Tetapi ia sudah terlanjur mengatakan bahwa pengawas itu sudah dibunuhnya, meskipun maksudnya sama sekali bukan untuk mengelabui kawan-kawannya, tetapi sekedar untuk membuat Wanakerti semakin berkecil hati. Sejenak mereka dicengkam oleh keragu-raguan. Dan waktu yang sejenak itu telah dipergunakan oleh Wanakerti sebaik-baiknya. Ketika ia melihat kebimbangan melanda jantung orang-orang yang mengejarnya itu, maka dengan tangannya ia memberi isyarat kepada kawannya. Karena itu, sejenak kemudian maka dengan tiba-tiba mereka telah melecut kuda-kuda mereka dengan ujung kendali yang segera meloncat dan berlari sekencang-kencangnya.
“Gila” teriak
salah seorang dari mereka,
“kali tidak
akan lepas dari tangan kami.”
Memang
orang-orang itu pun dengan tangkasnya segera menyusul. Jarak di antara mereka
memang tidak begitu jauh. Beberapa saat kemudian, Wanakerti pasti tidak akan
dapat melepaskan diri lagi.
Tetapi yang
membuat kelima orang itu menjadi bimbang adalah derap kuda yang semakin dekat.
Dan mereka tidak dapat menebak siapakah yang bakal datang itu. Meskipun
Wanakerti juga tidak mengetahui siapa yang datang, namun ia telah berbuat
untung-untungan. Kalau yang datang itu lawan, biarlah ia mati semakin cepat.
Tetapi kalau yang datang itu kawan, ia akan mendapatkan harapan untuk hidup. Kuda-kuda
para pengejarnya kini tinggal beberapa langkah lagi. Sejenak kemudian maka
ujung pedang mereka akan dapat menghunjam dipunggungnya. Tetapi keduanya tidak
menyerah. Sekali mereka berpaling, dan mereka melihat ujung pedang yang sudah
teracu. Namun keduanya pun masih menggenggam pedang pula ditangan. Tetapi,
dalam pada itu, derap kaki-kaki kuda dihadapan mereka pun telah menjadi semakin
dekat pula. Ketika tiba-tiba kemudian muncul beberapa orang penunggang kuda
dari balik tikungan, hati Wanakerti serasa tersentuh embun. Jelas baginya bahwa
mereka adalah para pengawal. Karena itu, maka terasa harapan didadanya menjalar
kesegenap tubuhnya. Bukan saja ia ingin untuk tetap hidup, tetapi apabila
seorang kawannya yang telah mengambil jalan simpang itu benar-benar terbunuh,
maka ia masih mempunyai kesempatan untuk menyampaikan pesan pemimpirmya dan
orang yang menyebut dirinya bernama Truna Podang itu. Berbeda dengan Wanakerti,
maka orang-orang yang mengejarnya terperanjat ketika mereka melihat para
pengawal itu. Bahkan kedua orang yang mengejar pengawas bermata tajam itu pun
tidak menduga bahwa mereka datang begitu cepatnya. Tetapi kini mereka telah
benar-benar berhadapan. Karena itu, maka tidak ada jalan lain bagi mereka
daripada bertempur. Apalagi ketika mereka melihat bahwa yang datang itu tidak
lebih dari enam orang saja, sedang Wanakerti dan kawannya sudah tidak berdaya
sama sekali. Meskipun demikian, orang yang mengejar di paling depan, masih juga
ingin melepaskan sakit hatinya. Karena tangannya masih belum sempat menjangkau
kawan Wanakerti yang berkuda di belakang, maka tiba-tiba saja ia telah
melemparkan pedangnya ke punggung pengawas itu. Para pengawal yang sudah
semakin dekat melihat orang itu mengayunkan tangannya, sehingga salah seorang
dari mereka telah, berteriak.
“Awas
punggungmu.”
Pengawas yang
berkuda di belakang itu berpaling. Ia melihat pedang meluncur kepunggungnya.
Dengan sisa-sisa tenaganya ia mencoba menangkis serangan itu, tetapi ia tidak
berhasil seluruhnya. Ujung pedang itu sudah terlampau dekat, sehingga ia hanya
sempat merubah arahnya. Tetapi pedang itu masih juga menghunjam di pundaknya.
Perasaan sakit
yang tajam serasa telah menghentakkan sisa tenaganya. Tanpa sesadarnya
tangannya telah menarik kendali kudanya sehingga kudanya berbelok masuk kedalam
semak-semak di pinggir jalur jalan setapak itu. Tetapi sentuhan ranting-ranting
pepohonan pada tubuhnya sama sekali tidak tertahan lagi. Sejenak kemudian
pengawas itu pun terpelanting dan jatuh diatas dedaunan kering. Tetapi ia sudah
tidak dapat merasakan apapun lagi. Semuanya terasa menjadi gelap. Dan sejenak
kemudian lapun menjadi pingsan karenanya. Wanakerti yang kemudian berpaling,
melihat hat itu pula. Karena itu, tiba-tiba timbullah kemarahan yang
meluap-luap di dadanya. Tanpa menghiraukan keadaan dirinya sendiri, ia menarik
kekang kudanya sehingga kudanya telah berputar menghadap pengejarnya. Untunglah
bahwa pada saat itu, para pengawal telah sampai ditempatnya pula, sehingga
ketika para pengejarnya menyerang Wanakerti yang lemah, beberapa orang pengawal
yang lain sekaligus telah melindunginya. Kuda-kuda mereka menyambar dengan
dahsyatnya, dan tenaga mereka yang segar telah berhasil menyelamatkan Wanakerti
dari sambaran pedang orang-orang yang sedang rnarah itu. Seorang pengawal yang
lain, langsung memburu ketika ia melihat seorang diantara orang-orang tidak
dikenal itu langsung meloncat turun dari kudanya. Ia adalah orang yang telah
melemparkan pedangnya. Agaknya ia sedang berusaha mengambil pedangnya yang
masih tertancap dipundak salah seorang pengawas yang pingsan itu. Agaknya ia
tidak puas setelah ia berhasil menarik pedangnya. Dengan geramnya ia
mengayunkan pedang itu ke leher Lawannya yang sedang pingsan. Tetapi ia
terkejut ketika sebuah pedang yang lain telah menyambar pedangnya itu, sehingga
hampir saja pedang itu terloncat dari tangannya.
“Persetan” ia
menggeram. Ketika ia memutar tubuhnya, seorang pengawal telah menyerangnya
sambil duduk di atas punggung kuda.
Dengan
demikian orang itu terpaksa melayani lawannya. Apalagi lawannya ternyata
seorang pengawal yang tangkas. Kudanyapun kuda yang lincah pula, sehingga
setiap kali kaki-kaki kuda itu hampir menginjaknya. Sejenak kemudian orang itu
berusaha membebaskan dirinya. Kemudian ia berlari ke kudanya sendiri yang masih
berdiri termangu-mangu. Tetapi pengawas yang marah, yang melihat seorang
kawannya terbaring di tanah tidak membiarkannya. Ia menyangka bahwa kawannya
itu telah terbunuh. Karena itu, maka darahnya pun telah mendidih sampai ke
kepala. Dengan demikian, selagi lawannya meloncat ke punggung kuda, ia pun
telah menyambarnya dengan ujung senjatanya, sehingga lawannya menjadi bingung
sejenak. Dengan demikian maka tangannya tidak dapat menguasai kendali kudanya
dengan baik, sehingga kudanya pun kemudian berputar sambil meringkik. Saat-saat
yang lemah itu ternyata telah mengakhiri semua petualangan yang pernah
dilakukannya. Dengan dahsyatnya lawannya menyerangnya, dilambari oleh kemarahan
yang meluap-luap. Apalagi pengawal yang datang ini adalah pengawal pilihan yang
mampu mempergunakan senjatanya sebaik-baiknya. Maka sebelum ia berhasil
menempatkan dirinya di atas punggung kuda, sebuah tusukan yang kuat telah
membelah punggungnya. Sekali terdengar ia mengeluh tertahan, kemudian dengan
sisa tenaganya ia masih mencoba berpegangan pada suri kudanya. Tetapi sejenak
kemudian kedua tangannya pun terlepas, dan orang itu terjatuh di tanah.
Darah yang
merah membasahi rerumputan di sekitarnya. Ia masih sempat mencoba meraih
pedangnya yang terjatuh, tetapi sejenak kemudian iapun menutup matanya untuk
selama-lamanya. Kematian salah seorang dari antara kelima orang yang tidak
dikenal itu telah menumbuhkan kemarahan yang meluap-luap pada keempat
kawan-kawannya. Hampir berbareng mereka menggeram dan menyerang lawan-lawan
mereka dengan garangnya. Senjata mereka berputaran dengan dahsyatnya. Sejenak
kemudian arena pertempuran itu pun menjadi semakin dahsyat. Tetapi kini jumlah
para pengawai menjadi lebih banyak. Apalagi mereka adalah pengawal-pengawal
pilihan yang masih segar, sehingga karena itu, maka mereka pun segera berhasil
menguasai keadaan. Keempat orang itulah yang kini dalam keadaan terdesak bagaimanapun
juga mereka berusaha. Tetapi ternyata bahwa ikatan diantara mereka agak berbeda
dari ikatan kesatuan para pengawal. Orang-orang itu lebih mementingkan
keselamatan diri mereka sendiri dari pada kesetiakawanan. Dengan demikian,
ketika mereka merasa bahwa mereka sudah tidak akan dapat bertahan lagi, maka
mulailah mereka berpikir untuk menyelamatkan diri. Namun demikian, mereka sama
sekali tidak saling menghiraukan yang satu dari yang lain. Di dalam keadaan
yang sulit, mereka harus dapat berusaha menyelamatkan diri masing-masing.
Bahkan kalau perlu, salah seorang dari mereka dapat dikorbankan oleh
kawan-kawan mereka sendiri. Sejenak kemudian, maka usaha untuk menyelamatkan
diri itupun sudah mulai mereka lakukan. Salah seorang dari keempat orang yang
sedang bertempur itu, dengan serta merta telah memacu kudanya menembus
semak-semak dan hilang di dalam rimbunnya dedaunan. Hal serupa itu sama sekali
memang tidak terduga-duga. Karena itu, pengawal yang sedang menghadapinya
justru tertegun sejenak. Namun mereka tidak ingin kehilangan orang itu,
sehingga ketika mereka menyadari keadaan maka dua orang dari para pengawas itu
telah berusaha mengejarnya. Yang lain, yang masih bertempur di arena itu pun
ternyata berusaha juga untuk dapat menyelamatkan diri. Namun ketika salah
seorang dari mereka sudah mendahului, para pengawal itupun menjadi semakin
hati-hati. Malanglah nasib salah seorang dari orang-orang yang tidak dikenal
itu. Ketika ia mencoba melarikan dirinya, maka sebuah ujung pedang telah
menggores lehernya. Meskipun demikian, ia masih tetap bertahan di atas punggung
kudanya untuk beberapa saat. Tetapi akhirnya ia pun terlempar dari punggung
kudanya yang berlari seperti angin. Yang tinggal kemudian adalah dua orang dari
antara mereka. Keduanya masih berkelahi mati-matian. Tetapi mereka pun sedang
berusaha mendapat kesempatan untuk lari. Namun kesempatan itu benar-benar telah
menjadi semakin sempit, karena para pengawal sudah mengetahui, bahwa tiba-tiba
saja mereka dapat meninggalkan gelanggang. Namun ternyata kedua orang ini pun
sama sekali tidak ingin menyerah. Mereka telah berjuang dengan segenap tenaga
yang ada padanya. Bahkan ketika hampir seluruh tubuh mereka telah dibasahi oleh
keringat dan darah, mereka masih juga belum menyerah.
Wanakerti yang
lemah, sama sekali tidak dapat lagi ikut di dalam pertempuran itu. Kudanya
berdiri menepi, sedang Wanakerti dengan susah payah mencoba untuk meloncat
turun. Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya yang serasa menjadi terlampau
berat mendekati seorang kawannya yang masih terbaring di tanah. Darah masih
saja mengalir dari luka-lukanya, terutama luka di pundaknya. Dengan kain
pengawas itu sendiri yang disobeknya, maka Wanakerti berusaha untuk menyumbat
arus darah kawannya itu. Meskipun tidak sempurna, namun usahanya agaknya dapat
menolong juga. Wanakerti terkejut ketika ia mendengar jerit yang melengking
dari arena. Ia masih melihat salah seorang dari kedua lawan para pengawal itu
menggeliat di atas punggung kudanya. kemudian terlempar jatuh pula di atas
tanah. Tanpa dikehendaki seekor kuda dari para pengawal yang berlari-larian itu
telah menginjak dadanya, sehingga kemudian orang itu tidak bergerak lagi untuk
selama-lamanya. Sebuah luka telah menganga pula dilambungnya. Namun pekik
kesakitan itu telah dapat dimanfaatkan oleh kawannya yang tinggal seorang.
Dengan sigapnya ia memacu kudanya menembus diantara dua orang lawannya yang
sedang berpaling karena mendengar teriakan itu. Kuda itu langsung menyusup
masuk ke dalam lebatnya batang-batang perdu di sebelah jalur jalan setapak.
“Tangkap
hidup-hidup” teriak pemimpin pengawal itu.
Beberapa orang
segera mengejarnya menyusup pula di antara semak-semak yang rimbun. Namun
agaknya orang itu benar-benar telah menguasai medan. Ia lebih mengenal daerah
yang dilaluinya, sehingga dengan cepatnya, orang itu telah meninggalkan
pengejar-pengejarnya semakin jauh.
Para pengawal
masih berusaha mengikuti jejak kuda itu. Tetapi semakin lama menjadi semakin
sulit. Daun-daun yang kuning, yang tertimbun diantara batang-batang ilalang dan
gerumbul-gerumbul perdu agak mempersulit pengenalan mereka atas jejak kaki kuda
yang diikutinya. Ketika mereka sampai pada semak-semak berduri dan
batang-batang menjalar yang berjuntaian dari pepohonan yang besar, maka jejak
yang diikutinya seakan-akan telah hilang begitu saja. Sejenak para pengawal itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ketika mereka menengadahkan kepala mereka,
dilihatnya dedaunan yang menjadi semakin lebat. Kalau mereka maju terus, mereka
akan memasuki daerah hutan yang semakin rapat.
“Apakah kita
akan maju terus?” bertanya salah seorang dari mereka.
Yang lain
tidak segera menjawab. Di belakang mereka adalah hutan perdu dan batang-batang
ilalang yang liar. Tetapi di hadapan mereka adalah hutan kayu yang mulai rapat.
Para pengawal
itu mulai ragu-ragu, apakah mereka akan berhasil mengejar orang yang lari itu.
Jejak yang mereka selusuri pun menjadi semakin samar-samar karena dedaunan yang
tebal di sekitar mereka.
“Sukar sekali
untuk menemukan mereka di hutan yang mulai rapat itu” desis pemimpin pengawal
Yang lain
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sekilas mereka memandang pada sulur-sulur
kayu yang berjuntai dari pepohonan, bergulat dengan batang-batang yang
merambat.
“Memang sulit”
desis seorang pengawal.
“Kita terpaksa
melepaskannya” berkata pemimpin pengawal itu,
“tetapi ada
juga baiknya. Ia akan dapat mengatakan kepada kawan-kawannya yang belum kita
ketahui, bahwa pengawal Tanah Mataram sudah siap menghadapi mereka.”
Para pengawal
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dengan demikian mereka sadar bahwa mereka
berhadapan dengan suatu kekuatan yang belum dapat mereka perhitungkan.
“Kita akan
menghadap Raden Sutawijaya” berkata pemimpin pengawal itu.
“Kita menunggu
kawan-kawan kita yang mengejar orang yang pertama kali meninggalkan gelanggang”
sahut yang lain.
“Ya, kita akan
kembali. Wanakerti menunggu.”
Para pengawal
itu pun kemudian kembali ke bekas arena perkelahian yang menjadi bosah-baseh.
Batang-batang ilalang seolah-olah telah digilas oleh roda-roda bergigi silang
menyilang. Ketika para pengawal itu sampai, mereka melihat kawan-kawannya pun
telah berada di tempat itu pula menunggu Wanakerti yang meskipun sudah sangat
lemah, tetapi masih juga berusaha menolong kawannya yang sedang pingsan.
“Ia masih
belum sadar” desis Wanakerti.
Para pengawal
itu pun segera berjongkok di sampingnya. Mereka dengan berdebar memandang wajah
pengawas yang pucat dan mata yang terpejam.
Tiba-tiba
pemimpin pengawal itu bergeser maju. Dirabanya dada pengawas itu, dan bahkan
kemudian dilekatkannya telinganya. Dengan wajah yang tegang, tangannya meraba
mata pengawas itu dan dibukanya sedikit.
“Kenapa?”
bertanya Wanakerti.
Pemimpin
pengawas itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan suara yang berat ia
berkata,
“Ia sudah
meninggal.”
‘“He”
Wanakerti mengerutkan keningnya, “ia sudah meninggal?”
Pemimpin
pengawas itu mengangguk.
Kepala Ki
Wanakerti pun segera tertunduk dalam-dalam merenungi wajah kawannya itu. Terasa
tenggorokannya seakan-akan telah tersumbat. Ia telah berjuang bersamanya selama
perjalanan yang meskipun tidak terlampau jauh, tetapi cukup berat itu.
“Ia sudah
mendahului kita di dalam tugasnya.”
“Ya. Ia sudah
gugur di dalam perjuangan menegakkan Tanah Mataram yang sedang tumbuh ini.”
Para pengawal
yang lain pun telah menundukkan kepala mereka pula. Salah seorang kawan mereka
telah gugur menghadapi rahasia yang masih samar-samar yang tersembunyi di
belakang Alas Mentaok. Rahasia tentang hantu-hantu itu masih belum terpecahkan,
dan kini mereka menghadapi rahasia baru yang tidak kalah rumitnya. Namun setiap
pengawal itu mulai menghubung-hubungkan didalam hatinya, apakah tidak ada
sangkut pautnya kedua rahasia yang besar yang tersimpan didalam lebatnya hutan
Mentaok itu.
Sejenak
kemudian maka pemimpin pengawal itupun berkata,
“Marilah, kita
bawa tubuhnya ke pusat Tanah Mataram.”
“Wanakerti
mengangguk-anggukkan kepalanya.”
“Tetapi
sebelumnya kita akan mengubur dulu mayat-mayat itu.” pemimpin pengawal itu
melanjutkan.
Maka mereka
pun kemudian mengubur mayat-mayat yang terbunuh di dalam peperangan. Karena
mereka tidak dapat menggali tanah cukup dalam, maka diatas kuburan itu telah
ditimbun batu-batu besar, agar tidak diganggu oleh binatang buas yang
berkeliaran terutama di malam hari. Demikianlah maka para pengawal itu pun
kemudian kembali ke pusat Tanah Mataram. Mereka hanya dapat menyelamatkan
Wanakerti, sedang kawannya tidak lagi dapat menghindarkan diri, berkorban untuk
daerah yang baru dibuka itu.
“Aku
kehilangan kedua kawanku” desis Wanakerti di sepanjang jalan.
“Siapa?”
“Yang seorang
lagi, yang bermata tajam, yang seharusnya menyampaikan berita tentang daerah
kami itu. Kami sudah berusaha memancing para pengejarnya. Tetapi mereka pun
telah membagi diri. Ketika mereka kembali mereka mengatakan bahwa kawanku
itupun sudah terbunuh.”
Pemimpin
pengawal itu mengerutkan keningnya. Katanya,
“Tidak.
Kawanmu sama sekali tidak terbunuh. Orang itulah yang memberitahukan kepada
kami, bahwa kau telah terjepit di perjalanan karena kau memancing orang-orang
yang mengejarmu, dan memberi kesempatan kepada kawanmu itu untuk berpacu terus.”
“Jadi orang
itu masih hidup?”
“Ya, dan ia
sudah menyampaikan pesan yang dibawanya kepada Raden Sutawijaya, karena ia
dapat langsung menghadapnya.”
Ki wanakerti
menarik nafas dalam-dalam.
”Syukurlah.
Tuhan telah melindungi perjalanannya. Kalau ia gagal, aku kira, aku pun telah
mati terbunuh pula didalam perkelahian ini. Tetapi, meskipun aku selamat,
seorang kawanku telah meninggal.”
Tidak seorang
pun yang menyahut. Namun kuda mereka masih berlari dijalan setapak, kembali ke pusat
Tanah Mataram.
Dalam pada
itu, Raden Sutawijaya sudah menghadap ayahanda Ki Gede Pemanahan, dan
menyampaikan segala sesuatu yang didengarnya dari pengawas bermata tajam itu. Ki
Gede Pemanahan mendengarkan keterangan puteranya dengan saksama. Sekali-sekali
wajahnya menegang dan sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi siapakah
menurut pendapatmu orang bercambuk itu?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
Sutawijaya
tersenyum sambil menjawab,
“Tidak ada
duanya di dunia. Orang itu pasti Kiai Gringsing dan murid-muridnya.”
Ki Gede
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya. Pasti
orang Itu. Apakah kau ingin menemuinya?”
“Bagaimana
dengan ayahanda?”
“Sebenarnya
aku juga ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya bernama Kiai
Gringsing itu. Tetapi ketika aku datang ke Sangkal Putung di saat-saat pasukan
terakhir dari Tohpati menyerah, agaknya orang itu sengaja menghindarkan
dirinya, meskipun ia tidak menghindar darimu. Aku tidak tahu, kenapa ia berbuat
begitu. Karena itu, sekarang sebaiknya kau sajalah yang datang ke tempat itu.
Lihatlah, apakah dugaanmu benar bahwa orang itu adalah Kiai Gringsing bersama
kedua muridnya. Dan sekaligus kau akan mendapat gambaran dari keadaan yang
sebenarnya di daerah itu. Apa yang terjadi akan dapat menjadi bahan
pertimbangan yang dapat ditrapkan di daerah-daerah lain yang mengalami gangguan
yang serupa. Agaknya hampir di segala sudut tanah ini telah dicengkam oleh
ketakutan. Mereka menganggap bahwa hantu-hantu di Alas Mentaok telah keluar
seluruhnya, bersama seluruh pasukan yang ada untuk mengganggu manusia yang
dianggap merebut kerajaannya.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, kau akan
mendapat kesempatan untuk mempelajari keadaan itu. Aku yakin bahwa yang terjadi
di sana adalah sebagian dari seluruh rencana yang besar dari pihak yang belum
kita ketahuil maksudnya. Namun ternyata mereka telah mempergunakan kekerasan
sehingga jatuh korban manusia.”
“Apakah
ayahanda berpendapat bahwa hantu-hantu itu merupakan sebagian dari rencana
itu.”
Ki Gede
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya. Aku
menganggap demikian.”
Sutawijaya
masih mengangguk-angguk. Akhirnya ia berkata,
“Baiklah ayah.
Aku akau pergi secepatnya. Besok aku akan membawa sepasukan kecil pengawal.
Mudah-mudahan aku berhasil.”
“Baiklah.
Bawalah pengawal yang datang menghadapmu.”
“Baik. ayah.
Aku akan tinggal di daerah itu untuk beberapa saat.”
“Tetapi kau
harus taertindak cepat. Kau jangan terlampau lama terikat pada suatu daerah.
Tanah Mataram yang semakin luas ini memerlukan perhatianmu. Bukan saja segi
ketenteraman, tetapi juga perkembangan tata perdagangan dan perniagaan,
hubungan dengan daerah-daerah di sekitar Tanah Mataram dan bermacam-macam
masalah lainnya.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar sepenuhnya, bahwa tugas yang
dihadapinya adalah berat sekali. Tetapi itu sudah disadarinya sejak ia
berkeputusan untuk membuka Alas Mentaok menjadi suatu daerah yang akan
dijadikannya sebuah negeri yang ramai.
“Alas Mentaok
harus dapat menyusul daerah lain yang lebih dahulu telah dibuka” berkata
Sutawijaya didalam hatinya yang keras seperti batu hitam,
“tidak saja
dapat mengimbangi daerah di sekitarnya, Tanah-tanah Perdikan tetapi harus dapat
mengimbangi daerah Kadipaten yang telah jauh mendahului.”
Tanpa
disadarinya, Sutawijaya sebenarnya telah berpacu di dalam hatinya dengan
seorang Perwira pasukan Pajang, kawan ayahnya yang telah lebih dahulu menerima
daerah Pati yang sudah menjadi ramai.
“Kenapa
ayahanda Sultan Pajang sama sekali tidak berkeberatan melihat perkembangan
daerah-daerah lain, tetapi tiba-tiba saja telah mencurigai aku dan ayahanda
Pemanahan
Pertanyaan Itu
selalu mengganggunya. Namun Sutawijaya menyadari, karena ayahanda Ki Gede
Pemanahan telah meninggalkan istana Pajang sebelum Tanah ini dengan resmi
diserahkan. Di sore harinya Sutawijaya telah menyiapkan sebuah pasukan kecil
yang akan pergi ke bagian Utara dari Tanah Mataram yang sedang dibuka ini. Ia
berkenan juga mengunjungi Wanakerti yang masih sangat lemah karena
luka-lukanya.
“Kau tinggal
saja di sini Ki Wanakerti” berkata Sutawijaya,
“biarlah
seorang kawanmu itulah yang akan mengantarkan kami.”
“Tidak tuan.
Aku mohon agar aku diperkenankan untuk ikut serta kembali ke daerah itu. Besok
aku pasti sudah sehat kembali. Aku sudah mendapat obat yang baik disini bagi
luka-lukaku.”
“Tetapi kau
masih sangat lemah.”
“Aku sudah
sehat. Apabila tuan memperkenankan, aku mohon agar aku diperbolehkan ikut
serta. Bukankah kita hanya akan sekedar duduk diatas punggung kuda?”
“Kau telah
mengalami sendiri. Bagaimana kalau terjadi sesuatu diperjalanan?”
“Aku akan
menyingkir. Aku merasa bahwa aku memang belum cukup kuat untuk bertempur.
Tetapi aku juga tidak akan mengganggu. Aku akan mencoba menjaga diriku
sendiri.”
Sutawijaya
tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Baiklah. Jika
kau berkeras hati untuk pergi bersama kami besok. Tetapi sekarang berusahalah
beristirahat sebaik-bainya, supaya besok kau menjadi semakin segar.”
“Terima kasih
tuan. Aku merasa bahwa luka-lukaku kini sudah sembuh sama sekali.”
“Jangan
terseret oleh arus perasaan lihatlah kenyataanmu sekarang. Kau masih memerlukan
perawatan. Karena itu beristirahatlah.”
“Ya tuan. Aku
akan beristirahat sebaik-baiknya.”
Dalam pada
itu, sebuah kelompok kecil para pengawas telah disiapkan. Besok pagi-pagi benar
mereka akan berangkat dipimpin langsung oleh Raden Sutawijaya. Dan agaknya
Raden Sutawijaya pun telah mengambil keputusan bahwa kedua pengawas yang datang
itu besok akan pergi bersama-sama dengan mereka, meskipun Wanakerti masih
sangat lemah. Namun mereka terpaksa melepaskan seorang kawan mereka yang
ternyata telah gugur di perjalanan. Sementara itu, di pinggir hutan yang sedang
dibuka, Kiai Gringsing dan kedua muridnya telah kembali pula sampai ke barak.
Mereka melihat pemimpin pengawas yang terluka itu telah duduk di serambi barak,
bersandar dinding bersama beberapa orang laki-laki. Agaknya mereka sedang
memperbincangkan keadaan mereka dan usaha mereka untuk membuka hutan yang penuh
dengan rahasia itu. Ketika pemimpin pengawas itu melihat Kiai Gringsing beserta
kedua muridnya, iapun menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berdesis,
“Ternyata
mereka selamat.”
“Kenapa?”
bertanya salah seorang yang duduk disampingnya.
Pemimpin
pengawas itu memandanginya dengan heran. Bahkan kemudian iapun bertanya,
“Kenapa kau
bertanya begitu? Apakah kau tidak mengetahui keadaan terakhir dari daerah ini.”
Laki-laki itu mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Ya. Aku
mengerti. Tetapi bukankah orang-orang itu termasuk orang-orang yang aneh? Bukan
saja keberaniannya, tetapi ternyata mereka dapat mengatasi kesulitan yang
timbul karena sikap-sikap yang keras dan bahkan senjata-senjata racun yang
mengerikan itu.
Pemimpin
pengawas itu mengangguk-angguk pula,
“Ya” katanya,
“sebenarnya kita tidak perlu mencemaskannya. Namun demikian, kita tidak tahu pasti
dan sama sekali tidak mempunyai gambaran, siapa dan berapa jumlah kekuatan yang
tersembunyi dibalik rimbunnya dedaunan Hutan Mentaok. Itulah yang membuat kita
menjadi ragu-ragu.”
Setiap
laki-laki yang mendengar keterangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka,
sementara Kiai Gringsing telah berdiri ditangga barak.
“Apakah
keadaanmu sudah baik?” bertanya Kiai Gringsing kepada pemimpin pengawas itu.
“Ya, keadaanku
sudah berangsur baik.”
“Sukurlah”
katanya kemudian sambil naik ke serambi, sementara kedua anaknya pergi
membersihkan diri ke perigi.
“Apakah kau
tidak menjumpai sesuatu?” bertanya pemimpin pengawas itu.
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Tidak
ada apa-apa. Kami bekerja penuh seperti biasa.”
Pemimpin
pengawas itu mengangguk-angguk. “Sukurlah” katanya kemudian.
Kiai Gringsing
pun kemudian berdiri pula menyusul kedua muridnya membersihkan dirinya,
sementara senja yang merah telah menyelubungi daerah yang masih saja dibayangi
oleh kecemasan karena rahasia yang tersimpan di Alas Mentaok masih belum
terpecahkan. Setelah ketiganya selesai. maka mereka pun segera kembali ke
barak. Mereka menunggu pemimpin pengawas itu terpisah dari orang-orang lain,
supaya laporannya tentang suara burung kedasih tidak menambah kegelisahan
mereka.
“Jadi kalian
mendengar suara burung itu terus-menerus?” bertanya pemimpin pengawas itu.
“Ya” jawab
Kiai Gringsing.
“Apakah
menurut dugaanmu suara itu sama sekali bukan suara burung yang sebenarnya?”
Kiai Gringsing
menganggukkan kepalanya.
“Memang bukan.
Aku yakin bahwa suara itu adalah suatu isyarat saja.”
Pemimpin
pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Kalau begitu
kalian memang harus sangat berhati-hati. Kita memang menghadapi suatu keadaan
yang sulit. Kita di sini mengharap bahwa para pengawas berhasil mencapai pusat
Tanah Mataram sehingga mereka dapat menyampaikan laporan itu kepada para
pemimpin tertinggi di Mataram.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia juga merasa cemas. Di perjalanan
banyak hal yang dapat terjadi. Tetapi apabila mereka selamat, mereka pasti
sudah sampai di Mataram dan laporan itu pasti sudah didengar oleh Ki Gede
Pemanahan atau puteranya Sutawijaya.
“Kita harus
menunggu sampai besok” berkata pemimpin pengawas itu” kalau mereka sampai pada
alamatnya, besok pasti akan datang beberapa orang baru.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di dalam kepalanya herkecamuk berbagai
masalah yang dapat terjadi malam nanti. Meskipun mereka hanya harus menunggu
semalam, tetapi yang semalam itu akan dapat terjadi banyak persoalan. Apalagi
apabila para pengawas itu tidak berhasil mencapai Mataram. Maka keadaan pasti
akan menjadi lebih sulit lagi. Demikianlah ketika malam turun, Kiai Gringsing
mulai membagi tugas dengan murid-muridnya. Kedua muridnya harus pergi ke barak
yang lain untuk memberikan sedikit ketenangan kepada orang-orang yang tinggal
disana. Sementara Kiai Gringsing bersama pemimpin pengawas yang terluka itu
tinggal di barak itu.
“Kalau terjadi
sesuatu yang tidak dapat kalian atasi sendiri, kalian harus memberikan tanda”
berkata gurunya,
“disana ada
sebuah kentongan kecil. Pergunakanlah apabila perlu. Akupun akan berbuat
serupa. Apabila perlu. aku akan memanggil kalian pula kemari.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Keduanya pun kemudian turun kehalaman yang
sudah disaput oleh kehitaman malam.
Namun langkah
mereka tertegun ketika mereka melihat sebuah bayangan yang berjalan
perlahan-lahan menuju kepada keduanya. Begitu langsung dan tanpa ragu-ragu sama
sekali. Agung Sedayu dan Swandaru menjadi berdebar-debar. Tanpa mereka sadari,
maka merekapun kemudian bersiap menghadapi segala kemungkinan. Kiai Gringsing
pun kemudian melihat bayangan yang mendatang itu pula. Selangkah ia maju sampai
ke bibir tangga. Dengan tajamnya ia memandang bayangan yang semakin lama
menjadi semakin dekat. Sejenak mereka menjadi curiga. Tidak ada seorang pun di
antara orang-orang yang tinggal dibarak itu yang berani berjalan setenang itu
di dalam malam yang sudah mulai gelap selain Kiai Gringsing dan kedua muridnya.
Tetapi bayangan itu agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh keadaan di
sekitarnya. Semakin dekat, Kiai Gringsing menjadi semakin jelas. siapakah yang
datang itu. Bahkan kemudian iapun turun ke halaman sambil berdesis kepada kedua
muridnya,
“Adi Sumangkar.”
“Paman
Sumangkar” hampir berbareng kedua muridnya mengulang.
“Ya.”
Ketika cahaya
lampu di serambi barak menyambar wajah bayangan itu, maka semakin jelaslah,
bahwa orang itu memang benar Sumangkar.
Sambil
tersenyum ia melangkah semakin dekat. Tetapi sebelum ia menyapa Kiai Gringsing,
Kiai Gringsing sudah menyongsongnya sambil berbisik,
“Namaku Truna
Podang.”
“O” desis
Sumangkar sambil mengguncang lengan Kiai Gringsing,
“apakah kakang
selamat selama ini.”
Kiai Gringsing
tersenyum. Jawabnya,
“seperti yang
kau lihat. Kedua anak-anakku pun selamat pula semuanya. Kau?”
Sumangkar
tertawa. Ia segera menangkap, bahwa kali ini Kiai Gringsing berperan sebagai
seorang yang bernama Truna Podang. Sedang kedua murid-muridnya adalah anak-anak
Truna Podang.
Sumangkar pun
kemudian diajaknya ke barak. Agung Sedayu dan Swandaru bergantian menyampaikan
salam keselamatan.
“Tetapi”
berkata Kiai Gringsing,
“kedatanganmu
membuat aku berdebar-debar.
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya,
“Aku memang
sudah menyangka, bahwa kedatanganku akan membuat kalian di sini berdebar-debar.
Tetapi aku tidak membawa kabar apa-apa yang mendebarkan itu.”
Kiai Gringsing
pun mengangguk-angguk pula. Kemudian diperkenalkannya Sumangkar kepada pemimpin
pengawas yang terluka itu. sehingga Sumangkar menjadi heran karenanya. Tanpa
sesadarnya ia bertanya,
“Kenapa luka
itu?”
“Kita akan
saling bercerita nanti. Sekarang, apakah kau akan mandi dahulu dan makan?”
Sumangkar
mengangguk sambil menjawab,
“Baiklah.
Dimanakah letak perigi?”
“Tunjukkanlah
pamanmu Sedayu” berkata Kiai Gringsing.
Sumangkar pun
kemudian diantar oleh Agung Sedayu pergi ke sumur untuk membersihkan dirinya
setelah menempuh perjalanan yang jauh. Setelah makan secukupnya, maka mulailah
mereka berceritera tentang keadaan masing-masing. Tetapi karena Sumangkar tidak
tahu benar keadaan Kiai Gringsing saat itu, maka ia hampir tidak pernah
menyebutkan kepentingannya datang ke tempat itu. Yang paling banyak berceritera
adalah justru Kiai Gringsing sendiri.
“Luka-luka
pada punggung pemimpin pengawas itu cukup berat” berkata Kiai Gringsing,
“untunglah
bahwa para pengawas yang lain cukup cepat mengatasi persoalannya.”
“Bukan para
pengawas” sahut pemimpin pengawas itu,
“tetapi Ki
Truna Podang dan kedua anak-anaknyalah yang mengatasi kesulitan saat itu.”
Sumangkar
hanya sekedar mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
“Nah” berkata
Kiai Gringsing kemudian,
“barangkali
kau masih terlampau lelah. Kau memerlukan istirahat.”
“Ya, aku lelah
sekali.”
“Tetapi
beruntunglah bahwa kau dapat sampai ke tempat ini tanpa gangguan apapun di
perjalananmu.”
“Aku kira
memang begitu. Aku sama sekali tidak menjumpai gangguan apapun juga.”
Kiai Gringsing
pun kemudian mempersilahkan Sumangkar untuk beristirahat. Karena kehadiran
Sumangkar, maka Kiai Gringsing terpaksa merubah pembagian kerjanya. Ki
Sumangkar dipersilahkan tidur di barak yang lain bersama Agung Sedayu, sedang
Swandaru tinggal bersama gurunya, meskipun sebenarnya ia ingin tidur bersama
Agung Sedayu.
“Kau dapat
mengatakan keadaan tempat ini kepada pamanmu.” bisik Kiai Gringsing kepada
Agung Sedayu,
“barang kali
kau akan mendapat kesempatan. Dan kau dapat bertanya kepadanya, kenapa ia
datang ke tempat ini.”
“Baik guru”
sahut Agung Sedayu perlahan-lahan.
Keduanya pun
kemudian pergi kebarak yang lain, yang dihuni oleh perempuan-perempuan dan
laki-laki yang bertugas didapur yang pada umumnya adalah laki-laki tua dan
anak-anak. Di sepanjang jalur jalan setapak yang menghubungkan kedua barak itu,
Agung Sedayu sudah mulai menceriterakan keadaan daerah yang baru dibuka itu.
Kemudian diceriterakannya pula, kematian-kematian yang terjadi, bahkan
mayat-mayat yang telah hilang.
“Untunglah
gurumu seorang dukun yang luar biasa” desis Sumangkar.
“Ya, untung
sajalah.”
“Dan apakah
bahaya itu sampai saat ini masih mengancam?”
“Justru kita
berada di dalam keadaan yang menegangkan. Kami berbesar hati bahwa tiba-tiba
saja paman datang, seakan-akan paman sudah mengetahui kesulitan kami.
“Aku sama
sekali tidak tahu kesulitan itu. Aku justru datang atas permintaan. Ki Demang
Sangkal Putung untuk menjemput anaknya dan kau sama sekali. Terutama Nyai
Demang di Sangkal Putung sudah sangat rindu kepada anaknya yang gemuk itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang Swandaru telah meninggalkan ibunya untuk
waktu yang terlampau lama. Sebagai satu-satunya anak laki-laki, maka sudah
sewajarnya kalau ibunya terlampau merindukannya, apalagi selama itu ia tidak
tahu dengan pasti kabar beritanya.
“Dan paman
dapat langsung menemukan kami di barak itu?” bertanya Agung Sedayu kemudian.
“Tidak. Aku
menjelajahi beberapa bagian dan hutan yang sedang dibuka itu. Aku sudah sampai
digardu pengawas yang kosong. Kemudian menyusur sepanjang jalan yang agaknya
setiap hari dilalui oleh para pekerja yang sedang membuka hutan ini Maka aku
pun sampai pula di barak ini. Adalah kebetulan sekali, aku menjumpai kalian.
Kalau tidak, aku pasti akan bertanya tentang seorang tua yang bernama Kiai
Gringsing. dan kedua muridnya yang bernama Agung Sedayu dan Swandaru Geni.”
Agung Sedayu
tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Guru memang
mempergunakan nama lain. Tetapi itu sudah hampir tidak berarti lagi, karena
kami di sini sudah melibatkan diri dalam pergulatan yang semakin lama agaknya
akan menjadi semakin seru.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya,
“Apakah tidak
ada petugas-petugas keamanan yang melindungi daerah ini?”
“Ada, bukankah
paman sudah bertemu dengan pemimpin pengawas yang terluka itu?”
“Ya, tetapi
dimana para pengawas yang lain sekarang?”
“Mereka pergi
ke pusat pemerintahan di Mataram.”
“Yang lain?”
“Semuanya.
Mereka hanya tiga orang. Perjalanan ke pusat pemerintahan Tanah Mataram yang
baru dibuka itu pun agaknya cukup berbahaya.”
Sumangkar
mengangguk-angguk pula. Tetapi ia sudah tidak bertanya lagi. Dilihatnya cahaya
lampu di serambi barak yang satu lagi. Barak yang sebagian dipergunakan sebagai
dapur untuk menyiapkan rangsum orang-orang yang sedang membuka hutan itu. Ketika
mereka memasuki barak itu, beberapa orang menjadi bertanya-tanya di dalam hati.
Yang seorang telah mereka kenal, anak orang tua yang bernama Truna Podang itu tetapi
yang seorang agaknya orang baru di daerah itu. Agung Sedayu yang melihat
pertanyaan membayang disetiap wajah tanpa diminta telah menjelaskan,
“Orang ini
adalah pamanku. Paman Sumangkar. Paman datang untuk menjemput kami karena ibu
kami sudah terlampau merindukan anak-anaknya.”
Orang-orang
yang mendengar keterangan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ada
diantara mereka, seorang laki-laki yang rambutnya sudah berwarna dua bertanya,
“Lalu
bagaimana dengan kami di sini? Apakah kami dilepaskan tanpa perlindungan sama
sekali.”
“Para pengawas
yang pergi ke Mataram itu akan segera datang membawa sepasukan pengawal”
“Tetapi apakah
mereka dapat melawan hantu-hantu?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Mereka masih saja selalu dibayangi oleh hantu-hantu yang mengerikan.
“Jangan takut”
sahut Agung Sedayu kemudian,
“para pengawal
itu pasti akan membawa satu dua orang yang dapat berhubungan langsung dengan
hantu-hantu. Apakah kalian menyangsikan, bahwa di Mataram tersimpan
pusaka-pusaka yang dapat menguasai hantu-hantu”
“Kalau memang
demikian” jawab orang itu,
“kenapa
orang-orang yang berkuasa di Mataram tidak berbuat apa-apa sebelumnya?”
“Ah, tentu
mereka sudah banyak berbuat. Mereka selalu merondai daerah hutan-hutan yang
wingit. Tetapi mereka tidak pernah menjumpai hantu-hantu itu sehingga mereka
menyangka, bahwa hantu-hantu itu sudah tidak mengganggu lagi.
“Tetapi apa
yang terjadi di sini? Hantu-hantu itu masih tetap menguasai kami.”
“Itulah yang
dilaporkan oleh para pengawas diantaranya, selain orang-orang yang telah
mengganggu ketenteraman kami disini.”
Orang itu
mengerutkan keningnya. Tetapi nampaknya la masih belum puas. Meskipun demikian
ia sudah tidak bertanya lagi.
Agung Sedayu
dan Sumangkar pun kemudian duduk di serambi barak itu, di bawah cahaya lampu
yang bergoyang disentuh angin malam, Di luar suara cengkerik bersahut-sahutan
dibarengi suara ilalang. Bukan hanya sekedar suara binatang-binatang kecil
disela-sela rerumputan. Namun kemudian lama-lama mereka mendengar suara harimau
yang mengaum di tengah-tengah hutan yang lebat. Tetapi suara harimau sama
sekali tidak menarik perhatian lagi bagi orang-orang didalam barak. Mereka sama
sekali tidak takut melawan harimau. Mereka beramai-ramai akan dapat membunuhnya
dengan tombak-tombak panjang. Tetapi ketika mereka mendengar suara burung
kedasih yang memelas, maka orang-orang di dalam barak itu mulai mengerutkan
lehernya ke bawah selimut-selimut mereka. Seorang perempuan dengan hati yang
berdebar-debar masih mendengar Agung Sedayu dan Sumangkar bercakap-cakap di
serambi. Tetapi perempuan itu sama sekali tidak berani berbuat apa-apa. Apalagi
karena suara burung kedasih itu rasa-rasanya menjadi semakin dekat. Agung
Sedayu pun kemudian mengerutkan keningnya. Suara burung itu dikenalnya sejak
lama. Karena itu, maka ia pun berbisik,
“Paman,
agaknya malam inipun kita akan mendapat tamu selain paman.”
“Siapa?”
“Hantu-hantu
itu. Barangkali paman ingin mendengar suaranya?”
“Ya.”
“Marilah kita
masuk. Kalau mereka melihat kita tetap disini, mungkin mereka akan merubah
niatnya. Kita akan berbaring di antara mereka.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Aku memang
ingin melihat hantu itu.”
“Untuk
sementara kita hanya dapat mendengar.” Sumangkar mengerutkan keningnya. Ia
tidak begitu mengerti jawaban Agung Sedayu itu.
Agaknya Agung
Sedayu dapat menangkap perasaan Ki Sumangkar, sehingga karena itu ia berkata,
“Hantu-hantu
itu tidak mendekati barak-barak ini. Mereka hanya lewat sambil memperdengarkan
bunyi-bunyi yang aneh”
“Kitalah yang
mendekat.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia berpaling memandangi orang-orang lain
yang ada di dalam barak itu. Katanya,
“Mereka
menjadi sangat ketakutan. Apabila terjadi sesuatu, mereka akan langsung
menyalahkan kita. Sementara ini kita sedang berusaha mengambil hati mereka,
terutama di barak yang satu itu. Kalau Kita berhasil membuka hati mereka
meskipun perlahan-lahan, pekerjaan kita akan lebih mudah lagi Para pengawas
agaknya sudah mulai terbuka hati dan tanggapannya terhadap hantu-hantu itu.
Tetapi para penghuni yang lain agaknya belum.”
Ki Sumangkar
mengerutkan keningnya pula. Perlahan-lahan ia bergumam seperti ditujukan kepada
diri sendiri.
“Lalu kapan
tugas ini selesai? Semuanya harus dikerjakan lambat laun dan telaten. Padahal
Ki Demang Sangkal Putung suami isteri sudah begitu rindunya kepada Swandaru dan
betapa rindunya pula kepada suatu peristiwa yang akan menyangkut hidup keluarga
mereka.”
“Apa itu
paman?” bertanya Agung Sedayu.
“Kalau aku
boleh berterus terang, Ki Demang suami isteri sudah sangat ingin menimang
seorang cucu.”
“Ah” Agung
Sedayu menundukkan kepalanya. Sedang wajahnya tiba-tiba menjadi
kemerah-merahan.
“Ki Demang
sudah mendengar berita yang aku sampaikan kepadanya, bahwa anak laki-lakinya
sudah mengikat diri dengan seorang gadis Menoreh, Pandan Wangi. Sedang
masalahmu ngger, Ki Demang suami isteri sudah mengetahui jauh sebelumnya.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Kalau masalah
pinggiran hutan ini mengikat kalian di sini, lalu kapan kalian akan kembali ke
Sangkal Putung? Apakah kalian juga akan menunggu daerah ini menjadi kota dari
berkembang menjadi suatu negeri?”
Agung Sedayu
menggelengkan kepalanya. Katanya,
“Aku tidak
tahu paman. Terserah kepada guru kelak. Apakah kita akan segera kembali, atau
masih ada masalah yang kita tunggu disini.”
“Sebenarnya
aku ingin berbicara dengan Kiai Gringsing. Tetapi malam ini aku ditaruhnya di sini,
sehingga aku tidak dapat berbincang. Agaknya aku tahu maksudnya. Ia sedang
memusatkan perhatiannya kepada daerah ini, sehingga ia tidak mau terganggu.”
Agung Sedayu
tidak menyahut. Namun tanpa sesadarnya kepalanya masih juga terangguk-angguk. Sejenak
keduanya pun kemudian saling berdiam diri. Angin malam yang sejuk mengusap
kening mereka. Namun Agung Sedayu kemudian mengangkat kepalanya ketika ia
mendengar suara gemerincing dikejauhan.
“Nah, mereka
datang” desis Agung Sedayu. Marilah kita masuk dan berbaring di dalam.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Kalau begitu
caramu, sampai kapan kau akan menemukannya?”
“Guru telah
membuat rencana. Guru tidak ingin menangkap hantu-hantu kecil itu. Guru ingin
mengetahui sampai dimanakah permainan mereka itu akan berlangsung dan siapakah
sebenarnya yang berdiri di paling belakang.”
Sumangkar
mengangguk-angguk. Ia pun kemudian dengan tergesa-gesa masuk ke dalam barak.
Seperti biasanya, pintu barak itu tidak pernah tertutup rapat. Tetapi keduanya
tidak akan dapat mengintainya dari balik pintu, karena justru di luar malam
menjadi semakin gelap. Suara gemerincing itu semakin lama menjadi semakin
dekat. Kemudian beberapa kali mengelilingi barak itu. Namun suara gemerincing
Itu tidak juga. segera pergi seperti biasanya. Bahkan semakin lama menjadi
semakin dekat. Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Kali ini hantu-hantu itu
agak menyimpang dari kebiasaannya. Namun demikian beberapa saat kemudian
hantu-hantu itupun segera menjauh dan suaranya semakin hilang ke arah barak
yang sebuah lagi. Tiba-tiba saja timbullah niat Agung Sedayu untuk
mengikutinya. Ia tidak ingin mengganggu hantu-hantu itu sebelum mendapat
perintah gurunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar