Jilid 041 Halaman 1


SEMENTARA itu, Ki Tambak Wedi masih saja sibuk mencari orang yang telah mengganggunya. Tetapi seperti hantu, orang itu menghilang tanpa meninggalkan bekas apa pun.
“Pasti bukan orang kebanyakan,” desisnya. Dan tiba-tiba saja diingatnya orang yang telah mengintainya, ketika ia menunggu orang-orang berkuda itu.
“Kalau orang ini yang mengintai itu, maka apakah yang dapat dilakukan oleh kedua orang-orangku yang akan mencoba menangkapnya?” gumam Tambak Wedi itu pula.
“Aku akan melihatnya,” orang itu tiba-tiba menggeram. Tanpa berkata apa pun juga kepada orang-orangnya, maka ia pun segera meloncat kembali ke tempatnya menunggu orang-orang berkuda itu. Beberapa pengikutnya yang melihatnya, segera berlari-lari mengikutinya, dengan berbagai macam pertanyaan di dalam hati. Ki Tambak Wedi itu hampir saja menginjak salah seorang yang sedang terbaring diam. Dengan serta-merta iblis tua itu berjongkok dan meraba dada orang yang terbaring itu.
“Ia masih hidup,” desisnya.
“Siapakah itu Kiai?” bertanya salah seorang pengikutnya.
“Buka matamu, siapa orang ini.”
Orang yang bertanya itu mengerutkan keningnya. Kemudian digeretakkannya giginya ketika ia mengetahui bahwa yang terbaring itu adalah kawannya.
“Yang seorang ada di sini!” tiba-tiba seorang yang lain berteriak.
Ki Tambak Wedi-lah yang kemudian menggeretakkan giginya pula.
“Bawa kemari,” katanya.
Kemudian keduanya  pun dibaringkan berjajar di atas rerumputan yang kering. Dengan teliti Ki Tambak Wedi mencoba melihat, kenapa keduanya menjadi pingsan.
Dengan pengetahuan yang ada padanya, Ki Tambak Wedi memijit-mijit di bagian-bagian yang dianggapnya penting. Di punggung, kemudian ditelusurnya sampai ke bagian lehernya. Ketika Ki Tambak Wedi menyentuh di bawah ketiak salah seorang dari keduanya, maka orang itu menggeliat.

Perlahan-lahan orang itu membuka matanya. Sejenak ia masih belum dapat bangkit karena dunia ini rasanya seperti berputar.
“He, bangkitlah. Katakan apa yang telah terjadi dengan kau dan kawanmu itu.”
“Kepalaku seperti berputar,” desisnya perlahan-lahan.
Ki Tambak Wedi menggeram. Sekali lagi ditelusurinya punggung orang itu. Ketika tersentuh simpul keseimbangannya, maka orang itu pun terlonjak.
“Bagaimana?” bertanya Ki Tambak Wedi.
“Ya, sudah jauh berkurang. Tetapi perutku menjadi mual.”
“Persetan dengan perutmu!” bentak Ki Tambak Wedi. “Katakan, siapa yang telah membuatmu pingsan.”
“Aku tidak tahu. Aku hanya melihat dua sosok bayangan hitam.”
“Dua?”
“Ya. Yang seorang telah membuat kawanku itu pingsan tanpa aku ketahui sebabnya. Bayangan itu langsung menerkam dan membantingnya jatuh. Keduanya berguling sejenak. Tetapi yang bangkit kemudian hanyalah bayangan yang kehitam-hitaman itu.”
“Gila kau. Dalam gelap semuanya tampak hitam. Tetapi bagaimana dengan kau.”
“Bayangan yang satu lagi, telah membuat aku pingsan pula. Ia menyusup di bawah ayunan pedangku. Kemudian terasa tanganku seperti terlepas dan tengkukku serasa tebal. Aku kemudian tidak tahu apa-apa lagi.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ceritera orang itu sangat menarik perhatiannya. Ternyata selain orang yang mencegat pasukan berkuda itu, masih juga ada orang lain yang bukan orang kebanyakan.
Namun tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu bertanya,
“Dua orang kau bilang?”
“Ya Kiai, dua orang.”
“Katakan, bagaimana bentuk kedua orang itu.”
Orang itu mencoba mengingat-ingat. Tetapi kemudian ia berkata,
“Aku tidak dapat mengatakannya Kiai. Terlampau gelap untuk mengenal wajah-wajah mereka.”
“Aku tidak bertanya tentang wajahnya. Katakan, apakah mereka masih muda, tinggi atau pendek, atau kurus, gemuk dan apa lagi yang dapat kau sebutkan.”
Sekali lagi orang itu merenung. Kemudian menggeleng,
“Aku tidak dapat menyebutkan Kiai. Aku tidak melihatnya dengan jelas.”
“Gila. Kau sudah menjadi gila. Apakah kau juga tidak dapat menyebutkan jenis senjata yang mereka pakai.”
“Mereka sama sekali tidak bersenjata.”
“O, kau memang sudah gila. Kau memang sudah gila.” Ki Tambak Wedi menjadi semakin marah. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Sambil menggeretakkan giginya ia menghentakkan kakinya.

Orang-orangnya sama sekali tidak ada yang berani mengucapkan sepatah kata pun. Semuanya menundukkan kepalanya. Tidak seorang  pun yang bergerak, meskipun sekedar ujung jari kakinya.
“Kita menggabungkan diri dengan pasukan Sidanti,” geram Ki Tambak Wedi.
“Aku akan berbicara dengan anak itu.”
Ki Tambak Wedi tidak menunggu jawaban apa pun. Diayunkannya langkahnya ke luar dari rimbunnya dedaunan. Sambil berjalan ia berkata,
“Bawa orang yang pingsan itu kedua-duanya kembali. Mereka hanya akan mengganggu saja.”
“Baik Kiai,” jawab salah seorang dari mereka.
Maka beberapa orang kemudian mendapat tugas mengantar kedua orang itu kembali ke induk kademangan yang telah diduduki Sidanti. Meskipun yang seorang telah dapat berjalan sendiri, tetapi ia masih memerlukan bantuan dua orang kawan-kawannya.
Sementara itu, malam  pun menjadi kian gelap pula. Ki Tambak Wedi menarik nafas ketika ia melihat beberapa buah obor telah berada di depan mulut regol desa, tempat pemusatan pasukan Argapati, meskipun tidak terlampau dekat. Seperti biasanya, pasukan Ki Tambak Wedi itu memperlihatkan dirinya. Ternyata usaha itu sedikit demi sedikit berpengaruh pula. Beberapa orang yang berada di dalam lingkungan pering ori itu sudah mulai bertanya-tanya,
“Apakah sampai akhir hidupku, aku tidak akan sempat keluar dari tempat ini? Siang malam kami selalu diburu oleh kecemasan. Mungkin pada suatu saat pasukan itu tidak hanya akan sekedar mengepung kami. Suatu ketika pasukan itu akan menerkam pertahanan ini dengan dahsyatnya. Mungkin pada suatu saat pasukan itu tidak hanya akan sekedar mengepung kami. Suatu ketika pasukan itu akan menerkam pertahanan ini dengan dahsyatnya. Mungkin mereka akan berusaha membakar pering-pering ori ini dan menghanguskan segala isinya.”
Dan yang lain bergumam dalam hati,
“Apakah sebenarnya yang harus kami pertahankan ini? Ternyata sama sekali bukan Menoreh, tetapi Ki Argapati. Dan karena itu, maka setiap malam kita harus berhadapan dengan kecemasan dan ketakutan. Sedangkan kita tidak tahu pasti, apakah perbedaan yang akan kita lihat, apabila kita berada di bawah kekuasaan Ki Argapati dan kekuasaan Sidanti. Bahkan mungkin anak muda itu dapat memberikan suasana yang baru bagi tanah ini.”
Agaknya pikiran-pikiran itu tidak hanya menghinggapi satu dua orang. Tetapi mereka masih tetap menyimpan di dalam hatinya, meskipun dari hari ke hari, mereka mengalami suasana yang penuh ketegangan, kecemasan, dan kemudian kejemuan. Tampaknya permusuhan ini tidak akan segera berakhir, meskipun persediaan makan mereka menjadi semakin tipis.
Namun sebagian lagi berpendirian lain, meskipun berpijak pada kejemuan pula. Beberapa pengawal muda berkata satu sama lain,
“Apakah untungnya kita menunggu. Lebih baik kita keluar dari penjara ini. Apa  pun yang akan terjadi. Kita serang saja pusat pertahanan Sidanti. Kalau kita menang, menanglah kita. Kalau kita hancur segeralah kita binasa daripada menunggu tanpa batas seperti sekarang ini.”
“Kita menunggu Ki Argapati sembuh,” desis yang lain.
“Ya, aku tahu. Tetapi kapan Ki Argapati itu akan sembuh?”
“Tanpa Ki Argapati, siapakah yang akan berhadapan dengan Ki Tambak Wedi?”
“Meskipun ia bersenjata petir dan berperisai gunung sekalipun namun tenaganya pasti terbatas juga. Kita lawan orang tua itu bersama-sama. Maka ia pun pada saatnya akan mati.”
“Demikianlah kalau kita, seluruh pasukan itu, bertempur melawan Ki Tambak Wedi seorang diri. Tetapi ternyata kita berperang melawan sejumlah orang yang seimbang dengan jumlah orang di pasukan kita.”
Lawannya berbicara terdiam sejenak. Namun sepasang mata nya memancarkan kejemuannya yang hampir tidak tertanggungkan.

Malam ini mereka dihadapkan lagi pada sepasukan orang-orang Sidanti yang mengepung padesan tempat pemusatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Seperti di saat-saat yang lewat, beberapa obor terpancang beberapa patok dari desa, melengkung, di hadapan mulut gerbang. Satu-satu obor yang lain agaknya melingkar di seputar padesan itu pula. Yang sibuk dibicarakan saat itu adalah pasukan berkuda yang terpaksa masuk kembali ke dalam regol. Beberapa orang telah menghadap Samekta, Wrahasta, dan beberapa orang pemimpin yang lain.
“Tidak seorang pun tahu, siapakah orang itu,” berkata pemimpin pasukan berkuda itu.
Samekta mengerutkan keningnya.
“Seorang dari kami, telah dikenai oleh Ki Tambak Wedi, kami tidak sempat membawanya kembali. Mungkin besok siang, aku akan mengambilnya.”
Wrahasta menggeram. Katanya, “Kenapa kau percaya kepada orang itu?”
“Kata-katanya meyakinkan. Dan sebenarnya bahwa kami tidak akan dapat berbuat terlampau banyak bila kami benar-benar berhadapan dengan Ki Tambak Wedi. Dalam jarak yang cukup jauh, seorang kawan kami telah gugur, dan seekor kuda kami mati pula terkena lemparan besi itu.”
Wrahasta terdiam. Tetapi ia masih saja menggeram menahan kemarahan.
Tetapi para pemimpin pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh, tidak dapat menyalahkan pemimpin pasukan berkuda itu. Ternyata bahwa salah seorang dari mereka memang telah gugur, dan seekor kuda telah mati. Beberapa orang dari anggota pasukan berkuda itu  pun mengatakan bahwa mereka tidak dapat melihat, betapa cepatnya semua itu terjadi. Yang mereka ketahui kemudian, korban-korban itu telah jatuh.
“Dengan demikian,” berkata Samekta kemudian,
“apakah Ki Tambak Wedi masih juga memperhitungkan lagi ceritera tentang orang-orang bercambuk di dalam pasukan berkuda itu?”
Wrahasta menundukkan wajahnya. Tetapi ia menggeram,
“Kita tidak perlu menggantungkan diri kita kepada siapa pun.”
“Bukan itu maksudku,” jawab Samekta.
“Selama ini agaknya Ki Tambak Wedi memperhitungkan gerakan pasukan berkuda itu. Mungkin pengaruh dari gerakan itulah yang menunda kenapa Ki Tambak Wedi masih belum berbuat sesuatu selain mempengaruhi kebulatan tekad kami dengan obor-obor itu hampir di setiap malam. Namun kini agaknya ia telah yakin. Ia memerlukan mengetahui, siapakah sebenarnya yang berada di dalam pasukan berkuda itu.”
Wrahasta mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Ternyata cambuk-cambuk itu telah memanggil Ki Tambak Wedi. Bukan orang-orang bercambuk itu.”
“Tetapi orang bercambuk itu pun telah datang. Kami mengharap besok mereka akan memasuki padesan ini.”
“Apa yang dapat kita harapkan dari mereka?”
“Setidak-tidaknya pengobatan atas Ki Argapati.”
Wrahasta menggelengkan kepalanya,
“Tidak banyak gunanya. Orang bercambuk itu tidak dapat membuat Ki Argapati sembuh dalam waktu satu malam. Bagaimana kalau besok atau lusa Ki Tambak Wedi menyarang?”
“Tetapi usaha itu harus dilakukan,” sahut Samekta.
Wrahasta tidak menjawab lagi. Tetapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesan yang baik buat orang orang bercambuk itu. Bahkan kemudian ia berkata,
“Ki Argapati harus segera tahu. Aku akan menghadap.”
“Baiklah,” jawab Samekta,
“sampaikan laporan ini. Atau bawa sajalah pemimpin pasukan berkuda itu.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Akan aku bawa anak itu.”
Wrahasta  pun kemudian pergi bersama pemimpin pasukan berkuda menghadap Ki Argapati, sedangkan Samekta pergi ke regol desa, menemui para peronda. Samekta memperingatkan mereka, agar mereka menjadi semakin berhati-hati. Agaknya dalam waktu yang singkat, keadaan akan menjadi semakin panas. Semua senjata harus dipersiapkan. Jebakan-jebakan dan senjata-senjata jarak jauh. Alat-alat pelontar lembing dan busur-busur.

Sementara itu Ki Tambak Wedi duduk di antara para pemimpin pasukannya. Sidanti, Argajaya, dan dua orang dukun-dukun yang selalu beserta dengan mereka, Ki Wasi dan Ki Muni, yang tidak saja pandai mengobati luka-luka, tetapi mereka  pun membawa senjata di lambung mereka. Mereka agaknya siap pula untuk bertempur. Ki Wasi membawa sepasang trisula bertangkai pendek, sedang Ki Muni bersenjata sebilah pedang yang lengkung. Pedang yang didapatnya dari seorang perantau asing yang mengembara. Suatu ketika Ki Muni pernah berguru kepadanya tentang ilmu obat-obatan dan bahkan tentang olah kanuragan. Pedang itu diterimanya dari gurunya itu, meskipun ia belum berhasil mempelajari ilmunya dengan sempurna. Itulah sebabnya maka pedang itu dianggapnya sebagai pedang yang keramat.
“Tak ada duanya di seluruh daerah Pajang dan bahkan seluruh kerajaan Demak lama,” katanya dengan bangga. “Pedang ini datang dari suatu negara yang sangat jauh. Negara di seberang lautan. Lautan air dan lautan pasir.”
Ki Tambak Wedi selalu mengumpat di dalam hatinya apabila ia mendengarnya. Sebagai seorang yang jauh menyimpan pengalaman dan pengetahuan, maka sudah tentu ia terlampau muak mendengar kebanggaan yang berlebih-lebihan itu. Di pesisir terutama, ia pernah melihat pedang serupa itu lebih dari segerobag. Orang-orang asing kadang-kadang menukarkan senjata-senjata serupa itu dengan senjata-senjata orang Demak. Sekedar untuk kenang-kenangan.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak pernah ingin mempersoalkannya. Apalagi kini, ia mempunyai masalah yang cukup penting untuk dibicarakan.
“Apakah Guru tidak dapat mengenalnya?” bertanya Sidanti.
“Jarak itu tidak terlampau dekat. Apalagi di malam hari. Aku seolah-olah hanya melihat sesosok bayangan yang kehitam-hitaman.”
“Bukankah Guru mendengar suaranya? Suara itu mungkin pernah guru dengar sebelumnya.”
Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya, katanya,
“Suara itu adalah suara yang parau meskipun bernada tinggi.”
Sidanti mengerutkan keningnya. Namun kemudian Argajaya bertanya,
“Lalu bagaimana dengan yang dua orang itu?”
“Tak ada gambaran sama sekali. Orang-orang yang dibuatnya pingsan hanya dapat melihatnya sebagai bayangan yang hitam.”
“Ya, Kiai. Mungkin tidak ada petunjuk-petunjuk yang dapat dipakai sebagai landasan untuk menyebut keduanya. Tetapi jumlah mereka menimbulkan kecurigaanku.”
“Kenapa dengan jumlah itu?” bertanya Sidanti.
“Seorang guru dan dua orang murid.”
Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Katanya perlahan-lahan seperti kepada diri sendiri,
“Aku memang sudah menduga meskipun pada saat orang-orang berkuda itu melarikan diri, aku masih mendengar ledakan-ledakan cambuk di antara mereka.”
“Apakah maksud Guru mengatakan bahwa orang-orang bercambuk itu ada di antara pasukan berkuda, dan yang dua orang itu orang lain lagi?” bertanya Sidanti.
Ki Tambak Wedi menggeleng,
“Tidak begitu. Namun aku belum menemukan keyakinan. Tetapi aku condong pada pikiran itu. Bahwa yang menghentikan pasukan berkuda itu adalah gurunya dan yang dua orang itu adalah murid-muridnya yang sama gilanya dengan gurunya.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera berkata apa pun. Angan-angannya baru dipenuhi oleh berbagai macam dugaan dan pertimbangan. Yang tidak segera mengerti pembicaraan itu adalah Ki Wasi dan Ki Muni. Sejenak kemudian mereka mengerutkan keningnya. Ki Muni, yang tidak dapat menahan hati lagi, segera bertanya,
“Siapakah yang kalian bicarakan itu?”

Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu sejenak. Mula-mula ia ingin berkata terus terang. Tetapi apabila ceritera tentang orang-orang bercambuk itu meluas, dan seolah-olah Ki Tambak Wedi sendiri sudah membenarkan, maka hal itu pasti akan mempengaruhi keberanian orang-orangnya. Karena itu, maka kemudian ia menjawab,
“Mereka pasti orang-orang yang ingin mengail ikan di air yang sedang keruh.”
“Tetapi menilik ceritera Kiai, seolah-olah mereka adalah orang-orang yang harus disegani.”
“Aku tidak dapat mengenal mereka dengan jelas. Dan apa yang terjadi itu pun bukan ukuran yang sebenarnya. Pada suatu ketika aku ingin bertemu langsung dengan mereka, untuk mengetahui apakah aku pantas menundukkan kepala, atau semuanya itu hanya sekedar sebuah permainan yang licik dari Argapati.”
Meskipun jawaban itu tidak memberinya kepuasan, tetapi ia tidak mendesak lagi. Namun ia bergumam seperti kepada diri sendiri,
“Apakah kita akan menunggu sampai Argapati sembuh?”
“Apakah Argapati itu tidak jadi mati?” Sidanti memotong.
Ki Muni membelalakkan matanya. Sindiran itu sangat menyakitkan hatinya. Seolah-olah Sidanti mengejeknya, bahwa perhitungannya sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan.
“Siapa yang melihat bahwa Argapati masih hidup?” ia membantah.
“Mungkin Argapati memang sudah mati. Tetapi karena orang-orang Menoreh yang berpihak kepadanya cukup licik, sehingga mereka dapat melindungi rahasia itu serapat-rapatnya.”
“Kita tidak boleh mimpi. Kita harus berani menghadapi kenyataan.”
“Siapa yang mengingkari kenyataan?” Ki Muni menjadi tegang, dan bahkan hampir-hampir ia berteriak seandainya Ki Tambak Wedi tidak menengahi,
“Kenapa kita ribut? Ada atau tidak ada Argapati, kita tidak boleh cemas. Argapati hanya seorang diri. Sejauh-jauh yang dapat dilakukan tentu sangat terbatas. Orang kedua adalah Pandan Wangi. Sedang yang lainnya, sama sekali tidak banyak berarti.”
“Apakah Ki Tambak Wedi telah melupakan ceritera Ki Peda Sura tentang dirinya?”
Ki Tambak Wedi tidak segera menyahut. Terlintas dalam kepalanya, kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, apabila ia menunda waktu terlampau lama. Tetapi untuk bergerak sekarang, ia tidak dapat membuat perbandingan yang setepat-tepatnya. Tidak seorang pun dari petugas sandinya yang tahu pasti tentang keadaan Ki Argapati. Tidak seorang  pun yang dapat mengatakan, siapakah sebenarnya orang-orang bercambuk di dalam lingkungan pasukan berkuda itu dan siapa pula yang telah berkelahi melawan Ki Peda Sura. Tetapi kesimpulan Ki Tambak Wedi, yang paling mungkin adalah permainan Argapati, sedang orang-orang bercambuk yang sebenarnya justru bukan yang berada dalam pasukan berkuda itu.
Tetapi sebelum Ki Tambak Wedi menjawab, Sidanti telah mendahului,
“Kenapa kita tidak berbuat sekarang juga, Guru?”
“Nah,” tiba-tiba Ki Muni memotong,
“bukankah kau juga membenarkan pendapatku? Apalagi yang kita tunggu?”
“Omong kosong,” wajah Sidanti pun menjadi merah.
“Aku selalu berpendirian demikian. Sama sekali bukan membenarkan pendapatmu.”
“Kau terlampau sombong, Anak Muda. Kenapa kau tidak mau mengakui, bahwa sebenarnya akulah yang pertama-tama berpendapat demikian.”
“Tidak,” tiba-tiba Sidanti menggeram.
Namun segera gurunya berkata,
“Kejemuan telah membuat kalian menjadi gila. Aku tahu, bahwa bukan hanya kalian berdua saja yang berpendapat demikian, tetapi kita seluruhnya menghendakinya.”
Sidanti menggeretakkan giginya. Sedang Ki Muni kemudian berjalan hilir-mudik sambil bergeramang tidak menentu.
“Kalau memang begitu,” Argajaya-lah yang berkata,
“Kenapa kita menunggu lebih lama lagi? Bukankah sekarang kita sudah berdiri di ambang pintu.”
“Itu tidak mungkin,” sahut Ki Tambak Wedi,
“Kita tidak bersiap untuk melakukan penyerangan. Kekuatan kita hanya kita siapkan untuk melakukan pengepungan seperti biasa. Beberapa bagian untuk menjebak apabila pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang masih setia kepada Argapati itu berusaha menolong pasukan berkudanya. Tetapi semua rencana itu telah rusak. Dan kita tidak dapat merubah rencana itu dengan tiba-tiba. Sebab yang kita hadapi adalah kekuatan. Kekuatan yang masih menjadi teka-teki. Dalam peperangan kita harus mempunyai perhitungan yang pasti. Bukan sekedar untung-untungan.”
Argajaya mengedarkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Kemudian perlahan-lahan ia berkata,
“Kita tidak boleh menunggu sampai orang-orang kita diterkam oleh kejemuan yang tidak terkendali.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Sejenak ia merenung. Dan sejenak kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya sesuatu telah berkembang di kepalanya.
Tiba-tiba orang tua itu berkata,
“Baik. Baik. Aku akan melakukannya sekarang.”
“Apa, Guru?” bertanya Sidanti dengan serta-merta.
“Kita akan menyerang.”
“Sekarang?”
“Ya sekarang.”
Kini Sidanti, Argajaya, Ki Wasi, dan Ki Muni-lah yang menjadi heran atas keputusan yang tiba-tiba itu. Bahkan menurut Ki Tambak Wedi sendiri, pasukanmya tidak bersiap untuk melakukannya. Namun tiba-tiba orang tua itu berubah pendirian.
“Apakah hal itu dilakukan sekedar melepaskan kejengkelannya saja,” pertanyaan itu mengganggu pikiran Sidanti.
“Jika demikian kita akan terlibat dalam suatu perbuatan yang dapat membahayakan kita sendiri.”
Tetapi Sidanti tidak segera menyatakan pikirannya itu. Dipandanginya saja gurunya yang kemudian menengadahkan kepalanya. Silir angin malam telah menggerakkan juntai rambutnya yang sudah keputih-putihan di bawah ikat kepalanya.
Dengan nada yang berat ia berkata,
“Sidanti kita akan menyerang malam ini.”
Wajah Sidanti menjadi tegang.
“Bukankah kau ingin berbuat demikian seperti orang-orang lain menginginkannya pula?”
Dengan dada berdebar-debar Sidanti menjawab,
“Tidak, Guru, kalau itu hanya sekedar menuruti perasaan tanpa perhitungan.”
“Bagus,” sahut gurunya. “Tetapi marilah kita membuat perhitungan yang lain.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
“Kalau kita menyerang malam ini, mungkin kita akan dapat memancing keterangan tentang kekuatan yang ada di dalam lindungan pering ori itu. Yang penting, apakah orang-orang yang aneh, yang aku jumpai pada saat aku mencegat orang-orang berkuda itu, akan hadir juga. Aku kira sampai saat ini mereka berada di luar benteng ori.”
“Tetapi apakah kekuatan kita siap untuk menghadapinya?”
“Kenapa tidak? Kita sumbat mulut desa itu keempatnya. Kita tidak bersungguh-sungguh untuk merebutnya malam ini. Apakah kau mengerti?”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu maksud gurunya. Gerakan ini adalah sekedar pameran kekuatan dan memancing keterangan tentang orang-orang bercambuk itu. Argajaya yang dapat menangkap juga maksud Ki Tambak Wedi itu  pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun ia masih tetap ragu-ragu, apakah mereka akan dapat berhasil.
“Permainan Kiai mengandung bahaya yang cukup besar,” desis Argajaya.
“Memang. Tetapi seandainya mereka benar-benar keluar dari benteng mereka itu pun, kita akan menghancurkannya. Karena itu kita harus siap menunggui setiap mulut desa itu di empat penjuru. Sebagian terbesar akan datang dari sebelah kiri.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita akan mundur pada saat kita yakin bahwa keterangan yang kita perlukan sudah kita dapatkan.”
Sekali lagi Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah kita coba. Tetapi setiap pemimpin kelompok harus tahu benar rencana ini supaya mereka tidak membuat kesalahan.”
“Tentu,” sahut Ki Tambak Wedi. “Sekarang kumpulkan mereka.”
“Baiklah,” sahut Argajaya, yang kemudian bersama-sama dengan Sidanti memanggil semua pemimpin kelompok di dalam pasukannya.
Mereka mendapat petunjuk-petunjuk dengan singkat, apa saja yang harus mereka lakukan. Mendekati desa itu, dan menyerang dengan senjata-senjata jarak jauh. Menjaga setiap regol, dan apabila para pengawal keluar juga, perintah Ki Tambak Wedi adalah, menghancurkan mereka.
“Tetapi kita tidak akan merebut kedudukan mereka sekarang.”
“Kenapa?” potong Ki Muni,
“Apabila mungkin, hal itu baik juga kita lakukan. Kita rebut pemusatan pasukan mereka dan kita akan mengerti, apakah Argapati memang masih hidup atau sudah mati.”
“Tidak mungkin dalam keadaan kita saat ini. Kita tidak cukup banyak membawa senjata untuk kepentingan itu. Kita harus dapat melawan para pengawal yang bersarang di atas ranting pering ori, dengan alat-alat pelempar lembing dan bahkan pelempar batu itu.”
“Kalau kita mendekat, mereka akan menyerang kita dengan cara yang sama.”
Ki Tambak Wedi menjadi jengkel mendengar kata-kata Ki Muni itu, tetapi ia masih mencoba menahannya. Dan dicobanya untuk memberikan penjelasan, “Ki Muni, serangan-serangan yang demikian memang sebagian ditujukan keluar regol. Tetapi ujung-ujung lembing, panah dan batu-batu itu terutama diarahkan ke mulut regol. Begitu kita membuka regol, dan pasukan kita berusaha menerobos masuk, maka terjadilah hujan lembing, panah dan batu di seberang pintu itu.”
Ki Muni mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia  pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, sekarang bersiaplah. Kita akan segera mulai. Tetapi ingat, aku akan memberikan tanda, agar kita dapat bersama-sama menarik diri. Sidanti dan Argajaya selain mengawasi pasukan ini, juga berusaha melihat, apakah orang-orang gila itu mendekati medan. Apabila mereka benar-benar datang, kedua anak-anak gila itu adalah lawan kalian. Serahkan yang tua kepadaku. Kita harus menyelesaikan mereka saat ini juga. Kita akan mendapat bantuan dari beberapa orang di dalam pasukan kita. Antara lain Ki Wasi dan Ki Muni. Sudah tentu kita akan membinasakannya. Sesudah itu, maka kita tidak akan berteka-teki lagi.”

Sidanti dan Argajaya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sedang Ki Wasi yang tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi itu bertanya,
“Siapakah yang Kiai maksudkan dengan mereka itu?”
“Kita sedang ingin melihat, apakah mereka benar-benar orang-orang yang disebut orang-orang bercambuk itu.”
Ki Wasi mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam,
“Aku dapat mengerti cara yang Kiai tempuh. Mudah-mudahan kita berhasil. Kita akan segera sampai pada babak seterusnya dari peperangan ini. Semakin cepat kita selesai pasti akan semakin baik.”
“Kenapa?” bertanya Ki Muni.
“Lalu kau akan diangkat menjadi senapati? Atau dukun pribadi Sidanti?”
“Ah,” Ki Wasi berdesah,
“bukan itu. Semakin cepat, maka korban akan menjadi semakin sedikit. Kekejaman-kekejaman yang terjadi akan segera berakhir, dan ketakutan pun tidak akan berkepanjangan.”
“He?” Ki Muni menarik keningnya, kemudian terdengar ia tertawa,
“Kau benar-benar seorang pengabdi kemanusiaan yang paling baik Ki Wasi, tetapi tanpa kekejaman dan kekerasan kita tidak akan berarti apa-apa lagi. Tidak ada lagi orang yang sakit parah yang memerlukan pertolonganmu dan pertolonganku.”
“Pikiranmu telah benar-benar terbalik,” sahut Ki Wasi, yang terpotong oleh kata-kata Ki Tambak Wedi,
“Sudahlah, apa pun titik pandangan kalian. Sekarang kita siapkan diri kita masing-masing. Untuk membuat kegaduhan di pihak mereka, lontarkan obor-obor itu kepada mereka. Kalau mungkin ke sarang-sarang pasukan yang berada di ranting-ranting pering ori itu, bahkan apabila mungkin kita bakar saja regol desa itu.”
Ki Wasi mengerutkan keningnya. Sejenak dipandanginya Ki Tambak Wedi, dan sejenak kemudian Ki Muni. Tetapi ia tidak lagi mengucapkan sepatah kata pun. Sementara itu, Sidanti dan Argajaya yang menjadi muak mendengar setiap kata-kata Ki Muni telah mempersiapkan diri. Pesan-pesan terakhir telah diberikannya dan para pemimpin kelompok  pun telah memahami apa yang harus mereka lakukan.
“Kita menghangatkan suasana. Kita tidak boleh terlampau lama tertidur. Serangan kali ini akan mematangkan sikap kita dan akan segera membawa kita ke pertempuran yang sebenarnya,” berkata Sidanti kepada para pemimpin kelompok itu. Kemudian,
“Sekarang kembalilah kepada orang-orang kalian masing-masing. Kita akan segera mulai.”
Para pemimpin kelompok itu  pun segera, menyampaikan perintah itu kepada kelompok masing-masing. Berbagai tanggapan terbayang di wajah mereka. Apalagi mereka yang datang ke Tanah ini dengan berbagai macam pamrih pribadi.
“Ki Tambak Wedi ternyata bukan seorang yang cukup cakap memimpin peperangan,” salah seorang berdesis.
“Kenapa kita harus menunda lagi seandainya hari ini kita dapat memasuki padesan itu?”
“Korban terlampau banyak,” jawab yang lain,
“Kita tidak bersiap sepenuhnya untuk melakukan itu.”
“Kalau kita tidak bersiap kenapa hal ini kita lakukan?”
“Sudah dikatakan, Ki Tambak Wedi ingin mengetahui perbandingan kekuatan yang sebenarnya di antara kedua pasukan yang berhadapan ini.”
“Orang tua itu terlampau banyak pertimbangan. Apa salahnya kita memasuki sarang lawan itu meskipun terlampau banyak korban? Semakin banyak korban akan menjadi semakin baik bagi kita. Kekayaan yang tersimpan di dalamnya akan kita bagi, menjadi bagian-bagian yang lebih sedikit.”
“Ah,” yang lain berdesah, sedang orang yang pertama tersenyum aneh. Senyum yang mempunyai berbagai macam arti.
Sejenak kemudian Ki Tambak Wedi telah bersiap. Dengan dada tengadah ia berdiri memandangi pintu regol di kejauhan. Lampu minyak yang redup tergantung pada teritis regol yang tertutup itu, meskipun ada satu dua orang yang berjaga-jaga di luar.
“Kita lakukan sekarang,” geram Ki Tambak Wedi. Kepada Sidanti dan Argajaya ia berkata,
“Jangan lengah. Awasi seluruh medan, kalau kelinci-kelinci itu tampak hadir. Hanya kalianlah yang tahu, apakah mereka ikut campur atau tidak.”

Sejenak kemudian Ki Tambak Wedi itu  pun melontarkan tanda, bahwa pasukannya harus bergerak. Tiga orang telah melontarkan panah berapi bersama-sama. Penjaga di muka regol desa melihat api itu pula. Dengan dada berdebar-debar mereka memandang api yang seolah-olah terbang ke kebiruan langit. Ketika api itu meluncur dan jatuh di atas tanah persawahan yang kering, maka sadarlah mereka, bahwa sesuatu akan terjadi.
“Kita harus memberikan laporan.”
Kawannya tidak segera menjawab. Tetapi tiba-tiba matanya terbelalak ketika ia melihat obor-obor telah mulai bergerak.
“Lihat, mereka mulai maju mendekat.”
Yang lain  pun menjadi tegang pula. Katanya,
“Cepat. laporkan gerakan itu. Aku akan mengawasinya.”
Kawannya tidak menjawab lagi. Segera ia menyelinap masuk kedalam regol dan lari menghambur menemui pimpinannya.
“Apakah kau tidak sedang bermimpi?” bertanya pemimpinnya.
“Aku berkata sebenarnya.”
Pemimpinnya  pun segera meloncat dan berlari keluar regol. Yang dilihatnya kemudian seakan-akan menghentikan jantungnya. Barisan obor yang bergerak semakin lama semakin dekat. Jauh lebih banyak dari yang biasa dilihatnya. Karena sebenarnyalah bahwa Ki Tambak Wedi telah memerintahkan semua obor, obor-obor cadangan yang disediakan untuk menyambung obor-obor yang telah kehabisan minyak, dan semuanya, harus dinyalakan.
“Cepat, sampaikan kepada Ki Samekta dan Wrahasta.”
Seorang penghubung segera berlari menemui Samekta, sedang pemimpin pengawal yang sedang bertugas itu berdiri dengan tangan gemetar di luar regol. Tanpa sesadarnya tangannya telah meraba hulu pedangnya. Sejenak kemudian Samekta sendiri telah berdiri di muka pintu regol bersama Wrahasta dan beberapa pemimpin pengawal yang lain. Dengan wajah yang tegang ia mengawasi gerakan sepasukan obor yang merayap mendekati pertahanannya.
“Siapkan semua pasukan,” perintahnya.
“Semua laki-laki yang masih mungkin memegang senjata harus bersiap pula. Agaknya mereka memusatkan serangan mereka ke regol ini. Karena itu, berikan beberapa kelompok kecil sebagai pengawas saja di regol-regol yang lain. Tetapi mereka harus berhati-hati. Jangan sampai mereka terjebak. Regol-regol harus tetap tertutup rapat. Tidak seorang pun dari pasukan pengawal yang dibenarkan keluar dari lingkungan ini. Lawan agaknya cukup banyak. Kalau kita terpancing keluar, maka kita akan dihancurkan seluruhnya tanpa dapat berbuat apa pun.” Samekta berhenti sejenak, kemudian,
“Semua pengawal yang melayani alat-alat pelontar senjata jarak jauh harus bersiap di tempatnya. Kalau mereka mencoba memecah pintu regol, maka semua kekuatan yang ada harus dikerahkan. Mereka harus dihancurkan sebanyak-banyaknya begitu mereka berdesak-desakan masuk. Para pengawal harus menjaga sisa dari mereka yang dapat lolos dari patukan senjata-senjata jarak jauh itu.”

Semua orang yang mendengar perintah itu menganggukkan kepala mereka. Meskipun tidak sepatah kata yang keluar dari mulut, namun mereka telah menyatakan kesediaan mereka di dalam hati. Justru mereka yang ragu-ragu selama ini menjadi mantap kembali. Apalagi anak-anak muda yang hampir saja diterkam oleh kejemuan, maka kedatangan lawan mereka itu seolah-olah telah memberikan udara baru bagi mereka. Sejenak kemudian maka para pemimpin kelompok telah siap untuk menjalankan tugas masing-masing. Sebelum mereka meninggalkan regol, mereka masih mendengar Samekta berpesan,
“Belum perlu membunyikan tanda apa pun. Masih ada waktu untuk mencapai segala sudut desa ini. Khusus untuk Ki Kerti, kita akan mengirim kabar dengan panah sendaren.”
Wrahasta yang berdiri di samping Samekta mengerutkan dahinya. Setelah para pemimpin kelompok itu pergi ke kelompoknya masing-masing, serta menyiapkan diri untuk melakukan perintah Samekta, maka kini masih ada satu soal yang menyangkut di hati pemimpin pasukan pengawal itu. Dengan ragu-ragu Wrahasta berdesis,
“Apakah yang akan kita katakan kepada Ki Argapati yang sedang terluka itu?”
Samekta tidak segera menjawab. Tetapi tampak kebimbangan yang dalam membayang di wajahnya. Kalau hal ini diberitahukan kepada Ki Argapati, maka Samekta yang sudah mengenal watak Kepala Daerah Perdikannya itu, pasti tidak akan dapat mencegahnya lagi, apabila Ki Argapati itu sendiri akan turun ke medan perang. Tetapi apabila Ki Argapati itu tidak diberitahukannya, maka apabila ia gagal mempertahankan desa ini, segala kesalahan pasti akan ditimpakannya kepadanya. Ki Argapati pasti tidak akan dapat memaafkannya, kenapa ia tidak menyampaikan persoalan yang penting sekali ini kepada Kepala Tanah Perdikan. Dengan demikian, maka pemimpin pengawal itu telah diamuk oleh keragu-raguan yang tidak segera dapat dipecahkannya.
“Bagaimana pendapatmu, Wrahasta?”
Wrahasta menggelengkan kepalanya,
“Aku tidak tahu, apakah yang sebaiknya kita lakukan. Aku merasa bahwa apa  pun yang kita lakukan adalah salah.”
“Masalah ini tidak kita persoalkan sebelumnya. Kini kita langsung menghadapi persoalan yang tidak dapat dipertimbangkan terlampau lama.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika ia memandang obor-obor yang masih saja bergerak maju, seperti sejuta kunang yang sedang merayap di atas padang ilalang, ia menarik nafas panjang-panjang. Katanya,
“Mereka menjadi semakin dekat.”
Tanpa sesadarnya Samekta berpaling. Ditatapnya pering ori yang kehitam-hitaman di dalam gelapnya malam. Tetapi ia tahu, bahwa di belakang carangnya yang rimbun itu, tersembunyi para pengawal dengan alat-alat pelontar lembing, busur-busur yang besar dan bahkan pelontar batu-batu.
“Kita tidak dapat berdiam di sini untuk seterusnya,” desis Wrahasta.
“Kita harus berada di dalam regol, dan pintu regol itu akan kita tutup dan kita selarak kuat-kuat.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, kita akan segera masuk. Tetapi bagaimana dengan Ki Argapati.”

Wrahasta termenung sejenak. Tetapi ia kemudian menggelengkan kepalanya,
“Kesalahan kita adalah, kita menunggu sampai serangan itu benar-benar datang. Selama ini kita seakan-akan dibius oleh dugaan, bahwa Ki Tambak Wedi tidak akan melakukan serangan itu segera dalam gelar yang serupa itu.”
Samekta mengerutkan keningnya. Katanya,
“Gelar yang dipakainya kini  pun agaknya masih kurang menguntungkan. Kalau aku, maka gelar yang lebih baik akan aku pergunakan.”
Wrahasta tidak menjawab. Dipandanginya saja obor-obor yang semakin lama menjadi semakin dekat itu.
“Kita berbicara dengan Angger Pandan Wangi,” tiba-tiba Samekta bergumam.
“Kita akan mendapat bahan tentang Ki Gede Menoreh. Kita akan dapat mempertimbangkannya, apakah kita akan melaporkannya atau tidak.”
“Ya, kita menemui gadis itu. Tetapi waktu kita tidak terlalu banyak.”
Samekta dan Wrahasta  pun segera masuk ke dalam sambil berkata kepada para penjaga,
“Pintu regol ini pun harus segera ditutup. Kalian pun harus masuk pula. Tidak seorang pun boleh di luar regol.”
“Baik,” jawab pemimpin pengawal yang sedang bertugas,
“pada saatnya kami  pun akan segera masuk.”
Samekta dan Wrahasta dengan tergesa-gesa segera berusaha menemui Pandan Wangi. Mereka tidak dapat menunda lagi karena obor-obor di luar lingkungan pering ori telah menjadi semakin dekat.
“Bagaimana dengan Ki Argapati?” bertanya Samekta.
“Ayah telah menjadi semakin baik. Setelah obatnya diperbaharui maka Ayah menjadi semakin ringan. Beberapa kali ia bangun dan bahkan berjalan-jalan beberapa langkah di seputar biliknya.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia tidak dapat memperpanjang waktu lagi. Apa  pun yang akan mereka lakukan terhadap Ki Argapati, namun Pandan Wangi sendiri harus mengetahuinya apa yang telah terjadi di luar regol padesan ini. Karena itu, maka Samekta itu  pun kemudian berceritera tentang obor-obor yang telah mulai bergerak mendekati regol.
Wajah Pandan Wangi segera menjadi tegang dan kemerahan. Sejenak ia terdiam. Kemudian terdengar ia menggeram, “Kakang Sidanti telah benar-benar lupa diri. Lalu,
“Baiklah, aku akan pergi ke regol desa.”
“Bukan itu yang penting Pandan Wangi. Tetapi bagaimana dengan Ki Argapati.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang. Sejenak kemudian ia berkata,
“Biarlah ayah beristirahat. Kalau keadaan menjadi terlampau parah, kita akan memberitahukannya. Kalau tidak, kita tidak perlu membuatnya gelisah.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Pertimbangan Pandan Wangi itu cukup bijaksana. Karena itu, maka katanya,
“Beritahukan para pengawal itu Pandan Wangi, agar mereka tidak membuat kesalahan.”
“Baiklah, aku akan melarang mereka untuk menyampaikan semua berita tentang lawan kepada Ayah,” sahut Pandan Wangi.
Setelah semua pengawal rumah itu dipesannya, maka Pandan Wangi pun kemudian minta diri kepada ayahnya.

“Apakah kau harus pergi, Wangi.”
“Sebentar, Ayah. Aku ingin melihat keadaan sejenak.”
“Apakah kau mendapat firasat bahwa sesuatu telah terjadi?”
Dada Pandan Wangi berdesir. Tetapi ia menjawab,
“Tidak, Ayah. Tidak ada apa-apa, selain suatu keinginan yang wajar untuk keluar sejenak dan melihat keadaan para pengawal.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab,
“Pergilah, tetapi jangan terlampau lama.”
“Terima kasih, Ayah. Aku ingin menemui para pemimpin pengawal di tempat mereka.”

Sejenak kemudian Pandan Wangi itu  pun telah menghambur ke halaman menemui Samekta dan Wrahasta. Mereka kemudian bersama-sama pergi ke regol desa yang kini telah tertutup rapat-rapat. Pemimpin penjaga yang berada di depan pintu regol di bagian dalam segera melaporkan kepada Samekta bahwa lawan telah berada beberapa langkah saja di depan regol itu.
“Aku akan melihatnya,” desis Samekta.
Maka pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu pun segera pergi ke samping regol diikuti oleh Wrahasta dan Pandan Wangi. Dengan sebuah tangga pendek mereka memanjat ke atas, dan di atas sebuah anjang-anjang bambu mereka dapat melihat gerakan pasukan Sidanti yang menjadi semakin dekat.
“Semua bersiap,” Samekta memberikan aba-aba.
Maka semua orang pun bersiap di tempat masing-masing. Semua alat pelontar, baik yang di tempatkan di atas carang-carang ori, maupun yang berada di balik-balik dinding halaman, semua telah tertuju ke mulut regol yang kini masih tertutup rapat. Sedang sebagian yang ada di sisi regol, mengarah ke mulut bagian luar dari regol itu. Di belakang alat-alat pelontar itu, pasukan pengawal tanah perdikan sudah siap dengan senjata masing-masing. Sebagian berada di balik dinding-dinding batu, namun ada di antara mereka yang duduk di atas cabang-cabang pohon dengan busur di tangan mereka. Pandan Wangi dan Wrahasta pun telah berada di atas anjang-anjang bambu itu pula. Sekali-sekali terdengar mereka menggeram. Wajah Pandan Wangi menjadi merah seperti terbakar. Kedua tangannya telah hinggap di hulu sepasang pedangnya. Sejenak kemudian maka pasukan Sidanti pun telah berada di depan mulut regol menebar dalam gelar yang tidak terlampau luas. Beberapa orang yang berdiri di paling depan tampak seolah-olah seekor harimau yang sedang merunduk mangsanya, perlahan-lahan mereka maju, namun pasti. Dada Samekta menjadi berdebar-debar. Ia masih belum dapat melihat, siapakah yang berdiri di pusat paruh pasukan lawannya. Beberapa langkah dari pintu regol pasukan lawan itu berhenti. Kemudian seseorang yang berwajah keras seperti batu-batu padas, berkumis dan berjanggut, berhidung lengkung seperti paruh burung betet, maju ke depan. Itulah Ki Tambak Wedi, pemimpin dari seluruh pasukan lawan yang kini berada di mulut regol. Sejenak kemudian orang tua itu terhenti. Dipandanginya pintu regol yang tertutup rapat-rapat. Kemudian lampu yang masih menyala di luar. Lalu dilayangkannya pandangan matanya ke kegelapan di samping regol.
Seandainya bukan Ki Tambak Wedi, dan seandainya matanya tidak setajam mata burung hantu, ia tidak akan melihat apa  pun di balik carang ori dalam kegelapan itu. Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi tidak dapat dikelabuhi lagi. Sambil menunjuk ke arah para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh ia berkata,
“He, siapakah yang memegang pimpinan kali ini?”
Dada Samekta berdesir. Namun ia tidak yakin bahwa Ki Tambak Wedi dapat melihatnya dengan jelas.
“He, siapa yang memegang pimpinan?”
Debar di dada Samekta masih belum mereda. Ia bukan seorang yang merasa dirinya kurang bernilai untuk memimpin pasukan pengawal tanah perdikan. Sebagai seorang yang telah memiliki pengalaman yang berpuluh tahun, ia yakin, bahwa ia mampu memegang pimpinan dalam keadaan yang bagaimanapun juga.
Tetapi ketika ia berhadapan dengan Ki Tambak Wedi, terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya.

Namun agaknya bukan hanya Samekta sendiri yang dihinggapi oleh perasaan yang aneh. Setiap pengawal yang berada di atas cabang-cabang pering ori, yang melihat orang tua itu berdiri dengan kaki merenggang di luar regol yang tertutup rapat itu, hati mereka pun berdesir. Serasa mereka melihat hantu yang datang dari lereng Gunung Merapi, siap untuk menyebarkan maut. Apalagi ketika mereka melihat di tangan hantu tua itu tergenggam sebuah nenggala yang mengerikan.
“He, apakah kalian tuli?” teriak Ki Tambak Wedi,
“atau bisu, atau mati ketakutan?”
Samekta menggeram. Ia tidak dapat berdiam diri untuk seterusnya. Karena itu, ia melangkah setapak maju sambil menggeretakkan giginya, seakan-akan mencari sandaran kekuatan untuk menjawab pertanyaan Ki Tambak Wedi itu.
Tetapi terasa darahnya tiba-tiba saja berhenti mengalir. Bukan saja Samekta, namun juga Wrahasta, Pandan Wangi, dan bahkan semua orang yang kemudian mendengar suara tertawa perlahan-lahan. Dalam kegelapan mereka kemudian melihat sebuah bayangan yang meloncat dari belakang rimbunnya carang ori di sisi regol yang lain ke atas bubungan atap. Kemudian bayangan itu berhenti tepat di tengah-tengah bubungan regol itu. Hampir tidak percaya setiap pengawal tanah perdikan menyaksikan bayangan yang berdiri dengan teguhnya sambil menggenggam sebuah tombak pendek. Di sela-sela detak jantumg para pemimpin dan para pengawal, mereka mendengar bayangan itu berkata,
“Sudah tentu, akulah yang memimpin pasukanku, Ki Tambak Wedi.”
Sejenak suasana dicengkam oleh kesenyapan yang menegangkan. Semua mata kini hinggap pada bayangan yang berdiri di bubungan atap dengan tombak pendek di tangannya.
Seperti orang yang mengigau terdengar suara Pandan Wangi lambat,
“Ayah. Kenapa ayah berada di situ?”
Samekta yang masih belum dapat menenangkan dirinya berpaling. Dengan telapak tangannya ia menekan dadanya sambil berdesis,
“Agaknya Ki Argapati mengetahui apa yang telah terjadi.”
“Tetapi,” gumam Wrahasta, “bagaimana dengan lukanya itu?”
Tidak seorang  pun yang dapat menjawab semua pertanyaan itu, yang terdengar kemudian adalah suara Ki Tambak Wedi,
“He, kau Argapati. Apakah luka-lukamu sudah sembuh? Ternyata kau benar-benar seorang yang mempunyai nyawa rangkap, atau kau menyimpan seorang dukun yang tidak ada duanya di muka bumi?”
Terdengar Ki Argapati tertawa perlahan-lahan. Jawabnya,
“Tidak ada yang mustahil terjadi di muka bumi ini apabila Tuhan berkenan, Tambak Wedi. Aku masih mendapat kurnia umur beberapa waktu lagi. Apa pun caranya, namun aku telah mendapat kesembuhan daripada-Nya.”
Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi kehadiran Ki Argapati itu ternyata telah mempengaruhinya. Bukan saja dirinya sendiri, tetapi Sidanti, Argajaya, Ki Wasi dan apalagi Ki Muni, menjadi membatu di tempatnya. Seolah-olah mereka melihat sesosok hantu yang berdiri di atas bubungan atap regol.

Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh  pun sangat terpengaruh pula oleh kehadiran Kepala Tanah Perdikannya itu. Apabila semula mereka menjadi kecut melihat Ki Tambak Wedi yang berdiri tegak dengan nenggala di tangannya di muka regol desa itu sambil memanggil-manggil pimpinan pasukan pengawal, maka dada mereka kini serasa tersiram embun. Sehingga kecemasan, keragu-raguan apalagi ketakutan telah terusir. Di samping Ki Argapati, semua anggauta pasukan pengawal, bahkan setiap laki-laki yang dengan suka rela telah menyatakan diri ikut berperang, tidak lagi akan mengenal takut, meskipun ujung senjata lawan akan membelah dada mereka.
“Ki Argapati,” terdengar suara Ki Tambak Wedi,
“apabila benar kau telah berhasil mengatasi lukamu, maka sebaiknya kau membuat pertimbangan-pertimbangan yang wajar untuk selanjutnya. Apakah kau tidak dapat berbuat lain daripada tindakan bodoh seperti yang kau lakukan kali ini? Apa artinya beberapa buah desa kecil yang kau duduki sekarang? Kalau kita mengepungmu siang dan malam, maka kalian akan mati kelaparan. Tetapi kami masih dapat berpikir bening, bahwa orang-orang yang terperosok ke dalam kedunguan karena kesetiaannya yang mati kepadamu itulah, maka kami masih tetap memberi kesempatan kepada kalian untuk merampas bahan makanan dari desa-desa di sekitar sarangmu ini. Karena itu, apakah kau tidak pernah berpikir untuk mengakhiri tindakan yang bodoh ini? Aku menjamin bahwa kau akan tetap diperlakukan dengan baik dan dihormati. Kami tidak akan melakukan tindakan apa  pun terhadap orang-orang yang kini tetap setia kepadamu. Sehingga dengan demikian, penyelesaian akan segera dapat dicapai.”
Ki Argapati tidak segera menjawab. Tetapi ia tertawa.
“Kenapa kau tertawa?”
“Kalau bukan kau yang mengatakannya, Ki Tambak Wedi, mungkin aku akan percaya. Tetapi karena kau yang mengucapkannya, maka ceriteramu itu tidak lebih dari kata-kata banyolan dalam pertunjukan tari topeng.”
Jawaban itu telah membakar dada Ki Tambak Wedi. Tetapi ia masih berusaha menguasai perasaannya.
“Kalau begitu, Ki Argapati, apakah aku harus mempergunakan kekerasan?”
“Kenapa kau bertanya kepadaku?”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,” geramnya. Orang tua itu  pun kemudian mengangkat tangannya. Digerakkannya tangan itu melingkar sekali, kemudian diayunkannya tangannya maju ke depan.
Sesaat kemudian maka obor-obor pun mulai bergerak pula perlahan-lahan. Yang memimpin pasukan itu adalah Ki Wasi dan Ki Muni. Sidanti dan Argajaya, meskipun ikut di dalam pasukan itu, tetapi mereka tidak berdiri di ujung barisan. Kecuali mereka tidak merasa perlu untuk menampakkan diri, mereka masih mempunyai tugas untuk mengawasi seandainya orang-orang yang sedang mereka cari itu benar-benar hadir di dalam peperangan.

Ki Argapati yang melihat obor-obor itu telah mulai bergerak, menarik nafas dalam. Sesaat kemudian ia berpaling, seakan-akan ingin melihat apakah orang-orangnya telah siap pula menyambut kedatangan lawan.
“Kita tidak akan menunggu lagi bukan, Ki Argapati?” bertanya Ki Tambak Wedi. Lalu,
“Kecuali apabila kau merubah pendirianmu.”
“Memang,” jawab Ki Argapati,
“kita tidak perlu menunggu siapa pun. Kita akan segera mulai.”
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian melangkah surut menyongsong pasukannya yang bergerak semakin maju.
Ki Argapati  pun kemudian meninggalkan tempatnya pula. Tetapi ia tidak kembali ke tempat darimana ia meloncat ke bubungan atap regol itu. Tetapi ia kemudian pergi mendapatkan Samekta, Wrahasta, Pandan Wangi, dan para pemimpin yang lain.
“Apakah kalian telah siap?” bertanya Ki Argapati.
“Maaf Ki Gede. Bukan maksud kami meninggalkan Ki Gede. Tetapi kami tidak sampai hati mengganggu Ki Gede yang masih belum sehat benar.”
“Aku tahu maksudmu. Karena itu, kita tidak perlu mempersoalkannya lagi.”
“Tetapi dari mana Ayah mengetahui hal ini?” bertanya Pandan Wangi.
“Aku menaruh curiga atas kepergianmu yang tiba-tiba. Kemudian aku keluar halaman dan bertanya kepada orang-orang yang sibuk hilir-mudik di sepanjang jalan.”
Pandan Wangi menarik nafas. Yang dipesannya hanyalah para pengawal yang menjaga rumah itu, tetapi sudah tentu ia tidak akan dapat berpesan kepada setiap orang.
“Sekarang,” berkata Ki Argapati,
“kita akan mulai. Kita tidak boleh kehilangan kesempatan untuk melawan kali ini, dan mempertahankan tempat ini. Kalau kita terusir dari tempat ini, maka kehancuran sudah berada di ambang pintu.”
Samekta menganggukkan kepalanya. Kemudian diberikannya isyarat kepada setiap kelompok. Beberapa penghubung telah tersebar, membawa perintah pemimpin pasukan pengawal itu.
Namun sementara itu, Pandan Wangi terkejut ketika ia melihat ayahnya menyeringai sambil memegangi dadanya. Dengan cemas ia mendekat dan bertanya terbata-bata, “Kenapa dengan luka itu, Ayah?”
“Tidak apa-apa.”
“Seharusnya Ayah masih beristirahat. Dan kami memang ingin mempersilahkan Ayah beristirahat.”
“Aku harus ada di sini Pandan Wangi,” jawab ayahnya,
“meskipun aku belum sehat benar.” Orang tua itu berhenti sejenak. Diedarkannya pandangan matanya ke sekitarnya. Ketika tidak dilihatnya orang lain kecuali Samekta dan Wrahasta, yang berada di dekatnya, maka ia berkata lirih, “Aku harus ada di peperangan ini meskipun aku belum cukup kuat untuk bertempur. Aku tidak dapat membiarkan para pengawal menjadi ketakutan melihat Ki Tambak Wedi. Kehadiranku akan memperbesar hati mereka dan memperkuat perlawanan mereka.” Ki Argapati berhenti sejenak. Sekali lagi ia menyeringai menahan sakit yang mulai menyentuh lukanya kembali.

Pandan Wangi, Samekta, dan Wrahasta menjadi cemas melihat keadaan Ki Argapati. Namun di dalam hati mereka menjadi semakin menundukkan kepala mereka. Ki Gede Menoreh sama sekali tidak menghiraukan keadaannya sendiri. Tetapi ia lebih memelihara ketahanan hati para pengawal. Sebab ia yakin, bahwa kehadirannya akan sangat berpengaruh pada perasaan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun demikian, tetapi Ki Argapati tidak akan dapat dibiarkan menjadi korban, selama hal itu masih dapat dihindarinya.
“Pandan Wangi,” berkata Ki Argapati,
“sebentar lagi kedua pasukan yang berhadapan ini akan berbenturan. Aku akan turun. Aku akan menunggu di bawah, di dalam regol. Kalau Ki Tambak Wedi berkeras akan memecahkan regol itu, dan memasuki padesan ini, apa boleh buat. Tetapi sudah tentu aku tidak dapat bertempur sendiri. Aku memerlukan beberapa orang kawan untuk menghadapi Ki Tambak Wedi.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar