Jilid 044 Halaman 1


“CARILAH ALAT untuk mengangkat Ki Argapati,” desis orang tua itu.
“Ia harus segera berada di dalam rumah. Aku harus mencuci lukanya dan memberikan obat baru lagi.”
Seorang dari antara mereka yang melingkarinya segera pergi mencari sebuah ekrak bambu. Dilambari dengan jerami kering, maka Ki Argapati pun kemudian dibaringkannya di atas ekrak itu dan diangkat oleh empat orang untuk segera dibawa ke pondoknya. Ternyata obat yang sekedar untuk menolong sementara itu pun bermanfaat. Darah yang mengalir dari luka itu pun semakin lama menjadi semakin mampat. Dengan tergesa-gesa Ki Argapati itu pun dibawa ke pondoknya. Di sampingnya, Pandan Wangi berjalan sambil menjinjing pedangnya, sehingga seseorang terpaksa memperingatkannya,
“Sarungkan pedangmu, Pandan Wangi.”
“Oh,” pedang itu pun kemudian disarungkannya, tanpa sempat membersihkan dahulu debu yang melekat ketika pedang itu begitu saja diletakkan di tanah. Ki Argapati masih belum sadarkan diri ketika perlahan-lahan ia dibaringkan di pembaringan. Dengan wajah yang tegang gembala tua itu menitikkan air ke bibirnya. Ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat bibir yang pucat itu bergerak-gerak.
“Pandan Wangi,” berkata orang tua itu,
“berilah aku air hangat. Air yang sudah mendidih, jangan didinginkan dengan campuran air tawar.”
Pandan Wangi  pun mengangguk. Kemudian dengan tergesa-gesa ia pergi ke dapur. Adalah kebetulan sekali di dalam periuk masih terdapat sisa air masak. Tetapi karena air itu sudah dingin, maka Pandan Wangi dengan tergesa-gesa membuat api untuk menghangatkannya.
Dengan hati-hati gembala tua itu kemudian membersihkan luka Ki Argapati dengan air hangat itu. Kemudian diambilnya reramuan obat-obatan dari sebuah bumbung kecil yang selalu dibawanya. Beberapa macam reramuan dicampurnya menjadi satu. Kemudian dengan hati-hati reramuan itu ditaburkannya di atas luka. Sejenak orang-orang di dalam ruangan itu memperhatikan wajah Ki Gede yang putih seperti kapas. Mereka melihat wajah itu menegang. Namun kemudian kesan itu pun lenyap pula. Kembali wajah itu menjadi beku. Yang menegang adalah wajah gembala tua itu. Sejenak ia menahan nafasnya. Namun kemudian diraba-rabanya dada Ki Argapati, di sekitar luka-lukanya. Perlahan-lahan tangannya bergerak-gerak menyelusur otot-otot di sekitar leher, kemudian ke tengkuk.
“Aku minta yang kurang berkepentingan meninggalkan ruangan ini,” berkata gembala tua itu.
“Udara menjadi terlampau panas, sehingga pengaruhnya tidak menguntungkan bagi Ki Argapati.”
Orang-orang itu  pun segera meninggalkan ruangan itu. Yang tinggal kemudian adalah Pandan Wangi. Dengan hati berdebar-debar ia melihat, bagaimana orang tua itu mencoba mengobati luka yang kambuh kembali itu. Setiap kali ia melihat gembala itu mengusap keringat di keningnya. Kemudian menekuni luka itu kembali. Setelah air pembersih luka itu menjadi kering, maka luka itu  pun kemudian diobatinya dengan obat yang lain lagi. Ditaburkannya obat itu dengan hati-hati. Tetapi Ki Argapati masih berbaring sambil memejamkan matanya. Agaknya ia masih belum sadar dari pingsannya. Setelah menaburkan obat di atas luka itu, maka orang tua itu  pun kemudian meramu obat yang lain di dalam mangkuk. Obat yang kemudian dengan hati-hati dan susah payah, diteteskan masuk ke dalam mulut Ki Argapati. Setetes demi setetes. Pandan Wangi masih tegak berdiri di tempat dengan wajah yang semakin tegang. Dan tiba-tiba saja ia melangkah maju ketika ia melihat ayahnya bergerak.
“Jangan mengejutkannya,” desis gembala tua itu.
Pandan Wangi tertegun. Namun dahinya semakin berkerut-merut. Sejenak kemudian kedua orang yang berada di dalam bilik itu berpaling ketika mereka mendengar langkah memasuki ruangan itu. Ternyata Samekta lah yang datang dengan nafas terengah-engah.
“Bagaimana Kiai?” dengan serta-merta ia bertanya.
“Mudah-mudahan” jawab orang tua itu perlahan-lahan.

Samekta  pun kemudian berdiri termangu-mangu. Tetapi ia tidak bertanya apa pun lagi. Kini ia melihat Ki Argapati telah menjadi tidak terlampau pucat. Perlahan-lahan Ki Argapati telah mulai bergerak-gerak. Dengan hati-hati pula gembala tua itu mengangkat tangan Ki Argapati. Seandainya ia tidak luka di dadanya, maka tangan itu harus digerak-gerakkannya supaya pernafasannya menjadi segera lancar. Tetapi kali ini orang tua itu tidak dapat berbuat demikian, justru dada Ki Argapati sedang terluka. Namun titik-titik obat yang diteteskan ke dalam mulut itu agaknya berpengaruh juga. Karena dengan demikian Ki Argapati telah mulai menyadari keadaanya. Ketika Ki Argapati mulai membuka matanya, Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia berlari memeluk ayahnya, seandainya ia tidak digamit oleh gembala tua itu.
“Jangan kau kejutkan dia,” desis gembala tua itu.
Pandan Wangi tertegun. Tetapi ia tidak dapat menahan perasaannya yang bergolak, sehingga terasa sesuatu menyekat tenggorokannya. Titik-titik air mata telah mengembun pula di matanya yang buram.
“Jangan menangis,” berkata Samekta perlahan-lahan, “kita berada di medan peperangan. Kau adalah seorang prajurit dengan sepasang pedang di lambungmu.”
Dengan susah payah Pandan Wangi menahan dirinya. Tetapi bagaimanapun juga ia adalah seorang gadis yang sedang menyaksikan ayahnya dalam keadaan yang gawat. Karena itu, maka ia tidak berhasil mencegah air matanya meleleh di pipinya. Namun demikian Pandan Wangi tidak terisak.
“Masa yang paling gawat telah lewat,” desis gembala tua itu ketika ia melihat Ki Argapati mencoba menarik nafas. Tetapi terasa betapa, sakit dadanya, sehingga wajahnya tampak menegang sejenak. Tetapi Ki Argapati kini telah menyadari dirinya. Perlahan-lahan sekali kepalanya bergerak-gerak. Dan perlahan-lahan sekali ia berdesis,
“Di mana aku sekarang?”
“Ki Gede berada di pondok.”
Ki Gede mengerutkan alisnya,
“Di mana Pandan Wangi?”
“Ayah,” desis Pandan Wangi, “aku di sini.”
“Kemarilah, Ngger,” panggil gembala tua itu. Pandan Wangi pun segera mendekat dan berjongkok di samping pembaringan. Dengan susah payah Ki Argapati mencoba menggerakkan tangannya membelai kepala puterinya. Perlahan-lahan terdengar Ki Gede bertanya,
“Bagaimana dengan pertempuran itu?”
“Pasukan Ki Tambak Wedi telah menarik diri, Ayah,” jawab Pandan Wangi.
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk mengingat-ingat apa yang terakhir dilihatnya.
Perlahan-lahan kepalanya terangguk-angguk. Katanya,
“Ya. Mereka telah menarik diri. Apakah yang kita lakukan kemudian?”
“Membiarkan mereka meninggalkan pedukuhan ini,”
Ki Argapati masih mengangguk-angguk, dan sekali lagi ia bergumam,
“Ya. Aku memang tidak dapat membawa kalian mengejar mereka, karena lukaku kambuh kembali.”
“Mereka meninggalkan pedukuhan ini dalam keadaan yang parah,” sambung Samekta.
Ki Argapati berdesis-desis perlahan-lahan,
“Ya, ya.”
“Untuk sementara kita dapat menenangkan diri Ki Gede,” berkata gembala tua itu kemudian.
“Aku kira Ki Tambak Wedi memerlukan waktu untuk menyembuhkan luka-luka pasukannya.”
“Ya, ya.”
“Nah, sekarang tenangkan hati Ki Gede. Beristirahatlah.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian seisi ruangan itu berpaling ketika mereka mendengar langkah-langkah masuk. Sejenak kemudian Kerti, Wrahasta, Dipasanga, dan Hanggapati telah memasuki ruangan itu.
“Kemarilah,” desis Ki Argapati.
Mereka pun segera mendekat.
“Bagaimana dengan kalian?”
“Baik, Ki Gede,” Wrahasta lah yang menjawab.
“Mereka telah terusir.”
“Apakah pekerjaan kalian telah selesai?”
“Sudah, Ki Gede. Medan telah sepi Beberapa petugas sedang mencoba menolong orang-orang yang terluka dari kedua belah pihak.”
Namun kening Wrahasta berkerut ketika Ki Gede bertanya,
“Di mana Gupita dan Gupala?”
Wrahasta tidak segera menjawab. Dipandanginya setiap wajah yang ada di dalam ruangan itu. Kemudian ditatapnya pula kerut-merut di kening gembala tua itu.
“Apakah kau tidak melihatnya?” bertanya Ki Argapati kemudian.
Wrahasta menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Aku tidak melihatnya. Tetapi kenapa Ki Gede mencari kedua gembala itu?”
“Aku akan mengucapkan terima kasih kepada mereka dan kepada Ki Dipasanga dan Ki Hanggapati yang telah lebih dahulu ada di sini.”

Dada Wrahasta menjadi berdebar-debar. Dan jawabnya,
“Ki Gede memang harus berterima kasih kepada Ki Dipasanga dan Ki Hanggapati. Mereka berdua telah berhasil menahan Sidanti dan Ki Argajaya. Tetapi apakah yang telah dilakukan oleh kedua gembala itu?”
“Keduanya telah bertempur,” jawab Argapati.
“Tidak hanya mereka berdua yang bertempur. Setiap orang ikut bertempur,” Wrahasta berhenti sejenak. Kemudian,
“Sebaiknya dalam kesempatan yang lain Ki Gede mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang berdiri di pihak kita tanpa membeda-bedakan.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Kemudian ia menyeringai menahan pedih di dadanya.
“Wrahasta,” berkata Ki Argapati, “kau benar. Tetapi keduanya adalah orang lain. Bukan keluarga kita sendiri. Karena itu, seperti kepada Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga, aku akan mengucapkan terima kasih yang khusus.”
“Itu terlampau berlebih-lebihan Ki Gede.”
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika ia akan berbicara lagi terdengar gembala tua itu menahannya,
“Sebaiknya Ki Gede beristirahat. Ki Gede memang dapat menyimpan ucapan terima kasih itu untuk lain kali. Sekarang sebaiknya Ki Gede memperhatikan keadaan Ki Gede ini lebih dahulu.”
Perlahan-lahan Ki Argapati berdesah.
“Kalau mungkin, sebaiknya Ki Gede tidur meskipun hanya sejenak. Ki Gede akan dapat beristirahat mutlak untuk sesaat.”
“Ya, ya,” jawab Ki Gede, “aku akan mencoba untuk tidur.” Ki Gede berhenti sejenak. Namun kemudian,
“Tetapi sebaiknya setiap orang yang turun ke medan diteliti seorang demi seorang. Siapakah yang terluka, hilang atau gugur. Juga kedua gembala-gembala itu.”
Wajah Wrahasta menjadi tegang. Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Kalau kau ketemu dengan anak-anak itu, panggillah mereka kemari,” berkata Ki Argapati seterusnya.
Bagaimanapun juga Wrahasta terpaksa menganggukkan kepalanya,
“Ya, Ki Gede.”
“Sekarang aku akan mencoba beristirahat. Mudah-mudahan aku dapat meletakkan semua persoalan, sehingga aku dapat tidur meskipun hanya sekejap.”
Orang-orang di dalam bilik itu  pun kemudian minta diri, dan mereka tinggalkan Ki Argapati terbaring ditunggui oleh puterinya, Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi  pun tidak terlampau lama tinggal di dalam bilik itu. Sejenak kemudian ia  pun minta diri, meninggalkan ayahnya, agar ayahnya mendapat kesempatan untuk tidur barang sejenak. Dari bilik ayahnya, Pandan Wangi langsung pergi ke belakang. Sebagaimana biasanya, ia selalu membantu mengerjakan pekerjaan dapur. Bahkan kadang-kadang mengambil air, memasak, serta menanak nasi. Namun langkahnya tertegun ketika ia berjalan menuju ke pintu dapur. Dari celah-celah lubang pintu ia melihat dua orang anak-anak muda sedang duduk di bawah pohon jambu. Keduanya ternyata Gupita dan Gupala.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia melangkah ke samping dan berdiri di bibir pintu. Karena tidak seorang  pun berada di dalam ruangan yang menghadap langsung ke pintu dapur yang tembus ke halaman belakang itu, maka, ia merasa tidak terganggu. Gupita dan Gupala yang tidak merasa bahwa sepasang mata sedang memandanginya, duduk saja seenaknya. Bahkan tiba-tiba Gupala meloncat berdiri. Dipandanginya sedompol jambu yang merah seperti soga.
“Hee, kau lihat itu?” desisnya.
“Ya.”
“Aku memerlukannya.”
“Seperti anak-anak. Kau pasti akan dimarahi oleh pemilik rumah ini.”
“Huh, dijaman peperangan ini tidak ada orang yang memikirkan hak milik atas sedompol jambu.”
Gupala tidak menunggu Gupita menyahut. Tiba-tiba diraihnya sebutir batu.
“Tetapi terlampau tinggi,” desisnya.
Gupita masih saja duduk di tempatnya, seolah-olah acuh tidak acuh saja atas kelakuan adik seperguruannya. Ia hanya berpaling ketika ia mendengar gemeresak batu yang dilontarkan oleh Gupala.
“Meleset,” desisnya.
“Huh,” sahut Gupita,
“jambu itu tidak dapat berkisar dari tempat. Dan kau tidak dapat mengenainya. Bagaimana kalau yang kau lempar itu dapat menghindar.”
“Kalau jambu itu dapat menghindar, aku tidak akan melemparnya sekali lagi. Tetapi aku tantang ia supaya turun.”
Gupita tersenyum. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya.
“Tolong, Kakang,” desis Gupala,
“bukankah kau juara memanah di Sangkal Putung. Kau adalah pembidik yang paling baik di seluruh Pajang.”
“Ah, Bagaimana dengan bidikan gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi?”
Gupala menggeleng, “Entahlah. Tetapi tolong, aku kepingin jambu itu.”
Akhirnya Gupita berdiri juga. Diambilnya sebutir batu, dan perlahan-lahan ditengadahkan wajahnya. Sementara Pandan Wangi memandanginya dengan berdebar-debar. Sedompol jambu yang telah semerah soga itu itu tergantung pada sebuah cabang yang agak tinggi. Gupala sendiri telah gagal melemparnya dengan sebutir batu. Dan kini Gupita-lah yang akan mencobanya. Pandan Wangi terpaku di tempatnya ketika ia melihat Gupita bergeser mencari arah, supaya batu yang dilemparkannya tidak jatuh di sembarangan tempat. Ketika Gupita mulai menggerakkan tangannya, Pandan Wangi ikut menahan nafasnya. Bahkan tanpa sadarnya ia  pun telah bergeser ke tengah pintu. Batu yang meluncur dari tangan Gupita itu seolah-olah mempunyai mata. Dengan tepat batu itu mengenai tangkai sedompol jambu yang merah segar itu, sehingga sesaat kemudian telah menghambur berjatuhan.
Dengan tangkasnya Gupita dan Gupala menangkap masing-masing dua buah di kedua tangan.
“Bukan main,” tanpa dikehendakinya Pandan Wangi berdesis.
Namun ternyata suaranya itu dapat didengar oleh Gupita dan Gupala sehingga keduanya terkejut dan berpaling.
“Maaf,” berkata Gupita,
“aku mengambil jambu tanpa minta ijin lebih dahulu.”
Pandan Wangi menjadi tersipu-sipu karenanya. Tetapi ia tidak dapat masuk kembali tanpa menjawab kata-kata itu.
“Tidak apa-apa. Aku mengagumi kecakapanmu membidik. Sekali lempar kau dapat mengenai sedompol jambu itu.”
“Itu belum apa-apa,” tiba-tiba saja Gupala menyahut,
“Kakang Gupita dapat mengenai batu yang dilemparkan orang lain ke udara. Nah, apakah kau tidak percaya. Marilah kita coba.”
“Ah,” desis Gupita, “kau mengada-ada saja Gupala.”
“Jangan bertingkah. Ayo, kita bermain-main.”

Gupita mengerutkan keningmya. Gupala berbuat sekehendak sendiri dimana pun dan kapan pun, sehingga Pandan Wangi menjadi semakin terdiam karenanya. Karena Pandan Wangi tidak segera menyahut, maka Gupala mendekatinya sambil mengulanginya,
“Mari. Kau melemparkan batu ke udara dan Kakang Gupita akan dapat menyentuhnya dengan batu yang lain.”
“Tidak sekarang, Gupala,” berkata Gupita.
“Oh,” Gupala mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia menyadari keadaannya sehingga perlahan-lahan ia bergumam,
“Maaf.” Namun kemudian dilanjutkannya, “Bagaimana dengan Ki Argapati?”
Pandan Wangi menarik nafas, jawabnya,
“Ayah sudah berangsur baik. Obat ayahmu benar-benar membantunya.”
“Tentu,” sahut Gupala,
“ayahku adalah seorang dukun yang tidak ada duanya. Ia dapat mengobati segala penyakit kecuali satu.”
“Sakit apa itu?” bertanya Pandan Wangi.
“Lapar,” jawab Gupala sambil tertawa.
“Hus,” desis Gupita.
“O, apakah kalian belum makan pagi?”
Gupala tertawa, ketika ia mendengar Gupita berkata,
“Anak itu terlampau dikuasai oleh perutnya. Tetapi ia tidak akan mau kelaparan.”
“Tetapi seandainya kalian belum makan pagi, marilah.”
“Semua juga belum,” jawab Gupita.
“Terima kasih. Nanti kami akan berada bersama-sama dengan pengawal yang lain.”
Gupala masih saja tertawa. Bahkan di sela-sela suara tertawanya ia berkata,
“Bukan saja belum makan pagi, sejak kemarin aku belum makan malam.”
“Benar begitu?” desak Pandan Wangi.
“Jangan hiraukan. Terima kasih.”
“Marilah. Aku akan menjamu kalian berdua.”
“Terima kasih,” jawab Gupita.
“Kami bukan orang-orang yang harus mendapat perlakukan khusus.”
“Jangan berpura-pura,” potong Gupala,
“yang penting bagiku sama sekali bukan makan pagi atau sore atau malam. Tetapi aku berbangga bahwa aku akan menjadi tamu kehormatan puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
“Ah,” Gupita berdesah dan Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi tanpa dapat ditahannya lagi ia tersenyum.
Ia mendapat kesan tersendiri atas anak muda yang gemuk itu. Kesan yang berbeda dengan kakaknya, Gupita. Kakaknya nampak lebih bersungguh-sungguh menanggapi persoalan, meskipun kadang-kadang ia mau bergurau juga. Namun apabila gembala itu telah bermain dengan serulingnya, terasa bahwa hidup baginya bukan sekedar sebuah permainan. Terasa bahwa jangkauannya dan tanggapannya tentang masalah-masalah yang dihadapinya agak lebih dalam dan bersungguh-sungguh. Tiba-tiba saja ia mendapat kegembiraan bersama kedua anak-anak muda itu. Selama ini ia merasa hidup di dalam kungkungan kemuraman. Ia tidak pernah melihat wajah-wajah yang gembira dan cerah seperti wajah anak muda yang gemuk itu. Wajah yang kekanak-kanakan.
“Sebenarnya Ayah pun menungu kalian,” berkata Pandan Wangi tanpa disadarinya,
“tetapi kalian tidak datang ke biliknya bersama pemimpin-pemimpin pengawal yang lain.”
“Kami bukan pemimpin pengawal,” sahut Gupala,
“kami tidak pantas untuk berada di dalam bilik itu bersama-sama dengan para pemimpin yang lain.”
“Ah, kau,” desis Pandan Wangi.
“Tetapi kalian adalah tamu-tamu kami. Marilah. Ayah sekarang sedang tidur. Nanti kalau Ayah sudah bangun, kalian harus segera menghadap. Sekarang, marilah aku jamu kalian dengan makan.”
“Sekaligus makan malamku kemarin,” potong Gupala.
Pandan Wangi tersenyum pula. Senyumnya menjadi semakin cerah. Sudah agak lama ia tidak pernah tersenyum dan apalagi tertawa, karena keadaan di sekitarnya. Dan kini ia merasakan dorongan di dalam hatinya untuk tersenyum.
“Baik,” jawabnya, “makan pagi, malam, dan siang sama sekali.”
Gupala tertawa. Suara tertawanya lepas tidak tertahan-tahan meskipun tidak terlampau keras, sedang Gupita ikut tersenyum pula karenanya.

Agaknya Gupala memang tidak dapat meninggalkan kebiasaannya. Setiap kali ia selalu masuk ke dapur. Memungut apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam mulutnya. Daging lembu, kambing, paha ayam dan bahkan apa saja. Secukil kelapa pun boleh juga.
“Marilah,” ajak Pandan Wangi pula.
“Jangan menolak rejeki,” katanya kepada Gupita,
“sudah aku katakan, bahwa yang penting bukan makanan yang akan kami terima, tetapi kesempatan untuk menjadi seorang tamu.”
“Ah,” desah Pandan Wangi.
Gupita menarik nafas dalam-dalam, Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tidak dapat tinggal sendiri di halaman belakang. Karena itu ia pun melangkah masuk ke dalam dapur bersama Gupala mengikuti Pandan Wangi.
“Duduklah. Tetapi tempat ini agak kotor.”
“Akulah yang lebih kotor lagi.”
“Aku buatkan minum untuk kalian, kemudian makan pagi. Tetapi aku hanya dapat menghidangkan apa yang ada saja, karena bibi di rumah ini agaknya belum masak. Mungkin Bibi sedang mencuci pakaian atau keluar sebentar untuk sesuatu keperluan.”
“Terima kasih. Jangan merepotkan. Kami pun masih belum mandi. Kami akan minum saja. Nanti sesudah mandi, barulah kami akan makan,” jawab Gupita.
“Tetapi adikmu sudah sangat lapar.”
“Biarlah ia membiasakan diri menahan lapar dan haus. Tetapi ia pun harus mandi dulu. Membersihkan darah yang masih belum pampat benar.”
“Darah?” bertanya Pandan Wangi.
“Lihat, pundakku terluka meskipun tidak begitu dalam,” jawab Gupala sambil memperlihatkan noda-noda darah di bajunya yang kotor dan sobek.
“Tidakkah luka itu diobati?”
“Ayahku seorang dukun. Aku sudah dibekali dengan obat-obat yang dapat menolong luka-luka yang ringan seperti lukaku ini.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil menyiapkan minuman kedua anak-anak muda itu ia berkata,
“Sudah agak dingin. Tetapi cukuplah untuk menghangatkan perut.”
“Terima kasih.”
Pandan Wangi pun kemudian meletakkan mangkuk-mangkuk minuman itu di amben bambu. Air sere dengan gula kelapa. Bahkan disertai beberapa potong makanan.
“Terima kasih, terima kasih,” Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku ambilkan kalian makan kalau masih ada, meskipun sisa makan kemarin sore.”
“Kami akan mandi dahulu,” jawab Gupita,
“biarlah kami makan bersama para pengawal yang lain. Minum dan makanan ini sudah lebih dari cukup.”
“Ya, jangan terlampau sibuk. Duduklah. Itulah yang penting,” sahut Gupala.
“Ah,” sekali lagi Pandan Wangi berdesah. Wajahnya menjadi ke merah-merahan seperti jambu yang menjelang tua.

Betapa inginnya Pandan Wangi duduk bersama mereka, berbicara dan bergurau, namun ia tidak dapat melakukannya. Sebagai seorang gadis, ia masih selalu dibayangi oleh perasaan malu. Karena itu, ditemuinya keduanya sambil mengerjakan pekerjaan apa saja. Membuat api, merebus air dan pekerjaan-pekerjaan dapur yang lain.
“Duduklah,” berkata Gupala, sehingga Gupita terpaksa menggamitnya.
“Kenapa?” Gupala malah bertanya.
“Bukankah tidak apa-apa aku mempersilahkannya duduk?”
“Sst,” desis Gupita.
“Kenapa?”
Gupita menggeleng-gelengkan kepalanya, sedang wajah Pandan Wangi menjadi semakin merah, sehingga tangannya menjadi gemetar. Namun dalam pada itu, terkilas di dalam kenangannya, masa-masa kecilnya. Terasa sepercik kesegaran menyusup ke dalam dadanya. Seperti pada masa kanak-kanak, kakaknya Sidanti, setiap kali berada di rumah, selalu membawanya bermain-main. Tertawa, bergurau, dan bahkan berkejar-kejaran.
“Betapa segarnya masa kanak-kanak itu,” katanya di dalam hati. Namun justru karena kenangan itu, maka wajahnya  pun menjadi suram. Apalagi kini ia dihadapkan pada suatu kenyataan, bahwa kakaknya, Sidanti telah memusuhi ayahnya, dan bahkan telah membakar seluruh Tanah Perdikan ini menjadi abu.
Tetapi Pandan Wangi berusaha menyembunyikan perasaannya terhadap kedua anak-anak muda itu. Ia tidak mau menyeret mereka ke dalam kemuramannya. Keduanya adalah anak-anak muda yang gembira, apalagi yang gemuk itu, seakan-akan sama sekali tidak pernah mengalami kesulitan di dalam hidupnya, seperti di masa kanak-kanak.
Untuk mengurangi ketegangan di hatinya, Pandan Wangi yang sedang membersihkan paga bambu itu berkata,
“Nanti kalau Ayah bangun, kalian harus segera menghadap. Ayah memerlukan kalian.”
Gupala menarik nafas,
“Kau aneh. Kau belum mempersilahkan aku makan makananmu, kau sudah akan mengusir aku.”
Mau tidak mau Pandan Wangi harus tersenyum. Tetapi ia senang bahwa ia dapat tersenyum, bukan sekedar senyum yang dibuat-buat.
“Maaf. Aku lupa mempersilahkan. Minumlah dan makanlah. Di dalam geledeg itu masih ada persediaan makanan. Kalau makanan itu habis, nanti biarlah aku tambah lagi.”
Gupala tertawa mendengarnya. “Terima kasih.”
“Terlalu kau,” gumam Gupita.

Tetapi Gupala tidak mempedulikannya. Ia mengambil tidak hanya sepotong makanan, tetapi dua sekaligus. Dengan sepenuh gairah, disuapkannya makanan itu ke dalam mulutnya. Sikap itu justru terasa menyenangkan sekali. Kalau Gupala itu mempunyai pintu di dadanya, seakan-akan pintu terbuka, sehingga apa yang tersimpan di dalam dadanya, dapat dilihat tanpa selubung apa pun.
“Silahkan,” tanpa sesadarnya ia berkata, sehingga Gupala berpaling karenanya. Sambil tersenyum ia menyahut,
“Ketahuan juga agaknya.”
Pandan Wangi  pun tertawa. Tetapi suara tertawanya segera terputus, ketika ia melihat seseorang yang bertubuh raksasa berdiri di muka pintu. Sejenak Pandan Wangi seakan-akan membeku di tempatnya. Sorot mata Wrahasta membayangkan hatinya yang kurang senang melihat keadaan di dalam dapur itu. Sekali-sekali Wrahasta memandangi kedua anak-anak muda itu berganti-ganti, kemudian memandangi Pandan Wangi dengan tajamnya. Gupita yang melihat kehadirannya  pun menjadi berdebar-debar. Anak yang bertubuh raksasa itu tidak begitu senang kepadanya. Karena itu untuk tidak menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki, maka ia selalu menghindari benturan pandangan. Tetapi Gupala mempunyai tanggapan lain. Ia belum begitu mengenal Wrahasta, meskipun ia sudah mendengar serba sedikit tentang raksasa itu, namun Gupala sama sekali tidak mempedulikannya. Karena itu maka tanpa mengacuhkan gelagat di wajah Wrahasta, Gupala berkata,
“Ha, kau datang juga. Kemarilah. Makanan sudah tersedia.”
Wrahasta mengerutkan keningnya. Wajahnya tiba-tiba menegang. Ia sama sekali tidak senang melihat sikap dan tingkah laku Gupala, namun dengan demikian justru ia terdiam sesaat.
“Kemarilah, jangan malu-malu. Tidak ada orang lain. Adalah kebetulan bahwa di geledeg ada sisa makanan,” berkata Gupala selanjutnya.
“Gupala,” bisik Gupita, “jagalah dirimu sedikit.”
Gupala mengerutkan keningnya. Hampir saja ia menjawab peringatan Gupita kalau Gupita tidak mendahuluinya,
“Jangan berteriak. Orang ini mempunyai beberapa kelainan.”
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mulai memperhatikan wajah itu. Wajah raksasa yang kaku.
“Agaknya ia tidak pernah tertawa.”
“Sst.”
Wrahasta kemudian melangkah masuk ke dalam dapur. Dipandanginya Pandan Wangi dengan tajamnya. Sejenak kemudian terdengar suaranya,
“Apa kerja anak-anak ini di sini?”
Pandan Wangi masih selalu mencoba menahan dirinya. Karena itu maka jawabnya,
“Mereka belum makan sejak kemarin. Aku kasihan kepada mereka, dan aku memberikan makanan untuk sekedar mengisi perut.”
“Hampir semua orang belum makan sejak kemarin malam. Baru sebagian kecil saja dari mereka yang sempat makan lebih dahulu. Pagi ini mereka masih juga belum makan. Aku baru melihat nasi diantar ke gardu-gardu dan ke tempat-tempat peristirahatan para pengawal. Dan di sini orang-orang asing ini mendapat perlakuan khusus yang berlebih-lebihan. Itu tidak adil. Biar saja mereka pergi ke tempat para pengawal untuk menerima makan mereka. Kenapa harus di sini?”
Dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Ia menyadari betapa penting kedudukan Wrahasta di kalangan para pengawal. Tetapi kata-kata itu sangat menyakitkan hatinya. Ia sudah terlanjur menerima keduanya sebagai tamunya. Tiba-tiba Wrahasta datang memaki-maki.
“Nah, biarkan mereka keluar,” sambung naksasa itu.
“Wrahasta,” berkata Pandan Wangi,
“aku sengaja membawa mereka kemari, supaya aku tidak kehilangan mereka lagi. Bukankah kau mendengar juga, bahwa Ayah memanggil keduanya untuk menghadap?”
“Itu hanya sekedar sopan santun. Dan aku pun akan membawa mereka menghadap. Tetapi tidak di dapur seperti ini. Kalau Ki Gede sudah bangun, biarlah keduanya datang ke dalam biliknya.”
“Kalau aku ikat mereka di sini, mereka tidak akan pergi lagi, dan kita tidak usah mencarinya.”
“Nah, itulah kepandaian puteri Kepala Tanah Perdikan ini,” sahut Gupala.
“Kalau kepada kami berdua ini disediakan makanan, minuman, apalagi ingkung ayam, maka sehari penuh kami tidak akan beranjak dari amben ini.”
Gupita menyarik nafas dalam-dalam, sedang Pandan Wangi menggigit bibirnya, sementara Gupala berkata terus,
“Marilah Ki Sanak. Minuman hangat dan makanan yang agak wayu sedikit, justru membuat tubuh menjadi segar-bugar, meskipun belum mandi.”
Wajah Wrahasta justru menjadi semakin tegang. Dengan suara yang datar ia berkata,
“Tetapi tidak sepantasnya kalian mendapat perlakuan yang khusus. Para pengawal Tanah ini pun tidak mendapat perlakuan seperti kalian, bahkan para pemimpinnya, Paman Samekta, Paman Kerti, dan aku sendiri.”
“Itulah bedanya,” jawab Gupala,
“aku adalah seorang tamu di Tanah ini. Tamu memang harus mendapat perlakuan yang lain.”
“Hanya tamu yang tidak sopanlah yang tidak menurut ketentuan dari tuan rumahnya. Ayo, jangan banyak bicara. Aku adalah tuan rumah di atas Tanah Perdikan ini.”
“Wrahasta,” potong Pandan Wangi,
“tidak seorang pun yang akan menyangkal. Tetapi siapakah aku ini? Siapakah Ki Argapati? Apakah mereka bukan tuan rumah? Aku telah mempersilahkan tamu-tamuku masuk sekedar ke dalam dapur. Aku minta kau mengerti. Bukankah karena Ayah dari keduanya itu, luka-luka Ayah tidak merenggut nyawanya?”

Sesaat Wrahasta terdiam. Ia memang tidak dapat menyangkal, bahwa demikianlah yang telah terjadi. Tetapi ia pun tidak dapat mengelak lagi dari api kecemburuannya yang semakin berkobar di dadanya. Perasaan yang demikian bagi anak-anak muda dapat menjadikan pendorong untuk berbuat sesuatu, namun dapat juga menjadi racun yang berbahaya. Dan Wrahasta justru menjadi semakin bermata gelap. Dengan suara yang gemetar ia berkata,
“Pandan Wangi. Persilahkan tamumu meninggalkan ruangan ini. Biarlah berada di ruang sebagai tamu yang terhormat, yang telah menyelamatkan nyawa Ki Gede. Biarlah Paman Samekta, Paman Kerti dan para pemimpin yang lain menemuinya. Bukan kau. Kau adalah seorang gadis. Apakah kau telah berlaku sepantasnya bagi seorang gadis?”
Dada Pandan Wangi berdesir mendengar kata-kata Wrahasta. Agaknya Wrahasta sudah tidak dapat menahan hati lagi, sehingga Pandan Wangi itu menjadi semakin meyakini latar belakang dari sikap anak muda yang bertubuh raksasa itu. Namun justru dengan demikian, runtuhlah perasaan iba di hati gadis itu. Kemarahan yang telah merayapi jantungnya, tiba-tiba menjadi lilih. Pandan Wangi mengenal kemampuan Gupita dan menurut penilaiannya, tentu juga Gupala tidak akan jauh berbeda daripadanya. Karena itu, maka perselisihan di antara mereka harus dihindari. Menilik sifat kedua anak-anak muda itu, maka Gupala mempunyai cara yang lain dalam menanggapi raksasa itu. Kalau Gupita masih selalu berusaha menahan dirinya, namun agaknya Gupala akan berbuat lain. Karena itu maka Pandan Wangi harus menjaga, agar di antara mereka tidak timbul salah paham. Apabila demikian, maka Gupala pasti akan bertindak dengan sungguh-sungguh. Sudah barang tentu bahwa Wrahasta pasti tidak akan dapat melawannya. Dan kekalahan Wrahasta akan berakibat kurang baik bagi tanah perdikan ini. Karena pertimbangan-pertimbangan itulah maka Pandan Wangi kemudian mengambil suatu sikap yang kurang dimengerti oleh Gupala, tetapi sama sekali tidak mengherankan Gupita.
“Baiklah,” berkata Pandan Wangi kemudian,
“aku memang ingin mempersilahkan kalian duduk di ruang depan bersama ayah kalian, Paman Samekta, Paman Kerti dan yang lain-lain. Tentu saja setelah kalian makan makanan itu.”
Gupala tercenung sejenak. Dipandanginya wajah Pandan Wangi dan Wrahasta berganti-ganti.
“Oh,” Pandan Wangi berkata pula,
“atau barangkali kalian akan mandi dahulu?”
Namun Gupala menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Aku tidak perlu mandi. Aku dapat makan tanpa mandi sepuluh hari sepuluh malam. Apalagi di peperangan.”

Dada Pandan Wangi berdesir. Ia merasa bahwa tamunya yang gemuk itu merasa tersinggung. Itulah yang dicemaskannya. Tetapi kalau anak itu tetap berada di dapur, maka perselisihan yang lebih tajam mungkin akan terjadi. Justru dengan Wrahasta.
“Maaf,” jawab Pandan Wangi kemudian,
“di ruang depan telah tersedia makan dan minum. Sama sekali makan malam kemarin dan mungkin masih ada yang lain lagi.”
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tanpa disangka-sangka ia menjawab,
“Yang penting bukan makanannya. Aku berbangga bahwa aku suatu ketika menjadi tamu puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Dada Pandan Wangi berdesir. Ternyata anak muda yang gemuk itu sama sekali tidak mengacuhkan celerat di wajah Wrahasta. Dan ketika Pandan Wangi menyambar sorot mata raksasa itu, hatinya menjadi kian berdebar-debar. Namun tiba-tiba Gupita turun dari amben sambil berkata,
“Terima kasih. Itulah yang kami harapkan. Di sini kami telah menerima makanan dan minuman, di ruang depan kami akan menerimanya untuk yang kedua kalinya. Baiklah kami akan pergi ke ruang depan supaya kami tidak kehabisan.”
Gupala mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, sekali lagi Gupita mendahului,
“Kalau kau mau, makanan itu dapat kita bawa. Bukankah begitu?”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun terasa menjadi kaku.
“Apakah kalian memerlukannya?”
Namun Gupita menggeleng,
“Terima kasih. Kami memang ingin mandi lebih dahulu.” Lalu kepada Gupala ia berkata, “Marilah.”
Sekali lagi Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dengan malasnya ia  pun berdiri dan berkata,
“Aku sebenarnya lebih senang duduk di sini. Kalau bukan yang mempersilahkan aku masuk itulah yang mempersilahkan aku keluar, aku akan tetap tinggal di dalam dapur.”
“Bukan maksudku mempersilahkan kau keluar,” sahut Pandan Wangi,
“namun memang sepantasnya seorang tamu berada di ruang depan. Aku justru minta maaf bahwa aku telah mempersilahkan kalian duduk di dapur.”
“Kau tidak perlu memakai terlampau banyak alasan Pandan Wangi,” sahut Wrahasta tiba-tiba.
“Sebaiknya kau memang berterus terang mengusir mereka. Apakah salahnya? Kau adalah puteri Ki Gede Menoreh. Jangankan menyuruh mereka keluar dari dapur ini. Bahkan kau dapat mengusirnya dari tlatah Menoreh.”
Sebersit warna merah membayang di wajah Gupala. Berbeda dengan Gupita, maka tiba-tiba ia bertolak pinggang.

Pandan Wangi menjadi bingung. Maksudnya adalah untuk mencegah perselisihan. Namun justru mereka seakan-akan mendapat jalan untuk berbantah.
“Sudahlah,” Pandan Wangi hampir berteriak,
“kalian bukan anak-anak lagi. Di ruang dalam ayah sedang terbaring karena lukanya dan berusaha untuk beristirahat. Di sini kalian bertengkar tanpa ujung dan pangkal.”
Gupala masih akan menjawab karena ia melihat Wrahasta memandanginya dengan sorot mata kebencian. Tetapi ia tidak dapat membantah lagi ketika tangannya ditarik oleh Gupita.
“Kau mempunyai kebiasaan yang kurang baik, Gupala,” desis Gupita.
“Kalau kau sedang lapar, maka nalarmu menjadi terlampau pendek.”
“Tidak. Ini bukan soal lapar.”
“Hus,” Gupita berdesis sambil menarik lengan adiknya,
“marilah. Jangan membuat kesulitan. Kau di sini menjadi seorang tamu. Kau harus tunduk kepada tuan rumah. Dan kita memang dipersilahkan keluar dari dapur. Aku yakin bahwa Pandan Wangi tidak akan ingin menyakitkan hati kita.”
“Wangi. Anak yang kasar itulah yang memang harus mendapat pelajaran sekali-kali.” Gupala menggeram, tetapi ia sudah menjadi semakin jauh dari pintu dapur,
“Kenapa anak itu tidak kau putar saja batang lehernya ketika kau mendapat kesempatan untuk berkelahi.”
“Ah, kau terlalu terburu nafsu, itulah yang selalu dicemaskan oleh Guru.”
Gupala mengumpat. Ketika ia berpaling dilihatnya Pandan Wangi juga meninggalkan dapur, justru keluar dari pintu belakang dan cepat melingkari sudut rumah, masuk ke pintu butulan samping. Sebenarnya bahwa Pandan Wangi pun menghindari pertemuan seorang dengan seorang. Ia tidak mau tersudut dalam kesulitan. Karena itu ketika Gupala ditarik oleh Gupita keluar dari dapur, maka ia  pun segera menyusulnya pula.
“Pandan Wangi,” panggil Wrahasta, “aku perlu dengan kau sebentar.”
Pandan Wangi tertegun sejenak. Sepercik keragu-raguan melonjak di hatinya. Apakah ia akan tetap tinggal di dapur bersama Wrahasta, atau tidak. Kalau ia tetap berada di dapur, maka ia pasti harus menjawab berbagai macam pertanyaan yang dapat membuatnya pening.
“Aku ingin berbicara dengan kau, Wangi,” berkata Wrahasta kemudian.
Terasa tengkuk Pandan Wangi meremang. Ia tidak dapat mengerti sendiri, kenapa ia tidak berani menyatakan perasaannya berterus terang. Bukan karena pertimbangan-pertimbangan tentang pertahanan Tanah Perdikan Menoreh saja, tetapi karena ia memang tidak akan sampai hati untuk mengatakannya. Ia tidak akan sampai hati melihat Wrahasta menjadi kecewa dan mungkin menjadi patah hati dan bermata gelap. Seandainya kedua anak-anak muda gembala kambing itulah yang menjadi sasaran, maka hal itu pasti akan menjadi bencana bagi dirinya sendiri karena Pandan Wangi telah dapat menjajagi imbangan kekuatan mereka.
Ketikta Wrahasta melangkah mendekatinya, tiba-tiba Pandan Wangi menengadahkan wajahnya,
“Wrahasta, apa kau dengar ayah memanggil?”
Wrahasta tertegun.
“Dengarlah baik-baik.” Pandan Wangi memiringkan kepalanya, “o, aku harus segera menghadap.”
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Pandan Wangi menghambur keluar. Tetapi terasa hatinya berdesir. Ia sama sekali tidak mendengar suara Ki Argapati. Dan seandainya benar, bukan jalan itu yang akan dilalui Pandan Wangi. Gadis itu pasti akan masuk ke dalam lewat pintu masuk, bukan pintu keluar.
Tiba-tiba Wrahasta menyusul sampai ke pintu. Ia masih melihat Pandan Wangi berputar, kemudian hilang di balik sudut. Namun ia mengangguk-anggukkan kepalanya ketika ia melihat Gupala dan Gupita menjadi semakin jauh di halaman belakang. Agaknya mereka akan melalui butulan, pergi ke sungai kecil yang mengalir di pinggir padukuhan ini. Namun hatinya menjadi semakin tidak tenteram. Anak muda itu seakan-akan menjadi semakin rapat bergaul dengan Pandan Wangi, dan agaknya Pandan Wangi pun menerima kehadiran mereka dengan hati terbuka. Apalagi agaknya anak yang gemuk itu mempunyai tanggapan yang lain kepadanya. Tidak seperti kakaknya agak lebih tenang.
“Sayang, Ki Argapati sedang membutuhkan ayah mereka. Kalau tidak, keduanya pasti sudah aku usir dengan paksa. Aku tidak senang melihat kehadiran mereka di padukuhan ini,” desis Wrahasta.
“Tetapi untuk sementara aku tidak dapat berbuat apa-apa.”

Pandan Wangi yang kemudian masuk kembali ke dalam rumah itu lewat butulan samping, langsung pergi ke bilik ayahnya. Dengan hati-hati ia memasukinya dan kemudian duduk di atas sebuah dingklik kayu di sudut ruangan. Perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam. Terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat.
“Bagaimana aku harus menghindarinya?” pertanyaan itu selalu mengganggunya. Namun Pandan Wangi memasa, bahwa pada suatu saat ia harus mengambil suatu sikap. Ia tidak akan dapat untuk seterusnya menghindar dan menghindar. Karena ia menyadarinya, bahwa bukanlah suatu penyelesaian. Pada saatnya ia harus menjawab,
“Ya” atau, “Tidak.”
Selama ini, meskipun hanya setitik, agaknya Wrahasta selalu berpengharapan. Sehingga apabila kelak pada saatnya ia mendengar jawaban yang lain, maka hatinya pasti akan patah. Akibatnya akan dapat terungkap dalam berbagai-bagai bentuk. Karena itu Pandan Wangi menjadi semakin bingung. Sekali-sekali dipandanginya wajah ayahnya yang pucat, kemudian dilemparkannya tatapan matanya ke sudut bilik, ke atas sebuah ajuk-ajuk lampu minyak. Warna yang kehitam-hitaman membayang di dinding di sebelah ajuk-ajuk itu. Di malam hari, apabila lampu menyala, maka asapnya selalu menyentuh dinding itu. Pandan Wangi tidak menyadari, berapa lama ia duduk di tempat itu. Ia seakan-akan tersadar ketika ia mendengar desah napas ayahnya. Dengan serta-merta Pandan Wangi berdiri. Dihampirinya pembaringan ayahnya perlahan-lahan.
“Wangi,” desis ayahnya.
“Ya, Ayah.”
“Apakah sejak tadi kau berada di sini?”
“Tidak Ayah. Aku sudah pergi ke dapur dan ke luar.”
“O,” Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan,
“di manakah orang-orang yang lain?”
“Di luar, Ayah. Mereka  pun sedang beristirahat di serambi depan. Bahkan mungkin paman-paman sedang tidur pula.”
“Kedua prajurit itu?”
“Juga di luar.”
“Dan kedua gembala muda itu?”
“Mereka berada di belakang, Ayah. Apakah Ayah akan memanggilnya?”
Tetapi Ki Argapati menggelengkan kepalanya,
“Tidak sekarang, Wangi. Aku masih ingin beristirahat. Tetapi badanku sudah terasa jauh lebih baik.” Ki Argaparti berhenti sejenak,
“Beritahukan kepada pamanmu Samekta. Aku memerlukannya dan para pemimpin yang lain. Aku ingin berbicara nanti sesudah senja.”
“Baik, Ayah.” Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia ingin menanyakan apakah ayahnya ingin makan. Tetapi ia cemas, kalau-kalau Wrahasta masih berada di dapur. Namun demikian, ia terpaksa mengesampingkan kecemasannya itu dan bertanya kepada ayahnya,
“Apakah Ayah ingin makan?”
Ki Argapati menggelengkan kepalanya, “Tidak, Wangi. Tetapi berilah aku minum.”
Pandan Wangi pun kemudian mendekatkan mangkuk minuman ke mulut ayahnya yang berusaha mengangkat kepalanya.
“Terima kasih,” desis ayahnya kemudian.
“Sekarang temuilah pamanmu Samekta. Kita harus membicarakan kelanjutan dari peperangan ini supaya kita tidak terlambat. Aku kira saat ini Tambak Wedi dan Sidanti pun sedang memikirkan suatu cara untuk menebus kekalahannya hari ini.”

Sebenarnyalah bahwa Tambak Wedi yang sedang dilanda oleh kemarahan, kekecewaan, keragu-raguan, dan segala macam perasaan yang bercampur baur, lagi duduk bersama Sidanti, Argajaya, Ki Peda Sura, dan beberapa orang pemimpin pasukannya yang lain. Setiap kali orang tua itu menggeram, menghentak-hentakkan tangannya dan kadang-kadang berteriak tanpa sebab. Sidanti adalah salah seorang yang paling kecewa karena pasukannya harus ditarik mundur. Tetapi di hadapan gurunya yang sedang marah itu, Sidanti sama sekali tidak berkata apa pun. Ia mengenal tabiat guru dan sekaligus ayahnya itu dengan baik, selama ia berada di padepokan Tambak Wedi. Dalam keadaan yang demikian, tidak seorang  pun yang berani membantahnya.
“Kita telah salah menilai,” geramnya.
“Ternyata di dalam lingkungan setan itu terdapat orang-orang yang tidak pernah kita perhitungkan.”
Sidanti menundukkan kepalanya, sedang Argajaya mengangguk-angguk.
“Ki Peda Sura,” tiba-tiba Tambak Wedi bertanya,
“kenapa kau menghindari lawanmu?”
“Aku tidak mau mati,” jawab Ki Peda Sura.
“Gila. Apakah kau sudah mcnjadi seorang pengecut. Di peperangan, mati adalah akibat yang wajar. Tetapi aku memang tidak ingin kau mati. Aku ingin kau membunuh musuhmu.”
“Aku telah membunuh dan melukai lebih dari sepuluh orang. Kalau aku tidak menghindari orang berkumis lebat itu, akulah yang mati dan dengan demikian aku tidak dapat membunuh lagi. Orang berkumis itu pun sebenarnya tidak begitu mengecutkan hati. Tetapi ia bekerja bersama beberapa orang. Kerja sama yang sangat baik, sehingga aku menghindarinya.”
Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menghiraukannya. Ia tidak pernah menaruh perhatian terhadap seseorang yang berkumis. Ada seribu orang berkumis di dalam pasukan Ki Argapati.
“Kita tidak boleh menunggu Argapati sembuh dan dapat maju ke peperangan lagi,” berkata Ki Tambak Wedi.
“Kita harus cepat-cepat menyusun kekuatan. Tanpa Ki Muni dan Ki Wasi. Ternyata mereka hanya mampu berbicara saja, berteriak-teriak. Tetapi mereka sama sekali tidak berarti apa-apa di peperangan.”
“Ki Wasi terbunuh oleh orangnya sendiri,” desis Argajaya.
“Itu lebih baik daripada ia berkhianat,” jawab Ki Tambak Wedi.
“Nah, kalian harus segera mempersiapkan diri. Seluruh pasukan harus segera dapat digerakkan kembali dalam waktu yang sangat dekat.”
Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya ragu-ragu,
“Tidak mungkin terlampau cepat Ki Tambak Wedi. Pasukan kita telah terpukul cukup parah. Aku kira kita memerlukan waktu dua tiga hari untuk menyusun pasukan itu kembali. Kalau benar Kakang Argapati tidak dapat bertahan, dan terjatuh di peperangan, itu berarti bahwa lukanya memang terlampau parah. Kalau tidak, ia pasti mampu tetap berdiri sampai tidak seorang lawan  pun yang melihatnya. Karena itu, maka aku kira, dalam waktu dua tiga hari ini, Kakang Argapati pasti masih belum akan dapat bangun.”
“Tiga hari adalah batas terakhir,” jawab Ki Tambak Wedi. Lalu kepada Ki Peda Sura,
“Bagaimana dengan orang-orangmu?”
“Kenapa dengan mereka?”
“Aku memerlukan beberapa orang terkuat lagi dari orang-orangmu untuk melawan setan-setan yang sekarang ada di Menoreh ini. Kau harus menyusun kelompok-kelompok kecil dari orang-orangmu yang terkuat.”
“Kenapa hanya orang-orangku? Di sini ada orang-orang lain yang cukup kuat pula.”
“Tetapi kau adalah gerombolan yang terbesar dan terpercaya. Aku lebih percaya kepadamu daripada orang-orang lain.”
Ki Peda Sura menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Berat. Terlampau berat menghadapi orang-orang Argapati.”
“Lalu bagaimana maksudmu?”
“Aku lebih baik menarik diri.”
“Gila. Kau gila. Dalam keadaan serupa ini kau menarik diri? Itu juga suatu pengkhianatan.”
“Lawan-lawanmu ternyata terlampau sulit untuk dikalahkan.”
“Tetapi Argapati sendiri sudah hampir mati.”
“Seperti saat-saat lampau, ia akan tiba-tiba muncul lagi di peperangan.”
“Mungkin, tetapi ia tidak akan dapat bertempur sepenuh tenaganya.”
“Tetapi aku lebih baik membawa orang-orangku merampok daripada harus berperang melawan Ki Argapati.”
“Gila. Itu tidak mungkin.”
“Kenapa tidak? Aku bukan orangmu yang harus tunduk kepadamu.”
“Tetapi kita sudah membuat perjanjian.”
“Aku ingin membatalkan perjanjian.”
“Gila, kau gila Peda Sura. Kau tidak dapat membatalkan perjanjian itu. Itu adalah suatu pengkhianatan. Dan kau harus menyadari, hukuman dari seorang pengkhianat.”
“Apa?” tiba-tiba Ki Peda Sura tersenyum,
“Kau akan menghukum aku? Kau sangka aku semacam katak yang begitu saja dapat kau injak-injak?”
“Tapi aku mampu membunuhmu.”
“Mungkin aku akan mati, tetapi separo dari anak buahmu pasti akan mati juga. Orang-orangku yang tersisa akan dapat memanggil beberapa orang yang dapat membakar tanahmu menjadi abu. Kami meskipun tanpa aku, dapat menjelajahi ujung tanahmu ini sampai ke ujung yang lain, membunuh setiap orang dan merampas semua milik mereka, selagi kau berkelahi melawan Argapati.”
“Baik,” tiba-tiba Sidanti tidak dapat menahan hati,
“marilah kita bertempur sampai sampyuh. Biarlah kita binasa semuanya. Apakah kau kira kau dapat menakut-nakuti kami?”
“Apakah begitu yang kau kehendaki, Sidanti?” jawab Ki Peda Sura.
Hampir saja Sidanti meloncat menerkam orang itu. Tetapi Ki Tambak Wedi berhasil menahannya.
“Duduklah yang baik, Sidanti.”
Sadanti menggeram, tetapi ia duduk kembali di tempatnya. Ternyata betapa kemarahan membakar dada gurunya, orang tua itu masih dapat lebih menahan hati daripadanya sendiri.
Peda Sura masih duduk tenang-tenang saja di tempatnya. Bahkan ketika Sidanti telah duduk kembali ia berkata,
“Kenapa tidak kau biarkan saja anak itu mati?”
“Jangan membakar hatinya lagi,” bentak Ki Tambak Wedi.
“Kita ternyata adalah orang-orang yang paling bodoh di dunia. Kita bercita-cita setinggi langit, tetapi kita tidak pernah setia kepada cita-cita itu sendiri. Masalah-masalah yang tidak berarti kadang-kadang selalu kita anggap lebih penting dan lebih berharga untuk dipersoalkan.”
Sidanti hanya dapat menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan sorot matanya yang membara. Dalam pada itu Argajaya masih mematung di tempatnya. Kadang-kadang ia mengerutkan keningnya, kadang-kadang mengangguk-anggukkan kepalanya, namun kadang-kadang ia mengeretakkan giginya. Ki Peda Sura seolah-olah sama sekali tidak memperhatikan orang-orang yang berada di sekitarnya. Namun ternyata orang-orangnyalah yang telah mempersiapkan diri mereka diam-diam.
“Ki Peda Sura,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian,
“marilah kita persoalkan masalah yang sedang kita garap sekarang. Kita sudah tidak dapat berhenti di tengah-tengah jalan. Kita harus berjalan terus. Memang kau dapat memeras kami dalam saat-saat seperti ini. Tetapi seperti kau, kami pun dapat berbuat dengan sikap putus asa. Kalau kita membenturkan diri kita satu sama lain, maka akulah yang pasti akan tetap hidup. Harapan terbesar Sidanti dan Argajaya  pun akan tetap hidup pula. Kematian orang lain dapat kami ke sampingkan, apabila kami telah kehilangan arah perjuangan kami. Tetapi tidak demikian dengan kami. Aku, Sidanti, Argajaya, dan anak-anak muda, bahkan setiap laki-laki di atas Bukit Menoreh ini akan tetap berjuang untuk mencapai suatu cita-cita yang telah kita pahatkan di dalam hati.”
“Cita-cita itu adalah cita-cita kalian. Bukan cita-cita kami.”
“Benar, tetapi bukankah di dalam perjanjian itu telah tersebutkan bahwa kau akan mendapat banyak manfaat dari kemenangan ini? Dan bukankah manfaat itu juga suatu cita-cita bagimu?”
“Terlampau berat. Sama sekali tidak seimbang dengan korban yang harus aku berikan.”
“Tetapi itu lebih baik daripada kau tumpas di sini bersama-sama dengan kami. Katakanlah seperti yang kau ramalkan, separo dari kami. Kemudian kami menyerah, dan Sidanti akan diterima kembali oleh ayahnya. Sementara itu, kami akan menumpas sisa-sisa orang-orangmu di sarangmu.”
“Gila. Kalian jangan mencoba menakut-nakuti dan memperbodoh kami.”
“Dan kau jangan mencoba berkhianat.”
“Aku akan bekerja terus buat kau, tetapi selain yang tersebut dalam perjanjian, aku memerlukan tanahmu di bagian selatan membujur ke timur sampai ke kali Praga.”
“Gila,” sekali lagi Sidanti meloncat berdiri, bahkan kali ini bersama-sama dengan Argajaya. Dengan suara yang bergetar Argajaya berkata,
“Kau akan memeras kami dengan cara yang licik itu, Peda Sura?”
Peda Sura mengerutkan keningnya. Ia tidak dapat duduk tenang-tenang saja, karena agaknya Sidanti dan Argajaya menjadi benar-benar marah mendengar tuntutannya itu.
“Ya, aku memang memerlukan tanah itu.”
Mata Sidanti telah menjadi semerah darah. Namun Ki Tambak Wedi berkata,
“Duduklah. Duduklah. Kita tidak boleh menjadi gila oleh kekalahan kecil yang baru saja terjadi.”
Sidanti dan Argajaya masih saja berdiri di tempatnya.
“Dudukkah,” sekali lagi terdengar suara Ki Tambak Wedi.
Sidanti dan Argajaya menggeram, tetapi mereka duduk kembali di tempatnya.
“Permintaanmu telah membuat kami merasa tersinggung Ki Peda Sura,” berkata Ki Tambak Wedi.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar