Jilid 003 Halaman 1


“NAH, katakan, siapa engkau?” ulang Widura.
Orang itu seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan kemudian ia bertanya kepada Agung Sedayu.
“Sedayu, apakah yang sedang engkau kerjakan? Apakah kau sedang melatih orang ini?”
Dada Widura berdesir mendengar pertanyaan itu. Ternyata orang itu telah mengenal Agung Sedayu. Namun karena itu, segera Widura  pun mengenalnya, orang itulah agaknya yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Karena itu kembali ia bertanya,
“Apakah kau yang menamakan dirimu Kiai Gringsing?”
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Darimanakah kau tahu bahwa aku bernama Kiai Gringsing? Apakah gurumu itu telah memberitahukannya kepadamu?”
Sekali lagi dada Widura berdesir. Orang itu menganggapnya murid Agung Sedayu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu  pun segera mengenal bahwa orang itulah yang dahulu pernah menemuinya di Bulak Dawa. Suaranya dan caranya berkerudung kain gringsing, meskipun topengnya bukan topeng yang dipakainya itu. Karena itu tanpa disadarinya, ia menjadi gembira. Ternyata Agung Sedayu tidak takut lagi kepada Kiai Gringsing. Sejak pertemuannya yang pertama orang itu tidak bermaksud jahat kepadanya. Maka Sedayu pun segera melangkah maju sambil berkata,
“Benarkah kau Kiai Gringsing yang di Bulak Dawa itu?”
Kiai Gringsing mengangguk, jawabnya,
“Tentu, tak ada dua tiga Kiai Gringsing”
Tiba-tiba Sedayu itu pun teringat kepada orang yang pernah menamakan diri Kiai Gringsing pula di dukuh Pakuwon. Maka katanya,
“Tidak. Yang sudah aku ketahui, ada dua Kiai Gringsing. Yang lain adalah seorang yang sudah sangat tua dan bongkok”
Kiai Gringsing menggeleng, katanya,
“Jangan bergurau. Teruskan saja pekerjaanmu. Aku tidak akan mengganggu. Muridmu itu perlu segera mendapat tuntunan yang lebih berat. Agaknya ia murid yang cukup baik”
“Ah” desah Agung Sedayu.
“Jangan berkata begitu. Itu adalah pamanku. Dan justru pamanku itu sedang mengajari aku, supaya aku mempunyai bekal di hari-hari mendatang”

Kiai Gringsing itu pun tertawa berkepanjangan. Katanya,
“Kau benar-benar seperti almarhum ayahmu. Tetapi kau jangan terlalu merendahkan dirimu. Sekali-sekali kau perlu juga menunjukkan bahwa kau adalah putra Ki Sadewa”
“Itu adalah pamanku” Agung Sedayu mengulangi. Tetapi ketika ia akan meneruskan kata-katanya, terdengar Kiai Gringsing memotong,
“Aku sudah tahu. Orang itu adalah pamanmu. Bukankah ia bernama Widura? Dan bukankah ia adik ibumu? Apa salahnya kalau kau ajari orang itu satu dua unsur-unsur gerak keturunan dari Ki Sadewa? Menurut pengamatanku, Widura itu pun pernah juga belajar selangkah dua langkah. Karena itu adalah menjadi kewajibanmu untuk menyempurnakan”
Mendengar kata-kata itu, telinga Agung Sedayu menjadi merah. Ia takut kalau pamannya tersinggung karenanya. Maka katanya,
“Kiai, hidup matiku di sini tergantung kepada paman. Jangan mempersulit keadaanku”
Sekali lagi Kiai Gringsing tertawa, terkekeh-kekeh sehingga tubuhnya seakan-akan berguncang-guncang.
Widura masih tegak seperti patung. Ia mendengar semua percakapan itu. Meskipun ia terkejut dan heran, karena namanya pun telah diketahui pula, bahkan hubungan keluarganya, tetapi ia masih berdiam diri. Meskipun demikian, namun otaknya sedang bekerja dengan riuhnya. Dicobanya sekali lagi mengingat-ingat apa yang pernah dilihatnya di Dukuh Pakuwon. Ketiga kuda yang diikutinya berjalan dari rumah Ki Tanu Metir kejurusan yang sama. Tiba-tiba Widura menemukan sesuatu. Karena itu dengan tiba-tiba pula ia berkata,
“Baiklah Kiai Gringsing, aku tidak keberatan, apa saja yang kau katakan tentang kami berdua. Meskipun demikian, aku ingin bertanya kepadamu, dimanakah Untara dan Ki Tanu Metir? Agaknya kau benar-benar orang yang berpengetahuan luas. Kau kenal kemenakanku Agung Sedayu, kau sebut-sebut nama kakak iparku, dan akhirnya kau kenal namaku. Dengan demikian, adalah suatu kemungkinan pula, bahwa kau mengetahui dimana kemenakanku yang seorang itu”

Orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing itu mengerutkan lehernya. Kemudian terdengar ia tertawa pendek. Jawabnya,
“Tentu. Tentu aku tahu semuanya. Untara kini menjadi salah seorang tamtama Pajang sedang yang kau maksud dengan Ki Tanu Metir itu adalah seorang tukang obat dari dukuh Pakuwon?”
“Jangan berpura-pura” potong Widura,
“Kau tahu bahwa bukan itulah jawabnya”.
“He” Kiai Gringsing terkejut. “Aku adalah seseorang yang tahu semuanya. Apakah jawabku salah?”
“Jangan menyangka aku seorang kanak-kanak seperti Agung Sedayu” Sahut Widura. Tetapi Kiai Gringsing itu malahan tertawa berkepanjangan. Katanya,
“Hem, tentu. Baru beberapa hari kau menjadi murid Agung Sedayu? Kau tentu tak akan dapat dipersamakannya”
Semakin lama Widura menjadi semakin jengkel karenanya. Namun dicobanya mengendalikan dirinya, dan dicobanya bertanya pula,
“Kiai, katakanlah kepada kami, dimana Untara sekarang?”
“Kalau jawabku salah, maka aku tak tahu, dimana ia sekarang”
“Jangan bohong” potong Widura,
“Pada malam Untara hilang kau berada di rumah Ki Tanu Metir”
“He” Kiai Gringsing terkejut, dan Agung Sedayu pun terkejut. Dari mana pamannya tahu, bahwa pada malam itu Kiai Gringsing berada di rumah Ki Tanu Metir. Dan ternyata Kiai Gringsing  pun bertanya,
“Siapa yang berkata demikian?”
“Aku” jawab Widura.
“Kau menyangka yang bukan-bukan. Atau barangkali kau berangan-angan terlalu jauh”
“Tidak. Bukankah kau telah memberi Agung Sedayu seekor kuda?”
“Ya”
“Dari mana kau dapat kuda itu?”
“Kudaku sendiri. Kenapa? Apakah kudamu hilang?”
“Dengar Kiai. Aku telah mencoba mengikuti jejak kuda yang datang dan yang pergi. Tiga ekor kuda telah meninggalkan halaman rumah Ki Tanu Metir. Dan ketiga-tiganya menuju Sangkal Putung. Di sepanjang jalan tak ada telapak kuda yang meninggalkan jalan itu pula. Tiga Kiai. Hitunglah, yang pertama kuda Agung Sedayu, yang lari itu. Yang kedua kuda Alap-alap Jalatunda dan yang ketiga adalah kuda yang kemudian dipakai oleh Sedayu pula. Kudamu, yang keluar dari kandang kuda Ki Tanu Metir.”

Kiai Gringsing masih tertawa. Jawabnya,
“Kau senang mengotak-atik Widura. Tetapi ternyata pengamatanmu kurang baik. Apakah kau telah mengamati tepi jalan sepanjang yang kau lampaui. Bagaimanakah kalau aku masuk ketika jalan itu dengan melompati pagar, atau muncul dari regol-regol halaman sepanjang jalan?”
Widura menarik nafas,
“Memang mungkin” sahutnya,
“Tetapi itu tidak akan kau lakukan. Nah sekarang Kiai, aku minta tunjukkan anak itu.”
“Jangan ribut Widura. Berlatihlah supaya kau benar-benar menjadi seorang pemimpin yang sakti. Biarlah aku melihat dan tidak mengganggu. Jangan ributkan Untara itu. Aku tidak tahu.” Berkata Kiai Gringsing.
Widura adalah seorang perwira tamtama. Karena itu maka adalah menjadi kebiasaannya untuk menyelesaikan setiap persoalan dengan cepat. Karena itu, ia menjadi marah mendengar perkataan Kiai Gringsing yang melingkar-lingkar itu. Katanya,
“Kiai, jangan bergurau seperti anak-anak. Dimana Untara itu? Kalau tidak aku akan menangkapmu dan melihat, siapakah kau sebenarnya”.
“He” kembali Kiai Gringsing terkejut. Sedayu  pun menjadi terkejut pula. Apalagi ketika ia melihat pamannya itu maju selangkah dengan wajah yang tegang.
“Kenapa kau akan menangkap aku?” bertanya Kiai Gringsing. “Apakah hakmu?”
“Aku berhak melakukan segala tindakan, untuk keselamatan Pajang.”
“Apakah hubunganku dengan keselamatan Pajang?”
“Kau tahu dimana Untara, salah seorang perwira tamtama Pajang yang kini tenaganya sangat diperlukan.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukan kepalanya, Kemudian pada Sedayu ia berkata,
“Sedayu, apakah kau dapat mencegah muridmu itu?”

Agung Sedayu manjadi bingung. Namun ia sebenarnya menjadi sangat takut kalau pamannya benar-benar akan menangkap Kiai Gringsing. Tetapi ia tidak dapat berkata apa-apa. Yang terdengar kemudian adalah geram Widura,
“Minggirlah Sedayu, Biarlah orang ini aku tangkap. Mungkin ada banyak keterangan-keterangan yang dapat dikatakannya, dan dengan demikian wajahnya akan segera kita kenal.”
“Sedayu” berkata Kiai Gringsing dengan nada kecemasan,
“Apakah kau dapat mencegah muridmu itu?”
Tetapi Widura tidak memperdulikannya lagi. Cepat ia melompat untuk menangkap lengan Kiai Gringsing. Tetapi Kiai Gringsing itu pun melangkah surut, sehingga Widura tidak berhasil menangkapnya. Tetapi Widura tidak membiarkannya lari, karena itu segera Kiai Gringsing dikejarnya. Kiai Gringsing itu pun berlari berputar-putar di antara batang-batang ilalang. Berloncatan dari batu-batu bahkan melingkar-lingkar pohon kelapa sawit.
“Kenapa kau kejar-kejar aku?”
Widura benar-benar menjadi marah. Karena itu ia berteriak,
“Kiai Gringsing, aku dengar kau pernah bertempur dengan Alap-alap Jalatunda. Kenapa kau sekarang berlari-lari seperti keledai yang bodoh.”
“Jangan tangkap aku” katanya.
“Kiai, nama seorang bertopeng dan berkain Gringsing mulai terkenal di daerah ini, nah pertahankan nama itu. Aku tidak akan mengejarmu lagi, tetapi aku akan menyerangmu.”
“Paman” potong Agung Sedayu yang menjadi semakin cemas.

Tetapi pamannya tak mendengarnya. Kini ia tidak mengejar lagi, dengan satu loncatan panjang Widura langsung menyerang Kiai Gringsing. Kiai Gringsing itu pun kini tidak berlari-lari lagi. Ketika Widura langsung menyerangnya, segera ia mengelakkan diri sambil berkata,
“Aku tidak pernah merasa mempunyai persoalan dengan kau Widura. Tetapi kenapa kau menyerang aku?”
Widura tidak menjawab, tetapi ia menyerang kembali dengan garangnya. Kiai Gringsing masih saja mengelak dan menghindar. Kemudian terdengar ia berkata pula,
“Widura, kalau kau marah, maka aku tak akan mengganggumu, baiklah aku minta maaf. Aku akan pergi. Tetapi jangan menangkap aku.”
Widura masih tidak mau mendengarnya. Ia benar-benar ingin menangkap orang bertopeng itu. Sebab menurut perhitungannya, Kiai Gringsing benar-benar mengetahui dimana Untara dan Ki Tanu Metir. Apabila tidak, setidak-tidaknya maka ia akan dapat mengenali siapakah sebenarnya orang yang bertopeng itu. Agung Sedayu, yang melihat pamannya benar-benar menyerang Kiai Gringsing, menjadi semakin cemas. Diam-diam ia berdoa di dalam hatinya, mudah-mudahan pamannya tidak dapat menangkap orang bertopeng itu. Ia sendiri tidak mengetahuinya, kenapa tiba-tiba saja mencemaskan nasib orang yang tidak dikenalnya itu. Widura yang marah itu menjadi semakin marah. Karena itu, ia kini benar-benar berusaha dengan sekuat tenaganya. Setiap kali Kiai Gringsing menghindar, maka menyusullah serangan-serangannya berturut-turut. Bahkan kemudian gerakan Widura itu menjadi semakin berat melingkar serta seperti angin pusaran ia melibat Kiai Gringsing. Akhirnya Kiai Gringsing pun menjadi semakin sulit. Ia tidak dapat menghindar dan menghindar terus. Ketika serangan Widura manjadi semakin cepat maka keadaannya manjadi semakin berat. Karena itu sekali lagi ia berkata,
“Widura, apakah kau betul-betul akan menangkap aku?”
“Sudah aku katakan” jawab Widura.
“Sekali lagi aku minta, urungkan niatmu” minta Kiai Gringsing.

Tetapi Widura sama sekali tidak mau mendengar permintaan itu. Bahkan ia mendesak terus dalam tataran ilmunya yang semakin tinggi.
“Hem” terdengar kemudian Kiai Gringsing menggeram,
“Baiklah. Kau ingin mengertahui siapakah Kiai Gringsing itu seperti Agung Sedayu juga, ingin mengetahui unsur-unsur gerak yang akan aku pergunakan, sehingga ia memaksaku untuk bertempur melawan Alap-alap Jalatunda.”
Widura tidak menjawab. Serangan-serangannya bahkan semakin membadai. Namun kini agaknya Kiai Gringsing tidak hanya menghindar terus. Tiba-tiba ia meloncat tinggi dan dengan suatu gerakan yang cepat sekali, orang itu berputar di udara. Ketika ia menggeliat, maka disentuhnya punggung Widura. Sentuhan itu terasa seakan-akan sebuah dorongan yang sangat kuat, sehingga Widura terhuyung-huyung beberapa langkah maju. Untunglah bahwa Widura adalah seorang perwira yang telah mengalami berpuluh-puluh pertempuran. Sehingga dengan tangkasnya ia berhasil menghindarkan diri dari kemungkinan terjerumus mencium batang-batang ilalang liar yang bertebaran dilapangan yang sempit itu. Namun meskipun demikian, betapa Widura menjadi sangat terkejut. Ia tidak menyangka bahwa orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing itu mampu bergerak sedemikian cepatnya. Lebih dari itu, terasa, bahwa kekuatan Kiai Gringsing itu benar-benar menakjubkan. Tetapi meskipun demikian, Widura, seorang prajurit dalam tugas-tugas keprajuritannya, tidak segera bercemas hati. Ia memang merasakan keanehan lawannya, namun ia tidak mengurungkan niatnya. Bahkan Widura itu kini telah mengerahkan segala kemampuannya. Dengan cepatnya ia menyerang dan menyerang terus beruntun. Tetapi serangan-serangannya, apalagi menjatuhkan lawannya, menyentuh pun tidak. Kiai Gringsing benar-benar mampu bergerak secepat geraknya, bahkan ternyata kemudian bahwa kecepatan bergerak orang yang bertopeng itu dapat melampauinya. Ketika kemudian Kiai Gringsing itu mempertahankan dirinya dan sekali-sekali menyerang juga, terasa, bahwa orang yang bertopeng itu benar-benar aneh. Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin lama semakin cepat. Widura kini telah benar-benar mempergunakan ilmunya yang paling tinggi yang dimilikinya. Karena itu, maka geraknya pun menjadi semakin garang dan cepat. Kedua tangannya bergerak-gerak menyerang ke segenap tubuh lawannya. Sedang kedua kakinya yang kokoh itu sekali dipergunakannya untuk meloncat-loncat namun tiba-tiba tumitnya manyambar lambung.

Namun betapa ia berjuang, tetapi ia menyadarinya, bahwa apabila demikian untuk seterusnya, pekerjaannya tidak akan selesai. Karena itu, maka meskipun ia tidak berhasrat membunuh lawannya, namun ia ingin mempengaruhinya dan kemudian melemahkan perlawanannya. Ketika mereka menjadi semakin cepat bergerak tiba-tiba Widura melangkah surut, dan tiba-tiba pula di tangannya telah tergenggam pedangnya. Pedang yang besar dan tak begitu tajam, namun runcing ujungnya malampui ujung jarum. Kiai Gringsing terkejut melihat pedang itu, karena itu ia pun meloncat mundur. Bahkan Agung Sedayu yang mengikuti perkelahian itu dengan ketegangan di dalamnya terkejut pula. Apakah pamannya benar-benar akan bertempur mati-matian?
Yang terdengar kemudian adalah suara Kiai Gringsing,
“Widura, apakah kau akan membunuh aku?”
“Tidak” sahut Widura.
“Sudah aku katakan, aku ingin menangkapmu”
“Kenapa dengan pedang?”
“Aku tidak dapat menangkapmu tanpa senjata. Kau mampu bergerak selincah sikatan. Karena itu, sebaiknya kau tidak usah melawan, supaya aku tidak melukaimu”
“Hem” Kiai Gringsing menarik nafas.
“Jangan main-main dengan senjata Widura, senjata adalah lambang dari kematian. Kematian lawan atau kematian diri sendiri. Karena itu, sarungkan senjatamu. Kita bermain-main kembali. Apakah kau sudah lelah?”
Widura mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa kelebihan lawannya. Apalagi ketika disadarinya, bahwa nafas Kiai Gringsing itu masih segar, sesegar pada saat dilihatnya untuk pertama kalinya.
“Gila” umpat Widura di dalam hatinya.
“Apakah orang ini mempunyai nafas rangkap, atau memiliki sarang angin di dalam dadanya, sehingga nafasnya tak akan mengganggu”

Namun meskipun demikian, ia sudah bertekad, menangkap orang itu, orang yang banyak menyimpan teka-teki di dalam dirinya. Karena itu Widura tidak menyarungkan pedangnya. Bahkan ia melangkah maju sambil mengacungkan pedangnya kedada Kiai Gringsing. Katanya,
“Kiai, jangan memaksa aku mempergunakan pedangku. Ikutlah aku, dan tanggalkan topengmu itu supaya aku dapat mengenal wajahmu”
Kiai Gringsing masih tegak di tempatnya, seakan-akan kakinya jauh menghunjam kepusat bumi. Dipandangnya Widura dengan seksama, seakan-akan ingin dilihatnya isi dadanya. Tetapi sesaat kemudian ia berpaling kepada Agung Sedayu. Katanya sambil tertawa,
“Sedayu, apakah orang ini sudah kau ajari memegang senjata?”
Dada Agung Sedayu berdesir, dan jantung Widura  pun berguncang. Ia tidak menyangka bahwa Kiai Gringsing itu memandangnya seperti kanak-kanak yang sedang merajuk. Karena itu Widura itu pun menggeram,
“Kiai, aku sependapat dengan kau bahwa senjata adalah lambang dari kematian. Karena itu, jangan mempersulit keadaan. Aku ingin menangkapmu hidup-hidup sebab aku inginkan beberapa keterangan darimu. Tetapi kalau kau mati karena pokalmu yang aneh-aneh itu, jangan menyesal”
Hem” Kiai Gringsing menarik nafas,
“Kau benar-benar marah Widura?”
Pertanyaan itu benar-benar membingungkan. Dan akhirnya Widura  pun menjadi bingung memandang kedirinya sendiri. Apakah ia sedang marah atau karena sekedar didorong oleh keinginan-keinginan yang meluap-luap untuk segera memecahkan teka-teki tentang hilangnya Untara. Tetapi ketika ia melihat topeng Kiai Gringsing yang pucat seperti mayat itu, tiba-tiba saja ia menggeleng,
“Tidak” jawabnya.
“Aku tidak sedang marah. Tetapi aku sedang mengemban kewajiban. Sekarang aku sedang berusaha untuk menangkapmu, karena itu adalah salah satu dari kewajibanku pula”
“Baik” sahut Kiai Gringsing,
“Aku senang bahwa kau tidak sedang marah. Adalah berbahaya sekali senjata di tangan orang yang sedang marah. Kalau kau mau bertempur, marilah. Tetapi kita bertempur tanpa kemarahan di hati. Kata orang, kemarahan akan mempersempit otak kita. Dan senjata di tangan kita akan menjadi kabur kegunaannya”
Widura mengerutkan keningnya. Katanya,
“Hem. Kau takut kalau karena kemarahanku, aku membunuhmu”
Kiai Gringsing tertawa. Dan jawabnya mengherankan Widura,
“Mungkin. Aku memang takut mati. Mati tanpa arti. Tetapi kalau kau yang mati, maka kau mati dalam pelukan kewajiban. Nah, apakah tidak lebih baik, kau saja yang mati supaya kau disebut pahlawan”
“Jangan mengigau, bersiaplah!” bentak Widura.
“Aku sudah siap. Aku dapat bertempur sambil tersenyum. Apakah orang yang sedang bertempur pasti harus berwajah tegang seperti tambang? Bukan kita bertempur tanpa kemarahan di hati?”

Widura tidak menunggu kata-kata Kiai Gringsing itu berakhir, tiba-tiba saja menggerakkan pedangnya mengarah kedada lawannya. Namun sekali lagi ia terkejut. Kiai Gringsing itu sama sekali tidak bergerak, sehingga pedang itu benar-benar akan menghunjam kedadanya. Tetapi justru karena itu, Widura segera menarik serangannya dan berteriak,
“Hei Kiai. Apakah kau sedang membunuh diri?”
Kiai Gringsing menggeleng,
“Tidak” jawabnya.
“Aku hanya ingin tahu, apakah kau akan membunuh orang yang tidak bersenjata?”
“Oh” Widura tersadar dari ketergesa-gesaannya. Ia adalah seorang perwira tamtama yang biasa bertempur dalam kelompok yang besar, yang tidak pernah bertanya apakah lawannya bersenjata atau tidak. Tetapi dalam perkelahian seorang lawan seorang adalah wajar apabila keadaannya harus berimbang. Dengan demikian, masing-masing tidak meninggalkan kejantanan dan kejujuran.
“Ambillah senjatamu” teriak Widura jengkel.
“Bagus” jawab Kiai Gringsing. Kedua tangannya pun segera bergerak, mengambil sesuatu dari balik kain gringsingnya. Cambuk kuda.
“Gila” geram Widura.
“Adakah itu senjatamu?”
“Kenapa? Ini adalah senjataku. Dengan senjata ini pula aku bertempur dengan Alap-alap Jalatunda. Ayo, mulailah”
Widura menjadi semakin tidak mengerti menghadapi orang aneh ini. Meskipun demikian ia bersiap pula. Tetapi kini nafsunya untuk bertempur telah jauh berkurang. Bahkan tiba-tiba ia mengumpat tak habis-habisnya di dalam hatinya.
“Widura” berkata Kiai Gringsing pula,
“Aku akan mempergunakan senjataku pada ujung dan pangkalnya. Aku memegangnya di tengah-tengah. Awas, lawanlah dengan pedangmu”

Sekarang Kiai Gringsinglah yang mendahului menyerang. Widura terkejut. Ia mengelak ke samping dan dengan gerak naluriah, pedangnya pun berputar dan membalas serangan itu dengan serangan pula. Kini keduanya bertempur pula dengan cepatnya. Kiai Gringsing itu mempergunakan senjata anehnya dengan cara yang aneh pula. Tiba-tiba orang bertopeng itu berteriak nyaring,
“Nah, kau dapat aku kenai Widura”
Terasa sesuatu menyengat pundaknya. Meskipun yang mengenai itu ternyata hanya ujung cambuk kuda, namun sakitnya bukan kepalang. Sehingga Widura itu melontar surut.
“Nah, bayangkan, bagaimanakah kira-kira kalau senjataku ini berujung runcing seruncing senjatamu atau seruncing Nenggala pemberian Ki Tambak Wedi”
Widura terkejut mendengar kata-kata itu. Nenggala pemberian Ki Tambak Wedi adalah senjata Sidanti.
“Ah” gumamnya,
“Ia hanya ingin mencari persamaan” pikirnya.
“Tetapi” katanya pula di dalam hatinya,
“Kenapa ia sengaja memegang senjatanya dengan cara yang aneh itu?”
Tetapi Widura tidak sempat berpikir terlalu panjang, sebab Kiai Gringsing itu telah menyerangnya pula sambil berteriak,
“Sedayu, awasi muridmu, supaya kau tahu kesalahannya”
Sedayu yang sudah bingung menjadi bertambah bingung. Tetapi ia memperhatikan pula pertempuran itu. Kiai Gringsing dengan cambuk kuda di tangan, dan pamannya dengan sebuah pedang yang menakutkan. Pertempuran itu semakin lama mejadi semakin seru. Cambuk Kiai Gringsing bergerak dengan cepatnya, menyambar dari segala arah. Ujung dan pangkalnya sekali-sekali mematuk tubuh Widura tanpa dapat dihindari. Semakin lama menjadi semakin sering. Meskipun Widura berusaha sepenuh tenaga. Karena itu, maka getar di dalam dada Widura pun semakin lama menjadi semakin cepat. Ia kini tidak mau terbelengu oleh perasaan yang tak dimengertinya. Ia tidak memperdulikan lagi apakah ia sedang marah, atau ia hanya sekedar terdorong oleh keinginannya untuk mengetahui dimana Untara berada. Dengan demikian maka nafsunya untuk bertempur mati-matian kini kembali merayapi dadanya. Sehingga oleh karenanya, maka pedangnya pun bergerak semakin cepat, secepat baling-baling ditiup angin musim kesanga.

Sedayu melihat pertempuran itu dengan jantung yang berdentang-dentang. Mula-mula mencemaskan nasib orang bertopeng itu. Namun dalam pengamatannya kemudian, Kiai Gringsing itu ternyata mampu mempertahankan dirinya, bahkan beberapa kali ia berhasil mendesak Widura sehingga pamannya itu meloncat surut. Bahkan kemudian pertempuran itu terasa sangat menarik hatinya. Dengan penuh gairah ia memperhatikan setiap gerak dari mereka berdua. Ia mengagumi ketangkasan pamannya, namun ia heran melihat kelincahan Kiai Gringsing. Cambuk kuda yang tampaknya sama sekali tak berarti itu ternyata merupakan senjata yang berbahaya. Setapak demi setapak perkelahian itu berkisar dari satu titik ketitik yang lain. Namun Sedayu pun ikut berkisa-kisar pula. Sekali ia terpaksa menahan napas apabila pedang Widura menyambar dengan dahsyatnya, sedahsyat elang menyambar mangsanya. Namun wajahnya pun menjadi tegang, apabila ia melihat pamannya menyeringai kesakitan apabila cemeti kuda orang bertopeng itu menyentuh tubuhnya.
“Hem” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
“Kalau saja aku mampu berbuat seperti mereka itu” gumamnya di dalam hati.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika ia melihat pamannya melontar mundur. Sekali, dua kali dan Kiai Gringsing itu mendorongnya terus. Bahkan kemudian dengan tidak disangka-sangka, kaki orang bertopeng itu berhasil menyambar pergelangan tangan Widura sehingga pedangnya tergetar. Hampir saja pedang itu meluncur dari tangannya. Gigi Widura gemeretak. Kini ia benar-benar marah. Karena itu tandangnya pun menjadi semakin garang. Gerak pedangnya pun menjadi semakin cepat, sehingga yang tampak kemudian seakan-akan kabut putih yang bergulung-guliung melanda orang bertopeng itu. Kini Widura lah yang mendesak maju. Kiai Gringsing terpaksa meloncat surut. Bahkan akhirnya orang bertopeng itu tiba-tiba tersandar pada pohon kelapa sawit di belakangnya. Widura tidak membuang waktu lebih lama lagi. Pedangnya cepat meluncur ke arah Kiai Gringsing. Widura yang merasa dirinya dipermainkan itu, menusuk lawannya dengan sekuat tenaganya, meskipun pedangnya tidak mengarah dada. Namun apabila Kiai Gringsing tidak mampu menghindari kali ini, maka pundaknya pasti akan tersobek.

Melihat peristiwa itu, Agung Sedayu terkejut sehingga ia pun meloncat beberapa langkah maju. Namun ia tak akan dapat berbuat apapun. Yang dilihatnya pedang pamannya yang runcing itu mematuk dengan garangnya.Tetapi mata Agung Sedayu itu pun terbeliak. Dengan mulut yang ternganga ia melihat, betapa Kiai Gringsing itu kemudian berdiri tegak sambil tertawa berkepanjangan. Katanya,
“Ah, tenagamu memang luar biasa Widura. Tetapi kau sekarang pasti akan menemui kesulitan untuk mencabut pedangmu itu”
“Setan” terdengar Widura mengumpat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha mencabut pedangnya yang tertancap pada pohon kelapa sawit itu. Ternyata Kiai Gringsing mampu mengelakkan diri dengan cepatnya, sehingga pedang Widura yang mematuknya itu langsung mengenai pohon yang disandarinya.
“Jangan main-main kiai” geram Widura dengan wajah yang membara,
“Aku dapat bertempur tanpa pedang”
“Jangan” jawab Kiai Gringsing,
“Cabutlah pedangmu. Aku menunggu”
Widura masih berusaha sekuat tenaga mencabut pedangnya. Namun ia masih mengumpat di dalam hatinya. Ternyata pedang yang runcing itu telah membenam dalam sekali. Tenaganya benar-benar telah dicurahkan untuk menusukkan pedang itu. Karena itu, maka sekarang, betapa sukarnya untuk mencabutnya. Beberapa kali Widura menggeram. Tetapi kemudian Kiai Gringsing itu berkata,
“Minggirlah, coba apakah aku mampu mencabutnya”
Widura sendiri tidak menyadari, kenapa tiba-tiba ia melangkah ke samping dan memberi kesempatan kepada orang bertopeng itu untuk mencabut pedangnya. Betapa Widura menjadi heran, apalagi Agung Sedayu. Dengan sebuah teriakan kecil, Kiai Gringsing berhasil menyentakkan pedang itu dari batang kelapa sawit, meskipun ia sendiri terhuyung-huyung beberapa langkah mundur. Bahkann hampir saja ia tergelincir jatuh.
“Hem” orang bertopeng itu menarik nafas,
“Pedang yang aneh. Besar, tumpul namun runcing seruncing jarum. Kenapa kau membuat pedang seaneh ini?”
Widura tidak menjawab. Tetap ia menggeram. Terdengar giginya gemeretak. Namun ia masih tegak di tempatnya.
“Widura, kita akhiri pertempuran ini. Aku kembalikan pedangmu. Nah, berlatihlah terus” Kemudian kepada Agung Sedayu Kiai Gringsing itu berkata,
“Sedayu, kau harus bekerja lebih berat supaya muridmu ini menjadi lekas masak. Ketahuilah, bahwa Sidanti pun selalu mendapat tempaan dari gurunya. Ki Tambak Wedi setiap saat mengunjunginya. Bukankah muridmu itu pimpinan laskar Pajang di sini? Apabila Sidanti kelak melampauinya, maka wibawanya akan berkurang”
Widura terkejut mendengar kata-kata itu. Demikian juga Sedayu. Apakah Sidanti benar-benar berlatih terus? Tetapi Kiai Gringsing tidak memberi mereka kesempatan untuk bertanya. Bahkan sekali lagi ia berkata,
“Setiap hari aku akan melihat kalian berlatih di sini. Aku tidak akan mengganggu. Nah Widura, ini pedangmu”

Sebelum Widura menjawab, meluncurlah pedang Widura dari tangan Kiai Gringsing. Dengan gerak naluriah Widura meloncat untuk menangkap pedangnya itu. Kemudian mereka berdua, Widura dan Agung Sedayu melihat, orang bertopeng itu berjalan seenaknya meninggalkan mereka. Lewat puntuk kecil itu, dan kemudian hilang di balik batang-batang ilalang yang tumbuh dengan liarnya. Widura sesaat berdiri saja mematung. Pertemuannya dengan Kiai Gringsing itu benar-benar berkesan di hatinya,
“Orang aneh” gumamnya.
Widura terkejut ketika ia mendengar Agung Sedayu mengulangi kata-katanya,
“Orang aneh. Ya, memang orang itu orang yang aneh”
Widura menarik nafas panjang. Katanya,
“Orang itu tampaknya selalu tidak bersungguh-sungguh. Tetapi aku menyesal bahwa aku bersikap terlalu kasar kepadanya. Ah, mula-mula aku merasa ia menghinaku” Widura berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan,
“Namun agaknya ada sesuatu maksud tersimpan di balik sikapnya yang seakan-akan tidak bersungguh-sungguh itu”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan didengarnya pamannya berkata,
“Bukankah Kiai Gringsing mengatakan bahwa Sidanti pun selalu mendapat tempaan dari gurunya yang dahsyat itu?”
“Ya” Agung Sedayu mengangguk.
Sesaat kemudian mereka saling berdiam diri. Mereka masih memandang ke arah Kiai Gringsing lenyap di balik batang-batang ilalang.
“Sedayu” berkata Widura kemudian.
“Kita akhiri latihan ini. Marilah kita kembali. Ternyata bukan kau yang mendapat kesempatan untuk berlatih, tetapi aku sendiri. Meskipun demikian setiap malam kita datang ke tempat ini”
Agung Sedayu mengangguk. Dan diikutinya pamannya meninggalkan tanah lapang yang sempit itu. Mereka berjalan berurutan di atas pematang, kemudian setelah melangkahi parit mereka berjalan menyusur jalan desa menuju kademangan Sangkal Putung.

Hampir di sepanjang jalan mereka tidak bercakap-cakap. Masing-masing sedang dihanyutkan oleh angan-angannya. Widura masih dirisaukan oleh kata-kata Kiai Gringsing,
“Sidanti berlatih terus”
“Mudah-mudahan anak itu mempunyai itikad yang baik” katanya di dalam hati.
“Semoga ia berlatih untuk menghadapi Macan Kepatihan”. Namun Widura itu beragu. Sikap anak muda itu memang kurang menyenangkannya. Apalagi sikapnya terhadap Agung Sedayu.
Tanpa disengajanya, Widura berpaling kepada kemenakannya yang berjalan menunduk di sampingnya,
“Sayang” gumamnya di dalam hati.
“Anak itu benar-benar penakut. Kalau anak-anak Sangkal Putung tahu, apalagi Sidanti, maka Sedayu akan menjadi orang yang paling memuakkan di kademangan ini.
“Tetapi aneh” berkata Widura seterusnya di dalam hati,
“Kenapa agaknya Kiai Gringsing menaruh perhatian atasnya. Anak itu telah dilindunginya dari Alap-alap Jalatunda dan kini ia hadir pula di lapangan sempit itu”
Sedangkan Agung Sedayu sibuk dengan dirinya sendiri. Timbullah di dalam angan-angannya keinginan yang besar untuk setidak-tidaknya dapat berbuat seperti pamannya, seperti kakaknya apalagi seperti Kiai Gringsing yang mampu bergerak selincah burung sikatan.
“Aku akan berlatih terus. Setiap malam” janjinya di dalam hati.

Awan di langit semakin lama menjadi semakin kelam. Satu-satu guruh di langit meledak seperti hendak meruntuhkan gunung. Widura dan Agung Sedayu mempercepat langkah mereka. Mereka lebih senang tidur di pringgitan kademangan Sangkal Putung daripada basah kuyup di jalanan. Di regol halaman kademangan, Widura melihat Ki Demang tidur di atas anyaman daun kelapa, sedang di sampingnya mendengkur anak laki-lakinya, Swandaru. Widura tersenyum melihat mereka. Meskipun umur demang Sangkal Putung itu sudah melewati setengah abad, namun ia merasakan benar bahwa adalah menjadi tanggung jawabnya, hidup atau mati dari kademangannya. Ia tidak saja menerima jabatannya dalam saat-saat menyenangkan, bukan sekedar suatu keinginan untuk menerima pelungguh sawah dan kehormatan sebagai seorang demang, namun ia menyadari, bahwa di samping hak yang diterimanya itu, maka ia pun harus mengemban kewajiban yang diperoleh sebagai keseimbangan dari hak-hak itu. Bahkan lebih dari itu, kampung halamannya adalah tanah yang harus dipertahankan. Sebagai demang atau bukan. Beberapa orang penjaga yang duduk di regol halaman di samping Ki Demang itu pun berdiri ketika mereka melihat Widura memasuki pintu regol,
“Selamat malam tuan” sapa salah seorang penjaga.
Widura menganggukkan kepalanya. Ketika ia akan menjawab, dilihatnya Ki Demang menggeliat sambil bergumam,
“Apakah adi Widura baru datang?”
“Ya kakang” jawab Widura.
“Silakan, aku lebih senang tidur di sini. Udara terlalu panas” berkata ki demang itu pula.
“Langit kelam kakang” sahut Widura.
“Agaknya sebentar lagi hujan akan turun”
“Agaknya demikian” jawab Ki Demang,
“Nah, beristirahatlah”

Widura itu pun kemudian berjalan bersama-sama dengan Agung Sedayu naik ke pendapa. Ketika mereka melihat pembaringan Sidanti, mereka terkejut. Pembaringan itu kosong. Dan senjata di dinding di atas pembaringannya itu pun tidak ada pula. Sedang di sampingnya masih berjajar beberapa orang tidur dengan nyenyaknya. Tetapi Widura tidak menanyakannya kepada siapapun. Bersama Agung Sedayu mereka langsung ke pringgitan.
“Kau lelah Sedayu” berkata pamannya kemudian, “Tidurlah”
Sebenarnya Agung Sedayu itu lelah sekali. Tidak saja tubuhnya, tetapi juga angan-angannya. Karena itu, segera ia membaringkan dirinya, di atas tikar pandan di samping pembaringan pamannya. Tetapi pamannya tidak segera tidur. Setelah diteguknya beberapa teguk air dari gendi digelodog bambu, ia pun duduk sambil mengamati tubuhnya. Tampaklah beberapa goresan-goresan merah biru dan noda-noda yang kehitaman hampir di segenap bagian tubuhnya. Ujung dan pangkal cambuk Kiai Gringsing benar-benar mengagumkan. Widura itu kemudian terkejut, ketika ia mendengar langkah menaiki pendapa. Perlahan-lahan dan kemudian kemudian hilang. Ketika ia memperhatikan keadaan dan memusatkan pendengarannya, ia mendengar beberapa suara gemerisik. Hanya sebentar, kemudian diam kembali. Widura mengangkat alisnya. Tetapi ia diam saja. Ia masih menunggu beberapa saat. Baru kemudian ia berdiri perlahan-lahan dan dengan hati-hati melangkah keluar pringgitan. Ketika ia sampai di pendapa dilihatnya Sidanti telah berbaring di tempatnya, seakan-akan tidak terjadi apapun.
“Sidanti” panggil Widura perlahan-lahan.
Sidanti menggeliat. Kemudian dengan segan ia menjawab,
“Ya kakang”
“Adakah kau yang baru saja naik ke pendapa?” bertanya Widura pula. Sesaat Sidanti terdiam. Ia ragu-ragu untuk menjawab. Namun ketika Widura memandangnya dengan seksama, seakan-akan ingin melihat debar dijantungnya, maka Sidanti itu pun menjawab,
“Ya kakang”
“Dari manakah kau?” bertanya Widura seterusnya.
“Dari belakang kakang. Kenapa?” sahut Sidanti.
“Tidak apa-apa. Sejak tadi aku mencarimu”
Sidanti kemudian bangkit dan duduk dengan malasnya,
“Adalah sesuatu yang sangat perlu?”
“Tidak sedemikian penting. Tetapi kemarilah”
“Aku sudah kantuk sekali. Tidakkah dapat ditunda sampai besok?”
“Tentu. Tetapi aku mengharapmu sekarang”
Widura tidak menunggu Sidanti menjawab. Dengah langkah yang tetap ia berjalan memasuki pringgitan kembali.
Sidanti mengumpat di hatinya,
“Apa pula yang akan dikatakannya”

Ketika Sidanti sudah duduk di hadapannya, Widura berkata,
“Sidanti. Persoalan ini memang tidak begitu penting. Tetapi aku perlu menyampaikannya kepadamu” Widura diam sejenak. Diamat-amatinya baju Sidanti. Basah oleh peluh yang seakan-akan terperas dari tubuhnya. Tiba-tiba ia bertanya,
“Darimana kau Sidanti?”
Sidanti menjadi agak gugup. Namun sesaat ia telah tenang kembali. Jawabnya,
“Dari belakang”
“Bajumu basah oleh keringat” sahut Widura.
Kembali Sidanti menjadi agak gugup. Jawabnya kemudian,
“Aku mencoba melatih diri supaya aku kelak dapat mengimbangi Macan Kepatihan”
“Sendiri?” desak Widura.
“Ya”
“Sidanti. Aku berbangga akan ketekunanmu. Namun kau harus memberitahukannya kepada kawan-kawanmu. Apalagi mereka yang sedang bertugas, supaya tak terjadi salah mengerti. Dalam keadaan serupa ini, setiap orang akan dapat dicurigai. Sampai saat ini aku belum pernah dapat laporan, bahwa kau sering mempergunakan waktumu untuk berlatih diri”
“Apa salahnya?” potong Sidanti,
“Apakah kakang Widura ingin kami semua ini menjadi orang-orang yang tidak pernah menemukan tingkat yang lebih baik dari tingkat yang kita miliki sekarang?”
“Tidak Sidanti. Aku tidak bermaksud demikian. Bahkan aku senang kau melakukannya. Tetapi kenapa dengan diam-diam. Apakah kau tak ingin misalnya, beberapa orang ikut serta, dan apakah dengan demikian, ketahanan dan pertahanan kita akan tambah kuat”
“Tentu” jawab Sidanti,
“Bukankah telah kita lakukan setiap hari? Dan apa salahnya kalau aku mempergunakan waktu khusus untuk aku sendiri?”
“Aku tidak keberatan. Tetapi kau sering meninggalkan kademangan ini tanpa seorang pun juga mengetahuinya” Widura mencoba untuk mengetahui, apakah yang dikatakan Kiai Gringsing tentang Sidanti benar-benar terjadi.

Sidanti untuk sesaat tidak menjawab. Dipandanginya wajah Widura dengan tajamnya. Tetapi ketika pandangan mata mereka bertemu, Sidanti itu pun menundukkan wajahnya. Namun dadanya masih juga berdebar-debar. Widura tidak segera mendesaknya. Ia menunggu apakah yang akan dikatakan oleh Sidanti. Hanya tarikan nafas mereka terdengar berkejar-kejaran. Baru beberapa saat kemudian Sidanti menjawab,
“Aku pergi atas tanggung jawabku sendiri kakang. Aku kadang-kadang memerlukan tempat yang baik yang tidak aku temui di halaman kademangan ini. Juga karena aku tidak ingin diganggu oleh siapa pun juga”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia yakin akan kebenaran cerita Kiai Gringsing. Namun ia masih mengharap semoga Sidanti benar-benar akan mengamalkan ilmunya untuk kemenangan bersama. Meskipun demikian Widura itu pun berkata,
“Sidanti, aku berbangga. Benar-benar berbangga seperti yang aku katakan. Tetapi aku ingin memberimu peringatan. Jangan terlalu berani meninggalkan kademangan ini seorang diri. Macan Kepatihan bukan anak-anak yang ketakutan karena kekalahan-kekalahan kecil. Setiap saat ia dapat datang kembali. Mungkin seorang diri, dan menyergapmu tanpa seorang pun yang dapat melihat apa yang akan terjadi”
“Sudah aku katakan” jawab Sidanti,
“Kalau aku terbunuh olehnya selama aku melatih diri, adalah tanggung jawabku sendiri. Tak seorang pun perlu menangisi mayatku”
“Jangan berkata demikian” sahut Widura. Kata-katanya tenang dan berat. Kata-kata seorang tua kepada anaknya yang nakal. “Kalau kau hilang dari antara kami, maka kami semua akan merasa kehilangan. Kita tidak tahu, sampai kapan kita dalam keadaan yang tidak menentu ini. Karena itu, kau adalah lawan Tohpati yang dapat kita banggakan. Ilmumu masih akan berkembang sejalan dengan ilmu Tohpati. Namun kau memiliki kemenangan daripadanya. Gurumu masih ada”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi ia tidak senang atas peringatan itu. Dirasakannya seakan-akan kebebasannya terganggu.
“Apa pun yang aku lakukan adalah hakku” katanya di dalam hatinya.
“Apakah gurumu tak pernah mengunjungimu?” tiba-tiba Widura bertanya. Dan pertanyaan itu benar-benar membingungkan Sidanti. Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Sebenarnya ia sendiri tidak pernah merasa keberatan seandainya semua orang tahu, bahwa gurunya sering datang mengunjunginya. Namun gurunyalah yang melarangnya. Selalu teringat olehnya gurunya itu berkata,
“Sidanti, kemenangan terakhir haruslah kemenanganmu. Bukan kemenangan orang lain. Juga bukan kemenangan kelompokmu, apalagi pimpinanmu”
Karena ingatannya itu, maka Sidanti kemudian menggeleng,
“Tidak. Guru tidak pernah datang”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya, namun ia pasti, bahwa guru Sidanti itu dengan diam-diam selalu datang dan menempa muridnya dengan tekunnya. Sedang di dalam kepala Sidanti itu terngiang kata-kata gurunya pula,
“Karena itu Sidanti, aku tak mau seorang pun tahu, bahwa kau sedang menempa dirimu. Aku tak mau seorang pun dapat meneguk ilmu Tambak Wedi meskipun hanya setetes. Sebab, pada suatu saat kau harus menjadi orang pertama di Pajang sesudah Hadiwijaya sendiri”

Kembali suasana di pringgitan itu tenggelam dalam kesepian. Sidanti kemudian menundukkan wajahnya pula. Tubuhnya benar-benar merasa lelah setelah ia memeras tenaganya, menerima ilmu-ilmu penyempurnaan dari gurunya.
“Kau lelah sekali Sidanti” berkata Widura.
“Ya” sahut Sidanti pendek.
“Tidurlah”
Sidanti tidak menunggu perintah itu diulang untuk kedua kalinya. Segera ia berdiri dan berjalan keluar. Di muka pintu ia berpaling. Ketika dilihatnya Widura masih mengawasinya, segera ia melemparkan pandangan matanya ke arah lain. Kini Widura duduk kembali seorang diri di atas pembaringannya. Angan-angannya terbang kian kemari. Banyak persoalan yang dihadapinya. Dan banyak persoalan yang perlu dipecahkannya. Namun sebagai manusia Widura berdoa, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan memberinya jalan terang. Widura  pun ternyata lelah pula. Sejenak kemudian ia pun berbaring dan tertidur pula dengan lelapnya.

Ketika cahaya fajar telah membayang dipunggung bukit, maka Agung Sedayu pun telah bangun dari tidurnya. Dikejauhan masih didengarnya satu-satu ayang jantan berkokok menyambut pagi. Sekali Agung Sedayu menggeliat, kemudian perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan keluar. Terasa betapa nyamannya udara menjelang dini hari. Di pendapa beberapa orang  pun telah bangun. Seorang dua orang telah turun kehalaman, sedang yang lain lagi bersembahyang subuh. Agung Sedayu  pun segera pergi kepadasan. Baru setelah ia selesai sembahyang subuh, dilihatnya pamannya bangkit. Dengan tersenyum ia menyapa,
“Ah, kau bangun lebih dahulu Sedayu”
“Ya paman” sahutnya, “Aku tidur lebih dahulu pula”
Pamannya tersenyum. Dan Agung Sedayu  pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Ia ingin menikmati cerahnya fajar. Satu-satu di langit masih tersangkut bintang-bintang yang dengan segannya memandang halaman kademangan Sangkal Putung yang baru saja terbangun dari lelapnya malam. Sangkal Putung itu ternyata benar-benar telah terbangun. Di jalan-jalan telah mulai tampak satu dua orang yang lewat tergesa-gesa. Mereka akan mencoba menjual dagangan mereka di sudut desa. Sebab mereka masih belum berani berjalan terlampau jauh. Di sudut desa itu telah menjadi agak ramai sejak beberapa saat yang lampau. Jual beli dan tukar-menukar banyak pula terjadi. Tiba-tiba timbullah keinginan Agung Sedayu untuk berjalan-jalan menyusur jalan di muka kademangan itu. Di muka regol beberapa orang penjaga mengangguk kepadanya.
“Akan kemana ngger?” bertanya salah seorang daripadanya.
“Berjalan-jalan paman” jawab Agung Sedayu
Orang itu mengangguk. Sahutnya,
“Silakan. Barangkali udara pagi di Sangkal Putung dapat menyejukkan hati angger”
Agung Sedayu tersenyum. Dan diayunkannya kakinya melangkah menurut jalan itu. Sekali-sekali ia berpaling untuk mengetahui jarak yang telah ditempuhnya. Agung Sedayu tidak ingin berjalan seorang diri terlalu jauh dari kademangan, meskipun di siang hari yang cerah sekalipun.
Tiba-tiba Agung Sedayu terkejut ketika didengarnya sapa halus di sampingnya. Katanya,
“Akan pergi kemanakah tuan sepagi ini?”
Ketika Agung Sedayu menoleh dilihatnya seorang gadis yang kemarin ditemuinya di kademangan muncul dari sebuah jalan sidatan. Karena itu maka sambil mengannguk ia menjawab pendek,
“Berjalan-jalan”
Gadis itu, yang tak lain adalah Sekar Mirah, mengerutkan keningnya. Jawaban yang terlalu pendek. Meskipun demikian ia memberanikan dirinya untuk bertanya,
“Apakah tuan akan pergi ke warung di sudut desa?”
Agung Sedayu menggeleng, “Tidak” jawabnya.
Sekar Mirah menggigit bibirnya. Tetapi justru karena itu, maka kesannya atas Agung Sedayu menjadi semakin dalam. Anak muda pendiam yang sombong. Tetapi Sekar Mirah berkata pula,
“Kalau tidak, akan kemanakah tuan?”
Agung Sedayu menjadi bingung. Ia tidak tahu, akan kemanakah ia sebenarnya. Maka jawabnya sekenanya,
“Aku hanya berjalan-jalan saja”
“Oh” sahut Sekar Mirah.
“Kalau begitu, apakah tuan ingin melihat warung itu. Barangkali tuan ingin membeli sesuatu. Buah-buahan, kain atau apa?

Warung itu menjadi ramai sejak daerah ini tidak aman. Sebab mereka tidak berani pergi terlalu jauh. Bahkan orang-orang dari desa yang lain pun datang kemari. Sebab di sini ada laskar paman Widura, sehingga mereka merasa mendapatkan perlindungan daripadanya. Agung Sedayu menjadi bertambah bingung. Ia sama sekali tidak memiliki uang sedikitpun. Tetapi sebelum ia menolak gadis itu telah berkata pula,
“Marilah tuan. Tuan akan mendapat kesan yang lengkap dari daerah ini”
Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain dari mengikutinya. Sekar Mirah berjalan kembali kewarung di sudut desa. Ia senang bahwa Agung Sedayu mengikutinya.
“Kedatangan tuan pasti akan menggembirakan para pedagang di warung itu” berkata Sekar Mirah kemudian.
“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.
“Bukankah tuan telah menyelamatkan Sangkal Putung?” jawab Sekar Mirah.
Terasa dada Sedayu berdesir. Meskipun demikian, ia pun tiba-tiba merasakan suatu kebanggaan atas pujian itu. Pujian yang diucapkan oleh seorang gadis yang ramah. Sekar Mirah adalah gadis yang lincah. Banyak persoalan yang ingin diketahuinya, dan banyak persoalan yang dipikirkannya. Meskipun ia seorang gadis, namun ingin juga ia mengerti banyak hal tentang keadaan di daerahnya. Sebagai seorang anak demang, Sekar Mirah selalu melihat dan mendengar ayahnya mempersoalkan daerah dan orang-orang di daerah Sangkal Putung. Karena itu, maka lambat laun hatinya pun tertarik pada persoalan-persoalan daerah dan orang-orang di daerahnya. Karena itu pula maka di sepanjang jalan itupun, Sekar Mirah selalu berusaha untuk mengerti akan beberapa persoalan. Maka dengan hati-hati ia bertanya,
“Tuan, apakah tuan adik dari seorang yang bernama Untara?”
Agung Sedayu mengangguk.
“Ya” jawabnya.
“Ah. Semua orang di Sangkal Putung mengagumi tuan. Bukankah tuan telah menyelamatkan kademangan ini. Semua orang yang bertemu dengan tuan, pasti akan menundukkan kepalanya dalam-dalam dengan penuh rasa hormat dan terima kasih”
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati,
“Ya, seandainya demikian. Tetapi aku akan berlatih terus. Aku ingin untuk benar-benar menjadi orang yang berhak mendapat penghormatan yang demikian.”
“Tuan” Sekar Mirah itu berkata lagi,
“Untuk mencapai tingkat yang seperti tuan, berapa lama waktu yang tuan perlukan?”

Agung Sedayu terkejut mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang tak diduga-duganya. Apalagi dari seorang gadis. Karena itu untuk sesaat ia tidak menjawab. Sehingga Sekar Mirah itu berkata pula,
“Kakang Swandaru pun selalu berusaha untuk melatih diri. Namun apa yang dicapainya itu sama sekali tak berarti. Orang-orang di Sangkal Putung sampai saat ini, yang paling dibanggakan oleh paman Widura adalah Sidanti”
Dada Agung Sedayu berdesir mendengar nama itu. Dilihatnya di dalam rongga matanya Sidanti yang tinggi hati itu memandanginya dengan tajam dan penuh prasangka. Tiba-tiba bulu-bulu Agung Sedayu meremang. Namun ia tidak menjawab. Sebab, tiba-tiba saja timbullah di sudut hatinya suatu keinginan yang tak dimengertinya sendiri. Terhadap gadis itu, ia ingin mempertahankan nama yang telah dicapainya.
“Kenapa demikian”, timbul pula pertanyaan di dalam dirinya. Tetapi ia menjawab,
“Aku melatih diri sejak kanak-kanak”
“Oh” Sekar Mirah menjadi bertambah kagum.
“Pantaslah tuan dapat melakukan semua itu. Aku mendengar seseorang mengatakan bahwa tuan berhasil mengalahkan Alap-alap Jalatunda.”
Agung Sedayu berdebar-debar. Namun ia menjawab,
“Alap-alap Jalatunda tidak segarang Tohpati” Tiba-tiba hatinya bergetar ketika ia menyebut nama itu. Meskipun demikian, ia berusaha untuk tetap tersenyum.
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangganya. Agung Sedayu itu telah dapat diajaknya bicara. Maka katanya seterusnya,
“Berapa lamakah tuan akan tinggal di Sangkal Putung?”
“Aku tidak tahu” jawab Sedayu,
“Kalau kakang Untara sudah ditemukan, aku akan segera kembali ke Jati Anom, dan kakang Untara akan kembali ke Pajang”
Sekar Mirah kecewa mendengar jawaban itu. Dan ia mengharap, semoga Untara tidak segera dapat diketemukan.

Mereka berjalan sambil bercakap-cakap. Sekar Mirah menjadi gembira dan Agung Sedayu  pun berbangga karenanya. Tanpa disadarinya Agung Sedayu telah banyak bercerita tentang kademangan-kademangan yang pernah dicapainya dalam perjalanannya dari Jati Anom. Diceritakannya tentang si Pande Besi dan tiga kawannya yang terbunuh, dan Alap-alap Jalatunda yang mencegatnya di Bulak Dawa. Namun setiap kata diucapkan, terasa sebuah goresan yang pahit di dalam dadanya. Ingin ia mengatakan apa yang sebenarnya, namun ia tidak mempunyai keberanian, dan bahkan akhirnya ia sengaja menyombongkan dirinya untuk menyembunyikan kekerdilannya. Seakan-akan ia benar-benar pahlawan Sangkal Putung. Ketika mereka sampai di warung ujung desa, maka apa yang dikatakan oleh Sekar Mirah itu benar-benar terjadi. Para pedagang dan orang yang berada diwarung itu mengaguminya. Mereka tiba-tiba saja seperti orang yang terpesona. Berdesakan mereka mengitari Agung Sedayu untuk sekedar dapat menyambut tangannya. Satu demi satu orang-orang diwarung itu memberikan salamnya, dan satu demi satu tangan-tangan mereka itu disambut oleh Agung Sedayu disertai dengan sebuah anggukan kepala dan sebuah senyuman. Namun tak seorang pun di antara mereka yang mengetahuinya, bahwa di dalam dada anak muda itu bergolaklah kecemasan dan kekhawatiran yang dahsyat. Sekar Mirah yang memperkenalkan Agung Sedayu itu pun ikut berbangga pula. Kepada kawan-kawannya ia bercerita seperti burung sedang berkicau tentang anak muda yang bernama Agung Sedayu itu, seolah-olah ia melihat sendiri peristiwa-peristiwa yang dialami olehnya. Namun beberapa gadis yang iri hati kepadanya bergumam di dalam hatinya,
“Ah Mirah. Dahulu kau selalu berdua dengan Sidanti. Sekarang, ketika datang anak muda yang lebih tampan dan sakti, kau tinggalkan anak muda yang bernama Sidanti itu”
Tetapi tak seorang pun yang berani mengucapkannya. Sebab Sekar Mirah adalah anak Demang Sangkal Putung. Ketika mereka sudah puas melihat kekaguman orang-orang Sangkal Putung itu, maka Sekar Mirah dan Sedayu pun segera kembali ke kademangan. Juga di sepanjang jalan pulang, Sekar Mirah masih saja berkicau tak henti-hentinya. Namun kini Agung Sedayu senang mendengarnya. Sampai di kademangan Agung Sedayu segera pergi menemui pamannya di pringgitan, dimana Agung Sedayu sehari-hari menyekap diri. Jarang sekali ia pergi berkumpul dengan orang-orang lain. Hanya kadang-kadang saja ia bercakap-cakap dengan mereka di pendapa. Sedang Sekar Mirah dengan tergesa-gesa pergi kedapur. Ia takut terlambat dengan belanjaannya untuk mempersiapkan makan pagi. Tetapi langkah Sekar Mirah itu terhenti ketika Sidanti menggamitnya,
“Mirah” katanya.
Sekar Mirah berpaling. Dengan tergesa-gesa ia bertanya,
“Kenapa?”
“Dari mana kau?”
“Warung” jawab Sekar Mirah pendek.
Sidanti memandangnya dengan tajam. Kemudian katanya,
“Dengan Agung Sedayu?”
Sekar Mirah memandang Sidanti tidak kalah tajamnya. Jawabnya,
“Ya. Apa salahnya?”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia tersenyum. Katanya,


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar