Ia tidak menyangka, bahwa anak yang gemuk itu demikian tangkas dan cepat. Namun hal itu telah membuat Wrahasta seakan-akan menjadi gila. Ia sama sekali tidak dapat lagi membuat pertimbangan-pertimbangan apa pun, sehingga ia telah bertekad untuk benar-benar berkelahi. Terdengar anak muda yang bertubuh raksasa itu menggeram. Kemudian meloncat menerkam lawannya. Gupala yang melihat serangan yang semakin garang itu pun terpaksa harus mengimbanginya. Dengan tangkasnya ia menghindar, dan bahkan kemudian ia pun telah menyerang pula. Meskipun tubuh Wrahasta jauh lebih besar dari Gupala, namun Gupala adalah seorang yang memiliki kekuatan yang cukup besar. Sehingga dalam benturan tenaga yang terjadi, Wrahasta telah terdorong beberapa langkah surut. Sejenak Wrahasta menjadi heran. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa anak yang gemuk itu mampu menyamai kekuatannya, bahkan melebihinya.
“Ini hanyalah
suatu kebetulan,” katanya di dalam hati.
“Ia berada
dalam keadaan yang lebih baik. Tetapi kalau aku sempat membenturkan seluruh
kekuatanku, ia pasti akan menjadi lumat.”
Dengan
demikian, maka Wrahasta pun telah
menyiapkan dirinya. Kemudian dengan segenap kekuatannya ia menyerang kembali.
Sebuah ayuman yang dahsyat telah mengarah ke kening Gupala. Namun betapa
anehnya sifat Gupala, tetapi ia masih juga sempat membuat
pertimbangan-pertimbangan. Apalagi setelah ia melihat Wrahasta benar telah
kehilangan akal dalam tingkat permulaan dari perkelahian itu. Dengan demikian,
maka Gupala justru menjadi agak tenang, karena Wrahasta memanglah bukan
lawannya. Kalau ia mau maka ia akan segera dapat mengalahkannya dan bahkan
apa pun yang akan dilakukannya. Tetapi
kali ini ia tidak akan berbuat lebih jauh dari memberi sedikit pelajaran kepada
Wrahasta. Karena itu, maka ia pun kemudian telah menyerang Wrahasta semakin
cepat, tetapi tidak cukup berbahaya. Serangan Gupala seakan-akan datang dari
segenap penjuru. Dengan lincahnya anak yang gemuk itu berloncatan. Tangannya
menyambar-nyambar seakan-akan berpuluh-puluh pasang tangan bergerak
bersama-sama.
Ternyata bahwa
Wrahasta menjadi bingung karenanya. Ia sama sekali tidak berdaya untuk
menangkis atau menghindari sentuhan-sentuhan tangan Gupala. Meskipun Gupala
tidak bermaksud melumpuhkan lawannya, namun terasa pukulan-pukulan itu semakin
lama menjadi semakin sakit. Sekali-sekali Gupala memukul pundak Wrahasta,
kemudian tanpa dapat mengelak, Wrahasta terdorong oleh kaki Gupala yang
mengenai lambungnya. Demikian Wrahasta berusaha tegak kembali, Gupala telah
berhasil menangkap tangan Wrahasta dan menariknya dengan hentakan yang keras
berbareng dengan tangannya menampar dagu. Betapapun juga Wrahasta mencoba
mengerahkan segenap kemampuannya, namun ia sama sekali tidak berdaya menghadapi
lawannya yang gemuk namun cukup lincah itu. Beradu tenaga pun ternyata Wrahasta
yang bertubuh raksasa itu tidak dapat mengatasi lawannya. Dalam kebingungan dan
kegugupannya, Wrahasta tidak dapat berpikir lain kecuali mencabut pedangnya.
Namun demikian tangannya meraba hulu senjatanya itu, seperti tatit Gupala
meloncat menangkap pergelangan tangannya, kemudian diputarnya ke belakang
sambil berdesis,
“Jangan bodoh.
Kalau kau mengambil pedangmu, berarti kau akan membunuh diri. Kau lihat, bahwa
aku pun berpedang? Dan kau harus menyadari bahwa aku dapat bergerak lebih cepat
daripadamu. Karena itu, kalau kita berkelahi dengan pedang, maka kau tidak akan
dapat ikut dalam peperangan yang akan datang.”
Tetapi Wrahasta
yang keras kepala itu menyeringai sambil menggeram,
“Persetan! Kau
tidak akan mampu melawan pedangku. Kaulah yang harus aku bunuh.”
Tangkapan
tangan Gupala itu menjadi semakin keras, dan Wrahasta merasa semakin sakit
karenanya. Karena itu betapapun ia menahan diri, tetapi raksasa itu terpaksa
berdesis menahan sakit.
“Kau sudah
gila,” Gupala pun menggeram.
“Jangan
main-main dengan pedang kalau kau tidak yakin bahwa kau akan menang.”
“Aku tidak
takut mati seandainya kau mampu membunuh aku.”
Seperti dugaan
gurunya, Gupala memang bukan seorang yang cukup sabar. Karena itu, maka
didorongnya tangan Wrahasta yang terpilin itu, sehingga raksasa itu
terhuyung-huyung. Hampir saja ia jatuh terjerembab. Namun ia berhasil menguasai
keseimbangan dan berdiri tegak di atas sepasang kakinya yang renggang.
Dikibas-kibaskannya
tangannya sambil menggeram,
“Kita
bertempur sampai mati.”
“Bukan
salahku,” sahut Gupala. Kemudian kepada peronda yang melihat dengan kaki
gemetar ia berkata,
“Kalian
menjadi saksi. Aku telah dipaksa untuk melawannya.”
Tetapi para
peronda itu sama sekali tidak menjawab. Bahkan mereka menjadi semakin pucat dan
gemetar. Wrahasta yang sudah bermata gelap itu
pun tiba-tiba mencabut pedangnya yang besar dan panjang Kemudian berkata
dalam nada yang dalam dan datar,
“Ayo, cabut
senjatamu.”
Tiba-tiba saja
Gupala menjadi ragu-ragu. Sekilas dipandanginya peronda yang gemetar. Kemudian
ditatapnya wajah Wrahasta yang membara. Namun sementara ia masih ragu-ragu, ia
mendengar langkah beberapa orang berlari-lari mendekat. Ketika ia berpaling,
dilihatnya beberapa orang pengawal datang beramai-ramai. Mereka agaknya
mendengar dari pengawal yang berusaha memberitahukan peristiwa itu kepada
Samekta. Dengan demikian Gupala menjadi semakin ragu-ragu. Terngiang
ditelinganya kata-kata gurunya, bahwa orang tua itu tidak dapat melepaskannya
sendiri. Karena itu pula maka setiap kali Gupita lah yang mendapat kesempatan.
“Seandainya
Gupita yang mengalami hal ini, apakah yang akan dilakukan?” pertanyaan itu
timbul di dalam hatinya.
Beberapa orang
pengawal segera memutari kedua orang yang sedang berhadapan itu. Dan
mereka pun segera menjadi berdebar-debar
karenanya. Wrahasta telah menggenggam senjata di tangannya, namun Gupala masih
nampak berdiri termangu-mangu.
“Cepat!”
teriak Wrahasta. “Cepat cabut senjatamu!”
Gupala menarik
nafas dalam-dalam. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling, ke arah
wajah-wajah yang tegang di sekitarnya.
“Cepat!”
sekali lagi ia mendengar Wrahasta berteriak.
“Aku akan
mulai. Terserah kepadamu, apakah kau akan melawan dengan pedangmu atau tidak.
Aku benar-benar akan membunuhmu.”
Gupala menjadi
semakin berdebar-debar ketika ia melihat Wrahasta melangkah maju. Sudah tentu
ia tidak akan dengan begitu saja menyerahkan lehernya. Apalagi kepada raksasa
yang dianggapnya terlampau bodoh itu. Gupala melangkah surut ketika Wrahasta
sudah mulai memutar pedangnya. Dengan nada yang dalam ia bertanya,
“Apakah kau
sudah benar-benar gila, Wrahasta?”
“Persetan!”
mata Wrahasta menjadi semakin membara.
Dalam
ketegangan yang memuncak itulah, Samekta datang tergesa-gesa bersama Kerti.
Langsung disibakkannya orang-orang yang berada di sekitar Wrahasta dan Gupala
yang sedang berhadapan itu. Dengan lantang Samekta berteriak,
“He, apakah
kalian sudah menjadi gila semua?”
Keduanya serentak
berpaling. Mereka melihat wajah Samekta yang merah menahan gelora di dalam
perasaannya. Dengan tangan gemetar ia menunjuk kedua orang itu berganti-ganti,
“Beginilah
jalan yang paling baik bagi kalian?”
“Ia menghina
aku,” sahut Wrahasta.
“Anak gila itu
sama sekali tidak menghiraukan lagi ketetapan yang ada di atas tanah perdikan
ini. Bagaimanapun juga aku adalah salah seorang pemimpin di sini. Dan ia adalah
seorang pendatang.”
“Apa yang
telah dilakukannya?”
“Ia tidak
menghiraukan perintahku.”
Samekta mengerutkan
keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya,
“Apakah
perintahmu itu?”
“Aku tidak
boleh makan di dapur,” sahut Gupala dengan serta-merta.
“Aku tidak
bertanya kepadamu,” bentak Samekta yang sedang marah itu.
Terasa sesuatu
melonjak di dada Gupala. Orang ini pun telah menyakitkan hatinya pula. Namun ia
masih mencoba menahan diri. Agaknya Samekta pun telah benar-benar menjadi
marah. Sebagai pimpinan tertua ia merasa tersinggung sekali atas peristiwa itu.
Selagi seluruh kekuatan dihimpun untuk menghadapi puncak pertentangan di Tanah
Perdikan Menoreh, maka telah terjadi perselisihan di dalam kandang sendiri.
“Wrahasta,”
berkata Samekta,
“aku minta,
setiap diri kita masing-masing harus mencoba menyingkirkan persoalan-persoalan
yang tidak menguntungkan bagi Tanah ini. Kalau kita masing-masing masih saja
membiarkan perasaan kita berbicara, maka kita tidak akan mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan yang jauh lebih besar dari persoalan-persoalan sehari-hari,
persoalan tetek-bengek yang sama sekali tidak berarti.”
Wrahasta yang
masih dibakar oleh perasaannya, dan apalagi ketidak-mampuannya melawan Gupala,
masih belum dapat menahan dirinya sehingga ia menjawab,
“Jadi, kau
menyalahkan aku?”
Samekta
mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Aku
menyalahkan kalian berdua. Apa pun alasannya tetapi kalian telah berkelahi,
sedang kalian tahu, bahwa kita sedang berada di ambang pintu perang yang akan
menentukan keadaan kita.”
“Tetapi apakah
dengan demikian aku harus membiarkan orang asing menginjak-injak semua
ketetapan dan ketentuan yang berlaku di atas tanah perdikan ini?” teriak
Wrahasta.
Samekta yang
marah menjadi semakin marah. Namun sebelum ia berteriak pula, terdengar suara
Kerti,
“Sebaiknya
kita yang mencoba memadamkan pertentangan ini jangan terlibat dalam pertentangan
baru.” Lalu kepada Wrahasta ia bertanya,
“Wrahasta,
cobalah kau menuai persoalan yang baru saja terjadi. Apakah sudah sepatutnya
kalian bertempur apalagi dengan pedang di tangan? Apakah sebenarnya sumber
persoalannya?”
“Aku tidak
dapat dihina.” jawab Wrahasta.
“Kalau kalian
telah terlibat di dalam pertengkaran, maka sudah tentu masing-masing merasa
terhina. Tetapi apabila kalian sempat, cobalah melihat, apakah yang menyebabkan
pertentangan dan pertengkaran itu? Dengan demikian maka persoalannya akan dapat
diletakkan pada tempat yang sewajarnya dan pada saat yang lebih tepat.”
Wrahasta tidak
segera menjawab. Dahinya menjadi berkerut-merut.
“Sudah tentu
bahwa kalian tidak sedang mempertengkarkan Ki Tambak Wedi atau Sidanti. Sudah
tentu kalian tidak sedang mempertahankan kebenaran Argajaya, bahwa ia telah
memihak orang lain dan memusuhi kakaknya sendiri. Nah, sekarang lihat kepada
diri sendiri apakah yang kalian pertentangkan? Tentang makan pagi, atau tentang
bangun yang terlampau siang atau tentang pelayanan yang berbeda dan yang dapat
dianggap pelayanan yang khusus? Begitu? Dan masalah-masalah serupa itu telah
membuat kalian mempertaruhkan nyawa kalian yang akan menjadà jauh lebih
berharga apabila nyawa-nyawa itu kalian pertaruhkan di medan peperangan?”
Wrahasta masih
tetap diam. Namun kata-kata Kerti itu berhasil menyentuh hatinya. Tanpa
sesadarnya ia mencoba menelusur, sebab-sebab kemarahannya. Namun tiba-tiba ia
menggeretakkan giginya, meskipun kepalanya masih tertunduk. Ternyata Wrahasta
tidak berani melihat sebab yang sebenarnya dari semua peristiwa itu. Meskipun
sekilas melintas pula di kepalanya, perkelahiannya dengan Gupita dan kini
dengan Gupala.
Dalam pada
itu, ketika semua wajah menjadi tegang, dengan tergesa-gesa Gupita dan gurunya
menerobos ke dalam lingkaran yang mengelilingi Wrahasta dan Gupala. Dengan
sorot mata yang tajam gembala tua itu memandangi wajah Gupala yang kemudian
menunduk dalam-dalam.
“Gupala,”
terdengar ia berdesis, “apakah yang telah kau lakukan?”
Gupala tidak
menyahut. Tetapi yang terdengar adalah suara Kerti,
“Tidak ada
apa-apa, Kiai. Semuanya sudah selesai.” Lalu kepada kedua anak-anak muda yang
berada di dalam lingkaran,
“Bukankah
begitu?”
Keduanya tidak
menjawab. Dan Kerti berkata lagi untuk mengendorkan suasana yang tegang,
“Nah, bukankan
mereka diam? Seperti gadis yang ditawari lamaran jejaka, kalau ia diam, berarti
ya.”
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
berkata,
“Syukurlah
kalau semuanya sudah selesai. Aku mendengar bahwa Gupala telah berkelahi dengan
Angger Wrahasta selagi aku berada di parit. Terpaksa aku dengan tergesa-gesa
kemari.”
“Nah, masalah
ini tidak usah kita perbincangkan lagi,” lalu Kerti berkata kepada para
pengawal yang berkerumun,
“Semua kembali
ke tempat kalian.”
Maka kerumunan
orang-orang Menoreh itu pun kemudian
menipis, semakin lama semakin habis. Wrahasta pun kemudian meninggalkan tempat
itu pergi ke regol induk sambil bersungut-sungut. Samekta dan Kerti masih
berdiri di tempatnya. Sejenak mereka memandangi gembala tua beserta kedua
anaknya yang kemudian duduk di gardu itu kembali.
“Wrahasta
tidak dapat mengendalikan perasaannya,” desis Samekta.
“Dan kau pun
juga. Hampir saja,” sahut Kerti.
Samekta
menarik nafas.
“Ya. Aku
menjadi sangat kecewa atas peristiwa ini. Sudah tentu Wrahasta telah dibakar
oleh perasaan cemburu itu. Dan agaknya anak muda yang gemuk ini tabiatnya agak
berbeda dari kakaknya. Mungkin ia masih terlampau muda untuk menanggulangi
keadaan sebaik-baiknya.”
Kerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Gembala tua
itu pun agaknya sedang menasehati
anaknya.”
Keduanya pun
kemudian mendekat ke gardu. Beberapa langkah dari gardu itu Samekta berhenti
sambil berkata,
“Maaf, Kiai.
Mudah-mudahan hal yang serupa tidak terjadi lagi.”
“Ya, aku pun minta maaf. Anakku yang seorang ini
memang agak bengal.”
Samekta dan
Kerti pun kemudian meninggalkan gembala tua itu bersama kedua anaknya untuk
menemui Wrahasta. Mereka mengharap bahwa Wrahasta tidak menjadi semakin gila
karenanya. Kedua orang itu menemukan Wrahasta sedang berdiri di muka regol
memandang jauh ke dalam rimbunnya batang lalang yang tumbuh semakin liar di
luar padukuhan itu. Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa hati
Wrahasta pasti lagi sakit. Ia merasa semakin jauh dari harapan yang sudah lama
diletakkannya kepada gadis puteri Kepala Tanah Perdikannya. Kehadiran kedua
gembala muda itu telah merusak segenap impiannya, sehingga karena itu, maka
pertimbangannya telah menjadi sumbang. Samekta dan Kerti tidak segera
menyapanya. Tetapi keduanya berhenti beberapa langkah di belakang anak muda
yang bertubuh raksasa itu. Keduanya mengerutkan keningnya ketika mereka melihat
Wrahasta berpaling. Dengan tajamnya anak muda itu memandang kedua pemimpin
Menoreh itu.
“Apa yang kita
tunggu lagi?” tiba-tiba anak muda itu berkata lantang.
“Apakah yang
kita tunggu? Sekarang dan nanti petang tidak ada bedanya lagi bagi kita. Justru
sekarang kita akan mendapat waktu untuk mengejutkan mereka, selagi mereka belum
bersiaga.”
“Sabarlah,
Anak Muda,” jawab Kerti.
“Nanti petang
pun mereka pasti belum mengetahui, bahwa kitalah yang akan datang menjenguk
mereka.”
“Tetapi
kemungkinan itu pasti ada.”
“Kalau kita
tidak mengatakannya kepada siapa pun, maka kemungkinan itu akan sangat
dibatasi,” jawab Kerti.
Wrahasta
mengerutkan keningnya, kemudian menarik nafas dalam-dalam.
“Aku sudah
tidak sabar lagi. Aku tidak betah lagi tinggal di dalam lingkaran pring ori
yang sempit ini.”
“Semuanya
bersikap serupa. Kami pun sudah tidak tahan lagi tinggal berjejal-jejal di padukuhan
yang miskin ini. Makan tidak teratur dan bahkan kadang-kadang tidak memenuhi
keinginan dan selera kita masing-masing. Tetapi bagaimanapun juga kita harus
mematangkan perhitungan di setiap gerakan, supaya kita tidak akan menyesal lagi
kelak.”
Wrahasta tidak
menjawab. Tetapi kembali ia memandang ke kejauhan. Seakan-akan ia ingin melihat
langsung ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh yang sedang dibakar oleh api
pertengkaran di antara keluarga sendiri. Tiba-tiba raksasa itu menggeram,
“Hidup matiku
untuk Tanah ini.”
Samekta dan
Kerti saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka seperti berjanji menarik
nafas dalam-dalam.
“Beristirahatlah,
Ngger,” desis Kerti.
“Tidak ada
waktu untuk bermalas-malasan di atas tanah ini. Aku akan menghubungi setiap pemimpin
kelompok, agar mereka menyiapkan diri mereka sebaik-baiknya.”
“Tetapi
perintah penyerangan petang nanti belum dapat dijatuhkan.”
“Aku tahu, aku
tahu.”
Wrahasta tidak
menunggu jawaban lagi. Ia pun segera melangkah pergi meninggalkan Samekta dan
Kerti termangu-mangu di tempatnya. Beberapa orang yang berada di gardu di
samping regol itu pun melihat, betapa Wrahasta bersikap kaku dengan wajah yang
berkerut-merut. Mereka pun mengerti apa yang baru saja terjadi atas anak muda
yang bertubuh raksasa itu, meskipun mereka tidak mendengar dengan jelas
percakapan raksasa yang sedang kecewa itu dengan Samekta dan Kerti.
“Sayang bahwa
pertengkaran itu telah terjadi,” desis salah seorang dari para peronda itu.
“Wrahasta
kurang dapat mengendalikan diri,” jawab yang lain.
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau mereka tidak tahu benar apa yang terjadi
di gardu itu, maka mereka pun akan dibakar pula oleh kekecewaan terhadap anak
gembala yang gemuk itu. Tetapi mereka telah mendengar pula, bahwa dengan tiba-tiba
seakan-akan tanpa sebab Wrahasta menjadi marah, sehingga keduanya bertengkar.
Apalagi anak gembala yang gemuk itu telah menunjukkan kemampuannya di dalam
peperangan. Banyak orang yang melihat, bagaimana ia membunuh Ki Muni setelah Ki
Muni itu melukainya. Kemudian bagaimana ia bertempur di antara hiruk-pikuk
peperangan dan menjatuhkan banyak korban pada lawan. Sementara itu Samekta dan
Kerti pun kemudian pergi ke rumah yang mereka pergunakan sebagai pusat pimpinan
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ketika mereka memasuki halaman rumah itu
terdengar Samekta berdesis,
“Mudah-mudahan
Wrahasta dapat melihat kepentingan yang lebih besar dari kepentingannya
sendiri.”
“Aku masih
tetap percaya kepadanya,” sahut Kerti.
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Bagi para
pemimpin Menoreh, hari terasa terlampau lamban bergerak. Matahari mengambang
dengan malasnya, seakan-akan tidak bergerak dari tempatnya. Setiap kali Samekta
dan Kerti dengan gelisah melangkah ke luar, memandang ke langit dan berjalan
hilir-mudik.
“Aku akan
tidur,” berkata Samekta.
“Aku akan
melupakan waktu yang menjemukan ini.”
“Tidurlah.
Kemudian bergantian.”
“Tetapi aku
kurang biasa tidur di siang hari.”
“Berbaringlah.”
Samekta pun mencoba untuk tidur. Ia merasa telah
disiksa oleh waktu. Sementara Kerti pun kemudian pergi ke gardu di sebelah
regol di jalan induk padukuhan itu.
Ketika gembala
tua itu pergi ke pondok yang dipakai oleh Ki Argapati untuk melihat
perkembangan kesehatannya, maka mawanti-wanti ia berpesan kepada Gupala,
“Kau jangan
berbuat bodoh lagi. Jagalah dirimu. Kita masih diperlukan.”
Gupala
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Pergilah ke
gardu induk. Ingat, jangan berbuat sesuatu yang dapat menyulitkan keadaan.
Kehancuran Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya menjadi kepentingan kita pula.
Sadarilah.”
Gupala masih
mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia berkata di dalam hatinya,
“Asal anak itu
tidak menginjak kepalaku. Kalau hal itu dilakukannya, apa boleh buat.” Tetapi
bagaimanapun juga. Gupala menyadari, bahwa ia pun berkepentingan juga atas
orang-orang yang telah disebut oleh gurunya itu.
Berdua bersama
Gupita, Gupala pun pergi ke gardu induk di regol padukuhan. Sambil menundukkan
kepalanya, Gupala mencoba menilai keadaan yang sedang dihadapinya. Anak muda
yang gemuk itu tiba-tiba saja menarik nafas sambil berdesah. Adalah kebetulan
sekali bahwa Ki Argapati pun sedang berusaha membinasakan Ki Tambak Wedi. Kalau
ia bersama kakak seperguruannya dan gurunya bertiga saja, mustahil mereka dapat
menghancurkan iblis itu.
“Kita saling
memanfaatkan,” desisnya.
“Ki Argapati
memerlukan kami, dan kami memerlukan pasukan. Betapa dahsyatnya ilmu Guru,
tetapi sudah tentu ia tidak akan dapat melawan seluruh pasukan Ki Tambak Wedi.
Dan ternyata Ki Argapati sudah menyediakan pasukan itu buat kami.”
Tanpa
sesadarnya Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini terasa olehnya, memang
sama sekali tidak menguntungkan bertengkar dengan orang-orang Menoreh dalam
keadaan serupa ini. Tetapi ia tidak tahu, kenapa Wrahasta tiba-tiba saja telah
membentak-bentaknya.
“Orang itu
agaknya memang seorang pemarah,” desisnya, “atau seseorang yang menaruh
prasangka terlampau tajam di dalam hatinya. Mungkin ia menyangka bahwa kami
adalah orang-orang serupa dengan Ki Peda Sura, yang mendapat janji-janji dari
Ki Argapati.”
Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Mungkin ia
berpendapat demikian. Mungkin.”
Tetapi Gupala
tidak bertanya kepada Gupita. Sekilas anak muda yang gemuk itu memandang wajah
kakak seperguruannya, tetapi Gupita berjalan sambil menundukkan kepalanya.
“Kakang Gupita
pernah mengalami perlakuan serupa,” desisnya di dalam hati.
Ketika
keduanya sampai di gardu di dekat regol, mereka melihat beberapa orang sedang
berkerumun. Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di dalam dada anak-anak muda itu.
Apalagi Gupala. Katanya di dalam hati,
“Apakah
Wrahasta berada di situ pula?”
Tetapi
ternyata Wrahasta tidak ada. Mereka menyambut kedatangan keduanya dengan ramah.
Bahkan salah seorang dari mereka, yang pernah mengenal bahwa anak yang gemuk itu
senang berkelakar, bertanya,
“He, lain kali
kalau kau ingin tidur sampai tengah hari, tidurlah di sini. Di belakang gardu,
sehingga tidak ada orang yang melihatmu.”
Gupita dan
Gupala mengerutkan keningnya. Namun kemudian mereka tersenyum. Sapa itu telah
memberikan kesan kepada mereka, bahwa anak-anak muda dari tanah perdikan ini
tidak mudah diseret oleh perasaan tanpa pertimbangan. Mereka tidak dengan
serta-merta berpihak kepada Wrahasta, apa
pun yang sebenarnya telah terjadi.
“Terima
kasih,” sahut Gupala,
“lain kali.
Tetapi apabila tiba-tiba saja kepalaku dipenggal oleh Ki Tambak Wedi, maka aku
tidak akan dapat tidur lagi di padukuhan ini.”
Anak-anak di
dalam gardu itu tertawa. Salah seorang dari mereka bertanya,
“Apakah kau
ingin begitu?”
Gupala
menggeleng,
“Tentu tidak.
Apalagi aku masih ingin makan jenang jagung.”
Anak-anak muda
di dalam gardu itu tertawa semakin keras. Salah seorang dari mereka tiba-tiba
saja meloncat mendekati Gupala, dan langsung membimbingnya.
“Mari, aku
tunjukkan di mana kau harus tidur.”
Gupala tidak
menolak. Ia mengikuti saja kemana ia dibawa.
“He, menepi,”
berkata anak muda yang menarik tangan Gupala itu.
“Tidurlah
melekat dinding itu. Kami akan duduk berjajar melindungimu.”
Gupala
tertawa. Beberapa orang telah menyibak. Salah seorang berkata,
“Nah, tidurlah
di situ.”
Tetapi
tiba-tiba Gupala mengerutkan keningnya,
“He, daun
bekas bungkus apa saja itu?”
“Makan pagi
kami.”
“Kalian sudah
makan pagi?”
“Baru saja.”
“Celakalah
kita,” berkata Gupala kepada Gupita,
“di gardu di simpang
empat itu makanan belum datang. Ketika kami sampai kemari makan sudah lampau.”
“Hus,” desis
Gupita. Tetapi anak-anak muda yang mendengarnya tertawa semakin riuh. Salah
seorang dari mereka tiba-tiba saja berlari ke belakang gardu itu. Sejenak kemudian
ia kembali sambil membawa dua bungkus nasi,
“Ini kami
masih menyediakan buat kalian.”
Gupita
tersenyum kecut, tetapi Gupala menjawab,
“Nah, terima
kasih. Tetapi mana buat Kakang Gupita?”
“Bukankah itu
dua bungkus?”
“O, aku kira
ini buat aku sendiri.”
“Macammu,”
desis Gupita. Tetapi ia menerima juga sambil tertawa ketika Gupala memberinya
sebungkus,
“Marilah kita
makan, Kakang. Kita tidak perlu malu. Kalau perut kita ingin berisi juga.”
Gupita masih
saja tersenyum-senyum. Tetapi ia tidak dapat berbuat seperti Gupala, yang
langsung membuka bungkusannya dan makan sendiri di antara anak-anak muda yang
tertawa berkepanjangan. Gupita terpaksa menepi dan duduk di sisi gardu itu
sambil membuka bungkusannya. Demikianlah anak-anak muda itu mengisi waktunya
sambil berkelakar Tetapi mereka sama sekali tidak melepaskan kewaspadaan. Di
muka regol dua orang penjaga tetap di tempatnya mengawasi keadaan. Setiap kali
petugas-petugas sandi datang dan pergi dengan keterangannya msasing-masing yang
langsung disampaikannya kepada Kerti.
Lewat tengah
hari Wrahasta datang ke gardu itu pula. Ketika ia melihat kedua anak-anak muda
itu berada di sana juga, ia mengerutkan keningnya. Namun kemudian acuh tidak
acuh ia meninggalkan gardu itu. Sejenak ia singgah ke regol. Dipandanginya
batang-batang ilalang yang terbentang di hadapannya. Tanpa sesadarnya ia
berdesis,
“Kalau
peperangan ini selesai, maka ilalang itu pun harus dibabat.”
Para penjaga
regol, yang mendengar desis itu berpaling. Namun mereka tidak menyahut. Mereka
melihat Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian menekan dadanya
dengan sebelah telapak tangannya. Tetapi raksasa itu tidak berkata sepatah
kata pun lagi. Bahkan dengan
tergesa-gesa ia pergi meninggalkan regol itu menuju ke tempat pimpinan pasukan pengawal.
Semakin condong matahari ke Barat, maka padukuhan itu menjadi semakin sibuk.
Samekta yang tidurnya ternyata tidak juga dapat dirubah di siang hari, telah
memanggil setiap pemimpin kelompok. Meskipun ia belum mengatakan sesuatu, namun
para pemimpin kelompok itu telah merasa, bahwa pasti akan ada sesuatu yang
penting. Beberapa orang pemimpin kelompok duduk sambil berbincang di halaman,
yang lain di tangga pendapa sambil membelai senjata masing-masing. Sedang yang
lain lagi berada bersama para pengawal yang sedang bertugas di regol halaman. Samekta,
Kerti, dan Wrahasta masih berada di pringgitan. Mereka sedang memperbincangkan
kemungkinan untuk memberitahukan rencana penyerangan itu kepada para pemimpin
kelompok.
“Sebaiknya
kedua prajurit dan gembala tua itu hadir di antara kita,” desis Samekta.
Kerti
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku sependapat. Bagaimana kau, Wrahasta.”
Wrahasta
terperanjat. Ternyata ia tidak mendengar pertanyaan itu dengan baik, sehingga
ia bertanya,
“Bagaimana
Paman?”
Kerti mengerutkan
keningnya. Namun ia mengulangi,
“Sebaiknya
kedua prajurit dan gembala tua itu ada di antara kita sekarang, selagi kita
menyampaikan persoalan rencana penyerangan ini kepada para pengawal.”
“O,” Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“baik. Aku sependapat.”
Namun Wrahasta itu pun kemudian menundukkan kepalanya kembali. Sesuatu agaknya
telah mengganggu angan-angannya. Dan orang-orang tua itu pun segera memahami.
“Aku akan
menyuruh seorang penghubung memanggilnya,” desis Samekta.
“Tetapi,”
Wrahasta memotong,
“pimpinan
Tanah Perdikan ini masih belum lengkap. Masih ada seorang lagi yang justru
terpenting di antara kita.”
“Siapa? Ki
Argapati?”
“Tidak. Sudah
jelas bagi kita, Ki Argapati sedang sakit. Kalau ia memaksa diri untuk ikut ke
medan perang sebenarnya malahan akan menambah pekerjaan kita saja.”
“Lalu siapakah
yang kau maksud?”
“Yang
mewakilinya. Satu-satunya keluarganya yang masih setia kepada tanah perdikan
ini.”
“Pandan Wangi
maksudmu?” bertanya Kerti.
“Ya.”
Kedua orang
tua-tua itu menarik nafas dalam-dalam,
“Kalau Ki
Argapati tidak berkeberatan, baik juga kiranya ia hadir,” gumam Samekta
kemudian.
“Baiklah aku
sendiri akan memanggil mereka,” berkata Wrahasta kemudian.
“Jangan,”
Kerti memotong,
“biarlah
anak-anak saja yang pergi. Kau tetap di sini. Banyak masalah yang harus kita
percakapkan sebelumnya.”
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian mengangguk sambil berkata.
“Terserahlah
kepada Paman kalau aku memang diperlukan di sini.”
“Baiklah kau
tinggal di sini,” berkata Samekta pula,
“aku akan
menyuruh para pengawal yang ada di halaman.”
“Siapakah yang
akan Paman suruh?”
Samekta
tertegun sejenak. Namun kemudian ia menarik nafas sambil menjawab,
“Salah seorang
dari para pengawal di halaman.”
Wrahasta tidak
menjawab. Tetapi ia pun berdiri juga dan
berjalan di belakang Samekta keluar pringgitan.
Ketika
ternyata Samekta menyuruh seorang pengawal tanah perdikan untuk menemui Ki
Hanggapati dan Dipasanga serta gembala tua itu, maka Wrahasta pun kemudian
masuk pula ke dalam pringgitan. Ia telah mendengar juga, penghubung itu harus
mencoba menemui Pandan Wangi, apakah ia dapat hadir dalam pembicaraan ini. Ternyata
mereka tidak perlu menunggu terlampau lama. Setiap orang menyadari, bahwa waktu
pada saat-saat yang demikian itu, menjadi sangat berharga. Dan ternyata bahwa
Ki Argapati pun telah melepaskan Pandan Wangi untuk ikut mendengar pembicaraan
para pemimpin itu.
“Waktunya
telah hampir tiba,” desis Samekta di hadapan mereka,
“sebentar lagi
matahari akan turun dengan cepat.”
Belum
seorang pun yang menyahut.
“Petugas sandi
yang terakhir datang melaporkan, bahwa tidak ada tanda-tanda yang khusus dapat
dilihatnya di padukuhan induk, meskipun orang itu tidak berhasil mendekat.
Tetapi kesibukan yang dilihatnya tidak meningkat. Peronda yang nganglang pun tidak bertambah, dan pemusatan itu pun
tidak dapat mengatakan, bahwa mereka telah menyiapkan diri seperti kita, dengan
diam-diam.”
“Ada
perbedaan,” potong Kerti.
“mereka tidak
dapat melihat kita begitu jelas seperti kita melihat mereka, karena padukuhan
ini dikelilingi oleh pring ori.”
“Ya, tetapi
padukuhan ini jauh lebih sempit dari padukuhan induk,” sahut Samekta.
“Tetapi kita
akan datang dengan gelar. Kita akan datang dari depan beradu dada,” geram
Wrahasta.
“Ya,” sahut
Samektla,
“justru karena
itu kita harus benar-benar siap lahir dan batin.”
Para pemimpin
itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah kita
sudah siap memberitahukan rencana ini?” bertanya Samekta.
Sejenak mereka
saling berpandangan.
“Bagaimanakah
pendapat kalian?”
Hanggapati
beringsut sejengkal. Katanya,
“Kita sudah
dikejar waktu. Aku kira saatnya sudah tepat. Kita tidak akan terlambat dengan
persiapan kita, dan kesempatan bagi petugas sandi lawan pun sudah dapat
dibatasi.”
Yang mendengar
kata-kata Hanggapati itu pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Memang sudah datang waktunya. Dan waktu itu
kini serasa mudah berkejaran setelah sekian lama mereka menunggu dengan
gelisah.
“Baiklah,”
berkata Samekta. “Apakah ada pikiran lain?”
Tidak ada
seorang pun yang berbicara.
“Jika
demikian, aku akan segera menemui para pemimpin kelompok untuk mempersiapkan
diri mereka dengan segera. Sebentar lagi, apabila matahari telah terbenam, kita
akan segera berangkat.”
Orang-orang
yang ada di ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Aku akan
menemui para pemimpin di pendapa rumah sebelah,” berkata Samekta.
Maka sebentar
kemudian, Samekta telah duduk di hadapan para pemimpin kelompok yang sebentar
lagi harus menyusun barisan yang akan pergi ke induk padukuhan. Induk dari
Tanah Perdikan Menoreh yang beberapa saat yang lampau telah diambil oleh
Sidanti beserta gurunya.
Pada saat
Samekta sedang sibuk berbicara tentang rencananya, maka Pandan Wangi yang ikut
mendengarkan dengan sepenuh minat, terkejut ketika seseorang menggamitnya. Ketika
gadis itu berpaling, dilihatnya dekat di belakangnya duduk Wrahasta yang justru
beringsut maju.
“Maaf, Pandan
Wangi,” bisiknya, “aku sudah tidak mempunyai waktu lagi.”
“Ah,” desah
Pandan Wangi, “besok atau lusa kita masih akan bertemu.”
Wrahasta menggelengkan
kepalanya, “Belum tentu, Pandan Wangi. Siapa tahu aku akan mati malam nanti.”
“Jangan
berkata begitu.”
“Kalau hal itu
harus terjadi, pasti akan terjadi.”
“Tetapi kita
tidak mengharapkan. Aku dan kau mengharap bahwa kita akan bertemu besok, lusa, dan
seterusnya.”
“Hanya sekedar
bertemu?”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. Sesaat-sesaat ia
mendengar keterangan Samekta kepada para pemimpin kelompok, namun suaranya
kadang-kadang hilang di dalam gemerisik gejolak di hatinya.
“Kau tinggal
menjawab sepatah kata,” desak Wrahasta. “Atau kau dapat mempergunakan isyarat.
Kau dapat mengangguk atau menggelengkan kepalamu.”
Pandan Wangi
masih menunduk.
“Wangi.”
Pandan Wangi
sama sekali tidak menjawab dan tidak menggerakkan kepalanya.
Wrahasta menarik
nafas dalam-dalam. Desisnya,
“Perang malam
nanti adalah perang yang dahsyat. Kita akan berjuang mati-matian untuk merebut
padukuhan induk itu. Kita tidak akan meninggalkan medan selagi kita masih
hidup. Namun agaknya Sidanti dan Ki Tambak Wedi pun akan bertekad serupa.
Mereka tidak akan meninggalkan padukuhan yang telah mereka rebut. Karena itu
perang yang akan terjadi adalah perang antara hidup dan mati.”
Pandan Wangi
masih tetap berdiam diri.
“Dengan
demikian, Pandan Wangi, aku tidak tahu, apakah aku masih akan dapat melihat kau
lagi.”
Wajah Pandan
Wangi yang tunduk menjadi semakin menunduk. Hatinya serasa tergores oleh
perasaan iba. Ia sama sekali tidak bermimpi untuk menganggapi perasaan Wrahasta
terhadapnya. Tetapi ia tidak sampai hati untuk menggelengkan kepalanya
mendengar kata-kata anak muda yang mendekati keputus-asaan itu.
“Bagaimana,
Wangi?”
Dada Pandan
Wangi menjadi pepat. Tenggorokannya serasa tersumbat dan pelupuk matanya
menjadi panas. Hampir saja ia lupa bahwa ia sedang duduk di hadapan para
pemimpin kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Hampir saja ia lupa
kini membawa sepasang pedang di lambungnya.
Betapa ia
bersusah payah menahan perasaannya sebagai seorang gadis di antara hiruk-pikuk
pembicaraan mengenai perang.
Pandan Wangi
tersentak ketika ia mendengar suara gemuruh,
“Kami bersedia
untuk mati demi Tanah ini. Demi Tanah ini.”
Pandan Wangi
mengangkat wajahnya. Ia melihat beberapa orang mengepalkan tinjunya.
Namun kembali
dadanya serasa retak ketika ia mendengar desis,
“Aku pun bersedia mati demi Tanah ini.” Kemudian,
“Dan demi kau, Wangi.”
“Oh,” Pandan
Wangi mengeluh. Ditekannya telapak tangannya di dadanya.
“Jawablah
Wangi, sebelum aku mati.”
Pandan Wangi
tidak dapat menahan iba hatinya. Ia tidak dapat bertahan untuk tetap membatu.
Karena itu, hatinya yang luluh telah menggerakkan kepalanya. Hampir saja sebuah
anggukan kecil. Namun tiba-tiba anggukan kepala itu urung ketika ia mendengar
Samekta berkata lantang,
“Nah,
kembalilah ke pasukanmu. Cepat. Siapkan mereka. Malam ini kita akan merebut
kembali padukuhan induk lambang pusat pemerintahan Menoreh, Tanah Perdikan
Menoreh.”
Terdengar
sejenak hiruk-pikuk di antara para pemimpin kelompok itu. Semuanya ingin
menyatakan kesediaan mereka untuk merebut padukuhan induk itu. Namun dengan
demikian suara mereka tidak terdengar satu demi satu.
Meskipun
demikian Samekta menanggapinya,
“Terima kasih.
Terima kasih atas kesediaan kalian. Sekarang, pertemuan ini aku bubarkan.”
Hampir
serentak orang-orang yang berada di pendapa itu berdiri. Pandan Wangi pun berdiri pula bersama para pemimpin yang
lain. Dalam pada itu, para pemimpin kelompok itu pun segera menghambur turun dari pendapa
untuk dengan tergesa-gesa kembali ke kelompok masing-masing. Namun dalam pada
itu Samekta pun telah mengeluarkan
perintah, tidak boleh seorang pun keluar
dari padukuhan ini, supaya rencana ini tidak sampai terdengar oleh orang-orang
yang tidak berkepentingan, dan bahkan oleh petugas sandi Ki Tambak Wedi. Bahkan
Ki Samekta telah memerintahkan untuk mencegah kemungkinan segala macam tanda
dan isyarat yang dapat dilontarkan.
Dalam
hiruk-pikuk itu Wrahasta telah kehilangan kesempatannya pula untuk dapat
berbicara dengan Pandan Wangi. Kerti, Hanggapati, Dipasanga pun kemudian berbicara di antara mereka. Dan
Pandan Wangi ikut pula di dalam pembicaraan itu. Sedang Wrahasta yang sedang
berdiri dalam kekecewaan itu berpaling ketika Samekta berkata kepadanya,
“Kita pun harus berbagi.”
Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita harus
bekerja bersama dalam pimpinan seluruh pasukan. Aku akan berada di tengah.
Kerti di sayap kiri dan kau berada di sayap kanan.”
“Bagaimana
dengan orang-orang yang datang dari luar lingkungan kita itu?”
“Kita tidak
dapat menyerahkan pimpinan kepada mereka, biarlah mereka berada di dalam
barisan, tetapi supaya pimpinan gelar dapat berlangsung dengan baik, kitalah
yang akan memegangnya. Kita akan dapat bekerja bersama dengan cara dan
kebiasaan kita seperti yang diajarkan oleh Ki Argapati. Orang lain itu mungkin
mempunyai cara dan kebiasaan yang berbeda.”
Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Siapakah yang
akan pergi bersamaku?” bertanya Wrahasta.
“Salah satu
dari Ki Hanggapati atau Ki Dipasanga.”
“Lalu
bagaimana dengan gembala tua itu.”
“Tugasnya
menemui Ki Tambak Wedi. Dimana pun Ki
Tambak Wedi berada.”
“Lalu kedua
anak-anak gila itu?”
“Mereka pun harus mencari Ki Peda Sura.”
Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia melihat Pandan Wangi yang berbicara
dengan Kerti. Wrahasta tahu benar, bahwa Kerti adalah orang terdekat dari
Pandan Wangi sesudah ayahnya. Pada saat-saat Tanah Perdikan Menoreh tidak
sedang dilanda api pertentangan, Kerti selalu pergi mengantar gadis itu berburu
di hutan perburuan. Untunglah bahwa umur Kerti sudah berada di seputar setengah
abad, sehingga tidak menumbuhkan perasaan apa
pun di hati raksasa itu. Tetapi tiba-tiba saja datang anak-anak muda
yang telah menggelisahkannya. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Ia telah
kehilangan kesempatan untuk mendengar jawaban Pandan Wangi. Kalau pasukan ini
telah mulai tersusun, dan kemudian bergerak, maka ia tidak akan dapat berbicara
dan mendengar apa pun lagi dari Pandan
Wangi.
Tetapi
Wrahasta sama sekali tidak ingkar dari kewajibannya. Betapa hatinya dicengkam
oleh kekecewaan tentang dirinya sendiri, namun sebagai seorang pemimpin
pengawal ia tetap menengadahkan dadanya. Ia sadar, bahwa terutama anak-anak
muda Tanah Perdikan Menoreh selalu memperhatikannya. Kalau ia kehilangan gairah
perjuangannya, maka anak-anak muda itu pun akan kehilangan kemantapannya pula.
Dan Wrahasta tidak mau menjadi penyebab, apalagi menjadi penentu, dari
kekalahan pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh, hanya sekedar karena ia
tenggelam di dalam kepahitan perasaan secara pribadi. Dan Samekta pun kemudian berkata,
“Nah, marilah,
kita mulai menyusun barisan. Pada saat matahari terbenam, kita keluar dari
regol padukuhan ini, langsung menuju ke padukuhan induk dari tanah perdikan
ini.”
Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Samekta
pun kemudian memberitahukannya kepada Kerti dan Pandan Wangi.
“Angger akan
berada bersama Ki Gede,” berkata Kerti.
“Baik, Paman,
dan aku akan segera menyampaikannya kepada ayah.”
Sepercik
harapan tumbuh di dada Wrahasta, apabila ia dapat pergi bersama Pandan Wangi.
Tetapi sekali lagi ia menjadi kecewa ketika gembala tua itu berkata,
“Aku pun akan
pergi menghadap Ki Gede. Sebelum kita berangkat. Ki Gede harus mendapat
pengobatan yang baik. Dan bahwa harus disediakan persedaan obat di perjalanan,
apabila tiba-tiba saja Ki Gede memerlukan.” Orang itu berhenti sejenak, lalu
katanya kepada Pandan Wangi,
“Tetapi Angger
harus selalu ingat, dan setiap kali memperingatkan, bahwa Ki Gede harus tetap
di atas tandunya. Ki Gede tidak boleh dibakar oleh perasaannya sehingga
melupakan luka-lukanya yang masih belum sembuh benar.”
“Baik, Kiai,”
jawab Pandan Wangi.
“Nah, marilah
kita pergi bersama-sama.”
Ketika Pandan
Wangi minta diri kepada para pemimpin yang hadir di pendapa itu, ia melihat
mata Wrahasta yang redup. Terasa dada gadis itu berdesir, dan kepalanya pun
tertunduk karenanya. Pandan Wangi mengangkat wajahnya ketika Samekta berkata,
“Kami sudah
mulai menyusun barisan kami. Pada saatnya kami akan menghadap dan
memberitahukan bahwa kami akan segera berangkat.”
“Baik, Paman.
Aku akan menyampaikannya kepada ayah.”
Maka Pandan
Wangi pun kemudian meninggalkan pertemuan itu bersama gembala tua, yang sedang
merawat Ki Argapati. Dengan cermat gembala tua itu kemudian memeriksa luka-luka
di dada Argapati kemudian membubuhinya obat yang baru sebelum mereka berangkat
ke medan perang. Sementara Pandan Wangi menceriterakan tentang para pengawal
yang dengan setia akan ikut di dalam barisan merebut kembali kekuasaan atas
padukuhan induk sebagai lambang kekuasaan atas Tanah Perdikan Menoreh. Setelah
selesai dengan perawatannya atas luka Ki Argapati, maka gembala tua itu pun
minta diri, untuk menemui kedua anak-anaknya yang harus diberitahu pula, apakah
tugas mereka di dalam peperangan yang akan datang.
“Mudah-mudahan
mereka berhasil, Kiai,” berkata Ki Argapati.
“Anak-anakmu
masih sangat muda. Yang gemuk itu agaknya lebih bebas menggerakkan senjatanya
daripada kakaknya.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Argapati pasti sudah mendengar laporan
tentang kedua gembala itu. Memang Gupala lebih memberi kesempatan perasaan
berbicara. Juga di medan perang, sehingga ia pasti menelan korban jauh lebih
banyak dari Gupita. Orang yang tidak menyaksikan cara mereka bertempur akan
menganggap bahwa Gupala mempunyai beberapa kelebihan dari Gupita. Kelebihan itu
adalah, Gupala hampir tidak pernah ragu-ragu membelah dada lawan. Tetapi Gupita
mempunyai pembawaan yang lain. Ragu-ragu dan bimbang. Bahkan kadang-kadang ia
membayangkan hal-hal yang dapat mengurungkan niatnya untuk membinasakan
lawannya.
“Di medan yang
hiruk-pikuk, keragu-raguannya itu dapat membahayakan jiwanya,” berkata orang
tua itu di dalam hati,
“tetapi bukan
seharusnya ia membunuh lawannya seperti menebas batang-batang ilalang.”
Gembala tua
itu menemukan Gupala dan Gupita duduk di atas setumpuk jerami di dekat gardu
bersama beberapa orang anak-anak muda. Agaknya mereka pun sedang menunggu penjelasan untuk diri
mereka masing-masing.
“Itu ayah
datang,” desis Gupita.
“Aku harus
menemuinya. Mungkin aku harus mengikutinya.”
“Ya, mungkin
kau harus mengikuti ayahmu mengambil seekor atau dua ekor kambing. Setelah kita
merebut kembali padukuhan induk itu, kita akan bersembunyi,” berkata salah
seorang dari mereka.
“Kenapa?”
“Daging
panggang.”
“Uh,” Gupala
bersungut-sungut,
“kau sangka di
padukuhan induk itu kekurangan kambing, bahkan sapi atau kerbau? Aku justru
akan mengambil lima atau sepuluh ekor kambing. Aku akan menjadi seorang gembala
yang kaya.”
“Aku tangkap
kau. Bukankah aku pengawal tanah perdikan ini.”
“Tetapi kau
tidak akan dapat melihat.”
Anak muda itu
tidak sempat menjawab, karena Gupala segera menutup kedua telinganya sambil
berlari-lari mendapatkan gurunya. Gupita yang tersenyum melihatnya masih
mendengar anak-anak muda itu tertawa dan salah seorang berteriak,
“Pengecut.
Jangan lari.”
Meskipun
Gupala mendengarnya, tetapi ia tidak berpaling. Tangannya masih menyumbat kedua
telinganya meskipun tidak terlampau rapat.
“Apa saja yang
kalian bicarakan?” bertanya gembala tua itu sambil mengerutkan keningnya.
Gupala
menggeleng,
“Tidak
apa-apa. Sekedar berkelakar.”
Gurunya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara, itu Gupita pun telah berdiri di samping anak muda yang
gemuk itu.
“Sebentar lagi
kita akan berangkat,” desis gurunya.
“Ya, aku sudah
mendengar,” sahut Gupita.
“Anak-anak
muda itu telah mendapat penjelasan dari para pemimpin kelompok masing-masing.
Kini mereka telah bersiap. Sebentar lagi mereka harus berkumpul di kelompok
masing-masing.”
“Ya,
begitulah. Kalian pun harus segera menyiapkan diri pula. Tidak ada waktu lagi
untuk bermalas-malas.”
Kedua
anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita tidak
akan berada di dalam barisan. Kita mendapat keleluasaan untuk menemukan
lawan-lawan kita. Seperti juga Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga.”
Kedua
anak-anak muda itu mengangguk-angguk.
“Kau berdua
harus mencari Ki Peda Sura,” berkata gembala tua itu kemudian,
“sedang Ki
Hanggapati dan Ki Dipasanga harus berhadapan sekali lagi dengan Sidanti dan
Argajaya. Karena keduanya mempunyai kemampuan yang hampir seimbang, maka
keduanya dapat bertukar tempat, siapa saja yang dapat mereka temui.”
Gupita dan
Gupala menundukkan kepalanya. Terbayang di wajah mereka kekecewaan bahwa mereka
tidak mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Sidanti atau Argajaya.
“Kau tidak
dapat memilih,” berkata orang tua itu,
“kau tinggal
menerima perintah. Di sini kekuasaan tertinggi berada di tangan Ki Argapati.
Dari siapa pun pendapat itu, namun apabila Ki Argapati telah mengiakan, maka
keputusan itu sudah menjadi keputusannya.”
Gupita menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjawab,
“Baiklah. Aku
akan melakukannya.” Gupita berhenti sejenak, kemudian,
“Lalu
bagaimana dengan Guru?”
“Aku harus
menghadapi Ki Tambak Wedi,” jawab gurunya.
“Sebenarnyalah
aku memang berkepentingan. Selama Ki Tambak Wedi itu masih berkesempatan untuk
mengganggu, ia akan tetap mengganggu kalian. Seandainya Sidanti sudah tidak ada
lagi, ia pasti akan mencari orang lain yang dapat dipergunakannya untuk
memuaskan hatinya. Kini tanpa kita duga-duga sebelumnya, kita mendapatkan
sepasukan pengawal yang dapat membantu kita, yang menurut sudut pandangan Ki
Argapati beruntunglah ia mendapat bantuan kita. Dengan demikian, kita sudah
saling membantu.”
Gupala
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia berdesah,
“Tetapi kami
semua sama sekali tidak mempunyai kepentingan apa pun dengan Ki Peda Sura.”
“Kepentingan
itu akan saling berkait. Apabila kita sudah berada dalam satu kesatuan, kita
harus memandang seutuhnya. Jangan sepotong-sepotong seperti itu.”
Gupala menarik
nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah kakak seperguruannya. Namun
Gupita masih saja mengangguk-angguk kecil.
“Nah,
bersiaplah. Kita tidak akan selalu bersama-sama di peperangan. Tetapi ingat,
kalian harus berhati-hati melawan Ki Peda Sura. Orang itu tidak kalah licik
dari orang-orang mereka yang lain. Mungkin kau berdua harus menghadapinya
bersama-sama sekelompok anak buahnya. Apabila demikian, kau harus masuk ke
dalam garis pertahanan pasukan Menoreh, supaya kau mendapat perlindungan dari
orang-orang yang tidak dapat kau lawan satu demi satu. Mereka pasti akan
dihadang oleh para pengawal, sedang kau dapat menempatkan dirimu kembali
melawan Ki Peda Sura.”
Gupita yang
masih mengangguk-anggukkan kepalanya bertanya,
“Apakah kami
masih harus bersenjata pedang?”
Gurunya
menggeleng.
“Tidak. Kita
sudah menyatakan diri kita di dalam peperangan ini. Meskipun bagi kalian jenis
senjata apa pun tidak akan terlampau berpengaruh, namun yang mana yang dapat
memberi kemantapan kepada kalian, pergunakanlah.”
Gupala
mengangkat alisnya,
“Aku akan
mempergunakan keduanya.”
Gupita
mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya wajah adik seperguruannya itu,
kemudaan ditatapnya wajah gurunya yang tersenyum. Orang tua itu berkata,
“Tidak selalu
senjata rangkap itu menguntungkan. Pandan Wangi memang memiliki kemampuan
khusus mempergunakan sepasang pedangnya. Ki Peda Sura pun mempergunakan
sepasang bindi, meskipun kadang-kadang ia mempergunakan jenis-jenis senjata
yang lain.”
“Aku akan
memegang cambuk di tangan kanan dan pedang di tangan kiri,” berkata Gupala.
“Asal salah
satu di antaranya justru tidak akan mengganggu.”
Gupala menggeleng,
“Aku sudah
berlatih mempergunakan keduanya.”
Gurunya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya bahwa Gupala selalu mencoba-coba
mempergunakan apa saja.
“Terserahlah
kepadamu. Tetapi kalian harus tetap berhati-hati melawan orang itu. Ia dapat
berbuat apa saja.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kami akan selalu mengingat-ingat hal itu,”
desis Gupita kemudian, lalu, “tetapi di mana kami harus berada di dalam
lingkungan seluruh pasukan.”
“Kau berada di
induk pasukan bersama aku. Tetapi di peperangan, kau harus mencari lawanmu,”
jawab gurunya.
“Ingat, Ki
Peda Sura tidak segan-segan melarikan diri dan bersembunyi di dalam hiruk-pikuk
peperangan. Memang sulit untuk mencari seseorang yang dengan sengaja
bersembunyi di dalam keributan yang demikian.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau kalian
berhasil menguasainya, usahakan jangan sampai orang itu berhasil melarikan
dirinya.”
“Baik, Guru,”
jawab kedua anak-anak muda itu hampir bersamaan.
“Ki Peda Sura
akan menjadi hantu yang mengerikan bagi tanah ini apabila ia berhasil
melepaskan dirinya. Apalagi apabila Ki Argapati masih belum sembuh benar dan
belum dapat langsung memimpin pemerintahan di Tanah Perdikan ini.”
Kedua
anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Nah, sekarang
bersiaplah sambil menunggu perintah lebih lanjut.”
“Baik, Guru,”
jawab mereka bersamaan.
Keduanya pun kemudian kembali ke tempat mereka semula.
Sambil bersungut-sungut Gupala berkata,
“Nah, kalian
dengar. Ayahku marah-marah ketika ia mendengar teriakan kalian. Disangkanya aku
benar-benar sudah menjadi pengecut dan lari.”
Kawan-kawannya
tertawa. Salah seorang dari mereka berkata,
“Tampangmu
memang tampang seorang pengecut.”
Gupala
memberengut, namun kemudian ia tertawa. Sejenak kemudian maka beberapa orang
petugas telah membagikan makan bagi setiap orang yang akan ikut pergi ke medan
perang. Bagaimanapun juga, mereka harus membekali diri masing-masing dengan
kemungkinan yang sejauh-jauhnya.
“He,” berkata
salah seorang yang bertubuh kurus,
“nikmatilah
makan ini sebaik-baiknya. Siapa tahu, bahwa nasi yang kita makan ini adalah
butiran-butiran nasi yang terakhir kita kenyam.”
“Hus,” desis
kawannya, “mimpi apakah kau tadi malam?”
“Tidak. Aku
tidak bermimpi,” jawabnya.
Demikianlah
maka para pengawal itu pun kemudian
sibuk dengan makan masing-masing. Gupala dan Gupita pun makan pula bersama dengan mereka. Beberapa
saat setelah mereka makan, maka terdengarlah kemudian aba-aba dari beberapa
orang pemimpin kelompok. Mereka sengaja tidak mempergunakan tanda-tanda yang
biasa diperdengarkan untuk kepentingan serupa, supaya tanda-tanda itu tidak
ditangkap oleh orang-orang yang tidak berkepentingan, apalagi petugas-petugas
sandi lawan.”
Aba-aba
itu pun segera merambat dan setiap orang
menyebar ke seluruh padukuhan. Meskipun tanpa tanda apa pun juga, namun tidak seorang pun yang kelampauan. Demikianlah maka Menoreh
telah menyiapkan barisannya. Sementara matahari menjadi semakin dalam
bersembunyi di balik bukit. Para pemimpin Menoreh pun kemudian sibuk menyiapkan pasukan mereka.
Pasukan yang telah dibekali oleh pengertian yang mantap, untuk apa mereka pergi
berperang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar