“AGAKNYA Prastawa ada di rumah,” desis Agung Sedayu.
“Ya,” jawab
Sekar Mirah, “ia baru datang malam ini.”
Prastawa
menjadi semakin gelisah.
“Bersama anak
ini?” Agung Sedayu melanjutkan.
“Ya,” berkata
Sekar Mirah selanjutnya,
“anak ini
ingin menjemput aku dan membawa pergi ke rumahnya.”
Dahi Agung
Sedayu menjadi berkerut-merut karenanya. Namun Sekar Mirah segera berkata,
“Tetapi kami, maksudku,
Ki Argajaya dan seisi rumah ini, mengharap ia tinggal di sini bersama putera Ki
Argajaya itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bertanya,
“Apakah anak
itu sudah menyatakan keinginannya untuk kembali ke rumah ini?”
“Ya. Ia sudah
amat merindukan keluarganya,” jawab Sekar Mirah.
“Tetapi ia
tidak berani memasuki rumah ini lewat pintu depan, karena para pengawal ada di
halaman dan kebun belakang rumah ini.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum mengerti, bagaimana anak
itu dapat memasuki rumah ini tanpa diketahui oleh para pengawal. Tetapi agaknya
pemimpin pengawal itu tidak sekedar bertanya-tanya di dalam hati, karena pertanyaan
itu kemudian diucapkannya,
“Dari mana ia
memasuki rumah ini?”
“Ada dua kemungkinan,”
jawab Sekar Mirah,
“demikian
hebatnya kedua anak-anak muda ini, atau para pengawal telah tertidur semuanya.”
Pemimpin
pengawal itu mengerutkan keningnya. Katanya,
“Kami selalu
bersiaga di halaman.”
Sekar Mirah
tersenyum.
“Tetapi suatu kenyataan.
Anak itu telah berada di dalam rumah ini.”
Pemimpin
pengawal itu dan Agung Sedayu saling berpandangan sejenak.
“Tetapi kenapa
anak ini akan berlari?” bertanya Agung Sedayu tiba-tiba.
Sekar Mirah
terdiam sejenak, namun kemudian ia menjawab,
“Ia tidak
yakin, bahwa ia dapat diterima oleh keluarga ini. Bahkan ia ingin membawa aku
bersamanya.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya anak muda yang berdiri temangu-mangu
itu.
“Tetapi jangan
marah kepadanya,” Sekar Mirah melanjutkannya,
“mungkin sudah
terlampau lama ia ditinggalkan kekasihnya, sehingga ia menjadi salah lihat. Aku
sudah menawarkan, apakah ia bersedia menjadi adikku, karena aku hanya mempunyai
seorang saudara laki-laki.”
Anak muda itu
masih berdiri dengan tegangnya. Sedang Agung Sedayu memandanginya dengan hampir
tidak mengedipkan matanya. Namun akhirnya Sekar Mirah berkata,
“Yang penting
kemudian, apakah kehadiran Prastawa dapat diterima seperti kehadiran Ki
Argajaya di antara para pemimpin Menoreh yang lain, dalam hubungannya dengan
pengampunan umum bersama-sama kawannya ini apabila ia bersedia?”
Agung Sedayu
berpaling kepada pemimpin pengawal itu. Katanya,
“Aku tidak
tahu apakah jawabnya?”
“Aku melihat
betapa besar kerinduan yang bergolak di dalam dada Ibu dan anak. Juga di dalam
dada Ki Argajaya. Apakah kalian sampai hati untuk memisahkannya kembali?”
Pemimpin
pengawal itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya,
“Itu bukan
hakku. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Argapati, sementara anak itu berada
di dalam pengawasan kami di sini. Tetapi aku sendiri juga mempunyai anak. Aku
dapat mengerti arti perpisahan yang lama antara orang tua dan anaknya. Namun
pengampunan itu berada di luar kekuasaanku.”
“Ki Argapati
akan mengampuninya,” desis Agung Sedayu.
“Aku condong
pada pendapat itu. Aku harap keluarga ini dapat segera pulih kembali.”
Tidak seorang
pun yang menyahut, sehingga ruangan itu dicengkam oleh kesenyapan. Hanya
wajah-wajah yang tegang sajalah yang saling memandang berganti-ganti. Ketika
Nyai Argajaya berpaling ke arah Prastawa, maka dilihatnya anak muda itu
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Suara Agung
Sedayu pulalah yang kemudian memecahkan kesenyapan.
“Aku akan ikut
berusaha, agar semuanya dapat segera kembali seperti sediakala. Tanah Perdikan
Menoreh, dan setiap keluarga yang selama ini terpecah-belah. Mungkin oleh
ketakutan sehingga mereka mengungsi tercerai-berai, mungkin karena sudut
pandangan yang berlainan. Mungkin oleh sebab-sebab yang lain.”
Tidak seorang
pun yang menjawab. Semuanya masih diam, seakan-akan membeku di tempatnya. Agung
Sedayu pun kemudian terdiam pula. Sehingga dengan demikian ruangan itu kembali
menjadi sepi. Hanya desah-desah nafas sajalah yang terdengar bersahut-sahutan. Dalam
pada itu, Prastawa yang menundukkan kepalanya itu pun seakan-akan mendapat
kesempatan untuk mengerti tentang dirinya sendiri selama ini. Seakan-akan
terbayang di kepalanya, dirinya sendiri dan beberapa orang kawan-kawannya
berkeliaran tidak menentu. Mereka sama sekali tidak mempunyai tujuan apa pun
dengan segala macam perbuatan mereka, selain melepaskan dendam.
“Apakah hal
itu akan bermanfaat untuk dipertahankan lebih lama lagi?” pertanyaan itu
melonjak di dalam dadanya.
Selagi ia
dibayangi oleh masalah-masalah yang telah mendebarkan jantungnya, tiba-tiba
saja terdengar suara ibunya,
“Prastawa,
apakah kau sudah menemukan keputusan yang mantap. Tidak ragu-ragu?”
Prastawa
mengangkat wajahnya. Sejenak ditatapnya wajah ayahnya yang sedang memandanginya
pula. Tiba-tiba dari sela-sela bibirnya terdengar suaranya lambat sekali.
“Maafkan aku,
Ayah.”
“Prastawa,”
Ibunya hampir memekik.
“Aku menyadari
kesalahanku. Bagaimanapun juga, aku berhadapan dengan orang tuaku.”
Ki Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun Nyai Argajaya tidak dapat menahan
perasaan yang melonjak di dadanya. Tiba-tiba ia berlari ke arah anak muda itu.
Seperti anak-anak yang sedang tumbuh, dipeluknya Prastawa sambil menitikkan air
matanya. Katanya,
“Kau memang
harus kembali padaku, Ngger. Kau tidak boleh pergi berkeliaran tidak menentu.”
Prastawa tidak
menjawab. Kepalanya tertunduk di dalam pelukan ibunya. Tetapi matanya pun
menjadi basah karenanya. Sekar Mirah yang berdiri di pringgitan menarik nafas
dalam-dalam. Sekilas dipandanginya Agung Sedayu yang membeku di samping
pemimpin pengawal yang mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku tidak
akan pergi lagi, Ibu,” desis Prastawa.
“Meskipun
seandainya Paman Argapati tidak memaafkan aku. Aku akan mengangkat wajahku
untuk menerima segala macam hukumanku.”
“Kami, aku dan
ayahmu akan mohon kepadanya, agar kau mendapat kesempatan hidup di antara
kami,” suara Nyai Argajaya menjadi parau.
Prastawa tidak
menyahut. Ketika perlahan-lahan ibunya melepaskan pelukannya, anak muda itu
mengusap matanya yang kemerah-merahan. Dalam pada itu, anak muda kawan Prastawa
yang masih berdiri termangu-mangu itu tiba-tiba menyadari keadaannya. Dengan
nanar ia memandang berkeliling. Di muka pintu berdiri Agung Sedayu dan pemimpin
pengawal. Di samping pintu dalam, Sekar Mirah menimang-nimang pedang yang
dirampas dari tangannya, meskipun kepalanya menunduk, sedang di ruang dalam
terdiri Ki Argajaya dan orang tua yang disebut ayah Sekar Mirah. Agak jauh
masuk ke dalam, Prastawa dan ibunya.
Dalam keragu-raguan
itu ia mendengar,
“Bagaimana
dengan kau?”
Anak muda itu
terkejut. Dilihatnya Agung Sedayu melangkah maju sehingga tanpa disadarinya, ia
pun mundur setapak.
“Aku harap kau
pun dapat menilai keadaan. Kalau kau masih menganggap bahwa perjuanganmu
sekarang ini masih perlu dilanjutkan, maka kau adalah seorang pemimpi yang
malang. Bukan saja karena kau sudah kehilangan kekuatan, tetapi yang lebih
parah lagi, kau sudah kehilangan tujuan.” Agung Sedayu berhenti sejenak. Lalu,
“Apakah kau
masih akan berpikir?”
Anak muda itu
tidak menjawab.
“Sedang saat
yang kau hadapi kini pun tidak akan dapat kau atasi, apa yang dapat kau lakukan
saat ini?”
Anak muda itu
masih berdiam diri.
“Kalau kau
masih dapat berpikir bening, sebaiknya kau menyerah. Sudah tentu perlakuan
atasmu berbeda dengan perlakuan atas Prastawa. Tetapi kau pun pasti akan
mendapat kesempatan, seperti yang pernah diumumkan oleh Ki Argapati, bahwa Ki
Argapati akan memberikan pengampunan kepada mereka yang menyadari keadaan
mereka, sejauh itu tidak berbahaya bagi Menoreh. Nah, pertimbangkan.”
Anak itu sama
sekali tidak menjawab. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian,
“Pilihlah.
Apakah kau akan kami bawa sebagai seorang yang menyerah dan menyadari keadaan,
atau kau harus kami tangkap dan kami bawa ke padukuhan induk Tanah Perdikan ini
sebagai tawanan?”
Wajah anak itu
menjadi tegang, ia sedang berjuang di antara kenyataan yang dihadapinya dan
harga dirinya sebagai seseorang yang menganggap dirinya seorang pejuang yang
tidak ingkar.
“Pilihlah,”
desis Agung Sedayu.
Namun wajah
itu pun kemudian mengendor. Dari sela-sela bibirnya terdengar suaranya dalam,
“Aku
menyerah.”
Agung Sedayu,
pemimpin pengawal, dan Sekar Mirah menganggukkan kepalanya. Mereka merasa,
bahwa jalan yang akan ditempuh oleh Ki Argapati akan menjadi semakin lancar
untuk memulihkan kembali Tanah yang sudah tersobek-sobek dari dalam itu
sendiri. Malam yang kelam menjadi semakin kelam. Dingin telah merasuk sampai ke
tulang. Namun beberapa wajah telah dihiasi dengan senyum yang bening.
Pagi yang
cerah telah membangunkan Tanah Perdikan Menoreh yang sedang lelap.
Perlahan-lahan mulailah kehidupan yang berlangsung dari hari ke hari. Setiap
kali lebih sibuk dari hari yang kemarin, karena tanah-tanah yang kering telah
mulai diairi, sawah yang tidak digarap, telah mulai dicangkul, dan pasar-pasar
telah mulai terisi oleh para pedagang yang selama ini bersembunyi di
pengungsiannya. Ketika matahari menebarkan sinarnya di lambung pegunungan,
pedati yang memuat bahan-bahan makanan telah mulai mengalir ke pusat-pusat
perdagangan di padukuhan-padukuhan yang berserakan di sepanjang tanah Perdikan
yang mulai sembuh dari luka-lukanya, akibat perang yang berkecamuk di antara
keluarga sendiri. Sekelompok demi sekelompok, sisa-sisa pasukan Sidanti telah
kembali memenuhi panggilan Ki Argapati. Apalagi setelah Prastawa hilang dari
lingkungan mereka. Maka gerombolan-gerombolan yang semula merasa, bahwa
satu-satunya jalan adalah menumbuhkan perasaan takut, ngeri, dan penyebaran
pembalasan dendam, mulai menyadari keadaan mereka, bahwa mereka masih mungkin
menemukan jalan kembali ke dalam kehidupan yang wajar, tidak seperti rusa yang
sedang diburu di tengah-tengah semak-semak yang rimbun, yang selalu dibayangi
oleh ketakutan dan kecemasan. Betapapun lambatnya namun pasti, bahwa luka Ki
Argapati pun akan sembuh pula. Tetapi ada sesuatu yang berada di luar kemampuan
manusia, bahwa Ki Argapati tidak dapat pulih kembali seperti sediakala. Betapa
pun dukun tua yang bernama Ki Tanu Metir berusaha, namun pada akhirnya ia hanya
dapat mengucap syukur kepada Tuhan, bahwa Ki Argapati masih juga dapat sembuh
dari luka-lukanya, meskipun ada sesuatu yang telah diambil daripadanya. Kaki
kiri Ki Argapati seakan-akan telah mengalami kelumpuhan karena urat-urat yang
terputus oleh luka-lukanya. Sedang tangan kirinya pun mengalami kelemahan yang
meskipun tidak separah kakinya, namun tangannya itu tidak lagi dapat bergerak
leluasa.
“Tuhan telah
mengutukku,” desisnya setiap kali.
“Aku ternyata
tidak mampu mengendalikan Tanah yang dipercayakan kepadaku sebaik-baiknya. Kini
Tanah ini telah menjadi tenang. Tetapi seperti tanah ini, maka tubuhku pun
tidak dapat pulih seperti sediakala.”
Meskipun
demikian, Ki Argapati tidak menjadi putus-asa. Ia tidak menyesali nasibnya
dengan keluhan-keluhan yang cengeng. Meskipun kaki dan tangannya tidak dapat
pulih kembali, namun ia masih selalu berada di punggung kudanya, mengelilingi
Tanah Perdikan Menoreh yang telah mulai hijau kembali. Tanah yang membentang
dari perbukitan di sebelah Barat sampai ke daerah-daerah yang berhutan di
sebelah Barat Kali Praga, rasa-rasanya sudah mulai hidup kembali. Dengan
bimbingan Ki Argapati, maka Tanah Perdikan Menoreh mulai mengobati diri mereka.
Mereka mulai menyembuhkan luka-luka yang agak parah sedikit demi sedikit. Demikian
juga dendam yang selama ini tersebar di atas Tanah itu pun sedikit demi sedikit
mulai mencair dari setiap dada. Terutama anak-anak mudanya, yang semula terbagi
di dua pihak. Meskipun masih ada satu dua yang mengeraskan hatinya di dalam
kesesatan, namun pada umumnya Tanah Perdikan Menoreh sudah menjadi baik.
Seperti juga Ki Argapati yang menjadi baik. Namun di dalam lubuk hatinya paling
dalam, maka masih juga terdapat cacat seperti cacat pada tubuh Ki Argapati.
Ki Argajaya,
adik Ki Argapati, telah dapat menampakkan dirinya kembali di antara rakyat
Menoreh. Karena kesungguhannya, serta seluruh keluarganya ikut membangun Tanah
yang sudah hampir menjadi abu itulah, maka perlahan-lahan ia mendapatkan
tempatnya kembali sebagai adik seorang Kepala Tanah Perdikan. Perlahan-lahan,
seperti pertumbuhan Tanah Perdikan itu, tumbuh dan mekar pulalah perasaan yang
tersimpan di dada gadis satu-satunya dari Kepala Tanah Perdikan itu. Putera Ki
Demang Sangkal Putung, ternyata lambat-laun mendapatkan tempat di hatinya.
Sifatnya yang gembira dan terbuka, telah membuat Pandan Wangi sedikit demi
sedikit melupakan kepahitan yang bertimbun-timbun telah menimpanya. Dengan
sadar, Agung Sedayu berusaha untuk tidak mengganggu hubungan yang sedang mekar
di hati kedua anak-anak muda itu. Apalagi Sekar Mirah untuk sementara masih
juga berada di atas Tanah Perdikan itu. Sedang kedua orang-orang tua, Kiai
Gringsing dan Sumangkar, seperti gembala-gembala yang sedang tekun menunggui
domba-domba gembalaan mereka, masih juga berada di Menoreh. Selain menunggui
murid-murid mereka, maka kedua orang tua itu pun dapat menjadi kawan
bercakap-cakap yang mapan bagi Ki Argapati.
“Kalau kalian
tinggalkan kami, maka aku akan kehilangan kawan berbicara di sore hari,”
berkata Ki Argapati kepada mereka berdua.
Keduanya
tersenyum. Kiai Gringsing pun kemudian menjawab,
“Apakah tidak
ada orang tua di atas Tanah Perdikan ini?”
“Mereka
terlampau tua untuk bercakap-cakap tanpa arti,” jawab Ki Argapati sambil
tersenyum.
“Mereka sukar
untuk berbicara tentang bermacam-macam persoalan yang tidak menegangkan urat
syaraf, namun bermanfaat bagi pengalaman pengenalan kita atas kehidupan di
sekitar kita. Mereka, orang-orang tua di Menoreh hanya senang berbicara tentang
air, padi yang sedang tumbuh, bintang Gubuk Penceng, bintang Waluku dan bintang
Panjer saja.”
Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar tertawa. Berkata Ki Sumangkar,
“Itu pertanda
bahwa mereka adalah petani-petani yang rajin. Petani-petani yang tekun di dalam
kerja. Kawan mereka yang terdekat adalah air, musim, dan bintang-bintang yang
memberikan petunjuk kepada mereka, kapan mereka harus memulai musim tanam padi,
musim tanam palawija, dan musim-musim yang lain, termasuk musim mencari ikan di
sungai Praga.”
“He, kau
pandai juga membaca pertanda bintang?”
“Aku juga
seorang petani.”
“Petani di
istana Kepatihan Jipang.”
Sumangkar
tertawa.
“Aku petani,
juru masak, dan sekaligus pemomong di Kepatihan.”
“Jabatan
rangkap yang sukar dikerjakan bersama-sama.”
Ketiga orang
tua-tua itu tertawa. Di dalam kepala mereka terlintas kenangan masa silam
mereka. Terutama Sumangkar. Namun, meskipun ia tertawa seperti anak-anak yang
mendapatkan permainan, namun terasa desir yang halus telah menyengat dadanya.
Kenangan itu sebenarnya tidak begitu menyenangkannya. Tetapi perasaan itu sama
sekali tidak berkesan di wajahnya. Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian
berkata,
“Tetapi
bagaimana pun juga, akan datang saatnya, kami minta diri.”
“Ya, aku pun
menyadari. Tetapi sudah tentu tidak besok atau lusa.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terkilas sesuatu di dalam angan-angannya,
tetapi ia tidak mengatakannya. Di luar rumah, Pandan Wangi duduk di bawah
sejuknya pepohonan di kebun belakang. Di sebelahnya, seorang anak muda yang
gemuk duduk bersandar sebatang pohon melandingan. Mereka tampaknya sedang asyik
bercakap-cakap. Mempercakapkan diri mereka sendiri. Sedang di dalam dada
mereka, api cinta telah mulai menyala.
“Setiap saat
guru dapat membawa aku pergi, Wangi,” kata Swandaru.
“Kapan,
Kakang?” bertanya Gadis itu.
“Aku tidak
tahu,” berkata Swandaru, “tetapi aku mengharap tidak segera.”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya jauh menusuk bayangan dedaunan yang
menari-nari di atas tanah yang kering.
“Tetapi
sebelum aku meninggalkan Tanah Perdikan ini, aku akan minta guruku, mewakili
ayah dan ibuku, untuk sementara menyampaikan lamaranku, sampai pada saatnya
ayah dan ibuku sendiri akan aku minta datang kepada ayahmu.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya.
“Aku harap
bahwa pada suatu saat kau pun dapat melihat Kademangan Sangkal Putung. Meskipun
tidak sebesar Tanah Perdikan ini, tetapi Sangkal Putung adalah daerah yang
subur dan kaya raya.”
“Aku ingin
sekali melihat daerah itu,” berkata Pandan Wangi.
“Apakah
Sangkal Putung sudah tidak pernah diganggu oleh gerombolan-gerombolan seperti
yang pernah kau ceriterakan kepadaku?”
Swandaru
menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Sejak
mereka dihancurkan di padepokan Tambak Wedi, maka tidak ada lagi gangguan yang
berarti bagi kademangan itu.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah
Sangkal Putung memiliki sawah yang luas?”
“Ya, amat luas
sawah dan pategalan. Dari ujung sampai ke ujung, Sangkal Putung tampak hijau
segar.”
“Aku pasti
akan senang sekali,” desis Pandan Wangi.
“Orangnya pun
cukup ramah dan baik seperti orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.”
“O.
Menyenangkan sekali.”
“Dan kau akan
tinggal di daerah itu kelak.”
Tetapi Pandan
Wangi pun kemudian mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja sorot matanya menjadi
buram.
“Tetapi,”
suaranya menurun,
“apakah kelak
aku harus meninggalkan Tanah Perdikan ini?”
“Aku mempunyai
kewajiban atas Kademangan Sangkal Putung,” jawab Swandaru.
“Aku akan
menggantikan ayah yang menjadi semakin tua.”
“Aku mengerti.
Tetapi bagaimana dengan Tanah ini? Ayah pun menjadi semakin tua, dan aku adalah
satu-satunya anaknya.”
Kening
Swandaru pun berkerut pula. Tanpa sesadarnya ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia tidak segera dapat menjawab. Ia mengerti kerisauan perasaan gadis
itu. Kalau ia menjadi isterinya kelak, gadis itu wajib mengikutinya ke Sangkal
Putung. Tetapi sebagai satu-satunya anak Kepala Tanah Perdikan ini, ia akan
menggantikan ayahnya. Suaminyalah yang kelak harus menjadi Kepala Tanah
Perdikan ini. Tetapi bakal suaminya yang gemuk itu mempunyai kewajiban sendiri
atas tanah kelahirannya.
“Tetapi jangan
hiraukan semuanya itu,” berkata Swandaru kemudian.
“Kita akan
dirisaukan oleh masalah yang masih akan datang kelak. Jangan hiraukan supaya
hati kita tidak risau kali ini. Pada saatnya kita pasti akan menemukan cara,
bagaimana kita akan memecahkan masalah ini.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya.
“Sekarang kita
hanya akan membuang-buang waktu saja. Senyum kita akan terganggu oleh
masalah-masalah yang masih jauh. Jangan hiraukan.”
Pandan Wangi
pun kemudian tersenyum pula. Kini ia sudah mengenal anak yang gemuk itu agak
lebih baik lagi. Swandaru tidak mau diganggu oleh angan-angan yang suram. Ia
ingin menikmati keriangan hari ini. Dan itu dapat menghiburnya di saat-saat
kepedihan menyentuh jantungnya.
“Kenapa kita
mesti bermuram hati?” berkata Swandaru setiap kali.
“Lihatlah
langit yang cerah. Hati kita pun harus cerah pula karenanya.”
Dan Pandan
Wangi pun berusaha untuk menyesuaikan dirinya. Perlahan-lahan ia menemukan
kegembiraannya kembali. Kini ia sudah mulai berkeliaran lagi di hutan-hutan
perburuan. Tidak sendiri, tetapi bersama-sama dengan kawan-kawannya yang
agaknya sesuai dengan keadaannya. Kadang-kadang, Pandan Wangi pergi berburu
bersama Swandaru, Sekar Mirah, dan Agung Sedayu. Namun kadang-kadang ia hanya
berdua saja dengan anak muda yang gemuk itu, meskipun dalam waktu yang sangat
terbatas sekali, karena Ki Argapati selalu mengawasi mereka, meskipun tidak
mengekang terlampau keras. Juga Kiai Gringsing, tidak pernah membiarkan
keduanya lepas dari pengawasannya, karena apabila Swandaru tergelincir bersama
Pandan Wangi, karena gelora remaja mereka, maka semua hubungan yang baik itu
pun akan menjadi rusak karenanya. Ki Argapati pasti menganggap muridnya sebagai
seorang anak muda yang kurang menghargai hubungan yang dianggap suci menjelang
terjalinnya suatu keluarga.
Diketahui atau
tidak diketahui, Swandaru selalu tidak pernah lepas dari pengamatan dukun tua
itu. Hubungan kedua anak-anak muda itu pun sama sekali tidak lepas dari
pengamatan Argapati. Sebagai seorang ayah ia mengerti, betapa di hati anaknya
sedang tumbuh perasaan seorang gadis dewasa. Ia menyadari bahwa Pandan Wangi dan
Swandaru Geni telah saling mencintai. Dan Ki Argapati tidak berkeberatan atas
cinta yang sedang bersemi itu, meskipun belum seorang pun yang pernah
menyatakannya kepadanya, sebagai seorang ayah. Karena Swandaru mempunyai
kesibukan sendiri, maka Agung Sedayu pun mengisi waktunya dengan kesibukannya
sendiri. Kadang-kadang ia bersama Sekar Mirah mengikuti Ki Argapati mengedari
tlatah Menoreh yang sedang membangun, diiringi oleh para pemimpin Menoreh yang
lain. Namun kadang-kadang ia pergi seorang diri mengikuti Ki Argapati tanpa
pengawal. Sedang di saat yang lain, Agung Sedayu berpacu di jalan-jalan yang
berbatu padas, di lereng-lereng bukit bersama Samekta atau Kerti. Bahkan
kadang-kadang Agung Sedayu, hanya berdua saja bersama Sekar Mirah menjelajahi
sawah dan pategalan. Dengan demikian, maka kedua anak-anak muda itu
rasa-rasanya bukan lagi orang asing di Tanah Perdikan Menoreh. Setiap orang
Tanah Perdikan Menoreh mengenal mereka berdua. Setiap orang Tanah Perdikan
Menoreh menghormati keduanya sebagai orang yang berjasa bagi Tanah Perdikan
ini. Bahkan, anak-anak muda yang sebaya dengan Agung Sedayu sambil berkelakar
menyebut mereka berdua sebagai, Sepasang Orang Berkuda.
Agung Sedayu
dan Sekar Mirah hanya tertawa saja mendengar sebutan itu. Bahkan Agung Sedayu
sering berdesis kepada Sekar Mirah,
“Lain kali,
kalau Adi Swandaru sudah tidak terlampau sibuk dengan masalahnya, dan kedua
anak-anak itu sering berpacu di sepanjang jalan-jalan Tanah Perdikan Menoreh,
akan tumbuh sebutan baru bagi kita semua.”
“Sebutan apa
kira-kira itu, Kakang?” bertanya Sekar Mirah.
“Dua pasang
Orang-orang Berkuda.”
Sekar Mirah
tertawa. Katanya kemudian,
“Tetapi mereka
tidak akan sempat melakukannya.”
“Sekarang.
Tetapi pada suatu saat, mereka pasti akan tertarik. Apalagi Pandan Wangi adalah
satu-satunya anak Ki Argapati.”
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Ya. Pandan
Wangi adalah satu-satunya pewaris Tanah Perdikan ini.”
Namun
demikian, di saat-saat terakhir, Ki Argapati banyak berbicara mengenai Tanah
Perdikan ini justru dengan Agung Sedayu, selain dengan pemimpin-pemimpin
Menoreh sendiri. Ki Argapati sangat menghargai pikiran-pikiran Agung Sedayu
yang mantap, yang dapat memberikan jawaban atas kesulitan yang berkembang di
saat-saat Menoreh sedang menyembuhkan dirinya sendiri.
“Kedua murid
Kiai Gringsing ini memang agak berbeda,” berkata Ki Argapati di dalam hatinya.
“Namun
nampaknya Agung Sedayu agak lebih bersungguh-sungguh dari Swandaru. Anak ini
mempunyai daya pikir yang luar biasa kuatnya. Pantas, kalau ia adalah adik dari
Panglima Pajang yang berkuasa di daerah Selatan, Untara.”
Meskipun
demikian, Ki Argapati sama sekali tidak kecewa terhadap Swandaru. Katanya
kepada diri sendiri,
“Anak muda
yang gemuk ini mempunyai kegembiraan dan kemampuan menyesuaikan diri dengan keadaan,
meskipun agak terlampau didorong oleh perasaannya. Tetapi ia adalah seorang
anak muda yang kuat dan terbuka.”
Karena itulah,
maka ketika pada suatu saat, Kiai Gringsing atas permintaan Swandaru
menyampaikan permohonannya kepada Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan itu tidak
terkejut lagi.
“Maaf, Ki
Gede. Agaknya aku terlampau berani mendahului ayah dan ibu muridku. Tetapi
anggaplah bahwa apa yang aku sampaikan itu sekedar pemberitahuan, bahwa ada
hasrat dari Swandaru, untuk meminang puteri Ki Gede. Pada suatu saat, tentu
ayah dan ibunya akan datang mengunjungi Tanah Perdikan Menoreh ini.”
Ki Argapati
tersenyum. Katanya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku mengerti.
Dan aku tidak akan dapat berbuat lain kecuali mengijinkan anakku memilih bakal
suaminya sendiri.”
“Terima
kasih,” sahut Kiai Gringsing.
“Muridku akan
sangat berterima kasih pula.”
“Aku mengenal
muridmu yang gemuk itu. Aku mengetahui serba sedikit tentang anak muda itu.
Karena itu maka keputusanku untuk mengijinkan Pandan Wangi memilih bakal
suaminya, sama sekali bukan berarti bahwa aku telah melepaskannya sama sekali.”
“Anak itu anak
bengal, bodoh, dan kadang-kadang agak kurang mengendalikan dirinya.”
“Ia periang
dan berhati terbuka,” Ki Gede Menoreh mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku tidak
berkeberatan apa pun.”
Kabar itu
benar-benar telah menggembirakan hati Swandaru, sehingga tanpa sesadarnya ia
memukul pundak Agung Sedayu sambil berkata,
“Akhirnya aku
pun mendapatkan seorang gadis.”
“Hus,” desis
Agung Sedayu.
“Kenapa tidak?
Kau cukup tampan. Wajahmu cerah seperti matahari.”
“Cukup,
cukup,” potong Swandaru.
Agung Sedayu
tertawa, dan akhirnya Swandaru dan Sekar Mirah pun tertawa pula.
Namun dengan
demikian, maka Swandaru pun mulai berpikir untuk segera pulang ke rumahnya,
menyampaikan masalahnya itu kepada ayah dan ibunya. Meskipun ia yakin bahwa
ayah dan ibunya tidak berkeberatan, namun tiba-tiba saja di luar sadarnya ia
berkata,
“Ayah dan ibu
harus segera pergi ke Tanah Perdikan ini sebelum jalan dari Sangkal Putung
kemari menjadi sulit dan bahkan tertutup.”
“Kenapa?”
bertanya Kiai Gringsing.
“Bukankah
telah tumbuh suatu daerah baru di atas Alas Mentaok yang dibuka oleh Ki Gede
Pemanahan dan puteranya, Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar?”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Memang
mungkin hal itu akan menjadi masalah. Tetapi mungkin pula, jalan justru menjadi
bertambah baik karena daerah baru itu.”
Kedua muridnya
tidak menjawab. Sumangkar yang ada di antara mereka pun tidak menyahut pula.
Dengan
demikian maka mereka pun sejenak saling berdiam diri. Namun kini tanpa mereka
sadari, angan-angan mereka telah bergeser dari pembicaraan mereka semula.
Mereka tidak lagi membayangkan apakah orang tua Swandaru akan dengan senang
hati memenuhi permintaan anaknya yang ingin kawin dengan seorang gadis, yang
berasal dari tempat yang cukup jauh, yang tidak berasal dari kademangannya
sendiri? Apakah ayah dan ibunya masih belum mempunyai seorang calon isteri bagi
anak laki-lakinya? Tetapi menilik sikapnya yang terbuka atas anak gadisnya yang
telah membuat hubungan dengan Agung Sedayu, yang berasal dari Jati Anom itu,
maka agaknya Ki Demang Sangkal Putung pun tidak akan berkeberatan. Kini yang
mereka pikirkan dan mereka bayangkan, adalah suatu daerah baru di Alas Mentaok.
Daerah yang dibuka oleh Ki Ageng Pemanahan dan puteranya, Sutawijaya.
Dalam
keheningan itu kemudian terdengar Agung Sedayu berkata,
“Tetapi,
apakah ketika Ki Sumangkar dan Sekar Mirah melintasi daerah baru itu, tidak ada
tanda-tanda apa pun yang dapat memberikan petunjuk, apakah yang kira-kira akan
berkembang di sana?”
Sumangkar menarik
nafas dalam-dalam. Katanya,
“Memang sulit
untuk menilai apakah yang sedang berkembang di daerah baru itu. Aku tidak dapat
mengatakan, apakah daerah itu akan menjadi bertambah baik bagi lalu lintas atau
justru menjadi semakin sulit.”
“Tetapi
bagaimana dengan perjalanan Kiai bersama Sekar Mirah pada saat Kiai melintasi
daerah itu?”
“Kami memilih
jalan yang paling aman. Kami melingkar daerah-daerah yang sedang berkembang,
yang mendapat pengawasan yang tajam.” Ki Sumangkar berhenti sejenak. Lalu,
“Tetapi yang
kami dengar di sepanjang jalan, daerah baru itu selain membangun wilayahnya,
namun juga langsung membangun pertahanannya.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya.
“Itulah yang
merupakan teka-teki bagiku,” berkata Ki Sumangkar.
“Tetapi aku
sudah berusaha untuk menjauhi masalah tata pemerintahan di mana pun. Aku tidak
akan lagi menghiraukan apa yang terjadi di Pajang dan daerah yang baru itu,
supaya aku tidak terlibat dalam keadaan yang kadang-kadang cengkah dengan hati
nuraniku.”
Kiai Gringsing
tersenyum. Sepintas terbayang olehnya, keragu-raguan Sumangkar pada saat-saat
pasukan Jipang yang menjadi liar di bawah pimpinan Tohpati, masih merupakan
masalah bagi Pajang.
“Pada suatu
saat, aku akan melihat daerah baru itu,” berkata Kiai Gringsing.
“Aku ikut
bersama Guru. Sekaligus aku ingin menemui ayah dan ibu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah. Kalau
begitu, kita akan menyelam sekaligus minum sebanyak-banyaknya,” berkata
Swandaru.
“Apakah
perutmu masih kurang gembung?” bertanya Sekar Mirah.
”Ini bukan
masalah perut, tetapi masalah yang penting.”
“Penting bagi
siapa?” bertanya Sekar Mirah.
“Bagi Sangkal
Putung. Kau tahu, bahwa Sangkal Putung terletak di sekitar garis yang
menghubungkan dua kekuasaan itu.”
“Kenapa dengan
Pajang dan daerah baru itu?” bertanya Sekar Mirah.
“Aku tidak
tahu pasti. Itulah yang ingin aku ketahui sejauh-jauh mungkin. Tetapi menurut
pendengaran kami di sini, agaknya hubungan antara Pajang dan daerah baru itu
tidak begitu baik.”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seseorang yang telah lama berada di
lingkungan kepatihan, yang hampir setiap hari mempersoalkan tata pemerintahan
negara, Sumangkar tidak dapat mengingkari bahwa di dalam dirinya telah tumbuh
beberapa pertimbangan mengenai masalah itu. Tetapi sejauh-jauh dapat dilakukan,
ia tidak ingin mengucapkannya. Seperti yang telah dikatakan, ia akan
menghindari masalah-masalah yang bersangkut paut dengan masalah pemerintahan.
“Adi
Sumangkar,” berkata Kiai Gringsing, yang tiba-tiba saja bertanya,
“bagaimanakah
tanggapan Adi sebenarnya atas hal ini? Mustahillah kalau Adi Sumangkar tidak
melihat masalah yang sedang berkembang. Di dalam tata pemerintahan, dan
masalah-masalah yang berhubungan dengan itu, Adi Sumangkar pasti jauh lebih
tajam penglihatannya daripada aku.”
Tetapi Sumangkar
menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak
mempunyai bahan yang cukup untuk menilai perkembangan daerah baru itu, Kiai.”
“Eh, kau ini,”
desis Kiai Gringsing.
“Tetapi
baiklah. Agaknya Adi memang sedang berusaha untuk menjauhi masalah-masalah yang
demikian. Begitu?”
Ki Sumangkar
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Baiklah. Kita
akan melihat kelak, apa yang telah terjadi. Tetapi, bukankah Adi Sumangkar
telah mengetahui, bahwa Ki Pemanahan telah meninggalkan istana dan pulang ke
Sela, sebelum Mentaok diserahkan dengan resmi?”
“Ya. Aku
mendengarnya?”
“Baik. Itulah
yang sebenarnya menjadi masalah. Dan Sangkal Putung terletak di antara dua
pihak yang terlibat dalam masalah itu. Mungkin Adi Sumangkar tidak menaruh
minat untuk ikut mempersoalkan masalah itu. Tetapi Sekar Mirah tidak akan dapat
acuh tidak acuh. Sangkal Putung pernah menjadi pusat pertahanan pasukan Pajang
menghadapi Tohpati dan pasukannya.”
“Bukan
begitu,” Sumangkar mencoba membetulkannya.
“Yang benar,
Pajang telah meletakkan pasukannya untuk membantu rakyat Sangkal Putung.
Bukankah begitu, Angger Swandaru?”
“Ya.
Begitulah.”
“Tepat,” sahut
Kiai Gringsing.
“Aku keliru.
Dan sekarang, bagaimana dengan Sangkal Putung?”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Kiai Gringsing memang mencoba menariknya ke
dalam masalah itu. Tetapi ia masih menggelengkan kepalanya.
“Tergantung
sekali kepada Ki Demang di Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. Ternyata Sumangkar masih
tetap berusaha untuk mengelakkan usaha Kiai Gringsing untuk menyatakan
pendapatnya tentang keadaan Alas Mentaok sekarang.
“Memang, yang
paling baik bagi kita adalah melihat sendiri keadaan daerah baru itu,” berkata
Kiai Gringsing kemudian.
“Tepat,”
Swandaru menyahut. “Kapan kita berangkat?”
“Huh,” Sekar
Mirah mencibirkan bibirnya.
“Kalau kau,
tentu kepentinganmu sendirilah yang lebih dahulu kau pikirkan. Pulang untuk
mengajak ayah dan ibu kemari.”
“Tidak,” jawab
Swandaru, “sama sekali tidak. Tetapi seandainya demikian, aku pun tidak akan
menolak.”
Gurunya dan Ki
Sumangkar tersenyum. Dan Sekar Mirah menyahut,
“Jangan
terlampau banyak tingkah. Bukankah kamu juga setuju bahwa ayah dan ibu kita
undang untuk datang ke Tanah Perdikan ini?”
“He,” Swandaru
mengerutkan keningnya.
“Kenapa kau
marah-marah saja kepadaku? Kau kira akan merampas segala perhatian Ayah dan
ibu, hingga mereka tidak sempat mengurusmu?”
“Apa urusanku?”
“Ini,” sahut
Swandaru sambil menunjuk Agung Sedayu.
“Sombong kau,”
Sekar Mirah mencubit lengan Swandaru sehingga anak itu menyeringai.
“Mirah, he.”
“Nah, lihat.
Kau sekarang terlampau cengeng. Tentu kau ingin bukan aku lagi yang
mencubitmu.”
“Sudahlah. Aku
menyerah. Aku memang tidak pernah menang berbantah dengan kau. Apalagi
sekarang, kau mempunyai pengawal dan aku hanya sendiri.”
“Jangan,
jangan.” Swandaru itu pun kemudian meloncat menjauhi adiknya yang sudah
menjulurkan tangannya untuk mencubitnya lagi. Dan tiba-tiba saja ia menyentuh
punggung Agung Sedayu sambil bertanya,
“Kenapa kau
diam saja?”
Agung Sedayu
hanya tersenyum saja. Tetapi ia tidak menyahut.
“Dengarlah,” berkata
Kiai Gringsing kemudian,
“kita akan
segera minta diri kepada Ki Argapati. Aku kira dua tiga hari lagi. Selain
mengurus soal Swandaru, kita singgah untuk melihat-lihat Alas Mentaok
sekarang.”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ayah dan ibu
Swandaru pasti sudah menunggu Sekar Mirah pula. Ibunyalah yang pasti selalu cemas.”
“Ya. Kita tahu
hati seorang ibu. Karena itu, baiklah kita memutuskan saja. Lusa kita
berangkat.”
“Semakin cepat
makin baik,” sela Swandaru.
“Makin cepat
apa?” bertanya Agung Sedayu.
“Makin cepat
kita meninggalkan tempat ini atau makin cepat kita kembali ke tempat ini?”
Swandaru
merenung sejenak. Jawabnya,
“Kedua-duanya.
Makin cepat kita pergi untuk semakin cepat kita kembali ke Tanah Perdikan
Menoreh.”
“Pantas,”
desis Sekar Mirah.
Ketika
Swandaru membuka mulutnya untuk menjawab, gurunya mendahului,
“Kau tidak
usah membantah. Semua orang tahu, bahwa kau memang ingin demikian.”
“Aku memang
tidak akan membantah, Guru. Aku justru akan mengiakannya.”
Yang mendengar
jawaban itu tertawa. Bahkan Sekar Mirah pun tersenyum pula. Demikianlah, maka
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, menyampaikan maksud itu kepada Ki Argapati, di
saat-saat mereka duduk di pendapa ketika senja menjadi semakin gelap.
“Begitu
tergesa-gesa?” Ki Argapati mengerutkan keningnya.
“Memang kami
agak tergesa-gesa, Ki Gede, tetapi juga tergesa-gesa untuk segera kembali
bersama ayah dan ibu Swandaru.”
Ki Argapati
tersenyum. Katanya,
“Tetapi akulah
yang akan menjadi kesepian.”
“Tanah
Perdikan ini sudah akan pulih kembali. Ki Argajaya lambat laun berhasil
memperbaiki namanya sendiri.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Baiklah,”
katanya kemudian,
“kami,
orang-orang Menoreh, menunggu kedatangan kalian. Harapan kami beserta dengan
murid Kiai yang gemuk itu. Karena Pandan Wangi adalah satu-satunya anakku.”
Kiai Gringsing
dan Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari, bahwa tumpuan
harapan Ki Argapati dan seluruh rakyat Menoreh ada pada Swandaru. Dan tiba-tiba
saja tumbuh pertanyaan di hati Kiai Gringsing,
“Apakah
Swandaru menyadarinya? Ia tidak sekedar meminang Pandan Wangi. Tetapi ia
meminang Pandan Wangi beserta segala macam kewajiban yang akan besertanya.”
“Kapan Kiai
akan berangkat?” bertanya Ki Argapati.
“Lusa,” jawab
Kiai Gringsing,
“kami akan
berangkat pagi-pagi.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Kami akan menyediakan semua keperluan
kalian. Apakah kalian akan memerlukan kuda?”
Kiai Gringsing
merenung sejenak. Ketika ia memandang wajah Sumangkar, orang tua itu pun tampak
ragu-ragu.
“Bagaimana,
Adi Sumangkar?”
“Bukankah kita
ingin melihat-melihat keadaan di sepanjang jalan?”
Kiai Gringsing
mengangguk. Dan sebelum ia menjawab, Ki Argapati sudah bertanya lebih dahulu,
“Maksud Kiai,
melihat keadaan daerah baru itu?”
Sumangkar
menganggukkan kepalanya.
“Ya. Kami
ingin melihat daerah baru itu.”
“Kumandangnya
sudah sampai ke sebelah Sungai Praga. Terutama kumandangnya tentang
perdagangan. Mereka memerlukan beberapa jenis barang dari Menoreh. Para
pedaganglah yang lebih dahulu telah melakukan hubungan tidak resmi. Tetapi
laporan tentang daerah baru itu sudah ada padaku.” Ki Argapati diam sejenak.
Lalu,
“Kebetulan
sekali, kalau Swandaru mendapatkan beberapa kesimpulan tentang daerah itu
kelak, sebelum Tanah ini menentukan sikap.”
Kiai Gringsing
dan Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka menyadari, bahwa
dengan demikian Swandaru sudah mulai membawa tugas bagi Tanah Perdikan ini. Dan
tugas itu berat baginya, meskipun cara mengucapkannya cukup sederhana. Tetapi
kesimpulan yang akan dibawa Swandaru itu menentukan, sesuai dengan kata-kata Ki
Gede di Menoreh,
“Sebelum Tanah
ini menentukan sikap.”
“Sudah
sewajarnya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya,
“anak itu
harus mulai belajar bersikap dan berbuat dengan bersungguh-sungguh.”
Namun
seandainya tidak ada yang memperingatkan, maka pasti Swandaru hanya sekedar
akan melihat perkembangan Tanah yang baru dibuka itu menurut seleranya sendiri.
Bukan selera suatu Tanah Perdikan yang besar, Menoreh, yang langsung atau tidak
langsung akan menjadi tetangga dekat dari daerah baru itu. Demikianlah, maka
pada hari yang ditentukan, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan murid-muridnya
telah siap meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, untuk memulai dengan
perjalanannya ke Timur.
Dengan rendah
hati, Kiai Gringsing menyatakan bahwa mereka akan lebih senang berjalan kaki
saja sambil melihat-lihat keadaan daerah-daerah yang dilaluinya. Segenap
pemimpin Tanah Perdikan Menoreh, Ki Argajaya, dan puteranya, mengantar mereka
sampai ke regol halaman rumah Ki Argapati. Meskipun mereka bukan orang-orang
Menoreh, tetapi apa yang sudah mereka lakukan buat Menoreh ternyata tidak
segera dapat dilupakan. Mereka telah ikut serta memadamkan api yang membakar
Tanah Perdikan ini dengan berbagai macam cara. Kasar dan halus. Lahiriah dan
batiniah. Tanpa gembala tua dan anak-anaknya. Tanah Perdikan ini pasti akan
menjadi lebih parah lagi. Apalagi, apabila luka Ki Argapati tidak dapat
disembuhkan. Pandan Wangi yang sedang mulai dijalari perasaan seorang gadis
merasa menjadi sangat kecewa atas kepergian Swandaru. Ia merasa kehilangan seseorang
yang dapat membuatnya tersenyum dan tertawa.
“Aku akan
segera kembali,” berkata Swandaru.
“Kau tidak
bersungguh-sungguh, seperti apa yang kau lakukan selama ini. Kau selalu
mengatakan tentang sesuatu yang tidak benar. Kau mengatakan bahwa pada suatu
ketika kau akan berhasil menangkap sesosok tuyul yang sedang mencuri uang di
rumahmu. Lain kali kau katakan bahwa seorang kawanmu mempunyai kuda sembrani
yang dapat terbang sampai ke bulan. Sedang yang benar, kau adalah seorang
pemimpi.” Pandan Wangi berhenti sejenak. Lalu,
“Dan bagaimana
kalau perlawatanmu ke Menoreh ini nanti kau anggap sekedar sebuah mimpi?”
“Mungkin,”
jawab Swandaru,
“tetapi yang
tidak ada hubungannya dengan kau. Sedangkan semua masalah yang ada hubungannya
dengan kau, tentu sama sekali bukan sebuah mimpi.”
“Apakah kau
berkata sebenarnya?”
“Maksudku
memang demikian.”
“He?”
“Ya. Ya. Aku
berkata sebenarnya.”
Wajah Pandan
Wangi menjadi bersungut-sungut, tetapi Swandaru kemudian berkata,
“Aku akan
segera kembali membawa tiga ekor, eh, tiga orang, maksudku tiga, bilangan tiga
untuk tuyul-tuyul itu.”
“Benar?”
tiba-tiba wajah Pandan Wangi menjadi cerah.
“Kau akan
membawanya untukku?”
“Ya, ya.
Tetapi ……….”
“Katakan bahwa
kau bersumpah, bahwa kau akan segera kembali membawa tuyul.”
“Eh.”
“Nah, bukankah
kau berbohong?”
Swandaru
menjadi bingung. Namun kemudian ia berkata,
“Baiklah. Aku
akan membawa tiga sosok tuyul. Aku sudah mempunyai dua. Aku tinggal mencari
satu.”
“Kau sudah
mempunyai dua?”
“Ya.”
“Mana?”
“Itu. Yang
satu tuyul jantan, yang lain tuyul betina,”
“Ah, kau,”
desah Pandan Wangi.
Namun
Swandaru-lah yang menyeringai kesakitan karena Sekar Mirah mencubitnya.
“Aku kau
anggap tuyul ya? Kalau aku tuyul, termasuk jenis apakah kakaknya?”
“Sudah Mirah.
Sudah.”
Pandan Wangi
terpaksa tersenyum karenanya. Sebetulnya tangannya pun hampir saja terjulur.
Tetapi segera ditariknya kembali, karena Swandaru masih belum menjadi keluarga
atau apa pun secara resmi. Demikianlah, maka rombongan kecil itu pun segera
meninggalkan halaman rumah Ki Argapati. Perpisahan itu agaknya benar-benar
berkesan bagi yang pergi dan bagi yang ditinggalkan. Namun Kiai Gringsing
berkata kepada mereka,
“Kami akan
segera kembali. Dan bukankah tanah ini telah menjadi utuh kembali?”
“Kami selalu
mengharap kedatangan kalian,” berkata Ki Argapati.
Maka
dilepaslah rombongan kecil itu berangkat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Ketika
beberapa langkah kemudian Sekar Mirah berpaling, tiba-tiba hatinya berdesir. Ia
melihat sorot mata anak muda yang bernama Prastawa itu seakan-akan menyala
membakar jantungnya. Namun hanya sejenak, karena anak muda itu segera
memalingkan wajahnya, memandang ke kejauhan. Sentuhan tatapan mata yang hanya
sekejap itu telah meninggalkan kesan yang aneh bagi Sekar Mirah, meskipun ia
berusaha untuk menghalaunya dari hatinya.
“Adalah
kebetulan saja ia memandangku,” katanya di dalam hati, “atau barangkali ia
mendendamku?”
Ki Argapati,
Ki Argajaya, Samekta, Kerti dan yang lain, memandangi mereka sampai rombongan
kecil itu hilang di balik sebuah tikungan. Meskipun demikian, Ki Argapati yang
berdiri bersandar pada sebuah tongkat yang panjang berkata perlahan-lahan,
“Mereka
bagaikan sepasukan prajurit yang pulang dari medan. Meskipun mereka hanya
berjumlah 5 orang.”
Ki Argajaya
yang berdiri di sampingnya mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia tidak
menjawab. Matanya masih tersangkut pada tikungan tempat kelima orang itu
menghilang. Yang mula-mula sekali meninggalkan regol itu adalah Pandan Wangi.
Sambil menundukkan kepalanya ia melangkah dengan tergesa-gesa melintasi
halaman. Ayahnya, Ki Argapati, menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, perasaan
apakah yang sedang mengganggu puterinya itu. Hatinya yang sedang mekar,
tiba-tiba terputus meskipun hanya untuk beberapa saat. Namun agaknya, dunianya
akan menjadi terlampau sepi untuk sementara. Karena itu, maka ketika Ki
Argapati melihat puterinya itu merenung di biliknya, ia sama sekali tidak
menegurnya. Biarlah anak itu berangan-angan sebagaimana kebiasaan gadis-gadis.
Kalau puterinya itu selalu dibebani oleh sepasang pedangnya, tanpa memberi
kesempatan pribadinya sebagai seorang gadis berkembang, maka kelak Pandan Wangi
tidak akan dapat menjadi seorang ibu yang baik. Argajaya dan puteranya pun
segera minta diri pula, kembali ke rumahnya. Mereka datang sekedar melepaskan kelima
orang itu meninggalkan Menoreh.
“Aku masih
mempunyai pekerjaan di sawah, Kakang,” berkata Argajaya.
“Kau kerjakan
sendiri sawahmu?”
“Tentu hanya
sebagian kecil. Tenagaku sudah tidak sekuat anak-anak muda. Tetapi aku ingin
mengisi waktuku dengan kerja.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Prastawa
juga?”
“Ya, Paman.
Aku harus membantu ayah di rumah.”
“Bagus,” desis
Ki Argapati.
Keduanya pun
kemudian meninggalkan halaman rumah Ki Argapati. Di atas punggung kuda mereka
menyusuri jalan-jalan padukuhan induk, dan kemudian mereka melintas di jalan
yang membelah sebuah bulak yang panjang.
“Ayah,”
tiba-tiba Prastawa bertanya, “apakah benar, Sekar Mirah itu adik Swandaru?”
“Ya, kenapa?”
“Keduanya
sangat berlainan.”
Ayahnya
mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Mungkin
bentuk tubuhnya. Sudah tentu, bagi seorang gadis kurang pantas apabila ia
bertubuh gemuk seperti Swandaru. Tetapi justru Swandaru menjadi pantas.
Wajahnya yang bulat dan cerah itu memancarkan kesan keterbukaan hatinya.” Ki Argajaya
berhenti sejenak. Lalu,
“Tetapi kalau
kau memandang kening, hidung, dan alisnya, keduanya mempunyai banyak
persamaan.”
Prastawa
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar ayahnya
bertanya,
“Kenapa?”
“O, tidak
apa-apa,” anak muda itu tergagap. Lalu,
“Bukankah,
Swandaru kelak akan menjadi ipar sepupuku?”
“Ya. Agaknya
demikian, meskipun masih belum resmi.”
Prastawa
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Katanya kemudian,
“Sekar Mirah
adalah gadis yang luar biasa. Dengan mudah ia menguasai kawanku yang bertubuh
kekar seperti badak itu.”
“Gurunya pun
luar biasa, meskipun rendah hati seperti guru Swandaru.”
“Tetapi,
saudara seperguruan Swandaru itu terlampau sombong.”
“Agung Sedayu
maksudmu?”
“Ya. Ia
menganggap aku seorang tawanan. Sampai saat ia meninggalkan rumah Paman
Argapati.”
“He. Kau
salah, Prastawa. Ia anak yang baik. Ia tidak berbuat apa-apa ketika ia melihat
kedatanganmu dan kawanmu di rumah beberapa saat yang lalu.”
“Tetapi
agaknya ia merasa tidak pantas berbicara dengan aku. Tidak seperti Swandaru,
yang suka berkelakar.”
“Itu adalah
sifatnya. Ia pendiam.”
Prastawa
terdiam sejenak. Terbayang perkelahian yang terjadi sebelum ia kembali kepada
ayahnya, ketika Agung Sedayu berada di bukit bersama Pandan Wangi. Kekalahannya
saat itu tidak dapat dilupakannya. Tetapi tiba-tiba terbersit suatu pertanyaan
di hatinya,
“Kenapa aku
mendendam Agung Sedayu, dan tidak kakak Pandan Wangi?”
Prastawa
menelan ludahnya.
Dan ayahnya
berkata,
“Agung Sedayu
pun anak yang baik. Memang sifatnya agak berbeda dengan anak yang gemuk itu.
Tetapi bukan maksudnya menyombongkan dirinya.”
Prastawa
mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia bertanya,
“Apakah benar,
Agung Sedayu itu bakal suami Sekar Mirah?”
“Ya. Tetapi
itu pun belum resmi seperti Swandaru dan Pandan Wangi, meskipun orang tuanya
tidak berkeberatan seperti juga Kakang Argapati.”
Prastawa tidak
menjawab. Tetapi ia tidak mengerti, kenapa wajah gadis, yang bernama Sekar
Mirah, itu selalu membayang. Gadis itu begitu tenangnya menghadapi keadaan.
Pada saat ia datang ke rumahnya, langsung memasuki bilik ibunya yang ditempati
oleh gadis, yang bernama Sekar Mirah itu, gadis itu sama sekali tidak menjadi
ketakutan. Justru ia tersenyum penuh kepercayaan kepada diri sendiri, bahwa ia
akan dapat mengatasi setiap persoalan yang tumbuh.
“Gadis itu
luar biasa,” desisnya tanpa sesadarnya.
Prastawa
terkejut ketika ayahnya bertanya, “Siapa?”
“Maksudku,
Sekar Mirah itu hampir seperti Kakak Pandan Wangi. Meskipun ia seorang gadis,
tetapi ia mampu melindungi dirinya sendiri. Bedanya, Kakak Pandan Wangi
bersenjata sepasang pedang yang ringan, justru gadis ini mempunyai senjata yang
aneh. Tongkat baja putih dan berkepala tengkorak yang berwarna
kekuning-kuningan.”
“Senjata yang
diterima turun-temurun, dari guru ke muridnya.”
Prastawa
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi ia tidak berkata-kata lagi.
Namun
pertanyaan-pertanyaan Prastawa itu telah memberikan kesan yang aneh pada Ki
Argajaya. Agaknya anak itu menaruh perhatian pada Sekar Mirah. Tetapi Ki
Argajaya tidak tahu, apakah yang agaknya telah menarik hati anaknya. Mungkin
justru karena senjatanya yang aneh itu, atau karena jarang sekali terdapat
seorang gadis yang memiliki kemampuan seperti Sekar Mirah dan Pandan Wangi di
atas Tanah Perdikan ini. Justru kebanyakan gadis-gadis hanya menunggu hari-hari
perkawinannya dengan menganyam tikar, atau menunggui perapian untuk membuat
gula kelapa di rumah.
“Anak itu akan
segera melupakannya,” berkata Ki Argajaya kepada diri sendiri.
Dalam pada
itu, Ki Tanu Metir, Ki Sumangkar, dan murid-muridnya berjalan semakin lama
semakin menjauhi pedukuhan induk. Namun di sepanjang jalan beberapa orang yang
mengenalnya, selalu menganggukkan kepalanya sambil bertanya,
“Kemanakah
kalian akan pergi?”
“Kami akan
menengok rumah kami,” jawab Kiai Gringsing.
“O, apakah
kalian tidak akan kembali kemari?”
“Tentu. Kami
akan kembali lagi.”
“Selamat
jalan.”
“Terima
kasih.”
Bahkan ada
orang-orang yang mencoba untuk mempersilahkan mereka singgah.
“Kami akan
senang sekali kalau kalian tinggal di rumah kami sehari dua hari.”
“Maafkanlah.
Kami harus segera menyeberangi sungai Praga.”
“Kenapa
tergesa-gesa?”
“Tidak
apa-apa. Tetapi anak-anak sudah rindu kepada kampung halaman.”
Demikianlah,
maka mereka berlima berjalan semakin lama semakin cepat. Matahari yang memanjat
langit pun menjadi semakin lama semakin tinggi pula. Panasnya pun menjadi
semakin tajam menggigit kulit. Semakin lama, maka padukuhan-padukuhan pun
menjadi semakin jarang dan kecil. Hampir tidak ada lagi orang-orang yang
mengenal mereka, Orang-orang di padukuhan-padukuhan itu adalah orang yang
setiap hari selalu tenggelam di dalam kerja, seperti yang selalu mereka lakukan
sehari-hari. Pagi bangun tidur, makan sekedarnya, lalu pergi ke sawah. Di siang
hari mereka berhenti. Makan dan minum. Kemudian mereka melanjutkan kerja sampai
matahari menjadi sangat rendah. Di senja hari mereka pulang, singgah di sungai
sebentar membersihkan diri dan alat-alat mereka. Barulah mereka pulang.
Kadang-kadang mereka masih makan sore, tetapi kadang-kadang sudah tidak lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar