Kekerdilan diri, seolah-olah ia sama sekali tidak mempunyai arti apa pun di hadapan orang-orang Pajang itu. Padahal, ia telah cukup memberikan sumbangan, sehingga kemenangan Untara ini mungkin terjadi.
Karena Wuranta
tidak menjawab, maka prajurit itu mengulangi pertanyaannya,
“Siapakah kau?
Agaknya kau terluka di dadamu. Di lambungmu tergantung wrangka pedang, meskipun
tidak dengan pedangnya. Apakah kau orang Tambak Wedi?”
Hati Wuranta
menjadi semakin sakit. Karena itu maka tiba-tiba ia ingin melepaskan himpitan
perasaannya. Jawabnya,
“Apakah kalian
belum pernah mengenal aku?”
“Siapa?”
“Aku Wuranta,
anak Jati Anom.”
Para prajurit
itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata,
“Kami tidak
membawa laskar Jati Anom. Yang datang ke Tambak Wedi adalah seluruhnya pasukan
dari Pajang.”
Wuranta kini
tidak dapat menahan dirinya lagi. Perasaan yang bergelut di dadanya tiba-tiba
saja ingin meledak. Perasaan rendah diri yang mencengkamnya, telah memaksanya
untuk berbuat hal-hal yang berlebih-lebihan seperti pada saat ia menyerang
Sidanti. Dengan dada tengadah ia berkata,
“Apakah kalian
belum tahu bahwa akulah yang memungkinkan kalian memasuki padepokan ini? Tanpa
aku, kalian telah dihancurkan oleh pasukan Tambak Wedi sebelum kalian sempat
mendekati regol padepokan ini.”
Beberapa orang
prajurit Pajang itu saling berpandangan. Namun jawaban itu tidak menyenangkan
hati mereka. Prajurit tertua di antara mereka segera melangkah maju dan
bertanya,
“He Wuranta.
Bukankah namamu Wuranta, menurut pengakuanmu? Apakah yang telah kau lakukan
sehingga kau dapat mengatakan kepada kami bahwa kau telah memungkinkan kami
memasuki padepokan ini?”
“Hanya para
pemimpinmu yang tahu siapakah Wuranta.”
Sekali lagi
para prajurit itu saling berpandangan. Dan prajurit yang tertua itu bertanya
sekali lagi,
“Siapakah para
pemimpin yang kau maksud?”
Sejenak
Wuranta terdiam. Ia belum banyak mengenal nama-nama para pemimpin prajurit
Pajang. Tetapi satu, justru yang tertinggi telah dikenalnya. Karena itu maka
kemudian ia menjawab,
“Untara.
Untara. Untara mengenal aku dengan baik.”
Dada para
prajurit itu berdesir. Tetapi tidaklah mustahil bahwa orang ini langsung
berhubungan dengan Untara. Hal itu memang pernah juga dilakukan oleh Untara.
Mempergunakan orang-orang dalam tugas-tugas sandi. Dan orang-orang itu yang
mengenal hanyalah Untara sendiri.
Tetapi para
prajurit Pajang itu tidak akan dapat melepaskan kecurigaannya, sehingga prajurit
yang tertua itu berkata,
“Baiklah, Ki
Sanak. Seandainya kau benar petugas sandi yang hanya dikenal oleh Ki Untara,
maka marilah Ki Sanak aku bawa langsung menghadap Ki Untara.”
Hati Wuranta
yang sedang melonjak-lonjak karena tekanan-tekanan perasaan itu kini menjadi
kian bergolak. Ia merasa sama sekali tidak mendapat kepercayaan para prajurit
itu. Dengan wajah tegang ia berkata,
“Aku akan
dapat menghadapnya sendiri. Apakah ini berarti bahwa kalian akan menangkap
aku?”
Prajurit itu
menggeleng,
“Tidak, Ki
Sanak. Tetapi dalam peperangan kita harus berhati-hati.”
“Tidak,” jawab
Wuranta,
“aku akan
menghadap sendiri. Aku orang bebas. Bahkan akulah yang telah memungkinkan
kalian memasuki padepokan ini. Sekarang kalian akan menangkap aku.”
“Kami tidak
dapat melihat suatu bukti apa pun
tentang kata-katamu, Ki Sanak. Karena itu, maka satu-satunya cara yang dapat
kami tempuh adalah membawa Ki Sanak menghadap Ki Untara. Nah, Ki Untara akan
dapat berkata sesuatu kepada kami tentang Ki Sanak. Sebab seperti yang Ki Sanak
katakan, salah seorang dari para pemimpin Pajang yang telah mengenal Ki Sanak
dengan baik adalah Ki Untara.”
Wajah Wuranta
menjadi merah. Ia merasa alasan-alasannya tidak didengar sama sekali oleh
prajurit-prajurit Pajang itu. Karena itu maka katanya,
“Biarkanlah
aku berbuat menurut kehendakku. Nanti aku akan datang kepadanya, atau Kakang
Untara akan mencari aku untuk mengucapkan terima kasih kepadaku. Sekarang kalau
kalian tidak percaya kepadaku, nah pergilah, bertanyalah kepada Ki Untara,
siapakah anak muda Jati Anom yang bernama Wuranta.”
Prajurit-prajurit
itulah yang kini tersinggung mendengar jawaban Wuranta yang aneh itu. Justru
dengan demikian maka nafsu mereka untuk membawa Wuranta menjadi semakin besar.
Bukan karena kecurigaan mereka, tetapi karena mereka merasa kewajiban mereka
seolah-olah dianggap kurang berarti. Bahkan pemimpin mereka, senapati
mereka pun telah diremehkan oleh anak
muda yang menyebut dirinya bernama Wuranta itu. Dengan demikian maka wajah para
prajurit itu menjadi semakin tegang. Hati mereka yang panas terbakar oleh
pertempuran yang baru saja terjadi masih juga belum padam. Karena itu maka
sikap Wuranta agaknya telah menyalakan api yang masih tersimpan di dalam hati
mereka. Maka sejenak kemudian prajurit yang tertua di antara mereka itu
berkata,
“Kalau
demikian Ki Sanak, maka kami akan memaksamu. Kami adalah prajurit-prajurit
Pajang yang berada di dalam lingkungan lawan. Karena itu setiap orang yang
bukan berasal dari kami harus kami curigai. Termasuk kau.”
Wajah Wuranta
yang merah menjadi semakin menyala. Kemarahannya kini telah memuncak. Ia merasa
seolah-olah orang Pajang itu sama sekali tidak mengenal terima kasih. Seperti
juga Agung Sedayu.
Sebelum
semuanya ini terjadi, ia adalah umpan yang pertama kali dilontarkan ke dalam
sarang serigala ini. Ia adalah orang yang pertama kali harus berhadapan dengan
Sidanti bahkan Ki Tambak Wedi. Hampir saja lehernya dijerat di tiang gantungan.
Tetapi kini, setelah semuanya selesai, maka ia seolah-olah tidak dibutuhkan. Setelah
Sekar Mirah bertemu dengan Agung Sedayu, maka kehadirannya sama sekali tidak
dihiraukannya. Bahkan yang pertama-tama dilontarkan kepadanya adalah
penghinaan. Kemudian dengan sombongnya Agung Sedayu memamerkan
kelebihan-kelebihannya padanya. Dan kini, prajurit-prajurit Pajang itu juga
ingin menangkapnya. Membawanya kepada Untara sebagai seorang tawanan.
Tiba-tiba
Wuranta tidak dapat menahan desakan di dalam rongga dadanya. Dengan lantang ia
berteriak,
“He
orang-orang Pajang. Jangan terlampau sombong. Tak seorang pun di antara kalian yang berani memasuki
padepokan ini selagi Tambak Wedi, Sidanti, beserta Sanakeling masih mampu
menggenggam senjata mereka. Tak seorang pun dari kalian, termasuk Agung Sedayu
adik Untara itu, yang berani menghadapi Sidanti dan Sanakeling pada saat-saat
mereka masih bersatu tujuan. Kini aku berhasil memisahkan mereka karena
permainanku. Dengan mengumpankan Alap-alap Jalatunda aku berhasil mengadu dua
kekuatan yang ada di Padepokan ini. Kekuatan Jipang dan kekuatan Tambak Wedi.
Baru setelah keduanya hancur kalian berani masuk. Sekarang kalian menyombongkan
diri akan menangkap Wuranta. Nah, lakukanlah. Lakukanlah setelah Wuranta
menjadi mayat. Apa yang aku lakukan sebelum ini memang sudah harus bertaruh
nyawa. Pagi ini seharusnya aku sudah mati di tiang gantungan apabila aku tidak
berhasil melarikan diri. Umurku ini adalah umur yang berlebihan. Karena itu,
ayo, bunuhlah aku. Aku tidak akan melawan. Tetapi jangan mimpi membawa Wuranta
hidup-hidup kepada Untara.”
Darah para
prajurit-prajurit Pajang itu segera mendidih. Mereka tidak tahu apa yang telah
dilakukan oleh Wuranta. Karena itu maka yang termuda di antara mereka segera
melangkah maju. Untunglah bahwa yang tertua masih juga dapat menahan diri.
Digamitnya prajurit yang masih muda itu sambil berkata,
“Biarlah aku
yang menyelesaikannya.”
“Bagus, ayo,
selesaikan bersama-sama. Aku tidak akan lari. Aku sudah bersedia untuk mati.
Aku sudah hidup lebih lama sesiang ini.”
Ketika
prajurit yang tertua itu melangkah maju, ia melihat Wuranta berdiri tegak
sambil menengadahkan dada. Tetapi tidak lampak tanda-tanda bahwa anak muda itu
akan melawannya.
“Apakah kau
memerlukan pedang?” bertanya prajurit tertua itu.
“Bukankah kau
ingin melawan?”
Wuranta
menggeleng. “Aku tidak perlu melawan kalian. Tak ada artinya”
Prajurit-prajurit
Pajang mengerutkan kening mereka. Ada di antara mereka yang mengartikan
kata-kata Wuranta itu sebagai suatu penghinaan, seolah-olah para prajurit
Pajang itu tidak berarti buat dilawannya, tetapi ada pula yang melihat keanehan
sikap Wuranta itu. Ternyata ia benar-benar tidak bersiap untuk melawan. Prajurit
yang tertua di antara mereka itu menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia
berkata,
“Kau
membingungkan kami.”
“Bukan
maksudku,” jawab Wuranta,
“kau sendirilah
yang membuat dirimu bingung.”
“Apakah kau
termasuk salah seorang prajurit Tambak Wedi yang berusaha membunuh diri dengan
cara itu.”
Pertanyaan itu
telah menggoncangkan dada Wuranta. kemarahannya yang sudah memuncak seolah-olah
kini meluap lewat ubun-ubunnya. Namun dengan demikian maka anak muda itu justru
terdiam. Tetapi tubuh dan bibirnya menjadi bergetar secepat getar jantungnya. Sejenak
mereka yang sedang dicengkam oleh ketegangan itu saling berdiam diri, tetapi
mata mereka menyorotkan kemarahan yang hampir-hampir tidak terkendali.
Namun
tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara seseorang di belakang pagar dinding
batu, di antara dedaunan yang rimbun.
“Kalian
ternyata telah menjadi salah paham.”
Dengan
serta-merta maka mereka segera berpaling. Dari antara dedaunan yang rimbun itu,
maka meloncatlah seorang tua dengan cekatan. Orang itu adalah Ki Tanu Metir.
“Siapakah Ki
Sanak?” bertanya salah seorang dari para prajurit itu. Ternyata prajurit itu
juga belum mengenal Ki Tanu Metir. Ki Tanu Metir tersenyum, tetapi hatinya
menjadi cemas juga. Apabila para prajurit itu belum mengenalnya, maka
keadaannya tidak akan berbeda. Seperti juga Wuranta, maka para prajurit itu
pasti ingin membawanya kepada Untara.
“Apakah kalian
belum mengenal aku?” bertanya Ki Tanu Metir itu.
Prajurit yang
bertanya kepadanya itu menjawab,
“Aku tidak
mengenalmu.”
Ki Tamu Metir
mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia melangkah maju. Diamatinya prajurit
yang menjawab pertanyaannya itu. Seorang prajurit muda yang gagah, bertubuh
tinggi dan berdada bidang. Di lambungnya tergantung sehelai pedang yang
panjang.
Tetapi Ki Tanu
Metir semakin dicemaskan oleh sikap para prajurit itu. Apakah yang harus
dilakukan seandainya mereka bersikap keras kepadanya seperti kepada Wuranta.
“Aku tidak
boleh melawan,” katanya di dalam hati,
“Mereka
melakukan kewajiban. Tetapi bagaimana dengan Angger Wuranta itu seandainya ia
pun berkeras hati untuk tidak mau tunduk kepada para prajurit itu?”
Dalam
keceraasan itu tiba-tiba ia mendengar salah seorang dari para prajurit itu
berkata,
“He, bukankah
orang tua itu yang tadi berjalan bersama dua orang anak muda dan seorang gadis
yang diantar oleh beberapa orang prajurit?”
Kawan-kawannya
berpaling ke arahnya. Lalu seorang yang lain berkata,
“Ya, aku
pernah melihat orang tua itu. Apakah Kiai yang bernama Ki Tanu Mtetir?”
Dada Ki Tanu
Metir menjadi lega. Ternyata ada di antara mereka yang sudah mengenalnya.
Dengan demikian maka pekerjaannya menjadi bertambah ringan.
“Ya, ya, Ki
Sanak, akulah yang bernama Ki Tanu Metir. Dari siapa Angger mengetahuinya?”
“Aku pernah
melihat Kiai sekali di Jati Anom, ketika Kiai bersama adik Ki Untara dan anak
muda yang gemuk itu, yang tadi juga berjalan bersama Kiai menemui Ki Untara.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tertawa pendek,
“Ya, itulah
aku.”
“Kenapa
tiba-tiba saja Kiai sudah berada di sini pula?”
“Tidak, Ki
Sanak, tidak dengan tiba-tiba. Aku telah datang lebih dahulu dari pasukan
Pajang. Aku datang bersama Angger Wuranta ini,” jawab Ki Tanu Metir sambil
menunjuk Wuranta yang masih berdiri tegak di tempatnya.
Prajurit itu
mengerutkan keningnya. Beberapa orang yang lain saling berpandangan. Akhirnya
hampir serempak mereka memandang Wuranta.
“Ya. Angger
Wuranta telah datang lebih dahulu bersama aku, Angger Agung Sedayu, adik Ki
Untara, dan Angger Swandaru Geni, anak muda yang gemuk itu.”
“Apakah yang
telah kalian lakukan?”
Ki Tanu Metir
tersenyum,
“Tidak
terlampau penting Ki Sanak. Hanya sekedar melepaskan anak-anak panah sendaren.
Bukankah Angger juga mendengarnya? Pasukan berkudalah yang mendengarnya dengan
jelas. Apakah Angger dari pasukan berkuda?”
Prajurit itu
menggeleng. Tetapi meskipun mereka bukan anggota pasukan berkuda, namun mereka
tahu benar, bahwa tanda-tanda yang memungkinkan mereka memasuki padepokan ini
adalah panah sendaren. Tetapi mereka tidak tahu, siapakah yang telah melepaskan
panah itu.
Dalam pada itu
Ki Tanu Metir berkata pula,
“Nah, itulah,
Ki Sanak. Kenapa kami berada di padepokan ini.”
Prajurit yang
tertua di antara mereka mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mempercayai
keterangan Ki Tanu Metir, sebab beberapa orang kawan-kawannya telah melihat
orang itu menghadap Untara. Karena itu mereka kini mengerti pula bahwa Wuranta
memang pernah melakukan seperti apa yang dikatakannya. Tetapi meskipun
demikian, sikap anak muda Jati Anom itu telah terlanjur membuatnya kurang
senang. Namun prajurit yang tertua itu berusaha menahan dirinya. Sebab kedua
orang itu adalah orang-orang kepercayaan Untara. Tetapi yang aneh bagi mereka,
betapa Wuranta berani mengatakan, bahwa Untara-lah yang harus datang kepadanya.
Sejenak para prajurit itu saling berdiam diri. Ki Tanu metir pun berdiri saja sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia mengharap bahwa keadaan akan menjadi berangsur baik setelah
mereka, para prajurit itu mengetahui dan mengenal Wuranta.
Hati Ki Tanu
Metir pun menjadi lega ketika prajurit yang tertua itu berkata,
“Baiklah,
Kiai, apabila demikian, maka kami tidak akan keberatan membiarkan kalian berada
di padepokan ini menurut kehendak kalian. Tetapi ingat, bahwa ada di antara
kami yang belum mengenal kalian sama sekali. Karena itu, sebaiknya kalian tidak
berada di tempat yang terlampau jauh dari banjar. Setiap saat kalian akan
mendapat pertanyaan-pertanyaan yang serupa, dan mungkin ada di antara kami,
prajurit-prajurit Pajang yang sama sekali tidak mengenal kalian, sehingga
sikapnya pasti tidak akan menyenangkan, seperti sikap kami juga.”
“Oh, tidak
apa, Ki Sanak. Kalian sedang melakukan kewajiban. Karena, itu maka sikap kalian
dapat kita mengerti.”
Prajurit itu mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Terima kasih
atas pengertian kalian. Sekarang, kami akan meneruskan kewajiban kami. Aku
nasehatkan pergilah ke banjar, supaya kalian tidak menjumpai persoalan yang
serupa.”
“Terima kasih,
Ki Sanak,” jawab Ki Tanu Metir. Para prajurit itu pun kemudian meninggalkan Ki Tanu Metir dan
Wuranta berdua. Mereka berjalan menyelusuri jalan-jalan padepokan untuk
melakukan pengawasan. Mungkin masih ada laskar Tambak Wedi yang tersembunyi,
atau mungkin orang-orang Jipang. Sepeninggal para prajurit itu, maka berkatalah
Ki Tanu Metir kepada Wuranta, “Marilah, Ngger, kita pergi ke banjar padepokan
ini. Di sana Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah sudah menunggumu.”
Wuranta
mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar suaranya bernada rendah, “Untuk apa
mereka menunggu aku?”
Ki Tanu Metir
adalah seorang yang telah cukup umur. Pengenalannya atas perangai anak-anak
muda cukup tajam. Ia mencoba untuk mengerti, apakah sebabnya maka tiba-tiba
Wuranta bersikap aneh. Sejak di dalam gubug Sekar Mirah, kemudian hilang tanpa
pesan apa pun. Namun Ki Tanu Metir tidak segera dapat mengerti dengan pasti,
apakah sebabnya. Ia hanya dapat meraba-raba dan menerka. Tetapi dugaan Ki Tanu
Metir atas persoalan yang sebenarnya masih sangat kabur. Sekali lagi Tanu Metir
itu mengajak,
“Angger
Wuranta. Marilah kita pergi ke banjar. Kita harus menunjukkan diri kepada
Angger Untara. Agung Sedayu dan Swandaru sudah lama menunggu Angger di sana.
Aku sudah mencari Angger di mana-mana. Baru sekarang aku menemukan Angger.
Kemana Angger selama ini dan kenapa Angger pergi tanpa pesan apa pun? Dada
Angger sedang terluka meskipun untuk sementara telah tidak mengalirkan darah
lagi.”
“Hem,” Wuranta
menarik nafas dalam-dalam,
“tugasku yang
berbahaya, yang harus aku pertaruhkan dengan nyawa telah selesai. Buat apa
orang-orang Pajang dan Kiai memerlukan aku lagi?”
“Ah, jangan
begitu, Ngger. Semua orang menunggu Angger.”
Wuranta
menggeleng,
“Tidak. Mereka
hanya memerlukan aku selagi mereka tidak dapat melakukan sesuatu pekerjaan. Aku
bukan seorang prajurit dan bukan murid Kiai. Itulah sebabnya Kiai menunjuk aku
untuk masuk ke dalam api di Tambak Wedi ini. Seandainya aku tertangkap dan
mati, maka baik Untara maupun Kiai tidak kehilangan. Untara tidak kehilangan
prajuritnya dan Kiai tidak kehilangan seorang murid. Bukankah begitu?”
“Jangan
beranggapan begitu, Ngger. Sama sekali tidak terlintas di dalam kepalaku
perhitungan yang demikian. Secara kebetulan dan tiba-tiba aku menjumpai Angger
di Jati Anom. Aku telah mencoba memperhitungkan semua rencana sebaik-baiknya.
Aku sama sekali tidak berbuat dengan untung-untungan.”
“Tetapi apa
yang terjadi? Apakah Kiai mengetahui aku telah ditahan oleh Ki Tambak Wedi?
Bahkan telah disediakan tiang gantungan di regol padepokan ini? Apa yang dapat
Kiai lakukan dan apa yang dapat dilakukan oleh orang-orang Pajang?”
“Mereka telah
datang, Ngger. Mereka telah masuk ke padepokan ini. Dan Angger ternyata tidak
naik ke tiang gantungan itu.”
“Tetapi sama
sekali bukan karena orang-orang Pajang dan bukan pula karena Kiai dan
murid-murid Kiai. Aku dapat melarikan diriku dari tempat aku ditawan karena
kekuatanku sendiri, karena kesempatan yang aku dapatkan, bukan dari kalian.
Nah, seandainya aku saat itu tidak dapat melarikan diri, seandainya aku mati, maka
tidak ada kemungkinan kalian dapat berbuat sesuatu.”
“Angger
Wuranta, sejak malam tadi aku sudah di padepokan ini. Aku akan mengetahuinya
seandainya hukuman mati itu dilaksanakan.”
“Apa yang akan
dapat Kiai lakukan seorang diri di sini? Apa? Apakah Kiai juga akan membela
kematianku dengan membunuh diri, melawan Ki Tambak Wedi? Kiai mampu melawan
seorang lawan seorang, tetapi melawan Ki Tambak Wedi dengan seluruh
pengikutnya?”
“Ternyata
mereka berbentrokan sendiri, Ngger.”
“Kenapa mereka
berbentrokan sendiri Kiai? Kenapa? Apakah hal itu dapat terjadi begitu saja
tanpa sebab?”
“Hal itu akan
mungkin sekali, Ngger. Dua kekuatan yang dasarnya telah berbeda. Berbeda
sumbernya dan berbeda tujuannya. Kalau di antara mereka terjadi persetujuan,
maka itu hanyalah untuk sementara.”
“Omong
kosong!”
Ki Tanu Metir
terperanjat mendengar jawaban Wuranta. Kini ia menjadi semakin tidak mengerti,
apakah sebenarnya yang telah mengganggu anak muda itu? Dugaannya tentang
sebab-sebab dari tindakan-tindakan yang aneh itu justru menjadi kabur.
“Jadi
bagaimanakah, Ngger?” bertanya Ki Tanu Metir dengan dada berdebar-debar.
“Pertempuran
di antara mereka itu telah dibakar oleh suatu sebab. Sebab yang berhasil aku
tumbuhkan. Seandainya Alap-alap Jalatunda tidak menjadi gila, apakah pertempuran
itu dapat terjadi?”
Ki Tamu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku berhasil
menumbuhkan pertentangan itu. Aku mengumpankan Alap-alap Jalatunda yang menjadi
gila karena Sekar Mirah. Kegilaannya itulah yang telah membakar padepokan ini.
Baru setelah padepokan ini hangus, pasukan Untara itu datang. Itu pun karena aku pula. Karena aku datang ke
Jati Anom. Memberitahukan keadaan padepokan ini. Kemudian membawa Agung Sedayu
dan Swandaru masuk. Nah, siapakah yang sebenarnya berhasil melakukan tugasnya?
Aku, Untara, Agung Sedayu dan Swandaru atau Kiai? Sekarang, setelah semuanya
selesai? Tak seorang pun lagi
menghiraukan aku. Semuanya tidak memerlukan aku lagi. Mereka memamerkan
kepandaian mereka bermain pedang. Kiai, aku memang bukan seorang prajurit. Aku
memang tidak secakap Agung Sedayu dan tidak secepat para prajurit Pajang
memainkan senjata. Tetapi aku juga mempunyai harga diri, Kiai. Setelah Agung
Sedayu dapat bertemu dengan Sekar Mirah, maka keduanya sama sekali tidak
menghiraukan aku lagi. Sekar Mirah yang sebelumnya hampir mati ketakutan itu,
kemudian sama sekali tidak mau melihat aku, meskipun hanya dengan sebelah
matanya. Mereka telah menemukan yang mereka cari. Kedatangan Agung Sedayu telah
membuat gadis itu menjadi tamak dan besar kepala, seolah-olah semua orang lain
di dunia ini tidak berharga.”
Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya. Ia mencoba menangkap maksud yang sedalam-dalamnya dari
kata-kata Wuranta. Dugaannya yang semula menjadi kabur kini menjadi semakin
jelas kembali.
“Coba, coba
Kiai, sebutkan. Siapakah yang sebenarnya dapat mengalahkan padepokan Tambak
Wedi dan membebaskan Sekar Mirah? Siapa?”
Ki Tanu Metir
tidak segera menjawab.
“Kini semua
orang di padepokan ini menghina Wuranta. Para prajurit itu, Sekar Mirah, Agung
Sedayu, dan semuanya.”
Wuranta
berhenti sejenak. Nafasnya menjadi terengah-engah dan wajahnya menjadi merah.
Terasa betapa dadanya dihentak-hentak oleh dentang jantungnya yang semakin
cepat. Ki Tanu Metir masih berdiam diri. Kini ia dapat meraba, apakah yang
telah mendorong Wuranta berbuat demikian. Hampir pasti. Meskipun demikian Ki
Tanu Metir masih cukup berhati-hati untuk berbuat dan berkata sesuatu. Ternyata
perasaan Wuranta terlampau peka, dan terlampau mudah tersentuh.
Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar Wuranta itu mengulangi
pertanyaannya,
“Siapa Kiai?
Seharusnya Kiai dapat menyebutkan, siapa yang sebenarnya berhasil di dalam
tugasnya, sebab Kiai mengetahuinya sejak permulaan. Tidak seperti
prajurit-prajurit Pajang itu. Begitu mereka datang, mereka menganggap
dirinyalah yang paling berjasa. Seperti juga Agung Sedayu yang merasa,
seolah-olah ialah yang telah membebaskan Sekar Mirah. Siapa? Coba sebutkan,
apakah Kiai berani menyebutkannya karena Kiai guru Agung Sedayu barangkali?”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya dengan nada yang berat tenang, “Ya,
Ngger. Aku mengakui karena penglihatanku sendiri, bahwa Angger Wuranta-lah yang
telah membawa kita semuanya di sini kepada kemenangan yang mutlak. Semua
rencana dapat berlangsung sebaik-baiknya berkat keberanian dan ketrampilanmu,
Ngger. Aku mengakui. Dan mudah-mudahan Untara
pun akan mengakui.”
“Tidak. Ia
pasti tidak akan mengakui. Ia Senapati besar di sini. Ia merasa bahwa dirinya
adalah orang yang paling penting. Dan ia merasa bahwa dirinyalah yang telah
menyebabkan kemenangan ini. Apalagi Agung Sedayu adalah adiknya. Pasti ia akan
membenarkan sikapnya dan menyalahkan aku.”
“Kenapa?
Kenapa Untara akan membenarkan sikap Agung Sedayu dan menyalahkan Angger? Dalam
hal apa? Apakah ada sesuatu persoalan di antara kalian berdua?”
Pertanyaan itu
mengejutkan sekali bagi Wuranta. Sejenak ia terdiam.
“Angger Wuranta,”
berkata Ki Tanu Metir,
“seandainya
ada sesuatu persoalan yang mengecewakan Angger Wuranta, katakanlah, Ngger. Aku
adalah saksi yang akan mengatakan kepada siapa
pun juga, yang tidak mengakui Angger sebagai seorang perintis yang telah
membawa kita masuk ke padepokan ini! Apakah Agung Sedayu merasa dirinya yang
paling berjasa dalam hal ini? Atau Angger Untara sendiri? Katakanlah, Ngger.
Aku adalah saksi yang masih hidup, bahwa pahlawan dari kemenangan ini adalah
Angger Wuranta. Semua orang harus mendengar dan mengakui, bahwa karena
jasa-jasa Angger Wuranta, padepokan Tambak Wedi yang diperkuat oleh orang-orang
Jipang di bawah pimpinan Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda ini dapat direbut
dengan mudah. Sebab pasukan Pajang datang pada saat-saat orang-orang Tambak
Wedi dan orang-orang Jipang sudah tidak kuasa untuk melawannya, setelah mereka
bertempur satu dengan yang lain. Bukankah begitu?”
Ki Tanu Metir
berhenti sesaat. Dipandanginya wajah Wuranta yang menjadi semakin lama semakin
tegang. Mulutnya mengatup rapat-rapat dan giginya menggeretak.
“Angger
Wuranta, katakanlah, Ngger. Apakah Agung Sedayu telah berbuat suatu kesalahan?
Meskipun ia muridku, tetapi apabila ia berbuat salah, maka aku wajib
memberitahukan kesalahan itu kepadanya. Seandainya ia tidak menyadarinya, maka
aku akan mencubitnya, supaya ia mengerti akan dirinya.”
Kini
Wuranta-lah yang terdiam.
“Katakanlah,
Ngger. Tidak ada orang lain yang dapat membanggakan dirinya di sini, selain
Angger Wuranta. Tidak ada orang lain yang dapat merasa dirinya berjasa, selain
Angger Wuranta. Kalau ada orang lain, maka orang lain itu harus mendapat
pengertian, bahwa pahlawan kemenangan ini adalah Wuranta, anak Jati Anom.”
“Cukup,
cukup,” Wuranta memotong kata-kata Ki Tanu Metir dan dengan terbata-bata ia
meneruskan,
“Bukan
maksudku. Bukan maksudku.”
Terdengar
suara Ki Tanu Metir sareh,
“Mungkin
Angger tidak bermaksud demikian, tetapi apakah kita semuanya akan mengingkari
kenyataan?”
Wuranta
menggigit bibirnya. Tiba-tiba dadanya serasa akan meledak mendengar kata-kata
Ki Tanu Metir. Seperti terlempar ke dalam suatu kesadaran tentang dirinya,
Wuranta merasakan tusukan yang tajam dari kata-kata Ki Tanu Metir itu. Terasa
seolah-olah selembar tabir yang hitam pekat di dalam hatinya kini tersingkap.
Dan dilihatnya dirinya sendiri dengan jelas. Dirinya sendiri yang kecil, yang
kini berada di antara raksasa-raksasa yang mengerikan. Raksasa-raksasa Pajang
telah berhasil memecahkan pertahanan padepokan Tambak Wedi. Kembali terbayang
di matanya, betapa Agung Sedayu, Swandaru, dan Ki Tanu Metir bergulat melawan
hantu lereng Merapi yang mengerikan, Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.
Terbayang betapa Untara berserta pasukannya bertempur menghadapi sisa-sisa
pasukan Tambak Wedi yang pada saat-saat terakhir masih sempat bergabung dengan
sisa-sisa orang Jipang. Betapa Untara masih harus mengatur orang-orangnya, dan
dirinya sendiri yang masih harus berhadapan melawan Sanakeling.
Alangkah
malunya. Alangkah malunya seandainya ia berkata tentang dirinya sendiri. Apakah
semuanya ini dapat terjadi seandainya Untara tidak berhasil mengalahkan
sisa-sisa pasukan Tambak Wedi dan Jipang? Apakah Sekar Mirah dapat bebas
seperti yang terjadi seandainya Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, dan Swandaru tidak
dapat bertahan melawan Ki Tambak Wedi, Sidanti dan Argajaya?
Ketika
teringat oleh Wuranta akan kata-katanya sendiri,
“Coba. Coba
Kiai, sebutkan, siapakah yang sebenarnya dapat mengalahkan padepokan Tambak
Wedi dan membebaskan Sekar Mirah. Siapa?” tiba-tiba Wuranta menutup wajahnya
dengan kedua telapak tangannya. Alangkah malunya.
Ki Tanu Metir
masih berdiri tegak di hadapannya. Dibiarkannya Wuranta menyadari dirinya.
Dibiarkannya anak itu dihanyutkan oleh perasaannya yang tiba-tiba saja
seolah-olah terbuka. Sejenak mereka saling berdiam diri. Awan di langit yang
kemerah-merahan mengalir ke Utara dihembus oleh angin lereng lembab. Matahari
telah menjadi semakin rendah, dan sebentar lagi hilang di balik dedaunan di
sebelah Barat. Sinarnya yang membara tersangkut di punggung gunung dan di
ujung-ujung awan yang bertebaran di langit.
Di halaman
banjar padepokan Tambak Wedi dan sekitarnya para prajurit Pajang dan sebagian
orang-orang Tambak Wedi sendiri yang masih hidup dan tidak berbahaya masih
sibuk menyingkirkan mereka yang terluka dan mengumpulkan mayat-mayat yang
berserakan.
Ki Tanu
Metir-lah yang kemudian memecahkan kesenyapan itu.
“Angger
Wuranta. Marilah kita pergi ke banjar.”
“Tidak. Tidak
Kiai. Tidak ada gunanya.”
“Tak akan ada
orang yang tidak mengakui hasil jerih payahmu, Ngger.”
“Bukan itu.
Bukan itu, Kiai. Justru aku menjadi malu sekali. Ternyata Kiai telah
menunjukkan kekeliruanku. Kiai menghadapkan sebuah cermin di muka wajahku. Aku
sangka bahwa aku adalah orang yang paling berjasa di peperangan ini. Ternyata
aku tidak lebih dari sehelai debu yang tidak berarti, aku sadari sekarang,
Kiai.”
“Jangan
begitu, Ngger. Aku memang sudah menyangka bahwa kau sedang dihanyutkan oleh
sebuah angan-angan yang aku masih belum tahu pasti. Tetapi seharusnya Angger
segera menemukan keseimbangan perasaan.”
“Kiai, aku
semula merasa sebagai orang yang paling berjasa, tetapi dilupakan karena
pekerjaan telah selesai.”
“Tidak, Ngger.
Angger sama sekali tidak diabaikan.”
“Ah, jangan
menyenangkan hatiku, Kiai,” sahut Wuranto. “Sebenarnyalah aku diabaikan.”
Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran mendengar jawaban Wuranta yang menurut
perasaannya agak bersimpang siur.
“Bagaimanakah
sebenarnya menurut tanggapanmu, Ngger. Aku menjadi agak bingung karenanya.”
“Kiai, semula
aku merasa sakit hati, bahwa aku diabaikan orang. Padahal aku merasa bahwa
akulah yang paling berjasa di antara semua orang di sini. Tetapi ternyata Kiai
telah membuka hatiku. Aku sama sekali bukan seorang pahlawan. Karena itu, tidak
sewajarnyalah bahwa aku menjadi sakit hati. Aku memang tidak berarti apa-apa di
sini. Aku hanya seorang pelaku yang tidak mempunyai bagian sama sekali dalam
kemenangan ini. Bukankah begitu Kiai?”
Ki Tanu
Metir-lah kini yang meraba dadanya. Ternyata perasaan Wuranta, yang selama ini
mencoba menutup-nutupi kekurangannya dan kekecewaan dengan tingkah laku yang
aneh-aneh itu terbanting terlampau dalam. Kini tampaklah perasaan yang
sebenarnya bergelut di dalam dada anak itu. Rendah diri, di samping segala
macam kekecewaan. Apalagi ketika ia melihat kenyataan bahwa Agung Sedayu yang
dikenalnya sebagai seorang penakut dan pengecut di masa kanak-kanaknya, kini
ternyata terlampau jauh di atas jangkauannya. Maka hatinya menjadi
terpecah-pecah tidak keruan. Agung Sedayu bagi Wuranta, menjadi sebab dari
segala macam kepahitan yang kini dialaminya. Ki Tanu Metir kini sudah hampir
pasti, bahwa soalnya berkisar di sekitar Sekar Mirah.
Orang tua itu
menarik nafas dalam-dalam. Seorang perempuan memang kadang-kadang dapat
menyebabkan lautan menjadi kering, dan gunung menjadi runtuh. Menurut dongeng,
Candi Prambanan tercipta dalam satu malam karena seorang gadis, Rara Jonggrang.
Bendungan yang melintasi lautan, mencapai Alengka, dibuat karena seorang
wanita. Dewi Sinta. Keris Empu Gandring yang bertuah, yang kemudian menghisap
darah beberapa orang, bahkan pembuatnya dan kemudian pemesannya sendiri, adalah
karena seorang wanita, Ken Dedes yang ingin direnggutkan dari suaminya, Tunggul
Ametung, oleh Ken Arok yang memesan keris itu kepada Mpu Gandring.
“O, tidak
terlampau jauh,” berkata Ki Tinu Metir di dalam hatinya.
“Alap-alap
Jalatunda mati karena Sekar Mirah, dan bahkan orang-orang Tambak Wedi dan
orang-orang Jipang bertempur satu sama lain karena Sekar Mirah ini pula. Dan
kini apakah gadis itu masih akan menulis ceritera baru tentang dirinya dan
tentang anak-anak muda yang mengenalnya.”
Ketika cahaya
yang kemerah-merahan di langit menjadi semakin pudar, maka Ki Tanu Metir pun berkata,
“Marilah,
Ngger. Jangan terlampau membiarkan diri hanyut dalam arus perasaan, Seharusnya
Angger mencoba mempergunakan pikiran untuk membuat keseimbangan. Nalar.”
Wuranta
menggeleng,
“Sudahlali
Kiai. Kiai tidak usah memikirkan aku. Aku akan kembali ke Jati Anom. Aku sudah
puas dapat melakukan petunjuk-petunjuk Kiai. Aku sudah puas dengan keadaan
sekarang ini.”
Ki Tanu Metir
tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Wuranta dengan tajamnya sehingga
anak muda itu melontarkan pandangan matanya jauh-jauh ke punggung Gunung Merapi
yang masih diwarnai oleh sisa-sisa sinar Matahari yang kemerah-merahan.
“Ikutlah aku.
Angger harus berjiwa besar menghadapi setiap persoalan. Angger bukan anak kecil
lagi.”
Wuranta
terdiam.
“Angger adalah
satu-satunya dari antara anak-anak muda Jati Anom yang telah berhasil
mendahului pasukan Pajang ke dalam sarang yang berbahaya ini. Tengadahkan
kepalamu. Pandanglah seluruh persoalan dengan dada terbuka. Sebagian anggapan
Angger tentang diri Angger benar. Angger adalah orang yang telah ikut berjasa
dalam hal ini.”
Tetapi Ki Tanu
Metir terpaksa menahan hatinya ketika ia melihat Wuranta menggelengkan
kepalanya. Dengan nada yang dalam anak muda itu berkata,
“Terima kasih,
Kiai. Aku tidak usah pergi ke banjar. Pergilah Kiai sendiri menemui murid-murid
dan Kakang Untara. Aku akan kembali ke Jati Anom sekarang.”
“Ah,” Ki Tanu
Metir berdesah,
“lihat,
matahari telah turun ke balik gunung. Sebentar lagi hari akan gelap.”
“Aku kemarin
mondar-mandir antara Jati Anom dan Tambak Wedi ini di dalam gelap juga.”
“Tetapi justru
kali ini aku menjadi cemas, karena Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya terlepas
dari tangan kita.”
“Kiai cemas
seandainya aku berjumpa dengan mereka?”
“Ya, Ngger.”
“Kiai tidak
perlu cemas. Aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diriku sendiri. Tetapi
seandainya aku akan mati juga, itu pun
sudah menjadi garis hidupku.”
“Jangan,
Ngger. Untara menunggumu. Ia ingin bertemu dengan Angger.”
“Kalau ia
ingin menemui aku, aku persilahkan datang ke Jati Anom.”
“Hem,” Ki Tanu
Metir menarik nafas dalam-dalam. Wuranta telah kehilangan keseimbangannya lagi.
“Silahkan Kiai
kembali ke banjar. Katakanlah kepada Kakang Untara bahwa aku telah kembali ke
Jati Anom. Aku tidak berguna apa pun
juga di sini.”
“Apakah maksud
itu tidak dapat di ubah.”
“Maaf, Kiai.”
Sekali lagi Ki
Tanu Metir menarik nafas panjang. Ia tidak, berhasil mengajak Wuranta pergi ke
banjar padepokan Tambak Wedi untuk bertemu dengan Untara, Agung Sedayu, dan
Swandaru. Tetapi orang tua itu dapat mengerti juga perasaan yang golak di dalam
dada Wuranta. Ia tidak ingin lagi bertemu dengan Sekar Mirah dan Agung Sedayu.
Ia tidak mau menambah pedih luka di hatinya.
“Jadi
bagaimana, Ngger?”
“Silahkan Kiai
kembali ke banjar. Aku akan terus ke Jati Anom.”
“Beberapa
puluh langkah lagi Angger sampai ke banjar itu.”
“Aku akan
berbelok.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu tiba-tiba ia berkata,
“Lukamu,
Ngger.”
“Sudah sembuh,
Kiai.”
“Belum,” Ki
Tanu Metir menggeleng,
“besok aku
akan memberimu obat lagi di Jati Anom. Obat itu baru sekedar memampat darah.
Tetapi daya sembuhnya terlampau sedikit.”
“Terima kasih,
Kiai. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi.”
“Ah, tentu.
Kenapa tidak? Aku pun akan segera pergi
ke Jati Anom. Aku pun tidak akan terlampau lama di sini.”
“Silahkanlah,
Kiai.” Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sekarang,
apakah Kiai masih akan pergi ke banjar?”
“Ya. aku akan
pergi ke banjar.”
Dengan
menyesal Kiai Gringsing kemudian meninggalkan Wuranta seorang diri. Menurut
pertimbangannya, maka biarlah Wuranta menuruti kehendaknya sendiri lebih
dahulu, selagi ia belum dapat berpikir dengan tenang. Karena itu, maka Ki Tanu
Metir tidak ingin memaksa-maksanya lagi. Ia mengharap bahwa besok atau lusa
Wuranta akan benar-benar dapat menemukan keseimbangannya.
Sepeninggal Ki
Tanu Metir, Wuranta masih sejenak berdiri di tempatnya. Dilayangkannya
pandangan matanya berkeliling. Dalam cahaya yang menjadi semakin merah, ia
melihat beberapa orang masih saja sibuk di halaman banjar dan sekitarnya.
Mereka masih menyingkirkan mayat dan orang-orang yang terluka. Satu-satu,
dikumpulkan menurut keadaannya. Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa
dikehendakinya. Baru kali ini ia melihat pepati sebanyak itu. Sejenak ia
melupakan kepahitan hatinya sendiri. Perlahan-lahan ia mengayunkan kakinya.
Tetapi ia tidak berjalan ke halaman banjar. Ia membelok sepanjang dinding
halaman yang agak rendah. Ketika ia meloncati dinding itu, maka ia berada di
belakang banjar, berantara dua halaman. Namun di tempat itu ternyata orang pun sibuk pula mengumpulkan orang-orang yang
terluka dan mayat yang bergelimpangan.
Ketika seorang
prajurit hendak menegurnya maka prajurit yang lain berkata,
“Bukankah ia
anak Jati Anom?”
“Kau sudah
mengenalnya?”
“Aku sudah
mengenalnya. Kemarin malam ia berada Kademangan Jati Anom. Bukankah anak itu
pula yang membawa kabar tentang keadaan di padepokan ini sehingga Ki Untara
dapat membuat perhitungan yang tepat?”
Kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya sehingga maksudnya, untuk menegur Wuranta
diurungkan. Dibiarkannya anak muda itu berjalan dengan hati yang kosong di
antara para prajurit Pajang yang sibuk. Namun tanpa dikehendakinya pula,
kadang-kadang Wuranta itu terhenti di antara orang-orang yang terluka. Ia masih
mendengar beberapa orang merintih meskipun tubuhnya telah terbujur diam, tidak
berbeda dengan mayat-mayat yang terbujur di sampingnya. Ketika ia melihat
seorang tua yang dengan lemahnya terbaring di bawah sebatang pohon kelor, hati
Wuranta berdesir. Tubuh itu masih belum sempat di angkat dibawa ke banjar
bersama orang-orang lain yang terluka. Tetapi Wuranta yakin bahwa orang itu
masih hidup. Perlahan-lahan ia mendekatinya. Dalam kesuraman cahaya matahari
yang semakin redup ia melihat orang tua itu menyeringai menahan sakit.
Sejenak
kemudian Wuranta telah berlutut di sampingnya. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Kek, Kakek.
Kau terluka?”
Orang tua yang
terbaring itu lamat-lamat mendengar suara orang memanggilnya. Perlahan-lahan ia
membuka matanya. Betapa perasaan sakit menghentak-hentaknya, namun ia masih
sempat melihat remang-remang seseorang berjongkok di sampingnya. Kepala orang
tua itu dijalari oleh sebuah perasaan yang aneh. Di dalam keadaan yang
demikian, seseorang telah berjongkok di sampingnya sambil menegumya ramah
sekali.
“Siapakah
engkau?” desis orang tua itu.
“Aku, Kek,
Wuranta.”
“O, kau,
Ngger?” seleret warna merah membayang di wajah yang pucat itu.
“Benarkah kau
Angger-Wuranta?”
“Ya, Kek.”
“Oh,” orang
tua itu terdiam. Matanya yang terbuka, itu terpejam. Tampak betapa wajah yang
tua itu menahan penderitaan yang sangat berat.
Wuranta masih
melihat darah yang meleleh dari luka di lambung orang tua itu. Luka yang parah.
“Kau terluka,
Kakek?” bertanya Wuranta.
“Hem,” orang
tua itu menarik nafas. Tetapi sejenak kemudian wajahnya menyeringai menahankan
perasaan sakit.
“Ya, Ngger aku
terluka. Terlampau parah.”
“Prajurit-prajurit
Pajang melukaimu?”
Orang tua itu
mencoba menggeleng.
“Tidak, Ngger.
Aku tidak sempat berkelahi melawan orang-orang Pajang. Aku telah terluka karena
ujung pedang orang-orang Jipang.”
“Oh,” Wuranta
terhenyak di tempatnya. Alangkah sedihnya. Ujung pedang kawan sendiri yang
tinggal bersama-sama di dalam satu lingkungan.
“Aku sudah
kehabisan tenaga, Ngger.”
“Sebentar lagi
orang-orang Pajang itu akan mencoba menolongmu, Kek.”
“He?” orang
tua itu terkejut.
“Tidak ngger.
Mereka akan datang dan mencekik aku sama sekali. Bukankah sebagian dari kita
mati karena ujung senjata orang-orang Pajang?”
“Tetapi aku
melihat mereka menolong orang-orang yang terluka dari segala pihak. Termasuk orang-orang
dari padepokan Tambak Wedi, bahkan orang-orang Jipang.”
Perlahan-lahan
orang tua itu menggeleng.
“Mereka tidak
menolong, Ngger, mereka sekedar mengumpulkan orang-orang yang terluka dan yang
mati. Besok kita bersama-sama akan dimasukkan dalam sebuah lubang yang besar,
dan ditimbun dengan sampah dan tanah. Kita yang belum mati sekalipun akan
dikubur pula bersama mayat-mayat itu.” Orang tua itu berhenti sejenak. Nafasnya
menjadi semakin lambat,
“Lebih baik
mati bersama mereka, Ngger.”
“Tidak, Kek. Kakek
akan sembuh. Dan hal yang demikian, tidak akan dilakukan oleh prajurit Pajang.”
Kakek yang
terbaring itu terdiam. Sekali-sekali dibukanya matanya dan dilihatnya Wuranta
duduk di sampingnya.
“Angger
Wuranta, bukankah Angger termasuk pihak Pajang itu pula? Nah, kalau demikian
tolong, Ngger, bunuhlah aku sekali supaya aku tidak terkubur hidup-hidup besok
apabila malam nanti aku tidak mati.”
“Ah, jangan
begitu, Kek. Kakek akan sembuh. Luka Kakek akan mendapat perawatan.”
“Seandainya
demikian, apabila aku sudah sembuh, maka aku akan digantung di alun-alun
Pajang. Apalagi aku sudah menangkapmu, Ngger. Menangkap seorang petugas sandi
dari Pajang.”
Wuranta
menggelengkan kepalanya.
“Tidak, Kek.
Apa yang Kakek lakukan adalah tugas Kakek. Tetapi Kakek telah memberikan tempat
tinggal lepas dari tangan Sidanti. Bukankah itu sebuah pertolongan yang paling
berarti selagi aku melakukan tugasku? Kek, seandainya aku tidak dapat keluar
dari rumah tahanan itu, maka akhir dari peristiwa ini pun akan berbeda.”
“Ah,” orang
tua itu mengeluh, “bunuh sajalah aku, Ngger.”
“Tidak, Kek.”
“Tolong,
supaya aku tidak terkubur hidup-hidup. Tetapi, sebelum itu, apakah kau mau
menolong aku, Ngger?”
“Apa, Kek?”
“Apakah kau
mau menyampaikan pesanku kepada nenekmu yang tua dan sakit-sakitan itu?”
“O, tentu,
tentu.”
“Bawalah orang
tua itu kemari, Ngger. Aku ingin bertemu untuk yang terakhir kalinya. Nenekmu
sudah terlalu tua dan sakit-sakitan saja. Kasihan perempuan itu.”
“Jadi, apakah
aku harus memanggilnya kemari?”
“Ya,” desis
orang tua itu, “tetapi kalau para prajurit Pajang itu mengijinkannya.”
“Aku akan
minta ijin itu untuk Kakek.”
“Terima kasih,
Ngger,” orang tua itu menyeringai. sekali lagi,
“Lukaku parah.
Umurku sudah tidak akan mencapai semalam ini. Tolong Ngger, panggillah nenekmu.
Dan…” orang tua itu terhenti. Perlaban-lahan ia melanjutkan, “dan tolong, Ngger
apabila mungkin, janganlah aku dibiarkan mati di sini lebih dahulu. Apakah aku
dapat Angger sisihkan, ke emper rumah sebelah?”
“Tentu, Kek,
tentu.”
“Tetapi
apabila para prajurit Pajang mengijinkan, Ngger.”
Wuranta tidak
menjawab. Dengan sigapnya ia berdiri. Lukanya sendiri sudah benar-benar tidak
terasa olehnya. Tergesa-gesa ia mendekati seorang prajurit yang sedang mengawal
kawan-kawannya dan orang-orang Tambak Wedi yang sedang sibuk mengangkat
orang-orang yang terluka ke rumah di halaman itu, dan sebagian langsung dibawa
ke banjar Padepokan.
“Apa Ki
Sanak?” bertanya prajurit itu.
“Aku titip
kakekku yang terluka itu.”
Prajurit itu
mengerutkan keningnya. “Kakekmu?”
“Ya.”
Prajurit itu
menjadi heran. Ia mengenal Wuranta sebagai anak Jati Anom, dan orang yang
terluka itu adalah seorang dari padepokan Tambak Wedi yang masih belum sempat
di sisihkan. Sejenak prajurit itu berdiri kebingungan. Dipandanginya Wuranta
dan kakek yang terbaring itu berganti-ganti.
“Benarkah ia
kakekmu?” prajurit itu ingin menegaskan.
“Ya ia
kakekku. Karena itu, tolong aku titipkan ia padamu. Biarlah kakek aku bawa ke
emper rumah itu. Aku akan memanggil nenek sebentar.”
Prajurit itu
masih berdiri kebingungan ketika Wuranta kemudian melangkah mengambil kakek tua
itu dan mendukungnya ke emper rumah di halaman. Tanpa minta ijin lagi,
Wuranta pun kemudian meninggalkannya
untuk menyusul nenek seperti pesan kakek tua yang terluka. Meskipun demikian,
ketika ia lewat di muka prajurit itu ia masih berpesan,
“Tolong
awasilah kakek itu.”
Prajurit itu
menarik nafas dalam-dalam. Itu sama sekali bukan pekerjaannya. Meskipun
demikian ia terpaksa mengawasinya juga. Ketika ada prajurit yang lain, yang
akan membawa kakek tua itu ke dalam rumah, maka prajurit itu berkata,
“Biarkan orang
tua itu di sana.”
“Kenapa?”
“Wuranta, anak
Jati Anom itu berpesan kepadaku, supaya orang tua yang katanya adalah kakeknya
itu tetap di sana.”
“Tetapi semua
orang yang terluka harus dikumpulkan supaya mereka segera mendapat pertolongan.
Luka kakek tua itu agak parah.”
Prajurit yang
sedang berjaga-jaga itu ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia berkata,
“Biarkan ia di
situ. Kita tunggu saja Wuranta. Barangkali ia ingin berbuat sesuatu dengan
kakeknya itu.”
Maka kakek tua
itu pun ditinggalkannya. Beberapa orang
yang lain pun kemudian diangkut pula
masuk ke dalam rumah, sedang yang telah meninggal dikumpulkan pula menjadi satu
di halaman untuk dikuburkan besok pagi. Langit
pun semakin lama menjadi semakin suram. Cahaya kemerah-merahan menjadi
semakin redup dan kehitam-hitaman. Perlahan-lahan senja turun ke atas permukaan
bumi. Sesaat kemudian Wuranta itu datang kembali sambil memapah seorang
perempuan tua. Hampir setua kakek yang sedang terluka di lambungnya.
“Dimanakah
kakekmu itu, Ngger?” desis nenek itu.
“Di sana, Nek,
di emper rumah itu.”
Tertatih-tatih
di dalam papahan Wuranta nenek itu berjalan mendekati emper tempat kakek tua
itu berbaring. Hati Wuranta menjadi lega ketika ia masih melihat dalam keremangan
senja kakek tua ini masih terbaring di emper. Namun kemudian hatinya berdesir
ketika ia melihat kakek tua itu sama sekali diam, seolah-olah orang tua itu
sudah tidak bernafas lagi. Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka hati
Wuranta menjadi semakin berdebar-debar. Perlahan-lahan dipapahnya perempuan tua
itu semakin mendekat. Perempuan tua itu
pun kemudian berlutut di samping suaminya. Terdengar ia bergumam, tetapi
tidak jelas, apa yang dikatakannya. Namun tiba-tiba terdengar ia memanggil,
“Kek, Kakek.”
Laki-laki tua
yang terbaring itu ternyata masih hidup. Ia masih mendengar suara isterinya.
Betapa lemah tubuhnya, namun ia paksakan dirinya membuka mata. Lambat sekali ia
menjawab,
“Nenek, kaukah
itu?”
“O,” nenek tua
itu tidak dapat lagi menahan dirinya. Ditelungkupkannya kepalanya di atas tubuh
suaminya yang telah menjadi semakin lemah.
“Lukaku parah,
Nenek.”
“Akan aku
obati, Kek.”
Perlahan-lahan
laki-laki tua itu menggelengkan kepalanya.
“Tidak perlu.
Tak ada obat yang dapat menyembuhkan lukaku. Darah sudah terlampau banyak
mengalir, meskipun aku sendiri sudah mencoba menahan dengan sobekan kainku.”
“Tidak, Kakek,
aku akan mengobatinya. Kau harus sembuh.”
Wuranta masih
berdiri tegak seperti patung. Tiba-tiba ia teringat obat yang diberikan Ki Tanu
Metir kepadanya. Obat itu dapat membantu sementara untuk menghentikan darah
yang meleleh dari luka. Dan luka kakek itu masih saja meneteskan darah. Agaknya
karena terlampau banyak darah yang keluar itulah maka kakek itu menjadi
terlampau lemah. Ia sudah terluka sejak orang-orang Pajang memasuki padepokan
ini. Hampir sehari ia terbaring dalam lukanya tanpa pertolongan kecuali atas
usahanya sendiri. Meskipun, seandainya luka itu sendiri tidak terlampau parah,
namun terlampau banyak darah yang mengalir
pun akan dapat menyebabkan kematian. Karena itu, maka segera dicarinya
bumbung kecil sisa obat yang dilumurkan luka di dadanya sendiri. Ketika ia
menemukan obat itu, maka hatinya melonjak kegirangan.
“Kakek,”
katanya terbata-bata,
“aku mempunyai
obat. Obat yang dapat menolong sementara memampatkan luka.”
Kakek yang
terluka itu tidak segera menyahut, tetapi isterinyalah yang menjawab,
“Benar, Ngger?
Benarkah kau mempunyai obat itu.”
Tetapi
alangkah kecewanya Wuranta ketika ternyata obat itu tinggal sedikit. Terlampau
sedikit untuk mengobati luka lambung laki-laki tua itu. Meskipun demikian, obat
yang sedikit itu dapat mengurangi penderitaannya dan dapat mengurangi darah
yang menetes dari lukanya.
“Aku sudah
cukup tua, Ngger. Luka-luka di tubuhku betapapun kecilnya agaknya terlampau
sukar untuk diobati. Lukaku kali ini pun
terlampau sukar untuk diharapkan akan dapat sembuh.”
“Tidak, Kek,
kau akan sembuh,” desis isterinya.
“Adalah suatu
kebahagiaan bagiku, bahwa aku masih cukup kuat menahan diri sampai sehari ini.
Dengan demikian aku masih dapat bertemu dengan kau, Nek,” katanya semakin
lambat.
Nenek tua,
isteri laki-laki yang terluka itu merapatkan kepalanya di dada suaminya.
Meskipun ia berusaha sekuat-kuat tenaganya, namun terasa air matanya meleleh
membasahi dada yang bidang, namun sudah mulai berkeriput karena garis-garis
ketuaan yang semakin banyak.
“Jangan
menangis, Nek,” desis laki-laki itu.
“Tidak,” jawab
isterinya, “aku tidak menangis.”
Sekali lagi
keduanya terdiam. Wuranta yang berjongkok di sampingnya setelah mencoba
mengobati luka orang tua itu pun terdiam pula. Namun demikian perasaan iba dan
haru menyentak-nyentak dadanya. Ia tidak dapat berbuat sesuatu meskipun ia
melihat seorang laki-laki tua telah berada di ambang maut, di dalam pelukan
isterinya yang telah tua pula.
“Apakah mereka
tidak mempunyai anak?” bertanya Wuranta di dalam hatinya.
Wuranta
mendekat ketika lamat-lamat ia mendengar,
“Angger
Wuranta.”
“Ya, Kakek,”
jawab Wuranta.
“Apakah hari
memang sudah mulai gelap?”
“Ya, Kek.
Senja telah hampir lampau.”
“O,” desisnya,
“pandanganku telah menjadi gelap benar. Aku sudah tidak dapat melihat apa pun.”
Dada Wuranta
menjadi berdebar-debar.
“Tidak, Kek,”
tangis perempuan tua, isterinya, yang sudah tidak terbendung lagi,
“kau akan
sembuh. Aku tidak berani kau tinggalkan. Aku tidak mau hidup seorang diri.”
“Kau tidak
akan hidup seorang diri, Nek,” jawabnya laki-laki itu perlahan sekali.
“Angger
Wuranta akan menemanimu. Bukankah begitu, Ngger?”
“Ya, ya Kek,”
sahut Wuranta dengan serta-merta.
“Hem,” laki-laki
tua itu mencoba menghela nafas dallam-dalam. “Ngger,” desisnya lambat sekali.
Wuranta
berkisar semakin dekat. Dan dilihatnya lamat-lamat dalam keremangan senja
laki-laki itu bergerak sedikit.
“Pagi tadi,
Ngger,” katanya justru ketika aku sudah terbaring karena luka, aku dapat
mengenali apa yang kau katakan, Ngger. Aku sudah merasakan betapa nikmatnya.”
“Apa, Kek?”
bertanya Wuranta tergagap.
“Tadi pagi,
ketika aku masih sanggup menahan tubuhku dengan tanganku, aku sudah dapat
menikmati betapa cerahnya pagi. Saat-saat yang tidak pernah aku nikmati
sebelumnya. Aku melihat betapa cahaya yang kehitam-hitaman berubah menjadi
merah, kemudian kekuning-kuningan dan yang terakhir, ketika matahari muncul
dari balik dedaunan, memancarlah cahaya yang putih cerah.”
“Ya, ya Kek.
Pagi memang cerah.”
“Aku tidak
pernah menikmatinya. Aku tidak pernah mendapat kesempatan itu. Tetapi
kesempatan itu datang pagi ini. Pada hariku yang terakhir. “
“Bukan yang
terakhir,” potong Wuranta.
Dada Wuranta
berdesir ketika ia melihat laki-laki tua yang luka parah di lambungnya itu
tersenyum.
“Jangan
menutup mata melihat kenyataan ini, Ngger. Tetapi kini, sejak aku melihat
cerahnya pagi, aku merasa terlampau dekat dengan Nafas dari seluruh kehidupan.
Aku merasa bahwa aku mendapatkan sesuatu, Ngger. Dan aku merasa menjadi semakin
dekat.”
“Ya, Kek. Kau
akan menjadi semakin dekat dengan Nafas segala kehidupan. Dan kau akan sembuh.”
“Bagiku sudah
tidak ada bedanya, Ngger. Dan aku merasa bahwa hidupku di dunia ini sudah akan
berakhir, berakhir hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar