Jilid 044 Halaman 2


“Terserahlah menurut penilaianmu. Tetapi kami tidak akan dapat membiarkan orang-orang kami mati terbunuh di sini tanpa imbalan yang cukup.”
“Apakah kau telah merencanakan untuk memperluas daerah perampasanmu sampai ke Mangir, Pliridan dan bahkan langsung ke seberang Hutan Mentaok?”
Ki Peda Sura tidak segera menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.
“Begitu?” desak Ki Tambak Wedi.
“Ya,” akhirnya Ki Peda Sura menjawab.
“Kau gila. Kau sangka Ki Ageng Mangir itu anak kecil yang dapat kau takut-takuti.”
“Persetan.”
“Dan kau sangka kau dapat melawan Daruka dan orang-orangnya dari Alas Mentaok?”
“Persetan pula dengan kelinci-kelinci kecil di Alas Mentaok itu.”
“Bagus. Kalau sudah kau pertimbangkan masak-masak, kau tentu akan tetap pada pendirianmu.”
“Tentu. Dan itu akan lebih baik buat kau. Kau akan mendapat seluruh Tanah Perdikan ini, selain seleret tanah di pasisir sampai ke Kali Praga itu.”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Aku sependapat.”
“Guru,” Sidanti tiba-tiba memotong.
“Jangan gelisah Sidanti. Kita tidak mempunyai pilihan lain dalam keadaan serupa ini. Kita harus memenangkan peperangan ini.”
“Tetapi ……….” sambung Argajaya.
“Itu adalah keputusanku.”
Sidanti dan Argajaya terdiam. Namun serasa mereka menyimpan segumpal bara di dalam dada mereka.
“Jadi, kau terima syaratku, Tambak Wedi,” berkata Ki Peda Sura sambil menyipitkan matanya.
“Ya, aku terima syarat itu.”

Ki Peda Sura mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil memandang wajah Sidanti dan Argajaya berganti-ganti. Wajah-wajah yang seolah-olah telah terbakar.
“Aku percaya kepadamu, Ki Tambak Wedi,” berkata Ki Peda Sura.
“Kita adalah orang laki-laki yang meletakkan nilai diri pada kata-kata dan perbuatan. Dan kau adalah salah seorang yang mempunyai nama yang menggemparkan, tidak saja di sebelah Selatan bumi Pajang, tetapi kau telah benar-benar mampu mengguncang pimpinan pemerintahan. Karena itu, kau tidak akan menelan ludah yang telah titik di atas tanah.”
“Ya. Aku pertaruhkan namaku atas janjiku.”
“Terimu kasih,” sahut Ki Peda Sura,
“biarlah aku menyiapkan orang-orangku untuk peperangan yang lebih besar dan waktu yang tidak terbatas.”
“Ya, lakukanlah. Aku memerlukan setiap orang di dalam pasukanku. Secepat mungkin. Aku tidak dapat menunggu sampai terlambat. Apalagi sampai orang-orang Pajang semakin banyak berdatangan.”
Ki Peda Sura tertawa. Kemudian ia  pun berdiri meninggalkan ruangan itu, diikuti oleh beberapa orang yang lain.
Begitu Ki Peda Sura keluar dari pintu, Sidanti dan Argajaya tidak dapat bersabar lagi. Hampir bersamaan mereka bertanya,
“Kenapa Guru memenuhi permintaan itu?”
Tetapi Ki Tambak Wedi tersenyum. Jawabnya,
“Apakah kau kira aku akan memenuhinya kelak.”
“Tetapi Kiai telah mempertaruhkan nama Kiai.”
“O, kau sangka namaku adalah nama yang bersih seputih kapas? Biarlah. Namaku adalah nama yang memang aku korbankan untuk kepentingan kalian, untuk kepentingan Tanah Perdikan ini.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu,
“Setelah kita selesai dengan Argapati, maka kita akan segera menyelesaikan tikus-tikus yang hanya akan meringkihkan kita saja.”
Sidanti tidak menyahut. Tetapi kepalanya tertunduk. Ia tidak begitu senang mempergunakan cara itu. Cara seorang pengecut.
“Jangan terlampau terikat oleh kejantanan dalam hubungan dengan orang-orang seperti Ki Peda Sura,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian.
“Orang itu terlampau licik. Dan kita  pun harus licik pula menghadapinya.”
Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Juga Argajaya tidak berkata sepatah kata pun lagi.
“Beristirahatlah kalian. Sebentar lagi kalian harus bekerja keras. Menghimpun semua kekuatan yang ada. Kalian harus segera mendapat tenaga baru dari ujung sampai ke ujung Tanah Perdikan ini yang kira-kira dapat kita pergunakan. Kita harus mendapatkan kekuatan sedikit-dikitnya sebanyak yang telah kita pergunakan.”
“Hampir setiap orang telah berada di dalam barisan,” jawab Argajaya.
“Kita masih menyimpan banyak tenaga. Kalian belum memanggil orang-orang yang berada di lereng-lereng Bukit Menoreh dan di pesisir Selatan.”
“Aku sangsi, apakah mereka sependirian dengan kita. Samekta pasti telah sampai ke sana pula. Dan sebagian dari mereka pasti telah terpengaruh olehnya.”
“Kita jelajahi Tanah Perdikan ini.”
“Baiklah,” jawab Argajaya,
“aku akan mencobanya. Aku memerlukan waktu sehari. Kemudian sehari lagi untuk menghimpun setiap kekuatan yang telah terkumpul.”
“Di hari ketiga kita telah siap untuk menggempur pedukuhan yang dibentengi dengan pring ori itu,” geram Ki Tambak Wedi, lalu,
“semakin cepat selesai, pasti akan semakin baik. Di pihak Argapati pun jumlah pasukannya pasti sudah berkurang. Dan mereka tidak akan berkesempatan untuk mendapatkannya lagi dari luar pagar itu.”
“Mudah-mudahan,” desis Argajaya.
“Kita harus yakin,” sahut Ki Tambak Wedi.
“Nah, aku pun akan beristirahat pula. Kalian harus melakukan tugas kalian sebaik-baiknya tanpa menunggu perintah lagi. Ingat, jagalah perasaan kalian, sehingga tidak menimbulkan persoalan yang dapat mengganggu kekuatan kita.”
Sidanti dan Argajaya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sejenak kemudian mereka  pun segera pergi meninggalkan ruangan itu.

Ketika Ki Tambak Wedi tinggal duduk seorang diri, maka tampaklah ia merenung. Ia menjadi sangat kecewa atas kekalahan yang baru saja dialaminya. Orang-orang yang tidak diperhitungkan ternyata tiba-tiba saja telah muncul di peperangan. Dan justru orang-orang itu adalah orang-orang yang ikut menentukan.
“Secepatnya Argapati harus terbunuh. Secepatnya.”
Iblis lereng Merapi itu menggeretakkan giginya. Ia pun kemudian berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Seperti orang yang kurang yakin, maka ia  pun melihat orang-orangnya yang masih mampu untuk bertempur di waktu-waktu yang dekat.
“Jangan berkecil hati. Kesalahan yang terjadi adalah kesalahan kecil dalam penempatan pimpinan. Kesalahan itu adalah kesalahan yang memang sulit untuk dihindari. Tetapi kita sekarang telah mengetahui kekuatan lawan dengan pasti. Mereka mempergunakan orang-orang yang datang dari luar Tanah ini. Karena itu, kita harus menghancurkan mereka, merebut tanah ini dari kekuasaan orang gila pangkat dan derajat, sehingga melupakan kepentingan seluruh rakyat Tanah Perdikan Menoreh.”
Orang-orang di dalam pasukan Ki Tambak Wedi itu  pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Meskipun sebagian dari mereka menjadi ragu-ragu, namun setiap kali mereka memantapkan pendirian mereka,
“Sidanti adalah anak Argapati, dan Argajaya adalah adiknya. Mereka bersama-sama telah melawannya. Apalagi aku. Bukan sanak bukan kadangnya. Kalau Argapati tidak mempunyai kesalahan yang besar, maka keduanya pasti tidak akan sampai pada perlawanan antara hidup dan mati seperti ini.”
Dengan demikian, maka mereka  pun telah menentapkan diri mereka sendiri dalam pilihannya, tanpa mengerti arti yang sesungguhnya. Apakah sebenarnya yang sedang mereka lakukan itu. Pada saat Sidanti, Argajaya dan pembantu-pembantunya sedang sibuk mempersiapkan orang-orang mereka, memberikan pengharapan dan beberapa macam janji-janji, dan Ki Peda Sura yang sedang tertawa-tawa di antara anak buahnya, maka pada saat itu pula Ki Argapati sedang berbaring di pembaringannya, dikerumuni oleh para pemimpin pasukannya.
Mereka berpaling ketika mereka melihat seorang gadis yang memasang lampu di ajuk-ajuk di sudut ruangan.
“Duduklah pula di sini, Pandan Wangi,” desis ayahnya.
Pandan Wangi  pun kemudian melangkah mendekat dan duduk di pembaringan ayahnya pula.
“Kita akan berbicara tentang peperangan,” berkata ayahnya. Dan Pandan Wangi  pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kemarilah, mendekatlah semua,” berkata Ki Argapati kepada para pemimpin itu.
Mereka  pun kemudian menarik dingklik-dingklik kayu mereka mendekati pembaringan Ki Argapati. Mereka adalah gembala tua yang telah mengobati Ki Argapati, kedua orang pengawal Sutawijaya, Hanggapati dan Dipasanga, kemudian Samekta, Kerti, dan Wrahasta. Tetapi Ki Argapati masih mencari-cari di antara mereka. Sehingga kemudian ia bertanya,
“Dimana kedua anak-anak itu?”
Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang menjadi gelisah karenanya. Hampir saja ia mengatakan tentang keduanya, namun ketika dilihatnya alis Wrahasta yang berkerut, maka ia  pun mengurungkan niatnya.
“Biar orang lain sajalah yang menjawabnya,” katanya di dalam hati.
“Dimana?” ulang Ki Argapati.
“Mereka berada di halaman, Ki Gede,” jawab gurunya.
“Suruhlah mereka masuk.”
“Sudahlah, Ki Gede, biarlah mereka berada di halaman. Mereka hanya akan memenuhi ruangan ini saja. Biarlah aku nanti menyampaikan kepada mereka setiap keputusan.”
“Tetapi aku belum bertemu dengan mereka sejak pertempuran berakhir.”
“Mereka baik-baik saja, Ki Gede. Hanya Gupala tersentuh senjata Ki Muni yang tajamnya memang bukan main. Itulah yang telah membakar perasaannya, sehingga ia kehilangan kendali.”
“Tidak, bukan karena kehilangan kendali,” jawab Ki Argapati.
“Adalah wajar sekali, di setiap peperangan, pada suatu saat terpaksa membasahi senjata dengan darah lawan. Justru aku akan mengucapkan terima kasih kepada mereka.”
“Akan aku sampaikan kepada mereka, Ki Gede,” berkata gembala tua itu.

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak menaruh suatu kecurigaan apa pun tentang kedua anak-anak muda itu. Ki Argapati yang masih harus tetap berbaring itu sama sekali tidak mengerti, perasaan apa yang sebenarnya sedang bergolak di dada puterinya, di dada Wrahasta, dan pengamatan gembala tua itu atas kedua anak-anaknya. Gembala itu sudah mendengar ceritera tentang kedua anak-anaknya, sikap Wrahasta dan hubungan-hubungan lain yang memungkinkan persoalan-persoalan yang tidak menyenangkan. Karena itu, sebagai orang tua yang mencoba untuk menghindari persoalan-persoalan yang tidak perlu, maka ia sudah berusaha, membatasi kedua anak-anaknya.
“Baiklah,” berkata Ki Argapati kemudian,
“kalau mereka lebih senang menunggu di luar. Aku kira yang ada di dalam ruangan ini sudah cukup lengkap untuk mewakili setiap orang di dalam pasukan kita.”
“Begitulah,” jawab gembala tua itu.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia merenung, dan sejenak kemudian ia berkata,
“Sayang, lukaku menjadi kambuh. Padahal kita sudah tersudut dalam suatu keadaan yang harus cepat kita tanggapi.”
Mereka yang mendengar, mengangguk-anggukkan kepala tanpa mereka sadari. Karena apa yang dikatakan oleh Ki Argapati itu adalah yang mereka katakan di dalam hati masing-masing.
“Kalau kita terlambat, maka Tambak Wedi akan datang lagi bersama pasukannya yang lebih kuat.”
“Ya, Ki Gede,” jawab Samekta,
“mungkin Ki Tambak Wedi menjadi mata gelap dan berbuat semakin jauh menyesatkan orang-orang dari Tanah Perdikan ini. Hubungan dengan orang-orang semacam Ki Peda Sura, sebenarnya sama sekali tidak menguntungkan bagi Tanah ini.”
“Tentu. Dan tidak mustahil apabila Ki Tambak Wedi akan terdorong semakin jauh lagi dalam hubungan itu.”
“Dengan demikian kita harus menanggapinya secepat-cepatnya.”
“Jadi bagaimana pendapatmu, Samekta?”
Samekta tidak segera menjawab. Tanpa disadarinya ia berpaling, memandangi wajah gembala tua yang sedang berkerut-merut.
“Ki Gede,” berkata Samekta kemudian,
“meskipun bukan orang Menoreh, tetapi mereka yang sudah membantu kita, agaknya akan dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang baik meskipun tidak mengikat.”
“Tentu, tentu,” sahut Ki Argapati.
“Nah, bagaimana pertimbangan kalian?”
Hanggapati, Dipasanga, dan gembala tua itu merenung sejenak. Yang mula-mula berbicara adalah gembala tua itu,
“Kalau aku diperkenankan memberikan pertimbangan, Ki Gede, maka sebaiknya kita tidak menunggu saja di dalam lingkungan pring ori ini. Sebelum mereka menyadari apa yang terjadi setelah peperangan ini, sebaiknya kita menyusul mereka, masuk kembali ke induk Tanah Perdikan ini.”
Ki argapati mengerutkan keningnya. Namun ia melihat setiap orang mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan Wrahasta menyambung,
“Ya Ki, Gede. Itu adalah jalan yang paling dekat untuk mengambil kembali Tanah ini dari tangan mereka. Saat-saat ini mereka pasti sedang menyusun kekuatan mereka kembali. Aku kira apabila kita menyusul mereka, mereka pasti akan terperanjat. Sedang induk Tanah Perdikan itu justru tidak mempunyai pagar pring ori serapat ini.”
Ki Argapati masih belum menjawab. Tampaklah wajahnya yang suram itu menegang. Kemudian perlahan-lahan terdengar ia berdesis,
“Tetapi aku masih belum dapat bangkit dari pembaringan ini.”
Setiap orang di dalam ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka mengerti, betapa Ki Argapati sedang dikungkung oleh luka yang parah di dadanya itu. Selain daripada itu, mereka  pun mengerti pula, bahwa Ki Gede telah memperingatkan, siapakah di antara mereka yang sanggup untuk melawan Ki Tambak Wedi?
Karena itu, maka ruangan itu menjadi hening sejenak.
“Tetapi,” Ki Argapati  pun kemudian berbicara pula perlahan-lahan,
“kita memang tidak dapat menunggu lagi. Soalnya sekarang, bagaimana kita harus melawan iblis yang paling licik itu.”

Gembala tua yang ada di dalam bilik itu  pun menarik nafas dalam-dalam. Kini ia telah sampai pada suatu batas tertentu, di mana ia tidak akan dapat bergurau lagi. Kalau ia kali ini harus menyatakan cirinya, maka ia pun harus menyelesaikannya sekaligus. Karena itu, maka ia pun tidak segera menemukan suatu sikap yang mantap untuk segera menyanggupi untuk melawan Ki Tambak Wedi. Hanggapati dan Dipasanga pun hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka berdua tidak akan dapat menyatakan diri mereka untuk bersama-sama melawan Ki Tambak Wedi, karena mereka berdua pun tidak yakin, bahwa Ki Tambak Wedi dapat mereka tundukkan. Dengan demikian maka sekali lagi mereka yang ada di dalam ruangan itu terdiam sejenak.
“Ki Gede,” Samekta lah kemudian yang memecahkan kediaman mereka,
“kalau Ki Tambak Wedi sempat menyiapkan pasukannya dan bahkan mungkin menghimpun orang-orang yang masih bertebaran di desa-desa kecil di atas Tanah Perdikan ini, entah dengan cara apa  pun yang akan ditempuhnya, maka kita akan menghadapi kesulitan.”
“Ya, aku mengerti Samekta,” jawab Ki Argapati,
“pendapat itu adalah pendapat yang paling baik saat ini. Tetapi yang membuat kita bertanya-tanya, siapakah lawan Ki Tambak Wedi. Hanya itu.”
Samekta menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia memandangi wajah gembala tua yang duduk sambil mengangguk-angguk kecil.
“Apakah ia mampu,” desis Samekta di dalam hatinya,
“di dalam peperangan ini ternyata ia dapat mengusir Ki Peda Sura yang tingkat ilmunya tidak terlampau jauh dibawah Ki Tambak Wedi. Tetapi apakah ia bersedia dan mampu untuk berhadapan dengan Ki Tambak Wedi sendiri, meskipun seandainya diperlukan satu atau dua orang untuk membantunya.”
Dalam keragu-raguan itu Wrahasta berkata,
“Ki Gede. Kita memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, bagaimanakah seandainya kita menyusun suatu kelompok kecil dari orang-orang pilihan untuk menghadapi Ki Tambak Wedi?”
Ki Argapati mengangguk-angguk,
“Memang mungkin dilakukan, Wrahasta. Nah, bagaimana menurut pertimbanganmu.”
“Mungkin dua tiga orang yang akan memimpin kelompok kecil itu. Ki Hanggapati, Ki Dipasanga, dan salah seorang dari kami, maksudku, Paman Samekta, Paman Kerti, atau aku.”
Ki Argapati masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Lalu bagaimana pertimbanganmu mengenai Sidanti dan Argajaya?”
“Kita dapat membuat kelompok-kelompok serupa. Pandan Wangi didampingi oleh salah seorang dari kami, dan yang lain bersama-sama melawan yang seorang dari mereka.”

Gembala tua yang duduk terangguk-angguk itu pun masih juga terangguk-angguk. Ia merasakan keanehan sikap Wrahasta ini. Di dalam susunannya sama sekali tidak disinggung-singgung Gupala dan Gupita, juga dirinya sendiri. Tetapi gembala tua itu masih juga berdiam diri.
“Wrahasta,” berkata Ki Argapati itu,
“pada dasarnya, pikiran itu adalah pikiran yang sebaik-baiknya. Kita harus mengambil jalan itu untuk melawan para pemimpin di dalam pasukan Ki Tambak Wedi. Hanya mungkin kau masih melupakan beberapa orang yang ada di antara kita. Dukun tua ini, dan kedua anak-anaknya.”
Wrahasta mengerutkan keningnya. Dipandanginya gembala tua itu. Kemudian katanya,
“Kita akan berterima kasih kalau ia bersedia membantu kita Ki Gede. Kita masih mempunyai seorang lawan. Ki Peda Sura. Biarlah mereka bersama-sama melawan Ki Peda Sura.”
Argapati mengerutkan keningnya. Katanya,
“Wrahasta, bukankah kau tahu, bahwa gembala tua itu seorang diri dapat mengalahkan Ki Peda Sura, dan salah seorang anaknya bersama-sama dengan Pandan Wangi mampu melukainya? Kau dapat mengambil kesimpulan, kemungkinan yang dapat mereka lakukan untuk peperangan ini.”
“Itu adalah pertimbangan yang bijaksana,” sahut Kerti,
“Ki Sanak ini memiliki kemampuan di atas kita. Setidak-tidaknya ia mampu melawan Ki Peda Sura. Nah, bagaimana kalau pikiran Wrahasta itu mendapat perubahan sedikit. Maksudku, biarlah dukun tua ini menempatkan diri bersama satu dua orang untuk melawan Ki Tambak Wedi.”
Dada Wrahasta menjadi berdebar-debar. Sebenarnya ia mengakui, bahwa memang kemungkinan itulah yang paling baik. Tetapi dengan demikian, kedudukan gembala itu akan menjadi semakin kuat, sehingga kedua anak-anaknya pun menjadi semakin mantap pula berada di lingkungan Tanah Perdikan ini. Padahal bagi Wrahasta, kedua anak-anak gembala itu merupakan duri yang serasa selalu menyengat dagingnya. Hampir saja Wrahasta berteriak menolak pendapat Kerti itu. Namun ternyata ia tidak dapat mencari alasan yang lebih baik lagi. Karena itu, maka tanpa mengucapkan jawaban ia menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan kesan di wajahnya. Yang terdengar adalah suara Ki Argapati lambat,
“Pendapatmu tepat Kerti. Tetapi biarlah aku bertanya kepadanya, karena ia seorang tamu bagi kita di sini, apakah ia bersedia melakukannya. Seandainya ia bersedia, maka aku percaya, bahwa ia tidak memerlukan orang lain untuk melawan Ki Tambak Wedi.”

Kerti mengerutkan keningnya. Kemudian mengangguk perlahan. Dipandanginya wajah gembala tua yang masih menunduk itu. Kemudian wajah Ki Argapati yang pucat. Ketika terpandang olehnya wajah Wrahasta, maka orang tua itu melihat sepercik kekecewaan membayang di sorot matanya. Tetapi Wrahasta tidak dapat mencegah pertimbangan Ki Argapati itu. Karena ia tidak akan dapat membuat kemungkinan yang lebih baik daripada itu. Ruangan itu menjadi hening sejenak. Mereka seakan-akan menunggu sikap gembala tua yang masih tetap berdiam diri itu.
“Bagaimana pendapat Ki Sanak?” bertanya Ki Argapati.
“Kau sudah mendengar apa yang seharusnya aku katakan kepadamu.”
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam.
“Tidak ada kemungkinan lain yang lebih baik daripada itu. Kami sudah tidak dapat melihat kekuatan di atas bukit ini yang mampu untuk melakukannya.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Berbagai pertimbangan telah memenuhi dadanya. Namun akhirnya ia sampai pada kepentingan yang lebih dekat pada diri sendiri.
“Aku seharusnya tidak melibatkan diri terlampau jauh di dalam persoalan ini,” katanya di dalam hati.
“Tetapi apabila aku melepaskan kemungkinan kali ini, maka akibatnya akan menjadi sangat jauh. Memang tidak ada orang yang dapat di tempatkan di ujung pasukan untuk melawan Ki Tambak Wedi. Kalau aku tidak bersedia melakukannya kali ini, maka sudah pasti, bahwa perjuangan Ki Argapati tidak akan segera berhasil. Bahkan mungkin pada suatu ketika Ki Tambak Wedi akan berhasil menguasai seluruh daerah perbekalan pasukan pengawal ini, sehingga lambat atau cepat, Menoreh akan jatuh ke tangannya pula. Akibatnya tidak hanya akan berpengaruh di atas tanah ini, tetapi pasti akan sampai ke seberang Kali Praga. Apalagi Alas Mentaok yang akan tumbuh. Mangir, Pliridan, dan akan sampai pula ke sebelah Alas Mentaok dan Alas Tambak Baya.”
Gembala tua itu menarik nafas. Bahkan terbayang di kepalanya, Ki Tambak Wedi akan terus melawat ke Timur, ke Pajang dan daerah di sekitarnya. Apalagi agaknya Pajang baru disaput oleh awan yang suram, sepeninggal Ki Gede Pemanahan.
“Bagaimana Kiai?” bertanya Ki Argapati kemudian karena gembala tua itu masih belum menjawab.
Perlahan-lahan orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun bertanya,
“Tetapi apakah kalian percaya kepadaku bahwa aku akan dapat melawan Ki Tambak Wedi.”
Ki Argapati yang sedang terluka itu tersenyum. Katanya,
“Betapa kami dapat menduga akhir dari pertempuran itu? Namun menurut perhitunganku, maka kau akan dapat melakukannya. Bagaimanapun kau mencoba merendahkan dirimu, tetapi kami tidak akan salah memandang kemampuan yang ada padamu, Kiai.”
“Hem,” gembala tua itu menarik nafas. Sekilas disambarnya wajah Wrahasta yang tegang.
“Kami sangat mengharap bantuanmu, Ki Sanak,” berkata Ki Argapati.
“Mungkin kau mentertawakan aku, bahwa dalam penyelesaian Tanah ini aku harus mencari bantuan kepada orang lain.” Ki Argapati berhenti sejenak, kemudian,
“Tetapi Tanah ini berada dalam keadaan darurat. Kami harus melawan kekuatan yang membahayakan. Dan kami tahu, bahwa kau dan anak-anakmu pun mempunyai tujuan serupa.”
Gembala tua itu tidak segera menjawab. Ia masih dicengkam oleh kebimbangan.
“Kami, seluruh tanah perdikan ini menunggu keputusanmu,” desis Ki Argapati.

Wrahasta mengerutkan keningnya. Ia tidak sependapat dengan Ki Argapati, yang seolah-olah menggantungkan nasib tanah perdikan ini kepada orang tua itu.
“Apakah yang dapat dilakukannya tanpa kami? Tanpa seluruh pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pemimpinnya?”
Namun dadanya berdesir ketika ia mendengar justru orang tua itu yang mengucapkannya. Katanya,
“apakah artinya aku seorang diri, Ki Gede? Kekuatan Menoreh terletak pada para pengawalnya. Kalau aku kemudian ikut serta di dalamnya, aku hanyalah setitik air di dalam lautan.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Wrahasta yang tegang itu menundukkan kepalanya, seolah-olah orang tua itu melihat isi dadanya dan telah menyebutkannya. Namun dengan demikian, Wrahasta melihat suatu kelebihan pada orang tua itu. Orang tua yang oleh orang-orang Menoreh sendiri telah dianggap sebagai satu-satunya penolong yang dapat melepaskan tanah ini dari bencana, ternyata orang itu sendiri tidak melepaskan pengakuan, bahwa sebenarnya kekuatan terbesar adalah terletak pada orang-orang Menoreh sendiri.
“Kiai,” berkata Ki Gede,
“kau memang seorang yang aneh. Tetapi baiklah aku bertanya sekali lagi, apakah kau bersedia bekerja bersama kami mengalahkan kekelaman maksud Ki Tambak Wedi untuk menguasai Tanah ini?”
Gembala tua itu termenung. Namun kemudian perlahan-lahan kepalanya bergerak-gerak. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata,
“Baiklah, Ki Gede. Lepas dari masalah Tanah Perdikan Menoreh, aku memang mempunyai persoalan dengan orang itu.”
Ki Gede mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia bertanya,
“Persoalan apakah yang telah melibat kalian?”
Gembala itu menggelengkan kepalanya,
“Persoalan yang langsung dan bahkan terlampau pribadi.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya, persoalan yang terlampau pribadi.” Ia berhenti sejenak, kemudian,
“Adalah kebetulan sekali. Kebetulan bagi tanah perdikan ini, bahwa kau berada di sini dengan persoalanmu itu, sehingga kau akan terlibat dalam pertentangan di antara keluarga Menoreh.”
Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah,” berkata Ki Argapati,
“masalah yang lain tidak akan terlampau sulit. Gembala tua ini akan langsung berhadapan dengan iblis dari lereng Gunung Merapi itu. Aku percaya kepadanya dan aku sama sekali tidak meragukan kemenangan yang bakal datang.”

Beberapa orang di dalam ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Pandan Wangi menunggu keputusan ayahnya dengan hati yang berdebar-debar. Dan ia melihat, bahwa pembicaraan itu agaknya sudah akan segera selesai. Namun sekilas Pandan Wangi melihat juga wajah Wrahasta yang menegang. Dan Pandan Wangi menjadi berdebar-debar karenanya. Apabila pada suatu ketika Wrahasta tidak dapat mengekang dirinya lagi, maka akibatnya tidak akan menyenangkannya, dan bahkan tidak akan menyenangkan bagi tanah perdikan ini.
“Setiap unsur di dalam pasukan ini memang menentukan,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya.
“Apabila salah satu dari unsur-unsur ini tanggal, maka akibatnya akan membuat kita menyesak untuk waktu yang lama. Agaknya kekuatan yang ada di dalam pasukan ini terlampau terbatas, sehingga kita memerlukan seluruhanya. Tidak boleh ada satu  pun yang tinggal.”
Dalam pada itu Pandan Wangi mendengar gembala tua itu berkata,
“Aku berterima kasih atas kepercayaan ini, Ki Gede. Selanjutnya marilah kita bersama-sama berdoa, mudah-mudahan kita berhasil kali ini.”
“Ya, kita akan bersama-sama berdoa,” sahut Ki Argapati.
“Kita merasa bahwa kita berada di pihak yang benar.” Ki Argapati itu berhenti sejenak, kemudian,
“Kita harus segera menentukan, kapan kita akan berangkat. Aku akan ikut dalam pasukan itu.”
“Ki Gede,” setiap orang terperanjat mendengar keinginan itu.
“Ki Gede masih belum sehat sama sekali.”
“Tetapi aku adalah Kepala Tanah Perdikan ini. Dalam peperangan yang menentukan, aku tidak boleh duduk bertopang dagu.”
“Ki Gede tidak sedang bertopang dagu,” desis gembala tua itu.
“Sedang duduk saja Ki Gede masih terlampau sulit. Bagaimana Ki Gede dapat bertopang dagu sambil berbaring?”
“Hem,” Ki Gede menarik nafas. Katanya kemudian,
“Tetapi aku ingin memimpin penyerangan itu. Aku ingin ikut memasuki induk tanah perdikan itu bersama pasukanku.”
“Bagaimana hal itu dapat dilakukan, Ki Gede?” bertanya Samekta.
“Samekta,” berkata Ki Gede,
“kau harus menyiapkan sekelompok kecil pengawal yang dapat kau percaya. Aku akan pergi bersama mereka dengan sebuah tandu. Aku harus memimpin sendiri peperangan ini. Sementara aku mempercayakan perlawanan langsung atas Ki Tambak Wedi kepada dukun tua ini.”
“Ayah,” desis Pandan Wangi,
“sebaiknya Ayah tinggal di sini. Kami yang berangkat ke medan, akan selalu mencoba berbuat sebaik-baiknya. Kami mengharap bahwa salah seorang dari kami akan dapat menghadap Ayah untuk melaporkan bahwa kami telah merebut kembali padukuhan induk itu.”
Tetapi Ki Argapati menggeleng,
“Tidak. Aku adalah seorang prajurit bagi tanah perdikan, sehingga aku harus berada di medan.”

Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Katanya,
“Ki Gede akan mengganggu tugas yang telah dipercayakan kepadaku. Aku harus memperhatikan nenggala Ki Tambak Wedi di satu pihak, di lain pihak aku harus memperhatikan obat yang harus aku sediakan buat Ki Gede.”
Ki Argapati mengusap keringat di keningnya. Katanya,
“Tidak. Di peperangan aku tidak memerlukan apa pun juga. Entahlah setelah peperangan itu selesai.”
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya niat Ki Argapati sudah tidak dapat dihalanginya lagi. Sehingga, karena itu maka katanya,
“Ki Gede, memang suatu kebahagiaan bagi seorang prajurit dalam keadaan perang seperti ini, apabila ia berkesempatan untuk memimpin pasukannya langsung di medan perang. Karena itu, apabila Ki Gede memang ingin berada di medan, dan itu sudah menjadi suatu keputusan, kami tidak akan dapat mencegahnya. Namun kita tidak boleh meninggalkan kewaspadaan. Karena itu, aku ingin mengusulkan, apabila Ki Gede benar-benar akan berada di peperangan, maka pengawalan terhadap Ki Gede harus sempurna. Menurut pendapatku tidak ada orang yang paling tepat untuk memimpin pengawalan itu selain Angger Pandan Wangi.”
Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah gembala tua itu sejenak, kemudian kepalanya itu pun tertunduk lagi. Ia dapat mengerti pikiran gembala tua itu, dan ia sendiri sama sekali tidak berkeberatan untuk selalu berada, di samping ayahnya. Memang tidak ada orang yang dapat dipercayanya lebih dari dirinya sendiri.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya, aku mengerti dan aku sama sekali tidak berkeberatan. Aku minta kecuali Pandan Wangi, Samekta harus juga selalu berada di dekatku. Kau akan menjadi saluran pimpinanku atas pasukanku.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah, Ki Gede.”
“Nah, selanjutnya terserahlah kepadamu, siapakah yang akan kau bawa di dalam kelompok kecil di sekitarku.”
“Baik, Ki Gede,” jawab Samekta.
“Selanjutnya, kita harus segera bersiap sejak sekarang. Kita akan datang ke induk tanah perdikan itu di malam hari, supaya perasaanku tidak terpengaruh oleh keadaan di sekitar rumah itu, setidaknya masih ada satu dua orang di sekitar padukuhan itu yang aku kenal baik sebelumnya.” Ki Gede berhenti sejenak, lalu, “Siapkan susunan barisanmu Samekta. Besok malam kita akan menyusul orang-orang Ki Tambak Wedi. Tempatkan kedua anak-anak muda yang bernama Gupala dan Gupita itu sebagai lawan Ki Peda Sura. Kalau mereka segera berhasil, maka mereka akan segera dapat membantu Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga yang masih harus berhadapan dengan lawan-lawannya yang lama.”

Dengan serta-merta gembala tua itu mengangkat dadanya. Tetapi ia hanya menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia mengharap biarlah kedua muridnya itulah yang berhadapan dengan Sidanti dan Argajaya. Tetapi apabila demikian yang dikehendaki oleh Ki Gede, ia tidak akan dapat merubahnya. Perintah itu sudah terucapkan, sehingga apabila ia berusaha untuk merubahnya, maka mungkin sekali perasaan kedua pengawal Sutawijaya itu akan tersinggung karenanya. Maka gembala tua itu pun kemudian menundukkan kepalanya kembali sambil mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak berkata apa  pun lagi. Agaknya pembicaraan itu memang sudah selesai. Mereka hanya tinggal melaksanakannya. Dan mudah-mudahan pelaksanaannya dapat sesuai dengan rencana itu. Dalam pada itu terdengar Ki Gede Menoreh berkata kepada Samekta,
“Kau harus menjaga rapat-rapat, agar rencana ini tidak terdengar oleh lawan. Setiap pengawal harus ikut bertanggung jawab, bahwa kita akan berhasil masuk ke induk tanah perdikan. Tetapi kau tidak perlu memberitahukan sekarang, kapan kita akan berangkat. Kau wajib mempersiapkan mereka, tanpa mereka ketahui waktu yang telah kita pilih. Sebab siapa tahu, di antara mereka ada orang-orang yang akan berkhianat.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Baik, Ki Gede.”
“Nah, aku kira pembicaraan sudah selesai. Kalian akan melakukan tugas kalian masing-masing. Ingat, rahasia ini harus dipegang teguh apabila kita ingin berhasil.” Ki Argapati berhenti sejenak, kemudian, “Dan sebaiknya kau mengirimkan beberapa orang petugas sandi. Kita harus tahu, bahwa mereka tidak akan mendahului kita. Seandainya rencana waktu yang kita tentukan bersamaan, kita harus segera mengambil keputusan.”
“Baik, Ki Gede. Beberapa orang akan berusaha menghubungi orang-orang yang masih setia kepada Tanah ini, yang mungkin dapat memberikan keterangan.”
“Setidak-tidaknya para petugas dapat mengawasi gerakan mereka, apalagi apabila mereka akan menyerang padukuhan ini.”
“Ya, Ki Gede.”
“Baklah. Aku kira pembicaraan ini memang telah selesai.”
Samekta, Kerti, dan Wrahasta segera keluar dari ruangan itu. Kemudian disusul oleh Hanggapati dan Dipasanga. Yang terakhir adalah gembala tua itu setelah melihat luka-luka Ki Argapati.
“Mudah-mudahan obatku menolong,” katanya.
“Aku menjadi semakin baik,” sahut Ki Argapati.
“Beristirahatlah sebanyak-banyaknya. Waktu kita hanya tinggal malam ini dan sehari besok. Di malam berikutnya kita sudah berada di peperangan.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, Kiai. Aku akan tidur semalam suntuk dan apabila mungkin ditambah dengan sehari besok.”
Gembala itu tersenyum. Katanya,
“Tetapi apabila Ki Gede tidak bangun pada saat kami berangkat, Ki Gede akan kami tinggalkan di padukuhan ini.”
Ki Gede Menoreh tertawa,
“Aku akan bangun pada saatnya.”
Gembala itu  pun kemudian meninggalkan ruangan itu pula. Sehingga di dalam bilik itu tinggallah Ki Argapati ditunggui oleh puterinya, Pandan Wangi.
“Kalau kau ingin beristirahat, tinggalkan aku sendiri, Wangi,” berkata ayahnya.
Pandan Wangi memandang wajah ayahnya yang pucat, meskipun sudah tidak mencemaskannya seperti pada saat ayahnya keluar dari peperangan dalam keadaan pingsan.
“Ayah memang terlalu keras hati,” desis Pandan Wangi.
“Dalam keadaan demikian, masih juga ia ingin berada di medan.”
“Kalau kau ingin tidur, tidurlah Wangi,” ulang ayahnya.
“Apakah Ayah tidak memerlukan sesuatu?”
“Sediakan minumku saja.”
“Baik, Ayah.”

Pandan Wangi pun kemudian meletakkan minum ayahnya di atas dingklik kayu dekat di pembaringannya. Kemudian ia  pun keluar dan bilik ayahnya. Tetapi ternyata Pandan Wangi tidak segera pergi tidur ke biliknya. Tanpa disengajanya, ia telah berjalan ke ruang depan. Ia tertegun ketika ia melihat beberapa orang masih duduk sambil berbincang. Mereka adalah Hanggapati, Dipasanga, dan gembala tua itu.
“Apakah Ki Argapati memerlukan kami, Ngger?” bertanya gembala tua itu.
“Tidak, Kiai, Ayah akan beristirahat.”
“O, sebaiknya kau pun beristirahat pula,” sahut Ki Hanggapati.
“Ya, aku pun ingin tidur,” Pandan Wangi menjawab.
“Aku hanya sekedar menengok, apakah Paman-paman tidak juga ingin beristirahat?”
“Sebentar lagi kami  pun akan tidur,” jawab Dipasanga.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Silahkan, Paman. Aku akan beristirahat dulu.”
Pandan Wangi  pun kemudian masuk ke ruang dalam. Tetapi serasa ada yang memaksanya untuk tidak segera masuk ke dalam biliknya. Kakinya seakan-akan telah membawanya ke belakang dan tanpa sesadarnya, gadis itu telah membuka pintu butulan. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Sepi. Sepi sekali. Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Terasa angin yang silir telah menyentuh tubuhnya, membelai rambutnya yang kusut. Tiba-tiba terasa tubuhnya menjadi segar. Sekali lagi ia menarik nafas dalam-dalam.
“Alangkah segarnya udara di atas Tanah ini,” desisnya,
“tanah yang harus dipertahankan sampai kemungkinan yang terakhir.”
Pandan Wangi  pun kemudian melangkah surut. Kemudian menutup pintu kembali sambil berdesah. Dan tiba-tiba saja ia  pun menguap. Dengan langkah satu-satu dan kepala tunduk, Pandan Wangi pergi ke biliknya. Kini terbayang di dunia angan-angan, pertempuran yang dahsyat di induk tanah perdikan ini. Padukuhan besar yang beberapa saat yang lampau terpaksa dilepaskan karena tekanan pasukan Ki Tambak Wedi yang tidak tertahankan pada saat ayahnya sedang berperang tanding, di bawah Pucang Kembar.
“Kami harus merebut Tanah itu kembali, dan seluruh tanah perdikan ini.”
Pandan Wangi pun kemudian masuk ke dalam biliknya. Perlahan ia meletakkan dirinya di pembaringan tanpa melepaskan sepasang pedang di lambungnya. Demikian lelah gadis itu, sehingga sejenak kemudian ia  pun telah tertidur nyenyak. Jarang sekali ia dapat tidur senyenyak itu sejak kemelutnya api pertengkaran di antara keluarga di atas Bukit Menoreh ini. Setiap kali ia selalu diganggu oleh berbagai macam kepedihan perasaan dan kecemasan tentang masa depan Tanah ini. Namun kini Pandan Wangi serasa mendapatkan suatu kepastian, bahwa ayahnya pada suatu saat akan dapat mengembalikan keutuhan Tanah ini meskipun harus melalui banyak sekali rintangan dan kesulitan.

Dalam pada itu dua orang anak-anak muda sedang duduk bersandar sebatang pohon rambutan di halaman belakang. Meskipun mereka sudah terkantuk-kantuk, namun mereka masih juga berbicara dengan suara yang parau.
“Kenapa ia hanya sekedar membuka pintu kemudian masuk lagi?” bertanya Gupala.
“Bertanyalah kepadanya,” jawab Gupita.
Gupala tersenyum. Katanya,
“Mungkin gadis itu mencari aku. Tetapi karena ia tidak melihat seseorang karena kita terlindung oleh kehitaman bayang-bayang, maka ia segera masuk kembali.”
“Ya.”
“He? Begitukah kira-kira?”
“Ya.”
“Persetan, kau tidur?”
Gupita mengusap matanya. Sebenarnya ia lebih suka tidur dari pada berbincang tanpa ujung dan pangkal.
“Pembicaraan pasti sudah selesai. Mari kita mencari Guru. Mungkin kita akan mendapat tugas baru.”
“Sebentar. Aku masih menunggu kalau-kalau gadis itu membuka pintu itu kembali.”
“Kau sudah menjadi gila. Terserahlah kau. Aku tidak tahan gigitan nyamuk yang tidak terhitung jumlahnya,” desis Gupita.
“Huh, apa katamu seandainya kau menjadi seorang prajurit? Mungkin pada suatu saat kau harus mengendap mengintai musuh tanah yang berawa-rawa? Mungkin tidak hanya sehari dua hari, tetapi berpekan-pekan, bahkan berbulan-bulan?”
“Tetapi sekarang kita tidak sedang mengintai musuh. Kau mengintai menurut seleramu sendiri.”
Gupala tertawa. Jawabnya,
“Baiklah. Kau menjadi pemarah sekarang. Marilah kita mendapatkan Guru di ruang depan. Mungkin Guru sudah menanti kita pula.”
Gupita tidak menjawab. Tertatih-tatih ia berdiri sambil mengibaskan pakaiannya yang kotor oleh debu. Kemudian mereka  pun berjalan di antara pepohonan di kebun menuju ke ruang depan.
Tetapi langkah mereka tertegun, ketika mereka melihat Guru mereka sedang turun dari tangga pendapa, seorang diri.
“Guru,” desis Gupala.
Gurunnya berpaling. Kemudian katanya,
“Marilah kita beristirahat. Kita akan segera mendapat pekerjaan yang penting besok malam.”
“Dimana kita akan tidur?”
“Di gardu.”
“Di regol desa? Apakah kira-kira kita dapat tidur di sana?”
“Kita tidak akan pergi ke regol desa. Di sana terlampau, banyak orang. Kita akan berbicara saja sepanjang malam,” jawab orang tua itu.
“Kita akan pergi ke regol di perapatan sebelah. Kita akan menumpang tidur. Di situ hanya ada dua orang penjaga, karena tempat itu bukan tempat yang dianggap penting.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara itu kaki mereka pun melangkah menyusur jalan desa, menuju ke gardu di perapatan. Kedua peronda di gardu itu dengan senang hati menerima mereka bertiga. Dengan demikian maka mereka mendapat kawan di malam yang terlampau sepi itu, meskipun, ketiganya hanya sekedar datang untuk tidur.
“Tidurlah,” berkata peronda itu,
“aku akan menjaga kalian. Kalau ada nyamuk yang akan menggigit kalian, biarlah aku bunuh sekali.”
Yang mendengar kata-kata itu  pun tertawa. Tetapi Gupala tidak mempedulikannya. Langsung saja ia membaringkan dirinya di atas jajaran bambu apus tanpa galar. Meskipun demikian, terasa tubuhnya menjadi nyaman di sejuknya angin yang silir.
“Apakah aku harus berdendang pula,” bertanya salah seorang peronda.
“Jangan,” jawab Gupala antara sadar dan tidak,
“suaramu seperti gerobag di jalan yang berbatu-batu.”
Peronda itu  pun tertawa, dan Gupala berdesis,
“Jangam ribut. Aku akan tidur. Besok aku harus bangun pagi-pagi, sebelum matahari terbit, supaya aku tidak kamanungsan.”
Peronda-peronda itu masih saja tertawa, tetapi mereka tidak menjawab lagi. Dibiarkannya mereka bertiga berbaring bersama-sama. Kemudian mereka tidak mengusiknya lagi ketika ketiga orang itu mendekur. Tidur.

Sementara itu Samekta, Kerti, dan Wrahasta masih sibuk menghubungi para pemimpin kelompok pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mengatur segala sesuatu yang perlu. Mempersiapkan mereka dengan segala perlengkapan dan senjata.
“Kalian harus dapat mengatur anak buah kalian,” berkata Samekta.
“Sebagian dari mereka harus mendapat kesempatan beristirahat. Berganti-ganti sehingga mereka akan mendapat tenaga baru apabila setiap saat diperlukan.”
Para pemimpin kelompok itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Nah, kalian pun harus beristirahat pula,” berkata Kerti.
“Sebentar lagi kami juga akan beristirahat. Namun setiap saat kita harus siap untuk bertempur.”
Para pemimpin tertinggi pasukan pengawal itu  pun kemudian berpencar. Mereka mendapat bagian tersendiri agar tugas mereka segera selesai, karena mereka  pun memerlukan waktu untuk sekedar beristirahat. Padukuhan itu pun kemudian semakin lama menjadi semakin sepi. Hanya para peronda dan para petugas sajalah yang masih tetap di tempatnya. Sekali-sekali mereka berdua atau bertiga, berjalan mengelilingi padukuhan mereka, singgah dari gardu ke gardu dan dari perondan ke perondan yang lain.
Ketika fajar memerah di ujung Timur, para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah terbangun dan langsung membenahi diri mereka. Kemudian seperti biasanya mereka memencar mengelilingi padukuhan yang diputari oleh pring ori itu.
Para prajurit dan para pemimpin kelompok pun telah terbangun pula. Demikian juga gembala tua yang tidur di gardu perondan di perapatan.
“Aku akan pergi ke parit,” desis gembala tua itu.
“Aku juga, Guru,” berkata Gupita.
“Marilah. Bagaimana dengan Gupala?”
Gupala menggeliat. Namun ia berkata,
“Aku juga. Tetapi pergilah dahulu. Aku akan segera menyusul.”
Ketika guru dan kakak seperguruannya pergi meninggalkan mereka, maka Gupala melingkar lagi di gardu perondan itu dan tanpa disadarinya, ia telah tertidur lagi.
Gupala tidak melihat ketika Wrahasta datang ke gardu itu bersama dua orang pengawal.
“He, siapa yang masih tidur itu?” ia bertanya kepada kedua peronda yang berdiri di muka gardu.
“Gupala,” jawab salah seorang dari mereka.
Wrahasta mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu suka kepada anak yang gemuk itu seperti juga kepada kakaknya. Bahkan anak yang gemuk ini agak lebih banyak bicara. Karena itu untuk melepaskan perasaannya, tiba-tiba ia memukul lantai gardu, itu sambil berteriak,
“He, siapa yang masih tidur di tengah hari ini?”
Gupala benar-benar terkejut. Meskipun lamat-lamat ia telah mendengar pembicaraan Wrahasta dan kedua peronda di gardu itu, dan dengan sengaja ia tetap berselimut kain panjangnya, namun ia tidak mengira bahwa Wrahasta akan membentaknya begitu keras sambil memukul gardu itu sehingga berderak-derak.
Meskipun demikian, Gupala tidak cepat-cepat bangkit dan meloncat turun. Bahkan sekali lagi ia menggeliat sambil bertanya,
“Siapa yang berteriak-teriak di pagi buta ini, he?”
“Bangun anak malas. Cepat! Semua orang telah sibuk dengan berbagai macam pekerjaan, dan kau masih saja tidur mendekur. Kau kira gardu ini disediakan untuk pemalas seperti kau.”
Perlahan-lahan Gupala bangkit. Ditatapnya wajah Wrahasta yang tegang. Namun kemudian anak yang gemuk itu menguap. Katanya,
“Semalam aku bangun sampai lewat tengah malam. Sekarang aku masih terlampau kantuk.”
“Setiap orang di sini bangun sampai lewat tengah malam. Bahkan aku hampir tidak tidur semalam suntuk. Kau orang asing di sini, dan kau tidak dapat bermalas-malasan saja. Kau harus mengikuti arus kesibukan yang ada di padukuhan ini.”
“Eh, bukankah aku seorang tamu?” bertanya Gupala.
“Kau bukan seorang tamu yang kami harapkan di sini.”
“Bohong! Ki Argapati memerlukan ayahku dan kami berdua bersama Kakang Gupita. Kami berdua telah membantu kalian di dalam peperangan. Apakah dengan demikian, kau menganggap kami sebagai pemalas yang hanya dapat mengurangi rangsum nasi para pengawal tanah perdikan ini?”

Dada Wrahasta berdesir mendengar jawaban itu. Memang telah ternyata bahwa anak yang gemuk inilah yang telah membunuh Ki Muni, dan bahkan anak yang gemuk ini telah terlukai pula. Karena itu, sejenak Wrahasta terbungkam. Namun ketika terkilas di dadanya, perhubungan yang semakin baik antara kedua anak-anak muda itu dengan Pandan Wangi, maka hatinya telah mulai memanas lagi.
“Aku yang telah berbuat apa saja untuk Tanah ini,” katanya di dalam hati.
“Apakah aku akan di desak oleh pendatang yang baru saja hadir di tanah perdikan ini?”
Karena itu, maka kemarahannya  pun tumbuh kembali. Katanya,
“Apa pun yang telah kau lakukan, aku adalah salah seorang pemimpin pengawal yang mempunyai wewenang untuk memerintah setiap orang di dalam lingkungan pedukuhan ini. Di dalam keadaan perang ini setiap orang harus tunduk kepada perintahku sebagai salah seorang pemimpin.”
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah. Aku akan bangun. Bukankah perintahmu kali ini agar aku bangun?”
Kemarahan Wrahasta hampir tidak tertahankan lagi. Apalagi ketika ia melihat Gupala beringsut setapak demi setapak menepi dari gardu perondan. Anak yang gemuk itu serasa acuh tak acuh saja terhadapnya, betapa ia membentak-bentak dan berteriak-teriak. Para pengawal yang menyaksikan percakapan itu menjadi berdebar-debar. Wrahasta agaknya benar-benar menjadi marah, dan anak yang gemuk itu  pun berbuat sekehendak hatinya. Namun para pengawal itu pun menyadari, bahwa sebenarnya Gupala telah dengan sengaja berbuat demikian. Ia pasti merasa tersinggung dan bahkan marah karena bentakan-bentakan Wrahasta. Para pengawal itu  pun menjadi heran, bahwa Wrahasta seakan-akan telah menjadi marah tanpa sebab. Mereka tidak mengetahui, bahwa sebab yang sebenarnya telah lama tersembunyi di dalam dada anak muda yang bertubuh raksasa itu.
Wrahasta yang dadanya seakan-akan membara itu berteriak,
“Kalau kau tidak senang di sini, pergilah. Ki Argapati hanya memerlukan gembala tua itu. Bukan kau dan bukan kakakmu yang cengeng itu.”
“Tidak,” Gupala menggeleng.
“Aku dan Kakang Gupita juga diperlukan. Setiap orang diperlukan.”
“Tetapi tanpa kau kami masih akan tetap dapat berbuat apa saja,” Wrahasta menjadi semakin marah.
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Ada perbedaan di antara kedua anak-anak muda yang mengaku diri mereka gembala itu. Seandainya yang dibentak-bentak itu Gupita, mungkin ia akan segera menghindar dan pergi menyusul gurunya ke parit di pinggir padukuhan. Tetapi Gupala tidak berbuat demikian. Ia mempunyai sifat yang agak berbeda, Betapapun gurunya berusaha melunakkannya. Gupala yang telah mencoba menahan diri itu akhirnya tidak dapat melawan hentakan perasaannya. Wajahnya  pun telah mulai semburat merah.
Dengan nada yang tinggi ia bertanya,
“Apakah sebenarnya maksudmu, Wrahasta?”
Wrahasta yang sedang marah itu  pun menjadi semakin marah melihat sikap Gupala yang seakan-akan sengaja menentangnya. Apalagi di hadapan beberapa orang pengawal tanah perdikan. Menurut penilaiannya, ketika ia memaksa Gupita berkelahi melawannya, gembala itu tidak dapat mengalahkannya. Apalagi yang ada kini adalah adiknya yang gemuk itu.
Karena itu, maka dengan suara mengguntur ia menjawab,
“Aku ingin sekali-sekali memukul kepalamu, agar kau tidak terlalu sombong di atas Tanah ini. Apa kau sangka Tanah ini memberi tempat kepada orang-orang yang merasa dirinya terlampau diperlukan seperti kau?”
“Aku tidak mengerti,” sahut Gupala.
“Aku kira aku tidak pernah menyombongkan diriku. Aku berbuat wajar seperti apa yang sebaiknya aku lakukan. Kalau aku menurut anggapanmu terlambat bangun kemudian kau nilai sebagai suatu kesombongan, alangkah dangkalnya penilaianmu atas seseorang. Dengan demikian maka kaulah yang dapat disebut anak muda yang sombong.”

Wrahasta menggeram. Ia tidak dapat mengekang diri lagi. Karena itu maka selangkah ia maju sambil menunjuk wajah Gupala,
“Kau harus minta maaf kepadaku. Kemudian berjanji tidak akan mendekati setiap pimpinan Tanah ini, agar aku tidak menjadi muak. Kalau kau ingin tinggal di sini bersama ayahmu yang memang diperlukan oleh Ki Gede, kau harus berada di regol depan bersama para pengawal yang lain. Kau tidak lebih dari mereka. Kau tidak dapat memanjakan dirimu. Makanmu harus sama seperti mereka, pelayanan terhadapmu harus sama pula.”
“E,” Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya,
“kau benar-benar seorang pemimpin yang sangat teliti. Apakah kau tidak mempunyai urusan lain kecuali mengurusi orang tidur dan makan?”
“Persetan!” Wrahasta kian menjadi panas. Serasa segumpal bara tersimpan di dalam dadanya.
“Gupala,” katanya kemudian, “aku benar-benar ingin memukul mulutmu.”
“Mulutku masih cukup berharga buatku. Karena itu, jangan kau lakukan supaya aku tidak berusaha membalas.”
Wrahasta sudah tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba ia meloncat sambil menampar mulut Gupala. Tetapi Gupala benar-benar tidak mau tersentuh tangan Wrahasta. Karena itu, maka ia pun menghindarinya dengan memiringkan mukanya tanpa bergeser dari tempatnya. Sikap Gupala membuat Wrahasta semakin kehilangan kendali. Dengan serta-merta ia menyerang anak muda yang gemuk itu. Tetapi Gupala kini telah siap untuk menghadapi kemungkinan. Berbeda dengan Gupita, Gupala sama sekali tidak bermaksud untuk mengalah. Bahkan ia berkata di dalam hatinya,
“Anak ini sekali-sekali harus diberi pelajaran menghargai orang lain.”
Karena itu, maka Gupala pun kemudian tidak mengekang dirinya lagi. Ketika Wrahasta menyerangnya dengan sebuah pukulan yang keras, maka Gupala  pun memiringkan kepalanya. Dengan suatu sentakan ia menarik tangan Wrahasta lewat di atas pundaknya. Berbareng dengan lontaran kekuatannya sendiri, maka Wrahasta pun terseret dan terpelanting jatuh.
Para pengawal terkejut melihat hal itu. Semuanya itu terjadi begitu cepatnya dan tiba-tiba. Karena itu maka sejenak mereka hanya saling memandang. Namun kemudian salah seorang dari mereka segera menyadari keadaan. Karena itu maka ia pun berdesis,
“Aku akan memberitahukannya kepada Ki Samekta. Kalau kau mampu lerailah. Kalau tidak, carilah gembala tua, ayah anak muda yang gemuk itu, agar ia berusaha menahan anaknya.”
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Aku tidak akan dapat melerainya. Mungkin kepalaku sendiri akan terkilir.”
Yang lain tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat berlari-lari mencari Samekta, sedang yang seorang lagi pergi mencari gembala tua yang oleh salah seorang peronda di gardu itu diberitahu bahwa gembala tua itu sedang pergi ke parit. Sementara itu, sambil menyeringai Wrahasta meloncat berdiri.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar