Cahayanya yang kekuning-kuningan memancar mewarnai dedaunan yang hijau gelap. Satu-satu kelelawar berterbangan di dalam kesenyapan langit yang cerah. Arya Teja dan Paguhan telah berdiri berhadapan. Senjata-senjata mereka telah bergetar. Beberapa langkah mereka bergeser. Tetapi, tatapan mata mereka seolah-olah terpaku kepada lawan. Mereka tidak boleh lengah sekejap pun. Ketika di kejauhan terdengar anjing liar menyalak bersahut-sahutan, maka anak-anak muda itu sudah tidak dapat menahan diri lagi. Setapak mereka mendekat, dan tiba-tiba terdengar Paguhan berteriak nyaring. Sebuah loncatan yang hampir tidak tertangkap oleh mata, telah membuka sebuah serangan yang langsung mengarah kepada lawannya. Tetapi Arya Teja telah bersiap sepenuhnya. Dengan lincahnya ia bergeser menghindar. Selangkah ia surut, namun kemudian tombaknya terjulur lurus mematuk lambung lawannya. Terdengar sebuah dencingan yang keras. Kedua senjata anak-anak muda itu beradu. Terasa getaran yang tajam merambat dari ujung senjata masing-masing ke telapak tangan mereka. Dan getaran itu ternyata telah menggetarkan jantung mereka. Sehingga mereka masing-masing berdesah di dalam hati,
“Alangkah
dahsyat tenaganya.”
Dengan
demikian kedua anak-anak muda yang sedang berkelahi itu dapat mengukur, betapa
besar kekuatan lawan. Mereka menyadari bahwa mereka masing-masing tidak lebih
kuat dari lawan mereka. Paguhan yang bersenjata rangkap itu bertempur seperti
seekor naga berkepala empat. Mematuk dan menyergap dari segenap penjuru.
Sepasang senjatanya itu seakan-akan telah berkembang menjadi ratusan bahkan
ribuan mata nenggala yang mengerikan. Tetapi lawannya adalah seorang anak muda
yang cukup matang mempergunakan tombaknya. Tombak bertangkai pendek di tangan
Arya Teja itu berputar bergulung-gulung seperti asap yang melindungi dirinya.
Asap yang menyebarkan racun yang terlampau tajam. Sentuhan asap itu akan
berakibat terlampau parah bagi lawannya.
Dengan
demikian maka perkelahian itu menjadi kian lama kian sengit. Bukan saja karena
keduanya adalah anak-anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi ternyata
mereka telah dibakar pula oleh dendam dan kebencian, sakit hati dan harga diri
yang berlebih-lebihan. Mereka sudah tidak dapat berpikir lain kecuali
membinasakan lawan masing-masing atau mati terkapar sebagai laki-laki jantan di
bawah Pucang Kembar itu.
Ketika angin
yang kencang bertiup dari utara, maka sepasang pucang itu pun terayun-ayun
seakan-akan ikut serta menari, menarikan tarian maut, seperti yang sedang
terjadi di atas bentangan berumput di bawahnya. Dalam kilauan cahaya bulan yang
memantul dari ujung-ujung senjata yang bergerak-gerak itu, kadang-kadang
terpercik bunga-bunga api yang meloncat karena benturan dua kekuatan yang tiada
taranya. Sementara itu, di rumah Arya Teja, bibinya masih duduk sambil mengusap
air matanya dengan ujung bajunya. Ia tidak berpaling sama sekali ketika seorang
pelayan menyalakan lampu di dalam bilik yang sudah menjadi gelap itu. Bayangan-bayangan
yang paling mengerikan telah menganggu angan-angannya. Segala kemungkinan dapat
terjadi atas kemanakannya itu. Bibi Arya Teja itu perlahan-lahan berdiri. Ia
tidak mau datang kepada Rara Wulan dalam keadaannya. Ia tidak mau memberikan
kesan tentang kecemasan yeng merayapi hatinya atas Arya Teja. Karena itu, maka
bibi Arya Teja itu tidak segera pergi ke bilik Rara Wulan yang tertutup. Ia
pergi dahulu ke perigi untuk mencuci mukanya.
Hati perempuan
tua itu berdesir ketika ia melihat bulan yang bulat mengapung di langit.
Sejenak dipandanginya bulan yang terang itu. Dilihatnya bayangan yang
kehitam-hitaman di dalam warna yang kuning cerah. Namun angan-angannya yang
dilukisi oleh kecemasannya tentang kemanakannya telah membuat gambaran yang
mengerikan pada wajah bulan itu. Seakan-akan dilihatnya, di dalam bulatan bulan
purnama, sesosok tubuh terbaring diam. Semakin lama menjadi semakin jelas.
Seorang anak muda. Dan bahkan kemudian seakan-akan perempuan tua itu melihat warna
wajah anak muda itu.
Perempuan itu
terkejut ketika terloncat dari bibirnya desah,
“Arya Teja.”
Perempuan itu
menarik nafas dalam-dalam. Bayangan itu menjadi semakin samar. Hilanglah
kemudian gambarannya tentang Arya Teja. Yang dilihatnya kemudian adalah
ceritera tentang seekor kucing Candramawa dan seorang bidadari yang cantik
duduk di bawah sebatang pohon beringin putih.
“Hem,” orang
tua itu berdesah. Kakinya yang sudah berkeriput oleh umurnya itu digerakkannya
kembali melangkah ke perigi. Dalam kesenyapan malam terdengarlah gerit senggot
timba seakan sedang merintih. Perempuan tua itu mencuci mukanya. Dicobanya
untuk menghilangkan segala macam kesan yang dapat menimbulkan kecemasan kepada
Rara Wulan yang sedang berputus asa.
“Aku harus
membuat hatinya menjadi tenteram. Ia akan mendengar berita yang lebih menyayat
hatinya besok pagi apabila seseorang telah menemukan sesosok tubuh terkapar di
bawah sepasang Pucang Kembar itu. Siapa pun orang itu.”
Sambil
mengusap mukanya yang basah dengan ujung kain panjangnya, perempuan itu
berjalan tertatih-tatih menuju ke bilik Rara Wulan yang masih tertutup rapat. Ketika
perempuan itu sudah masuk ke dalam rumah, maka pintu lereg di butulan
belakang pun segera ditutupnya
rapat-rapat, supaya angin yang dingin tidak menyusup masuk ke dalam.
Dibenahinya rambutnya yang kusut, sambil berjalan perlahan-lahan menuju ke
bilik Rara Wulan. Dengan hati-hati bibi Arya Teja itu mendorong daun pintu
bilik itu ke samping, supaya seandainya Rara Wulan masih tidur kelelahan, tidak
menjadi terkejut karenanya. Tetapi bibi Arya Teja itu mengerutkan keningnya.
Ketika pintu itu sudah separo terbuka, dan pembaringan Rara Wulan itu sudah
tampak di bagian bawahnya, perempuan tua itu tidak segera melihat Rara Wulan.
“Oh, agaknya
ia sudah bangun,” desisnya.
Dengan
hati-hati perempuan itu menjengukkan kepalanya. Tetapi keningnya menjadi
semakin berkerut. Ternyata bilik itu telah kosong.
“Kemanakah
perempuan itu?” desis bibi Arya Teja.
“Ah, mungkin
ia baru keluar sebentar. Ke dapur atau ke belakang.”
Bibi Arya Teja
itu kemudian melangkah masuk. Dibiarkannya pintu tetap terbuka, supaya
kehadirannya tidak mengejutkan Rara Wulan seandainya ia masuk kembali ke dalam
biliknya.
Dengan
hati-hati pula bibi Arya Teja membenahi pembaringan Rara Wulan. Dilipatnya kain
yang masih berserak-serakan. Ditebahinya pembaringan itu dengan sapu lidi, dan
tikar yang berkerut pun diluruskannya.
“Kemana
perempuan ini,” pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Betapa ia
mencoba menenangkan hatinya, namun kegelisahan yang semakin dalam telah
mencengkam jantungnya. Akhirnya perempuan tua itu melangkah ke luar. Dicarinya
Rara Wulan ke segenap ruangan di dalam rumah itu, tetapi ia tidak menemukannya.
“Wulan,”
akhirnya ia memanggil, “Wulan, dimana kau?”
Tetapi tidak
ada jawaban. Suara perempuan tua itu membentur dinding-dinding bambu dan lenyap
dalam kesenyapan malam. Bibi Arya Teja itu
pun segera pergi ke ruang belakang. Kepada seorang pelayan ia bertanya,
“Apakah kau
melihat Rara Wulan?”
“Oh,” pelayan
itu menjawab, “ia berada di dalam biliknya”
“Tidak. Ia
tidak ada di dalam biliknya.”
“O ya, ia
sudah dipindahkan ke bilik sebelah. Mungkin sedang tidur. Bilik itu telah
diberi lampu pula.”
“Ia tidak ada
pula di dalam bilik itu. Seluruh ruangan di dalam rumah itu telah aku cari,
tetapi ia tidak ada di dalam.”
Pelayan itu
mengerutkan dahinya. “Tetapi ia ada di dalam,” desisnya.
Pelayan yang
lain yang mendengar percakapan itu segera mendekat pula dan berkata,
“Rara Wulan
sedang tidur ketika aku memasang lampu di dalam biliknya.”
“Ya, tetapi ia
sudah bangun dan tidak ada di dalam bilik itu.”
Pelayan itu
menggigit bibirnya. “Aku tidak melihat ia pergi ke belakang”
“Biarlah aku
mencarinya sebentar. Mungkin Rara Wulan ingin menyejukkan hatinya di petamanan
atau di kebun belakang,” berkata salah seorang dari pelayan itu.
“Carilah,
carilah di mana saja sampai ketemu,” berkata bibi Arya Teja.
“Rara Wulan
sedang dibayangi oleh kegelapan hati.”
“Kenapa Rara
Wulan itu tampaknya selalu bersedih?” bertanya pelayannya yang lain.
“Aku tidak
tahu,” jawab bibi Arya Teja, “itu adalah persoalan Rara Wulan dengan suaminya.
Sekarang carilah, dan ajaklah ia masuk ke dalam biliknya. Ia sedang sakit,
sehingga angin malam akan menyebabkan tubuhnya menjadi semakin tidak enak.”
Kedua pelayan
itu pun segera pergi. Yang seorang ke
kebun belakang, sedang yang lain ke petamanan di depan dan di sisi rumah itu.
Bibi Arya Teja
kembali ke dalam biliknya dengan hati yang semakin cemas. Perempuan muda yang
sedang mengandung itu tengah dicengkam oleh kegelisahan, kemurungan, kegelapan
hati dan segala macam perasaan menyesal dan bersalah. Bahkan telah terucapkan
bahwa lebih baik ia mati daripada hidup menanggung segala macam siksaan
perasaan itu.
“Apakah Rara
Wulan membunuh dirinya?” tiba-tiba terbesit pertanyaan itu di dalam hatinya,
dan pertanyaan itu ternyata telah mengejutkannya. Debar jantungnya serasa
menjadi semakin cepat berdentangan di dalam dadanya.
Tiba-tiba
perempuan tua itu bangkit dan segera melangkah ke luar. Ia tidak dapat menahan
kecemasannya lagi. Bunuh diri adalah suatu penyelesaian yang mungkin sekali
ditempuh oleh Rara Wulan yang sedang berputus asa dan dibayangi oleh kegelapan
hati. Dengan tergesa-gesa perempuan tua itu pergi ke ruang depan. Dilihatnya selarak
pintu tergolek di lantai.
“Agaknya selarak
itu telah diletakkan dengan tergesa-gesa.”
Ketika
perempuan tua itu membuka pintu depan yang sudah tidak terkancing dan berjalan
melintasi pendapa, dilihatnya pelayan yang sedang mencari Rara Wulan di halaman
depan. Maka pelayan itu segera dipanggilnya.
“Apakah kau
sudah menutup pintu depan dan menyelaraknya?”
“Sudah. Karena
tidak ada orang lagi di ruang depan, dan angin malam menjadi semakin kencang,
maka pintu itu telah aku tutup dan aku kancing dengan selarak.”
Perempuan tua
itu menjadi semakin gelisah. Tetapi ia berusaha menyembunyikan kesan itu.
Meskipun demikian ia berkata,
“Pintu itu
telah terbuka.”
Pelayan itu
terkejut, dan dengan serta-merta ia bertanya,
“Apakah Rara
Wulan telah membukanya?”
Bibi Arya Teja
mengangguk. “Mungkin.”
Pelayan itu terdiam.
Ia tidak tahu kemungkinan yang paling pahit yang dapat terjadi atas Rara Wulan.
Yang diucapkannya kemudian adalah,
“Mungkin Rara
Wulan sedang berjalan-jalan untuk mendapatkan sedikit ketenangan. Biarlah aku
mencarinya.”
“Tidak.
Tinggallah kau di rumah. Akulah yang akan mencarinya.”
Pelayan itu
menjadi heran. Bibi Arya Teja telah berusia agak lanjut. Apakah ia akan
berjalan hilir mudik di malam begini mencari Rara Wulan yang tidak diketahui ke
mana perginya? Justru karena itu maka pelayan itu berdiri saja seolah-olah
membeku. Hampir-hampir ia tidak percaya kepada pendengarannya. Namun kemudian
ia menjadi yakin, bahwa bibi Arya Teja itu memang menghendaki demikian. Sekali
ia mendengar perempuan tua itu berkata,
“Tunggulah
rumah ini. Aku sendirilah yang akan mencarinya.”
Pelayan itu
tidak dapat menahan keheranannya. Maka ia
pun bertanya,
“Apakah
malam-malam begini Nyai sendiri akan pergi mencari Rara Wulan?”
“Ya,” sahut
bibi Arya Teja pendek.
“Kalau begitu
biarlah aku mengantar Nyai.”
“Jangan. Aku
akan pergi sendiri.”
Pelayan itu
menjadi semakin heran. Dan ia mendengar perempuan tua itu berkata seterusnya,
“Jangan kau
ributkan kepergian Rara Wulan. Ia memang sedang bingung. Tetapi ia akan segera
kembali. Jangan kau tanyakan kepada siapa pun, supaya tidak setiap orang
mengetahui bahwa Rara Wulan sedang diselimuti oleh kegelapan hati. Mungkin
suaminya dapat mengertinya. Namun tidak setiap orang berhak mengetahuinya, dan
kau tidak perlu bercerita tentang hal itu. Kau sengaja atau tidak.”
Pelayan itu
menganggukkan kepalanya sambit menjawab, “Baik, Nyai.”
“Nah,
tinggallah kau di dalam. Aku akan pergi.”
Pelayan itu
mengangguk sekali lagi. “Baik, Nyai.”
Bibi Arya Teja
itu pun segera meninggalkan halaman
rumah itu. Langkahnya tergesa-gesa. Namun ia tidak dapat berjalan lebih cepat
lagi. Bahkan sekali-sekali kakinya yang telah lemah itu terantuk batu dan
menyebabkannya tertatih-tatih. Meskipun bulan yang bulat tergantung di langit
yang bersih, tetapi perempuan tua itu merasa, pandangan matanya terlampau
kabur. Ia hanya melihat bayangan-bayangan hitam bertebaran di sekitarnya.
Tetapi, dalam jarak beberapa langkah, ia sudah tidak dapat mengenal lagi,
bayangan apakah yang sedang dihadapinya. Tetapi, perempuan tua itu berjalan
terus. Ia bertekad untuk menemukan Rara Wulan. Meskipun kadang-kadang hatinya
berdesir mencemaskan perempuan yang sedang berhati gelap itu, namun ia berdesis
perlahan,
“Mudah-mudahan
aku dapat membawanya pulang”
Perempuan itu
berusaha berjalan semakin cepat. Tetapi, ketuaannya tidak memungkinkannya lagi.
Sekali-sekali terasa kakinya menjadi pedih terantuk pada kerikil-kerikil yang
tajam. Namun ia berjalan terus. Meskipun seperti Arya Teja, ia menyesal bahwa
sesuatu telah terjadi sebelum perkawinan Rara Wulan itu dengan suaminya.
Tetapi, ia tidak dapat membiarkan perempuan itu mengambil keputusan yang
mengerikan.
Tetapi,
langkah perempuan itu kemudian menjadi ragu-ragu, “Kemana aku harus
mencarinya?”
Meskipun
demikian, perempuan tua itu sama sekali tidak ingin mengurungkan niatnya.
Diikutinya saja langkah kakinya, menyusnr jalan pedukuhan yang samar-samar,
kemudian masuk ke dalam bulak yang luar. Di kejauhan tampak bayangan padesan
yang kehitam-hitaman dan agak jauh di belakang, pegunungan yang membujur diam
seperti seorang raksasa yang sedang tidur dengan nyenyaknya. Tiba-tiba
perempuan tua itu teringat kepada janji Arya Teja dengan Paguhan. Mereka akan
bertemu untuk membuat penyelesaian di bawah Pucang Kembar.
“Apakah yang
dapat aku lakukan saat ini?” ia bertanya di dalam hatinya. Samar-samar terbayang
di dalam angan-angannya dua peristiwa yang mengerikan terjadi bersama-sama. Di
bawah Pucang Kembar itu Arya Teja terbaring mati karena dadanya tersobek oleh
senjata, dan di tempat lain diketemukan mayat Rara Wulan yang membunuh dirinya
sendiri. Bulu-bulu tengkuk perempuan tua itu meremang.
“Benar-benar
suatu peristiwa yang mengerikan. Menoreh akan geger karenanya. Arya Teja adalah
orang yang terpandang. Sebentar lagi ia akan mendapat wisuda, menduduki
jabatannya. Tetapi sebelum hal itu terjadi, suami isteri itu telah mati dalam
keadaan yang menyedihkan.”
Bibi Arya Teja
itu terhenti sejenak, ditekankannya telapak tangannya di dadanya. Sekali lagi
diedarkannya pandangan matanya. Yang tampak olehnya adalah bayangan-bayangan
hitam. Bahkan raksasa yang sedang tidur itu menjadi terlampau mengerikan
baginya. Tiba-tiba terbersitlah di dalam kepalanya suatu pikiran untuk pergi ke
Pucang Kembar.
“Aku akan
mengatakan kepada mereka yang sedang berkelahi itu bahwa Rara Wulan telah
pergi. Apa pun tanggapan mereka aku tidak peduli.” Perempuan itu mengusap
peluhnya yang meleleh di keningnya, lalu,
“Mudah-mudah
hal ini akan mencegah perkelahian itu berlangsung terus.”
Agaknya
pikiran itu sedikit memberinya harapan. Karena itu, maka perempuan itu pun mencoba untuk berjalan secepat-cepatnya
menuju ke Pucang Kembar. Tetapi, Pucang Kembar itu tidak terlampau dekat.
Meskipun demikian, ia berjalan juga menuju ke sana, ke tempat dua orang
laki-laki sedang mencoba memperhitungkan harga diri mereka dibumbui oleh sakit
hati dan kecewa, menurut cara yang telah mereka setujui bersama. Dengan hati
yang lemas, maka bibi Arya Teja itu berjalan secepat-cepat dapat dilakukannya.
Ia sama sekali tidak merasakan lagi betapa kakinya menjadi nyeri dan betapa
tulang-tulangnya yang tua itu menjadi terlampau letih. Yang ada di kepalanya
adalah secepat-cepatnya mencapai Pucang Kembar untuk memberitahukan, apa yang
sudah terjadi rumah. Rara Wulan telah hilang.
“Mudah-mudahan
aku belum terlambat. Mudah-mudahan keduanya masih dapat mendengar dan terpengaruh
oleh peristiwa ini.” Perempuan itu mengerutkan keningnya, lalu,
“Kecuali
apabila mereka telah kehilangan kemanusiaan mereka karena dendam dan
kebencian.”
Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam. Bulan
yang terapung di langit perlahan-lahan bergeser menurut garis edarnya. Semakin
lama semakin memanjat hingga sampai ke puncak langit. Angin malam yang dingin
berhembus perlahan-lahan, menggerakkan dedaunan. Namun kadang-kadang bertiup
semakin kencang. Sehingga daun-daun yang kuning berguguran jatuh di atas tanah.
Tetapi sebentar lagi angin itu mereda, namun dinginnya masih saja sampai
menyusup tulang. Bibi Arya Teja yang berjalan, menyusuri jalan persawahan tidak
menghiraukannya. Langkahnya bahkan dipercepatnya sedapat-dapat. Tetapi ketika
di kejauhan terdengar salak anjing liar, orang tua itu mengerutkan keningnya.
Perlahan-lahan ia bergumam,
“Apakah jalan
ke Pucang Kembar harus melampaui gerombolan anjing-anjing liar itu?”
Dada perempuan
tua itu menjadi berdebar-debar. Ia memang takut terhadap anjing-anjing yang
liar itu. Apalagi ia adalah seorang perempuan tua, sedang anak-anak muda pun
selalu mencoba menghindari gerombolan anjing-anjing yang ganas. itu.
“Mudah-mudahan
tidak,” desisnya pula. Dan perempuan itu berjalan terus. Meskipun hatinya
menjadi semakin berdebar-debar karena salak anjing yang saut menyahut di
kejauhan itu. Bahkan semakin lama menjadi semakin dekat.
Perempuan tua
itu pernah mendengar, bahwa seseorang yang telah dianggap hilang, ternyata
dapat diketemukan beberapa hari kemudian. Orang-orang menganggap bahwa orang
itu adalah korban dari anjing-anjing liar yang berkeliaran. Bahkan seseorang
menganggap bahwa lebih baik bertemu dengan harimau loreng di perjalanan dekat
daerah hutan daripada bertemu anjing-anjing liar dalam jumlah yang cukup besar.
Oleh ingatan itu, maka terasa dentang jantung perempuan tua itu menjadi semakin
keras memukul rongga dadanya. Seperti salak anjing yang terdengar semakin keras
pula.
“Pucang Kembar
masih jauh,” gumamnya. Tetapi bibi Arya Teja itu tidak berhenti.
Di bawah
Pucang Kembar Arya Teja dan Paguhan bertempur semakin sengit. Mereka telah
melupakan segala macam perhubungan yang baik di antara keduanya. Mereka sama
sekali sudah tidak dapat lagi mengekang dirinya, sehingga mereka telah sampai
pada puncak ilmu masing-masing. Sepasang senjata Paguhan benar-benar merupakan
pasangan senjata yang mengerikan. Seperti tatit yang menari-nari di udara
senjata itu meloncat-loncat dari segala arah ke segala arah. Seolah-olah
sepasang senjata itu dapat berubah menjadi puluhan pasang yang bergerak
bersama-sama. Kadang-kadang Arya Teja terpaksa meloncat surut beberapa langkah,
apabila gerak sepasang senjata lawannya itu membingungkannya. Ia terpaksa
mengambil jarak untuk dapat melihat gerak lawannya, supaya dapat menyusun perlawanan
yang rapat. Namun setiap kali Paguhan selalu menyindirnya. Dengan tertawa penuh
hinaan ia berkata,
“Ayo Arya
Teja, bukankah kau pernah berjasa bagi Demak sebagai prajurit pilihan? Kenapa
kau hanya mampu berlari-lari tanpa dapat memberikan perlawanan yang berarti?”
Terasa darah
Arya Teja seolah-olah mendidih di dalam jantungnya. Tetapi kemudian
kesadarannya dapat mengekangnya sehingga ia tidak kehilangan nalar. Setiap kali
ia menyadari bahwa lawannya sedang berusaha memancing kemarahannya, maka Arya
Teja segera menemukan ketenangannya kembali.
“Apakah
sebenarnya yang dibangggakan oleh para pemimpin dan Senapati Demak atasmu, he,
Arya Teja?” suara Paguhan terdengar terlampau menyakitkan hati.
Arya Teja
tidak segera menyahut. Dipusatkan perhatiannya kepada tata gerak lawannya.
Meskipun di dalam hatinya ia mengakui bahwa Paguhan telah berhasil meningkatkan
ilmunya, tetapi Arya Teja masih belum merasa bahwa lawannya itu melebihinya.
Menurut penilaiannya, perkelahian itu masih belum dapat menemukan kemungkinan,
siapakah yang akan dapat keluar dari bawah Pucang Kembar ini.
“He” Paguhan
berteriak,
“apakah kau
menjadi ketakutan mendengar suaraku?”
Arya Teja
menggeram. Namun ia masih belum menjawab. Bukan menjadi kebiasaannya, berkelahi
sambil berbicara tanpa ujung dan pangkal sekedar berusaha mempengaruhi perasaan
lawannya. Paguhan yang berusaha untuk membangkitkan kemarahan Arya Teja menjadi
kecewa. Arya Teja seakan-akan sama sekali tidak mendengar kata-katanya.
Meskipun kata-kata hinaan itu beberapa tali diulanginya, namun Arya Teja masih
tetap membisu. Akhirnya Paguhan pun terdiam pula. Ia tidak bernafsu lagi untuk
mencoba memancing kemarahan lawannya. Tetapi perhatiannya kini dimantapkannya
kepada sepasang senjatanya yang mengerikan itu. Benturan-benturan yang dahsyat
telah terjadi antara dua kekuatan yang sukar dicari bandingnya. Bunga api
memercik di udara di sela-sela suara dencing senjata beradu. Semakin lama
menjadi semakin sengit. Ujung-ujung senjata kedua orang yang sedang bertempur
itu menjadi semakin cepat menari-nari. Meskipun demikian mereka masih mendengar
suara anjing liar menggonggong di kejauhan. Telinga mereka yang telah biasa
mendengar suara gonggongan anjing-anjing liar itu sama sekali tidak lagi dapat
dipengaruhinya. Tetapi, meskipun pertempuran itu tidak terhenti, namun kedua
orang yang sedang berkelahi itu mendengar suara gonggongan anjing-anjing liar
itu menjadi semakin ribut. Bahkan kemudian suara itu seolah-olah
melonjak-lonjak.Kedua orang itu sama sekali tidak menaruh perhatian untuk
seterusnya, karena mereka masih terikat di dalam perkelahian. Tetapi dalam
sekilas itu, mereka mengerti bahwa anjing-anjing liar itu telah memperebutkan
mangsa. Mungkin seekor kambing, mungkin seekor kijang yang sering berkeliaran
di gerumbul-gerumbul liar, di pinggir hutan, atau apa pun yang lain. Tetapi anjing-anjing hutan itu
sama sekali bukan persoalan mereka. Yang kini mereka hadapi adalah ujung-ujung
senjata yang setiap kali siap merobek kulit daging mereka. Maka salak anjing
yang sahut menyahut itu sama sekali sudah tidak berpengaruh lagi atas kedua
orang yang sedang berkelahi itu. Mereka bahkan memeras segenap kemampuan mereka
untuk segera memenangkannya.
Ternyata
tangan Arya Teja benar-benar mampu menguasai senjatanya, sehingga seolah-olah
tombak pendek di tangannya itu melonjak-lonjak sendiri tanpa digerakkan. Bahkan
seolah-olah tangan Arya Teja hanya sekedar mengikuti gerak dari senjatanya yang
dahsyat itu, Paguhan mengumpat di dalam hatinya. Peluhnya telah semakin banyak
mengalir di pelipis dan punggungnya. Bahkan seluruh tubuhnya telah basah pula
karenanya. Namun, terasa bahwa perkelahian itu masih jauh dari selesai. Mereka
sama sekali masih belum dapat meyakini apa yang kira-kira akan terjadi atas
diri mereka masing-masing. Dengan sepenuh kemampuan yang ada mereka bertempur
semakin sengit. Sekali-sekali mereka terdorong surut, sekali-sekali salah
seorang dari mereka berhasil mendesak lawannya, tetapi sekejap kemudian keadaan
segera berubah. Rerumputan liar di bawah Pucang Kembar itu telah menjadi
bosah-baseh. Bahkan gerumbul-gerumbul yang terdekat di sekitarnya pun telah
menjadi rata terinjak-injak oleh kaki-kaki mereka yang sedang bertempur itu. Ketika
di kejauhan terdengar bunyi burung hantu menyusur kesuraman cahaya bulan, terdengar
Paguhan berdesis pendek. Dengan serta-merta ia meloncat surut. Terasa dadanya
menjadi pedih. Meskipun hanya segores kecil, namun setitik darah telah meleleh
dari lukanya. Terdengar Paguhan menggeram. Giginya gemeretak dan matanya
menjadi kian membara. Luka itu benar-benar telah membakar seluruh urat nadinya.
Sejenak kemudian terdengar Paguhan berteriak nyaring. Dengan dahsyatnya ia
menyerang lawannya seperti badai yang menghantam tebing. Bergulung-gulung susul
menyusul. Sepasang senjatanya yang mengerikan itu berputar seperti pusaran yang
berusaha melibat lawannya. Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin
seru. Meskipun kulit Paguhan telah tergores oleh ujung senjata, namun
keseimbangan perkelahian itu sama sekali tidak terpengaruh olehnya, bahkan
Paguhan yang sudah terluka itu menjadi semakin garang.
Setapak demi
setapak perkelahian itu memanjat ke puncaknya. Beberapa goresan senjata
berikutnya telah mewarnai tubuh masing-masing. Namun betapapun juga pada
saatnya pasti akan sampai pada suatu penyelesaian. Pertempuran itu pada suatu
saat pasti akan berhenti, apa pun yang akan terjadi. Namun pada saat-saat itu,
tidak seorang pun yang dapat meramalkan, bagaimanakah akhir dari perkelahian
yang dahsyat itu. Perkelahian yang dialasi dengan kemarahan, dendam, kebencian
dan segala macam perasaan bercampur-baur. Begitu dalam mereka dicengkam oleh
nafsu, sehingga mereka tidak sempat memperhatikan bahwa seseorang telah
mendekati mereka. Seorang yang dengan ragu-ragu melangkah perlahan-lahan di
antara gerumbul-gerumbul yang bertebaran di sekitar Pucang Kembar. Perempuan
muda yang matanya masih dibasahi oleh air mata yang mengambang.
Ketika
perempuan itu melihat kedua orang yang sedang bertempur di bawah Pucang Kembar
itu, maka sebuah desir yang tajam telah menggores hatinya. Hampir-hampir ia
tidak mampu lagi berdiri dan apalagi melangkah maju. Dengan gemetar ia
berpegangan pada sebatang pohon perdu. Dadanya serasa berguncang dan jantungnya
berdentangan. Sehingga, justru karena itu, maka perempuan itu untuk sejenak
membeku di tempatnya. Tetapi tiba-tiba perempuan itu mengatupkan bibirnya
rapat-rapat. Seolah-olah ia mendapatkan suatu tenaga yang gaib, yang membuat
tubuhnya menjadi pulih kembali. Sendi-sendinya terasa menjadi kuat dan
tulang-tulangnya serasa mengeras. Perempuan itu berdesah perlahan-lahan. Dan
tiba-tiba ia mengangkat wajahnya, memandangi bulan yang bulat di langit.
“Jadilah
saksi,” desisnya.
Kemudian
dengan langkah yang tetap ia berjalan maju mendekati kedua orang yang sedang
bertempur di bawah Pucang Kembar. Dadanya sama sekali sudah tidak
berdebar-debar lagi, dan jantungnya sudah tidak berdentangan. Bahkan
diangkatnya dadanya tinggi-tinggi sambil berkata kepada dirinya sendiri,
“Di sinilah
senjata-senjata itu harus menghunjam”
Kedatangan perempuan
itu sama sekali tidak diduga-duga oleh kedua laki-laki yang sedang bertempur
itu. Mereka terperanjat ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara
melengking,
“Berhenti!
Berhentilah!”
Suara itu
ternyata benar-benar berpengaruh atas kedua laki-laki itu. Sehingga, tanpa
berjanji mereka telah melepaskan diri dari libatan perkelahian itu.
Hampir
bersaman mereka berpaling dan melihat seorang perempuan berdiri tegak di
samping sebuah gerumbul yang rimbun.
“Rara Wulan,”
hampir bersamaan pula mereka menyebut nama itu.
“Ya,” sahut
Rara Wulan sambil mengangkat dadanya,
“ternyata
kalian benar-benar, berkelahi. Ternyata kalian benar-benar laki-laki jantan.”
Arya Teja dan
Paguhan tidak segera menyahut. Tetapi sikap Rara Wulan telah mengherankan
mereka.
“Tetapi ternyata
kalian tidak berkelahi menuju kepada penyelesaian persoalannya. Aku telah
terlibat dalam persoalan ini tetapi kalian mencoba menyelesaikannya sendiri
tanpa aku.”
Kedua
laki-laki yang masih menggenggam senjata itu sejenak terdiam. Tetapi kemudian
terdengar Arya Teja berdesis,
“Dari mana kau
tahu. bahwa kami akan menempuh cara ini, Wulan.”
“Aku mempunyai
telinga. Dan aku mendengar percakapanmu dengan bibi ketika kau minta diri
kepadanya.”
Dada Arya Teja
berdesir mendengar jawaban Rara Wulan. Bukan saja jawabnya, tetapi juga
sikapnya. Perempuan itu kini seolah-olah menjadi seorang perempuan yang garang.
Perubahan yang telah terjadi pada Rara Wulan sangat berpengaruh pada Arya Teja.
Semula ia melihat seolah-olah perempuan itu seorang yang berhati bidadari putih
dan terlampau bersih. Namun ketika ia dihadapkan pada kenyataan, maka perempuan
itu tiba-tiba telah berubah menjadi iblis betina yang paling memuakkan. Tetapi,
kini perempuan itu tampak betapa garangnya, seperti seekor harimau liar yang
sedang lapar.
Sebelum Arya
Teja dapat berbicara seterusnya, terdengar Paguhan berkata,
“Sebaiknya kau
tidak kemari, Wulan. Biarlah kami menentukan keputusan. Pada saatnya salah
seorang dari kami akan datang memberitahukan kepadamu.”
Terasa
berbagai perasaan menyesak di dada Rara Wulan. Terlalu banyak yang akan
dikatakannya, tetapi justru karena itu, mulutnya seolah-olah tidak dapat
menampungnya. Kata-kata itu seakan-akan berebut dahulu ke luar dan justru telah
menyumbat mulutnya.
Dalam kediaman
itu terdengar di kejauhan suara anjing liar memekik. Kemudian sepi. Yang
mula-mula terdengar adalah kata-kata Arya Teja,
“Pergilah.
Biarlah kami menentukan siapakah yang akan dapat keluar dari tempat ini.”
Mata Rara
Wulan seolah-olah telah menyala. Sahutnya, terbata-bata,
“Lalu apakah
yang akan kau lakukan setelah salah seorang terbunuh di tempat ini? Apakah kau
sangka bahwa persoalan itu akan selesai?” Rara Wulan menggeleng.
“Tidak.
Persoalan yang sebenarnya masih belum selesai.”
“Tetapi
persoalan antara kami berdua telah selesai. Persoalan antara dua orang
laki-laki,” desis Paguhan.
“Bohong.
Persoalan yang terjadi bukan sekedar persoalan dua orang laki-laki. Sejak
semula kau menganggap aku seperti barang yang tidak dapat ikut serta menentukan
sikap. Kau pergunakan kesempatan sebaik-baiknya dalam kekosongan perasaan, pada
saat aku kesepian kau datang dan memberikan kesegaran. Tetapi kau seret aku ke
dalam neraka yang paling jahanam.”
“Jangan
menyalahkan aku, Wulan. Aku juga tidak akan menyalahkan kau. Tetapi, Arya Teja
adalah gambaran dari seorang laki-laki yang hanya memikirkan dirinya sendiri.
Ia sama sekali tidak berpikir tentang seseorang yang telah diikatnya dalam
pembicaraan sebelum menjadi isterinya. Ditinggalkanya perempuan itu dalam
kesepian, tanpa batas.”
Kata Paguhan
terpotong oleh Arya Teja,
“Dan selama
itu, telah didengarnya bisikan iblis ditelinganya yang menjerumuskannya ke
dalam dosa.”
“Huh, kau
tidak ingin bercermin tentang dirimu sendiri. Hubungan kami adalah hubungan
yang wajar, yang terjadi antara seorang laki-laki dan perempuan. Yang paling
gila adalah ikatan yang telah kau pasang tanpa memikirkan, akibat yang dapat
terjadi. Kau sangka bahwa Rara Wulan itu seorang perempuan yang berhati batu?
Tidak Arya. Ia adalah seorang perempuan biasa. Perempuan yang dijalari oleh
nafsu-nafsu manusiawi pada masa-masa remaja. Ia tidak akan dapat membohongi
diri sendiri. Ia telah berbuat dengan jujur sesuai dengan suara hati nuraninya.
Ia tidak dapat menyimpan dorongan-dorongan yang paling peka yang menjalari
darahnya. Dan aku pun telah berbuat
sesuai dengan hasrat yang paling dalam di dalam diriku. Aku bukan seorang yang
suka berpura-pura seperti kau. Aku adalah seorang yang jujur kepada diriku
sendiri seperti Rara Wulan pada saat itu. Tetapi ikatan-ikatan yang kau
belitkan pada dirinya telah membuatnya sengsara seperti yang kau lihat saat
ini. Kau yang hidup dalam suatu dunia yang kau penuhi sendiri dengan berbagai
macam tantangan-tantangan dan ikatan-ikatan yang selalu menyiksa diri. Tetapi
jangan kau seret orang lain besertamu.”
“Paguhan,”
Arya Teja menggeram sambil meremas tangkai tombak pendeknya,
“itukah yang
kau sebut kejujuran kepada diri sendiri? Kau anggap bahwa, setiap nafsu yang
menyala di dalam diri harus mendapat penyaluran tanpa memikirkan akibatnya?
Penyaluran yang tidak mapan sekalipun? Paguhan, kau benar-benar seorang yang
berhati iblis. Kalau setiap manusia menganggap bahwa kejujuran adalah tanpa
pengekangan diri, maka dunia akan dibakar oleh berkobarnya segala macam nafsu
lahiriah. Manusia akan terlempar kembali ke dalam lembah kehidupan yang biadab.
Peradaban manusia, dalam satu segi yang dijiwai oleh sifat-sifat manusia yang
biadab, adalah jauh lebih parah dari pada kehidupan dimasa-masa manusia sama
sekali belum mengenal peradaban. Kejujuran mereka bukan kejujuran yang
pura-pura. Kejujuran sebagai senjata untuk melakukan perbuatan yang pada
jamannya adalah perbuatan yang paling kotor. Kalau perbuatan itu kau anggap,
karena perempuan itu tidak berhati batu, maka anggapan itu adalah senafas
dengan kejujuran yang lamis.”
“Huh,” Paguhan
memotong,
“kau
benar-benar sudah kehabisan nalar. Kau adalah seorang yang tidak melihat getar
di dalam diri seseorang karena kau selalu menindas getar yang serupa yang
tumbuh di dalam dadamu. Supaya kau dianggap sebagai seorang yang bersih,
seorang yang baik, seorang yang tidak bernoda, maka kau telah menumpas semua
gerak naluriah di dalam hatimu. Tetapi, apakah kau dengan demikian berlaku
jujur? Apakah kau benar-benar berbuat demikian itu? Tak seorang pun yang tahu, apa yang telah kau lakukan di
rantau. Tak seorang pun tahu, bahwa kau
benar-benar melakukan seperti keinginanmu, agar setiap orang menganggap kau
demikian.”
“Paguhan,”
berkata Arya Teja,
“aku adalah
seseorang yang menghargai apa yang lelah menjadi keputusan bersama dari
orang-orang tua kita, yang lambat laun telah membentuk peradaban kita sekarang
ini. Keputusan yang tidak tergurat di dalam rontal yang mana pun juga, tetapi
terasa telah menjiwai nafas kehidupan kita. Jangan kau sangka bahwa hal itu
lahir dengan serta-merta. Tetapi kelahirannya pasti didorong oleh pengalaman
yang beribu tahun. Bahwa kita telah membuat dinding batu di sekeliling halaman
rumah kita adalah salah satu bentuk yang serupa seperti kita telah membuat
pagar ayu dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sedumuk batuk senyari
bumi taruhannya senilai keagungan ikatan antara laki-laki dan perempuan.”
Wajah Paguhan
yang tegang menjadi semakin menegang. Nafasnya berdeburan di dalam rongga
dadanya. Sejenak ia terbungkam. Namun sejenak kemudian meledaklah suara
tertawanya, seperti suara iblis dari dalam kubur. Dengan lantang ia berkata di
sela-sela derai suara tertawanya,
“Oh,
tenggelamlah kau dalam ikatan-ikatan yang mencekik tata kehidupan itu. Tetapi
aku tidak mau. Aku ingin bebas seperti burung garuda di langit. Tidak ada
ikatan yang dapat mengikat kebebasanku. Apa pun yang aku kehendaki, hendaknya
terjadi. Hubunganku dengan Rara Wulan adalah salah satu bentuk kebebasan itu.
Aku tidak mau orang lain mencampuri kebebasanku. Aku bertanggung jawab atas
segalanya. Aku akan menghadapi setiap orang yang akan mengganggu gugat bentuk
kebebasan yang aku kehendaki.”
Arya Teja
menggeram mendengar jawaban Paguhan di antara suara tertawanya. Terdengar
suaranya bernada berat,
“Aku tidak
akan mempersoalkan kebebasan yang kau dambakan itu, seperti burung garuda di
angkasa. Aku tidak mempunyai hubungan apa pun dengan kau selain sebagai seorang
teman biasa. Aku tidak akan kehilangan seandainya kau terjerumus dalam jurang
yang paling nista sekalipun. Tetapi kau jangan menyentuh hidupku dalam segala
seginya. Kau jangan menyinggung ujung dari hakku atas pribadiku dan segala
hubungannya.” Arya Teja berhenti sejenak. Terasa dadanya menjadi sesak dan
bahkan seakan hampir meledak. Sejenak kemudian terdengar suaranya dalam nada
yang berat,
“Tetapi
Paguhan, kegilaanmu itu telah melanggar segi-segi kehidupanku. Bahkan yang
paling berharga dalam hidupku. Karena itu, maka aku tidak akan dapat tinggal
diam. Aku tidak akan dapat membiarkan kau dalam kegilaan itu.”
Suara tertawa Paguhan
telah lenyap bersama gemanya, dihanyutkan oleh angin yang bertiup semakin
kencang. Yang terdengar kemudian adalah gemeretak giginya beradu. Tetapi
sebelum ia mengucapkan kata-kata, terdengar suara Rara Wulan melengking tinggi,
“Kalian berdua
telah dicengkam oleh kegilaan kalian masing-masing. Kalian memandang dunia ini
dari sudut kepentingan kalian. Kalian berbicara dalam hubungan ini menurut
pendirian dan kesenangan kalian sendiri. Sedang pendirian kalian tidak akan
dapat bertemu. Paguhan adalah gambaran dari seorang iblis yang paling gila,
yang telah mempergunakan setiap kesempatan untuk menyeret seseorang ke dalam
neraka yang paling dalam, sedang Arya Teja adalah seorang pemimpin yang
memuakkan, yang hidupnya hanya dibayangi oleh gambaran-gambaran yang paling
indah tanpa mengenal kenyataan, tanpa mengenal noda-noda yang melekat pada
setiap hati yang tersimpan di dalam dada ini.” Rara Wulan berhenti sejenak.
Nafasnya serasa berkejaran lewat lubang hidungnya, sedang dadanya menggelombang
semakin cepat. Dengan nafas yang terengah-engah ia berkata,
“Tetapi, yang
paling berdosa dalam persoalan ini adalah aku. Aku yang telah membuat kalian
berdiri berhadapan dalam kegilaan kalian masing-masing. Aku telah menyerahkan
diriku ke dalam tangan iblis yang paling jahat, sementara aku menempatkan
diriku ke dalam keindahan mimpi yang paling mengasyikkan. Tetapi kenyataan
telah melemparkan aku ke keadaanku sekarang yang telah mendorong kalian berdua
untuk menggenggam senjata dan berusaha saling membunuh. Hal itu tidak akan
terjadi apabila aku tidak memulas diriku seperti bidadari, tetapi menyerahkan
diri ke dalam tangan iblis yang paling laknat.” Sekali lagi Rara Wulan
berhenti. Nafasnya terasa menjadi semakin sesak. Wajahnya menjadi merah membara
dan matanya seolah-olah menyalakan api yang berkobar di dalam dadanya. Suaranya
yang gemetar kemudian terdengar lagi,
“Karena itu,
kalian tidak akan dapat menyelesaikannya tanpa aku. Ayo, katakan, apakah yang
akan terjadi seandainya salah seorang dari kalian telah mati? Hubungan apakah
yang ada di antara salah seorang dari kalian yang hidup itu dengan aku? Tidak.
Persoalan itu masih belum selesai. Jalan yang paling singkat dari penyelesaian
itu adalah apabila kalian menghunjamkan senjata kalian bersama-sama di dalam
dadaku ini. Aku akan mati. Dan tidak ada lagi yang dapat kalian pertengkarkan.”
Ketika Rara
Wulan itu terdiam, maka suasana di bawah Pucang Kembar itu telah dicengkam oleh
keheningan. Masing-masing berdiri tegang kaku. Yang terdengar hanyalah suara
angin berdesir di dedaunan. Lamat-lamat suara cengkerik berderik di antara
bunyi rintihan burung kedasih yang ngelangut. Sekali-sekali di kejauhan masih
terdengar gonggong anjing-anjing liar. Tetapi kemudian sunyi. Anjing-anjing
yang telah menjadi kenyang itu agaknya telah kembali ke dalam sarang mereka. Arya
Teja dan Paguhan tersentak ketika mereka mendengar suara Rara Wulan
terbata-bata.
“Ayo, siapakah
yang jantan di antara kalian? Di sinilah terletak sumber dari persoalan ini, di
sini, di dalam dadaku. Hanya dengan melubangi dadakulah maka semua persoalan
akan dapat selesai.”
Kedua
laki-laki itu sama sekali tidak bergerak. Mereka terpaku diam seperti, sepasang
patung dari dua orang jantan yang menggenggam senjata masing-masing.
“Ayo, siapakah
yang paling jantan di antara kalian berdua? He, cepatlah. Kenapa kalian diam
saja? Apakah kalian telah menjadi pengecut yang tidak berani melihat darah? Aku
akan merasa berbahagia apabila kalian berani membunuh aku sekarang. Arya Teja
adalah suamiku, sedang Paguhan adalah laki-laki yang akan menjadi ayah dari
anakku apabila ia kelak lahir. Tetapi bagiku, mati adalah jalan yang
sebaik-baiknya. Hidupku dan hidup anak ini kelak akan selalu menumbuhkan
persoalan yang tidak ada henti-hentinya.”
Tidak
seorang pun yang menyahut. Kedua laki-laki
itu terpukau dalam kediaman. Samar-samar dalam cahaya bulan mereka melihat Rara
Wulan seperti seekor harimau betina yang paling liar. Rambutnya terurai lepas
di punggungnya bergetar karena sentuhan angin padang yang kering. Tanah
berumput yang terbentang di bawah Pucang kembali itu menjadi sepi, sesepi tanah
pekuburan. Mereka yang berdiri tegak di bawahnya, seakan-akan telah membeku
seperti pokok-pokok pohon semboja. Sejenak mereka dicengkam oleh kediaman yang
tegang. Yang pertama-tama menyobek sepinya malam adalah suara Rara Wulan.
“Kenapa kalian
diam saja mematung, he? Ayo, siapa yang paling jantan lakukanlah lebih dahulu.
Menghunjamkan senjata-senjata kalian itu di dadaku. Dada yang dipenuhi oleh
nafsu iblis yang paling jahat, yang tidak pantas lagi bersentuhan dengan
orang-orang yang merasa dirinya beradab. Meskipun peradaban itu telah
menyeretku dalam keadaan yang paling parah, tetapi aku akan tetap
menghormatinya. Terkutuklah apa yang telah terjadi, terkutuklah kau Paguhan
yang ingin membebaskan dirinya seperti burung garuda di langit, tanpa
batas-batas peradaban, yang dapat menerkam setiap anak kambing yang tersesat di
padang penggembalaan.”
Sekali lagi
kebekuan mencengkam suasana. Yang terdengar adalah suara nafas mereka yang
memburu di lubang-lubang hidung mereka. Kedua Laki-laki itu hampir tidak
bergerak sama sekali. Mereka terpaku, dan seolah-olah telah membeku.
“Ayo
cepatlah!” mereka mendengar lagi Rara Wulan berteriak semakin keras.
“Ayo, siapa
yang lebih jantan di antara kalian?”
Kini, Rara
Wulan melangkah maju. Tubuhnya gemetar dan wajahnya tengadah. Tetapi, wajah itu
seakan-akan sudah bukan wajah Rara Wulan lagi yang mereka kenal sehari-hari.
Wajah itu adalah wajah yang paling mengerikan, seperti wajah iblis yang haus
menghisap darah, seperti wajah wewe yang merindukan bayi, tetapi juga seperti
wajah mayat yang paling putus-asa dijerat oleh kematian yang paling mengerikan.
“Ayo,”
terdengar suaranya benar-benar seperti suara hantu,
“senjata
siapakah yang lebih tajam? Inilah dada yang menyimpan hati yang hitam, sehitam
arang. Dan inilah dada yang menyimpan hati yang dibakar oleh nafsu sepanas
bara. Dan inilah hati yang sedang berputus asa dicengkam oleh penyesalan dan
putus asa. Karena itu, kalau kalian jantan, hunjamkanlah senjata itu ke dalam
dada ini.”
Selangkah demi
selangkah Rara Wulan maju. Samar-samar dalam bayangan sinar bulan yang penuh,
dalam desau angin malam dalam belaian suara burung kedasih yang ngelangut.
“Kenapa kalian
diam saja? Apakah kalian telah mati membeku lebih dahulu daripada aku.”
Rara Wulan
menjadi semakin dekat. Beberapa langkah dari kedua laki-laki itu Rara Wulan
berhenti. Bayangan rambutnya yang hitam, yang terurai dengan kusutnya, membuat
wajahnya menjadi semakin mengerikan.
“Paguhan,
katanya kau menggenggam sepasang senjata kebanggaan. Ayo, tusukkanlah senjata
itu bersama-sama di sini,” Rara Wulan menunjuk dadanya. Selangkah ia maju
mendekati Paguhan. Tetapi tanpa sesadarnya Paguhan melangkah surut. Ketika Rara
Wulan maju lagi, maka Paguhan pun sekali
lagi melangkah surut.
“Apakah kau
akan lari, Paguhan?”
Paguhan tidak
menjawab. Tetapi wajahnya menjadi semakin tegang daripada ia harus berhadapan
dengan Arya Teja.
“Oh, kiranya
kau seorang pengecut yang paling licik di dunia. Kau telah menodai aku dengan
seribu satu macam alasan, meskipun aku tidak ingkar, meskipun aku mengakui
sambil menengadahkan dada, bahwa itu adalah salahku, tetapi sekarang kau tidak
berani membuat penyelesaian yang paling baik. Membelah dadaku.”
Paguhan tidak
menjawab, tetapi tubuhnya tiba-tiba menjadi gemetar. Sepanjang hidupnya ia
tidak pernah merasakan sentuhan yang paling mengerikan seperti yang dihadapinya
kini. Karena Paguhan selalu menghindar, maka tiba-tiba Rara Wulan berpaling
kepada Arya Teja. Arya Teja masih berdiri tegak di tempatnya dengan tombak
pendek tergenggam di tangannya. Belum lagi Rara Wulan berbuat sesuatu, maka
tatapan matanya telah mencengkam dada Arya Teja. Darahnya seolah berhenti
mengalir. Apalagi ketika selangkah Rara Wulan maju mendekatinya.
“Kau Arya
Teja. Barangkali kau lebih jantan dari Paguhan. Kau pemimpi yang dimabukkan
oleh khayalan tentang kejernihan wajah bidadari di dalam surga. Bangunlah.
Bangunlah dari mimpi yang indah tetapi memuakkan itu. Bukankah kau telah
bertekad untuk membunuh aku? Nah, sekarang, lakukanlah. Aku akan berterima
kasih kepadamu. Ternyata kau telah menang dalam perang tanding melawan Paguhan,
meskipun kau tidak perlu membunuhnya, karena ternyata kau telah berani
melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh Paguhan.”
Seperti
Paguhan, Arya Teja justru menjadi gemetar. Ketika Rara Wulan setapak maju,
ia pun surut selangkah.
“He, apakah
kau juga seorang pengecut seperti Paguhan?”
Tidak ada
jawaban. Tetapi seperti dicengkam oleh pengaruh yang tidak dimengertinya Arya
Teja berusaha untuk menjauhi Rara Wulan yang mendekatinya.
“Oh, ternyata
kalian adalah pengecut. Pengecut yang paling licik. Yang hanya berani
mengagungkan kejantanan dalam persoalan yang sama sekali tidak berarti. Tetapi
pada hakekatnya kalian adalah pengecut.” Rara Wulan berhenti sejenak. Nafasnya
menjadi semakin memburu. Terputus-putus suaranya yang melengking tinggi,
“Ayo, siapa
yang berani membunuh aku?” Lalu,
“Baiklah.
Baiklah, apabila kalian tidak berani melakukannya. Sekarang, Arya Teja, atau
kau Paguhan, marilah, berikanlah senjata-senjatamu. Biarlah aku sendiri yang
melakukannya. Marilah,” suara Rara Wulan menurun, tetapi justru semakin
mengerikan, seperti suara dari balik batas maut, dari seorang iblis betina yang
merindukan anaknya.
“Marilah,
anak-anak. Marilah, berikanlah senjata itu. Paguhan atau kau Arya Teja. Marilah
anak-anak manis, aku pinjam dolananmu.”
Paguhan dan
Arya Teja adalah dua orang lelaki jantan, yang tidak pernah merasa gentar
menghadapi setiap keadaan. Senjata di tangan mereka adalah pertanda bahwa mereka
telah siap menghadapi apa pun juga
dengan akibat yang Betapapun parahnya. Saat itu, di bawah Pucang Kembar,
mereka pun telah siap menghadapi
pertarungan yang menentukan. Mati atau mematikan. Tetapi tiba-tiba kini dada
mereka telah digoncangkan oleh kengerian yang luar biasa. Belum pernah terjadi,
bahwa dua orang laki-laki seperti Paguhan dan Arya Teja, menjadi gemetar karena
perasaan yang seaneh saat itu. Belum pernah terjadi bahwa hampir setiap bulu
kedua laki-laki itu meremang. Namun ternyata ketika mereka melihat Rara Wulan
dalam keadaannya. Hampir-hampir mereka tidak dapat menahan diri mereka, untuk
meninggalkan tempat itu. Bahkan kalau mungkin lari secepat-cepatnya. Tetapi,
kejantanan mereka ternyata telah menahan mereka dalam debar yang semakin berdentangan.
Di antara desau angin malam masih terdengar suara Rara Wulan,
“Marilah,
marilah anak-anak manis. Berikan dolananmu.”
Paguhan dan
Arya Teja itu setiap kali melangkah surut di luar kesadaran mereka. Yang tampak
di mata mereka adalah hantu betina yang mengerikan, yang seakan-akan ingin
menghisap darah mereka dari ubun-ubun. Paguhan dan Arya Teja hampir tidak tahan
lagi ketika tiba-tiba mereka mendengar Rara Wulan itu tertawa. Tertawa
mengerikan sekali. Suaranya melengking menyusur tebing pegunungan, memantul
kembali menggelombang, seperti tanah yang terbentang di bawah Pucang Kembar itu
telah dikepung oleh ribuan hantu betina yang tertawa bersama-sama. Tetapi,
ketika suara tertawa itu telah menurun, maka sekali lagi mereka dikejutkan oleh
sebuah bayangan yang tertatih-tatih mendekati mereka itu. Sebelum mereka
menyadari siapakah yang datang kemudian, terdengarlah orang itu berkata dalam
nada yang terlampau dalam,
“Wulan, Rara
Wulan.”
Rara Wulan
yang sedang dikuasai oleh kegelapan hati itu masih dapat mendengar suara itu.
Tiba-tiba sisa-sisa suara tertawanya terputus, dan lenyap ditelan oleh angin
malam. Ketika perempuan itu berpaling, maka dilihatnya seseorang datang
kepadanya perlahan-lahan.
“Rara Wulan,
kenapa kau? Aku mencarimu, anakku.”
Rara Wulan
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba kepalanya terasa pening dan matanya
berkunang-kunang. Tetapi, ia masih mendengar orang yang datang itu berkata,
“Eling,
Ngger.” Lalu dengan lembutnya orang itu berkata sambil mengembangkan kedua
tangannya,
“Marilah,
anakku. Marilah. Aku telah bersusah payah mencarimu. Ternyata kau ada di sini,
di antara dua ekor serigala yang sedang berkelahi memperebutkan kejantanan.
Marilah, anakku.”
Sejenak Rara
Wulan, mematung. Kepalanya terasa semakin pening, dan pandangan matanya menjadi
semakin kabur. Hampir di luar sadarnya tiba-tiba ia memekik sambil berlari ke
arah orang yang datang sambil mengembangkan tangannya itu,
“Bibi, Bibi, o
……”
Dengan serta
merta Rara Wulan menjatuhkan dirinya dalam pelukan perempuan yang baru datang
itu. Bibi Arya Teja, yang kemudian dengan lembutnya membelai rambut Rara Wulan
yang kusut terurai sambil berbisik lirih,
“Kenapa kau,
anakku?”
Yang terdengar
kemudian adalah suara tangis Rara Wulan yang meledak. Namun, sesaat kemudian
suara itu menurun, dan akhirnya diam sama sekali. Perempuan tua itu hampir
terjatuh menahan tubuh Rara Wulan yang menjadi pingsan. Perlahan-lahan tubuh
itu diletakkannya di atas tanah yang basah oleh embun. Kini perempuan tua
itulah yang berdiri tegak di sisi tubuh Rara Wulan. Perempuan itu memandangi
Paguhan dan Arya Teja berganti-ganti. Perasaan yang aneh masih saja merayap di
hati kedua laki jantan itu. Mereka terpukau melihat apa yang baru saja terjadi,
sehingga seakan-akan mereka tidak tahu, tanggapan apakah yang telah terjadi di
dalam diri masing-masing. Tetapi, setelah Rara Wulan terbaring diam, dan kini
yang tegak di hadapan mereka adakah perempuan tua itu, namun kengerian masih
saja tergores di dalam dada mereka.
“Nah,”
terdengar suara perempuan itu,
“lihat. Inikah
penyelesaian yang kalian kehendaki?” Kedua laki-laki itu terbungkam.
“Kini, kalian
melihat tubuh Rara Wulan yang pingsan setelah sekian lama ia menahan gejolak
perasaannya. Ia tidak kuat melawan gelora itu di dalam dirinya, sehingga ia
menjadi gelap hati dan tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Perempuan itu
berhenti sejenak. Lalu,
“Seandainya,
ya, seandainya perempuan ini bangun, dan yang ditemuinya adalah peristiwa yang
menggoncang perasaannya, maka aku pasti, aku yakin, bahwa Rara Wulan akan menjadi
gila. Gila. Sebenarnya gila. Apakah kalian tidak percaya? Bagi perempuan muda
ini memang lebih baik mati, daripada menjadi gila. Dan sebab daripada itu
adalah kalian berdua. Paguhan yang telah mempergunakan kesempatan selagi gadis
itu dahulu kesepian, dan Arya Teja yang menjadi gila karenanya.”
Kedua
laki-laki yang menggenggam senjata di tangannya itu masih terbungkam.
“Nah, apakah
kalian masih ingin melihat darah mengalir di bawah Pucang Kembar? Kalau
demikian, maka aku menganjurkan, sebelum kalian berkelahi, maka biarlah salah
seorang dari kalian memenuhi permintaan Rara Wulan ini. Bunuhlah selagi ia
masih dalam keadaannya. Bunuhlah perempuan ini, sehingga kalian akan menjadi
lebih puas. Malam ini, pada saat purnama naik, di bawah Pucang Kembar ini ada
tiga jiwa yang melayang. Jiwa perempuan ini, anak yang masih di dalam
kandungannya dan salah seorang dari kalian berdua yang ingin disebut dirinya
pahlawan.”
Ketika
perempuan itu terdiam sejenak, maka kesepian yang tajam telah mencengkam
suasana. Hanya desir angin yang terdengar di antara derik suara bilalang.
Namun di dalam
kesepian, ternyata dada kedua laki-laki yang di tangannya masih tergenggam
senjata itu, telah bergolak dengan dahsyatnya. Kata-kata bibi Arya Teja
langsung menusuk ke dalam jantung, melampaui tajamnya senjata yang ada di
tangan masing-masing. Betapa keras hati mereka, betapa tumpul perasaan-perasaan
mereka, namun apa yang mereka lihat, ternyata telah membuat hati mereka menjadi
cair. Nafsu mereka untuk saling membunuh perlahan-lahan menipis, seperti embun
di pagi hari. Dalam pada itu terdengar suara perempuan tua itu,
“Bagaimana?
Kenapa kalian diam saja? Siapakah yang lebih jantan dan berani melakukannya?
Aku ingin melihat, dan biarlah aku menjadi saksi. Bahkan di bawah Pucang Kembar
ini, seorang laki-laki telah berani berbuat dengan penuh kejantanan dan
kepahlawanan, membunuh seorang perempuan yang sedang mengandung dan dalam
keadaan pingsan. Ayo, siapakah yang jantan di antara kalian?”
Tidak
seorang pun yang bergerak, bahkan ujung
jari kaki pun tidak.
“Siapa?”
teriak perempuan itu.
Kedua
laki-laki itu masih membeku di tempatnya. Bibir Arya Teja sejenak berdiam diri.
Nafasnya menjadi makin cepat mengalir, dan dadanya yang tipis menjadi
bergelombang dengan cepatnya. Tetapi kedua laki-laki itu masih tetap tegak di
tempatnya. Keheningan yang tegang telah menjelajahi tanah yang terbentang di
seputar Pucang Kembar itu. Di kejauhan masih terdengar suara binatang malam
berderik-derik, dan kadang-kadang suara burung kedasih yang sayup-sayup, seperti
senandung yang sedih.
“Apakah kalian
tidak dapat berbuat sesuatu?” bertanya bibi Arya Teja itu.
“Apakah kalian
akan berdiri saja di tempat itu semalam suntuk?”
Pertanyaan itu
telah menggerakkan hati kedua laki-laki itu. Mereka menyadari, apa yang sedang
mereka hadapi. Tetapi mereka tidak segera mengerti, apakah yang sebaiknya
mereka kerjakan.
“Baiklah,
kalau kalian tidak lagi ingin membunuh. Bukankah begitu?” pertanyaan itu
terlontar dari mulut perempuan tua itu. “Ternyata kalian tidak melakukannya.”
Tidak ada
jawaban
“Bagaimana,
he?”
Kedua
laki-laki itu menjadi bingung.
“Jawablah,
jawablah pertanyaanku,” sejenak kemudian perempuan itu berkata pula,
“kalau kalian
tidak dapat menjawab dengan perkataan, jawablah dengan perbuatan. Kalau kalian
masih ingin membunuh, segera lakukanlah. Kalau salah seorang tidak segera
melakukan, maka aku anggap, bahwa kalian telah merubah keputusan bahwa kalian
telah merubah pendirian kalian untuk meneteskan darah di bawah Pucang Kembar
ini. Sebagai laki-laki jantan keputusan bersama harus dihargai seperti kalian
menghargai jiwa sendiri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar