Jilid 051 Halaman 1


“AGAKNYA Prastawa ada di rumah,” desis Agung Sedayu.
“Ya,” jawab Sekar Mirah, “ia baru datang malam ini.”
Prastawa menjadi semakin gelisah.
“Bersama anak ini?” Agung Sedayu melanjutkan.
“Ya,” berkata Sekar Mirah selanjutnya,
“anak ini ingin menjemput aku dan membawa pergi ke rumahnya.”
Dahi Agung Sedayu menjadi berkerut-merut karenanya. Namun Sekar Mirah segera berkata,
“Tetapi kami, maksudku, Ki Argajaya dan seisi rumah ini, mengharap ia tinggal di sini bersama putera Ki Argajaya itu.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bertanya,
“Apakah anak itu sudah menyatakan keinginannya untuk kembali ke rumah ini?”
“Ya. Ia sudah amat merindukan keluarganya,” jawab Sekar Mirah.
“Tetapi ia tidak berani memasuki rumah ini lewat pintu depan, karena para pengawal ada di halaman dan kebun belakang rumah ini.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum mengerti, bagaimana anak itu dapat memasuki rumah ini tanpa diketahui oleh para pengawal. Tetapi agaknya pemimpin pengawal itu tidak sekedar bertanya-tanya di dalam hati, karena pertanyaan itu kemudian diucapkannya,
“Dari mana ia memasuki rumah ini?”
“Ada dua kemungkinan,” jawab Sekar Mirah,
“demikian hebatnya kedua anak-anak muda ini, atau para pengawal telah tertidur semuanya.”
Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Katanya,
“Kami selalu bersiaga di halaman.”
Sekar Mirah tersenyum.
“Tetapi suatu kenyataan. Anak itu telah berada di dalam rumah ini.”
Pemimpin pengawal itu dan Agung Sedayu saling berpandangan sejenak.
“Tetapi kenapa anak ini akan berlari?” bertanya Agung Sedayu tiba-tiba.
Sekar Mirah terdiam sejenak, namun kemudian ia menjawab,
“Ia tidak yakin, bahwa ia dapat diterima oleh keluarga ini. Bahkan ia ingin membawa aku bersamanya.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya anak muda yang berdiri temangu-mangu itu.
“Tetapi jangan marah kepadanya,” Sekar Mirah melanjutkannya,
“mungkin sudah terlampau lama ia ditinggalkan kekasihnya, sehingga ia menjadi salah lihat. Aku sudah menawarkan, apakah ia bersedia menjadi adikku, karena aku hanya mempunyai seorang saudara laki-laki.”
Anak muda itu masih berdiri dengan tegangnya. Sedang Agung Sedayu memandanginya dengan hampir tidak mengedipkan matanya. Namun akhirnya Sekar Mirah berkata,
“Yang penting kemudian, apakah kehadiran Prastawa dapat diterima seperti kehadiran Ki Argajaya di antara para pemimpin Menoreh yang lain, dalam hubungannya dengan pengampunan umum bersama-sama kawannya ini apabila ia bersedia?”
Agung Sedayu berpaling kepada pemimpin pengawal itu. Katanya,
“Aku tidak tahu apakah jawabnya?”
“Aku melihat betapa besar kerinduan yang bergolak di dalam dada Ibu dan anak. Juga di dalam dada Ki Argajaya. Apakah kalian sampai hati untuk memisahkannya kembali?”
Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya,
“Itu bukan hakku. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Argapati, sementara anak itu berada di dalam pengawasan kami di sini. Tetapi aku sendiri juga mempunyai anak. Aku dapat mengerti arti perpisahan yang lama antara orang tua dan anaknya. Namun pengampunan itu berada di luar kekuasaanku.”
“Ki Argapati akan mengampuninya,” desis Agung Sedayu.
“Aku condong pada pendapat itu. Aku harap keluarga ini dapat segera pulih kembali.”
Tidak seorang pun yang menyahut, sehingga ruangan itu dicengkam oleh kesenyapan. Hanya wajah-wajah yang tegang sajalah yang saling memandang berganti-ganti. Ketika Nyai Argajaya berpaling ke arah Prastawa, maka dilihatnya anak muda itu menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Suara Agung Sedayu pulalah yang kemudian memecahkan kesenyapan.
“Aku akan ikut berusaha, agar semuanya dapat segera kembali seperti sediakala. Tanah Perdikan Menoreh, dan setiap keluarga yang selama ini terpecah-belah. Mungkin oleh ketakutan sehingga mereka mengungsi tercerai-berai, mungkin karena sudut pandangan yang berlainan. Mungkin oleh sebab-sebab yang lain.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Semuanya masih diam, seakan-akan membeku di tempatnya. Agung Sedayu pun kemudian terdiam pula. Sehingga dengan demikian ruangan itu kembali menjadi sepi. Hanya desah-desah nafas sajalah yang terdengar bersahut-sahutan. Dalam pada itu, Prastawa yang menundukkan kepalanya itu pun seakan-akan mendapat kesempatan untuk mengerti tentang dirinya sendiri selama ini. Seakan-akan terbayang di kepalanya, dirinya sendiri dan beberapa orang kawan-kawannya berkeliaran tidak menentu. Mereka sama sekali tidak mempunyai tujuan apa pun dengan segala macam perbuatan mereka, selain melepaskan dendam.
“Apakah hal itu akan bermanfaat untuk dipertahankan lebih lama lagi?” pertanyaan itu melonjak di dalam dadanya.
Selagi ia dibayangi oleh masalah-masalah yang telah mendebarkan jantungnya, tiba-tiba saja terdengar suara ibunya,
“Prastawa, apakah kau sudah menemukan keputusan yang mantap. Tidak ragu-ragu?”
Prastawa mengangkat wajahnya. Sejenak ditatapnya wajah ayahnya yang sedang memandanginya pula. Tiba-tiba dari sela-sela bibirnya terdengar suaranya lambat sekali.
“Maafkan aku, Ayah.”
“Prastawa,” Ibunya hampir memekik.
“Aku menyadari kesalahanku. Bagaimanapun juga, aku berhadapan dengan orang tuaku.”
Ki Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun Nyai Argajaya tidak dapat menahan perasaan yang melonjak di dadanya. Tiba-tiba ia berlari ke arah anak muda itu. Seperti anak-anak yang sedang tumbuh, dipeluknya Prastawa sambil menitikkan air matanya. Katanya,
“Kau memang harus kembali padaku, Ngger. Kau tidak boleh pergi berkeliaran tidak menentu.”
Prastawa tidak menjawab. Kepalanya tertunduk di dalam pelukan ibunya. Tetapi matanya pun menjadi basah karenanya. Sekar Mirah yang berdiri di pringgitan menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya Agung Sedayu yang membeku di samping pemimpin pengawal yang mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku tidak akan pergi lagi, Ibu,” desis Prastawa.
“Meskipun seandainya Paman Argapati tidak memaafkan aku. Aku akan mengangkat wajahku untuk menerima segala macam hukumanku.”
“Kami, aku dan ayahmu akan mohon kepadanya, agar kau mendapat kesempatan hidup di antara kami,” suara Nyai Argajaya menjadi parau.
Prastawa tidak menyahut. Ketika perlahan-lahan ibunya melepaskan pelukannya, anak muda itu mengusap matanya yang kemerah-merahan. Dalam pada itu, anak muda kawan Prastawa yang masih berdiri termangu-mangu itu tiba-tiba menyadari keadaannya. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Di muka pintu berdiri Agung Sedayu dan pemimpin pengawal. Di samping pintu dalam, Sekar Mirah menimang-nimang pedang yang dirampas dari tangannya, meskipun kepalanya menunduk, sedang di ruang dalam terdiri Ki Argajaya dan orang tua yang disebut ayah Sekar Mirah. Agak jauh masuk ke dalam, Prastawa dan ibunya.
Dalam keragu-raguan itu ia mendengar,
“Bagaimana dengan kau?”
Anak muda itu terkejut. Dilihatnya Agung Sedayu melangkah maju sehingga tanpa disadarinya, ia pun mundur setapak.
“Aku harap kau pun dapat menilai keadaan. Kalau kau masih menganggap bahwa perjuanganmu sekarang ini masih perlu dilanjutkan, maka kau adalah seorang pemimpi yang malang. Bukan saja karena kau sudah kehilangan kekuatan, tetapi yang lebih parah lagi, kau sudah kehilangan tujuan.” Agung Sedayu berhenti sejenak. Lalu,
“Apakah kau masih akan berpikir?”
Anak muda itu tidak menjawab.
“Sedang saat yang kau hadapi kini pun tidak akan dapat kau atasi, apa yang dapat kau lakukan saat ini?”
Anak muda itu masih berdiam diri.
“Kalau kau masih dapat berpikir bening, sebaiknya kau menyerah. Sudah tentu perlakuan atasmu berbeda dengan perlakuan atas Prastawa. Tetapi kau pun pasti akan mendapat kesempatan, seperti yang pernah diumumkan oleh Ki Argapati, bahwa Ki Argapati akan memberikan pengampunan kepada mereka yang menyadari keadaan mereka, sejauh itu tidak berbahaya bagi Menoreh. Nah, pertimbangkan.”
Anak itu sama sekali tidak menjawab. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Pilihlah. Apakah kau akan kami bawa sebagai seorang yang menyerah dan menyadari keadaan, atau kau harus kami tangkap dan kami bawa ke padukuhan induk Tanah Perdikan ini sebagai tawanan?”
Wajah anak itu menjadi tegang, ia sedang berjuang di antara kenyataan yang dihadapinya dan harga dirinya sebagai seseorang yang menganggap dirinya seorang pejuang yang tidak ingkar.
“Pilihlah,” desis Agung Sedayu.
Namun wajah itu pun kemudian mengendor. Dari sela-sela bibirnya terdengar suaranya dalam,
“Aku menyerah.”
Agung Sedayu, pemimpin pengawal, dan Sekar Mirah menganggukkan kepalanya. Mereka merasa, bahwa jalan yang akan ditempuh oleh Ki Argapati akan menjadi semakin lancar untuk memulihkan kembali Tanah yang sudah tersobek-sobek dari dalam itu sendiri. Malam yang kelam menjadi semakin kelam. Dingin telah merasuk sampai ke tulang. Namun beberapa wajah telah dihiasi dengan senyum yang bening.

Pagi yang cerah telah membangunkan Tanah Perdikan Menoreh yang sedang lelap. Perlahan-lahan mulailah kehidupan yang berlangsung dari hari ke hari. Setiap kali lebih sibuk dari hari yang kemarin, karena tanah-tanah yang kering telah mulai diairi, sawah yang tidak digarap, telah mulai dicangkul, dan pasar-pasar telah mulai terisi oleh para pedagang yang selama ini bersembunyi di pengungsiannya. Ketika matahari menebarkan sinarnya di lambung pegunungan, pedati yang memuat bahan-bahan makanan telah mulai mengalir ke pusat-pusat perdagangan di padukuhan-padukuhan yang berserakan di sepanjang tanah Perdikan yang mulai sembuh dari luka-lukanya, akibat perang yang berkecamuk di antara keluarga sendiri. Sekelompok demi sekelompok, sisa-sisa pasukan Sidanti telah kembali memenuhi panggilan Ki Argapati. Apalagi setelah Prastawa hilang dari lingkungan mereka. Maka gerombolan-gerombolan yang semula merasa, bahwa satu-satunya jalan adalah menumbuhkan perasaan takut, ngeri, dan penyebaran pembalasan dendam, mulai menyadari keadaan mereka, bahwa mereka masih mungkin menemukan jalan kembali ke dalam kehidupan yang wajar, tidak seperti rusa yang sedang diburu di tengah-tengah semak-semak yang rimbun, yang selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. Betapapun lambatnya namun pasti, bahwa luka Ki Argapati pun akan sembuh pula. Tetapi ada sesuatu yang berada di luar kemampuan manusia, bahwa Ki Argapati tidak dapat pulih kembali seperti sediakala. Betapa pun dukun tua yang bernama Ki Tanu Metir berusaha, namun pada akhirnya ia hanya dapat mengucap syukur kepada Tuhan, bahwa Ki Argapati masih juga dapat sembuh dari luka-lukanya, meskipun ada sesuatu yang telah diambil daripadanya. Kaki kiri Ki Argapati seakan-akan telah mengalami kelumpuhan karena urat-urat yang terputus oleh luka-lukanya. Sedang tangan kirinya pun mengalami kelemahan yang meskipun tidak separah kakinya, namun tangannya itu tidak lagi dapat bergerak leluasa.
“Tuhan telah mengutukku,” desisnya setiap kali.
“Aku ternyata tidak mampu mengendalikan Tanah yang dipercayakan kepadaku sebaik-baiknya. Kini Tanah ini telah menjadi tenang. Tetapi seperti tanah ini, maka tubuhku pun tidak dapat pulih seperti sediakala.”
Meskipun demikian, Ki Argapati tidak menjadi putus-asa. Ia tidak menyesali nasibnya dengan keluhan-keluhan yang cengeng. Meskipun kaki dan tangannya tidak dapat pulih kembali, namun ia masih selalu berada di punggung kudanya, mengelilingi Tanah Perdikan Menoreh yang telah mulai hijau kembali. Tanah yang membentang dari perbukitan di sebelah Barat sampai ke daerah-daerah yang berhutan di sebelah Barat Kali Praga, rasa-rasanya sudah mulai hidup kembali. Dengan bimbingan Ki Argapati, maka Tanah Perdikan Menoreh mulai mengobati diri mereka. Mereka mulai menyembuhkan luka-luka yang agak parah sedikit demi sedikit. Demikian juga dendam yang selama ini tersebar di atas Tanah itu pun sedikit demi sedikit mulai mencair dari setiap dada. Terutama anak-anak mudanya, yang semula terbagi di dua pihak. Meskipun masih ada satu dua yang mengeraskan hatinya di dalam kesesatan, namun pada umumnya Tanah Perdikan Menoreh sudah menjadi baik. Seperti juga Ki Argapati yang menjadi baik. Namun di dalam lubuk hatinya paling dalam, maka masih juga terdapat cacat seperti cacat pada tubuh Ki Argapati.

Ki Argajaya, adik Ki Argapati, telah dapat menampakkan dirinya kembali di antara rakyat Menoreh. Karena kesungguhannya, serta seluruh keluarganya ikut membangun Tanah yang sudah hampir menjadi abu itulah, maka perlahan-lahan ia mendapatkan tempatnya kembali sebagai adik seorang Kepala Tanah Perdikan. Perlahan-lahan, seperti pertumbuhan Tanah Perdikan itu, tumbuh dan mekar pulalah perasaan yang tersimpan di dada gadis satu-satunya dari Kepala Tanah Perdikan itu. Putera Ki Demang Sangkal Putung, ternyata lambat-laun mendapatkan tempat di hatinya. Sifatnya yang gembira dan terbuka, telah membuat Pandan Wangi sedikit demi sedikit melupakan kepahitan yang bertimbun-timbun telah menimpanya. Dengan sadar, Agung Sedayu berusaha untuk tidak mengganggu hubungan yang sedang mekar di hati kedua anak-anak muda itu. Apalagi Sekar Mirah untuk sementara masih juga berada di atas Tanah Perdikan itu. Sedang kedua orang-orang tua, Kiai Gringsing dan Sumangkar, seperti gembala-gembala yang sedang tekun menunggui domba-domba gembalaan mereka, masih juga berada di Menoreh. Selain menunggui murid-murid mereka, maka kedua orang tua itu pun dapat menjadi kawan bercakap-cakap yang mapan bagi Ki Argapati.
“Kalau kalian tinggalkan kami, maka aku akan kehilangan kawan berbicara di sore hari,” berkata Ki Argapati kepada mereka berdua.
Keduanya tersenyum. Kiai Gringsing pun kemudian menjawab,
“Apakah tidak ada orang tua di atas Tanah Perdikan ini?”
“Mereka terlampau tua untuk bercakap-cakap tanpa arti,” jawab Ki Argapati sambil tersenyum.
“Mereka sukar untuk berbicara tentang bermacam-macam persoalan yang tidak menegangkan urat syaraf, namun bermanfaat bagi pengalaman pengenalan kita atas kehidupan di sekitar kita. Mereka, orang-orang tua di Menoreh hanya senang berbicara tentang air, padi yang sedang tumbuh, bintang Gubuk Penceng, bintang Waluku dan bintang Panjer saja.”
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tertawa. Berkata Ki Sumangkar,
“Itu pertanda bahwa mereka adalah petani-petani yang rajin. Petani-petani yang tekun di dalam kerja. Kawan mereka yang terdekat adalah air, musim, dan bintang-bintang yang memberikan petunjuk kepada mereka, kapan mereka harus memulai musim tanam padi, musim tanam palawija, dan musim-musim yang lain, termasuk musim mencari ikan di sungai Praga.”
“He, kau pandai juga membaca pertanda bintang?”
“Aku juga seorang petani.”
“Petani di istana Kepatihan Jipang.”
Sumangkar tertawa.
“Aku petani, juru masak, dan sekaligus pemomong di Kepatihan.”
“Jabatan rangkap yang sukar dikerjakan bersama-sama.”

Ketiga orang tua-tua itu tertawa. Di dalam kepala mereka terlintas kenangan masa silam mereka. Terutama Sumangkar. Namun, meskipun ia tertawa seperti anak-anak yang mendapatkan permainan, namun terasa desir yang halus telah menyengat dadanya. Kenangan itu sebenarnya tidak begitu menyenangkannya. Tetapi perasaan itu sama sekali tidak berkesan di wajahnya. Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian berkata,
“Tetapi bagaimana pun juga, akan datang saatnya, kami minta diri.”
“Ya, aku pun menyadari. Tetapi sudah tentu tidak besok atau lusa.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Terkilas sesuatu di dalam angan-angannya, tetapi ia tidak mengatakannya. Di luar rumah, Pandan Wangi duduk di bawah sejuknya pepohonan di kebun belakang. Di sebelahnya, seorang anak muda yang gemuk duduk bersandar sebatang pohon melandingan. Mereka tampaknya sedang asyik bercakap-cakap. Mempercakapkan diri mereka sendiri. Sedang di dalam dada mereka, api cinta telah mulai menyala.
“Setiap saat guru dapat membawa aku pergi, Wangi,” kata Swandaru.
“Kapan, Kakang?” bertanya Gadis itu.
“Aku tidak tahu,” berkata Swandaru, “tetapi aku mengharap tidak segera.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya jauh menusuk bayangan dedaunan yang menari-nari di atas tanah yang kering.
“Tetapi sebelum aku meninggalkan Tanah Perdikan ini, aku akan minta guruku, mewakili ayah dan ibuku, untuk sementara menyampaikan lamaranku, sampai pada saatnya ayah dan ibuku sendiri akan aku minta datang kepada ayahmu.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
“Aku harap bahwa pada suatu saat kau pun dapat melihat Kademangan Sangkal Putung. Meskipun tidak sebesar Tanah Perdikan ini, tetapi Sangkal Putung adalah daerah yang subur dan kaya raya.”
“Aku ingin sekali melihat daerah itu,” berkata Pandan Wangi.
“Apakah Sangkal Putung sudah tidak pernah diganggu oleh gerombolan-gerombolan seperti yang pernah kau ceriterakan kepadaku?”
Swandaru menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Sejak mereka dihancurkan di padepokan Tambak Wedi, maka tidak ada lagi gangguan yang berarti bagi kademangan itu.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah Sangkal Putung memiliki sawah yang luas?”
“Ya, amat luas sawah dan pategalan. Dari ujung sampai ke ujung, Sangkal Putung tampak hijau segar.”
“Aku pasti akan senang sekali,” desis Pandan Wangi.
“Orangnya pun cukup ramah dan baik seperti orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.”
“O. Menyenangkan sekali.”
“Dan kau akan tinggal di daerah itu kelak.”
Tetapi Pandan Wangi pun kemudian mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja sorot matanya menjadi buram.
“Tetapi,” suaranya menurun,
“apakah kelak aku harus meninggalkan Tanah Perdikan ini?”
“Aku mempunyai kewajiban atas Kademangan Sangkal Putung,” jawab Swandaru.
“Aku akan menggantikan ayah yang menjadi semakin tua.”
“Aku mengerti. Tetapi bagaimana dengan Tanah ini? Ayah pun menjadi semakin tua, dan aku adalah satu-satunya anaknya.”

Kening Swandaru pun berkerut pula. Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera dapat menjawab. Ia mengerti kerisauan perasaan gadis itu. Kalau ia menjadi isterinya kelak, gadis itu wajib mengikutinya ke Sangkal Putung. Tetapi sebagai satu-satunya anak Kepala Tanah Perdikan ini, ia akan menggantikan ayahnya. Suaminyalah yang kelak harus menjadi Kepala Tanah Perdikan ini. Tetapi bakal suaminya yang gemuk itu mempunyai kewajiban sendiri atas tanah kelahirannya.
“Tetapi jangan hiraukan semuanya itu,” berkata Swandaru kemudian.
“Kita akan dirisaukan oleh masalah yang masih akan datang kelak. Jangan hiraukan supaya hati kita tidak risau kali ini. Pada saatnya kita pasti akan menemukan cara, bagaimana kita akan memecahkan masalah ini.”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
“Sekarang kita hanya akan membuang-buang waktu saja. Senyum kita akan terganggu oleh masalah-masalah yang masih jauh. Jangan hiraukan.”
Pandan Wangi pun kemudian tersenyum pula. Kini ia sudah mengenal anak yang gemuk itu agak lebih baik lagi. Swandaru tidak mau diganggu oleh angan-angan yang suram. Ia ingin menikmati keriangan hari ini. Dan itu dapat menghiburnya di saat-saat kepedihan menyentuh jantungnya.
“Kenapa kita mesti bermuram hati?” berkata Swandaru setiap kali.
“Lihatlah langit yang cerah. Hati kita pun harus cerah pula karenanya.”
Dan Pandan Wangi pun berusaha untuk menyesuaikan dirinya. Perlahan-lahan ia menemukan kegembiraannya kembali. Kini ia sudah mulai berkeliaran lagi di hutan-hutan perburuan. Tidak sendiri, tetapi bersama-sama dengan kawan-kawannya yang agaknya sesuai dengan keadaannya. Kadang-kadang, Pandan Wangi pergi berburu bersama Swandaru, Sekar Mirah, dan Agung Sedayu. Namun kadang-kadang ia hanya berdua saja dengan anak muda yang gemuk itu, meskipun dalam waktu yang sangat terbatas sekali, karena Ki Argapati selalu mengawasi mereka, meskipun tidak mengekang terlampau keras. Juga Kiai Gringsing, tidak pernah membiarkan keduanya lepas dari pengawasannya, karena apabila Swandaru tergelincir bersama Pandan Wangi, karena gelora remaja mereka, maka semua hubungan yang baik itu pun akan menjadi rusak karenanya. Ki Argapati pasti menganggap muridnya sebagai seorang anak muda yang kurang menghargai hubungan yang dianggap suci menjelang terjalinnya suatu keluarga.

Diketahui atau tidak diketahui, Swandaru selalu tidak pernah lepas dari pengamatan dukun tua itu. Hubungan kedua anak-anak muda itu pun sama sekali tidak lepas dari pengamatan Argapati. Sebagai seorang ayah ia mengerti, betapa di hati anaknya sedang tumbuh perasaan seorang gadis dewasa. Ia menyadari bahwa Pandan Wangi dan Swandaru Geni telah saling mencintai. Dan Ki Argapati tidak berkeberatan atas cinta yang sedang bersemi itu, meskipun belum seorang pun yang pernah menyatakannya kepadanya, sebagai seorang ayah. Karena Swandaru mempunyai kesibukan sendiri, maka Agung Sedayu pun mengisi waktunya dengan kesibukannya sendiri. Kadang-kadang ia bersama Sekar Mirah mengikuti Ki Argapati mengedari tlatah Menoreh yang sedang membangun, diiringi oleh para pemimpin Menoreh yang lain. Namun kadang-kadang ia pergi seorang diri mengikuti Ki Argapati tanpa pengawal. Sedang di saat yang lain, Agung Sedayu berpacu di jalan-jalan yang berbatu padas, di lereng-lereng bukit bersama Samekta atau Kerti. Bahkan kadang-kadang Agung Sedayu, hanya berdua saja bersama Sekar Mirah menjelajahi sawah dan pategalan. Dengan demikian, maka kedua anak-anak muda itu rasa-rasanya bukan lagi orang asing di Tanah Perdikan Menoreh. Setiap orang Tanah Perdikan Menoreh mengenal mereka berdua. Setiap orang Tanah Perdikan Menoreh menghormati keduanya sebagai orang yang berjasa bagi Tanah Perdikan ini. Bahkan, anak-anak muda yang sebaya dengan Agung Sedayu sambil berkelakar menyebut mereka berdua sebagai, Sepasang Orang Berkuda.
Agung Sedayu dan Sekar Mirah hanya tertawa saja mendengar sebutan itu. Bahkan Agung Sedayu sering berdesis kepada Sekar Mirah,
“Lain kali, kalau Adi Swandaru sudah tidak terlampau sibuk dengan masalahnya, dan kedua anak-anak itu sering berpacu di sepanjang jalan-jalan Tanah Perdikan Menoreh, akan tumbuh sebutan baru bagi kita semua.”
“Sebutan apa kira-kira itu, Kakang?” bertanya Sekar Mirah.
“Dua pasang Orang-orang Berkuda.”
Sekar Mirah tertawa. Katanya kemudian,
“Tetapi mereka tidak akan sempat melakukannya.”
“Sekarang. Tetapi pada suatu saat, mereka pasti akan tertarik. Apalagi Pandan Wangi adalah satu-satunya anak Ki Argapati.”
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya. Pandan Wangi adalah satu-satunya pewaris Tanah Perdikan ini.”
Namun demikian, di saat-saat terakhir, Ki Argapati banyak berbicara mengenai Tanah Perdikan ini justru dengan Agung Sedayu, selain dengan pemimpin-pemimpin Menoreh sendiri. Ki Argapati sangat menghargai pikiran-pikiran Agung Sedayu yang mantap, yang dapat memberikan jawaban atas kesulitan yang berkembang di saat-saat Menoreh sedang menyembuhkan dirinya sendiri.
“Kedua murid Kiai Gringsing ini memang agak berbeda,” berkata Ki Argapati di dalam hatinya.
“Namun nampaknya Agung Sedayu agak lebih bersungguh-sungguh dari Swandaru. Anak ini mempunyai daya pikir yang luar biasa kuatnya. Pantas, kalau ia adalah adik dari Panglima Pajang yang berkuasa di daerah Selatan, Untara.”

Meskipun demikian, Ki Argapati sama sekali tidak kecewa terhadap Swandaru. Katanya kepada diri sendiri,
“Anak muda yang gemuk ini mempunyai kegembiraan dan kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan, meskipun agak terlampau didorong oleh perasaannya. Tetapi ia adalah seorang anak muda yang kuat dan terbuka.”
Karena itulah, maka ketika pada suatu saat, Kiai Gringsing atas permintaan Swandaru menyampaikan permohonannya kepada Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan itu tidak terkejut lagi.
“Maaf, Ki Gede. Agaknya aku terlampau berani mendahului ayah dan ibu muridku. Tetapi anggaplah bahwa apa yang aku sampaikan itu sekedar pemberitahuan, bahwa ada hasrat dari Swandaru, untuk meminang puteri Ki Gede. Pada suatu saat, tentu ayah dan ibunya akan datang mengunjungi Tanah Perdikan Menoreh ini.”
Ki Argapati tersenyum. Katanya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku mengerti. Dan aku tidak akan dapat berbuat lain kecuali mengijinkan anakku memilih bakal suaminya sendiri.”
“Terima kasih,” sahut Kiai Gringsing.
“Muridku akan sangat berterima kasih pula.”
“Aku mengenal muridmu yang gemuk itu. Aku mengetahui serba sedikit tentang anak muda itu. Karena itu maka keputusanku untuk mengijinkan Pandan Wangi memilih bakal suaminya, sama sekali bukan berarti bahwa aku telah melepaskannya sama sekali.”
“Anak itu anak bengal, bodoh, dan kadang-kadang agak kurang mengendalikan dirinya.”
“Ia periang dan berhati terbuka,” Ki Gede Menoreh mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku tidak berkeberatan apa pun.”
Kabar itu benar-benar telah menggembirakan hati Swandaru, sehingga tanpa sesadarnya ia memukul pundak Agung Sedayu sambil berkata,
“Akhirnya aku pun mendapatkan seorang gadis.”
“Hus,” desis Agung Sedayu.
“Kenapa tidak? Kau cukup tampan. Wajahmu cerah seperti matahari.”
“Cukup, cukup,” potong Swandaru.
Agung Sedayu tertawa, dan akhirnya Swandaru dan Sekar Mirah pun tertawa pula.
Namun dengan demikian, maka Swandaru pun mulai berpikir untuk segera pulang ke rumahnya, menyampaikan masalahnya itu kepada ayah dan ibunya. Meskipun ia yakin bahwa ayah dan ibunya tidak berkeberatan, namun tiba-tiba saja di luar sadarnya ia berkata,
“Ayah dan ibu harus segera pergi ke Tanah Perdikan ini sebelum jalan dari Sangkal Putung kemari menjadi sulit dan bahkan tertutup.”
“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.
“Bukankah telah tumbuh suatu daerah baru di atas Alas Mentaok yang dibuka oleh Ki Gede Pemanahan dan puteranya, Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar?”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Memang mungkin hal itu akan menjadi masalah. Tetapi mungkin pula, jalan justru menjadi bertambah baik karena daerah baru itu.”
Kedua muridnya tidak menjawab. Sumangkar yang ada di antara mereka pun tidak menyahut pula.

Dengan demikian maka mereka pun sejenak saling berdiam diri. Namun kini tanpa mereka sadari, angan-angan mereka telah bergeser dari pembicaraan mereka semula. Mereka tidak lagi membayangkan apakah orang tua Swandaru akan dengan senang hati memenuhi permintaan anaknya yang ingin kawin dengan seorang gadis, yang berasal dari tempat yang cukup jauh, yang tidak berasal dari kademangannya sendiri? Apakah ayah dan ibunya masih belum mempunyai seorang calon isteri bagi anak laki-lakinya? Tetapi menilik sikapnya yang terbuka atas anak gadisnya yang telah membuat hubungan dengan Agung Sedayu, yang berasal dari Jati Anom itu, maka agaknya Ki Demang Sangkal Putung pun tidak akan berkeberatan. Kini yang mereka pikirkan dan mereka bayangkan, adalah suatu daerah baru di Alas Mentaok. Daerah yang dibuka oleh Ki Ageng Pemanahan dan puteranya, Sutawijaya.
Dalam keheningan itu kemudian terdengar Agung Sedayu berkata,
“Tetapi, apakah ketika Ki Sumangkar dan Sekar Mirah melintasi daerah baru itu, tidak ada tanda-tanda apa pun yang dapat memberikan petunjuk, apakah yang kira-kira akan berkembang di sana?”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Memang sulit untuk menilai apakah yang sedang berkembang di daerah baru itu. Aku tidak dapat mengatakan, apakah daerah itu akan menjadi bertambah baik bagi lalu lintas atau justru menjadi semakin sulit.”
“Tetapi bagaimana dengan perjalanan Kiai bersama Sekar Mirah pada saat Kiai melintasi daerah itu?”
“Kami memilih jalan yang paling aman. Kami melingkar daerah-daerah yang sedang berkembang, yang mendapat pengawasan yang tajam.” Ki Sumangkar berhenti sejenak. Lalu,
“Tetapi yang kami dengar di sepanjang jalan, daerah baru itu selain membangun wilayahnya, namun juga langsung membangun pertahanannya.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
“Itulah yang merupakan teka-teki bagiku,” berkata Ki Sumangkar.
“Tetapi aku sudah berusaha untuk menjauhi masalah tata pemerintahan di mana pun. Aku tidak akan lagi menghiraukan apa yang terjadi di Pajang dan daerah yang baru itu, supaya aku tidak terlibat dalam keadaan yang kadang-kadang cengkah dengan hati nuraniku.”
Kiai Gringsing tersenyum. Sepintas terbayang olehnya, keragu-raguan Sumangkar pada saat-saat pasukan Jipang yang menjadi liar di bawah pimpinan Tohpati, masih merupakan masalah bagi Pajang.
“Pada suatu saat, aku akan melihat daerah baru itu,” berkata Kiai Gringsing.
“Aku ikut bersama Guru. Sekaligus aku ingin menemui ayah dan ibu.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah. Kalau begitu, kita akan menyelam sekaligus minum sebanyak-banyaknya,” berkata Swandaru.
“Apakah perutmu masih kurang gembung?” bertanya Sekar Mirah.
”Ini bukan masalah perut, tetapi masalah yang penting.”
“Penting bagi siapa?” bertanya Sekar Mirah.
“Bagi Sangkal Putung. Kau tahu, bahwa Sangkal Putung terletak di sekitar garis yang menghubungkan dua kekuasaan itu.”
“Kenapa dengan Pajang dan daerah baru itu?” bertanya Sekar Mirah.
“Aku tidak tahu pasti. Itulah yang ingin aku ketahui sejauh-jauh mungkin. Tetapi menurut pendengaran kami di sini, agaknya hubungan antara Pajang dan daerah baru itu tidak begitu baik.”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seseorang yang telah lama berada di lingkungan kepatihan, yang hampir setiap hari mempersoalkan tata pemerintahan negara, Sumangkar tidak dapat mengingkari bahwa di dalam dirinya telah tumbuh beberapa pertimbangan mengenai masalah itu. Tetapi sejauh-jauh dapat dilakukan, ia tidak ingin mengucapkannya. Seperti yang telah dikatakan, ia akan menghindari masalah-masalah yang bersangkut paut dengan masalah pemerintahan.
“Adi Sumangkar,” berkata Kiai Gringsing, yang tiba-tiba saja bertanya,
“bagaimanakah tanggapan Adi sebenarnya atas hal ini? Mustahillah kalau Adi Sumangkar tidak melihat masalah yang sedang berkembang. Di dalam tata pemerintahan, dan masalah-masalah yang berhubungan dengan itu, Adi Sumangkar pasti jauh lebih tajam penglihatannya daripada aku.”
Tetapi Sumangkar menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak mempunyai bahan yang cukup untuk menilai perkembangan daerah baru itu, Kiai.”
“Eh, kau ini,” desis Kiai Gringsing.
“Tetapi baiklah. Agaknya Adi memang sedang berusaha untuk menjauhi masalah-masalah yang demikian. Begitu?”
Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Baiklah. Kita akan melihat kelak, apa yang telah terjadi. Tetapi, bukankah Adi Sumangkar telah mengetahui, bahwa Ki Pemanahan telah meninggalkan istana dan pulang ke Sela, sebelum Mentaok diserahkan dengan resmi?”
“Ya. Aku mendengarnya?”
“Baik. Itulah yang sebenarnya menjadi masalah. Dan Sangkal Putung terletak di antara dua pihak yang terlibat dalam masalah itu. Mungkin Adi Sumangkar tidak menaruh minat untuk ikut mempersoalkan masalah itu. Tetapi Sekar Mirah tidak akan dapat acuh tidak acuh. Sangkal Putung pernah menjadi pusat pertahanan pasukan Pajang menghadapi Tohpati dan pasukannya.”
“Bukan begitu,” Sumangkar mencoba membetulkannya.
“Yang benar, Pajang telah meletakkan pasukannya untuk membantu rakyat Sangkal Putung. Bukankah begitu, Angger Swandaru?”
“Ya. Begitulah.”
“Tepat,” sahut Kiai Gringsing.
“Aku keliru. Dan sekarang, bagaimana dengan Sangkal Putung?”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Kiai Gringsing memang mencoba menariknya ke dalam masalah itu. Tetapi ia masih menggelengkan kepalanya.
“Tergantung sekali kepada Ki Demang di Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. Ternyata Sumangkar masih tetap berusaha untuk mengelakkan usaha Kiai Gringsing untuk menyatakan pendapatnya tentang keadaan Alas Mentaok sekarang.
“Memang, yang paling baik bagi kita adalah melihat sendiri keadaan daerah baru itu,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Tepat,” Swandaru menyahut. “Kapan kita berangkat?”
“Huh,” Sekar Mirah mencibirkan bibirnya.
“Kalau kau, tentu kepentinganmu sendirilah yang lebih dahulu kau pikirkan. Pulang untuk mengajak ayah dan ibu kemari.”
“Tidak,” jawab Swandaru, “sama sekali tidak. Tetapi seandainya demikian, aku pun tidak akan menolak.”
Gurunya dan Ki Sumangkar tersenyum. Dan Sekar Mirah menyahut,
“Jangan terlampau banyak tingkah. Bukankah kamu juga setuju bahwa ayah dan ibu kita undang untuk datang ke Tanah Perdikan ini?”
“He,” Swandaru mengerutkan keningnya.
“Kenapa kau marah-marah saja kepadaku? Kau kira akan merampas segala perhatian Ayah dan ibu, hingga mereka tidak sempat mengurusmu?”
“Apa urusanku?”
“Ini,” sahut Swandaru sambil menunjuk Agung Sedayu.
“Sombong kau,” Sekar Mirah mencubit lengan Swandaru sehingga anak itu menyeringai.
“Mirah, he.”
“Nah, lihat. Kau sekarang terlampau cengeng. Tentu kau ingin bukan aku lagi yang mencubitmu.”
“Sudahlah. Aku menyerah. Aku memang tidak pernah menang berbantah dengan kau. Apalagi sekarang, kau mempunyai pengawal dan aku hanya sendiri.”
“Jangan, jangan.” Swandaru itu pun kemudian meloncat menjauhi adiknya yang sudah menjulurkan tangannya untuk mencubitnya lagi. Dan tiba-tiba saja ia menyentuh punggung Agung Sedayu sambil bertanya,
“Kenapa kau diam saja?”
Agung Sedayu hanya tersenyum saja. Tetapi ia tidak menyahut.
“Dengarlah,” berkata Kiai Gringsing kemudian,
“kita akan segera minta diri kepada Ki Argapati. Aku kira dua tiga hari lagi. Selain mengurus soal Swandaru, kita singgah untuk melihat-lihat Alas Mentaok sekarang.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ayah dan ibu Swandaru pasti sudah menunggu Sekar Mirah pula. Ibunyalah yang pasti selalu cemas.”
“Ya. Kita tahu hati seorang ibu. Karena itu, baiklah kita memutuskan saja. Lusa kita berangkat.”
“Semakin cepat makin baik,” sela Swandaru.
“Makin cepat apa?” bertanya Agung Sedayu.
“Makin cepat kita meninggalkan tempat ini atau makin cepat kita kembali ke tempat ini?”
Swandaru merenung sejenak. Jawabnya,
“Kedua-duanya. Makin cepat kita pergi untuk semakin cepat kita kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.”
“Pantas,” desis Sekar Mirah.
Ketika Swandaru membuka mulutnya untuk menjawab, gurunya mendahului,
“Kau tidak usah membantah. Semua orang tahu, bahwa kau memang ingin demikian.”
“Aku memang tidak akan membantah, Guru. Aku justru akan mengiakannya.”

Yang mendengar jawaban itu tertawa. Bahkan Sekar Mirah pun tersenyum pula. Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, menyampaikan maksud itu kepada Ki Argapati, di saat-saat mereka duduk di pendapa ketika senja menjadi semakin gelap.
“Begitu tergesa-gesa?” Ki Argapati mengerutkan keningnya.
“Memang kami agak tergesa-gesa, Ki Gede, tetapi juga tergesa-gesa untuk segera kembali bersama ayah dan ibu Swandaru.”
Ki Argapati tersenyum. Katanya,
“Tetapi akulah yang akan menjadi kesepian.”
“Tanah Perdikan ini sudah akan pulih kembali. Ki Argajaya lambat laun berhasil memperbaiki namanya sendiri.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,” katanya kemudian,
“kami, orang-orang Menoreh, menunggu kedatangan kalian. Harapan kami beserta dengan murid Kiai yang gemuk itu. Karena Pandan Wangi adalah satu-satunya anakku.”
Kiai Gringsing dan Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari, bahwa tumpuan harapan Ki Argapati dan seluruh rakyat Menoreh ada pada Swandaru. Dan tiba-tiba saja tumbuh pertanyaan di hati Kiai Gringsing,
“Apakah Swandaru menyadarinya? Ia tidak sekedar meminang Pandan Wangi. Tetapi ia meminang Pandan Wangi beserta segala macam kewajiban yang akan besertanya.”
“Kapan Kiai akan berangkat?” bertanya Ki Argapati.
“Lusa,” jawab Kiai Gringsing,
“kami akan berangkat pagi-pagi.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Kami akan menyediakan semua keperluan kalian. Apakah kalian akan memerlukan kuda?”
Kiai Gringsing merenung sejenak. Ketika ia memandang wajah Sumangkar, orang tua itu pun tampak ragu-ragu.
“Bagaimana, Adi Sumangkar?”
“Bukankah kita ingin melihat-melihat keadaan di sepanjang jalan?”
Kiai Gringsing mengangguk. Dan sebelum ia menjawab, Ki Argapati sudah bertanya lebih dahulu,
“Maksud Kiai, melihat keadaan daerah baru itu?”
Sumangkar menganggukkan kepalanya.
“Ya. Kami ingin melihat daerah baru itu.”
“Kumandangnya sudah sampai ke sebelah Sungai Praga. Terutama kumandangnya tentang perdagangan. Mereka memerlukan beberapa jenis barang dari Menoreh. Para pedaganglah yang lebih dahulu telah melakukan hubungan tidak resmi. Tetapi laporan tentang daerah baru itu sudah ada padaku.” Ki Argapati diam sejenak. Lalu,
“Kebetulan sekali, kalau Swandaru mendapatkan beberapa kesimpulan tentang daerah itu kelak, sebelum Tanah ini menentukan sikap.”
Kiai Gringsing dan Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka menyadari, bahwa dengan demikian Swandaru sudah mulai membawa tugas bagi Tanah Perdikan ini. Dan tugas itu berat baginya, meskipun cara mengucapkannya cukup sederhana. Tetapi kesimpulan yang akan dibawa Swandaru itu menentukan, sesuai dengan kata-kata Ki Gede di Menoreh,
“Sebelum Tanah ini menentukan sikap.”
“Sudah sewajarnya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya,
“anak itu harus mulai belajar bersikap dan berbuat dengan bersungguh-sungguh.”
Namun seandainya tidak ada yang memperingatkan, maka pasti Swandaru hanya sekedar akan melihat perkembangan Tanah yang baru dibuka itu menurut seleranya sendiri. Bukan selera suatu Tanah Perdikan yang besar, Menoreh, yang langsung atau tidak langsung akan menjadi tetangga dekat dari daerah baru itu. Demikianlah, maka pada hari yang ditentukan, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan murid-muridnya telah siap meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, untuk memulai dengan perjalanannya ke Timur.

Dengan rendah hati, Kiai Gringsing menyatakan bahwa mereka akan lebih senang berjalan kaki saja sambil melihat-lihat keadaan daerah-daerah yang dilaluinya. Segenap pemimpin Tanah Perdikan Menoreh, Ki Argajaya, dan puteranya, mengantar mereka sampai ke regol halaman rumah Ki Argapati. Meskipun mereka bukan orang-orang Menoreh, tetapi apa yang sudah mereka lakukan buat Menoreh ternyata tidak segera dapat dilupakan. Mereka telah ikut serta memadamkan api yang membakar Tanah Perdikan ini dengan berbagai macam cara. Kasar dan halus. Lahiriah dan batiniah. Tanpa gembala tua dan anak-anaknya. Tanah Perdikan ini pasti akan menjadi lebih parah lagi. Apalagi, apabila luka Ki Argapati tidak dapat disembuhkan. Pandan Wangi yang sedang mulai dijalari perasaan seorang gadis merasa menjadi sangat kecewa atas kepergian Swandaru. Ia merasa kehilangan seseorang yang dapat membuatnya tersenyum dan tertawa.
“Aku akan segera kembali,” berkata Swandaru.
“Kau tidak bersungguh-sungguh, seperti apa yang kau lakukan selama ini. Kau selalu mengatakan tentang sesuatu yang tidak benar. Kau mengatakan bahwa pada suatu ketika kau akan berhasil menangkap sesosok tuyul yang sedang mencuri uang di rumahmu. Lain kali kau katakan bahwa seorang kawanmu mempunyai kuda sembrani yang dapat terbang sampai ke bulan. Sedang yang benar, kau adalah seorang pemimpi.” Pandan Wangi berhenti sejenak. Lalu,
“Dan bagaimana kalau perlawatanmu ke Menoreh ini nanti kau anggap sekedar sebuah mimpi?”
“Mungkin,” jawab Swandaru,
“tetapi yang tidak ada hubungannya dengan kau. Sedangkan semua masalah yang ada hubungannya dengan kau, tentu sama sekali bukan sebuah mimpi.”
“Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Maksudku memang demikian.”
“He?”
“Ya. Ya. Aku berkata sebenarnya.”
Wajah Pandan Wangi menjadi bersungut-sungut, tetapi Swandaru kemudian berkata,
“Aku akan segera kembali membawa tiga ekor, eh, tiga orang, maksudku tiga, bilangan tiga untuk tuyul-tuyul itu.”
“Benar?” tiba-tiba wajah Pandan Wangi menjadi cerah.
“Kau akan membawanya untukku?”
“Ya, ya. Tetapi ……….”
“Katakan bahwa kau bersumpah, bahwa kau akan segera kembali membawa tuyul.”
“Eh.”
“Nah, bukankah kau berbohong?”
Swandaru menjadi bingung. Namun kemudian ia berkata,
“Baiklah. Aku akan membawa tiga sosok tuyul. Aku sudah mempunyai dua. Aku tinggal mencari satu.”
“Kau sudah mempunyai dua?”
“Ya.”
“Mana?”
“Itu. Yang satu tuyul jantan, yang lain tuyul betina,”
“Ah, kau,” desah Pandan Wangi.
Namun Swandaru-lah yang menyeringai kesakitan karena Sekar Mirah mencubitnya.
“Aku kau anggap tuyul ya? Kalau aku tuyul, termasuk jenis apakah kakaknya?”
“Sudah Mirah. Sudah.”

Pandan Wangi terpaksa tersenyum karenanya. Sebetulnya tangannya pun hampir saja terjulur. Tetapi segera ditariknya kembali, karena Swandaru masih belum menjadi keluarga atau apa pun secara resmi. Demikianlah, maka rombongan kecil itu pun segera meninggalkan halaman rumah Ki Argapati. Perpisahan itu agaknya benar-benar berkesan bagi yang pergi dan bagi yang ditinggalkan. Namun Kiai Gringsing berkata kepada mereka,
“Kami akan segera kembali. Dan bukankah tanah ini telah menjadi utuh kembali?”
“Kami selalu mengharap kedatangan kalian,” berkata Ki Argapati.
Maka dilepaslah rombongan kecil itu berangkat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Ketika beberapa langkah kemudian Sekar Mirah berpaling, tiba-tiba hatinya berdesir. Ia melihat sorot mata anak muda yang bernama Prastawa itu seakan-akan menyala membakar jantungnya. Namun hanya sejenak, karena anak muda itu segera memalingkan wajahnya, memandang ke kejauhan. Sentuhan tatapan mata yang hanya sekejap itu telah meninggalkan kesan yang aneh bagi Sekar Mirah, meskipun ia berusaha untuk menghalaunya dari hatinya.
“Adalah kebetulan saja ia memandangku,” katanya di dalam hati, “atau barangkali ia mendendamku?”
Ki Argapati, Ki Argajaya, Samekta, Kerti dan yang lain, memandangi mereka sampai rombongan kecil itu hilang di balik sebuah tikungan. Meskipun demikian, Ki Argapati yang berdiri bersandar pada sebuah tongkat yang panjang berkata perlahan-lahan,
“Mereka bagaikan sepasukan prajurit yang pulang dari medan. Meskipun mereka hanya berjumlah 5 orang.”
Ki Argajaya yang berdiri di sampingnya mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia tidak menjawab. Matanya masih tersangkut pada tikungan tempat kelima orang itu menghilang. Yang mula-mula sekali meninggalkan regol itu adalah Pandan Wangi. Sambil menundukkan kepalanya ia melangkah dengan tergesa-gesa melintasi halaman. Ayahnya, Ki Argapati, menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, perasaan apakah yang sedang mengganggu puterinya itu. Hatinya yang sedang mekar, tiba-tiba terputus meskipun hanya untuk beberapa saat. Namun agaknya, dunianya akan menjadi terlampau sepi untuk sementara. Karena itu, maka ketika Ki Argapati melihat puterinya itu merenung di biliknya, ia sama sekali tidak menegurnya. Biarlah anak itu berangan-angan sebagaimana kebiasaan gadis-gadis. Kalau puterinya itu selalu dibebani oleh sepasang pedangnya, tanpa memberi kesempatan pribadinya sebagai seorang gadis berkembang, maka kelak Pandan Wangi tidak akan dapat menjadi seorang ibu yang baik. Argajaya dan puteranya pun segera minta diri pula, kembali ke rumahnya. Mereka datang sekedar melepaskan kelima orang itu meninggalkan Menoreh.
“Aku masih mempunyai pekerjaan di sawah, Kakang,” berkata Argajaya.
“Kau kerjakan sendiri sawahmu?”
“Tentu hanya sebagian kecil. Tenagaku sudah tidak sekuat anak-anak muda. Tetapi aku ingin mengisi waktuku dengan kerja.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Prastawa juga?”
“Ya, Paman. Aku harus membantu ayah di rumah.”
“Bagus,” desis Ki Argapati.
Keduanya pun kemudian meninggalkan halaman rumah Ki Argapati. Di atas punggung kuda mereka menyusuri jalan-jalan padukuhan induk, dan kemudian mereka melintas di jalan yang membelah sebuah bulak yang panjang.
“Ayah,” tiba-tiba Prastawa bertanya, “apakah benar, Sekar Mirah itu adik Swandaru?”
“Ya, kenapa?”
“Keduanya sangat berlainan.”
Ayahnya mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Mungkin bentuk tubuhnya. Sudah tentu, bagi seorang gadis kurang pantas apabila ia bertubuh gemuk seperti Swandaru. Tetapi justru Swandaru menjadi pantas. Wajahnya yang bulat dan cerah itu memancarkan kesan keterbukaan hatinya.” Ki Argajaya berhenti sejenak. Lalu,
“Tetapi kalau kau memandang kening, hidung, dan alisnya, keduanya mempunyai banyak persamaan.”
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar ayahnya bertanya,
“Kenapa?”
“O, tidak apa-apa,” anak muda itu tergagap. Lalu,
“Bukankah, Swandaru kelak akan menjadi ipar sepupuku?”
“Ya. Agaknya demikian, meskipun masih belum resmi.”
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Katanya kemudian,
“Sekar Mirah adalah gadis yang luar biasa. Dengan mudah ia menguasai kawanku yang bertubuh kekar seperti badak itu.”
“Gurunya pun luar biasa, meskipun rendah hati seperti guru Swandaru.”
“Tetapi, saudara seperguruan Swandaru itu terlampau sombong.”
“Agung Sedayu maksudmu?”
“Ya. Ia menganggap aku seorang tawanan. Sampai saat ia meninggalkan rumah Paman Argapati.”
“He. Kau salah, Prastawa. Ia anak yang baik. Ia tidak berbuat apa-apa ketika ia melihat kedatanganmu dan kawanmu di rumah beberapa saat yang lalu.”
“Tetapi agaknya ia merasa tidak pantas berbicara dengan aku. Tidak seperti Swandaru, yang suka berkelakar.”
“Itu adalah sifatnya. Ia pendiam.”

Prastawa terdiam sejenak. Terbayang perkelahian yang terjadi sebelum ia kembali kepada ayahnya, ketika Agung Sedayu berada di bukit bersama Pandan Wangi. Kekalahannya saat itu tidak dapat dilupakannya. Tetapi tiba-tiba terbersit suatu pertanyaan di hatinya,
“Kenapa aku mendendam Agung Sedayu, dan tidak kakak Pandan Wangi?”
Prastawa menelan ludahnya.
Dan ayahnya berkata,
“Agung Sedayu pun anak yang baik. Memang sifatnya agak berbeda dengan anak yang gemuk itu. Tetapi bukan maksudnya menyombongkan dirinya.”
Prastawa mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia bertanya,
“Apakah benar, Agung Sedayu itu bakal suami Sekar Mirah?”
“Ya. Tetapi itu pun belum resmi seperti Swandaru dan Pandan Wangi, meskipun orang tuanya tidak berkeberatan seperti juga Kakang Argapati.”
Prastawa tidak menjawab. Tetapi ia tidak mengerti, kenapa wajah gadis, yang bernama Sekar Mirah, itu selalu membayang. Gadis itu begitu tenangnya menghadapi keadaan. Pada saat ia datang ke rumahnya, langsung memasuki bilik ibunya yang ditempati oleh gadis, yang bernama Sekar Mirah itu, gadis itu sama sekali tidak menjadi ketakutan. Justru ia tersenyum penuh kepercayaan kepada diri sendiri, bahwa ia akan dapat mengatasi setiap persoalan yang tumbuh.
“Gadis itu luar biasa,” desisnya tanpa sesadarnya.
Prastawa terkejut ketika ayahnya bertanya, “Siapa?”
“Maksudku, Sekar Mirah itu hampir seperti Kakak Pandan Wangi. Meskipun ia seorang gadis, tetapi ia mampu melindungi dirinya sendiri. Bedanya, Kakak Pandan Wangi bersenjata sepasang pedang yang ringan, justru gadis ini mempunyai senjata yang aneh. Tongkat baja putih dan berkepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan.”
“Senjata yang diterima turun-temurun, dari guru ke muridnya.”
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi ia tidak berkata-kata lagi.
Namun pertanyaan-pertanyaan Prastawa itu telah memberikan kesan yang aneh pada Ki Argajaya. Agaknya anak itu menaruh perhatian pada Sekar Mirah. Tetapi Ki Argajaya tidak tahu, apakah yang agaknya telah menarik hati anaknya. Mungkin justru karena senjatanya yang aneh itu, atau karena jarang sekali terdapat seorang gadis yang memiliki kemampuan seperti Sekar Mirah dan Pandan Wangi di atas Tanah Perdikan ini. Justru kebanyakan gadis-gadis hanya menunggu hari-hari perkawinannya dengan menganyam tikar, atau menunggui perapian untuk membuat gula kelapa di rumah.
“Anak itu akan segera melupakannya,” berkata Ki Argajaya kepada diri sendiri.

Dalam pada itu, Ki Tanu Metir, Ki Sumangkar, dan murid-muridnya berjalan semakin lama semakin menjauhi pedukuhan induk. Namun di sepanjang jalan beberapa orang yang mengenalnya, selalu menganggukkan kepalanya sambil bertanya,
“Kemanakah kalian akan pergi?”
“Kami akan menengok rumah kami,” jawab Kiai Gringsing.
“O, apakah kalian tidak akan kembali kemari?”
“Tentu. Kami akan kembali lagi.”
“Selamat jalan.”
“Terima kasih.”
Bahkan ada orang-orang yang mencoba untuk mempersilahkan mereka singgah.
“Kami akan senang sekali kalau kalian tinggal di rumah kami sehari dua hari.”
“Maafkanlah. Kami harus segera menyeberangi sungai Praga.”
“Kenapa tergesa-gesa?”
“Tidak apa-apa. Tetapi anak-anak sudah rindu kepada kampung halaman.”
Demikianlah, maka mereka berlima berjalan semakin lama semakin cepat. Matahari yang memanjat langit pun menjadi semakin lama semakin tinggi pula. Panasnya pun menjadi semakin tajam menggigit kulit. Semakin lama, maka padukuhan-padukuhan pun menjadi semakin jarang dan kecil. Hampir tidak ada lagi orang-orang yang mengenal mereka, Orang-orang di padukuhan-padukuhan itu adalah orang yang setiap hari selalu tenggelam di dalam kerja, seperti yang selalu mereka lakukan sehari-hari. Pagi bangun tidur, makan sekedarnya, lalu pergi ke sawah. Di siang hari mereka berhenti. Makan dan minum. Kemudian mereka melanjutkan kerja sampai matahari menjadi sangat rendah. Di senja hari mereka pulang, singgah di sungai sebentar membersihkan diri dan alat-alat mereka. Barulah mereka pulang. Kadang-kadang mereka masih makan sore, tetapi kadang-kadang sudah tidak lagi.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar