. Tetapi kali ini yang dihadapinya bukan
sekedar seorang pengawal dari padesan di ujung hutan. Tetapi yang dihadapinya
adalah putera Panglima Wira Tamtama itu sendiri. Dengan demikian maka Daruka
itu benar-benar terkejut. Hampir tidak kasat mata, maka tombak Sutawijaya telah
memukul-mukul senjatanya.
“Gila,”
geramnya. Meskipun anak muda itu membawa busur yang bersilang di punggungnya,
serta endong panah di lambungnya, namun geraknya sama sekali tidak terganggu
olehnya. Kelincahannya dan kecepatannya benar-benar mengagumkan kepala
gerombolan yang garang itu. Di sisi lain, Agung Sedayu telah memutar pedangnya
pula, sedangkan di sisi yang lain lagi Swandaru berkelahi sambil tertawa. Kiai
Gringsing yang tua itu pun tidak
ketinggalan, tetapi karena ia tidak membawa pedang, maka ia berkelahi dengan
tangannya. Salah seorang gerombolan itu berteriak,
“He, orang tua
bangka. Apakah kau mau mati pula.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Tetapi begitu mulut orang itu terkatup, ia terkejut
bukan buatan. Yang terasa olehnya adalah suatu dorongan yang keras. Hampir saja
ia terlempar jatuh. Tetapi beruntunglah ia segera mampu berpegangan sebatang
perdu. Tetapi matanya tiba-tiba terbelalak ketika ia melihat senjatanya telah
berpindah ke tangan orang tua itu.
“Terima
kasih,” berkata Kiai Gringsing.
Swandaru
tertawa melihat perbuatan gurunya. Katanya,
“Kiai, tolong,
ambilkan pula bagiku.”
“Hus!” kembali
terdengar Agung Sedayu berdesis. Tetapi Swaudaru itu justru tertawa
berkepanjangan.
Orang-orang
Daruka itu pun kemudian berdesakan maju
bersama-sama, sehingga Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing harus
bertempur melawan beberapa orang bersama-sama. Hanya Daruka sendirilah yang
justru membentak-bentak ketika beberapa orang mencoba membantunya.
“Pergi!”
teriaknya.
“Aku ingin
membunuh anak ini dengan tanganku sendiri, tanpa kau ganggu sama sekali.“ Namun
Daruka sendiri tidak meyakini kata-katanya Apalagi ketika tiba-tiba tangannya
menjadi pedih. Hampir saja senjatanya terlepas dari tangannya. Beruntunglah ia
bahwa ia masih mampu mempertahankannya. Dalam pada itu Sutawijaya pun bergumam di dalam hatinya,
“Pantaslah
kalau orang ini ditakuti oleh gerombolan-gerombolan lain di hutan ini.
Tandangnya cukup meyakinkan. Tetapi ia harus segera dapat dijinakkan. Aku harus
memberi kesan kepadanya, bahwa apa yang dilakukan sama sekali tidak berarti
bagiku.”
Dengan
demikian, maka Sutawijaya pun segera memperketat serangannya. Bergulung-gulung
seperti ombak menghantam tebing. Adalah di luar dugaan Daruka, bahkan mimpi pun
tidak, bahwa akan dijumpainya lawan setangkas anak muda itu. Bahkan belum
pernah ia berkelahi dengan orang yang memiliki ketangkasan, kelincahan, dan
keperkasaan seperti lawannya kini. Dengan demikian maka ia bergumam di dalam
hatinya,
“Mungkin benar
apa yang dikatakannya, bahwa ia adalah seorang prajurit Pajang.”
Tetapi kini ia
sudah tidak mendapat kesempatan untuk menghindar. Ketika sekali ia sempat
melihat orang-orangnya, maka ia pun terkejut bukan buatan. Duabelas
orang-orangnya itu sama sekali tidak mampu mendesak ketiga orang lawannya.
Orang yang tua itu pun masih juga mampu
berkelahi melawan beberapa orang-orangnya sekaligus. Sejenak kemudian Daruka
itu pun menjadi bingung. Ia tidak dapat
mundur. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ia beserta anak
buahnya itu pasti tidak akan mampu melawan ketiga anak-anak muda itu beserta
seorang tua bangka. Maka jalan satu-satunya yang dapat dipilihnya untuk
menyelamatkan diri adalah lari. Lari meninggalkan arena pertempuran itu. Bagi
Daruka, maka nilai-nilai harga diri sama sekali tidak akan diperhitungkan.
Bahkan mengorbankan anak buahnya pun termasuk kebiasaan pula baginya. Demikian
pula kali ini. Ketika tekanan lawannya menjadi semakin ketat, maka Daruka itu
pun telah mencoba mencari jalan yang mungkin akan dapat dilaluinya untuk
menyelamatkan diri. Tetapi Sutawijaya melihat gelagat itu, baginya untuk
menjatuhkan kepala gerombolan yang paling ditakuti itu ternyata tidak terlampau
sulit. Dengan demikian, ketika Daruka itu telah bersiap-siap untuk lari terdengar
Sutawijaya bergumam,
“Ayo, akan
lari ke manakah kau? Apakah seorang yang namanya menggelegar di seluruh hutan
Tambak Baya dan Mentaok ini akan tinggal-glanggang colong-playu. Apakah kau
tidak malu terhadap dirimu sendiri, Daruka.”
Terdengar
Daruka menggeram. Katanya,
“Aku tidak
pernah meninggalkan arena sebelum lawanku menjadi mayat atau aku sendiri yang
mati.”
Kembali mereka
dikejutkan oleh suara Swandaru tertawa terputus-putus. Sambil menggerakkan
pedangnya ia berkata,
“He Daruka.
Apakah kau mengigau? Aku percaya bahwa kau belum pernah meninggalkan gelanggang
dalam keadaan hidup. Jadi apa yang selalu kau lakukan adalah melarikan diri
setelah kau mati.”
“Setan!”
terdengar Daruka menggeram. Bahkan kemudian orang itu pun mengumpat tak habis-habisnya. Namun
justru suara tertawa Swandaru menjadi semakin keras. Lawan-lawannya sama sekali
tidak mampu berbuat apa pun atasnya. Sambil tertawa dan berkelakar Swandaru
telah membuat lawan-lawannya menjadi pening. Bahkan seorang dari antara mereka
telah terluka. Agung Sedayu terpaksa berkelahi melawan lima orang. Tetapi
kelimanya pun tidak dapat mendesak anak
muda itu, meskipun untuk melawannya, Agung Sedayu harus bekerja jauh lebih
keras daripad Swandaru. Mungkin anak buah Daruka itu mencoba suatu cara untuk
menjatuhkan lebih dahulu lawannya seorang demi seorang, untuk kemudian
melenyapkan semuanya berturut-turut. Tetapi ternyata yang seorang itu pun tidak
dapat dikalahkannya. Sedang Kiai Gringsing yang tua itu pun harus berkelahi
dengan beberapa orang pula. Dengan sekedar melayani dan mempertahankan dirinya,
Kiai Gringsing sama sekali tidak banyak berbuat. Ia menunggu saja Sutawijaya
mengalahkan lawannya, dan berbuat menurut rencananya. Yang ditunggu Kiai
Gringsing itu pasti segera akan terjadi. Sebab Daruka kini benar-benar
kehilangan segala kesempatan. Apalagi kesempatan menyerang, kesempatan untuk
mempertahankan dirinya pun telah hampir tidak dapat dilakukannya.
“Jangan lari,”
gumam Sutawijaya ketika ia melihat Daruka selalu mencoba menarik diri.
“Aku bukan pengecut,”
teriak Daruka
“Huh,” sahut
Sutawijaya.
“Jawabanmu
lebih memalukan dari perbuatanmu. Apakah kau telah melupakan kata-katamu
sendiri bahwa hanya mautlah yang dapat memaksamu untuk menyerah? Kenapa kau
kini akan melarikan diri?”
“Setan
tetekan!” mulut Daruka menghamburkan sumpah serapah tidak karuan.
“Aku akan
membunuhmu.”
Tetapi
kata-katanya terputus. Tangkai tombak Sutawijaya tiba-tiba mengenai kepalanya
yang botak, yang sama sekali tidak ditutupinya dengan ikat kepala. Sekali lagi
Daruka menyumpah-nyumpah semakin kotor. Namun sekali lagi kepalanya yang botak
itu terpukul oleh tangkai tombak Sutawijaya.
“Aku baru
mempergunakan tangkai tombakku,” berkata Sutawijaya.
“Ayo, lebih
baik menyerahlah. Aku tidak akan membunuhmu.”
Daruka
membelalakkan matanya. Tetapi ia masih berkata,
“Daruka hanya
menyerah kepada maut.”
Kini bukan
sekedar tangkai tombak Sutawijaya mengenai kepalanya, tetapi tiba-tiba pedang
Daruka tergetar keras. Tangannya tiba-tiba terasa nyeri bukan buatan. Ketika ia
mencoba memperbaiki genggamannya, sekali lagi pedangnya terasa tersentuh
senjata lawannya. Kali ini ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu.
Pedangnya terlontar beberapa langkah daripadanya dan jatuh tergolek di tanah
yang lembab. Daruka kini berdiri dengan gemetar. Kemarahannya masih mencengkam
dadanya, tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Ujung tombak Sutawijaya melekat
di dadanya yang berbulu lebat.
“Apa katamu?”
bertanya Sutawijaya.
Daruka
menggeram. Tetapi ketika ujung tombak lawannya tertekan semakin keras, Daruka
itu pun menyeringai.
“Apakah kau
hanya menyerah terhadap maut?”
Daruka tidak
menjawab. Sementara itu kawan-kawannya masih juga berkelahi. Namun ketika
mereka melihat lurah mereka sudah tidak berdaya, maka hati mereka pun segera berkeriput. Anak buah gerombolan
itu belum pernah melihat lurahnya berdiri kaku tegang tanpa dapat berbuat
apa-apa karena ujung senjata lawan yang melekat di tubuhnya. Apalagi ketika sambil
tertawa Swandaru berkata,
“Ayo, apa yang
akan kalian lakukan. Lihat kepalamu telah menyerah.”
Dalam pada itu
Sutawijaya pun berkata pula,
“Ayo, lekas
katakan apakah kau hanya menyerah terhadap maut?”
Daruka tidak
juga segera menjawab. Tetapi ia menahan nafasnya ketika ujung tombak Sutawijaya
menekan semakin keras.
“Kalau kau
menyerah, maka perintahkan orang-orangmu berhenti melakukan perlawanan. Kalau
tidak, maka satu persatu kalian akan aku penggal kepala kalian dan akan
kutancapkan di ujung hutan ini sebagai pertanda bahwa Daruka kini sudah tidak
menakutkan lagi.”
Terasa dada
kepala penyamun yang menakutkan itu berdesir. Betapa tabah hatinya, namun
ancaman itu mendirikan bulu kuduknya.
“Cepat!”
bentak Sutawijaya.
“Pilihlah.
Menyerah atau mati. Kalau kau malu mengakui kekalahanmu, maka kau dapat memberi
perintah saja kepada anak buahmu supaya menyerah.”
Daruka masih
juga ragu-ragu. Namanya yang menakutkan selama ini telah menahannya untuk tidak
segera melakukan perintah itu. Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka
mendengar sebuah pekik kesakitan. Ketika mereka berpaling, mereka melihat salah
seorang yang berkelahi melawan Swandaru meloncat surut sambil memegangi
lengannya yang berdarah.
“Nah,” berkata
Sutawijaya,
“lihat,
seorang anak buahmu terluka. Apakah kau menunggu mereka terbunuh?”
Daruka itu
masih ragu-ragu. Sekali dipandanginya wajah Sutawijaya dan sekali
dilontarkannya pandangan matanya berkeliling kepada anak buahnya yang sedang
berkelahi itu. Tetapi sekali lagi terasa unung senjata Sutawijaya itu semakin
menekan dadanya dan terdengar Sutawijaya membentak tidak sabar.
“Cepat, atau
kau benar ingin mati.”
“Tidak,”
tiba-tiba Daruka itu menjawab terbata-bata.
“Cepat,
perintahkan kepada orang-orangmu.”
“Baik. Baik,”
berkata kepala gerombolan itu, yang kemudian berteriak dengan penuh
kebimbangan,
“Hentikan
perlawanan!”
Beberapa orang
Daruka yang sudah merasa, bahwa mereka tidak akan mampu melawan, tidak menunggu
perintah itu terulang. Segera mereka berloncatan mundur menjauhi lawannya. Agung
Sedayu, Swandaru, dan Ki Tanu Metir pun segera menghentikan perkelahian pula.
Mereka sama sekali tidak mengejar lawan-lawan mereka, dan membiarkannya berdiri
termangu-mangu meskipun senjata mereka masih tetap di dalam genggaman.
“Nah,” berkata
Sutawijaya, “sekarang jawablah pertanyaanku. Apakah kau menyerah atau tidak?”
Mulut Daruka
kembali terbungkam. Hanya matanya sajalah yang berkeredipan seperti anak burung
yang menunggu induknya.
“He, apa
katamu?” bertanya Sutawijaya mengejut.
Daruka itu pun
terperanjat sehingga terhenyak selangkah surut. Tetapi ujung tombak Sutawijaya
masih mengikutinya.
“Jawab!”
bentak Sutawijaya.
“Ya,” akhirnya
Daruka menjawab penuh keragu-raguan.
“Kau
ragu-ragu.”
“Ya.”
“He?”
“Oh, tidak,”
Daruka itu tergagap.
“Sekarang
katakan. Apakah kau menyerah atau tidak?”
“Ya, aku
menyerah.”
“Nah. Ternyata
harga dirimu masih kalah bernilai dari nyawamu. Apakah kau benar-benar
menyerah?”
“Ya.”
“Aku dapat
mempercayaimu?”
“Ya.”
Sutawijaya
menarik nafas. Jawaban orang itu sama sekali tidak meyakinkannya. Memang
kemungkinan yang paling dekat adalah, Daruka sekedar mencoba menyelamatkan dirinya.
Tetapi meskipun demikian Sutawijaya ingin mencobanya. Katanya,
“Daruka.
Apakah kau benar orang yang paling ditakuti di hutan Tambak Baya dan Mentaok
ini?”
Daruka kembali
menjadi ragu-ragu. Tetapi ia menjawab,
“Ya.
Demikianlah kata orang.”
“Ketahuilah
Daruka. Kau memang seharusnya dimusnahkan dari hutan ini. Tak ada cara yang
lebih baik daripada membunuhmu dan memenggal lehermu untuk ditanjir di mulut
hutan ini.”
“Tetapi,”
wajah Daruka tiba-tiba menjadi pucat.
“Apakah yang
lebih baik menurut pendapatmu?” bertanya Sutawijaya.
Daruka menjadi
makin pucat.
“Apakah kau
mempunyai cara yang lebih baik daripada ditanjir di mulut hutan untuk
mengabarkan bahwa orang-orang yang ingin menyeberangi hutan ini tidak perlu
takut lagi kepada Daruka?
“Tetapi,
tetapi, bukankah aku udah menyerah?”
“Kau menyerah
di hadapanku. Apabila aku pergi, maka tak ada lagi yang kau takuti.”
“Aku tidak
akan ingkar. Aku menyerah.”
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam. Namun kembali ia bergumam seperti kepada diri
sendiri,
“Mustahil. Mustahil
orang semacam Daruka ini dapat dipercaya. Mulutnya baru dapat dipercaya apabila
ia sudah tidak dapat berkata sepatah kata pun lagi.”
Tiba-tiba
Daruka yang kekar itu menjadi gemetar.
“Jangan kau
bunuh aku. Aku kira tidak akan banyak gunanya. Bukan hanya aku sendiri perampok
dan penyamun di hutan ini.”
“He,” bentak
Sutawijaya,
“kau ingin
hidup karena bukan hanya kau sendiri perampok di dalam hutan ini?”
Adalah
menggelikan sekali tampaknya bahwa seorang yang bertubuh segagah Daruka dapat
menjadi gemetar dan ketakutan. Wajahnya kini benar-benar menjadi seputih kapas.
Sekali lagi ia merengek seperti kanak-kanak yang melihat bapanya menggenggam
cemeti.
“Ampun, Tuan.
Ampun.”
Sutawijaya
memandanginya dengan tajamnya. Kemudian memandang beberapa anak buah Daruka.
Aneh. Mereka pun menjadi gemetar dan
ketakutan. Wajah-wajah mereka pun
menjadi seputih kapas.
“Hem,” desah Sutawijaya,
“aku sangka
kalian tidak mengenal takut, meskipun berhadapan dengan maut.”
“Tuan,”
berkata Daruka,
“kami bukan
seorang prajurit. Kami berkelahi sekedar untuk mendapat makan. Sedang prajurit
bertempur untuk kewajiban. Karena itu, maka mungkin Tuan sebagai seorang
prajurit tidak takut mati dalam kewajiban Tuan. Tetapi kami ingin bahwa kami
tidak mati hanya karena kami sedang mencari sesuap nasi.”
Betapa tegang
hati Sutawijaya, namun ia harus tertawa di dalam hati mendengar kata-kata
Daruka.
“Karena itu,
Tuan,” Daruka meneruskan, “kami mohon ampun.”
“Daruka,”
sahut Sutawijaya,
“mungkin kau
sekarang menyadari bahwa seakan-akan tidaklah seimbang kesalahanmu dengan
hukuman mati itu, karena kau hanya sekedar mencari makan untuk hidupmu. Tetapi
bagaimana dengan para pengawal itu? bukankah mereka pun bekerja sekedar untuk mendapatkan upah
yang berarti sekedar untuk mendapatkan sesuap nasi juga? Apakah sudah
selayaknya bahwa kau berkeras hati untuk mencarinya dan kemudian membunuh
mereka karena mereka telah melawan anak buahmu dan mengalahkannya?”
“Aku tidak
akan membunuh mereka, Tuan. Tidak.”
“Untuk apa kau
cari mereka?”
“Kami hanya
akan mencari siapakah yang telah mencelakai orang-orangku.”
“Ya, untuk
apa?” bentak Sutawijaya.
Orang yang
botak itu menundukkan kepalanya.
“Daruka,”
berkata Sutawijaya kemudian.
Daruka
mengangkat wajahnya.
“Wajahmu
seram. Tubuhmu pun cukup mengerikan. Kau memang pantas bernama Daruka, seorang
yang menakutkan di hutan Tambak Baya dan Mentaok. Seorang yang paling ditakuti
oleh gerombolan-gerombolan lain di alas ini.”
Daruka tidak
menjawab. Ia tidak tahu, apakah maksud Sutawijaya sebenarnya.
“Apakah kau
sudah benar-benar menyerah?”
“Ya, Tuan,”
sahut Daruka serta-merta.
“Dan
menyesal?”
“Ya, Tuan.”
“Daruka,
dengarlah baik-baik,” berkata Sutawijaya bersungguh-sungguh.
“Kau dengar
bahwa sebentar lagi hutan ini akan dibuka menjadi sebuah negeri?”
“Ya, Tuan.”
“Nah, dengan
demikian maka setiap kotoran yang ada di dalam hutan ini harus dibersihkan
lebih dahulu. Panglima Wira Tamtama yang akan memiliki hutan ini tidak mau
melihat orang-orang semacam kau ini tinggal di dalam hutan ini.”
“Aku akan
pergi, Tuan.”
“He,” Sutawijaya
membelalakkan matanya,
“begitu
mudahnya? Kau menyamun dan merampok. Setelah kau tertangkap begitu saja kau
pergi? Tidak. Kau pun pasti akan menyamun dan merampok di tempat lain sebab kau
tidak punya pekerjaan tertentu.”
“Tidak, Tuan.
Aku akan mencoba mencari tanah pertanian dengan anak buahku. Aku akan hidup
bercocok tanam bersama dengan mereka.”
“Sementara ini
kau tidak akan dapat melakukannya. Kau adalah seorang yang biasa hidup dengan
berkelahi,” jawab Sutawijaya.
“Apalagi kau
tertangkap saat kau melakukan perlawanan. Lain halnya kalau kau menyerah
sebelum aku menarik pedang dari sarungnya.”
“Ampun, Tuan.”
“Kau harus
dihukum.”
“Tetapi aku
minta diampuni, Tuan. Aku masih belum ingin mati.”
“Orang-orang
yang kau rampok dan kau bunuh pun belum ingin mati.”
Daruka
terdiam. Beberapa titik keringat dingin menetes pada pundaknya. Tubuh yang
gemetar itu menjadi kian menggigil.
“Daruka,”
berkata Sutawijaya seterusnya,
“kau harus
menerima hukuman. Kalau kau benar menyesal atas segala tingkah lakumu, maka kau
harus dapat memenuhi beberapa syarat supaya kau tidak dihukum mati.”
Daruka
mengangkat wajahnya. Tampaklah sebersit harapan di dalam wajahnya.
“Apakah syarat
itu, Tuan?”
“Tetapi jangan
mencoba melepaskan diri dari tanganku dan tangan Wira Tamtama.”
“Tidak, Tuan.”
“Tidak aka
nada gunanya. Aku akan selalu dapat mengawasimu dan menangkap kau setiap saat.
Kau tidak dapat mengalahkan aku, apalagi para pemimpin Wira Tamtama lainnya.”
“Ya, Tuan.”
“Nah,
dengarlah syarat itu. dalam waktu yang dekat, sebelum hutan ini mulai dibuka,
maka kau harus sudah menyelesaikan syarat itu. Kau harus mampu menangkap semua
orang yang menjadi penyamun dan perampok di dalam hutan ini. Kau dan
orang-orangmu harus mampu menumpas semuanya. Tetapi ingat. Aku tidak
memerintahkan kepadamu untuk menumpas orang-orangnya, tetapi perbuatannya.
Apakah kau dapat mengerti? Hanya apabila perlu kau boleh mempergunakan
pedangmu. Kau mengerti?”
Wajah Daruka
yang telah memutih kapas itu kini mulai dialiri oleh darahnya kembali.
Ditatapnya wajah Sutawijaya seakan-akan ia ingin mendengar ketegasan dari
kata-katanya.
“Apakah yang
harus kau lakukan?”
“Membinasakan
setiap gerombolan yang ada di hutan ini.”
“Tetapi jangan
berlaku seperti apa yang pernah kau lakukan. Ingat, alangkah ngerinya
menghadapi maut. Kau sendiri telah melupakan kejantanan dan kesombonganmu
ketika kau sudah mulai dijamah oleh bahaya maut itu.”
“Kau dengar
kata-kataku?” bertanya Sutawijaya.
“Ya, Tuan. Aku
mendengar,” jawab Daruka.
“Kau
mengerti?”
Daruka
termangu-mangu sebentar. Tiba-tiba ia mengangguk.
“Ya, Tuan aku
mengerti.”
Daruka
mengerutkan keningnya.
“Kau merasa
tidak seimbang bahwa kau harus mati karena sesuap nasi. Demikian pula
orang-orang lain. Gerombolan-gerombolan yang lain. Tundukkan mereka, kalau
mungkin tanpa pepati. Bawalah mereka memilih tanah yang paling baik di seluruh
hutan Mentaok. Bukalah hutan itu, kalian akan mendapat hak untuk bertempat
tinggal di sana kelak apabila tempat ini menjadi ramai. Kau mengerti?”
“Ya, aku
mengerti,” sahut Daruka sambil mengangguk lemah. Ia tahu benar apa yang harus
dilakukan. Mengalahkan gerombolan-gerombolan yang ada di hutan ini sejauh
mungkin tanpa melukai kulit mereka. Apakah ia mampu berbuat seperti anak muda
itu? tetapi Daruka tidak lagi bertanya.
“Nah, lakukan
perintahku baik-baik. Dengan demikian kau telah menyelamatkan dirimu sendiri.
Memberi harapan kepada kedamaian hatimu sendiri di masa-masa mendatang. Apakah
apabila otot-ototmu telah menjadi rapuk dimakan umur, kau masih juga merasa
orang yang paling ditakuti di hutan ini? Dan apakah kau masih merasa mampu
mencari sesuap nasi dengan pedang di genggaman?”
“Ya, Tuan,”
Daruka mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mulai hari
ini kau sudah dapat melakukan pekerjaanmu. Tetapi ingat, jangan mencoba
melepaskan diri dari pengawasan Wira Tamtama. Kalau kau lancang kali ini, maka
hukumanmu bukan sekedar dipancung di alun-alun, tetapi kau akan dirampog
setelah kau diadu melawan harimau di alun-alun. Kalau kau juga tidak mati, maka
kau akan dihukum picis. Kau dengar?”
Meskipun
Daruka selama ini tidak pernah ngeri mendengar nama harimau, namun diadu dengan
harimau di alun-alun untuk mengganti rampogan adalah tidak menyenangkan sama
sekali. Apabila ia masih hidup maka hukuman picis telah menunggu. Adalah tidak
menyenangkan mati di celah-celah gigi harimau atau mati tersayat-sayat dalam
menjalani hukuman picis. Karena itu maka ia tidak mempunyai pilihan lain dari
bertempur melawan setiap gerombolan yang ada di hutan Tambak Baya dan Mentaok.
Hampir setiap gerombolan telah dikenalnya dengan baik. Dan tak seorang pun yang perlu dicemaskannya apabila mereka
berhadapan beradu dada.
“Nah, apakah
kau sanggup melakukan?” bertanya Sutawijaya.
Daruka
tersentak mendengar pertanyaan itu. dengan serta-merta ia menjawab,
“Ya, Tuan. Aku
sanggup.”
“Bagus,”
berkata Sutawijaya pula.
“Pergilah.
Lakukan perintah ini. Tetapi kau jangan berbuat semena-mena dan menyalahgunakan
perintahku. Aku tidak memerintahkan kepadamu untuk mengadakan pembantaian dan
pembunuhan besar-besaran. Kalau mungkin selesaikan dengan pembicaraan. Kau
dapat menceriterakan kepada mereka apa yang kau alami. Kau dapat memberitahukan
bahwa sebentar lagi sepasukan Wira Tamtama akan menjelajah seluruh isi hutan
ini.”
“Ya, ya aku
mengerti, Tuan,” sahut Daruka.
“Kalau
demikian, pergilah. Bawa orang-orangmu. Apakah orang-orangmu hanya sebanyak dua
belas orang ini?”
“Tidak, Tuan.
Aku mempunyai lebih dari duapuluh lima kawan. Aku mengharap mereka dapat
mengerti apa yang harus aku lakukan. Dan aku harap mereka dapat membantuku.”
“Bagus,” desis
Sutawijaya,
“sekarang
pergilah. Di Cupu watu, Nglipura, Mangir, Menoreh, tersebar prajurit-prajurit
Wira Tamtama. Kalau kau ingkar, maka kau pasti akan menyesal.”
“Tidak, Tuan.
Aku tidak akan ingkar. Berkelahi melawan gerombolan yang ada di hutan ini
bagiku adalah jauh lebih ringan daripada berkelahi melawan Wira Tamtama seperti
Tuan.”
Sutawijaya
tersenyum di dalam hati. Kemudian sekali lagi ia berkata,
“Pergilah.
Kumpulkan orang-orangmu, dan mulailah melakukan pekerjaanmu itu.”
“Baik, Tuan.
Kami, seluruh orang-orangku mengucapkan beribu terima kasih atas kesempatan
yang Tuan berikan kepada kami.”
“Jaga
kepercayaan ini baik-baik.”
“Ya, Tuan.”
Sejenak
kemudian Daruka beserta orang-orangnya
pun segera meninggalkan mereka. Satu-satu mereka menghilang ke dalam
semak-semak. Satu dua di antara mereka masih juga berpaling memandangi wajah
anak-anak muda itu. tetapi segera mereka membuang pandangan mata ketika mereka
melihat Swandaru yang gemuk mencibirkan bibirnya.
“Mudah-mudahan
usaha ini berhasil,” gumam Sutawijaya.
“Anakmas cukup
cerdik,” sahut Kiai Gringsing.
“Aku kira
Daruka benar-benar ketakutan. Ia pasti akan melakukan perintah itu,
mudah-mudahan ia berhasil. Nanti Anakmas akan membuka hutan ini dengan
tenteram. Orang-orang yang berdatangan tidak lagi takut mendapat gangguan dari
para penyamun dan perampok. Untuk membasmi mereka dengan cepat, alangkah
sulitnya. Sekarang Anakmas mendapat alat yang sebaik-baiknya untuk melakukan
pekerjaan itu, dan pasti hasilnya pun
akan lebih baik daripada Anakmas mengerahkan sepasukan Wira Tamtama.”
Sutawijaya
tersenyum. “Mudah-mudahan, Kiai,” katanya.
Swandaru yang
masih berdiri di tempatnya menyahut,
“Aku tidak
dapat mempercayai mereka sepenuhnya. Kalau Daruka sendiri mungkin benar-benar
telah jera, tetapi aku tidak yakin melihat wajah-wajah dari anak buahnya.”
Sutawijaya
masih saja memandangi semak-semak di mana Daruka dan orang-orangnya menghilang.
Sejenak ia terdiam. Tetapi yang menjawab perkataan Swandaru adalah Kiai
Gringsing,
“Tidak,
Swandaru. Gerombolan perampok dan penyamun merasa jauh lebih takut kepada
pimpinannya daripada prajurit yang mana pun juga. Seorang pemimpin perampok
atau penyamun dapat saja menghukum mati anggotanya setiap saat dikehendaki.
Tanpa banyak pertimbangan dan tanpa banyak pertanggungan jawab. Seorang yang
dianggapnya berkhianat atau kurang baik melakukan pekerjaannya, akan dapat
mengakibatkan kepalanya terlepas. Kalau kemudian ternyata bahwa tuduhan yang
diberikan kepadanya itu keliru, maka pimpinannya cukup bergumam ‘Oh, ternyata
keliru,’ tetapi yang mati itu tetap juga mati. Dengan demikian, maka setiap
anggota perampok atau penyamun atau sebangsanya akan berusaha untuk mentaati
dan menyenangkan hati pemimpinnya.”
Swandaru
mengangguk-anggukan kepalanya. Apa yang ditemuinya kali ini benar-benar
memberinya banyak pengalaman. Meskipun hanya berpapasan, tetapi ia melihat
beberapa orang pengewal yang benar-benar telah mempertaruhkan nyawanya untuk
melindungi orang lain menurut kesanggupannya. Mereka adalah orang-orang yang
sebenarnya mempunyai tanggungjawab yang tinggi atas pekerjaan yang mereka
pilih. Kemudian Swandaru itu melihat sebuah gerombolan perampok dan penyamun.
Dengan demikian, maka ia telah mendapat sedikit gambaran apa yang sebenarnya
tersimpan di hutan-hutan yang besar dan lebat seperti hutan Mentaok dan Tambak
Baya ini.
Bagi
Sutawijaya, apa yang dilihat itu pun
telah memberikan petunjuk kepadanya, apakah yang kelak akan dihadapinya.
Mungkin Daruka dapat melakukan sebagian dari tugasnya, tetapi mungkin juga ia
akan menemui kegagalan. Seandainya Daruka benar-benar ingin melakukan tugasnya,
maka yang dihadapinya bukan saja satu atau dua gerombolan, yang tidak begitu
banyak mempunyai perbedaan kekuatan. Mungkin gerombolan yang lain dapat
bergabung satu sama lain untuk bersama-sama mengadapi gerombolan Daruka atau
bahkan memusnahkan gerombolan Daruka ini. Sejenak mereka saling berdiam diri
tenggelam dalam angan-angan masing-masing. Yang mula-mula memecah kesenyapan
itu adalah Kiai Gringsing,
“Bagaimana,
Ngger. Apakah kita akan berjalan terus?”
“Kita sudah
sampai di sini Kiai, apakah salahnya kalau kita berjalan terus?” jawab
Sutawijaya.
“Kita tidak
akan menemukan apa-apa lagi. Alas Mentaok hampir tak akan ada bedanya dengan
hutan ini. Kita hanya dapat melihat pohon-pohon raksasa. Akar-akaran dan
batang-batang yang merambat. Daun-daun yang mengandung racun yang sangat gatal,
sejenis semut yang disebut semut Salaka, tetapi yang kini sudah hampir punah.
Harimau yang garang dan kijang yang bertanduk panjang. Apa lagi?”
“Apakah sama
sekali tidak ada daerah yang didiami orang Kiai?”
“Tentu saja
tidak di tengah-tengah Alas Mentaok. Kalau Angger berjalan terus menembus sisi
yang lain dari Alas Mentaok maka Angger akan sampai di daerah yang berpenduduk.
Daerah Nglipura, Pliridan yang masih terlampau dekat dengan hutan ini, sebelum
kita sampai di hutan Mentaok yang menjorok ke Selatan di daerah Beringan dan
Pacetokan. Tetapi menurut pengelihatanku saat-saat terahir daerah ini sudah
ditinggalkan oleh penduduknya karena gangguan para penjahat. Kemudian agak jauh
ke Selatan Angger akan menemui daerah yang sudah agak ramai, Mangir.”
“Apakah daerah
itu juga termasuk daerah Mentaok?”
Kiai Gringsing
mengerutkan keninya. Tetapi kemudian ia menggeleng,
“Aku tidak
tahu, Ngger. Meskipun daerah itu dahulu juga termasuk daerah yang tunduk kepada
Sultan Demak. Apakah daerah itu kemudian akan tunduk juga kepada Adipati Pajang
untuk seterusnya termasuk tanah yang akan dihadiahkan kepada ayahanda Ki Gede
Pemanahan, aku tidak tahu.”
Sutawijaya
berpikir sejenak. Tiba-tiba ia berkata,
“Aku ingin melihat
daerah itu, Kiai.”
Kiai Gringsing
menarik nafas. Katanya,
“Angger
memerlukan waktu yang lama. Apalagi kedatangan angger belum tentu akan mendapat
sambutan yang baik. Kita belum tahu, bagaimana tanggapan Mangir atas Pajang dan
atas Alas Mentaok.”
“Karena itu
aku ingin menemuinya. Siapakan yang memerintah Mangir? Seorang Demang?”
“Mangir adalah
sebuah Tanah Perdikan, Ngger. Seperti daerah-daerah di Bukit Menoreh. Perdikan
yang dikukuhkan oleh pengakuan Sultan Trenggana.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Tanah itu tanah perdikan. Tiba-tiba dadanya menjadi
berdebar-debar. Di samping tanah yang akan diterimanya, terletak sebuah tanah
perdikan yang sudah menjadi ramai. Apakah tanah itu mengakui kekuasaan Pajang
atas penyerahan kekuasaan daerah itu kepada Ki Gede Pemanahan? Lalu
bagaimanahkah sifat dan bentuk Tanah Mentaok kelak?
Kiai Gringsing
yang tua itu seakan-akan dapat membaca perasaan Sutawijaya. Maka katanya,
“Anakmas.
Jangan terlampau pagi merisaukan tanah ini. Apakah Angger kini sedang dijalari
oleh kecemasan tentang Mangir itu? Apakah tidak ada bahaya yang dapat datang
dari tanah itu selagi Angger membuka Tanah Mentaok ini? Bukankah Angger
berpikir tentang itu?”
“Ya Kiai.”
“Lupakanlah.
Kita akan melihat perkembangan keadaan. Memang Mangir adalah tanah perdikan
yang perlu mendapat perhatian, Tetapi tidak sekarang. Sekarang sebaiknya kita
kembali ke Sangkal Putung.”
Sutawijaya
menarik nafas. Mangir akan dapat menumbuhkan persoalan kelak. Kemudian
dipalingkannya wajahnya kepada kedua kawan-kawannya yang perhatiannya agaknya
tertarik kepada pohon-pohon raksasa dan jenis burung2 liar yang terbang hilir
mudik dari dahan ke dahan.
“Bagaimana
dengan kita?” bertanya Sutawijaya kepada kedua anak muda itu
Agung Sedayu
dan Swandaru tidak segera menjawab. Bahkan sejenak mereka saling berpandangn.
Tetapi keduanya ternyata saling berdiam diri. Meskipun Swandaru merasa banyak
mendapatkan pengalaman dalam perjalanan itu, dan meskipun sebenarnya ia masih
ingin menjelajahin tempat-tempat yang selama ini belum pernah dilihatnya, namun
ia ingat juga kepada kademangannya. Kademangan yang selama ini dipertahankannya
dengan pengorbanan yang tidak kecil. Bahkan nyawa dari beberapa orang telah
pula dikorbankan. Sedang Agung Sedayu
pun mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang lain pula. Ia menjadi
cemas, apakah kakaknya Untara membenarkannya. Kalau terjadi sesuatu atas
Sangkal Putung dan para prajurit Pajang, bahkan atas kakaknya Untara dan
pamannya Widura, maka ia tidak dapat melihatnya. Ia akan dapat dipersalahkan, bahwa
ia telah meninggalkan kewajibannya. Tetapi mereka berdua tidak inin mendahului
pendapat Sutawijaya. Mereka telah terlanjur berjanji ingin pergi bersamanya ke
Alas Mentaok. Sehingga karena itu, maka dibiarkannya Sutawijaya itu sendiri
menjawab pertanyaannya.
“Bagaimana,
Ngger?” bertanya Kiai Gringsing kemudian.
“Aku harap
Angger mempertimbangkannya. Meskipun Angger sampai juga di Alas Mentaok, maka
yang akan Angger lihat adalah serupa ini juga. Pohon-pohon besar dan rimbun,
gerumbul-gerumbul perdu yang pepat. Pohon-pohon yang merambat, yang tidak
berduri dan yang berduri. Batu-batu padas yang kotor dan jamur-jamur dari
segala macam jenis. Kemladean dan beberapa macam anggrek. Angger tidak akan
dapat melihat dengen jelas, manakah batas-batas yang memisahkan Alas Mentaok
dan Alas Tambak Baya. Mungkin sebuah padang rumput yang sempit yang masuk dalam
sebuah lekukan hutan ini dapat dianggap sebagai batas tersebut. Tetapi di dalam
hutan, maka batas itu tidak akan nampak.”
Sutawijaya
menjadi bimbang. Ia menyadari, betapa hangatnya keadaan Sangkal Putung kini.
Apalagi apabila ayahnya telah pergi meninggalkan kademangan itu. Maka Sangkal
Putung akan mengalami saat yang paling lemah tanpa adanya Agung Sedayu,
Swandaru dan lebih-lebih Kiai Gringsing. Sedang apa yang akan dilihatnya pun tidak akan jauh berbeda dari apa yang
dilihatnya sekarang. Beruntunglah bahwa ia telah bertemu dengan gerombolan
terkuat dari Alas Mentaok, Daruka, yang dapat memberinya beberapa macam
gambaran tentang Alas Mentaok yang liar. Liar wajah dan isinya. Ketika Agung
Sedayu dan Swandaru tidak juga menjawab, maka terdengar Sutawijaya itu
berdesis,
“Baiklah,
Kiai. Aku telah puas melihat sebagian saja dari Alas Mentaok. Bagian yang
bernama Tambak Baya. Aku mengerti, bahwa Sangkal Putung kini benar-benar dalam
keadaan yang sulit apabila Ki Tambak Wedi mengambil kesempatan menyerangnya.
Karena itu, baiklah kita kembali.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagus,”
desisnya,
“ternyata
Angger cukup bijaksana. Sejak saat ini kita akan memerlukan waktu sedikitnya
dua malam untuk mencapai Sangkal Putung kembali. Hari ini telah lebih dari
separo kita lampaui untuk bermain-main dengan Daruka dan kawan-kawannya. Kita
masih memerlukan waktu lagi unuk memberi kesempatan Swandaru memburu makan malamnya
nanti.”
Swandaru
menggigit bibirnya, sedang kedua kawannya tertawa perlahan-lahan.
“Kalau
begitu,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“kita segera
kembali ke Sangkal Putung. Jangan kita lalui kembali Kademangan Prambanan. Kita
pasti akan terhambat pula sedikitnya satu malam. Kita tidak akan sampai hati
menyakiti perasaan mereka apabila kita menolak permintaan mereka untuk bermalam
di kademangan itu.”
“Baik, Kiai,”
sahut Sutawijaya.
“Kita berusaha
mencari jalan lain pula. Mungkin Argajaya membuat persiapan yang baik untuk
menyambut kedatangan kita di Sangkal Putung. Karena itu, biarlah kita mencoba
menghindarinya.”
“Kenapa tidak
kita penggal saja lehernya, Kiai?” potong Swandaru.
“Leher yang
melekat ditubuh Argajaya bukanlah leher ayam. Ia pasti akan mempertahankan
lehernya. Bahkan tidak seorang diri. Mungkin bersama Sidanti, Sanakeling,
Alap-alap Jalatunda dan bahkan mungkin pula Ki Tambak Wedi. Nah, kalau demikian
apakah bukan lehermu yang meremang?”
Swandaru
tersenyum. Kedua kawannya pun tersenyum
pula.
“Nah, marilah.
Kita harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Mudah-mudahan tidak terjadi
sesuatu dengan Sangkal Putung.”
Tetapi dengan
demikian, kata-kata Kiai Gringsing yang terakhir itu telah membuat jantung
Swandaru menjadi berdebar-debar. Agung Sedayu
pun merasa cemas pula. Apakah sebenarnya yang paling mencemaskan
baginya? Agung Sedayu sendiri kadang-kadang menjadi ragu-ragu. Untara
barangkali? Untara adalah kakaknya. Untara adalah seorang senapati. Seorang yang
memimpin sepasukan prajurit yang kuat. Kenapa ia mesti mencemaskannya? Sangkal
Putung barangkali? Kademangan itu? Agung Sedayu tiba-tiba menggelengkan
kepalanya. Ia tidak mau menelusur lebih jauh, apakah sebabnya kecemasannya
tentang Sangkal Putung menjadi kian memuncak. Keempatnya kini telah berjalan
kembali ke arah yang berlawanan dari jalan yang telah ditempuhnya. Tiba-tiba
saja mereka merasa bahwa mereka telah terlampau lama meninggalkan Sangkal
Putung. Sutawijaya pun merasa, bahwa
ayahnya pasti tidak terlampau senang kepadanya karena kepergiannya yang tanpa
pamit itu. Demikianlah maka mereka berusaha tanpa berjanji, berjalan
secepat-cepatnya untuk mencapai Sangkal Putung. Mereka paling sedikit masih
memrlukan dua malam satu hari di perjalanan. Kalau saja tidak ada rintangan
apapun, kalau saja mereka tidak berjumpa dengan orang-orang Prambanan yang akan
meminta mereka untuk singgah, kalau saja mereka tidak bertemu dengan Argajaya
dan Sidanti.
Sebagian dari
harapan mereka itu pun terjadi. Mereka
setelah bermalam satu malam, dapat melampaui Prambanan tanpa dilihat oleh
seorang pun sehingga mereka tidak perlu
singgah. Bahkan mereka berusaha untuk sampai ke Sangkal Putung hari itu juga
meskipun larut malam atau bahkan sampai fajar. Seolah-olah mereka mendapat
suatu firasat, bahwa memang terjadi sesuatu di Sangkal Putung. Kiai Gringsing
agaknya melihat kegelisahan di hati ketiga anak-anak muda itu. Maka untuk
menenangkan mereka orang tua itu berkata,
“Anakmas
bertiga. Kenapa Anakmas menjadi sedemikian tergesa-gesa sperti dikejar hantu?”
Ketiga
anak-anak muda itu terkejut mendengar kata-kata Kiai Gringsing. Sejenak mereka
saling berdiam diri, tetapi sejenak kemudian mereka tersenyum.
“Bukankah Kiai
ingin segera sampai ke kademangan itu? Kita harus berjalan siang dan malam.”
“Tetapi tidak
seperti dikejar hantu. Aku melihat kalian berjalan meloncat-loncat. Perjalanan
kita cukup jauh. Kalau anak mas berjalan seperti itu, maka kita pasti akan
kelelahan sebelum kita sampai ke Sangkal Putung.”
Kembali
anak-anak muda itu tersenyum. Yang menjawab kemudian adalah Swandaru,
“Jadi apakah
lebih baik kita berjalan perlahan-lahan? Mungkin aku akan mendapat banyak waktu
untuk mendapatkan binatang buruan. Bahkan mungkin aku akan dapat membawa
oleh-oleh buat ayah dan ibu di rumah.”
Kiai Gringsing
tertawa. Katanya,
“Tidak
terlampau cepat, tetapi tidak terlalu lambat. Sedang.”
Ketiga
anak-anak muda itu tidak menjawab lagi. Tetapi kini mereka tidak lagi
meloncat-loncat seperti orang yang ketakutan. Ketika malam datang, maka Sangkal
Putung sudah tidak terlalu jauh lagi. Meskipun mereka masih berada di hutan
yang tidak begitu lebat, namun mereka bertekad untuk berjalan terus.
“Bukankah kita
sudah sampai di hutan tempat orang-orang Jipang dahulu berkemah?” gumam Agung
Sedayu.
“Ya,” sahut
Kiai Gringsing.
“Kalau begitu
kita tidak usah bermalam lagi,” berkata Swandaru.
“Kita berjalan
terus, meskipun perutku terlampau kosong. Justru karena itu aku harus segera
sampai di rumah. Mungkin masih ada sisa nasi di dapur.”
“Kalau tidak?”
potong Sutawijaya.
“Aku akan
berburu.”
“Di mana kau
akan berburu?”
“Di kandang
ayam,” jawab Swandaru.
Yang mendengar
jawaban itu tertawa. Swandaru pun
tertawa pula meskipun sekali-sekali ia harus menyerigai karena kakinya terantuk
kayu atau batu-batu padas. Tetapi mereka berempat benar-benar tidak ingin
berhenti berjalan.
Kiai Gringsing
membiarkan saja anak-anak muda itu mengambil sikap. Namun tampak juga, bahwa
anak-anak muda itu telah mulai dirayapi oleh perasaan lelah. Meskipun demikian,
tak seorang pun yang ingin berhenti di
jalan. Sebelum fajar mereka harus sudah sampai di Sangkal Putung. Yang dapat
mereka lakukan hanyalah memperlambat perjalanan untuk mengurangi kelelahan
mereka. Tetapi tidak untuk berhenti. Meskipun demikian, meskipun mereka
berjalan malam hari, namun mereka tidak menempuh jalan yang terpendek. Mereka
masih juga memperhitungkan Argajaya dan Sidanti. Argajaya itu dua hari yang
lalu pasti sudah bertemu dengan Sidanti. Paman Sidanti itu pasti sudah banyak
berceritera, dan Sidanti pun telah banyak bercerita pula. Karena itu, maka
dendam mereka pasti akan berganda. Gurunya Ki Tambak Wedi pasti tidak pula akan
tinggal diam. Karena itu, maka mereka harus menghindari kemungkinan itu,
kemungkinan bertemu dengan Sidanti, meskipun Swandaru sama sekali tidak ingin
melakukannya. Ternyata sedikit lewat tengah malam mereka telah mendekati
Kademangan Sangkal Putung. Mereka telah sampai di sebuah padang rumput yang
tidak begitu luas. Karena itu mereka harus berjalan agak lebih cepat. Sebab di
padang rumput, maka bayangan mereka pasti akan lebih mudah dilihat oleh
siapapun, meskipun mereka telah bergeser beberapa puluh langkah dari jalan yang
terdekat. Semakin dekat dengan mereka Kademangan Sangkal Putung, maka hati
mereka pun menjadi berdebar-debar.
Mereka tidak melihat sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Mereka tidak melihat
kelainan daripada biasanya. Kalau terjadi sesuatu atas Kademangan itu, maka
mereka pasti melihat suatu perubahan apapun. Mereka masih melihat lampu-lampu
yang sinarnya kadang-kadang meloncat dari celah-celah dinding rumah. Di mulut
lorong mereka masih melihat sebuah pelita yang menyala. Tiba-tiba Swandaru
memperlambat jalannya sambil menarik nafas dalam-dalam.
“Hem, ternyata
Sangkal Putung tidak mengalami sesuatu.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Begitulah agaknya.”
“Kalau begitu,
sejak kini aku akan berjalan lambat-lambat. Bukankah kita tidak perlu
tergesa-gesa.”
“Ah, kau”,
sahut Agung Sedayu,
“akulah kini
yang tergesa-gesa. Bukankah kau masih ingin berburu?”
Swandaru
tertawa. Tetapi tiba-tiba ia menguap.
“Aku tidak
terlalu lelah tetapi aku mengantuk.”
Namun mereka
tidak lagi merasa gelisah. Apalagi ketika mereka sudah memasuki padesan. Namun
agaknya Swandaru ingin mengejutkan orang-orang di kademangan, karena itu
katanya,
“Marilah kita tidak
melalui jalan. Kita membuat kejutan bagi orang-orang kademangan.”
Kedua
kawan-kawannya tidak membantah. Kiai Gringsing pun menuruti saja kemauan
muridnya yang aneh itu. Tetapi ketika mereka memasuki halaman kademangan lewat
belakang, mereka benar-benar terperanjat. Ternyata kademangan itu benar-benar
tidak seperti biasanya. Bahkan lamat-lamat Swandaru mendengar tangis perempuan.
Tangis ibunya. Mereka berempat itu pun
tertegun sejenak. Suara tangis yang lamat-lamat itu masih mereka dengar.
Sejenak mereka saling berpandangan. Namun tak seorang pun yang tahu, apakah sebenarnya yang telah
terjadi.
Menilik
tanda-tanda yang mereka jumpai di sepanjang jalan, mereka sama sekali tidak
melihat bekas-bekas keributan. Dari tempat mereka menyelinap di antara pepohonan
sambil meloncat-loncat di antara dinding-dinding halaman, mereka melihat
gardu-gardu peronda masih juga seperti biasanya. Memang mereka melihat
kesiapsiagaan yang agak lebih ketat dari kebiasaan. Tetapi mereka menyangka
bahwa keadaan sekedar meningkat menjadi lebih genting, tetapi belum terlambat. Swandaru
menjadi bertambah cemas ketika tangis itu tidak juga berkurang. Ibunya tidak
pernah menangis karena hal-hal yang tidak terlampau penting. Betapapun ibunya
sedang sakit, tetapi ia hanya berbaring diam. Hanya apabila ia sedang sakit
gigi, maka ibunya itu menangis. Tetapi tangisnya tidak sekeras kali ini.
“Agaknya
memang telah terjadi sesuatu,” bisik Swandaru.
Agung Sedayu
mengangguk, “Ya.”
“Tetapi tidak
ada tanda-tanda yang kita temui,” sahut Sutawijaya.
Mereka pun kemudian terdiam. Ketika mereka berpaling
kepada Kiai Gringsing, orang tua itu pun
sedang termenung.
“Bagaimana
Kiai?”
Kiai Gringsing
menggeleng, “Aku tidak tahu. Marilah kita lihat.”
“Sebenarnya
aku ingin bermain-main. Aku ingin mengejutkan orang-orang kademangan. Diam-diam
aku ingin tidur, sehingga besok pagi mereka pasti terkejut melihat kami di
pendapa, atau di gandok wetan. Tetapi agaknya kita harus berbuat lain.”
“Agaknya kita
tidak sedang menghadapi persoalan yang dapat dibawa untuk bergurau,” gumam Kiai
Gringsing.
“Marilah
jangan terlampau lama.”
Ketiga
anak-anak muda itu pun kemudian
mengikuti langkah Kiai Gringsing. Mereka tidak lagi berkata apa pun. Kiai
Gringsing benar-benar sedang berpikir. Kalau saja Kiai Gringsing menjadi gelisah,
maka persoalan yang mereka hadapi pasti bukan sekedar persoalan yang ringan. Memang
sekali-kali Swandaru hanya menganggap bahwa ibunya pasti sedang sakit gigi.
Sebab baik di setiap sudut penjagaan maupun di halaman itu sendiri mereka tidak
melihat kekhususan yang mencolok. Tetapi anggapan itu tidak diyakininya
sendiri. Setiap kali dadanya terasa berdesir, semakin lama menjadi semakin
tajam.
Mereka
berhenti ketika mereka melihat dua orang berjalan di bagian belakang halaman
itu. Supaya tidak menimbulkan kegaduhan maka mereka pun berhenti dan menyelinap
di balik pepohonan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat begitu terlalu lama,
sebab kedua orang itu ternyata menuju ke tempat yang agak terlindung. Pada saat
itulah baru mereka mengetahui, bahwa di sudut yang gelap itu ternyata telah
diadakan sebuah penjagaan. Penjagaan di tempat itu tidak pernah ada sebelumnya.
Penjagaan di bagian belakang ini berada di samping regol yang telah ditutup
mati hanya malam hari apabila keadaan mengkhawatirkan. Sedang penjagaan yang
biasa terdapat di tikungan, di gardu perondan. Sekarang di tempat itu ternyata
ada sebuah penjagaan sehingga dengan demikian mereka dapat menduga sesuatu
benar-benar telah terjadi. Tiba-tiba Swandaru menjadi tidak bersabar lagi.
Dengan terbata-bata ia berbisik,
“Kiai, aku
akan melihat apakah yang telah terjadi.”
“Tunggu,”
cegah Kiai Gringsing.
“Jangan
mengejutkan para penjaga yang sedang dalam kesiapsiagaan penuh. Kalau mereka
melihat kita berempat, maka mereka pasti menyangka bahwa mereka menghadapi bahaya.
Dengan demikian, maka kegaduhan pasti akan timbul. Karena itu, biarlah aku
sendiri menemui mereka dan mengatakan bahwa kalian telah kembali.”
“Baik Kiai,”
sahut Swandaru tidak sabar.
Kiai
Gringsing pun kemudian melangkah maju.
Perlahan-lahan dan hati-hati. Ternyata para penjaga itu pun belum melihatnya. Untuk menghindari
kesalah-pahaman, maka Kiai Grinsing itu
pun terbatuk-batuk kecil. Sehingga dari tempat yang terlindung ia mendengar
seseorang menyapanya,
“He, siapakah
itu?”
“Aku, Tanu
Metir.”
“Oh,”
terdengar seseorang berdesah
“Kenapa Kiai berada di situ?”
Kiai Grinsing
tidak segera menjawab. Bahkan ia masih juga terbatuk-batuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar