“CARILAH ALAT untuk mengangkat Ki Argapati,” desis orang tua itu.
“Ia harus
segera berada di dalam rumah. Aku harus mencuci lukanya dan memberikan obat
baru lagi.”
Seorang dari
antara mereka yang melingkarinya segera pergi mencari sebuah ekrak bambu.
Dilambari dengan jerami kering, maka Ki Argapati pun kemudian dibaringkannya di
atas ekrak itu dan diangkat oleh empat orang untuk segera dibawa ke pondoknya. Ternyata
obat yang sekedar untuk menolong sementara itu pun bermanfaat. Darah yang
mengalir dari luka itu pun semakin lama menjadi semakin mampat. Dengan
tergesa-gesa Ki Argapati itu pun dibawa ke pondoknya. Di sampingnya, Pandan
Wangi berjalan sambil menjinjing pedangnya, sehingga seseorang terpaksa
memperingatkannya,
“Sarungkan
pedangmu, Pandan Wangi.”
“Oh,” pedang
itu pun kemudian disarungkannya, tanpa sempat membersihkan dahulu debu yang
melekat ketika pedang itu begitu saja diletakkan di tanah. Ki Argapati masih
belum sadarkan diri ketika perlahan-lahan ia dibaringkan di pembaringan. Dengan
wajah yang tegang gembala tua itu menitikkan air ke bibirnya. Ia menarik nafas
dalam-dalam ketika ia melihat bibir yang pucat itu bergerak-gerak.
“Pandan
Wangi,” berkata orang tua itu,
“berilah aku
air hangat. Air yang sudah mendidih, jangan didinginkan dengan campuran air
tawar.”
Pandan
Wangi pun mengangguk. Kemudian dengan
tergesa-gesa ia pergi ke dapur. Adalah kebetulan sekali di dalam periuk masih
terdapat sisa air masak. Tetapi karena air itu sudah dingin, maka Pandan Wangi
dengan tergesa-gesa membuat api untuk menghangatkannya.
Dengan
hati-hati gembala tua itu kemudian membersihkan luka Ki Argapati dengan air
hangat itu. Kemudian diambilnya reramuan obat-obatan dari sebuah bumbung kecil
yang selalu dibawanya. Beberapa macam reramuan dicampurnya menjadi satu.
Kemudian dengan hati-hati reramuan itu ditaburkannya di atas luka. Sejenak
orang-orang di dalam ruangan itu memperhatikan wajah Ki Gede yang putih seperti
kapas. Mereka melihat wajah itu menegang. Namun kemudian kesan itu pun lenyap
pula. Kembali wajah itu menjadi beku. Yang menegang adalah wajah gembala tua
itu. Sejenak ia menahan nafasnya. Namun kemudian diraba-rabanya dada Ki
Argapati, di sekitar luka-lukanya. Perlahan-lahan tangannya bergerak-gerak
menyelusur otot-otot di sekitar leher, kemudian ke tengkuk.
“Aku minta
yang kurang berkepentingan meninggalkan ruangan ini,” berkata gembala tua itu.
“Udara menjadi
terlampau panas, sehingga pengaruhnya tidak menguntungkan bagi Ki Argapati.”
Orang-orang
itu pun segera meninggalkan ruangan itu.
Yang tinggal kemudian adalah Pandan Wangi. Dengan hati berdebar-debar ia
melihat, bagaimana orang tua itu mencoba mengobati luka yang kambuh kembali
itu. Setiap kali ia melihat gembala itu mengusap keringat di keningnya.
Kemudian menekuni luka itu kembali. Setelah air pembersih luka itu menjadi
kering, maka luka itu pun kemudian
diobatinya dengan obat yang lain lagi. Ditaburkannya obat itu dengan hati-hati. Tetapi Ki Argapati masih berbaring sambil memejamkan matanya.
Agaknya ia masih belum sadar dari pingsannya. Setelah
menaburkan obat di atas luka itu, maka orang tua itu pun kemudian meramu obat yang lain di dalam
mangkuk. Obat yang kemudian dengan hati-hati dan susah payah, diteteskan masuk
ke dalam mulut Ki Argapati. Setetes demi setetes. Pandan Wangi masih tegak
berdiri di tempat dengan wajah yang semakin tegang. Dan tiba-tiba saja ia
melangkah maju ketika ia melihat ayahnya bergerak.
“Jangan
mengejutkannya,” desis gembala tua itu.
Pandan Wangi
tertegun. Namun dahinya semakin berkerut-merut. Sejenak kemudian kedua orang
yang berada di dalam bilik itu berpaling ketika mereka mendengar langkah
memasuki ruangan itu. Ternyata Samekta lah yang datang dengan nafas
terengah-engah.
“Bagaimana
Kiai?” dengan serta-merta ia bertanya.
“Mudah-mudahan”
jawab orang tua itu perlahan-lahan.
Samekta pun kemudian berdiri termangu-mangu. Tetapi
ia tidak bertanya apa pun lagi. Kini ia melihat Ki Argapati telah menjadi tidak
terlampau pucat. Perlahan-lahan Ki Argapati telah mulai bergerak-gerak. Dengan
hati-hati pula gembala tua itu mengangkat tangan Ki Argapati. Seandainya ia
tidak luka di dadanya, maka tangan itu harus digerak-gerakkannya supaya
pernafasannya menjadi segera lancar. Tetapi kali ini orang tua itu tidak dapat
berbuat demikian, justru dada Ki Argapati sedang terluka. Namun titik-titik
obat yang diteteskan ke dalam mulut itu agaknya berpengaruh juga. Karena dengan
demikian Ki Argapati telah mulai menyadari keadaanya. Ketika Ki Argapati mulai
membuka matanya, Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia berlari
memeluk ayahnya, seandainya ia tidak digamit oleh gembala tua itu.
“Jangan kau
kejutkan dia,” desis gembala tua itu.
Pandan Wangi
tertegun. Tetapi ia tidak dapat menahan perasaannya yang bergolak, sehingga
terasa sesuatu menyekat tenggorokannya. Titik-titik air mata telah mengembun
pula di matanya yang buram.
“Jangan
menangis,” berkata Samekta perlahan-lahan, “kita berada di medan peperangan. Kau
adalah seorang prajurit dengan sepasang pedang di lambungmu.”
Dengan susah
payah Pandan Wangi menahan dirinya. Tetapi bagaimanapun juga ia adalah seorang
gadis yang sedang menyaksikan ayahnya dalam keadaan yang gawat. Karena itu,
maka ia tidak berhasil mencegah air matanya meleleh di pipinya. Namun demikian
Pandan Wangi tidak terisak.
“Masa yang
paling gawat telah lewat,” desis gembala tua itu ketika ia melihat Ki Argapati
mencoba menarik nafas. Tetapi terasa betapa, sakit dadanya, sehingga wajahnya
tampak menegang sejenak. Tetapi Ki Argapati kini telah menyadari dirinya.
Perlahan-lahan sekali kepalanya bergerak-gerak. Dan perlahan-lahan sekali ia
berdesis,
“Di mana aku
sekarang?”
“Ki Gede
berada di pondok.”
Ki Gede
mengerutkan alisnya,
“Di mana
Pandan Wangi?”
“Ayah,” desis
Pandan Wangi, “aku di sini.”
“Kemarilah,
Ngger,” panggil gembala tua itu. Pandan Wangi pun segera mendekat dan
berjongkok di samping pembaringan. Dengan susah payah Ki Argapati mencoba
menggerakkan tangannya membelai kepala puterinya. Perlahan-lahan terdengar Ki
Gede bertanya,
“Bagaimana
dengan pertempuran itu?”
“Pasukan Ki
Tambak Wedi telah menarik diri, Ayah,” jawab Pandan Wangi.
Ki Argapati
mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk mengingat-ingat apa yang terakhir
dilihatnya.
Perlahan-lahan
kepalanya terangguk-angguk. Katanya,
“Ya. Mereka
telah menarik diri. Apakah yang kita lakukan kemudian?”
“Membiarkan
mereka meninggalkan pedukuhan ini,”
Ki Argapati
masih mengangguk-angguk, dan sekali lagi ia bergumam,
“Ya. Aku
memang tidak dapat membawa kalian mengejar mereka, karena lukaku kambuh
kembali.”
“Mereka
meninggalkan pedukuhan ini dalam keadaan yang parah,” sambung Samekta.
Ki Argapati
berdesis-desis perlahan-lahan,
“Ya, ya.”
“Untuk
sementara kita dapat menenangkan diri Ki Gede,” berkata gembala tua itu
kemudian.
“Aku kira Ki
Tambak Wedi memerlukan waktu untuk menyembuhkan luka-luka pasukannya.”
“Ya, ya.”
“Nah, sekarang
tenangkan hati Ki Gede. Beristirahatlah.”
Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian seisi ruangan itu berpaling
ketika mereka mendengar langkah-langkah masuk. Sejenak kemudian Kerti,
Wrahasta, Dipasanga, dan Hanggapati telah memasuki ruangan itu.
“Kemarilah,”
desis Ki Argapati.
Mereka pun
segera mendekat.
“Bagaimana
dengan kalian?”
“Baik, Ki
Gede,” Wrahasta lah yang menjawab.
“Mereka telah
terusir.”
“Apakah
pekerjaan kalian telah selesai?”
“Sudah, Ki
Gede. Medan telah sepi Beberapa petugas sedang mencoba menolong orang-orang
yang terluka dari kedua belah pihak.”
Namun kening
Wrahasta berkerut ketika Ki Gede bertanya,
“Di mana
Gupita dan Gupala?”
Wrahasta tidak
segera menjawab. Dipandanginya setiap wajah yang ada di dalam ruangan itu.
Kemudian ditatapnya pula kerut-merut di kening gembala tua itu.
“Apakah kau
tidak melihatnya?” bertanya Ki Argapati kemudian.
Wrahasta
menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Aku
tidak melihatnya. Tetapi kenapa Ki Gede mencari kedua gembala itu?”
“Aku akan
mengucapkan terima kasih kepada mereka dan kepada Ki Dipasanga dan Ki
Hanggapati yang telah lebih dahulu ada di sini.”
Dada Wrahasta
menjadi berdebar-debar. Dan jawabnya,
“Ki Gede
memang harus berterima kasih kepada Ki Dipasanga dan Ki Hanggapati. Mereka
berdua telah berhasil menahan Sidanti dan Ki Argajaya. Tetapi apakah yang telah
dilakukan oleh kedua gembala itu?”
“Keduanya
telah bertempur,” jawab Argapati.
“Tidak hanya
mereka berdua yang bertempur. Setiap orang ikut bertempur,” Wrahasta berhenti
sejenak. Kemudian,
“Sebaiknya
dalam kesempatan yang lain Ki Gede mengucapkan terima kasih kepada semua orang
yang berdiri di pihak kita tanpa membeda-bedakan.”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya. Kemudian ia menyeringai menahan pedih di dadanya.
“Wrahasta,”
berkata Ki Argapati, “kau benar. Tetapi keduanya adalah orang lain. Bukan
keluarga kita sendiri. Karena itu, seperti kepada Ki Hanggapati dan Ki
Dipasanga, aku akan mengucapkan terima kasih yang khusus.”
“Itu terlampau
berlebih-lebihan Ki Gede.”
Ki Gede
menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika ia akan berbicara lagi terdengar
gembala tua itu menahannya,
“Sebaiknya Ki
Gede beristirahat. Ki Gede memang dapat menyimpan ucapan terima kasih itu untuk
lain kali. Sekarang sebaiknya Ki Gede memperhatikan keadaan Ki Gede ini lebih
dahulu.”
Perlahan-lahan
Ki Argapati berdesah.
“Kalau
mungkin, sebaiknya Ki Gede tidur meskipun hanya sejenak. Ki Gede akan dapat
beristirahat mutlak untuk sesaat.”
“Ya, ya,”
jawab Ki Gede, “aku akan mencoba untuk tidur.” Ki Gede berhenti sejenak. Namun
kemudian,
“Tetapi
sebaiknya setiap orang yang turun ke medan diteliti seorang demi seorang.
Siapakah yang terluka, hilang atau gugur. Juga kedua gembala-gembala itu.”
Wajah Wrahasta
menjadi tegang. Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Kalau kau
ketemu dengan anak-anak itu, panggillah mereka kemari,” berkata Ki Argapati
seterusnya.
Bagaimanapun
juga Wrahasta terpaksa menganggukkan kepalanya,
“Ya, Ki Gede.”
“Sekarang aku
akan mencoba beristirahat. Mudah-mudahan aku dapat meletakkan semua persoalan,
sehingga aku dapat tidur meskipun hanya sekejap.”
Orang-orang di
dalam bilik itu pun kemudian minta diri,
dan mereka tinggalkan Ki Argapati terbaring ditunggui oleh puterinya, Pandan
Wangi. Namun Pandan Wangi pun tidak
terlampau lama tinggal di dalam bilik itu. Sejenak kemudian ia pun minta diri, meninggalkan ayahnya, agar
ayahnya mendapat kesempatan untuk tidur barang sejenak. Dari bilik ayahnya,
Pandan Wangi langsung pergi ke belakang. Sebagaimana biasanya, ia selalu
membantu mengerjakan pekerjaan dapur. Bahkan kadang-kadang mengambil air,
memasak, serta menanak nasi. Namun langkahnya tertegun ketika ia berjalan
menuju ke pintu dapur. Dari celah-celah lubang pintu ia melihat dua orang
anak-anak muda sedang duduk di bawah pohon jambu. Keduanya ternyata Gupita dan
Gupala.
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia melangkah ke samping dan berdiri
di bibir pintu. Karena tidak seorang pun
berada di dalam ruangan yang menghadap langsung ke pintu dapur yang tembus ke
halaman belakang itu, maka, ia merasa tidak terganggu. Gupita dan Gupala yang
tidak merasa bahwa sepasang mata sedang memandanginya, duduk saja seenaknya.
Bahkan tiba-tiba Gupala meloncat berdiri. Dipandanginya sedompol jambu yang
merah seperti soga.
“Hee, kau
lihat itu?” desisnya.
“Ya.”
“Aku
memerlukannya.”
“Seperti
anak-anak. Kau pasti akan dimarahi oleh pemilik rumah ini.”
“Huh, dijaman
peperangan ini tidak ada orang yang memikirkan hak milik atas sedompol jambu.”
Gupala tidak
menunggu Gupita menyahut. Tiba-tiba diraihnya sebutir batu.
“Tetapi
terlampau tinggi,” desisnya.
Gupita masih
saja duduk di tempatnya, seolah-olah acuh tidak acuh saja atas kelakuan adik
seperguruannya. Ia hanya berpaling ketika ia mendengar gemeresak batu yang
dilontarkan oleh Gupala.
“Meleset,”
desisnya.
“Huh,” sahut
Gupita,
“jambu itu
tidak dapat berkisar dari tempat. Dan kau tidak dapat mengenainya. Bagaimana
kalau yang kau lempar itu dapat menghindar.”
“Kalau jambu
itu dapat menghindar, aku tidak akan melemparnya sekali lagi. Tetapi aku
tantang ia supaya turun.”
Gupita
tersenyum. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya.
“Tolong,
Kakang,” desis Gupala,
“bukankah kau
juara memanah di Sangkal Putung. Kau adalah pembidik yang paling baik di
seluruh Pajang.”
“Ah, Bagaimana
dengan bidikan gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi?”
Gupala
menggeleng, “Entahlah. Tetapi tolong, aku kepingin jambu itu.”
Akhirnya
Gupita berdiri juga. Diambilnya sebutir batu, dan perlahan-lahan ditengadahkan
wajahnya. Sementara Pandan Wangi memandanginya dengan berdebar-debar. Sedompol
jambu yang telah semerah soga itu itu tergantung pada sebuah cabang yang agak
tinggi. Gupala sendiri telah gagal melemparnya dengan sebutir batu. Dan kini
Gupita-lah yang akan mencobanya. Pandan Wangi terpaku di tempatnya ketika ia
melihat Gupita bergeser mencari arah, supaya batu yang dilemparkannya tidak
jatuh di sembarangan tempat. Ketika Gupita mulai menggerakkan tangannya, Pandan
Wangi ikut menahan nafasnya. Bahkan tanpa sadarnya ia pun telah bergeser ke tengah pintu. Batu yang
meluncur dari tangan Gupita itu seolah-olah mempunyai mata. Dengan tepat batu
itu mengenai tangkai sedompol jambu yang merah segar itu, sehingga sesaat
kemudian telah menghambur berjatuhan.
Dengan
tangkasnya Gupita dan Gupala menangkap masing-masing dua buah di kedua tangan.
“Bukan main,”
tanpa dikehendakinya Pandan Wangi berdesis.
Namun ternyata
suaranya itu dapat didengar oleh Gupita dan Gupala sehingga keduanya terkejut
dan berpaling.
“Maaf,” berkata
Gupita,
“aku mengambil
jambu tanpa minta ijin lebih dahulu.”
Pandan Wangi
menjadi tersipu-sipu karenanya. Tetapi ia tidak dapat masuk kembali tanpa
menjawab kata-kata itu.
“Tidak
apa-apa. Aku mengagumi kecakapanmu membidik. Sekali lempar kau dapat mengenai
sedompol jambu itu.”
“Itu belum
apa-apa,” tiba-tiba saja Gupala menyahut,
“Kakang Gupita
dapat mengenai batu yang dilemparkan orang lain ke udara. Nah, apakah kau tidak
percaya. Marilah kita coba.”
“Ah,” desis
Gupita, “kau mengada-ada saja Gupala.”
“Jangan
bertingkah. Ayo, kita bermain-main.”
Gupita
mengerutkan keningmya. Gupala berbuat sekehendak sendiri dimana pun dan kapan
pun, sehingga Pandan Wangi menjadi semakin terdiam karenanya. Karena Pandan
Wangi tidak segera menyahut, maka Gupala mendekatinya sambil mengulanginya,
“Mari. Kau
melemparkan batu ke udara dan Kakang Gupita akan dapat menyentuhnya dengan batu
yang lain.”
“Tidak
sekarang, Gupala,” berkata Gupita.
“Oh,” Gupala
mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia menyadari keadaannya sehingga
perlahan-lahan ia bergumam,
“Maaf.” Namun
kemudian dilanjutkannya, “Bagaimana dengan Ki Argapati?”
Pandan Wangi
menarik nafas, jawabnya,
“Ayah sudah
berangsur baik. Obat ayahmu benar-benar membantunya.”
“Tentu,” sahut
Gupala,
“ayahku adalah
seorang dukun yang tidak ada duanya. Ia dapat mengobati segala penyakit kecuali
satu.”
“Sakit apa
itu?” bertanya Pandan Wangi.
“Lapar,” jawab
Gupala sambil tertawa.
“Hus,” desis
Gupita.
“O, apakah
kalian belum makan pagi?”
Gupala tertawa,
ketika ia mendengar Gupita berkata,
“Anak itu
terlampau dikuasai oleh perutnya. Tetapi ia tidak akan mau kelaparan.”
“Tetapi
seandainya kalian belum makan pagi, marilah.”
“Semua juga
belum,” jawab Gupita.
“Terima kasih.
Nanti kami akan berada bersama-sama dengan pengawal yang lain.”
Gupala masih
saja tertawa. Bahkan di sela-sela suara tertawanya ia berkata,
“Bukan saja
belum makan pagi, sejak kemarin aku belum makan malam.”
“Benar
begitu?” desak Pandan Wangi.
“Jangan
hiraukan. Terima kasih.”
“Marilah. Aku
akan menjamu kalian berdua.”
“Terima
kasih,” jawab Gupita.
“Kami bukan
orang-orang yang harus mendapat perlakukan khusus.”
“Jangan
berpura-pura,” potong Gupala,
“yang penting
bagiku sama sekali bukan makan pagi atau sore atau malam. Tetapi aku berbangga
bahwa aku akan menjadi tamu kehormatan puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
“Ah,” Gupita
berdesah dan Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi tanpa dapat ditahannya
lagi ia tersenyum.
Ia mendapat
kesan tersendiri atas anak muda yang gemuk itu. Kesan yang berbeda dengan
kakaknya, Gupita. Kakaknya nampak lebih bersungguh-sungguh menanggapi
persoalan, meskipun kadang-kadang ia mau bergurau juga. Namun apabila gembala
itu telah bermain dengan serulingnya, terasa bahwa hidup baginya bukan sekedar sebuah
permainan. Terasa bahwa jangkauannya dan tanggapannya tentang masalah-masalah
yang dihadapinya agak lebih dalam dan bersungguh-sungguh. Tiba-tiba saja ia
mendapat kegembiraan bersama kedua anak-anak muda itu. Selama ini ia merasa
hidup di dalam kungkungan kemuraman. Ia tidak pernah melihat wajah-wajah yang
gembira dan cerah seperti wajah anak muda yang gemuk itu. Wajah yang
kekanak-kanakan.
“Sebenarnya
Ayah pun menungu kalian,” berkata Pandan Wangi tanpa disadarinya,
“tetapi kalian
tidak datang ke biliknya bersama pemimpin-pemimpin pengawal yang lain.”
“Kami bukan pemimpin
pengawal,” sahut Gupala,
“kami tidak
pantas untuk berada di dalam bilik itu bersama-sama dengan para pemimpin yang
lain.”
“Ah, kau,”
desis Pandan Wangi.
“Tetapi kalian
adalah tamu-tamu kami. Marilah. Ayah sekarang sedang tidur. Nanti kalau Ayah
sudah bangun, kalian harus segera menghadap. Sekarang, marilah aku jamu kalian
dengan makan.”
“Sekaligus
makan malamku kemarin,” potong Gupala.
Pandan Wangi
tersenyum pula. Senyumnya menjadi semakin cerah. Sudah agak lama ia tidak
pernah tersenyum dan apalagi tertawa, karena keadaan di sekitarnya. Dan kini ia
merasakan dorongan di dalam hatinya untuk tersenyum.
“Baik,”
jawabnya, “makan pagi, malam, dan siang sama sekali.”
Gupala
tertawa. Suara tertawanya lepas tidak tertahan-tahan meskipun tidak terlampau
keras, sedang Gupita ikut tersenyum pula karenanya.
Agaknya Gupala
memang tidak dapat meninggalkan kebiasaannya. Setiap kali ia selalu masuk ke
dapur. Memungut apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam mulutnya. Daging lembu,
kambing, paha ayam dan bahkan apa saja. Secukil kelapa pun boleh juga.
“Marilah,”
ajak Pandan Wangi pula.
“Jangan
menolak rejeki,” katanya kepada Gupita,
“sudah aku
katakan, bahwa yang penting bukan makanan yang akan kami terima, tetapi
kesempatan untuk menjadi seorang tamu.”
“Ah,” desah
Pandan Wangi.
Gupita menarik
nafas dalam-dalam, Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tidak dapat
tinggal sendiri di halaman belakang. Karena itu ia pun melangkah masuk ke dalam
dapur bersama Gupala mengikuti Pandan Wangi.
“Duduklah.
Tetapi tempat ini agak kotor.”
“Akulah yang
lebih kotor lagi.”
“Aku buatkan
minum untuk kalian, kemudian makan pagi. Tetapi aku hanya dapat menghidangkan
apa yang ada saja, karena bibi di rumah ini agaknya belum masak. Mungkin Bibi
sedang mencuci pakaian atau keluar sebentar untuk sesuatu keperluan.”
“Terima kasih.
Jangan merepotkan. Kami pun masih belum mandi. Kami akan minum saja. Nanti
sesudah mandi, barulah kami akan makan,” jawab Gupita.
“Tetapi adikmu
sudah sangat lapar.”
“Biarlah ia
membiasakan diri menahan lapar dan haus. Tetapi ia pun harus mandi dulu.
Membersihkan darah yang masih belum pampat benar.”
“Darah?”
bertanya Pandan Wangi.
“Lihat,
pundakku terluka meskipun tidak begitu dalam,” jawab Gupala sambil
memperlihatkan noda-noda darah di bajunya yang kotor dan sobek.
“Tidakkah luka
itu diobati?”
“Ayahku
seorang dukun. Aku sudah dibekali dengan obat-obat yang dapat menolong
luka-luka yang ringan seperti lukaku ini.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil menyiapkan minuman kedua anak-anak muda
itu ia berkata,
“Sudah agak
dingin. Tetapi cukuplah untuk menghangatkan perut.”
“Terima
kasih.”
Pandan Wangi
pun kemudian meletakkan mangkuk-mangkuk minuman itu di amben bambu. Air sere
dengan gula kelapa. Bahkan disertai beberapa potong makanan.
“Terima kasih,
terima kasih,” Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku ambilkan
kalian makan kalau masih ada, meskipun sisa makan kemarin sore.”
“Kami akan
mandi dahulu,” jawab Gupita,
“biarlah kami
makan bersama para pengawal yang lain. Minum dan makanan ini sudah lebih dari
cukup.”
“Ya, jangan
terlampau sibuk. Duduklah. Itulah yang penting,” sahut Gupala.
“Ah,” sekali
lagi Pandan Wangi berdesah. Wajahnya menjadi ke merah-merahan seperti jambu
yang menjelang tua.
Betapa
inginnya Pandan Wangi duduk bersama mereka, berbicara dan bergurau, namun ia
tidak dapat melakukannya. Sebagai seorang gadis, ia masih selalu dibayangi oleh
perasaan malu. Karena itu, ditemuinya keduanya sambil mengerjakan pekerjaan apa
saja. Membuat api, merebus air dan pekerjaan-pekerjaan dapur yang lain.
“Duduklah,”
berkata Gupala, sehingga Gupita terpaksa menggamitnya.
“Kenapa?”
Gupala malah bertanya.
“Bukankah
tidak apa-apa aku mempersilahkannya duduk?”
“Sst,” desis
Gupita.
“Kenapa?”
Gupita
menggeleng-gelengkan kepalanya, sedang wajah Pandan Wangi menjadi semakin
merah, sehingga tangannya menjadi gemetar. Namun dalam pada itu, terkilas di
dalam kenangannya, masa-masa kecilnya. Terasa sepercik kesegaran menyusup ke
dalam dadanya. Seperti pada masa kanak-kanak, kakaknya Sidanti, setiap kali
berada di rumah, selalu membawanya bermain-main. Tertawa, bergurau, dan bahkan
berkejar-kejaran.
“Betapa
segarnya masa kanak-kanak itu,” katanya di dalam hati. Namun justru karena
kenangan itu, maka wajahnya pun menjadi
suram. Apalagi kini ia dihadapkan pada suatu kenyataan, bahwa kakaknya, Sidanti
telah memusuhi ayahnya, dan bahkan telah membakar seluruh Tanah Perdikan ini
menjadi abu.
Tetapi Pandan
Wangi berusaha menyembunyikan perasaannya terhadap kedua anak-anak muda itu. Ia
tidak mau menyeret mereka ke dalam kemuramannya. Keduanya adalah anak-anak muda
yang gembira, apalagi yang gemuk itu, seakan-akan sama sekali tidak pernah
mengalami kesulitan di dalam hidupnya, seperti di masa kanak-kanak.
Untuk
mengurangi ketegangan di hatinya, Pandan Wangi yang sedang membersihkan paga
bambu itu berkata,
“Nanti kalau
Ayah bangun, kalian harus segera menghadap. Ayah memerlukan kalian.”
Gupala menarik
nafas,
“Kau aneh. Kau
belum mempersilahkan aku makan makananmu, kau sudah akan mengusir aku.”
Mau tidak mau
Pandan Wangi harus tersenyum. Tetapi ia senang bahwa ia dapat tersenyum, bukan
sekedar senyum yang dibuat-buat.
“Maaf. Aku
lupa mempersilahkan. Minumlah dan makanlah. Di dalam geledeg itu masih ada
persediaan makanan. Kalau makanan itu habis, nanti biarlah aku tambah lagi.”
Gupala tertawa
mendengarnya. “Terima kasih.”
“Terlalu kau,”
gumam Gupita.
Tetapi Gupala
tidak mempedulikannya. Ia mengambil tidak hanya sepotong makanan, tetapi dua
sekaligus. Dengan sepenuh gairah, disuapkannya makanan itu ke dalam mulutnya. Sikap
itu justru terasa menyenangkan sekali. Kalau Gupala itu mempunyai pintu di
dadanya, seakan-akan pintu terbuka, sehingga apa yang tersimpan di dalam
dadanya, dapat dilihat tanpa selubung apa pun.
“Silahkan,”
tanpa sesadarnya ia berkata, sehingga Gupala berpaling karenanya. Sambil
tersenyum ia menyahut,
“Ketahuan juga
agaknya.”
Pandan
Wangi pun tertawa. Tetapi suara
tertawanya segera terputus, ketika ia melihat seseorang yang bertubuh raksasa
berdiri di muka pintu. Sejenak Pandan Wangi seakan-akan membeku di tempatnya.
Sorot mata Wrahasta membayangkan hatinya yang kurang senang melihat keadaan di
dalam dapur itu. Sekali-sekali Wrahasta memandangi kedua anak-anak muda itu
berganti-ganti, kemudian memandangi Pandan Wangi dengan tajamnya. Gupita yang
melihat kehadirannya pun menjadi
berdebar-debar. Anak yang bertubuh raksasa itu tidak begitu senang kepadanya.
Karena itu untuk tidak menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki, maka ia
selalu menghindari benturan pandangan. Tetapi Gupala mempunyai tanggapan lain.
Ia belum begitu mengenal Wrahasta, meskipun ia sudah mendengar serba sedikit
tentang raksasa itu, namun Gupala sama sekali tidak mempedulikannya. Karena itu
maka tanpa mengacuhkan gelagat di wajah Wrahasta, Gupala berkata,
“Ha, kau
datang juga. Kemarilah. Makanan sudah tersedia.”
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Wajahnya tiba-tiba menegang. Ia sama sekali tidak senang
melihat sikap dan tingkah laku Gupala, namun dengan demikian justru ia terdiam
sesaat.
“Kemarilah,
jangan malu-malu. Tidak ada orang lain. Adalah kebetulan bahwa di geledeg ada
sisa makanan,” berkata Gupala selanjutnya.
“Gupala,”
bisik Gupita, “jagalah dirimu sedikit.”
Gupala
mengerutkan keningnya. Hampir saja ia menjawab peringatan Gupita kalau Gupita
tidak mendahuluinya,
“Jangan
berteriak. Orang ini mempunyai beberapa kelainan.”
Gupala
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mulai memperhatikan wajah itu. Wajah
raksasa yang kaku.
“Agaknya ia
tidak pernah tertawa.”
“Sst.”
Wrahasta
kemudian melangkah masuk ke dalam dapur. Dipandanginya Pandan Wangi dengan
tajamnya. Sejenak kemudian terdengar suaranya,
“Apa kerja
anak-anak ini di sini?”
Pandan Wangi
masih selalu mencoba menahan dirinya. Karena itu maka jawabnya,
“Mereka belum
makan sejak kemarin. Aku kasihan kepada mereka, dan aku memberikan makanan
untuk sekedar mengisi perut.”
“Hampir semua
orang belum makan sejak kemarin malam. Baru sebagian kecil saja dari mereka
yang sempat makan lebih dahulu. Pagi ini mereka masih juga belum makan. Aku
baru melihat nasi diantar ke gardu-gardu dan ke tempat-tempat peristirahatan
para pengawal. Dan di sini orang-orang asing ini mendapat perlakuan khusus yang
berlebih-lebihan. Itu tidak adil. Biar saja mereka pergi ke tempat para
pengawal untuk menerima makan mereka. Kenapa harus di sini?”
Dada Pandan
Wangi menjadi berdebar-debar. Ia menyadari betapa penting kedudukan Wrahasta di
kalangan para pengawal. Tetapi kata-kata itu sangat menyakitkan hatinya. Ia
sudah terlanjur menerima keduanya sebagai tamunya. Tiba-tiba Wrahasta datang
memaki-maki.
“Nah, biarkan
mereka keluar,” sambung naksasa itu.
“Wrahasta,”
berkata Pandan Wangi,
“aku sengaja
membawa mereka kemari, supaya aku tidak kehilangan mereka lagi. Bukankah kau
mendengar juga, bahwa Ayah memanggil keduanya untuk menghadap?”
“Itu hanya
sekedar sopan santun. Dan aku pun akan membawa mereka menghadap. Tetapi tidak
di dapur seperti ini. Kalau Ki Gede sudah bangun, biarlah keduanya datang ke
dalam biliknya.”
“Kalau aku
ikat mereka di sini, mereka tidak akan pergi lagi, dan kita tidak usah
mencarinya.”
“Nah, itulah
kepandaian puteri Kepala Tanah Perdikan ini,” sahut Gupala.
“Kalau kepada
kami berdua ini disediakan makanan, minuman, apalagi ingkung ayam, maka sehari
penuh kami tidak akan beranjak dari amben ini.”
Gupita
menyarik nafas dalam-dalam, sedang Pandan Wangi menggigit bibirnya, sementara
Gupala berkata terus,
“Marilah Ki
Sanak. Minuman hangat dan makanan yang agak wayu sedikit, justru membuat tubuh
menjadi segar-bugar, meskipun belum mandi.”
Wajah Wrahasta
justru menjadi semakin tegang. Dengan suara yang datar ia berkata,
“Tetapi tidak
sepantasnya kalian mendapat perlakuan yang khusus. Para pengawal Tanah ini pun
tidak mendapat perlakuan seperti kalian, bahkan para pemimpinnya, Paman
Samekta, Paman Kerti, dan aku sendiri.”
“Itulah
bedanya,” jawab Gupala,
“aku adalah
seorang tamu di Tanah ini. Tamu memang harus mendapat perlakuan yang lain.”
“Hanya tamu
yang tidak sopanlah yang tidak menurut ketentuan dari tuan rumahnya. Ayo,
jangan banyak bicara. Aku adalah tuan rumah di atas Tanah Perdikan ini.”
“Wrahasta,”
potong Pandan Wangi,
“tidak seorang
pun yang akan menyangkal. Tetapi siapakah aku ini? Siapakah Ki Argapati? Apakah
mereka bukan tuan rumah? Aku telah mempersilahkan tamu-tamuku masuk sekedar ke
dalam dapur. Aku minta kau mengerti. Bukankah karena Ayah dari keduanya itu,
luka-luka Ayah tidak merenggut nyawanya?”
Sesaat
Wrahasta terdiam. Ia memang tidak dapat menyangkal, bahwa demikianlah yang
telah terjadi. Tetapi ia pun tidak dapat mengelak lagi dari api kecemburuannya
yang semakin berkobar di dadanya. Perasaan yang demikian bagi anak-anak muda
dapat menjadikan pendorong untuk berbuat sesuatu, namun dapat juga menjadi
racun yang berbahaya. Dan Wrahasta justru menjadi semakin bermata gelap. Dengan
suara yang gemetar ia berkata,
“Pandan Wangi.
Persilahkan tamumu meninggalkan ruangan ini. Biarlah berada di ruang sebagai
tamu yang terhormat, yang telah menyelamatkan nyawa Ki Gede. Biarlah Paman
Samekta, Paman Kerti dan para pemimpin yang lain menemuinya. Bukan kau. Kau
adalah seorang gadis. Apakah kau telah berlaku sepantasnya bagi seorang gadis?”
Dada Pandan
Wangi berdesir mendengar kata-kata Wrahasta. Agaknya Wrahasta sudah tidak dapat
menahan hati lagi, sehingga Pandan Wangi itu menjadi semakin meyakini latar
belakang dari sikap anak muda yang bertubuh raksasa itu. Namun justru dengan
demikian, runtuhlah perasaan iba di hati gadis itu. Kemarahan yang telah
merayapi jantungnya, tiba-tiba menjadi lilih. Pandan Wangi mengenal kemampuan
Gupita dan menurut penilaiannya, tentu juga Gupala tidak akan jauh berbeda
daripadanya. Karena itu, maka perselisihan di antara mereka harus dihindari.
Menilik sifat kedua anak-anak muda itu, maka Gupala mempunyai cara yang lain
dalam menanggapi raksasa itu. Kalau Gupita masih selalu berusaha menahan
dirinya, namun agaknya Gupala akan berbuat lain. Karena itu maka Pandan Wangi
harus menjaga, agar di antara mereka tidak timbul salah paham. Apabila
demikian, maka Gupala pasti akan bertindak dengan sungguh-sungguh. Sudah barang
tentu bahwa Wrahasta pasti tidak akan dapat melawannya. Dan kekalahan Wrahasta
akan berakibat kurang baik bagi tanah perdikan ini. Karena
pertimbangan-pertimbangan itulah maka Pandan Wangi kemudian mengambil suatu
sikap yang kurang dimengerti oleh Gupala, tetapi sama sekali tidak mengherankan
Gupita.
“Baiklah,”
berkata Pandan Wangi kemudian,
“aku memang
ingin mempersilahkan kalian duduk di ruang depan bersama ayah kalian, Paman
Samekta, Paman Kerti dan yang lain-lain. Tentu saja setelah kalian makan
makanan itu.”
Gupala
tercenung sejenak. Dipandanginya wajah Pandan Wangi dan Wrahasta
berganti-ganti.
“Oh,” Pandan
Wangi berkata pula,
“atau
barangkali kalian akan mandi dahulu?”
Namun Gupala
menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Aku
tidak perlu mandi. Aku dapat makan tanpa mandi sepuluh hari sepuluh malam.
Apalagi di peperangan.”
Dada Pandan
Wangi berdesir. Ia merasa bahwa tamunya yang gemuk itu merasa tersinggung.
Itulah yang dicemaskannya. Tetapi kalau anak itu tetap berada di dapur, maka
perselisihan yang lebih tajam mungkin akan terjadi. Justru dengan Wrahasta.
“Maaf,” jawab
Pandan Wangi kemudian,
“di ruang
depan telah tersedia makan dan minum. Sama sekali makan malam kemarin dan
mungkin masih ada yang lain lagi.”
Gupala menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi tanpa disangka-sangka ia menjawab,
“Yang penting
bukan makanannya. Aku berbangga bahwa aku suatu ketika menjadi tamu puteri
Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Dada Pandan
Wangi berdesir. Ternyata anak muda yang gemuk itu sama sekali tidak mengacuhkan
celerat di wajah Wrahasta. Dan ketika Pandan Wangi menyambar sorot mata raksasa
itu, hatinya menjadi kian berdebar-debar. Namun tiba-tiba Gupita turun dari
amben sambil berkata,
“Terima kasih.
Itulah yang kami harapkan. Di sini kami telah menerima makanan dan minuman, di
ruang depan kami akan menerimanya untuk yang kedua kalinya. Baiklah kami akan
pergi ke ruang depan supaya kami tidak kehabisan.”
Gupala
mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, sekali lagi Gupita
mendahului,
“Kalau kau
mau, makanan itu dapat kita bawa. Bukankah begitu?”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun terasa menjadi kaku.
“Apakah kalian
memerlukannya?”
Namun Gupita
menggeleng,
“Terima kasih.
Kami memang ingin mandi lebih dahulu.” Lalu kepada Gupala ia berkata, “Marilah.”
Sekali lagi
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dengan malasnya ia pun berdiri dan berkata,
“Aku
sebenarnya lebih senang duduk di sini. Kalau bukan yang mempersilahkan aku
masuk itulah yang mempersilahkan aku keluar, aku akan tetap tinggal di dalam
dapur.”
“Bukan
maksudku mempersilahkan kau keluar,” sahut Pandan Wangi,
“namun memang
sepantasnya seorang tamu berada di ruang depan. Aku justru minta maaf bahwa aku
telah mempersilahkan kalian duduk di dapur.”
“Kau tidak
perlu memakai terlampau banyak alasan Pandan Wangi,” sahut Wrahasta tiba-tiba.
“Sebaiknya kau
memang berterus terang mengusir mereka. Apakah salahnya? Kau adalah puteri Ki
Gede Menoreh. Jangankan menyuruh mereka keluar dari dapur ini. Bahkan kau dapat
mengusirnya dari tlatah Menoreh.”
Sebersit warna
merah membayang di wajah Gupala. Berbeda dengan Gupita, maka tiba-tiba ia
bertolak pinggang.
Pandan Wangi
menjadi bingung. Maksudnya adalah untuk mencegah perselisihan. Namun justru
mereka seakan-akan mendapat jalan untuk berbantah.
“Sudahlah,”
Pandan Wangi hampir berteriak,
“kalian bukan
anak-anak lagi. Di ruang dalam ayah sedang terbaring karena lukanya dan
berusaha untuk beristirahat. Di sini kalian bertengkar tanpa ujung dan
pangkal.”
Gupala masih
akan menjawab karena ia melihat Wrahasta memandanginya dengan sorot mata
kebencian. Tetapi ia tidak dapat membantah lagi ketika tangannya ditarik oleh
Gupita.
“Kau mempunyai
kebiasaan yang kurang baik, Gupala,” desis Gupita.
“Kalau kau
sedang lapar, maka nalarmu menjadi terlampau pendek.”
“Tidak. Ini
bukan soal lapar.”
“Hus,” Gupita
berdesis sambil menarik lengan adiknya,
“marilah.
Jangan membuat kesulitan. Kau di sini menjadi seorang tamu. Kau harus tunduk
kepada tuan rumah. Dan kita memang dipersilahkan keluar dari dapur. Aku yakin
bahwa Pandan Wangi tidak akan ingin menyakitkan hati kita.”
“Wangi. Anak
yang kasar itulah yang memang harus mendapat pelajaran sekali-kali.” Gupala
menggeram, tetapi ia sudah menjadi semakin jauh dari pintu dapur,
“Kenapa anak
itu tidak kau putar saja batang lehernya ketika kau mendapat kesempatan untuk
berkelahi.”
“Ah, kau
terlalu terburu nafsu, itulah yang selalu dicemaskan oleh Guru.”
Gupala
mengumpat. Ketika ia berpaling dilihatnya Pandan Wangi juga meninggalkan dapur,
justru keluar dari pintu belakang dan cepat melingkari sudut rumah, masuk ke
pintu butulan samping. Sebenarnya bahwa Pandan Wangi pun menghindari pertemuan
seorang dengan seorang. Ia tidak mau tersudut dalam kesulitan. Karena itu
ketika Gupala ditarik oleh Gupita keluar dari dapur, maka ia pun segera menyusulnya pula.
“Pandan
Wangi,” panggil Wrahasta, “aku perlu dengan kau sebentar.”
Pandan Wangi
tertegun sejenak. Sepercik keragu-raguan melonjak di hatinya. Apakah ia akan
tetap tinggal di dapur bersama Wrahasta, atau tidak. Kalau ia tetap berada di
dapur, maka ia pasti harus menjawab berbagai macam pertanyaan yang dapat
membuatnya pening.
“Aku ingin
berbicara dengan kau, Wangi,” berkata Wrahasta kemudian.
Terasa tengkuk
Pandan Wangi meremang. Ia tidak dapat mengerti sendiri, kenapa ia tidak berani
menyatakan perasaannya berterus terang. Bukan karena pertimbangan-pertimbangan
tentang pertahanan Tanah Perdikan Menoreh saja, tetapi karena ia memang tidak
akan sampai hati untuk mengatakannya. Ia tidak akan sampai hati melihat
Wrahasta menjadi kecewa dan mungkin menjadi patah hati dan bermata gelap.
Seandainya kedua anak-anak muda gembala kambing itulah yang menjadi sasaran,
maka hal itu pasti akan menjadi bencana bagi dirinya sendiri karena Pandan
Wangi telah dapat menjajagi imbangan kekuatan mereka.
Ketikta
Wrahasta melangkah mendekatinya, tiba-tiba Pandan Wangi menengadahkan wajahnya,
“Wrahasta, apa
kau dengar ayah memanggil?”
Wrahasta
tertegun.
“Dengarlah
baik-baik.” Pandan Wangi memiringkan kepalanya, “o, aku harus segera
menghadap.”
Wrahasta
menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Pandan Wangi menghambur keluar.
Tetapi terasa hatinya berdesir. Ia sama sekali tidak mendengar suara Ki
Argapati. Dan seandainya benar, bukan jalan itu yang akan dilalui Pandan Wangi.
Gadis itu pasti akan masuk ke dalam lewat pintu masuk, bukan pintu keluar.
Tiba-tiba
Wrahasta menyusul sampai ke pintu. Ia masih melihat Pandan Wangi berputar,
kemudian hilang di balik sudut. Namun ia mengangguk-anggukkan kepalanya ketika
ia melihat Gupala dan Gupita menjadi semakin jauh di halaman belakang. Agaknya
mereka akan melalui butulan, pergi ke sungai kecil yang mengalir di pinggir
padukuhan ini. Namun hatinya menjadi semakin tidak tenteram. Anak muda itu
seakan-akan menjadi semakin rapat bergaul dengan Pandan Wangi, dan agaknya
Pandan Wangi pun menerima kehadiran mereka dengan hati terbuka. Apalagi agaknya
anak yang gemuk itu mempunyai tanggapan yang lain kepadanya. Tidak seperti
kakaknya agak lebih tenang.
“Sayang, Ki
Argapati sedang membutuhkan ayah mereka. Kalau tidak, keduanya pasti sudah aku
usir dengan paksa. Aku tidak senang melihat kehadiran mereka di padukuhan ini,”
desis Wrahasta.
“Tetapi untuk
sementara aku tidak dapat berbuat apa-apa.”
Pandan Wangi
yang kemudian masuk kembali ke dalam rumah itu lewat butulan samping, langsung
pergi ke bilik ayahnya. Dengan hati-hati ia memasukinya dan kemudian duduk di
atas sebuah dingklik kayu di sudut ruangan. Perlahan-lahan ia menarik nafas
dalam-dalam. Terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat.
“Bagaimana aku
harus menghindarinya?” pertanyaan itu selalu mengganggunya. Namun Pandan Wangi
memasa, bahwa pada suatu saat ia harus mengambil suatu sikap. Ia tidak akan
dapat untuk seterusnya menghindar dan menghindar. Karena ia menyadarinya, bahwa
bukanlah suatu penyelesaian. Pada saatnya ia harus menjawab,
“Ya” atau,
“Tidak.”
Selama ini,
meskipun hanya setitik, agaknya Wrahasta selalu berpengharapan. Sehingga
apabila kelak pada saatnya ia mendengar jawaban yang lain, maka hatinya pasti
akan patah. Akibatnya akan dapat terungkap dalam berbagai-bagai bentuk. Karena
itu Pandan Wangi menjadi semakin bingung. Sekali-sekali dipandanginya wajah
ayahnya yang pucat, kemudian dilemparkannya tatapan matanya ke sudut bilik, ke
atas sebuah ajuk-ajuk lampu minyak. Warna yang kehitam-hitaman membayang di
dinding di sebelah ajuk-ajuk itu. Di malam hari, apabila lampu menyala, maka
asapnya selalu menyentuh dinding itu. Pandan Wangi tidak menyadari, berapa lama
ia duduk di tempat itu. Ia seakan-akan tersadar ketika ia mendengar desah napas
ayahnya. Dengan serta-merta Pandan Wangi berdiri. Dihampirinya pembaringan
ayahnya perlahan-lahan.
“Wangi,” desis
ayahnya.
“Ya, Ayah.”
“Apakah sejak
tadi kau berada di sini?”
“Tidak Ayah.
Aku sudah pergi ke dapur dan ke luar.”
“O,” Ki
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan,
“di manakah
orang-orang yang lain?”
“Di luar,
Ayah. Mereka pun sedang beristirahat di
serambi depan. Bahkan mungkin paman-paman sedang tidur pula.”
“Kedua
prajurit itu?”
“Juga di
luar.”
“Dan kedua
gembala muda itu?”
“Mereka berada
di belakang, Ayah. Apakah Ayah akan memanggilnya?”
Tetapi Ki Argapati
menggelengkan kepalanya,
“Tidak
sekarang, Wangi. Aku masih ingin beristirahat. Tetapi badanku sudah terasa jauh
lebih baik.” Ki Argaparti berhenti sejenak,
“Beritahukan
kepada pamanmu Samekta. Aku memerlukannya dan para pemimpin yang lain. Aku
ingin berbicara nanti sesudah senja.”
“Baik, Ayah.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia ingin menanyakan apakah ayahnya ingin
makan. Tetapi ia cemas, kalau-kalau Wrahasta masih berada di dapur. Namun demikian,
ia terpaksa mengesampingkan kecemasannya itu dan bertanya kepada ayahnya,
“Apakah Ayah
ingin makan?”
Ki Argapati
menggelengkan kepalanya, “Tidak, Wangi. Tetapi berilah aku minum.”
Pandan Wangi
pun kemudian mendekatkan mangkuk minuman ke mulut ayahnya yang berusaha
mengangkat kepalanya.
“Terima kasih,”
desis ayahnya kemudian.
“Sekarang
temuilah pamanmu Samekta. Kita harus membicarakan kelanjutan dari peperangan
ini supaya kita tidak terlambat. Aku kira saat ini Tambak Wedi dan Sidanti pun
sedang memikirkan suatu cara untuk menebus kekalahannya hari ini.”
Sebenarnyalah
bahwa Tambak Wedi yang sedang dilanda oleh kemarahan, kekecewaan,
keragu-raguan, dan segala macam perasaan yang bercampur baur, lagi duduk
bersama Sidanti, Argajaya, Ki Peda Sura, dan beberapa orang pemimpin pasukannya
yang lain. Setiap kali orang tua itu menggeram, menghentak-hentakkan tangannya
dan kadang-kadang berteriak tanpa sebab. Sidanti adalah salah seorang yang
paling kecewa karena pasukannya harus ditarik mundur. Tetapi di hadapan gurunya
yang sedang marah itu, Sidanti sama sekali tidak berkata apa pun. Ia mengenal
tabiat guru dan sekaligus ayahnya itu dengan baik, selama ia berada di
padepokan Tambak Wedi. Dalam keadaan yang demikian, tidak seorang pun yang berani membantahnya.
“Kita telah
salah menilai,” geramnya.
“Ternyata di
dalam lingkungan setan itu terdapat orang-orang yang tidak pernah kita
perhitungkan.”
Sidanti
menundukkan kepalanya, sedang Argajaya mengangguk-angguk.
“Ki Peda
Sura,” tiba-tiba Tambak Wedi bertanya,
“kenapa kau
menghindari lawanmu?”
“Aku tidak mau
mati,” jawab Ki Peda Sura.
“Gila. Apakah
kau sudah mcnjadi seorang pengecut. Di peperangan, mati adalah akibat yang
wajar. Tetapi aku memang tidak ingin kau mati. Aku ingin kau membunuh musuhmu.”
“Aku telah membunuh
dan melukai lebih dari sepuluh orang. Kalau aku tidak menghindari orang
berkumis lebat itu, akulah yang mati dan dengan demikian aku tidak dapat
membunuh lagi. Orang berkumis itu pun sebenarnya tidak begitu mengecutkan hati.
Tetapi ia bekerja bersama beberapa orang. Kerja sama yang sangat baik, sehingga
aku menghindarinya.”
Ki Tambak Wedi
sama sekali tidak menghiraukannya. Ia tidak pernah menaruh perhatian terhadap
seseorang yang berkumis. Ada seribu orang berkumis di dalam pasukan Ki
Argapati.
“Kita tidak
boleh menunggu Argapati sembuh dan dapat maju ke peperangan lagi,” berkata Ki
Tambak Wedi.
“Kita harus
cepat-cepat menyusun kekuatan. Tanpa Ki Muni dan Ki Wasi. Ternyata mereka hanya
mampu berbicara saja, berteriak-teriak. Tetapi mereka sama sekali tidak berarti
apa-apa di peperangan.”
“Ki Wasi
terbunuh oleh orangnya sendiri,” desis Argajaya.
“Itu lebih
baik daripada ia berkhianat,” jawab Ki Tambak Wedi.
“Nah, kalian
harus segera mempersiapkan diri. Seluruh pasukan harus segera dapat digerakkan
kembali dalam waktu yang sangat dekat.”
Argajaya
menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya ragu-ragu,
“Tidak mungkin
terlampau cepat Ki Tambak Wedi. Pasukan kita telah terpukul cukup parah. Aku
kira kita memerlukan waktu dua tiga hari untuk menyusun pasukan itu kembali.
Kalau benar Kakang Argapati tidak dapat bertahan, dan terjatuh di peperangan,
itu berarti bahwa lukanya memang terlampau parah. Kalau tidak, ia pasti mampu
tetap berdiri sampai tidak seorang lawan
pun yang melihatnya. Karena itu, maka aku kira, dalam waktu dua tiga
hari ini, Kakang Argapati pasti masih belum akan dapat bangun.”
“Tiga hari
adalah batas terakhir,” jawab Ki Tambak Wedi. Lalu kepada Ki Peda Sura,
“Bagaimana
dengan orang-orangmu?”
“Kenapa dengan
mereka?”
“Aku
memerlukan beberapa orang terkuat lagi dari orang-orangmu untuk melawan
setan-setan yang sekarang ada di Menoreh ini. Kau harus menyusun
kelompok-kelompok kecil dari orang-orangmu yang terkuat.”
“Kenapa hanya
orang-orangku? Di sini ada orang-orang lain yang cukup kuat pula.”
“Tetapi kau
adalah gerombolan yang terbesar dan terpercaya. Aku lebih percaya kepadamu
daripada orang-orang lain.”
Ki Peda Sura
menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Berat.
Terlampau berat menghadapi orang-orang Argapati.”
“Lalu
bagaimana maksudmu?”
“Aku lebih
baik menarik diri.”
“Gila. Kau
gila. Dalam keadaan serupa ini kau menarik diri? Itu juga suatu pengkhianatan.”
“Lawan-lawanmu
ternyata terlampau sulit untuk dikalahkan.”
“Tetapi
Argapati sendiri sudah hampir mati.”
“Seperti
saat-saat lampau, ia akan tiba-tiba muncul lagi di peperangan.”
“Mungkin,
tetapi ia tidak akan dapat bertempur sepenuh tenaganya.”
“Tetapi aku
lebih baik membawa orang-orangku merampok daripada harus berperang melawan Ki
Argapati.”
“Gila. Itu
tidak mungkin.”
“Kenapa tidak?
Aku bukan orangmu yang harus tunduk kepadamu.”
“Tetapi kita
sudah membuat perjanjian.”
“Aku ingin
membatalkan perjanjian.”
“Gila, kau
gila Peda Sura. Kau tidak dapat membatalkan perjanjian itu. Itu adalah suatu
pengkhianatan. Dan kau harus menyadari, hukuman dari seorang pengkhianat.”
“Apa?” tiba-tiba
Ki Peda Sura tersenyum,
“Kau akan
menghukum aku? Kau sangka aku semacam katak yang begitu saja dapat kau
injak-injak?”
“Tapi aku
mampu membunuhmu.”
“Mungkin aku
akan mati, tetapi separo dari anak buahmu pasti akan mati juga. Orang-orangku
yang tersisa akan dapat memanggil beberapa orang yang dapat membakar tanahmu
menjadi abu. Kami meskipun tanpa aku, dapat menjelajahi ujung tanahmu ini
sampai ke ujung yang lain, membunuh setiap orang dan merampas semua milik
mereka, selagi kau berkelahi melawan Argapati.”
“Baik,”
tiba-tiba Sidanti tidak dapat menahan hati,
“marilah kita
bertempur sampai sampyuh. Biarlah kita binasa semuanya. Apakah kau kira kau
dapat menakut-nakuti kami?”
“Apakah begitu
yang kau kehendaki, Sidanti?” jawab Ki Peda Sura.
Hampir saja
Sidanti meloncat menerkam orang itu. Tetapi Ki Tambak Wedi berhasil menahannya.
“Duduklah yang
baik, Sidanti.”
Sadanti
menggeram, tetapi ia duduk kembali di tempatnya. Ternyata betapa kemarahan
membakar dada gurunya, orang tua itu masih dapat lebih menahan hati daripadanya
sendiri.
Peda Sura
masih duduk tenang-tenang saja di tempatnya. Bahkan ketika Sidanti telah duduk
kembali ia berkata,
“Kenapa tidak
kau biarkan saja anak itu mati?”
“Jangan
membakar hatinya lagi,” bentak Ki Tambak Wedi.
“Kita ternyata
adalah orang-orang yang paling bodoh di dunia. Kita bercita-cita setinggi
langit, tetapi kita tidak pernah setia kepada cita-cita itu sendiri.
Masalah-masalah yang tidak berarti kadang-kadang selalu kita anggap lebih
penting dan lebih berharga untuk dipersoalkan.”
Sidanti hanya
dapat menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan sorot matanya yang membara. Dalam
pada itu Argajaya masih mematung di tempatnya. Kadang-kadang ia mengerutkan
keningnya, kadang-kadang mengangguk-anggukkan kepalanya, namun kadang-kadang ia
mengeretakkan giginya. Ki Peda Sura seolah-olah sama sekali tidak memperhatikan
orang-orang yang berada di sekitarnya. Namun ternyata orang-orangnyalah yang
telah mempersiapkan diri mereka diam-diam.
“Ki Peda
Sura,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian,
“marilah kita
persoalkan masalah yang sedang kita garap sekarang. Kita sudah tidak dapat
berhenti di tengah-tengah jalan. Kita harus berjalan terus. Memang kau dapat
memeras kami dalam saat-saat seperti ini. Tetapi seperti kau, kami pun dapat
berbuat dengan sikap putus asa. Kalau kita membenturkan diri kita satu sama
lain, maka akulah yang pasti akan tetap hidup. Harapan terbesar Sidanti dan
Argajaya pun akan tetap hidup pula.
Kematian orang lain dapat kami ke sampingkan, apabila kami telah kehilangan
arah perjuangan kami. Tetapi tidak demikian dengan kami. Aku, Sidanti,
Argajaya, dan anak-anak muda, bahkan setiap laki-laki di atas Bukit Menoreh ini
akan tetap berjuang untuk mencapai suatu cita-cita yang telah kita pahatkan di
dalam hati.”
“Cita-cita itu
adalah cita-cita kalian. Bukan cita-cita kami.”
“Benar, tetapi
bukankah di dalam perjanjian itu telah tersebutkan bahwa kau akan mendapat
banyak manfaat dari kemenangan ini? Dan bukankah manfaat itu juga suatu
cita-cita bagimu?”
“Terlampau berat.
Sama sekali tidak seimbang dengan korban yang harus aku berikan.”
“Tetapi itu
lebih baik daripada kau tumpas di sini bersama-sama dengan kami. Katakanlah
seperti yang kau ramalkan, separo dari kami. Kemudian kami menyerah, dan
Sidanti akan diterima kembali oleh ayahnya. Sementara itu, kami akan menumpas
sisa-sisa orang-orangmu di sarangmu.”
“Gila. Kalian
jangan mencoba menakut-nakuti dan memperbodoh kami.”
“Dan kau
jangan mencoba berkhianat.”
“Aku akan
bekerja terus buat kau, tetapi selain yang tersebut dalam perjanjian, aku
memerlukan tanahmu di bagian selatan membujur ke timur sampai ke kali Praga.”
“Gila,” sekali
lagi Sidanti meloncat berdiri, bahkan kali ini bersama-sama dengan Argajaya.
Dengan suara yang bergetar Argajaya berkata,
“Kau akan
memeras kami dengan cara yang licik itu, Peda Sura?”
Peda Sura
mengerutkan keningnya. Ia tidak dapat duduk tenang-tenang saja, karena agaknya
Sidanti dan Argajaya menjadi benar-benar marah mendengar tuntutannya itu.
“Ya, aku
memang memerlukan tanah itu.”
Mata Sidanti
telah menjadi semerah darah. Namun Ki Tambak Wedi berkata,
“Duduklah.
Duduklah. Kita tidak boleh menjadi gila oleh kekalahan kecil yang baru saja
terjadi.”
Sidanti dan
Argajaya masih saja berdiri di tempatnya.
“Dudukkah,”
sekali lagi terdengar suara Ki Tambak Wedi.
Sidanti dan
Argajaya menggeram, tetapi mereka duduk kembali di tempatnya.
“Permintaanmu
telah membuat kami merasa tersinggung Ki Peda Sura,” berkata Ki Tambak Wedi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar