Jilid 032 Halaman 3


Cahayanya yang kekuning-kuningan memancar mewarnai dedaunan yang hijau gelap. Satu-satu kelelawar berterbangan di dalam kesenyapan langit yang cerah. Arya Teja dan Paguhan telah berdiri berhadapan. Senjata-senjata mereka telah bergetar. Beberapa langkah mereka bergeser. Tetapi, tatapan mata mereka seolah-olah terpaku kepada lawan. Mereka tidak boleh lengah sekejap pun. Ketika di kejauhan terdengar anjing liar menyalak bersahut-sahutan, maka anak-anak muda itu sudah tidak dapat menahan diri lagi. Setapak mereka mendekat, dan tiba-tiba terdengar Paguhan berteriak nyaring. Sebuah loncatan yang hampir tidak tertangkap oleh mata, telah membuka sebuah serangan yang langsung mengarah kepada lawannya. Tetapi Arya Teja telah bersiap sepenuhnya. Dengan lincahnya ia bergeser menghindar. Selangkah ia surut, namun kemudian tombaknya terjulur lurus mematuk lambung lawannya. Terdengar sebuah dencingan yang keras. Kedua senjata anak-anak muda itu beradu. Terasa getaran yang tajam merambat dari ujung senjata masing-masing ke telapak tangan mereka. Dan getaran itu ternyata telah menggetarkan jantung mereka. Sehingga mereka masing-masing berdesah di dalam hati,
“Alangkah dahsyat tenaganya.”
Dengan demikian kedua anak-anak muda yang sedang berkelahi itu dapat mengukur, betapa besar kekuatan lawan. Mereka menyadari bahwa mereka masing-masing tidak lebih kuat dari lawan mereka. Paguhan yang bersenjata rangkap itu bertempur seperti seekor naga berkepala empat. Mematuk dan menyergap dari segenap penjuru. Sepasang senjatanya itu seakan-akan telah berkembang menjadi ratusan bahkan ribuan mata nenggala yang mengerikan. Tetapi lawannya adalah seorang anak muda yang cukup matang mempergunakan tombaknya. Tombak bertangkai pendek di tangan Arya Teja itu berputar bergulung-gulung seperti asap yang melindungi dirinya. Asap yang menyebarkan racun yang terlampau tajam. Sentuhan asap itu akan berakibat terlampau parah bagi lawannya.
Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi kian lama kian sengit. Bukan saja karena keduanya adalah anak-anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi ternyata mereka telah dibakar pula oleh dendam dan kebencian, sakit hati dan harga diri yang berlebih-lebihan. Mereka sudah tidak dapat berpikir lain kecuali membinasakan lawan masing-masing atau mati terkapar sebagai laki-laki jantan di bawah Pucang Kembar itu.

Ketika angin yang kencang bertiup dari utara, maka sepasang pucang itu pun terayun-ayun seakan-akan ikut serta menari, menarikan tarian maut, seperti yang sedang terjadi di atas bentangan berumput di bawahnya. Dalam kilauan cahaya bulan yang memantul dari ujung-ujung senjata yang bergerak-gerak itu, kadang-kadang terpercik bunga-bunga api yang meloncat karena benturan dua kekuatan yang tiada taranya. Sementara itu, di rumah Arya Teja, bibinya masih duduk sambil mengusap air matanya dengan ujung bajunya. Ia tidak berpaling sama sekali ketika seorang pelayan menyalakan lampu di dalam bilik yang sudah menjadi gelap itu. Bayangan-bayangan yang paling mengerikan telah menganggu angan-angannya. Segala kemungkinan dapat terjadi atas kemanakannya itu. Bibi Arya Teja itu perlahan-lahan berdiri. Ia tidak mau datang kepada Rara Wulan dalam keadaannya. Ia tidak mau memberikan kesan tentang kecemasan yeng merayapi hatinya atas Arya Teja. Karena itu, maka bibi Arya Teja itu tidak segera pergi ke bilik Rara Wulan yang tertutup. Ia pergi dahulu ke perigi untuk mencuci mukanya.
Hati perempuan tua itu berdesir ketika ia melihat bulan yang bulat mengapung di langit. Sejenak dipandanginya bulan yang terang itu. Dilihatnya bayangan yang kehitam-hitaman di dalam warna yang kuning cerah. Namun angan-angannya yang dilukisi oleh kecemasannya tentang kemanakannya telah membuat gambaran yang mengerikan pada wajah bulan itu. Seakan-akan dilihatnya, di dalam bulatan bulan purnama, sesosok tubuh terbaring diam. Semakin lama menjadi semakin jelas. Seorang anak muda. Dan bahkan kemudian seakan-akan perempuan tua itu melihat warna wajah anak muda itu.
Perempuan itu terkejut ketika terloncat dari bibirnya desah,
“Arya Teja.”
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Bayangan itu menjadi semakin samar. Hilanglah kemudian gambarannya tentang Arya Teja. Yang dilihatnya kemudian adalah ceritera tentang seekor kucing Candramawa dan seorang bidadari yang cantik duduk di bawah sebatang pohon beringin putih.
“Hem,” orang tua itu berdesah. Kakinya yang sudah berkeriput oleh umurnya itu digerakkannya kembali melangkah ke perigi. Dalam kesenyapan malam terdengarlah gerit senggot timba seakan sedang merintih. Perempuan tua itu mencuci mukanya. Dicobanya untuk menghilangkan segala macam kesan yang dapat menimbulkan kecemasan kepada Rara Wulan yang sedang berputus asa.
“Aku harus membuat hatinya menjadi tenteram. Ia akan mendengar berita yang lebih menyayat hatinya besok pagi apabila seseorang telah menemukan sesosok tubuh terkapar di bawah sepasang Pucang Kembar itu. Siapa pun orang itu.”
Sambil mengusap mukanya yang basah dengan ujung kain panjangnya, perempuan itu berjalan tertatih-tatih menuju ke bilik Rara Wulan yang masih tertutup rapat. Ketika perempuan itu sudah masuk ke dalam rumah, maka pintu lereg di butulan belakang  pun segera ditutupnya rapat-rapat, supaya angin yang dingin tidak menyusup masuk ke dalam. Dibenahinya rambutnya yang kusut, sambil berjalan perlahan-lahan menuju ke bilik Rara Wulan. Dengan hati-hati bibi Arya Teja itu mendorong daun pintu bilik itu ke samping, supaya seandainya Rara Wulan masih tidur kelelahan, tidak menjadi terkejut karenanya. Tetapi bibi Arya Teja itu mengerutkan keningnya. Ketika pintu itu sudah separo terbuka, dan pembaringan Rara Wulan itu sudah tampak di bagian bawahnya, perempuan tua itu tidak segera melihat Rara Wulan.
“Oh, agaknya ia sudah bangun,” desisnya.
Dengan hati-hati perempuan itu menjengukkan kepalanya. Tetapi keningnya menjadi semakin berkerut. Ternyata bilik itu telah kosong.
“Kemanakah perempuan itu?” desis bibi Arya Teja.
“Ah, mungkin ia baru keluar sebentar. Ke dapur atau ke belakang.”
Bibi Arya Teja itu kemudian melangkah masuk. Dibiarkannya pintu tetap terbuka, supaya kehadirannya tidak mengejutkan Rara Wulan seandainya ia masuk kembali ke dalam biliknya.

Dengan hati-hati pula bibi Arya Teja membenahi pembaringan Rara Wulan. Dilipatnya kain yang masih berserak-serakan. Ditebahinya pembaringan itu dengan sapu lidi, dan tikar yang berkerut  pun diluruskannya.
“Kemana perempuan ini,” pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Betapa ia mencoba menenangkan hatinya, namun kegelisahan yang semakin dalam telah mencengkam jantungnya. Akhirnya perempuan tua itu melangkah ke luar. Dicarinya Rara Wulan ke segenap ruangan di dalam rumah itu, tetapi ia tidak menemukannya.
“Wulan,” akhirnya ia memanggil, “Wulan, dimana kau?”
Tetapi tidak ada jawaban. Suara perempuan tua itu membentur dinding-dinding bambu dan lenyap dalam kesenyapan malam. Bibi Arya Teja itu  pun segera pergi ke ruang belakang. Kepada seorang pelayan ia bertanya,
“Apakah kau melihat Rara Wulan?”
“Oh,” pelayan itu menjawab, “ia berada di dalam biliknya”
“Tidak. Ia tidak ada di dalam biliknya.”
“O ya, ia sudah dipindahkan ke bilik sebelah. Mungkin sedang tidur. Bilik itu telah diberi lampu pula.”
“Ia tidak ada pula di dalam bilik itu. Seluruh ruangan di dalam rumah itu telah aku cari, tetapi ia tidak ada di dalam.”
Pelayan itu mengerutkan dahinya. “Tetapi ia ada di dalam,” desisnya.
Pelayan yang lain yang mendengar percakapan itu segera mendekat pula dan berkata,
“Rara Wulan sedang tidur ketika aku memasang lampu di dalam biliknya.”
“Ya, tetapi ia sudah bangun dan tidak ada di dalam bilik itu.”
Pelayan itu menggigit bibirnya. “Aku tidak melihat ia pergi ke belakang”
“Biarlah aku mencarinya sebentar. Mungkin Rara Wulan ingin menyejukkan hatinya di petamanan atau di kebun belakang,” berkata salah seorang dari pelayan itu.
“Carilah, carilah di mana saja sampai ketemu,” berkata bibi Arya Teja.
“Rara Wulan sedang dibayangi oleh kegelapan hati.”
“Kenapa Rara Wulan itu tampaknya selalu bersedih?” bertanya pelayannya yang lain.
“Aku tidak tahu,” jawab bibi Arya Teja, “itu adalah persoalan Rara Wulan dengan suaminya. Sekarang carilah, dan ajaklah ia masuk ke dalam biliknya. Ia sedang sakit, sehingga angin malam akan menyebabkan tubuhnya menjadi semakin tidak enak.”
Kedua pelayan itu  pun segera pergi. Yang seorang ke kebun belakang, sedang yang lain ke petamanan di depan dan di sisi rumah itu.

Bibi Arya Teja kembali ke dalam biliknya dengan hati yang semakin cemas. Perempuan muda yang sedang mengandung itu tengah dicengkam oleh kegelisahan, kemurungan, kegelapan hati dan segala macam perasaan menyesal dan bersalah. Bahkan telah terucapkan bahwa lebih baik ia mati daripada hidup menanggung segala macam siksaan perasaan itu.
“Apakah Rara Wulan membunuh dirinya?” tiba-tiba terbesit pertanyaan itu di dalam hatinya, dan pertanyaan itu ternyata telah mengejutkannya. Debar jantungnya serasa menjadi semakin cepat berdentangan di dalam dadanya.
Tiba-tiba perempuan tua itu bangkit dan segera melangkah ke luar. Ia tidak dapat menahan kecemasannya lagi. Bunuh diri adalah suatu penyelesaian yang mungkin sekali ditempuh oleh Rara Wulan yang sedang berputus asa dan dibayangi oleh kegelapan hati. Dengan tergesa-gesa perempuan tua itu pergi ke ruang depan. Dilihatnya selarak pintu tergolek di lantai.
“Agaknya selarak itu telah diletakkan dengan tergesa-gesa.”
Ketika perempuan tua itu membuka pintu depan yang sudah tidak terkancing dan berjalan melintasi pendapa, dilihatnya pelayan yang sedang mencari Rara Wulan di halaman depan. Maka pelayan itu segera dipanggilnya.
“Apakah kau sudah menutup pintu depan dan menyelaraknya?”
“Sudah. Karena tidak ada orang lagi di ruang depan, dan angin malam menjadi semakin kencang, maka pintu itu telah aku tutup dan aku kancing dengan selarak.”
Perempuan tua itu menjadi semakin gelisah. Tetapi ia berusaha menyembunyikan kesan itu. Meskipun demikian ia berkata,
“Pintu itu telah terbuka.”
Pelayan itu terkejut, dan dengan serta-merta ia bertanya,
“Apakah Rara Wulan telah membukanya?”
Bibi Arya Teja mengangguk. “Mungkin.”
Pelayan itu terdiam. Ia tidak tahu kemungkinan yang paling pahit yang dapat terjadi atas Rara Wulan. Yang diucapkannya kemudian adalah,
“Mungkin Rara Wulan sedang berjalan-jalan untuk mendapatkan sedikit ketenangan. Biarlah aku mencarinya.”
“Tidak. Tinggallah kau di rumah. Akulah yang akan mencarinya.”
Pelayan itu menjadi heran. Bibi Arya Teja telah berusia agak lanjut. Apakah ia akan berjalan hilir mudik di malam begini mencari Rara Wulan yang tidak diketahui ke mana perginya? Justru karena itu maka pelayan itu berdiri saja seolah-olah membeku. Hampir-hampir ia tidak percaya kepada pendengarannya. Namun kemudian ia menjadi yakin, bahwa bibi Arya Teja itu memang menghendaki demikian. Sekali ia mendengar perempuan tua itu berkata,
“Tunggulah rumah ini. Aku sendirilah yang akan mencarinya.”
Pelayan itu tidak dapat menahan keheranannya. Maka ia  pun bertanya,
“Apakah malam-malam begini Nyai sendiri akan pergi mencari Rara Wulan?”
“Ya,” sahut bibi Arya Teja pendek.
“Kalau begitu biarlah aku mengantar Nyai.”
“Jangan. Aku akan pergi sendiri.”
Pelayan itu menjadi semakin heran. Dan ia mendengar perempuan tua itu berkata seterusnya,
“Jangan kau ributkan kepergian Rara Wulan. Ia memang sedang bingung. Tetapi ia akan segera kembali. Jangan kau tanyakan kepada siapa pun, supaya tidak setiap orang mengetahui bahwa Rara Wulan sedang diselimuti oleh kegelapan hati. Mungkin suaminya dapat mengertinya. Namun tidak setiap orang berhak mengetahuinya, dan kau tidak perlu bercerita tentang hal itu. Kau sengaja atau tidak.”
Pelayan itu menganggukkan kepalanya sambit menjawab, “Baik, Nyai.”
“Nah, tinggallah kau di dalam. Aku akan pergi.”
Pelayan itu mengangguk sekali lagi. “Baik, Nyai.”

Bibi Arya Teja itu  pun segera meninggalkan halaman rumah itu. Langkahnya tergesa-gesa. Namun ia tidak dapat berjalan lebih cepat lagi. Bahkan sekali-sekali kakinya yang telah lemah itu terantuk batu dan menyebabkannya tertatih-tatih. Meskipun bulan yang bulat tergantung di langit yang bersih, tetapi perempuan tua itu merasa, pandangan matanya terlampau kabur. Ia hanya melihat bayangan-bayangan hitam bertebaran di sekitarnya. Tetapi, dalam jarak beberapa langkah, ia sudah tidak dapat mengenal lagi, bayangan apakah yang sedang dihadapinya. Tetapi, perempuan tua itu berjalan terus. Ia bertekad untuk menemukan Rara Wulan. Meskipun kadang-kadang hatinya berdesir mencemaskan perempuan yang sedang berhati gelap itu, namun ia berdesis perlahan,
“Mudah-mudahan aku dapat membawanya pulang”
Perempuan itu berusaha berjalan semakin cepat. Tetapi, ketuaannya tidak memungkinkannya lagi. Sekali-sekali terasa kakinya menjadi pedih terantuk pada kerikil-kerikil yang tajam. Namun ia berjalan terus. Meskipun seperti Arya Teja, ia menyesal bahwa sesuatu telah terjadi sebelum perkawinan Rara Wulan itu dengan suaminya. Tetapi, ia tidak dapat membiarkan perempuan itu mengambil keputusan yang mengerikan.
Tetapi, langkah perempuan itu kemudian menjadi ragu-ragu, “Kemana aku harus mencarinya?”
Meskipun demikian, perempuan tua itu sama sekali tidak ingin mengurungkan niatnya. Diikutinya saja langkah kakinya, menyusnr jalan pedukuhan yang samar-samar, kemudian masuk ke dalam bulak yang luar. Di kejauhan tampak bayangan padesan yang kehitam-hitaman dan agak jauh di belakang, pegunungan yang membujur diam seperti seorang raksasa yang sedang tidur dengan nyenyaknya. Tiba-tiba perempuan tua itu teringat kepada janji Arya Teja dengan Paguhan. Mereka akan bertemu untuk membuat penyelesaian di bawah Pucang Kembar.
“Apakah yang dapat aku lakukan saat ini?” ia bertanya di dalam hatinya. Samar-samar terbayang di dalam angan-angannya dua peristiwa yang mengerikan terjadi bersama-sama. Di bawah Pucang Kembar itu Arya Teja terbaring mati karena dadanya tersobek oleh senjata, dan di tempat lain diketemukan mayat Rara Wulan yang membunuh dirinya sendiri. Bulu-bulu tengkuk perempuan tua itu meremang.
“Benar-benar suatu peristiwa yang mengerikan. Menoreh akan geger karenanya. Arya Teja adalah orang yang terpandang. Sebentar lagi ia akan mendapat wisuda, menduduki jabatannya. Tetapi sebelum hal itu terjadi, suami isteri itu telah mati dalam keadaan yang menyedihkan.”
Bibi Arya Teja itu terhenti sejenak, ditekankannya telapak tangannya di dadanya. Sekali lagi diedarkannya pandangan matanya. Yang tampak olehnya adalah bayangan-bayangan hitam. Bahkan raksasa yang sedang tidur itu menjadi terlampau mengerikan baginya. Tiba-tiba terbersitlah di dalam kepalanya suatu pikiran untuk pergi ke Pucang Kembar.
“Aku akan mengatakan kepada mereka yang sedang berkelahi itu bahwa Rara Wulan telah pergi. Apa pun tanggapan mereka aku tidak peduli.” Perempuan itu mengusap peluhnya yang meleleh di keningnya, lalu,
“Mudah-mudah hal ini akan mencegah perkelahian itu berlangsung terus.”
Agaknya pikiran itu sedikit memberinya harapan. Karena itu, maka perempuan itu  pun mencoba untuk berjalan secepat-cepatnya menuju ke Pucang Kembar. Tetapi, Pucang Kembar itu tidak terlampau dekat. Meskipun demikian, ia berjalan juga menuju ke sana, ke tempat dua orang laki-laki sedang mencoba memperhitungkan harga diri mereka dibumbui oleh sakit hati dan kecewa, menurut cara yang telah mereka setujui bersama. Dengan hati yang lemas, maka bibi Arya Teja itu berjalan secepat-cepat dapat dilakukannya. Ia sama sekali tidak merasakan lagi betapa kakinya menjadi nyeri dan betapa tulang-tulangnya yang tua itu menjadi terlampau letih. Yang ada di kepalanya adalah secepat-cepatnya mencapai Pucang Kembar untuk memberitahukan, apa yang sudah terjadi rumah. Rara Wulan telah hilang.
“Mudah-mudahan aku belum terlambat. Mudah-mudahan keduanya masih dapat mendengar dan terpengaruh oleh peristiwa ini.” Perempuan itu mengerutkan keningnya, lalu,
“Kecuali apabila mereka telah kehilangan kemanusiaan mereka karena dendam dan kebencian.”
Malam  pun semakin lama menjadi semakin dalam. Bulan yang terapung di langit perlahan-lahan bergeser menurut garis edarnya. Semakin lama semakin memanjat hingga sampai ke puncak langit. Angin malam yang dingin berhembus perlahan-lahan, menggerakkan dedaunan. Namun kadang-kadang bertiup semakin kencang. Sehingga daun-daun yang kuning berguguran jatuh di atas tanah. Tetapi sebentar lagi angin itu mereda, namun dinginnya masih saja sampai menyusup tulang. Bibi Arya Teja yang berjalan, menyusuri jalan persawahan tidak menghiraukannya. Langkahnya bahkan dipercepatnya sedapat-dapat. Tetapi ketika di kejauhan terdengar salak anjing liar, orang tua itu mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia bergumam,
“Apakah jalan ke Pucang Kembar harus melampaui gerombolan anjing-anjing liar itu?”
Dada perempuan tua itu menjadi berdebar-debar. Ia memang takut terhadap anjing-anjing yang liar itu. Apalagi ia adalah seorang perempuan tua, sedang anak-anak muda pun selalu mencoba menghindari gerombolan anjing-anjing yang ganas. itu.
“Mudah-mudahan tidak,” desisnya pula. Dan perempuan itu berjalan terus. Meskipun hatinya menjadi semakin berdebar-debar karena salak anjing yang saut menyahut di kejauhan itu. Bahkan semakin lama menjadi semakin dekat.
Perempuan tua itu pernah mendengar, bahwa seseorang yang telah dianggap hilang, ternyata dapat diketemukan beberapa hari kemudian. Orang-orang menganggap bahwa orang itu adalah korban dari anjing-anjing liar yang berkeliaran. Bahkan seseorang menganggap bahwa lebih baik bertemu dengan harimau loreng di perjalanan dekat daerah hutan daripada bertemu anjing-anjing liar dalam jumlah yang cukup besar. Oleh ingatan itu, maka terasa dentang jantung perempuan tua itu menjadi semakin keras memukul rongga dadanya. Seperti salak anjing yang terdengar semakin keras pula.
“Pucang Kembar masih jauh,” gumamnya. Tetapi bibi Arya Teja itu tidak berhenti.

Di bawah Pucang Kembar Arya Teja dan Paguhan bertempur semakin sengit. Mereka telah melupakan segala macam perhubungan yang baik di antara keduanya. Mereka sama sekali sudah tidak dapat lagi mengekang dirinya, sehingga mereka telah sampai pada puncak ilmu masing-masing. Sepasang senjata Paguhan benar-benar merupakan pasangan senjata yang mengerikan. Seperti tatit yang menari-nari di udara senjata itu meloncat-loncat dari segala arah ke segala arah. Seolah-olah sepasang senjata itu dapat berubah menjadi puluhan pasang yang bergerak bersama-sama. Kadang-kadang Arya Teja terpaksa meloncat surut beberapa langkah, apabila gerak sepasang senjata lawannya itu membingungkannya. Ia terpaksa mengambil jarak untuk dapat melihat gerak lawannya, supaya dapat menyusun perlawanan yang rapat. Namun setiap kali Paguhan selalu menyindirnya. Dengan tertawa penuh hinaan ia berkata,
“Ayo Arya Teja, bukankah kau pernah berjasa bagi Demak sebagai prajurit pilihan? Kenapa kau hanya mampu berlari-lari tanpa dapat memberikan perlawanan yang berarti?”
Terasa darah Arya Teja seolah-olah mendidih di dalam jantungnya. Tetapi kemudian kesadarannya dapat mengekangnya sehingga ia tidak kehilangan nalar. Setiap kali ia menyadari bahwa lawannya sedang berusaha memancing kemarahannya, maka Arya Teja segera menemukan ketenangannya kembali.
“Apakah sebenarnya yang dibangggakan oleh para pemimpin dan Senapati Demak atasmu, he, Arya Teja?” suara Paguhan terdengar terlampau menyakitkan hati.
Arya Teja tidak segera menyahut. Dipusatkan perhatiannya kepada tata gerak lawannya. Meskipun di dalam hatinya ia mengakui bahwa Paguhan telah berhasil meningkatkan ilmunya, tetapi Arya Teja masih belum merasa bahwa lawannya itu melebihinya. Menurut penilaiannya, perkelahian itu masih belum dapat menemukan kemungkinan, siapakah yang akan dapat keluar dari bawah Pucang Kembar ini.
“He” Paguhan berteriak,
“apakah kau menjadi ketakutan mendengar suaraku?”
Arya Teja menggeram. Namun ia masih belum menjawab. Bukan menjadi kebiasaannya, berkelahi sambil berbicara tanpa ujung dan pangkal sekedar berusaha mempengaruhi perasaan lawannya. Paguhan yang berusaha untuk membangkitkan kemarahan Arya Teja menjadi kecewa. Arya Teja seakan-akan sama sekali tidak mendengar kata-katanya. Meskipun kata-kata hinaan itu beberapa tali diulanginya, namun Arya Teja masih tetap membisu. Akhirnya Paguhan pun terdiam pula. Ia tidak bernafsu lagi untuk mencoba memancing kemarahan lawannya. Tetapi perhatiannya kini dimantapkannya kepada sepasang senjatanya yang mengerikan itu. Benturan-benturan yang dahsyat telah terjadi antara dua kekuatan yang sukar dicari bandingnya. Bunga api memercik di udara di sela-sela suara dencing senjata beradu. Semakin lama menjadi semakin sengit. Ujung-ujung senjata kedua orang yang sedang bertempur itu menjadi semakin cepat menari-nari. Meskipun demikian mereka masih mendengar suara anjing liar menggonggong di kejauhan. Telinga mereka yang telah biasa mendengar suara gonggongan anjing-anjing liar itu sama sekali tidak lagi dapat dipengaruhinya. Tetapi, meskipun pertempuran itu tidak terhenti, namun kedua orang yang sedang berkelahi itu mendengar suara gonggongan anjing-anjing liar itu menjadi semakin ribut. Bahkan kemudian suara itu seolah-olah melonjak-lonjak.Kedua orang itu sama sekali tidak menaruh perhatian untuk seterusnya, karena mereka masih terikat di dalam perkelahian. Tetapi dalam sekilas itu, mereka mengerti bahwa anjing-anjing liar itu telah memperebutkan mangsa. Mungkin seekor kambing, mungkin seekor kijang yang sering berkeliaran di gerumbul-gerumbul liar, di pinggir hutan, atau apa  pun yang lain. Tetapi anjing-anjing hutan itu sama sekali bukan persoalan mereka. Yang kini mereka hadapi adalah ujung-ujung senjata yang setiap kali siap merobek kulit daging mereka. Maka salak anjing yang sahut menyahut itu sama sekali sudah tidak berpengaruh lagi atas kedua orang yang sedang berkelahi itu. Mereka bahkan memeras segenap kemampuan mereka untuk segera memenangkannya.

Ternyata tangan Arya Teja benar-benar mampu menguasai senjatanya, sehingga seolah-olah tombak pendek di tangannya itu melonjak-lonjak sendiri tanpa digerakkan. Bahkan seolah-olah tangan Arya Teja hanya sekedar mengikuti gerak dari senjatanya yang dahsyat itu, Paguhan mengumpat di dalam hatinya. Peluhnya telah semakin banyak mengalir di pelipis dan punggungnya. Bahkan seluruh tubuhnya telah basah pula karenanya. Namun, terasa bahwa perkelahian itu masih jauh dari selesai. Mereka sama sekali masih belum dapat meyakini apa yang kira-kira akan terjadi atas diri mereka masing-masing. Dengan sepenuh kemampuan yang ada mereka bertempur semakin sengit. Sekali-sekali mereka terdorong surut, sekali-sekali salah seorang dari mereka berhasil mendesak lawannya, tetapi sekejap kemudian keadaan segera berubah. Rerumputan liar di bawah Pucang Kembar itu telah menjadi bosah-baseh. Bahkan gerumbul-gerumbul yang terdekat di sekitarnya pun telah menjadi rata terinjak-injak oleh kaki-kaki mereka yang sedang bertempur itu. Ketika di kejauhan terdengar bunyi burung hantu menyusur kesuraman cahaya bulan, terdengar Paguhan berdesis pendek. Dengan serta-merta ia meloncat surut. Terasa dadanya menjadi pedih. Meskipun hanya segores kecil, namun setitik darah telah meleleh dari lukanya. Terdengar Paguhan menggeram. Giginya gemeretak dan matanya menjadi kian membara. Luka itu benar-benar telah membakar seluruh urat nadinya. Sejenak kemudian terdengar Paguhan berteriak nyaring. Dengan dahsyatnya ia menyerang lawannya seperti badai yang menghantam tebing. Bergulung-gulung susul menyusul. Sepasang senjatanya yang mengerikan itu berputar seperti pusaran yang berusaha melibat lawannya. Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin seru. Meskipun kulit Paguhan telah tergores oleh ujung senjata, namun keseimbangan perkelahian itu sama sekali tidak terpengaruh olehnya, bahkan Paguhan yang sudah terluka itu menjadi semakin garang.
Setapak demi setapak perkelahian itu memanjat ke puncaknya. Beberapa goresan senjata berikutnya telah mewarnai tubuh masing-masing. Namun betapapun juga pada saatnya pasti akan sampai pada suatu penyelesaian. Pertempuran itu pada suatu saat pasti akan berhenti, apa pun yang akan terjadi. Namun pada saat-saat itu, tidak seorang pun yang dapat meramalkan, bagaimanakah akhir dari perkelahian yang dahsyat itu. Perkelahian yang dialasi dengan kemarahan, dendam, kebencian dan segala macam perasaan bercampur-baur. Begitu dalam mereka dicengkam oleh nafsu, sehingga mereka tidak sempat memperhatikan bahwa seseorang telah mendekati mereka. Seorang yang dengan ragu-ragu melangkah perlahan-lahan di antara gerumbul-gerumbul yang bertebaran di sekitar Pucang Kembar. Perempuan muda yang matanya masih dibasahi oleh air mata yang mengambang.
Ketika perempuan itu melihat kedua orang yang sedang bertempur di bawah Pucang Kembar itu, maka sebuah desir yang tajam telah menggores hatinya. Hampir-hampir ia tidak mampu lagi berdiri dan apalagi melangkah maju. Dengan gemetar ia berpegangan pada sebatang pohon perdu. Dadanya serasa berguncang dan jantungnya berdentangan. Sehingga, justru karena itu, maka perempuan itu untuk sejenak membeku di tempatnya. Tetapi tiba-tiba perempuan itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Seolah-olah ia mendapatkan suatu tenaga yang gaib, yang membuat tubuhnya menjadi pulih kembali. Sendi-sendinya terasa menjadi kuat dan tulang-tulangnya serasa mengeras. Perempuan itu berdesah perlahan-lahan. Dan tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, memandangi bulan yang bulat di langit.
“Jadilah saksi,” desisnya.
Kemudian dengan langkah yang tetap ia berjalan maju mendekati kedua orang yang sedang bertempur di bawah Pucang Kembar. Dadanya sama sekali sudah tidak berdebar-debar lagi, dan jantungnya sudah tidak berdentangan. Bahkan diangkatnya dadanya tinggi-tinggi sambil berkata kepada dirinya sendiri,
“Di sinilah senjata-senjata itu harus menghunjam”

Kedatangan perempuan itu sama sekali tidak diduga-duga oleh kedua laki-laki yang sedang bertempur itu. Mereka terperanjat ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara melengking,
“Berhenti! Berhentilah!”
Suara itu ternyata benar-benar berpengaruh atas kedua laki-laki itu. Sehingga, tanpa berjanji mereka telah melepaskan diri dari libatan perkelahian itu.
Hampir bersaman mereka berpaling dan melihat seorang perempuan berdiri tegak di samping sebuah gerumbul yang rimbun.
“Rara Wulan,” hampir bersamaan pula mereka menyebut nama itu.
“Ya,” sahut Rara Wulan sambil mengangkat dadanya,
“ternyata kalian benar-benar, berkelahi. Ternyata kalian benar-benar laki-laki jantan.”
Arya Teja dan Paguhan tidak segera menyahut. Tetapi sikap Rara Wulan telah mengherankan mereka.
“Tetapi ternyata kalian tidak berkelahi menuju kepada penyelesaian persoalannya. Aku telah terlibat dalam persoalan ini tetapi kalian mencoba menyelesaikannya sendiri tanpa aku.”
Kedua laki-laki yang masih menggenggam senjata itu sejenak terdiam. Tetapi kemudian terdengar Arya Teja berdesis,
“Dari mana kau tahu. bahwa kami akan menempuh cara ini, Wulan.”
“Aku mempunyai telinga. Dan aku mendengar percakapanmu dengan bibi ketika kau minta diri kepadanya.”
Dada Arya Teja berdesir mendengar jawaban Rara Wulan. Bukan saja jawabnya, tetapi juga sikapnya. Perempuan itu kini seolah-olah menjadi seorang perempuan yang garang. Perubahan yang telah terjadi pada Rara Wulan sangat berpengaruh pada Arya Teja. Semula ia melihat seolah-olah perempuan itu seorang yang berhati bidadari putih dan terlampau bersih. Namun ketika ia dihadapkan pada kenyataan, maka perempuan itu tiba-tiba telah berubah menjadi iblis betina yang paling memuakkan. Tetapi, kini perempuan itu tampak betapa garangnya, seperti seekor harimau liar yang sedang lapar.
Sebelum Arya Teja dapat berbicara seterusnya, terdengar Paguhan berkata,
“Sebaiknya kau tidak kemari, Wulan. Biarlah kami menentukan keputusan. Pada saatnya salah seorang dari kami akan datang memberitahukan kepadamu.”
Terasa berbagai perasaan menyesak di dada Rara Wulan. Terlalu banyak yang akan dikatakannya, tetapi justru karena itu, mulutnya seolah-olah tidak dapat menampungnya. Kata-kata itu seakan-akan berebut dahulu ke luar dan justru telah menyumbat mulutnya.
Dalam kediaman itu terdengar di kejauhan suara anjing liar memekik. Kemudian sepi. Yang mula-mula terdengar adalah kata-kata Arya Teja,
“Pergilah. Biarlah kami menentukan siapakah yang akan dapat keluar dari tempat ini.”
Mata Rara Wulan seolah-olah telah menyala. Sahutnya, terbata-bata,
“Lalu apakah yang akan kau lakukan setelah salah seorang terbunuh di tempat ini? Apakah kau sangka bahwa persoalan itu akan selesai?” Rara Wulan menggeleng.
“Tidak. Persoalan yang sebenarnya masih belum selesai.”
“Tetapi persoalan antara kami berdua telah selesai. Persoalan antara dua orang laki-laki,” desis Paguhan.
“Bohong. Persoalan yang terjadi bukan sekedar persoalan dua orang laki-laki. Sejak semula kau menganggap aku seperti barang yang tidak dapat ikut serta menentukan sikap. Kau pergunakan kesempatan sebaik-baiknya dalam kekosongan perasaan, pada saat aku kesepian kau datang dan memberikan kesegaran. Tetapi kau seret aku ke dalam neraka yang paling jahanam.”
“Jangan menyalahkan aku, Wulan. Aku juga tidak akan menyalahkan kau. Tetapi, Arya Teja adalah gambaran dari seorang laki-laki yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia sama sekali tidak berpikir tentang seseorang yang telah diikatnya dalam pembicaraan sebelum menjadi isterinya. Ditinggalkanya perempuan itu dalam kesepian, tanpa batas.”
Kata Paguhan terpotong oleh Arya Teja,
“Dan selama itu, telah didengarnya bisikan iblis ditelinganya yang menjerumuskannya ke dalam dosa.”
“Huh, kau tidak ingin bercermin tentang dirimu sendiri. Hubungan kami adalah hubungan yang wajar, yang terjadi antara seorang laki-laki dan perempuan. Yang paling gila adalah ikatan yang telah kau pasang tanpa memikirkan, akibat yang dapat terjadi. Kau sangka bahwa Rara Wulan itu seorang perempuan yang berhati batu? Tidak Arya. Ia adalah seorang perempuan biasa. Perempuan yang dijalari oleh nafsu-nafsu manusiawi pada masa-masa remaja. Ia tidak akan dapat membohongi diri sendiri. Ia telah berbuat dengan jujur sesuai dengan suara hati nuraninya. Ia tidak dapat menyimpan dorongan-dorongan yang paling peka yang menjalari darahnya. Dan aku  pun telah berbuat sesuai dengan hasrat yang paling dalam di dalam diriku. Aku bukan seorang yang suka berpura-pura seperti kau. Aku adalah seorang yang jujur kepada diriku sendiri seperti Rara Wulan pada saat itu. Tetapi ikatan-ikatan yang kau belitkan pada dirinya telah membuatnya sengsara seperti yang kau lihat saat ini. Kau yang hidup dalam suatu dunia yang kau penuhi sendiri dengan berbagai macam tantangan-tantangan dan ikatan-ikatan yang selalu menyiksa diri. Tetapi jangan kau seret orang lain besertamu.”
“Paguhan,” Arya Teja menggeram sambil meremas tangkai tombak pendeknya,
“itukah yang kau sebut kejujuran kepada diri sendiri? Kau anggap bahwa, setiap nafsu yang menyala di dalam diri harus mendapat penyaluran tanpa memikirkan akibatnya? Penyaluran yang tidak mapan sekalipun? Paguhan, kau benar-benar seorang yang berhati iblis. Kalau setiap manusia menganggap bahwa kejujuran adalah tanpa pengekangan diri, maka dunia akan dibakar oleh berkobarnya segala macam nafsu lahiriah. Manusia akan terlempar kembali ke dalam lembah kehidupan yang biadab. Peradaban manusia, dalam satu segi yang dijiwai oleh sifat-sifat manusia yang biadab, adalah jauh lebih parah dari pada kehidupan dimasa-masa manusia sama sekali belum mengenal peradaban. Kejujuran mereka bukan kejujuran yang pura-pura. Kejujuran sebagai senjata untuk melakukan perbuatan yang pada jamannya adalah perbuatan yang paling kotor. Kalau perbuatan itu kau anggap, karena perempuan itu tidak berhati batu, maka anggapan itu adalah senafas dengan kejujuran yang lamis.”
“Huh,” Paguhan memotong,
“kau benar-benar sudah kehabisan nalar. Kau adalah seorang yang tidak melihat getar di dalam diri seseorang karena kau selalu menindas getar yang serupa yang tumbuh di dalam dadamu. Supaya kau dianggap sebagai seorang yang bersih, seorang yang baik, seorang yang tidak bernoda, maka kau telah menumpas semua gerak naluriah di dalam hatimu. Tetapi, apakah kau dengan demikian berlaku jujur? Apakah kau benar-benar berbuat demikian itu? Tak seorang  pun yang tahu, apa yang telah kau lakukan di rantau. Tak seorang  pun tahu, bahwa kau benar-benar melakukan seperti keinginanmu, agar setiap orang menganggap kau demikian.”
“Paguhan,” berkata Arya Teja,
“aku adalah seseorang yang menghargai apa yang lelah menjadi keputusan bersama dari orang-orang tua kita, yang lambat laun telah membentuk peradaban kita sekarang ini. Keputusan yang tidak tergurat di dalam rontal yang mana pun juga, tetapi terasa telah menjiwai nafas kehidupan kita. Jangan kau sangka bahwa hal itu lahir dengan serta-merta. Tetapi kelahirannya pasti didorong oleh pengalaman yang beribu tahun. Bahwa kita telah membuat dinding batu di sekeliling halaman rumah kita adalah salah satu bentuk yang serupa seperti kita telah membuat pagar ayu dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sedumuk batuk senyari bumi taruhannya senilai keagungan ikatan antara laki-laki dan perempuan.”

Wajah Paguhan yang tegang menjadi semakin menegang. Nafasnya berdeburan di dalam rongga dadanya. Sejenak ia terbungkam. Namun sejenak kemudian meledaklah suara tertawanya, seperti suara iblis dari dalam kubur. Dengan lantang ia berkata di sela-sela derai suara tertawanya,
“Oh, tenggelamlah kau dalam ikatan-ikatan yang mencekik tata kehidupan itu. Tetapi aku tidak mau. Aku ingin bebas seperti burung garuda di langit. Tidak ada ikatan yang dapat mengikat kebebasanku. Apa pun yang aku kehendaki, hendaknya terjadi. Hubunganku dengan Rara Wulan adalah salah satu bentuk kebebasan itu. Aku tidak mau orang lain mencampuri kebebasanku. Aku bertanggung jawab atas segalanya. Aku akan menghadapi setiap orang yang akan mengganggu gugat bentuk kebebasan yang aku kehendaki.”
Arya Teja menggeram mendengar jawaban Paguhan di antara suara tertawanya. Terdengar suaranya bernada berat,
“Aku tidak akan mempersoalkan kebebasan yang kau dambakan itu, seperti burung garuda di angkasa. Aku tidak mempunyai hubungan apa pun dengan kau selain sebagai seorang teman biasa. Aku tidak akan kehilangan seandainya kau terjerumus dalam jurang yang paling nista sekalipun. Tetapi kau jangan menyentuh hidupku dalam segala seginya. Kau jangan menyinggung ujung dari hakku atas pribadiku dan segala hubungannya.” Arya Teja berhenti sejenak. Terasa dadanya menjadi sesak dan bahkan seakan hampir meledak. Sejenak kemudian terdengar suaranya dalam nada yang berat,
“Tetapi Paguhan, kegilaanmu itu telah melanggar segi-segi kehidupanku. Bahkan yang paling berharga dalam hidupku. Karena itu, maka aku tidak akan dapat tinggal diam. Aku tidak akan dapat membiarkan kau dalam kegilaan itu.”
Suara tertawa Paguhan telah lenyap bersama gemanya, dihanyutkan oleh angin yang bertiup semakin kencang. Yang terdengar kemudian adalah gemeretak giginya beradu. Tetapi sebelum ia mengucapkan kata-kata, terdengar suara Rara Wulan melengking tinggi,
“Kalian berdua telah dicengkam oleh kegilaan kalian masing-masing. Kalian memandang dunia ini dari sudut kepentingan kalian. Kalian berbicara dalam hubungan ini menurut pendirian dan kesenangan kalian sendiri. Sedang pendirian kalian tidak akan dapat bertemu. Paguhan adalah gambaran dari seorang iblis yang paling gila, yang telah mempergunakan setiap kesempatan untuk menyeret seseorang ke dalam neraka yang paling dalam, sedang Arya Teja adalah seorang pemimpin yang memuakkan, yang hidupnya hanya dibayangi oleh gambaran-gambaran yang paling indah tanpa mengenal kenyataan, tanpa mengenal noda-noda yang melekat pada setiap hati yang tersimpan di dalam dada ini.” Rara Wulan berhenti sejenak. Nafasnya serasa berkejaran lewat lubang hidungnya, sedang dadanya menggelombang semakin cepat. Dengan nafas yang terengah-engah ia berkata,
“Tetapi, yang paling berdosa dalam persoalan ini adalah aku. Aku yang telah membuat kalian berdiri berhadapan dalam kegilaan kalian masing-masing. Aku telah menyerahkan diriku ke dalam tangan iblis yang paling jahat, sementara aku menempatkan diriku ke dalam keindahan mimpi yang paling mengasyikkan. Tetapi kenyataan telah melemparkan aku ke keadaanku sekarang yang telah mendorong kalian berdua untuk menggenggam senjata dan berusaha saling membunuh. Hal itu tidak akan terjadi apabila aku tidak memulas diriku seperti bidadari, tetapi menyerahkan diri ke dalam tangan iblis yang paling laknat.” Sekali lagi Rara Wulan berhenti. Nafasnya terasa menjadi semakin sesak. Wajahnya menjadi merah membara dan matanya seolah-olah menyalakan api yang berkobar di dalam dadanya. Suaranya yang gemetar kemudian terdengar lagi,
“Karena itu, kalian tidak akan dapat menyelesaikannya tanpa aku. Ayo, katakan, apakah yang akan terjadi seandainya salah seorang dari kalian telah mati? Hubungan apakah yang ada di antara salah seorang dari kalian yang hidup itu dengan aku? Tidak. Persoalan itu masih belum selesai. Jalan yang paling singkat dari penyelesaian itu adalah apabila kalian menghunjamkan senjata kalian bersama-sama di dalam dadaku ini. Aku akan mati. Dan tidak ada lagi yang dapat kalian pertengkarkan.”

Ketika Rara Wulan itu terdiam, maka suasana di bawah Pucang Kembar itu telah dicengkam oleh keheningan. Masing-masing berdiri tegang kaku. Yang terdengar hanyalah suara angin berdesir di dedaunan. Lamat-lamat suara cengkerik berderik di antara bunyi rintihan burung kedasih yang ngelangut. Sekali-sekali di kejauhan masih terdengar gonggong anjing-anjing liar. Tetapi kemudian sunyi. Anjing-anjing yang telah menjadi kenyang itu agaknya telah kembali ke dalam sarang mereka. Arya Teja dan Paguhan tersentak ketika mereka mendengar suara Rara Wulan terbata-bata.
“Ayo, siapakah yang jantan di antara kalian? Di sinilah terletak sumber dari persoalan ini, di sini, di dalam dadaku. Hanya dengan melubangi dadakulah maka semua persoalan akan dapat selesai.”
Kedua laki-laki itu sama sekali tidak bergerak. Mereka terpaku diam seperti, sepasang patung dari dua orang jantan yang menggenggam senjata masing-masing.
“Ayo, siapakah yang paling jantan di antara kalian berdua? He, cepatlah. Kenapa kalian diam saja? Apakah kalian telah menjadi pengecut yang tidak berani melihat darah? Aku akan merasa berbahagia apabila kalian berani membunuh aku sekarang. Arya Teja adalah suamiku, sedang Paguhan adalah laki-laki yang akan menjadi ayah dari anakku apabila ia kelak lahir. Tetapi bagiku, mati adalah jalan yang sebaik-baiknya. Hidupku dan hidup anak ini kelak akan selalu menumbuhkan persoalan yang tidak ada henti-hentinya.”
Tidak seorang  pun yang menyahut. Kedua laki-laki itu terpukau dalam kediaman. Samar-samar dalam cahaya bulan mereka melihat Rara Wulan seperti seekor harimau betina yang paling liar. Rambutnya terurai lepas di punggungnya bergetar karena sentuhan angin padang yang kering. Tanah berumput yang terbentang di bawah Pucang kembali itu menjadi sepi, sesepi tanah pekuburan. Mereka yang berdiri tegak di bawahnya, seakan-akan telah membeku seperti pokok-pokok pohon semboja. Sejenak mereka dicengkam oleh kediaman yang tegang. Yang pertama-tama menyobek sepinya malam adalah suara Rara Wulan.
“Kenapa kalian diam saja mematung, he? Ayo, siapa yang paling jantan lakukanlah lebih dahulu. Menghunjamkan senjata-senjata kalian itu di dadaku. Dada yang dipenuhi oleh nafsu iblis yang paling jahat, yang tidak pantas lagi bersentuhan dengan orang-orang yang merasa dirinya beradab. Meskipun peradaban itu telah menyeretku dalam keadaan yang paling parah, tetapi aku akan tetap menghormatinya. Terkutuklah apa yang telah terjadi, terkutuklah kau Paguhan yang ingin membebaskan dirinya seperti burung garuda di langit, tanpa batas-batas peradaban, yang dapat menerkam setiap anak kambing yang tersesat di padang penggembalaan.”
Sekali lagi kebekuan mencengkam suasana. Yang terdengar adalah suara nafas mereka yang memburu di lubang-lubang hidung mereka. Kedua Laki-laki itu hampir tidak bergerak sama sekali. Mereka terpaku, dan seolah-olah telah membeku.
“Ayo cepatlah!” mereka mendengar lagi Rara Wulan berteriak semakin keras.
“Ayo, siapa yang lebih jantan di antara kalian?”

Kini, Rara Wulan melangkah maju. Tubuhnya gemetar dan wajahnya tengadah. Tetapi, wajah itu seakan-akan sudah bukan wajah Rara Wulan lagi yang mereka kenal sehari-hari. Wajah itu adalah wajah yang paling mengerikan, seperti wajah iblis yang haus menghisap darah, seperti wajah wewe yang merindukan bayi, tetapi juga seperti wajah mayat yang paling putus-asa dijerat oleh kematian yang paling mengerikan.
“Ayo,” terdengar suaranya benar-benar seperti suara hantu,
“senjata siapakah yang lebih tajam? Inilah dada yang menyimpan hati yang hitam, sehitam arang. Dan inilah dada yang menyimpan hati yang dibakar oleh nafsu sepanas bara. Dan inilah hati yang sedang berputus asa dicengkam oleh penyesalan dan putus asa. Karena itu, kalau kalian jantan, hunjamkanlah senjata itu ke dalam dada ini.”
Selangkah demi selangkah Rara Wulan maju. Samar-samar dalam bayangan sinar bulan yang penuh, dalam desau angin malam dalam belaian suara burung kedasih yang ngelangut.
“Kenapa kalian diam saja? Apakah kalian telah mati membeku lebih dahulu daripada aku.”
Rara Wulan menjadi semakin dekat. Beberapa langkah dari kedua laki-laki itu Rara Wulan berhenti. Bayangan rambutnya yang hitam, yang terurai dengan kusutnya, membuat wajahnya menjadi semakin mengerikan.
“Paguhan, katanya kau menggenggam sepasang senjata kebanggaan. Ayo, tusukkanlah senjata itu bersama-sama di sini,” Rara Wulan menunjuk dadanya. Selangkah ia maju mendekati Paguhan. Tetapi tanpa sesadarnya Paguhan melangkah surut. Ketika Rara Wulan maju lagi, maka Paguhan  pun sekali lagi melangkah surut.
“Apakah kau akan lari, Paguhan?”
Paguhan tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi semakin tegang daripada ia harus berhadapan dengan Arya Teja.
“Oh, kiranya kau seorang pengecut yang paling licik di dunia. Kau telah menodai aku dengan seribu satu macam alasan, meskipun aku tidak ingkar, meskipun aku mengakui sambil menengadahkan dada, bahwa itu adalah salahku, tetapi sekarang kau tidak berani membuat penyelesaian yang paling baik. Membelah dadaku.”
Paguhan tidak menjawab, tetapi tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah merasakan sentuhan yang paling mengerikan seperti yang dihadapinya kini. Karena Paguhan selalu menghindar, maka tiba-tiba Rara Wulan berpaling kepada Arya Teja. Arya Teja masih berdiri tegak di tempatnya dengan tombak pendek tergenggam di tangannya. Belum lagi Rara Wulan berbuat sesuatu, maka tatapan matanya telah mencengkam dada Arya Teja. Darahnya seolah berhenti mengalir. Apalagi ketika selangkah Rara Wulan maju mendekatinya.
“Kau Arya Teja. Barangkali kau lebih jantan dari Paguhan. Kau pemimpi yang dimabukkan oleh khayalan tentang kejernihan wajah bidadari di dalam surga. Bangunlah. Bangunlah dari mimpi yang indah tetapi memuakkan itu. Bukankah kau telah bertekad untuk membunuh aku? Nah, sekarang, lakukanlah. Aku akan berterima kasih kepadamu. Ternyata kau telah menang dalam perang tanding melawan Paguhan, meskipun kau tidak perlu membunuhnya, karena ternyata kau telah berani melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh Paguhan.”
Seperti Paguhan, Arya Teja justru menjadi gemetar. Ketika Rara Wulan setapak maju, ia  pun surut selangkah.
“He, apakah kau juga seorang pengecut seperti Paguhan?”
Tidak ada jawaban. Tetapi seperti dicengkam oleh pengaruh yang tidak dimengertinya Arya Teja berusaha untuk menjauhi Rara Wulan yang mendekatinya.
“Oh, ternyata kalian adalah pengecut. Pengecut yang paling licik. Yang hanya berani mengagungkan kejantanan dalam persoalan yang sama sekali tidak berarti. Tetapi pada hakekatnya kalian adalah pengecut.” Rara Wulan berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin memburu. Terputus-putus suaranya yang melengking tinggi,
“Ayo, siapa yang berani membunuh aku?” Lalu,
“Baiklah. Baiklah, apabila kalian tidak berani melakukannya. Sekarang, Arya Teja, atau kau Paguhan, marilah, berikanlah senjata-senjatamu. Biarlah aku sendiri yang melakukannya. Marilah,” suara Rara Wulan menurun, tetapi justru semakin mengerikan, seperti suara dari balik batas maut, dari seorang iblis betina yang merindukan anaknya.
“Marilah, anak-anak. Marilah, berikanlah senjata itu. Paguhan atau kau Arya Teja. Marilah anak-anak manis, aku pinjam dolananmu.”

Paguhan dan Arya Teja adalah dua orang lelaki jantan, yang tidak pernah merasa gentar menghadapi setiap keadaan. Senjata di tangan mereka adalah pertanda bahwa mereka telah siap menghadapi apa  pun juga dengan akibat yang Betapapun parahnya. Saat itu, di bawah Pucang Kembar, mereka  pun telah siap menghadapi pertarungan yang menentukan. Mati atau mematikan. Tetapi tiba-tiba kini dada mereka telah digoncangkan oleh kengerian yang luar biasa. Belum pernah terjadi, bahwa dua orang laki-laki seperti Paguhan dan Arya Teja, menjadi gemetar karena perasaan yang seaneh saat itu. Belum pernah terjadi bahwa hampir setiap bulu kedua laki-laki itu meremang. Namun ternyata ketika mereka melihat Rara Wulan dalam keadaannya. Hampir-hampir mereka tidak dapat menahan diri mereka, untuk meninggalkan tempat itu. Bahkan kalau mungkin lari secepat-cepatnya. Tetapi, kejantanan mereka ternyata telah menahan mereka dalam debar yang semakin berdentangan. Di antara desau angin malam masih terdengar suara Rara Wulan,
“Marilah, marilah anak-anak manis. Berikan dolananmu.”
Paguhan dan Arya Teja itu setiap kali melangkah surut di luar kesadaran mereka. Yang tampak di mata mereka adalah hantu betina yang mengerikan, yang seakan-akan ingin menghisap darah mereka dari ubun-ubun. Paguhan dan Arya Teja hampir tidak tahan lagi ketika tiba-tiba mereka mendengar Rara Wulan itu tertawa. Tertawa mengerikan sekali. Suaranya melengking menyusur tebing pegunungan, memantul kembali menggelombang, seperti tanah yang terbentang di bawah Pucang Kembar itu telah dikepung oleh ribuan hantu betina yang tertawa bersama-sama. Tetapi, ketika suara tertawa itu telah menurun, maka sekali lagi mereka dikejutkan oleh sebuah bayangan yang tertatih-tatih mendekati mereka itu. Sebelum mereka menyadari siapakah yang datang kemudian, terdengarlah orang itu berkata dalam nada yang terlampau dalam,
“Wulan, Rara Wulan.”
Rara Wulan yang sedang dikuasai oleh kegelapan hati itu masih dapat mendengar suara itu. Tiba-tiba sisa-sisa suara tertawanya terputus, dan lenyap ditelan oleh angin malam. Ketika perempuan itu berpaling, maka dilihatnya seseorang datang kepadanya perlahan-lahan.
“Rara Wulan, kenapa kau? Aku mencarimu, anakku.”
Rara Wulan mengerutkan keningnya. Tiba-tiba kepalanya terasa pening dan matanya berkunang-kunang. Tetapi, ia masih mendengar orang yang datang itu berkata,
“Eling, Ngger.” Lalu dengan lembutnya orang itu berkata sambil mengembangkan kedua tangannya,
“Marilah, anakku. Marilah. Aku telah bersusah payah mencarimu. Ternyata kau ada di sini, di antara dua ekor serigala yang sedang berkelahi memperebutkan kejantanan. Marilah, anakku.”
Sejenak Rara Wulan, mematung. Kepalanya terasa semakin pening, dan pandangan matanya menjadi semakin kabur. Hampir di luar sadarnya tiba-tiba ia memekik sambil berlari ke arah orang yang datang sambil mengembangkan tangannya itu,
“Bibi, Bibi, o ……”
Dengan serta merta Rara Wulan menjatuhkan dirinya dalam pelukan perempuan yang baru datang itu. Bibi Arya Teja, yang kemudian dengan lembutnya membelai rambut Rara Wulan yang kusut terurai sambil berbisik lirih,
“Kenapa kau, anakku?”

Yang terdengar kemudian adalah suara tangis Rara Wulan yang meledak. Namun, sesaat kemudian suara itu menurun, dan akhirnya diam sama sekali. Perempuan tua itu hampir terjatuh menahan tubuh Rara Wulan yang menjadi pingsan. Perlahan-lahan tubuh itu diletakkannya di atas tanah yang basah oleh embun. Kini perempuan tua itulah yang berdiri tegak di sisi tubuh Rara Wulan. Perempuan itu memandangi Paguhan dan Arya Teja berganti-ganti. Perasaan yang aneh masih saja merayap di hati kedua laki jantan itu. Mereka terpukau melihat apa yang baru saja terjadi, sehingga seakan-akan mereka tidak tahu, tanggapan apakah yang telah terjadi di dalam diri masing-masing. Tetapi, setelah Rara Wulan terbaring diam, dan kini yang tegak di hadapan mereka adakah perempuan tua itu, namun kengerian masih saja tergores di dalam dada mereka.
“Nah,” terdengar suara perempuan itu,
“lihat. Inikah penyelesaian yang kalian kehendaki?” Kedua laki-laki itu terbungkam.
“Kini, kalian melihat tubuh Rara Wulan yang pingsan setelah sekian lama ia menahan gejolak perasaannya. Ia tidak kuat melawan gelora itu di dalam dirinya, sehingga ia menjadi gelap hati dan tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Perempuan itu berhenti sejenak. Lalu,
“Seandainya, ya, seandainya perempuan ini bangun, dan yang ditemuinya adalah peristiwa yang menggoncang perasaannya, maka aku pasti, aku yakin, bahwa Rara Wulan akan menjadi gila. Gila. Sebenarnya gila. Apakah kalian tidak percaya? Bagi perempuan muda ini memang lebih baik mati, daripada menjadi gila. Dan sebab daripada itu adalah kalian berdua. Paguhan yang telah mempergunakan kesempatan selagi gadis itu dahulu kesepian, dan Arya Teja yang menjadi gila karenanya.”
Kedua laki-laki yang menggenggam senjata di tangannya itu masih terbungkam.
“Nah, apakah kalian masih ingin melihat darah mengalir di bawah Pucang Kembar? Kalau demikian, maka aku menganjurkan, sebelum kalian berkelahi, maka biarlah salah seorang dari kalian memenuhi permintaan Rara Wulan ini. Bunuhlah selagi ia masih dalam keadaannya. Bunuhlah perempuan ini, sehingga kalian akan menjadi lebih puas. Malam ini, pada saat purnama naik, di bawah Pucang Kembar ini ada tiga jiwa yang melayang. Jiwa perempuan ini, anak yang masih di dalam kandungannya dan salah seorang dari kalian berdua yang ingin disebut dirinya pahlawan.”
Ketika perempuan itu terdiam sejenak, maka kesepian yang tajam telah mencengkam suasana. Hanya desir angin yang terdengar di antara derik suara bilalang.

Namun di dalam kesepian, ternyata dada kedua laki-laki yang di tangannya masih tergenggam senjata itu, telah bergolak dengan dahsyatnya. Kata-kata bibi Arya Teja langsung menusuk ke dalam jantung, melampaui tajamnya senjata yang ada di tangan masing-masing. Betapa keras hati mereka, betapa tumpul perasaan-perasaan mereka, namun apa yang mereka lihat, ternyata telah membuat hati mereka menjadi cair. Nafsu mereka untuk saling membunuh perlahan-lahan menipis, seperti embun di pagi hari. Dalam pada itu terdengar suara perempuan tua itu,
“Bagaimana? Kenapa kalian diam saja? Siapakah yang lebih jantan dan berani melakukannya? Aku ingin melihat, dan biarlah aku menjadi saksi. Bahkan di bawah Pucang Kembar ini, seorang laki-laki telah berani berbuat dengan penuh kejantanan dan kepahlawanan, membunuh seorang perempuan yang sedang mengandung dan dalam keadaan pingsan. Ayo, siapakah yang jantan di antara kalian?”
Tidak seorang  pun yang bergerak, bahkan ujung jari kaki pun tidak.
“Siapa?” teriak perempuan itu.
Kedua laki-laki itu masih membeku di tempatnya. Bibir Arya Teja sejenak berdiam diri. Nafasnya menjadi makin cepat mengalir, dan dadanya yang tipis menjadi bergelombang dengan cepatnya. Tetapi kedua laki-laki itu masih tetap tegak di tempatnya. Keheningan yang tegang telah menjelajahi tanah yang terbentang di seputar Pucang Kembar itu. Di kejauhan masih terdengar suara binatang malam berderik-derik, dan kadang-kadang suara burung kedasih yang sayup-sayup, seperti senandung yang sedih.
“Apakah kalian tidak dapat berbuat sesuatu?” bertanya bibi Arya Teja itu.
“Apakah kalian akan berdiri saja di tempat itu semalam suntuk?”
Pertanyaan itu telah menggerakkan hati kedua laki-laki itu. Mereka menyadari, apa yang sedang mereka hadapi. Tetapi mereka tidak segera mengerti, apakah yang sebaiknya mereka kerjakan.
“Baiklah, kalau kalian tidak lagi ingin membunuh. Bukankah begitu?” pertanyaan itu terlontar dari mulut perempuan tua itu. “Ternyata kalian tidak melakukannya.”
Tidak ada jawaban
“Bagaimana, he?”
Kedua laki-laki itu menjadi bingung.
“Jawablah, jawablah pertanyaanku,” sejenak kemudian perempuan itu berkata pula,
“kalau kalian tidak dapat menjawab dengan perkataan, jawablah dengan perbuatan. Kalau kalian masih ingin membunuh, segera lakukanlah. Kalau salah seorang tidak segera melakukan, maka aku anggap, bahwa kalian telah merubah keputusan bahwa kalian telah merubah pendirian kalian untuk meneteskan darah di bawah Pucang Kembar ini. Sebagai laki-laki jantan keputusan bersama harus dihargai seperti kalian menghargai jiwa sendiri.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 031                                                                                                       Jilid 033 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar