Jilid 057 Halaman 2


Tetapi ia sudah terlanjur mengatakan bahwa pengawas itu sudah dibunuhnya, meskipun maksudnya sama sekali bukan untuk mengelabui kawan-kawannya, tetapi sekedar untuk membuat Wanakerti semakin berkecil hati. Sejenak mereka dicengkam oleh keragu-raguan. Dan waktu yang sejenak itu telah dipergunakan oleh Wanakerti sebaik-baiknya. Ketika ia melihat kebimbangan melanda jantung orang-orang yang mengejarnya itu, maka dengan tangannya ia memberi isyarat kepada kawannya. Karena itu, sejenak kemudian maka dengan tiba-tiba mereka telah melecut kuda-kuda mereka dengan ujung kendali yang segera meloncat dan berlari sekencang-kencangnya.
“Gila” teriak salah seorang dari mereka,
“kali tidak akan lepas dari tangan kami.”
Memang orang-orang itu pun dengan tangkasnya segera menyusul. Jarak di antara mereka memang tidak begitu jauh. Beberapa saat kemudian, Wanakerti pasti tidak akan dapat melepaskan diri lagi.

Tetapi yang membuat kelima orang itu menjadi bimbang adalah derap kuda yang semakin dekat. Dan mereka tidak dapat menebak siapakah yang bakal datang itu. Meskipun Wanakerti juga tidak mengetahui siapa yang datang, namun ia telah berbuat untung-untungan. Kalau yang datang itu lawan, biarlah ia mati semakin cepat. Tetapi kalau yang datang itu kawan, ia akan mendapatkan harapan untuk hidup. Kuda-kuda para pengejarnya kini tinggal beberapa langkah lagi. Sejenak kemudian maka ujung pedang mereka akan dapat menghunjam dipunggungnya. Tetapi keduanya tidak menyerah. Sekali mereka berpaling, dan mereka melihat ujung pedang yang sudah teracu. Namun keduanya pun masih menggenggam pedang pula ditangan. Tetapi, dalam pada itu, derap kaki-kaki kuda dihadapan mereka pun telah menjadi semakin dekat pula. Ketika tiba-tiba kemudian muncul beberapa orang penunggang kuda dari balik tikungan, hati Wanakerti serasa tersentuh embun. Jelas baginya bahwa mereka adalah para pengawal. Karena itu, maka terasa harapan didadanya menjalar kesegenap tubuhnya. Bukan saja ia ingin untuk tetap hidup, tetapi apabila seorang kawannya yang telah mengambil jalan simpang itu benar-benar terbunuh, maka ia masih mempunyai kesempatan untuk menyampaikan pesan pemimpirmya dan orang yang menyebut dirinya bernama Truna Podang itu. Berbeda dengan Wanakerti, maka orang-orang yang mengejarnya terperanjat ketika mereka melihat para pengawal itu. Bahkan kedua orang yang mengejar pengawas bermata tajam itu pun tidak menduga bahwa mereka datang begitu cepatnya. Tetapi kini mereka telah benar-benar berhadapan. Karena itu, maka tidak ada jalan lain bagi mereka daripada bertempur. Apalagi ketika mereka melihat bahwa yang datang itu tidak lebih dari enam orang saja, sedang Wanakerti dan kawannya sudah tidak berdaya sama sekali. Meskipun demikian, orang yang mengejar di paling depan, masih juga ingin melepaskan sakit hatinya. Karena tangannya masih belum sempat menjangkau kawan Wanakerti yang berkuda di belakang, maka tiba-tiba saja ia telah melemparkan pedangnya ke punggung pengawas itu. Para pengawal yang sudah semakin dekat melihat orang itu mengayunkan tangannya, sehingga salah seorang dari mereka telah, berteriak.
“Awas punggungmu.”
Pengawas yang berkuda di belakang itu berpaling. Ia melihat pedang meluncur kepunggungnya. Dengan sisa-sisa tenaganya ia mencoba menangkis serangan itu, tetapi ia tidak berhasil seluruhnya. Ujung pedang itu sudah terlampau dekat, sehingga ia hanya sempat merubah arahnya. Tetapi pedang itu masih juga menghunjam di pundaknya.

Perasaan sakit yang tajam serasa telah menghentakkan sisa tenaganya. Tanpa sesadarnya tangannya telah menarik kendali kudanya sehingga kudanya berbelok masuk kedalam semak-semak di pinggir jalur jalan setapak itu. Tetapi sentuhan ranting-ranting pepohonan pada tubuhnya sama sekali tidak tertahan lagi. Sejenak kemudian pengawas itu pun terpelanting dan jatuh diatas dedaunan kering. Tetapi ia sudah tidak dapat merasakan apapun lagi. Semuanya terasa menjadi gelap. Dan sejenak kemudian lapun menjadi pingsan karenanya. Wanakerti yang kemudian berpaling, melihat hat itu pula. Karena itu, tiba-tiba timbullah kemarahan yang meluap-luap di dadanya. Tanpa menghiraukan keadaan dirinya sendiri, ia menarik kekang kudanya sehingga kudanya telah berputar menghadap pengejarnya. Untunglah bahwa pada saat itu, para pengawal telah sampai ditempatnya pula, sehingga ketika para pengejarnya menyerang Wanakerti yang lemah, beberapa orang pengawal yang lain sekaligus telah melindunginya. Kuda-kuda mereka menyambar dengan dahsyatnya, dan tenaga mereka yang segar telah berhasil menyelamatkan Wanakerti dari sambaran pedang orang-orang yang sedang rnarah itu. Seorang pengawal yang lain, langsung memburu ketika ia melihat seorang diantara orang-orang tidak dikenal itu langsung meloncat turun dari kudanya. Ia adalah orang yang telah melemparkan pedangnya. Agaknya ia sedang berusaha mengambil pedangnya yang masih tertancap dipundak salah seorang pengawas yang pingsan itu. Agaknya ia tidak puas setelah ia berhasil menarik pedangnya. Dengan geramnya ia mengayunkan pedang itu ke leher Lawannya yang sedang pingsan. Tetapi ia terkejut ketika sebuah pedang yang lain telah menyambar pedangnya itu, sehingga hampir saja pedang itu terloncat dari tangannya.
“Persetan” ia menggeram. Ketika ia memutar tubuhnya, seorang pengawal telah menyerangnya sambil duduk di atas punggung kuda.
Dengan demikian orang itu terpaksa melayani lawannya. Apalagi lawannya ternyata seorang pengawal yang tangkas. Kudanyapun kuda yang lincah pula, sehingga setiap kali kaki-kaki kuda itu hampir menginjaknya. Sejenak kemudian orang itu berusaha membebaskan dirinya. Kemudian ia berlari ke kudanya sendiri yang masih berdiri termangu-mangu. Tetapi pengawas yang marah, yang melihat seorang kawannya terbaring di tanah tidak membiarkannya. Ia menyangka bahwa kawannya itu telah terbunuh. Karena itu, maka darahnya pun telah mendidih sampai ke kepala. Dengan demikian, selagi lawannya meloncat ke punggung kuda, ia pun telah menyambarnya dengan ujung senjatanya, sehingga lawannya menjadi bingung sejenak. Dengan demikian maka tangannya tidak dapat menguasai kendali kudanya dengan baik, sehingga kudanya pun kemudian berputar sambil meringkik. Saat-saat yang lemah itu ternyata telah mengakhiri semua petualangan yang pernah dilakukannya. Dengan dahsyatnya lawannya menyerangnya, dilambari oleh kemarahan yang meluap-luap. Apalagi pengawal yang datang ini adalah pengawal pilihan yang mampu mempergunakan senjatanya sebaik-baiknya. Maka sebelum ia berhasil menempatkan dirinya di atas punggung kuda, sebuah tusukan yang kuat telah membelah punggungnya. Sekali terdengar ia mengeluh tertahan, kemudian dengan sisa tenaganya ia masih mencoba berpegangan pada suri kudanya. Tetapi sejenak kemudian kedua tangannya pun terlepas, dan orang itu terjatuh di tanah.

Darah yang merah membasahi rerumputan di sekitarnya. Ia masih sempat mencoba meraih pedangnya yang terjatuh, tetapi sejenak kemudian iapun menutup matanya untuk selama-lamanya. Kematian salah seorang dari antara kelima orang yang tidak dikenal itu telah menumbuhkan kemarahan yang meluap-luap pada keempat kawan-kawannya. Hampir berbareng mereka menggeram dan menyerang lawan-lawan mereka dengan garangnya. Senjata mereka berputaran dengan dahsyatnya. Sejenak kemudian arena pertempuran itu pun menjadi semakin dahsyat. Tetapi kini jumlah para pengawai menjadi lebih banyak. Apalagi mereka adalah pengawal-pengawal pilihan yang masih segar, sehingga karena itu, maka mereka pun segera berhasil menguasai keadaan. Keempat orang itulah yang kini dalam keadaan terdesak bagaimanapun juga mereka berusaha. Tetapi ternyata bahwa ikatan diantara mereka agak berbeda dari ikatan kesatuan para pengawal. Orang-orang itu lebih mementingkan keselamatan diri mereka sendiri dari pada kesetiakawanan. Dengan demikian, ketika mereka merasa bahwa mereka sudah tidak akan dapat bertahan lagi, maka mulailah mereka berpikir untuk menyelamatkan diri. Namun demikian, mereka sama sekali tidak saling menghiraukan yang satu dari yang lain. Di dalam keadaan yang sulit, mereka harus dapat berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Bahkan kalau perlu, salah seorang dari mereka dapat dikorbankan oleh kawan-kawan mereka sendiri. Sejenak kemudian, maka usaha untuk menyelamatkan diri itupun sudah mulai mereka lakukan. Salah seorang dari keempat orang yang sedang bertempur itu, dengan serta merta telah memacu kudanya menembus semak-semak dan hilang di dalam rimbunnya dedaunan. Hal serupa itu sama sekali memang tidak terduga-duga. Karena itu, pengawal yang sedang menghadapinya justru tertegun sejenak. Namun mereka tidak ingin kehilangan orang itu, sehingga ketika mereka menyadari keadaan maka dua orang dari para pengawas itu telah berusaha mengejarnya. Yang lain, yang masih bertempur di arena itu pun ternyata berusaha juga untuk dapat menyelamatkan diri. Namun ketika salah seorang dari mereka sudah mendahului, para pengawal itupun menjadi semakin hati-hati. Malanglah nasib salah seorang dari orang-orang yang tidak dikenal itu. Ketika ia mencoba melarikan dirinya, maka sebuah ujung pedang telah menggores lehernya. Meskipun demikian, ia masih tetap bertahan di atas punggung kudanya untuk beberapa saat. Tetapi akhirnya ia pun terlempar dari punggung kudanya yang berlari seperti angin. Yang tinggal kemudian adalah dua orang dari antara mereka. Keduanya masih berkelahi mati-matian. Tetapi mereka pun sedang berusaha mendapat kesempatan untuk lari. Namun kesempatan itu benar-benar telah menjadi semakin sempit, karena para pengawal sudah mengetahui, bahwa tiba-tiba saja mereka dapat meninggalkan gelanggang. Namun ternyata kedua orang ini pun sama sekali tidak ingin menyerah. Mereka telah berjuang dengan segenap tenaga yang ada padanya. Bahkan ketika hampir seluruh tubuh mereka telah dibasahi oleh keringat dan darah, mereka masih juga belum menyerah.

Wanakerti yang lemah, sama sekali tidak dapat lagi ikut di dalam pertempuran itu. Kudanya berdiri menepi, sedang Wanakerti dengan susah payah mencoba untuk meloncat turun. Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya yang serasa menjadi terlampau berat mendekati seorang kawannya yang masih terbaring di tanah. Darah masih saja mengalir dari luka-lukanya, terutama luka di pundaknya. Dengan kain pengawas itu sendiri yang disobeknya, maka Wanakerti berusaha untuk menyumbat arus darah kawannya itu. Meskipun tidak sempurna, namun usahanya agaknya dapat menolong juga. Wanakerti terkejut ketika ia mendengar jerit yang melengking dari arena. Ia masih melihat salah seorang dari kedua lawan para pengawal itu menggeliat di atas punggung kudanya. kemudian terlempar jatuh pula di atas tanah. Tanpa dikehendaki seekor kuda dari para pengawal yang berlari-larian itu telah menginjak dadanya, sehingga kemudian orang itu tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Sebuah luka telah menganga pula dilambungnya. Namun pekik kesakitan itu telah dapat dimanfaatkan oleh kawannya yang tinggal seorang. Dengan sigapnya ia memacu kudanya menembus diantara dua orang lawannya yang sedang berpaling karena mendengar teriakan itu. Kuda itu langsung menyusup masuk ke dalam lebatnya batang-batang perdu di sebelah jalur jalan setapak.
“Tangkap hidup-hidup” teriak pemimpin pengawal itu.
Beberapa orang segera mengejarnya menyusup pula di antara semak-semak yang rimbun. Namun agaknya orang itu benar-benar telah menguasai medan. Ia lebih mengenal daerah yang dilaluinya, sehingga dengan cepatnya, orang itu telah meninggalkan pengejar-pengejarnya semakin jauh.
Para pengawal masih berusaha mengikuti jejak kuda itu. Tetapi semakin lama menjadi semakin sulit. Daun-daun yang kuning, yang tertimbun diantara batang-batang ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu agak mempersulit pengenalan mereka atas jejak kaki kuda yang diikutinya. Ketika mereka sampai pada semak-semak berduri dan batang-batang menjalar yang berjuntaian dari pepohonan yang besar, maka jejak yang diikutinya seakan-akan telah hilang begitu saja. Sejenak para pengawal itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ketika mereka menengadahkan kepala mereka, dilihatnya dedaunan yang menjadi semakin lebat. Kalau mereka maju terus, mereka akan memasuki daerah hutan yang semakin rapat.
“Apakah kita akan maju terus?” bertanya salah seorang dari mereka.
Yang lain tidak segera menjawab. Di belakang mereka adalah hutan perdu dan batang-batang ilalang yang liar. Tetapi di hadapan mereka adalah hutan kayu yang mulai rapat.

Para pengawal itu mulai ragu-ragu, apakah mereka akan berhasil mengejar orang yang lari itu. Jejak yang mereka selusuri pun menjadi semakin samar-samar karena dedaunan yang tebal di sekitar mereka.
“Sukar sekali untuk menemukan mereka di hutan yang mulai rapat itu” desis pemimpin pengawal
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sekilas mereka memandang pada sulur-sulur kayu yang berjuntai dari pepohonan, bergulat dengan batang-batang yang merambat.
“Memang sulit” desis seorang pengawal.
“Kita terpaksa melepaskannya” berkata pemimpin pengawal itu,
“tetapi ada juga baiknya. Ia akan dapat mengatakan kepada kawan-kawannya yang belum kita ketahui, bahwa pengawal Tanah Mataram sudah siap menghadapi mereka.”
Para pengawal mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dengan demikian mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan suatu kekuatan yang belum dapat mereka perhitungkan.
“Kita akan menghadap Raden Sutawijaya” berkata pemimpin pengawal itu.
“Kita menunggu kawan-kawan kita yang mengejar orang yang pertama kali meninggalkan gelanggang” sahut yang lain.
“Ya, kita akan kembali. Wanakerti menunggu.”
Para pengawal itu pun kemudian kembali ke bekas arena perkelahian yang menjadi bosah-baseh. Batang-batang ilalang seolah-olah telah digilas oleh roda-roda bergigi silang menyilang. Ketika para pengawal itu sampai, mereka melihat kawan-kawannya pun telah berada di tempat itu pula menunggu Wanakerti yang meskipun sudah sangat lemah, tetapi masih juga berusaha menolong kawannya yang sedang pingsan.
“Ia masih belum sadar” desis Wanakerti.
Para pengawal itu pun segera berjongkok di sampingnya. Mereka dengan berdebar memandang wajah pengawas yang pucat dan mata yang terpejam.
Tiba-tiba pemimpin pengawal itu bergeser maju. Dirabanya dada pengawas itu, dan bahkan kemudian dilekatkannya telinganya. Dengan wajah yang tegang, tangannya meraba mata pengawas itu dan dibukanya sedikit.
“Kenapa?” bertanya Wanakerti.
Pemimpin pengawas itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan suara yang berat ia berkata,
“Ia sudah meninggal.”
‘“He” Wanakerti mengerutkan keningnya, “ia sudah meninggal?”
Pemimpin pengawas itu mengangguk.

Kepala Ki Wanakerti pun segera tertunduk dalam-dalam merenungi wajah kawannya itu. Terasa tenggorokannya seakan-akan telah tersumbat. Ia telah berjuang bersamanya selama perjalanan yang meskipun tidak terlampau jauh, tetapi cukup berat itu.
“Ia sudah mendahului kita di dalam tugasnya.”
“Ya. Ia sudah gugur di dalam perjuangan menegakkan Tanah Mataram yang sedang tumbuh ini.”
Para pengawal yang lain pun telah menundukkan kepala mereka pula. Salah seorang kawan mereka telah gugur menghadapi rahasia yang masih samar-samar yang tersembunyi di belakang Alas Mentaok. Rahasia tentang hantu-hantu itu masih belum terpecahkan, dan kini mereka menghadapi rahasia baru yang tidak kalah rumitnya. Namun setiap pengawal itu mulai menghubung-hubungkan didalam hatinya, apakah tidak ada sangkut pautnya kedua rahasia yang besar yang tersimpan didalam lebatnya hutan Mentaok itu.
Sejenak kemudian maka pemimpin pengawal itupun berkata,
“Marilah, kita bawa tubuhnya ke pusat Tanah Mataram.”
“Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya.”
“Tetapi sebelumnya kita akan mengubur dulu mayat-mayat itu.” pemimpin pengawal itu melanjutkan.
Maka mereka pun kemudian mengubur mayat-mayat yang terbunuh di dalam peperangan. Karena mereka tidak dapat menggali tanah cukup dalam, maka diatas kuburan itu telah ditimbun batu-batu besar, agar tidak diganggu oleh binatang buas yang berkeliaran terutama di malam hari. Demikianlah maka para pengawal itu pun kemudian kembali ke pusat Tanah Mataram. Mereka hanya dapat menyelamatkan Wanakerti, sedang kawannya tidak lagi dapat menghindarkan diri, berkorban untuk daerah yang baru dibuka itu.
“Aku kehilangan kedua kawanku” desis Wanakerti di sepanjang jalan.
“Siapa?”
“Yang seorang lagi, yang bermata tajam, yang seharusnya menyampaikan berita tentang daerah kami itu. Kami sudah berusaha memancing para pengejarnya. Tetapi mereka pun telah membagi diri. Ketika mereka kembali mereka mengatakan bahwa kawanku itupun sudah terbunuh.”
Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Katanya,
“Tidak. Kawanmu sama sekali tidak terbunuh. Orang itulah yang memberitahukan kepada kami, bahwa kau telah terjepit di perjalanan karena kau memancing orang-orang yang mengejarmu, dan memberi kesempatan kepada kawanmu itu untuk berpacu terus.”
“Jadi orang itu masih hidup?”
“Ya, dan ia sudah menyampaikan pesan yang dibawanya kepada Raden Sutawijaya, karena ia dapat langsung menghadapnya.”
Ki wanakerti menarik nafas dalam-dalam.
”Syukurlah. Tuhan telah melindungi perjalanannya. Kalau ia gagal, aku kira, aku pun telah mati terbunuh pula didalam perkelahian ini. Tetapi, meskipun aku selamat, seorang kawanku telah meninggal.”
Tidak seorang pun yang menyahut. Namun kuda mereka masih berlari dijalan setapak, kembali ke pusat Tanah Mataram.

Dalam pada itu, Raden Sutawijaya sudah menghadap ayahanda Ki Gede Pemanahan, dan menyampaikan segala sesuatu yang didengarnya dari pengawas bermata tajam itu. Ki Gede Pemanahan mendengarkan keterangan puteranya dengan saksama. Sekali-sekali wajahnya menegang dan sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi siapakah menurut pendapatmu orang bercambuk itu?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
Sutawijaya tersenyum sambil menjawab,
“Tidak ada duanya di dunia. Orang itu pasti Kiai Gringsing dan murid-muridnya.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya. Pasti orang Itu. Apakah kau ingin menemuinya?”
“Bagaimana dengan ayahanda?”
“Sebenarnya aku juga ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya bernama Kiai Gringsing itu. Tetapi ketika aku datang ke Sangkal Putung di saat-saat pasukan terakhir dari Tohpati menyerah, agaknya orang itu sengaja menghindarkan dirinya, meskipun ia tidak menghindar darimu. Aku tidak tahu, kenapa ia berbuat begitu. Karena itu, sekarang sebaiknya kau sajalah yang datang ke tempat itu. Lihatlah, apakah dugaanmu benar bahwa orang itu adalah Kiai Gringsing bersama kedua muridnya. Dan sekaligus kau akan mendapat gambaran dari keadaan yang sebenarnya di daerah itu. Apa yang terjadi akan dapat menjadi bahan pertimbangan yang dapat ditrapkan di daerah-daerah lain yang mengalami gangguan yang serupa. Agaknya hampir di segala sudut tanah ini telah dicengkam oleh ketakutan. Mereka menganggap bahwa hantu-hantu di Alas Mentaok telah keluar seluruhnya, bersama seluruh pasukan yang ada untuk mengganggu manusia yang dianggap merebut kerajaannya.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, kau akan mendapat kesempatan untuk mempelajari keadaan itu. Aku yakin bahwa yang terjadi di sana adalah sebagian dari seluruh rencana yang besar dari pihak yang belum kita ketahuil maksudnya. Namun ternyata mereka telah mempergunakan kekerasan sehingga jatuh korban manusia.”
“Apakah ayahanda berpendapat bahwa hantu-hantu itu merupakan sebagian dari rencana itu.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya. Aku menganggap demikian.”
Sutawijaya masih mengangguk-angguk. Akhirnya ia berkata,
“Baiklah ayah. Aku akau pergi secepatnya. Besok aku akan membawa sepasukan kecil pengawal. Mudah-mudahan aku berhasil.”
“Baiklah. Bawalah pengawal yang datang menghadapmu.”
“Baik. ayah. Aku akan tinggal di daerah itu untuk beberapa saat.”
“Tetapi kau harus taertindak cepat. Kau jangan terlampau lama terikat pada suatu daerah. Tanah Mataram yang semakin luas ini memerlukan perhatianmu. Bukan saja segi ketenteraman, tetapi juga perkembangan tata perdagangan dan perniagaan, hubungan dengan daerah-daerah di sekitar Tanah Mataram dan bermacam-macam masalah lainnya.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar sepenuhnya, bahwa tugas yang dihadapinya adalah berat sekali. Tetapi itu sudah disadarinya sejak ia berkeputusan untuk membuka Alas Mentaok menjadi suatu daerah yang akan dijadikannya sebuah negeri yang ramai.
“Alas Mentaok harus dapat menyusul daerah lain yang lebih dahulu telah dibuka” berkata Sutawijaya didalam hatinya yang keras seperti batu hitam,
“tidak saja dapat mengimbangi daerah di sekitarnya, Tanah-tanah Perdikan tetapi harus dapat mengimbangi daerah Kadipaten yang telah jauh mendahului.”
Tanpa disadarinya, Sutawijaya sebenarnya telah berpacu di dalam hatinya dengan seorang Perwira pasukan Pajang, kawan ayahnya yang telah lebih dahulu menerima daerah Pati yang sudah menjadi ramai.
“Kenapa ayahanda Sultan Pajang sama sekali tidak berkeberatan melihat perkembangan daerah-daerah lain, tetapi tiba-tiba saja telah mencurigai aku dan ayahanda Pemanahan
Pertanyaan Itu selalu mengganggunya. Namun Sutawijaya menyadari, karena ayahanda Ki Gede Pemanahan telah meninggalkan istana Pajang sebelum Tanah ini dengan resmi diserahkan. Di sore harinya Sutawijaya telah menyiapkan sebuah pasukan kecil yang akan pergi ke bagian Utara dari Tanah Mataram yang sedang dibuka ini. Ia berkenan juga mengunjungi Wanakerti yang masih sangat lemah karena luka-lukanya.
“Kau tinggal saja di sini Ki Wanakerti” berkata Sutawijaya,
“biarlah seorang kawanmu itulah yang akan mengantarkan kami.”
“Tidak tuan. Aku mohon agar aku diperkenankan untuk ikut serta kembali ke daerah itu. Besok aku pasti sudah sehat kembali. Aku sudah mendapat obat yang baik disini bagi luka-lukaku.”
“Tetapi kau masih sangat lemah.”
“Aku sudah sehat. Apabila tuan memperkenankan, aku mohon agar aku diperbolehkan ikut serta. Bukankah kita hanya akan sekedar duduk diatas punggung kuda?”
“Kau telah mengalami sendiri. Bagaimana kalau terjadi sesuatu diperjalanan?”
“Aku akan menyingkir. Aku merasa bahwa aku memang belum cukup kuat untuk bertempur. Tetapi aku juga tidak akan mengganggu. Aku akan mencoba menjaga diriku sendiri.”
Sutawijaya tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Baiklah. Jika kau berkeras hati untuk pergi bersama kami besok. Tetapi sekarang berusahalah beristirahat sebaik-bainya, supaya besok kau menjadi semakin segar.”
“Terima kasih tuan. Aku merasa bahwa luka-lukaku kini sudah sembuh sama sekali.”
“Jangan terseret oleh arus perasaan lihatlah kenyataanmu sekarang. Kau masih memerlukan perawatan. Karena itu beristirahatlah.”
“Ya tuan. Aku akan beristirahat sebaik-baiknya.”

Dalam pada itu, sebuah kelompok kecil para pengawas telah disiapkan. Besok pagi-pagi benar mereka akan berangkat dipimpin langsung oleh Raden Sutawijaya. Dan agaknya Raden Sutawijaya pun telah mengambil keputusan bahwa kedua pengawas yang datang itu besok akan pergi bersama-sama dengan mereka, meskipun Wanakerti masih sangat lemah. Namun mereka terpaksa melepaskan seorang kawan mereka yang ternyata telah gugur di perjalanan. Sementara itu, di pinggir hutan yang sedang dibuka, Kiai Gringsing dan kedua muridnya telah kembali pula sampai ke barak. Mereka melihat pemimpin pengawas yang terluka itu telah duduk di serambi barak, bersandar dinding bersama beberapa orang laki-laki. Agaknya mereka sedang memperbincangkan keadaan mereka dan usaha mereka untuk membuka hutan yang penuh dengan rahasia itu. Ketika pemimpin pengawas itu melihat Kiai Gringsing beserta kedua muridnya, iapun menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berdesis,
“Ternyata mereka selamat.”
“Kenapa?” bertanya salah seorang yang duduk disampingnya.
Pemimpin pengawas itu memandanginya dengan heran. Bahkan kemudian iapun bertanya,
“Kenapa kau bertanya begitu? Apakah kau tidak mengetahui keadaan terakhir dari daerah ini.”
Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya. Aku mengerti. Tetapi bukankah orang-orang itu termasuk orang-orang yang aneh? Bukan saja keberaniannya, tetapi ternyata mereka dapat mengatasi kesulitan yang timbul karena sikap-sikap yang keras dan bahkan senjata-senjata racun yang mengerikan itu.
Pemimpin pengawas itu mengangguk-angguk pula,
“Ya” katanya, “sebenarnya kita tidak perlu mencemaskannya. Namun demikian, kita tidak tahu pasti dan sama sekali tidak mempunyai gambaran, siapa dan berapa jumlah kekuatan yang tersembunyi dibalik rimbunnya dedaunan Hutan Mentaok. Itulah yang membuat kita menjadi ragu-ragu.”
Setiap laki-laki yang mendengar keterangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka, sementara Kiai Gringsing telah berdiri ditangga barak.
“Apakah keadaanmu sudah baik?” bertanya Kiai Gringsing kepada pemimpin pengawas itu.
“Ya, keadaanku sudah berangsur baik.”
“Sukurlah” katanya kemudian sambil naik ke serambi, sementara kedua anaknya pergi membersihkan diri ke perigi.
“Apakah kau tidak menjumpai sesuatu?” bertanya pemimpin pengawas itu.
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Tidak ada apa-apa. Kami bekerja penuh seperti biasa.”
Pemimpin pengawas itu mengangguk-angguk. “Sukurlah” katanya kemudian.

Kiai Gringsing pun kemudian berdiri pula menyusul kedua muridnya membersihkan dirinya, sementara senja yang merah telah menyelubungi daerah yang masih saja dibayangi oleh kecemasan karena rahasia yang tersimpan di Alas Mentaok masih belum terpecahkan. Setelah ketiganya selesai. maka mereka pun segera kembali ke barak. Mereka menunggu pemimpin pengawas itu terpisah dari orang-orang lain, supaya laporannya tentang suara burung kedasih tidak menambah kegelisahan mereka.
“Jadi kalian mendengar suara burung itu terus-menerus?” bertanya pemimpin pengawas itu.
“Ya” jawab Kiai Gringsing.
“Apakah menurut dugaanmu suara itu sama sekali bukan suara burung yang sebenarnya?”
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya.
“Memang bukan. Aku yakin bahwa suara itu adalah suatu isyarat saja.”
Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kalau begitu kalian memang harus sangat berhati-hati. Kita memang menghadapi suatu keadaan yang sulit. Kita di sini mengharap bahwa para pengawas berhasil mencapai pusat Tanah Mataram sehingga mereka dapat menyampaikan laporan itu kepada para pemimpin tertinggi di Mataram.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia juga merasa cemas. Di perjalanan banyak hal yang dapat terjadi. Tetapi apabila mereka selamat, mereka pasti sudah sampai di Mataram dan laporan itu pasti sudah didengar oleh Ki Gede Pemanahan atau puteranya Sutawijaya.
“Kita harus menunggu sampai besok” berkata pemimpin pengawas itu” kalau mereka sampai pada alamatnya, besok pasti akan datang beberapa orang baru.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di dalam kepalanya herkecamuk berbagai masalah yang dapat terjadi malam nanti. Meskipun mereka hanya harus menunggu semalam, tetapi yang semalam itu akan dapat terjadi banyak persoalan. Apalagi apabila para pengawas itu tidak berhasil mencapai Mataram. Maka keadaan pasti akan menjadi lebih sulit lagi. Demikianlah ketika malam turun, Kiai Gringsing mulai membagi tugas dengan murid-muridnya. Kedua muridnya harus pergi ke barak yang lain untuk memberikan sedikit ketenangan kepada orang-orang yang tinggal disana. Sementara Kiai Gringsing bersama pemimpin pengawas yang terluka itu tinggal di barak itu.
“Kalau terjadi sesuatu yang tidak dapat kalian atasi sendiri, kalian harus memberikan tanda” berkata gurunya,
“disana ada sebuah kentongan kecil. Pergunakanlah apabila perlu. Akupun akan berbuat serupa. Apabila perlu. aku akan memanggil kalian pula kemari.”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Keduanya pun kemudian turun kehalaman yang sudah disaput oleh kehitaman malam.
Namun langkah mereka tertegun ketika mereka melihat sebuah bayangan yang berjalan perlahan-lahan menuju kepada keduanya. Begitu langsung dan tanpa ragu-ragu sama sekali. Agung Sedayu dan Swandaru menjadi berdebar-debar. Tanpa mereka sadari, maka merekapun kemudian bersiap menghadapi segala kemungkinan. Kiai Gringsing pun kemudian melihat bayangan yang mendatang itu pula. Selangkah ia maju sampai ke bibir tangga. Dengan tajamnya ia memandang bayangan yang semakin lama menjadi semakin dekat. Sejenak mereka menjadi curiga. Tidak ada seorang pun di antara orang-orang yang tinggal dibarak itu yang berani berjalan setenang itu di dalam malam yang sudah mulai gelap selain Kiai Gringsing dan kedua muridnya. Tetapi bayangan itu agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh keadaan di sekitarnya. Semakin dekat, Kiai Gringsing menjadi semakin jelas. siapakah yang datang itu. Bahkan kemudian iapun turun ke halaman sambil berdesis kepada kedua muridnya,
“Adi Sumangkar.”
“Paman Sumangkar” hampir berbareng kedua muridnya mengulang.
“Ya.”
Ketika cahaya lampu di serambi barak menyambar wajah bayangan itu, maka semakin jelaslah, bahwa orang itu memang benar Sumangkar.
Sambil tersenyum ia melangkah semakin dekat. Tetapi sebelum ia menyapa Kiai Gringsing, Kiai Gringsing sudah menyongsongnya sambil berbisik,
“Namaku Truna Podang.”
“O” desis Sumangkar sambil mengguncang lengan Kiai Gringsing,
“apakah kakang selamat selama ini.”
Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya,
“seperti yang kau lihat. Kedua anak-anakku pun selamat pula semuanya. Kau?”
Sumangkar tertawa. Ia segera menangkap, bahwa kali ini Kiai Gringsing berperan sebagai seorang yang bernama Truna Podang. Sedang kedua murid-muridnya adalah anak-anak Truna Podang.

Sumangkar pun kemudian diajaknya ke barak. Agung Sedayu dan Swandaru bergantian menyampaikan salam keselamatan.
“Tetapi” berkata Kiai Gringsing,
“kedatanganmu membuat aku berdebar-debar.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya,
“Aku memang sudah menyangka, bahwa kedatanganku akan membuat kalian di sini berdebar-debar. Tetapi aku tidak membawa kabar apa-apa yang mendebarkan itu.”
Kiai Gringsing pun mengangguk-angguk pula. Kemudian diperkenalkannya Sumangkar kepada pemimpin pengawas yang terluka itu. sehingga Sumangkar menjadi heran karenanya. Tanpa sesadarnya ia bertanya,
“Kenapa luka itu?”
“Kita akan saling bercerita nanti. Sekarang, apakah kau akan mandi dahulu dan makan?”
Sumangkar mengangguk sambil menjawab,
“Baiklah. Dimanakah letak perigi?”
“Tunjukkanlah pamanmu Sedayu” berkata Kiai Gringsing.
Sumangkar pun kemudian diantar oleh Agung Sedayu pergi ke sumur untuk membersihkan dirinya setelah menempuh perjalanan yang jauh. Setelah makan secukupnya, maka mulailah mereka berceritera tentang keadaan masing-masing. Tetapi karena Sumangkar tidak tahu benar keadaan Kiai Gringsing saat itu, maka ia hampir tidak pernah menyebutkan kepentingannya datang ke tempat itu. Yang paling banyak berceritera adalah justru Kiai Gringsing sendiri.
“Luka-luka pada punggung pemimpin pengawas itu cukup berat” berkata Kiai Gringsing,
“untunglah bahwa para pengawas yang lain cukup cepat mengatasi persoalannya.”
“Bukan para pengawas” sahut pemimpin pengawas itu,
“tetapi Ki Truna Podang dan kedua anak-anaknyalah yang mengatasi kesulitan saat itu.”

Sumangkar hanya sekedar mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
“Nah” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“barangkali kau masih terlampau lelah. Kau memerlukan istirahat.”
“Ya, aku lelah sekali.”
“Tetapi beruntunglah bahwa kau dapat sampai ke tempat ini tanpa gangguan apapun di perjalananmu.”
“Aku kira memang begitu. Aku sama sekali tidak menjumpai gangguan apapun juga.”
Kiai Gringsing pun kemudian mempersilahkan Sumangkar untuk beristirahat. Karena kehadiran Sumangkar, maka Kiai Gringsing terpaksa merubah pembagian kerjanya. Ki Sumangkar dipersilahkan tidur di barak yang lain bersama Agung Sedayu, sedang Swandaru tinggal bersama gurunya, meskipun sebenarnya ia ingin tidur bersama Agung Sedayu.
“Kau dapat mengatakan keadaan tempat ini kepada pamanmu.” bisik Kiai Gringsing kepada Agung Sedayu,
“barang kali kau akan mendapat kesempatan. Dan kau dapat bertanya kepadanya, kenapa ia datang ke tempat ini.”
“Baik guru” sahut Agung Sedayu perlahan-lahan.
Keduanya pun kemudian pergi kebarak yang lain, yang dihuni oleh perempuan-perempuan dan laki-laki yang bertugas didapur yang pada umumnya adalah laki-laki tua dan anak-anak. Di sepanjang jalur jalan setapak yang menghubungkan kedua barak itu, Agung Sedayu sudah mulai menceriterakan keadaan daerah yang baru dibuka itu. Kemudian diceriterakannya pula, kematian-kematian yang terjadi, bahkan mayat-mayat yang telah hilang.
“Untunglah gurumu seorang dukun yang luar biasa” desis Sumangkar.
“Ya, untung sajalah.”
“Dan apakah bahaya itu sampai saat ini masih mengancam?”
“Justru kita berada di dalam keadaan yang menegangkan. Kami berbesar hati bahwa tiba-tiba saja paman datang, seakan-akan paman sudah mengetahui kesulitan kami.
“Aku sama sekali tidak tahu kesulitan itu. Aku justru datang atas permintaan. Ki Demang Sangkal Putung untuk menjemput anaknya dan kau sama sekali. Terutama Nyai Demang di Sangkal Putung sudah sangat rindu kepada anaknya yang gemuk itu.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang Swandaru telah meninggalkan ibunya untuk waktu yang terlampau lama. Sebagai satu-satunya anak laki-laki, maka sudah sewajarnya kalau ibunya terlampau merindukannya, apalagi selama itu ia tidak tahu dengan pasti kabar beritanya.
“Dan paman dapat langsung menemukan kami di barak itu?” bertanya Agung Sedayu kemudian.
“Tidak. Aku menjelajahi beberapa bagian dan hutan yang sedang dibuka itu. Aku sudah sampai digardu pengawas yang kosong. Kemudian menyusur sepanjang jalan yang agaknya setiap hari dilalui oleh para pekerja yang sedang membuka hutan ini Maka aku pun sampai pula di barak ini. Adalah kebetulan sekali, aku menjumpai kalian. Kalau tidak, aku pasti akan bertanya tentang seorang tua yang bernama Kiai Gringsing. dan kedua muridnya yang bernama Agung Sedayu dan Swandaru Geni.”
Agung Sedayu tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Guru memang mempergunakan nama lain. Tetapi itu sudah hampir tidak berarti lagi, karena kami di sini sudah melibatkan diri dalam pergulatan yang semakin lama agaknya akan menjadi semakin seru.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Apakah tidak ada petugas-petugas keamanan yang melindungi daerah ini?”
“Ada, bukankah paman sudah bertemu dengan pemimpin pengawas yang terluka itu?”
“Ya, tetapi dimana para pengawas yang lain sekarang?”
“Mereka pergi ke pusat pemerintahan di Mataram.”
“Yang lain?”
“Semuanya. Mereka hanya tiga orang. Perjalanan ke pusat pemerintahan Tanah Mataram yang baru dibuka itu pun agaknya cukup berbahaya.”

Sumangkar mengangguk-angguk pula. Tetapi ia sudah tidak bertanya lagi. Dilihatnya cahaya lampu di serambi barak yang satu lagi. Barak yang sebagian dipergunakan sebagai dapur untuk menyiapkan rangsum orang-orang yang sedang membuka hutan itu. Ketika mereka memasuki barak itu, beberapa orang menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Yang seorang telah mereka kenal, anak orang tua yang bernama Truna Podang itu tetapi yang seorang agaknya orang baru di daerah itu. Agung Sedayu yang melihat pertanyaan membayang disetiap wajah tanpa diminta telah menjelaskan,
“Orang ini adalah pamanku. Paman Sumangkar. Paman datang untuk menjemput kami karena ibu kami sudah terlampau merindukan anak-anaknya.”
Orang-orang yang mendengar keterangan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ada diantara mereka, seorang laki-laki yang rambutnya sudah berwarna dua bertanya,
“Lalu bagaimana dengan kami di sini? Apakah kami dilepaskan tanpa perlindungan sama sekali.”
“Para pengawas yang pergi ke Mataram itu akan segera datang membawa sepasukan pengawal”
“Tetapi apakah mereka dapat melawan hantu-hantu?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Mereka masih saja selalu dibayangi oleh hantu-hantu yang mengerikan.
“Jangan takut” sahut Agung Sedayu kemudian,
“para pengawal itu pasti akan membawa satu dua orang yang dapat berhubungan langsung dengan hantu-hantu. Apakah kalian menyangsikan, bahwa di Mataram tersimpan pusaka-pusaka yang dapat menguasai hantu-hantu”
“Kalau memang demikian” jawab orang itu,
“kenapa orang-orang yang berkuasa di Mataram tidak berbuat apa-apa sebelumnya?”
“Ah, tentu mereka sudah banyak berbuat. Mereka selalu merondai daerah hutan-hutan yang wingit. Tetapi mereka tidak pernah menjumpai hantu-hantu itu sehingga mereka menyangka, bahwa hantu-hantu itu sudah tidak mengganggu lagi.
“Tetapi apa yang terjadi di sini? Hantu-hantu itu masih tetap menguasai kami.”
“Itulah yang dilaporkan oleh para pengawas diantaranya, selain orang-orang yang telah mengganggu ketenteraman kami disini.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi nampaknya la masih belum puas. Meskipun demikian ia sudah tidak bertanya lagi.

Agung Sedayu dan Sumangkar pun kemudian duduk di serambi barak itu, di bawah cahaya lampu yang bergoyang disentuh angin malam, Di luar suara cengkerik bersahut-sahutan dibarengi suara ilalang. Bukan hanya sekedar suara binatang-binatang kecil disela-sela rerumputan. Namun kemudian lama-lama mereka mendengar suara harimau yang mengaum di tengah-tengah hutan yang lebat. Tetapi suara harimau sama sekali tidak menarik perhatian lagi bagi orang-orang didalam barak. Mereka sama sekali tidak takut melawan harimau. Mereka beramai-ramai akan dapat membunuhnya dengan tombak-tombak panjang. Tetapi ketika mereka mendengar suara burung kedasih yang memelas, maka orang-orang di dalam barak itu mulai mengerutkan lehernya ke bawah selimut-selimut mereka. Seorang perempuan dengan hati yang berdebar-debar masih mendengar Agung Sedayu dan Sumangkar bercakap-cakap di serambi. Tetapi perempuan itu sama sekali tidak berani berbuat apa-apa. Apalagi karena suara burung kedasih itu rasa-rasanya menjadi semakin dekat. Agung Sedayu pun kemudian mengerutkan keningnya. Suara burung itu dikenalnya sejak lama. Karena itu, maka ia pun berbisik,
“Paman, agaknya malam inipun kita akan mendapat tamu selain paman.”
“Siapa?”
“Hantu-hantu itu. Barangkali paman ingin mendengar suaranya?”
“Ya.”
“Marilah kita masuk. Kalau mereka melihat kita tetap disini, mungkin mereka akan merubah niatnya. Kita akan berbaring di antara mereka.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku memang ingin melihat hantu itu.”
“Untuk sementara kita hanya dapat mendengar.” Sumangkar mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu mengerti jawaban Agung Sedayu itu.
Agaknya Agung Sedayu dapat menangkap perasaan Ki Sumangkar, sehingga karena itu ia berkata,
“Hantu-hantu itu tidak mendekati barak-barak ini. Mereka hanya lewat sambil memperdengarkan bunyi-bunyi yang aneh”
“Kitalah yang mendekat.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia berpaling memandangi orang-orang lain yang ada di dalam barak itu. Katanya,
“Mereka menjadi sangat ketakutan. Apabila terjadi sesuatu, mereka akan langsung menyalahkan kita. Sementara ini kita sedang berusaha mengambil hati mereka, terutama di barak yang satu itu. Kalau Kita berhasil membuka hati mereka meskipun perlahan-lahan, pekerjaan kita akan lebih mudah lagi Para pengawas agaknya sudah mulai terbuka hati dan tanggapannya terhadap hantu-hantu itu. Tetapi para penghuni yang lain agaknya belum.”
Ki Sumangkar mengerutkan keningnya pula. Perlahan-lahan ia bergumam seperti ditujukan kepada diri sendiri.
“Lalu kapan tugas ini selesai? Semuanya harus dikerjakan lambat laun dan telaten. Padahal Ki Demang Sangkal Putung suami isteri sudah begitu rindunya kepada Swandaru dan betapa rindunya pula kepada suatu peristiwa yang akan menyangkut hidup keluarga mereka.”
“Apa itu paman?” bertanya Agung Sedayu.
“Kalau aku boleh berterus terang, Ki Demang suami isteri sudah sangat ingin menimang seorang cucu.”
“Ah” Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Sedang wajahnya tiba-tiba menjadi kemerah-merahan.
“Ki Demang sudah mendengar berita yang aku sampaikan kepadanya, bahwa anak laki-lakinya sudah mengikat diri dengan seorang gadis Menoreh, Pandan Wangi. Sedang masalahmu ngger, Ki Demang suami isteri sudah mengetahui jauh sebelumnya.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau masalah pinggiran hutan ini mengikat kalian di sini, lalu kapan kalian akan kembali ke Sangkal Putung? Apakah kalian juga akan menunggu daerah ini menjadi kota dari berkembang menjadi suatu negeri?”
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Aku tidak tahu paman. Terserah kepada guru kelak. Apakah kita akan segera kembali, atau masih ada masalah yang kita tunggu disini.”
“Sebenarnya aku ingin berbicara dengan Kiai Gringsing. Tetapi malam ini aku ditaruhnya di sini, sehingga aku tidak dapat berbincang. Agaknya aku tahu maksudnya. Ia sedang memusatkan perhatiannya kepada daerah ini, sehingga ia tidak mau terganggu.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Namun tanpa sesadarnya kepalanya masih juga terangguk-angguk. Sejenak keduanya pun kemudian saling berdiam diri. Angin malam yang sejuk mengusap kening mereka. Namun Agung Sedayu kemudian mengangkat kepalanya ketika ia mendengar suara gemerincing dikejauhan.
“Nah, mereka datang” desis Agung Sedayu. Marilah kita masuk dan berbaring di dalam.”
Sumangkar mengerutkan keningnya. Katanya,
“Kalau begitu caramu, sampai kapan kau akan menemukannya?”
“Guru telah membuat rencana. Guru tidak ingin menangkap hantu-hantu kecil itu. Guru ingin mengetahui sampai dimanakah permainan mereka itu akan berlangsung dan siapakah sebenarnya yang berdiri di paling belakang.”
Sumangkar mengangguk-angguk. Ia pun kemudian dengan tergesa-gesa masuk ke dalam barak. Seperti biasanya, pintu barak itu tidak pernah tertutup rapat. Tetapi keduanya tidak akan dapat mengintainya dari balik pintu, karena justru di luar malam menjadi semakin gelap. Suara gemerincing itu semakin lama menjadi semakin dekat. Kemudian beberapa kali mengelilingi barak itu. Namun suara gemerincing Itu tidak juga. segera pergi seperti biasanya. Bahkan semakin lama menjadi semakin dekat. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Kali ini hantu-hantu itu agak menyimpang dari kebiasaannya. Namun demikian beberapa saat kemudian hantu-hantu itupun segera menjauh dan suaranya semakin hilang ke arah barak yang sebuah lagi. Tiba-tiba saja timbullah niat Agung Sedayu untuk mengikutinya. Ia tidak ingin mengganggu hantu-hantu itu sebelum mendapat perintah gurunya.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar