“Tentu aku tidak tahu,” Jawab ki Tambak Wedi.
“Tetapi aku
kira mereka adalah orang-orang Pajang.”
“Apakah yang
akan mereka lakukan?”
“Tidak tahu,
apa kau sangka orang-orang Pajang mengatakan kepadaku apa yang akan dilakukan?”
Sahut Tambak Wedi jengkel.
Sidanti
terdiam. Namun getar di dadanya menjadi kian cepat dan keras seperti suara
derap kuda yang semakin cepat dan keras menghentak telinganya. Karena itu
tiba-tiba ia berkata,
“Kalau benar orang-orang
itu orang Pajang, biarlah aku mencoba mencegatnya. Mereka harus dibinasakan
sebelum kami membakar rumah-rumah orang Sangkal Putung.”
“Jangan,”
Potong Ki Tambak Wedi.
“Hal itu akan
dapat mengganggu pekerjaan kita. Kalau mereka peronda-peronda keliling, maka
kelambatan mereka akan menimbulkan kecurigaan. Mungkin kawan-kawannya akan
mencari dan penjagaan akan menjadi bertambah kuat. Biarlah mereka lewat.”
“Bukankah
pembunuhan itu akan berakibat sama seperti apabila kita membakar rumah-rumah
mereka?”
“Apakah kalau
kita membakar rumah-rumah mereka dan kemudian bertempur melawan mereka, mereka
tidak akan mengenal kita?”
“Itulah
sebabnya, kalian harus segera melarikan diri sebelum terjadi pertempuran.
Supaya mereka tidak sempat mengenal kita. Seandainya terpaksa mereka mengenal,
mereka tidak cukup punya waktu untuk memperbincangkan. Kiai Gringsing tidak
mempunyai kesempatan untuk sesorah dan mengatakan bahwa Sanakeling dan
Sumangkar mempunyai pendirian yang berbeda. Mereka pasti menyangka, bahwa
semuanya telah direncanakan oleh orang-orang Jipang. Sebagian pura-pura
menyerah, sebagian menye-rang ketika orang-orang Pajang sedang lengah. Yang
pura-pura menyerah itu pun kemudian pasti akan menyerang pula.”
“Selisih waktu
itu tidak seberapa.”
“Yang tidak
seberapa itu penting dalam peperangan. Tetapi selisih waktu itu cukup panjang.
Ingat, sekarang hari masih gelap. Kita harus mulai dengan gerakan kita masuk ke
padesan. Kita masih harus bersembunyi, kemudian Sanakeling merebut salah sebuah
gardu, dan kita mendengar tanda bahaya. Pada saat itu, kita membakar
rumah-rumah itu. Baru sejenak kemudian datang orang-orang Pajang dan kita lari.
Mereka mengejar kita beberapa lama, sampai kita menghilang di rumpun-rum pun
bambu liar itu, saat itu harus sudah mendekati tengah hari. Saat itu kita
mengharap orang-orang Jipang sudah di perjalanan dan dekat ke desa Benda. Kau
tahu akibatnya, Untara tidak sempat berpikir dan mengendalikan anak buahnya.
Kalau cukup waktu baginya, maka ia akan datang menjemput orang-orang Jipang itu
setelah ia menenangkan anak buahnya atas jaminan Kiai Gringsing.”
Sidanti tidak
menjawab. Tetapi ia mematuhi perintah gurunya. seperti juga Sanakeling harus
mematuhinya.
“Perintahkan
orang-orangmu bersembunyi,” berkata Ki Tambak Wedi kepada Sanakeling.
Sanakeling pun segera melakukan perintah itu.
Orang-orangnya pun segera diperintahkan
berlindung di balik dedaunan. Bahkan beberapa orang dengan enaknya
berbaring-baring di atas rerumputan.
Kata mereka di
dalam hati,
“Dalam gelap
ini, mereka pasti tidak akan melihat kami, asalkan kami tidak bergerak-gerak.”
Sesaat
kemudian derap kuda itu pun telah dekat benar. Mereka segera melihat
samar-samar di jalan di pinggir tegalan itu, berpacu lima ekor kuda.
Orang-orang berkuda itu sama sekali tidak menghiraukan apa yang sedang terjadi
di tegalan itu. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa lima puluh pasang mata
memandangi mereka dengan nyala kebencian di dalam hati mereka.
Ketika kuda
itu telah lewat, segera Sidanti berdiri sambil bergumam,
“Salah seorang
adalah Sonya. Ingin aku mematahkan lehernya dan menyobek mulutnya. Ia adalah
salah seorang penghubung yang dekat dengan paman Widura.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata perlahan-lahan seperti
kepada diri sendiri,
“Mereka tidak
sedang meronda.”
Sidanti
memandang gurunya dengan tajamnya. Katanya,
“Ya, mereka
agaknya tidak sedang meronda. Kalau guru tidak mencegah, mereka dapat kami
tangkap dan kami paksa untuk mengatakan, untuk apa mereka berpacu di pagi-pagi
buta ini.”
Ki Tambak Wedi
tidak menjawab. Pendapat itu baik juga, tetapi sudah terlanjur. Kelima orang
berkuda itu sudah terlampau jauh. Karena itu kemudian Ki Tambak Wedi itu
berkata,
“Sekarang
siapkan diri masing-masing, kita mulai bergerak. Kita harus masuk ke desa
terdekat sebelum matahari naik. Jaga supaya tidak seorang pun melihat kita masing-masing.
Bersembunyilah di dalam rumpun-rum pun bambu atau di tengah-tengah kebun-kebun
yang luas, di antara tanaman-tanaman liar yang rimbun, jangan tergesa-gesa
berbuat sesuatu sebelum kalian mendengar tanda bahaya, supaya kalian dapat
berbuat serentak.”
Orang-orang
Jipang itu pun segera berkelompok-kelompok. Mereka telah siap melakukan tugas
mereka sebaik-baiknya.
Sesaat
kemudian maka mereka telah berada di jalan yang dilewati oleh Sonya dan keempat
kawannya. Orang-orang itu pun memandangi ke segala arah, kalau-kalau ada
sesuatu yang akan mengganggu tugas mereka. Tetapi yang mereka lihat adalah
sisa-sisa malam yang hitam. Meskipun di langit sudah membayang warna-warna
merah, namun warna-warna yang kelam masih mentabiri pandangan mata mereka. Ki
Tambak Wedi yang juga sudah berdiri di tengah jalan berkata,
“Kita
mendekati Sangkal Putung lewat jalan ini. Tetapi kemudian apabila kita sudah
mendekati desa di ujung bulak itu, kita akan berpencaran. Kita akan mencari
jalan kita sendiri-sendiri untuk memasuki desa itu. Ingat segala perintah yang
sudah kau dengar baserta segala petunjuknya. Siapa yang menyalahi perintah itu
akan menerima hukumannya”
Yang mendengar
kata-kata Ki tambak Wedi itu mengerutkan keningnya. Tohpati tidak pernah
memberi mereka ancaman seperti Ki Tambak Wedi. Namun mereka tidak sempat untuk
memikirkannya. Sebab Ki Tambak Wedi kemudian berkata,
“Kita akan
segera berangkat.”
Ki Tambak Wedi
itu pun kemudian segera berjalan mendahului orang-orangnya. Di sampingnya
berjalan Sidanti. Sanakeling berjalan bersama dengan kelompoknya yang terdiri
dari enam orang. Mereka harus langsung menuju ke gardu di ujung jalan yang
memasuki desa di hadapan mereka, setelah kawan-kawannya berbasil menyusup ke
dalam desa itu. Begitu tiba-tiba supaya orang-orang di gardu itu tidak sempat
memukul tanda bahaya. Orang-orangnyalah yang nanti setelah datang saatnya harus
membunyikan tanda itu. Sedang para peronda di dalam gardu itu harus dimusnahkan.
Orang-orang
yang lain, berjalan dalam kelompoknya masing-masing, lima atau enam orang. Di
antaranya adalah kelompok yang dipimpin langsung oleh Alap-alap Jalatunda. Ki
Tambak Wedi dan orang-orang Jipang itu pun kemudian berjalan mendekati Sangkal
Putung. Sesaat kemudian mereka telah berada di tengah-tengah bulak persawahan.
Tetapi karena hari malam cukup gelap, mereka tidak takut seandainya ada
orang-orang Sangkal Putung yang melihat mereka. Baru setelah nanti mereka
mendekati desa yang terbentang di hadapan mereka, maka mereka akan berpencaran
dan sambil merunduk-runduk berjalan di antara batang-batang jagung di sawah
mendekati desa itu. Tanpa berbicara sepatah kata pun mereka berjalan. Di ujung depan adalah Ki
Tambak Wedi sendiri, sedang di ujung belakang adalah Sanakeling dan kelima
kawan-kawannya. Langit yang merah menjadi semakin merah. Ketika Ki Tambak Wedi
menengadahkan wajahnya, ternyata fajar telah hampir pecah. Karena itu maka ia
bergumam,
“Kita hampir
terlambat. Percepat perjalanan yang pendek ini.”
Perintah itu
meloncat dari kelompok ke kelompok di belakangnya, sehingga akhirnya sampai
juga ke telinga Sanakeling. Sehingga iring-iringan itu pun kemudian maju lebih
cepat dari sebelumnya. Tetapi tiba-tiba salah seorang di dalam kelompok
Sanakeling dengan serta merta menggamitnya sambil berkata,
“Kakang
Sanakeling. Lihatlah, di belakang kita ada obor berjalan searah dengan
perjalanan kita.”
Sanakeling pun segera berpaling. Dan seperti yang
dikatakan oleh orangnya itu, di belakang mereka tampak beberapa buah obor yang
berjalan menuju ke Sangkal Putung pula. Karena itu, maka langkahnya tertegun.
Sambil bertolak pinggang ia berkata,
“Siapakah
mereka itu?”
Tak seorang
pun yang menyahut.
“Hanya empat
buah obor,” desisnya kemudian.
“Ya, empat
buah obor,” sahut salah seorang anak buah.
“Tetapi tidak
berarti bahwa yang berjalan itu hanya empat orang,” berkata Sanakeling
kemudian.
“Ya,” sahut
kawan-kawannya hampir serentak.
“Beritahukan
Ki Tambak Wedi,” berkata Sanakeling kemudian. la menjadi heran sendiri terhadap
dirinya. Tanpa dikehendakinya ia telah menempatkan diri di bawah pimpinan orang
tua itu. Kini ia tidak dapat mengambil keputusan sendiri, meskipun ialah
sebenarnya pemimpin dari orang-orang Jipang itu. Orang yang diperintahkan itu
pun segera berlari-lari mendahului kawan-kawannya. Ketika kawan-kawannya itu
bertanya maka dijawabnya,
“Ki Tambak
Wedi harus tahu, di belakang kami ada obor.”
Serentak
orang-orang itu pun berpaling. Dan segera mereka pun melihat pula obor-obor
itu. Hanya empat buah.
Ketika Ki
Tambak Wedi mendengar laporan itu, maka segera ia pun berhenti. Bahkan kemudian ia berjalan
kembali, menemui Sanakeling yang berada di ujung belakang. Katanya,
“Sejak kapan
kalian melihat obor-obor itu?”
“Baru saja
Kiai.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya,
“Mereka pasti
baru saja muncul dari balik tikungan. Ya, di sebelah itu ada tikungan. Di
sebelah timur tegalan tempat kita beristirahat.”
Yang mendengar
kata-kata itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Iring-iringan itu pun
kini telah berhenti. Bahkan beberapa orang telah berjalan kembali dan berdiri
di sekitar Ki Tambak Wedi dan Sanakeling. Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu berkata,
“Obor itu
terlampau tinggi dan terlampau cepat bagi orang yang berjalan kaki.”
“Ya,” sahut
Sanakeling serta merta. Katanya pula,
“Empat orang
itu pasti berkuda, tetapi perlahan-lahan, sehingga derapnya belum kita dengar.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan kemudian mereka melihat keempat obor itu
berhenti, meskipun masih juga bergerak-gerak tetapi tidak maju lagi ke arah
mereka.
Terdengar Ki
Tambak Wedi menggeram. Apalagi ternyata kemudian bahwa langit telah menjadi
semakin cerah. Obor-obor itu terasa sangat mengganggu perasaan orang tua itu. Tetapi
Ki Tambak Wedi tidak segera dapat mengambil suatu sikap. Orang-orang yang
membawa obor itu telah menimbulkan persoalan baru yang tidak disangka-sangka.
Apabila mereka bersembunyi di balik-balik pematang, mungkin orang-orang itu
tidak akan melihat mereka, tetapi dengan demikian hari akan menjadi semakin
terang. Mereka akan menemukan banyak kesulitan untuk menerobos masuk ke dalam
padesan tanpa diketahui. Orang-orang Jipang yang berdiri mengerumuni Ki Tambak
Wedi itu pun menjadi gelisah pula. Mereka menunggu apa yang harus mereka lakukan
menghadapi keadaan yang tiba-tiba itu. Sekali Ki Tambak Wedi berpaling, melihat
bayangan padesan di ujung bulak itu yang semakin lama menjadi semakin jelas,
sejalan dengan hatinya yang semakin gelisah.
Tiba-tiba orang
tua itu menggeram, katanya,
“Kita belum
tahu berapa jumlah mereka kecuali yang membawa obor itu.”
Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya, gumamnya,
“Kita
dihadapkan pada keadaan yang sulit.”
Dada
Sanakeling berdesir mendengar kata-kata itu, sehingga akalnya yang terlampau
pendek menjadi bingung menghadapi keadaan. Dengan serta merta ia melanjutkan,
“Apakah Kiai
segera dapat menemukan cara yang sebaik-baiknya tanpa kebingungan.”
Ki Tambak Wedi
menggeram. Tetapi segera ia berusaha menahan perasaaannya. Keadaan yang
dihadapi benar-benar sulit. Kini obor-obor itu mulai bergerak lagi maju
mendekati Sangkal Putung. Tetapi sejenak kemudian, maka obor-obor itu pun
dipadamkan. Kembali Tambak Wedi menggeram. Kini mereka telah dapat melihat
ujung-ujung kaki sendiri di atas tanah yang kehitam-hitaman. Sedang di langit
cahaya yang terang menjadi semakin terang.
“Gila,” Ki
Tambak Wedi itu mengumpat. Tiba-tiba ia berteriak,
“Kita masuk ke
Sangkal Putung dengan tiba-tiba. Tidak dengan sembunyi-sembunyi. Kita langsung
menyerang gardu peronda. Biarlah mereka membunyikan tanda bahaya. Yang lain
membakar rumah. Dengan demikian kita tidak lagi tergesa-gesa meskipun kemudian
hari menjadi terang. Sekarang kita bersembunyi. Cepat, aku sudah mendengar
derap kuda. Terlampau banyak, tidak hanya lima atau enam ekor. Kalau jumlah
mereka tidak melampaui jumlah kita, kita akan menyergapnya. Orang-orang itu
pasti orang Pajang yang datang, langsung dari kota untuk menyaksikan penyerahan
orang-orang Jipang. Sonya dan kawan-kawannya tadi pasti menyongsong orang itu.
Kita akan melihat siapakah yang menjadi wakil penglima Wira Tamtama. Bahkan
seandainya Pemanahan sendiri datang, aku akan melawannya. Ia bagiku sama sekali
tidak berarti. Sedang di dalam pasukan kita kini ada senapati-senapati
terpilih. Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, dan Sidanti di samping
pemimpin-pemimpin kelompok dan para prajurit terpilih. Pajang tidak akan
membawa senapati sebanyak itu. Nah, sekarang cepat bersembunyi di balik-balik
pematang. Kalau tiba saatnya aku akan memberikan tanda. Kalau kalian mendengar
tanda, maka berarti kalian harus menyerang orang-orang Pajang itu. Jangan ada
yang sempat lolos.”
Orang-orang
Jipang itu mendengar perintah Ki Tambak Wedi dengan jelas. Sebagai prajurit,
perintah itu pun segera dapat mereka mengerti. Dengan demikian, maka segera
mereka menghambur terjun ke dalam sawah-sawah dan parit-parit untuk bersembunyi
di balik tanam-tanaman jagung dan di balik pematang-pematang.
Tetapi derap
kuda yang mendatang ternyata terlampau cepat. Dari dalam gelap yang semakin
menipis mereka melihat serombongan orang-orang berkuda, meskipun tidak berpacu,
tetapi cukup cepat mendekati Sangkal Putung. Seandainya fajar tidak segera
pecah di Timur, maka orang berkuda itu tidak akan dapat melihat beberapa orang
yang terakhir dari orang-orang Jipang itu meloncat masuk ke dalam rimbunnya
batang-batang jagung muda. Tetapi hari menjadi semakin terang. Meskipun jarak
mereka belum terlampau dekat, namun orang-orang berkuda itu sempat melihat apa
yang terjadi di tengah-tengah bulak itu. Seorang yang berada di ujung segera
mengangkat tangannya. Serentak mereka yang berada di dalam iring-iringan orang
berkuda itu memperlambat jalan kuda mereka. Tetapi sesaat kemudian mereka telah
tidak melihat apa-apa lagi. Di tengah-tengah bulak itu telah menjadi sepi. Namun
kesan yang mereka peroleh adalah, ada sesuatu yang mencurigakan. Mereka melihat
beberapa orang yang terakhir dari kelima puluh orang Jipang itu bersembunyi. Tetapi
seorang yang sudah setengah umur, yang berada di atas punggung kuda yang
kehitam-hitaman berkata dengan tenang,
“Kita berjalan
terus.”
Orang yang di
ujung barisan itu mengangguk tanpa menjawab sepatah katapun. Kembali kuda itu
berjalan agak cepat. Orang setengah umur yang berada di belakang orang di ujung
barisan itu berkata pula,
“Di mana
penghubung yang dikirim Untara?”
Sonya dan
keempat kawannya segera mendesak maju, mendekati orang setengah umur itu.
“Pergilah
lebih dahulu berdua. Sampaikan kepada Untara bahwa sebentar lagi aku akan
memasuki Sangkal Putung.”
Sonya
mengangguk dalam-dalam. Kemudian bersama seorang kawannya ia berpacu mendahului
rombongan itu.
Ki Tambak Wedi
yang bersembunyi di dalam rimbunnya batang-batang jagung muda melihat dua ekor
kuda mendahului kawan-kawannya. Kembali ia menjadi bimbang. Apakah yang akan
dilakukan atas kedua orang berkuda itu? Apakah kedua orang itu telah melihat
kehadiran mereka, kemudian melaporkan kepada Untara dan Widura? Dalam sekejap
Ki Tambak Wedi yang mengintip dari balik tanggul parit membuat perhitungan.
Ketika ia yakin bahwa orang berkuda yang sudah nampak semakin jelas dari balik
tanggul parit itu, tidak lebih dari duapuluh lima orang, tiba-tiba ia berdiri
tegak. Kepalanya ternyata masih melampui tinggi batang-batang jagung itu,
sehingga dengan demikian Ki Tambak Wedi menjadi yakin, bahwa yang dihadapinya
hanya separo dari kekuatannya. Karena itu tiba-tiba ia berteriak,
“Hentikan
kedua orang Itu.”
Sonya dan
seorang temannya terkejut bukan kepalang. Ketika tiba-tiba mereka melihat
sebuah kepala muncul dari dalam batang-batang jagung muda. Tetapi jarak mereka
telah terlampau dekat sehingga tidak ada kesempatan lagi untuk menghindar. Belum
lagi mereka dapat menguasai keadaan, tiba-tiba beberapa orang lagi berloncatan
dari balik batang-batang jagung, dari balik pematang dan tanggul-tanggul parit.
Sesaat Sonya dan kawannya menjadi bingung. Tetapi sesaat kemudian Sonya
berbisik,
“Kembali dan
laporkan, aku akan terus melaporkannya ke Sangkal Putung.”
Sonya tidak
menunggu Iebih lama lagi. Segera ia menarik kekang kudanya, menyentuh perut
kuda itu dengan tumitnya dan kemudian kuda itu meloncat dengan garangnya,
berpacu lagi ke Sangkal Putung.
Beberapa orang
Jipang telah hampir mencapai jalan tempat kuda itu berlari. Tetapi kuda itu
berjalan terlampau cepat, sehingga Ki Tambak Wedi yang berdiri tegak di pinggir
parit induk yang agak lebar berteriak,
“Cepat! Jangan
seperti keong yang malas.”
Orang-orang
Jipang itu berloncatan. Sidanti yang menyimpan kebencian di dalam dadanya pun berusaha secepatnya sampai ke jalan.
Tetapi Sonya pun berusaha untuk mendahului
orang-orang yang mencegatnya. Tak seorang pun yang menghiraukan kawan Sonya
yang memacu kudanya kembali ke iring-iringan yang sudah semakin dekat. Yang
penting bagi mereka adalah, Sonya tidak boleh lolos, supaya orang-orang Sangkal
Putung tidak segera mengetahui apa yang telah terjadi. Tetapi Sonya pun tidak mau jalannya terhenti. Ia harus
dapat melampaui orang-orang itu, apa pun yang terjadi atas dirinya. Karena itu
ia sama sekali tidak menghiraukan ketika beberapa ujung pedang seakan-akan
menyongsongnya. Tetapi ia mengharap bahwa kudanya mampu meloncat melampaui
kecepatan loncatan orang-orang yang kini sudah berada di sisi parit di tepi
jalan. Tetapi Sonya terlambat sekejap. Ketika kudanya melampaui orang-orang
Jipang itu, salah seorang dari mereka telah sempat meloncat sampai ke tepi
jalan. Dengan garangnya orang itu berteriak sambil mengayunkan pedangnya ke
arah lambung Sonya. Sonya melihat ujung pedang yang menyambarnya. Ia adalah
seorang penghubung yang terlatih, sehingga dengan demikian ia pun adalah
seorang penunggang kuda yang baik. Dengan sigapnya ia menjatuhkan dirinya dan
bergayut di punggung kudanya pada sisi yang lain dari arah pedang itu. Usahanya
itu pun ternyata menolongnya pula, namun tidak seluruhnya. Pedang itu masih
juga sempat menyobek pahanya sehingga sebuah luka jang panjang tergores
melintang. Sonya mengaduh pendek. Namun kudanya berlari terus.
“Gila!” teriak
Ki Tambak Wedi dengan marahnya ketika ia melihat bahwa Sonya itu tidak dapat
dihentikannya. Dengan serta merta ia mengambil selingkar gelang besi dari dalam
bajunya siap untuk dilemparkannya ke arah kuda Sonya. Tetapi tiba-tiba ia
terkejut ketika ia mendengar suara dari dalam iring-iringan itu. Tenang namun
penuh wibawa,
“Bukankah kau
ini yang bernama Ki Tambak Wedi, seorang sakti yang namanya ditakuti oleh seluruh
rakyat di lereng Gunung Merapi?”
Suara itu
sesaat mempengaruhi kepala Ki Tambak Wedi. Tetapi ia tidak mau kehilangan
Sonya, karena itu maka segera ia teringat kembali kepada suatu keharusan
membinasakan penghubung itu. Dengan gigi gemeretak didorong oleh kemarahan yang
meluap-luap, Ki tambak Wedi melemparkan sebuah gelang-gelang besinya mengejar
laju kuda Sonya. Namun waktu yang sekejap, pada saat Ki Tambak Wedi dikejutkan
oleh sebuah panggilan atas namanya, ternyata telah menolong penghubung itu. Sekali
lagi ia berhasil melepaskan diri dari kebinasaan akibat gelang-gelang besi itu.
Meskipun gelang-gelang tidak dapat dihindari sepenuhnya, namun sentuhannya
sudah tidak terlampau berbahaya baginya. Meskipun demikian, ketika
gelang-gelang itu menyinggung bahunya, terasa nafasnya seolah-olah tersumbat.
Pedih di pahanya dan sakit yang menyengat di bahunya, hampir-hampir telah
membunuhnya. Kalau ia terpelanting dari kudanya yang seakan-akan sedang
terbang, maka akan tamatlah ceritera tentang dirinya. Beruntunglah bahwa Sonya
masih tetap sadar. Betapa nafasnya sesak dan batapa kakinya serasa
disayat-sayat, namun ia tetap berada di punggung kuda yang berpacu seperti
dikejar hantu. Ki Tambak Wedi mengumpat tak habis-habisnya. Sidanti yang
terlambat pun menghentakkan kakinya berkali-kali, sedang Sanakeling menggerem
seperti kerasukan setan. Namun Sonya telah semakin jauh. Yang menjadi semakin
dekat adalah iring-iringan orang-orang berkuda itu. Kini benar-benar telah
terlampau dekat. Tetapi iring-iringan itu pun telah berhenti. Mereka tidak
dapat terus melampaui orang-orang Jipang yang kini seluruhnya telah berdiri
berderat-deret di tengah dan di tepi-tepi jalan.
“Kepung
mereka!” perintah Ki Tambak Wedi. Perintah itu tidak perlu diulangi.
Orang-orang Jipang itu segera bertebaran mengepung orang-orang yang berada di
atas punggung kuda itu. Sekilas Ki Tambak Wedi dapat melihat, bahwa orang-orang
itu benar-benar tidak lebih dari duapuluh lima orang. Namun meskipun demikian
hati orang tua itu agak menjadi berdebar-debar juga. Mereka adalah
prajurit-prajurit Wira Tamtama dari Pajang. Ki Tambak Wedi yang benar-benar
telah dibakar oleh kemarahannya itu tiba-tiba berkata lantang,
“He
orang-orang Pajang yang bernasib jelek. Karena seorang daripada kalian telah
lolos dari tangan kami, maka kami akan dapat membayangkan akibatnya. Orang itu
pasti akan menyampaikan kehadiran kami kepada Untara. Karena itu, maka kami
harus berbuat secepat-cepatnya. Serahkan senjata dan kuda kalian, kami tidak
akan mengganggu lagi.”
“Maaf Ki
Tambak Wedi,” sahut seorang setengah umur di antara yang lain.
“Kami masih
memerlukan senjata dan kuda-kuda kami.”
Orang yang
berbicara itu pun kemudian mendesak maju, mendorong kudanya untuk tampil di
paling depan. Sementara itu hari telah benar-benar menjadi terang. Matahari
telah memancar dari balik punggung bukit. Meskipun kabut pagi masih agak tebal,
namun semua wajah kini telah menjadi semakin jelas. Wajah orang berkuda yang
kini berada di paling depan itu pun kemudian menjadi jelas pula oleh Ki Tambak
Wedi. Meskipun ia telah menyebut nama orang itu, dan sedikit banyak menduga
bahwa orang itu akan datang di Sangkal Putung, namun kebenaran dari dugaannya
itu masih juga mengejutkannya. Sehingga tanpa sesadarnya ia berkata,
“Kau datang
juga?”
“Ya,” sahut
orang setengah umur itu.
“Peristiwa
penyerahan sebagian besar orang-orang Jipang itu adalah peristiwa besar bagi
Pajang. Karena itu aku memerlukan menghadirinya. Mudah-mudahan setelah
peristiwa ini, Pajang akan menjadi aman tenteram dari segala gangguan.”
Ki Tambak Wedi
tertawa pendek. Nadanya benar-benar menyakitkan hati, katanya,
“Ternyata kau
kini seperti seekor ikan di dalam wuwu. Betapa besar namamu, namun nyawamu
tidak juga seliat nyawa demit. Kau sangka bahwa kau tidak dapat mati seperti
ceritera tentang perguruan Kedung Jati yang mampu menyimpan nyawa rangkap, hai
anak Sela.”
“Aku tidak
percaya ceritera itu,” sahut orang berkuda itu karena itu.
“Maka aku pun
tidak mengatakan demikian tentang diriku.”
“Persetan!”
teriak Ki Tambak Wedi.
“Sayang aku
tidak mengenalmu sejak tadi karena kabut yang tebal dan karena kau tertutup
oleh orang-orangmu yang berkuda sebagai perisaimu.”
“Aku
mengenalmu sejak aku mendengar suaramu. Kau masih saja berteriak-teriak seperti
dahulu dan kau masih juga bermain-main dengan gelang-gelang itu.”
Ki Tambak Wedi
menggeram sekali lagi. Kemudian katanya sambil mengancam,
“Jangan
melawan. Orang-orangmu hanya kurang dari separo orang-orangku. Betapa saktinya
kau, namun kau tidak akan dapat berbuat apa-apa. Serahkan senjata dan kudamu.
Kau akan selamat.”
Orang itu
tersenyum. Jawabnya,
“Ki Tambak
Wedi, kau belum pernah menjadi seorang prajurit. Mungkin nilai sebatang tombak
atau sehelai pedang bagimu, tidaklah begitu besar seperti kami para prajurit
menilainya.”
“Betapa besar
nilai senjatamu, namun nyawamu pasti lebih bernilai dari padanya.”
Kembali orang
itu tertawa. Bahkan semakin keras. Jawabnya,
“Jangan
berpura-pura tidak tahu bahwa aku dan orang-orangku tidak akan menerima
permintaan itu. Bahkan aku ingin tahu, kenapa kau menghalang-halangi penyerahan
ini?”
“Itu bukan
urusanku. Itu adalah urusan orang-orang Jipang dan orang-orang Pajang. Sekarang
yang penting bagiku menyerahlah.”
“Kenapa kau
terlalu tergesa-gesa? Marilah kita berbicara. Mungkin ada hal-hal yang dapat
kau mengerti atau sebaliknya, yang selama ini terasa bersimpang siur. Misalnya
tentang muridmu, Sidanti. Kenapa ia terlampau tergesa-gesa untuk menjadi lurah
Wira Tamtama? Kalau ia tekun, pasti ia akan sampai ke jabatan itu.”
“Hem, kau
licik. Kau mencoba memperpanjang waktu, supaya kau sempat menunggu Untara dan
Widura yang akan datang menolongmu.”
Orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata,
“Kau memang
cerdas Ki tambak Wedi. Tetapi jangan kau sangka bahwa jumlah yang sedikit ini
tidak akan mampu melawan orang-orangmu. Meskipun jumlah orang-orangmu lebih
dari dua kali lipat dari orang-orangku, tetapi kami berada di atas
punggung-punggung kuda. Kaki-kaki kuda kami akan merupakan senjata tersendiri
yang akan dapat menginjak orang-orangmu menjadi lumat.”
“Hanya
anak-anak kecil yang mempercayai kata-katamu itu,” sahut Ki Tambak Wedi. Tetapi
Tambak Wedi menjadi mual mendengarnya.
“Ki Tambak
Wedi,” berkata orang itu.
“Untuk yang
terakhir kalinya aku memperingatkanmu. Aku adalah pengemban tugas negara, Kalau
kau menghalang-halangi aku dan prajurit-prajurit Wira Tamtama ini, maka berarti
bahwa kau telah memberontak terhadap Pajang.”
“Aku tidak
memerlukan peringatan itu. Sekali lagi kau harus tahu, Tambak Wedi bukan
anak-anak. Tambak Wedi menyadari apa yang terjadi. Bahkan Tambak Wedi telah
bertekad, Pajang harus dimusnahkan.”
Orang yang
berada di atas punggung kuda itu mengerutkan keningnya. Perkataan ki Tambak
Wedi itu benar-benar menyinggung perasaannya. Meskipun demikian ia masih
berkata tenang,
“Kalau
demikian, kenapa kau memisahkan diri dari Patih Mantahun, dan bahkan
menyerahkan Sidanti ke dalam lingkungan keprajuritan Pajang?”
“Persetan! Aku
sangka orang-orang Pajang jujur menghadapi kawan sendiri. Tetapi ternyata
tidak.”
“Itu hanyalah
anggapanmu ki Tambak Wedi. Kau sendiri tidak turut berbuat sesuatu. Bahkan
muridmu itu pun kemudian berkhianat atas nasehatmu.”
“Bukankah
sudah pasti bahwa dengan demikian tidak ada kata-kata lain untuk memberi
julukan kepadaku, kepada Ki Tambak Wedi? Aku memang hendak mbalela. Apa katamu?
Sekarang menyerahlah.”
Orang di atas
punggung kuda itu tidak lagi dapat menahan kemarahannya. Meskipun demikian ia
tidak menjadi kehilangan keseimbangan. Sekali dilayangkan pandangan matanya,
beredar di sekelilingnya. Diawasinya setiap orang di dalam barisannya dan
setiap orang yang berdiri mengepung orang-orangnya.
“Yakinkan dirimu,”
berkata Ki Tambak Wedi,
“bahwa kau
harus menyerah.”
Orang itu
tidak menjawab. Tetapi ia berkata kepada salah seorang di dalam barisannya,
“Jebeng, kau
lihat anak muda itu? Umurnya lebih tua dari padamu. la adalah murid Ki Tambak
Wedi. Anak itulah yang bernama Sidanti, yang ingin dengan tangannya membunuh
Tohpati dan kemudian mencoba membunuh Untara. Meskipun ia tidak sesakti Arya
Penangsang, tetapi kepalanya ternyata lebih dingin daripada Adipati Jipang.”
Seorang anak
muda menggerakkan kudanya mendekati orang setengah umur itu. Di tangannya
digenggamnya sebatang tombak pendek, berjuntai seutas tali berwarna kuning
emas. Semua mata kini terarah kepada anak muda itu. Dengan sebuah senyum yang
menggores di bibirnya ia berkata,
“Dari mana
ayah tahu kalau anak muda itu yang bernama Sidanti?”
Orang tua
setengah umur itu menjawab,
“Senjatanya
telah mengatakan kepada kita. Nenggala di tangan kirinya itu adalah ciri
perguruan lereng Merapi. Bukankah begitu Ki Tambak Wedi?”
Tambak Wedi
tidak menjawab. Namun terdengar ia menggeram. Matanya sama sekali tidak lepas
dari ujung tombak di tangan anak muda yang kini telah berada di samping orang
setengah umur yang ternyata adalah ayahya.
Tiba-tiba Ki
Tambak Wedi berpaling ketika ia mendengar ayah anak muda itu berkata,
“Ki Tambak
Wedi, tombak itu sama sekali bukan Kyai Plered yang terkenal. Kali ini kami
sama sekali tidak membawa pusaka keramat itu. Yang dibawa oleh anak ini adalah
sebuah tombak lain, meskipun juga sebuah tombak pusaka hadiah Adipati Pajang.
Namanya mungkin belum pernah kau dengar, ‘Kiai Pasir Sewukir’.”
Sekali lagi Ki
Tambak Wedi menggeram. Bahkan kini ia berkata,
“Aku tidak
peduli apakah yang dibawanya Kiai Plered atau bukan. Meskipun seandainya yang
dibawanya itu Tombak Kiai Plered pun, bagiku tidak berarti apa-apa. Sekarang
menyerahlah. Jangan memperpanjang waktu. Kalau habis sabarku, maka aku tidak
akan memberimu kesempatan lagi.”
Orang di atas
punggung kuda itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sekali lagi dipandanginya
setiap wajah dari para prajurit Jipang. Beberapa orang telah dikenalnya dengan
baik. Karena itu kemudian disapanya orang yang berdiri di sisi Sidanti,
“He,
Sanakeling. Kau juga berada di sini?”
Betapa besar
hati orang itu, dan betapa kebenciannya membakar dadanya terhadap orang-orang
Pajang, namun perbawa orang itu telah menundukkan kepalanya. Sikap itu sama
sekali tidak menyenangkan Ki Tambak Wedi, sehingga terdengar ia membentak,
“Sanakeling,
apakah arti orang itu bagi panglima prajurit Jipang?”
Sanakeling
menyadari kedudukannya. Pertanyaan Ki Tambak Wedi telah benar-banar mengungkat
kejantanannya, sehingga kemudian ia mejawab lantang,
“Bukan Kiai.
Orang itu tidak berarti apa-apa bagiku.”
Tiba-tiba
terdengar anak muda yang menggenggam tombak berjuntai kuning itu tertawa.
Kataya,
“Paman
Sanakeling. Apakah paman lupa terhadap kami. Aku dan ayah?”
Sanakeling
menggeram. Tetapi kembali ia dicengkam oleh wibawa ayah dan anak yang berada di
atas punggung kuda itu. Yang menjawab kemudian adalah Sidanti,
“Kita
berhadapan sebagai lawan. Jangan mencoba mengungkat perasaan yang dapat
melemahkan lawan. Seorang yang berhati jantan tidak akan berbuat selicik itu.”
Anak muda di
atas punggung kuda itu mengerutkan keningnya. Sekilas ditatapnya wajah ayahnya.
Tetapi wajah orang tua itu sama sekali tidak membuat kesan apa pun atas
kata-kata Sidanti, bahkan sambil tersenyum ia berkata,
“Murid Ki
Tambak Wedi ternyata mempunyai kesamaan dengan gurunya. Adatnya agak terlampau
keras di samping nafsunya yang melonjak-lonjak sehingga hampir-hampir Untara
dikorbankannya.”
“Aku meyesal
bahwa Untara itu tidak mati,” Sahut Sidanti.
Sekali lagi
anak muda di punggung kuda itu mengerutkan keningnya, namun ayahnya masih
setenang itu menjawab,
“Bagaimana
kalau kau mendapat kesempatan sekali lagi?”
Sidanti heran
mendengar pertanyaan itu. la tidak mengerti sama sekali, apakah maksudnya.
Namun orang itu menjelaskan,
“Maksudku,
sebentar lagi Untara pasti akan datang. Bukankah kau akan dapat berhadapan
sekali lagi?”
Sidanti
menggeram. Terasa dadanya bergelora dan kemarahannya segera membakar
ubun-ubunnya. Apalagi ketika ia mendengar anak muda yang membawa tombak itu
tertawa.
“Persetan dengan
Untara!” teriak Sidanti,
“ayo siapa
namamu dan siapa anak muda yang sombong itu. Mungkin kau belum mengenal
Sidanti.”
Sanakeling
tiba-tiba berpaling. Dipandanginya wajah Sidanti, Sanakeling hampir tidak
percaya bahwa Sidanti benar-benar belum mengenal orang itu ayah beranak.
Sehingga tanpa dikehendakinya ia berdesis,
“Adi Sidanti,
apakah kau belum pernah melihatnya?”
Sidanti
terkejut mendengar pertayaan itu. Ia adalah bekas prajurit Pajang. Namun selama
tugasnya yang pendek ia belum pernah bertemu dengan kedua orang itu, seperti ia
belum begitu mengenal Untara sebelumnya. Namun Sidanti tidak terlampau lama
berteka-teki. Ia mendengar gurunya menjawab pertanyaanya, meskipun ternyata
jawaban itu benar-benar mengejutkannya.
“Apakah kau
belum pernah mengenal mereka selama kau menjadi prajurit, Sidanti? Kalau belum,
itu adalah pertanda kelicikan orang-orang yang berada di atasmu. Mereka dengan
sengaja menjauhkan kau dari pimpinan-pimpinan yang lebih tinggi supaya mereka
tidak melihat kelebihanmu daripada mereka. Bukankah dengan sengaja Widura
menyembuyikan kau di padesan dan menugaskan kau selama ini jauh dari pusat
pemerintahan Pajang, meskipun kemampuanmu setingkat dengan senapati besar dari
Jipang yang bernama Tohpati dan bergelar Macan kepatihan?”
Sekali lagi
Sidanti mencoba mengingat-ingat, siapakah kedua orang ayah beranak itu. Mungkin
ia merasa pernah melihat perwira Wira Tamtama itu. Tetapi apakah pedulinya
sekarang, selagi keadaannya telah menjadi semakin jauh dari
kemungkinan-kemungkinan lain daripada menghadapi setiap orang Pajang sebagai
lawan. Orang yang berkuda itu kemudian menyahut,
“Bukan salah
Widura dan bukan pula salah Sidanti. Tidak selalu setiap prajurit pernah
melihat dan mengenal wajah prajurit yang lain. Mungkin namaku perhah
didengarnya dan nama anakku ini. Tetapi wajahku dan wajah anakku ini mungkin
pula belum.”
Sidanti
memandang laki-laki setengah umur di atas punggung kuda itu tanpa berkedip.
Dicobanya untuk mengingat-ingat satu demi satu perwira Wira Tamtama yang
dikenalnya. Akhirnya, lambat laun, ingatan Sidanti menyentuh sebuah wajah yang
pernah dikenalnya. Tetapi wajah itu terlampau besar bagi orang yang berkuda di
hadapannya itu. Ketika ia melihatnya beberapa bulan yang lampau, orang itu
berada dalam satu barisan yang lengkap disertai dengan segala macam tanda-tanda
kebesaran. Orang itu memakai pakaian kebesarannya pula. Sedang kini, laki-laki
itu mengenakan pakaian keprajuritan, tanpa tanda-tanda kebesaran selain ciri
seorang perwira dari Wira Tamtama. Dada Sidanti menjadi berdebar-debar
karenanya. Namun akhirnya ia dapat menguasai dirinya ketika ia melihat sikap
gurunya. Gurunya sama sekali tidak menjadi cemas menghadapi laki-laki berkuda
itu, bahkan seandainya kenangannya itu benar, ia pun harus bersikap seperti
gurunya pula.
Yang terdengar
adalah suara Ki Tambak Wedi,
“Sidanti,
kalau kau belum mengenal sekalipun bukanlah soal bagimu. Justru lebih baik
apabila kau belum tahu siapa yang kau hadapi supaya hatimu tidak terpengaruh.
Tugasmu sekarang adalah ambil tombak yang bernama Kiai Pasir Sewukir dari
tangan anak sombong itu. Jangan hiraukan apa yang pernah dilakukan dahulu.
Jangan menjadi silau, sebab ia tidak membunuh Arya Penangsang dengan jujur,
tetapi ia mempergunakan kuda betina untuk membuat kuda Arya Penangsang tidak
dapat dikendalikan. Dengan demikian, kesempatan bertempur Arya Penangsang
sangat terganggu oleh kudanya yang bernama Gagak Rimang, karena kuda itu
melihat kuda betina Loring Pasar.”
Kini dada
Sidanti benar-benar bergelora. Anak muda itulah yang bergelar Ngabehi Loring
Pasar, yang sebelumnya lebih terkenal bernama Sutawijaya. Kalau demikian
siapakah laki-laki itu? Ayah Sutawijaya adalah Ki Gede Pemanahan, sedang ayah
angkatnya adalah Adipati Pajang sendiri. Kalau demikian benar dugaannya,
laki-laki itu adalah Ki Gede Pemanahan yang pernah dilihatnya dalam kelengkapan
kebesaran seorang Panglima Wira Tamtama. Sidanti yang tiba-tiba terpaku itu
mendengar gurunya berkata,
“Nah Sidanti,
jangan cemas. Kau sekarang tidak berada di atas punggung kuda seperti Gagak
Rimang. Kau dapat mempercayakan setiap langkah pada kakimu sendiri.”
Anak muda itu,
yang sebenarya Sutawijaya, mengerutkan keningnya. Kata-kata Ki tambak Wedi itu
benar-benar menyakitkan hatinya, seolah-olah ia telah membunuh Arya Penangsang
dengan curang. Tetapi sebelum ia menjawab, terdengar ayahnya, yang tidak lain
adalah Ki Gede Pemanahan menjawab,
“Jebeng,
jangan hiraukan kata-kata orang tua itu. Ia ingin membesarkan hati muridnya.
Apa yang terjadi atas Arya Jipang itu, biarlah ditafsirkan menurut kehendaknya.
Sekarang hadapilah murid Ki Tambak Wedi. Ia tidak dapat bertahan diri terhadap
Macan kepatihan. Ia pernah mencoba bertempur melawannya, seorang lawan seorang,
namun Widura terpaksa membantunya sebelum kepalanya dipecahkan oleh tongkat
Baja Putih berkepala tengkorak itu. Kemudian ia tidak berani melawan Untara
wajah berhadapan dengan wajah. Ia menusuknya dari belakang. Bahkan melawan adik
Untara yang bernama Agung Sedayu pun, Sidanti berbuat curang. Dalam perkelahian
tanpa senjata, anak muda yang gagah perkasa itu terpaksa memungut sepotong kayu
untuk mempersenjatai diri.”
“Cukup!”
Potong Ki Tambak Wedi dengan marahnya. Ternyata semua yang terjadi di Sangkal
Putung telah dilaporkan kepada Panglima Wira Tamtama ini.
“Apakah dengan
demikian kau tidak sedang mencoba membesarkan hati anakmu itu pula? Anak yang
kau bangga-banggakan telah membunuh Arya Penangsang.”
Ki Ageng Pemanahan
tertawa. Tetapi sebelum ia menjawab terdengar Ki Tambak Wedi itu berteriak,
“Kenapa kalian
melihat saja seperti menonton tayub?”
Para prajurit
Jipang terkejut mendengar teriakan itu. Sejenak mereka belum dapat menanggapi
maksudnya. Baru sesaat kemudian mereka menyadari kata-kata Ki Tambak Wedi yang
diteruskanya,
“Ayo, kalau
kalian mampu membinasakan orang yang bernama Pemanahan yang merupakan otak dari
kematian Arya Penangsang, dan anaknya yang hanya dipakainya sebagai alat saja
dalam usaha pembunuhan yang keji itu, maka dendam kalian akan terbalaskan.
Kedua orang ini beserta Penjawi dan Ki Juru Mertani lah biang keladi dari
pembunuhan yang tidak jantan. Mereka menunggu saat Arya Penangsang menyeberang
sungai. Sebelum Adipati Jipang mencapai tebing, maka orang Pajang telah
menghujaninya dengan anak panah atas Arya Penangsang beserta kudanya Gagak
Rimang. Apalagi Sutawijaya telah membuat Gagak Rimang gila dengan kuda
betinanya.”
Sutawijaya
tidak dapat menahan diri lagi mendengar kata-kata Ki Tambak Wedi, tetapi ayahya
menggamitnya. Sehingga dengan dada sesak ia terpaksa masih saja tetap berdiam
diri di atas punggung kudanya. Namun ujung tombaknya yang bernama Kiai Pasir
Sewukir telah bergetar. Ketika Ki Tambak Wedi terdiam, barulah Pemanahan
menjawab,
“Apakah masih
ada yang ingin kau katakan Ki Tambak Wedi, mungkin kesempatan ini adalah
kesempatanmu yang terakhir untuk melepaskan dendam dan kebencianmu, karena
kegagalan-kegagalan yang dilakukan oleh muridmu. Tetapi sadarilah bahwa bukan
hanya Pemanahan, bukan haya Ki Juru Mertani, bukan hanya Penjawi dan beberapa
orang saja yang melihat peperangan yang menentukan, tetapi seluruh prajurit
Pajang dan Jipang yang saat itu berada dalam pertempuran, melihat apa yang
terjadi. Kalau Tohpati masih hidup, kau akan dapat bertanya kepadanya.
Bagaimana dengan Sanakeling dan, he, apakah anak muda yang bermata setajam mata
burung alap-alap itu yang bernama Alap-alap Jalatunda?”
“Persetan!”
teriak Ki Tambak Wedi.
“Kau
benar-benar licik. Kau hanya memperpanjang waktu saja. Ayo, para prajurit
Jipang, mulailah. Kesempatan yang aku berikan telah disia-siakan oleh Panglima
yang merasa dirinya pilih tanding ini.”
Orang-orang
Jipang yang mengepung para prajurit Wira Tamtama Pajang, yang langsung dipimpin
oleh panglimanya sendiri itu mulai bergerak. Beberapa orang segera meloncati
parit-parit dan mengayun-ayunkan senjata mereka. Tetapi bagaimanapun juga gerak
orang-orang Jipang itu masih belum mantap. Sanakeling sendiri masih dicengkam
oleh keragu-raguan dan debar jantungnya yang tidak menentu. Orang yang berada
di punggung kuda ayah beranak itu terlampau besar baginya. Mungkin tidak bagi
Ki Tambak Wedi yang sama sekali tidak terikat dalam hubungan keprajuritan.
Apabila Macan Kepatihan masih ada, mungkin Tohpati itu pun akan menghadapi
mereka dengan tatag. Tetapi baginya, bagi Sanakeling, pekerjaan itu benar-benar
merupakan pekerjaan yang terlampau berat. Bukan saja Sanakeling, tetapi Alap
Alap Jalatunda dan kawan-kawannya mempunyai sikap serupa. Ki Gede Pemanahan
adalah seorang panglima yang namanya menggema tidak saja di seluruh Pajang dan
Jipang. Bahkan merata ke seluruh daerah Demak. Ki Tambak Wedi itu pun melihat
keragu-raguan dalam setiap gerak orang-orang Jipang. Mereka bergeser, tetapi
tidak mendekati para prajurit Pajang, sehingga orang tua itu kemudian
berteriak,
“He, apa yang
kalian tunggu. Dengar perintahku. Bunuh semua orang-orang Pajang secepatnya
sebelum Untara datang memancung leher kalian atau menggantung kalian di
alun-alun Pajang.
Perintah itu
ternyata telah membangunkan orang-orang Jipang. Mereka benar-benar dihadapkan
pada suatu keharusan untuk melawan. Kalau tidak, maka mereka akan mengalami
akibat yang sangat pahit.
Apalagi ketika
Ki Tambak Wedi berteriak,
“Rencana kita
tidak akan dapat berjalan seperti yang kita harapkan sepenuhnya. Kegagalan itu
disebabkan karena orang-orang Pajang ini. Ayo, jadikanlah mereka tebusan dari
kegagalan itu. Meskipun kita tetap mengharap orang-rang Pajang di Sangkal
Putung menjadi gila dan berbuat seperti yang kita inginkan.”
Kini orang-orang
Jipang menjadi semakin mantap. Sementara itu kuda-kuda orang Pajang pun telah bergerak-gerak. Beberapa orang
mendorong kudanya maju dan yang lain menghadap ke arah yang berlawanan. Musuh
mereka berada di muka dan di belakang. Tempat itu sama sekali tidak
menguntungkan bagi pertempuran di atas punggung kuda. Ki Gede Pemanahan
memperhatikan keadaan itu sesaat. Karena itu ia harus mendapat daerah yang
cukup luas, supaya mendapat kesempatan yang lebih baik. Orang-orang Jipang yang
berdiri di atas tanah akan menjadi lebih lincah karena daerah yang sempit.
Di kiri-kanan
jalan itu adalah tanah persawahan yang sedang ditumbuhi oleh batang-batang
jagung muda. Tanahnya tidak begitu basah, karena tanaman itu tidak memerlukan
air yang tergenang. Karena itu, maka terdengar Panglima Wira Tamtama itu
langsung memberi aba,
“He para
prajurit Pajang. Kita terpaksa minta maaf kepada orang-orang Sangkal Putung.
Kita akan meminjam tanah mereka untuk berlatih perang-perangan di atas punggung
kuda.”
Ki Tambak Wedi
menggeram mendengar aba-aba itu. Cepat ia berteriak,
“Cegah mereka.
Jangan diberi kesempatan meninggalkan jalan sempit ini, supaya mereka segera
tertumpas di dalamnya.”
Tetapi
teriakan itu hampir-hampir tidak berarti. Kuda-kuda para prajurit Pajang telah
mendesak mereka. Dengan senjata di tangan para penunggang kuda itu mencoba
mendapatkan jalan bagi kuda mereka. Beberapa ekor kuda telah berhasil meloncat
parit yang sempit. Tetapi karena kejutan-kejutan orang-orang Jipang, ada juga
kuda yang gagal, sehingga kuda itu tergelincir masuk ke dalam parit. Namun
dengan tangkasnya para penunggangnya meloncat turun dan melawan orang-orang
Jipang yang menyerangnya di atas tanah. Pemanahan mengerutkan keningnya melihat
orang-orangnya yang gagal itu. Tetapi mengharap bahwa mereka akan dapat
bertahan dan menyelamatkan diri mereka masing-masing. Meskipun demikian, Ki
Gede Pemanahan segera berseru,
“Jangan
lepaskan kuda-kuda itu.”
Memang
beberapa orang yang terjatuh itu masih berusaha untuk meloncat kembali ke atas
punggung-pungung kuda mereka yang telah berhasil merangkak keluar dari dalam
parit. Tetapi orang-orang Jipang selalu mencoba menghalang-halangi. Peperangan
pun segera berkobar. Orang-orang Jipang mulai menyerang dengan sengitnya.
Tetapi para prajurit Pajang yang sempat meninggalkan jalan yang sempit itu
segera membuat arena menjadi semakin luas. Mereka terpaksa tidak menghiraukan
lagi batang-batang jagung muda. Kaki-kaki kuda mereka dengan garangnya telah
merambas batang-batang jagung itu, sehingga sesaat kemudian sawah itu telah
hampir menjadi gundul.
“Setan!”
teriak Ki Tambak Wedi yang menjadi semakin cemas melihat perkembangan keadaan.
Ternyata para prajurit berkuda dari Pajang itu cukup tangkas melawan
orang-orang Jipang yang jumlahnya dua kali lipat dari jumlah mereka. Bahkan
beberapa orang yang terjatuh dari kudanya, telah berhasil meloncat kembali ke
atas punggung-punggung kuda. Sedangkan mereka yang tidak berhasil, tidak juga
menjadi cemas melihat perkembangan keadaan karena kawan-kawan mereka hampir
selalu membantu mereka, dan mengusahakan kesempatan supaya mereka berhasil
meloncat ke punggung kuda masing-masing.
Para prajurit
Pajang kini bertebaran di sawah-sawah. Mereka bertempur seperti burung
rajawali. Sekali mereka memacu kudanya melingkar, namun sejenak kemudian
seperti seekor burung yang menukik dari langit, meyambar lawan-lawannya dengan
garangnya. Sidanti menjadi semakin marah melihat perkembangan keadaan. Dengan
demikian ia tidak akan berhasil mengikat seorang lawan di arena. Ia harus
dengan penuh kewaspadaan memperhatikan setiap derap kuda yang menyambarnya. Sanakeling pun mengumpat tak habis-habisnya. Selagi ia
sedang mencoba bersama seorang kawannya menekan seorang prajurit Pajang yang
kehilangan kudanya, maka setiap kali kuda yang lain datang menyerangnya. Bahkan
hampir menginjaknya apabila ia tidak cukup cepat menghindar. Sehingga dengan
demikian pertempuran itu menjadi pertempuran yang cukup kalut bagi kedua belah
pihak. Arena pertempuran itu pun menjadi semakin lama semakin luas. Kuda-kuda
para prajurit Pajang berlari melingkar-lingkar dengan garangnya. Setiap
prajurit di atas punggung kuda itu telah memutar pedangnya dan
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Tetapi yang dihadapi adalah
prajurit-prajurit pula. Dengan tangkasnya orang-orang Jipang melawan para
prajurit berkuda itu. Tetapi ternyata ketika orang-orang Pajang berhasil
memperluas lingkaran pertempuran maka keadaan mereka menjadi lebih
menguntungkan. Ki Tambak Wedi hanya sesaat sempat mengamati pertempuran itu.
Segera ia menggenggam kedua gelang-gelang besi di kedua belah tangannya untuk
melawan panglima Wira Tamtama yang perkasa itu.
Ki Gede
Pemanahan pun menyadari, bahwa ia kini
berhadapan dengan seorang yang memiliki kemampuan luar biasa. Orang yang pernah
menjadi sahabat Patih Mantahun dan orang kedua dari perguruan Kedung Jati, yang
bernama Sumangkar. Tetapi Ki Tambak Wedi ternyata tidak setia. Ditinggalkannya
Jipang menjelang kehancurannya. Bahkan kemudian muridnya muncul menjadi seorang
prajurit Wira Tamtama di bawah pimpinan Widura. Untuk melawan senjata Ki Tambak
Wedi yang aneh itu, Ki Gede Pemanahan tidak mempergunakan pedangnya. Ia ingin
melawan hantu itu pada jarak yang sependek gelang-gelang besi itu. Karena itu
ketika Ki Tambak Wedi mulai meloncat menyerangnya, maka di tangan panglima Wira
Tamtama itu tergenggam sebilah keris. Keris yang seolah-olah bercahaya
kebiru-biruan, berlekuk sebelas dan berbentuk seekor Naga, Naga Kemala. Ki
Tambak Wedi mengerutkan keningnya melihat keris itu. Sesaat ia terhenyak surut.
Ditatapnya keris itu tajam-tajam. Ia terkejut ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan
tertawa sambil berkata,
“Kau
memperhatikan kerisku ini Ki Tambak Wedi. Sama sekali bukan Kiai Nagasasra.
Meskipun dapurnya mirip, namum kerisku ini adalah Kiai Naga Kemala. Masih
selapis lebih rendah dari Kiai Nagasasra, yang kini telah berada di Kadipaten
Pajang bersama pusaka-pusaka Demak yang lain.”
Ki Tambak Wedi
itu menggeram. Sahutnya,
“Persetan
dengan Naga Kemala. Meskipun yang kau genggam itu Kiai Nagasasra sekalipun aku
tidak akan gentar. Bahkan di kedua belah tanganmu tergenggam pusaka-pusaka
Demak yang lain, Kiai Sabuk lnten, Kiai Sengkelat dan apa saja.”
Ki Gede
Pemanahan tidak menyahut. Didorongnya kudanya maju dan dengan sigapnya ia
menggerakkan senjatanya. Ki Tambak Wedi mundur selangkah, tetapi tiba-tiba ia
meloncat secepat kilat menghantam mata kaki Ki Gede Pemanahan. Tetapi Ki Gede
Pemanahan telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan, sehingga karena itu,
maka dengan sigapnya pula ia mampu menghindarkan mata kaki itu. Sebuah sentuhan
dari gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi pasti akan mampu memecahkan
tulang-tulangnya. Tetapi Ki Tambak Wedi tidak membiarkannya. Sekali lagi ia
meloncat menyerang dengan garangnya. Namun sekali lagi Ki Gede Pemanahan mampu
menghindarinya pula. Bahkan kemudian ia tidak membiarkan dirinya selalu
menghindar dan menghindar. Sejenak kemudian ditariknya kendali kudanya dan kuda
itu pun meringkik dan meloncat. Sekali kuda itu berputar, kemudian menerjang Ki
Tambak Wedi yang berdiri tegak di atas tanah dengan sepasang kakinya yang kokoh
kuat.
Dengan
mengumpat-umpat orang tua yang menghantui Lereng Merapi itu meloncat
menghindari kaki-kaki kuda Ki Gede Pemanahan. Bahkan semakin lama ialah yang
harus semakin sering menghindarkan diri, karena kuda itu dengan lincahnya
meloncat berputar kemudian berlari menyambarnya. Keris di tangan panglima Wira
Tamtama itu sekali-sekali berada di tangan kanannya, namun kemudian telah
berpindah di tangan kiri, seolah-olah berloncatan dari satu tangan ke tangan
yang lain. Betapa kakinya menghentak-hentak, apabila kudanya berlari terlampau
jauh, namun kemudian tangannyalah yang terayun-ayun apabila kudanya menyambar
Ki Tambak Wedi. Pertempuran antara keduanya semakin lama mejadi semakin sengit.
Ternyata serangan-serangan Ki Tambak Wedi
pun semakin lama mejadi semakin berbahaya pula. Apabila ia gagal
menyerang tubuh lawannya, maka ia berusaha mengenai tubuh kudanya. Apabila kuda
itu dapat dirobohkan, maka pekerjaanya tidak akan sedemikian sulitnya.
Di sudut lain,
Sidanti bertempur dengan gigi gemeretak. Dilihatnya anak muda yang bernama Mas
Ngabehi Loring Pasar, meyambutnya dengan sebuah senyum yang menyakitkan hati.
Tombak di tangan anak muda itu memang mendebarkan jantungnya meskipun ia tahu
bahwa tombak itu bukanlah tombak yang bernama Kiai Pleret. Menurut
pendengaranya Kiai Pleret itu berlandean panjang, sedang yang dibawa oleh anak
muda itu berlandean agak pendek. Hati Sidanti menjadi semakin panas ketika ia
mendengar anak muda itu berkata kepada seorang prajurit Pajang,
“Lindungi aku
dari panyerang-penyerang yang curang. Aku ingin melawan murid Ki Tambak Wedi
ini dengan cara yang adil. Aku tidak mau dituduh membuat lawanku gila karena
aku memakai kuda yang tegar dan lincah, seperti orang-orang Jipang menganggap
aku berbuat curang terhadap Adipati Jipang, meskipun anak muda yang bernama
Sidanti ini sama sekali tidak dapat disejajarkan dengan Paman Arya Penangsang
yang perkasa itu.”
“Gila!” Teriak
Sidanti.
“Jangan
terlampau sombong. Kaulah yang ternyata menjadi gila karena orang menganggapmu
dapat mengalahkan Adipati Jipang yang lengah, sehingga kerisnya sendiri
menggores ususnya. Kalau tidak, maka perutmulah yang akan disobeknya dengan
pusakanya, Kiai Setan Kober.”
Mas Ngabehi
Loring Pasar, yang juga disebut Sutawijaya tertawa. Jawabnya,
“Marilah kita
lihat, apakah kau akan mati dengan senjatamu sendiri atau karena tombakku Kiai
Pasir Sewukir.”
Hati Sidanti
menjadi semakin panas ketika tiba-tiba Sutawijaya meloncat dari punggung
kudanya. Kini anak yang masih sangat muda itu menghadapinya dengan kakinya di
tanah. Sidanti menggeram seperti seekor harimau lapar melihat seekor kijang.
Matanya merah memancarkan kemarahan dan kebencian. Sikap Sutawijaya itu
dirasakannya sebagai penghinaan terhadapnya. Dengan gigi yang gemeretak Sidanti
menggeram,
“Kau
benar-benar anak yang sombong. Meskipun dadamu berlapis baja, tetapi kau akan
luluh karena kesombonganmu itu sendiri.”
Sutawijaya
yang berdiri di hadapannya menjawab,
“Aku hanya
ingin berbuat adil supaya kelak tidak lagi ada tafsiran yang aneh-aneh. Kalah
atau menang, kita berada dalam keadaan yang seimbang.”
Dengan
marahnya Sidanti menyahut,
“Setelah aku
melihat tampangmu, maka aku semakin yakin, bahwa bukan kau yang sebenarnya
membunuh Arya Penangsang. Tetapi adalah karena perbuatan kalian ayah beranak
yang curang dan licik itulah yang menyebabkan gugurnya Adipati yang berani
itu.”
“Itulah
sebabnya aku sekarang berbuat dengan hati-hati supaya kelak tidak ada orang
yang berkata bahwa Sidanti dibunuh dengan licik. Sidanti mati karena terinjak
kaki-kaki kuda, atau cerita lain yang nadanya serupa dengan itu. Serupa dengan
nada lagu dari kidung kematian Arya Penangsang.”
Sekali lagi
Sidanti menggeram. Kemarahannya telah sampai ke atas ubun-ubunnya. Dengan gigi
gemeretak ia meloncat sambil menggerakkan pedangnya langsung menyambar dada
Sutawijaya. Sutawijaya ternyata telah cukup bersiaga. Selangkah ia meloncat
surut. Namun dengan tiba-tiba pula tombaknya terjulur lurus mematuk lambung
Sidanti. Sidanti terkejut melihat ujung tombak yang demikian cepatnya
menyambarnya. Hampir-hampir perutnya tersobek pada loncatan pertama. Terdengar
ia mengumpat sekali, dan dengan cepatnya pula ia menghindar ke samping. Sutawijaya
tersenyum. Katanya,
“Jangan
mengumpat-umpat. Lebih baik kau memperhatikan ujung tombakku supaya perutmu
tidak terbelah.”
“Kau
benar-benar anak yang sombong,” teriak Sidanti. Tetapi kata-katanya seolah-olah
patah di tengah. Tiba-tiba sekali lagi ia terkejut. Tombak Sutawijaya
seolah-olah mengejarnya dan kembali mematuk lambungnya.
“Gila!” teriaknya
tanpa sesadarnya. Sekali lagi ia harus meloncat ke samping. Ia belum mendapat
kesempatan untuk mempergunakan pasangan senjatanya. Serangan Sutawijaya
benar-benar mengejutkannya. Bahkan kecepatan bergerak anak muda itu sama sekali
di luar dugaannya. Sekali lagi Sutawijaya tersenyum. Dibiarkannya Sidanti
memperbaiki kedudukannya. Kini kedua senjatanya bersilang seakan sebuah perisai
yang tidak akan dapat ditembus oleh senjata macam apapun. Sutawijaya melihat
sikap itu. Ia menyadari bahwa Sidanti telah benar-benar berada dalam
kesiap-siagaan yang tertinggi. Kini ia tidak dapat sekedar menyerangnya dengan
kejutan-kejutan. Kini segenap geraknya harus diperhitungkan benar-benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar