DADA Agung Sedayu berdesir mendengar pertanyaan itu. Baru kini disadari bahwa ia telah melanggar perintah kakaknya. Tetapi menurut pendapatnya, pertanggungan jawab atas peristiwa itu ada pada gurunya. Karena itu maka jawabnya,
“Aku telah
mencoba melakukan perintah itu Kakang. Tetapi guruku, Kiai Gringsing menyuruh
aku kembali membawa orang ini. Kiai Gringsing sendirilah yang akan mengambil
alih tugas yang harus aku lakukan itu.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia tersenyum di dalam hati.
Perhitungannya ternyata tepat seperti yang dikehendaki. Kiai Gringsing tidak
akan melepaskan Agung Sedayu sendiri melakukan tugas yang sangat berbahaya itu.
Namun meskipun demikian kini terasa betapa bulu tengkuknya berdiri. Seandainya.
Ya seandainya Kiai Gringsing membiarkan Agung Sedayu itu berjalan menyusur
hutan yang belum dikenalnya pada waktu itu? Alangkah berbahayanya. Kalau adiknya
waktu itu mengalami bencana, maka ialah yang telah membunuh adiknya itu. Tetapi
adiknya kini telah kembali dengan selamat. Bahkan membawa seorang Jipang yang
terluka. Agaknya Tuhan benar-benar telah melindungi anak itu. Meskipun demikian
wajahnya sama sekali tidak mengesankan kegembiraan hatinya itu. Dengan
kerut-kerut pada keningnya, Untara berkata,
“Apakah kau
yakin bahwa Kiai Gringsing dapat melakukan tugas itu?”
Pertanyaan ini
pun mengherankannya. Untara telah lebih lama bergaul dengan Kiai Gringsing daripada
dirinya. Menurut pendapatnya, Untara pasti lebih banyak mengenal orang itu,
orang yang bernama Ki Tanu Metir, yang telah melindunginya di dukuh Pakuwon. Maka
Agung Sedayu tidak menjawab pertanyaan kakaknya, bahkan ia bertanya pula,
“Bukankah
Kakang Untara telah mengenal Kiai Gringsing dengan baik?”
“Aku bertanya
kepadamu,” potong Untara,
“kaulah yang
seharusnya melakukan tugas itu. Kalau kau menyerahkan tanggung jawab itu kepada
orang lain, maka kau harus yakin bahwa orang itu akan dapat melakukan tugas
yang seharusnya kau lakukan.”
Agung Sedayu
masih belum tahu maksud pertanyaan kakaknya. Seharusnya pertanyaan yang
demikian tidak perlu diucapkan. Namun ia tidak berani berdebat dengan kakaknya,
sehingga kemudian dijawabnya pertanyaan itu perlahan-lahan,
“Ya. Aku
yakin.”
“Bagus, kalau
demikian maka kita akan menunggu hasilnya,” berkata Untara itu pula,
“tetapi
siapakah yang kau bawa itu? Orang Jipang?”
“Ya.”
“Terluka?”
“Ya.”
“Parah?”
“Agak parah.”
Untara terdiam
sejenak. Diedarkannya pandangan matanya berkeliling, seakan-akan ingin
mengetahui gejolak perasaan para prajurit yang berdiri mengitarinya. Bukan saja
atas orang Jipang yang terluka ini, tetapi orang-orang Jipang yang mungkin
bakal datang, apabila seruannya dapat dimengerti oleh orang-orang Jipang itu.
Namun Untara tidak berkata apa-apa tentang perasaannya yang dipenuhi oleh
berbagai macam persoalan, kecemasan dan keragu-raguan. Sebagai seorang pemimpin
ia harus bersikap, tidak terombang-ambing oleh keadaan yang setiap saat dapat
berubah, meskipun sikap seorang pemimpin bukanlah sikap yang mati, yang tidak
dapat disesuaikan lagi dengan perkembangan keadaan. Malam semakin lama menjadi
semakin dalam. Bintang-bintang bertebaran dari satu sisi ke sisi yang lain,
melingkupi seluruh langit yang luas, bergayutan berangkai-rangkai. Dalam
keheningan malam yang dingin itu, terdengar suara Untara bergetar,
“Agung Sedayu.
Bawa orang itu masuk ke banjar desa. Satukan dengan orang-orang Jipang yang
sudah lebih dahulu terbaring di sana.”
“Baik Kakang,”
sahut Agung Sedayu.
Ketika Agung
Sedayu kemudian melangkah maju, beberapa orang yang berdiri di regol segera
menyibak. Namun wajah-wajah mereka tampak tegang. Sebagian dari mereka
memandang orang Jipang itu dengan sorot mata penuh kebencian. Namun yang lain,
melihat Agung Sedayu dan orang Jipang itu lewat dengan pandangan mata yang
kosong. Sejenak kemudian regol halaman banjar desa itu menjadi sepi.
Sepeninggal Agung Sedayu, para prajurit dan anak-anak muda Sangkal Putung satu
demi satu berjalan meninggalkan regol, selain mereka yang bertugas. Hampir
semua di antara mereka, sama sekali tidak menyatakan pendapatnya tentang orang
Jipang yang baru itu. Orang Jipang yang kehadirannya agak berbeda dari
orang-orang Jipang yang mereka temukan di medan peperangan. Para petugas yang
merawat orang-orang yang terluka pun kini sudah tidak terlampau sibuk lagi.
Beberapa di antara mereka tinggal melayani orang-orang yang terluka parah.
Bahkan ada di antara mereka yang menjadi panas dan mengigau tentang berbagai
macam persoalan. Ada yang merintih perlahan-lahan, namun ada pula yang
berteriak sepuas-puasnya.
Suasana di
banjar desa itu benar-benar menjadi suram. Beberapa orang yang lukanya tidak
terlampau parah segera minta ijin untuk pergi saja ke kademangan, berkumpul
dengan para prajurit yang berada di sana. Suasana di kademangan jauh lebih baik
dari suasana di banjar desa. Bahkan di antara mereka yang masih merasa lapar,
dapat merayap ke dapur mencari makanan yang masih banyak tersedia. Ternyata
Swandaru pun telah pergi ke kademangan.
Langsung dibongkarnya tenong lauk pauk di dapur untuk mencari daging lembu
goreng, sisa lauk pauk makan malam mereka. Namun dalam pada itu, kembali para
penjaga di banjar desa dikejutkan oleh kehadiran seorang yang membawa tongkat
baja putih bersama-sama dengan dukun tua yang bernama Ki Tanu Metir. Beberapa
orang penjaga segera mengenal, bahwa orang yang membawa tongkat baja putih itu
adalah orang yang telah membawa mayat Macan Kepatihan. Karena itu segera mereka
mengetahui, bahwa orang itu adalah orang Jipang. Dengan demikian maka segera
para penjaga itu menghentikannya dan bertanya,
“Akan pergi ke
mana kau?”
Sumangkar
terkejut mendengar sapa yang keras itu. Segera, ia berpaling kepada Ki Tanu
Metir, seakan-akan minta supaya Ki Tanu Metir-lah yang menjawab pertanyaan itu.
Ki Tanu Metir
yang juga disebut Kiai Gringsing segera menjawab,
“Akulah yang
membawanya.”
“Bukankah
orang ini orang Jipang?” bertanya penjaga itu.
“Ya. Orang ini
orang Jipang.”
Sejenak para
penjaga menjadi ragu-ragu. Mereka saling berpandangan. Namun tampaklah bahwa
mereka tidak segera dapat menentukan sikap. Dalam pada itu berkatalah Ki Tanu
Metir,
“Jangan cemas
atas kehadirannya, aku yang akan bertanggung jawab.”
Namun wajah
para penjaga itu masih saja diliputi oleh kebimbangan, sehingga Ki Tanu Metir terpaksa
berkata kepada mereka,
“Kalau kalian
ragu-ragu, sampaikanlah kepada Angger Untara atau Angger Widura, bahwa Ki
Sumangkar ingin bertemu dengan mereka.”
Itu adalah
pendapat yang paling baik bagi para penjaga yang sedang bimbang. Salah seorang
dari mereka segera pergi menemui Untara dan Widura, untuk menyampaikan pesan Ki
Tanu Metir tentang orang Jipang itu.
“Bawa mereka
kemari,” berkata Untara kepada penjaga itu.
Sejenak
kemudian, Ki Tanu Metir dan Ki Sumangkar
pun segera dibawa kepada Untara dan Widura, di ruang dalam Banjar Desa
Sangkal Putung. Di ruang itulah kemudian terjadi pembicaraan yang mendalam
tentang segala kemungkinan yang dapat terjadi atas janji pengampunan yang disampaikan
oleh Untara kepada orang-orang Jipang. Sumangkar telah mencoba menanyakan
kepada Untara, sampai berapa jauh kemungkinan pengampunan itu dapat diberikan.
“Menurut
Panglima Wira Tamtama,” berkata Untara,
“pengampunan
itu bersifat umum. Namun sudah tentu, bahwa kalian akan tetap berada dalam
pengawasan. Tetapi apa yang akan kalian alami, adalah perlakuan dari para
pemimpin Pajang yang menjunjung tinggi peradaban.”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian orang tua itu pun bertanya,
“Apakah
jaminan yang dapat diberikan oleh Angger Untara untuk memperkuat kepercayaan
kami?”
Untara
berpikir sejenak. Namun kemudian ia menggeleng.
“Tidak ada
jaminan yang dapat aku berikan. Tetapi aku berjanji, bahwa semua itu akan
dilakukan sesuai dengan ucapan Ki Ageng Pemanahan.”
Sumangkar
mengerutkan keningnya. la tidak mendapatkan jaminan apa-apa dari Untara. Memang
sebenarnyalah bahwa tidak akan ada jaminan yang dapat diberikan. Tetapi begitu
saja mempercayainya, rasa-rasanya berat juga bagi Sumangkar. Sejenak ruangan
itu menjadi sepi. Nyala lampu jlupak yang melekat di dinding seakan-akan
menggapai-gapai kepanasan. Sekali-kali terdengar di kejauhan suara burung hantu
mengetuk-ngetuk hati. Dalam keheningan itu terasa betapa jauh jarak yang harus
mereka pertautkan dari kedua belah pihak. Permusuhan yang setiap hari semakin
meningkat. Kebencian, dendam dan berbagai macam perasaan yang telah mendorong
kedua belah pihak menjadi semakin jauh. Tetapi Sumangkar tidak dapat menolak
kenyataan yang dihadapinya. Pajang semakin lama menjadi semakin kokoh, sedang
sisa-sisa prajurit Jipang semakin lama menjadi semakin terpecah belah. Kekuatan
mereka kini telah, berbanding berlipat ganda. Dalam keadaan yang demikian,
apakah yang dapat dilakukan olehnya? Apa yang dijanjikan oleh Untara itu adalah
selapis lebih baik daripada mereka datang menyerahkan diri, meskipun akibatnya
hampir tidak ada bedanya. Namun dengan janji itu, mereka pasti akan mendapat
perlakuan yang lebih baik dalam batas-batas yang memungkinkan. Karena itu,
tidak ada kemungkinan lain bagi Sumangkar untuk menerima tawaran Untara itu
sebagai satu-satunya kemungkinan yang paling baik. Sumangkar yakin, bahwa
apabila kesempatan itu tidak dipergunakan, akan datanglah saatnya Untara
mengambil sikap tegas seperti yang dikatakannya. Apabila prajurit Jipang di
daerah Utara dan di pedalaman telah ditarik menjadi satu, pada saat-saat
terakhir perjuangan Macan Kepatihan, maka daerah-daerah lain itu pun akan
menjadi aman. Prajurit Pajang akan dapat memusatkan diri pula di daerah Selatan
ini. Untara akan mendapat prajurit lebih banyak dari yang sekarang berada di
Sangkal Putung. Dengan demikian maka tingkat terakhir dari usaha Untara
melenyapkan sisa-sisa prajurit Jipang akan segera berhasil.
Sumangkar
menyadari pula, bahwa ia tidak akan dapat mengajukan bermacam-macam syarat.
Sebab keseimbangan mereka benar-benar telah goyah. Sehingga baginya, tinggal ada
satu pilihan di antara dua.
“Menerima,
yang berarti menyerah dalam kesempatan yang terbuka” atau,
“menolak, yang
berakibat hancur menjadi debu.” Kehancuran itu bukan saja akan dialami oleh
orang Jipang, namun korban di pihak Pajang
pun bertambah pula. Sedang akibatnya sama sekali tidak menguntungkan
kedua belah pihak. Yang terjadi adalah pembunuhan, kekerasan dan kekejaman. Dan
apa yang akan terjadi itu sama sekali tidak dapat dilupakan oleh orang-orang
Pajang. Maka Sumangkar tidak dapat berkata lain dari pada menerima tawaran
Untara. Dengan demikian maka segera mereka mulai membicarakan pelaksanaan dari
penyerahan itu. Dalam hal ini Sumangkar
pun tidak dapat terlampau banyak mengajukan pendapatnya. Sebagian dari
pembicaraan itu datang dari pihak Untara, sebagai sesuatu yang harus diterima
oleh Sumangkar. Namun di dalam hati Untara, masih saja selalu dirayapi oleh
kecemasan tentang anak buahnya sendiri. Apakah mereka dapat menerima sikapnya
itu dengan ikhlas? Untara menyadari sepenuhnya betapa beratnya tugas yang akan
dilakukannya. Ia telah pula mendengar sikap Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda
beserta sebagian orang-orang Jipang yang menyingkir ke Lereng Merapi. Mengikuti
hantu yang bernama Ki Tambak Wedi. Di sana mereka akan bertemu dalam
kepentingan yang bersamaan, melawan Untara dan menolak kekuasaannya. Sikap itu
berarti melawan terhadap kekuasaan Pajang. Maka Ki Tambak Wedi dan segala
pengikutnya kemudian dapat dianggap sebagai suatu pemberontakan, di samping
Sanakeling dan pengikutnya yang masih ada. Semuanya itu harus masuk di dalam
hitungannya. Karena itu apa bila persoalan Sumangkar dan sebagian dari
orang-orang Jipang, yang memenuhi panggilannya ini sudah selesai, maka Untara
akan segera menghadapi tugas baru, Ki Tambak Wedi. Malam itu tak ada persoalan
yang menghambat pembicaraan di antara mereka. Untara tidak berbuat
sewenang-wenang karena kemenangannya, sedang Sumangkar tidak banyak menuntut
hal-hal yang tidak mungkin bagi orang-orangnya. Masing-masing rnencoba
menempatkan dirinya pada sikap yang sebaik-baiknya tanpa meninggalkan tugas
yang harus diselesaikan. Sehingga dengan demikian, maka pembicaraan itu pun segera
berakhir.
“Apabila tidak
ada syarat-syarat yang harus aku lakukan lagi Ngger,” berkata Sumangkar
kemudian,
“maka
ijinkanlah aku meninggalkan banjar desa ini. Kami bersama-sama akan memasuki
tempat yang telah Angger tentukan tanpa bersenjata. Senjata-senjata kami akan
sudah kami kumpulkan di tempat yang Angger kehendaki. Kami percaya kepada
Angger Untara, bahwa nasib kami berada di dalam lindungan Angger. Angger pasti
tidak akan khilaf seandainya ada anak buah Angger yang tidak dapat melihat kenyataan
seperti yang Angger kehendaki, sehingga akan timbul kemungkinan-kemungkinan
yang tidak kami inginkan.”
“Aku berjanji
Paman,” sahut Untara.
“Aku akan
mencoba sejauh-jauhnya, bahwa tidak akan ada perlakuan di luar kehendakku.”
“Namun ada
satu hal yang tidak dapat aku lakukan di saat-saat yang Angger kehendaki itu.
Tongkat baja putih ini tidak akan dapat aku kumpulkan bersama dengan
senjata-senjata orang-orang Jipang itu. Aku tidak akan sampai hati melihatnya.
Senjata ini adalah senjata ciri kebesaran perguruanku.”
Untara
mengerutkan keningnya. Sesaat ia berdiam diri, namun kemudian ia berkata,
“Jadi apakah
Paman menghendaki suatu perkecualian?”
Sumangkar
mengangguk, “Ya, Ngger.”
“Paman akan
tetap menggenggam senjata itu?” bertanya Untara.
“Apakah masih
ada keragu-raguan di dalam hati Paman terhadap maksud baik itu?”
Sumangkar
menggeleng,
“Tidak Ngger.
Aku tidak berprasangka. Dan aku tidak ingin tetap memegang senjata itu.”
Sumangkar berhenti sejenak, kemudian dengan nada yang dalam ia berkata,
“Aku ingin
menyerahkannya lebih dahulu Ngger, supaya senjataku itu tidak teronggok dalam
satu kumpulan dengan senjata-senjata yang lain. Senjata para prajurit Jipang
itu.”
“Maksud
Paman?” Untara menegaskan.
“Senjata ini
akan aku tinggalkan di sini sekarang Ngger. Kalau Angger atau salah seorang
dari anak buah Angger sempat memungut senjata Tohpati, maka alangkah baiknya
kalau kedua senjata itu disimpan bersama. Atau kalau Angger tidak ingin
melihatnya setiap saat, maka sebaiknya senjata itu dilarung saja ke laut.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa juga sesuatu berdesir di dalam dadanya.
Terasa betapa beratnya orang tua itu akan melepaskan senjatanya. Sudah tentu ia
tidak akan dapat melihat senjata ciri kebesaran perguruannya itu tergolek di
antara puluhan senjata yang berserakan. Karena itu, maka dengan penuh
pengertian Untara berkata,
“Paman,
biarlah aku mencoba menyimpan senjata itu. Aku akan menyimpannya sebagai suatu
senjata pusaka yang berharga. Ketahuilah bahwa senjata Kakang Tohpati itu
sekarang ada di dalam simpananku pula.”
Orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian tampak betapa muram sinar matanya
ketika ia mengamat-amati senjatanya. Senjata yang diterima dari gurunya dahulu
bersama Patih Mantahun. Kini senjata itu harus terpisah darinya. Tetapi ia
tidak dapat mengingkarinya. Ia yakin bahwa apa yang dilakukan sekarang ini
mempunyai nilai-nilai kemanusiaan yang berharga bagi orang-orang Jipang,
sehingga pengorbanannya itu pasti akan bermanfaat bagi mereka.
Kemudian dengan
parau. Sumangkar berkata,
“Aku akan
menyerahkannya sekarang.”
Untara
mengangguk sambil menjawab,
“Baik paman.”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Apabila darahnya masih sepanas darah di waktu
mudanya, maka mati bersama dengan hilangnya senjata itu pasti akan dilakukan.
Tetapi kini ia telah menjadi tua. Bukan ketuaannya itulah yang telah
menyeretnya ke dalam keputus-asaan. Tetapi dengan umurnya yang sudah semakin
banyak, Sumangkar makin menyadari nilai-nilai nyawa seseorang dibandingkan
dengan nilai benda-benda yang dikeramatkannya. Di belakangnya berpuluh-puluh
jiwa akan dapat dibebaskannya dari ketakutan, kecemasan dan hidup tanpa arti.
Mereka akan terlepas pula dari kesempatan-kesempatan yang akan menjerumuskan
mereka semakin dalam ke lingkungan yang sebenarnya harus disirik. Kebiadaban,
kekasaran, kekejaman dan tindakan-tindakan sejenis. Malam itu Sumangkar
meninggalkan Sangkal Putung seorang diri tanpa tongkat baja putihnya. Betapa
berat hatinya, namun semuanya itu telah bulat dikehendakinya. Ia ingin melihat
kehidupan yang damai dan tenteram di seluruh daerah Demak lama. Untara dan
Widura yang masih tinggal bersama Kiai Gringsing di pendapa setelah orang tua
itu mengantar Sumangkar sampai di luar regol masih juga berbincang sebentar.
Widura yang mengetahui serba sedikit tentang Sidanti, telah menyampaikan
pendapatnya pula. Sidanti adalah seorang anak kepala daerah perdikan yang cukup
luas di lereng perbukitan Menoreh. Di sebelah Barat hutan Mentaok. Untara
segera menyadari keterangan itu. Senapati muda itu dapat menangkap maksud
Widura. Dengan keterangan itu Widura ingin memperingatkan Untara, bahwa mungkin
ia akan berhadapan dengan tugas baru yang cukup berat. Bahkan mungkin tidak
kalah beratnya dengan tugas yang sedang diembannya kini. Sejenak ruangan itu menjadi
sunyi. Masing-masing sibuk dengan angan-angan sendiri. Kiai Gringsing duduk
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah ia sedang menikmati suatu
cerita yang mengasyikkan. Untara sibuk meraba-raba janggutnya yang belum sempat
dipotongnya. Janggut yang terlampau jarang untuk dipelihara, sehingga lebih
baik baginya untuk dipotongnya licin-licin. Sedang Widura duduk sambil
terpekur, seolah-olah lagi menghitung jari-jari di tangannya.
Di luar
ruangan itu, di pendapa banjar desa, masih terdengar rintih kesakitan. Beberapa
orang di antara mereka terdengar mengeluh tak habis-habisnya karena pedih-pedih
lukanya. Tiba-tiba Kiai Gringsing tersadar. Naluri dukunnya tiba-tiba menjalari
dadanya. Dengan serta-merta ia beringsut sambil berkata,
“Ah. Aku mohon
diri sejenak Ngger. Barangkali lebih baik bagiku mengobati orang-orang yang
terluka itu daripada duduk di sini.”
Untara
mengangguk sambil menjawab,
“Baik Kiai.
Tetapi nanti aku mengharap Kiai apabila sempat secepatnya datang kembali ke
ruang ini.”
“Ya. Ya,”
sahut Kiai Gringsing sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Segera aku
datang kembali.”
Sepeninggal
Kiai Gringsing Untara dan Widura berbincang kembali tentang pelaksanaan
penerimaan orang-orang Jipang. Untara tahu benar, bahwa orang-orang mereka,
yang langsung berhadapan dan bertempur melawan orang-orang Jipang itu, sangat
sulit untuk melepaskan perasaan permusuham yang sudah tertanam dalam-dalam di
hati mereka. Karena itu tiba-tiba Untara berkata,
“Paman Widura,
aku akan mengirim utusan ke Pajang. Aku akan minta beberapa orang prajurit
langsung di bawah pimpinan perwira-perwira tertinggi wira tamtama untuk
menerima langsung orang Jipang itu. Dengan demikian maka aku mengharap, tidak
akan terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki bersama. Mungkin Ki Gede
Pemanahan sendiri berkenan menerima orang-orang yang sadar itu kembali. Mungkin
Ki Penjawi atau Mas Ngabehi Loring Pasar. Meskipun anak itu masih terlampau
muda, namun ternyata ia telah mengejutkan hampir seluruh prajurit Pajang dan
Jipang. Setelah ia berhasil melawan Arya Penangsang.”
Widura
mengerutkan keningnya. Ia adalah senapati yang bertanggung jawab di Sangkal
Putung. Apakah tugas untuk menerima orang-orang Jipang itu harus dilepaskannya?
Karena itu sejenak ia berdiam diri. Untara melihat sikap Widura dengan penuh
pengertian. Karena itu ia berkata,
“Paman, hal
ini sama sekali bukan karena aku tidak percaya kepada para prajurit yang ada di
Sangkal Putung, tetapi sekedar mancegah perasaan-perasaan yang kurang
terkendali menghadapi peristiwa yang sulit ini.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapapun, maka ia tidak dapat membantah,
seandainya Untara menjatuhkan perintah sebagai seorang senapati atasannya.
Karena itu maka katanya,
“Terserah
kepadamu Untara. Kita bersama-sama menghendaki segalanya menjadi baik.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih juga berkata,
“Aku mengharap
Paman dapat mengerti.”
“Ya. Aku dapat
mengerti.”
Kembali mereka
terdiam sejenak. Di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok bersahutan.
Lamat-lamat menggema di malam yang gelap suara kentongan dara muluk di gardu
peronda, yang kemudian sahut-menyahut dari ujung ke ujung kademangan. Sejenak
kemudian Untara itu pun berkata,
“Aku kira
semuanya sudah dapat direncanakan dengan tertib Paman. Besok pagi-pagi utusanku
akan berangkat ke Pajang.”
Widura
mengangguk, katanya,
“Baik. Aku
harap tak akan ada kesulitan lagi.”
Untara dan
Widura itu pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Kembali mereka berjalan
berkeliling di antara orang yang terluka. Sebagian dari mereka telah dapat
memejamkan mata mereka, namun sebagian yang lain masih terbaring dengan gelisahnya.
Ki Tanu Metir pun ternyata telah sibuk
pula, mencoba meringankan penderitaan mereka yang terluka parah. Dengan segenap
pengetahuan dan kemampuannya ia bekerja. Ketika malam menjadi semakin dalam,
maka Untara dan Widura yang tidak kalah lelahnya, bahkan mungkin melampaui
setiap orang yang berada di banjar desa itu pun mencoba beristirahat pula. Juga
Agung Sedayu telah berbaring di antara para prajurit Pajang yang melepaskan
lelah mereka. Ada yang tidak sempat membersihkan dirinya. Begitu mereka selesai
makan dan minum, begitu mereka merebahkan diri mereka, masih dalam pakaian
tempur mereka. Namun ada juga yang sempat membersihkan diri, berganti pakaian,
menyisir rambut kemudian duduk sambil bercakap-cakap dengan beberapa
kawan-kawan yang lain. Namun malam berjalan menurut iramanya sendiri. Ajeg
seperti malam-malam yang lampau.
Ketika fajar
pecah, maka cerahlah padukuhan Sangkal Putung. Para pengungsi telah merayap kembali
ke rumah masing-masing. Beberapa anak-anak muda Sangkal Putung dengan bangga
mengatakan bahwa Sangkal Putung untuk seterusnya telah menjadi jauh lebih aman.
Tohpati telah terbunuh. Riuhlah berita itu mengumandang di segenap sudut
Kademangan Sangkal Putung. Riuh pulalah orang menyebut-nyebut nama Untara.
Ternyata pula kemudian bahwa yang dapat membunuh Tohpati adalah Untara. Bukan
orang lain. Tetapi tak seorang pun yang memperhatikan, ketika dua ekor kuda
meluncur seperti anak panah meninggalkan kademangan itu. Mereka adalah utusan
Untara untuk menyampaikan pesannya kepada Ki Ageng Pemanahan mengenai
kebijaksanaan terakhir yang ditempuhnya, namun juga mengenai seorang prajurit
yang bernama Sidanti dan gurunya Ki Tambak Wedi. Di samping kematian Tohpati
yang menjadi pembicaraan segenap penduduk Sangkal Putung, bagi para prajurit
Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung, ada pula bahan pembicaraan yang tidak
kalah hangatnya. Yaitu tentang orang-orang Jipang. Baik orang-orang Jipang yang
terluka, maupun orang-orang lain yang akan menyerah. Para prajurit itu sibuk
berbincang tentang janji pengampunan yang diberikan oleh Untara. Beberapa orang
prajurit menanggapi janji pengampunan itu dengan wajah yang tegang. Salah
seorang dari mereka berkata,
“Aku tidak mengerti,
kenapa Ki Untara melontarkan janji itu. Ki Untara sendiri ikut dalam peperangan
yang terakhir bahkan ia telah membunuh Macan kepatihan. Apakah hal ini tidak
merendahkan harga dirinya?”
“Aku juga tidak
mengerti,” sahut yang lain.
“Kalau janji
itu keluar dari orang yang tidak pernah melihat sendiri ajang peperangan maka
hal itu mungkin sekali karena ia tidak tahu betapa banyaknya korban dan betapa
panasnya hati. Tetapi Untara adalah seorang perwira Wira Tamtama yang langsung
menangani peperangan. la sendiri pernah hangus dibakar oleh api peperangan.
Bahkan nyawanya hampir tak dapat di selamatkan meskipun akibat tusukan senjata
Sidanti.”
“Untara
benar-benar seperti seorang senapati yang mendem cubung,” desis yang lain.
“Aku tak dapat
menerima sikapnya. Apabila kelak orang-orang Jipang itu benar-benar datang,
maka aku akan membunuh mereka.”
Percakapan itu
berhenti ketika mereka melihat Agung Sedayu datang kepada mereka. Meskipun
tidak sengaja, namun ternyata Agung Sedayu telah memutuskan pembicaraan tentang
orang-orang Jipang.
“Apakah kalian
telah melihat Adi Swandaru?” bertanya Agung Sedayu.
Para prajurit
itu menggeleng,
“Belum, kami
belum melihatnya,” sahut salah seorang dari mereka.
“Mungkin ia
belum datang ke mari,” berkata yang lain.
“Semalam
putera Ki Demang itu pulang ke kademangan.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Biarlah aku
mencarinya ke kademangan.”
Agung
Sedayu pun segera pergi ke kademangan.
Ia ingin bertemu dengan Swandaru untuk menyampaikan pesan Untara. Untara ingin memperbincangkan
masalah orang-orang Jipang dengan para pemimpin Sangkal Putung. Supaya tidak
terjadi salah paham, maka yang pertama-pertama dikehendaki oleh Untara dan
Widura adalah Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru Geni. Apabila keduanya
dapat mengerti pendirian itu, maka diharap bahwa seluruh penduduk Sangkal
Putung pun akan menerima kehadiran
orang-orang Jipang itu sebagai suatu kewajaran. Sebab orang-orang Jipang itu
tidak akan terlalu lama berada di Sangkal Putung. Mereka segera akan di bawa ke
Pajang. Untuk seterusnya diserahkan kepada kebijaksanaan para pemimpin Pajang. Namun
tidak mudah untuk menjelaskan pendirian itu kepada Ki Demang Sangkal Putung dan
Swandaru Geni. Ketika Agung Sedayu itu datang dengan orang Jipang yang terluka,
maka dengan serta-merta Swandaru telah mengemukakan pendiriannya. Menolak
kehadiran orang itu, apabila Agung Sedayu tidak mengatakannya bahwa apa yang
dilakukan itu atas perintah Kiai Gringsing. Tetapi terhadap keputusan untuk
mengampuni orang-orang Jipang yang jumlahnya tidak hanya satu atau dua, bahkan
tidak hanya sepuluh atau dua puluh, maka untuk meyakinkannya, sehingga anak
muda itu dapat menerima pendirian Untara, bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun
demikian, maka Untara dan Widura harus mencobanya. Kalau mereka gagal, maka
harus ditempuh cara yang lain. Cara yang tidak bertentangan dengan keputusan
bersama dengan Sumangkar, namun tidak melukai hati rakyat Sangkal Putung yang
selama ini telah membantu prajurit Pajang dengan gigihnya.
Ketika Agung
Sedayu sampai di Sangkal Putung, maka yang pertama-pertama menemuinya di muka
regol adalah Sekar Mirah. Gadis yang berwajah riang itu menyambutnya sambil
tersenyum. Baru sehari kemarin mereka tidak bertemu, tetapi rasa-rasanya telah
berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
“Kau tidak
segera datang ke kademangan, Kakang,” berkata Sekar Mirah.
“Aku masih
terlalu sibuk, Mirah”
“Semalam
Kakang Swandaru telah dapat tidur mendengkur di rumah. Apakah kau tidak dapat
datang bersama Kakang Swandaru?”
“Adi Swandaru
pergi tanpa mengajakku. Aku kira adi Swandaru
pun masih berada di banjar bersama anak-anak muda yang lain.”
“Ah,” desah
Sekar Mirah, “kau mengada-ada.”
Agung Sedayu
tersenyum. Ia tidak menjawab lagi. Langsung ia berjalan ke pendapa, menemui Ki
Demang Sangkal Putung.
“Apakah Ki
Demang ada di rumah?” bertanya Agung Sedayu.
“Kenapa kau
cari ayah?”
“Aku
memerlukannya atas pesan Kakang Untara.”
“Kenapa kau
tidak mencari aku?”
“Ah,” Agung
sedayu menarik nafas,
“aku juga
mencarimu, Mirah. Tetapi aku juga ingin menyampaikan pesan Kakang Untara.”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba berkata,
“Kenapa
kakakmu itu tidak saja datang sendiri kemari? Kalau kakakmu semalam datang
kemari selagi kademangan ini masih dipenuhi oleh para pengungsi, maka aku kira
kademangan ini akan runtuh karena pujian yang akan diterimanya. Betapa rakyat
Sangkal Putung berterima kasih kepadanya, karena Kakang Untara telah berhasil
membunuh Macan Kepatihan.”
Agung sedayu
tidak segera menjawab. Tetapi dahinya tampak berkerut.
“Kakang
Sedayu,” berkata Sekar Mirah,
“biarlah
kakakmu itu datang sendiri kemari. Biarlah ia menerima kehormatan yang layak
karena jasanya.”
“Penghormatan
apa yang kau maksud? Apakah orang-orang Sangkal Putung akan berbaris sambil
meneriakkan terima kasih mereka di hadapan Kakang Untara?”
Sekar Mirah
tersenyum mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia menjawab,
“Kalau Kakang
Untara datang tadi malam maka hal yang demikian itu pasti akan terjadi. Semua
orang pasti akan memberikan salam sebagai pernyataan terima kasih mereka. Satu
demi satu. Bahkan mereka yang tidak sempat mendapat sambutan tangan, pasti akan
puas dengan menyentuh bagian-bagian tubuh Untara. Bahkan ujung kainnya
sekalipun.”
“Ah, terlampau
berlebih-lebihan,” sahut Agung Sedayu.
“Rakyat
Sangkal putung adalah rakyat yang mengenal rasa terima kasih. Apakah Kakang
Agung Sedayu tidak ingat lagi, ketika Kakang Agung Sedayu baru saja datang di
kademangan ini? Ketika Kakang Sedayu pergi ke warung di ujung desa? Bukankah
hampir setiap orang laki-laki datang memberi Kakang salam sebagai pernyataan
terima kasih mereka?”
Agung sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Ya,” namun
nada suaranya terlampau dalam. Terkenang olehnya, betapa ia menjadi cemas dan
ketakutan ketika Sidanti datang mengancamnya. Betapa ia menjadi hampir pingsan
karenanya.
“Nah,” berkata
Sekar Mirah,
“sekarang
Kakang Agung Sedayu sebaiknya memanggil Kakang Untara. Kami harus mengadakan
upacara kemenangan.”
“Tetapi tidak
dalam waktu yang singkat ini. Kini Kakang Untara masih menghadapi tugas yang
cukup berat.”
“Bukankah Macan
Kepatihan telah mati?”
“Macan
Kepatihan memang telah mati. Tetapi masih banyak persoalan yang harus dihadapi.
Yang mati adalah seorang saja dari sekian banyak pemimpin prajurit Jipang.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Jadi, maksud
Kakang, bahwa suatu ketika di Sangkal Putung masih mungkin ada pertempuran
lagi?”
Agung sedayu
menganggukkan kepadanya.
“Oh,” wajah
Sekar Mirah menjadi buram.
“Aku kira kita
semua telah bebas dari segala bentuk peperangan.”
“Tetapi bahaya
yang sebenarnya telah menjadi jauh lebih kecil dari masa-masa yang lalu. Namun
Kakang Untara kini menghadapi persoalan yang lain, yang apabila kurang
hati-hati, akan dapat berkembang pula menjadi semakin besar.”
“Soal apakah
itu?”
“Sidanti.”
Terasa
bulu-bulu tengkuk Sekar Mirah menjadi tegak. Nama itu benar-benar
mencemaskannya. Jauh lebih menakutkan dari Macan Kepatihan. Sebab disadarinya,
bahwa Sidanti berkepentingan langsung dengan dirinya. Karena itu, maka wajah
gadis itu pun menjadi bertambah buram.
“Apakah
Sidanti cukup berbahaya? Bukankah ia hanya seorang diri?”
Sedayu
menyesal, bahwa ia telah menyebut nama itu. Dengan demikian ia telah membuat
hati Sekar Mirah menjadi cemas. Karena itu maka dijawabnya untuk menenteramkan
hati gadis itu,
“Jangan cemas.
Sidanti hanya seorang diri. Di Sangkal Putung, ada beberapa orang yang sanggup
melawannya. Kakang Untara, paman Widura dan kini kakakmu Swandaru pun tidak lagi dapat ditamparnya tanpa
perlawanan.”
Dahi Sekar
Mirah masih berkerut, katanya,
“Tetapi aku
dengar guru Sidanti adalah seorang hantu yang sakti.”
“Jangan kau
cemaskan pula” sahut Sedayu,
“guru
kakakmu pun melampaui kesaktian hantu.”
Sekar Mirah
terdiam. Tetapi wajahnya masih juga memancarkan kecemasan hatinya.
“Sekarang, di
mana ayahmu?” bertanya Agung Sedayu.
“Di dalam.
Apakah Kakang Sedayu akan menemuinya?”
“Ya,” sahut
Sedayu
“Aku tidak mau
memanggilkan untukmu.”
“Kenapa?”
“Tidak
apa-apa. Tetapi carilah sendiri.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Sekali ini
Kakang Untara mempunyai keperluan yang penting. Aku agak tergesa-gesa.”
“Urusanku
adalah menyediakan makanan buat kalian. Kalau kau tergesa-gesa mau makan,
makanlah. Aku sudah sedia.”
“Tolong,
panggil ayahmu.”
“Kakang Sedayu
setiap kali pasti hanya akan memberikan beberapa perintah. Sesudah itu pergi
lagi. Kau tidak pernah menyediakan waktu untuk beristirahat untuk
berjalan-jalan menikmati senja di kademangan ini atau melihat-lihat sawah yang
hijau.”
“Masa ini
adalah masa berprihatin, Mirah. Kalau semuanya telah lampau, maka aku pasti akan
berjalan-jalan melihat isi kademangan ini atau pergi ke sawah, tidak saja untuk
melihat-lihat, tetapi aku pandai pula membajak dan menyebar bibit.”
“Omong
kosong,” sahut Sekar Mirah.
“Dalam keadaan
yang serupa, Sidanti dapat menyisihkan waktunya untuk itu.”
Terasa dada
Agung Sedayu berdesir. Wajahnya pun tiba-tiba berubah. Dan tiba-tiba pula ia
menjawab,
“Itulah
bedanya. Beda antara Agung Sedayu dan Sidanti. Mungkin Sidanti dapat menemanimu
berjalan-jalan di sepanjang pematang dalam keadaan yang bagaimanapun juga.
Tetapi Agung Sedayu tidak.”
Sekar Mirah
terkejut mendengar jawaban itu. Terasa bahwa kata-katanya telah terdorong
terlampau jauh. Karena itu maka katanya,
“Maksudku,
bahwa apabila diperlukan waktu itu dapat diluangkan. Kalau aku menyebut Sidanti,
karena Sidanti ternyata dapat juga menyediakan waktu untuk itu.”
“Mudah-mudahan
lain kali aku juga bisa,” sahut Sedayu.
“Tetapi di
mana ayahmu? Aku tergesa-gesa. Mungkin Sidanti tidak pernah berbuat seperti
aku, sebab ia acuh tak acuh saja mengenai perkembangan dan kemajuan keadaan di
Sangkal Putung.”
Wajah Sekar
Mirah menjadi merah. Ia tidak menjawab pertanyaan Agung Sedayu. Tetapi dengan
tergesa-gesa ia melangkah pergi. Tidak masuk ke dalam rumahnya, tetapi justru
keluar regol halaman. Agung Sedayu sedianya tidak dapat berkata sesuatu. Namun
kemudian ia mencoba memanggil,
“Mirah.
Mirah.”
Sekar Mirah
berpaling. Tetapi ia tidak berhenti. Agung Sedayu hanya mendengar gadis itu
berkata,
“Aku akan
pergi ke warung di ujung desa.”
“Bagaimana
dengan Ki Demang ?”
“Masuklah,”
jawabnya.
“Katakanlah
sendiri kepadanya.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu memang terlampau manja. Sambil
menggelengkan kepalanya Agung Sedayu berdesis,
“Terlalu anak
itu.”
Namun
tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar suara tertawa berderai.
Ketika ia berpaling, dilihatnya Swandaru berdiri bertolak pinggang di samping
pendapa. Sekali lagi Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
“Kenapa dengan
anak itu?” bertanya Swandaru.
“Tidak
apa-apa,” sahut Agung Sedayu.
Tetapi suara
tertawa Swandaru menjadi semakin keras. Katanya,
“Kau marah
kepadanya?”
“Terlalu
adikmu itu,” desah Agung Sedayu.
“Begitulah
tabiatnya. Jangan kaget,” sahut Swandaru.
Agung Sedayu
tidak menyahut kata-kata itu, tetapi ia bertanya,
“Dimana Ki
Demang?”
“Di dalam,
bukankah Sekar Mirah juga menjawab begitu?”
“Ya,” sahut
Agung Sedayu,
“aku ingin
bertemu.”
“Marilah.”
Keduanya
kemudian menaiki pendapa dan masuk ke pringgitan. Pringgitan itu sama sekali
masih seperti malam kemarin ketika ia tidur di situ bersama paman dan kakaknya.
Sejenak kemudian Ki Demang pun segera
keluar dari ruang dalam. Sambil tersenyum orang tua itu duduk di samping Agung
Sedayu.
“Apakah Angger
Untara belum sempat kembali ke kademangan?” bertanya Ki Demang.
“Belum hari
ini, Ki Demang,” jawab Sedayu.
“Mungkin besok
atau lusa.”
Ki Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya pula,
“Apakah masih
ada hal yang penting di banjar desa?”
“Orang-orang
Jipang yang terluka itu Ki Demang.”
“Hem,” Demang
Sangkal Putung itu menarik nafas dalam-dalam.
“Angger Untara
memang mencari kesulitan dengan orang-orang Jipang itu. Seperti bujang mencari
momongan. Kenapa tidak dibiarkannya saja orang-orang Jipang itu? Biarlah
kawan-kawannya sendiri yang memelihara mereka. Dengan demikian pekerjaan Angger
Untara tidak menjadi bertambah-tambah. Kini Angger Untara harus mengawasi
sendiri orang-orang Jipang itu supaya mereka tidak mengkhianati kita. Tetapi
juga supaya mereka tidak dibunuh oleh prajurit Pajang sendiri.”
Sebelum Agung
Sedayu menjawab, Swandaru berkata,
“Kalau bukan
orang Pajang, orang Sangkal Putung-lah yang akan membunuh mereka.”
Sedayu
terkejut mendengar jawaban Ki Demang Sangkal Putung, apalagi Swandaru. Ia sama
sekali tidak menyangka bahwa ia akan mendengar jawaban serupa itu. Dahulu pada
saat ia pertama-tama menginjakkan kakinya di kademangan ini, maka yang
mula-mula ditemuinya adalah Ki Demang itu. Dari mulut Ki Demang ia mendengar,
betapa orang tua itu mengutuk perang dan segala macam akibatnya. Kini tiba-tiba
sikapnya menjadi terlampau keras menghadapi lawan. Tetapi Agung Sedayu mencoba
untuk mengerti dan memahami jawaban itu. Selama ini Sangkal Putung benar-benar
mengalami tekanan yang luar biasa kerasnya dari orang Jipang. Hampir setiap
hari orang-orang Sangkal Putung selalu diburu oleh kecemasan, ketakutan dan
kegelisahan. Setiap hari orang-orang Sangkal Putung selalu dibakar oleh
kemarahan yang menyala-nyala di dalam dada mereka. Setiap anak muda Sangkal
Putung setiap hari selalu bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan, bahkan
kemungkinan yang paling pahit sekalipun. Ki Demang Sangkal Putung adalah
seorang Demang yang dekat sekali dengan hati rakyatnya. Setiap hari ia
mendengar apa yang mereka percakapkan. Setiap hari Ki Demang ikut merasakan
apakah yang mereka cemaskan. Itulah sebabnya, maka semuanya itu telah merubah
sedikit demi sedikit tanggapan Ki Demang Sangkal Putung atas kekerasan yang
dihadapinya. Setiap hari ia selalu didorong untuk menyadari bahwa untuk
menyelamatkan Sangkal Putung dari kekerasan orang-orang Jipang, maka Sangkal
Putung perlu mempergunakan kekuatan dan kekerasan. Sehingga akhirnya, Ki Demang
itu terdorong semakin jauh ke dalam sikapnya yang sekarang. Betapa ia setiap
hari menjadi semakin membenci orang-orang Jipang, sumber dari segala macam
kegelisahan, kecemasan dan ketakutan. Tetapi Agung Sedayu tidak boleh hanyut
pula ke dalam sikap yang demikian. Ia sejak semula sependapat dengan sikap
kakaknya. Sudah tentu mereka tidak akan dapat membiarkan orang-orang Jipang
yang terluka terbaring di padang-padang rumput atau di pategalan yang kering
sampai mereka mati dengan sendirinya. Perbuatan yang demikian adalah perbuatan
yang melanggar perikemanusiaan. Sejak ia berada di Sangkal Putung, para
prajurit Pajang selalu bersikap jantan terhadap lawan-lawan mereka yang
terluka. Namun kali ini agaknya telah menjadi jauh berbeda. Korban yang cukup
banyak di pihak Pajang sendiri, telah mendorong orang-orang Pajang untuk
menjadi bertambah membenci dan mendendam. Apalagi anak-anak muda dan
orang-orang Sangkal Putung. Mereka setiap saat merasa terancam nyawa dan
miliknya.
Meskipun
demikian Agung Sedayu tidak berani menyampaikan persoalan itu kepada Ki Demang.
“Biarlah
Kakang Untara sendiri yang mengatakannya,” katanya dalam hati. Sehingga yang terloncat
dari bibirnya adalah,
“Ki Demang,
Kakang Untara kini tidak dapat meninggalkan banjar desa. Mungkin sampai besok
atau lusa. Tetapi Kakang Untara sangat ingin bertemu dengan Ki Demang. Apakah
Ki Demang dapat pergi ke banjar desa?”
Ki Demang
Sangkal Putung mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu. Namun ia
menyadari, bahwa meskipun bagi Sangkal Putung ia adalah seorang pemimpin
tertinggi, tetapi Untara adalah seorang senapati dari Pajang, yang bahkan
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari Widura, penguasa Pajang di daerah Sangkal
Putung. Dalam keadaan seperti saat itu, di mana Sangkal Putung diliputi oleh
suasana perang, maka kedudukan penguasa prajurit adalah melampui kekuasaan
demang itu sendiri. Karena itu, maka permintaan Untara itu sebenarnya adalah perintah
baginya, bahwa ia harus datang ke banjar desa. Ki Demang itu pun kemudian
menjawab,
“Baiklah
Ngger. Aku akan segera datang ke banjar desa, setelah aku menyelesaikan
pekerjaanku di sini. Tetapi apakah kira-kira keperluan Angger Untara memanggil
aku?”
Agung sedayu
ragu-ragu sesaat. Tetapi ia tidak berani mendahului kakaknya. Maka jawabnya,
“Aku kurang
tahu, Paman. Tetapi menurut pesan Kakang Untara, Ki Demang dan Adi Swandaru
diharap menemuinya di banjar desa.
“Baiklah,”
sahut Ki Demang kemudian,
“aku akan
segera pergi, setelah aku menyelesaikan beberapa pekerjaan di sini.”
Agung
Sedayu pun kemudian mohon diri
mendahului bersama Swandaru Geni. Mereka bersama ingin juga bertemu dengan guru
mereka. Mungkin ada rencana yang harus mereka lakukan hari itu. Di halaman
mereka bertemu dengan Sekar Mirah. Gadis itu sama sekali tidak pergi ke warung.
Sehingga karena itu maka Agung sedayu berkata,
“Mirah,
ternyata kau tidak pergi ke warung.”
Sekar Mirah mencibirkan
bibirnya. Jawabnya,
“Tidak. Aku
memang tidak ke warung.”
“Tetapi kau
bilang, bahwa kau akan pergi ke warung.”
“Tak ada kawan
yang mengantarkan aku,” jawabnya.
Swandaru
tertawa sampai tubuhnya terguncang-guncang. Katanya,
“Sebaiknya kau
berterus terang Mirah. Bukankah kau ingin Kakang Agung Sedayu mengantarkanmu.”
“Siapa bilang?
Siapa bilang?” sahut Sekar Mirah cepat-cepat.
Swandaru masih
tertawa, katanya seterusnya,
“Itu pun kau
belum berterus terang. Seharusnya kau berkata kepada Kakang Agung Sedayu untuk
mengantarkanmu berjalan-jalan. Tidak ke warung atau ke mana saja.”
“Bohong!
Bohong!” teriak Sekar Mirah.
Swandaru
tertawa puas. Tetapi Agung Sedayu berdesis,
“Kau selalu
mengada-ada Adi Swandaru.”
Tapi Swandaru
itu pun kemudian terpekik kecil ketika Sekar Mirah mencubit lengannya.
“Awas kau
Kakang Swandaru. Aku tidak mau menyisihkan brutu ayam untukmu lagi.”
“Oh,” Swandaru
itu pun tiba-tiba seperti teringat sesuatu. Ditariknya lengan Agung Sedayu
dengan tergesa-gesa.
“Mari ikut
aku.”
“Kemana?”
bertanya Agung Sedayu.
Swandaru tidak
menjawab, tetapi ditariknya saja tangan Agung Sedayu.
“Mau kemana
kalian?” bertanya Sekar Mirah.
Swandaru tidak
juga menjawab. Bahkan ditariknya Agung Sedayu semakin cepat.
“Kemana?”
sekali lagi Agung Sedayu bertanya.
Namun Swandaru
masih saja berdiam diri. Tetapi Agung Sedayu kemudian mengerti dengan
sendirinya maksud Swandaru itu. Mereka berdua ternyata hilang di balik pintu
dapur.
“Kau pasti
belum makan. Nah, daripada kau menunggu rangsum dikirim ke banjar desa, ayo,
aku pun belum makan.”
Agung Sedayu
menjadi tersipu-sipu ketika ia melihat ibu Swandaru, Nyai Demang Sangkal
Putung.
“Marilah
Ngger, makanlah,” ia mempersilahkan.
“Jangan
malu-malu,” desis Swandaru yang segera membuka tenong.
“Di mana brutu
ayamku?”
Yang datang
kemudian sambil berlari-lari adalah Sekar Mirah. Masih di pintu ia berteriak,
“Jangan
ditunjukkan.”
Tetapi Sekar
Mirah menjadi kecewa, sebab Swandaru telah menggenggam sepotong brutu goreng.
“Setan,” desah
Sekar Mirah.
“Kau tahu juga
tempatnya.”
Swandaru tidak
menjawab. Tetapi tangannya telah memegang semangkuk nasi. Dituangkannya seirus
sayur ke dalamnya dan dengan lahapnya ia mulai mengunyah sesuap demi sesuap. Tetapi
Agung Sedayu tidak dapat berbuat seperti Swandaru yang berada di rumah sendiri.
Ia masih saja duduk sambil mengawasi saudara seperguruannya itu makan. Alangkah
enaknya. Karena itulah maka tubuh Swandaru dapat menjadi gemuk bulat seperti
telur raksasa.
“Silahkan
Ngger,” ibu Swandaru mempersilahkan.
“Mirah,”
katanya kepada anak gadisnya,
“kenapa kau
tidak segera mempersilahkan Kakangmu Agung Sedayu makan. Ambillah mangkok dan
layanilah.”
Sambil
bersungut-sungut Sekar Mirah melakukan perintah ibunya. Namun dengan sengaja
dituangkannya sayur lombok banyak-banyak ke dalam mangkuk Agung Sedayu.
Sehingga ketika Agung Sedayu mulai mengunyah peluhnya segera mengalir dari segenap
lubang-lubang kulitnya.
“Terlalu benar
Sekar Mirah,” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah
katapun.
Ketika
Swandaru melihat Agung Sedayu kepedasan, maka kembali suara tertawanya berderai
memenuhi dapur.
“Minumlah. Di
tlundak itu ada kendi,” katanya.
Agung Sedayu
mengangguk. Tetapi ia tidak segera berdiri. Demikianlah setelah mereka selesai
makan, segera berdiri pergi ke banjar desa. Ternyata Swandaru tidak terlalu
lama menunggu ayahnya. Sejenak kemudian Ki Demang pun segera datang pula.
Dipersilahkannya
mereka berdua memasuki ruangan dalam. Di dalam ruangan itu telah duduk menunggu
Untara, Widura, Ki Tanu Metir dan kemudian duduk pula bersama mereka, Agung
Sedayu. Sesaat Untara menjadi ragu-ragu untuk mengatakan maksudnya. Apakah
waktunya sudah tepat, apabila Ki Demang itu diajaknya berbincang-bincang
mengenai orang-orang Jipang? Tetapi Untara tidak mempunyai waktu terlampau
lama. Lima hari sejak pembicaraannya dengan Sumangkar, segalanya harus sudah terlaksana.
Semakin cepat bagi Untara sebenarnya semakin baik. Juga bagi Sumangkar, semakin
cepat semakin baik. Apabila Sumangkar harus menunggu terlampau lama, maka
segala kemungkinan dapat terjadi. Mungkin beberapa bagian dari orang-orangnya
berubah pendirian, mungkin mereka akan mengalami kekurangan makan dan mungkin
Sanakeling dengan orang-orang Ki Tambak Wedi yang mendendam akan datang
menghancurkan mereka. Karena itu, maka dengan sangat hati-hati akhirnya Untara
menyampaikan maksudnya pula. Ki Demang Sangkal Putung mendengarkan setiap
kata-kata Untara dengan penuh perhatian. Sekali-sekali ia mengangguk-anggukkan
kepalanya, namum di saat lain wajahnya tampak berkerut-kerut. Swandaru yang
duduk di samping ayahnya tiba-tiba menjadi gelisah.
“Jalan itu,
bagiku adalah jalan yang sebaik-baiknya, Ki Demang,” berkata Untara itu
kemudian,
“kecuali
sejalan dengan pesan Ki Ageng Pemanahan, maka cara itu adalah cara yang paling
hemat bagi kami. Korban akan dapat dibatasi, dan tugas kita pun akan segera
selesai.”
Yang pertama-tama
menjawab adalah Swandaru.
“Kakang
Untara, bukankah laskar Jipang itu telah terpecah-belah? Apalagi sepeninggal
Macan Kepatihan, tidak ada orang yang dapat mengantikan kedudukannya. Bukankah
dengan demikian kita akan lebih mudah menghancurkannya dengan kekerasan?
Mula-mula kita hancurkan laskar Jipang yang bersembunyi di dalam hutan,
kemudian kita datangi padepokan Ki Tambak Wedi.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sareh ia menjawab,
“Swandaru,
kenapa mesti dengan kekerasan?”
“Kita berada
di pihak yang kuat Kakang,” sahut Swandaru,
“kenapa kita
mesti menerima persetujuan itu? Dengan mengorbankan beberapa kemungkinan yang
akan dapat mengangkat nama Kakang Untara sendiri sebagai seorang senapati?
Dengan menerima persetujuan itu, seolah-olah kita tidak cukup mampu untuk
menghancurkan sisa-sisa laskar Jipang itu dengan kekerasan.”
“Ya,” Untara
mengulangi,
“kenapa mesti
dengan kekerasan? Adi Swandaru, yang penting bagi Pajang adalah penyelesaian
atas peristiwa antara Jipang dan Pajang. Apabila peristiwa ini dapat
diselesaikan dengan tanpa pertumpahan darah maka kenapa kita mesti
mempergunakan kekerasan?”
“Jadi apakah
kita harus menyerah saja terhadap orang-orang Jipang itu?” bertanya Swandaru.
“Dengan
demikian kita akan menghindarkan pertumpahan darah.”
Untara
menggigit bibirnya. Dengan cepat Ki Demang Sangkal Putung berkata,
“Maksudnya
Ngger, maksud Swandaru, kalau perlu kita harus berani mempergunakan kekerasan.
Bukankah korban telah banyak yang jatuh? Di saat-saat terakhir, ketika kita seakan-akan
tinggal menginjak kekuatan mereka di bawah telapak kaki kita, kita menerima
mereka dengan kedua belah tangan, seolah-olah kita harus melupakan saja apa
yang telah pernah terjadi?”
“Bukan begitu
Ki Demang,” sahut Untara. Sekilas ia memandangi wajah pamannya. Namun Widura
menundukkan kepalanya, seolah-olah sengaja ia menghindari tatapan mata Untara.
“Kita tidak
membebaskan mereka dari segenap tanggung jawab,” kata Untara kemudian,
“tetapi kita
menerima orang-orang Jipang yang akan menyerah. Kita tidak membuat persetujuan
apapun, kecuali menerima penyerahan orang-orang Jipang itu. Kita tidak membuat
jaminan apa pun kepada mereka, kecuali janji untuk memperlakukan mereka seperti
seharusnya bagi prajurit-prajurit lawan yang menyerah.”
“Mereka tidak
pernah berpikir sedemikian baik, Ngger,” berkata Ki Demang.
“Coba, apakah
yang telah mereka lakukan pada saat pertentangan ini meledak? Tanpa
disangka-sangka, maka Sunan Prawata terbunuh. Kemudian Pangeran Hadiri. Bahkan
Adipati Adiwijaya sendiri hampir-hampir terbunuh pula. Sesudah itu ratusan
korban berjatuhan.”
“Itulah bedanya,
Ki Demang,” sahut Untara.
“Itulah
bedanya. Orang-orang itu berbuat tanpa pengekangan diri, seolah-olah mereka
dapat melakukan apa saja sekehendak hatinya. Kita adalah orang-orang yang
beradab. Kita merasa bahwa perbuatan kita harus kita pertanggungjawabkan. Tidak
saja terhadap sesama manusia, tetapi juga kepada Sumber kekuatan kita. Tuhan
Yang Maha Esa. Namun demikian Ki Demang. Mereka yang tidak mau menyerahkan
dirinya dalam kesempatan ini seperti Sanakeling, Alap-alap Jalatunda dan
beberapa bagian dari laskarnya, maka mereka pasti akan kita hancurkan. Hancur
dalam pengertian yang sebenar-benarnya.
Ki Demang
Sangkal Putung tidak menjawab. Ketika Untara melihat wajahnya, Ki Demang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Mudah-mudahan
Ki Demang dapat mengerti,” berkata Untara di dalam hatinya. Namun yang bertanya
kemudian adalah Swandaru.
“Lalu
bagaimana sikap kita terhadap mereka yang menyerah? Apakah mereka kita biarkan
saja kembali ke tempat mereka, atau kita biarkan sekehendak hati mereka, apa
pun yang akan mereka lakukan?”
“Tentu tidak,
Swandaru,” sahut Untara.
“Mereka berada
dalam pengawasan. Jasmaniah dan rohaniah.”
Sejenak
ruangan itu menjadi sepi. Masing-masing mencoba memandang persoalan itu menurut
segi dan kepentingan masing-masing. Namun terasa bahwa sebagian besar dari
pendirian Untara dapat dimengerti oleh Ki Demang Sangkal Putung. Meskipun
demikian, masih terdengar Swandaru berdesis,
“Kita
terlampau baik hati. Mereka suatu ketika akan menelan kita kembali.”
“Para perwira
Wira Tamtama akan memperhitungkan persoalan itu Swandaru,” sahut Untara.
“Mudah-mudahan
hal itu tidak akan sempat terjadi.”
Kembali mereka
yang duduk di ruangan itu terdiam. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya tanpa berkata sepatah katapun. Sekali-sekali orang tua itu memandang
wajah Widura, namun pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung itu masih
menundukkan kepalanya. Berbagai persoalan berkecamuk di dalam kepalanya.
Meskipun kemudian ia sependapat dengan Untara, bahwa apa yang dilakukan itu
setidak-tidaknya akan mengurangi pekerjaannya, namun telah terbayang di dalam
angan-angannya, suatu pekerjaan baru yang tidak kalah pentingnya. Ki Tambak
wedi, Sidanti, Sanakeling dan laskarnya. Kemudian, ketika tidak ada persoalan
yang dibicarakan lagi mengenai dasar-dasar penyerahan orang-orang Jipang itu,
maka sampailah mereka pada perjalan pelaksanaan dari penyerahan. Meskipun Ki
Demang pada dasarnya dapat mengerti pikiran Untara, namun bagaimanapun juga ia masih
dihinggapi oleh berbagai keragu-raguan. Karena itu maka ia berkata,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar