“BAGAIMANA dengan Ki Tambak Wedi?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Bukankah Kiai
bertempur melawannya di sini?”
“Lari,” jawab
Ki Tanu Metir pendek.
“Orang itu
benar-benar licin seperti hantu. Ia berhasil menghilang dari kepungan kami, dan
kini berhasil meloloskan diri dari tangan Kiai. Bagaimana dengan Sidanti dan
yang seorang lagi?”
“Ketiganya
dapat melepaskan diri.”
“Sayang,” desis
para prajurit Pajang,
”mereka akan
menjadi bibit persoalan di waktu-waktu mendatang.”
“Ya. Bibit itu
akan cepat tumbuh dan berkembang. Mereka mempunyai tanah yang subur bagi
pertumbuhan bibit itu.”
“Di mana,
Kiai?”
“Menoreh.”
Para prajurit
itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Namun segera mereka memalingkan kepala
mereka ketika mereka mendengar Swandaru menyela,
“Bagaimana
dengan Sekar Mirah?”
Swandaru tidak
menunggu jawaban. Segera ia melangkah dan keluar dari kerumunan para prajurit
itu. Dengan tergesa-gesa ia melangkah menuju ke arah pintu yang masih saja
miring. Agung Sedayu ketika melihat Swandaru pergi, segera menyusulnya di
belakang. Ki Tanu Metir masih belum beranjak dari tempatnya. Dibiarkannya kedua
muridnya itu pergi menemui Sekar Mirah, sedang Ki Tanu Metir sendiri kemudian
kembali sibuk menjawab pertanyaan para prajurit yang mengerumuninya.
Ketika
Swandaru masuk ke dalam rumah bersama Agung Sedayu, maka mereka melihat Sekar
Mirah telah berdiri di sudut ruangan. Di atas bale-bale bambu kini terbaring
sesosok tubuh. Ia, adalah prajurit yang telah dikenai gelang-gelang-gelang besi
oleh Ki Tambak Wedi. Sedang di sudut yang lain kedua orang Tambak Wedi yang
terikat masih juga terikat. Demikian Sekar Mirah melihat Swandaru masuk, maka
sekali lagi ia berlari mendapatkannya sambil menangis. Tetapi kini ia sudah
tidak menjerit-jerit lagi.
“Kakang, aku
takut,” katanya di antara isak tangisnya.
“Jangan takut,
Mirah. Kau sekarang sudah bebas,” jawab Swandaru.
Sekar Mirah
mengangkat wajahnya. Pandangannya masih mengandung kecemasan,
“Apakah aku
sekarang sudah bebas?”
“Sudah,
Mirah.”
“Tetapi kita
masih berada di sini. Kita masih berada di Tambak Wedi.”
“Ya, tetapi
semuanya sudah selesai. Padepokan ini sudah dikuasai oleh Kakang Untara.”
“Lalu bagaimana
dengan Sidanti dan orang-orang lain yang menakutkan itu?”
“Sidanti telah
pergi. Ia telah melarikan diri dari padepokannya bersama guru dan pamannya.”
“Lari?”
“Ya. Sayang
kami tidak dapat menangkapnya hidup atau mati. Ia berhasil meloncat dinding lewat
sebatang pohon preh.”
Sekar Mirah
memandang wajah kakaknya dengan penuh pertanyaan. Katanya,
“Apakah kalian
tidak dapat mengejarnya lewat pohon preh itu pula?”
Swandaru
menggeleng, “Tidak, Mirah. Kami tidak dapat mengejarnya. Ternyata pohon preh
itu memang sudah dipersiapkannya menjadi sebuah pintu rahasia.”
Sekar Mirah
terdiam. Namun tampaklah bahwa ia menjadi sangat kecewa. Sidanti baginya akan
tetap menjadi hantu sebelum terbunuh. Setiap kali ia akan muncul dan
menakut-nakutinya.
“Jangan
takut,” berkata Swandaru kemudian yang seakan-akan dapat mengerti perasaan
adiknya,
“kini Sidanti
sama sekali sudah tidak berdaya menghadapi Kakang Agung Sedayu. Sidanti bukan
lagi menjadi hantu bagi kami. Untuk waktu yang lama aku kira ia tidak akan
menampakkan dirinya lagi.”
“Kemanakah
orang itu bersembunyi?”
“Mungkin ia
akan kembali ke kampung halamannya, Menoreh.”
Sekar Mirah
terdiam. Tanpa sesadarnya ia berpaling. Ketika pandangan matanya bertemu dengan
sorot mata Agung Sedayu, maka cepat-cepat gadis itu menundukkan kepalanya. Dada
Agung Sedayu pun berdesir. Dilemparkannya pandangan matanya jauh-jauh ke luar
rumah lewat lubang pintu. Dilihatnya di luar beberapa orang berdiri mengerumuni
Kiai Gringsing. Sejenak mereka dicengkam oleh keheningan. Sekar Mirah kini sudah
tidak menangis lagi. Tetapi ia masih juga selalu dibayangi oleh ketakutan.
Jangan-jangan Sidanti dan gurunya akan muncul dengan tiba-tiba. Namun kehadiran
beberapa orang prajurit Pajang telah menambah ketenteraman hatinya. Ia percaya
bahwa Untara telah menduduki padepokan Tambak Wedi. Sejenak kemudian Ki Tanu
Metir telah masuk ke dalam rumah itu pula diiringi oleh beberapa orang
prajurit. Ketika ia melangkahkan kakinya masuk, maka segera ia berdesis,
“Nini Sekar
Mirah, sekarang kau tidak perlu takut lagi. Kau akan segera dapat kembali
kepada ayah dan ibu di Sangkal Putung. Semuanya sudah selesai di sini.”
Hati Sekar
Mirah yang sudah agak tenteram itu pun
telah dapat diaturnya, sehingga ia mampu menjawab,
“Terima kasih,
Kiai. Aku sudah sangat rindu kepada ayah dan ibu.”
“Setiap saat
yang kau kehendaki kau akan kami antar ke Sangkal Putung,” sahut Ki Tanu Metir.
Sekali lagi
Sekar Mirah menjawab,
“Terima kasih,
Kiai.”
Ki Tanu Metir
itu pun kemudian memandangi prajurit
yang terbaring diam. Tampaklah wajahnya berkerut. Perlahan-lahan ia berjalan
mendekatinya. Ketika ia meraba tangan prajurit itu maka terdengar ia berdesah,
“Hem, aku
terlambat. Aku kira aku masih dapat berbuat sesuatu atasnya.”
Kawannya, yang
merawatnya pada saat ia terpelanting dari kudanya berdiri di belakang Ki Tanu
Metir. Katanya,
“Sejak ia
pingsan, ia tidak sempat bangun kembali, Kiai.”
Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam, desahnya,
“Yang aku
kejar pun tidak aku dapat, sedang prajurit ini tidak tertolong lagi.”
Tak
seorang pun yang menyahut.
“Ini adalah
keharusan di luar kemungkinan tangan manusia,” gumam Ki Tanu Metir pula.
Ketika orang
tua itu meraba pundak prajurit yang telah gugur itu, maka terasa olehnya bahwa
tulang prajurit itu pecah oleh gelang-gelang Ki Tambak Wedi. Apalagi kemudian
ia terpelanting jatuh dari punggung kuda yang berlari kencang. Namun tiba-tiba
Ki Tanu Metir itu mengangkat wajahnya, memandang berkeliling sambil berkata
perlahan-lahan seperti kepada diri sendiri,
“He, di
manakah Angger Wuranta? Sejak aku datang aku belum melihatnya. Bukankah ia
tinggal di sini?”
Semua kepala
yang ada di dalam rumah itu terangkat. Mereka saling memandang dan
bertanya-tanya di dalam hati. Apalagi Agung Sedayu dan Swandaru. Selama ini
mereka telah melupakan anak muda itu. Dan tiba-tiba saja mereka tersentak dalam
satu ingatan atasnya. Mereka mencoba mencari Wuranta di sekitarnya, di dalam
rumah itu. Tetapi mereka tidak melihatnya.
“Bukankah ia
berada di rumah ini ketika kita pergi?” desis Swandaru.
Agung Sedayu
mengangguk. Tampaklah perasaan aneh membayang di wajahnya. Ia melihat sikap
yang tak dimengertinya pada anak muda itu. Pada saat-saat ia mencoba
menyelamatkannya, Wuranta menjadi salah paham dan bahkan marah kepadanya.
Sekarang anak muda itu pergi tanpa menunggunya. Dalam kebingungan itu ia
mendengar Ki Tanu Metir bertanya kepada prajurit yang merawat kawannya yang
terluka,
“Apakah kau
melihat Angger Wuranta di sini?”
Prajurit itu mengerutkan
keningnya. Jawabnya,
“Aku terlampau
sibuk sehingga aku tidak begitu memperhatikan keadaan di rumah ini. Aku kira,
aku hanya melihat gadis yang menangis itu dan dua orang yang terikat.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Prajurit ini bukan prajurit yang pernah berada
di Sangkal Putung. Prajurit ini adalah prajurit yang baru datang dari Pajang ke
Sangkal Putung dekat sebelum berangkat ke Jati Anom, sehingga ia belum begitu
mengenal Sekar Mirah, meskipun persoalannya telah pernah didengarnya.
“Gadis itulah
yang bernama Sekar Mirah,” berkata Ki Tanu Metir.
“Aku sudah menyangka,”
sahut prajurit itu,
“tetapi aku
belum bertanya sesuatu kepadanya.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berpaling kepada Sekar Mirah dan
bertanya,
“Apakah Angger
Wuranta berkata kepadamu, bahwa ia akan pergi?”
Sekar Mirah
menggelengkan kepalanya, jawabnya,
“Tidak, Kiai.
Ia tidak berkata apa-apa.”
“Apakah kau
melihat ia pergi, Nini?”
“Aku melihat
ia keluar dari rumah ini, Kiai. Hampir bersamaan dengan saat Kiai mengejar Ki
Tambak Wedi.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-angguk pula. Kemudian katanya,
“Mungkin
berada di luar rumah.”
Agung Sedayu
dan Swandaru segera melangkah ke luar. Beberapa orang prajurit pun pergi pula bersamanya. Meskipun mereka
tidak begitu mengerti soalnya, namun mereka ingin juga membantu mencarinya.
“Bukankah
Wuranta anak Jati Anom itu yang kalian cari,” bertanya salah seorang dari
prajurit-prajurit itu.
“Ya,” sahut
Agung Sedayu.
Sejenak
kemudian di halaman rumah itu berkeliaran beberapa orang yang berusaha untuk
menemukan Wuranta. Tetapi agaknya Wuranta sudah tidak berada di halaman itu. Ketika
Agung Sedayu dan Swandaru kemudian masuk ke dalam rumah itu lagi, maka mereka
menggelengkan kepala mereka. Terdengar Agung Sedayu berdesis,
“Tidak ada,
Kiai.”
“Aneh, ke mana
Angger Wuranta itu pergi?”
Tak
seorang pun yang menjawab. Agung Sedayu
dan Swandaru hanya saling berpandangan saja.
Ki Tanu Metir
itu pun kemudian menarik nafas
dalam-dalam sambil berkata,
“Kita harus
menemukannya. Apakah Angger Untara akan datang ke mari juga?” bertanya orang
tua itu kemudian kepada para prajurit Pajang.
Salah seorang
dari mereka menggelengkan kepalanya sambil menjawab,
“Aku tidak
tahu, tetapi aku kira Ki Untara terlampau sibuk. Ia berada di halaman banjar.”
“Apakah tidak
ada waktu baginya untuk melihat keadaan ini,” bertanya Agung Sedayu,
“di sini baru
saja terjadi pertempuran antara Ki Tanu Metir dan Ki Tambak Wedi.”
Sekali lagi
prajurit itu menggelengkan kepalanya.
“Dan di sini
pula Sekar Mirah diketemukan,” sambung Swandaru.
Prajurit itu
masih juga menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu,” katanya.
Namun yang
menjawab kemudian adalah Ki Tanu Metir.
“Persoalan
Angger Untara cukup banyak. Ia adalah seorang senapati perang. Perhatiannya
terutama ada pada keadaan peperangan seluruhnya. Maaf Angger Swandaru, bahwa
soal Angger Sekar Mirah adalah hanya sebagian dari seluruh persoalan yang
digarap oleh Angger Untara. Karena itu ia kini berada di pusat pimpinan dari
padepokan ini, itu bukan berarti Angger Untara tidak menaruh perhatian atas
peristiwa yang terjadi di sini. Bukankah ia telah mengirimkan beberapa orang
prajurit ke mari?”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab. Sedang Agung
Sedayu pun hanya menundukkan kepalanya
saja. Mereka dapat mengerti alasan yang diberikan oleh Ki Tanu Metir meskipun
tidak sepenuhnya.
Namun tangkapan
Sekar Mirah agak berbeda. Keterangan itu terasa agak menusuk perasaannya. Ia
merasa bahwa persoalannya dianggap kecil saja oleh Untara dan Ki Tanu Metir.
Pengaruh keadaannya selama di kademangan, sebagai gadis yang paling dihargai di
seluruh Sangkal Putung, Sekar Mirah merasa dirinya cukup penting untuk menjadi
pusat persoalan. Ia merasa bahwa persoalan yang terjadi adalah persoalan
tentang dirinya. Tentang hilangnya Sekar Mirah dari Sangkal Pulung. Bukan
persoalan antara Pajang dengan Jipang dan padepokan Tambak Wedi. Itulah
sebabnya maka perasaan gadis itu tersinggung. Namun demikian Sekar Mirah tidak
mengucapkan sepatah kata pun.
Yang berbicara
kemudian adalah Ki Tanu Metir pula,
“Marilah kita
pergi ke banjar. Kita menemui Angger Untara, sambil mencari Angger Wuranta.
Mungkin ia berada di sana pula. Kita harus menemukannya. Apalagi anak muda itu
sedang terluka.”
Tetapi Agung
Sedayu dan Swandaru tidak menyahut. Mereka masih berdiri saja di tempatnya
ketika Ki Tanu Metir melangkahkan kakinya. Dengan demikian, maka Ki Tanu Metir
itu pun tertegun sejenak sambil
bertanya,
“Kenapa kalian
masih diam saja?”
Agung Sedayu
berpaling ke arah kedua orang yang terikat itu. Katanya,
“Bagaimana
dengan kedua orang itu?”
“O,” Ki Tanu
Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada salah seorang prajurit ia
berkata,
“Keduanya
adalah orang-orang Tambak Wedi yang bertugas mengawasi Angger Sekar Mirah.
Terserahlah kepada kalian. Tetapi keduanya menyerah. Perlakukan mereka sebagai
orang-orang yang tidak melakukan perlawanan.”
Prajurit itu
mengangguk, jawabnya, “Baik, Kiai.”
“Nah, sekarang
marilah kita pergi,” ajak Ki Tanu Metir. Agung Sedayu pun kemudian melangkahkan kakinya pula.
Tetapi sekali
lagi mereka tertegun ketika mereka mendengar Swandaru berkata kepada adiknya,
“Marilah,
Sekar Mirah. Kita pergi ke banjar untuk menemui Kakang Untara.”
“Apakah kita
perlu pergi ke banjar?” bertanya Sekar Mirah.
Pertanyaan itu
benar-benar mengejutkan. Ki Tanu Metir
pun mengerutkan keningnya.
“Tentu,” jawab
Swandaru, “kita menemui Kakang Untara.”
“Apakah ada
gunanya?” sahut Sekar Mirah. Kata-kata itu ternyata telah menarik perhatian
setiap orang yang berada di dalam rumah itu. Beberapa orang prajurit saling
berpandangan.
“Tentu,” jawab
Swandaru pula.
“Bukankah kita
sama sekali tidak penting bagi Kakang Untara, Senapati Pajang yang perkasa itu?
Kita adalah anak-anak padesan yang tidak berarti. Apakah gunanya kita
menemuinya? Mungkin ia sama sekali tidak sempat menyisihkan waktu buat melihat
kedatangan kita.”
“Ah,” potong
Agung Sedayu,
“jangan
begitu, Mirah. Jangan terlampau perasa. Aku tahu apa yang mengganggu
perasaanmu. Tetapi sebaiknya kau mencoba memahami apa yang terjadi.”
Sekar Mirah
memandang wajah Agung Sedayu dengan sorot mata yang tajam. Dengan tajam pula ia
berkata,
“Kau adalah
adik dari senapati besar itu. Tentu bagimu selalu tersedia waktu. Tetapi bagi
kami. Aku dan Kakang Swandaru? Kami adalah anak-anak padukuhan Sangkal Putung
yang tidak berarti.”
“Kau salah
terima, Nini,” potong Ki Tanu Metir,
“aku kira kita
masing-masing terlibat dalam persoalan kita sendiri. Marilah kita coba melihat
persoalan ini secara keseluruhan, tanpa melihat kepentingan sendiri. Mungkin
kata-katakulah yang salah kau artikan. Sebab akulah yang menyatakan
alasan-alasan kenapa Angger Untara tidak datang kemari, bukan Angger Untara
sendiri. Mungkin Angger Untara mempunyai alasan lain. Bahkan mungkin Angger
Untara sendiri yang bertempur melawan Senapati Jipang. Sanakeling?” Ki Tanu
Metir berhenti sejenak. Diamatinya wajah Sekar Mirah yang suram. Kemudian
dilanjutkannya,
“Karena itu,
Nini, marilah kita melihat apakah yang sudah terjadi di banjar.”
Sejenak Sekar
Mirah tidak menyahut. Ia mencoba mengerti apa yang sebenarnya terjadi di
padepoken ini. Namun kembali ia terlempar pada kesimpulan, bahwa peperangan
yang terjadi adalah karena Sidanti mengambilnya dari Sangkal Putung. Padepokan
ini diduduki oleh sepasukan prajurit, Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Agung
Sedayu, karena mereka berusaha membebaskan dirinya. Namun ternyata setelah hal
itu terjadi, Untara agaknya acuh tak acuh saja terhadapnya. Ia sama sekali
tidak meneriakkan kemenangan atas kebebasannya, dan bahkan menjenguk pun ia
sama sekali tidak sempat. Meskipun Sekar Mirah mengetahui, bahwa Pajang dan
Jipang memang sedang dalam perselisihan, kemudian Sidanti telah menempatkan
diri sebagai lawan Pajang pula, namun semua itu tidak akan terjadi secepat ini,
seandainya ia tidak hilang dari Sangkal Putung. Tetapi bagaimana juga ia kini
berhadapan dengan Ki Tanu Metir, orang yang telah langsung menyelamatkannya.
Tanpa orang tua itu maka Agung Sedayu dan Swandaru tidak akan berarti apa-apa
buat Ki Tambak Wedi, apalagi bersama Sidanti dan Argajaya. Karena itu, maka ia
masih juga mempunyai rasa segan kepada orang tua itu. Ketika Ki Tanu Metir
mengajaknya sekali lagi, maka Sekar Mirah tidak dapat menolak. Maka pergilah
kemudian mereka berempat, bersama beberapa orang prajurit ke banjar Padepokan
Tambak Wedi. Beberapa orang prajurit yang lain tetap berada di rumah itu
mengurus kedua tawanan yang masih terikat. Di sepanjang jalan mereka berusaha
untuk menemukan Wuranta. Anak muda itu terluka di dadanya. Meskipun luka itu
telah diobati namun obat itu masih perlu disempurnakan, supaya luka itu lekas
menjadi sembuh. Namun di sepanjang jalan mereka sama sekali tidak melihatnya. Semakin
dekat dengan banjar, maka terasa tengkuk Sekar Mirah menjadi semakin meremang.
Ketika ia menengadahkan kepalanya, maka dilihatnya beberapa ekor burung gagak
terbang melingkar-lingkar. Suaranya menggeletar dalam nada yang berat seperti
teriakan hantu yang penuh dendam dan kebencian, bersahut-sahutan. Agung Sedayu
dan Swandaru pun sekali-sekali
menengadahkan kepalanya. Burung-burung gagak itu benar-benar mempunyai alat
pencium yang tajam. Begitu di padepokan itu darah tertumpah, maka segera mereka
berdatangan seperti tamu-tamu dalam perhelatan yang meriah. Tiba-tiba mereka
terkejut ketika mereka mendengar Sekar Mirah memekik tinggi. Dengan serta-merta
ia memeluk kakaknya erat-erat sambil berteriak,
“Kita kembali,
Kakang. Kita kembali. Aku takut. Aku tidak mau berjalan terus ke banjar
padepokan ini. Mari, antarkan aku kembali.”
Rombongan
kecil itu pun segera terhenti. Ketika
mereka memandang ke depan, maka mengertilah mereka, kenapa Sekar Mirah tidak
mau maju lagi. Dari tempat itu mereka telah melihat beberapa orang prajurit
Pajang sudah mulai mengangkat mayat yang membujur-lintang di jalan di muka
banjar. Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Kalau mereka berjalan terus,
maka di halaman di sekitar banjar itu pasti juga akan berserakan mayat
orang-orang Jipang, orang-orang Tambak Wedi dan para prajurit Pajang. Dan Ki
Tanu Metir itu masih mendengar Sekar Mirah berkata,
“Mari, Kakang,
kita kembali. Kita jauhi tempat yang mengerikan itu.”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi ragu-ragu. Karena itu maka anak itu
berdiri saja termangu-mangu di tempatnya. Hanya sorot matanya sajalah yang
seolah-olah bertanya kepada gurunya, apakah yang sebaiknya dilakukan. Ki Tanu
Metir tanggap akan pertanyaan yang memancar dari mata Swandaru, maka katanya,
“Kita sudah
dekat sekali, Nini. Beberapa langkah lagi kita akan sampai ke banjar padepokan
Tambak Wedi.”
“Tidak, aku
tidak mau. Aku takut.”
“Tidak ada
yang menakutkan. Mungkin ada beberapa orang terluka yang tergolek di pinggir
jalan. Tetapi mereka akan segera mendapat perawatan.”
“Mereka bukan
orang-orang yang sekedar terluka. Mereka adalah orang-orang yang terbunuh di
dalam peperangan.”
“Memang
mungkin sekali hal itu terjadi,” sahut Ki Tanu Metir, “tetapi Angger dapat
memejamkan mata apabila Angger lewat di dekat tempat bekas perkelahian itu.”
“Aku tidak
mau. Lebih baik aku kembali.”
“Nini,”
berkata Ki Tanu Metir pula, “jalan ini adalah jalan satu-satunya. Jalan ini
pulalah jalan yang menuju ke satu-satunya regol padepokan ini. Tak ada jalan lain.
Nah, Ngger, sebaiknya Nini lewat sekarang daripada menunggu sampai nanti atau
besok. Sekarang Nini masih mendapat kawan-kawan yang dapat membayangi Nini dari
pemandangan yang mengerikan. Orang-orang yang sibuk di sekitar banjar akan
mengurangi kengerian itu.”
“Aku tidak
percaya, kalau jalan ini adalah jalan satu-atunya. Dekat di pinggir-pinggir
padepokan ini ada jalan pula yang mengelilingi padepokan seperti dinding batu
itu. Kita dapat mencari jalan itu Dan kita akan sampai di seberang banjar
padepokan.”
Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam. Memang benar seperti yang dikatakan Sekar Mirah. Di
sekitar padepokan ini masih di dalam lingkungan dinding batu memang ada jalan
yang mengelilingi padepokan ini. Meskipun demikian ia berkata,
“Tetapi kita
akan mampir ke banjar itu, Nini. Kita akan mencari Angger Wuranta dan menemui
Angger Untara.”
“Aku tidak
perlu kedua-duanya. Aku tidak memerlukan Wuranta dan Untara.”
“Ah,” Ki Tanu
Metir menarik nafas sekali lagi,
“Angger,
keduanya adalah orang-orang yang paling berjasa dalam usaha melepaskan Angger
dari padepokan ini.”
“Tetapi
keduanya sama sekali tidak mengacuhkan aku lagi. Keduanya menganggap aku tidak
berarti bagi mereka. Mungkin bagi mereka aku hanyalah kebetulan saja berada di
sini. Sebab aku hanyalah seorang gadis Sangkal Putung.”
“Angger
terlampau perasa.”
“Tidak, Kiai.
Ternyata Wuranta pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadaku yang berdiri
hanya beberapa langkah daripadanya. Sedang Untara adalah seorang besar yang
mempunyai seribu macam persoalan, sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk
mempersoalkan aku lagi.”
“Nini,”
berkata Ki Tanu Metir sareh,
“seandainya
demikian. Seandainya mereka tidak memerlukan kita lagi, sebab seperti juga Nini
Sekar Mirah, aku bukan orang yang penting bagi Angger Untara, maka marilah kita
mencoba menemuinya untuk mengucapkan terima kasih kepadanya. Apabila usaha kita
untuk menemuinya gagal, maka bukan salah kita apabila kita tidak berkesempatan
untuk menyatakan terima kasih kita itu,”
Sekar Mirah
terdiam sejenak. Tetapi ia masih menyembunyikan wajahnya di dada kakaknya.
Gumamnya,
“Kiai, tidak
saja karena aku merasa tidak mendapat tempat di hadapan senapati besar yang
perkasa itu, tetapi aku takut, Kiai. Aku tidak berani lewat jalan yang penuh
dengan genangan darah.”
“Angger adalah
seorang gadis yang berani dan tabah. Di Sangkal Putung Angger dengan tanpa
perasaan takut telah meringankan para prajurit Pajang dan anak-anak muda
Sangkal Putung yang terluka. Nini telah membantu melakukan pengobatan dan
melayani mereka makan dan minum.”
“Tetapi tidak
seperti itu, Kiai. Di hadapan kita mayat bertimbun-timbun seperti tebangan
batang pisang.”
“Tidak, Ngger.
Tidak. Angger hanya salah lihat. Tetapi sebaiknya Angger tidak usah melihatnya
untuk yang kedua kali, Angger akan berjalan di antara kami dan para prajurit
yang berjalan bersama kami. Angger sebaiknya memejamkan mata atau memandang ke
udara.”
Sejenak Sekar
Mirah tidak menjawab. Dicobanya untuk memandang Agung Sedayu dengan sudut
matanya. Dilihatnya anak muda itu berdiri saja termangu-mangu, sedang para
prajurit berdiri tegak kaku seperti tiang-tiang di pendapa rumahnya di Sangkal
Putung.
“Bagaimana,
Mirah?” terdengar kakaknya berdesis.
“Sebaiknya
kita mengucapkan terima-kasih kepada Kakang Untara dan Kakang Wuranta. Bukankah
mereka telah menentukan suatu keadaan di mana kita mungkin dapat keluar dari
padepokan ini?”
Sekar Mirah
tidak membantah. Dianggukkannya kepalanya perlahan-lahan. Namun ia bergumam,
“Tetapi aku
takut, Kakang.”
“Jangan
melihat keadaan di sekitarmu. Lihatlah burung yang berputaran di udara, atau
pejamkan saja matamu supaya kau tidak melihat sesuatu.”
Sekali lagi
Sekat Mirah menganggukkan kepalanya. Maka dengan dibimbing oleh Swandaru mereka
berjalan lagi menuju ke banjar padepokan. Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak
berani melihat keadaan di sekitarnya. Ditengadahkan saja wajahnya melihat
burung yang berterbangan di langit, awan yang sehelai-sehelai mengalir
dihanyutkan oleh angin yang silir. Dilihatnya kebiruan langit yang sudah mulai
dibayangi oleh warna yang kemerah-merahan. Matahari semakin lama menjadi makin
rendah di Barat. Sebentar lagi matahari yang terapung di langit itu sudah akan
menyentuh punggung Gunung Merapi. Ketika mereka memasuki halaman banjar, mereka
melihat beberapa orang sedang sibuk membersihkan halaman. Merawat mereka yang
terluka atau menyingkirkan mayat yang berserak yang segera akan diselenggarakan
pemakamannya. Di pendapa banjar itu juga terbujur beberapa sosok jenazah dari
para jurit Pajang yang gugur dalam tugasnya.
Di muka banjar
itu Ki Tanu Metir berhenti sejenak. Di lihatnya beberapa orang prajurit sedang
berkerumun. Ternyata di antara mereka terdapat bintara dan beberapa orang
perwira bawahannya. Ketika Senapati Pajang itu melihat Ki Tanu Metir maka
segera ia mendapatkannya sambil berkata,
“Silahkan
Kiai, silahkanlah masuk dan duduk di pringgitan. Aku mengucapkan terima kasih
atas segala bantuan yang Kiai berikan sehingga semuanya dapat berlangsung
dengan baik. Marilah, silahkanlah semuanya masuk. Aku masih sibuk dengan
beberapa macam pekerjaan, sehingga sayang, aku tidak dapat meninggalkannya.”
“Silahkan,
Ngger, silahkan menyelesaikan pekerjaan Angger. Biarlah kami menunggu di pringgitan
sampai Angger selesai.”
“Terima kasih.
Wah, silahkanlah.” Untara berhenti sejenak. Kemudian dipandanginya Sekar Mirah
yang masih berpegangan kakaknya. Untara mengerti bahwa gadis itu tidak berani
melihat keadaan di sekitar halaman dan pendapa banjar. Maka katanya,
“Silahkan Adi
Swandaru segera membawa Sekar Mirah masuk ke pringgitan rumah yang dipergunakan
menjadi banjar oleh Ki Tambak Wedi ini, supaya tidak melihat hal-hal yang
mengerikan bagi seorang gadis.”
“Terima kasih,
Kakang Untara,” sahut Swandaru.
Ki Tanu Metir,
Swandaru, dan Sekar Mirah pun segera
naik ke atas pendapa. Sekar Mirah masih belum berani melihat keadaan di sekitarnya.
Ketika ia mencoba mengerling, maka segera ia memejamkan matanya, karena
terlihat olehnya beberapa sosok mayat tergolek di pendapa banjar itu. Alangkah
mengerikan. Rumah ini seolah-olah menjadi rumah hantu penyimpan mayat.
Di pendapa
mereka masih mendengar. Agung Sedayu bertanya kepada kakaknya,
“Bagaimana
dengan Sanakeling, Kakang?”
“Ia sudah
terbunuh,” jawab Untara. Tetapi kemudian terdengar senapati itu bertanya,
“Di mana kau
selama ini? Apakah kau tidak tahu bahwa di halaman ini telah terjadi
pertempuran yang sengit?”
Agung Sedayu
tidak segera menjawab. Tetapi pandangan matanya hinggap pada gurunya yang
tertegun di pendapa.
Untara pun kemudian berpaling. Ia melihat Ki Tanu
Metir masih berdiri di pendapa bersama dengan Swandaru dan Sekar Mirah.
“Silahkanlah,
Kiai,” katanya.
“Terima kasih
ngger,” jawab Ki Tanu Metir, namun dalam dada orang tua itu telah tumbuh
pertanyaan tentang sikap Untara. Namun orang tua yang penuh dengan pengalaman
tentang sikap dan perasaan seseorang itu, segera dapat memahami pertanyaan
Untara kepada Agung Sedayu.
Tetapi bagi
Swandaru dan Sekar Mirah, pertanyaan Untara kepada Agung Sedayu itu telah
menumbuhkan berbagai macam tafsiran. Apalagi Sekar Mirah yang sudah menyimpan
bibit-bibit kejengkelan atas sikap Untara yang seolah-olah acuh tak acuh
kepadanya. Meskipun demikian Ki Tanu Metir dan kedua kakak beradik itu
melanjutkan langkahnya masuk ke dalam pringgitan, dan duduk di atas tikar yang
sudah terbentang. Di dalam pringgitan tidak tampak seorang pun. Sepi, sehingga
kulit Sekar Mirah menjadi semakin merinding.
“Bakankah benar
kataku,” gumam Sekar Mirah.
“Kakang Untara
tak ada waktu untuk menerima kedatangan kita.”
“Ia terlampau
sibuk, Nini,” sahut Ki Tanu Metir.
“Tetapi ia
akan segera menemui apabila pekerjaannya telah selesai.”
Sekar Mirah
tidak menjawab. Namun terasa rumah ini seperti rumah yang penuh menyimpan
rahasia. Udara yang lembab terasa menekan dadanya sehingga nafasnya menjadi
sesak. Gadis itu tahu benar, bahwa di luar pringgitan ini, di seberang dinding
bambu ini, beberapa sosok tubuh terbujur berselimutkan panjang. Sementara itu,
di luar, di halaman, Agung Sedayu masih diri di hadapan kakaknya. Ia masih
belum menjawab pertanyaan Untara. Ketika Ki Tanu Metir telah hilang di balik
pintu, maka pertanyaan itu diulanginya,
“Agung Sedayu,
kemana kau selama ini?”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Ditenangkannya hatinya. Jawabnya,
“Aku berada di
rumah yang dipergunakan oleh Sidanti untuk menyimpan Sekar Mirah.”
“Aku sudah
menyangka,” sahut kakaknya.
“Apa kerjamu
di sana?” Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debarberdebar-debar. Jawabnya,
“Ternyata
perhitungan Ki Tanu Metir tepat, Kakang. Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya
datang ke rumah itu. Seandainya kami tidak ada di sana, maka Sekar Mirah itu
pasti akan terbawa, sehingga usaha kita untuk membebaskannya menjadi tambah
sulit.”
Untara mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Seharusnya
kau berada di bawah perintahku. Kalau aku bertemu kau sebelumnya setelah aku
melihat medan, maka perintahku akan berbunyi lain. Kau tetap bersama para
prajurit Pajang. Juga Ki Tanu Metir dan Swandaru. Kalau kalian berbuat
demikian, maka Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya mesti tertangkap. Aku
menyesal bahwa kalian berbuat menurut kehendak kalian sendiri. Dalam setiap
peperangan harus ada satu perintah bagi keseluruhan, sehingga setiap tindakan
bersumber pada satu perhitungan.”
Mendengar
kata-kata kakaknya itu, Agung Sedayu seakan-akan menjadi beku di tempatnya.
Darahnya serasa berhenti mengalir. Namun dengan demikian maka mulutnya justru
seakan-akan terbungkam. Dan ia mendengar kakaknya berkata seterusnya,
“Sekarang
kesempatan untuk menangkap mereka bertiga menjadi semakin sulit. Apakah kau
tidak merasakan itu?”
Nafas Agung
Sedayu menjadi semakin cepat mengalir. Tetapi ia tidak segera dapat menjawab
pertanyaan kakaknya.
“Tetapi kau
tidak berbuat demikian,” sambung Untara,
“kau tidak
menemui aku dan menunggu perintahku.”
Baru sejenak
kemudian Agung Sedayu dapat mengatur getar di dadanya. Dengan suara bergetar ia
menjawab,
“Kakang, aku
hanya menurut perintah guruku. Bukankah kedatanggan Wuranta ke Jati Anom juga
membawa pesan Ki Tanu Metir? Aku sangka, bahwa petunjuk-petunjuk Ki Tanu Metir
itu berlaku seluruhnya, sehinggga aku tidak perlu menunggu perintah Kakang
Untara. Aku menyangka bahwa Kakang Untara saja bersedia melakukan petunjuknya.
Apalagi aku.”
“Bagus,” sahut
kakaknya.
“Itu adalah
petunjuk dalam garis besar yang memang aku perlukan. Aku berterima kasih kepada
Kiai Gringsing dan kepada Wuranta, yang telah memungkinkan aku memasuki
padepokan ini. Namun seterusnya yang memegang kebijaksanaan atas segala
pimpinan di sini adalah aku. Aku yang memperhitungkan setiap kemungkinan.”
Dada Agung
Sedayu masih merasa pepat karena jawaban-jawaban yang belum sempat diucapkan.
Banyak sekali keterangan yang dapat diberikan. Namun ia tidak dapat
mengatakannya. Mulutnya serasa tersumbat oleh nafasnya yang terengah-engah.
“Nah, bukankah
kini kau lihat,” berkata kakaknya itu,
“bahwa Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya dapat melarikan dirinya? Aku tidak menyangka
bahwa kalian bertiga mampu bertempur berhadapan dengan Ki Tambak Wedi bertiga
pula. Tetapi kalian tidak mempunyai kekuatan untuk menangkap mereka hidup atau
mati, sebab kekuatan kalian berimbang.”
“Kakang,”
akhirnya terloncat juga jawaban dari mulut Agung Sedayu,
“tetapi
seandainya kami tidak berada di sana, apakah Sekar Mirah dapat dibebaskan?
Mungkin Ki Tambak Wedi kini telah membawanya pergi, sehingga pekerjaan kita pun
akan menjadi semakin sulit.”
“Itulah
kesalahanmu, Sedayu,” sahut kakaknya.
“Pikiranmu
hanya terpusat kepada gadis itu. Kau tidak melihat pertempuran dalam
keseluruhan.”
Terasa wajah
Agung Sedayu menjadi tegang. Sepercik warna merah membayang di wajahnya yang
basah oleh keringat.
“Agung Sedayu.
Seandainya kau bertempur dalam pasukanku bersama Ki Tanu Metir dan Swandaru,
maka Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya tidak akan dapat lolos lagi. Nah,
apakah dengan demikian mereka sempat mendatangi gubug Sekar Mirah itu?
Seandainya ada satu dua prajurit yang diperintahkannya ke sana, maka aku pun telah mengirimkan beberapa orang prajurit
pula untuk membebaskannya. Dapatkah kau mengerti?”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti keterangan kakaknya. Tetapi
bagaimanakah caranya untuk memerintahkan hal itu kepada Ki Tanu Metir, kepada
gurunya seandainya ia tahu maksud Untara sebelumnya?
Sambil
menundukkan kepalanya Agung Sedalu menjawab, “Aku mengerti Kakang. Tetapi aku
tidak dapat menolak petunjuk guruku. Aku mempercayai perhitungannya seperti
Kakang juga mempercayainya. Sehingga dengan demikian aku melakukan apa saja
yang diberitahukannya kepadaku.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kepalanya yang masih diliputi oleh ketegangan
peperangan itu terasa masih memberati lehernya.
“Meskipun
seandainya kau tidak bersama-sama dengan gurumu berada dalam pasukanku Sedayu,
kau akan dapat mengurangi korban yang jatuh di antara kita,” Untara berhenti
sejenak.
“Tetapi kau
tidak dapat bertempur sendiri tanpa guru dan saudara seperguruanmu.”
“Aku tidak
berani berbuat lain dari petunjuk guru,” wajah Agung Sedayu semakin tunduk.
Terasa betapa sulit berada di bawah dua kekuasaan. Gurunya dan kakaknya, yang
kadang-kadang-kadang mempunyai pendirian yang berlainan.
Tetapi Untara
yang melihat kepala adiknya tertunduk dalam-dalam itu, tiba-tiba menjadi lilih.
Teringatlah masa kanak-kanak yang suram bagi adiknya. Adiknya yang hanya berani
bermain-main di belakang selendang ibunya itu, yang kini telah berani bertempur
melawan Sidanti, murid Ki Tambak Wedi.
Seharusnya ia
mengucapkan terima kasih. Seandainya adiknya tidak menjadi anak yang berani,
maka ia masih harus selalu melindunginya. Anak itu akan selalu mengganggu
pikirannya apa pun yang sedang dilakukan. Apalagi pada saat-saat Jati Anom
diambil oleh Sidanti dan orang-orang Jipang. Maka adiknya pasti akan ketakutan
apabila ia tidak berhasil menyingkirkannya. Tetapi sekarang adiknya telah
berani menggenggam pedang dan melindunginya sendiri.
“Sudahlah,
Sedayu,” desis kakaknya.
“Bukan
maksudku menyalahkan kau dan gurumu. Aku hanya ingin mengatakan, jika terjadi
demikian, keadaan kita akan bertambah baik. Tetapi sudahlah, semuanya telah
selesai. Meskipun kita tidak dapat menangkap Ki Tambak Wedi sekarang, tetapi
kita tetap mengharap bahwa di waktu-waktu yang pendek, kita akan dapat
melakukannya. Sekarang beristirahatlah di dalam bersama gurumu dan Adi
Swandaru. Kau tidak usah mempersoalkannya dengan gurumu.” Untara berhenti
sejenak. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian dengan nada datar ia meneruskan,
“Mungkin aku
sedang diganggu oleh ketegangan saraf, sehingga aku menegurmu. Tetapi lupakan
itu. Mudah-mudahan lain kali kau dapat mengerti apa yang kau lakukan apabila
kau berbuat sesuatu bersama aku, bersama pasukanku.”
“Ya, Kakang,”
jawab Agung Sedayu dengan nada yang dalam.
“Baik,” sahut
kakaknya,
“masuklah. Aku
masih akan mengatur prajuritku. Bagaimanapun juga Sanakeling dan Alap-alap
Jalatunda harus mendapat perlakuan semestinya bersama mayat-mayat yang lain.”
Agung Sedayu
tidak segera menjawab. Ia merasa bahwa kakaknya agak menyesal atas sikapnya
yang keras kepadanya. Namun dengan demikian ia menjadi semakin segan dan hormat
kepadanya. Ketika Agung Sedayu kemudian menebarkan pandangannya ke sekeliling
halaman, maka ia melihat beberapa orang masih juga sibuk menyingkirkan mayat
yang terbujur lintang. Di sebelah lain ia melihat sisa-sisa pasukan Jipang dan
Tambak Wedi yang menyerah sebelum terbunuh. Ternyata mereka tidak benar-benar
bertempur sampai orang yang terakhir. Oleh beberapa prajurit Pajang mereka di
tempatkan di beberapa rumah di sekitar banjar, dengan pengawasan yang kuat.
Beberapa orang dari mereka yang tidak terlalu berbahaya masih harus membantu
para prajurit Pajang, mengangkat mayat-mayat kawan-kawannya dan
menyingkirkannya dari halaman.
“Masuklah,”
desis Untara.
Agung Sedayu
seakan-akan tersadar dari mimpinya yang mengerikan. Tergagap ia menjawab,
“Baik, baik
Kakang.”
“Gurumu dan
kedua kakak beradik dari Sangkal Putung itu menunggumu.”
“Ya, Kakang,”
jawab Agung Sedayu.
“Aku masih
harus menyelesaikan pekerjaanku. Apabila sudah selesai, maka aku akan datang
kepada kalian.”
“Baik,
Kakang.”
Untara pun kemudian melangkah meninggalkan Agung
Sedayu yang berdiri termangu-mangu di bawah tangga pendapa. Diikutinya langkah
kakaknya dengan pandangan matanya, ke arah beberapa orang perwira Pajang yang
lain. Agaknya masih ada persoalan yang mereka percakapkan. Sejenak kemudian
Agung Sedayu melihat beberapa orang prajurit mengawal beberapa orang perempuan
masuk ke halaman banjar. Perempuan-perempuan yang tinggal di padepokan itu.
Maka terdengarlah tangis mereka mengoyak suasana yang lengang. Mereka ternyata
adalah ibu, isteri, adik atau kakak perempuan dari korban yang berjatuhan.
Anak-anak muda dan laki-laki dari padepokan Tambak Wedi. Seperti orang yang
mencari anak-anaknya di antara puluhan anak-anak yang lain, yang tidur berjajar
di lantai, mereka mencari keluarga mereka. Bahkan beberapa di antara mereka
telah jatuh pingsan sebelum mereka menemukan yang mereka cari.
Seorang gadis
yang kematian kekasihnya tiba-tiba berteriak sambil menunjuk seorang prajurit Pajang
yang berdiri di dekatnya,
“Kau, kau
pembunuh yang biadab. Kau bunuh laki-laki yang akan menjadi suamiku.”
Seorang
perempuan tua, ibu gadis itu, dengan tergesa-gesa memeluknya dengan tubuh
gemetar. Perempuan tua itu menjadi ketakutan. Prajurit Pajang yang berdiri
dengan garangnya, dan membawa pedang di lambungnya itu akan dapat berbuat apa
saja atas gadis yang mengumpatinya. Apalagi terhadap gadis-gadis, sedangkan
laki-laki yang kuat dan bersenjata pun dapat terbunuh.
“Sudahlah,
Ngger, sudahlah. Nasib kita yang terlampau jelek. Jangan menyalahkan orang
lain.”
“Tidak biyung.
Orang-orang itulah orang-orang yang paling biadab yang pernah datang ke
padepokan ini. Orang itu telah membunuh setiap laki-laki.”
“Sudahlah,
Ngger, sudahlah.”
Tetapi gadis
itu meronta-ronta sehingga pelukan ibunya menjadi lepas.
“Kau, kau pembunuh,”
teriak gadis itu sambil menuding-nuding wajah prajurit Pajang yang berdiri
tegang, bahkan hampir menyentuh hidungnya.
Tetapi
prajurit itu sama sekali tidak bergerak. Ia berdiri saja di tempatnya seperti
sebatang tonggak. Sepatah kata pun ia tidak menjawab. Dibiarkannya gadis yang
kehilangan kekasihnya itu melimpahkan kemarahan, kekecewaan dan kebencian
kepadanya. Bagaimanapun juga ia mencoba menjelaskan, maka gadis yang sedang
dicengkam oleh kegelapan pikiran itu, pasti tidak akan dapat mendengarnya. Ia
tidak akan dapat mendengar seandainya prajurit itu memberitahukan, bahwa
sebelum berkobar pertempuran antara orang-orang padepokan Tambak Wedi dan
Pajang, maka orang-orang Tambak Wedi telah bertempur lebih dahulu dengan
orang-orang Jipang, sehingga kekasih gadis itu belum pasti terbunuh oleh ujung
senjata prajurit Pajang.
Tetapi
prajurit itu tidak mengatakannya. Ia berdiri saja dengan tegangnya. Bahkan
sekali-sekali-sekali ia terpaksa memalingkan wajahnya. Akhirnya gadis itu lelah
sendiri. Suara menjadi semakin parau. Tiba-tiba ia berteriak tinggi, lalu
terhuyung-huyung jatuh. Untunglah prajurit yang dituding-tudingnya itu cepat
menangkapnya dan meletakkannya di pangkuan ibunya yang menangisinya. Gadis itu
menjadi pingsan.
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat salah satu sudut yang kecil saja dari
akibat peperangan. Alangkah dahsyat akibat seluruhnya dari peperangan.
Gadis-gadis kehilangan kekasih, ibu-ibu kehilangan anak-anaknya yang
dicintainya, dan isteri-isteri kehilangan suami terkasih. Meskipun demikian
peperangan itu terjadi hampir di segala jaman dan di segala abad.
Berbagai-bagai macam nafsu yang mendorong manusia melibatkan diri dalam
peperangan. Nafsu yang telah menabiri perasaan cinta kasih di antara sesama,
serta perasaan bakti yang utuh kepada Tuhannya. Nafsu untuk berkuasa, nafsu
untuk memiliki segala isi dunia, nafsu keinginan, nafsu keangkara-murkaan,
nafsu yang semuanya itu berpusar kepada nafsu duniawi. Tetapi yang kemudian
telah mendorong pihak lain untuk mempertahankan diri, melindungi sesama atas
dasar kewajiban dan belas-kasian, tetapi kadang-kadang juga karena pamrih yang
lain. Apabila pertentangan nafsu itu kemudian mencapai puncaknya, maka tidak
ada jalan lain daripada kekerasan. Manusia membunuh sesamanya. Kadang-kadang
dengan cara yang sama sekali tidak berpijak pada kediriannya, kemanusiaannya.
Bahkan melampaui pekerti binatang yang paling buas sekalipun, karena tidak ada
binatang yang dengan sengaja menyakiti dan menyiksa korbannya sebelum
dibunuhnya.
Ketika seorang
prajurit lewat dekat di belakangnya, Agung Sedayu berpaling. Tetapi prajurit
itu berjalan terus. Namun demikian Agung Sedayu menjadi tersadar akan
keadaannya. Dengan langkah yang berat ia naik ke atas pendapa. Dipandanginya
beberapa sosok jenazah yang terbaring di sebelah-menyebelah. Ketika ia sempat
memandang ke gandok kiri, ia melihat beberapa orang yang terluka dibawa masuk
ke dalamnya.
“Mereka yang
terluka dirawat di gandok kiri,” desisnya di dalam hati.
Dengan dada
yang berdebar-debar Agung Sedayu melangkah terus, berjalan di antara
tubuh-tubuh yang diam membeku. Kadang-kadang Agung Sedayu masih melihat darah
yang meleleh dari tubuh-tubuh yang diam itu.
Tiba-tiba
terasa bulu-bulu tengkuknya meremang. Ia kini bukan Agung Sedayu yang dahulu,
yang menjadi pingsan melihat darah. Tetapi meskipun demikian, ia masih juga
menjadi ngeri melihat mayat yang berjajar-jajar. Demikian ia membuka pintu
pendapa, maka dilihatnya Ki Tanu Metir dan Swandaru berpaling, bahkan Sekar
Mirah menjadi terkejut karenanya.
“Marilah,” Ki
Tanu Metir mempersilahkan.
Selangkah
Agung Sedayu memasuki pringgitan. Terasa kesepian seolah-olah mencekiknya
sehingga ia menjadi susah untuk bernafas. Dengan sorot mata yang aneh ia
memandangi seluruh sudut pringgitan itu. Tetapi yang dilihatnya tidak ada lain
kecuali Ki Tanu Metir, Swandaru dan Sekar Mirah. Hati anak muda itu berdesir
ketika ia memandangi dinding di sisisi barat dari pringgitan itu. Warna merah
menyala seperti akan membakar rumah itu. Ternyata matahari telah menjadi
semakin rendah, dan bahkan telah menyinggung punggung gunung. Dengan demikian
pringgitan itu telah menjadi agak suram. Warna-warna dindingnya yang kelabu
menjadi semakin gelap. Sedang di luar pintu mayat berjajar sebelah-menyebelah.
“Duduklah,
Ngger,” suara Ki Tanu Metir itu tidak terlampau keras, tetapi Agung Sedayu
terperanjat karenanya.
“Ya, ya Kiai,”
jawabnya patah-patah.
Agung Sedayu
itu pun kemudian duduk pula di antara mereka. Meskipun demikian ia masih saja
memandangi berkeliling. Sarang laba-laba melekat di hampir setiap sudut. Debu
pada dinding dan lumut yang hijau bertebaran di lantai, menjadi pertanda bahwa
banjar ini kurang mendapat perawatan.
“Apakah yang
ditanyakan Angger Untara kepadamu?” pertanyaan Ki Tanu Metir itu sekali lagi
mengejutkan Agung Sedayu.
“Oh,” anak
muda itu berdesah,
“tidak
apa-apa. Kakang Untara hanya menanyakan kemana aku selama ini.”
“Kau katakan
apa yang terjadi?” bertanya gurunya lanjut.
“Ya.”
“Apa katanya?”
“Tidak
apa-apa, Kiai,” jawab Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah ia
akan menemui kita,” bertanya Swandaru kemudian.
“Ya, setelah
pekerjaannya selesai.”
Swandaru
terdiam. Kembali ruangan itu menjadi sunyi. Sekali-sekali terdengar beberapa
orang lewat di sebelah pringgitan di sisi gandok. Terasa bahwa di halaman
banjar itu terjadi bukan yang luar biasa.
“Angger
berdua,” berkata Ki Tanu Metir kemudian,
“bukankah kita
ingin mencari Angger Wuranta di halaman banjar ini? Apabila kita tetap berada
di sini, maka kita tidak akan dapat menemukannya.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Sebaiknya
kita mencarinya guru, tetapi aku merasa sikap Kakang Wuranta menjadi aneh. Aku
tidak mengerti.”
Sekar Mirah
yang mendengar kata-kata itu segera menunduk wajahnya. Pada wajah itu terbersit
sicercah warna merah. Tetapi tak seorang
pun yang dapat melihatnya.
“Marilah kita
cari,” berkata Ki Tanu Metir kemudian,
“mumpung belum
gelap.”
“Marilah,”
jawab Agung Sedayu.
Kepada Sekar
Mirah Ki Tanu Metir berkata,
“Kau tinggal
di sini sebentar, Nini. Kami akan mencari Angger Wuranta yang terluka itu.”
Tiba-tiba
Sekar Mirah meraih tangan kakaknya sambil berkata, “Kakang Swandaru tetap di
sini. Aku takut.”
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Ia ingin ikut serta mencari Wuranta di antara para
prajurit Pajang, Tetapi ia tidak sanpai hati meninggalkan Sekar Mirah sendiri
dalam ketakutan. Apalagi kemudian pringgitan itu menjadi kian suram.
“Kalau
begitu,” desis Ki Tanu Metir,
“biarlah
kalian tetap di sini mengawani Sekar Mirah. Aku akan mencari sendiri. Mungkin
aku akan dapat minta tolong kepada para prajurit Pajang.”
Agung Sedayu
menjadi ragu-ragu. Namun Ki Tanu Metir menyambung,
“Tinggallah di
sini. Mungkin ada sesuatu yang kalian dapat melakukannya. Sebab Nini Sekar
Mirah tidak berani tinggal sendiri di tempat yang lembab dan asing ini.”
Perlahan-lahan
Agung Sedayu menjawab, “Silahkan, Kiai.”
“Nah
tinggallah di sini sampai aku kembali. Jangan pergi ke mana pun juga supaya aku
tidak harus bergantian mencari kalian sesudah aku menemukan Angger Wuranta.”
“Baik, Kiai,”
jawab mereka hampir bersamaan.
Ki Tanu Metir
itu pun kemudian pergi meninggalkan pringgitan itu. Di luar ia bertemu dengan
Untara, dan mengatakan maksudnya.
“Wuranta tidak
ada di antara kalian?” bertanya anak muda itu.
“Tidak,
Ngger,” sahut Ki Tanu Metir.
Mendengar
jawaban Ki Tanu Metir Untara mengerutkan keningnya. Ia memang belum melihat
Wuranta sejak ia memasuki padepokan ini. Ternyata kini Ki Tanu Metir pun sedang
mencarinya. Sekilas terbersit kecemasan di dalam hatinya sehingga senapati itu
berdesis,
“Apakah
Wuranta menemui bencana di dalam perang campuh ini?”
“Aku kira
tidak, Ngger. Ia bersamaku pada saat aku harus bertempur melawan Ki Tambak
Wedi, tetapi anak muda itu terluka di dadanya.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Lalu ke manakah ia pergi?”
“Tak kami
ketahui. Ia tidak berkata kepada siapa pun juga, kemana dan kenapa ia begitu
saja pergi meninggalkan Sekar Mirah di dalam gubug itu, sedang kami, aku,
Angger Agung Sedayu, dan Angger Swandaru sedang mengejar Ki Tambak Wedi, Sidanti,
dan Argajaya.”
“Aneh,” desis
Untara,
“apakah ada
sesuatu yang menarik hatinya sehingga ia terpaksa pergi meninggalkan Kiai?”
“Aku tidak
tahu,” jawab Kiai Gringsing.
“Karena itu
sekarang aku akan mencarinya. Syukurlah apabila tidak terjadi sesuatu. Aku
mencemaskannya karena dadanya terluka. Mungkin juga ada hal-hal yang tidak kita
kehendaki yang terjadi atasnya. Mungkin ia bertemu dengan prajurit Pajang yang
belum mengenalnya dan tiba-tiba mencurigainya.”
“Ia akan dapat
memberikan penjelasan.”
“Kalau ia
sempat memberikan penjelasan itu. Dalam keadaan yang kisruh, kesalah-pahaman
dapat saja terjadi di mana-mana. Kadang-kadang seseorang sama sekali tidak
mendapat kesempatan untuk mengatakan tentang diri sendiri. Bahkan seseorang
harus menyatakan dirinya seperti orang lain menghendakinya. Seorang yang belum
mengenal Wuranta akan dapat memaksanya dengan kekerasan supaya Wuranta
menyatakan dirinya sebagai seorang dari padepokan Tambak Wedi. Kemudian
pengakuan yang dipaksakan akan menjadi alasan untuk berbuat lebih jauh lagi.”
“Ah,” Untara
berdesis, “prajurit Pajang tidak akan berbuat demikian.”
“Para Senapati
dan para perwira yang bertanggung jawab mungkin tidak menghendakinya. Tetapi
orang-orang yang sedang terlibat dalam pertentangan dan ketegangan, mungkin
dapat berbuat meskipun ia seorang yang cukup matang. Di dalam pertempuran
serupa ini, Ngger, salah paham, kecurigaan dan kebencian menguasai setiap hati.
Dari prajurit yang paling rendah sampai tingkat yang tertinggi. Mungkin Angger
sendiri. Meskipun demikian, masih juga tergantung pada nilai batin seseorang.
Bekal rokhaniah di samping bekal jasmaniah, sangat berpengaruh di medan-medan
perang.”
“Hem,” Untara
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengangguk,
“Ya, Kiai
benar. Aku tidak akan selak.”
“Ah, jangan
begitu, Ngger. Aku tidak bermaksud menuduh. Aku hanya mengatakan keadaan umum
yang terjadi di medan perang.”
Untara masih mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Aku mengerti
maksud Kiai. Aku ingin menjaga agar prajurit-prajuritku tidak melakukannya, atau
setidak-tidaknya mengurangi kemungkinan itu sejauh-jauhnya.”
“Baiklah,
Ngger. Bagiku, sepanjang pengalamanku, prajurit Pajang di bawah pimpinan Angger
Untara ternyata mempunyai nilai rokhaniah yang tinggi di samping kenyataan
lahiriah yang mengagumkan.”
“Kiai memuji.”
“Tidak, Ngger.
Aku berkata sebenarnya meskipun tidak dapat diingkari bahwa prajurit Pajang pun
terdiri dari manusia-manusia yang masih dapat berbuat salah. Karena itulah aku
akan mencari Angger Wuranta.”
“Baiklah,
Kiai.”
“Apakah Angger
tidak akan bertemu dengan adikmu itu?”
“Ya, ya Kiai.
Nanti sesudah pekerjaanku selesai. Sebentar lagi kami juga akan beristirahat.
Kami harus makan. Nah, Kiai jangan terlampau lama, supaya pada saatnya Kiai
dapat makan bersama kami di pringgitan.”
“Baik, Ngger,
baik,” sahut Ki Tanu Metir sambil menganggukkan kepalanya.
“Sekarang
perkenankanlah aku pergi.”
“Silahkan,
Kiai.”
Maka sejenak
kemudian Ki Tanu Metir itu melangkah perlahan-lahan meninggalkan Untara yang
segera melanjutkan pekerjaannya.
Sementara itu,
Wuranta yang sedang dicari oleh Ki Tanu Metir, berjalan dengan langkah yang
lemah di sepanjang pagar halaman. Kadang-kadang dilompatinya pagar yang satu
dan dimasuki halaman sebelah. Lalu ditelusurinya pagar yang lain-lain lagi. Ia
tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Tetapi yang ada di dalam kepalanya
adalah meninggalkan rumah tempat tinggal Sekar Mirah itu. Ia sudah tidak betah
lagi melihat semua yang terjadi. Baginya, apa yang dilihatnya itu seolah-olah
merupakan cermin yang menunjukkan segala macam kekurangannya, kekerdilannya,
dan segala macam kelemahannya, dihadapkan pada keadaan seperti yang sedang
terjadi. Keadaan yang dikuasai oleh kekerasan dan senjata. Sedang ia sama
sekali tidak mampu berbuat sesuatu. Apalagi apabila ia melihat betapa Agung Sedayu
dengan lincahnya mampu berhadapan dengan Sidanti, maka terasa kekecilan diri
menjadi semakin tajam. Maka ketika terpandang olehnya wajah Sekar Mirah yang
tunduk, hatinya seakan-akan meledak, pecah berserakan. Itulah sebabnya maka
tanpa setahu seorang pun, ia melangkah meninggalkan sumah itu. Meninggalkan
Sekar Mirah, meninggalkan Agung Sedayu yang sedang bertempur dan meninggalkan
orang-orang lain di rumah itu yang seolah-olah memandangnya dengan penuh
penghinaan. Dan kini ia berjalan tanpa tujuan, asal saja menjauhi rumah yang
telah menyiksanya itu. Tetapi tanpa dikehendakinya sendiri, langkah Wuranta
itu pun menjadi semakin dekat dengan
banjar padepokan Tambak Wedi. Beberapa halaman lagi ia akan sampai ke daerah
yang penuh dengan noda-noda darah. Ia terhenti ketika ia melihat tidak
terlampau jauh lagi, para prajurit Pajang sibuk menyingkirkan mayat-mayat yang
bergelimpangan dan mengusung orang-orang yang terluka. Dada Wuranta menjadi
berdebar-debar karenanya. Namun ada sesuatu yang mendorongnya untuk berjalan
lebih dekat. Ia tidak mengerti kenapa ia ingin melihat apa yang telah terjadi
di halaman di sekitar banjar. Agaknya kesibukan di sekitar banjar itulah yang
telah menariknya melangkah semakin dekat. Ketika beberapa orang prajurit Pajang
melihatnya, maka mereka segera mendekatinya. Salah seorang dari mereka segera
bertanya kepadanya tentang dirinya. Katanya,
“Siapakah kau,
dan apakah keperluanmu?”
Dada Wuranta
berdesir mendengar pertanyaan itu. Dipandanginya prajurit Pajang itu dengan
tajamnya. Luka di dadanya kini seolah-olah sudah tidak terasa lagi, tetapi luka
di hatinya masih juga terasa alangkah pedihnya. Pertanyaan itu telah mengungkat
kembali perasaan yang baru saja telah menyiksanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar