Jilid 057 Halaman 1


KETIGA orang lawannya yang mengetahui bahwa tenaga kedua pengawas itu sudah semakin susut, justru berusaha untuk segera dapat membinasakan mereka. Mereka menjadi semakin garang dan serangannya pun menjadi semakin cepat. Dalam pada itu, seorang pengawas yang memisahkan diri masih juga berpacu diatas punggung kudanya. Ia mencoba untuk meninggalkan pengejarnya. Menurut perhitungannya, apabila para pengejarnya mengetahui bahwa buruannya berkurang seorang, sebagian dari mereka pasti akan kembali dan mencarinya. Seperti yang dikatakan oleh pengejarnya, bahwa pengawas itu memang menuju ke daerah rawa-rawa. Tetapi pengawas itu telah mengenal daerah itu dengan. baik pula, karena ia memang pernah mengelilinginya. Ia pernah meronda mengitari hutan dan belukar, bahkan sebelum mereka mulai membuka hutan. Ia pernah mengawal Raden Sutawijaya mencari tempat yang paling baik untuk dijadikan padukuhan dan tanah persawahan. Dan kini ia melewati daerah itu lagi. Justru di daerah yang berawa-rawa itulah ia ingin menghilangkan jejaknya. Diatas tanah yang basah dan digenangi air setinggi mata kaki, pengawal itu ingin menghilangkan jejak kaki kudanya. Tetapi lebih daripada itu, ia tahu pasti, bahwa di ujung rawa-rawa ini pun ada pula sebuah gardu peronda.
“Mudah-mudahan gardu itu tidak kosong seperti gardu di ujung padang ilalang itu.” desisnya.
Karena itu, maka ia mencoba berpacu lebih cepat lagi. Setelah melalui daerah yang berair beberapa lama, maka iapun segera berbelok dan mencari daerah yang sama sekali tidak berlumpur. Kalau ia sampai ke daerah yang lebih gembur lagi di daerah rawa-rawa itu, maka ia justru akan menemui kesulitan. Kaki-kaki kudanya akan dapat terperosok kedalam lumpur dan tidak akan dapat berlari cepat lagi, bahkan mungkin ia akan terjerumus kedalam daerah yang seakan-akan dapat menghisapnya masuk terbenam kedalam lumpur.
Tetapi ternyata usahanya itu sia-sia. Para pengejarnya masih dapat menemukan jejaknya didalam air yang sangat dangkal.
“Gila” desis salah scorang pengejamya,
“apakah ia akan membunuh diri dengan membenamkan dirinya ke dalam rawa-rawa?”
“Mungkin sekali ia sudah menjadi berputus asa.” Keduanya tersenyum. Senyumnya benar-benar mengerikan sekali.
Aku mempunyai seutas tali. Kita benar-benar akan mengikat sebuah batu dikakinya.”
Yang lain tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja ia berkata.
“Ia mulai menjauhi rawa-rawa. Kalau begitu ia mencoba untuk melenyapkan jejaknya. Kasihan. Kita masih akan tetap mengikutinya. Sebentar lagi kita akan menemukannya.”

Keduanyapun kemudian memacu kudanya pula. Semakin cepat. Pengawas yang bermata tajam itupun masih juga tetap berpacu. Ia mengharapkan, bahwa ia akan dapat menunaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Ternyata bahwa usaha yang dilakukannya itu kini tidak sia-sia. Ketika ia melampaui tanah yang basah, ia segera sampai kepadang rumput yang sempit. Dihadapannya adalah sebuah hutan rindang disisi sebelah Timur. Dipinggir hutan itu ada pula sebuah gardu pengawas. Tetapi menilik tempat yang menjadi sepi itu, agaknya seperti diujung lorong yang dilampauinya, gardu itu kosong pula. Gardu itu sudah tidak ditunggui seorang pengawaspun. Namun demikian ia masih tidak menjadi gelisah. Ia masih belum melihat seorangpun yang mengejar di belakangnya. Tetapi hatinya tiba-tiba melonjak ketika tiba-tiba saja ia melihat seseorang berdiri di depan gardu, sedang gardu itu sudah sangat dekat. Dengan demikian maka iapun segera menarik kendali kudanya sehingga kuda itu berdiri sambil meringkik keras-keras.
“Siapa kau?” sapa orang yang berdiri di depan gardu itu.
Pengawas itu tidak segera menyahut. Dicobanya untuk menguasai kudanya. Ketika kuda itu sudah tenang, barulah ia berkata,
“Apakah kalian tidak mengenal aku?”
Seorang yang masih berada didalam gardu segera meloncat keluar. Hampir berteriak ia berkata,
“Kau? Bukankah kau bertugas mengawasi daerah yang sedang dibuka itu?”
“Ya. Aku akan segera menghadap Raden Sutawijaya atau siapa pun pemimpin tertinggi Tanah Mataram.”
“Kenapa ?”
“Ada sesuatu yang akan aku sampaikan”
“Kenapa kau menempuh jalan ini? Bukankah ada jalan yang lebih dekat dan lebih baik?”
Pengawas itu menarik natas dalam-dalam untuk menenangkan debar jantungnya. Kemudian diceriterakannya apa yang telah terjadi atasnya.
“Jadi bagaimana dengan Wanakerti?” Pengawas itu menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak tahu. Bahkan, aku kira, ada satu dua orang yang akan, “mencoba mengikuti jejakku.
Para pengawas digardu itupun saling berpandangan sejenak.
“Berapa orang kalian di sini?”
“Kami semua sepuluh orang disini. Tetapi yang tiga orang sedang menghadap ke Mataram. Setiap hari tiga diantara kami menghubungkan gardu ini dengan gardu induk”
Pengawas itu berpikir sejenak. Kemudian katanya.
“Aku menyerahkan persoalan ini kepada kalian. Apakah aku harus menunggu orang-orang yang mengejarku disini atau aku harus segera melanjutkan perjalanan.”
“Teruskan! Serahkan orang-orang yang mengejarmu itu Kepadaku apabila ia sampai ke tempat ini pula.”
“Baiklah. Aku akan terus.”
“Jangan pergi sendiri. Dua orang akan mengawanimu. Kami masih cukup banyak orang di sini.”

Maka pengawas yang bermata tajam itupun segera melanjutkan perjalanannya menghadap para pemimpin Tanah Mataram. Dua orang dari gardu yang baru saja dilaluinya itupun mengawaninya.
“Kenapa begitu banyak orang di gardu itu?” bertanya pengawas bermata tajam itu kepada kedua kawannya.
“Daerah ini masih merupakan daerah yang sedang direncanakan untuk dibuka. Daerah ini masih sangat sepi, sehingga akan menjemukan sekali apabila kami bertugas, disini hanya berdua atau paling banyak lima orang. Semakin banyak kawan, semakin hilanglah kejemuan disini.” jawab salah seorang.
“Apakah hanya itu alasannya?”
“Ya.”
“Tidak ada alasan lain?”
“Tidak. Mungkin tidak sampai sepuluh orang yang bertugas bersamamu. Tetapi kau mempunyai banyak sekali kawan, sehingga daerahmu tidak lagi merupakan daerah yang sangat menjemukan, meskipun kini kau menghadapi persoalan lain.”
“Apakah didaerah ini kalian tidak memperhitungkan hantu misalnya?”
Keduanya sama sekali tidak menyahut. Sejenak mereka hanya saling berpandangan saja, sementara kaki kuda mereka berderap semakin cepat. Pengawas yang bermata tajam itu pum sama sekali tidak bertanya lagi. Dicambuknya kudanya supaya menjadi semakin cepat berlari. Dalam pada itu, para pengawas yang masih tinggal digardu menunggu orang-orang yang mengejar pengawas bermata tajam itu. Tetapi untuk beberapa saat mereka tidak melihat seorangpun lewat sehingga mereka justru menjadi gelisah.
“Apakah mereka mengetahui bahwa disini ada gardu peronda?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Mungkin sekali.” jawab yang lain.
“Berapa orang menurut perhitunganmu, seandainya benar-benar ada orang yang mengejarnya.”
“Paling banyak tiga orang. Bukankah mereka hanya berlima atau enam? Sedang Wanakerti masih berpacu bersama seorang kawan yaag lain.”
“Ya, agaknya demikianlah perbandingan menurut perhitungan kita.” orang itu berhenti sejenak, lalu,
“aku ingin menyongsong mereka. Marilah, kita bertiga. yang dua orang tinggal digardu. Kita akan membawa alat yang dapat memberikan isyarat apabila salah satu pinak diantara kita mengalami kesulitan. Biarlah kentongan yang besar itu menjadi alat untuk memberikan isyarat diantara kita akan membawa kentongan yang kecil.”
Beberapa orang saling berpandangan. Namun kemudian seorang kawannya berkata, “Itu akan lebih baik Kita akan segera mendapatkan kepastian.”

Demikianlah kemudian tiga orang pengawas telah siap diatas punggung kuda dengan senjata masing-masing. Mereka akan menyongsong orang-orang yang diduga sedang mengejar pengawas yang bermata tajam itu, sedang dua orang yang lain tetap menunggui gardu pengawas itu.
“Tetapi kalian tidak boleh kehilangan perhitungan” pesan pemimpin pengawas digardu itu,
“kalian tidak boleh terpancing sehingga kalian meninggalkan tempat ini terlampau jauh. Kalau kami tidak dapat mendengar isyarat yang kalian berikan, maka kami tidak akan berbuat apa-apa, seandainya kalian memerlukan.”
“Baiklah. Kami akan segera kemball apabila kami tidak menjumpainya.”
Demikianlah, maka ketiga orang itu pun menyelusur jejak kuda pengawas yang bermata tajam itu, Justru kearah yang berlawanan. Mereka mengharap bahwa mereka akan segera dapat menemui orang-orang yang mengejar pengawas itu.
Tetapi setelah sejenak mereka menyelusuri jejak itu mereka sama sekali tidak menjumpai apapun. Di padang rumput yang sempit dihadapan merekapun, sama sekali tidak mereka lihat orang-orang berkuda.
“Tidak ada seorang pun yang mengejarnya” desis salah seorang dari mereka.
Yang lain mengangguk-angukkan kepalanya. Namun ia berkata,
“Kita maju beberapa langkah lagi.”
Ketiga pengawas itupun maju lagi beberapa puluh langkah sambil mengamat-amati jejak kuda diatas rerumputan. Tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mereka melihat beberapa buah jejak yang lain dari jejak kaki kuda pengawas bermata tajam itu. Dengan serta-merta salah seorang dari mereka meloncat turun sambil berkata,
“Jejak ini berbelok.”
Yang lain mengerutkan keningnya. Salah seorang dari keduanya berkata,
“Kalau begitu pengawas itu terjebak. Pengejarnya menyadari bahwa di hadapan ini ada gardu. Mereka nasti melingkar dan memotong jalan.”
“Cepat, kita kembali. Mungkin mereka mengalami kesulitan.”
“Tetapi, bekas ini hanya bekas dua ekor kuda.”
“Meskipun demiklan kita tidak tahu, betapa tinggi kemampuan mereka. Apakah ketiga. orang pengawas itu akan mampu melawan mereka berdua.”
“Setidaknya mereka akan mampu bertahan. Demikianlah maka ketiga pengawas itupun segera berpacu meninggalkan tempat itu. Sampai didepan gardu pengawas mereka berhenti sejenak untuk menyampaikan pengamatan mereka.
“Baiklah, lihatlah apakah dugaan kalian itu benar. Ketiganya pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka, menyusul para pengawas yang telah mendahului.

Dalam pada itu, ketiga pengawas yang lebih dahulu sama sekali tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja mereka telah diberhentikan oleh dua orarig yang berwajah garang, bersenjata telanjang dan bermata liar.
“Nah, apakah kalian menyangka, aku terlampau bodoh mengejarmu lewat gardu peronda itu? berkata salah seorang dari mereka.
Ternyata kehadiran kedua orang yang tidak disangka-sangka itu telah mengejutkan ketiga pengawas yang sedang berpacu untuk menghadap para pemimpin Tanah Mataram. Karena itu, merekapun dengan serta-merta telah menarik kekang kuda mereka.
“Kalian tidak akan dapat lari” berkata salah seorang dari kedua orang yang mencegat itu” meskipun kini kalian bertiga, tetapi kalian tidak akan dapat melawan kami berdua.”
Para pengawas itu terdiam sejenak. Namun kemudian salah seorang dan mereka berkata,
“Kalian belum mengenal kami. Apakah kalian yakin akan hal itu?”
“Kami tahu pasti, sampai berapa jauh kemampuan para pengawas. Seorang dari kami akan cukup kuat untuk melawan kalian bertiga. Apalagi kami berdua.”
“Darimana kalian mendapat nilai imbangan itu?”
“Kami meyakininya.”
Kalau begitu, sebaiknya memang kita buktikan.”
Kedua orang yang mengejar pengawas bermata tajam itu mengerutkan keningnya. Namun keduanya pun kemudian tertawa. Salah seorang berkata,
“Kalian memang keras kepala.”
Para pengawas itu tidak menjawab. Tetapi mereka telah mempersiapkan diri untuk menghadapi setiap kemungkinan. Sejenak kemudian maka kedua belah pihak pun telah menjadi semakin tegang. Kuda-kuda mereka selangkah demi selangkah maju saling mendekati. Dalam kesempatan itu salah seorang pengawas dari gardu yang baru saja dilewati itu berkata kepada kawannya yang bermata tajam, “Kalau kita sudah mulai bertempur, kau harus segera meneruskan perjalananmu. Jaraknya sudah tidak begitu jauh lagi.”
“Tetapi bagaimana dengan kalian di sini?”
“Serahkan kepada kami. Jumlah merekapun hanya dua orang dan kami juga berdua.”
“Tetapi begaimana dengan kemampuan mereka.”
“Jangan hiraukan. Itu adalah cara yang lama untuk menurunkan keberanian lawan. Kami sudah biasa menghadani cara-cara yang licik itu”
Pengawas bermata tajam itu tidak segera menjawab, dipandangnya kedua lawannya yang sudah menjadi semakin dekat. Menilik wajah mereka yang kasar dan bengis, maka mereka pasti dapat berbuat apa saja untuk mengalahkan, lawannya. meskipun dengan curang jika perlu.
“Jangan pikirkan kami” desis kawannya,
“berita yang kau bawa harus segera sampai. Ditambah lagi dengan pengejaran yang mereka lakukan ini”
Pengawas bermata tajam itu tidak sempat menjawab. Kedua kawannya tiba-tiba sudah menyambar dengan pedang yang berputar seperti baling-baling. Tetapi para pengawas itupun sudah bersiaga, sehingga mereka masih sempat menghindari serangan yang pertama itu. Dengan demikian maka perkelahian diantara merekapun segera mulai membakar jalan sepi di hutan yang rindang itu. Mereka bertempur berputar-putar di antara pepohonan dan rimbunnya batang-batang perdu. Ternyata kedua orang yang berwajah kasar itu bukan orang yang luar biasa seperti yang mereka katakan. Mereka tidak segera berhenti mengatasi kemampuan ketiga pengawas yang bertempur berpasangan.

Namun sejenak kemudian salah seorang dari para pengawas itupun memberikan isyarat, agar pengawas bermata tajam itu segera meninggalkan perkelahian. Pengawas bermata tajam itu ragu-ragu sejenak. Namun dengan hati yang berat, ia terpaksa meninggalkan medan. Ia sadar bahwa berita yang dibawanya adalah berita yang cukup penting yang harus disampaikan kepada para pemimpin tertinggi di Mataram. Dengan demikian, maka sejenak kemudian ia pun segera meninggalkan arena, dan berpacu menuju ke pusat Tanah Mataram. Kedua pengejarnya terkejut melihat pengawas itu meninggalkan arena. Tetapi mereka tidak dapat mengejarnya, karena dua orang pengawas yang lain, selalu membayanginya, bahkan menyerang mereka dengan garangnya, tanpa memberi kesempatan sama sekali untuk beringsut dari medan.
“Biarlah ia pergi” desis salah seorang pengawas.
“Licik” sahut salah seorang lawannya.
“Siapa yang licik?”
“Yang lari itu.”
“Tidak. Ia ingin memberi kesempatan agar kami bersikap jantan. Kami ingin bertempur seorang melawan seorang.”
“Persetan !” geram salah seorang dari kedua lawannya,
“kalian memang ingin membunuh diri.”
Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak berusaha dengan segenap kemampuannya untuk segera dapat menguasai lawan masing-masing. Namun kemudian ternyata bahwa kedua orang yang mengejar pengawas bermata tajam itu mempunyai kelebihan dari kedua pengawas itu. Mereka adalah orang-orang yang kasar yang tidak merasa terikat oleh peraturan apapun, sehingga mereka dapat berbuat apa saja sesuka hati, asal dapat menguntungkan mereka didalam perkelahian itu. Dengan demikian maka kedua pengawas itu pun akhirnya merasa terdesak. Mereka tidak tahan melawan kekasaran dan kekuatan kedua lawannya. Namun demikian mereka bertempur terus, apapun yang bakal dan mungkin teriadi atas mereka berdua. Dalam pada itu, pengawas bermata tajam itu berpacu terus menuju ke pusat Tanah Mataram. Ia sudah mengorbankan kawan-kawannya untuk menahan pengejar-pengejarnya. Wanakerti dan seorang kawannya terpaksa berusaha memancing lawan mereka, agar ia mendapat kesempatan. Kini kedua pengawas itu pun berbuat serupa. Perkelahian di antara kedua pengawas itu pun semakin lama menjadi semakin berat sebelah. Kedua orang lawannya benar-benar orang yang kasar dan dapat berbuat apa saja, tanpa menghiraukan tata perkelahian yang sewajarnya.

Karena itu, maka kedua pengawas itu pun kemudian hanya sekedar menahan mereka, kadang-kadang mereka menghindar, melingkar-lingkar di antara pepohonan. Tetapi kadang-kadang Mereka menyerang dengan garangnya.
“Sudah aku duga” geram salah seorang dari kedua orang-orang yang tidak dikenal itu,
“para pengawal Tanah Mataram adalah orang-orang yang licik.”
Kedua pengawas itu tidak menjawab. Mereka bertempur terus dengan cara mereka. Yang penting bagi mereka, pengawas bermata tajam itu sampai ke pusat Tanah Mataram. Namun kedua lawannya sama sekali tidak puas dengan perkelahian yang seakan-akan hanya sekedar berkejar-kejaran itu. Mereka pun kemudian menjadi semakin garang. Serangan mereka datang bertubi-tubi seperti badai dimusim ke Sanga. Kedua pengawal itu pun menjadi semakin terdesak. Mereka menjadi semakin kehilangan kesempatan untuk melawan. Bahkan mereka hampir tidak dapat berbuat apa-apa selain menghindar. Tetapi dalam pada itu, salah seorang dari kedua orang yang tidak dikenal itu berkata,
“kalian telah mengganggu usahaku menangkap seorang kawanmu itu. Kalianlah yang akan menjadi gantinya. Kalian akan aku bunuh dengan cara yang pasti tidak akan kalian senangi.”
“Persetan” desis salah seorang dari kedua pengawas itu.
“Kami sudah jemu bertempur dengan cara ini. Kalian harus segera mati, dan kami masih akan mengejar orang yang lari itu.”
“Kita akan berbuat seperti mereka” berkata kawannya,
“aku akan mengejar yang lari itu. Kau sendiri dapat menyelesaikan pengawas-pengawas yang licik ini.”
Kawannya berfikir sejenak. Kemudian ia mengangguk,
“Pikiran yang bagus. Kenapa baru sekarang kau katakan. Cepat, kejarlah orang itu.”
Yang lain segera bersiap untuk mengejar pengawas bermata tajam itu. Namun setiap kali pengawas yang lain telah mengganggunya, menyerang dengan tiba-tiba kemudian menghindar jauh-jauh. Akhirnya orang itu tidak menghiraukannya lagi. Ia harus segera mengejar pengawas bermata tajam itu. Mungkin masih ada kesempatan baginya.
Tanpa menghiraukan serangan-serangan yang datang kemudian, orang itupun segera memacu kudanya. Tetapi seorang dari kedua pengawas itu tidak mau melepaskannya. Ia pun segera mengejarnya pula. Menurut perhitungannya, apabila orang itu berhasil mengeiar pengawas bermata tajam. ia akan dapat membantu melawannya. Sedang seorang kawannya yang ditinggalkannya biarlah mencari kesempatan untuk mempertahankan hidupnya. Tetapi karena pengawas bermata tajam itulah yang membawa pesan bagi para para pemimpin di pusat Tanah Mataram, maka orang itulah yang wajib mendapat perlindungan lebih dahulu.
“Ia akan dapat bertahan atau menyingkir kalau keadaan memaksa” katanya di dalam hati.

Ternyata pengawas yang ditinggalkan seorang diri itupun menyadari keadaannya. Sikap yang diambil oleh kawannya itu dapat dibenarkannya. Karena itu, maka untuk selanjutnya, ia harus menghadapi lawannya, benar-benar seorang melawan seorang.
“Para pengawas pada umumnya memang bodoh” geram lawannya yang seorang itu,
“sekarang aku mendapat kesempatan untuk berbuat sesuka hatlku atasmu. Kau tidak akan dapat bertahan sepenginang lagi. Atau barangkali kau akan menyerah?”
Pengawas yang seorang itu tidak menyahut. Ia sudah bertekad untuk bertempur mati-matian.
“Katakan, cara yang manakah yang paling menarik bagimu untuk mati. Kalau kau menyerah, maka permintaannmu itu akau aku penuhi. Dipancung atau digantung pada cabang pepohonan atau cara yang Iain?”
Pengawas itu sama sekali tidak menjawab. Justru ia telah menyerang semakin garang. Meskipun demikian, kemampuan orang yang tidak dikenal itu memang lebih tinggi daripadanya. Sejenak kemudian maka iapun rnenjadi semakin sulit untuk dapat tetap bertahan. Ketika keadaan hampir tidak dapat dikuasainya lagi, dan selagi pengawas itu sedang mempertimbangkan dua pilihan mati atau menarik diri dari perkelahian dan kembali kegardu, tiba-tiba tiga ekor kuda berderap mendekati tempat itu. Mereka adalah para pengawas yang sedang menyelusuri telapak kaki-kai kuda yang mereka ketemukan melingkari gardu.
“Nah, akhirnya kita ketemukan mereka di sini” berkatalah seorang dari mereka.
“Ya, inilah orang itu” pengawas yang hampir saja kehilangan kesempatan itu berteriak, sedang lawannya menjadi berdebar-debar menghadapi keadaan yang tidak terduga-duga.
“Apakah kalian bertiga?” bertanya pengawas yang sedang bertempur itu.
“Ya.”
“Susullah orang yang lain. Orang yang tidak dikenal itu datang berdua. Yang seorang sedang menyusul pengawas yang membawa pesan itu.”
“Berapa orang?”
“Seorang.”
“Dimana kawanmu.”
“Ia sudah mendahului, mengejar orang itu.”
Ketiga orang itu berpikir sejenak. Lalu,
“Berapa orang kau perlukan kawan di sini untuk menangkap orang ini?”
“Satu orang. Berdua dengan aku. Aku sendiri tidak dapat mengalahkannya, tetapi kalau berdua, kemungkinan untuk menangkapnya menjadi semakin besar.”

Ketiga orang pengawas yang baru datang itu saling berpandangan sejenak. Kemudian salah seorang dari mereka maju mendekati kawannya yang sedang bertempur sambil berkata,
“Aku akan menangkapnya.”
“Baiklah, kami akan mengejar yang seorang lagi.
“Huh” geram orang yang tidak dikenal itu,
“kalian sangka kami seekor kambing yang jinak. Ayo, kalian berempat sekaligus tidak aksn dapat menangkap aku.”
“Jangan hiraukan” sahut yang sedang berkelahi melawannya,
“kejarlah yang lain. Ia hanya memancing agar kalian tetap di sini.”
“Persetan. Kalau kalian ingin membunuh diri, cobalah.”
Kedua pengawas itu tidak menghiraukannya lagi. Mereka segera berpacu menyusul yang seorang lagi, yang sedang mencoba menangkap pengawas yang bermata tajam, yang berusaha untuk menyampaikan pesan kepusat Tanah Mataram. Demikianlah maka dua orang pengawas yang tinggal itu kini bertempur melawan seorang dari kedua orang yang tidak dikenal itu. Ternyata bahwa perhitungan pengawas yang pertama tidak jauh meleset. Mereka berdua dalam pasangan yang baik segera dapat mengatasi keadaan. Dengan demikian maka keduanya pun bertempur lebih mantap lagi. Mereka ingin menangkap orang yang tidak dikenal itu hidup-hidup sebagai bahan untuk mencari latar belakang dari persoalan yang masih gelap itu. Tetapi orang itu pun tidak mudah menyerah. Ia berkelahi dengan garangnya. Kudanya adalah kuda yang cukup lincah. Apalagi penunggangnya adalah penunggang yang benar-benar menguasainya. Demikianlah perkelahian yang terjadi itu semakin lama menjadi semakin seru. Tetapi meskipun kedua pengawal Tanah Mataram itu berhasil mendesak lawannya, namun untuk menangkapnya agaknya terlampau sulit. Bahkan untuk mengalahkannya pun tidak akan segera dapat dilakukan.

Sementara itu, pengawas bermata tajam yang membawa pesan untuk para pemimpin Tanah Mataram itu masih saja berpacu dengan cepatnya. Ia sadar, bahwa jalan yang ditempuh ternyata menyimpan banyak bahaya yang kadang-kadang tidak diduga-duganya. Karena itu, semakin cepat ia sampai, akan semakin baik baginya dan bagi Mataram. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika gerbang pusat Tanah Mataram yang masih bersifat sementara sudah dilihatnya. Justru ia merasa bahwa kudanya menjadi semakin lamban. Beberapa ratus langkah lagi ia akan memasuki gerbang dan dengan demikian kemungkinan bahaya yang akan mengganggunya akan menjadi semakin berkurang. Dipintu gerbang itu pasti terdapat beberapa orang pengawal yang dapat melindunginya apabila ia masih juga dikejar oleh bahaya. Sesekali pengawas yang berpacu itu masih juga berpaling. Dan bahkan tiba-tiba dadanya berdesir ketika dikejauhan ia melihat debu yang mengepul tinggi.
“Masih juga ada yang mengejar aku” desisnya. Dan debu itupun semakin lama menjadi semakin dekat. Namun demikian pengawal itu tidak cemas lagi meskipun ia harus berhadapan dengan siapapun. Sebelum kuda yang berpacu di belakang itu menyusulnya, ia pasti sudah sampai di regol pusat Tanah Mataram.
“Orang itu benar-benar tidak mempergunakan otaknya” gumam pengawas itu kepada diri sendiri,
“semula aku menyangka bahwa mereka adalah orang-orang yang cerdik meskipun licik. Mereka telah melingkari gardu dan memotong jalan. Tetapi kini mereka begitu bernafsu mengejar aku.”
Namun demikian ia menjadi berdebar-debar,
“lalu bagaimana dengan kedua pengawas yang bertempur melawannya? Apakah keduanya tidak berhasil menahan mereka, atau justru mereka telah dapat dikalahkan.”
Dan tiba-tiba saja ia menjadi cemas memikirkan nasib kedua pengawas yang mencoba menahan kedua orang yang mengejarnya itu. Sejenak kemudian maka kudanya pun menjadi semakin dekat dengan regol pusat Tanah Mataram, sedang debu yang mengepul di belakangnya pun menjadi sema dekat pula. Tiba-tiba pengawas itu ingin menunggu. Apalagi setelah yakin bahwa yang mengejarnya hanya seorang saja. Karena itu, beberapa puluh langkah di depan regol ia berhenti. Beberapa ujung senjata telah dilihatnya mencuat dari mulut gardu diregol itu. Bahkan ia sudah melihat seorang penjaga berjalan ke tengah-tengah gerbang.
“Aku akan menunggunya, Aku ingin tahu nasib kedua pengawas itu.”
Sejenak kemudian kuda yang mengejarnya menjadi semakin dekat semakin dekat. Dan tiba-tiba saja pengawas yang menunggu itu mengerutkan keningnya. Yang mengejarnya sama sekali bukan salah seorang dari kedua orang yang tidak dikenal itu, tetapi Justru salah seorang dari kedua pengawas yang mencoba menahan kedua orang itu.
“He” orang itu berteriak,
“apakah kau disusul oleh salah seorang pengejarmu?”
Pengawas itu menggeleng,
“Tidak. Bukankah ia bertempur dengan kau dan kawanmu?”
“Tetapi ia melepaskan diri dan mengejarmu. Aku mengejar di belakangnya. Namun tiba-tiba di antara semak-semak yang rimbun dihutan rindang sebelah, orang Itu telah hilang.”
“He?”
“Kalau begitu aku harus segera kembali. Ia pasti melingkar dan kembali ke medan semula,”

Pengawas bermata tajam itu tidak sempat menyahut. Tetapi ia kini sadar, bahwa kedua orang yang mengejarnya itu sama, sekali bukan orang-orang dungu seperti yang disangkanya. Tetapi mereka benar-benar orang yang cerdik dan licik. Pengawas itu hanya dapat termangu-mangu sejenak melihat kawannya berpacu kembali berbalik arah. Tetapi ia pun segera terkejut ketika ia mendengar derap kuda dari regol sebelah, regol pusat Tanah Mataram. Ketika ia berpaling dilihatnya dua orang berpacu ke arahnya dengan membawa senjata telanjang. Agaknya mereka adalah para petugas yang curiga melihatnya, karena mereka masih belum tahu apa yang sudah dilakukan. Ketika kedua penunggang kuda itu telah berada beberapa langkah dihadapannya, maka iapun segera mengenal bahwa salah seorang dari keduanya telah dikenalnya dengan baik.
“He kau” teriak orang itu, “Kenapa kau berada disini?”
“Aku akan menghadap Ki Gede atau Raden Sutawijaya.” jawab pengawas bermata tajam itu.
Kini kedua ekor kuda itu telah berhenti. Dan pengawas dari gerbang itu bertanya pula,
“Ada sesuatu yang akan kau sampaikan?”
“Ya. Sesuatu yang penting sekali.”
“Siapa yang berkuda itu” bertanya pengawas gerbang itu sambil memandang debu yang mengepul.
“Aku mempunyai ceritera yang sangat panjang dan berbelit-belit. Tetapi apakah aku dapat menghadap.”
“Marilah. Kita akan menghubungi para pemimpin pengawal yang barangkali dapat membawa kau menghadap. Tetapi siapa orang itu?”
“Marilah. Aku akan berceritera sambil berjalan.” Ketiganya pun kemudian menuju ke gerbang. Pengawas bermata tajam itu sempat berceritera tentang pokok-pokok persoalan yang dihadapinya.
“Kalau begitu kau memang harus segera menghadap”
Maka pengawas bermata tajam itu pun segera dihadapkan kepada pemimpin penjaga gerbang yang kemudian membawanya menghadap para pemimpin Tanah Mataram yang baru dibuka itu. Dalam pada itu, pengawas yang berpacu kembali itu pun segera bertemu dengan dua orang kawannya yang menyusulnya. Dengan heran kedua kawannya itu bertanya,
“Kenapa kau kembali? Dimana orang itu.”
“Kita kembali. Mereka adalah orang-orang yang licik.”
“Ya, tetapi dimana buruanmu?”
“Ia menghilang, ia pasti kembali ke medan semula lewat di antara pepohonan. Ia agaknya benar-benar menguasai daerah ini”
Ketiganya pun segera berpacu kembali kemedan yang baru saja mereka tinggalkan.

Perhitungan mereka itu pun ternyata benar. Orang yang mereka cari memang melingkar dan bersembunyi di balik gerumbul untuk mendapat kesempatan kembali ke medan dan membinasakan pengawas yang seorang lagi. Tetapi ketika ia sampai di medan, dilihatnya dua orang pengawas sedang bertempur melawan seorang kawannya.
‘“He, kau melawan dua orang kelinci itu” ia berkata lantang.”
“Ya. Di mana buruanmu?” bertanya kawannya sambil bertempur melawan dua orang pengawas.
“Telah menjadi lumpur. Aku sudah membunuhnya. Kedua pengawas itu terkejut. Dan mereka mendengar orang itu tertawa,
“Jangan terkejut. Sebentar lagi kalian akan menjadi makanan burung gagak pula.”
“Persetan” salah seorang dari kedua pengawas itu menggeram,
“kau berdua harus menebus dengan penuh penyesalan.”
Tetapi kedua orang itu tertawa hampir berbareng,
“Bagaimana mungkin kalian dapat melakukannya? Kalian akan segera mati pula.”
Kedua pengawas itu tidak menyahut, tetapi mereka bertempur lebih dahsyat lagi.
Sejenak kemudian mereka pun segera mendengar suara derap kaki-kaki kuda. Wajah dari orang-orang tak dikenal itu menjadi liar. Dan tiba-tiba saja salah seorang dari mereka memberikan isyarat. Sebelum para pengawas menyadari keadaan mereka, maka tiba-tiba saja kedua orang itu telah meloncat meninggalkan gelanggang.
“Jangan lari” teriak para pengawas.
Namun mereka tidak menghiraukannya. Kuda-kuda mereka pun segera menyusup ke dalam gerumbul-gerumbul liar dan berlari seperti dikejar hantu. Para pengawas mencoba mengejarnya. Tetapi mereka tidak dapat mengikuti pada jarak yang mantap. Sejenak kemudian kedua orang itu, seakan-akan telah hilang ditelan oleh gerumbul-gerumbul liar.
“Kita ikuti jejaknya” desis yang seorang.
“Mereka akan menjadi semakin jauh. Kita tidak akan dapat mengejar mereka, dan kita tidak tahu, jalan yang mereka tempuh akan sampai kemana?”
Para pengawas yang lainpun segera sampai ke tempat itu pula. Salah seorang yang paling tua segera berkata,
“Berbahaya sekali untuk mengikuti jejak mereka. Seperti yang sering kita dengar, hutan ini memang menyimpan banyak sekali rahasia, terutama didaerah Utara. Kini kita melihat sendiri sebagian. dari isi hutan ini selain hantu-hantu yang berkeliaran di malam hari.”
Para pengawas itu hanya dapat mengangguk-anggukan kepalanya.
“Dimana pengawas yang membawa pesan itu? Apakah benar ia sudah terbunuh?”
“Tidak. Sama sekali tidak. Ia sudah sampai di gerbang. Kini ia pasti sudah menghadapi para pemimpin di pusat Tanah Mataram itu.”
Para pengawas itu mengangguk-anggukan kepala mereka. Salah seorang dari mereka berdesis,
”Perkembangan dari tanah ini memang harus menghadapi masalah-masalah yang cukup berat. Kita masih belum berbicara tentang Tanah di sekitar hutan Mentaok. Mangir misalnya, Menoreh dan daerah sebelah Timur yang subur. Apalagi kalau kita berbicara tentang Pajang.”
Yang lain hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi tidak seorang pun yang menjawab.
“Kita kembali ke gardu” desis salah seorang kemudian.

Para pengawas itu pun kemudian segera kembali ke gardu mereka. Peristiwa yang baru saja terjadi itu telah berkesan di hati mereka. Bahkan mereka menjadi berdebar-debar, apakah tidak ada sesuatu yang telah terjadi di gardu yang sedang mereka tinggalkan itu? Mereka menarik natas dalam-dalam ketika mereka melihat gardu masih tetap utuh dengan pengawas yang tinggal di dalamnya. Dalam pada itu, di pusat tanah Mataram, pengawas yang membawa pesan dari Kiai Gringsing itu pun telah dibawa menghadap beberapa orang pemimpin. Adalah kebetulan sekali bahwa di antara mereka terdapat Raden Sutawijaya sendiri.
“Apa yang telah terjadi? Hantu-hantu yang mengamuk?.” bertanya Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.
Pengawas bermata tajam itu menggelengkan kepalanya, “Kali ini bukan hantu, tuan.”
“Apakah hantu-hantu itu sudah tidak pernah mengganggu daerahmu lagi?”
“Masih. Bahkan yang terakhir menjadi semakin sering meskipun kami terpaksa membuat pertimbangan-pertimbangan baru tentang hantu-hantu itu.”
“Apa katamu?”
“Tetapi sebelum semuanya aku sampaikan, apakah aku boleh mohon sesuatu?”
“Apa?”
“Diperjalanan kami, kakang Wanakerti telah menahan beberapa, orang yang mengejar kami. Aku cemas akan nasibnya.”
“He, dimana?”
“Di jalan lurus yang menuju kemari dari daerah pengawasan kami. Aku telah mengambil jalan simpang untuk menghindari mereka.”
“Sudah lama itu terjadi?”
“Mungkin mereka sedang bertempur sekarang. Aku berbelok ketika tiga orang mengejar kakang Wanakerti dengan seorang kawan yang lain.”
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya.
“Aku juga mengalami gangguan di perjalanan. Menurut perkiraan waktu, aku mulai bertempur pada saat kakang Wanakerti dapat terkejar oleh orang-orang itu. Mudah-mudahan mereka berdua dapat bertahan.”
“Apakah kau sudah lama berkelahi?”
“Aku tidak pernah berkelahi bersungguh-sungguh. Aku hanya sekedar berlari-larianan, karena kawan-kawan yang lainlah yang selalu menahan pengejar-pengejarku.”
“Kalau begitu pasti belum terlampau lama.” Sutawijaya itupun kemudian berpaling kepada seorang pemimpin pengawal,
“Bawa lima orang kawan-kawanmu. Lihat, apa yang terjadi dengan Wanakeri itu.”

Pengawal itu mengangguk dalam-dalam. Iapun kemudian meninggalkan pertemuan itu Bersama lima orang pengawal yang lain, mereka pun kemudian berpacu menyusur jalan menuju kedaerah pengawasan Wanakerti. Jalan yang hanya satu jalur. Kalau benar keterangan pengawas yang datang itu, maka mereka pasti akan menjumpai Wanakerti dan kawannya diperjalanan itu.
“Nah, sekarang katakan apa yang sudah terjadi di daerahmu”
Pengawas bermata tajam itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia mengatur pernafasannya. Kemudian iapun mulai menceriterakan apa yang sudah terjadi didaerah pengawasannya sejak beberapa hari yang lalu. Keributan yang timbul dan beberapa kematian yang sudah terjadi. Senjata beracun dan mayat yang hilang. Kemudian suara gemerincing di malam bari dan perkelahian-perkelahian yang seru. Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun pengawas yang lelah itu tidak dapat menceriterakan dengan teratur, namun Sutawijaya dan para pemimpin Tanah Mataram sudah dapat membayangkan apa yang sudah terjadi.
“Siapakah ketiga orang yang kau katakan telah mengambil peranan di dalam daerahmu itu?”
“Kami mengenalnya bernama Truna Podang tuan.” Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Nama itu belum pernah didengarnya.
“Bagaimana dengan kedua anak-anaknya? Bukankah kau mengatakan Truna Podang mempunyai dua orang anak laki-laki?”
“Ya, tuan. Yang seorang gemuk dan yang seorang sedang.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya Kemudian, “senjatanya?”
“Mereka bersenjata cambuk, ya, mereka menyebut diri mereka sebagai gembala yang hendak mendapatkan daerah baru karena di daerah mereka yang lama, mereka sama sekali tidak dapat hidap dengan wajar.”
Sutawijaya meng-angguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Anaknya yang seorang gemuk dan yang seorang sedang. Mereka bersenjata cambuk. Begitu?”
“Ya.”
Orang-orang yang ada ditempat itu menjadi heran ketika mereka melihat Sutawijaya tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Baiklah. Biarlah orang yang menyebut dirinya Truna Podang itu membantu kalian. Untuk sementara kami tidak berkeberatan. Para pemimpin Tanah yang sedang kita buka ini mengucapkan terima kasih kepada mereka.”
Pengawas bermata tajam itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula, meskipun ia masih juga merasa heran. Seolah-olah Sutawijaya itu pemah melihat, setidaknya pernah mendengar serba sedikit tentang Truna Podang itu.
“Jadi, bagaimanakah dengan kami?” bertanya pengawas bermata tajam.
Aku sendiri akan datang” berkata Sutawijaya,
“daerah pengawasanmu memang gawat. Tetapi seperti sudah aku katakan, ketiga orang itu memang dapat membantu.”
Pengawas bermata tajam itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih tetap heran. Ia merasa bahwa keterangannya mengenai ketiga orang itu belum cukup banyak. Tetapi Raden Sutawijaya langsung mempercayai mereka.
“Sebelum aku sempat datang” berkata Sutawijaya selanjutnya,
“aku akan mengirimkan beberapa orang untuk membantu mengawasi daerah itu.”
Pengawas bermata tajam itu mengangguk-anggukkan Kepalanya.
“Kita menunggu para pengawal yang menjemput Wanakerti” berkata Sutawijaya selanjutnya.

Dalam pada itu keadaan Wanakerti benar-benar sudah parah. Hanya karena ia merasa bertanggungjawab agar pesan yang dibawa oleh seorang kawannya sampai, ia bertempur sampai apapun yang akan terjadi atasnya. Apalagi menilik pengenalan ketiga lawannya atas daerah itu, maka melarikan diripun bukan jalan yang dapat ditempuh. Disaat-saat terakhir Wanakerti benar-benar sudah hampir tidak dapat melakukan perlawanan sama sekali. Luka-luka ditubuhnya sudah silang menyilang di dada dan di punggung. Meskipun demikian bersama kawannya, Wanakerti masih tetap menggenggam senjata di tangan.
Namun demikian ia dipaksa untuk mendengar lawanya berkata sambil tertawa,
“Jangan menyesal. Aku sedang menunggu kedua kawanku yang mengejar seorang pengawas yang licik. Tetapi ia pun tidak akan luput dari tangannya. Kalau kedua kawan-kawanku itu sudah datang, maka kami berlima akan membunuh kalian. Aku tidak mau mengecewakan kedua kawanku, karena mereka tidak mendapat bagian melihat suatu pertunjukan yang sangat menyenangkan ini.
Wanakerti tidak menjawab. Ia merasa sebagai barang mainan yang nasibnya seolah-olah sama sekali tergantung kepada ketiga orang lawannya. Demikian juga agaknya pengawas yang lain, meskipun ia masih juga tetap memegang senjatanya. Tenaga kedua pengawas itu sudah hampir lenyap sama sekali karena darah yang meleleh dari luka. Seandainya ketiga orang itu ingin segera membunuhnya, maka mereka tidak akan mendapat kesukaran lagi. Tetapi agaknya mereka memang ingin membiarkan kedua pengawas itu mengalami penderitaan sebelum hidup mereka diakhiri.
“Kami harus mendapat keyakinan, apakah yang terjadi dengan kedua kawan-kawanku” berkata salah seorang dari mereka,
“kalau mereka berhasil, maka kalian akan mendapat jalan kematian yang lebih baik. Tetapi kalau mereka gagal, maka kemarahan kami akan tertumpah kepada kalian berdua. Kami akan mengikat kalian pada sebelah kaki dan akan menyeret kalian di belakang kuda kami melintasi semak-semak berduri. Nah, apakah kalian menyadari nasib kalian.”
Wanakerti menggeram. Betapapun lemahnya, ia masih tetap duduk diatas punggung kuda sambil membawa senjata. Memang dicobanya untuk mencari jalan, melepaskan diri. Sesekali dipandanginya jalur jalan yang menuju ke pusat Tanah Mataram. Namun kedua pengawas itu tidak akan dapat dengan mudah melepaskan diri dari arena perkelahian yang semakin tidak seimbang itu. Bahkan sebelum kedua pengawas itu mencoba untuk menghindarkan diri, salah seorang dari ketiga orang yang tidak dikenal itu sudah mentertawakannya sambil berkata,
“Jangan mencoba untuk berlari lagi. Selagi kau masih utuh, kau tidak dapat melepaskan dirimu. Apalagi sekarang, disaat nyawamu sudah berada di ujung ubun-ubunmu. Wanakerti menggeram. Tetapi ia memang sudah tidak berdaya.
Dalam pada itu, salah seorang dari ketiga lawannya tiba-tiba bertanya,
“Apakah kita akan menunggu?”
Dan salah seorang diantara mereka menjawab,
“Ya. Kita akan menunggu sebentar. Kalau ia dapat membawa yang seorang itu, maka permainan kita akan lengkap.”
“Kita akan membunuh mereka?”
“Apakah tidak sebaiknya kita akan membawa mereka hidup-hidup. Kita memerlukan mereka bertiga meskipun kelak kita akan membunuhnya pula dengan cara yang dapat dipikirkan kemudian. Bukankah itu lebih baik.”
“Aku kira, kita tidak memerlukannya lagi. Keduanya lebih baik diselesaikan saja sekarang. Mereka akan menjadi beban pengawasan.” tertak yang lain.
“Kita memerlukan keterangan.”
“Kita akan mengambilnya di gardu pengawas. Disana masih ada beberapa orang yang pantas untuk memberikan keterangan. Bahkan pemimpin pengawas yang luka itu.” berkata orang itu dengan garangnya,
“aku sudah muak melihat kedua kelinci ini.”
Kedua kawannya mengerutkan keningnya. Dan orang yang garang itu berkata selanjutnya,
“Sudah aku katakan, aku akan mengikat sebelah kakinya di belakang kuda. Kita tidak perlu menunggu lebih lama lagi. Pekerjaan kita masih cukup banyak.”
“Yang seorang lagi?” bertanya yang lain.
“Biarlah kedua anak-anak itu yang mengurusnya. Sejenak mereka terdiam. Tetapi ketiga pasang mata yang menyala itu memandang Wanakerti dengan seorang kawannya, seolah-olah akan membakarnya hidup-hidup.
“Sekarang. Tangkap mereka hidup-hidup. Kemudian sebelah kakinya. Sebelah saja.”
Kedua kawannya saling berpandangan. Kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka.

Ketiga orang itu pun kemudian memencar mengepung Wanakerti dan kawannya, Semakin lama ketiganya menjadi semakin rapat. Di tengah-tengah Wanakerti dan kawannya menjadi semakin tegang pula Namun kemudian Wanakerti menggeram,
“Kalian hanya akan dapat menyentuh mayat kami. Kami masih bersenjata, dan kami masih bertenaga untuk melawan kalian.
Ketiga lawan para pengawas itupun tertegun sejenak. Memang sulit bagi mereka untuk menangkap keduanya hidup-hidup. Mereka pasti akan melawan dengan segenap sisa kemampuan mereka. Bagi keduanya memang lebih baik mati oleh senjata yang membelah dadanya daripada mati bagai permainan.
“Sulit juga untuk menangkap kedua tikus kecil” desis salah seorang dari mereka yang mengepung kedua pengawas itu,
“Kedua tikus yang sudah berputus asa akan dapat membunuh dirinya dengan cara apapun.”
“Aku tidak peduli” desis yang lain,
“seandainya keduanya akan membunuh dirinya, apaboleh buat. Kita sudah terlalu lama menungguinya. Aku sudah jemu. Aku sudah puas melihat betapa wajahnya dibayangi oleh ketakutan yang tidak terkirakan.”
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sejenak kemudian kuda-kuda itupun sudah bergerak lagi. Semakin lama menjadi semakin dekat. Namun sekali lagi mereka tertegun ketika mereka mendengar derap kaki-kaki kuda mendekat. Dua ekor kuda yang semakin lama menjadi semakin dekat.
“Itulah kawan-kawan kita” desis salah seorang dari mereka.
Ketiganya pun menjadi termangu-mangu. Dengan ragu-ragu mereka menunggu.
“Bagaimana kalau orang lain?” desis salah seorang dari mereka.
“Kita bunuh sama sekali.”
Namun sejenak kemudian muncullah dua ekor kuda. Diatas punggungnya dua orang duduk dengan nafas terengah-engah.
“He bagaimana dengan kalian?” bertanya salah seorang dari ketiganya setelah mereka melihat bahwa yang datang memang kawan-kawan mereka.
“Tugas kami sudah selesai” jawab mereka hampir berbareng.
“Bagaimana dengan pengawas yang lari itu?”
“Aku sudah membunuhnya. Aku ikat sebongkah batu padas di kakinya. Kemudian kami lemparkan orang itu hidup-hidup ke dalam rawa-rawa.”
“Bagus. Sekarang tinggal kedua orang ini. Apakah akan kita ikat dan kita tarik di belakang kaki kuda?”
“Tetapi kita harus berbuat cepat” berkata salah seorang dari kedua orang yang baru datang itu,
“mungkin ada beberapa orang yang menyelusuri jejak kami. Tetapi mereka memerlukan waktu untuk sampai ke tempat ini. Meskipun demikian kita tidak boleh lengah. Kita harus segera menyelesaikan, apapun cara yang kita kehendaki”

Sejenak orang-orang yang tidak dikenal itu berdiam diri. Dengan tatapan mata yang liaar dipandanginya Wanakerti dan kawannya yang masih duduk sambil menggenggam senjata mereka meskipun hampir di seluruh tubuh mereka telah tergores luka.
“Apakah mereka akan datang?” tiba-tiba salah seorang bertanya,
“Mungkin sekali.”
“Kalau begitu kita harus segera membunuhnya” orang itu menggeram.
Namun belum lagi mereka berbuat sesuatu, terdengarlah pula derap kaki-kaki kuda yang menggetarkan hutan yang rindang itu. Semakin lama semakin dekat.
“Siapakah mereka itu?” desis salah seorang dari kelima orang itu.
“Tetapi tidak secepat itu. Para pengawal itu memerlukan waktu yang cukup lama.” yang lain menyahut, kemudian,
“arahnya tidak sejalan dengan arah yang aku lalui. Mereka pasti bukan orang-orang yang mengejar aku.”
“Lalu siapa?”
Kedua orang yang datang kemudian itu menggelengkan kepalanya. Namun sekilas terlintas di dalam angan-angannya, pengawas bermata tajam itu pasti sudah sampai di pusat Tanah Mataram. Ia pasti sudah melaporkan apa yang terjadi. Karena itu, mungkin sekali iring-iringan ini adalah para pengawal yang mendapat laporan dari pengawas yang dikejarnya.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar