“Terserahlah menurut penilaianmu. Tetapi kami tidak akan dapat membiarkan orang-orang kami mati terbunuh di sini tanpa imbalan yang cukup.”
“Apakah kau
telah merencanakan untuk memperluas daerah perampasanmu sampai ke Mangir,
Pliridan dan bahkan langsung ke seberang Hutan Mentaok?”
Ki Peda Sura
tidak segera menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.
“Begitu?”
desak Ki Tambak Wedi.
“Ya,” akhirnya
Ki Peda Sura menjawab.
“Kau gila. Kau
sangka Ki Ageng Mangir itu anak kecil yang dapat kau takut-takuti.”
“Persetan.”
“Dan kau
sangka kau dapat melawan Daruka dan orang-orangnya dari Alas Mentaok?”
“Persetan pula
dengan kelinci-kelinci kecil di Alas Mentaok itu.”
“Bagus. Kalau
sudah kau pertimbangkan masak-masak, kau tentu akan tetap pada pendirianmu.”
“Tentu. Dan
itu akan lebih baik buat kau. Kau akan mendapat seluruh Tanah Perdikan ini,
selain seleret tanah di pasisir sampai ke Kali Praga itu.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Aku sependapat.”
“Guru,”
Sidanti tiba-tiba memotong.
“Jangan
gelisah Sidanti. Kita tidak mempunyai pilihan lain dalam keadaan serupa ini.
Kita harus memenangkan peperangan ini.”
“Tetapi ……….”
sambung Argajaya.
“Itu adalah
keputusanku.”
Sidanti dan
Argajaya terdiam. Namun serasa mereka menyimpan segumpal bara di dalam dada
mereka.
“Jadi, kau
terima syaratku, Tambak Wedi,” berkata Ki Peda Sura sambil menyipitkan matanya.
“Ya, aku
terima syarat itu.”
Ki Peda Sura
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil memandang wajah
Sidanti dan Argajaya berganti-ganti. Wajah-wajah yang seolah-olah telah
terbakar.
“Aku percaya
kepadamu, Ki Tambak Wedi,” berkata Ki Peda Sura.
“Kita adalah
orang laki-laki yang meletakkan nilai diri pada kata-kata dan perbuatan. Dan
kau adalah salah seorang yang mempunyai nama yang menggemparkan, tidak saja di
sebelah Selatan bumi Pajang, tetapi kau telah benar-benar mampu mengguncang
pimpinan pemerintahan. Karena itu, kau tidak akan menelan ludah yang telah
titik di atas tanah.”
“Ya. Aku
pertaruhkan namaku atas janjiku.”
“Terimu
kasih,” sahut Ki Peda Sura,
“biarlah aku
menyiapkan orang-orangku untuk peperangan yang lebih besar dan waktu yang tidak
terbatas.”
“Ya, lakukanlah.
Aku memerlukan setiap orang di dalam pasukanku. Secepat mungkin. Aku tidak
dapat menunggu sampai terlambat. Apalagi sampai orang-orang Pajang semakin
banyak berdatangan.”
Ki Peda Sura
tertawa. Kemudian ia pun berdiri
meninggalkan ruangan itu, diikuti oleh beberapa orang yang lain.
Begitu Ki Peda
Sura keluar dari pintu, Sidanti dan Argajaya tidak dapat bersabar lagi. Hampir
bersamaan mereka bertanya,
“Kenapa Guru
memenuhi permintaan itu?”
Tetapi Ki Tambak
Wedi tersenyum. Jawabnya,
“Apakah kau kira
aku akan memenuhinya kelak.”
“Tetapi Kiai
telah mempertaruhkan nama Kiai.”
“O, kau sangka
namaku adalah nama yang bersih seputih kapas? Biarlah. Namaku adalah nama yang
memang aku korbankan untuk kepentingan kalian, untuk kepentingan Tanah Perdikan
ini.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu,
“Setelah kita
selesai dengan Argapati, maka kita akan segera menyelesaikan tikus-tikus yang
hanya akan meringkihkan kita saja.”
Sidanti tidak
menyahut. Tetapi kepalanya tertunduk. Ia tidak begitu senang mempergunakan cara
itu. Cara seorang pengecut.
“Jangan
terlampau terikat oleh kejantanan dalam hubungan dengan orang-orang seperti Ki
Peda Sura,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian.
“Orang itu
terlampau licik. Dan kita pun harus
licik pula menghadapinya.”
Sidanti menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Juga Argajaya tidak berkata
sepatah kata pun lagi.
“Beristirahatlah
kalian. Sebentar lagi kalian harus bekerja keras. Menghimpun semua kekuatan
yang ada. Kalian harus segera mendapat tenaga baru dari ujung sampai ke ujung
Tanah Perdikan ini yang kira-kira dapat kita pergunakan. Kita harus mendapatkan
kekuatan sedikit-dikitnya sebanyak yang telah kita pergunakan.”
“Hampir setiap
orang telah berada di dalam barisan,” jawab Argajaya.
“Kita masih
menyimpan banyak tenaga. Kalian belum memanggil orang-orang yang berada di
lereng-lereng Bukit Menoreh dan di pesisir Selatan.”
“Aku sangsi,
apakah mereka sependirian dengan kita. Samekta pasti telah sampai ke sana pula.
Dan sebagian dari mereka pasti telah terpengaruh olehnya.”
“Kita jelajahi
Tanah Perdikan ini.”
“Baiklah,”
jawab Argajaya,
“aku akan
mencobanya. Aku memerlukan waktu sehari. Kemudian sehari lagi untuk menghimpun
setiap kekuatan yang telah terkumpul.”
“Di hari
ketiga kita telah siap untuk menggempur pedukuhan yang dibentengi dengan pring
ori itu,” geram Ki Tambak Wedi, lalu,
“semakin cepat
selesai, pasti akan semakin baik. Di pihak Argapati pun jumlah pasukannya pasti
sudah berkurang. Dan mereka tidak akan berkesempatan untuk mendapatkannya lagi
dari luar pagar itu.”
“Mudah-mudahan,”
desis Argajaya.
“Kita harus
yakin,” sahut Ki Tambak Wedi.
“Nah, aku pun
akan beristirahat pula. Kalian harus melakukan tugas kalian sebaik-baiknya
tanpa menunggu perintah lagi. Ingat, jagalah perasaan kalian, sehingga tidak
menimbulkan persoalan yang dapat mengganggu kekuatan kita.”
Sidanti dan
Argajaya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sejenak kemudian mereka pun segera pergi meninggalkan ruangan itu.
Ketika Ki
Tambak Wedi tinggal duduk seorang diri, maka tampaklah ia merenung. Ia menjadi
sangat kecewa atas kekalahan yang baru saja dialaminya. Orang-orang yang tidak
diperhitungkan ternyata tiba-tiba saja telah muncul di peperangan. Dan justru
orang-orang itu adalah orang-orang yang ikut menentukan.
“Secepatnya
Argapati harus terbunuh. Secepatnya.”
Iblis lereng
Merapi itu menggeretakkan giginya. Ia pun kemudian berdiri dan meninggalkan
ruangan itu. Seperti orang yang kurang yakin, maka ia pun melihat orang-orangnya yang masih mampu
untuk bertempur di waktu-waktu yang dekat.
“Jangan
berkecil hati. Kesalahan yang terjadi adalah kesalahan kecil dalam penempatan
pimpinan. Kesalahan itu adalah kesalahan yang memang sulit untuk dihindari.
Tetapi kita sekarang telah mengetahui kekuatan lawan dengan pasti. Mereka
mempergunakan orang-orang yang datang dari luar Tanah ini. Karena itu, kita
harus menghancurkan mereka, merebut tanah ini dari kekuasaan orang gila pangkat
dan derajat, sehingga melupakan kepentingan seluruh rakyat Tanah Perdikan
Menoreh.”
Orang-orang di
dalam pasukan Ki Tambak Wedi itu pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Meskipun sebagian dari mereka menjadi
ragu-ragu, namun setiap kali mereka memantapkan pendirian mereka,
“Sidanti
adalah anak Argapati, dan Argajaya adalah adiknya. Mereka bersama-sama telah
melawannya. Apalagi aku. Bukan sanak bukan kadangnya. Kalau Argapati tidak
mempunyai kesalahan yang besar, maka keduanya pasti tidak akan sampai pada
perlawanan antara hidup dan mati seperti ini.”
Dengan
demikian, maka mereka pun telah
menentapkan diri mereka sendiri dalam pilihannya, tanpa mengerti arti yang
sesungguhnya. Apakah sebenarnya yang sedang mereka lakukan itu. Pada saat
Sidanti, Argajaya dan pembantu-pembantunya sedang sibuk mempersiapkan
orang-orang mereka, memberikan pengharapan dan beberapa macam janji-janji, dan
Ki Peda Sura yang sedang tertawa-tawa di antara anak buahnya, maka pada saat
itu pula Ki Argapati sedang berbaring di pembaringannya, dikerumuni oleh para
pemimpin pasukannya.
Mereka
berpaling ketika mereka melihat seorang gadis yang memasang lampu di ajuk-ajuk
di sudut ruangan.
“Duduklah pula
di sini, Pandan Wangi,” desis ayahnya.
Pandan
Wangi pun kemudian melangkah mendekat
dan duduk di pembaringan ayahnya pula.
“Kita akan
berbicara tentang peperangan,” berkata ayahnya. Dan Pandan Wangi pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kemarilah,
mendekatlah semua,” berkata Ki Argapati kepada para pemimpin itu.
Mereka pun kemudian menarik dingklik-dingklik kayu
mereka mendekati pembaringan Ki Argapati. Mereka adalah gembala tua yang telah
mengobati Ki Argapati, kedua orang pengawal Sutawijaya, Hanggapati dan
Dipasanga, kemudian Samekta, Kerti, dan Wrahasta. Tetapi Ki Argapati masih
mencari-cari di antara mereka. Sehingga kemudian ia bertanya,
“Dimana kedua
anak-anak itu?”
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Dipandanginya wajah Pandan
Wangi yang menjadi gelisah karenanya. Hampir saja ia mengatakan tentang
keduanya, namun ketika dilihatnya alis Wrahasta yang berkerut, maka ia pun mengurungkan niatnya.
“Biar orang
lain sajalah yang menjawabnya,” katanya di dalam hati.
“Dimana?”
ulang Ki Argapati.
“Mereka berada
di halaman, Ki Gede,” jawab gurunya.
“Suruhlah
mereka masuk.”
“Sudahlah, Ki
Gede, biarlah mereka berada di halaman. Mereka hanya akan memenuhi ruangan ini
saja. Biarlah aku nanti menyampaikan kepada mereka setiap keputusan.”
“Tetapi aku
belum bertemu dengan mereka sejak pertempuran berakhir.”
“Mereka
baik-baik saja, Ki Gede. Hanya Gupala tersentuh senjata Ki Muni yang tajamnya
memang bukan main. Itulah yang telah membakar perasaannya, sehingga ia
kehilangan kendali.”
“Tidak, bukan
karena kehilangan kendali,” jawab Ki Argapati.
“Adalah wajar
sekali, di setiap peperangan, pada suatu saat terpaksa membasahi senjata dengan
darah lawan. Justru aku akan mengucapkan terima kasih kepada mereka.”
“Akan aku
sampaikan kepada mereka, Ki Gede,” berkata gembala tua itu.
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak menaruh suatu kecurigaan
apa pun tentang kedua anak-anak muda itu. Ki Argapati yang masih harus tetap
berbaring itu sama sekali tidak mengerti, perasaan apa yang sebenarnya sedang
bergolak di dada puterinya, di dada Wrahasta, dan pengamatan gembala tua itu
atas kedua anak-anaknya. Gembala itu sudah mendengar ceritera tentang kedua
anak-anaknya, sikap Wrahasta dan hubungan-hubungan lain yang memungkinkan
persoalan-persoalan yang tidak menyenangkan. Karena itu, sebagai orang tua yang
mencoba untuk menghindari persoalan-persoalan yang tidak perlu, maka ia sudah
berusaha, membatasi kedua anak-anaknya.
“Baiklah,” berkata
Ki Argapati kemudian,
“kalau mereka
lebih senang menunggu di luar. Aku kira yang ada di dalam ruangan ini sudah
cukup lengkap untuk mewakili setiap orang di dalam pasukan kita.”
“Begitulah,”
jawab gembala tua itu.
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia merenung, dan sejenak kemudian ia
berkata,
“Sayang,
lukaku menjadi kambuh. Padahal kita sudah tersudut dalam suatu keadaan yang
harus cepat kita tanggapi.”
Mereka yang
mendengar, mengangguk-anggukkan kepala tanpa mereka sadari. Karena apa yang
dikatakan oleh Ki Argapati itu adalah yang mereka katakan di dalam hati
masing-masing.
“Kalau kita
terlambat, maka Tambak Wedi akan datang lagi bersama pasukannya yang lebih
kuat.”
“Ya, Ki Gede,”
jawab Samekta,
“mungkin Ki
Tambak Wedi menjadi mata gelap dan berbuat semakin jauh menyesatkan orang-orang
dari Tanah Perdikan ini. Hubungan dengan orang-orang semacam Ki Peda Sura,
sebenarnya sama sekali tidak menguntungkan bagi Tanah ini.”
“Tentu. Dan
tidak mustahil apabila Ki Tambak Wedi akan terdorong semakin jauh lagi dalam
hubungan itu.”
“Dengan
demikian kita harus menanggapinya secepat-cepatnya.”
“Jadi
bagaimana pendapatmu, Samekta?”
Samekta tidak
segera menjawab. Tanpa disadarinya ia berpaling, memandangi wajah gembala tua
yang sedang berkerut-merut.
“Ki Gede,”
berkata Samekta kemudian,
“meskipun
bukan orang Menoreh, tetapi mereka yang sudah membantu kita, agaknya akan dapat
memberikan pertimbangan-pertimbangan yang baik meskipun tidak mengikat.”
“Tentu,
tentu,” sahut Ki Argapati.
“Nah,
bagaimana pertimbangan kalian?”
Hanggapati,
Dipasanga, dan gembala tua itu merenung sejenak. Yang mula-mula berbicara
adalah gembala tua itu,
“Kalau aku
diperkenankan memberikan pertimbangan, Ki Gede, maka sebaiknya kita tidak
menunggu saja di dalam lingkungan pring ori ini. Sebelum mereka menyadari apa
yang terjadi setelah peperangan ini, sebaiknya kita menyusul mereka, masuk
kembali ke induk Tanah Perdikan ini.”
Ki argapati
mengerutkan keningnya. Namun ia melihat setiap orang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Bahkan Wrahasta menyambung,
“Ya Ki, Gede.
Itu adalah jalan yang paling dekat untuk mengambil kembali Tanah ini dari
tangan mereka. Saat-saat ini mereka pasti sedang menyusun kekuatan mereka
kembali. Aku kira apabila kita menyusul mereka, mereka pasti akan terperanjat.
Sedang induk Tanah Perdikan itu justru tidak mempunyai pagar pring ori serapat
ini.”
Ki Argapati
masih belum menjawab. Tampaklah wajahnya yang suram itu menegang. Kemudian
perlahan-lahan terdengar ia berdesis,
“Tetapi aku
masih belum dapat bangkit dari pembaringan ini.”
Setiap orang
di dalam ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka mengerti,
betapa Ki Argapati sedang dikungkung oleh luka yang parah di dadanya itu.
Selain daripada itu, mereka pun mengerti
pula, bahwa Ki Gede telah memperingatkan, siapakah di antara mereka yang
sanggup untuk melawan Ki Tambak Wedi?
Karena itu,
maka ruangan itu menjadi hening sejenak.
“Tetapi,” Ki
Argapati pun kemudian berbicara pula
perlahan-lahan,
“kita memang
tidak dapat menunggu lagi. Soalnya sekarang, bagaimana kita harus melawan iblis
yang paling licik itu.”
Gembala tua
yang ada di dalam bilik itu pun menarik
nafas dalam-dalam. Kini ia telah sampai pada suatu batas tertentu, di mana ia
tidak akan dapat bergurau lagi. Kalau ia kali ini harus menyatakan cirinya,
maka ia pun harus menyelesaikannya sekaligus. Karena itu, maka ia pun tidak
segera menemukan suatu sikap yang mantap untuk segera menyanggupi untuk melawan
Ki Tambak Wedi. Hanggapati dan Dipasanga pun hanya dapat mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Mereka berdua tidak akan dapat menyatakan diri mereka untuk
bersama-sama melawan Ki Tambak Wedi, karena mereka berdua pun tidak yakin,
bahwa Ki Tambak Wedi dapat mereka tundukkan. Dengan demikian maka sekali lagi
mereka yang ada di dalam ruangan itu terdiam sejenak.
“Ki Gede,”
Samekta lah kemudian yang memecahkan kediaman mereka,
“kalau Ki
Tambak Wedi sempat menyiapkan pasukannya dan bahkan mungkin menghimpun
orang-orang yang masih bertebaran di desa-desa kecil di atas Tanah Perdikan
ini, entah dengan cara apa pun yang akan
ditempuhnya, maka kita akan menghadapi kesulitan.”
“Ya, aku
mengerti Samekta,” jawab Ki Argapati,
“pendapat itu
adalah pendapat yang paling baik saat ini. Tetapi yang membuat kita
bertanya-tanya, siapakah lawan Ki Tambak Wedi. Hanya itu.”
Samekta
menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia memandangi wajah gembala tua
yang duduk sambil mengangguk-angguk kecil.
“Apakah ia
mampu,” desis Samekta di dalam hatinya,
“di dalam
peperangan ini ternyata ia dapat mengusir Ki Peda Sura yang tingkat ilmunya
tidak terlampau jauh dibawah Ki Tambak Wedi. Tetapi apakah ia bersedia dan
mampu untuk berhadapan dengan Ki Tambak Wedi sendiri, meskipun seandainya
diperlukan satu atau dua orang untuk membantunya.”
Dalam keragu-raguan
itu Wrahasta berkata,
“Ki Gede. Kita
memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu, bagaimanakah seandainya kita
menyusun suatu kelompok kecil dari orang-orang pilihan untuk menghadapi Ki
Tambak Wedi?”
Ki Argapati
mengangguk-angguk,
“Memang
mungkin dilakukan, Wrahasta. Nah, bagaimana menurut pertimbanganmu.”
“Mungkin dua
tiga orang yang akan memimpin kelompok kecil itu. Ki Hanggapati, Ki Dipasanga,
dan salah seorang dari kami, maksudku, Paman Samekta, Paman Kerti, atau aku.”
Ki Argapati
masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Lalu
bagaimana pertimbanganmu mengenai Sidanti dan Argajaya?”
“Kita dapat
membuat kelompok-kelompok serupa. Pandan Wangi didampingi oleh salah seorang
dari kami, dan yang lain bersama-sama melawan yang seorang dari mereka.”
Gembala tua
yang duduk terangguk-angguk itu pun masih juga terangguk-angguk. Ia merasakan
keanehan sikap Wrahasta ini. Di dalam susunannya sama sekali tidak
disinggung-singgung Gupala dan Gupita, juga dirinya sendiri. Tetapi gembala tua
itu masih juga berdiam diri.
“Wrahasta,”
berkata Ki Argapati itu,
“pada
dasarnya, pikiran itu adalah pikiran yang sebaik-baiknya. Kita harus mengambil
jalan itu untuk melawan para pemimpin di dalam pasukan Ki Tambak Wedi. Hanya
mungkin kau masih melupakan beberapa orang yang ada di antara kita. Dukun tua
ini, dan kedua anak-anaknya.”
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Dipandanginya gembala tua itu. Kemudian katanya,
“Kita akan
berterima kasih kalau ia bersedia membantu kita Ki Gede. Kita masih mempunyai
seorang lawan. Ki Peda Sura. Biarlah mereka bersama-sama melawan Ki Peda Sura.”
Argapati mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Wrahasta,
bukankah kau tahu, bahwa gembala tua itu seorang diri dapat mengalahkan Ki Peda
Sura, dan salah seorang anaknya bersama-sama dengan Pandan Wangi mampu
melukainya? Kau dapat mengambil kesimpulan, kemungkinan yang dapat mereka
lakukan untuk peperangan ini.”
“Itu adalah
pertimbangan yang bijaksana,” sahut Kerti,
“Ki Sanak ini
memiliki kemampuan di atas kita. Setidak-tidaknya ia mampu melawan Ki Peda
Sura. Nah, bagaimana kalau pikiran Wrahasta itu mendapat perubahan sedikit.
Maksudku, biarlah dukun tua ini menempatkan diri bersama satu dua orang untuk
melawan Ki Tambak Wedi.”
Dada Wrahasta
menjadi berdebar-debar. Sebenarnya ia mengakui, bahwa memang kemungkinan itulah
yang paling baik. Tetapi dengan demikian, kedudukan gembala itu akan menjadi
semakin kuat, sehingga kedua anak-anaknya pun menjadi semakin mantap pula
berada di lingkungan Tanah Perdikan ini. Padahal bagi Wrahasta, kedua anak-anak
gembala itu merupakan duri yang serasa selalu menyengat dagingnya. Hampir saja
Wrahasta berteriak menolak pendapat Kerti itu. Namun ternyata ia tidak dapat
mencari alasan yang lebih baik lagi. Karena itu, maka tanpa mengucapkan jawaban
ia menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan kesan di wajahnya. Yang terdengar
adalah suara Ki Argapati lambat,
“Pendapatmu
tepat Kerti. Tetapi biarlah aku bertanya kepadanya, karena ia seorang tamu bagi
kita di sini, apakah ia bersedia melakukannya. Seandainya ia bersedia, maka aku
percaya, bahwa ia tidak memerlukan orang lain untuk melawan Ki Tambak Wedi.”
Kerti
mengerutkan keningnya. Kemudian mengangguk perlahan. Dipandanginya wajah
gembala tua yang masih menunduk itu. Kemudian wajah Ki Argapati yang pucat.
Ketika terpandang olehnya wajah Wrahasta, maka orang tua itu melihat sepercik
kekecewaan membayang di sorot matanya. Tetapi Wrahasta tidak dapat mencegah
pertimbangan Ki Argapati itu. Karena ia tidak akan dapat membuat kemungkinan
yang lebih baik daripada itu. Ruangan itu menjadi hening sejenak. Mereka
seakan-akan menunggu sikap gembala tua yang masih tetap berdiam diri itu.
“Bagaimana
pendapat Ki Sanak?” bertanya Ki Argapati.
“Kau sudah
mendengar apa yang seharusnya aku katakan kepadamu.”
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam.
“Tidak ada
kemungkinan lain yang lebih baik daripada itu. Kami sudah tidak dapat melihat
kekuatan di atas bukit ini yang mampu untuk melakukannya.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Berbagai pertimbangan telah memenuhi
dadanya. Namun akhirnya ia sampai pada kepentingan yang lebih dekat pada diri
sendiri.
“Aku
seharusnya tidak melibatkan diri terlampau jauh di dalam persoalan ini,”
katanya di dalam hati.
“Tetapi
apabila aku melepaskan kemungkinan kali ini, maka akibatnya akan menjadi sangat
jauh. Memang tidak ada orang yang dapat di tempatkan di ujung pasukan untuk
melawan Ki Tambak Wedi. Kalau aku tidak bersedia melakukannya kali ini, maka
sudah pasti, bahwa perjuangan Ki Argapati tidak akan segera berhasil. Bahkan
mungkin pada suatu ketika Ki Tambak Wedi akan berhasil menguasai seluruh daerah
perbekalan pasukan pengawal ini, sehingga lambat atau cepat, Menoreh akan jatuh
ke tangannya pula. Akibatnya tidak hanya akan berpengaruh di atas tanah ini,
tetapi pasti akan sampai ke seberang Kali Praga. Apalagi Alas Mentaok yang akan
tumbuh. Mangir, Pliridan, dan akan sampai pula ke sebelah Alas Mentaok dan Alas
Tambak Baya.”
Gembala tua
itu menarik nafas. Bahkan terbayang di kepalanya, Ki Tambak Wedi akan terus
melawat ke Timur, ke Pajang dan daerah di sekitarnya. Apalagi agaknya Pajang
baru disaput oleh awan yang suram, sepeninggal Ki Gede Pemanahan.
“Bagaimana
Kiai?” bertanya Ki Argapati kemudian karena gembala tua itu masih belum
menjawab.
Perlahan-lahan
orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun bertanya,
“Tetapi apakah
kalian percaya kepadaku bahwa aku akan dapat melawan Ki Tambak Wedi.”
Ki Argapati
yang sedang terluka itu tersenyum. Katanya,
“Betapa kami
dapat menduga akhir dari pertempuran itu? Namun menurut perhitunganku, maka kau
akan dapat melakukannya. Bagaimanapun kau mencoba merendahkan dirimu, tetapi
kami tidak akan salah memandang kemampuan yang ada padamu, Kiai.”
“Hem,” gembala
tua itu menarik nafas. Sekilas disambarnya wajah Wrahasta yang tegang.
“Kami sangat
mengharap bantuanmu, Ki Sanak,” berkata Ki Argapati.
“Mungkin kau
mentertawakan aku, bahwa dalam penyelesaian Tanah ini aku harus mencari bantuan
kepada orang lain.” Ki Argapati berhenti sejenak, kemudian,
“Tetapi Tanah
ini berada dalam keadaan darurat. Kami harus melawan kekuatan yang membahayakan.
Dan kami tahu, bahwa kau dan anak-anakmu pun mempunyai tujuan serupa.”
Gembala tua
itu tidak segera menjawab. Ia masih dicengkam oleh kebimbangan.
“Kami, seluruh
tanah perdikan ini menunggu keputusanmu,” desis Ki Argapati.
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Ia tidak sependapat dengan Ki Argapati, yang seolah-olah
menggantungkan nasib tanah perdikan ini kepada orang tua itu.
“Apakah yang
dapat dilakukannya tanpa kami? Tanpa seluruh pengawal Tanah Perdikan Menoreh
dan para pemimpinnya?”
Namun dadanya
berdesir ketika ia mendengar justru orang tua itu yang mengucapkannya. Katanya,
“apakah
artinya aku seorang diri, Ki Gede? Kekuatan Menoreh terletak pada para
pengawalnya. Kalau aku kemudian ikut serta di dalamnya, aku hanyalah setitik
air di dalam lautan.”
Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Wrahasta yang tegang itu menundukkan
kepalanya, seolah-olah orang tua itu melihat isi dadanya dan telah
menyebutkannya. Namun dengan demikian, Wrahasta melihat suatu kelebihan pada
orang tua itu. Orang tua yang oleh orang-orang Menoreh sendiri telah dianggap
sebagai satu-satunya penolong yang dapat melepaskan tanah ini dari bencana,
ternyata orang itu sendiri tidak melepaskan pengakuan, bahwa sebenarnya
kekuatan terbesar adalah terletak pada orang-orang Menoreh sendiri.
“Kiai,”
berkata Ki Gede,
“kau memang
seorang yang aneh. Tetapi baiklah aku bertanya sekali lagi, apakah kau bersedia
bekerja bersama kami mengalahkan kekelaman maksud Ki Tambak Wedi untuk
menguasai Tanah ini?”
Gembala tua
itu termenung. Namun kemudian perlahan-lahan kepalanya bergerak-gerak. Sambil
mengangguk-angguk kecil ia berkata,
“Baiklah, Ki
Gede. Lepas dari masalah Tanah Perdikan Menoreh, aku memang mempunyai persoalan
dengan orang itu.”
Ki Gede
mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia bertanya,
“Persoalan
apakah yang telah melibat kalian?”
Gembala itu
menggelengkan kepalanya,
“Persoalan
yang langsung dan bahkan terlampau pribadi.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya, persoalan
yang terlampau pribadi.” Ia berhenti sejenak, kemudian,
“Adalah
kebetulan sekali. Kebetulan bagi tanah perdikan ini, bahwa kau berada di sini
dengan persoalanmu itu, sehingga kau akan terlibat dalam pertentangan di antara
keluarga Menoreh.”
Gembala itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah,” berkata
Ki Argapati,
“masalah yang
lain tidak akan terlampau sulit. Gembala tua ini akan langsung berhadapan
dengan iblis dari lereng Gunung Merapi itu. Aku percaya kepadanya dan aku sama
sekali tidak meragukan kemenangan yang bakal datang.”
Beberapa orang
di dalam ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Pandan Wangi menunggu
keputusan ayahnya dengan hati yang berdebar-debar. Dan ia melihat, bahwa
pembicaraan itu agaknya sudah akan segera selesai. Namun sekilas Pandan Wangi
melihat juga wajah Wrahasta yang menegang. Dan Pandan Wangi menjadi
berdebar-debar karenanya. Apabila pada suatu ketika Wrahasta tidak dapat
mengekang dirinya lagi, maka akibatnya tidak akan menyenangkannya, dan bahkan
tidak akan menyenangkan bagi tanah perdikan ini.
“Setiap unsur
di dalam pasukan ini memang menentukan,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya.
“Apabila salah
satu dari unsur-unsur ini tanggal, maka akibatnya akan membuat kita menyesak
untuk waktu yang lama. Agaknya kekuatan yang ada di dalam pasukan ini terlampau
terbatas, sehingga kita memerlukan seluruhanya. Tidak boleh ada satu pun yang tinggal.”
Dalam pada itu
Pandan Wangi mendengar gembala tua itu berkata,
“Aku berterima
kasih atas kepercayaan ini, Ki Gede. Selanjutnya marilah kita bersama-sama
berdoa, mudah-mudahan kita berhasil kali ini.”
“Ya, kita akan
bersama-sama berdoa,” sahut Ki Argapati.
“Kita merasa
bahwa kita berada di pihak yang benar.” Ki Argapati itu berhenti sejenak,
kemudian,
“Kita harus
segera menentukan, kapan kita akan berangkat. Aku akan ikut dalam pasukan itu.”
“Ki Gede,”
setiap orang terperanjat mendengar keinginan itu.
“Ki Gede masih
belum sehat sama sekali.”
“Tetapi aku
adalah Kepala Tanah Perdikan ini. Dalam peperangan yang menentukan, aku tidak
boleh duduk bertopang dagu.”
“Ki Gede tidak
sedang bertopang dagu,” desis gembala tua itu.
“Sedang duduk
saja Ki Gede masih terlampau sulit. Bagaimana Ki Gede dapat bertopang dagu
sambil berbaring?”
“Hem,” Ki Gede
menarik nafas. Katanya kemudian,
“Tetapi aku
ingin memimpin penyerangan itu. Aku ingin ikut memasuki induk tanah perdikan
itu bersama pasukanku.”
“Bagaimana hal
itu dapat dilakukan, Ki Gede?” bertanya Samekta.
“Samekta,”
berkata Ki Gede,
“kau harus
menyiapkan sekelompok kecil pengawal yang dapat kau percaya. Aku akan pergi
bersama mereka dengan sebuah tandu. Aku harus memimpin sendiri peperangan ini.
Sementara aku mempercayakan perlawanan langsung atas Ki Tambak Wedi kepada
dukun tua ini.”
“Ayah,” desis
Pandan Wangi,
“sebaiknya
Ayah tinggal di sini. Kami yang berangkat ke medan, akan selalu mencoba berbuat
sebaik-baiknya. Kami mengharap bahwa salah seorang dari kami akan dapat
menghadap Ayah untuk melaporkan bahwa kami telah merebut kembali padukuhan
induk itu.”
Tetapi Ki
Argapati menggeleng,
“Tidak. Aku
adalah seorang prajurit bagi tanah perdikan, sehingga aku harus berada di
medan.”
Gembala tua
itu mengerutkan keningnya. Katanya,
“Ki Gede akan
mengganggu tugas yang telah dipercayakan kepadaku. Aku harus memperhatikan
nenggala Ki Tambak Wedi di satu pihak, di lain pihak aku harus memperhatikan
obat yang harus aku sediakan buat Ki Gede.”
Ki Argapati
mengusap keringat di keningnya. Katanya,
“Tidak. Di
peperangan aku tidak memerlukan apa pun juga. Entahlah setelah peperangan itu
selesai.”
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya niat Ki Argapati sudah tidak dapat
dihalanginya lagi. Sehingga, karena itu maka katanya,
“Ki Gede,
memang suatu kebahagiaan bagi seorang prajurit dalam keadaan perang seperti
ini, apabila ia berkesempatan untuk memimpin pasukannya langsung di medan
perang. Karena itu, apabila Ki Gede memang ingin berada di medan, dan itu sudah
menjadi suatu keputusan, kami tidak akan dapat mencegahnya. Namun kita tidak
boleh meninggalkan kewaspadaan. Karena itu, aku ingin mengusulkan, apabila Ki
Gede benar-benar akan berada di peperangan, maka pengawalan terhadap Ki Gede
harus sempurna. Menurut pendapatku tidak ada orang yang paling tepat untuk
memimpin pengawalan itu selain Angger Pandan Wangi.”
Pandan Wangi
mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah gembala tua itu sejenak, kemudian
kepalanya itu pun tertunduk lagi. Ia dapat mengerti pikiran gembala tua itu,
dan ia sendiri sama sekali tidak berkeberatan untuk selalu berada, di samping
ayahnya. Memang tidak ada orang yang dapat dipercayanya lebih dari dirinya
sendiri.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Ya, aku
mengerti dan aku sama sekali tidak berkeberatan. Aku minta kecuali Pandan
Wangi, Samekta harus juga selalu berada di dekatku. Kau akan menjadi saluran
pimpinanku atas pasukanku.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah, Ki Gede.”
“Nah,
selanjutnya terserahlah kepadamu, siapakah yang akan kau bawa di dalam kelompok
kecil di sekitarku.”
“Baik, Ki
Gede,” jawab Samekta.
“Selanjutnya,
kita harus segera bersiap sejak sekarang. Kita akan datang ke induk tanah
perdikan itu di malam hari, supaya perasaanku tidak terpengaruh oleh keadaan di
sekitar rumah itu, setidaknya masih ada satu dua orang di sekitar padukuhan itu
yang aku kenal baik sebelumnya.” Ki Gede berhenti sejenak, lalu, “Siapkan
susunan barisanmu Samekta. Besok malam kita akan menyusul orang-orang Ki Tambak
Wedi. Tempatkan kedua anak-anak muda yang bernama Gupala dan Gupita itu sebagai
lawan Ki Peda Sura. Kalau mereka segera berhasil, maka mereka akan segera dapat
membantu Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga yang masih harus berhadapan dengan
lawan-lawannya yang lama.”
Dengan
serta-merta gembala tua itu mengangkat dadanya. Tetapi ia hanya menarik nafas
dalam-dalam. Sebenarnya ia mengharap biarlah kedua muridnya itulah yang
berhadapan dengan Sidanti dan Argajaya. Tetapi apabila demikian yang
dikehendaki oleh Ki Gede, ia tidak akan dapat merubahnya. Perintah itu sudah
terucapkan, sehingga apabila ia berusaha untuk merubahnya, maka mungkin sekali
perasaan kedua pengawal Sutawijaya itu akan tersinggung karenanya. Maka gembala
tua itu pun kemudian menundukkan kepalanya kembali sambil mengangguk-angguk
kecil. Tetapi ia tidak berkata apa pun
lagi. Agaknya pembicaraan itu memang sudah selesai. Mereka hanya tinggal
melaksanakannya. Dan mudah-mudahan pelaksanaannya dapat sesuai dengan rencana
itu. Dalam pada itu terdengar Ki Gede Menoreh berkata kepada Samekta,
“Kau harus
menjaga rapat-rapat, agar rencana ini tidak terdengar oleh lawan. Setiap
pengawal harus ikut bertanggung jawab, bahwa kita akan berhasil masuk ke induk
tanah perdikan. Tetapi kau tidak perlu memberitahukan sekarang, kapan kita akan
berangkat. Kau wajib mempersiapkan mereka, tanpa mereka ketahui waktu yang
telah kita pilih. Sebab siapa tahu, di antara mereka ada orang-orang yang akan
berkhianat.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Baik, Ki Gede.”
“Nah, aku kira
pembicaraan sudah selesai. Kalian akan melakukan tugas kalian masing-masing.
Ingat, rahasia ini harus dipegang teguh apabila kita ingin berhasil.” Ki
Argapati berhenti sejenak, kemudian, “Dan sebaiknya kau mengirimkan beberapa
orang petugas sandi. Kita harus tahu, bahwa mereka tidak akan mendahului kita.
Seandainya rencana waktu yang kita tentukan bersamaan, kita harus segera
mengambil keputusan.”
“Baik, Ki
Gede. Beberapa orang akan berusaha menghubungi orang-orang yang masih setia
kepada Tanah ini, yang mungkin dapat memberikan keterangan.”
“Setidak-tidaknya
para petugas dapat mengawasi gerakan mereka, apalagi apabila mereka akan
menyerang padukuhan ini.”
“Ya, Ki Gede.”
“Baklah. Aku
kira pembicaraan ini memang telah selesai.”
Samekta,
Kerti, dan Wrahasta segera keluar dari ruangan itu. Kemudian disusul oleh
Hanggapati dan Dipasanga. Yang terakhir adalah gembala tua itu setelah melihat
luka-luka Ki Argapati.
“Mudah-mudahan
obatku menolong,” katanya.
“Aku menjadi
semakin baik,” sahut Ki Argapati.
“Beristirahatlah
sebanyak-banyaknya. Waktu kita hanya tinggal malam ini dan sehari besok. Di
malam berikutnya kita sudah berada di peperangan.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya, Kiai. Aku
akan tidur semalam suntuk dan apabila mungkin ditambah dengan sehari besok.”
Gembala itu
tersenyum. Katanya,
“Tetapi
apabila Ki Gede tidak bangun pada saat kami berangkat, Ki Gede akan kami
tinggalkan di padukuhan ini.”
Ki Gede
Menoreh tertawa,
“Aku akan
bangun pada saatnya.”
Gembala
itu pun kemudian meninggalkan ruangan
itu pula. Sehingga di dalam bilik itu tinggallah Ki Argapati ditunggui oleh
puterinya, Pandan Wangi.
“Kalau kau
ingin beristirahat, tinggalkan aku sendiri, Wangi,” berkata ayahnya.
Pandan Wangi
memandang wajah ayahnya yang pucat, meskipun sudah tidak mencemaskannya seperti
pada saat ayahnya keluar dari peperangan dalam keadaan pingsan.
“Ayah memang
terlalu keras hati,” desis Pandan Wangi.
“Dalam keadaan
demikian, masih juga ia ingin berada di medan.”
“Kalau kau
ingin tidur, tidurlah Wangi,” ulang ayahnya.
“Apakah Ayah
tidak memerlukan sesuatu?”
“Sediakan
minumku saja.”
“Baik, Ayah.”
Pandan Wangi
pun kemudian meletakkan minum ayahnya di atas dingklik kayu dekat di
pembaringannya. Kemudian ia pun keluar
dan bilik ayahnya. Tetapi ternyata Pandan Wangi tidak segera pergi tidur ke
biliknya. Tanpa disengajanya, ia telah berjalan ke ruang depan. Ia tertegun
ketika ia melihat beberapa orang masih duduk sambil berbincang. Mereka adalah
Hanggapati, Dipasanga, dan gembala tua itu.
“Apakah Ki
Argapati memerlukan kami, Ngger?” bertanya gembala tua itu.
“Tidak, Kiai,
Ayah akan beristirahat.”
“O, sebaiknya
kau pun beristirahat pula,” sahut Ki Hanggapati.
“Ya, aku pun
ingin tidur,” Pandan Wangi menjawab.
“Aku hanya
sekedar menengok, apakah Paman-paman tidak juga ingin beristirahat?”
“Sebentar lagi
kami pun akan tidur,” jawab Dipasanga.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Silahkan,
Paman. Aku akan beristirahat dulu.”
Pandan
Wangi pun kemudian masuk ke ruang dalam.
Tetapi serasa ada yang memaksanya untuk tidak segera masuk ke dalam biliknya.
Kakinya seakan-akan telah membawanya ke belakang dan tanpa sesadarnya, gadis
itu telah membuka pintu butulan. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Sepi. Sepi
sekali. Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Terasa angin yang silir telah
menyentuh tubuhnya, membelai rambutnya yang kusut. Tiba-tiba terasa tubuhnya
menjadi segar. Sekali lagi ia menarik nafas dalam-dalam.
“Alangkah
segarnya udara di atas Tanah ini,” desisnya,
“tanah yang
harus dipertahankan sampai kemungkinan yang terakhir.”
Pandan
Wangi pun kemudian melangkah surut.
Kemudian menutup pintu kembali sambil berdesah. Dan tiba-tiba saja ia pun menguap. Dengan langkah satu-satu dan
kepala tunduk, Pandan Wangi pergi ke biliknya. Kini terbayang di dunia
angan-angan, pertempuran yang dahsyat di induk tanah perdikan ini. Padukuhan
besar yang beberapa saat yang lampau terpaksa dilepaskan karena tekanan pasukan
Ki Tambak Wedi yang tidak tertahankan pada saat ayahnya sedang berperang
tanding, di bawah Pucang Kembar.
“Kami harus
merebut Tanah itu kembali, dan seluruh tanah perdikan ini.”
Pandan Wangi
pun kemudian masuk ke dalam biliknya. Perlahan ia meletakkan dirinya di
pembaringan tanpa melepaskan sepasang pedang di lambungnya. Demikian lelah
gadis itu, sehingga sejenak kemudian ia
pun telah tertidur nyenyak. Jarang sekali ia dapat tidur senyenyak itu
sejak kemelutnya api pertengkaran di antara keluarga di atas Bukit Menoreh ini.
Setiap kali ia selalu diganggu oleh berbagai macam kepedihan perasaan dan
kecemasan tentang masa depan Tanah ini. Namun kini Pandan Wangi serasa
mendapatkan suatu kepastian, bahwa ayahnya pada suatu saat akan dapat
mengembalikan keutuhan Tanah ini meskipun harus melalui banyak sekali rintangan
dan kesulitan.
Dalam pada itu
dua orang anak-anak muda sedang duduk bersandar sebatang pohon rambutan di
halaman belakang. Meskipun mereka sudah terkantuk-kantuk, namun mereka masih
juga berbicara dengan suara yang parau.
“Kenapa ia
hanya sekedar membuka pintu kemudian masuk lagi?” bertanya Gupala.
“Bertanyalah
kepadanya,” jawab Gupita.
Gupala
tersenyum. Katanya,
“Mungkin gadis
itu mencari aku. Tetapi karena ia tidak melihat seseorang karena kita
terlindung oleh kehitaman bayang-bayang, maka ia segera masuk kembali.”
“Ya.”
“He? Begitukah
kira-kira?”
“Ya.”
“Persetan, kau
tidur?”
Gupita
mengusap matanya. Sebenarnya ia lebih suka tidur dari pada berbincang tanpa
ujung dan pangkal.
“Pembicaraan
pasti sudah selesai. Mari kita mencari Guru. Mungkin kita akan mendapat tugas
baru.”
“Sebentar. Aku
masih menunggu kalau-kalau gadis itu membuka pintu itu kembali.”
“Kau sudah
menjadi gila. Terserahlah kau. Aku tidak tahan gigitan nyamuk yang tidak
terhitung jumlahnya,” desis Gupita.
“Huh, apa
katamu seandainya kau menjadi seorang prajurit? Mungkin pada suatu saat kau
harus mengendap mengintai musuh tanah yang berawa-rawa? Mungkin tidak hanya
sehari dua hari, tetapi berpekan-pekan, bahkan berbulan-bulan?”
“Tetapi
sekarang kita tidak sedang mengintai musuh. Kau mengintai menurut seleramu
sendiri.”
Gupala
tertawa. Jawabnya,
“Baiklah. Kau
menjadi pemarah sekarang. Marilah kita mendapatkan Guru di ruang depan. Mungkin
Guru sudah menanti kita pula.”
Gupita tidak
menjawab. Tertatih-tatih ia berdiri sambil mengibaskan pakaiannya yang kotor
oleh debu. Kemudian mereka pun berjalan
di antara pepohonan di kebun menuju ke ruang depan.
Tetapi langkah
mereka tertegun, ketika mereka melihat Guru mereka sedang turun dari tangga
pendapa, seorang diri.
“Guru,” desis
Gupala.
Gurunnya berpaling.
Kemudian katanya,
“Marilah kita
beristirahat. Kita akan segera mendapat pekerjaan yang penting besok malam.”
“Dimana kita
akan tidur?”
“Di gardu.”
“Di regol
desa? Apakah kira-kira kita dapat tidur di sana?”
“Kita tidak
akan pergi ke regol desa. Di sana terlampau, banyak orang. Kita akan berbicara
saja sepanjang malam,” jawab orang tua itu.
“Kita akan
pergi ke regol di perapatan sebelah. Kita akan menumpang tidur. Di situ hanya
ada dua orang penjaga, karena tempat itu bukan tempat yang dianggap penting.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sementara itu kaki mereka pun melangkah
menyusur jalan desa, menuju ke gardu di perapatan. Kedua peronda di gardu itu
dengan senang hati menerima mereka bertiga. Dengan demikian maka mereka
mendapat kawan di malam yang terlampau sepi itu, meskipun, ketiganya hanya
sekedar datang untuk tidur.
“Tidurlah,”
berkata peronda itu,
“aku akan
menjaga kalian. Kalau ada nyamuk yang akan menggigit kalian, biarlah aku bunuh
sekali.”
Yang mendengar
kata-kata itu pun tertawa. Tetapi Gupala
tidak mempedulikannya. Langsung saja ia membaringkan dirinya di atas jajaran
bambu apus tanpa galar. Meskipun demikian, terasa tubuhnya menjadi nyaman di
sejuknya angin yang silir.
“Apakah aku
harus berdendang pula,” bertanya salah seorang peronda.
“Jangan,”
jawab Gupala antara sadar dan tidak,
“suaramu
seperti gerobag di jalan yang berbatu-batu.”
Peronda
itu pun tertawa, dan Gupala berdesis,
“Jangam ribut.
Aku akan tidur. Besok aku harus bangun pagi-pagi, sebelum matahari terbit, supaya
aku tidak kamanungsan.”
Peronda-peronda
itu masih saja tertawa, tetapi mereka tidak menjawab lagi. Dibiarkannya mereka
bertiga berbaring bersama-sama. Kemudian mereka tidak mengusiknya lagi ketika
ketiga orang itu mendekur. Tidur.
Sementara itu Samekta,
Kerti, dan Wrahasta masih sibuk menghubungi para pemimpin kelompok pasukan
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mengatur segala sesuatu yang perlu.
Mempersiapkan mereka dengan segala perlengkapan dan senjata.
“Kalian harus
dapat mengatur anak buah kalian,” berkata Samekta.
“Sebagian dari
mereka harus mendapat kesempatan beristirahat. Berganti-ganti sehingga mereka
akan mendapat tenaga baru apabila setiap saat diperlukan.”
Para pemimpin
kelompok itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Nah, kalian
pun harus beristirahat pula,” berkata Kerti.
“Sebentar lagi
kami juga akan beristirahat. Namun setiap saat kita harus siap untuk
bertempur.”
Para pemimpin
tertinggi pasukan pengawal itu pun
kemudian berpencar. Mereka mendapat bagian tersendiri agar tugas mereka segera
selesai, karena mereka pun memerlukan
waktu untuk sekedar beristirahat. Padukuhan itu pun kemudian semakin lama
menjadi semakin sepi. Hanya para peronda dan para petugas sajalah yang masih
tetap di tempatnya. Sekali-sekali mereka berdua atau bertiga, berjalan
mengelilingi padukuhan mereka, singgah dari gardu ke gardu dan dari perondan ke
perondan yang lain.
Ketika fajar
memerah di ujung Timur, para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah
terbangun dan langsung membenahi diri mereka. Kemudian seperti biasanya mereka
memencar mengelilingi padukuhan yang diputari oleh pring ori itu.
Para prajurit
dan para pemimpin kelompok pun telah terbangun pula. Demikian juga gembala tua
yang tidur di gardu perondan di perapatan.
“Aku akan
pergi ke parit,” desis gembala tua itu.
“Aku juga,
Guru,” berkata Gupita.
“Marilah.
Bagaimana dengan Gupala?”
Gupala
menggeliat. Namun ia berkata,
“Aku juga.
Tetapi pergilah dahulu. Aku akan segera menyusul.”
Ketika guru
dan kakak seperguruannya pergi meninggalkan mereka, maka Gupala melingkar lagi
di gardu perondan itu dan tanpa disadarinya, ia telah tertidur lagi.
Gupala tidak
melihat ketika Wrahasta datang ke gardu itu bersama dua orang pengawal.
“He, siapa
yang masih tidur itu?” ia bertanya kepada kedua peronda yang berdiri di muka
gardu.
“Gupala,”
jawab salah seorang dari mereka.
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu suka kepada anak yang gemuk itu seperti
juga kepada kakaknya. Bahkan anak yang gemuk ini agak lebih banyak bicara.
Karena itu untuk melepaskan perasaannya, tiba-tiba ia memukul lantai gardu, itu
sambil berteriak,
“He, siapa
yang masih tidur di tengah hari ini?”
Gupala
benar-benar terkejut. Meskipun lamat-lamat ia telah mendengar pembicaraan
Wrahasta dan kedua peronda di gardu itu, dan dengan sengaja ia tetap berselimut
kain panjangnya, namun ia tidak mengira bahwa Wrahasta akan membentaknya begitu
keras sambil memukul gardu itu sehingga berderak-derak.
Meskipun
demikian, Gupala tidak cepat-cepat bangkit dan meloncat turun. Bahkan sekali lagi
ia menggeliat sambil bertanya,
“Siapa yang
berteriak-teriak di pagi buta ini, he?”
“Bangun anak
malas. Cepat! Semua orang telah sibuk dengan berbagai macam pekerjaan, dan kau
masih saja tidur mendekur. Kau kira gardu ini disediakan untuk pemalas seperti
kau.”
Perlahan-lahan
Gupala bangkit. Ditatapnya wajah Wrahasta yang tegang. Namun kemudian anak yang
gemuk itu menguap. Katanya,
“Semalam aku
bangun sampai lewat tengah malam. Sekarang aku masih terlampau kantuk.”
“Setiap orang
di sini bangun sampai lewat tengah malam. Bahkan aku hampir tidak tidur semalam
suntuk. Kau orang asing di sini, dan kau tidak dapat bermalas-malasan saja. Kau
harus mengikuti arus kesibukan yang ada di padukuhan ini.”
“Eh, bukankah
aku seorang tamu?” bertanya Gupala.
“Kau bukan seorang
tamu yang kami harapkan di sini.”
“Bohong! Ki
Argapati memerlukan ayahku dan kami berdua bersama Kakang Gupita. Kami berdua
telah membantu kalian di dalam peperangan. Apakah dengan demikian, kau
menganggap kami sebagai pemalas yang hanya dapat mengurangi rangsum nasi para
pengawal tanah perdikan ini?”
Dada Wrahasta
berdesir mendengar jawaban itu. Memang telah ternyata bahwa anak yang gemuk
inilah yang telah membunuh Ki Muni, dan bahkan anak yang gemuk ini telah
terlukai pula. Karena itu, sejenak Wrahasta terbungkam. Namun ketika terkilas
di dadanya, perhubungan yang semakin baik antara kedua anak-anak muda itu
dengan Pandan Wangi, maka hatinya telah mulai memanas lagi.
“Aku yang
telah berbuat apa saja untuk Tanah ini,” katanya di dalam hati.
“Apakah aku
akan di desak oleh pendatang yang baru saja hadir di tanah perdikan ini?”
Karena itu,
maka kemarahannya pun tumbuh kembali.
Katanya,
“Apa pun yang
telah kau lakukan, aku adalah salah seorang pemimpin pengawal yang mempunyai
wewenang untuk memerintah setiap orang di dalam lingkungan pedukuhan ini. Di
dalam keadaan perang ini setiap orang harus tunduk kepada perintahku sebagai
salah seorang pemimpin.”
Gupala
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baiklah. Aku
akan bangun. Bukankah perintahmu kali ini agar aku bangun?”
Kemarahan
Wrahasta hampir tidak tertahankan lagi. Apalagi ketika ia melihat Gupala
beringsut setapak demi setapak menepi dari gardu perondan. Anak yang gemuk itu
serasa acuh tak acuh saja terhadapnya, betapa ia membentak-bentak dan berteriak-teriak.
Para pengawal yang menyaksikan percakapan itu menjadi berdebar-debar. Wrahasta
agaknya benar-benar menjadi marah, dan anak yang gemuk itu pun berbuat sekehendak hatinya. Namun para
pengawal itu pun menyadari, bahwa sebenarnya Gupala telah dengan sengaja
berbuat demikian. Ia pasti merasa tersinggung dan bahkan marah karena
bentakan-bentakan Wrahasta. Para pengawal itu
pun menjadi heran, bahwa Wrahasta seakan-akan telah menjadi marah tanpa
sebab. Mereka tidak mengetahui, bahwa sebab yang sebenarnya telah lama
tersembunyi di dalam dada anak muda yang bertubuh raksasa itu.
Wrahasta yang
dadanya seakan-akan membara itu berteriak,
“Kalau kau
tidak senang di sini, pergilah. Ki Argapati hanya memerlukan gembala tua itu.
Bukan kau dan bukan kakakmu yang cengeng itu.”
“Tidak,”
Gupala menggeleng.
“Aku dan
Kakang Gupita juga diperlukan. Setiap orang diperlukan.”
“Tetapi tanpa
kau kami masih akan tetap dapat berbuat apa saja,” Wrahasta menjadi semakin
marah.
Gupala menarik
nafas dalam-dalam. Ada perbedaan di antara kedua anak-anak muda yang mengaku
diri mereka gembala itu. Seandainya yang dibentak-bentak itu Gupita, mungkin ia
akan segera menghindar dan pergi menyusul gurunya ke parit di pinggir
padukuhan. Tetapi Gupala tidak berbuat demikian. Ia mempunyai sifat yang agak
berbeda, Betapapun gurunya berusaha melunakkannya. Gupala yang telah mencoba
menahan diri itu akhirnya tidak dapat melawan hentakan perasaannya.
Wajahnya pun telah mulai semburat merah.
Dengan nada
yang tinggi ia bertanya,
“Apakah sebenarnya
maksudmu, Wrahasta?”
Wrahasta yang
sedang marah itu pun menjadi semakin
marah melihat sikap Gupala yang seakan-akan sengaja menentangnya. Apalagi di
hadapan beberapa orang pengawal tanah perdikan. Menurut penilaiannya, ketika ia
memaksa Gupita berkelahi melawannya, gembala itu tidak dapat mengalahkannya.
Apalagi yang ada kini adalah adiknya yang gemuk itu.
Karena itu,
maka dengan suara mengguntur ia menjawab,
“Aku ingin
sekali-sekali memukul kepalamu, agar kau tidak terlalu sombong di atas Tanah
ini. Apa kau sangka Tanah ini memberi tempat kepada orang-orang yang merasa
dirinya terlampau diperlukan seperti kau?”
“Aku tidak
mengerti,” sahut Gupala.
“Aku kira aku
tidak pernah menyombongkan diriku. Aku berbuat wajar seperti apa yang sebaiknya
aku lakukan. Kalau aku menurut anggapanmu terlambat bangun kemudian kau nilai
sebagai suatu kesombongan, alangkah dangkalnya penilaianmu atas seseorang.
Dengan demikian maka kaulah yang dapat disebut anak muda yang sombong.”
Wrahasta
menggeram. Ia tidak dapat mengekang diri lagi. Karena itu maka selangkah ia maju
sambil menunjuk wajah Gupala,
“Kau harus
minta maaf kepadaku. Kemudian berjanji tidak akan mendekati setiap pimpinan
Tanah ini, agar aku tidak menjadi muak. Kalau kau ingin tinggal di sini bersama
ayahmu yang memang diperlukan oleh Ki Gede, kau harus berada di regol depan
bersama para pengawal yang lain. Kau tidak lebih dari mereka. Kau tidak dapat
memanjakan dirimu. Makanmu harus sama seperti mereka, pelayanan terhadapmu
harus sama pula.”
“E,” Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“kau
benar-benar seorang pemimpin yang sangat teliti. Apakah kau tidak mempunyai
urusan lain kecuali mengurusi orang tidur dan makan?”
“Persetan!”
Wrahasta kian menjadi panas. Serasa segumpal bara tersimpan di dalam dadanya.
“Gupala,”
katanya kemudian, “aku benar-benar ingin memukul mulutmu.”
“Mulutku masih
cukup berharga buatku. Karena itu, jangan kau lakukan supaya aku tidak berusaha
membalas.”
Wrahasta sudah
tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba ia meloncat sambil menampar mulut
Gupala. Tetapi Gupala benar-benar tidak mau tersentuh tangan Wrahasta. Karena
itu, maka ia pun menghindarinya dengan memiringkan mukanya tanpa bergeser dari
tempatnya. Sikap Gupala membuat Wrahasta semakin kehilangan kendali. Dengan
serta-merta ia menyerang anak muda yang gemuk itu. Tetapi Gupala kini telah
siap untuk menghadapi kemungkinan. Berbeda dengan Gupita, Gupala sama sekali
tidak bermaksud untuk mengalah. Bahkan ia berkata di dalam hatinya,
“Anak ini
sekali-sekali harus diberi pelajaran menghargai orang lain.”
Karena itu,
maka Gupala pun kemudian tidak mengekang dirinya lagi. Ketika Wrahasta
menyerangnya dengan sebuah pukulan yang keras, maka Gupala pun memiringkan kepalanya. Dengan suatu
sentakan ia menarik tangan Wrahasta lewat di atas pundaknya. Berbareng dengan
lontaran kekuatannya sendiri, maka Wrahasta pun terseret dan terpelanting
jatuh.
Para pengawal
terkejut melihat hal itu. Semuanya itu terjadi begitu cepatnya dan tiba-tiba.
Karena itu maka sejenak mereka hanya saling memandang. Namun kemudian salah
seorang dari mereka segera menyadari keadaan. Karena itu maka ia pun berdesis,
“Aku akan
memberitahukannya kepada Ki Samekta. Kalau kau mampu lerailah. Kalau tidak,
carilah gembala tua, ayah anak muda yang gemuk itu, agar ia berusaha menahan
anaknya.”
Kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Aku tidak
akan dapat melerainya. Mungkin kepalaku sendiri akan terkilir.”
Yang lain
tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat berlari-lari mencari Samekta,
sedang yang seorang lagi pergi mencari gembala tua yang oleh salah seorang
peronda di gardu itu diberitahu bahwa gembala tua itu sedang pergi ke parit. Sementara
itu, sambil menyeringai Wrahasta meloncat berdiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar