DADA kedua laki-laki itu berdesis tajam. Sejenak mereka merasa terjebak dalam suatu keputusan yang tidak mereka kehendaki sehingga hati mereka melonjak. Tetapi ketika terpandang oleh mereka tubuh Rara Wulan yang terbujur di tanah itu, maka mereka, menjadi ragu-ragu. Karena itu mereka masih berdiri saja tanpa bergeser setapak pun. Perempuan tua itu terdiam sejenak. Namun tiba-tiba ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata,
“Terima kasih.
Terima kasih, bahwa kalian berdua telah mengambil keputusan yang bijaksana.
Ternyata betapa kerasnya hati kalian, namun kalian adalah manusia yang
berperasaan. Kalian masih mempunyai kesadaran diri dalam kemanusiaan kalian
yang utuh. Ternyata kalian benar-benar telah mengambil keputusan, bahwa
persoalan kalian telah selesai sampai di sini.”
Sesuatu
menggelepar di dalam dada kedua laki-laki itu. Tetapi tidak sesuatu yang mereka
lakukan. Mereka kemudian mendengar perempuan itu berkata,
“Kalian adalah
laki-laki jantan, yang menghadapi maut dengan dada tengadah, apabila kalian
telah mengucapkannya dengan lidah kalian, bahwa kalian bertekad untuk saling
membunuh. Tetapi keputusan kalian kini adalah jauh lebih berharga. Kalian tidak
mengucapkannya dengan lidah kalian, tetapi kalian mengucapkannya di dalam hati.
Janji di dalam diri bagi laki-laki tidak akan berubah lagi, seperti janji di
dalam hati kalian saat ini. Menurut pendapatku kalian tidak perlu merasa
tersinggung kejantanan kalian, karena ternyata kalian telah berbuat kejantanan
yang jauh lebih berharga bagi kemanusiaan dari pada saling berbunuh-bunuhan
tanpa arti.”
Kedua
laki-laki itu seolah-olah telah terikat oleh suatu pesona tanpa dapat mereka
atasi. Mereka seolah-olah tidak mampu melawan kata-kata perempuan tua yang
berdiri di sisi tubuh Rara Wulan yang terkapar di atas tanah.
“Baiklah. Aku
menghargai keputusan kalian. Semua persoalan telah selesai. Semua persoalan
yang telah terjadi harus dilupakan. Aku tahu, bahwa persoalan itu sendiri
memang tidak dapat berhenti, sebab anak di dalam kandungan itu akan menjadi
besar dan akan lahir. Kelahiran anak itu adalah kelanjutan dan persoalan yang
telah terjadi. Tetapi aku mengharap bahwa kalian terikat oleh putusan jantan
kalian yang baru saja kalian ucapkan di dalam hati, bahwa kalian menganggap
semua persoalan telah selesai. Kalian harus mempunyai jiwa besar menghadapi
kenyataan ini. Kenyataan yang tidak akan terhapus, meskipun disiram dengan darah
dan dipertaruhkan dengan tiga buah nyawa.”
Bibi Arya Teja
berhenti sejenak. Dipandanginya kedua laki-laki yang berdiri tegak itu
berganti-ganti. Dibiarkannya kedua laki-laki itu sejenak memandang ke dalam
hati masing-masing. Sekali lagi suasana di bawah Pucang Kembar itu dicengkam
oleh kesenyapan. Tetapi wajah-wajah yang tegang itu masih juga tegang.
Senjata-senjata di dalam genggaman itu masih juga tercengkam kuat-kuat. Namun
hati mereka, kedua laki-laki yang menggenggam senjata itu, ternyata sudah tidak
sekeras batu akik. Terasa sesuatu menjalari urat nadi mereka. Semakin lama
semakin tebal tergores di dinding hati. Penyesalan.
Mereka tidak
tahu benar, apakah yang mereka sesalkan sebenarnya. Tetapi mereka kini melihat,
bahwa sebaiknya apa yang terjadi itu tidak pernah mereka lakukan. Paguhan yang
keras hati dan keras kepala, lambat-laun melihat, bahwa akibat dari
perbuatannya sama sekali tidak diduga-duganya. Apalagi apabila dilihatnya tubuh
Rara Wulan terbaring diam di atas rerumputan.
“Aku dapat
tidak mempedulikan apa yang terjadi atas diriku karena aku memang tidak pernah
memperhitungkannya, tetapi ternyata Rara Wulan mengalami goncangan perasaan
terlampau berat,” desis Paguhan di dalam hatinya.
Sedang Arya
Teja pun menyesal pula. Setelah ia
mengikat gadis itu dalam pembicaraan, maka gadis itu ditinggalkannya terlampau
lama sehingga hal yang sama sekali tidak diinginkannya itu terjadi. Seandainya
ia tidak mengikat gadis itu dalam pembicaraan seperti yang telah dibicarakan
oleh orang-orang tua mereka, maka tidak akan ada persoalan bagi Rara Wulan.
Gadis itu dapat segera kawin dengan Paguhan. Tetapi semua itu telah terlanjur.
Setitik noda telah melekat di tubuh Rara Wulan. Noda yang tidak akan
terhapuskan sepanjang hidupnya.
“Apakah aku
cukup kuat untuk dapat melupakannya?” pertanyaan itu membersit di dalam dada
Arya Teja.
Kedua
laki-laki itu terkejut ketika mereka mendengar perempuan tua yang berdiri di samping
Rara Wulan itu berkata,
“Kenapa kalian
diam saja seperti sedang kehilangan akal?”
Sesaat Paguhan
dan Arya Teja saling berpandangan. Tetapi sorot mata mereka sudah tidak lagi
memancarkan api yang menyala di dalam dada mereka. Namun mereka masih tetap
terbungkam.
“Apakah kalian
tidak dapat berbicara sepatah kata pun?”
Masih tidak
ada jawaban.
“Jika demikian,
maka biarlah aku yang berbicara. Kalau kalian menolak, maka kalian harus segera
menyatakannya.” perempuan itu diam sebentar, lalu,
“Persoalan
kalian telah selesai. Rara Wulan adalah isteri Arya Teja. Anak di dalam
kandungan ini anak Arya Teja.”
Terasa dada
kedua laki-laki itu berguncang. Tetapi mereka tidak tahu apa yang sebaiknya
mereka lakukan. Mereka benar-benar seperti sedang dicengkam oleh sebuah pesona
yang tidak dapat mereka atasi. Mereka masih berdiri diam ternganga-nganga
ketika mereka mendengar perempuan tua itu berkata,
“Semua
persoalan yang pernah terjadi dianggap tidak pernah ada. Tetapi persoalan yang
akan datang pun tidak boleh ada. Arya Teja harus menerima keputusan ini dengan
jiwa besar, dan Angger Paguhan harus melepaskan semua kepentingan dengan Rara
Wulan dengan jiwa yang besar pula.”
Kedua
laki-laki itu berdiri saja tegak di tempatnya bagaikan patung batu. Diam. Hanya
senjata-senjata mereka sajalah yang kemudian tertunduk lesu. Seperti hati-hati
mereka yang menjadi lesu pula. Mereka seakan-akan tidak lagi mempunyai gairah
apa pun untuk ikut serta menentukan hari
depan mereka sendiri.
Dan kedua
laki-laki itu menggerakkan kepalanya ketika mereka mendengar bibi Arya Teja itu
berkata,
“Nah, Arya
Teja dan Angger Paguhan. Kalian tidak menyanggah sepatah kata pun. Berarti
kalian telah berjanji bahwa kata-kataku itu seakan-akan telah anger ucapkan
berdua sebagai janji di dalam hati. Janji jantan yang tidak akan dapat diganggu
gugat lagi.”
Kedua
laki-laki itu masih membatu.
“Nah, kalau demikian,
maka marilah kita kembali ke dalam persoalan yang wajar.” Perempuan tua itu
berhenti sebentar, lalu,
“Arya Teja.
Kini kau harus menyadari, bahwa isterimu sedang pingsan di sini. Kau tidak
boleh membiarkannya, supaya nyawanya dapat tertolong bersama nyawa yang sedang
dikandungnya.”
Terasa
perasaan Arya Teja tersentak. Sebersit penolakan menyentuh hatinya. Tetapi ia
tidak pernah dapat mengucapkan penolakan itu.
“Kenapa kau
diam saja?” bertanya bibinya.
“Bawalah
isterimu pulang. Tidak ada seorang pun yang tahu akan persoalan kalian.
Pelayan-pelayan di rumahmu pun tidak mengetahuinya. Kalian berdua harus
merahasiakan persoalan ini, untuk kepentingan anak yang masih berada di dalam
kandungan itu, sebagai pemenuhan janji kalian.”
Sesaat mereka
tidak dapat berbuat apa-apa. Kedua laki-laki itu seakan-akan membeku di
tempatnya.
“He, kenapa
kalian diam saja? Arya Teja, berbuatlah sesuatu supaya isterimu selamat.”
Sebuah
keragu-raguan yang tajam telah menggores dinding hati Arya Teja. Ia tahu, bahwa
keadaan Rara Wulan dapat membahayakannya. Tetapi terasa kakinya menjadi seberat
timah untuk digerakkan.
“Arya Teja,”
suara bibinya menjadi semakin keras,
“kemarilah.
Berbuatlah sesuatu, jangan mimpi.”
Sebuah
pergolakan terjadi di dalam hati Arya Teja. Ia masih saja dicengkam oleh
keraguan. Meskipun hatinya sudah mulai cair, namun ia masih belum dapat
melepaskan diri dari kungkungan perasaannya. Ia tahu benar, bahwa perempuan itu
telah bernoda. Ia tahu, dan ia tidak dapat menghapus pengetahuannya tentang
itu.
Tetapi tiba-tiba
dadanya tergetar ketika ia mendengar suara Paguhan lemah, tanpa diduga-duganya.
“Arya Teja,
apakah aku kau ijinkan melakukannya untukmu. Aku tidak ingin melihat Rara Wulan
membeku di sini.”
Terasa sebuah
singgungan yang tajam menyentuh jantung Arya Teja. Tiba-tiba ia menggeram.
“Aku dapat
melakukannya sendiri, Paguhan.”
“Maaf, bukan
maksudku menyinggung perasaanmu. Aku ingin berbuat sesuatu. Aku menyesal bahwa
hal yang serupa ini telah terjadi pada Rara Wulan.”
Sekali lagi
dada Arya Teja tergetar. Tetapi ia mendapat kesan yang lain dari kata-kata
Paguhan itu. Ia merasakan penyesalan yang jujur terpancar dari padanya.
Sehingga justru karena itu sejenak ia mematung tanpa dapat menjawab kata-kata
itu.
Namun segera
ia seakan-akan terbangun dari mimpinya ketika ia mendengar kata-kata Paguhan,
“Apakah kau
mengijinkan Arya Teja? Mudah-mudahan Rara Wulan dapat di selamatkan.”
Arya Teja
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia adalah orang yang paling kecewa atas
persoalan itu. Kecewa bahwa ia dihadapkan pada peristiwa yang tanpa pilihan.
Maju tahu (takut?), mundur hancur. Tetapi ia harus berbuat sesuatu. Ia harus
menelan segala kepahitan yang dihadapinya. Kepahitan yang tidak akan dapat
dihapuskannya. Yang dapat dilakukan adalah melupakannya. Melupakan sesuatu yang
telah terjadi. Sebenarnya telah terjadi.
Perlahan-lahan
Arya Teja melangkahkan kakinya, betapa ia harus menekan perasaanya. Ia harus
menyentuh perempuan itu. Perempuan yang sudah bernoda. Ketika ia berpaling,
dilihatnya Paguhan masih berdiri tegak di tempatnya. Sorot matanya benar-benar
membayangkan penyesalan. Tetapi Paguhan tidak mengalami akibat apa pun yang langsung menyertai hidupnya
kemudian. Tidak setiap hari ia dihadapkan pada kekecewaan yang harus dilupakan.
Ia cukup menyesali perbuatannya. Apabila penyesalan itu jujur, ia tidak akan
mengulanginya. Tetapi bagaimana dengan noda yang telah melekat pada
keluarganya? Pada isterinya yang setiap hari akan selalu membayanginya? Terdengar
Arya Teja menarik nafas. Dalam sekali, sedalam kepedihan yang menghunjam di
hatinya. Tetapi kali ini Arya Teja tidak dapat berbuat lain. Rara Wulan tidak
akan dapat dibiarkannya begitu saja. Meskipun jauh di dasar hatinya
kadang-kadang terbersit keinginan untuk membiarkan saja Rara Wulan itu mati,
namun kemanusiaan yang melapisi pandangan hidupnya tidak membenarkannya. Karena
itu betapa hatinya serasa seperti digores ujung senjata yang paling tajam,
diangkatnya juga Rara Wulan itu dan dipapahnya pulang ke rumah. Meskipun
demikian, di sepanjang jalan kadang-kadang timbul juga pertanyaan di dalam
hatinya,
“Kenapa aku
harus mengalami peristiwa ini? Dosa apakah yang pernah aku lakukan atau
dilakukan oleh keluargaku?”
Sebagai
manusia maka peristiwa itu benar-benar telah mengguncangkan keseimbangannya.
Pada saat-saat permulaan ia melangkahkan kakinya pada dunianya yang baru,
setelah ditinggalkannya dunianya yang lama, ia harus mewarnai dunia
kekeluargaannya itu dengan noda yang paling kotor. Dan ia tidak dapat
melepaskannya. Hari-hari berikutnya adalah hari-hari yang penuh dengan
penderitaan. Rara Wulan tidak dapat melepaskan dirinya dari perasaan bersalah.
Kadang-kadang masih meledak ungkapan-ungkapan penyesalannya yang tidak
terkendali, sehingga hampir-hampir ia berhasil membunuh dirinya. Tetapi bibi
Arya Teja dengan sabar selalu menasehatinya. Selalu memberinya
petunjuk-petunjuk.
“Tetapi aku
tidak akan dapat menahan penderitaan ini, Bibi,” berkata Rara Wulan pada suatu
saat.
“Kandunganku
selalu memberikan bayangan yang mengerikan. Kandungan yang selalu berada
bersamaku ini, selalu mengatakan kepadaku, bahwa aku adalah manusia yang paling
rendah di dunia. Aku mengharap, bahwa Kakang Arya Teja memberi aku hukuman yang
paling berat. Membunuh aku atau apa pun
yang diinginkannya. Tetapi dengan caranya, maka aku tidak akan dapat menanggungkannya.
Hukuman ini jauh lebih berat dari hukuman apa pun juga. Tidak sepantasnya aku
dimaafkannya. Dan maafnya adalah siksaan yang tidak tertanggungkan.”
Bibi Arya Teja
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya sareh,
“Wulan, apakah
kau benar-benar merasa bersalah.”
“Ya, Bibi, dan
aku bersedia menerima hukumannya.”
“Kenapa kau
masih juga merasa berkeberatan, Wulan. Hukumanmu telah ditentukan. Kau
dimaafkan. Memang hukuman itu adalah hukuman yang paling berat bagimu. Tetapi
kau rela menanggungkannya. Tidak sepantasnya kau mencari jalan yang paling
dekat untuk menghindarinya. Mati. Tidak sepantasnya hukuman itu menyangkut bayi
di dalam kandunganmu yang tidak ikut bersalah.”
“Tetapi
kelahirannya yang tidak dikehendaki itu, buatnya tersiksa pula di sepanjang
hidupnya kelak.”
Bibi Arya Teja
menggelengkan kepalanya.
“Tidak Wulan.
Kalau kau menerima semuanya ini dengan ikhlas, Arya Teja pun melakukannya dengan ikhlas dan jujur, dan
Paguhan menyesali perbuatannya sepenuh hati, maka tidak akan ada persoalan lagi
di antara kalian. Kalian harus bersikap wajar, sehingga tidak menimbulkan
pertanyaan pada orang-orang lain yang tidak tahu persoalannya.”
Rara Wulan
setiap kali hanya dapat menganggukkan kepalanya sambil menangis. Tetapi ia
selalu bertanya-tanya, sampai di mana kesediaan Arya Teja untuk memaafkannya? Hari-hari
merayap melintasi pekan dan bulan. Saat-saat yang mendebarkan menjadi semakin
dekat. Kelahiran bayi di dalam kandungan Rara Wulan. Meskipun Arya Teja dan
Rara Wulan, atas nasehat dan petunjuk yang terus-menerus dengan kesabaran
hampir tanpa batas dari bibinya, berusaha berlaku dan berbuat wajar, namun
mereka masih belum dapat menghapuskan tirai yang seakan-akan masih terbentang
di antara mereka. Tirai yang harus mereka lupakan. Tetapi mereka menyadari,
bahwa tirai itu pernah terbentang di antara mereka. Ketika saat itu tiba, maka
hampir-hampir perasaan Arya Teja meledak tanpa dapat dikendalikan. Tetapi
setiap kali bibinya selalu membujuknya, menekan dan mengendalikannya dengan
segala macam cara, agar Arya Teja dapat menerima kenyataan itu, meskipun
perempuan tua itu sadar, betapa pahit hati Arya Teja yang masih muda itu.
Sehingga akhirnya, Arya Teja tidak dapat menghindarkan diri. Menerima kelahiran
anak Rara Wulan itu sebagai anaknya sendiri. Seorang anak laki-laki, yang
diberinya nama Sidanti. Kelahiran Sidanti mendapat sambutan yang hangat dari
setiap orang di Menoreh. Mereka merasa ikut bergembira, bahwa Arya Teja telah
mendapatkan, seorang putera. Mereka sama sekali tidak tahu, apakah yang
sebenarnya tersimpan di dalam hati Arya Teja dan Rara Wulan. Hati yang
sebenarnya telah retak dan sulit untuk dipertautkan kembali. Meskipun demikian,
betapa pahit perasaan mereka, mereka mencoba menerima segala cara
tetangga-tetangga memberi selamat kepada mereka. Setiap malam pendapa rumahnya
selalu dipenuhi oleh para tetangga yang baik, yang ingin ikut serta menyatakan
kegembiraan hati.
Perempuan-perempuan
sibuk membantu di dapur, menyelenggarakan jamuan untuk setiap malam. Sebagian
yang lain menunggu bayi laki-laki itu berganti-ganti. Di pendapa terdengar
setiap malam kidung kegembiraan dilagukan oleh setiap tamu berganti-ganti.
Kidung kegembiraan menyambut kedatangan anak laki-laki Arya Teja. Kidung yang
berisi doa agar bayi itu selamat untuk seterusnya, dijauhkan dari bahaya.
Namun ada juga
tamu-tamu perempuan yang berbisik di antara mereka,
“Bayi ini
lahir sebelum waktunya. Lihat tubuhnya tampak lemah sekali. Tetapi suara
tangisnya terlampau kuat.”
Perempuan yang
lain mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya,
“Ya, ibunya
sakit-sakitan saja. Selama mengandung anak ini, hampir tidak pernah ia sempat
melihat sinar matahari di luar bilik. Bahkan anak ini hampir-hampir membawa
nyawa ibunya.”
“Ya,” desis
yang lain. “Arya Teja belum genap sepuluh bulan kawin.”
Dan
perempuan-perempuan itu bersepakat, bahwa kelahiran Sidanti agak terlampau
cepat. Apalagi Sidanti tampak terlampau lemah pada saat lahirnya, karena selama
ia di dalam kandungan, ibunya selalu dikejar oleh siksaan batin.
Namun di dalam
pertumbuhannya, Sidanti menjadi anak laki-laki yang cukup kuat dan tangkas.
Nakalnya bukan main. Kesehatannya berangsur menjadi baik. Bahkan anak itu
seolah-olah tida pernah disinggahi penyakit. Tetapi bagaimanapun juga, bayangan
wajah Paguhan tercetak juga di wajah anak laki-laki itu. Bagaimanapun juga Arya
Teja ingin melupakannya, tetapi setiap kali ia melihat Sidanti maka setiap kali
ia selalu teringat, bahwa anak laki-laki itu mencerminkan darah yang menitik di
dalam urat nadinya. Sehingga Betapapun juga apa yang telah terjadi itu selalu
membayangi siang dan malam. Bibi Arya Teja yang menjadi semakin tua melihat
kepedihan itu. Perempuan tua itu pun
melihat, bahwa Sidanti benar-benar telah dilahirkan dalam ujud yang hampir
serupa dengan Paguhan. Dan perempuan tua itu menyadari, betapa anak itu dapat
menjadi pagar yang membatasi Arya Teja dan Rara Wulan sebagai suami isteri. Karena
itu maka perempuan tua itu mencoba untuk mencari jalan yang baik tanpa
menimbulkan banyak persoalan. Maka diambilnya anak itu, dan dibawanya ke
rumahnya.
“Anak itu
sepantasnya berada di rumahku,” berkata orang tua Arya Teja.
“Biarlah kami
setiap hari dapat mendukung cucu kami.”
“Ah,” jawab
bibi Arya Teja,
“kalian tidak
merasa kesepian di rumah. Kalian masih mempunyai kawan untuk bercakap. Tetapi
aku tinggal seorang diri. Biarlah Sidanti tinggal bersamaku untuk beberapa hari.”
Tetapi yang
dikatakan beberapa hari itu ternyata terlampau panjang. Hanya kadang-kadang
saja Sidanti tinggal bersama ibunya, tetapi kemudian kembali ke rumah neneknya
ke rumah bibi Arya Teja. Namun ternyata dengan demikian Sidanti menjadi manja.
Bibi Arya Teja yang tahu benar tentang keadaan anak itu, terlampau menaruh
belas kasihan, sehingga anak itu hampir tidak pernah dikecewakannya. Semua
kehendaknya selalu diberinya, dan semua keinginannya selalu dipenuhinya. Pengangkatan.
Arya Teja menjadi Kepala Perdikan Menoreh, seperti yang telah dijanjikan,
setelah ayahnya merasa terlampau lelah untuk memerintah, mempengaruhi kehidupan
Sidanti pula. Ia merasa, bahwa ia adalah putera Kepala Tanah Perdikan yang
besar. Ayahnya ternyata mempunyai kedudukan yang lebih besar dari kakek yang
digantikannya. Kakeknya bukan seorang Kepala Tanah Perdikan, tetapi ayahnya
selain mendapat wisuda menggantikan kakeknya, juga mendapat anugerah khusus. Demikianlah
anak laki-laki itu tumbuh menjadi anak yang semakin besar. Padanya tampak
semakin jelas, kelebihan-kelebihannya dari anak-anak sebayanya. Keberaniannya,
kecerdasannya dan kecepatannya untuk menerima petunjuk-petunjuk tentang
berbagai macam hal. Namun, kemanjaannya
pun tumbuh sejalan dengan pertumbuhan badannya. Anak itulah yang bernama
Sidanti. Sidanti anak Rara Wulan, dari keturunan seorang laki-laki yang bernama
Paguhan, yang kemudian bergelar Ki Tambak Wedi.
Malam yang
gelap menjadi semakin kelam. Angin yang silir bertiup menggoyangkan dedaunan.
Lamat-lamat terdengar burung kedasih seolah-olah meneriakkan kepedihan hati. Seleret
bulan muda bertengger di langit yang hitam di antara bintang gemintang yang
cerah. Desau angin malam menyapu wajah Tanah Perdikan Menoreh yang lelap dalam
tidurnya. Tetapi bergolaklah sepasang dada, yang telah mendengar ceritera
tentang Arya Teja dan Paguhan. Sepasang dada anak muda yang merasa dirinya
bersaudara seayah dan seibu. Namun ternyata hanya seibu saja, tetapi tidak
seayah.
Sidanti
sendiri mendengarkan ceritera itu dengan hati yang tegang. Melampaui ketegangan
hatinya pada saat-saat ia menghadapi lawan di medan perang, atau menghadapi
lawan bertanding di dalam perang tanding seorang lawan seorang. Sejenak hatinya
terasa gelap. Namun kemudian terungkatlah perasaan yang meledak di dalam
dadanya. Tiba-tiba ia meloncat berdiri. Dengan mata yang merah menyala ia
menunjuk wajah gurunya dan sekaligus ayahnya. Dengan suara lantang ia berkata
terputus-putus oleh gelora di dalam dadanya,
“Kau, kau, kau
menodai nama baik ibuku. Kau telah membuat aku menjadi orang yang paling
terkutuk.” Bibir Sidanti masih bergetar, tetapi kerongkongannya serasa telah
tersumbat.
Selangkah
daripadanya Argajaya duduk mematung. Sejenak ta tidak dapat berbuat apa pun juga selain berdesah. Dadanya terasa
berdeburan seakan-akan ingin meledak, Arya Teja adalah kakaknya yang kemudian
bernama Argapati bergelar Ki Gede Menoreh. Ternyata laki-laki yang bernama
Paguhan dan kemudian bergelar Ki Tambak Wedi adalah seorang yang telah merusak
perasaan kakaknya dan iparnya. Ia telah menaburkan benih yang akan tumbuh
menjadi rerungkudan yang penuh dengan duri-duri yang tajam. Tetapi Argajaya
tidak dapat segera berbuat sesuatu. Diawasinya saja Sidanti yang berdiri
beberapa langkah di hadapan gurunya dengan tubuh gemetar. Ki Tambak Wedi masih
duduk dengan tenang ditempatinya. Namun wajahnya tampak menjadi suram, sesuram hatinya.
Dipandanginya wajah Sidanti yang menegang. Bibirnya yang bergerak, tetapi tidak
sepatah kata pun yang dapat dikatakannya
lagi.
“Duduklah,
Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi.
Sidanti masih
berdiri. Matanya masih menyala. Dan bahkan ia berkata terbata-bata,
“Itu, itulah
sebabnya.” Tetapi kata-katanya terputus.
“Apakah yang
disebabkan dan apakah yang menyebabkan,” bertanya gurunya.
“Sekar Mirah,”
terlompat dari sela-sela bibir Sidanti.
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih saja duduk di tempatnya. Katanya,
“Aku mengerti
maksudmu Sidanti. Kau ingin mengatakan, bahwa segala macam kegagalanmu itu
adalah akibat dari dosa-dosa yang pernah aku lakukan bersama ibumu.” Ki Tambak
Wedi berhenti sejenak, lalu,
“Mungkin kau
benar. Tetapi itu tidak mutlak. Sebenarnya aku menyesali apa yang telah
terjadi. Penyesalan itu tidak sekedar terucapkan di antara bibirku. Tetapi
penyesalan itu langsung menghunjam ke pusat jantung.” Sekali lagi Ki Tambak
Wedi berhenti. Ditariknya nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Lalu dilanjutkannya,
“Kau tahu
Sidanti, bahwa untuk seterusnya aku tidak pernah dapat terpikat oleh perempuan.
Perempuan yang bagaimanapun juga. Setiap kali aku teringat akan dosa dan noda
yang pernah aku lekatkan di tubuh ibumu. Dan setiap kali aku dikejar oleh
penyesalan. Aku mencoba melupakannya dengan cara apa pun. Dengan cara yang
paling kotor sekalipun. Aku mencoba menganggap bahwa aku tidak pernah berdosa.
Aku datangi perempuan-perempuan yang dengan sukarela menyerahkan dirinya.
Tetapi setiap kali aku selalu melarikan diriku daripadanya karena perasaan
bersalah itu tidak pernah dapat aku lupakan. Dan akhimya aku terdampar di
padepokan Tambak Wedi. Aku mencoba menenteramkan diriku dengan cara yang lain.
Aku menyibukkan diri dengan ilmuku, dengan segala macam kerja yang semula tidak
berarti. Aku menjadi semakin gairah, ketika aku mendapat kesempatan menuntunmu
karena bibi Arya Teja yang kemudian bernama Argapati itu menjadi semakin tua
dan tidak lagi mampu berbuat apa-apa. Ia menyarankan agar anak itu, tidak
menimbulkan persoalan apa pun kelak. Tetapi agaknya keluarga Argapati tidak
dapat menerimamu. Aku tahu bahwa Argapati berusaha untuk dapat menjadi seorang
ayah yang baik. Tetapi perasaannya setiap kali terungkat. Akhirnya kami
bersama-sama menemukan suatu cara. Kau tetap dianggap sebagai anak Argapati
yang bergelar Ki Gede Menoreh dengan segala macam hak dan kewajiban. Tetapi kau
diserahkan kepadaku di padepokan Tambak Wedi sebagai seorang murid. Kami
masing-masing berjanji bahwa tidak ada orang lain yang tahu kecuali kami
berempat. Aku, ibumu, Argapati dan bibinya. Kini dua di antara mereka telah
meninggal. Bibi Argapati dan ibumu.”
Wajah Sidanti
masih membara semerah soga. Matanya memancarkan perasaan yang bergolak di dalam
dirinya. Tubuhnya yang gemetar masih belum beranjak dari tempatnya.
“Duduklah,
Sidanti.”
Sidanti masih
tetap berdiri.
“Duduklah.”
Wajah Sidanti
masih membara.
“Kita sudah
terlibat dalam persoalan itu,” berkata gurunya.
“Argapati
ingkar janji menurut penilaianku. Bagaimana penilaianmu, Sidanti?”
Sidanti tidak
menjawab. Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada pamannya yang masih duduk dengan
tegangnya. Sidanti merasakannya betapa dadanya menjadi pepat dan pikirannya
menjadi gelap.
“Jangan
menyalahkan aku lagi, Sidanti,” berkata Ki Tambak Wedi masih dalam keadaannya.
Tenang walau pun suram.
“Aku sudah
cukup tersiksa oleh kesalahanku itu. Seandainya ibumu masih ada, maka aku akan
pasrah, apa pun yang akan kau lakukan
seandainya kau merasa aku menjadi sumber bencana yang menimpa dirimu. Tetapi
kini keadaannya sudah lain. Ibumu sudah tidak ada. Tidak ada lagi orang yang
memberati perasaanku. Aku menjadi seakan-akan terbebas dari sebuah belenggu
yang selama ini mengikatnya.
Sidanti masih
membeku. Tetapi wajah Argajaya menjadi semakin tegang. Ia kini tahu benar
persoalannya. Persoalan itu berpusar pada persoalan antara kakaknya Argapati
dan Ki Tambak Wedi. Ia tidak dapat menyalahkan kakaknya Argapati apabila tidak
segera menerima tawaran Ki Tambak Wedi untuk membantu Sidanti, madeg kraman
melawan pemerintahan Pajang. Sedang Sidanti itu sama sekali tidak ada sentuhan
darah dengan kakaknya itu. Meskipun demikian Argapati tidak segera berbuat
sesuatu. Ia tahu benar, siapakah Ki Tambak Wedi itu. Dan ia belum tahu, apakah
yang akan terjadi dengan Sidanti.
Argajaya yang
licik itu sengaja tidak segera menyatakan sikapnya, meskipun sikap itu telah
ada di dalam dadanya. Ia menunggu apakah yang akan terjadi. Peristiwa apakah
yang akan berkembang kemudian. Dengan demikian maka Argajaya masih juga tetap
diam di tempatnya. Ditahankannya perasaannya, agar tidak meluap ke luar
sehingga menimbulkan akibat yang tidak dikehendakinya. Sidanti sendiri masih
saja membeku di tempatnya. Seakan-akan anak muda itu telah kehilangan akalnya.
Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Darahnya yang meluap-luap tiba-tiba
serasa berhenti mengalir. Yang berada di hadapannya itu adalah bukan sekedar
gurunya, tetapi ia adalah ayahnya, meskipun karena perbuatannya ibunya menjadi
tersiksa sepanjang hidupnya. Dengan ceritera itu, maka barulah ia kini
mengetahui sebabnya, kenapa kelakuan ibunya selama ini terasa terlampau
berlebih-lebihan. Kesetiaannya, kesediaannya untuk melakukan apa saja sesuai
dengan keinginan suaminya dan, betapa ia menghormati Argapati, meskipun Argapati
sendiri sama sekali tidak menunjukkan keinginannya untuk berbuat
sewenang-wenang. Ternyata kesediaan itu tidak tumbuh dari dasar hatinya, tetapi
semuanya itu terdorong oleh suatu keinginan untuk menebus dosa dan hutang budi.
Sejenak Sidanti mencoba membayangkan apa yang telah terjadi di dalam lingkungan
keluarga Argapati. Namun bayangan itu semakin lama menjadi semakin kabur. Lamat-lamat
ia mencoba mengenali kembali Argapati, ibunya dan adiknya Pandan Wangi. Tetapi
dalam gejolak perasaannya, ia tidak berhasil untuk meneropong sebaik-baiknya
keadaan keluarga itu. Termasuk dirinya sendiri. Sidanti terperanjat ketika ia
mendengar Ki Tambak Wedi berkata,
“Duduklah,
Sidanti.”
Sidanti masih
mematung.
“Apakah kau
masih tetap berpendapat bahwa aku telah berkhianat terhadap ibumu?”
Tidak ada
jawaban.
“Seandainya
benar demikian, apakah yang dapat kau lakukan sekarang? Argapati sudah
menyatakan sikapnya. Ia tidak dapat melindungimu dari telunjuk orang-orang
Pajang. Dan itu adalah wajar sekali, karena sejak semula Argapati tidak ikhlas
menerima kau sebagai anaknya. Ia hanya menginginkan ibumu. Bukan kau.”
Terasa sebuah
desir yang tajam tergores di dalam dadanya. Seandainya saat itu Argapati ada di
ruangan itu, maka ia pasti akan menunjuk kedua-duanya, Argapati dan Ki Tambak
Wedi, sambil berteriak,
“Kalian adalah
pengkhianat-pengkhianat yang paling jahat.”
Tetapi yang
didengarnya adalah suara Ki Tambak Wedi,
“Duduklah,
Sidanti. Buatlah pertimbangan-pertimbangan yang baik.”
Sidanti sama
sekali tidak beranjak dari tempatnya. Otaknya serasa menjadi pepat, dan ia
tidak menyadari apa yang sebenarnya sedang dilakukan dan apa yang sebaiknya
harus dilakukan. Ternyata Ki Tambak Wedi membiarkannya saja dalam sikapnya itu.
Perlahan-lahan ia berpaling kepada Argajaya sambil berkata,
“Itulah yang
sebenarnya telah terjadi atas diriku dan kakakmu Argapati. Sekarang terserah
kepadamu, di mana kau akan berdiri. Tetapi kau harus ingat, bahwa kau
bersama-sama kami telah terlibat dalam persoalan yang serupa. Melawan
orang-orang Pajang. Sedang kakakmu Argapati sama sekali tidak ingin berbuat
apa-apa. Baginya kedudukan ternyata jauh lebih penting dari apa pun juga. Dari adiknya sendiri dan dari
seseorang yang telah diakuinya sebagai anaknya.”
Argajaya pun tidak segera menjawab. Ia masih berdiam
diri sambil menunggu perkembangan dari keadaan Sidanti.
“Bagaimanakah
pendapatmu?” bertanya Ki Tambak Wedi kemudian.
Argajaya masih
juga berdiam diri, meskipun hatinya bergelora. Bagaimanapun juga Argapati
adalah kakaknya. Meskipun dalam banyak persoalan ia tidak sependapat dengan
kakaknya, bahwa di dalam saat yang paling genting sekalipun kakaknya tidak
bersedia melindunginya, tetapi Argapati adalah kakaknya.
Apabila di
dalam persoalan ini ia harus memilih, maka ia harus membuat pertimbangan
semasak-masaknya. Ternyata Sidanti sama sekali tidak ada persambungan darah
dengan dirinya. Sidanti bukan putera Argapati. Karena Argajaya juga tidak
segera menjawab, maka Ki Tambak Wedi itu bergumam,
“Memang
keadaan, ini sama sekali pasti tidak pernah kalian duga-duga sebelumnya. Tetapi
bagi kalian, terutama Sidanti, yang masih cukup muda, cobalah memandang ke hari
depan. Jangan terpukau kepada masa lampau, betapapun indahnya, atau betapapun
buruknya. Yang penting, bagaimanakah yang akan datang. Nah, apakah kau sudah mulai
membuat pertimbangan-pertimbangan bagi masa datang?”
Tak ada
jawaban.
“Sidanti,”
berkata Tambak Wedi itu pula,
“aku telah
berbuat apa saja buat hari depan itu. Hari depanmu. Karena aku akan merasa ikut
menikmati, apa yang akan kau dapatkan. Justru karena kau anakku. Aku mengharap
bahwa Argapati pun akan berbuat demikian. Aku mengharap ia jujur menerima kau
sebagai anaknya. Tetapi ternyata aku keliru. Argapati sama sekali tidak
bersungguh-sungguh. Ia memberikan kau kepadaku bukan sekedar pemecahan masalah
tetapi benar-benar ingin menyingkirkan kau dari Menoreh. Nah, apakah kau tidak
merasakannya?” Ki Tambak Wedi itu berhenti sejenak, lalu,
“Sekarang, kau
sudah cukup dewasa. Pertimbangkan olehmu, mana yang baik dan mana yang tidak
baik.”
Ketika Ki
Tambak Wedi terdiam, maka ruangan itu menjadi terlampau sepi. Kesepian yang
mencengkam sampai ke pusat jantung. Namun di dalam dada Sidanti terjadilah
pergolakan yang terlampau dahsyat. Benturan-benturan perasaan yang sangat
membingungkannya. Keluarga yang memeluknya sejak kanak-kanak, tanpa
diduga-duganya kini pecah berserakan seperti belanga yang jatuh menghantam
batu. Sejak kecil ia merasakan bahwa ia berada di dalam satu lingkungan yang
baik, di dalam satu keluarga yang menyenangkan. Baginya Argapati adalah ayahnya.
Ia tidak pernah merasakan, bahkan segelugut kolang-kaling terbelah tujuh ia
tidak akan menyangka, bahwa Argapati itu bukan ayah kandungnya.
Tetapi
tiba-tiba kini ia dibenturkan pada suatu kenyataan. Meskipun kadang-kadang ia
menjadi ragu-ragu. Namun menurut pertimbangannya, hal yang demikian itu, sudah
pasti bukan hanya sekedar dongengan. Seandainya Ki Tambak Wedi berbohong, maka
ia adalah pembohong yang paling besar pada jamannya. Dengan demikian maka
Sidanti tidak segera dapat menemukan sikap. Dalam keragu-raguan, dipandanginya
pamannya Argajaya yang masih juga berdiam diri. Tetapi ketika terpandang
olehnya wajah Argajaya, sekali lagi dada Sidanti berdesir. Orang itu ternyata
sama sekali bukan pamannya. Bahkan bukan sanak bukan kadangnya. Argajaya adalah
adik Argapati yang telah dikecewakan oleh gurunya, oleh ayahnya. Apakah dengan
demikian ia dapat mengharapkan Argajaya itu berada di pihaknya, seandainya ia
memilih berdiri di sebelah Ki Tambak Wedi. Gelora di dalam dada Sidanti itu
menjadi kian bergemuruh. Di dalam angan-angannya berloncatanlah berbagai
kenangan masa harapannya. Ia mencoba melihat kembali apakah yang pernah
dilakukan oleh Argapati untuknya dan apa yang telah dilakukan oleh Ki Tambak
Wedi. Dua wajah yang membayang di pelupuk matanya. Ia kini harus memilih satu
di antara dua. Dan kenyataan ini terasa benar-benar pahit. Namun ia harus
menentukan sikap. Ia tidak dapat selalu bergantungan di dunia angan-angannya
tanpa berjejak di atas kenyataan. Dan ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu.
Betapa
Argapati baginya adalah seorang ayah yang baik, yang sabar dan ramah, tetapi
kenyataan telah memisahkannya. Argapati sama sekali bukan seorang yang sabar
dan ramah. Justru karena Argapati tidak dapat menghapus kenangannya atas
peristiwa kelahiran Sidanti, maka dipaksakannya dirinya berbuat sebaik-baiknya.
Sekali lagi Sidanti terperanjat ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata,
“Duduklah.
Pikirkanlah dengan baik. Kau harus membuat pertimbangan-pertimbangan yang
matang.”
Kali ini
Sidanti benar-benar terhisap oleh pengaruh yang tidak dikenalnya.
Perlahan-lahan ia meletakkan dirinya, duduk di sebelah gurunya.
“Kau harus
bersikap dewasa. Jangan seperti kanak-kanak yang bingung karena kehilangan
barang mainan,” berkata gurunya.
Sidanti masih
berdiam diri. Dua wajah yang sama-sama dikenalnya dengan baik masih terbayang.
Tetapi bagi mata hati Sidanti, wajah Argapati semakin lama menjadi semakin
kabur.
“Sikap
Argapati selama ini bukanlah sikap yang jujur,” berkata Ki Tambak Wedi.
“Ia ingin
dianggap dirinya seorang yang baik, yang berjiwa besar dan yang dengan lapang
dada memaafkan orang lain. Tetapi ia telah merendam dendam dan kebencian di
dalam dadanya, yang setiap saat akan meledak dengan dahsyatnya. Ia berbuat
begitu baik kepadamu sama sekali bukan untuk kepentinganmu, tetapi ia berbuat
untuk kepentingannya sendiri.”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Bayangan wajah Argapati semakin lama menjadi semakin
suram.
Seperti yang
dialaminya selama ia berada di Tambak Wedi, gurunya yang ternyata juga ayahnya
itu telah berbuat apa saja untuknya. Ia telah mendorongnya untuk berusaha naik
ke tangga yang lebih tinggi di dalam tata keprajuritan. Meskipun usaha itu
tidak berhasil, tetapi ia telah terlampau banyak berbuat untuknya. Apa saja.
Sehingga yang terakhir dikorbankannya padepokannya, Tambak Wedi.
Neraca di
dalam hati Sidanti semakin lama menjadi semak miring. Apalagi yang kini berada
di sisinya adalah Ki Tambak Wedi itu sendiri sehingga dengan demikian, maka
pengaruh kehadirannya, ternyata ikut menentukan pilihan yang harus
dijatuhkannya. Tetapi tiba-tiba terbersit sebuah pertanyaan di dalam hatinya.
Seandainya ia berpihak kepada, Ki Tambak Wedi, apakah yang kemudian dapat
dilakukan olehnya? Kepala Tanah Perdikan Menoreh adalah Argapati. Argapati
dapat memerintahkan apa saja yang dikehendakinya atas orang-orang Menoreh.
Argapati dapat memerintahkan untuk menangkapnya bersama-sama Ki Tambak Wedi. Namun
pertanyaan itu tidak diucapkannya. Di tempat itu hadir pula Argajaya, adik
Argapati, sehingga pembicaraan mengenai hal itu tidak akan dapat dilakukannya
dengan baik. Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi dapat menduga-duga hatinya.
Keragu-raguan yang membayang di wajahnya. Karena itu maka Ki Tambak Wedi itu
berkata berterus-terang,
“Bagiku tidak
ada pilihan lain daripada memenuhi perjanjian itu di bawah Pucang Kembar, pada
saat purnama naik seperti yang pernah terjadi dahulu. Aku mengharap bahwa kali
ini aku dapat membunuhnya.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, diperhatikannya
wajah Argajaya yang menjadi semakin tegang. Dan ia berkata seterusnya,
“Seandainya
tidak, maka aku pun tidak akan bersedia
mati tanpa arti. Kalau aku tidak dapat membuat penyelesaian macam itu, maka aku
harus berbuat banyak. Aku harus melakukan perlawanan atas kekuasaan Argapati di
bukit Menoreh ini, sebelum aku dapat mempergunakan seluruh kekuatan yang ada di
sini. Kau adalah pewaris yang syah meskipun kau bukan anaknya. Setiap hidung
tahu, bahwa kau kelak akan mewarisi tanah ini. Itulah sebabnya agaknya Argapati
menjerumuskan kau ke dalam bencana.” Ki Tambak Wedi sekali lagi berhenti
berbicara. Sekali lagi diperhatikannya wajah Argajaya. Lalu,
“Kau tidak
usah mencemaskan apa yang terjadi seandainya Argapati terbunuh olehku kelak.
Tidak ada orang yang tahu, persoalan apa yang terjadi. Apabila seseorang
mendengar perjanjian ini di halaman rumah Argapati, mereka pun tidak akan jelas menangkap maksudnya.
Sepeninggal Argapati, maka kaulah yang akan menjadi kepala Tanah Perdikan
Menoreh.”
Wajah Argajaya
tiba-tiba menjadi merah menyala. Ia kini tidak dapat mengendalikan diri lagi, sehingga
meloncat kata-katanya,
“Itu adalah
cara yang licik. Kiai, aku adalah adik Argapati. Setelah aku tahu, bahwa
Argapati tidak berputerakan Sidanti, maka akulah yang lebih berhak atas tanah
ini seandainya Kakang Argapati tidak ada lagi.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menggelengkan lemah.
“Tidak, Ngger.
Kalau Sidanti di sisihkan dari urutan pewaris tanah ini, maka di dalam rumah
Argapati masih ada lagi seorang gadis yang cukup garang, Pandan Wangi. Apabila
Sidanti disingkirkan, maka Pandan Wangi adalah satu-satunya pewaris tanah ini.
Suaminyalah yang kelak akan dapat menyebut dirinya. Ki Gede Menoreh.”
Sekali lagi
warna merah membersit di wajah Argajaya. Kata-kata Ki Tambak Wedi itu tepat
mengenai sasarannya. Demikianlah agaknya apabila Sidanti tidak lagi dapat
menduduki jabatan Argapati, maka Pandan Wangi-lah yang kelak akan berhak atas
kedudukan itu. Dengan demikian, maka Argajaya itu pun tidak segera dapat berkata sesuatu,
meskipun terasa dadanya menjadi terlampau pepat.
Ruangan itu
sejenak menjadi sunyi. Mereka mencoba untuk melihat dari seginya masing-masing,
apakah yang sebenarnya sedang mereka hadapi. Tetapi putaran dari segi pandangan
mereka, terutama adalah kepentingan mereka sendiri. Kepentingan diri pribadi.
Sidanti yang kecewa mendengar kenyataan tentang dirinya, mencoba untuk
menemukan imbangan dari kekecewaannya itu. Justru ia ingin menjadi seorang yang
jauh lebih besar dari kenyataan yang dihadapinya. Menurut Ki Tambak Wedi,
Sidanti ternyata bukan putera Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh, meskipun
hak atas tanah ini kelak akan diwarisinya. Namun itu bukan karena ia sebenarnya
berhak, tetapi hal itu dapat terjadi sekedar karena belas kasihan Argapati
kepadanya, kepada ibunya.
“Tidak!”
tiba-tiba ia menghentak di dalam hatinya.
“Aku tidak mau
sekedar menerima belas kasihan orang. Aku harus dapat menentukan nasibku
sendiri. Apa pun yang harus aku tempuh.”
Sekilas
dipandangnya Argajaya yang masih terdiam merenungi persoalannya.
“Bagaimana,
Sidanti?” bertanya gurunya.
“Apakah kau
sudah menemukan keputusan yang paling baik buat kau lakukan? Aku tidak ingin
memaksamu untuk segera mengambil sikap. Kau masih mempunyai waktu, supaya
keputusanmu tidak kau ambil dengan tergesa-gesa.”
Sidanti masih belum
dapat menjawab. Tetapi dari sorot matanya, Ki Tambak Wedi yang telah dipenuhi
oleh pengalaman hidup, oleh pahit manisnya kehidupan itu, dapat meraba, bahwa
Sidanti telah hampir dapat dikuasainya sepenuhnya. Sidanti, yang selama ini
digadangnya untuk menjadi seseorang yang berkedudukan baik. Jauh lebih baik
dari keadaannya sekarang. Namun justru karena itu, maka sikap Sidanti menjadi
sombong, tergesa-gesa, dan manja seperti kemanjaannya masa kanak-kanak.
“Sidanti,”
berkata Ki Tambak Wedi,
“kita sudah tidak
dapat mundur lagi. Kita sudah berdiri berhadapan dengan kekuasaan Pajang.
Sedang di sini, Argapati sama sekali tidak dapat kita harapkan. Karena itu kita
harus mendapatkan kekuatan itu sendiri tanpa bersandar kepada Argapati.”
Sidanti
mengerutkan keningnya, sedang wajah Argajaya menjadi semakin menegang.
“Apa pun yang
kita kemukakan kepada orang-orang Pajang, pasti tidak akan didengar oleh
mereka. Kita sudah dianggap memberontak. Untuk itu maka kita memerlukan
kekuatan.”
Sidanti masih
diam. Sedang Ki Tambak Wedi meneruskannya sambil melihat wajah Argajaya dengan
sudut matanya.
“Tidak ada di
antara kita yang dapat melepaskan diri. Besok atau lusa, atau sebulan dua bulan
lagi, kita akan selalu dikejar-kejar oleh petugas-petugas sandi dari Pajang
apabila kita tetap dalam keadaan itu. Tetapi keadaan akan sangat berbeda
apabila kita berdiri tegak bersama sepasukan prajurit dengan panji-panji di
atas kepala kita.
Tidak
seorang pun yang menyahut, dan Ki Tambak
Wedi berkata terus,
“Kesimpulannya
adalah, menyusun kekuatan. Siapa yang menghalangi, harus dimusnahkan. Bukankah
begitu, Sidanti?”
Sidanti tidak
menyahut. Tetapi Ki Tambak Wedi melihat bahwa kata-katanya telah menyusup ke
pusat jantungnya. Yang menjadi pusat perhatiannya kini adalah Argajaya. Ia
mengharap orang itu tidak melepaskan diri daripadanya. Argajaya sudah terlanjur
terlibat dalam perlawanan atas Pajang. Ia harus memberikan kesan, bahwa tidak
ada jalan lain baginya untuk bersama-sama melawan Pajang.
Tetapi
Argajaya itu masih tetap membeku. Meskipun demikian di dalam dadanya, bergelora
pertimbangan-pertimbangan yang saling berbenturan. Perasaannya sebagai seorang
adik, benar-benar tersinggung. Tetapi ia merasakan kebenaran kata-kata Ki
Tambak Wedi, bahwa orang-orang Pajang pasti menganggapnya sebagai seorang
buruan. Padahal, kakaknya, Argapati, tidak bersedia untuk berdiri melawan
Pajang. Dan bahkan benar juga agaknya kata-kata Ki Tambak Wedi bahwa kakaknya
pasti tidak akan melindunginya, untuk tidak diikut-sertakan dalam kesalahan
yang pernah dilakukan atas Pajang, sehingga dapat membahayakan kedudukannya
sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan. Jabatan itu akan dapat dicabut dan
diserahkan kepada orang lain, atau kedudukan Tanah Menoreh sebagai Tanah
Perdikan dapat dibatalkan. Baik Sidanti maupun Argajaya sudah dapat
membayangkan jalan apakah yang akan ditempuh oleh Ki Tambak Wedi. Mereka sadar,
bahwa Ki Tambak Wedi akan mengambil kesempatan untuk mengumpulkan orang-orang
Menoreh sendiri yang bersedia melawan Argapati. Mungkin Sidanti sebagai seorang
yang selama ini dikagumi oleh anak-anak muda Menoreh dapat dimanfaatkan untuk
menarik kekuatan anak-anak muda di pihaknya.
Gelora di
dalam dada Argajaya menjadi semakin bergemuruh. Ia berdiri di simpang jalan
yang sulit.
Dalam pada itu
terdengar Ki Tambak Wedi berkata,
“Semuanya
telah jelas bagi kita. Aku menunggu keputusanmu Sidanti, meskipun aku sudah
dapat menduga, apakah yang sebenarnya tersimpan di dalam dadamu. Agaknya kau
telah memilih jalan yang benar. Bagimu hanya ada satu cara untuk melangkah maju.
Melawan Pajang. Setiap tindakan yang kau lakukan harus beralaskan pendirian
itu. Sebab apabila tidak demikian, maka kau akan dibinasakan oleh orang-orang
Pajang tanpa dapat berbuat apa-apa. Bahkan mungkin Pajang tidak perlu
mengirimkan pasukannya kemari, tetapi mereka dapat mempergunakan tangan
Argapati.” Ki Tambak Wedi itu berhenti sejenak perlahan-lahan ia berpaling
kepada Argajaya.
“Angger,”
katanya kemudian,
“aku tahu
bahwa kau berada dalam kesulitan. Tetapi kau harus bijaksana. Kau tidak dapat
bergantung kepada kakakmu itu. Kita harus menentukan sikap. Tetapi bagiku dan
bagi Sidanti, agaknya jauh lebih mudah melakukannya karena Argapati tidak
bersangkut paut apa pun dengan aku dan
Sidanti sepeninggal Rara Wulan. Tetapi kau adalah adiknya.”
Argajaya tidak
segera dapat menjawab. Tetapi hatinya bertanya,
“Apakah yang
kelak akan terjadi atas aku dan keluargaku seandainya Sidanti berhasil? Sidanti
akan menjadi Kepala Tanah Perdikan, berdasarkan atas kemenangannya dan
berdasarkan atas hak yang diakui oleh orang-orang Menoreh. Lalu, bagaimana
dengan aku?” Kebimbangan dan keragu-raguan telah melanda dinding jantung
Argajaya sehingga terasa dadanya menjadi berdentangan semakin keras. Dengan
demikian, maka justru ia menjadi semakin diam. Dicobanya untuk memecahkan
persoalan itu supaya ia tidak terombang-ambing oleh keadaan yang tidak menentu.
Agaknya Ki Tambak Wedi sengaja membiarkannya berpikir. Sejenak orang tua itu
berdiam diri sambil memandangi nyala lampu minyak di atas ajuk-ajuk.
Di dalam
angan-angan, Argajaya telah dapat melihat, bahwa Tambak Wedi akan menuntun
Sidanti untuk melakukan perebutan kekuasaan di Menoreh sebelum ia melangkah
semakin jauh. Sidanti, akan mempercepat mengambil hak yang sudah dijanjikan
atasnya dengan kekerasan. Argajaya mengerutkan keningnya, ketika ia mendengar
Tambak Wedi berkata,
“Kau harus
mempergunakan nalar pikiranmu, Ngger, bukan perasaanmu. Dalam hubungan keluarga
kau adalah adik Argapati. Tetapi di dalam persoalan ini, kau sama sekali tidak
mendapat tempat di dalam kedudukannya sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh
ini.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, kemudian,
“Demikian juga
seharusnya penilaian atas Sidanti. Ternyata ia bukan kemanakanmu. Tetapi kau
dapat bekerja bersamanya untuk menegakkan kejantanan di atas tanah perdikan
ini. Kau jangan menyangka, bahwa Sidanti akan berhenti sampai kedudukan
tertinggi di tanah ini. Tanah ini hanya sekedar pancadan baginya. Sebab ia
sudah terlanjur berdiri bertentangan dengan Pajang. Sikap itu harus
dilanjutkan. Pajang kini masih belum mantap benar. Karena itu, kita bekerja
lebih cepat. Kita masih mempunyai waktu beberapa hari sampai saatnya purnama
naik. Kita masih dapat menentukan sikap yang harus kita lakukan. Kalau dalam
saat yang pendek ini Sidanti dapat berhubungan dengan anak-anak muda Sangkal
Putung dan apabila Angger Argajaya bersedia menghubungi pihak-pihak lain, maka
aku benar-benar akan membunuh Argapati. Dengan demikian maka Sidanti akan
segera mendapat kesempatan itu. Menjadi Kepala Tanah Perdikan ini. Tetapi itu
hanya untuk sementara, Ngger. Sebab, seterusnya Sidanti harus mendapat tempat
yang baik. Dan kedudukan tertinggi di daerah ini akan segera ditinggalkannya.
Sudah tentu Sidanti tidak akan menyerahkannya kepada orang lain. Kepada suami
Pandan Wangi pun tidak, karena Angger
Argajaya yang telah banyak membantunya.”
Dada Argajaya
menjadi berdebar-debar. Janji itu menyenangkan sekali. Tetapi Argajaya bukan
anak-anak. Ia masih dapat merasakan, berdasarkan atas pengalamannya, dan
firasatnya, bahwa Tambak Wedi tidak akan berbuat sebaik itu kepadanya. Tetapi
wajahnya menjadi merah padam ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata,
“Tetapi kalau
Angger Argajaya tidak bersedia bekerja bersama dengan kami, maka akibat yang
paling parah akan terjadi padamu. Besok atau lusa, kau akan dihadapkan ke tiang
gantungan di alun-alun Pajang tanpa pembelaan. Aku tidak dapat berbuat apa-apa.
Juga seandainya besok atau lusa Argapati sendiri yang akan menangkapmu, atau
orang-orang lain yang kau kecewakan.”
Argajaya tahu
benar ancaman ini. Meskipun yang diucapkan oleh Ki Tambak Wedi adalah nama-nama
Pajang dan Argapati, tetapi Argajaya menyadari, bahwa apabila ia tidak bersedia
ikut serta, maka Ki Tambak Wedi pasti tidak akan segan-segan berbuat sesuatu
atasnya.
Tetapi
Argajaya bukanlah seorang yang bodoh, ia
pun memiliki akal yang tidak kalah liciknya dari Ki Tambak Wedi. Karena
itu, maka setelah ia berpikir dengan memperhitungkan segenap kemungkinan, ia
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Ya, Kiai, aku
dapat mengerti. Aku memang harus mengesampingkan hubungan keluarga dan
kepentingan-kepentingan pribadi dari kepentingan-kepentingan yang lebih jauh.”
Ki Tambak Wedi
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia bergumam,
“Terima kasih,
Ngger. Agaknya kau tahu, apakah yang sebaiknya kau lakukan.” Ki Tambak Wedi itu
berhenti sejenak, lalu,
“Nah, kita
harus mempergunakan setiap kesempatan sebaik-baiknya. Kita harus segera
menyusun rencana. Kita manfaatkan ketidakpuasan yang ada di Tanah Perdikan ini.
Kita harus dapat meniupnya dan membakar Tanah ini dengan ketidakpuasan itu,
sehingga tanah ini akan menjadi karang abang. Di atas reruntuhan itu kita akan
membangunkan sesuatu kekuatan yang tidak dapat terpatahkan. Kita akan madeg
kraman, melawan kekuasaan Adiwijaya. Kita harus dapat menguasai Alas Mentaok
sebelum hutan itu dikuasai oleh Pemanahan.” Sekali lagi Ki Tambak Wedi
berhenti. Ditariknya nafas dalam-dalam seakan-akan ingin mengendapkan
perasaannya yang sedang meluap. Kemudian katanya,
“Ah, aku sudah
meloncat terlampau jauh. Sekarang, apakah yang sebaiknya kita lakukan di atas
Tanah ini untuk melepaskan kekuasaan Argapati yang ternyata terlampau
mementingkan dirinya sendiri dari pada kejantanan, harga diri, dan cita-cita
itu?”
Argajaya
mengerutkan keningnya. Kemudian diangguk-anggukkannya kepalanya. Katanya,
“Terserahlah
kepada Kiai. Aku sama sekali belum sempat memikirkannya. Persoalan ini baru
saja aku ketahui, dan keputusanku pun
baru saja, aku ketemukan.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sama sekali tidak dilihatnya, bahwa
Argajaya itu tersenyum di dalam hati. Di dalam dasar hatinya, ia berkata,
“Biarlah
Sidanti mengusir Kakang Argapati. Tetapi pada saatnya, akulah yang akan duduk
di atas tempat tertinggi di Menoreh itu. Kakang Argapati memang sebaiknya
disingkirkan. Selagi ia masih ada, maka aku dan keturunanku tidak akan mendapat
kesempatan itu. Tetapi apabila Kakang Argapati sudah tidak ada, maka
kemungkinan itu akan datang. Sidanti sama sekali tidak berhak atas kedudukan
itu. Sepatah kata yang membukakan rahasia itu, maka setiap orang di Menoreh
akan berpihak kepadaku. Darah trah kepemimpinan di Menoreh sepenuhnya mengalir
di dalam tubuhnya. Tetapi jalan lain tidak aku lihat saat ini kecuali bergabung
dengan Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Memperbanyak jumlah pengikutnya dan
menyalakan api ketidak-puasan di atas Bukit ini. Tetapi api itu kelak harus
membakar hangus dua orang ayah beranak yang telah menghancurkan segala
sendi-sendi peradaban atas isteri Kakang Argapati, dan sekarang berkeinginan
untuk membinasakannya Kakang itu sendiri.”
Sekali lagi
Argajaya tersenyum di dalam hati. Ketika kemudian Ki Tambak Wedi sibuk
berbicara tentang rencananya, maka Argajaya pun sibuk membuat
perhitungan-perhitungan di dalam hatinya. Menangkap segala rencana Ki Tambak
Wedi itu dan menyesuaikan dengan rencana yang disusunnya sendiri. Ternyata
rencana Argajaya tidak kalah besar dan jauh dari rencana Tambak Wedi. Ia dapat
memanfaatkan usaha-usaha yang akan dapat memberinya keuntungan. Dan ia akan
dapat meminjam tangan Ki Tambak Wedi untuk kepentingannya, meskipun menilik
tata lahir Ki Tambak Wedi-lah yang akan memanfaatkan apa.
“Tetapi aku
harus melihat perkembangan dari setiap rencana mereka,” kata Argajaya di dalam
hatinya.
“Sehingga
untuk itu aku harus mendapat kesempatan untuk selalu berada di antara mereka.”
Sekali lagi
Argajaya tersenyum di dalam hatinya. Ia harus menjadi orang penting. Ia harus,
menunjukkan kesetiaannya kepada Ki Tambak Wedi dan Sidanti supaya ia mendapat
kepercayaan, sehingga pada saatnya ia dapat bertindak sesuai dengan rencananya
sendiri.
“Tetapi untuk
menghadapi Ki Tambak Wedi, aku tidak akan dapat berbuat sendiri,” berkata
Argajaya di dalam hatinya.
“Aku harus
menghubungi orang-orang yang pernah aku kenal dan aku, percaya.”
Terbayang di
kepala Argajaya seorang tua yang dikenalnya dengan baik. Meskipun ia belum
yakin bahwa orang tua itu bersedia membantunya, tetapi ia akan mencobanya.
“Hubungan
orang tua itu dengan Kakang Argapati agak kurang baik,” desahnya di dalam
dadanya.
“Mudah-mudahan
aku berhasil membujuknya dan membawanya di dalam rencanaku. Kalau Kakang
Argapati telah tersisihkan, apalagi terbunuh, maka orang tua itu akan dapat
menyingkirkan Ki Tambak Wedi. Sidanti bukan soal yang sulit bagiku. Apalagi
rahasianya telah berada di tanganku.”
Argajaya itu mengangkat
kepalanya ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi bertanya,
“Apakah kau
ragu-ragu, Ngger?”
“Memang ada
keragu-raguan itu, Kiai. Aku adalah adik Kakang Argapati. Tetapi aku sedang
mencoba mempergunakan pikiranku. Bukan perasaanku.”
“Aku percaya
bahwa Angger akan dapat mengatasi perasaan itu. Dengan demikian, aku tidak akan
terlampau banyak bekerja menjelang pertemuan di bawah Pucang Kembar itu.
Bukankah begitu? Aku percaya bahwa pengaruhmu di sini cukup kuat, sehingga
bersama-sama dengan Sidanti, kalian segera akan berhasil membelah Menoreh
menjadi dua kekuatan. Sidanti dan Angger Argajaya di satu pihak dan Argapati di
lain pihak.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu,
“Dapatkah aku
membuat perhitungan demikian?”
Argajaya
mengerutkan keningnya. Tanpa dikehendakinya sendiri ia berpaling kepada
Sidanti. Kemudian katanya perlahan-lahan,
“Bagaimana
pendapatmu, Sidanti?”
Sejenak
Sidanti berpikir. Ia mencoba untuk menjajagi keadaan di Tanah Perdikan Menoreh.
Namun ia berkata,
“Aku terlampau
lama berada di luar Tanah Perdikan ini, sehingga aku tidak segera dapat
mengatakannya. Paman lah yang setiap saat berada di Tanah ini. Melihat watak
dan sifat orang-orangnya. Mendengar dan mengerti kemauan dan kesenangannya.”
Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Ada pihak
yang tidak senang kepada Kakang Argapati, justru karena ia ingin menjadikan
Tanah ini terlampau baik. Kakang Argapati mencoba mencegah perjudian sabung
ayam dan kesenangan lain yang telah mendarah daging bagi orang-orang Menoreh.
Sejak ia menjadi Kepala Tanah Perdikan, ia sudah mulai mencoba. Tetapi setiap
kali ia merasa gagal. Setiap kali ia dihadapkan pada kenyataan, bahwa hal-hal
yang tidak dikehendaki itu ternyata masih tersebar luas di Tanah Perdikan ini.
Seakan-akan semakin lama bahkan menjadi semakin meluas. Tetapi Kakang Argapati
pun agaknya tidak jemu-jemu pula berusaha. Cara yang dianggapnya baik selalu
dicobanya. Setiap kali ia gagal, setiap kali pula ia menemukan cara yang lain.
Terlebih-lebih lagi pada saat paceklik yang jarang sekali menerkam Tanah
Perdikan ini. Beberapa tahun yang lampau Tanah ini mengalami paceklik panjang.
Dalam saat yang demikian itulah agaknya Kakang Argapati hampir kehabisan
kesabaran, sehingga cara yang ditempuhnya menjadi tampak terlampau keras dan
kasar. Beberapa pihak menjadi tidak senang atas sikap itu.” Argajaya berhenti
sejenak untuk menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengingat apakah yang
pernah terjadi di Tanah Perdikan ini, dan apakah yang sebaiknya dikatakannya
pada saat itu. Sejenak kemudian disambungnya,
“Bukan saja
mereka yang telah dicengkam oleh judi, sabung ayam, sabung gemak, dan bahkan
jirak dan dakon dengan taruhan, beradu kemiri dan yang lain-lain, tetapi juga
orang-orang kaya menjadi kecewa. Pada saat yang paling sulit, Kakang Argapati
telah meminjam padi dan beras dari orang-orang kaya untuk orang-orang miskin.
Pada saat yang paling sulit itu pun Kakang Argapati agaknya hampir kehilangan
kesabaran karena kecemasannya melihat rakyatnya diserang oleh kelaparan. Pada
saat itulah Kakang Argapati mengambil beras dan padi orang-orang kaya itu,
meskipun menurut perjanjian yang dibuat, Kakang Argapati akan mengembalikan.
Tetapi orang-orang kaya merasa haknya dirampas dengan paksa oleh Kakang
Argapati. Mereka merasa bahwa Kakang Argapati telah menyalahgunakan
kekuasaannya sebagai Kepala Tanah Perdikan, untuk memeras orang-orang kaya di
Tanah ini.”
Ki Tambak Wedi
memperhatikan keterangan Argajaya itu dengan dahi yang berkerut-merut. Namun
sejenak kemudian ia tersenyum. Katanya,
“Apakah Angger
Argajaya mengenal orang-orang yang menjadi sakit hati itu?”
“Aku mengenal
sebagian terbesar dari mereka.”
“Apakah mereka
tidak terikat oleh kesetiaan dan kebanggaan atas keturunan Argapati.”
“Ya. Itulah
yang menahan mereka untuk berbuat sesuatu. Mereka merasa bahwa trah Argapati
tidak dapat diganggu gugat memegang pimpinan di Tanah ini.”
Wajah Ki
Tambak Wedi menjadi suram. Ia menyadari, kesetiaan yang sudah tertanam sejak
nenek moyang itu memang sulit untuk di atasi. Tidak ada orang lain yang lebih
baik daripada jalur keturunan Argapati. Tidak ada orang lain yang pantas untuk
menyebut dirinya Ki Gede Menoreh, selain Argapati turun-tumurun. Karena itu
maka gumamnya,
“Itu merupakan
penghalang yang besar. Kita tidak akan dapat memutuskan ikatan itu dengan
mudah.”
Tetapi segera
Argajaya menyahut,
“Kita tidak
usah mencemaskannya. Kita harus meyakinkan kepada mereka, bahwa Sidanti adalah
jalur yang sah. Kita hanya sekedar mempercepat persoalan, karena menurut
wawasan kita Kakang Argapati sudah tidak dapat memenuhi kuwajibannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar