SEMENTARA itu, Ki Tambak Wedi masih saja sibuk mencari orang yang telah mengganggunya. Tetapi seperti hantu, orang itu menghilang tanpa meninggalkan bekas apa pun.
“Pasti bukan
orang kebanyakan,” desisnya. Dan tiba-tiba saja diingatnya orang yang telah
mengintainya, ketika ia menunggu orang-orang berkuda itu.
“Kalau orang
ini yang mengintai itu, maka apakah yang dapat dilakukan oleh kedua orang-orangku
yang akan mencoba menangkapnya?” gumam Tambak Wedi itu pula.
“Aku akan
melihatnya,” orang itu tiba-tiba menggeram. Tanpa berkata apa pun juga kepada
orang-orangnya, maka ia pun segera meloncat kembali ke tempatnya menunggu
orang-orang berkuda itu. Beberapa pengikutnya yang melihatnya, segera
berlari-lari mengikutinya, dengan berbagai macam pertanyaan di dalam hati. Ki
Tambak Wedi itu hampir saja menginjak salah seorang yang sedang terbaring diam.
Dengan serta-merta iblis tua itu berjongkok dan meraba dada orang yang
terbaring itu.
“Ia masih
hidup,” desisnya.
“Siapakah itu
Kiai?” bertanya salah seorang pengikutnya.
“Buka matamu,
siapa orang ini.”
Orang yang
bertanya itu mengerutkan keningnya. Kemudian digeretakkannya giginya ketika ia
mengetahui bahwa yang terbaring itu adalah kawannya.
“Yang seorang
ada di sini!” tiba-tiba seorang yang lain berteriak.
Ki Tambak
Wedi-lah yang kemudian menggeretakkan giginya pula.
“Bawa kemari,”
katanya.
Kemudian
keduanya pun dibaringkan berjajar di
atas rerumputan yang kering. Dengan teliti Ki Tambak Wedi mencoba melihat,
kenapa keduanya menjadi pingsan.
Dengan
pengetahuan yang ada padanya, Ki Tambak Wedi memijit-mijit di bagian-bagian
yang dianggapnya penting. Di punggung, kemudian ditelusurnya sampai ke bagian lehernya.
Ketika Ki Tambak Wedi menyentuh di bawah ketiak salah seorang dari keduanya,
maka orang itu menggeliat.
Perlahan-lahan
orang itu membuka matanya. Sejenak ia masih belum dapat bangkit karena dunia
ini rasanya seperti berputar.
“He,
bangkitlah. Katakan apa yang telah terjadi dengan kau dan kawanmu itu.”
“Kepalaku
seperti berputar,” desisnya perlahan-lahan.
Ki Tambak Wedi
menggeram. Sekali lagi ditelusurinya punggung orang itu. Ketika tersentuh
simpul keseimbangannya, maka orang itu pun terlonjak.
“Bagaimana?”
bertanya Ki Tambak Wedi.
“Ya, sudah
jauh berkurang. Tetapi perutku menjadi mual.”
“Persetan
dengan perutmu!” bentak Ki Tambak Wedi. “Katakan, siapa yang telah membuatmu
pingsan.”
“Aku tidak
tahu. Aku hanya melihat dua sosok bayangan hitam.”
“Dua?”
“Ya. Yang
seorang telah membuat kawanku itu pingsan tanpa aku ketahui sebabnya. Bayangan
itu langsung menerkam dan membantingnya jatuh. Keduanya berguling sejenak.
Tetapi yang bangkit kemudian hanyalah bayangan yang kehitam-hitaman itu.”
“Gila kau. Dalam
gelap semuanya tampak hitam. Tetapi bagaimana dengan kau.”
“Bayangan yang
satu lagi, telah membuat aku pingsan pula. Ia menyusup di bawah ayunan
pedangku. Kemudian terasa tanganku seperti terlepas dan tengkukku serasa tebal.
Aku kemudian tidak tahu apa-apa lagi.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Ceritera orang itu sangat menarik perhatiannya. Ternyata
selain orang yang mencegat pasukan berkuda itu, masih juga ada orang lain yang
bukan orang kebanyakan.
Namun tiba-tiba
Ki Tambak Wedi itu bertanya,
“Dua orang kau
bilang?”
“Ya Kiai, dua
orang.”
“Katakan,
bagaimana bentuk kedua orang itu.”
Orang itu
mencoba mengingat-ingat. Tetapi kemudian ia berkata,
“Aku tidak
dapat mengatakannya Kiai. Terlampau gelap untuk mengenal wajah-wajah mereka.”
“Aku tidak bertanya
tentang wajahnya. Katakan, apakah mereka masih muda, tinggi atau pendek, atau
kurus, gemuk dan apa lagi yang dapat kau sebutkan.”
Sekali lagi
orang itu merenung. Kemudian menggeleng,
“Aku tidak
dapat menyebutkan Kiai. Aku tidak melihatnya dengan jelas.”
“Gila. Kau
sudah menjadi gila. Apakah kau juga tidak dapat menyebutkan jenis senjata yang
mereka pakai.”
“Mereka sama
sekali tidak bersenjata.”
“O, kau memang
sudah gila. Kau memang sudah gila.” Ki Tambak Wedi menjadi semakin marah.
Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Sambil menggeretakkan giginya ia
menghentakkan kakinya.
Orang-orangnya
sama sekali tidak ada yang berani mengucapkan sepatah kata pun. Semuanya
menundukkan kepalanya. Tidak seorang pun
yang bergerak, meskipun sekedar ujung jari kakinya.
“Kita
menggabungkan diri dengan pasukan Sidanti,” geram Ki Tambak Wedi.
“Aku akan
berbicara dengan anak itu.”
Ki Tambak Wedi
tidak menunggu jawaban apa pun. Diayunkannya langkahnya ke luar dari rimbunnya
dedaunan. Sambil berjalan ia berkata,
“Bawa orang
yang pingsan itu kedua-duanya kembali. Mereka hanya akan mengganggu saja.”
“Baik Kiai,”
jawab salah seorang dari mereka.
Maka beberapa
orang kemudian mendapat tugas mengantar kedua orang itu kembali ke induk
kademangan yang telah diduduki Sidanti. Meskipun yang seorang telah dapat
berjalan sendiri, tetapi ia masih memerlukan bantuan dua orang kawan-kawannya.
Sementara itu,
malam pun menjadi kian gelap pula. Ki
Tambak Wedi menarik nafas ketika ia melihat beberapa buah obor telah berada di
depan mulut regol desa, tempat pemusatan pasukan Argapati, meskipun tidak
terlampau dekat. Seperti biasanya, pasukan Ki Tambak Wedi itu memperlihatkan
dirinya. Ternyata usaha itu sedikit demi sedikit berpengaruh pula. Beberapa
orang yang berada di dalam lingkungan pering ori itu sudah mulai
bertanya-tanya,
“Apakah sampai
akhir hidupku, aku tidak akan sempat keluar dari tempat ini? Siang malam kami
selalu diburu oleh kecemasan. Mungkin pada suatu saat pasukan itu tidak hanya
akan sekedar mengepung kami. Suatu ketika pasukan itu akan menerkam pertahanan
ini dengan dahsyatnya. Mungkin pada suatu saat pasukan itu tidak hanya akan
sekedar mengepung kami. Suatu ketika pasukan itu akan menerkam pertahanan ini
dengan dahsyatnya. Mungkin mereka akan berusaha membakar pering-pering ori ini
dan menghanguskan segala isinya.”
Dan yang lain
bergumam dalam hati,
“Apakah
sebenarnya yang harus kami pertahankan ini? Ternyata sama sekali bukan Menoreh,
tetapi Ki Argapati. Dan karena itu, maka setiap malam kita harus berhadapan
dengan kecemasan dan ketakutan. Sedangkan kita tidak tahu pasti, apakah
perbedaan yang akan kita lihat, apabila kita berada di bawah kekuasaan Ki
Argapati dan kekuasaan Sidanti. Bahkan mungkin anak muda itu dapat memberikan
suasana yang baru bagi tanah ini.”
Agaknya pikiran-pikiran
itu tidak hanya menghinggapi satu dua orang. Tetapi mereka masih tetap
menyimpan di dalam hatinya, meskipun dari hari ke hari, mereka mengalami
suasana yang penuh ketegangan, kecemasan, dan kemudian kejemuan. Tampaknya
permusuhan ini tidak akan segera berakhir, meskipun persediaan makan mereka
menjadi semakin tipis.
Namun sebagian
lagi berpendirian lain, meskipun berpijak pada kejemuan pula. Beberapa pengawal
muda berkata satu sama lain,
“Apakah
untungnya kita menunggu. Lebih baik kita keluar dari penjara ini. Apa pun yang akan terjadi. Kita serang saja pusat
pertahanan Sidanti. Kalau kita menang, menanglah kita. Kalau kita hancur
segeralah kita binasa daripada menunggu tanpa batas seperti sekarang ini.”
“Kita menunggu
Ki Argapati sembuh,” desis yang lain.
“Ya, aku tahu.
Tetapi kapan Ki Argapati itu akan sembuh?”
“Tanpa Ki
Argapati, siapakah yang akan berhadapan dengan Ki Tambak Wedi?”
“Meskipun ia
bersenjata petir dan berperisai gunung sekalipun namun tenaganya pasti terbatas
juga. Kita lawan orang tua itu bersama-sama. Maka ia pun pada saatnya akan
mati.”
“Demikianlah
kalau kita, seluruh pasukan itu, bertempur melawan Ki Tambak Wedi seorang diri.
Tetapi ternyata kita berperang melawan sejumlah orang yang seimbang dengan
jumlah orang di pasukan kita.”
Lawannya
berbicara terdiam sejenak. Namun sepasang mata nya memancarkan kejemuannya yang
hampir tidak tertanggungkan.
Malam ini
mereka dihadapkan lagi pada sepasukan orang-orang Sidanti yang mengepung
padesan tempat pemusatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Seperti di
saat-saat yang lewat, beberapa obor terpancang beberapa patok dari desa,
melengkung, di hadapan mulut gerbang. Satu-satu obor yang lain agaknya
melingkar di seputar padesan itu pula. Yang sibuk dibicarakan saat itu adalah
pasukan berkuda yang terpaksa masuk kembali ke dalam regol. Beberapa orang
telah menghadap Samekta, Wrahasta, dan beberapa orang pemimpin yang lain.
“Tidak seorang
pun tahu, siapakah orang itu,” berkata pemimpin pasukan berkuda itu.
Samekta
mengerutkan keningnya.
“Seorang dari
kami, telah dikenai oleh Ki Tambak Wedi, kami tidak sempat membawanya kembali.
Mungkin besok siang, aku akan mengambilnya.”
Wrahasta
menggeram. Katanya, “Kenapa kau percaya kepada orang itu?”
“Kata-katanya
meyakinkan. Dan sebenarnya bahwa kami tidak akan dapat berbuat terlampau banyak
bila kami benar-benar berhadapan dengan Ki Tambak Wedi. Dalam jarak yang cukup
jauh, seorang kawan kami telah gugur, dan seekor kuda kami mati pula terkena
lemparan besi itu.”
Wrahasta
terdiam. Tetapi ia masih saja menggeram menahan kemarahan.
Tetapi para
pemimpin pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh, tidak dapat menyalahkan
pemimpin pasukan berkuda itu. Ternyata bahwa salah seorang dari mereka memang
telah gugur, dan seekor kuda telah mati. Beberapa orang dari anggota pasukan
berkuda itu pun mengatakan bahwa mereka
tidak dapat melihat, betapa cepatnya semua itu terjadi. Yang mereka ketahui
kemudian, korban-korban itu telah jatuh.
“Dengan demikian,”
berkata Samekta kemudian,
“apakah Ki
Tambak Wedi masih juga memperhitungkan lagi ceritera tentang orang-orang
bercambuk di dalam pasukan berkuda itu?”
Wrahasta
menundukkan wajahnya. Tetapi ia menggeram,
“Kita tidak
perlu menggantungkan diri kita kepada siapa pun.”
“Bukan itu
maksudku,” jawab Samekta.
“Selama ini agaknya
Ki Tambak Wedi memperhitungkan gerakan pasukan berkuda itu. Mungkin pengaruh
dari gerakan itulah yang menunda kenapa Ki Tambak Wedi masih belum berbuat
sesuatu selain mempengaruhi kebulatan tekad kami dengan obor-obor itu hampir di
setiap malam. Namun kini agaknya ia telah yakin. Ia memerlukan mengetahui,
siapakah sebenarnya yang berada di dalam pasukan berkuda itu.”
Wrahasta
mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Ternyata
cambuk-cambuk itu telah memanggil Ki Tambak Wedi. Bukan orang-orang bercambuk
itu.”
“Tetapi orang
bercambuk itu pun telah datang. Kami mengharap besok mereka akan memasuki
padesan ini.”
“Apa yang
dapat kita harapkan dari mereka?”
“Setidak-tidaknya
pengobatan atas Ki Argapati.”
Wrahasta
menggelengkan kepalanya,
“Tidak banyak
gunanya. Orang bercambuk itu tidak dapat membuat Ki Argapati sembuh dalam waktu
satu malam. Bagaimana kalau besok atau lusa Ki Tambak Wedi menyarang?”
“Tetapi usaha
itu harus dilakukan,” sahut Samekta.
Wrahasta tidak
menjawab lagi. Tetapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesan yang baik
buat orang orang bercambuk itu. Bahkan kemudian ia berkata,
“Ki Argapati
harus segera tahu. Aku akan menghadap.”
“Baiklah,”
jawab Samekta,
“sampaikan
laporan ini. Atau bawa sajalah pemimpin pasukan berkuda itu.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Akan aku bawa anak itu.”
Wrahasta pun kemudian pergi bersama pemimpin pasukan
berkuda menghadap Ki Argapati, sedangkan Samekta pergi ke regol desa, menemui
para peronda. Samekta memperingatkan mereka, agar mereka menjadi semakin
berhati-hati. Agaknya dalam waktu yang singkat, keadaan akan menjadi semakin
panas. Semua senjata harus dipersiapkan. Jebakan-jebakan dan senjata-senjata
jarak jauh. Alat-alat pelontar lembing dan busur-busur.
Sementara itu
Ki Tambak Wedi duduk di antara para pemimpin pasukannya. Sidanti, Argajaya, dan
dua orang dukun-dukun yang selalu beserta dengan mereka, Ki Wasi dan Ki Muni,
yang tidak saja pandai mengobati luka-luka, tetapi mereka pun membawa senjata di lambung mereka. Mereka
agaknya siap pula untuk bertempur. Ki Wasi membawa sepasang trisula bertangkai
pendek, sedang Ki Muni bersenjata sebilah pedang yang lengkung. Pedang yang
didapatnya dari seorang perantau asing yang mengembara. Suatu ketika Ki Muni
pernah berguru kepadanya tentang ilmu obat-obatan dan bahkan tentang olah
kanuragan. Pedang itu diterimanya dari gurunya itu, meskipun ia belum berhasil
mempelajari ilmunya dengan sempurna. Itulah sebabnya maka pedang itu
dianggapnya sebagai pedang yang keramat.
“Tak ada
duanya di seluruh daerah Pajang dan bahkan seluruh kerajaan Demak lama,”
katanya dengan bangga. “Pedang ini datang dari suatu negara yang sangat jauh.
Negara di seberang lautan. Lautan air dan lautan pasir.”
Ki Tambak Wedi
selalu mengumpat di dalam hatinya apabila ia mendengarnya. Sebagai seorang yang
jauh menyimpan pengalaman dan pengetahuan, maka sudah tentu ia terlampau muak
mendengar kebanggaan yang berlebih-lebihan itu. Di pesisir terutama, ia pernah
melihat pedang serupa itu lebih dari segerobag. Orang-orang asing kadang-kadang
menukarkan senjata-senjata serupa itu dengan senjata-senjata orang Demak.
Sekedar untuk kenang-kenangan.
Tetapi Ki
Tambak Wedi tidak pernah ingin mempersoalkannya. Apalagi kini, ia mempunyai
masalah yang cukup penting untuk dibicarakan.
“Apakah Guru
tidak dapat mengenalnya?” bertanya Sidanti.
“Jarak itu
tidak terlampau dekat. Apalagi di malam hari. Aku seolah-olah hanya melihat
sesosok bayangan yang kehitam-hitaman.”
“Bukankah Guru
mendengar suaranya? Suara itu mungkin pernah guru dengar sebelumnya.”
Ki Tambak Wedi
menggelengkan kepalanya, katanya,
“Suara itu
adalah suara yang parau meskipun bernada tinggi.”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Namun kemudian Argajaya bertanya,
“Lalu
bagaimana dengan yang dua orang itu?”
“Tak ada
gambaran sama sekali. Orang-orang yang dibuatnya pingsan hanya dapat melihatnya
sebagai bayangan yang hitam.”
“Ya, Kiai.
Mungkin tidak ada petunjuk-petunjuk yang dapat dipakai sebagai landasan untuk
menyebut keduanya. Tetapi jumlah mereka menimbulkan kecurigaanku.”
“Kenapa dengan
jumlah itu?” bertanya Sidanti.
“Seorang guru
dan dua orang murid.”
Ki Tambak Wedi
menarik nafas dalam-dalam. Katanya perlahan-lahan seperti kepada diri sendiri,
“Aku memang
sudah menduga meskipun pada saat orang-orang berkuda itu melarikan diri, aku
masih mendengar ledakan-ledakan cambuk di antara mereka.”
“Apakah maksud
Guru mengatakan bahwa orang-orang bercambuk itu ada di antara pasukan berkuda,
dan yang dua orang itu orang lain lagi?” bertanya Sidanti.
Ki Tambak Wedi
menggeleng,
“Tidak begitu.
Namun aku belum menemukan keyakinan. Tetapi aku condong pada pikiran itu. Bahwa
yang menghentikan pasukan berkuda itu adalah gurunya dan yang dua orang itu
adalah murid-muridnya yang sama gilanya dengan gurunya.”
Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera berkata apa pun.
Angan-angannya baru dipenuhi oleh berbagai macam dugaan dan pertimbangan. Yang
tidak segera mengerti pembicaraan itu adalah Ki Wasi dan Ki Muni. Sejenak
kemudian mereka mengerutkan keningnya. Ki Muni, yang tidak dapat menahan hati
lagi, segera bertanya,
“Siapakah yang
kalian bicarakan itu?”
Ki Tambak Wedi
menjadi ragu-ragu sejenak. Mula-mula ia ingin berkata terus terang. Tetapi
apabila ceritera tentang orang-orang bercambuk itu meluas, dan seolah-olah Ki
Tambak Wedi sendiri sudah membenarkan, maka hal itu pasti akan mempengaruhi
keberanian orang-orangnya. Karena itu, maka kemudian ia menjawab,
“Mereka pasti
orang-orang yang ingin mengail ikan di air yang sedang keruh.”
“Tetapi
menilik ceritera Kiai, seolah-olah mereka adalah orang-orang yang harus
disegani.”
“Aku tidak
dapat mengenal mereka dengan jelas. Dan apa yang terjadi itu pun bukan ukuran
yang sebenarnya. Pada suatu ketika aku ingin bertemu langsung dengan mereka,
untuk mengetahui apakah aku pantas menundukkan kepala, atau semuanya itu hanya
sekedar sebuah permainan yang licik dari Argapati.”
Meskipun
jawaban itu tidak memberinya kepuasan, tetapi ia tidak mendesak lagi. Namun ia
bergumam seperti kepada diri sendiri,
“Apakah kita
akan menunggu sampai Argapati sembuh?”
“Apakah
Argapati itu tidak jadi mati?” Sidanti memotong.
Ki Muni
membelalakkan matanya. Sindiran itu sangat menyakitkan hatinya. Seolah-olah
Sidanti mengejeknya, bahwa perhitungannya sama sekali tidak sesuai dengan
kenyataan.
“Siapa yang
melihat bahwa Argapati masih hidup?” ia membantah.
“Mungkin
Argapati memang sudah mati. Tetapi karena orang-orang Menoreh yang berpihak
kepadanya cukup licik, sehingga mereka dapat melindungi rahasia itu
serapat-rapatnya.”
“Kita tidak
boleh mimpi. Kita harus berani menghadapi kenyataan.”
“Siapa yang
mengingkari kenyataan?” Ki Muni menjadi tegang, dan bahkan hampir-hampir ia
berteriak seandainya Ki Tambak Wedi tidak menengahi,
“Kenapa kita
ribut? Ada atau tidak ada Argapati, kita tidak boleh cemas. Argapati hanya
seorang diri. Sejauh-jauh yang dapat dilakukan tentu sangat terbatas. Orang
kedua adalah Pandan Wangi. Sedang yang lainnya, sama sekali tidak banyak
berarti.”
“Apakah Ki
Tambak Wedi telah melupakan ceritera Ki Peda Sura tentang dirinya?”
Ki Tambak Wedi
tidak segera menyahut. Terlintas dalam kepalanya, kemungkinan-kemungkinan yang
dapat terjadi, apabila ia menunda waktu terlampau lama. Tetapi untuk bergerak
sekarang, ia tidak dapat membuat perbandingan yang setepat-tepatnya. Tidak
seorang pun dari petugas sandinya yang tahu pasti tentang keadaan Ki Argapati.
Tidak seorang pun yang dapat mengatakan,
siapakah sebenarnya orang-orang bercambuk di dalam lingkungan pasukan berkuda
itu dan siapa pula yang telah berkelahi melawan Ki Peda Sura. Tetapi kesimpulan
Ki Tambak Wedi, yang paling mungkin adalah permainan Argapati, sedang
orang-orang bercambuk yang sebenarnya justru bukan yang berada dalam pasukan
berkuda itu.
Tetapi sebelum
Ki Tambak Wedi menjawab, Sidanti telah mendahului,
“Kenapa kita
tidak berbuat sekarang juga, Guru?”
“Nah,”
tiba-tiba Ki Muni memotong,
“bukankah kau
juga membenarkan pendapatku? Apalagi yang kita tunggu?”
“Omong
kosong,” wajah Sidanti pun menjadi merah.
“Aku selalu
berpendirian demikian. Sama sekali bukan membenarkan pendapatmu.”
“Kau terlampau
sombong, Anak Muda. Kenapa kau tidak mau mengakui, bahwa sebenarnya akulah yang
pertama-tama berpendapat demikian.”
“Tidak,”
tiba-tiba Sidanti menggeram.
Namun segera
gurunya berkata,
“Kejemuan
telah membuat kalian menjadi gila. Aku tahu, bahwa bukan hanya kalian berdua
saja yang berpendapat demikian, tetapi kita seluruhnya menghendakinya.”
Sidanti
menggeretakkan giginya. Sedang Ki Muni kemudian berjalan hilir-mudik sambil
bergeramang tidak menentu.
“Kalau memang
begitu,” Argajaya-lah yang berkata,
“Kenapa kita
menunggu lebih lama lagi? Bukankah sekarang kita sudah berdiri di ambang
pintu.”
“Itu tidak mungkin,”
sahut Ki Tambak Wedi,
“Kita tidak
bersiap untuk melakukan penyerangan. Kekuatan kita hanya kita siapkan untuk
melakukan pengepungan seperti biasa. Beberapa bagian untuk menjebak apabila
pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang masih setia kepada Argapati itu
berusaha menolong pasukan berkudanya. Tetapi semua rencana itu telah rusak. Dan
kita tidak dapat merubah rencana itu dengan tiba-tiba. Sebab yang kita hadapi
adalah kekuatan. Kekuatan yang masih menjadi teka-teki. Dalam peperangan kita
harus mempunyai perhitungan yang pasti. Bukan sekedar untung-untungan.”
Argajaya
mengedarkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Kemudian perlahan-lahan ia
berkata,
“Kita tidak
boleh menunggu sampai orang-orang kita diterkam oleh kejemuan yang tidak
terkendali.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Sejenak ia merenung. Dan sejenak kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya sesuatu telah berkembang di kepalanya.
Tiba-tiba
orang tua itu berkata,
“Baik. Baik.
Aku akan melakukannya sekarang.”
“Apa, Guru?”
bertanya Sidanti dengan serta-merta.
“Kita akan
menyerang.”
“Sekarang?”
“Ya sekarang.”
Kini Sidanti,
Argajaya, Ki Wasi, dan Ki Muni-lah yang menjadi heran atas keputusan yang
tiba-tiba itu. Bahkan menurut Ki Tambak Wedi sendiri, pasukanmya tidak bersiap
untuk melakukannya. Namun tiba-tiba orang tua itu berubah pendirian.
“Apakah hal
itu dilakukan sekedar melepaskan kejengkelannya saja,” pertanyaan itu mengganggu
pikiran Sidanti.
“Jika demikian
kita akan terlibat dalam suatu perbuatan yang dapat membahayakan kita sendiri.”
Tetapi Sidanti
tidak segera menyatakan pikirannya itu. Dipandanginya saja gurunya yang
kemudian menengadahkan kepalanya. Silir angin malam telah menggerakkan juntai
rambutnya yang sudah keputih-putihan di bawah ikat kepalanya.
Dengan nada
yang berat ia berkata,
“Sidanti kita
akan menyerang malam ini.”
Wajah Sidanti
menjadi tegang.
“Bukankah kau
ingin berbuat demikian seperti orang-orang lain menginginkannya pula?”
Dengan dada
berdebar-debar Sidanti menjawab,
“Tidak, Guru,
kalau itu hanya sekedar menuruti perasaan tanpa perhitungan.”
“Bagus,” sahut
gurunya. “Tetapi marilah kita membuat perhitungan yang lain.”
Sidanti
mengerutkan keningnya.
“Kalau kita
menyerang malam ini, mungkin kita akan dapat memancing keterangan tentang
kekuatan yang ada di dalam lindungan pering ori itu. Yang penting, apakah
orang-orang yang aneh, yang aku jumpai pada saat aku mencegat orang-orang
berkuda itu, akan hadir juga. Aku kira sampai saat ini mereka berada di luar
benteng ori.”
“Tetapi apakah
kekuatan kita siap untuk menghadapinya?”
“Kenapa tidak?
Kita sumbat mulut desa itu keempatnya. Kita tidak bersungguh-sungguh untuk
merebutnya malam ini. Apakah kau mengerti?”
Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu maksud gurunya. Gerakan ini adalah
sekedar pameran kekuatan dan memancing keterangan tentang orang-orang bercambuk
itu. Argajaya yang dapat menangkap juga maksud Ki Tambak Wedi itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Namun ia masih tetap ragu-ragu, apakah mereka akan dapat berhasil.
“Permainan
Kiai mengandung bahaya yang cukup besar,” desis Argajaya.
“Memang.
Tetapi seandainya mereka benar-benar keluar dari benteng mereka itu pun, kita
akan menghancurkannya. Karena itu kita harus siap menunggui setiap mulut desa
itu di empat penjuru. Sebagian terbesar akan datang dari sebelah kiri.”
Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita akan
mundur pada saat kita yakin bahwa keterangan yang kita perlukan sudah kita
dapatkan.”
Sekali lagi
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah kita
coba. Tetapi setiap pemimpin kelompok harus tahu benar rencana ini supaya
mereka tidak membuat kesalahan.”
“Tentu,” sahut
Ki Tambak Wedi. “Sekarang kumpulkan mereka.”
“Baiklah,”
sahut Argajaya, yang kemudian bersama-sama dengan Sidanti memanggil semua
pemimpin kelompok di dalam pasukannya.
Mereka
mendapat petunjuk-petunjuk dengan singkat, apa saja yang harus mereka lakukan.
Mendekati desa itu, dan menyerang dengan senjata-senjata jarak jauh. Menjaga
setiap regol, dan apabila para pengawal keluar juga, perintah Ki Tambak Wedi
adalah, menghancurkan mereka.
“Tetapi kita
tidak akan merebut kedudukan mereka sekarang.”
“Kenapa?”
potong Ki Muni,
“Apabila
mungkin, hal itu baik juga kita lakukan. Kita rebut pemusatan pasukan mereka
dan kita akan mengerti, apakah Argapati memang masih hidup atau sudah mati.”
“Tidak mungkin
dalam keadaan kita saat ini. Kita tidak cukup banyak membawa senjata untuk
kepentingan itu. Kita harus dapat melawan para pengawal yang bersarang di atas
ranting pering ori, dengan alat-alat pelempar lembing dan bahkan pelempar batu
itu.”
“Kalau kita
mendekat, mereka akan menyerang kita dengan cara yang sama.”
Ki Tambak Wedi
menjadi jengkel mendengar kata-kata Ki Muni itu, tetapi ia masih mencoba
menahannya. Dan dicobanya untuk memberikan penjelasan, “Ki Muni,
serangan-serangan yang demikian memang sebagian ditujukan keluar regol. Tetapi
ujung-ujung lembing, panah dan batu-batu itu terutama diarahkan ke mulut regol.
Begitu kita membuka regol, dan pasukan kita berusaha menerobos masuk, maka
terjadilah hujan lembing, panah dan batu di seberang pintu itu.”
Ki Muni
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, sekarang
bersiaplah. Kita akan segera mulai. Tetapi ingat, aku akan memberikan tanda,
agar kita dapat bersama-sama menarik diri. Sidanti dan Argajaya selain
mengawasi pasukan ini, juga berusaha melihat, apakah orang-orang gila itu
mendekati medan. Apabila mereka benar-benar datang, kedua anak-anak gila itu
adalah lawan kalian. Serahkan yang tua kepadaku. Kita harus menyelesaikan
mereka saat ini juga. Kita akan mendapat bantuan dari beberapa orang di dalam
pasukan kita. Antara lain Ki Wasi dan Ki Muni. Sudah tentu kita akan membinasakannya.
Sesudah itu, maka kita tidak akan berteka-teki lagi.”
Sidanti dan
Argajaya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sedang Ki Wasi yang tidak mengerti
apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi itu bertanya,
“Siapakah yang
Kiai maksudkan dengan mereka itu?”
“Kita sedang
ingin melihat, apakah mereka benar-benar orang-orang yang disebut orang-orang
bercambuk itu.”
Ki Wasi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam,
“Aku dapat
mengerti cara yang Kiai tempuh. Mudah-mudahan kita berhasil. Kita akan segera
sampai pada babak seterusnya dari peperangan ini. Semakin cepat kita selesai
pasti akan semakin baik.”
“Kenapa?”
bertanya Ki Muni.
“Lalu kau akan
diangkat menjadi senapati? Atau dukun pribadi Sidanti?”
“Ah,” Ki Wasi
berdesah,
“bukan itu.
Semakin cepat, maka korban akan menjadi semakin sedikit. Kekejaman-kekejaman
yang terjadi akan segera berakhir, dan ketakutan pun tidak akan
berkepanjangan.”
“He?” Ki Muni
menarik keningnya, kemudian terdengar ia tertawa,
“Kau
benar-benar seorang pengabdi kemanusiaan yang paling baik Ki Wasi, tetapi tanpa
kekejaman dan kekerasan kita tidak akan berarti apa-apa lagi. Tidak ada lagi
orang yang sakit parah yang memerlukan pertolonganmu dan pertolonganku.”
“Pikiranmu
telah benar-benar terbalik,” sahut Ki Wasi, yang terpotong oleh kata-kata Ki
Tambak Wedi,
“Sudahlah, apa
pun titik pandangan kalian. Sekarang kita siapkan diri kita masing-masing.
Untuk membuat kegaduhan di pihak mereka, lontarkan obor-obor itu kepada mereka.
Kalau mungkin ke sarang-sarang pasukan yang berada di ranting-ranting pering
ori itu, bahkan apabila mungkin kita bakar saja regol desa itu.”
Ki Wasi
mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya Ki Tambak Wedi, dan sejenak
kemudian Ki Muni. Tetapi ia tidak lagi mengucapkan sepatah kata pun. Sementara
itu, Sidanti dan Argajaya yang menjadi muak mendengar setiap kata-kata Ki Muni
telah mempersiapkan diri. Pesan-pesan terakhir telah diberikannya dan para
pemimpin kelompok pun telah memahami apa
yang harus mereka lakukan.
“Kita
menghangatkan suasana. Kita tidak boleh terlampau lama tertidur. Serangan kali
ini akan mematangkan sikap kita dan akan segera membawa kita ke pertempuran
yang sebenarnya,” berkata Sidanti kepada para pemimpin kelompok itu. Kemudian,
“Sekarang
kembalilah kepada orang-orang kalian masing-masing. Kita akan segera mulai.”
Para pemimpin
kelompok itu pun segera, menyampaikan
perintah itu kepada kelompok masing-masing. Berbagai tanggapan terbayang di
wajah mereka. Apalagi mereka yang datang ke Tanah ini dengan berbagai macam
pamrih pribadi.
“Ki Tambak
Wedi ternyata bukan seorang yang cukup cakap memimpin peperangan,” salah
seorang berdesis.
“Kenapa kita
harus menunda lagi seandainya hari ini kita dapat memasuki padesan itu?”
“Korban terlampau
banyak,” jawab yang lain,
“Kita tidak
bersiap sepenuhnya untuk melakukan itu.”
“Kalau kita
tidak bersiap kenapa hal ini kita lakukan?”
“Sudah
dikatakan, Ki Tambak Wedi ingin mengetahui perbandingan kekuatan yang
sebenarnya di antara kedua pasukan yang berhadapan ini.”
“Orang tua itu
terlampau banyak pertimbangan. Apa salahnya kita memasuki sarang lawan itu
meskipun terlampau banyak korban? Semakin banyak korban akan menjadi semakin
baik bagi kita. Kekayaan yang tersimpan di dalamnya akan kita bagi, menjadi
bagian-bagian yang lebih sedikit.”
“Ah,” yang
lain berdesah, sedang orang yang pertama tersenyum aneh. Senyum yang mempunyai
berbagai macam arti.
Sejenak
kemudian Ki Tambak Wedi telah bersiap. Dengan dada tengadah ia berdiri
memandangi pintu regol di kejauhan. Lampu minyak yang redup tergantung pada
teritis regol yang tertutup itu, meskipun ada satu dua orang yang berjaga-jaga
di luar.
“Kita lakukan
sekarang,” geram Ki Tambak Wedi. Kepada Sidanti dan Argajaya ia berkata,
“Jangan
lengah. Awasi seluruh medan, kalau kelinci-kelinci itu tampak hadir. Hanya
kalianlah yang tahu, apakah mereka ikut campur atau tidak.”
Sejenak
kemudian Ki Tambak Wedi itu pun
melontarkan tanda, bahwa pasukannya harus bergerak. Tiga orang telah
melontarkan panah berapi bersama-sama. Penjaga di muka regol desa melihat api itu
pula. Dengan dada berdebar-debar mereka memandang api yang seolah-olah terbang
ke kebiruan langit. Ketika api itu meluncur dan jatuh di atas tanah persawahan
yang kering, maka sadarlah mereka, bahwa sesuatu akan terjadi.
“Kita harus
memberikan laporan.”
Kawannya tidak
segera menjawab. Tetapi tiba-tiba matanya terbelalak ketika ia melihat obor-obor
telah mulai bergerak.
“Lihat, mereka
mulai maju mendekat.”
Yang lain pun menjadi tegang pula. Katanya,
“Cepat.
laporkan gerakan itu. Aku akan mengawasinya.”
Kawannya tidak
menjawab lagi. Segera ia menyelinap masuk kedalam regol dan lari menghambur
menemui pimpinannya.
“Apakah kau
tidak sedang bermimpi?” bertanya pemimpinnya.
“Aku berkata
sebenarnya.”
Pemimpinnya pun segera meloncat dan berlari keluar regol.
Yang dilihatnya kemudian seakan-akan menghentikan jantungnya. Barisan obor yang
bergerak semakin lama semakin dekat. Jauh lebih banyak dari yang biasa
dilihatnya. Karena sebenarnyalah bahwa Ki Tambak Wedi telah memerintahkan semua
obor, obor-obor cadangan yang disediakan untuk menyambung obor-obor yang telah
kehabisan minyak, dan semuanya, harus dinyalakan.
“Cepat,
sampaikan kepada Ki Samekta dan Wrahasta.”
Seorang
penghubung segera berlari menemui Samekta, sedang pemimpin pengawal yang sedang
bertugas itu berdiri dengan tangan gemetar di luar regol. Tanpa sesadarnya
tangannya telah meraba hulu pedangnya. Sejenak kemudian Samekta sendiri telah
berdiri di muka pintu regol bersama Wrahasta dan beberapa pemimpin pengawal
yang lain. Dengan wajah yang tegang ia mengawasi gerakan sepasukan obor yang
merayap mendekati pertahanannya.
“Siapkan semua
pasukan,” perintahnya.
“Semua
laki-laki yang masih mungkin memegang senjata harus bersiap pula. Agaknya
mereka memusatkan serangan mereka ke regol ini. Karena itu, berikan beberapa
kelompok kecil sebagai pengawas saja di regol-regol yang lain. Tetapi mereka
harus berhati-hati. Jangan sampai mereka terjebak. Regol-regol harus tetap
tertutup rapat. Tidak seorang pun dari pasukan pengawal yang dibenarkan keluar
dari lingkungan ini. Lawan agaknya cukup banyak. Kalau kita terpancing keluar,
maka kita akan dihancurkan seluruhnya tanpa dapat berbuat apa pun.” Samekta
berhenti sejenak, kemudian,
“Semua
pengawal yang melayani alat-alat pelontar senjata jarak jauh harus bersiap di
tempatnya. Kalau mereka mencoba memecah pintu regol, maka semua kekuatan yang
ada harus dikerahkan. Mereka harus dihancurkan sebanyak-banyaknya begitu mereka
berdesak-desakan masuk. Para pengawal harus menjaga sisa dari mereka yang dapat
lolos dari patukan senjata-senjata jarak jauh itu.”
Semua orang
yang mendengar perintah itu menganggukkan kepala mereka. Meskipun tidak sepatah
kata yang keluar dari mulut, namun mereka telah menyatakan kesediaan mereka di
dalam hati. Justru mereka yang ragu-ragu selama ini menjadi mantap kembali.
Apalagi anak-anak muda yang hampir saja diterkam oleh kejemuan, maka kedatangan
lawan mereka itu seolah-olah telah memberikan udara baru bagi mereka. Sejenak
kemudian maka para pemimpin kelompok telah siap untuk menjalankan tugas masing-masing.
Sebelum mereka meninggalkan regol, mereka masih mendengar Samekta berpesan,
“Belum perlu
membunyikan tanda apa pun. Masih ada waktu untuk mencapai segala sudut desa
ini. Khusus untuk Ki Kerti, kita akan mengirim kabar dengan panah sendaren.”
Wrahasta yang
berdiri di samping Samekta mengerutkan dahinya. Setelah para pemimpin kelompok
itu pergi ke kelompoknya masing-masing, serta menyiapkan diri untuk melakukan
perintah Samekta, maka kini masih ada satu soal yang menyangkut di hati
pemimpin pasukan pengawal itu. Dengan ragu-ragu Wrahasta berdesis,
“Apakah yang
akan kita katakan kepada Ki Argapati yang sedang terluka itu?”
Samekta tidak
segera menjawab. Tetapi tampak kebimbangan yang dalam membayang di wajahnya.
Kalau hal ini diberitahukan kepada Ki Argapati, maka Samekta yang sudah
mengenal watak Kepala Daerah Perdikannya itu, pasti tidak akan dapat
mencegahnya lagi, apabila Ki Argapati itu sendiri akan turun ke medan perang.
Tetapi apabila Ki Argapati itu tidak diberitahukannya, maka apabila ia gagal
mempertahankan desa ini, segala kesalahan pasti akan ditimpakannya kepadanya.
Ki Argapati pasti tidak akan dapat memaafkannya, kenapa ia tidak menyampaikan
persoalan yang penting sekali ini kepada Kepala Tanah Perdikan. Dengan
demikian, maka pemimpin pengawal itu telah diamuk oleh keragu-raguan yang tidak
segera dapat dipecahkannya.
“Bagaimana
pendapatmu, Wrahasta?”
Wrahasta
menggelengkan kepalanya,
“Aku tidak
tahu, apakah yang sebaiknya kita lakukan. Aku merasa bahwa apa pun yang kita lakukan adalah salah.”
“Masalah ini
tidak kita persoalkan sebelumnya. Kini kita langsung menghadapi persoalan yang
tidak dapat dipertimbangkan terlampau lama.”
Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia memandang obor-obor yang masih saja
bergerak maju, seperti sejuta kunang yang sedang merayap di atas padang
ilalang, ia menarik nafas panjang-panjang. Katanya,
“Mereka
menjadi semakin dekat.”
Tanpa
sesadarnya Samekta berpaling. Ditatapnya pering ori yang kehitam-hitaman di
dalam gelapnya malam. Tetapi ia tahu, bahwa di belakang carangnya yang rimbun
itu, tersembunyi para pengawal dengan alat-alat pelontar lembing, busur-busur
yang besar dan bahkan pelontar batu-batu.
“Kita tidak
dapat berdiam di sini untuk seterusnya,” desis Wrahasta.
“Kita harus
berada di dalam regol, dan pintu regol itu akan kita tutup dan kita selarak
kuat-kuat.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, kita akan segera masuk. Tetapi bagaimana
dengan Ki Argapati.”
Wrahasta
termenung sejenak. Tetapi ia kemudian menggelengkan kepalanya,
“Kesalahan
kita adalah, kita menunggu sampai serangan itu benar-benar datang. Selama ini
kita seakan-akan dibius oleh dugaan, bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan melakukan
serangan itu segera dalam gelar yang serupa itu.”
Samekta mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Gelar yang
dipakainya kini pun agaknya masih kurang
menguntungkan. Kalau aku, maka gelar yang lebih baik akan aku pergunakan.”
Wrahasta tidak
menjawab. Dipandanginya saja obor-obor yang semakin lama menjadi semakin dekat
itu.
“Kita
berbicara dengan Angger Pandan Wangi,” tiba-tiba Samekta bergumam.
“Kita akan
mendapat bahan tentang Ki Gede Menoreh. Kita akan dapat mempertimbangkannya,
apakah kita akan melaporkannya atau tidak.”
“Ya, kita
menemui gadis itu. Tetapi waktu kita tidak terlalu banyak.”
Samekta dan Wrahasta pun segera masuk ke dalam sambil berkata
kepada para penjaga,
“Pintu regol
ini pun harus segera ditutup. Kalian pun harus masuk pula. Tidak seorang pun
boleh di luar regol.”
“Baik,” jawab
pemimpin pengawal yang sedang bertugas,
“pada saatnya
kami pun akan segera masuk.”
Samekta dan
Wrahasta dengan tergesa-gesa segera berusaha menemui Pandan Wangi. Mereka tidak
dapat menunda lagi karena obor-obor di luar lingkungan pering ori telah menjadi
semakin dekat.
“Bagaimana
dengan Ki Argapati?” bertanya Samekta.
“Ayah telah
menjadi semakin baik. Setelah obatnya diperbaharui maka Ayah menjadi semakin
ringan. Beberapa kali ia bangun dan bahkan berjalan-jalan beberapa langkah di
seputar biliknya.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia tidak dapat memperpanjang waktu
lagi. Apa pun yang akan mereka lakukan
terhadap Ki Argapati, namun Pandan Wangi sendiri harus mengetahuinya apa yang
telah terjadi di luar regol padesan ini. Karena itu, maka Samekta itu pun kemudian berceritera tentang obor-obor
yang telah mulai bergerak mendekati regol.
Wajah Pandan
Wangi segera menjadi tegang dan kemerahan. Sejenak ia terdiam. Kemudian
terdengar ia menggeram, “Kakang Sidanti telah benar-benar lupa diri. Lalu,
“Baiklah, aku
akan pergi ke regol desa.”
“Bukan itu
yang penting Pandan Wangi. Tetapi bagaimana dengan Ki Argapati.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang. Sejenak
kemudian ia berkata,
“Biarlah ayah
beristirahat. Kalau keadaan menjadi terlampau parah, kita akan memberitahukannya.
Kalau tidak, kita tidak perlu membuatnya gelisah.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Pertimbangan Pandan Wangi itu cukup bijaksana.
Karena itu, maka katanya,
“Beritahukan
para pengawal itu Pandan Wangi, agar mereka tidak membuat kesalahan.”
“Baiklah, aku
akan melarang mereka untuk menyampaikan semua berita tentang lawan kepada
Ayah,” sahut Pandan Wangi.
Setelah semua
pengawal rumah itu dipesannya, maka Pandan Wangi pun kemudian minta diri kepada
ayahnya.
“Apakah kau
harus pergi, Wangi.”
“Sebentar,
Ayah. Aku ingin melihat keadaan sejenak.”
“Apakah kau
mendapat firasat bahwa sesuatu telah terjadi?”
Dada Pandan
Wangi berdesir. Tetapi ia menjawab,
“Tidak, Ayah.
Tidak ada apa-apa, selain suatu keinginan yang wajar untuk keluar sejenak dan
melihat keadaan para pengawal.”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab,
“Pergilah,
tetapi jangan terlampau lama.”
“Terima kasih,
Ayah. Aku ingin menemui para pemimpin pengawal di tempat mereka.”
Sejenak
kemudian Pandan Wangi itu pun telah
menghambur ke halaman menemui Samekta dan Wrahasta. Mereka kemudian
bersama-sama pergi ke regol desa yang kini telah tertutup rapat-rapat. Pemimpin
penjaga yang berada di depan pintu regol di bagian dalam segera melaporkan
kepada Samekta bahwa lawan telah berada beberapa langkah saja di depan regol
itu.
“Aku akan
melihatnya,” desis Samekta.
Maka pemimpin
pengawal Tanah Perdikan itu pun segera pergi ke samping regol diikuti oleh
Wrahasta dan Pandan Wangi. Dengan sebuah tangga pendek mereka memanjat ke atas,
dan di atas sebuah anjang-anjang bambu mereka dapat melihat gerakan pasukan
Sidanti yang menjadi semakin dekat.
“Semua
bersiap,” Samekta memberikan aba-aba.
Maka semua
orang pun bersiap di tempat masing-masing. Semua alat pelontar, baik yang di tempatkan
di atas carang-carang ori, maupun yang berada di balik-balik dinding halaman,
semua telah tertuju ke mulut regol yang kini masih tertutup rapat. Sedang
sebagian yang ada di sisi regol, mengarah ke mulut bagian luar dari regol itu. Di
belakang alat-alat pelontar itu, pasukan pengawal tanah perdikan sudah siap
dengan senjata masing-masing. Sebagian berada di balik dinding-dinding batu,
namun ada di antara mereka yang duduk di atas cabang-cabang pohon dengan busur
di tangan mereka. Pandan Wangi dan Wrahasta pun telah berada di atas
anjang-anjang bambu itu pula. Sekali-sekali terdengar mereka menggeram. Wajah
Pandan Wangi menjadi merah seperti terbakar. Kedua tangannya telah hinggap di
hulu sepasang pedangnya. Sejenak kemudian maka pasukan Sidanti pun telah berada
di depan mulut regol menebar dalam gelar yang tidak terlampau luas. Beberapa
orang yang berdiri di paling depan tampak seolah-olah seekor harimau yang
sedang merunduk mangsanya, perlahan-lahan mereka maju, namun pasti. Dada
Samekta menjadi berdebar-debar. Ia masih belum dapat melihat, siapakah yang
berdiri di pusat paruh pasukan lawannya. Beberapa langkah dari pintu regol
pasukan lawan itu berhenti. Kemudian seseorang yang berwajah keras seperti
batu-batu padas, berkumis dan berjanggut, berhidung lengkung seperti paruh
burung betet, maju ke depan. Itulah Ki Tambak Wedi, pemimpin dari seluruh
pasukan lawan yang kini berada di mulut regol. Sejenak kemudian orang tua itu
terhenti. Dipandanginya pintu regol yang tertutup rapat-rapat. Kemudian lampu yang
masih menyala di luar. Lalu dilayangkannya pandangan matanya ke kegelapan di
samping regol.
Seandainya
bukan Ki Tambak Wedi, dan seandainya matanya tidak setajam mata burung hantu,
ia tidak akan melihat apa pun di balik
carang ori dalam kegelapan itu. Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi tidak dapat
dikelabuhi lagi. Sambil menunjuk ke arah para pemimpin pengawal Tanah Perdikan
Menoreh ia berkata,
“He, siapakah
yang memegang pimpinan kali ini?”
Dada Samekta
berdesir. Namun ia tidak yakin bahwa Ki Tambak Wedi dapat melihatnya dengan
jelas.
“He, siapa
yang memegang pimpinan?”
Debar di dada
Samekta masih belum mereda. Ia bukan seorang yang merasa dirinya kurang
bernilai untuk memimpin pasukan pengawal tanah perdikan. Sebagai seorang yang
telah memiliki pengalaman yang berpuluh tahun, ia yakin, bahwa ia mampu
memegang pimpinan dalam keadaan yang bagaimanapun juga.
Tetapi ketika
ia berhadapan dengan Ki Tambak Wedi, terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya.
Namun agaknya
bukan hanya Samekta sendiri yang dihinggapi oleh perasaan yang aneh. Setiap
pengawal yang berada di atas cabang-cabang pering ori, yang melihat orang tua
itu berdiri dengan kaki merenggang di luar regol yang tertutup rapat itu, hati
mereka pun berdesir. Serasa mereka melihat hantu yang datang dari lereng Gunung
Merapi, siap untuk menyebarkan maut. Apalagi ketika mereka melihat di tangan
hantu tua itu tergenggam sebuah nenggala yang mengerikan.
“He, apakah
kalian tuli?” teriak Ki Tambak Wedi,
“atau bisu,
atau mati ketakutan?”
Samekta
menggeram. Ia tidak dapat berdiam diri untuk seterusnya. Karena itu, ia
melangkah setapak maju sambil menggeretakkan giginya, seakan-akan mencari
sandaran kekuatan untuk menjawab pertanyaan Ki Tambak Wedi itu.
Tetapi terasa
darahnya tiba-tiba saja berhenti mengalir. Bukan saja Samekta, namun juga
Wrahasta, Pandan Wangi, dan bahkan semua orang yang kemudian mendengar suara
tertawa perlahan-lahan. Dalam kegelapan mereka kemudian melihat sebuah bayangan
yang meloncat dari belakang rimbunnya carang ori di sisi regol yang lain ke
atas bubungan atap. Kemudian bayangan itu berhenti tepat di tengah-tengah
bubungan regol itu. Hampir tidak percaya setiap pengawal tanah perdikan
menyaksikan bayangan yang berdiri dengan teguhnya sambil menggenggam sebuah
tombak pendek. Di sela-sela detak jantumg para pemimpin dan para pengawal,
mereka mendengar bayangan itu berkata,
“Sudah tentu,
akulah yang memimpin pasukanku, Ki Tambak Wedi.”
Sejenak
suasana dicengkam oleh kesenyapan yang menegangkan. Semua mata kini hinggap
pada bayangan yang berdiri di bubungan atap dengan tombak pendek di tangannya.
Seperti orang
yang mengigau terdengar suara Pandan Wangi lambat,
“Ayah. Kenapa
ayah berada di situ?”
Samekta yang
masih belum dapat menenangkan dirinya berpaling. Dengan telapak tangannya ia menekan
dadanya sambil berdesis,
“Agaknya Ki
Argapati mengetahui apa yang telah terjadi.”
“Tetapi,”
gumam Wrahasta, “bagaimana dengan lukanya itu?”
Tidak
seorang pun yang dapat menjawab semua
pertanyaan itu, yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tambak Wedi,
“He, kau
Argapati. Apakah luka-lukamu sudah sembuh? Ternyata kau benar-benar seorang
yang mempunyai nyawa rangkap, atau kau menyimpan seorang dukun yang tidak ada
duanya di muka bumi?”
Terdengar Ki
Argapati tertawa perlahan-lahan. Jawabnya,
“Tidak ada
yang mustahil terjadi di muka bumi ini apabila Tuhan berkenan, Tambak Wedi. Aku
masih mendapat kurnia umur beberapa waktu lagi. Apa pun caranya, namun aku
telah mendapat kesembuhan daripada-Nya.”
Ki Tambak Wedi
menggeram. Tetapi kehadiran Ki Argapati itu ternyata telah mempengaruhinya.
Bukan saja dirinya sendiri, tetapi Sidanti, Argajaya, Ki Wasi dan apalagi Ki
Muni, menjadi membatu di tempatnya. Seolah-olah mereka melihat sesosok hantu
yang berdiri di atas bubungan atap regol.
Para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh pun sangat
terpengaruh pula oleh kehadiran Kepala Tanah Perdikannya itu. Apabila semula
mereka menjadi kecut melihat Ki Tambak Wedi yang berdiri tegak dengan nenggala
di tangannya di muka regol desa itu sambil memanggil-manggil pimpinan pasukan
pengawal, maka dada mereka kini serasa tersiram embun. Sehingga kecemasan,
keragu-raguan apalagi ketakutan telah terusir. Di samping Ki Argapati, semua
anggauta pasukan pengawal, bahkan setiap laki-laki yang dengan suka rela telah
menyatakan diri ikut berperang, tidak lagi akan mengenal takut, meskipun ujung
senjata lawan akan membelah dada mereka.
“Ki Argapati,”
terdengar suara Ki Tambak Wedi,
“apabila benar
kau telah berhasil mengatasi lukamu, maka sebaiknya kau membuat
pertimbangan-pertimbangan yang wajar untuk selanjutnya. Apakah kau tidak dapat
berbuat lain daripada tindakan bodoh seperti yang kau lakukan kali ini? Apa
artinya beberapa buah desa kecil yang kau duduki sekarang? Kalau kita
mengepungmu siang dan malam, maka kalian akan mati kelaparan. Tetapi kami masih
dapat berpikir bening, bahwa orang-orang yang terperosok ke dalam kedunguan
karena kesetiaannya yang mati kepadamu itulah, maka kami masih tetap memberi
kesempatan kepada kalian untuk merampas bahan makanan dari desa-desa di sekitar
sarangmu ini. Karena itu, apakah kau tidak pernah berpikir untuk mengakhiri
tindakan yang bodoh ini? Aku menjamin bahwa kau akan tetap diperlakukan dengan
baik dan dihormati. Kami tidak akan melakukan tindakan apa pun terhadap orang-orang yang kini tetap
setia kepadamu. Sehingga dengan demikian, penyelesaian akan segera dapat
dicapai.”
Ki Argapati
tidak segera menjawab. Tetapi ia tertawa.
“Kenapa kau
tertawa?”
“Kalau bukan
kau yang mengatakannya, Ki Tambak Wedi, mungkin aku akan percaya. Tetapi karena
kau yang mengucapkannya, maka ceriteramu itu tidak lebih dari kata-kata
banyolan dalam pertunjukan tari topeng.”
Jawaban itu
telah membakar dada Ki Tambak Wedi. Tetapi ia masih berusaha menguasai
perasaannya.
“Kalau begitu,
Ki Argapati, apakah aku harus mempergunakan kekerasan?”
“Kenapa kau
bertanya kepadaku?”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,”
geramnya. Orang tua itu pun kemudian
mengangkat tangannya. Digerakkannya tangan itu melingkar sekali, kemudian
diayunkannya tangannya maju ke depan.
Sesaat
kemudian maka obor-obor pun mulai bergerak pula perlahan-lahan. Yang memimpin
pasukan itu adalah Ki Wasi dan Ki Muni. Sidanti dan Argajaya, meskipun ikut di
dalam pasukan itu, tetapi mereka tidak berdiri di ujung barisan. Kecuali mereka
tidak merasa perlu untuk menampakkan diri, mereka masih mempunyai tugas untuk
mengawasi seandainya orang-orang yang sedang mereka cari itu benar-benar hadir
di dalam peperangan.
Ki Argapati
yang melihat obor-obor itu telah mulai bergerak, menarik nafas dalam. Sesaat
kemudian ia berpaling, seakan-akan ingin melihat apakah orang-orangnya telah
siap pula menyambut kedatangan lawan.
“Kita tidak
akan menunggu lagi bukan, Ki Argapati?” bertanya Ki Tambak Wedi. Lalu,
“Kecuali
apabila kau merubah pendirianmu.”
“Memang,”
jawab Ki Argapati,
“kita tidak
perlu menunggu siapa pun. Kita akan segera mulai.”
Ki Tambak Wedi
tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian melangkah surut menyongsong pasukannya
yang bergerak semakin maju.
Ki
Argapati pun kemudian meninggalkan
tempatnya pula. Tetapi ia tidak kembali ke tempat darimana ia meloncat ke
bubungan atap regol itu. Tetapi ia kemudian pergi mendapatkan Samekta,
Wrahasta, Pandan Wangi, dan para pemimpin yang lain.
“Apakah kalian
telah siap?” bertanya Ki Argapati.
“Maaf Ki Gede.
Bukan maksud kami meninggalkan Ki Gede. Tetapi kami tidak sampai hati
mengganggu Ki Gede yang masih belum sehat benar.”
“Aku tahu
maksudmu. Karena itu, kita tidak perlu mempersoalkannya lagi.”
“Tetapi dari
mana Ayah mengetahui hal ini?” bertanya Pandan Wangi.
“Aku menaruh
curiga atas kepergianmu yang tiba-tiba. Kemudian aku keluar halaman dan
bertanya kepada orang-orang yang sibuk hilir-mudik di sepanjang jalan.”
Pandan Wangi
menarik nafas. Yang dipesannya hanyalah para pengawal yang menjaga rumah itu,
tetapi sudah tentu ia tidak akan dapat berpesan kepada setiap orang.
“Sekarang,”
berkata Ki Argapati,
“kita akan
mulai. Kita tidak boleh kehilangan kesempatan untuk melawan kali ini, dan
mempertahankan tempat ini. Kalau kita terusir dari tempat ini, maka kehancuran
sudah berada di ambang pintu.”
Samekta
menganggukkan kepalanya. Kemudian diberikannya isyarat kepada setiap kelompok.
Beberapa penghubung telah tersebar, membawa perintah pemimpin pasukan pengawal
itu.
Namun
sementara itu, Pandan Wangi terkejut ketika ia melihat ayahnya menyeringai
sambil memegangi dadanya. Dengan cemas ia mendekat dan bertanya terbata-bata,
“Kenapa dengan luka itu, Ayah?”
“Tidak
apa-apa.”
“Seharusnya
Ayah masih beristirahat. Dan kami memang ingin mempersilahkan Ayah
beristirahat.”
“Aku harus ada
di sini Pandan Wangi,” jawab ayahnya,
“meskipun aku
belum sehat benar.” Orang tua itu berhenti sejenak. Diedarkannya pandangan
matanya ke sekitarnya. Ketika tidak dilihatnya orang lain kecuali Samekta dan
Wrahasta, yang berada di dekatnya, maka ia berkata lirih, “Aku harus ada di
peperangan ini meskipun aku belum cukup kuat untuk bertempur. Aku tidak dapat
membiarkan para pengawal menjadi ketakutan melihat Ki Tambak Wedi. Kehadiranku
akan memperbesar hati mereka dan memperkuat perlawanan mereka.” Ki Argapati
berhenti sejenak. Sekali lagi ia menyeringai menahan sakit yang mulai menyentuh
lukanya kembali.
Pandan Wangi,
Samekta, dan Wrahasta menjadi cemas melihat keadaan Ki Argapati. Namun di dalam
hati mereka menjadi semakin menundukkan kepala mereka. Ki Gede Menoreh sama
sekali tidak menghiraukan keadaannya sendiri. Tetapi ia lebih memelihara
ketahanan hati para pengawal. Sebab ia yakin, bahwa kehadirannya akan sangat
berpengaruh pada perasaan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun
demikian, tetapi Ki Argapati tidak akan dapat dibiarkan menjadi korban, selama
hal itu masih dapat dihindarinya.
“Pandan
Wangi,” berkata Ki Argapati,
“sebentar lagi
kedua pasukan yang berhadapan ini akan berbenturan. Aku akan turun. Aku akan
menunggu di bawah, di dalam regol. Kalau Ki Tambak Wedi berkeras akan
memecahkan regol itu, dan memasuki padesan ini, apa boleh buat. Tetapi sudah
tentu aku tidak dapat bertempur sendiri. Aku memerlukan beberapa orang kawan
untuk menghadapi Ki Tambak Wedi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar