Jilid 044 Halaman 3


Ia tidak menyangka, bahwa anak yang gemuk itu demikian tangkas dan cepat. Namun hal itu telah membuat Wrahasta seakan-akan menjadi gila. Ia sama sekali tidak dapat lagi membuat pertimbangan-pertimbangan apa pun, sehingga ia telah bertekad untuk benar-benar berkelahi. Terdengar anak muda yang bertubuh raksasa itu menggeram. Kemudian meloncat menerkam lawannya. Gupala yang melihat serangan yang semakin garang itu pun terpaksa harus mengimbanginya. Dengan tangkasnya ia menghindar, dan bahkan kemudian ia pun telah menyerang pula. Meskipun tubuh Wrahasta jauh lebih besar dari Gupala, namun Gupala adalah seorang yang memiliki kekuatan yang cukup besar. Sehingga dalam benturan tenaga yang terjadi, Wrahasta telah terdorong beberapa langkah surut. Sejenak Wrahasta menjadi heran. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa anak yang gemuk itu mampu menyamai kekuatannya, bahkan melebihinya.
“Ini hanyalah suatu kebetulan,” katanya di dalam hati.
“Ia berada dalam keadaan yang lebih baik. Tetapi kalau aku sempat membenturkan seluruh kekuatanku, ia pasti akan menjadi lumat.”
Dengan demikian, maka Wrahasta  pun telah menyiapkan dirinya. Kemudian dengan segenap kekuatannya ia menyerang kembali. Sebuah ayuman yang dahsyat telah mengarah ke kening Gupala. Namun betapa anehnya sifat Gupala, tetapi ia masih juga sempat membuat pertimbangan-pertimbangan. Apalagi setelah ia melihat Wrahasta benar telah kehilangan akal dalam tingkat permulaan dari perkelahian itu. Dengan demikian, maka Gupala justru menjadi agak tenang, karena Wrahasta memanglah bukan lawannya. Kalau ia mau maka ia akan segera dapat mengalahkannya dan bahkan apa  pun yang akan dilakukannya. Tetapi kali ini ia tidak akan berbuat lebih jauh dari memberi sedikit pelajaran kepada Wrahasta. Karena itu, maka ia pun kemudian telah menyerang Wrahasta semakin cepat, tetapi tidak cukup berbahaya. Serangan Gupala seakan-akan datang dari segenap penjuru. Dengan lincahnya anak yang gemuk itu berloncatan. Tangannya menyambar-nyambar seakan-akan berpuluh-puluh pasang tangan bergerak bersama-sama.

Ternyata bahwa Wrahasta menjadi bingung karenanya. Ia sama sekali tidak berdaya untuk menangkis atau menghindari sentuhan-sentuhan tangan Gupala. Meskipun Gupala tidak bermaksud melumpuhkan lawannya, namun terasa pukulan-pukulan itu semakin lama menjadi semakin sakit. Sekali-sekali Gupala memukul pundak Wrahasta, kemudian tanpa dapat mengelak, Wrahasta terdorong oleh kaki Gupala yang mengenai lambungnya. Demikian Wrahasta berusaha tegak kembali, Gupala telah berhasil menangkap tangan Wrahasta dan menariknya dengan hentakan yang keras berbareng dengan tangannya menampar dagu. Betapapun juga Wrahasta mencoba mengerahkan segenap kemampuannya, namun ia sama sekali tidak berdaya menghadapi lawannya yang gemuk namun cukup lincah itu. Beradu tenaga pun ternyata Wrahasta yang bertubuh raksasa itu tidak dapat mengatasi lawannya. Dalam kebingungan dan kegugupannya, Wrahasta tidak dapat berpikir lain kecuali mencabut pedangnya. Namun demikian tangannya meraba hulu senjatanya itu, seperti tatit Gupala meloncat menangkap pergelangan tangannya, kemudian diputarnya ke belakang sambil berdesis,
“Jangan bodoh. Kalau kau mengambil pedangmu, berarti kau akan membunuh diri. Kau lihat, bahwa aku pun berpedang? Dan kau harus menyadari bahwa aku dapat bergerak lebih cepat daripadamu. Karena itu, kalau kita berkelahi dengan pedang, maka kau tidak akan dapat ikut dalam peperangan yang akan datang.”
Tetapi Wrahasta yang keras kepala itu menyeringai sambil menggeram,
“Persetan! Kau tidak akan mampu melawan pedangku. Kaulah yang harus aku bunuh.”
Tangkapan tangan Gupala itu menjadi semakin keras, dan Wrahasta merasa semakin sakit karenanya. Karena itu betapapun ia menahan diri, tetapi raksasa itu terpaksa berdesis menahan sakit.
“Kau sudah gila,” Gupala  pun menggeram.
“Jangan main-main dengan pedang kalau kau tidak yakin bahwa kau akan menang.”
“Aku tidak takut mati seandainya kau mampu membunuh aku.”
Seperti dugaan gurunya, Gupala memang bukan seorang yang cukup sabar. Karena itu, maka didorongnya tangan Wrahasta yang terpilin itu, sehingga raksasa itu terhuyung-huyung. Hampir saja ia jatuh terjerembab. Namun ia berhasil menguasai keseimbangan dan berdiri tegak di atas sepasang kakinya yang renggang.
Dikibas-kibaskannya tangannya sambil menggeram,
“Kita bertempur sampai mati.”
“Bukan salahku,” sahut Gupala. Kemudian kepada peronda yang melihat dengan kaki gemetar ia berkata,
“Kalian menjadi saksi. Aku telah dipaksa untuk melawannya.”
Tetapi para peronda itu sama sekali tidak menjawab. Bahkan mereka menjadi semakin pucat dan gemetar. Wrahasta yang sudah bermata gelap itu  pun tiba-tiba mencabut pedangnya yang besar dan panjang Kemudian berkata dalam nada yang dalam dan datar,
“Ayo, cabut senjatamu.”

Tiba-tiba saja Gupala menjadi ragu-ragu. Sekilas dipandanginya peronda yang gemetar. Kemudian ditatapnya wajah Wrahasta yang membara. Namun sementara ia masih ragu-ragu, ia mendengar langkah beberapa orang berlari-lari mendekat. Ketika ia berpaling, dilihatnya beberapa orang pengawal datang beramai-ramai. Mereka agaknya mendengar dari pengawal yang berusaha memberitahukan peristiwa itu kepada Samekta. Dengan demikian Gupala menjadi semakin ragu-ragu. Terngiang ditelinganya kata-kata gurunya, bahwa orang tua itu tidak dapat melepaskannya sendiri. Karena itu pula maka setiap kali Gupita lah yang mendapat kesempatan.
“Seandainya Gupita yang mengalami hal ini, apakah yang akan dilakukan?” pertanyaan itu timbul di dalam hatinya.
Beberapa orang pengawal segera memutari kedua orang yang sedang berhadapan itu. Dan mereka  pun segera menjadi berdebar-debar karenanya. Wrahasta telah menggenggam senjata di tangannya, namun Gupala masih nampak berdiri termangu-mangu.
“Cepat!” teriak Wrahasta. “Cepat cabut senjatamu!”
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling, ke arah wajah-wajah yang tegang di sekitarnya.
“Cepat!” sekali lagi ia mendengar Wrahasta berteriak.
“Aku akan mulai. Terserah kepadamu, apakah kau akan melawan dengan pedangmu atau tidak. Aku benar-benar akan membunuhmu.”
Gupala menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat Wrahasta melangkah maju. Sudah tentu ia tidak akan dengan begitu saja menyerahkan lehernya. Apalagi kepada raksasa yang dianggapnya terlampau bodoh itu. Gupala melangkah surut ketika Wrahasta sudah mulai memutar pedangnya. Dengan nada yang dalam ia bertanya,
“Apakah kau sudah benar-benar gila, Wrahasta?”
“Persetan!” mata Wrahasta menjadi semakin membara.
Dalam ketegangan yang memuncak itulah, Samekta datang tergesa-gesa bersama Kerti. Langsung disibakkannya orang-orang yang berada di sekitar Wrahasta dan Gupala yang sedang berhadapan itu. Dengan lantang Samekta berteriak,
“He, apakah kalian sudah menjadi gila semua?”
Keduanya serentak berpaling. Mereka melihat wajah Samekta yang merah menahan gelora di dalam perasaannya. Dengan tangan gemetar ia menunjuk kedua orang itu berganti-ganti,
“Beginilah jalan yang paling baik bagi kalian?”
“Ia menghina aku,” sahut Wrahasta.
“Anak gila itu sama sekali tidak menghiraukan lagi ketetapan yang ada di atas tanah perdikan ini. Bagaimanapun juga aku adalah salah seorang pemimpin di sini. Dan ia adalah seorang pendatang.”
“Apa yang telah dilakukannya?”
“Ia tidak menghiraukan perintahku.”
Samekta mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya,
“Apakah perintahmu itu?”
“Aku tidak boleh makan di dapur,” sahut Gupala dengan serta-merta.
“Aku tidak bertanya kepadamu,” bentak Samekta yang sedang marah itu.
Terasa sesuatu melonjak di dada Gupala. Orang ini pun telah menyakitkan hatinya pula. Namun ia masih mencoba menahan diri. Agaknya Samekta pun telah benar-benar menjadi marah. Sebagai pimpinan tertua ia merasa tersinggung sekali atas peristiwa itu. Selagi seluruh kekuatan dihimpun untuk menghadapi puncak pertentangan di Tanah Perdikan Menoreh, maka telah terjadi perselisihan di dalam kandang sendiri.
“Wrahasta,” berkata Samekta,
“aku minta, setiap diri kita masing-masing harus mencoba menyingkirkan persoalan-persoalan yang tidak menguntungkan bagi Tanah ini. Kalau kita masing-masing masih saja membiarkan perasaan kita berbicara, maka kita tidak akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang jauh lebih besar dari persoalan-persoalan sehari-hari, persoalan tetek-bengek yang sama sekali tidak berarti.”
Wrahasta yang masih dibakar oleh perasaannya, dan apalagi ketidak-mampuannya melawan Gupala, masih belum dapat menahan dirinya sehingga ia menjawab,
“Jadi, kau menyalahkan aku?”
Samekta mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Aku menyalahkan kalian berdua. Apa pun alasannya tetapi kalian telah berkelahi, sedang kalian tahu, bahwa kita sedang berada di ambang pintu perang yang akan menentukan keadaan kita.”
“Tetapi apakah dengan demikian aku harus membiarkan orang asing menginjak-injak semua ketetapan dan ketentuan yang berlaku di atas tanah perdikan ini?” teriak Wrahasta.

Samekta yang marah menjadi semakin marah. Namun sebelum ia berteriak pula, terdengar suara Kerti,
“Sebaiknya kita yang mencoba memadamkan pertentangan ini jangan terlibat dalam pertentangan baru.” Lalu kepada Wrahasta ia bertanya,
“Wrahasta, cobalah kau menuai persoalan yang baru saja terjadi. Apakah sudah sepatutnya kalian bertempur apalagi dengan pedang di tangan? Apakah sebenarnya sumber persoalannya?”
“Aku tidak dapat dihina.” jawab Wrahasta.
“Kalau kalian telah terlibat di dalam pertengkaran, maka sudah tentu masing-masing merasa terhina. Tetapi apabila kalian sempat, cobalah melihat, apakah yang menyebabkan pertentangan dan pertengkaran itu? Dengan demikian maka persoalannya akan dapat diletakkan pada tempat yang sewajarnya dan pada saat yang lebih tepat.”
Wrahasta tidak segera menjawab. Dahinya menjadi berkerut-merut.
“Sudah tentu bahwa kalian tidak sedang mempertengkarkan Ki Tambak Wedi atau Sidanti. Sudah tentu kalian tidak sedang mempertahankan kebenaran Argajaya, bahwa ia telah memihak orang lain dan memusuhi kakaknya sendiri. Nah, sekarang lihat kepada diri sendiri apakah yang kalian pertentangkan? Tentang makan pagi, atau tentang bangun yang terlampau siang atau tentang pelayanan yang berbeda dan yang dapat dianggap pelayanan yang khusus? Begitu? Dan masalah-masalah serupa itu telah membuat kalian mempertaruhkan nyawa kalian yang akan menjadí jauh lebih berharga apabila nyawa-nyawa itu kalian pertaruhkan di medan peperangan?”
Wrahasta masih tetap diam. Namun kata-kata Kerti itu berhasil menyentuh hatinya. Tanpa sesadarnya ia mencoba menelusur, sebab-sebab kemarahannya. Namun tiba-tiba ia menggeretakkan giginya, meskipun kepalanya masih tertunduk. Ternyata Wrahasta tidak berani melihat sebab yang sebenarnya dari semua peristiwa itu. Meskipun sekilas melintas pula di kepalanya, perkelahiannya dengan Gupita dan kini dengan Gupala.
Dalam pada itu, ketika semua wajah menjadi tegang, dengan tergesa-gesa Gupita dan gurunya menerobos ke dalam lingkaran yang mengelilingi Wrahasta dan Gupala. Dengan sorot mata yang tajam gembala tua itu memandangi wajah Gupala yang kemudian menunduk dalam-dalam.
“Gupala,” terdengar ia berdesis, “apakah yang telah kau lakukan?”
Gupala tidak menyahut. Tetapi yang terdengar adalah suara Kerti,
“Tidak ada apa-apa, Kiai. Semuanya sudah selesai.” Lalu kepada kedua anak-anak muda yang berada di dalam lingkaran,
“Bukankah begitu?”
Keduanya tidak menjawab. Dan Kerti berkata lagi untuk mengendorkan suasana yang tegang,
“Nah, bukankan mereka diam? Seperti gadis yang ditawari lamaran jejaka, kalau ia diam, berarti ya.”
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Syukurlah kalau semuanya sudah selesai. Aku mendengar bahwa Gupala telah berkelahi dengan Angger Wrahasta selagi aku berada di parit. Terpaksa aku dengan tergesa-gesa kemari.”
“Nah, masalah ini tidak usah kita perbincangkan lagi,” lalu Kerti berkata kepada para pengawal yang berkerumun,
“Semua kembali ke tempat kalian.”

Maka kerumunan orang-orang Menoreh itu  pun kemudian menipis, semakin lama semakin habis. Wrahasta pun kemudian meninggalkan tempat itu pergi ke regol induk sambil bersungut-sungut. Samekta dan Kerti masih berdiri di tempatnya. Sejenak mereka memandangi gembala tua beserta kedua anaknya yang kemudian duduk di gardu itu kembali.
“Wrahasta tidak dapat mengendalikan perasaannya,” desis Samekta.
“Dan kau pun juga. Hampir saja,” sahut Kerti.
Samekta menarik nafas.
“Ya. Aku menjadi sangat kecewa atas peristiwa ini. Sudah tentu Wrahasta telah dibakar oleh perasaan cemburu itu. Dan agaknya anak muda yang gemuk ini tabiatnya agak berbeda dari kakaknya. Mungkin ia masih terlampau muda untuk menanggulangi keadaan sebaik-baiknya.”
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Gembala tua itu  pun agaknya sedang menasehati anaknya.”
Keduanya pun kemudian mendekat ke gardu. Beberapa langkah dari gardu itu Samekta berhenti sambil berkata,
“Maaf, Kiai. Mudah-mudahan hal yang serupa tidak terjadi lagi.”
“Ya, aku  pun minta maaf. Anakku yang seorang ini memang agak bengal.”
Samekta dan Kerti pun kemudian meninggalkan gembala tua itu bersama kedua anaknya untuk menemui Wrahasta. Mereka mengharap bahwa Wrahasta tidak menjadi semakin gila karenanya. Kedua orang itu menemukan Wrahasta sedang berdiri di muka regol memandang jauh ke dalam rimbunnya batang lalang yang tumbuh semakin liar di luar padukuhan itu. Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa hati Wrahasta pasti lagi sakit. Ia merasa semakin jauh dari harapan yang sudah lama diletakkannya kepada gadis puteri Kepala Tanah Perdikannya. Kehadiran kedua gembala muda itu telah merusak segenap impiannya, sehingga karena itu, maka pertimbangannya telah menjadi sumbang. Samekta dan Kerti tidak segera menyapanya. Tetapi keduanya berhenti beberapa langkah di belakang anak muda yang bertubuh raksasa itu. Keduanya mengerutkan keningnya ketika mereka melihat Wrahasta berpaling. Dengan tajamnya anak muda itu memandang kedua pemimpin Menoreh itu.
“Apa yang kita tunggu lagi?” tiba-tiba anak muda itu berkata lantang.
“Apakah yang kita tunggu? Sekarang dan nanti petang tidak ada bedanya lagi bagi kita. Justru sekarang kita akan mendapat waktu untuk mengejutkan mereka, selagi mereka belum bersiaga.”
“Sabarlah, Anak Muda,” jawab Kerti.
“Nanti petang pun mereka pasti belum mengetahui, bahwa kitalah yang akan datang menjenguk mereka.”
“Tetapi kemungkinan itu pasti ada.”
“Kalau kita tidak mengatakannya kepada siapa pun, maka kemungkinan itu akan sangat dibatasi,” jawab Kerti.
Wrahasta mengerutkan keningnya, kemudian menarik nafas dalam-dalam.
“Aku sudah tidak sabar lagi. Aku tidak betah lagi tinggal di dalam lingkaran pring ori yang sempit ini.”
“Semuanya bersikap serupa. Kami pun sudah tidak tahan lagi tinggal berjejal-jejal di padukuhan yang miskin ini. Makan tidak teratur dan bahkan kadang-kadang tidak memenuhi keinginan dan selera kita masing-masing. Tetapi bagaimanapun juga kita harus mematangkan perhitungan di setiap gerakan, supaya kita tidak akan menyesal lagi kelak.”

Wrahasta tidak menjawab. Tetapi kembali ia memandang ke kejauhan. Seakan-akan ia ingin melihat langsung ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh yang sedang dibakar oleh api pertengkaran di antara keluarga sendiri. Tiba-tiba raksasa itu menggeram,
“Hidup matiku untuk Tanah ini.”
Samekta dan Kerti saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka seperti berjanji menarik nafas dalam-dalam.
“Beristirahatlah, Ngger,” desis Kerti.
“Tidak ada waktu untuk bermalas-malasan di atas tanah ini. Aku akan menghubungi setiap pemimpin kelompok, agar mereka menyiapkan diri mereka sebaik-baiknya.”
“Tetapi perintah penyerangan petang nanti belum dapat dijatuhkan.”
“Aku tahu, aku tahu.”
Wrahasta tidak menunggu jawaban lagi. Ia pun segera melangkah pergi meninggalkan Samekta dan Kerti termangu-mangu di tempatnya. Beberapa orang yang berada di gardu di samping regol itu pun melihat, betapa Wrahasta bersikap kaku dengan wajah yang berkerut-merut. Mereka pun mengerti apa yang baru saja terjadi atas anak muda yang bertubuh raksasa itu, meskipun mereka tidak mendengar dengan jelas percakapan raksasa yang sedang kecewa itu dengan Samekta dan Kerti.
“Sayang bahwa pertengkaran itu telah terjadi,” desis salah seorang dari para peronda itu.
“Wrahasta kurang dapat mengendalikan diri,” jawab yang lain.
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau mereka tidak tahu benar apa yang terjadi di gardu itu, maka mereka pun akan dibakar pula oleh kekecewaan terhadap anak gembala yang gemuk itu. Tetapi mereka telah mendengar pula, bahwa dengan tiba-tiba seakan-akan tanpa sebab Wrahasta menjadi marah, sehingga keduanya bertengkar. Apalagi anak gembala yang gemuk itu telah menunjukkan kemampuannya di dalam peperangan. Banyak orang yang melihat, bagaimana ia membunuh Ki Muni setelah Ki Muni itu melukainya. Kemudian bagaimana ia bertempur di antara hiruk-pikuk peperangan dan menjatuhkan banyak korban pada lawan. Sementara itu Samekta dan Kerti pun kemudian pergi ke rumah yang mereka pergunakan sebagai pusat pimpinan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ketika mereka memasuki halaman rumah itu terdengar Samekta berdesis,
“Mudah-mudahan Wrahasta dapat melihat kepentingan yang lebih besar dari kepentingannya sendiri.”
“Aku masih tetap percaya kepadanya,” sahut Kerti.
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Bagi para pemimpin Menoreh, hari terasa terlampau lamban bergerak. Matahari mengambang dengan malasnya, seakan-akan tidak bergerak dari tempatnya. Setiap kali Samekta dan Kerti dengan gelisah melangkah ke luar, memandang ke langit dan berjalan hilir-mudik.
“Aku akan tidur,” berkata Samekta.
“Aku akan melupakan waktu yang menjemukan ini.”
“Tidurlah. Kemudian bergantian.”
“Tetapi aku kurang biasa tidur di siang hari.”
“Berbaringlah.”
Samekta  pun mencoba untuk tidur. Ia merasa telah disiksa oleh waktu. Sementara Kerti pun kemudian pergi ke gardu di sebelah regol di jalan induk padukuhan itu.

Ketika gembala tua itu pergi ke pondok yang dipakai oleh Ki Argapati untuk melihat perkembangan kesehatannya, maka mawanti-wanti ia berpesan kepada Gupala,
“Kau jangan berbuat bodoh lagi. Jagalah dirimu. Kita masih diperlukan.”
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Pergilah ke gardu induk. Ingat, jangan berbuat sesuatu yang dapat menyulitkan keadaan. Kehancuran Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya menjadi kepentingan kita pula. Sadarilah.”
Gupala masih mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia berkata di dalam hatinya,
“Asal anak itu tidak menginjak kepalaku. Kalau hal itu dilakukannya, apa boleh buat.” Tetapi bagaimanapun juga. Gupala menyadari, bahwa ia pun berkepentingan juga atas orang-orang yang telah disebut oleh gurunya itu.
Berdua bersama Gupita, Gupala pun pergi ke gardu induk di regol padukuhan. Sambil menundukkan kepalanya, Gupala mencoba menilai keadaan yang sedang dihadapinya. Anak muda yang gemuk itu tiba-tiba saja menarik nafas sambil berdesah. Adalah kebetulan sekali bahwa Ki Argapati pun sedang berusaha membinasakan Ki Tambak Wedi. Kalau ia bersama kakak seperguruannya dan gurunya bertiga saja, mustahil mereka dapat menghancurkan iblis itu.
“Kita saling memanfaatkan,” desisnya.
“Ki Argapati memerlukan kami, dan kami memerlukan pasukan. Betapa dahsyatnya ilmu Guru, tetapi sudah tentu ia tidak akan dapat melawan seluruh pasukan Ki Tambak Wedi. Dan ternyata Ki Argapati sudah menyediakan pasukan itu buat kami.”
Tanpa sesadarnya Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini terasa olehnya, memang sama sekali tidak menguntungkan bertengkar dengan orang-orang Menoreh dalam keadaan serupa ini. Tetapi ia tidak tahu, kenapa Wrahasta tiba-tiba saja telah membentak-bentaknya.
“Orang itu agaknya memang seorang pemarah,” desisnya, “atau seseorang yang menaruh prasangka terlampau tajam di dalam hatinya. Mungkin ia menyangka bahwa kami adalah orang-orang serupa dengan Ki Peda Sura, yang mendapat janji-janji dari Ki Argapati.”
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Mungkin ia berpendapat demikian. Mungkin.”
Tetapi Gupala tidak bertanya kepada Gupita. Sekilas anak muda yang gemuk itu memandang wajah kakak seperguruannya, tetapi Gupita berjalan sambil menundukkan kepalanya.
“Kakang Gupita pernah mengalami perlakuan serupa,” desisnya di dalam hati.
Ketika keduanya sampai di gardu di dekat regol, mereka melihat beberapa orang sedang berkerumun. Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di dalam dada anak-anak muda itu. Apalagi Gupala. Katanya di dalam hati,
“Apakah Wrahasta berada di situ pula?”
Tetapi ternyata Wrahasta tidak ada. Mereka menyambut kedatangan keduanya dengan ramah. Bahkan salah seorang dari mereka, yang pernah mengenal bahwa anak yang gemuk itu senang berkelakar, bertanya,
“He, lain kali kalau kau ingin tidur sampai tengah hari, tidurlah di sini. Di belakang gardu, sehingga tidak ada orang yang melihatmu.”

Gupita dan Gupala mengerutkan keningnya. Namun kemudian mereka tersenyum. Sapa itu telah memberikan kesan kepada mereka, bahwa anak-anak muda dari tanah perdikan ini tidak mudah diseret oleh perasaan tanpa pertimbangan. Mereka tidak dengan serta-merta berpihak kepada Wrahasta, apa  pun yang sebenarnya telah terjadi.
“Terima kasih,” sahut Gupala,
“lain kali. Tetapi apabila tiba-tiba saja kepalaku dipenggal oleh Ki Tambak Wedi, maka aku tidak akan dapat tidur lagi di padukuhan ini.”
Anak-anak di dalam gardu itu tertawa. Salah seorang dari mereka bertanya,
“Apakah kau ingin begitu?”
Gupala menggeleng,
“Tentu tidak. Apalagi aku masih ingin makan jenang jagung.”
Anak-anak muda di dalam gardu itu tertawa semakin keras. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja meloncat mendekati Gupala, dan langsung membimbingnya.
“Mari, aku tunjukkan di mana kau harus tidur.”
Gupala tidak menolak. Ia mengikuti saja kemana ia dibawa.
“He, menepi,” berkata anak muda yang menarik tangan Gupala itu.
“Tidurlah melekat dinding itu. Kami akan duduk berjajar melindungimu.”
Gupala tertawa. Beberapa orang telah menyibak. Salah seorang berkata,
“Nah, tidurlah di situ.”
Tetapi tiba-tiba Gupala mengerutkan keningnya,
“He, daun bekas bungkus apa saja itu?”
“Makan pagi kami.”
“Kalian sudah makan pagi?”
“Baru saja.”
“Celakalah kita,” berkata Gupala kepada Gupita,
“di gardu di simpang empat itu makanan belum datang. Ketika kami sampai kemari makan sudah lampau.”
“Hus,” desis Gupita. Tetapi anak-anak muda yang mendengarnya tertawa semakin riuh. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja berlari ke belakang gardu itu. Sejenak kemudian ia kembali sambil membawa dua bungkus nasi,
“Ini kami masih menyediakan buat kalian.”
Gupita tersenyum kecut, tetapi Gupala menjawab,
“Nah, terima kasih. Tetapi mana buat Kakang Gupita?”
“Bukankah itu dua bungkus?”
“O, aku kira ini buat aku sendiri.”
“Macammu,” desis Gupita. Tetapi ia menerima juga sambil tertawa ketika Gupala memberinya sebungkus,
“Marilah kita makan, Kakang. Kita tidak perlu malu. Kalau perut kita ingin berisi juga.”
Gupita masih saja tersenyum-senyum. Tetapi ia tidak dapat berbuat seperti Gupala, yang langsung membuka bungkusannya dan makan sendiri di antara anak-anak muda yang tertawa berkepanjangan. Gupita terpaksa menepi dan duduk di sisi gardu itu sambil membuka bungkusannya. Demikianlah anak-anak muda itu mengisi waktunya sambil berkelakar Tetapi mereka sama sekali tidak melepaskan kewaspadaan. Di muka regol dua orang penjaga tetap di tempatnya mengawasi keadaan. Setiap kali petugas-petugas sandi datang dan pergi dengan keterangannya msasing-masing yang langsung disampaikannya kepada Kerti.

Lewat tengah hari Wrahasta datang ke gardu itu pula. Ketika ia melihat kedua anak-anak muda itu berada di sana juga, ia mengerutkan keningnya. Namun kemudian acuh tidak acuh ia meninggalkan gardu itu. Sejenak ia singgah ke regol. Dipandanginya batang-batang ilalang yang terbentang di hadapannya. Tanpa sesadarnya ia berdesis,
“Kalau peperangan ini selesai, maka ilalang itu pun harus dibabat.”
Para penjaga regol, yang mendengar desis itu berpaling. Namun mereka tidak menyahut. Mereka melihat Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian menekan dadanya dengan sebelah telapak tangannya. Tetapi raksasa itu tidak berkata sepatah kata  pun lagi. Bahkan dengan tergesa-gesa ia pergi meninggalkan regol itu menuju ke tempat pimpinan pasukan pengawal. Semakin condong matahari ke Barat, maka padukuhan itu menjadi semakin sibuk. Samekta yang tidurnya ternyata tidak juga dapat dirubah di siang hari, telah memanggil setiap pemimpin kelompok. Meskipun ia belum mengatakan sesuatu, namun para pemimpin kelompok itu telah merasa, bahwa pasti akan ada sesuatu yang penting. Beberapa orang pemimpin kelompok duduk sambil berbincang di halaman, yang lain di tangga pendapa sambil membelai senjata masing-masing. Sedang yang lain lagi berada bersama para pengawal yang sedang bertugas di regol halaman. Samekta, Kerti, dan Wrahasta masih berada di pringgitan. Mereka sedang memperbincangkan kemungkinan untuk memberitahukan rencana penyerangan itu kepada para pemimpin kelompok.
“Sebaiknya kedua prajurit dan gembala tua itu hadir di antara kita,” desis Samekta.
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku sependapat. Bagaimana kau, Wrahasta.”
Wrahasta terperanjat. Ternyata ia tidak mendengar pertanyaan itu dengan baik, sehingga ia bertanya,
“Bagaimana Paman?”
Kerti mengerutkan keningnya. Namun ia mengulangi,
“Sebaiknya kedua prajurit dan gembala tua itu ada di antara kita sekarang, selagi kita menyampaikan persoalan rencana penyerangan ini kepada para pengawal.”
“O,” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya,
“baik. Aku sependapat.” Namun Wrahasta itu pun kemudian menundukkan kepalanya kembali. Sesuatu agaknya telah mengganggu angan-angannya. Dan orang-orang tua itu pun segera memahami.
“Aku akan menyuruh seorang penghubung memanggilnya,” desis Samekta.
“Tetapi,” Wrahasta memotong,
“pimpinan Tanah Perdikan ini masih belum lengkap. Masih ada seorang lagi yang justru terpenting di antara kita.”
“Siapa? Ki Argapati?”
“Tidak. Sudah jelas bagi kita, Ki Argapati sedang sakit. Kalau ia memaksa diri untuk ikut ke medan perang sebenarnya malahan akan menambah pekerjaan kita saja.”
“Lalu siapakah yang kau maksud?”
“Yang mewakilinya. Satu-satunya keluarganya yang masih setia kepada tanah perdikan ini.”
“Pandan Wangi maksudmu?” bertanya Kerti.
“Ya.”
Kedua orang tua-tua itu menarik nafas dalam-dalam,
“Kalau Ki Argapati tidak berkeberatan, baik juga kiranya ia hadir,” gumam Samekta kemudian.
“Baiklah aku sendiri akan memanggil mereka,” berkata Wrahasta kemudian.
“Jangan,” Kerti memotong,
“biarlah anak-anak saja yang pergi. Kau tetap di sini. Banyak masalah yang harus kita percakapkan sebelumnya.”
Wrahasta mengerutkan keningnya. Namun ia  pun kemudian mengangguk sambil berkata.
“Terserahlah kepada Paman kalau aku memang diperlukan di sini.”
“Baiklah kau tinggal di sini,” berkata Samekta pula,
“aku akan menyuruh para pengawal yang ada di halaman.”
“Siapakah yang akan Paman suruh?”
Samekta tertegun sejenak. Namun kemudian ia menarik nafas sambil menjawab,
“Salah seorang dari para pengawal di halaman.”
Wrahasta tidak menjawab. Tetapi ia  pun berdiri juga dan berjalan di belakang Samekta keluar pringgitan.

Ketika ternyata Samekta menyuruh seorang pengawal tanah perdikan untuk menemui Ki Hanggapati dan Dipasanga serta gembala tua itu, maka Wrahasta pun kemudian masuk pula ke dalam pringgitan. Ia telah mendengar juga, penghubung itu harus mencoba menemui Pandan Wangi, apakah ia dapat hadir dalam pembicaraan ini. Ternyata mereka tidak perlu menunggu terlampau lama. Setiap orang menyadari, bahwa waktu pada saat-saat yang demikian itu, menjadi sangat berharga. Dan ternyata bahwa Ki Argapati pun telah melepaskan Pandan Wangi untuk ikut mendengar pembicaraan para pemimpin itu.
“Waktunya telah hampir tiba,” desis Samekta di hadapan mereka,
“sebentar lagi matahari akan turun dengan cepat.”
Belum seorang  pun yang menyahut.
“Petugas sandi yang terakhir datang melaporkan, bahwa tidak ada tanda-tanda yang khusus dapat dilihatnya di padukuhan induk, meskipun orang itu tidak berhasil mendekat. Tetapi kesibukan yang dilihatnya tidak meningkat. Peronda yang nganglang  pun tidak bertambah, dan pemusatan itu pun tidak dapat mengatakan, bahwa mereka telah menyiapkan diri seperti kita, dengan diam-diam.”
“Ada perbedaan,” potong Kerti.
“mereka tidak dapat melihat kita begitu jelas seperti kita melihat mereka, karena padukuhan ini dikelilingi oleh pring ori.”
“Ya, tetapi padukuhan ini jauh lebih sempit dari padukuhan induk,” sahut Samekta.
“Tetapi kita akan datang dengan gelar. Kita akan datang dari depan beradu dada,” geram Wrahasta.
“Ya,” sahut Samektla,
“justru karena itu kita harus benar-benar siap lahir dan batin.”
Para pemimpin itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah kita sudah siap memberitahukan rencana ini?” bertanya Samekta.
Sejenak mereka saling berpandangan.
“Bagaimanakah pendapat kalian?”
Hanggapati beringsut sejengkal. Katanya,
“Kita sudah dikejar waktu. Aku kira saatnya sudah tepat. Kita tidak akan terlambat dengan persiapan kita, dan kesempatan bagi petugas sandi lawan pun sudah dapat dibatasi.”
Yang mendengar kata-kata Hanggapati itu  pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Memang sudah datang waktunya. Dan waktu itu kini serasa mudah berkejaran setelah sekian lama mereka menunggu dengan gelisah.
“Baiklah,” berkata Samekta. “Apakah ada pikiran lain?”
Tidak ada seorang pun yang berbicara.
“Jika demikian, aku akan segera menemui para pemimpin kelompok untuk mempersiapkan diri mereka dengan segera. Sebentar lagi, apabila matahari telah terbenam, kita akan segera berangkat.”

Orang-orang yang ada di ruangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Aku akan menemui para pemimpin di pendapa rumah sebelah,” berkata Samekta.
Maka sebentar kemudian, Samekta telah duduk di hadapan para pemimpin kelompok yang sebentar lagi harus menyusun barisan yang akan pergi ke induk padukuhan. Induk dari Tanah Perdikan Menoreh yang beberapa saat yang lampau telah diambil oleh Sidanti beserta gurunya.

Pada saat Samekta sedang sibuk berbicara tentang rencananya, maka Pandan Wangi yang ikut mendengarkan dengan sepenuh minat, terkejut ketika seseorang menggamitnya. Ketika gadis itu berpaling, dilihatnya dekat di belakangnya duduk Wrahasta yang justru beringsut maju.
“Maaf, Pandan Wangi,” bisiknya, “aku sudah tidak mempunyai waktu lagi.”
“Ah,” desah Pandan Wangi, “besok atau lusa kita masih akan bertemu.”
Wrahasta menggelengkan kepalanya, “Belum tentu, Pandan Wangi. Siapa tahu aku akan mati malam nanti.”
“Jangan berkata begitu.”
“Kalau hal itu harus terjadi, pasti akan terjadi.”
“Tetapi kita tidak mengharapkan. Aku dan kau mengharap bahwa kita akan bertemu besok, lusa, dan seterusnya.”
“Hanya sekedar bertemu?”
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. Sesaat-sesaat ia mendengar keterangan Samekta kepada para pemimpin kelompok, namun suaranya kadang-kadang hilang di dalam gemerisik gejolak di hatinya.
“Kau tinggal menjawab sepatah kata,” desak Wrahasta. “Atau kau dapat mempergunakan isyarat. Kau dapat mengangguk atau menggelengkan kepalamu.”
Pandan Wangi masih menunduk.
“Wangi.”
Pandan Wangi sama sekali tidak menjawab dan tidak menggerakkan kepalanya.
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Desisnya,
“Perang malam nanti adalah perang yang dahsyat. Kita akan berjuang mati-matian untuk merebut padukuhan induk itu. Kita tidak akan meninggalkan medan selagi kita masih hidup. Namun agaknya Sidanti dan Ki Tambak Wedi pun akan bertekad serupa. Mereka tidak akan meninggalkan padukuhan yang telah mereka rebut. Karena itu perang yang akan terjadi adalah perang antara hidup dan mati.”
Pandan Wangi masih tetap berdiam diri.
“Dengan demikian, Pandan Wangi, aku tidak tahu, apakah aku masih akan dapat melihat kau lagi.”
Wajah Pandan Wangi yang tunduk menjadi semakin menunduk. Hatinya serasa tergores oleh perasaan iba. Ia sama sekali tidak bermimpi untuk menganggapi perasaan Wrahasta terhadapnya. Tetapi ia tidak sampai hati untuk menggelengkan kepalanya mendengar kata-kata anak muda yang mendekati keputus-asaan itu.
“Bagaimana, Wangi?”
Dada Pandan Wangi menjadi pepat. Tenggorokannya serasa tersumbat dan pelupuk matanya menjadi panas. Hampir saja ia lupa bahwa ia sedang duduk di hadapan para pemimpin kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Hampir saja ia lupa kini membawa sepasang pedang di lambungnya.
Betapa ia bersusah payah menahan perasaannya sebagai seorang gadis di antara hiruk-pikuk pembicaraan mengenai perang.
Pandan Wangi tersentak ketika ia mendengar suara gemuruh,
“Kami bersedia untuk mati demi Tanah ini. Demi Tanah ini.”
Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Ia melihat beberapa orang mengepalkan tinjunya.
Namun kembali dadanya serasa retak ketika ia mendengar desis,
“Aku  pun bersedia mati demi Tanah ini.” Kemudian, “Dan demi kau, Wangi.”
“Oh,” Pandan Wangi mengeluh. Ditekannya telapak tangannya di dadanya.
“Jawablah Wangi, sebelum aku mati.”

Pandan Wangi tidak dapat menahan iba hatinya. Ia tidak dapat bertahan untuk tetap membatu. Karena itu, hatinya yang luluh telah menggerakkan kepalanya. Hampir saja sebuah anggukan kecil. Namun tiba-tiba anggukan kepala itu urung ketika ia mendengar Samekta berkata lantang,
“Nah, kembalilah ke pasukanmu. Cepat. Siapkan mereka. Malam ini kita akan merebut kembali padukuhan induk lambang pusat pemerintahan Menoreh, Tanah Perdikan Menoreh.”
Terdengar sejenak hiruk-pikuk di antara para pemimpin kelompok itu. Semuanya ingin menyatakan kesediaan mereka untuk merebut padukuhan induk itu. Namun dengan demikian suara mereka tidak terdengar satu demi satu.
Meskipun demikian Samekta menanggapinya,
“Terima kasih. Terima kasih atas kesediaan kalian. Sekarang, pertemuan ini aku bubarkan.”
Hampir serentak orang-orang yang berada di pendapa itu berdiri. Pandan Wangi  pun berdiri pula bersama para pemimpin yang lain. Dalam pada itu, para pemimpin kelompok itu  pun segera menghambur turun dari pendapa untuk dengan tergesa-gesa kembali ke kelompok masing-masing. Namun dalam pada itu Samekta  pun telah mengeluarkan perintah, tidak boleh seorang  pun keluar dari padukuhan ini, supaya rencana ini tidak sampai terdengar oleh orang-orang yang tidak berkepentingan, dan bahkan oleh petugas sandi Ki Tambak Wedi. Bahkan Ki Samekta telah memerintahkan untuk mencegah kemungkinan segala macam tanda dan isyarat yang dapat dilontarkan.
Dalam hiruk-pikuk itu Wrahasta telah kehilangan kesempatannya pula untuk dapat berbicara dengan Pandan Wangi. Kerti, Hanggapati, Dipasanga  pun kemudian berbicara di antara mereka. Dan Pandan Wangi ikut pula di dalam pembicaraan itu. Sedang Wrahasta yang sedang berdiri dalam kekecewaan itu berpaling ketika Samekta berkata kepadanya,
“Kita  pun harus berbagi.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita harus bekerja bersama dalam pimpinan seluruh pasukan. Aku akan berada di tengah. Kerti di sayap kiri dan kau berada di sayap kanan.”
“Bagaimana dengan orang-orang yang datang dari luar lingkungan kita itu?”
“Kita tidak dapat menyerahkan pimpinan kepada mereka, biarlah mereka berada di dalam barisan, tetapi supaya pimpinan gelar dapat berlangsung dengan baik, kitalah yang akan memegangnya. Kita akan dapat bekerja bersama dengan cara dan kebiasaan kita seperti yang diajarkan oleh Ki Argapati. Orang lain itu mungkin mempunyai cara dan kebiasaan yang berbeda.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Siapakah yang akan pergi bersamaku?” bertanya Wrahasta.
“Salah satu dari Ki Hanggapati atau Ki Dipasanga.”
“Lalu bagaimana dengan gembala tua itu.”
“Tugasnya menemui Ki Tambak Wedi. Dimana  pun Ki Tambak Wedi berada.”
“Lalu kedua anak-anak gila itu?”
“Mereka  pun harus mencari Ki Peda Sura.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia melihat Pandan Wangi yang berbicara dengan Kerti. Wrahasta tahu benar, bahwa Kerti adalah orang terdekat dari Pandan Wangi sesudah ayahnya. Pada saat-saat Tanah Perdikan Menoreh tidak sedang dilanda api pertentangan, Kerti selalu pergi mengantar gadis itu berburu di hutan perburuan. Untunglah bahwa umur Kerti sudah berada di seputar setengah abad, sehingga tidak menumbuhkan perasaan apa  pun di hati raksasa itu. Tetapi tiba-tiba saja datang anak-anak muda yang telah menggelisahkannya. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Ia telah kehilangan kesempatan untuk mendengar jawaban Pandan Wangi. Kalau pasukan ini telah mulai tersusun, dan kemudian bergerak, maka ia tidak akan dapat berbicara dan mendengar apa  pun lagi dari Pandan Wangi.

Tetapi Wrahasta sama sekali tidak ingkar dari kewajibannya. Betapa hatinya dicengkam oleh kekecewaan tentang dirinya sendiri, namun sebagai seorang pemimpin pengawal ia tetap menengadahkan dadanya. Ia sadar, bahwa terutama anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh selalu memperhatikannya. Kalau ia kehilangan gairah perjuangannya, maka anak-anak muda itu pun akan kehilangan kemantapannya pula. Dan Wrahasta tidak mau menjadi penyebab, apalagi menjadi penentu, dari kekalahan pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh, hanya sekedar karena ia tenggelam di dalam kepahitan perasaan secara pribadi. Dan Samekta  pun kemudian berkata,
“Nah, marilah, kita mulai menyusun barisan. Pada saat matahari terbenam, kita keluar dari regol padukuhan ini, langsung menuju ke padukuhan induk dari tanah perdikan ini.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Samekta  pun kemudian memberitahukannya kepada Kerti dan Pandan Wangi.
“Angger akan berada bersama Ki Gede,” berkata Kerti.
“Baik, Paman, dan aku akan segera menyampaikannya kepada ayah.”
Sepercik harapan tumbuh di dada Wrahasta, apabila ia dapat pergi bersama Pandan Wangi. Tetapi sekali lagi ia menjadi kecewa ketika gembala tua itu berkata,
“Aku pun akan pergi menghadap Ki Gede. Sebelum kita berangkat. Ki Gede harus mendapat pengobatan yang baik. Dan bahwa harus disediakan persedaan obat di perjalanan, apabila tiba-tiba saja Ki Gede memerlukan.” Orang itu berhenti sejenak, lalu katanya kepada Pandan Wangi,
“Tetapi Angger harus selalu ingat, dan setiap kali memperingatkan, bahwa Ki Gede harus tetap di atas tandunya. Ki Gede tidak boleh dibakar oleh perasaannya sehingga melupakan luka-lukanya yang masih belum sembuh benar.”
“Baik, Kiai,” jawab Pandan Wangi.
“Nah, marilah kita pergi bersama-sama.”
Ketika Pandan Wangi minta diri kepada para pemimpin yang hadir di pendapa itu, ia melihat mata Wrahasta yang redup. Terasa dada gadis itu berdesir, dan kepalanya pun tertunduk karenanya. Pandan Wangi mengangkat wajahnya ketika Samekta berkata,
“Kami sudah mulai menyusun barisan kami. Pada saatnya kami akan menghadap dan memberitahukan bahwa kami akan segera berangkat.”
“Baik, Paman. Aku akan menyampaikannya kepada ayah.”
Maka Pandan Wangi pun kemudian meninggalkan pertemuan itu bersama gembala tua, yang sedang merawat Ki Argapati. Dengan cermat gembala tua itu kemudian memeriksa luka-luka di dada Argapati kemudian membubuhinya obat yang baru sebelum mereka berangkat ke medan perang. Sementara Pandan Wangi menceriterakan tentang para pengawal yang dengan setia akan ikut di dalam barisan merebut kembali kekuasaan atas padukuhan induk sebagai lambang kekuasaan atas Tanah Perdikan Menoreh. Setelah selesai dengan perawatannya atas luka Ki Argapati, maka gembala tua itu pun minta diri, untuk menemui kedua anak-anaknya yang harus diberitahu pula, apakah tugas mereka di dalam peperangan yang akan datang.
“Mudah-mudahan mereka berhasil, Kiai,” berkata Ki Argapati.
“Anak-anakmu masih sangat muda. Yang gemuk itu agaknya lebih bebas menggerakkan senjatanya daripada kakaknya.”

Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Argapati pasti sudah mendengar laporan tentang kedua gembala itu. Memang Gupala lebih memberi kesempatan perasaan berbicara. Juga di medan perang, sehingga ia pasti menelan korban jauh lebih banyak dari Gupita. Orang yang tidak menyaksikan cara mereka bertempur akan menganggap bahwa Gupala mempunyai beberapa kelebihan dari Gupita. Kelebihan itu adalah, Gupala hampir tidak pernah ragu-ragu membelah dada lawan. Tetapi Gupita mempunyai pembawaan yang lain. Ragu-ragu dan bimbang. Bahkan kadang-kadang ia membayangkan hal-hal yang dapat mengurungkan niatnya untuk membinasakan lawannya.
“Di medan yang hiruk-pikuk, keragu-raguannya itu dapat membahayakan jiwanya,” berkata orang tua itu di dalam hati,
“tetapi bukan seharusnya ia membunuh lawannya seperti menebas batang-batang ilalang.”
Gembala tua itu menemukan Gupala dan Gupita duduk di atas setumpuk jerami di dekat gardu bersama beberapa orang anak-anak muda. Agaknya mereka  pun sedang menunggu penjelasan untuk diri mereka masing-masing.
“Itu ayah datang,” desis Gupita.
“Aku harus menemuinya. Mungkin aku harus mengikutinya.”
“Ya, mungkin kau harus mengikuti ayahmu mengambil seekor atau dua ekor kambing. Setelah kita merebut kembali padukuhan induk itu, kita akan bersembunyi,” berkata salah seorang dari mereka.
“Kenapa?”
“Daging panggang.”
“Uh,” Gupala bersungut-sungut,
“kau sangka di padukuhan induk itu kekurangan kambing, bahkan sapi atau kerbau? Aku justru akan mengambil lima atau sepuluh ekor kambing. Aku akan menjadi seorang gembala yang kaya.”
“Aku tangkap kau. Bukankah aku pengawal tanah perdikan ini.”
“Tetapi kau tidak akan dapat melihat.”
Anak muda itu tidak sempat menjawab, karena Gupala segera menutup kedua telinganya sambil berlari-lari mendapatkan gurunya. Gupita yang tersenyum melihatnya masih mendengar anak-anak muda itu tertawa dan salah seorang berteriak,
“Pengecut. Jangan lari.”
Meskipun Gupala mendengarnya, tetapi ia tidak berpaling. Tangannya masih menyumbat kedua telinganya meskipun tidak terlampau rapat.
“Apa saja yang kalian bicarakan?” bertanya gembala tua itu sambil mengerutkan keningnya.
Gupala menggeleng,
“Tidak apa-apa. Sekedar berkelakar.”
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara, itu Gupita  pun telah berdiri di samping anak muda yang gemuk itu.
“Sebentar lagi kita akan berangkat,” desis gurunya.
“Ya, aku sudah mendengar,” sahut Gupita.
“Anak-anak muda itu telah mendapat penjelasan dari para pemimpin kelompok masing-masing. Kini mereka telah bersiap. Sebentar lagi mereka harus berkumpul di kelompok masing-masing.”
“Ya, begitulah. Kalian pun harus segera menyiapkan diri pula. Tidak ada waktu lagi untuk bermalas-malas.”
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita tidak akan berada di dalam barisan. Kita mendapat keleluasaan untuk menemukan lawan-lawan kita. Seperti juga Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga.”
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-angguk.
“Kau berdua harus mencari Ki Peda Sura,” berkata gembala tua itu kemudian,
“sedang Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga harus berhadapan sekali lagi dengan Sidanti dan Argajaya. Karena keduanya mempunyai kemampuan yang hampir seimbang, maka keduanya dapat bertukar tempat, siapa saja yang dapat mereka temui.”
Gupita dan Gupala menundukkan kepalanya. Terbayang di wajah mereka kekecewaan bahwa mereka tidak mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Sidanti atau Argajaya.
“Kau tidak dapat memilih,” berkata orang tua itu,
“kau tinggal menerima perintah. Di sini kekuasaan tertinggi berada di tangan Ki Argapati. Dari siapa pun pendapat itu, namun apabila Ki Argapati telah mengiakan, maka keputusan itu sudah menjadi keputusannya.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia menjawab,
“Baiklah. Aku akan melakukannya.” Gupita berhenti sejenak, kemudian,
“Lalu bagaimana dengan Guru?”
“Aku harus menghadapi Ki Tambak Wedi,” jawab gurunya.
“Sebenarnyalah aku memang berkepentingan. Selama Ki Tambak Wedi itu masih berkesempatan untuk mengganggu, ia akan tetap mengganggu kalian. Seandainya Sidanti sudah tidak ada lagi, ia pasti akan mencari orang lain yang dapat dipergunakannya untuk memuaskan hatinya. Kini tanpa kita duga-duga sebelumnya, kita mendapatkan sepasukan pengawal yang dapat membantu kita, yang menurut sudut pandangan Ki Argapati beruntunglah ia mendapat bantuan kita. Dengan demikian, kita sudah saling membantu.”
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia berdesah,
“Tetapi kami semua sama sekali tidak mempunyai kepentingan apa pun dengan Ki Peda Sura.”
“Kepentingan itu akan saling berkait. Apabila kita sudah berada dalam satu kesatuan, kita harus memandang seutuhnya. Jangan sepotong-sepotong seperti itu.”
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah kakak seperguruannya. Namun Gupita masih saja mengangguk-angguk kecil.
“Nah, bersiaplah. Kita tidak akan selalu bersama-sama di peperangan. Tetapi ingat, kalian harus berhati-hati melawan Ki Peda Sura. Orang itu tidak kalah licik dari orang-orang mereka yang lain. Mungkin kau berdua harus menghadapinya bersama-sama sekelompok anak buahnya. Apabila demikian, kau harus masuk ke dalam garis pertahanan pasukan Menoreh, supaya kau mendapat perlindungan dari orang-orang yang tidak dapat kau lawan satu demi satu. Mereka pasti akan dihadang oleh para pengawal, sedang kau dapat menempatkan dirimu kembali melawan Ki Peda Sura.”
Gupita yang masih mengangguk-anggukkan kepalanya bertanya,
“Apakah kami masih harus bersenjata pedang?”
Gurunya menggeleng.
“Tidak. Kita sudah menyatakan diri kita di dalam peperangan ini. Meskipun bagi kalian jenis senjata apa pun tidak akan terlampau berpengaruh, namun yang mana yang dapat memberi kemantapan kepada kalian, pergunakanlah.”
Gupala mengangkat alisnya,
“Aku akan mempergunakan keduanya.”
Gupita mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya wajah adik seperguruannya itu, kemudaan ditatapnya wajah gurunya yang tersenyum. Orang tua itu berkata,
“Tidak selalu senjata rangkap itu menguntungkan. Pandan Wangi memang memiliki kemampuan khusus mempergunakan sepasang pedangnya. Ki Peda Sura pun mempergunakan sepasang bindi, meskipun kadang-kadang ia mempergunakan jenis-jenis senjata yang lain.”
“Aku akan memegang cambuk di tangan kanan dan pedang di tangan kiri,” berkata Gupala.
“Asal salah satu di antaranya justru tidak akan mengganggu.”
Gupala menggeleng,
“Aku sudah berlatih mempergunakan keduanya.”
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya bahwa Gupala selalu mencoba-coba mempergunakan apa saja.
“Terserahlah kepadamu. Tetapi kalian harus tetap berhati-hati melawan orang itu. Ia dapat berbuat apa saja.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kami akan selalu mengingat-ingat hal itu,” desis Gupita kemudian, lalu, “tetapi di mana kami harus berada di dalam lingkungan seluruh pasukan.”
“Kau berada di induk pasukan bersama aku. Tetapi di peperangan, kau harus mencari lawanmu,” jawab gurunya.
“Ingat, Ki Peda Sura tidak segan-segan melarikan diri dan bersembunyi di dalam hiruk-pikuk peperangan. Memang sulit untuk mencari seseorang yang dengan sengaja bersembunyi di dalam keributan yang demikian.”
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau kalian berhasil menguasainya, usahakan jangan sampai orang itu berhasil melarikan dirinya.”
“Baik, Guru,” jawab kedua anak-anak muda itu hampir bersamaan.
“Ki Peda Sura akan menjadi hantu yang mengerikan bagi tanah ini apabila ia berhasil melepaskan dirinya. Apalagi apabila Ki Argapati masih belum sembuh benar dan belum dapat langsung memimpin pemerintahan di Tanah Perdikan ini.”

Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
“Nah, sekarang bersiaplah sambil menunggu perintah lebih lanjut.”
“Baik, Guru,” jawab mereka bersamaan.
Keduanya  pun kemudian kembali ke tempat mereka semula. Sambil bersungut-sungut Gupala berkata,
“Nah, kalian dengar. Ayahku marah-marah ketika ia mendengar teriakan kalian. Disangkanya aku benar-benar sudah menjadi pengecut dan lari.”
Kawan-kawannya tertawa. Salah seorang dari mereka berkata,
“Tampangmu memang tampang seorang pengecut.”
Gupala memberengut, namun kemudian ia tertawa. Sejenak kemudian maka beberapa orang petugas telah membagikan makan bagi setiap orang yang akan ikut pergi ke medan perang. Bagaimanapun juga, mereka harus membekali diri masing-masing dengan kemungkinan yang sejauh-jauhnya.
“He,” berkata salah seorang yang bertubuh kurus,
“nikmatilah makan ini sebaik-baiknya. Siapa tahu, bahwa nasi yang kita makan ini adalah butiran-butiran nasi yang terakhir kita kenyam.”
“Hus,” desis kawannya, “mimpi apakah kau tadi malam?”
“Tidak. Aku tidak bermimpi,” jawabnya.
Demikianlah maka para pengawal itu  pun kemudian sibuk dengan makan masing-masing. Gupala dan Gupita  pun makan pula bersama dengan mereka. Beberapa saat setelah mereka makan, maka terdengarlah kemudian aba-aba dari beberapa orang pemimpin kelompok. Mereka sengaja tidak mempergunakan tanda-tanda yang biasa diperdengarkan untuk kepentingan serupa, supaya tanda-tanda itu tidak ditangkap oleh orang-orang yang tidak berkepentingan, apalagi petugas-petugas sandi lawan.”
Aba-aba itu  pun segera merambat dan setiap orang menyebar ke seluruh padukuhan. Meskipun tanpa tanda apa  pun juga, namun tidak seorang  pun yang kelampauan. Demikianlah maka Menoreh telah menyiapkan barisannya. Sementara matahari menjadi semakin dalam bersembunyi di balik bukit. Para pemimpin Menoreh  pun kemudian sibuk menyiapkan pasukan mereka. Pasukan yang telah dibekali oleh pengertian yang mantap, untuk apa mereka pergi berperang.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 043                                                                                                       Jilid 045 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar