Jilid 014 Halaman 1


DADA Agung Sedayu berdesir mendengar pertanyaan itu. Baru kini disadari bahwa ia telah melanggar perintah kakaknya. Tetapi menurut pendapatnya, pertanggungan jawab atas peristiwa itu ada pada gurunya. Karena itu maka jawabnya,
“Aku telah mencoba melakukan perintah itu Kakang. Tetapi guruku, Kiai Gringsing menyuruh aku kembali membawa orang ini. Kiai Gringsing sendirilah yang akan mengambil alih tugas yang harus aku lakukan itu.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia tersenyum di dalam hati. Perhitungannya ternyata tepat seperti yang dikehendaki. Kiai Gringsing tidak akan melepaskan Agung Sedayu sendiri melakukan tugas yang sangat berbahaya itu. Namun meskipun demikian kini terasa betapa bulu tengkuknya berdiri. Seandainya. Ya seandainya Kiai Gringsing membiarkan Agung Sedayu itu berjalan menyusur hutan yang belum dikenalnya pada waktu itu? Alangkah berbahayanya. Kalau adiknya waktu itu mengalami bencana, maka ialah yang telah membunuh adiknya itu. Tetapi adiknya kini telah kembali dengan selamat. Bahkan membawa seorang Jipang yang terluka. Agaknya Tuhan benar-benar telah melindungi anak itu. Meskipun demikian wajahnya sama sekali tidak mengesankan kegembiraan hatinya itu. Dengan kerut-kerut pada keningnya, Untara berkata,
“Apakah kau yakin bahwa Kiai Gringsing dapat melakukan tugas itu?”
Pertanyaan ini pun mengherankannya. Untara telah lebih lama bergaul dengan Kiai Gringsing daripada dirinya. Menurut pendapatnya, Untara pasti lebih banyak mengenal orang itu, orang yang bernama Ki Tanu Metir, yang telah melindunginya di dukuh Pakuwon. Maka Agung Sedayu tidak menjawab pertanyaan kakaknya, bahkan ia bertanya pula,
“Bukankah Kakang Untara telah mengenal Kiai Gringsing dengan baik?”
“Aku bertanya kepadamu,” potong Untara,
“kaulah yang seharusnya melakukan tugas itu. Kalau kau menyerahkan tanggung jawab itu kepada orang lain, maka kau harus yakin bahwa orang itu akan dapat melakukan tugas yang seharusnya kau lakukan.”
Agung Sedayu masih belum tahu maksud pertanyaan kakaknya. Seharusnya pertanyaan yang demikian tidak perlu diucapkan. Namun ia tidak berani berdebat dengan kakaknya, sehingga kemudian dijawabnya pertanyaan itu perlahan-lahan,
“Ya. Aku yakin.”
“Bagus, kalau demikian maka kita akan menunggu hasilnya,” berkata Untara itu pula,
“tetapi siapakah yang kau bawa itu? Orang Jipang?”
“Ya.”
“Terluka?”
“Ya.”
“Parah?”
“Agak parah.”

Untara terdiam sejenak. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling, seakan-akan ingin mengetahui gejolak perasaan para prajurit yang berdiri mengitarinya. Bukan saja atas orang Jipang yang terluka ini, tetapi orang-orang Jipang yang mungkin bakal datang, apabila seruannya dapat dimengerti oleh orang-orang Jipang itu. Namun Untara tidak berkata apa-apa tentang perasaannya yang dipenuhi oleh berbagai macam persoalan, kecemasan dan keragu-raguan. Sebagai seorang pemimpin ia harus bersikap, tidak terombang-ambing oleh keadaan yang setiap saat dapat berubah, meskipun sikap seorang pemimpin bukanlah sikap yang mati, yang tidak dapat disesuaikan lagi dengan perkembangan keadaan. Malam semakin lama menjadi semakin dalam. Bintang-bintang bertebaran dari satu sisi ke sisi yang lain, melingkupi seluruh langit yang luas, bergayutan berangkai-rangkai. Dalam keheningan malam yang dingin itu, terdengar suara Untara bergetar,
“Agung Sedayu. Bawa orang itu masuk ke banjar desa. Satukan dengan orang-orang Jipang yang sudah lebih dahulu terbaring di sana.”
“Baik Kakang,” sahut Agung Sedayu.
Ketika Agung Sedayu kemudian melangkah maju, beberapa orang yang berdiri di regol segera menyibak. Namun wajah-wajah mereka tampak tegang. Sebagian dari mereka memandang orang Jipang itu dengan sorot mata penuh kebencian. Namun yang lain, melihat Agung Sedayu dan orang Jipang itu lewat dengan pandangan mata yang kosong. Sejenak kemudian regol halaman banjar desa itu menjadi sepi. Sepeninggal Agung Sedayu, para prajurit dan anak-anak muda Sangkal Putung satu demi satu berjalan meninggalkan regol, selain mereka yang bertugas. Hampir semua di antara mereka, sama sekali tidak menyatakan pendapatnya tentang orang Jipang yang baru itu. Orang Jipang yang kehadirannya agak berbeda dari orang-orang Jipang yang mereka temukan di medan peperangan. Para petugas yang merawat orang-orang yang terluka pun kini sudah tidak terlampau sibuk lagi. Beberapa di antara mereka tinggal melayani orang-orang yang terluka parah. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi panas dan mengigau tentang berbagai macam persoalan. Ada yang merintih perlahan-lahan, namun ada pula yang berteriak sepuas-puasnya.

Suasana di banjar desa itu benar-benar menjadi suram. Beberapa orang yang lukanya tidak terlampau parah segera minta ijin untuk pergi saja ke kademangan, berkumpul dengan para prajurit yang berada di sana. Suasana di kademangan jauh lebih baik dari suasana di banjar desa. Bahkan di antara mereka yang masih merasa lapar, dapat merayap ke dapur mencari makanan yang masih banyak tersedia. Ternyata Swandaru  pun telah pergi ke kademangan. Langsung dibongkarnya tenong lauk pauk di dapur untuk mencari daging lembu goreng, sisa lauk pauk makan malam mereka. Namun dalam pada itu, kembali para penjaga di banjar desa dikejutkan oleh kehadiran seorang yang membawa tongkat baja putih bersama-sama dengan dukun tua yang bernama Ki Tanu Metir. Beberapa orang penjaga segera mengenal, bahwa orang yang membawa tongkat baja putih itu adalah orang yang telah membawa mayat Macan Kepatihan. Karena itu segera mereka mengetahui, bahwa orang itu adalah orang Jipang. Dengan demikian maka segera para penjaga itu menghentikannya dan bertanya,
“Akan pergi ke mana kau?”
Sumangkar terkejut mendengar sapa yang keras itu. Segera, ia berpaling kepada Ki Tanu Metir, seakan-akan minta supaya Ki Tanu Metir-lah yang menjawab pertanyaan itu.
Ki Tanu Metir yang juga disebut Kiai Gringsing segera menjawab,
“Akulah yang membawanya.”
“Bukankah orang ini orang Jipang?” bertanya penjaga itu.
“Ya. Orang ini orang Jipang.”
Sejenak para penjaga menjadi ragu-ragu. Mereka saling berpandangan. Namun tampaklah bahwa mereka tidak segera dapat menentukan sikap. Dalam pada itu berkatalah Ki Tanu Metir,
“Jangan cemas atas kehadirannya, aku yang akan bertanggung jawab.”
Namun wajah para penjaga itu masih saja diliputi oleh kebimbangan, sehingga Ki Tanu Metir terpaksa berkata kepada mereka,
“Kalau kalian ragu-ragu, sampaikanlah kepada Angger Untara atau Angger Widura, bahwa Ki Sumangkar ingin bertemu dengan mereka.”
Itu adalah pendapat yang paling baik bagi para penjaga yang sedang bimbang. Salah seorang dari mereka segera pergi menemui Untara dan Widura, untuk menyampaikan pesan Ki Tanu Metir tentang orang Jipang itu.
“Bawa mereka kemari,” berkata Untara kepada penjaga itu.

Sejenak kemudian, Ki Tanu Metir dan Ki Sumangkar  pun segera dibawa kepada Untara dan Widura, di ruang dalam Banjar Desa Sangkal Putung. Di ruang itulah kemudian terjadi pembicaraan yang mendalam tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi atas janji pengampunan yang disampaikan oleh Untara kepada orang-orang Jipang. Sumangkar telah mencoba menanyakan kepada Untara, sampai berapa jauh kemungkinan pengampunan itu dapat diberikan.
“Menurut Panglima Wira Tamtama,” berkata Untara,
“pengampunan itu bersifat umum. Namun sudah tentu, bahwa kalian akan tetap berada dalam pengawasan. Tetapi apa yang akan kalian alami, adalah perlakuan dari para pemimpin Pajang yang menjunjung tinggi peradaban.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian orang tua itu pun bertanya,
“Apakah jaminan yang dapat diberikan oleh Angger Untara untuk memperkuat kepercayaan kami?”
Untara berpikir sejenak. Namun kemudian ia menggeleng.
“Tidak ada jaminan yang dapat aku berikan. Tetapi aku berjanji, bahwa semua itu akan dilakukan sesuai dengan ucapan Ki Ageng Pemanahan.”
Sumangkar mengerutkan keningnya. la tidak mendapatkan jaminan apa-apa dari Untara. Memang sebenarnyalah bahwa tidak akan ada jaminan yang dapat diberikan. Tetapi begitu saja mempercayainya, rasa-rasanya berat juga bagi Sumangkar. Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Nyala lampu jlupak yang melekat di dinding seakan-akan menggapai-gapai kepanasan. Sekali-kali terdengar di kejauhan suara burung hantu mengetuk-ngetuk hati. Dalam keheningan itu terasa betapa jauh jarak yang harus mereka pertautkan dari kedua belah pihak. Permusuhan yang setiap hari semakin meningkat. Kebencian, dendam dan berbagai macam perasaan yang telah mendorong kedua belah pihak menjadi semakin jauh. Tetapi Sumangkar tidak dapat menolak kenyataan yang dihadapinya. Pajang semakin lama menjadi semakin kokoh, sedang sisa-sisa prajurit Jipang semakin lama menjadi semakin terpecah belah. Kekuatan mereka kini telah, berbanding berlipat ganda. Dalam keadaan yang demikian, apakah yang dapat dilakukan olehnya? Apa yang dijanjikan oleh Untara itu adalah selapis lebih baik daripada mereka datang menyerahkan diri, meskipun akibatnya hampir tidak ada bedanya. Namun dengan janji itu, mereka pasti akan mendapat perlakuan yang lebih baik dalam batas-batas yang memungkinkan. Karena itu, tidak ada kemungkinan lain bagi Sumangkar untuk menerima tawaran Untara itu sebagai satu-satunya kemungkinan yang paling baik. Sumangkar yakin, bahwa apabila kesempatan itu tidak dipergunakan, akan datanglah saatnya Untara mengambil sikap tegas seperti yang dikatakannya. Apabila prajurit Jipang di daerah Utara dan di pedalaman telah ditarik menjadi satu, pada saat-saat terakhir perjuangan Macan Kepatihan, maka daerah-daerah lain itu pun akan menjadi aman. Prajurit Pajang akan dapat memusatkan diri pula di daerah Selatan ini. Untara akan mendapat prajurit lebih banyak dari yang sekarang berada di Sangkal Putung. Dengan demikian maka tingkat terakhir dari usaha Untara melenyapkan sisa-sisa prajurit Jipang akan segera berhasil.

Sumangkar menyadari pula, bahwa ia tidak akan dapat mengajukan bermacam-macam syarat. Sebab keseimbangan mereka benar-benar telah goyah. Sehingga baginya, tinggal ada satu pilihan di antara dua.
“Menerima, yang berarti menyerah dalam kesempatan yang terbuka” atau,
“menolak, yang berakibat hancur menjadi debu.” Kehancuran itu bukan saja akan dialami oleh orang Jipang, namun korban di pihak Pajang  pun bertambah pula. Sedang akibatnya sama sekali tidak menguntungkan kedua belah pihak. Yang terjadi adalah pembunuhan, kekerasan dan kekejaman. Dan apa yang akan terjadi itu sama sekali tidak dapat dilupakan oleh orang-orang Pajang. Maka Sumangkar tidak dapat berkata lain dari pada menerima tawaran Untara. Dengan demikian maka segera mereka mulai membicarakan pelaksanaan dari penyerahan itu. Dalam hal ini Sumangkar  pun tidak dapat terlampau banyak mengajukan pendapatnya. Sebagian dari pembicaraan itu datang dari pihak Untara, sebagai sesuatu yang harus diterima oleh Sumangkar. Namun di dalam hati Untara, masih saja selalu dirayapi oleh kecemasan tentang anak buahnya sendiri. Apakah mereka dapat menerima sikapnya itu dengan ikhlas? Untara menyadari sepenuhnya betapa beratnya tugas yang akan dilakukannya. Ia telah pula mendengar sikap Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda beserta sebagian orang-orang Jipang yang menyingkir ke Lereng Merapi. Mengikuti hantu yang bernama Ki Tambak Wedi. Di sana mereka akan bertemu dalam kepentingan yang bersamaan, melawan Untara dan menolak kekuasaannya. Sikap itu berarti melawan terhadap kekuasaan Pajang. Maka Ki Tambak Wedi dan segala pengikutnya kemudian dapat dianggap sebagai suatu pemberontakan, di samping Sanakeling dan pengikutnya yang masih ada. Semuanya itu harus masuk di dalam hitungannya. Karena itu apa bila persoalan Sumangkar dan sebagian dari orang-orang Jipang, yang memenuhi panggilannya ini sudah selesai, maka Untara akan segera menghadapi tugas baru, Ki Tambak Wedi. Malam itu tak ada persoalan yang menghambat pembicaraan di antara mereka. Untara tidak berbuat sewenang-wenang karena kemenangannya, sedang Sumangkar tidak banyak menuntut hal-hal yang tidak mungkin bagi orang-orangnya. Masing-masing rnencoba menempatkan dirinya pada sikap yang sebaik-baiknya tanpa meninggalkan tugas yang harus diselesaikan. Sehingga dengan demikian, maka pembicaraan itu pun segera berakhir.
“Apabila tidak ada syarat-syarat yang harus aku lakukan lagi Ngger,” berkata Sumangkar kemudian,
“maka ijinkanlah aku meninggalkan banjar desa ini. Kami bersama-sama akan memasuki tempat yang telah Angger tentukan tanpa bersenjata. Senjata-senjata kami akan sudah kami kumpulkan di tempat yang Angger kehendaki. Kami percaya kepada Angger Untara, bahwa nasib kami berada di dalam lindungan Angger. Angger pasti tidak akan khilaf seandainya ada anak buah Angger yang tidak dapat melihat kenyataan seperti yang Angger kehendaki, sehingga akan timbul kemungkinan-kemungkinan yang tidak kami inginkan.”
“Aku berjanji Paman,” sahut Untara.
“Aku akan mencoba sejauh-jauhnya, bahwa tidak akan ada perlakuan di luar kehendakku.”
“Namun ada satu hal yang tidak dapat aku lakukan di saat-saat yang Angger kehendaki itu. Tongkat baja putih ini tidak akan dapat aku kumpulkan bersama dengan senjata-senjata orang-orang Jipang itu. Aku tidak akan sampai hati melihatnya. Senjata ini adalah senjata ciri kebesaran perguruanku.”
Untara mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian ia berkata,
“Jadi apakah Paman menghendaki suatu perkecualian?”
Sumangkar mengangguk, “Ya, Ngger.”
“Paman akan tetap menggenggam senjata itu?” bertanya Untara.
“Apakah masih ada keragu-raguan di dalam hati Paman terhadap maksud baik itu?”
Sumangkar menggeleng,
“Tidak Ngger. Aku tidak berprasangka. Dan aku tidak ingin tetap memegang senjata itu.” Sumangkar berhenti sejenak, kemudian dengan nada yang dalam ia berkata,
“Aku ingin menyerahkannya lebih dahulu Ngger, supaya senjataku itu tidak teronggok dalam satu kumpulan dengan senjata-senjata yang lain. Senjata para prajurit Jipang itu.”
“Maksud Paman?” Untara menegaskan.
“Senjata ini akan aku tinggalkan di sini sekarang Ngger. Kalau Angger atau salah seorang dari anak buah Angger sempat memungut senjata Tohpati, maka alangkah baiknya kalau kedua senjata itu disimpan bersama. Atau kalau Angger tidak ingin melihatnya setiap saat, maka sebaiknya senjata itu dilarung saja ke laut.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa juga sesuatu berdesir di dalam dadanya. Terasa betapa beratnya orang tua itu akan melepaskan senjatanya. Sudah tentu ia tidak akan dapat melihat senjata ciri kebesaran perguruannya itu tergolek di antara puluhan senjata yang berserakan. Karena itu, maka dengan penuh pengertian Untara berkata,
“Paman, biarlah aku mencoba menyimpan senjata itu. Aku akan menyimpannya sebagai suatu senjata pusaka yang berharga. Ketahuilah bahwa senjata Kakang Tohpati itu sekarang ada di dalam simpananku pula.”
Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian tampak betapa muram sinar matanya ketika ia mengamat-amati senjatanya. Senjata yang diterima dari gurunya dahulu bersama Patih Mantahun. Kini senjata itu harus terpisah darinya. Tetapi ia tidak dapat mengingkarinya. Ia yakin bahwa apa yang dilakukan sekarang ini mempunyai nilai-nilai kemanusiaan yang berharga bagi orang-orang Jipang, sehingga pengorbanannya itu pasti akan bermanfaat bagi mereka.
Kemudian dengan parau. Sumangkar berkata,
“Aku akan menyerahkannya sekarang.”
Untara mengangguk sambil menjawab,
“Baik paman.”
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Apabila darahnya masih sepanas darah di waktu mudanya, maka mati bersama dengan hilangnya senjata itu pasti akan dilakukan. Tetapi kini ia telah menjadi tua. Bukan ketuaannya itulah yang telah menyeretnya ke dalam keputus-asaan. Tetapi dengan umurnya yang sudah semakin banyak, Sumangkar makin menyadari nilai-nilai nyawa seseorang dibandingkan dengan nilai benda-benda yang dikeramatkannya. Di belakangnya berpuluh-puluh jiwa akan dapat dibebaskannya dari ketakutan, kecemasan dan hidup tanpa arti. Mereka akan terlepas pula dari kesempatan-kesempatan yang akan menjerumuskan mereka semakin dalam ke lingkungan yang sebenarnya harus disirik. Kebiadaban, kekasaran, kekejaman dan tindakan-tindakan sejenis. Malam itu Sumangkar meninggalkan Sangkal Putung seorang diri tanpa tongkat baja putihnya. Betapa berat hatinya, namun semuanya itu telah bulat dikehendakinya. Ia ingin melihat kehidupan yang damai dan tenteram di seluruh daerah Demak lama. Untara dan Widura yang masih tinggal bersama Kiai Gringsing di pendapa setelah orang tua itu mengantar Sumangkar sampai di luar regol masih juga berbincang sebentar. Widura yang mengetahui serba sedikit tentang Sidanti, telah menyampaikan pendapatnya pula. Sidanti adalah seorang anak kepala daerah perdikan yang cukup luas di lereng perbukitan Menoreh. Di sebelah Barat hutan Mentaok. Untara segera menyadari keterangan itu. Senapati muda itu dapat menangkap maksud Widura. Dengan keterangan itu Widura ingin memperingatkan Untara, bahwa mungkin ia akan berhadapan dengan tugas baru yang cukup berat. Bahkan mungkin tidak kalah beratnya dengan tugas yang sedang diembannya kini. Sejenak ruangan itu menjadi sunyi. Masing-masing sibuk dengan angan-angan sendiri. Kiai Gringsing duduk sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah ia sedang menikmati suatu cerita yang mengasyikkan. Untara sibuk meraba-raba janggutnya yang belum sempat dipotongnya. Janggut yang terlampau jarang untuk dipelihara, sehingga lebih baik baginya untuk dipotongnya licin-licin. Sedang Widura duduk sambil terpekur, seolah-olah lagi menghitung jari-jari di tangannya.

Di luar ruangan itu, di pendapa banjar desa, masih terdengar rintih kesakitan. Beberapa orang di antara mereka terdengar mengeluh tak habis-habisnya karena pedih-pedih lukanya. Tiba-tiba Kiai Gringsing tersadar. Naluri dukunnya tiba-tiba menjalari dadanya. Dengan serta-merta ia beringsut sambil berkata,
“Ah. Aku mohon diri sejenak Ngger. Barangkali lebih baik bagiku mengobati orang-orang yang terluka itu daripada duduk di sini.”
Untara mengangguk sambil menjawab,
“Baik Kiai. Tetapi nanti aku mengharap Kiai apabila sempat secepatnya datang kembali ke ruang ini.”
“Ya. Ya,” sahut Kiai Gringsing sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Segera aku datang kembali.”
Sepeninggal Kiai Gringsing Untara dan Widura berbincang kembali tentang pelaksanaan penerimaan orang-orang Jipang. Untara tahu benar, bahwa orang-orang mereka, yang langsung berhadapan dan bertempur melawan orang-orang Jipang itu, sangat sulit untuk melepaskan perasaan permusuham yang sudah tertanam dalam-dalam di hati mereka. Karena itu tiba-tiba Untara berkata,
“Paman Widura, aku akan mengirim utusan ke Pajang. Aku akan minta beberapa orang prajurit langsung di bawah pimpinan perwira-perwira tertinggi wira tamtama untuk menerima langsung orang Jipang itu. Dengan demikian maka aku mengharap, tidak akan terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki bersama. Mungkin Ki Gede Pemanahan sendiri berkenan menerima orang-orang yang sadar itu kembali. Mungkin Ki Penjawi atau Mas Ngabehi Loring Pasar. Meskipun anak itu masih terlampau muda, namun ternyata ia telah mengejutkan hampir seluruh prajurit Pajang dan Jipang. Setelah ia berhasil melawan Arya Penangsang.”
Widura mengerutkan keningnya. Ia adalah senapati yang bertanggung jawab di Sangkal Putung. Apakah tugas untuk menerima orang-orang Jipang itu harus dilepaskannya? Karena itu sejenak ia berdiam diri. Untara melihat sikap Widura dengan penuh pengertian. Karena itu ia berkata,
“Paman, hal ini sama sekali bukan karena aku tidak percaya kepada para prajurit yang ada di Sangkal Putung, tetapi sekedar mancegah perasaan-perasaan yang kurang terkendali menghadapi peristiwa yang sulit ini.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapapun, maka ia tidak dapat membantah, seandainya Untara menjatuhkan perintah sebagai seorang senapati atasannya. Karena itu maka katanya,
“Terserah kepadamu Untara. Kita bersama-sama menghendaki segalanya menjadi baik.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih juga berkata,
“Aku mengharap Paman dapat mengerti.”
“Ya. Aku dapat mengerti.”

Kembali mereka terdiam sejenak. Di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Lamat-lamat menggema di malam yang gelap suara kentongan dara muluk di gardu peronda, yang kemudian sahut-menyahut dari ujung ke ujung kademangan. Sejenak kemudian Untara itu pun berkata,
“Aku kira semuanya sudah dapat direncanakan dengan tertib Paman. Besok pagi-pagi utusanku akan berangkat ke Pajang.”
Widura mengangguk, katanya,
“Baik. Aku harap tak akan ada kesulitan lagi.”
Untara dan Widura itu pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Kembali mereka berjalan berkeliling di antara orang yang terluka. Sebagian dari mereka telah dapat memejamkan mata mereka, namun sebagian yang lain masih terbaring dengan gelisahnya. Ki Tanu Metir  pun ternyata telah sibuk pula, mencoba meringankan penderitaan mereka yang terluka parah. Dengan segenap pengetahuan dan kemampuannya ia bekerja. Ketika malam menjadi semakin dalam, maka Untara dan Widura yang tidak kalah lelahnya, bahkan mungkin melampaui setiap orang yang berada di banjar desa itu pun mencoba beristirahat pula. Juga Agung Sedayu telah berbaring di antara para prajurit Pajang yang melepaskan lelah mereka. Ada yang tidak sempat membersihkan dirinya. Begitu mereka selesai makan dan minum, begitu mereka merebahkan diri mereka, masih dalam pakaian tempur mereka. Namun ada juga yang sempat membersihkan diri, berganti pakaian, menyisir rambut kemudian duduk sambil bercakap-cakap dengan beberapa kawan-kawan yang lain. Namun malam berjalan menurut iramanya sendiri. Ajeg seperti malam-malam yang lampau.

Ketika fajar pecah, maka cerahlah padukuhan Sangkal Putung. Para pengungsi telah merayap kembali ke rumah masing-masing. Beberapa anak-anak muda Sangkal Putung dengan bangga mengatakan bahwa Sangkal Putung untuk seterusnya telah menjadi jauh lebih aman. Tohpati telah terbunuh. Riuhlah berita itu mengumandang di segenap sudut Kademangan Sangkal Putung. Riuh pulalah orang menyebut-nyebut nama Untara. Ternyata pula kemudian bahwa yang dapat membunuh Tohpati adalah Untara. Bukan orang lain. Tetapi tak seorang pun yang memperhatikan, ketika dua ekor kuda meluncur seperti anak panah meninggalkan kademangan itu. Mereka adalah utusan Untara untuk menyampaikan pesannya kepada Ki Ageng Pemanahan mengenai kebijaksanaan terakhir yang ditempuhnya, namun juga mengenai seorang prajurit yang bernama Sidanti dan gurunya Ki Tambak Wedi. Di samping kematian Tohpati yang menjadi pembicaraan segenap penduduk Sangkal Putung, bagi para prajurit Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung, ada pula bahan pembicaraan yang tidak kalah hangatnya. Yaitu tentang orang-orang Jipang. Baik orang-orang Jipang yang terluka, maupun orang-orang lain yang akan menyerah. Para prajurit itu sibuk berbincang tentang janji pengampunan yang diberikan oleh Untara. Beberapa orang prajurit menanggapi janji pengampunan itu dengan wajah yang tegang. Salah seorang dari mereka berkata,
“Aku tidak mengerti, kenapa Ki Untara melontarkan janji itu. Ki Untara sendiri ikut dalam peperangan yang terakhir bahkan ia telah membunuh Macan kepatihan. Apakah hal ini tidak merendahkan harga dirinya?”
“Aku juga tidak mengerti,” sahut yang lain.
“Kalau janji itu keluar dari orang yang tidak pernah melihat sendiri ajang peperangan maka hal itu mungkin sekali karena ia tidak tahu betapa banyaknya korban dan betapa panasnya hati. Tetapi Untara adalah seorang perwira Wira Tamtama yang langsung menangani peperangan. la sendiri pernah hangus dibakar oleh api peperangan. Bahkan nyawanya hampir tak dapat di selamatkan meskipun akibat tusukan senjata Sidanti.”
“Untara benar-benar seperti seorang senapati yang mendem cubung,” desis yang lain.
“Aku tak dapat menerima sikapnya. Apabila kelak orang-orang Jipang itu benar-benar datang, maka aku akan membunuh mereka.”

Percakapan itu berhenti ketika mereka melihat Agung Sedayu datang kepada mereka. Meskipun tidak sengaja, namun ternyata Agung Sedayu telah memutuskan pembicaraan tentang orang-orang Jipang.
“Apakah kalian telah melihat Adi Swandaru?” bertanya Agung Sedayu.
Para prajurit itu menggeleng,
“Belum, kami belum melihatnya,” sahut salah seorang dari mereka.
“Mungkin ia belum datang ke mari,” berkata yang lain.
“Semalam putera Ki Demang itu pulang ke kademangan.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Biarlah aku mencarinya ke kademangan.”
Agung Sedayu  pun segera pergi ke kademangan. Ia ingin bertemu dengan Swandaru untuk menyampaikan pesan Untara. Untara ingin memperbincangkan masalah orang-orang Jipang dengan para pemimpin Sangkal Putung. Supaya tidak terjadi salah paham, maka yang pertama-pertama dikehendaki oleh Untara dan Widura adalah Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru Geni. Apabila keduanya dapat mengerti pendirian itu, maka diharap bahwa seluruh penduduk Sangkal Putung  pun akan menerima kehadiran orang-orang Jipang itu sebagai suatu kewajaran. Sebab orang-orang Jipang itu tidak akan terlalu lama berada di Sangkal Putung. Mereka segera akan di bawa ke Pajang. Untuk seterusnya diserahkan kepada kebijaksanaan para pemimpin Pajang. Namun tidak mudah untuk menjelaskan pendirian itu kepada Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru Geni. Ketika Agung Sedayu itu datang dengan orang Jipang yang terluka, maka dengan serta-merta Swandaru telah mengemukakan pendiriannya. Menolak kehadiran orang itu, apabila Agung Sedayu tidak mengatakannya bahwa apa yang dilakukan itu atas perintah Kiai Gringsing. Tetapi terhadap keputusan untuk mengampuni orang-orang Jipang yang jumlahnya tidak hanya satu atau dua, bahkan tidak hanya sepuluh atau dua puluh, maka untuk meyakinkannya, sehingga anak muda itu dapat menerima pendirian Untara, bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun demikian, maka Untara dan Widura harus mencobanya. Kalau mereka gagal, maka harus ditempuh cara yang lain. Cara yang tidak bertentangan dengan keputusan bersama dengan Sumangkar, namun tidak melukai hati rakyat Sangkal Putung yang selama ini telah membantu prajurit Pajang dengan gigihnya.

Ketika Agung Sedayu sampai di Sangkal Putung, maka yang pertama-pertama menemuinya di muka regol adalah Sekar Mirah. Gadis yang berwajah riang itu menyambutnya sambil tersenyum. Baru sehari kemarin mereka tidak bertemu, tetapi rasa-rasanya telah berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
“Kau tidak segera datang ke kademangan, Kakang,” berkata Sekar Mirah.
“Aku masih terlalu sibuk, Mirah”
“Semalam Kakang Swandaru telah dapat tidur mendengkur di rumah. Apakah kau tidak dapat datang bersama Kakang Swandaru?”
“Adi Swandaru pergi tanpa mengajakku. Aku kira adi Swandaru  pun masih berada di banjar bersama anak-anak muda yang lain.”
“Ah,” desah Sekar Mirah, “kau mengada-ada.”
Agung Sedayu tersenyum. Ia tidak menjawab lagi. Langsung ia berjalan ke pendapa, menemui Ki Demang Sangkal Putung.
“Apakah Ki Demang ada di rumah?” bertanya Agung Sedayu.
“Kenapa kau cari ayah?”
“Aku memerlukannya atas pesan Kakang Untara.”
“Kenapa kau tidak mencari aku?”
“Ah,” Agung sedayu menarik nafas,
“aku juga mencarimu, Mirah. Tetapi aku juga ingin menyampaikan pesan Kakang Untara.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Tiba-tiba berkata,
“Kenapa kakakmu itu tidak saja datang sendiri kemari? Kalau kakakmu semalam datang kemari selagi kademangan ini masih dipenuhi oleh para pengungsi, maka aku kira kademangan ini akan runtuh karena pujian yang akan diterimanya. Betapa rakyat Sangkal Putung berterima kasih kepadanya, karena Kakang Untara telah berhasil membunuh Macan Kepatihan.”
Agung sedayu tidak segera menjawab. Tetapi dahinya tampak berkerut.
“Kakang Sedayu,” berkata Sekar Mirah,
“biarlah kakakmu itu datang sendiri kemari. Biarlah ia menerima kehormatan yang layak karena jasanya.”
“Penghormatan apa yang kau maksud? Apakah orang-orang Sangkal Putung akan berbaris sambil meneriakkan terima kasih mereka di hadapan Kakang Untara?”
Sekar Mirah tersenyum mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia menjawab,
“Kalau Kakang Untara datang tadi malam maka hal yang demikian itu pasti akan terjadi. Semua orang pasti akan memberikan salam sebagai pernyataan terima kasih mereka. Satu demi satu. Bahkan mereka yang tidak sempat mendapat sambutan tangan, pasti akan puas dengan menyentuh bagian-bagian tubuh Untara. Bahkan ujung kainnya sekalipun.”
“Ah, terlampau berlebih-lebihan,” sahut Agung Sedayu.
“Rakyat Sangkal putung adalah rakyat yang mengenal rasa terima kasih. Apakah Kakang Agung Sedayu tidak ingat lagi, ketika Kakang Agung Sedayu baru saja datang di kademangan ini? Ketika Kakang Sedayu pergi ke warung di ujung desa? Bukankah hampir setiap orang laki-laki datang memberi Kakang salam sebagai pernyataan terima kasih mereka?”
Agung sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Ya,” namun nada suaranya terlampau dalam. Terkenang olehnya, betapa ia menjadi cemas dan ketakutan ketika Sidanti datang mengancamnya. Betapa ia menjadi hampir pingsan karenanya.
“Nah,” berkata Sekar Mirah,
“sekarang Kakang Agung Sedayu sebaiknya memanggil Kakang Untara. Kami harus mengadakan upacara kemenangan.”
“Tetapi tidak dalam waktu yang singkat ini. Kini Kakang Untara masih menghadapi tugas yang cukup berat.”
“Bukankah Macan Kepatihan telah mati?”
“Macan Kepatihan memang telah mati. Tetapi masih banyak persoalan yang harus dihadapi. Yang mati adalah seorang saja dari sekian banyak pemimpin prajurit Jipang.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Katanya,
“Jadi, maksud Kakang, bahwa suatu ketika di Sangkal Putung masih mungkin ada pertempuran lagi?”
Agung sedayu menganggukkan kepadanya.
“Oh,” wajah Sekar Mirah menjadi buram.
“Aku kira kita semua telah bebas dari segala bentuk peperangan.”
“Tetapi bahaya yang sebenarnya telah menjadi jauh lebih kecil dari masa-masa yang lalu. Namun Kakang Untara kini menghadapi persoalan yang lain, yang apabila kurang hati-hati, akan dapat berkembang pula menjadi semakin besar.”
“Soal apakah itu?”
“Sidanti.”

Terasa bulu-bulu tengkuk Sekar Mirah menjadi tegak. Nama itu benar-benar mencemaskannya. Jauh lebih menakutkan dari Macan Kepatihan. Sebab disadarinya, bahwa Sidanti berkepentingan langsung dengan dirinya. Karena itu, maka wajah gadis itu pun menjadi bertambah buram.
“Apakah Sidanti cukup berbahaya? Bukankah ia hanya seorang diri?”
Sedayu menyesal, bahwa ia telah menyebut nama itu. Dengan demikian ia telah membuat hati Sekar Mirah menjadi cemas. Karena itu maka dijawabnya untuk menenteramkan hati gadis itu,
“Jangan cemas. Sidanti hanya seorang diri. Di Sangkal Putung, ada beberapa orang yang sanggup melawannya. Kakang Untara, paman Widura dan kini kakakmu Swandaru  pun tidak lagi dapat ditamparnya tanpa perlawanan.”
Dahi Sekar Mirah masih berkerut, katanya,
“Tetapi aku dengar guru Sidanti adalah seorang hantu yang sakti.”
“Jangan kau cemaskan pula” sahut Sedayu,
“guru kakakmu  pun melampaui kesaktian hantu.”
Sekar Mirah terdiam. Tetapi wajahnya masih juga memancarkan kecemasan hatinya.
“Sekarang, di mana ayahmu?” bertanya Agung Sedayu.
“Di dalam. Apakah Kakang Sedayu akan menemuinya?”
“Ya,” sahut Sedayu
“Aku tidak mau memanggilkan untukmu.”
“Kenapa?”
“Tidak apa-apa. Tetapi carilah sendiri.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Sekali ini Kakang Untara mempunyai keperluan yang penting. Aku agak tergesa-gesa.”
“Urusanku adalah menyediakan makanan buat kalian. Kalau kau tergesa-gesa mau makan, makanlah. Aku sudah sedia.”
“Tolong, panggil ayahmu.”
“Kakang Sedayu setiap kali pasti hanya akan memberikan beberapa perintah. Sesudah itu pergi lagi. Kau tidak pernah menyediakan waktu untuk beristirahat untuk berjalan-jalan menikmati senja di kademangan ini atau melihat-lihat sawah yang hijau.”
“Masa ini adalah masa berprihatin, Mirah. Kalau semuanya telah lampau, maka aku pasti akan berjalan-jalan melihat isi kademangan ini atau pergi ke sawah, tidak saja untuk melihat-lihat, tetapi aku pandai pula membajak dan menyebar bibit.”
“Omong kosong,” sahut Sekar Mirah.
“Dalam keadaan yang serupa, Sidanti dapat menyisihkan waktunya untuk itu.”

Terasa dada Agung Sedayu berdesir. Wajahnya pun tiba-tiba berubah. Dan tiba-tiba pula ia menjawab,
“Itulah bedanya. Beda antara Agung Sedayu dan Sidanti. Mungkin Sidanti dapat menemanimu berjalan-jalan di sepanjang pematang dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Tetapi Agung Sedayu tidak.”
Sekar Mirah terkejut mendengar jawaban itu. Terasa bahwa kata-katanya telah terdorong terlampau jauh. Karena itu maka katanya,
“Maksudku, bahwa apabila diperlukan waktu itu dapat diluangkan. Kalau aku menyebut Sidanti, karena Sidanti ternyata dapat juga menyediakan waktu untuk itu.”
“Mudah-mudahan lain kali aku juga bisa,” sahut Sedayu.
“Tetapi di mana ayahmu? Aku tergesa-gesa. Mungkin Sidanti tidak pernah berbuat seperti aku, sebab ia acuh tak acuh saja mengenai perkembangan dan kemajuan keadaan di Sangkal Putung.”
Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Ia tidak menjawab pertanyaan Agung Sedayu. Tetapi dengan tergesa-gesa ia melangkah pergi. Tidak masuk ke dalam rumahnya, tetapi justru keluar regol halaman. Agung Sedayu sedianya tidak dapat berkata sesuatu. Namun kemudian ia mencoba memanggil,
“Mirah. Mirah.”
Sekar Mirah berpaling. Tetapi ia tidak berhenti. Agung Sedayu hanya mendengar gadis itu berkata,
“Aku akan pergi ke warung di ujung desa.”
“Bagaimana dengan Ki Demang ?”
“Masuklah,” jawabnya.
“Katakanlah sendiri kepadanya.”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu memang terlampau manja. Sambil menggelengkan kepalanya Agung Sedayu berdesis,
“Terlalu anak itu.”

Namun tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar suara tertawa berderai. Ketika ia berpaling, dilihatnya Swandaru berdiri bertolak pinggang di samping pendapa. Sekali lagi Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
“Kenapa dengan anak itu?” bertanya Swandaru.
“Tidak apa-apa,” sahut Agung Sedayu.
Tetapi suara tertawa Swandaru menjadi semakin keras. Katanya,
“Kau marah kepadanya?”
“Terlalu adikmu itu,” desah Agung Sedayu.
“Begitulah tabiatnya. Jangan kaget,” sahut Swandaru.
Agung Sedayu tidak menyahut kata-kata itu, tetapi ia bertanya,
“Dimana Ki Demang?”
“Di dalam, bukankah Sekar Mirah juga menjawab begitu?”
“Ya,” sahut Agung Sedayu,
“aku ingin bertemu.”
“Marilah.”
Keduanya kemudian menaiki pendapa dan masuk ke pringgitan. Pringgitan itu sama sekali masih seperti malam kemarin ketika ia tidur di situ bersama paman dan kakaknya. Sejenak kemudian Ki Demang  pun segera keluar dari ruang dalam. Sambil tersenyum orang tua itu duduk di samping Agung Sedayu.
“Apakah Angger Untara belum sempat kembali ke kademangan?” bertanya Ki Demang.
“Belum hari ini, Ki Demang,” jawab Sedayu.
“Mungkin besok atau lusa.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya pula,
“Apakah masih ada hal yang penting di banjar desa?”
“Orang-orang Jipang yang terluka itu Ki Demang.”
“Hem,” Demang Sangkal Putung itu menarik nafas dalam-dalam.
“Angger Untara memang mencari kesulitan dengan orang-orang Jipang itu. Seperti bujang mencari momongan. Kenapa tidak dibiarkannya saja orang-orang Jipang itu? Biarlah kawan-kawannya sendiri yang memelihara mereka. Dengan demikian pekerjaan Angger Untara tidak menjadi bertambah-tambah. Kini Angger Untara harus mengawasi sendiri orang-orang Jipang itu supaya mereka tidak mengkhianati kita. Tetapi juga supaya mereka tidak dibunuh oleh prajurit Pajang sendiri.”
Sebelum Agung Sedayu menjawab, Swandaru berkata,
“Kalau bukan orang Pajang, orang Sangkal Putung-lah yang akan membunuh mereka.”

Sedayu terkejut mendengar jawaban Ki Demang Sangkal Putung, apalagi Swandaru. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan mendengar jawaban serupa itu. Dahulu pada saat ia pertama-tama menginjakkan kakinya di kademangan ini, maka yang mula-mula ditemuinya adalah Ki Demang itu. Dari mulut Ki Demang ia mendengar, betapa orang tua itu mengutuk perang dan segala macam akibatnya. Kini tiba-tiba sikapnya menjadi terlampau keras menghadapi lawan. Tetapi Agung Sedayu mencoba untuk mengerti dan memahami jawaban itu. Selama ini Sangkal Putung benar-benar mengalami tekanan yang luar biasa kerasnya dari orang Jipang. Hampir setiap hari orang-orang Sangkal Putung selalu diburu oleh kecemasan, ketakutan dan kegelisahan. Setiap hari orang-orang Sangkal Putung selalu dibakar oleh kemarahan yang menyala-nyala di dalam dada mereka. Setiap anak muda Sangkal Putung setiap hari selalu bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, bahkan kemungkinan yang paling pahit sekalipun. Ki Demang Sangkal Putung adalah seorang Demang yang dekat sekali dengan hati rakyatnya. Setiap hari ia mendengar apa yang mereka percakapkan. Setiap hari Ki Demang ikut merasakan apakah yang mereka cemaskan. Itulah sebabnya, maka semuanya itu telah merubah sedikit demi sedikit tanggapan Ki Demang Sangkal Putung atas kekerasan yang dihadapinya. Setiap hari ia selalu didorong untuk menyadari bahwa untuk menyelamatkan Sangkal Putung dari kekerasan orang-orang Jipang, maka Sangkal Putung perlu mempergunakan kekuatan dan kekerasan. Sehingga akhirnya, Ki Demang itu terdorong semakin jauh ke dalam sikapnya yang sekarang. Betapa ia setiap hari menjadi semakin membenci orang-orang Jipang, sumber dari segala macam kegelisahan, kecemasan dan ketakutan. Tetapi Agung Sedayu tidak boleh hanyut pula ke dalam sikap yang demikian. Ia sejak semula sependapat dengan sikap kakaknya. Sudah tentu mereka tidak akan dapat membiarkan orang-orang Jipang yang terluka terbaring di padang-padang rumput atau di pategalan yang kering sampai mereka mati dengan sendirinya. Perbuatan yang demikian adalah perbuatan yang melanggar perikemanusiaan. Sejak ia berada di Sangkal Putung, para prajurit Pajang selalu bersikap jantan terhadap lawan-lawan mereka yang terluka. Namun kali ini agaknya telah menjadi jauh berbeda. Korban yang cukup banyak di pihak Pajang sendiri, telah mendorong orang-orang Pajang untuk menjadi bertambah membenci dan mendendam. Apalagi anak-anak muda dan orang-orang Sangkal Putung. Mereka setiap saat merasa terancam nyawa dan miliknya.
Meskipun demikian Agung Sedayu tidak berani menyampaikan persoalan itu kepada Ki Demang.
“Biarlah Kakang Untara sendiri yang mengatakannya,” katanya dalam hati. Sehingga yang terloncat dari bibirnya adalah,
“Ki Demang, Kakang Untara kini tidak dapat meninggalkan banjar desa. Mungkin sampai besok atau lusa. Tetapi Kakang Untara sangat ingin bertemu dengan Ki Demang. Apakah Ki Demang dapat pergi ke banjar desa?”

Ki Demang Sangkal Putung mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu. Namun ia menyadari, bahwa meskipun bagi Sangkal Putung ia adalah seorang pemimpin tertinggi, tetapi Untara adalah seorang senapati dari Pajang, yang bahkan mempunyai kedudukan lebih tinggi dari Widura, penguasa Pajang di daerah Sangkal Putung. Dalam keadaan seperti saat itu, di mana Sangkal Putung diliputi oleh suasana perang, maka kedudukan penguasa prajurit adalah melampui kekuasaan demang itu sendiri. Karena itu, maka permintaan Untara itu sebenarnya adalah perintah baginya, bahwa ia harus datang ke banjar desa. Ki Demang itu pun kemudian menjawab,
“Baiklah Ngger. Aku akan segera datang ke banjar desa, setelah aku menyelesaikan pekerjaanku di sini. Tetapi apakah kira-kira keperluan Angger Untara memanggil aku?”
Agung sedayu ragu-ragu sesaat. Tetapi ia tidak berani mendahului kakaknya. Maka jawabnya,
“Aku kurang tahu, Paman. Tetapi menurut pesan Kakang Untara, Ki Demang dan Adi Swandaru diharap menemuinya di banjar desa.
“Baiklah,” sahut Ki Demang kemudian,
“aku akan segera pergi, setelah aku menyelesaikan beberapa pekerjaan di sini.”
Agung Sedayu  pun kemudian mohon diri mendahului bersama Swandaru Geni. Mereka bersama ingin juga bertemu dengan guru mereka. Mungkin ada rencana yang harus mereka lakukan hari itu. Di halaman mereka bertemu dengan Sekar Mirah. Gadis itu sama sekali tidak pergi ke warung. Sehingga karena itu maka Agung sedayu berkata,
“Mirah, ternyata kau tidak pergi ke warung.”
Sekar Mirah mencibirkan bibirnya. Jawabnya,
“Tidak. Aku memang tidak ke warung.”
“Tetapi kau bilang, bahwa kau akan pergi ke warung.”
“Tak ada kawan yang mengantarkan aku,” jawabnya.
Swandaru tertawa sampai tubuhnya terguncang-guncang. Katanya,
“Sebaiknya kau berterus terang Mirah. Bukankah kau ingin Kakang Agung Sedayu mengantarkanmu.”
“Siapa bilang? Siapa bilang?” sahut Sekar Mirah cepat-cepat.
Swandaru masih tertawa, katanya seterusnya,
“Itu pun kau belum berterus terang. Seharusnya kau berkata kepada Kakang Agung Sedayu untuk mengantarkanmu berjalan-jalan. Tidak ke warung atau ke mana saja.”
“Bohong! Bohong!” teriak Sekar Mirah.
Swandaru tertawa puas. Tetapi Agung Sedayu berdesis,
“Kau selalu mengada-ada Adi Swandaru.”
Tapi Swandaru itu pun kemudian terpekik kecil ketika Sekar Mirah mencubit lengannya.
“Awas kau Kakang Swandaru. Aku tidak mau menyisihkan brutu ayam untukmu lagi.”
“Oh,” Swandaru itu pun tiba-tiba seperti teringat sesuatu. Ditariknya lengan Agung Sedayu dengan tergesa-gesa.
“Mari ikut aku.”
“Kemana?” bertanya Agung Sedayu.
Swandaru tidak menjawab, tetapi ditariknya saja tangan Agung Sedayu.
“Mau kemana kalian?” bertanya Sekar Mirah.
Swandaru tidak juga menjawab. Bahkan ditariknya Agung Sedayu semakin cepat.
“Kemana?” sekali lagi Agung Sedayu bertanya.

Namun Swandaru masih saja berdiam diri. Tetapi Agung Sedayu kemudian mengerti dengan sendirinya maksud Swandaru itu. Mereka berdua ternyata hilang di balik pintu dapur.
“Kau pasti belum makan. Nah, daripada kau menunggu rangsum dikirim ke banjar desa, ayo, aku pun belum makan.”
Agung Sedayu menjadi tersipu-sipu ketika ia melihat ibu Swandaru, Nyai Demang Sangkal Putung.
“Marilah Ngger, makanlah,” ia mempersilahkan.
“Jangan malu-malu,” desis Swandaru yang segera membuka tenong.
“Di mana brutu ayamku?”
Yang datang kemudian sambil berlari-lari adalah Sekar Mirah. Masih di pintu ia berteriak,
“Jangan ditunjukkan.”
Tetapi Sekar Mirah menjadi kecewa, sebab Swandaru telah menggenggam sepotong brutu goreng.
“Setan,” desah Sekar Mirah.
“Kau tahu juga tempatnya.”
Swandaru tidak menjawab. Tetapi tangannya telah memegang semangkuk nasi. Dituangkannya seirus sayur ke dalamnya dan dengan lahapnya ia mulai mengunyah sesuap demi sesuap. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat berbuat seperti Swandaru yang berada di rumah sendiri. Ia masih saja duduk sambil mengawasi saudara seperguruannya itu makan. Alangkah enaknya. Karena itulah maka tubuh Swandaru dapat menjadi gemuk bulat seperti telur raksasa.
“Silahkan Ngger,” ibu Swandaru mempersilahkan.
“Mirah,” katanya kepada anak gadisnya,
“kenapa kau tidak segera mempersilahkan Kakangmu Agung Sedayu makan. Ambillah mangkok dan layanilah.”
Sambil bersungut-sungut Sekar Mirah melakukan perintah ibunya. Namun dengan sengaja dituangkannya sayur lombok banyak-banyak ke dalam mangkuk Agung Sedayu. Sehingga ketika Agung Sedayu mulai mengunyah peluhnya segera mengalir dari segenap lubang-lubang kulitnya.
“Terlalu benar Sekar Mirah,” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah katapun.
Ketika Swandaru melihat Agung Sedayu kepedasan, maka kembali suara tertawanya berderai memenuhi dapur.
“Minumlah. Di tlundak itu ada kendi,” katanya.
Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia tidak segera berdiri. Demikianlah setelah mereka selesai makan, segera berdiri pergi ke banjar desa. Ternyata Swandaru tidak terlalu lama menunggu ayahnya. Sejenak kemudian Ki Demang  pun segera datang pula.

Dipersilahkannya mereka berdua memasuki ruangan dalam. Di dalam ruangan itu telah duduk menunggu Untara, Widura, Ki Tanu Metir dan kemudian duduk pula bersama mereka, Agung Sedayu. Sesaat Untara menjadi ragu-ragu untuk mengatakan maksudnya. Apakah waktunya sudah tepat, apabila Ki Demang itu diajaknya berbincang-bincang mengenai orang-orang Jipang? Tetapi Untara tidak mempunyai waktu terlampau lama. Lima hari sejak pembicaraannya dengan Sumangkar, segalanya harus sudah terlaksana. Semakin cepat bagi Untara sebenarnya semakin baik. Juga bagi Sumangkar, semakin cepat semakin baik. Apabila Sumangkar harus menunggu terlampau lama, maka segala kemungkinan dapat terjadi. Mungkin beberapa bagian dari orang-orangnya berubah pendirian, mungkin mereka akan mengalami kekurangan makan dan mungkin Sanakeling dengan orang-orang Ki Tambak Wedi yang mendendam akan datang menghancurkan mereka. Karena itu, maka dengan sangat hati-hati akhirnya Untara menyampaikan maksudnya pula. Ki Demang Sangkal Putung mendengarkan setiap kata-kata Untara dengan penuh perhatian. Sekali-sekali ia mengangguk-anggukkan kepalanya, namum di saat lain wajahnya tampak berkerut-kerut. Swandaru yang duduk di samping ayahnya tiba-tiba menjadi gelisah.
“Jalan itu, bagiku adalah jalan yang sebaik-baiknya, Ki Demang,” berkata Untara itu kemudian,
“kecuali sejalan dengan pesan Ki Ageng Pemanahan, maka cara itu adalah cara yang paling hemat bagi kami. Korban akan dapat dibatasi, dan tugas kita pun akan segera selesai.”
Yang pertama-tama menjawab adalah Swandaru.
“Kakang Untara, bukankah laskar Jipang itu telah terpecah-belah? Apalagi sepeninggal Macan Kepatihan, tidak ada orang yang dapat mengantikan kedudukannya. Bukankah dengan demikian kita akan lebih mudah menghancurkannya dengan kekerasan? Mula-mula kita hancurkan laskar Jipang yang bersembunyi di dalam hutan, kemudian kita datangi padepokan Ki Tambak Wedi.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sareh ia menjawab,
“Swandaru, kenapa mesti dengan kekerasan?”
“Kita berada di pihak yang kuat Kakang,” sahut Swandaru,
“kenapa kita mesti menerima persetujuan itu? Dengan mengorbankan beberapa kemungkinan yang akan dapat mengangkat nama Kakang Untara sendiri sebagai seorang senapati? Dengan menerima persetujuan itu, seolah-olah kita tidak cukup mampu untuk menghancurkan sisa-sisa laskar Jipang itu dengan kekerasan.”
“Ya,” Untara mengulangi,
“kenapa mesti dengan kekerasan? Adi Swandaru, yang penting bagi Pajang adalah penyelesaian atas peristiwa antara Jipang dan Pajang. Apabila peristiwa ini dapat diselesaikan dengan tanpa pertumpahan darah maka kenapa kita mesti mempergunakan kekerasan?”
“Jadi apakah kita harus menyerah saja terhadap orang-orang Jipang itu?” bertanya Swandaru.
“Dengan demikian kita akan menghindarkan pertumpahan darah.”

Untara menggigit bibirnya. Dengan cepat Ki Demang Sangkal Putung berkata,
“Maksudnya Ngger, maksud Swandaru, kalau perlu kita harus berani mempergunakan kekerasan. Bukankah korban telah banyak yang jatuh? Di saat-saat terakhir, ketika kita seakan-akan tinggal menginjak kekuatan mereka di bawah telapak kaki kita, kita menerima mereka dengan kedua belah tangan, seolah-olah kita harus melupakan saja apa yang telah pernah terjadi?”
“Bukan begitu Ki Demang,” sahut Untara. Sekilas ia memandangi wajah pamannya. Namun Widura menundukkan kepalanya, seolah-olah sengaja ia menghindari tatapan mata Untara.
“Kita tidak membebaskan mereka dari segenap tanggung jawab,” kata Untara kemudian,
“tetapi kita menerima orang-orang Jipang yang akan menyerah. Kita tidak membuat persetujuan apapun, kecuali menerima penyerahan orang-orang Jipang itu. Kita tidak membuat jaminan apa pun kepada mereka, kecuali janji untuk memperlakukan mereka seperti seharusnya bagi prajurit-prajurit lawan yang menyerah.”
“Mereka tidak pernah berpikir sedemikian baik, Ngger,” berkata Ki Demang.
“Coba, apakah yang telah mereka lakukan pada saat pertentangan ini meledak? Tanpa disangka-sangka, maka Sunan Prawata terbunuh. Kemudian Pangeran Hadiri. Bahkan Adipati Adiwijaya sendiri hampir-hampir terbunuh pula. Sesudah itu ratusan korban berjatuhan.”
“Itulah bedanya, Ki Demang,” sahut Untara.
“Itulah bedanya. Orang-orang itu berbuat tanpa pengekangan diri, seolah-olah mereka dapat melakukan apa saja sekehendak hatinya. Kita adalah orang-orang yang beradab. Kita merasa bahwa perbuatan kita harus kita pertanggungjawabkan. Tidak saja terhadap sesama manusia, tetapi juga kepada Sumber kekuatan kita. Tuhan Yang Maha Esa. Namun demikian Ki Demang. Mereka yang tidak mau menyerahkan dirinya dalam kesempatan ini seperti Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan beberapa bagian dari laskarnya, maka mereka pasti akan kita hancurkan. Hancur dalam pengertian yang sebenar-benarnya.
Ki Demang Sangkal Putung tidak menjawab. Ketika Untara melihat wajahnya, Ki Demang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mudah-mudahan Ki Demang dapat mengerti,” berkata Untara di dalam hatinya. Namun yang bertanya kemudian adalah Swandaru.
“Lalu bagaimana sikap kita terhadap mereka yang menyerah? Apakah mereka kita biarkan saja kembali ke tempat mereka, atau kita biarkan sekehendak hati mereka, apa pun yang akan mereka lakukan?”
“Tentu tidak, Swandaru,” sahut Untara.
“Mereka berada dalam pengawasan. Jasmaniah dan rohaniah.”

Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Masing-masing mencoba memandang persoalan itu menurut segi dan kepentingan masing-masing. Namun terasa bahwa sebagian besar dari pendirian Untara dapat dimengerti oleh Ki Demang Sangkal Putung. Meskipun demikian, masih terdengar Swandaru berdesis,
“Kita terlampau baik hati. Mereka suatu ketika akan menelan kita kembali.”
“Para perwira Wira Tamtama akan memperhitungkan persoalan itu Swandaru,” sahut Untara.
“Mudah-mudahan hal itu tidak akan sempat terjadi.”
Kembali mereka yang duduk di ruangan itu terdiam. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa berkata sepatah katapun. Sekali-sekali orang tua itu memandang wajah Widura, namun pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung itu masih menundukkan kepalanya. Berbagai persoalan berkecamuk di dalam kepalanya. Meskipun kemudian ia sependapat dengan Untara, bahwa apa yang dilakukan itu setidak-tidaknya akan mengurangi pekerjaannya, namun telah terbayang di dalam angan-angannya, suatu pekerjaan baru yang tidak kalah pentingnya. Ki Tambak wedi, Sidanti, Sanakeling dan laskarnya. Kemudian, ketika tidak ada persoalan yang dibicarakan lagi mengenai dasar-dasar penyerahan orang-orang Jipang itu, maka sampailah mereka pada perjalan pelaksanaan dari penyerahan. Meskipun Ki Demang pada dasarnya dapat mengerti pikiran Untara, namun bagaimanapun juga ia masih dihinggapi oleh berbagai keragu-raguan. Karena itu maka ia berkata,


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar