KETIGA orang lawannya yang mengetahui bahwa tenaga kedua pengawas itu sudah semakin susut, justru berusaha untuk segera dapat membinasakan mereka. Mereka menjadi semakin garang dan serangannya pun menjadi semakin cepat. Dalam pada itu, seorang pengawas yang memisahkan diri masih juga berpacu diatas punggung kudanya. Ia mencoba untuk meninggalkan pengejarnya. Menurut perhitungannya, apabila para pengejarnya mengetahui bahwa buruannya berkurang seorang, sebagian dari mereka pasti akan kembali dan mencarinya. Seperti yang dikatakan oleh pengejarnya, bahwa pengawas itu memang menuju ke daerah rawa-rawa. Tetapi pengawas itu telah mengenal daerah itu dengan. baik pula, karena ia memang pernah mengelilinginya. Ia pernah meronda mengitari hutan dan belukar, bahkan sebelum mereka mulai membuka hutan. Ia pernah mengawal Raden Sutawijaya mencari tempat yang paling baik untuk dijadikan padukuhan dan tanah persawahan. Dan kini ia melewati daerah itu lagi. Justru di daerah yang berawa-rawa itulah ia ingin menghilangkan jejaknya. Diatas tanah yang basah dan digenangi air setinggi mata kaki, pengawal itu ingin menghilangkan jejak kaki kudanya. Tetapi lebih daripada itu, ia tahu pasti, bahwa di ujung rawa-rawa ini pun ada pula sebuah gardu peronda.
“Mudah-mudahan
gardu itu tidak kosong seperti gardu di ujung padang ilalang itu.” desisnya.
Karena itu,
maka ia mencoba berpacu lebih cepat lagi. Setelah melalui daerah yang berair
beberapa lama, maka iapun segera berbelok dan mencari daerah yang sama sekali
tidak berlumpur. Kalau ia sampai ke daerah yang lebih gembur lagi di daerah
rawa-rawa itu, maka ia justru akan menemui kesulitan. Kaki-kaki kudanya akan
dapat terperosok kedalam lumpur dan tidak akan dapat berlari cepat lagi, bahkan
mungkin ia akan terjerumus kedalam daerah yang seakan-akan dapat menghisapnya
masuk terbenam kedalam lumpur.
Tetapi
ternyata usahanya itu sia-sia. Para pengejarnya masih dapat menemukan jejaknya
didalam air yang sangat dangkal.
“Gila” desis
salah scorang pengejamya,
“apakah ia
akan membunuh diri dengan membenamkan dirinya ke dalam rawa-rawa?”
“Mungkin
sekali ia sudah menjadi berputus asa.” Keduanya tersenyum. Senyumnya benar-benar
mengerikan sekali.
Aku mempunyai
seutas tali. Kita benar-benar akan mengikat sebuah batu dikakinya.”
Yang lain
tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja ia berkata.
“Ia mulai
menjauhi rawa-rawa. Kalau begitu ia mencoba untuk melenyapkan jejaknya. Kasihan.
Kita masih akan tetap mengikutinya. Sebentar lagi kita akan menemukannya.”
Keduanyapun
kemudian memacu kudanya pula. Semakin cepat. Pengawas yang bermata tajam itupun
masih juga tetap berpacu. Ia mengharapkan, bahwa ia akan dapat menunaikan tugas
yang dibebankan kepadanya. Ternyata bahwa usaha yang dilakukannya itu kini
tidak sia-sia. Ketika ia melampaui tanah yang basah, ia segera sampai kepadang
rumput yang sempit. Dihadapannya adalah sebuah hutan rindang disisi sebelah
Timur. Dipinggir hutan itu ada pula sebuah gardu pengawas. Tetapi menilik
tempat yang menjadi sepi itu, agaknya seperti diujung lorong yang dilampauinya,
gardu itu kosong pula. Gardu itu sudah tidak ditunggui seorang pengawaspun. Namun
demikian ia masih tidak menjadi gelisah. Ia masih belum melihat seorangpun yang
mengejar di belakangnya. Tetapi hatinya tiba-tiba melonjak ketika tiba-tiba
saja ia melihat seseorang berdiri di depan gardu, sedang gardu itu sudah sangat
dekat. Dengan demikian maka iapun segera menarik kendali kudanya sehingga kuda
itu berdiri sambil meringkik keras-keras.
“Siapa kau?”
sapa orang yang berdiri di depan gardu itu.
Pengawas itu
tidak segera menyahut. Dicobanya untuk menguasai kudanya. Ketika kuda itu sudah
tenang, barulah ia berkata,
“Apakah kalian
tidak mengenal aku?”
Seorang yang
masih berada didalam gardu segera meloncat keluar. Hampir berteriak ia berkata,
“Kau? Bukankah
kau bertugas mengawasi daerah yang sedang dibuka itu?”
“Ya. Aku akan
segera menghadap Raden Sutawijaya atau siapa pun pemimpin tertinggi Tanah
Mataram.”
“Kenapa ?”
“Ada sesuatu
yang akan aku sampaikan”
“Kenapa kau
menempuh jalan ini? Bukankah ada jalan yang lebih dekat dan lebih baik?”
Pengawas itu
menarik natas dalam-dalam untuk menenangkan debar jantungnya. Kemudian
diceriterakannya apa yang telah terjadi atasnya.
“Jadi
bagaimana dengan Wanakerti?” Pengawas itu menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak
tahu. Bahkan, aku kira, ada satu dua orang yang akan, “mencoba mengikuti
jejakku.
Para pengawas
digardu itupun saling berpandangan sejenak.
“Berapa orang
kalian di sini?”
“Kami semua
sepuluh orang disini. Tetapi yang tiga orang sedang menghadap ke Mataram.
Setiap hari tiga diantara kami menghubungkan gardu ini dengan gardu induk”
Pengawas itu
berpikir sejenak. Kemudian katanya.
“Aku
menyerahkan persoalan ini kepada kalian. Apakah aku harus menunggu orang-orang
yang mengejarku disini atau aku harus segera melanjutkan perjalanan.”
“Teruskan!
Serahkan orang-orang yang mengejarmu itu Kepadaku apabila ia sampai ke tempat
ini pula.”
“Baiklah. Aku
akan terus.”
“Jangan pergi
sendiri. Dua orang akan mengawanimu. Kami masih cukup banyak orang di sini.”
Maka pengawas
yang bermata tajam itupun segera melanjutkan perjalanannya menghadap para
pemimpin Tanah Mataram. Dua orang dari gardu yang baru saja dilaluinya itupun
mengawaninya.
“Kenapa begitu
banyak orang di gardu itu?” bertanya pengawas bermata tajam itu kepada kedua
kawannya.
“Daerah ini
masih merupakan daerah yang sedang direncanakan untuk dibuka. Daerah ini masih
sangat sepi, sehingga akan menjemukan sekali apabila kami bertugas, disini
hanya berdua atau paling banyak lima orang. Semakin banyak kawan, semakin
hilanglah kejemuan disini.” jawab salah seorang.
“Apakah hanya
itu alasannya?”
“Ya.”
“Tidak ada
alasan lain?”
“Tidak.
Mungkin tidak sampai sepuluh orang yang bertugas bersamamu. Tetapi kau
mempunyai banyak sekali kawan, sehingga daerahmu tidak lagi merupakan daerah
yang sangat menjemukan, meskipun kini kau menghadapi persoalan lain.”
“Apakah
didaerah ini kalian tidak memperhitungkan hantu misalnya?”
Keduanya sama
sekali tidak menyahut. Sejenak mereka hanya saling berpandangan saja, sementara
kaki kuda mereka berderap semakin cepat. Pengawas yang bermata tajam itu pum
sama sekali tidak bertanya lagi. Dicambuknya kudanya supaya menjadi semakin
cepat berlari. Dalam pada itu, para pengawas yang masih tinggal digardu
menunggu orang-orang yang mengejar pengawas bermata tajam itu. Tetapi untuk
beberapa saat mereka tidak melihat seorangpun lewat sehingga mereka justru
menjadi gelisah.
“Apakah mereka
mengetahui bahwa disini ada gardu peronda?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Mungkin
sekali.” jawab yang lain.
“Berapa orang
menurut perhitunganmu, seandainya benar-benar ada orang yang mengejarnya.”
“Paling banyak
tiga orang. Bukankah mereka hanya berlima atau enam? Sedang Wanakerti masih
berpacu bersama seorang kawan yaag lain.”
“Ya, agaknya
demikianlah perbandingan menurut perhitungan kita.” orang itu berhenti sejenak,
lalu,
“aku ingin
menyongsong mereka. Marilah, kita bertiga. yang dua orang tinggal digardu. Kita
akan membawa alat yang dapat memberikan isyarat apabila salah satu pinak
diantara kita mengalami kesulitan. Biarlah kentongan yang besar itu menjadi
alat untuk memberikan isyarat diantara kita akan membawa kentongan yang kecil.”
Beberapa orang
saling berpandangan. Namun kemudian seorang kawannya berkata, “Itu akan lebih
baik Kita akan segera mendapatkan kepastian.”
Demikianlah
kemudian tiga orang pengawas telah siap diatas punggung kuda dengan senjata
masing-masing. Mereka akan menyongsong orang-orang yang diduga sedang mengejar
pengawas yang bermata tajam itu, sedang dua orang yang lain tetap menunggui
gardu pengawas itu.
“Tetapi kalian
tidak boleh kehilangan perhitungan” pesan pemimpin pengawas digardu itu,
“kalian tidak
boleh terpancing sehingga kalian meninggalkan tempat ini terlampau jauh. Kalau
kami tidak dapat mendengar isyarat yang kalian berikan, maka kami tidak akan
berbuat apa-apa, seandainya kalian memerlukan.”
“Baiklah. Kami
akan segera kemball apabila kami tidak menjumpainya.”
Demikianlah,
maka ketiga orang itu pun menyelusur jejak kuda pengawas yang bermata tajam
itu, Justru kearah yang berlawanan. Mereka mengharap bahwa mereka akan segera
dapat menemui orang-orang yang mengejar pengawas itu.
Tetapi setelah
sejenak mereka menyelusuri jejak itu mereka sama sekali tidak menjumpai apapun.
Di padang rumput yang sempit dihadapan merekapun, sama sekali tidak mereka
lihat orang-orang berkuda.
“Tidak ada
seorang pun yang mengejarnya” desis salah seorang dari mereka.
Yang lain
mengangguk-angukkan kepalanya. Namun ia berkata,
“Kita maju
beberapa langkah lagi.”
Ketiga
pengawas itupun maju lagi beberapa puluh langkah sambil mengamat-amati jejak
kuda diatas rerumputan. Tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mereka melihat
beberapa buah jejak yang lain dari jejak kaki kuda pengawas bermata tajam itu.
Dengan serta-merta salah seorang dari mereka meloncat turun sambil berkata,
“Jejak ini
berbelok.”
Yang lain
mengerutkan keningnya. Salah seorang dari keduanya berkata,
“Kalau begitu
pengawas itu terjebak. Pengejarnya menyadari bahwa di hadapan ini ada gardu.
Mereka nasti melingkar dan memotong jalan.”
“Cepat, kita
kembali. Mungkin mereka mengalami kesulitan.”
“Tetapi, bekas
ini hanya bekas dua ekor kuda.”
“Meskipun
demiklan kita tidak tahu, betapa tinggi kemampuan mereka. Apakah ketiga. orang
pengawas itu akan mampu melawan mereka berdua.”
“Setidaknya
mereka akan mampu bertahan. Demikianlah maka ketiga pengawas itupun segera
berpacu meninggalkan tempat itu. Sampai didepan gardu pengawas mereka berhenti
sejenak untuk menyampaikan pengamatan mereka.
“Baiklah,
lihatlah apakah dugaan kalian itu benar. Ketiganya pun kemudian melanjutkan
perjalanan mereka, menyusul para pengawas yang telah mendahului.
Dalam pada
itu, ketiga pengawas yang lebih dahulu sama sekali tidak menyangka, bahwa
tiba-tiba saja mereka telah diberhentikan oleh dua orarig yang berwajah garang,
bersenjata telanjang dan bermata liar.
“Nah, apakah
kalian menyangka, aku terlampau bodoh mengejarmu lewat gardu peronda itu?
berkata salah seorang dari mereka.
Ternyata
kehadiran kedua orang yang tidak disangka-sangka itu telah mengejutkan ketiga
pengawas yang sedang berpacu untuk menghadap para pemimpin Tanah Mataram.
Karena itu, merekapun dengan serta-merta telah menarik kekang kuda mereka.
“Kalian tidak
akan dapat lari” berkata salah seorang dari kedua orang yang mencegat itu”
meskipun kini kalian bertiga, tetapi kalian tidak akan dapat melawan kami
berdua.”
Para pengawas
itu terdiam sejenak. Namun kemudian salah seorang dan mereka berkata,
“Kalian belum
mengenal kami. Apakah kalian yakin akan hal itu?”
“Kami tahu
pasti, sampai berapa jauh kemampuan para pengawas. Seorang dari kami akan cukup
kuat untuk melawan kalian bertiga. Apalagi kami berdua.”
“Darimana
kalian mendapat nilai imbangan itu?”
“Kami
meyakininya.”
Kalau begitu,
sebaiknya memang kita buktikan.”
Kedua orang
yang mengejar pengawas bermata tajam itu mengerutkan keningnya. Namun keduanya
pun kemudian tertawa. Salah seorang berkata,
“Kalian memang
keras kepala.”
Para pengawas
itu tidak menjawab. Tetapi mereka telah mempersiapkan diri untuk menghadapi
setiap kemungkinan. Sejenak kemudian maka kedua belah pihak pun telah menjadi
semakin tegang. Kuda-kuda mereka selangkah demi selangkah maju saling
mendekati. Dalam kesempatan itu salah seorang pengawas dari gardu yang baru
saja dilewati itu berkata kepada kawannya yang bermata tajam, “Kalau kita sudah
mulai bertempur, kau harus segera meneruskan perjalananmu. Jaraknya sudah tidak
begitu jauh lagi.”
“Tetapi
bagaimana dengan kalian di sini?”
“Serahkan
kepada kami. Jumlah merekapun hanya dua orang dan kami juga berdua.”
“Tetapi
begaimana dengan kemampuan mereka.”
“Jangan
hiraukan. Itu adalah cara yang lama untuk menurunkan keberanian lawan. Kami
sudah biasa menghadani cara-cara yang licik itu”
Pengawas
bermata tajam itu tidak segera menjawab, dipandangnya kedua lawannya yang sudah
menjadi semakin dekat. Menilik wajah mereka yang kasar dan bengis, maka mereka
pasti dapat berbuat apa saja untuk mengalahkan, lawannya. meskipun dengan
curang jika perlu.
“Jangan
pikirkan kami” desis kawannya,
“berita yang
kau bawa harus segera sampai. Ditambah lagi dengan pengejaran yang mereka
lakukan ini”
Pengawas
bermata tajam itu tidak sempat menjawab. Kedua kawannya tiba-tiba sudah
menyambar dengan pedang yang berputar seperti baling-baling. Tetapi para
pengawas itupun sudah bersiaga, sehingga mereka masih sempat menghindari
serangan yang pertama itu. Dengan demikian maka perkelahian diantara merekapun
segera mulai membakar jalan sepi di hutan yang rindang itu. Mereka bertempur
berputar-putar di antara pepohonan dan rimbunnya batang-batang perdu. Ternyata
kedua orang yang berwajah kasar itu bukan orang yang luar biasa seperti yang
mereka katakan. Mereka tidak segera berhenti mengatasi kemampuan ketiga
pengawas yang bertempur berpasangan.
Namun sejenak
kemudian salah seorang dari para pengawas itupun memberikan isyarat, agar
pengawas bermata tajam itu segera meninggalkan perkelahian. Pengawas bermata
tajam itu ragu-ragu sejenak. Namun dengan hati yang berat, ia terpaksa meninggalkan
medan. Ia sadar bahwa berita yang dibawanya adalah berita yang cukup penting
yang harus disampaikan kepada para pemimpin tertinggi di Mataram. Dengan
demikian, maka sejenak kemudian ia pun segera meninggalkan arena, dan berpacu
menuju ke pusat Tanah Mataram. Kedua pengejarnya terkejut melihat pengawas itu
meninggalkan arena. Tetapi mereka tidak dapat mengejarnya, karena dua orang
pengawas yang lain, selalu membayanginya, bahkan menyerang mereka dengan
garangnya, tanpa memberi kesempatan sama sekali untuk beringsut dari medan.
“Biarlah ia
pergi” desis salah seorang pengawas.
“Licik” sahut
salah seorang lawannya.
“Siapa yang
licik?”
“Yang lari
itu.”
“Tidak. Ia
ingin memberi kesempatan agar kami bersikap jantan. Kami ingin bertempur
seorang melawan seorang.”
“Persetan !”
geram salah seorang dari kedua lawannya,
“kalian memang
ingin membunuh diri.”
Perkelahian
itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak berusaha dengan
segenap kemampuannya untuk segera dapat menguasai lawan masing-masing. Namun
kemudian ternyata bahwa kedua orang yang mengejar pengawas bermata tajam itu
mempunyai kelebihan dari kedua pengawas itu. Mereka adalah orang-orang yang
kasar yang tidak merasa terikat oleh peraturan apapun, sehingga mereka dapat
berbuat apa saja sesuka hati, asal dapat menguntungkan mereka didalam
perkelahian itu. Dengan demikian maka kedua pengawas itu pun akhirnya merasa
terdesak. Mereka tidak tahan melawan kekasaran dan kekuatan kedua lawannya.
Namun demikian mereka bertempur terus, apapun yang bakal dan mungkin teriadi
atas mereka berdua. Dalam pada itu, pengawas bermata tajam itu berpacu terus
menuju ke pusat Tanah Mataram. Ia sudah mengorbankan kawan-kawannya untuk
menahan pengejar-pengejarnya. Wanakerti dan seorang kawannya terpaksa berusaha
memancing lawan mereka, agar ia mendapat kesempatan. Kini kedua pengawas itu
pun berbuat serupa. Perkelahian di antara kedua pengawas itu pun semakin lama
menjadi semakin berat sebelah. Kedua orang lawannya benar-benar orang yang
kasar dan dapat berbuat apa saja, tanpa menghiraukan tata perkelahian yang
sewajarnya.
Karena itu,
maka kedua pengawas itu pun kemudian hanya sekedar menahan mereka,
kadang-kadang mereka menghindar, melingkar-lingkar di antara pepohonan. Tetapi
kadang-kadang Mereka menyerang dengan garangnya.
“Sudah aku
duga” geram salah seorang dari kedua orang-orang yang tidak dikenal itu,
“para pengawal
Tanah Mataram adalah orang-orang yang licik.”
Kedua pengawas
itu tidak menjawab. Mereka bertempur terus dengan cara mereka. Yang penting bagi
mereka, pengawas bermata tajam itu sampai ke pusat Tanah Mataram. Namun kedua
lawannya sama sekali tidak puas dengan perkelahian yang seakan-akan hanya
sekedar berkejar-kejaran itu. Mereka pun kemudian menjadi semakin garang.
Serangan mereka datang bertubi-tubi seperti badai dimusim ke Sanga. Kedua
pengawal itu pun menjadi semakin terdesak. Mereka menjadi semakin kehilangan
kesempatan untuk melawan. Bahkan mereka hampir tidak dapat berbuat apa-apa
selain menghindar. Tetapi dalam pada itu, salah seorang dari kedua orang yang
tidak dikenal itu berkata,
“kalian telah
mengganggu usahaku menangkap seorang kawanmu itu. Kalianlah yang akan menjadi
gantinya. Kalian akan aku bunuh dengan cara yang pasti tidak akan kalian
senangi.”
“Persetan”
desis salah seorang dari kedua pengawas itu.
“Kami sudah
jemu bertempur dengan cara ini. Kalian harus segera mati, dan kami masih akan
mengejar orang yang lari itu.”
“Kita akan
berbuat seperti mereka” berkata kawannya,
“aku akan
mengejar yang lari itu. Kau sendiri dapat menyelesaikan pengawas-pengawas yang
licik ini.”
Kawannya
berfikir sejenak. Kemudian ia mengangguk,
“Pikiran yang
bagus. Kenapa baru sekarang kau katakan. Cepat, kejarlah orang itu.”
Yang lain
segera bersiap untuk mengejar pengawas bermata tajam itu. Namun setiap kali
pengawas yang lain telah mengganggunya, menyerang dengan tiba-tiba kemudian
menghindar jauh-jauh. Akhirnya orang itu tidak menghiraukannya lagi. Ia harus
segera mengejar pengawas bermata tajam itu. Mungkin masih ada kesempatan
baginya.
Tanpa menghiraukan
serangan-serangan yang datang kemudian, orang itupun segera memacu kudanya.
Tetapi seorang dari kedua pengawas itu tidak mau melepaskannya. Ia pun segera
mengejarnya pula. Menurut perhitungannya, apabila orang itu berhasil mengeiar
pengawas bermata tajam. ia akan dapat membantu melawannya. Sedang seorang
kawannya yang ditinggalkannya biarlah mencari kesempatan untuk mempertahankan
hidupnya. Tetapi karena pengawas bermata tajam itulah yang membawa pesan bagi
para para pemimpin di pusat Tanah Mataram, maka orang itulah yang wajib
mendapat perlindungan lebih dahulu.
“Ia akan dapat
bertahan atau menyingkir kalau keadaan memaksa” katanya di dalam hati.
Ternyata pengawas
yang ditinggalkan seorang diri itupun menyadari keadaannya. Sikap yang diambil
oleh kawannya itu dapat dibenarkannya. Karena itu, maka untuk selanjutnya, ia
harus menghadapi lawannya, benar-benar seorang melawan seorang.
“Para pengawas
pada umumnya memang bodoh” geram lawannya yang seorang itu,
“sekarang aku
mendapat kesempatan untuk berbuat sesuka hatlku atasmu. Kau tidak akan dapat
bertahan sepenginang lagi. Atau barangkali kau akan menyerah?”
Pengawas yang
seorang itu tidak menyahut. Ia sudah bertekad untuk bertempur mati-matian.
“Katakan, cara
yang manakah yang paling menarik bagimu untuk mati. Kalau kau menyerah, maka
permintaannmu itu akau aku penuhi. Dipancung atau digantung pada cabang
pepohonan atau cara yang Iain?”
Pengawas itu
sama sekali tidak menjawab. Justru ia telah menyerang semakin garang. Meskipun
demikian, kemampuan orang yang tidak dikenal itu memang lebih tinggi
daripadanya. Sejenak kemudian maka iapun rnenjadi semakin sulit untuk dapat
tetap bertahan. Ketika keadaan hampir tidak dapat dikuasainya lagi, dan selagi
pengawas itu sedang mempertimbangkan dua pilihan mati atau menarik diri dari
perkelahian dan kembali kegardu, tiba-tiba tiga ekor kuda berderap mendekati
tempat itu. Mereka adalah para pengawas yang sedang menyelusuri telapak
kaki-kai kuda yang mereka ketemukan melingkari gardu.
“Nah, akhirnya
kita ketemukan mereka di sini” berkatalah seorang dari mereka.
“Ya, inilah
orang itu” pengawas yang hampir saja kehilangan kesempatan itu berteriak,
sedang lawannya menjadi berdebar-debar menghadapi keadaan yang tidak
terduga-duga.
“Apakah kalian
bertiga?” bertanya pengawas yang sedang bertempur itu.
“Ya.”
“Susullah
orang yang lain. Orang yang tidak dikenal itu datang berdua. Yang seorang
sedang menyusul pengawas yang membawa pesan itu.”
“Berapa
orang?”
“Seorang.”
“Dimana
kawanmu.”
“Ia sudah
mendahului, mengejar orang itu.”
Ketiga orang
itu berpikir sejenak. Lalu,
“Berapa orang
kau perlukan kawan di sini untuk menangkap orang ini?”
“Satu orang.
Berdua dengan aku. Aku sendiri tidak dapat mengalahkannya, tetapi kalau berdua,
kemungkinan untuk menangkapnya menjadi semakin besar.”
Ketiga orang
pengawas yang baru datang itu saling berpandangan sejenak. Kemudian salah
seorang dari mereka maju mendekati kawannya yang sedang bertempur sambil
berkata,
“Aku akan
menangkapnya.”
“Baiklah, kami
akan mengejar yang seorang lagi.
“Huh” geram
orang yang tidak dikenal itu,
“kalian sangka
kami seekor kambing yang jinak. Ayo, kalian berempat sekaligus tidak aksn dapat
menangkap aku.”
“Jangan
hiraukan” sahut yang sedang berkelahi melawannya,
“kejarlah yang
lain. Ia hanya memancing agar kalian tetap di sini.”
“Persetan.
Kalau kalian ingin membunuh diri, cobalah.”
Kedua pengawas
itu tidak menghiraukannya lagi. Mereka segera berpacu menyusul yang seorang
lagi, yang sedang mencoba menangkap pengawas yang bermata tajam, yang berusaha
untuk menyampaikan pesan kepusat Tanah Mataram. Demikianlah maka dua orang
pengawas yang tinggal itu kini bertempur melawan seorang dari kedua orang yang
tidak dikenal itu. Ternyata bahwa perhitungan pengawas yang pertama tidak jauh
meleset. Mereka berdua dalam pasangan yang baik segera dapat mengatasi keadaan.
Dengan demikian maka keduanya pun bertempur lebih mantap lagi. Mereka ingin
menangkap orang yang tidak dikenal itu hidup-hidup sebagai bahan untuk mencari
latar belakang dari persoalan yang masih gelap itu. Tetapi orang itu pun tidak
mudah menyerah. Ia berkelahi dengan garangnya. Kudanya adalah kuda yang cukup
lincah. Apalagi penunggangnya adalah penunggang yang benar-benar menguasainya. Demikianlah
perkelahian yang terjadi itu semakin lama menjadi semakin seru. Tetapi meskipun
kedua pengawal Tanah Mataram itu berhasil mendesak lawannya, namun untuk
menangkapnya agaknya terlampau sulit. Bahkan untuk mengalahkannya pun tidak
akan segera dapat dilakukan.
Sementara itu,
pengawas bermata tajam yang membawa pesan untuk para pemimpin Tanah Mataram itu
masih saja berpacu dengan cepatnya. Ia sadar, bahwa jalan yang ditempuh
ternyata menyimpan banyak bahaya yang kadang-kadang tidak diduga-duganya.
Karena itu, semakin cepat ia sampai, akan semakin baik baginya dan bagi Mataram.
Hatinya menjadi berdebar-debar ketika gerbang pusat Tanah Mataram yang masih
bersifat sementara sudah dilihatnya. Justru ia merasa bahwa kudanya menjadi
semakin lamban. Beberapa ratus langkah lagi ia akan memasuki gerbang dan dengan
demikian kemungkinan bahaya yang akan mengganggunya akan menjadi semakin
berkurang. Dipintu gerbang itu pasti terdapat beberapa orang pengawal yang
dapat melindunginya apabila ia masih juga dikejar oleh bahaya. Sesekali
pengawas yang berpacu itu masih juga berpaling. Dan bahkan tiba-tiba dadanya
berdesir ketika dikejauhan ia melihat debu yang mengepul tinggi.
“Masih juga
ada yang mengejar aku” desisnya. Dan debu itupun semakin lama menjadi semakin
dekat. Namun demikian pengawal itu tidak cemas lagi meskipun ia harus berhadapan
dengan siapapun. Sebelum kuda yang berpacu di belakang itu menyusulnya, ia
pasti sudah sampai di regol pusat Tanah Mataram.
“Orang itu
benar-benar tidak mempergunakan otaknya” gumam pengawas itu kepada diri
sendiri,
“semula aku
menyangka bahwa mereka adalah orang-orang yang cerdik meskipun licik. Mereka
telah melingkari gardu dan memotong jalan. Tetapi kini mereka begitu bernafsu
mengejar aku.”
Namun demikian
ia menjadi berdebar-debar,
“lalu
bagaimana dengan kedua pengawas yang bertempur melawannya? Apakah keduanya
tidak berhasil menahan mereka, atau justru mereka telah dapat dikalahkan.”
Dan tiba-tiba
saja ia menjadi cemas memikirkan nasib kedua pengawas yang mencoba menahan
kedua orang yang mengejarnya itu. Sejenak kemudian maka kudanya pun menjadi
semakin dekat dengan regol pusat Tanah Mataram, sedang debu yang mengepul di
belakangnya pun menjadi sema dekat pula. Tiba-tiba pengawas itu ingin menunggu.
Apalagi setelah yakin bahwa yang mengejarnya hanya seorang saja. Karena itu,
beberapa puluh langkah di depan regol ia berhenti. Beberapa ujung senjata telah
dilihatnya mencuat dari mulut gardu diregol itu. Bahkan ia sudah melihat
seorang penjaga berjalan ke tengah-tengah gerbang.
“Aku akan
menunggunya, Aku ingin tahu nasib kedua pengawas itu.”
Sejenak kemudian
kuda yang mengejarnya menjadi semakin dekat semakin dekat. Dan tiba-tiba saja
pengawas yang menunggu itu mengerutkan keningnya. Yang mengejarnya sama sekali
bukan salah seorang dari kedua orang yang tidak dikenal itu, tetapi Justru
salah seorang dari kedua pengawas yang mencoba menahan kedua orang itu.
“He” orang itu
berteriak,
“apakah kau
disusul oleh salah seorang pengejarmu?”
Pengawas itu
menggeleng,
“Tidak.
Bukankah ia bertempur dengan kau dan kawanmu?”
“Tetapi ia
melepaskan diri dan mengejarmu. Aku mengejar di belakangnya. Namun tiba-tiba di
antara semak-semak yang rimbun dihutan rindang sebelah, orang Itu telah
hilang.”
“He?”
“Kalau begitu
aku harus segera kembali. Ia pasti melingkar dan kembali ke medan semula,”
Pengawas
bermata tajam itu tidak sempat menyahut. Tetapi ia kini sadar, bahwa kedua
orang yang mengejarnya itu sama, sekali bukan orang-orang dungu seperti yang
disangkanya. Tetapi mereka benar-benar orang yang cerdik dan licik. Pengawas
itu hanya dapat termangu-mangu sejenak melihat kawannya berpacu kembali
berbalik arah. Tetapi ia pun segera terkejut ketika ia mendengar derap kuda
dari regol sebelah, regol pusat Tanah Mataram. Ketika ia berpaling dilihatnya
dua orang berpacu ke arahnya dengan membawa senjata telanjang. Agaknya mereka
adalah para petugas yang curiga melihatnya, karena mereka masih belum tahu apa
yang sudah dilakukan. Ketika kedua penunggang kuda itu telah berada beberapa
langkah dihadapannya, maka iapun segera mengenal bahwa salah seorang dari
keduanya telah dikenalnya dengan baik.
“He kau”
teriak orang itu, “Kenapa kau berada disini?”
“Aku akan
menghadap Ki Gede atau Raden Sutawijaya.” jawab pengawas bermata tajam itu.
Kini kedua
ekor kuda itu telah berhenti. Dan pengawas dari gerbang itu bertanya pula,
“Ada sesuatu
yang akan kau sampaikan?”
“Ya. Sesuatu
yang penting sekali.”
“Siapa yang
berkuda itu” bertanya pengawas gerbang itu sambil memandang debu yang mengepul.
“Aku mempunyai
ceritera yang sangat panjang dan berbelit-belit. Tetapi apakah aku dapat
menghadap.”
“Marilah. Kita
akan menghubungi para pemimpin pengawal yang barangkali dapat membawa kau
menghadap. Tetapi siapa orang itu?”
“Marilah. Aku
akan berceritera sambil berjalan.” Ketiganya pun kemudian menuju ke gerbang.
Pengawas bermata tajam itu sempat berceritera tentang pokok-pokok persoalan
yang dihadapinya.
“Kalau begitu
kau memang harus segera menghadap”
Maka pengawas
bermata tajam itu pun segera dihadapkan kepada pemimpin penjaga gerbang yang
kemudian membawanya menghadap para pemimpin Tanah Mataram yang baru dibuka itu.
Dalam pada itu, pengawas yang berpacu kembali itu pun segera bertemu dengan dua
orang kawannya yang menyusulnya. Dengan heran kedua kawannya itu bertanya,
“Kenapa kau
kembali? Dimana orang itu.”
“Kita kembali.
Mereka adalah orang-orang yang licik.”
“Ya, tetapi
dimana buruanmu?”
“Ia
menghilang, ia pasti kembali ke medan semula lewat di antara pepohonan. Ia
agaknya benar-benar menguasai daerah ini”
Ketiganya pun
segera berpacu kembali kemedan yang baru saja mereka tinggalkan.
Perhitungan
mereka itu pun ternyata benar. Orang yang mereka cari memang melingkar dan
bersembunyi di balik gerumbul untuk mendapat kesempatan kembali ke medan dan
membinasakan pengawas yang seorang lagi. Tetapi ketika ia sampai di medan,
dilihatnya dua orang pengawas sedang bertempur melawan seorang kawannya.
‘“He, kau
melawan dua orang kelinci itu” ia berkata lantang.”
“Ya. Di mana
buruanmu?” bertanya kawannya sambil bertempur melawan dua orang pengawas.
“Telah menjadi
lumpur. Aku sudah membunuhnya. Kedua pengawas itu terkejut. Dan mereka
mendengar orang itu tertawa,
“Jangan
terkejut. Sebentar lagi kalian akan menjadi makanan burung gagak pula.”
“Persetan”
salah seorang dari kedua pengawas itu menggeram,
“kau berdua
harus menebus dengan penuh penyesalan.”
Tetapi kedua
orang itu tertawa hampir berbareng,
“Bagaimana
mungkin kalian dapat melakukannya? Kalian akan segera mati pula.”
Kedua pengawas
itu tidak menyahut, tetapi mereka bertempur lebih dahsyat lagi.
Sejenak
kemudian mereka pun segera mendengar suara derap kaki-kaki kuda. Wajah dari
orang-orang tak dikenal itu menjadi liar. Dan tiba-tiba saja salah seorang dari
mereka memberikan isyarat. Sebelum para pengawas menyadari keadaan mereka, maka
tiba-tiba saja kedua orang itu telah meloncat meninggalkan gelanggang.
“Jangan lari”
teriak para pengawas.
Namun mereka
tidak menghiraukannya. Kuda-kuda mereka pun segera menyusup ke dalam
gerumbul-gerumbul liar dan berlari seperti dikejar hantu. Para pengawas mencoba
mengejarnya. Tetapi mereka tidak dapat mengikuti pada jarak yang mantap. Sejenak
kemudian kedua orang itu, seakan-akan telah hilang ditelan oleh
gerumbul-gerumbul liar.
“Kita ikuti
jejaknya” desis yang seorang.
“Mereka akan
menjadi semakin jauh. Kita tidak akan dapat mengejar mereka, dan kita tidak
tahu, jalan yang mereka tempuh akan sampai kemana?”
Para pengawas
yang lainpun segera sampai ke tempat itu pula. Salah seorang yang paling tua
segera berkata,
“Berbahaya
sekali untuk mengikuti jejak mereka. Seperti yang sering kita dengar, hutan ini
memang menyimpan banyak sekali rahasia, terutama didaerah Utara. Kini kita
melihat sendiri sebagian. dari isi hutan ini selain hantu-hantu yang
berkeliaran di malam hari.”
Para pengawas
itu hanya dapat mengangguk-anggukan kepalanya.
“Dimana
pengawas yang membawa pesan itu? Apakah benar ia sudah terbunuh?”
“Tidak. Sama
sekali tidak. Ia sudah sampai di gerbang. Kini ia pasti sudah menghadapi para
pemimpin di pusat Tanah Mataram itu.”
Para pengawas
itu mengangguk-anggukan kepala mereka. Salah seorang dari mereka berdesis,
”Perkembangan
dari tanah ini memang harus menghadapi masalah-masalah yang cukup berat. Kita
masih belum berbicara tentang Tanah di sekitar hutan Mentaok. Mangir misalnya,
Menoreh dan daerah sebelah Timur yang subur. Apalagi kalau kita berbicara
tentang Pajang.”
Yang lain
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi tidak seorang pun yang
menjawab.
“Kita kembali
ke gardu” desis salah seorang kemudian.
Para pengawas
itu pun kemudian segera kembali ke gardu mereka. Peristiwa yang baru saja
terjadi itu telah berkesan di hati mereka. Bahkan mereka menjadi
berdebar-debar, apakah tidak ada sesuatu yang telah terjadi di gardu yang
sedang mereka tinggalkan itu? Mereka menarik natas dalam-dalam ketika mereka
melihat gardu masih tetap utuh dengan pengawas yang tinggal di dalamnya. Dalam
pada itu, di pusat tanah Mataram, pengawas yang membawa pesan dari Kiai
Gringsing itu pun telah dibawa menghadap beberapa orang pemimpin. Adalah
kebetulan sekali bahwa di antara mereka terdapat Raden Sutawijaya sendiri.
“Apa yang
telah terjadi? Hantu-hantu yang mengamuk?.” bertanya Raden Sutawijaya yang
bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.
Pengawas
bermata tajam itu menggelengkan kepalanya, “Kali ini bukan hantu, tuan.”
“Apakah
hantu-hantu itu sudah tidak pernah mengganggu daerahmu lagi?”
“Masih. Bahkan
yang terakhir menjadi semakin sering meskipun kami terpaksa membuat
pertimbangan-pertimbangan baru tentang hantu-hantu itu.”
“Apa katamu?”
“Tetapi
sebelum semuanya aku sampaikan, apakah aku boleh mohon sesuatu?”
“Apa?”
“Diperjalanan
kami, kakang Wanakerti telah menahan beberapa, orang yang mengejar kami. Aku
cemas akan nasibnya.”
“He, dimana?”
“Di jalan
lurus yang menuju kemari dari daerah pengawasan kami. Aku telah mengambil jalan
simpang untuk menghindari mereka.”
“Sudah lama
itu terjadi?”
“Mungkin
mereka sedang bertempur sekarang. Aku berbelok ketika tiga orang mengejar
kakang Wanakerti dengan seorang kawan yang lain.”
Raden
Sutawijaya mengerutkan keningnya.
“Aku juga
mengalami gangguan di perjalanan. Menurut perkiraan waktu, aku mulai bertempur
pada saat kakang Wanakerti dapat terkejar oleh orang-orang itu. Mudah-mudahan
mereka berdua dapat bertahan.”
“Apakah kau
sudah lama berkelahi?”
“Aku tidak
pernah berkelahi bersungguh-sungguh. Aku hanya sekedar berlari-larianan, karena
kawan-kawan yang lainlah yang selalu menahan pengejar-pengejarku.”
“Kalau begitu
pasti belum terlampau lama.” Sutawijaya itupun kemudian berpaling kepada
seorang pemimpin pengawal,
“Bawa lima
orang kawan-kawanmu. Lihat, apa yang terjadi dengan Wanakeri itu.”
Pengawal itu
mengangguk dalam-dalam. Iapun kemudian meninggalkan pertemuan itu Bersama lima
orang pengawal yang lain, mereka pun kemudian berpacu menyusur jalan menuju
kedaerah pengawasan Wanakerti. Jalan yang hanya satu jalur. Kalau benar
keterangan pengawas yang datang itu, maka mereka pasti akan menjumpai Wanakerti
dan kawannya diperjalanan itu.
“Nah, sekarang
katakan apa yang sudah terjadi di daerahmu”
Pengawas
bermata tajam itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia mengatur
pernafasannya. Kemudian iapun mulai menceriterakan apa yang sudah terjadi
didaerah pengawasannya sejak beberapa hari yang lalu. Keributan yang timbul dan
beberapa kematian yang sudah terjadi. Senjata beracun dan mayat yang hilang.
Kemudian suara gemerincing di malam bari dan perkelahian-perkelahian yang seru.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun pengawas yang lelah itu
tidak dapat menceriterakan dengan teratur, namun Sutawijaya dan para pemimpin
Tanah Mataram sudah dapat membayangkan apa yang sudah terjadi.
“Siapakah
ketiga orang yang kau katakan telah mengambil peranan di dalam daerahmu itu?”
“Kami
mengenalnya bernama Truna Podang tuan.” Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Nama itu belum pernah didengarnya.
“Bagaimana
dengan kedua anak-anaknya? Bukankah kau mengatakan Truna Podang mempunyai dua
orang anak laki-laki?”
“Ya, tuan.
Yang seorang gemuk dan yang seorang sedang.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya Kemudian, “senjatanya?”
“Mereka
bersenjata cambuk, ya, mereka menyebut diri mereka sebagai gembala yang hendak
mendapatkan daerah baru karena di daerah mereka yang lama, mereka sama sekali
tidak dapat hidap dengan wajar.”
Sutawijaya
meng-angguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Anaknya yang
seorang gemuk dan yang seorang sedang. Mereka bersenjata cambuk. Begitu?”
“Ya.”
Orang-orang
yang ada ditempat itu menjadi heran ketika mereka melihat Sutawijaya tersenyum.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Baiklah.
Biarlah orang yang menyebut dirinya Truna Podang itu membantu kalian. Untuk
sementara kami tidak berkeberatan. Para pemimpin Tanah yang sedang kita buka
ini mengucapkan terima kasih kepada mereka.”
Pengawas
bermata tajam itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula, meskipun ia masih juga
merasa heran. Seolah-olah Sutawijaya itu pemah melihat, setidaknya pernah
mendengar serba sedikit tentang Truna Podang itu.
“Jadi,
bagaimanakah dengan kami?” bertanya pengawas bermata tajam.
Aku sendiri akan
datang” berkata Sutawijaya,
“daerah
pengawasanmu memang gawat. Tetapi seperti sudah aku katakan, ketiga orang itu
memang dapat membantu.”
Pengawas
bermata tajam itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih tetap heran.
Ia merasa bahwa keterangannya mengenai ketiga orang itu belum cukup banyak.
Tetapi Raden Sutawijaya langsung mempercayai mereka.
“Sebelum aku
sempat datang” berkata Sutawijaya selanjutnya,
“aku akan
mengirimkan beberapa orang untuk membantu mengawasi daerah itu.”
Pengawas
bermata tajam itu mengangguk-anggukkan Kepalanya.
“Kita menunggu
para pengawal yang menjemput Wanakerti” berkata Sutawijaya selanjutnya.
Dalam pada itu
keadaan Wanakerti benar-benar sudah parah. Hanya karena ia merasa
bertanggungjawab agar pesan yang dibawa oleh seorang kawannya sampai, ia
bertempur sampai apapun yang akan terjadi atasnya. Apalagi menilik pengenalan
ketiga lawannya atas daerah itu, maka melarikan diripun bukan jalan yang dapat
ditempuh. Disaat-saat terakhir Wanakerti benar-benar sudah hampir tidak dapat
melakukan perlawanan sama sekali. Luka-luka ditubuhnya sudah silang menyilang
di dada dan di punggung. Meskipun demikian bersama kawannya, Wanakerti masih
tetap menggenggam senjata di tangan.
Namun demikian
ia dipaksa untuk mendengar lawanya berkata sambil tertawa,
“Jangan
menyesal. Aku sedang menunggu kedua kawanku yang mengejar seorang pengawas yang
licik. Tetapi ia pun tidak akan luput dari tangannya. Kalau kedua kawan-kawanku
itu sudah datang, maka kami berlima akan membunuh kalian. Aku tidak mau
mengecewakan kedua kawanku, karena mereka tidak mendapat bagian melihat suatu
pertunjukan yang sangat menyenangkan ini.
Wanakerti
tidak menjawab. Ia merasa sebagai barang mainan yang nasibnya seolah-olah sama
sekali tergantung kepada ketiga orang lawannya. Demikian juga agaknya pengawas
yang lain, meskipun ia masih juga tetap memegang senjatanya. Tenaga kedua
pengawas itu sudah hampir lenyap sama sekali karena darah yang meleleh dari
luka. Seandainya ketiga orang itu ingin segera membunuhnya, maka mereka tidak
akan mendapat kesukaran lagi. Tetapi agaknya mereka memang ingin membiarkan
kedua pengawas itu mengalami penderitaan sebelum hidup mereka diakhiri.
“Kami harus
mendapat keyakinan, apakah yang terjadi dengan kedua kawan-kawanku” berkata
salah seorang dari mereka,
“kalau mereka
berhasil, maka kalian akan mendapat jalan kematian yang lebih baik. Tetapi
kalau mereka gagal, maka kemarahan kami akan tertumpah kepada kalian berdua.
Kami akan mengikat kalian pada sebelah kaki dan akan menyeret kalian di
belakang kuda kami melintasi semak-semak berduri. Nah, apakah kalian menyadari
nasib kalian.”
Wanakerti
menggeram. Betapapun lemahnya, ia masih tetap duduk diatas punggung kuda sambil
membawa senjata. Memang dicobanya untuk mencari jalan, melepaskan diri.
Sesekali dipandanginya jalur jalan yang menuju ke pusat Tanah Mataram. Namun
kedua pengawas itu tidak akan dapat dengan mudah melepaskan diri dari arena
perkelahian yang semakin tidak seimbang itu. Bahkan sebelum kedua pengawas itu
mencoba untuk menghindarkan diri, salah seorang dari ketiga orang yang tidak
dikenal itu sudah mentertawakannya sambil berkata,
“Jangan
mencoba untuk berlari lagi. Selagi kau masih utuh, kau tidak dapat melepaskan
dirimu. Apalagi sekarang, disaat nyawamu sudah berada di ujung ubun-ubunmu.
Wanakerti menggeram. Tetapi ia memang sudah tidak berdaya.
Dalam pada
itu, salah seorang dari ketiga lawannya tiba-tiba bertanya,
“Apakah kita
akan menunggu?”
Dan salah
seorang diantara mereka menjawab,
“Ya. Kita akan
menunggu sebentar. Kalau ia dapat membawa yang seorang itu, maka permainan kita
akan lengkap.”
“Kita akan
membunuh mereka?”
“Apakah tidak
sebaiknya kita akan membawa mereka hidup-hidup. Kita memerlukan mereka bertiga
meskipun kelak kita akan membunuhnya pula dengan cara yang dapat dipikirkan
kemudian. Bukankah itu lebih baik.”
“Aku kira,
kita tidak memerlukannya lagi. Keduanya lebih baik diselesaikan saja sekarang.
Mereka akan menjadi beban pengawasan.” tertak yang lain.
“Kita
memerlukan keterangan.”
“Kita akan
mengambilnya di gardu pengawas. Disana masih ada beberapa orang yang pantas
untuk memberikan keterangan. Bahkan pemimpin pengawas yang luka itu.” berkata
orang itu dengan garangnya,
“aku sudah
muak melihat kedua kelinci ini.”
Kedua kawannya
mengerutkan keningnya. Dan orang yang garang itu berkata selanjutnya,
“Sudah aku
katakan, aku akan mengikat sebelah kakinya di belakang kuda. Kita tidak perlu
menunggu lebih lama lagi. Pekerjaan kita masih cukup banyak.”
“Yang seorang
lagi?” bertanya yang lain.
“Biarlah kedua
anak-anak itu yang mengurusnya. Sejenak mereka terdiam. Tetapi ketiga pasang
mata yang menyala itu memandang Wanakerti dengan seorang kawannya, seolah-olah
akan membakarnya hidup-hidup.
“Sekarang.
Tangkap mereka hidup-hidup. Kemudian sebelah kakinya. Sebelah saja.”
Kedua kawannya
saling berpandangan. Kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Ketiga orang
itu pun kemudian memencar mengepung Wanakerti dan kawannya, Semakin lama
ketiganya menjadi semakin rapat. Di tengah-tengah Wanakerti dan kawannya
menjadi semakin tegang pula Namun kemudian Wanakerti menggeram,
“Kalian hanya
akan dapat menyentuh mayat kami. Kami masih bersenjata, dan kami masih
bertenaga untuk melawan kalian.
Ketiga lawan
para pengawas itupun tertegun sejenak. Memang sulit bagi mereka untuk menangkap
keduanya hidup-hidup. Mereka pasti akan melawan dengan segenap sisa kemampuan
mereka. Bagi keduanya memang lebih baik mati oleh senjata yang membelah dadanya
daripada mati bagai permainan.
“Sulit juga
untuk menangkap kedua tikus kecil” desis salah seorang dari mereka yang
mengepung kedua pengawas itu,
“Kedua tikus
yang sudah berputus asa akan dapat membunuh dirinya dengan cara apapun.”
“Aku tidak peduli”
desis yang lain,
“seandainya
keduanya akan membunuh dirinya, apaboleh buat. Kita sudah terlalu lama
menungguinya. Aku sudah jemu. Aku sudah puas melihat betapa wajahnya dibayangi
oleh ketakutan yang tidak terkirakan.”
Yang lain
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sejenak kemudian kuda-kuda itupun sudah
bergerak lagi. Semakin lama menjadi semakin dekat. Namun sekali lagi mereka
tertegun ketika mereka mendengar derap kaki-kaki kuda mendekat. Dua ekor kuda
yang semakin lama menjadi semakin dekat.
“Itulah
kawan-kawan kita” desis salah seorang dari mereka.
Ketiganya pun
menjadi termangu-mangu. Dengan ragu-ragu mereka menunggu.
“Bagaimana
kalau orang lain?” desis salah seorang dari mereka.
“Kita bunuh
sama sekali.”
Namun sejenak
kemudian muncullah dua ekor kuda. Diatas punggungnya dua orang duduk dengan
nafas terengah-engah.
“He bagaimana
dengan kalian?” bertanya salah seorang dari ketiganya setelah mereka melihat
bahwa yang datang memang kawan-kawan mereka.
“Tugas kami
sudah selesai” jawab mereka hampir berbareng.
“Bagaimana
dengan pengawas yang lari itu?”
“Aku sudah
membunuhnya. Aku ikat sebongkah batu padas di kakinya. Kemudian kami lemparkan
orang itu hidup-hidup ke dalam rawa-rawa.”
“Bagus.
Sekarang tinggal kedua orang ini. Apakah akan kita ikat dan kita tarik di
belakang kaki kuda?”
“Tetapi kita
harus berbuat cepat” berkata salah seorang dari kedua orang yang baru datang
itu,
“mungkin ada
beberapa orang yang menyelusuri jejak kami. Tetapi mereka memerlukan waktu
untuk sampai ke tempat ini. Meskipun demikian kita tidak boleh lengah. Kita
harus segera menyelesaikan, apapun cara yang kita kehendaki”
Sejenak
orang-orang yang tidak dikenal itu berdiam diri. Dengan tatapan mata yang liaar
dipandanginya Wanakerti dan kawannya yang masih duduk sambil menggenggam
senjata mereka meskipun hampir di seluruh tubuh mereka telah tergores luka.
“Apakah mereka
akan datang?” tiba-tiba salah seorang bertanya,
“Mungkin
sekali.”
“Kalau begitu
kita harus segera membunuhnya” orang itu menggeram.
Namun belum
lagi mereka berbuat sesuatu, terdengarlah pula derap kaki-kaki kuda yang
menggetarkan hutan yang rindang itu. Semakin lama semakin dekat.
“Siapakah
mereka itu?” desis salah seorang dari kelima orang itu.
“Tetapi tidak
secepat itu. Para pengawal itu memerlukan waktu yang cukup lama.” yang lain menyahut,
kemudian,
“arahnya tidak
sejalan dengan arah yang aku lalui. Mereka pasti bukan orang-orang yang
mengejar aku.”
“Lalu siapa?”
Kedua orang
yang datang kemudian itu menggelengkan kepalanya. Namun sekilas terlintas di
dalam angan-angannya, pengawas bermata tajam itu pasti sudah sampai di pusat
Tanah Mataram. Ia pasti sudah melaporkan apa yang terjadi. Karena itu, mungkin
sekali iring-iringan ini adalah para pengawal yang mendapat laporan dari
pengawas yang dikejarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar