Mereka langsung pergi tidur apabila tidak ada keperluan yang penting untuk keluar rumah. Meskipun demikian, hidup mereka tampaknya sangat tenteram. Mereka sama sekali tidak mengacuhkan apa pun yang terjadi di luar pedukuhan mereka. Namun demikian, kemajuan tata kehidupan mereka pun sangat lamban, karena seolah-olah mereka menutup pintu padukuhan mereka dengan tata kehidupan yang sudah mereka miliki itu. Ternyata, tata kehidupan yang demikian itu sangat menarik perhatian Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah. Kehidupan yang sangat sederhana.
“Apakah mereka
akan tetap dalam keadaan yang demikian itu sampai puluhan tahun mendatang?” bertanya
Agung Sedayu.
“Tentu tidak.”
jawab Kiai Gringsing.
“Tetapi kalau
tidak ada seseorang yang berani memasuki daerah itu dengan membawa adat dan
cara-cara yang lebih baik untuk meningkatkan kehidupan mereka, mereka akan
tetap dalam keadaannya,” sahut Swandaru.
“Bukankah
tanah ini masih tlatah Menoreh?” tiba-tiba Kiai Gringsing bertanya.
Tidak seorang
pun yang menjawab.
“Nah. Kalau
demikian, akan menjadi tugas Swandaru kelak untuk menerobos masuk sampai ke
padukuhan yang terpencil ini.”
“Ah,” desis
Swandaru, sedang Sekar Mirah tertawa sambil berkata,
“Tetapi jangan
kau mulai sejak sekarang. Kau sekarang belum apa-apa di sini.”
“Kupuntir
telingamu,” potong Swandaru. Tetapi Sekar Mirah masih saja tertawa.
Sementara itu,
langkah mereka menjadi semakin jauh. Ketika mereka menengadahkan wajah mereka,
ternyata matahari telah melampaui puncak langit.
“Hem, aku
haus,” desis Sekar Mirah.
“Kau tadi
membawa bekal makanan dari Pandan Wangi, bukan?” bertanya Swandaru.
“Aku haus,
tidak lapar,” jawab Sekar Mirah.
Swandaru terdiam.
Tetapi mereka masih berjalan terus. Sejenak kemudian mereka pun segera sampai
ke hutan-hutan rindang. Hutan perburuan yang memanjang, sebelum mereka memasuki
hutan lebat di seberang hutan perburuan ini.
“Apakah kita
akan langsung mencari tempat kediaman Ki Gede Pemanahan dan puteranya,
Sutawijaya?” bertanya Swandaru kemudian.
Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Tentu tidak.
Kita ingin mengetahui keadaan sebenarnya. Kalau kita langsung mengunjungi Ki
Gede Pemanahan dan puteranya, maka kita tidak akan dapat melihat seluruh segi
kehidupan di daerah baru itu. Kita hanya akan melihat apa yang pantas kita
lihat, sehingga kita tidak akan dapat menilai daerah itu seperti yang
sebenarnya, dipandang dari sudut kepentingan kita masing-masing. Bagi Sangkal
Putung dan bagi Tanah Perdikan Menoreh.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Besok kita
akan memasuki daerah itu. Kita akan melihat apakah yang sedang tumbuh itu akan
bermanfaat bagi kita, bagi daerah-daerah di sekitarnya dan bagi keseluruhan
keluarga besar di Pulau Jawa ini.”
“Pulau Jawa?”
Swandaru mengerutkan keningnya.
Gurunya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Swandaru
mengerutkan keningnya. Gurunya telah menyebut suatu tempat yang hanya dapat
dibayangkan oleh Swandaru, Pulau Jawa. Suatu daerah yang tentu sangat luas.
“Apakah
hubungannya daerah yang baru dibuka itu dengan Pulau Jawa?” bertanya Swandaru
kemudian.
Gurunya
tertawa. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Bukan
salahmu, kalau kau mengajukan pertanyaan itu. Akulah yang seharusnya
menunjukkan kepadamu, bahwa daerah baru itu akan mempengaruhi keadaan Pulau
Jawa seluruhnya.”
“Tetapi,
bukankah Pulau Jawa itu terbentang dari ujung Timur sampai ke ujung Barat?”
“Ya.”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk membayangkan, berapa luasnya daerah yang
disebut oleh gurunya itu, Pulau Jawa.
“Apakah Pajang
juga mempunyai pengaruh yang luas atas Pulau Jawa?” bertanya Agung Sedayu.
“Kau pernah
mendengar hal itu?”
“Aku memang
pernah mendengar.”
“Nah. Sekarang
kalian tahu, bahwa pengalaman kalian itu baru setetes dari air yang
melimpah-limpah di telaga. Tetapi untunglah bahwa kalian berada dekat dari
pusat pemerintahan, yang mempengaruhi Pulau Jawa itu.”
“Maksud Guru?”
“Meskipun
sudah jauh surut, tetapi Pajang memang masih mempunyai pengaruh atas Pulau
Jawa. Di saat-saat terakhir Demak masih mengikat kesatuan banyak daerah-daerah
di pesisir Utara membujur ke Timur. Tetapi sebagaimana kalian mengetahui,
perpecahan di saat-saat lahirnya Pajang, telah membuat ikatan itu semakin kendor,
sehingga banyak sekali daerah-daerah yang merasa berhak berdiri
sendiri-sendiri. Kesatuan yang pernah dibina pada jaman Majapahit itu pun
sedikit demi sedikit menjadi mundur.”
“Majapahit
pernah mempersatukan bukan saja Pulau Jawa,” berkata Agung Sedayu.
“Ya.
Nusantara. Pulau-pulau yang dibatasi oleh lautan-lautan yang luas.”
Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang pernah mendengar ceritera tentang
kebesaran Majapahit. Perpecahan yang kemudian terjadi, sehingga yang masih
dapat dilihatnya adalah perpecahan antara Pajang dan Jipang sepeninggal Sultan
Demak yang terakhir.
Sekilas
terbayang Kademangan Sangkal Putung yang kaya raya. Tetapi Sangkal Putung
adalah sebagian kecil, kecil sekali dari seluruh Pulau Jawa. Seluruh Nusantara.
Namun kemudian
terbersit pertanyaan di hatinya,
“Benarkah
Sutawijaya itu mampu berbuat sesuatu yang akan dapat mempengaruhi seluruh pulau
Jawa? Memang ia mempunyai banyak kelebihan dari kami, aku dan Kakang Agung
Sedayu, tetapi dalam suatu saat kami pun mampu memiliki ilmu setingkat itu. Dan
apabila demikian, apakah kami pun mampu berbuat sesuatu yang dapat berkumandang
sampai ke ujung-ujung pulau Jawa ini?”
Tetapi
Swandaru tetap menyimpan pertanyaan itu di dalam hatinya.
“Kalau kalian
ingin lebih jelas lagi,” berkata Kiai Gringsing,
“bertanyalah
kepada Ki Sumangkar. Sebagai seorang yang selalu berada di lingkungan
kepatihan, ia pasti jauh lebih mengetahui masalah-masalah pemerintahan daripada
aku.”
“Ah,” desis
Sumangkar. Namun Sekar Mirah segera bertanya, “Benarkah begitu, Guru?”
“Aku adalah
seorang juru masak di kepatihan.”
Kiai Gringsing
tertawa. Tetapi ia tidak berkata apa-apa.
“Seharusnya
Guru sering berceritera kepadaku tentang susunan pemerintahan. Kalau Guru
berceritera, hanyalah sekedar garis besarnya saja. Pada suatu saat aku ingin
mengetahui lebih banyak lagi, sehingga aku dapat membayangkan tata pemerintahan
dari suatu negara yang besar. Bukan sekedar sebuah kademangan. Dengan demikian
kami tidak merasa bahwa seolah-olah yang paling penting di muka bumi ini.”
Sumangkar
tersenyum. Desisnya,
“Kiai
membebani aku pekerjaan yang aku tidak mengerti.”
Kiai Gringsing
pun tertawa pula.
“Sudah
waktunya hati anak-anak itu terbuka, melihat dunia yang semakin luas ini.
Dengan demikian mereka sadar, bahwa lingkungan mereka sebenarnya amat luas.
Bukan sekedar pasukan Tohpati yang berada di sekitar Sangkal Putung, kemudian
datang Widura dan Untara membawa sebagian kecil dari pasukannya. Anak-anak
harus tahu, bahwa itu hanya sebagian kecil dari keseluruhan ceritera
mengalirnya pemerintahan sejak jaman dahulu kala. Sejak jaman Sri Rajasa Batara
Sang Amurwabumi. Bahkan sebelumnya, sampai pada jaman kebesaran Majapahit,
kemudian menurun dengan pesatnya sejak Demak kehilangan rajanya yang terakhir.
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bukankah
masalah Tohpati yang kehilangan sasaran perjuangannya itu akan menjadi sangat
berlainan dengan saat-saat daerah baru yang sedang tumbuh ini? Benturan antara
Tohpati dan Untara di sekitar Sangkal Putung adalah merupakan babak-babak
terakhir dari tenggelamnya kekuasaan Adipati Jipang. Masalahnya merupakan
masalah yang dapat dibatasi menjadi masalah setempat, Sangkal Putung. Tetapi
yang sedang tumbuh ini mendapat sorotan dari segenap wilayah Pajang, karena
justru Ki Gede Pemanahan sendiri yang menyingkir dari lingkungan istana,
setelah Ki Penjawi menempati tanahnya yang baru, Pati.”
Kedua
orang-orang tua itu tiba-tiba berpaling ketika mereka mendengar Swandaru
berdesah.
“Swandaru,”
berkata Kiai Gringsing
“kau dan Agung
Sedayu harus mencoba untuk mengerti masalah-masalah ini. Kalian akan mempunyai
wewenang meskipun di daerah yang kecil. Tetapi daerah-daerah yang kecil itulah
yang menumbuhkan daerah yang lebih besar dan seterusnya.”
Keduanya pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Terbayang di hadapan mereka masalah yang
jauh lebih besar dari api yang membakar Tanah Perdikan Menoreh. Masalah daerah
baru yang dimulai dengan nada yang sumbang itu akan langsung menyangkut
pimpinan tertinggi pemerintah. Seperti pada masa Adipati Jipang masih ada.
Bukan sekedar pecahan-pecahan pasukan yang berserakan. Dengan demikian, maka
kelima orang itu harus mempersiapkan dirinya untuk memasuki suatu daerah yang
masih di bayangi oleh kekelaman, seakan-akan mereka hendak meloncat ke dalam
gelap. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya ada di belakang kegelapan itu. Mereka
baru mendengar daerah baru itu dari Sutawijaya. Yang barang tentu, akan
memiliki masalah-masalah yang dapat dikatakannya. Yang tidak, tentu akan
disembunyikannya. Karena itu, Kiai Gringsing sudah bertekad untuk melihat
daerah baru itu langsung tanpa memberitahukan lebih dahulu kepada Sutawijaya,
apalagi Ki Gede Pemanahan.
Namun pada
hari itu kelima orang itu tidak dapat langsung mencapai Alas Mentaok. Hutan
yang lebat di sebelah-menyebelah Kali Praga, agaknya menghambat jalan mereka.
Mereka harus mencari jalan setapak yang sering dilalui para pedagang yang
saling tukar menukar barang-barang antara mereka yang tinggal di sebelah
sungai. Tetapi kelima orang itu sadar, bahwa kadang-kadang di perjalanan mereka
menjumpai penyamun yang masih saja berkeliaran. Apalagi dengan tumbuhnya daerah
baru, maka jalan setapak itu menjadi lebih sering dilalui, sehingga para
penyamun menjadi semakin mantap melakukan pengintaian. Meskipun demikian,
kadang-kadang para penyamun itu gagal melakukan kegiatannya, karena serombongan
pedagang yang lewat, dikawal oleh orang-orang yang cukup mampu melayani
penyamun-penyamun kecil yang berkeliaran itu.
“Kita bermalam
di sebelah Timur sungai,” berkata Kiai Gringsing.
“Besok kita
mencari tempat yang baik untuk membuat gubug. Kita akan tinggal di tempat itu
untuk sementara.”
“Kita akan
tinggal?” bertanya Sekar Mirah.
“Ya.”
“Berapa hari?”
“Aku tidak
dapat menyebutkan, Mirah. Mungkin sehari, mungkin sebulan.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kemudian ia berkata,
“Sebenarnya
aku ingin tinggal bersama Kiai, Kakang Swandaru, dan Kakang Agung Sedayu,”
suaranya tiba-tiba merendah. Sambil berpaling kepada gurunya ia bertanya,
“Tetapi
bagaimana dengan ibu di rumah, Guru?”
Ki Sumangkar mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak segera dapat menjawab. Sebenarnya Sumangkar tidak
begitu senang untuk ikut mencampuri persoalan daerah baru itu, meskipun ia
mengerti, bahwa masalahnya akan langsung menyangkut Sangkal Putung dan Tanah
Perdikan Menoreh. Tetapi sebagai seseorang yang baru saja dilepaskan dari
segala tuntutan oleh Pajang, karena ia langsung atau tidak langsung berada di
dalam pasukan Tohpati, maka untuk ikut serta di dalam persoalan yang akan
menyangkut juga Pajang, ia agaknya menjadi segan. Jauh-jauh telah terbayang di
angan-angannya, bahwa ia akan menjumpai banyak kesulitan apabila masalah daerah
baru itu nanti berkembang seperti yang diperhitungkannya, meskipun tidak dalam
waktu yang dekat. Kalau Ki Gede Pemanahan dan Sultan Pajang masing-masing tetap
di dorong oleh perasaannya, maka jarak antara Pajang dan daerah baru itu akan
menjadi semakin panjang. Sudah tentu ia tidak akan dapat menjerumuskan dirinya
sekali lagi dalam persoalan-persoalan yang tidak sejalan dengan hati nuraninya,
seperti adanya di dalam pasukan Tohpati, karena ia merasa terikat oleh suatu
keharusan.
Kali ini, ia
pun melihat kedua belah sisi yang saling berhadapan itu pun telah mengikatnya.
Ia merasa berhutang budi kepada Pajang yang telah melepaskannya dari segala tuntutan.
Sultan Pajang tidak menjatuhkan hukuman atasnya, karena ia tahu, bahwa bukan
seperti yang dilakukan oleh Tohpati, bahkan oleh Adipati Jipang itulah yang
dimaksudkan oleh Sumangkar. Tetapi ia tahu benar, bahwa penjelasan tentang
pendiriannya itu sebagian terbesar diberikan oleh Ki Gede Pemanahan, yang
menerima langsung penyerahan sebagian laskar Tohpati, yang menyerah di Sangkal
Putung. Karena itu, apabila ia melibatkan diri di dalam masalah yang sedang
tumbuh itu, ia akan menjumpai banyak kesulitan di dalam dadanya sendiri.
Ki Sumangkar
terkejut ketika ia mendengar Sekar Mirah mendesaknya,
“Bagaimana,
Guru. Apakah ibu tidak terlampau cemas?”
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Sekar Mirah.
Aku tahu kesulitanmu. Kau ingin tinggal di sini bersama kakak-kakakmu, tetapi
kau juga mencemaskan ibumu. Bukankah begitu?”
“Ya, Guru.”
“Dan aku juga
mengerti, bagaimana perasaan seorang ibu. Padahal, selama ini kau tidak pernah
berpisah daripadanya.”
“Ya, Guru.”
Ki Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Kiai Gringsing seakan-akan ia minta
pertimbangan tentang muridnya itu.
Tetapi yang
pertama-tama menyatakan sikapnya adalah Swandaru.
“Mirah.
Sebaiknya kau pulang saja dahulu. Katakan kepada ayah dan ibu, agar mereka
bersiap-siap dengan sepengadeg pakaian yang paling baik yang ada di Sangkal
Putung. Seperangkat upacara peningset dan pedang bertangkai gading itu.” Swandaru
berhenti sejenak. Lalu,
“Ceriterakan
kepada ayah dan ibu, bahwa kita bersama-sama akan pergi melamar gadis Tanah
Perdikan Menoreh. Selain itu, dengan demikian ibu pun tidak akan terlampau lama
menunggu. Aku yakin bahwa ibu tidak akan pernah dapat tidur nyenyak setiap
malam. Kalau salah seorang dari kita sudah datang, dan membawa kabar baik, maka
orang tua kita tidak akan terlampau cemas lagi.”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab,
“Kenapa bukan
kau saja yang pulang?”
“Aku di sini
bersama guru dan Kakang Agung Sedayu, itu lebih pantas daripada kau yang
tinggal di sini.”
Sekar Mirah
tidak menjawab. Ia memang sedang bimbang, apakah ia tinggal bersama kakaknya
dan Agung Sedayu, atau pulang dahulu menemui ibu dan ayahnya. Dalam kebimbangan
itu terdengar Kiai Gringsing berkata kepadanya,
“Memang
sebaiknya kau kembali lebih dahulu, Sekar Mirah.”
“Apakah aku
akan mengganggu di sini?” ia bertanya.
“Tentu tidak,”
jawab Kiai Gringsing,
“karena kau
bukan seorang gadis yang hanya dapat menggantungkan keselamatannya kepada orang
lain. Kau, seperti juga Pandan Wangi, akan dapat membantu kami apabila terjadi
sesuatu. Bahkan sudah tentu juga gurumu, Ki Sumangkar. Tetapi yang kita
pikirkan bersama adalah ayah dan ibu. Swandaru pergi sudah sekian lama.
Kemudian kau dan gurumu menyusulnya. Tetapi keduanya tidak terdengar kabar
beritanya.”
Sekar Mirah
tidak segera menjawab. Wajahnya masih juga dibayangi oleh keragu-raguan.
“Baiklah, kau
aku antar pulang, Mirah,” berkata Ki Sumangkar.
“Seperti kata
Kiai Gringsing, soalnya adalah ayah dan ibumu. Terutama sekali ibumu. Meskipun
kepergianmu kali ini tidak seperti kepergianmu ke Tambak Wedi, namun sebagai
ibu, maka ia pasti akan selalu mengharap kau segera kembali.”
Sejenak Sekar
Mirah merenung. Kemudian jawabnya,
“Aku akan
menentukan kemudian. Biarlah aku ikut semalam dua malam berada di Alas
Mentaok.”
Sejenak Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar saling berpandangan. Namun keduanya kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Berkata Kiai Gringsing,
“Apakah begitu
menurut pertimbanganmu, Adi Sumangkar?”
“Baiklah.
Biarlah ia melihat semalam dua malam suasana hutan yang lebat itu, meskipun
sebagian sudah menjadi daerah yang ramai.”
Maka mereka
pun kemudian memutuskan, bahwa Sekar Mirah akan beserta dengan mereka meskipun
hanya semalam atau dua malam di tlatah Alas Mentaok. Demikianlah, maka ketika
hari telah menjadi buram, kelima orang itu pun segera mencari tempat yang baik
untuk bermalam. Meskipun mereka sudah berada di sebelah Timur Sungai Praga,
tetapi mereka masih belum sampai ke daerah yang telah dibuka oleh Ki Gede
Pemanahan.
“Di sini ada
jalan,” desis Sekar Mirah.
“Jalan
setapak,” sahut Gurunya,
“tentu jalan
para pedagang yang datang dari daerah di luar daerah baru itu, termasuk dari
Tanah Perdikan Menoreh.”
“Bukan ini,”
jawab Sekar Mirah,
“jalan dari
Menoreh adalah jalan sempit yang kita lalui. Tetapi ini jalan menuju ke daerah
yang lain.”
“Ya, jalan
yang serupa. Mungkin ada padukuhan atau tempat-tempat yang berpenghuni di ujung
lorong sempit ini.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Memang
menarik,” sela Agung Sedayu.
“Apa yang
menarik?” bertanya Swandaru.
“Lorong ini
lorong biasa saja. Apakah anehnya? Seperti juga lorong yang kita lalui ini.”
“Memang, tidak
ada hal-hal yang tampaknya menarik. Lorong sempit di tengah-tengah hutan yang
lebat. Meskipun masih terlampau sulit untuk dilalui begitu saja, tetapi
tampaknya lorong ini memang pernah dilalui orang.”
“Bukan sekedar
pernah, tetapi setiap kali. Mungkin sepekan sekali, atau selapan sekali.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas dipandanginya Gurunya yang masih tetap
berdiam diri.
“Yang
menarik,” berkata Agung Sedayu kemudian,
“sebuah
simpang empat di tengah-tengah hutan.”
“Ya, simpang
empat kecil. Lihat, ujung-ujung lorong ini tampaknya aneh. Seperti juga lorong
yang menuju ke Menoreh ini, sebelum kita lalui tampaknya aneh pula, seolah-olah
sebuah lubang goa di kaki sebuah gunung, yang kadang-kadang terhalang oleh
sulur-sulur dan pepohonan yang roboh,” berkata Sekar Mirah.
Dan tiba-tiba
saja Kiai Gringsing berkata,
“Kita mencari
tempat untuk bermalam.”
“Di simpang
empat ini?” bertanya Sekar Mirah.
“Tentu tidak,”
jawab Kiai Gringsing.
“Di
sebelahnya. Tetapi tidak terlampau dekat.”
Mereka pun
kemudian menemukan tempat yang mereka kehendaki. Secercah tanah yang tidak
begitu banyak ditumbuhi oleh pepohonan perdu meskipun agak lembab. Agung
Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah segera membersihkan tempat itu. Mereka
menimbun ranting-ranting dan dedaunan kering untuk tempat duduk, karena mereka
tidak akan tidur sambil berbaring.
“Hati-hatilah
dengan ular,” Kiai Gringsing memperingatkan,
“di sini ada
ular yang paling berbisa di seluruh daerah yang pernah diambah kaki manusia,”
“Ular apa,
Kiai?”
“Bandotan
tanah.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Bulu-buluku
meremang. Aku lebih senang bertemu dengan Sidanti daripada ular.”
“Tentu setelah
Sidanti tidak ada lagi.”
“He,” Swandaru
membelalakkan matanya.
“Justru
sekarang kalau ia datang, aku akan mati lemas.”
Agung Sedayu
tertawa kecil.
“Sudahlah.
Kita akan makan,”
“Aku haus,”
desis Sekar Mirah.
“Bukankah kau
sudah minum tadi di belik dekat sungai Praga?”
“Sekarang aku
haus lagi.”
“Tahankanlah.
Besok kita cari mata air, kau harus melatih diri menjadi seorang perantau.”
Sekar Mirah
terdiam. Dipandanginya Swandaru yang makan bekal mereka dengan lahapnya. Namun
dalam pada itu, simpang empat itu memang menarik perhatian Kiai Gringsing,
meskipun tidak dikatakannya. Setiap kali ia berpaling ke arah jalan sempit yang
menyilang jalan yang dilaluinya.
“Lorong itu,
Kiai,” tiba-tiba Ki Sumangkar berdesis.
Kiai Gringsing
menganggukkan kepalanya,
Mungkin aku
terlampau hati-hati. Mungkin Swandaru benar, bahwa lorong itu tidak ada anehnya
seperti lorong yang kita lalui,” orang tua itu berbisik.
Sumangkar
terdiam sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Sementara itu, Swandaru, Agung Sedayu, dan
Sekar Mirah, yang telah selesai menyuapi mulut masing-masing, duduk bersandar
batang-batang pohon yang tidak terlampau rimbun. Sekali-sekali mereka
menggeliat sambil menggosok-gosok kaki mereka yang lelah.
“Kenapa Guru
tidak makan?” bertanya Sekar Mirah,
“Dan Kiai
Gringsing juga tidak?”
“Nanti
sajalah,” jawab Sumangkar.
“Kami sudah
menyisihkan untuk Kiai berdua.”
“Terima kasih.
Biarlah di situ. Nanti, kalau kami sudah lapar, kami akan mengambilnya.”
Sekar Mirah
tidak bertanya lagi. Sekali ia menengadahkan wajahnya. Namun tiba-tiba saja
bulu-bulunya meremang. Dalam kesuraman senja, dedaunan yang rimbun di atasnya
tampaknya bagaikan tangan-tangan raksasa yang siap untuk menerkamnya. Swandaru
yang kemudian duduk sambil memeluk lututnya memandang jauh menerawang ke dalam
kesuraman. Meskipun demikian ia masih sempat melihat sekilas seekor kijang yang
berlari kencang.
“He. Kijang,”
desisnya.
“Apakah kau
akan mengejarnya?” bertanya Agung Sedayu.
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih bergumam,
“Aku mengharap
ada seekor harimau yang menerkam salah seorang dari kita.”
“Kenapa, he?”
“Aku
memerlukan kulitnya.”
Sekar Mirah
menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Kau yakin
bahwa kita dapat membunuh harimau itu?”
“Apalagi
seekor harimau, sedang Macan Kepatihan pun dapat dibunuh.”
“Tetapi bukan
kau yang membunuhnya.”
Swandaru tidak
menyahut. Matanya kembali tersangkut ke kejauhan. Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar yang duduk berdekatan, masih juga saling berdiam diri. Sambil
memandang murid-muridnya, mereka merenungkan masalah yang mereka hadapi. Daerah
baru yang ada di sebelah bagian hutan ini. Malam pun semakin lama menjadi
semakin malam. Karena nyamuk yang berterbangan di telinga Swandaru, anak itu
berdesis,
“Kita nyalakan
perapian, Kiai.”
Tetapi Kiai
Gringsing menggeleng.
“Kali ini kita
tidak menyalakan perapian.”
“Nyamuknya
banyak sekali, belum lagi embun yang dingin ini.”
Yang menjawab
adalah Sekar Mirah,
“Tahankanlah.
Kau harus melatih diri menjadi seorang perantau.”
Swandaru tidak
menyahut. Diselubungkannya kain panjangnya menutup telinganya. Namun sebentar
kemudian, karena kantuk dan lelah, maka ketiga anak-anak muda itu pun segera
jatuh tertidur. Sekar Mirah bersandar sebatang pohon, Swandaru memeluk lututnya
dan membenamkan kepalanya di antara lengan-lengannya. Sedang Agung Sedayu duduk
bersila sambil menyilangkan tangannya di dadanya.
“Anak-anak
sudah tidur,” desis Kiai Gringsing.
Ki Sumangkar
menganggukkan kepalanya.
“Ya. Mereka
merasa lelah juga.”
“Lebih dari
itu, mereka merasa aman. Itulah sifat anak-anak nakal. Orang tua jugalah yang
harus menungguinya.”
Sumangkar
tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut. Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka pun
merasa perlu pula untuk beristirahat, meskipun tidak tidur senyenyak
murid-murid mereka. Bahkan tanpa berjanji, keduanya seolah-olah telah membagi
waktu mereka, apabila sesuatu terjadi di tempat yang kurang mereka kenal itu. Angin
yang lembab, yang mengusap tubuh-tubuh mereka, mengalir perlahan-lahan.
Daun-daun yang berdesir gemerisik seperti suara orang yang berbisik-bisik. Lamat-lamat
di kejauhan terdengar suara binatang-binatang hutan. Seekor harimau mengaum
dengan dahsyatnya, sehingga Swandaru terbangun karenanya.
“Apakah
harimau itu akan datang kemari?” desisnya.
Meskipun Agung
Sedayu masih saja memejamkan matanya, namun ia menjawab,
“Jauh sekali.
Apalagi arah angin justru dari arah harimau itu, sehingga bau keringatmu tidak
tercium olehnya.”
Swandaru tidak
menyahut lagi. Kembali ia membenamkan kepalanya dan menutup telinganya dengan
kain panjangnya. Tetapi sekali-sekali ia masih juga harus menggaruk-garuk
lengannya yang gatal dimakan nyamuk. Suasana malam di hutan itu telah membuat
bulu-bulu roma Sekar Mirah meremang. Tetapi malam ini bukan untuk pertama
kalinya ia bermalam. Ketika ia berangkat dari Sangkal Putung, ia pun telah
bermalam di perjalanan. Dan sekali di tengah-tengah hutan seperti ini, meskipun
Sumangkar membawanya lewat daerah yang tidak selebat tempat ini. Dalam pada
itu, selagi kedua orang-orang tua itu mulai terkantuk-kantuk, tiba-tiba hampir
bersamaan mereka mengangkat wajah-wajah mereka. Meskipun masih berbaur dengan
desir angin, namun mereka mendengar suara yang lain. Suara yang mereka kenal.
Derap kaki-kaki kuda.
Sejenak kedua
orang tua itu saling berpandangan. Kemudian perlahan-lahan Kiai Gringsing
berdesis,
“Kau dengar
derap kaki kuda, Adi?”
Sumangkar
menganggukkan kepalanya.
“Ya. Aku
mendengarnya meskipun agaknya masih jauh sekali.”
“Apakah ada
orang yang lewat jalan setapak itu di malam begini?”
Sumangkar
tidak segera menyahut. Sekilas disambarnya anak-anak muda yang sedang tidur itu
dengan tatapan matanya. Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam.
“Jalan silang
itu memang menarik,” desis Kiai Gringsing.
“Mungkin juga,
atau sekedar suatu kebetulan.”
Kiai Gringsing
tidak menyahut. Tetapi ia memasang telinganya baik-baik. Derap kaki-kaki kuda
itu terdengar semakin lama menjadi semakin jelas.
Sejenak
keduanya seakan-akan membeku. Mereka mencoba menebak, siapakah yang berkuda di
malam hari, apalagi di tengah hutan yang lebat ini? Tetapi mereka sama sekali
tidak dapat menduga apa pun karena mereka sama sekali belum mengenal daerah dan
isi dari daerah ini. Namun demikian jelas bagi keduanya, bahwa derap kuda itu
agaknya menyusur jalan setapak yang menuju ke daerah baru yang sedang berkembang
itu.
“Tidak hanya
seekor kuda,” tiba-tiba Ki Sumangkar berdesis.
“Ya. Tiga atau
empat,” sahut Kiai Gringsing.
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kembali ia terdiam. Dalam pada itu,
derap kaki-kaki kuda itu semakin lama menjadi semakin jelas, sehingga ketiga
anak-anak muda yang tertidur itu pun terbangun karenanya. Sambil menggosok
matanya, Swandaru mencoba meyakinkan dirinya, apakah ia tidak sedang bermimpi,
sedang Agung Sedayu berdesis,
“Aku mendengar
suara derap kaki kuda.”
“Ha,” sahut
Swandaru, “kalau begitu aku tidak bermimpi.”
“Ya,” gumam
Sekar Mirah dengan suara parau, “aku juga mendengar.”
“Tenanglah,”
berkata Kiai Gringsing kemudian,
“Tinggalah
kalian di sini. Aku akan melihat, siapakah yang berkuda di tengah malam itu.”
“Aku ikut,
Guru,” minta Swandaru.
“Tinggallah di
sini bertiga,” jawab Kiai Gringsing.
“Kita belum
tahu siapakah mereka itu.”
Swandaru
ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya.
“Aku ikut
bersama Kiai.” berkata Sumangkar.
“Marilah, kita
melihat siapakah mereka itu.” Lalu katanya kepada Agung Sedayu,
“Hati-hatilah
di sini. Daerah ini merupakan daerah asing yang masih penuh dengan rahasia bagi
kita. Kalian harus mengawasi keadaan di segenap arah. Jangan sampai kalian
diterkam oleh kesulitan tanpa sempat membela diri sama sekali.”
“Baik, Guru.”
“Aku dan
pamanmu Sumangkar akan melihat, apakah sebenarnya yang kami dengar ini
benar-benar suara telapak kaki kuda.”
“Atau Sidanti
benar-benar menyusulku?” desis Swandaru.
“Ah, kau,”
potong Sekar Mirah.
“Lebih baik
aku bertemu dengan Sidanti yang sebenarnya.”
“Jangan
hiraukan Swandaru,” berkata Kiai Gringsing.
“Ia sendiri
agaknya mulai diraba oleh ketakutan.”
“Tidak, Guru.
Aku tidak pernah mengenal takut,” ia berhenti sejenak. Lalu,
“Kecuali
kepada Sidanti sekarang.”
Mau tidak mau
Agung Sedayu terpaksa tersenyum. Katanya,
“Biarlah aku
yang menemuinya. Ia baik kepadaku.”
Swandaru
mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak menjawab.
Sejenak
kemudian, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun meninggalkan ketiga anak-anak muda
itu. Dengan hati-hati mereka menyusup semak-semak di bawah pohon-pohon raksasa
yang menjulang tinggi menusuk kekelaman malam. Yang ditinggalkan, ketiga
anak-anak muda itu pun mulai mengatur diri. Tanpa berjanji mereka bergeser maju
dan menunggu apa yang akan dikatakan oleh Agung Sedayu, sebagai orang tertua di
antara mereka.
“Kita
mengawasi segala arah,” desisnya.
“Apakah kita
akan duduk beradu punggung?” bertanya Swandaru.
Agung Sedayu berpikir
sejenak, lalu katanya,
“Tidak perlu,
tetapi kita harus mencoba menguasai semua arah dari tempat kita masing-masing.
Bukankah dengan duduk berhadapan kita dapat melihat arah yang berlawanan?”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Ya, kita
memang harus berhati-hati dalam suasana yang tidak kita mengerti.”
“Ya.”
“Kita sama
sekali tidak dapat membayangkan apa yang ada di sekitar kita. Lebih baik kita
dikerumuni oleh binatang-binatang buas daripada rahasia yang sama sekali belum
kita kenal.”
“Ya.”
“Menghadapi
binatang buas, kita dapat membuat perhitungan yang mapan.”
“Ya.”
“Tetapi,”
Sekar Mirah tiba-tiba menyela,
“kau berbicara
terus, Kakang Swandaru. Kalau ada seseorang yang mengintai kita, kau adalah
penunjuk yang baik.”
“O, ya. Aku
akan diam.”
“Tetapi,
apakah yang akan kau lakukan kalau kita dikerumuni oleh binatang buas? Membunuh
mereka bersama sekaligus?” bertanya Agung Sedayu.
“Tidak.”
“Lalu?”
“Memanjat
pohon setinggi-tingginya.”
“Ah, kalian
berbicara saja,” sekali lagi Sekar Mirah memotong.
“Dengar. Derap
kaki-kaki kuda itu menjadi semakin dekat.”
“Masih agak jauh,”
berkata Swandaru.
“Gemanya
melontar ke segenap penjuru di dalam hutan yang sepi begini.”
Sekar Mirah
tidak menyahut lagi, sedang Agung Sedayu pun kemudian terdiam mendengarkan
derap kaki-kaki kuda yang menjadi semakin jelas. Tanpa mereka sadari, maka
mereka pun segera mempersiapkan diri masing-masing. Sekar Mirah yang
menggenggam tongkat baja putihnya, mulai membelai kepala tongkatnya yang
berwarna kekuning-kuningan itu. Sedang tanpa sesadarnya, Swandaru telah
mengurai cambuk yang membelit di pinggangnya. Ketiganya pun menjadi semakin
lama semakin tegang. Agaknya kuda-kuda itu tidak berlari terlampaui kencang.
Mungkin karena jalan yang licin berbatu-batu padas, mungkin karena
rintangan-rintangan lain. Tetapi mungkin juga karena penunggang-penunggangnya
sengaja memperlambat jalan kuda mereka untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Sejenak
ketiga anak-anak muda yang masih duduk di tempatnya itu saling berpandangan.
Namun agaknya mereka tidak tenang duduk saja sambil membelai senjata
masing-masing, tiba-tiba tanpa disadarinya Swandaru mulai bergerak sambil
berdesis lambat,
“Aku akan
berdiri.”
Tanpa menunggu
jawaban ia pun kemudian bangkit berdiri, diikuti oleh Agung Sedayu dan Sekar
Mirah. Perlahan-lahan mereka bergeser memencar. Masing-masing bersandar pada
sebatang pohon yang cukup besar, sehingga seakan-akan mereka telah hilang
ditelan oleh batang-batang yang besar itu.
Sementara itu,
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun dengan hati-hati merayap mendekati jalan
sempit yang bersilang di tengah-tengah hutan yang lebat itu. Dengan
telunjuknya, Kiai Gringsing memberi isyarat kepada Ki Sumangkar, bahwa mereka
akan melihat simpang empat itu, karena menurut perhitungan Kiai Gringsing kuda
itu pasti akan melintas di jalan silang, lorong mana pun yang dilaluinya. Ki
Sumangkar pun menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan mereka semakin maju,
sehingga akhirnya mereka berada beberapa langkah saja di sebelah simpang empat
kecil itu. Ternyata kuda-kuda itu masih belum lewat, karena suaranya masih
menuju ke arah mereka.
“Kita menunggu
di sini.” Kiai Gringsing berbisik. Ki Sumangkar menganggukkan kepalanya.
Sambil menahan
desah pernafasan mereka, maka kedua orang tua-tua itu pun berjongkok di balik
gerumbul-gerumbul yang rimbun, menunggu kuda-kuda yang sebentar lagi pasti akan
lewat. Ternyata mereka tidak usah menunggu terlampau lama. Sejenak kemudian,
tampaklah bayang-bayang kehitaman di gelapnya malam, beberapa ekor kuda
melintas di lorong sempit itu. Tepat di jalan silang penunggang kuda yang
paling depan menarik kendali kudanya, sehingga kuda itu pun berhenti, diikuti
oleh orang-orang yang berada di belakangnya. Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar
menahan nafasnya, supaya orang-orang berkuda itu tidak mendengarnya. Sejenak
kemudian kedua orang itu pun terkejut ketika mereka mendengar salah seorang
dari mereka berkata,
“Kita tidak
menjumpai apa pun. Kita sudah menjelajahi bagian hutan ini.”
Dada kedua
orang itu menjadi berdebar-debar. Mereka kenal suara itu. Suara Raden
Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, sehingga sejenak mereka
saling berpandangan. Tetapi mereka tidak berani mengucapkan sepatah kata pun.
“Tetapi,”
terdengar yang lain menjawab,
“sebagian dari
rakyat menjadi ketakutan karenanya.”
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Sekarang
kemana kita pergi. Ke jalan yang mana?”
“Jalan yang
ini menuju ke Kali Praga.”
“Langsung ke
Tanah Perdikan Menoreh.”
“Ya, dan yang
ini akan menerobos daerah yang masih buas menuju ke tlatah Mangir.”
“Ya,” suara
Sutawijaya merendah.
“Lalu kita
sekarang ke mana? Ternyata kita tidak pernah menjumpai apa pun, meskipun sudah
tiga malam kita meronda.”
Sejenak
pengikut-pengikut Sutawijaya itu tidak menyahut. Namun sejenak kemudian salah
seorang berkata,
“Memang sulit
untuk menemukan hantu-hantu itu.”
Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Agaknya Sutawijaya sedang mencari
sesuatu. Hantu, sebenarnya hantu atau seseorang yang telah mengganggu
ketenteraman daerah baru ini?
“Apakah kau
yakin, bahwa rakyat kita benar-benar telah diganggu oleh hantu-hantu?” Sutawijaya-lah
yang bertanya kepada pengikut-pengikutnya.
“Demikianlah
menurut pendengaran kami. Hantu itu berkerudung hitam. Tetapi yang dapat
dilihat oleh rakyat di pinggir hutan yang belum dibuka, hantu-hantu itu
berkepala tengkorak. Kadang-kadang saja terlihat sepintas apabila kerudung
tubuh mereka tersingkap, tulang-tulang iga yang tampak jelas pada dada mereka.”
“Apakah
hantu-hantu itu berwujud jerangkong?” bertanya Sutawijaya.
“Ya.”
“Aku ingin
melihat,” desis Sutawijaya,
“sampai
sebesar ini aku belum pernah melihat jerangkong.”
“Bukan saja
jerangkong,” terdengar suara yang lain,
“kuda-kuda
yang mereka pergunakan bertelapak putih yang bercahaya. Seseorang pernah
melihat di antara dua sosok jerangkong terdapat sesosok hantu yang lain.
Berwarna merah menyala, dan di bagian-bagian tertentu berkeredipan seperti
kunang-kunang.”
“Ya. Aku
sebenarnya juga pernah mendengar keluhan itu. Tetapi aku kira tidak setajam
ini, sehingga baru sekarang aku menaruh perhatian.”
“Hantu-hantu
itu benar-benar mengganggu pembukaan daerah-daerah yang sudah direncanakan.
Bahkan beberapa orang mulai menyingkir ke daerah yang sudah mulai ramai.”
“Baik. Baik,”
jawab Sutawijaya. “Tetapi ke mana kita sekarang?”
Tidak seorang
pun yang menjawab.
“Aku ingin
menemukan sarang hantu,” suara Sutawijaya meninggi sejalan dengan kekesalan
hatinya yang memuncak.
“Hantu-hantu
itu dapat menghilang,” terdengar seseorang menjawab.
“Aku ingin
tahu, apakah hantu-hantu itu mampu melawan pusaka-pusaka Kiai Pasir Sawukir
ini, atau Kiai Naga Kemala. Kalau sentuhan ujung tombakku atau ujung keris
Ayahanda Ki Gede Pemanahan ini tidak mempan, aku akan bersimpuh di ujung kaki
jerangkong-jerangkong itu.”
Suasana
menjadi hening. Yang terdengar hanyalah desah nafas Mas Ngabehi Loring Pasar
yang sedang menahan perasaannya dan yang tiba-tiba saja bertanya keras-keras,
“He, kemana
kita sekarang? Apakah kita akan melanjutkan perjalanan yang tidak berketentuan
ini untuk berburu hantu?”
Tetapi
suaranya itu pun segera hilang ditelan oleh geramnya sendiri di hutan yang sepi
itu. Tidak seorang pun dari para pengiringnya yang menjawab. Terdengar nafas
Raden Sutawijaya itu berdesah. Katanya kemudian,
“Baiklah. Kita
sekarang pulang. Tetapi aku tidak akan berhenti sebelum aku menemukan
hantu-hantu itu. Kalau kalian mendengar laporan tentang hantu-hantu itu, kalian
harus langsung memberitahukan kepadaku.”
Tetapi
Sutawijaya tidak menunggu jawaban. Segera ia menarik kendali kudanya, sehingga
kudanya segera bergerak. Sejenak kemudian kudanya itu pun berderap meninggalkan
jalan silang, menuju ke daerah yang sudah menjadi ramai dan berpenghuni padat,
diiringi oleh para pengawal. Ketika derap kuda itu menjadi semakin jauh, maka
terdengarlah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar hampir bersamaan menarik nafas
dalam-dalam.
“Itulah
persoalan yang tumbuh di daerah baru ini,” berkata Kiai Gringsing.
“Persoalan
yang menarik. Sama sekali bukan persoalan antara daerah baru ini dengan Pajang.
Tetapi justru dengan hantu-hantu.”
Kiai Gringsing
tersenyum. Katanya kemudian,
“Tetapi
Anakmas Sutawijaya agaknya tidak percaya, bahwa yang mengganggu daerah barunya
ini benar-benar hantu, iblis, dan gendruwo.”
“Tetapi
menilik ceritera para pengawalnya itu, agaknya mereka yakin atau
setidak-tidaknya ada sedikit kepercayaan bahwa yang berkeliaran dengan bentuk yang
menakutkan itu adalah hantu-hantu. Jerangkong dan yang merah-merah itu adalah
banaspati.”
“Bagaimana
dengan warna-warna yang bercahaya di bagian tubuh mereka?”
“Tentu kita
belum dapat menyebutkan, karena kita belum melihatnya sendiri.”
Kedua orang
itu pun kemudian merenung sejenak. Mereka mencoba menghubungkan
keterangan-keterangan yang didengarnya dari orang-orang yang baru saja lewat di
jalan silang itu. Tetapi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Kiai Gringsing
berkata,
“Aku pun
tiba-tiba ingin melihat hantu itu.”
“Aku pun
tertarik pula. Seandainya aku tidak membawa Sekar Mirah.”
Kiai Gringsing
menganggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata,
“Adi
Sumangkar. Kita menghadapi suatu keadaan yang tidak wajar, apakah menurut
pertimbangan Adi, Sekar Mirah dapat ikut serta? Aku yakin bahwa Sekar Mirah
bukan seorang penakut, seandainya ia harus bertempur sebagai seorang prajurit
di peperangan yang besar pun ia tidak akan gentar. Tetapi sebagai seorang
gadis, bagaimanakah kira-kira kalau ia melihat sesuatu yang tidak masuk akal,
seperti hantu-hantu itu misalnya. Bukankah seorang gadis lebih banyak dikuasai
oleh perasaannya daripada nalarnya?”
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Itulah yang
aku pikirkan. Tetapi juga kegelisahan ibunya di rumah menjadi persoalan. Dahulu
aku berjanji, bahwa aku tidak akan terlampau lama membawa Sekar Mirah untuk
melihat-lihat daerah-daerah di luar kademangan itu, dan sekaligus mencari
berita tentang Swandaru.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Jadi,
bagaimana sebaiknya?”
“Aku juga
menjadi ragu-ragu seperti Sekar Mirah sendiri. Apalagi persoalan hantu ini
sangat menarik perhatianku.”
Kiai Gringsing
tidak menyahut.
“Tetapi,”
berkata Ki Sumangkar selanjutnya,
“aku kira, aku
memang lebih baik membawa Sekar Mirah kembali ke Sangkal Putung lebih dahulu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” katanya,
“Memang
agaknya lebih baik demikian. Kalau persoalannya bukan persoalan hantu, mungkin
Sekar Mirah akan dapat ikut serta.”
“Baiklah. Aku
akan mengambil keputusan itu. Aku akan mengatakan kepadanya, bahwa sebaiknya ia
kembali lebih dahulu ke Sangkal Putung.”
“Aku kira
begitu,” sahut Kiai Gringsing.
Demikianlah,
maka kedua orang tua itu telah mengambil suatu keputusan, bahwa Sekar Mirah dan
Ki Sumangkar akan mendahului Kiai Gringsing dan murid-muridnya, kembali ke
Sangkal Putung.
Ketika mereka
berdua kembali ke tempat mereka semula, mereka mengangguk-anggukkan kepala,
karena mereka melihat ketiga anak-anak muda itu masih juga bersiaga. Sekar
Mirah bersandar pada sebatang pohon sambil membelai kepala tongkatnya, sedang
Swandaru bermain-main dengan cambuknya. Meskipun Agung Sedayu belum mengurai
senjatanya sama sekali, tetapi ia sudah memegangi tangkainya erat-erat.
“Bagus,”
berkata Kiai Gringsing,
“kalian telah
siap menghadapi setiap kemungkinan yang dapat timbul setiap saat.”
“Ya,” jawab
Agung Sedayu,
“apalagi
ketika aku mendengar derap kuda itu agaknya berhenti di jalan silang.
Lamat-lamat aku mendengar juga suara seseorang meskipun tidak jelas, apa yang
dikatakannya.”
“Ya,” jawab
Kiai Gringsing,
“salah seorang
dari mereka telah berbicara dengan keras.”
“Apakah yang
mereka bicarakan?” bertanya Swandaru.
“Aku menjadi
cemas, bahwa mereka telah melihat Kiai berdua, sehingga timbul salah paham.”
“Tidak.
Ternyata mereka hanya orang-orang lewat, seperti orang-orang lain. Agaknya
pedagang-pedagang yang membawa dagangannya ke daerah baru itu.”
“Apakah mereka
tidak takut bertemu dengan penyamun?” bertanya Sekar Mirah.
“Menilik sikap
dan senjata di lambung masing-masing, mereka tidak takut kepada
penyamun-penyamun.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
“Sekarang,
kita dapat beristirahat dengan tenteram. Ternyata tidak ada apa-apa di hutan
ini.”
“Selain ular
bandotan,” potong Swandaru.
Agung Sedayu
tersenyum, tetapi ia tidak menyahut. Ia pun kemudian duduk bersandar sebatang
pohon. Sekali ia menguap, kemudian menggosok-gosok matanya yang mulai kantuk
lagi. Namun Swandaru masih berkata,
“Tetapi,
terhadap ular bandotan pun kita tidak usah takut. Guru pasti sudah menyediakan
obatnya.”
“Ah, kau,”
berkata Kiai Gringsing.
“Tidurlah,
kalau kau masih ingin tidur.”
Semuanya pun
kemudian duduk kembali. Masing-masing mencari tempat yang baik untuk tidur
sambil duduk bersandar.
Tetapi
orang-orang tua yang melihat Sutawijaya itu pun, sama sekali tidak dapat
memejamkan mata. Mereka masih dicengkam oleh teka-teki yang tidak akan dapat
mereka pecahkan begitu saja. Mereka memerlukan bahan-bahan yang lebih banyak.
Tetapi untuk seterusnya Sumangkar tidak akan dapat ikut serta, karena ia harus
mengantarkan Sekar Mirah, kembali ke Sangkal Putung.
Ketika
matahari terbit di keesokan harinya, maka kelima orang itu pun segera membenahi
dirinya. Mereka akan meneruskan perjalanan, mencari tempat yang baik bagi
mereka yang masih akan tinggal di daerah yang baru itu.
“Kita akan
segera berpisah,” berkata Sumangkar,
“karena aku
dan Sekar Mirah akan kembali ke Sangkal Putung.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Jadi kita mendahului,
Guru?”
“Ya. Kita
mendahului. Bukankah kau juga memikirkan perasaan ibu dan ayahmu?”
Sekar Mirah
menganggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya,
“Kenapa kita
tidak pulang saja bersama-sama?”
“Kakakmu
memerlukan bahan yang cukup dari daerah ini. Untuk kepentingan Sangkal Putung
dan Tanah Perdikan Menoreh. Dua daerah, yang letaknya berseberangan bagi daerah
baru ini.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Nah, sekarang
kau harus minta diri kepada Kiai Gringsing.”
Sekar Mirah
memandang gurunya sejenak, lalu berpaling kepada Kiai Gringsing.
“Aku minta
diri, Kiai.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Hati-hatilah
di jalan. Patuhi perintah gurumu, karena jalan yang akan kau lalui adalah jalan
yang masih belum memiliki kepastian.”
“Mudah-mudahan
kita tidak akan bermalam lagi di jalan,” berkata Ki Sumangkar,
“meskipun
agaknya kita akan sampai di Sangkal Putung larut malam. Tetapi hutan di
seberang Alas Tambak Baya tidak ada lagi yang berbahaya dan lebat.”
“Ya. Sampaikan
salamku kepada Ki Demang Sangkal Putung, suami isteri.”
“Baiklah.”
Lalu kepada Agung Sedayu dan Swandaru, Ki Sumangkar berkata,
“Kawani
gurumu. Ia akan segera menemukan permainan baru di Alas Mentaok.”
Kedua
anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Dan Agung Sedayu pun segera menjawab,
“Baik, Kiai.
Kami akan menunggui guru di sini beberapa waktu.”
“Apabila kami
sudah selesai, kami akan segera menyusul,” sela Swandaru.
Sekar Mirah
pun kemudian minta diri pula kepada kakaknya dan kepada Agung Sedayu.
“Hati-hatilah
kalian berdua,” berkata gadis itu.
“Daerah ini
agaknya memang mempunyai nafas yang menyesakkan.”
“Eh, kau
menasehati? Begini segar udara di hutan ini,” Jawab Swandaru.
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya.
“Mudah-mudahan
kau menemukan macan tutul. Tetapi ingat, bawa kulitnya pulang ke Sangkal
Putung. Aku memerlukannya.”
“Buat apa
kau?”
“Selongsong
tongkatku. Bukankah lebih baik aku membuat selongsong dan aku gantungkan di
punggung seperti pedang?”
“Tidak usah
kulit harimau. Kalau aku mendapatkannya akan aku pergunakan sendiri untuk
pembalut wrangka pedangku yang bertangkai gading. Aku sudah mempunyai seutas
tali yang berwarna kuning keemasan untuk mengikatnya.”
Sekar Mirah
memberengut. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi.
Beberapa
langkah kemudian, maka mereka pun berpisah. Sekar Mirah dan Ki Sumangkar
berjalan lurus ke Timur, mengikuti jalan setapak yang membelah hutan yang
lebat, tetapi yang sudah mulai menipis. Sedang Kiai Gringsing dan kedua
muridnya, akan menjelajahi daerah itu, mencari tempat yang dapat mereka
pergunakan untuk tinggal beberapa lama, seperti ketika mereka berada di Tanah
Perdikan Menoreh, sebelum mereka secara terbuka berpihak kepada Ki Argapati. Setelah
mereka berpisah, barulah Kiai Gringsing memberitahukan kepada kedua muridnya,
apa yang telah dilihatnya semalam bersama Ki Sumangkar.
“Kenapa Guru
tidak memanggil kami semalam?” bertanya Swandaru.
“Kenapa kau
bertanya begitu?” sahut gurunya.
Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Memang seharusnya ia tidak usah bertanya begitu.
“Dengan
demikian, maka Ki Sumangkar mengambil keputusan bahwa Sekar Mirah harus dibawa
kembali. Mungkin ia tidak gentar menghadapi apa pun, tetapi berhadapan dengan
hantu, masalahnya jadi lain. Mungkin Sekar Mirah tidak dapat mengendalikan
perasaannya melihat wujud-wujud yang mengerikan. Jerangkong, wedon, banaspati,
dan jenis-jenis hantu yang lain,” berkata Kiai Gringsing.
“Persetan
dengan hantu-hantu,” Swandaru menggeram.
“Jangan
congkak,” gurunya tersenyum,
“tetapi memang
sebaiknya kalian mempersiapkan diri menghadapi masalah yang agaknya tidak mudah
kita temui di tempat dan di saat lain.”
Kedua
anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Agaknya
daerah baru ini mempunyai banyak persoalan.” gumam Agung Sedayu,
“Suatu ketika
Raden Sutawijaya baru berbicara tentang Pajang. Dan kita pun harus
bertanya-tanya, apakah yang akan dilakukan oleh Kakang Untara? Sementara ini
kita semuanya akan disibukkan oleh hantu-hantu yang agaknya ikut mengambil
bagian dalam kesibukan ini.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Agung Sedayu itu. Tanpa sesadarnya ia
pun mengangguk-angguk sambil berkata,
“Ya.
Demikianlah agaknya. ”
“Tetapi
persoalan daerah ini dengan Pajang, agaknya masih belum terasa kini,” berkata
Agung Sedayu kemudian,
“lebih-lebih
bagi orang kebanyakan.”
“Yang terasa
agaknya baru masalah hantu-hantu itu,” sahut Swandaru.
Gurunya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang yang terasa agaknya barulah masalah
hantu-hantu itu.
Mereka yang
kini tinggal bertiga itu pun kemudian sampai pada daerah yang sedang dibuka.
Dengan sedikit merubah langkah kakinya dan lenggang tangannya, serta pakaian
yang paling kumal yang ada padanya. Kiai Gringsing pun kemudian menempatkan
dirinya di antara mereka yang dengan suka rela datang dan ikut membuka daerah
baru ini.
“Agaknya Ki
Gede Pemanahan melakukan pembukaan hutan ini dengan tertib sekali,” Berkata
Kiai Gringsing.
“Ternyata
hutan ini telah terbagi-bagi.”
Agung Sedayu
dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Pembukaan hutan yang dilakukan
oleh Ki Gede Pemanahan agaknya telah diatur, sesuai dengan sebuah rencana yang
rapi. Bagian-bagian yang telah ditentukan sajalah yang boleh dibuka oleh para
pendatang. Mereka tidak boleh menebang hutan sesuka hati mereka. Beberapa orang
petugas telah ditempatkan di daerah yang masih akan diperluas, untuk mencegah
meluasnya daerah baru ini yang tidak sejalan dengan rencananya Ki Gede
Pemanahan.
“Nah, kita
menyatakan diri sebagai orang-orang yang ingin ikut serta membuka hutan ini,”
berkata Kiai Gringsing kepada dua muridnya.
“Kita harus
menghubungi petugas-petugas itu,” desis Agung Sedayu.
“Ya. Kita
minta ijin untuk ikut serta. Bukankah sampai saat ini masih terus mengalir
orang-orang baru yang ingin bertempat tinggal di tlatah yang baru ini?”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka pun
kemudian dengan caranya yang khusus telah menghubungi para petugas, untuk minta
diperkenankan ikut membuka daerah baru itu.
“Siapa namamu,
Kek?” bertanya petugas itu.
“Truna
Podang,” jawab Kiai Gringsing.
“He, kenapa
Podang? Burung Kepodang adalah burung yang manis.”
“Bukankah aku
manis juga, Tuan.”
Para petugas
itu pun tertawa. “Siapa yang dua orang ini?”
“Anak-anakku,
Tuan.”
Para petugas
itu pun mengerutkan keningnya. Mereka memandang Agung Sedayu dan Swandaru
berganti-ganti. Salah seorang dari mereka bergumam seperti kepada diri sendiri,
“Keduanya
tidak mirip sama sekali.”
Dan Kiai
Gringsing menjawab, “Keduanya lahir dari ibu yang berlainan.”
“He,” petugas
itu membelalakkan matanya.
“Kau dapat
juga mendapatkan dua orang isteri?”
“Kenapa?”
“Kau yang
timpang dan tampaknya sakit-sakitan itu?”
“Ya, kenapa?
Apakah aku ini tidak semanis podang? Bukan hanya dua orang itu saja yang mau
menjadi isteri-isteriku, Tuan. Tetapi akulah yang berkeberatan.”
Para petugas
itu tertawa. Sedang Swandaru mengumpat di dalam hatinya
“Bukan hanya berbeda ibu, tetapi saudara
kandung bukan seayah dan ibu.”
“Apakah kalian
sudah siap ikut serta menebang hutan?” bertanya para petugas itu.
“Tentu, Tuan.
Kami sudah sedia.”
“Dimana
isteri-isterimu itu?”
“Keduanya sudah
meninggal. Dan aku tidak mau kawin lagi meskipun banyak perempuan yang
menghendaki.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar