AGUNG SEDAYU menarik nafas dalam-dalam.
“Jangan Mirah.
Kau akan kepanasan. Sebaiknya kita duduk sebentar di gardu itu. Aku dapat mengurus
apa yang harus kita lakukan. Aku akan mencari Kakang Untara.”
“Tidak perlu,
Kakang. Kita tamu di sini. Kita tidak perlu mencari orang untuk mempersilahkan
kita. Kalau kita tetap di sini dan tetap tidak seorang pun yang mempersilahkan kita, maka lebih baik
kita kembali hari ini ke Sangkal Putung. Ayahku
pun seorang demang seperti pemimpin tertinggi kademangan ini.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya perlahan-lahan dan hati-hati,
“Angger Sekar
Mirah. Jangan merajuk. Suasana peperangan adalah seperti ini. Kedatangan Angger
Agung Sedayu di Sangkal Putung juga disambut dengan perang tanding. Hal-hal
serupa ini memang sering terjadi. Dan kitalah yang harus menyesuaikan diri.“
“Tetapi sama
sekali bukan permintaan kita untuk datang minta perlindungan ke Jati Anom.
Kehadiran kita di sini sama sekali bukan atas kehendak kita sendiri.”
“Ya, Ngger,
Angger benar. Tetapi sebaiknya kita juga dapat Mengerti,” Ki Tanu Metir itu
berhenti sejenak.
“Dan bukankah
Angger Agung Sedayu di sini sama sekali bukan tamu? Ia adalah salah seorang
dari tuan rumah. Angger Agung Sedayu dapat mempersilahkan kita,
setidak-tidaknya singgah sebentar di rumahnya.”
“Oh,” Agung
Sedayu seolah-olah tersadar dari angan-angannya,
“baiklah.
Marilah, aku persilahkan Kiai dan adi Swandaru serta Sekar Mirah untuk singgah
di rumah.”
Swandaru
berdiri saja seperti patung. Hatinya memang dibingungkan oleh keadaan di
sekitarnya. Ia dapat mengerti keterangan Ki Tanu Metir, tetapi ia merasa
seperti yang dirasakan oleh adiknya. Sesaat mereka menjadi termangu-mangu.
Sekar Mirah sama sekali tidak beringsut dari tempatnya, di samping pagar
halaman kademangan, di bawah sebatang pohon nyiur.
“Marilah,”
Agung Sedayu mempersilahkan sekali lagi,
“rumahku tidak
begitu jauh.”
Tak ada
jawaban. Sekar Mirah sama sekali tidak berkisar. Bahkan berpaling pun tidak.
Sedang Swandaru masih juga berdiri termangu-mangu. Agung Sedayu kemudian
menjadi gelisah. Setiap kali dipandanginya wajah gurunya yang berkerut-merut.
Tetapi agaknya Ki Tanu Metir pun belum
menemukan sikap yang sebaik-baiknya menghadapi keadaan.
Dalam
ketegangan itu tiba-tiba terdengar seseorang menyapa,
“He, Agung
Sedayu. Kenapa kau berdiri saja di situ?”
Agung Sedayu
berpaling. Dilihatnya seorang anak muda berjalan menemuinya.
“Untara berada
di gandok Wetan,” berkata anak muda itu.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Aku datang
bersama tamu-tamu ini.”
Anak muda itu
memandangi mereka satu demi satu. Swandaru dan Ki Tanu Metir serasa pernah
dilihatnya. Tetapi gadis ini sama sekali belum.
“Kenapa tidak
kau persilahkan mereka masuk?” berkata anak muda itu.
“Kalianlah
yang harus mempersilahkannya.”
Pemuda itu
menjadi ragu-ragu sejenak. Lalu katanya,
“Marilah ke
gandok Wetan. Di sana akan kalian temui Untara dan anak-anak muda yang lain.”
“Apakah mereka
sedang berunding, atau membicarakan hal yang penting?”
“Tidak, kami,
anak-anak muda Jati Anom sedang menjamunya sebagai pernyataan terima kasih
kami. Marilah.”
Agung Sedayu
menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya wajah Sekar Mirah yang menjadi
kemerah-merahan karena panas matahari yang serasa membakar halaman itu. Tetapi
Agung Sedayu tidak segera mengajaknya memenuhi pemintaan anak muda Jati Anom
yang mempersilahkan mereka. Ia masih ragu-ragu melihat wajah Sekar Mirah yang
seakan-akan acuh tidak acuh. Ki Tanu Metir melihat keragu-raguan itu. Orang tua
itu mengangguk-angguk kecil. Di sini ia melihat berbagai perangai anak-anak
muda yang berbeda-beda. Yang di antaranya tanpa sengaja telah menyinggung
perasaan masing-masing. Orang tua itu melihat watak Untara sebagai seorang
senapati muda. Seakan-akan anak itu memang dilahirkan untuk menjadi seorang
senapati yang keras dan mengikat diri dalam kewajibannya. Setiap soal
dikaitkannya dengan pendiriannya sebagai seorang senapati. Adiknya, meskipun
perkembangan sifatnya telah membentuk menjadi seorang Agung Sedayu yang
sekarang, tetapi ia masih selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Anak itu belum
dapat meyakini dirinya dalam suatu pendirian. Ia masih selalu memerlukan orang
lain untuk memperkuat pendapatnya. Ia masih memerlukan orang lain untuk
memperbincangkan setiap pikirannya. Pengaruh kakaknya sebagai seorang anak
laki-laki yang jantan. Sedang muridnya yang lain, Swandaru adalah seorang yang
hampir tidak mengacuhkan apa pun kecuali kesenangannya sendiri. Meskipun
demikian, anak muda itu kadang-kadang berhasil juga melihat suasana dalam
menentukan langkahnya. Namun setiap kali sifat-sifatnya itu lepas juga dalam
peledakan-peledakan yang sering terlampau aneh, terlampau berpusar pada
kepentingan dan selera sendiri.
Sedang Sekar
Mirah adalah seorang gadis yang tinggi hati. Kehidupannya sebagai seorang putri
demang yang kaya di daerah yang kaya telah membuatnya terlampau manja. Meskipun
gadis itu bukan gadis yang hanya duduk menghias diri, bahkan gadis itu tidak
segan-segan pula melakukan pekerjaan-pekerjaan yang cukup berat di rumahnya,
tetapi semuanya itu didorong oleh kehendak untuk memimpin gadis-gadis dan
perempuan-perempuan di dalam kademangan itu. Ia ingin memberikan contoh yang
baik bagi mereka, apakah yang harus mereka lakukan. Namun setiap sentuhan
perasaan telah membuatnya merajuk dan murung.
“Hem,” Ki Tanu
Metir menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali ia harus menilai keseimbangan
sifat-sifat itu. Setiap kali ia harus melihat dan melengkapi pengamatannya atas
anak-anak muda itu. Lebih-lebih Agung Sedayu dan Swandaru. Keduanya adalah
murid-muridnya. Atas keduanya ia harus melihat dengan jelas. Sifat, watak,
kebiasaan dan kesenangan masing-masing.
“Sekian lama
aku berada di antara mereka,” berkata orang tua itu di dalam hatinya,
“tetapi aku
belum menemukan pribadi-pribadi mereka selengkapnya.”
Dalam pada
itu, sekali lagi mereka mendengar anak muda Jati Anom mempersilahkan.
“He, Agung
Sedayu, kenapa kau justru termenung. Marilah. Ajak tamu-tamumu masuk ke gandok
Wetan. Untara dan Wuranta berada di sana pula.”
Sekali lagi
Agung Sedayu berpaling memandangi wajah Sekar Mirah. Ia ragu-ragu untuk
mengucapkan kata-kata, karena Sekar Mirah masih juga bersikap acuh tak acuh. Ketika
Agung Sedayu memandangi wajah Swandaru, dilihatnya keragu-raguan memancar pula
pada sorot matanya. Tetapi anak yang gemuk itu tidak terlampau membingungkannya
seperti Sekar Mirah.
“Untara dan
Wuranta menunggumu,” berkata anak muda Jati Anom itu pula.
Nama Wuranta
telah menggetarkan dada Agung Sedayu. Tetapi ia lebih terpengaruh oleh keadaan
Sekar Mirah kini. Ki Tanu Metir melihat kegelisahan di dalam dada Agung Sedayu
kemudian mencoba untuk menolongnya. Katanya,
“Marilah
Ngger. Kita sudah dipersilahkan. Adalah lebih baik bagi kita untuk menerimanya.
Kita adalah tamu-tamu yang baik.”
“Anak muda itu
tidak mempersilahkan kita Kiai,” bisik Sekar Mirah, yang berdiri tepat di
samping Ki Tanu Metir.
“Kenapa?”
“Ia hanya
mengatakan bahwa Untara mencari adiknya. Itu saja. Adalah kebetulan sekali
kalau kita berdiri di sini bersama-sama dengan Kakang Agung Sedayu. Adalah
sekedar sopan-santun saja ia mempersilahkan kita pula.”
“Tidak, Ngger.
Tentu tidak. Angger Untara tahu pasti bahwa kita berada di antara mereka. Kita
bersama-sama dengan Angger Agung Sedayu. Mungkin anak muda itu belum mengenal
kita. Yang dikenalnya baru nama Agung Sedayu.”
Anak muda Jati
Anom itu berdiri saja dengan mulut ternganga. Ia sama sekali tidak mengerti apa
yang dipercakapkan oleh gadis dan orang tua tamu-tamu Agung Sedayu itu.
Satu-dua ia mendengar desis gadis itu, tetapi ia tidak jelas mendengar seluruh
kalimatnya.
Tanpa
prasangka apa pun anak muda itu bertanya,
“Bagaimana,
Kiai?”
“Oh,” Ki Tanu
Metir mengangkat wajahnya yang berkerut–merut,
“Tidak
apa-apa, Anakmas. Kita akan berterima kasih. Kita akan segera pergi ke gandok
Wetan.”
“Terima kasih.
Mereka akan bergembira melihat kalian.”
“Marilah,
marilah kita ke gandok Wetan,” berkata Ki Tanu Metir itu kemudian sambil
melangkahkan kakinya.
“Silahkan,
silahkan,” berkata anak muda Jati Anom itu. Tetapi agaknya ia akan pergi ke
arah yang lain. Cepat Ki Tanu Metir melangkah ke sampingnya sambil
menggandengnya. Katanya,
“Bukankah
Angger akan menunjukkan kepada kami, di manakah letak gandok Wetan itu.”
Anak muda Jati
Anom itu tidak dapat berbuat lain daripada mengayunkan kakinya ke gandok Wetan.
Sementara itu Agung Sedayu yang ragu-ragu, memandangi Sekar Mirah dan Swandaru
berganti-ganti. Perlahan-lahan ia berkata,
“Marilah Adi
Swandaru, marilah Mirah.”
Ternyata
Swandaru dapat merasakan kegelisahan dan kebingungan Agung Sedayu. Meskipun
sebersit perasaan sesal meloncat pula di dalam hatinya atas perlakuan terhadap
mereka, namun ia berkata pula kepada adiknya,
“Marilah
Mirah. Kita harus menjadi tamu yang baik di kademangan ini. Supaya hubungan
antara kademangan ini dan kademangan kita kelak akan bertambah baik.”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya. Dan Swandaru mendesaknya lagi,
“Penilaian
orang-orang Jati Anom atas kita adalah penilaian mereka terhadap Sangkal
Putung.”
“Karena itu
kita harus mempunyai harga diri.”
“Tetapi kita
harus mencerminkan keramahan kademangan kita.”
Sekar Mirah
tidak dapat menolak lagi. Dengan langkah yang berat ia berjalan di belakang
Agung Sedayu, bersama-sama dengan kakaknya. Beberapa langkah di hadapan mereka
adalah Ki Tanu Metir yang berjalan bersama anak muda Jati Anom yang
mempersilahkan mereka kemudian masuk ke gandok. Anak-anak muda, Untara dan
Wuranta yang berada di gandok itu, ternyata sedang menikmati makanan yang
dihidangkan kepada mereka. Sekali-sekali terdengar gelak tertawa mereka.
Agaknya mereka sedang benar-benar bergembira. Mereka berkelakar dan bertanya
tentang banyak masalah kepada Untara dan Wuranta. Dalam keadaan yang demikian,
Wuranta dapat sejenak melupakan perasaannya sendiri. Ia kini tengah berada di
antara kawan-kawannya bermain dan bekerja. Itulah sebabnya, maka ia dapat
berceritera dengan lancar. Bahkan kadang-kadang menggelikan, sehingga
kawan-kawannya menjadi tertawa tergelak-gelak. Tetapi suara tertawa itu
terputus ketika mereka mendengar langkah ke pintu. Sejenak kemudian mereka
melihat seorang anak muda masuk sambil mempersilahkan tamu-tamu mereka.
“Siapa?”
bertanya salah seorang yang sudah duduk di dalam.
“Agung
Sedayu,” jawab anak muda yang baru masuk itu.
“He,” yang
bertanya itu terkejut, “Agung Sedayu? Marilah. Marilah. Kita hampir lupa
kepadamu. Sedayu, di sini kami sedang mendengarkan cerita Wuranta tentang
padepokan Tambak Wedi.”
Agung Sedayu
yang kemudian menjulurkan kepalanya mengerutkan keningnya. Diedarkannya pandangan
matanya berkeliling, dilihatnya kawan-kawannya tengah berkumpul di gandok itu
bersama kakaknya dan Wuranta.
Namun,
tiba-tiba dadanya berdesir. Kini ia melihat Wuranta dengan sudut pandangan yang
berbeda. Persoalan antara mereka berdua telah menjauhkan mereka. Seolah-olah
masing-masing menjadi segan dan malas untuk saling bertemu. Meskipun ia telah
mendengar dari Kiai Gringsing, betapa Wuranta telah menyadari dirinya, tetapi
masih juga terasa sesuatu yang berdesir di dalam dadanya. Agung Sedayu itu terperanjat
ketika tiba-tiba seseorang menariknya masuk ke dalam sambil berkata,
“Ha, inilah
anak itu. Kau telah menggemparkan Jati Anom, Sedayu. Kita mengenal kau sejak
anak-anak. Tiba-tiba kita melihat kau kini menjadi seorang raksasa yang
perkasa. Bukankah begitu?”
“Ah.”
“Cerita
tentang kau telah tersebar. Aku tidak tahu, siapakah sumber cerita itu. Kau
kini benar-benar seorang laki-laki melampaui kami.”
Sebelum Agung
Sedayu menyahut, terdengar orang berkata,
“Ya, kami
telah mendengar tentang kau, Sedayu. Kalau begitu maka sambutan kali ini kami
tujukan kepadamu juga. Marilah, kenapa baru sekarang kau datang kemari?
Untunglah kami masih mempunyai ingkung ayam yang masih utuh. Marilah.”
Tetapi, Agung
Sedayu tidak sendiri. Ketika Untara melihatnya, maka dahinya pun berkerut. Baru
saat itu ia ingat kepada adiknya.
“Kemana selama
ini kau Sedayu?” bertanya Untara.
“Di halaman,
Kakang,” jawab Agung Sedayu seadanya.
Untara
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak memperhatikan jawaban itu lagi. Tak ada
tempat di dalam hatinya untuk mengerti bahwa seseorang sedang merajuk.
“Masuklah,”
katanya kemudian,
“di mana yang
lain?”
“Inilah,
Kakang.”
Untara
kemudian terpaksa berdiri dan melangkah ke pintu. Di luar pintu dilihatnya Ki
Tanu Metir, Swandaru, dan Sekar Mirah,
“Marilah,
Kiai,” katanya mempersilahkan,
“marilah, Adi
Swandaru dan Sekar Mirah.”
Ketiganya
menganggukkan kepala mereka.
“Aku takut
kehilangan kau, Ngger,” berkata Ki Tanu Metir sambil tersenyum.
Sekali lagi
Untara mengerutkan keningnya. Kini ia menjawab dengan jujur.
“Maaf. Aku
lupa kepada kalian. Begitu aku masuk ke halaman ini, maka aku telah diseret
oleh anak-anak muda ini ke gandok Wetan. Sekarang marilah. Kami masih
menyediakan makan untuk kalian.”
Mereka pun kemudian masuk ke gandok itu. Mereka ikut
duduk di antara anak-anak muda Jati Anom, Untara, dan Wuranta. Sejenak
kemudian, maka kembali anak-anak muda Jati Anom itu ribut dengan berbagai
pertanyaan. Kini pusat perhatian mereka adalah Agung Sedayu. Mereka telah
mendengar sedikit tentang anak muda yang mereka kenal sebagai penakut itu, kini
tiba-tiba telah menggenggam keberanian yang menakjubkan.
Namun terasa
bahwa suasana di gandok itu menjadi semakin kaku. Wuranta sudah tidak banyak
lagi berbicara, dan Agung Sedayu pun
hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu seperlunya. Sekali-sekali ia
tersenyum, namun kemudian ia pun terdiam
pula. Untunglah bahwa Ki Tanu Metir telah berhasil menengahi keadaan. Ia
mencoba untuk mengisi kekosongan itu dengan berbagai macam cerita, yang justru
lucu-lucu sehingga gelak tertawa mulai menggetarkan gandok itu pula. Namun
dalam suasana yang demikian itu, keringat dingin mengalir di punggung Wuranta.
Terasa ruangan itu terlampau menyiksanya. Wajah Sekar Mirah itu serasa sebagai
duri yang menusuk-nusuk hatinya. Sejenak dikenangnya masa-masa ia pertama
sekali bertemu dengan gadis itu. Gadis itu tersenyum kepadanya dan Alap-alap
Jalatunda, serta berkata-kata dengan ramahnya. Kemudian pada saat ia menerima
pesan Alap-alap Jalatunda untuk disampaikan kepada gadis itu, maka senyum gadis
itu seakan-akan telah meremas jantungnya. Hampir tidak masuk di akalnya, bahwa
pada saat itu Sekar Mirah berkata kepadanya tentang Alap-alap Jalatunda,
“Aku
menunggunya.”
“Ternyata
gadis itu pun mampu berpura-pura,”
desisnya di dalam hati.
“Agaknya ia
telah menyusun rencana sebaik-baiknya, menjebak Alap-alap Jalatunda untuk
melarikannya dari padepokan itu, dan menjerumuskannya ke dalam Kademangan
Sangkal Putung. Tetapi betapapun juga gadis itu telah membuat aku hampir
kehilangan akal dan keseimbangan.”
Tetapi
ternyata wajah itu kini sama sekali tidak membayangkan senyum. Bahkan wajah
Sekar Mirah tampak berkerut-merut. Agaknya ada sesuatu yang tidak menyenangkan
hatinya.
“Apakah ia
tidak senang melihat kehadiranku di sini,” pertanyaan itu sekilas menyambar
hati Wuranta. Tetapi ia tidak mendapat jawabnya.
Gandok itu
sejenak kemudian menjadi sunyi. Anak-anak muda Jati Anom, Untara, dan yang
lain-lain lagi sedang melanjutkan menyuapi mulut-mulut mereka. Sedang Agung
Sedayu, Swandaru, Sekar Mirah, dan Kiai Gringsing dipersilahkan pula oleh
mereka untuk makan. Namun dengan kehadiran beberapa orang tamu itu, mereka kini
tidak lagi makan sambil berkelakar. Hari itu terasa oleh Sekar Mirah menjadi
terlampau panjang. Ketika kemudian malam datang perlahan-lahan seolah-olah
turun dari ujung Gunung Merapi, maka Agung Sedayu mendapat ijin dari kakaknya
untuk membawa tamu-tamunya bermalam di rumahnya.
“Kita masih
menunggu sehari dan semalam besok,” gumam Sekar Mirah,
“aku tidak
sabar lagi. Hari-hari terakhir ini terasa sangat menyiksa. Aku ingin segera
pulang.”
“Beberapa hari
kita menunggu untuk malam besok, Ngger,” sahut Ki Tanu Metir,
“dan kini
tinggal sehari dan semalam. Kita sebaiknya menunggunya.”
Sekar Mirah
tidak menjawab. Tetapi tampaklah wajahnya menjadi semakin suram. Namun Ki Tanu
Metir pun dapat mengerti pula. Betapa
perasaan rindu mengamuk di dalam dada gadis itu kepada ibu dan ayahnya. Betapa
lambatnya, tetapi akhirnya malam itu terlampaui juga.
Malam yang
mendatang, Jati Anom disegarkan dengan berbagai macam kata-kata sanjungan
terhadap mereka yang dianggap telah berhasil menumpas lawan-lawan mereka yang
bersarang di Padepokan Tambak Wedi. Ternyata malam itu benar-benar telah
melepaskan segenap ketegangan bagi para prajurit Pajang. Mereka tertawa gembira
dalam kelakar mereka dengan kawan-kawan mereka. Mereka menjadi terpesona
melihat gerak tari anak-anak gadis Jati Anom meskipun tidak sebaik-baik
penari-penari Pajang. Mereka bersorak-sorak dan berteriak-teriak seperti
anak-anak kecil. Sejenak mereka melupakan keadaan diri mereka masing-masing. Tetapi,
malam yang riuh itu sama sekali tidak memikat hati Sekar Mirah. Namun,
ditahannya perasaannya itu di dalam hati. Kali ini ia duduk menonton tidak
bersama-sama kakaknya, Agung Sedayu, dan Ki Tanu Metir, tetapi ia duduk
bersama-sama dengan perempuan-perempuan kademangan. Isteri pemimpin-pemimpin
kademangan. Lebih menjemukan lagi bagi Sekar Mirah, bahwa setiap kali ia harus
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh perempuan-perempuan itu.
Beraneka macam. Dari yang paling mudah hingga yang paling sulit untuk dijawab. Ketika
pertunjukan itu hampir selesai di tengah malam, serta mereka telah
menyelesaikan pula acara makan bersama, maka malam yang menyenangkan itu
mendekati pada akhirnya.
Sementara itu,
para penjaga di gardu-gardu masih tetap pada tugas masing-masing meskipun
mereka mengumpat-umpat. Suara gamelan yang menggelitik telinga mereka, membuat
mereka ingin meloncat meninggalkan gardunya dan berlari ke kademangan. Tetapi
mereka diikat oleh kuwajiban.
Namun
kejengkelan mereka terhibur ketika beberapa orang gadis datang ke gardu-gardu
itu sambil membawa ancak berisi makanan. Dengan ramah gadis itu memberikan
ancak-ancak itu kepada para penjaga.
“He, Nduk,
apakah kalian pergi tanpa pengantar?”
“Apakah yang
kami takutkan?” jawab gadis-gadis itu.
“Bagaimana
kalau hantu-hantu lereng Merapi itu menyusup ke dalam kademangan ini dan
menyergap kalian di dalam gelap.”
“Kami akan
berteriak.”
“Kalau mulut
kalian disumbat?”
“Salah seorang
dari kami pasti sempat berteriak. Dengan demikian kalian akan berlari-lari
menolong kami.”
“Tidak mau,
aku dan kawan-kawanku tidak akan menolong kalian.”
“Kenapa?”
“Apa upahnya?”
bertanya seorang prajurit muda.
“Apa saja yang
kau ingini,” jawab gadis yang gemuk.
“Oh,” prajurit
muda itu menarik nafas dalam-dalam,
“aku tidak
ingin apa-apa, supaya aku tidak menjadi pingsan memikirkannya.”
Kawan-kawannya
tertawa. Meskipun ditahankannya, tetapi gadis-gadis itu tertawa pula.
Akhirnya malam
yang gembira itu berakhir pula. Namun malam itu sama sekali tidak berkesan
apa-apa bagi Sekar Mirah, sebab ia selalu dicengkam oleh kerinduannya kepada
ayah dan ibu di Sangkal Putung. Bahkan malam itu terasa jauh lebih panjang dari
malam-malam yang dirasanya sudah terlampau panjang. Ketika semuanya sudah
selesai, maka Sekar Mirah dengan tergesa-gesa kembali ke rumah Agung Sedayu
bersama dengan Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Agung Sedayu. Seolah-olah ia ingin
mempercepat agar malam ini pun lekas
berakhir. Besok jika fajar menyingsing, maka akan berangkat dari Kademangan
Jati Anom kembali pulang kepada ayah bunda di Sangkal Putung. Ketika fajar
telah mengembang, maka cepat-cepat Sekar Mirah pergi ke perigi. Tetapi Swandaru
berkata kepadanya,
“Mirah,
semalam suntuk kau tidak dapat memejamkan mata. Bahkan malam-malam sebelum ini
pun kau selalu kurang tidur. Karena itu kau jangan mandi.”
Sekar Mirah
mengangguk. Tetapi ia pergi juga ke perigi untuk mandi.
Sementara itu
Agung Sedayu telah pergi ke kademangan. Ia ingin menyampaikan kepada kakaknya,
bahwa nanti Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Sekar Mirah akan datang untuk minta
diri.
“Mereka akan
pergi ke Sangkal Putung hari ini,” berkata Agung Sedayu.
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba saja terasa sesuatu tergetar di
dadanya. Terasa bahwa pada saat-saat terakhir Ki Tanu Metir banyak tidak
menyetujui sikapnya tentang berbagai hal. Sebenarnya Untara sama sekali tidak
ingin untuk menyakiti hati orang tua itu, atau setidak-tidaknya membuatnya
kurang senang. Tetapi Untara pun tidak ingin melepaskan beberapa pendiriannya.
Bahkan masalah Agung Sedayu itu pun sebenarnya tidak diterimanya sepenuh hati.
“Baiklah,”
berkata Untara itu kemudian,
“aku akan
menerimanya. Aku akan menyiapkan pengawalan bagi Sekar Mirah.”
“Kami akan
mengantarkan Sekar Mirah bertiga, Kakang.”
“Aku tahu,”
sahut Untara,
“aku tahu
bahwa kau pun akan pergi juga ke Sangkal
Putung seperti katamu dan Ki Tanu Metir. Tetapi aku tidak mau menanggung akibat
yang pahit bagi kalian dan Sekar Mirah. Aku tidak yakin bahwa Ki Tambak Wedi
telah meninggalkan daerah ini, dan aku tidak yakin bahwa tidak ada satu dua
orang yang masih mengikutinya. Karena itu, maka aku akan menyediakan sejumlah
prajurit untuk mengikuti kalian sampai ke Sangkal Putung.”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Tetapi, sebelum ia menjawab kakaknya sudah berkata pula,
“Jangan
terlampau sombong. Aku tahu, bahwa prajurit-prajurit itu akan memperkecil arti
perjuanganmu membebaskan Sekar Mirah. Dengan demikian kau tidak datang
menyerahkan Sekar Mirah dengan tanganmu sediri, tetapi seolah-olah kau telah
mendapat bantuan dari prajurit-prajurit itu, sehingga bukan kau seorang sajalah
pahlawan yang mengagumkan di mata Ki Demang Sangkal Putung.”
Terasa dada
Agung Sedayu berdentangan. Ia menyadari bahwa kakaknya kini benar-benar tidak dapat
menerima hubungan yang terjadi antara dirinya dengan Sekar Mirah. Alasan-alasan
yang semula hanya sekedar dikemukakan untuk melerai keadaan yang kurang baik
antara dirinya dan Wuranta, ternyata kemudian telah diyakini kebenarannya oleh
kakaknya. Agaknya ia dapat menerima pendapat Ki Tanu Metir tidak sebulat
hatinya. Tetapi ia tidak dapat membantah.
Perlahan-lahan
ia menjawab,
“Baiklah,
Kakang. Akan aku minta pertimbangan Ki Tanu Metir.”
“Kau
beritahukan saja keputusan ini kepada Ki Tanu Metir.”
Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Baik,
Kakang.”
Agung Sedayu
pun kemudian kembali ke rumahnya untuk menjemput Swandaru, Sekar Mirah dan Ki
Tanu Metir. Ternyata gadis itu hampir-hampir tidak sabar menunggunya.
“Kenapa kita
masih harus singgah di kademangan?” bertanya Sekar Mirah.
“Kita minta
diri kepada Kakang Untara,” jawab Agung Sedayu.
Sekar Mirah
tidak menjawab. Tetapi alisnya menjadi berkerut. Hal itu bagi Sekar Mirah hanya
akan membuang waktu saja.
“Kakang Untara
akan menyediakan pengawalan,” berkata Agung Sedayu pula.
Ki Tanu Metir
berpaling kepadanya,
“Apakah
pengawalan itu perlu sekali?” desisnya.
“Menurut
Kakang Untara hal itu perlu dilakukan, karena Kakang Untara masih
mempertimbangkan kemungkinan, bahwa ada orang-orang Jipang dan Tambak Wedi yang
masih berkeliaran dan bergabung dengan Ki Tambak Wedi.
Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Baiklah, kita
akan berterima kasih.”
Mereka
berempat pun kemudian pergi ke
kademangan. Mereka menemui Untara, Ki Demang Jati Anom, dan para pemimpin
prajurit Pajang dan kademangan itu yang lain.
Ki Tanu Metir
pun kemudian minta diri kepada mereka, dan dengan berat orang-orang di
kademangan itu terpaksa melepasnya. Mereka menyadari bahwa orang tua yang
selalu tersenyum-senyum itu adalah satu-satunya orang di antara mereka yang
hanya seorang diri dapat mengimbangi Ki Tambak Wedi. Tetapi kesan kepergian
Swandaru, Sekar Mirah, dan Agung Sedayu hampir tidak menyentuh perasaan mereka.
Hal yang demikian adalah hal yang wajar dan tidak menumbuhkan banyak persoalan
di antara mereka. Namun ada di antara mereka, orang-orang yang berada di
kademangan itu merasa hatinya seolah-olah terpecah belah. Meskipun ia tidak
mengucapkan sepatah katapun, namun tampak pada bintik-bintik keringat di
keningnya, bahwa ia sedang menahan hati. Bahkan sebelum pertemuan itu selesai,
sebelum Ki Tanu Metir yang minta diri itu meninggalkan ruangan, maka anak muda
itu, Wuranta, telah berdiri dan melangkah ke luar lewat tangga samping. Melihat
kepergian Wuranta, Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu bergerak
di dalam dadanya. Debar jantungnya menjadi bertambah cepat. Tetapi ia tidak
berbuat sesuatu. Dicobanya untuk menenteramkan hatinya. Meskipun demikian
terasa keringatnya menjadi semakin deras membasahi bajunya. Ki Tanu Metir
ternyata tertarik juga melihat sikap Wuranta. Tetapi seperti Agung Sedayu,
ia pun sama sekali tidak bertanya
tentang anak muda itu.
Ketika Ki Tanu
Metir, Swandaru, dan Sekar Mirah sudah selesai dengan kata-katanya, minta diri
kepada setiap orang di ruangan itu, dan kemudian Agung Sedayu dengan kata-kata
yang lambat tertahan dan bernada datar, maka mereka pun meninggalkan ruangan itu, diantar oleh
Untara sampai ke halaman. Ternyata di halaman itu telah bersiap beberapa orang
prajurit untuk mengantar mereka yang akan kembali ke Sangkal Putung.
Sejenak
kemudian maka rombongan itu pun
berangkat dengan ucapan selamat jalan dari Untara dan para pemimpin yang lain.
Meskipun Sekar Mirah tidak biasa berkuda, namun kali ini ia memberanikan diri,
naik seekor kuda yang paling jinak. Di sampingnya kakaknya Swandaru menjaganya
agar ia tidak menjadi cemas apabila kudanya berjalan terlampau cepat.
“Dalam waktu
yang dekat, aku pun akan pergi ke
Sangkal Putung,” berkata Untara.
“Kami menunggu
kalian, Ngger,” sahut Ki Tanu Metir.
“Aku ingin
bertemu dengan Paman Widura. Tetapi sebelum itu, sampaikan salamku dalam
jabatanku kepada Paman Widura. Paman harus tetap berhati-hati menghadapi
keadaan yang tampaknya sudah menjadi bertambah baik. Dan sampaikan baktiku sebagai
kemanakannya kepada paman,” berkata Untara kepada Agung Sedayu.
“Baik,
Kakang,” jawab Agung Sedayu.
“Jaga dirimu
baik-baik,” berkata Untara,
“hari depanmu
masih sangat panjang. Kalau kau sia-siakan hari-harimu kini, maka kau pasti
akan menyesal di hari tuamu.”
“Baik,
Kakang,” sahut Agung Sedayu pula.
“Aku akan
selalu mengawasimu.”
Agung Sedayu
menganggukkan kepalanya.
Kepada Ki Tanu
Metir Untara kemudian berkata,
“Aku titipkan
adikku yang keras kepala itu, Kiai. Mudah-mudahan Kiai akan dapat berhasil,
membawanya ke jalan yang lurus menjelang hari depannya.”
“Mudah-mudahan,
Ngger. Aku akan berusaha sebaik-baiknya.”
Dan kepada
Swandaru Untara berkata,
“Sampaikan
salamku kepada Ki Demang Sangkal Putung. Pajang sangat berterima kasih
kepadanya. Sangkal Putung ternyata telah berjasa sekali bagi keutuhan wilayah
Pajang di daerah Selatan ini.”
“Ya, Kakang.
Akan aku sampaikan kepada ayah,” jawab Swandaru.
Ketika
pesan-pesan Untara sudah selesai, maka rombongan itu pun bergerak meninggalkan halaman Kademangan
Jati Anom.
Demikian
mereka keluar dari halaman kademangan itu, mereka merasakan betapa cerahnya
sinar matahari. Apalagi Sekar Mirah. Ia merasa bahwa ia benar-benar telah
terlepas dari suatu lingkungan yang mengerikan. Kini ia berada dalam perjalanan
kembali kepada ayah dan ibunya. Ketika iring-iringan itu hampir sampai ke mulut
lorong kademangan, maka tiba-tiba Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Di ujung
lorong itu dilihatnya Wuranta berdiri tegak seperti sebatang tonggak. Tanpa
disengaja Agung Sedayu berpaling memandangi Ki Tanu Metir yang justru dalam
saat yang bersamaan, Ki Tanu Metir pun sedang berpaling kepadanya. Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Sorot matanya seolah-olah minta pertimbangan kepada
gurunya, apa yang harus dilakukannya. Tetapi ia tidak menangkap kesan apa pun
pada wajah orang tua. Ketika iring-iringan itu sampai beberapa langkah di
hadapan Wuranta, maka Ki Tanu Metir yang berkuda di paling depan, memperlambat
langkah kudanya. Dengan sebuah senyum ia menganggukkan kepalanya,
“Kau di sini
Angger Wuranta?” bertanya orang tua itu.
“Ya, Kiai,”
sahut Wuranta dengan nada yang dalam,
“aku ingin
bertemu dengan Adi Agung Sedayu.”
Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya. Ketika ia memandangi wajah Agung Sedayu, anak muda itu
sedang memandangnya pula. Agung Sedayu melihat gurunya itu mengangguk kecil.
Karena itu maka didorongnya kudanya beberapa langkah maju mendekati Wuranta.
“Maaf, Kiai,”
berkata Wuranta,
“aku hanya
ingin bertemu dengan Agung Sedayu.”
Sekali lagi Ki
Tanu Metir mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi ia mengangguk kecil.
Tetapi tampak jelas di wajahnya pertanyaan yang membersit dari dadanya. Agung
Sedayu menangkap percikan isyarat, supaya ia berhati-hati.
“Baiklah,” berkata
orang tua itu kemudian,
“kami akan
berjalan mendahului.”
Swandaru
menjadi agak ragu-ragu karenanya. Maka katanya,
“Apakah aku
akan menemani Kakang Agung Sedayu di sini, Kiai.”
Kiai Gringsing
menggeleng, “Tinggalkan ia sendiri.”
Dengan bimbang
akhirnya Swandaru pun berlalu. Namun ia masih sempat mengucapkan selamat
tinggal kepada Wuranta dan pernyataan terima kasih. Hampir-hampir Wuranta tidak
dapat menjawab ketika Sekar Mirah pun kemudian mengucapkan pernyataan terima
kasihnya pula kepadanya.
“Aku mengharap
suatu ketika kau akan dapat berkunjung ke Sangkal Putung, Kakang Wuranta,”
berkata Sekar Mirah yang sudah menemukan kegembiraannya kembali setelah ia
mulai dengan perjalanan pulang itu.
“Ya, ya,”
Wuranta menjadi tergagap, “aku akan datang.”
“Tetapi tidak
dengan Alap-alap Jalatunda,” sambung Sekar Mirah tanpa prasangka apa pun.
Wajah Wuranta
tiba-tiba menjadi merah. Tetapi hanya sejenak. Dengan sekuat tenaganya ia
mencoba menguasai perasaannya yang mudah sekali tersentuh. Dipaksakannya bibirnya
bergerak dan menjawab,
“Mudah-mudahan
aku tidak akan bertemu lagi dengan anak itu.”
“Bagaimana
kalau hantu jadi-jadiannya mendatangimu?” Sekar Mirah mencoba bergurau.
Namun Wuranta
tidak segera dapat menanggapinya. Bahkan terasa dadanya menjadi semakin pedih.
Betapa sulitnya, ia menjawab, “Mudah-mudahan tidak.”
“Nah,” berkata
Sekar Marah kemudian,
“aku minta
diri. Aku berterima kasih sekali kepadamu, Kakang Wuranta. Maaf, bahwa aku
pernah menyangka kau benar-benar seorang sahabat yang baik dari Alap-alap
Jalatunda. Datanglah ke Kademangan Sangkal Putung. Aku akan memperkenalkan kau
kepada ayah.”
Wuranta
mengangguk kaku. Tetapi kening Agung Sedayu menjadi berkerut.
“Terima kasih.
Mudah-mudahan aku dapat memenuhinya,” sahut Wuranta sendat.
Dalam pada
itu, Kiai Gringsing seorang yang telah berusia cukup untuk melihat gelagat wajah
seseorang, segera berkata,
“Marilah.
Mumpung masih pagi.”
Iring-iringan
itu kemudian bergerak pula, hanya Agung Sedayu sajalah yang kemudian tinggal
bersama Wuranta.
Ketika
iring-iringan itu menjadi semakin jauh, maka Agung Sedayu pun segera meloncat turun. Meskipun ia
tampaknya bersikap wajar, namun ia berada dalam kesiagaan penuh. Ia tidak akan
dapat ditipu dengan gerak jasmaniah seandainya Wuranta ingin berbuat sesuatu
karena jarak ilmu mereka terlampau jauh. Tetapi Agung Sedayu harus tetap berwaspada
seandainya Wuranta mempunyai cara-cara yang lain. Sejenak mereka saling berdiam
diri. Namun tampak betapa wajah-wajah mereka menjadi tegang.
Baru sesaat
kemudian, setelah menelan ludahnya beberapa kali Wuranta baru berhasil berkata,
“Agung Sedayu.
Aku menemuimu hanya untuk minta maaf. Mudah-mudahan kau melupakannya.”
Masih banyak
sekali kata-kata yang tersimpan di dalam hatinya. Masih bertumpuk-tumpuk
kalimat-kalimat yang ingin diucapkannya. Tetapi tiba-tiba mulut Wuranta
seolah-olah tersumbat terlampau rapat. Meskipun bibirnya bergerak-gerak namun
tidak sepatah kata pun yang dapat
dilontarkannya. Dada Agung Sedayu berdesir. Kalimat itu terlampau pendek.
Tetapi langsung menyentuh perasaan anak muda itu. Meskipun ia tidak mendengar
kata-kata lebih banyak lagi yang diucapkan oleh Wuranta, namun dari sorot
matanya ia dapat membaca apa saja yang tersirat di dalam hatinya. Sejenak Agung
Sedayu pun menjadi terdiam. Ia tidak segera menemukan kata-kata untuk
menjawabnya. Sehingga seperti juga Wuranta, maka Agung Sedayu pun sulit untuk mengucapkan kalimat-kalimat
yang seakan-akan berdesakan di dalam dadanya.
Akhirnya,
terpatah-patah ia menjawab,
“Marilah kita
lupakan, Kakang.”
Hanya itulah
yang dapat diucapkan oleh Agung Sedayu. Namun meskipun demikian, meskipun tidak
banyak kalimat-kalimat yang mereka ucapkan, tetapi di dalam tekanan kata-kata
mereka seakan-akan telah tercurah seluruh perasaan mereka.
Kini sekali
lagi mereka berdiri berhadapan sambil berdiam diri. Terasa dada mereka menjadi
tegang dan bahkan serasa penuh dengan desakan-desakan yang ingin meloncat ke
luar. Tetapi tidak sepatah kata pun yang
mereka ucapkan. Hanya lewat sorot mata mereka sajalah mereka dapat merasakan
perasaan masing-masing. Baru sejenak kemudian terloncat kata-kata dari mulut
Wuranta untuk melepaskan ketegangan di dadanya,
“Selamat
jalan, Agung Sedayu. Mudah-mudahan kita masing-masing mendapat perlindungan
dari Tuhan.”
“Terima kasih,
Kakang,” suara Agung Sedayu terlampau dalam.
Perlahan-lahan
Agung Sedayu melangkah ke kudanya. Perlahan-lahan pula ia meloncat ke
punggungnya. Sekali lagi ia berkata,
“Terima kasih,
Kakang. Aku akan meneruskan perjalanan.”
Wuranta tidak
menjawab, tetapi kepalanya terangguk perlahan-lahan.
Sejenak
kemudian kuda Agung Sedayu itu pun
bergerak perlahan-lahan. Tetapi semakin lama semakin cepat. Kemudian dengan
sebuah sentuhan pada perut kuda itu, maka kuda itu pun meloncat dengan cepatnya menyusul
iring-iringan yang sudah agak jauh di hadapan mereka. Tetapi bagi Agung Sedayu,
bukan iring-iringan itulah yang telah memaksanya untuk berpacu. Ia ingin
secepatnya menjauhi Jati Anom. Tempat ia dilahirkan, tetapi yang memberinya
persoalan yang cukup berat dalam usianya yang masih terlampau muda. Wuranta
memandangi kuda itu berlari semakin kencang. Matanya hampir tidak berkedip
meskipun terasa pedih karena debu yang putih yang dilemparkan dari kaki-kaki
kuda Agung Sedayu. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia
bergumam lirih,
“Anak itu luar
biasa. Meskipun ia seorang penakut di masa kanak-anak, tetapi ia kini menjadi
seorang laki-laki yang perkasa. Hampir aku merusak harapan bagi masa depannya
karena kebodohanku.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi terasa dadanya berdesir. Ia belum dapat
melupakan wajah Sekar Mirah yang segar. Apalagi senyumnya yang seolah-olah
langsung menyentuh hati. Tetapi kini ia sudah dapat mengimbangi perasaannya itu
dengan nalarnya.
Sementara itu
iring-iringan itu berjalan dengan kecepatan sedang meluncur mendekati Sangka
Putung. Sekali-sekali Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Sekar Mirah berpaling, untuk
melihat apakah Agung Sedayu sudah menyusul mereka. Ternyata ada kekhawatiran
juga di hati mereka tentang Agung Sedayu. Terutama Ki Tanu Metir. Orang tua itu
tidak mencemaskan nasib Agung Sedayu sendiri, tetapi justru apabila Agung
Sedayu terdorong oleh perasaannya, berbuat hal-hal yang tidak menguntungkannya.
Tetapi sejenak kemudian mereka melihat debu yang putih mengepul ke atas di
belakang mereka. Seekor kuda berlari kencang menyusul iring-iringan itu. Di
atas punggung kuda itu adalah Agung Sedayu. Ketika Agung Sedayu menjadi semakin
dekat, dan kemudian telah berada di antara mereka, maka dengan serta-merta
Swandaru bertanya,
“Apakah yang
dikatakannya, Kakang?”
Agung Sedayu
menjadi bingung. Sesaat ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Bahkan seperti
seorang anak-anak yang ingin mendapat pertolongan dipandanginya gurunya.
“Apakah Angger
Wuranta mengucapkan selamat jalan kepada Anakmas?” bertanya Ki Tanu Metir itu
kemudian.
“Ya, Kiai,”
sahut Agung Sedayu asal saja menjawab.
“Ya, aku sudah
menyangka,” berkata Ki Tanu Metir,
“ia pasti
merasa kehilangan seorang kawan yang dapat mengerti tentang dirinya. Kita
dianggapnya sebagai kawan-kawan yang berbuat sejak permulaan bersamanya.”
“Tetapi
sikapnya mengherankan. Aku melihat sesuatu yang tidak wajar padanya,” berkata
Sekar Mirah.
“Anak itu
seorang pemalu,” jawab Ki Tanu Metir.
“Tidak. Ia
bukan seorang pemalu,” jawab Sekar Mirah.
Mendengar
jawaban itu Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
“Darimana kau
tahu Mirah?” Agung Sedayu bertanya.
Dan Sekar
Mirah menjawab,
“Di Padepokan
Tambak Wedi ia bersikap bukan sebagai seorang pemalu. Wuranta lah yang
pertama-tama menegurku sebelum Alap-alap Jalatunda, meskipun ia orang baru di
padepokan itu. Ia menjadi penghubung yang baik antara aku dan Alap-alap
Jalatunda yang hampir saja menerkam aku apabila Sidanti tidak segera datang.”
Mereka yang
mendengar kata-kata Sekar Mirah itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka
telah mendengar pula dari Wuranta. Dan soal itu pulalah yang telah membakar
padepokan Tambak Wedi menjadi karang abang. Bentrokan antara orang-orang Jipang
dan Tambak Wedi yang tidak dapat dihindarkan lagi.
Sejenak
kemudian mereka menjadi saling berdiam diri. Mereka terbenam di dalam
angan-angan masing-masing. Sekali-sekali Sekar Mirah mengerutkan lehernya
apabila diingatnya apa yang telah terjadi di padepokan Tambak Wedi. Seandainya,
ya seandainya Alap-alap Jalatunda tidak dapat dicegah lagi, maka ia kini tidak lagi
dapat berkuda bersama-sama dengan Swandaru dan Agung Sedayu. Mungkin ia telah
membunuh dirinya dan tubuhnya telah hancur menjadi debu. Tiba-tiba Sekar Mirah
itu menundukkan kepalanya. Kebesaran Yang Maha Kasih telah menyelamatkannya
dengan cara yang hampir tidak dapat dimengertinya.
Tetapi dalam
pada itu terbersit pula pikiran di kepalanya,
“Seandainya
aku tidak selemah ini.”
Sekar Mirah
menarik nafas dalam-dalam. Ia bertanya pula di dalam hatinya,
“Apakah aku
hanya dapat menjadi tanggungan orang lain sepanjang hidupku?”
Gadis itu
kemudian membayangkan tentang dirinya sendiri. Seandainya ia mampu berbuat
sesuatu. Seandainya ia tidak hanya seorang gadis yang lemah dan tidak dapat
berbuat apa pun.
Terbayanglah
di dalam ingatannya cerita-cerita tentang masa-masa lampau. Dongeng-dongeng
yang pernah didengarnya tentang beberapa orang puteri. Di dalam ceritera wayang
yang terkenal, pernah juga didengarnya tentang seorang Srikandi dan Larasati.
Keduanya adalah puteri-puteri prajurit yang pilih tanding. Bahkan di dalam
perang besar Baratayuda, Srikandi pernah menjadi senapati perang dan dalam masa
jabatannya itulah Senapati Besar Astina yang dikagumi terbunuh. Bisma. Meskipun
kematiannya itu ditangisi oleh kedua pihak yang berperang. Kurawa dan Pendawa.
“Apakah pada
jaman ini tidak mungkin seorang wanita memegang busur dan anak panah seperti
Srikandi?” pertanyaan itu menggetarkan hatinya.
“Tentu
mungkin,” pertanyaan itu dijawabnya sendiri,
“dan aku akan
berusaha untuk dapat menjadi seorang wanita yang demikian. Aku harus dapat
menjaga diriku sendiri. Kalau suatu ketika Sidanti kembali ke Sangkal Putung,
aku tidak akan menjadi barang rebutan antara Sidanti dan orang-orang Sangkal
Putung, Kakang Swandaru dan mungkin Kakang Agung Sedayu.”
Sekar Mirah
itu menengadahkan kepalanya, seolah-olah ia sudah mendapat keputusan untuk
memulai dengan langkahnya. Menjadi seorang gadis yang mampu menjaga diri
sendiri.
“Tetapi kepada
siapa aku harus berguru supaya aku mendapat tuntunan olah kanuragan?”
pertanyaan itu mengusik hatinya.
Tanpa
disengaja ia memandangi Ki Tanu Metir yang berkuda beberapa langkah di mukanya.
Dipandanginya punggung orang tua itu yang berselimutkan kain gringsing. Kain
ciri yang selalu dipakainya meskipun sudah mulai tampak keputih-putihan. Tiba-tiba
Sekar Mirah menggelengkan kepalanya.
“Orang tua itu
sedang sibuk dengan Kakang Swandaru dan Kakang Agung Sedayu. Aku tidak yakin
kalau ia mau menerimaku pula di dalam lingkungannya. Aku sama sekali belum
mengenal ilmu apa pun dalam olah kanuragan. Aku harus mulai dari permulaan.
Lalu ditambahkannya keterangan di dalam hatinya itu ‘tetapi seandainya ayah dan
ibu mengijinkannya’.”
Dan dicobanya
untuk meyakinkan Dirinya,
“Ayah dan ibu
pasti tidak akan berkeberatan. Setiap saat aku terancam bahaya, karena aku kira
Sidanti tidak akan berhenti sekian. Mungkin ia akan kembali di saat-saat orang
Sangkal Putung sudah hampir melupakannya. Seandainya aku tidak mampu menjaga
diriku, maka akan terulanglah peristiwa itu. Dan Sidanti tentu tidak akan
sesabar beberapa saat yang lampau.”
Sementara itu
matahari di langit merayap semakin lama semakin tinggi. Sinarnya yang cerah
telah mulai menggatalkan kulit. Angin yang berhembus dari Selatan menghalau
debu-debu yang dihamburkan oleh kaki-kaki kuda yang berjalan dalam
iring-iringan itu. Beberapa prajurit yang ikut serta di dalamnya hampir tidak
mengucapkan kata-kata sama sekali. Satu dua di antara mereka bercakap-cakap,
tetapi kemudian terdiam. Memang tidak banyak yang mereka perbincangkan.
Ketika mereka
melampaui sebuah tikungan yang tajam di antara gerumbul-gerumbul yang liar terdengar
Agung Sedayu berdesis,
“Bukankah
menerobos jalan kecil ini kita akan sampai ke Dukuh Pakuwon Kiai?”
Ki Tanu Metir
tersenyum. Dipandanginya jalan simpang yang sempit itu. Katanya,
“Sebenarnya
aku telah merindukan rumahku yang hampir roboh itu. Tetapi aku agaknya masih
belum sempat. Lain kali, aku akan menengok, apakah pohon kates yang aku tanam
sudah mulai berbuah.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kenangannya mulai menjelajahi kembali masa-masa
yang pernah dilampauinya. Ia hampir pingsan ketakutan ketika ia bertemu dengan
Alap-alap Jalatunda di daerah ini. Apalagi ketika kemudian kakaknya menyuruhnya
berangkat sendiri ke Sangkal Putung untuk menemui pamannya. Seandainya kakaknya
tidak mengancam untuk membunuhnya, maka ia
pun pasti tidak akan berani berangkat. Agung Sedayu itu tersadar ketika
ia mendengar Ki Tanu Metir bertanya,
“Kita akan
menempuh jalan yang mana, Ngger? Apakah kita akan lewat Kali Asat dan melalui
tikungan Randu Alas? Barangkali Angger masih ingin bertemu dengan sahabat
Angger di sana, Gendruwo bermata Satu?”
“Ah,” Agung
Sedayu berdesah.
Swandaru yang
tidak tahu maksud Kiai Gringsing tiba-tiba menyahut,
“Terlampau
jauh, Kiai. Kita tidak akan melalui Kali Asat.”
Perjalanan
itu pun semakin lama menjadi semakin
dekat dengan Sangkal Putung. Jarak, antara kedua kademangan itu memang tidak
terlampau jauh. Tetapi kekalutan yang timbul di daerah itu, orang-orang Jipang
yang berkeliaran, apalagi kemudian setelah Tohpati mengambil tempat di
hutan-hutan yang tidak terlampau lebat di sebelah Barat Sangkal Putung, maka
kedua kademangan itu seakan-akan telah dipisahkan oleh lautan. Perjalanan dari
kademangan yang satu ke kademangan yang lain terasa terlampau menakutkan. Padukuhan-padukuhan
kecil yang berada di antara kedua kademangan itu pun menjadi semakin kecil. Bahkan penduduknya
kadang-kadang merasa tidak mendapat perlindungan sama sekali, sehingga pada
saat-saat itu mereka tidak akan dapat menolak apabila orang-orang Jipang,
seperti Alap-alap Jalatunda, Pande Besi Sendang Gabus yang terbunuh oleh
Untara, Plasa Ireng yang kemudian dibunuh oleh Sidanti, dan Sanakeling yang
sudah terbunuh pula beserta anak buah mereka, datang untuk mengambil persediaan
makanan mereka yang memang sudah terlampau tipis. Orang-orang Jipang itu
mengambil apa saja yang dapat mereka ambil, sebelum mereka berhasil merebut
pusat lumbung makanan dan kekayaan di daerah Selatan, Sangkal Putung. Tetapi,
dalam keadaan kini maka jarak antara kedua kademangan itu terasa terlampau
dekat. Belum lagi matahari melampaui puncak langit, maka mereka sudah menjadi
semakin dekat dengan Sangkal Putung. Sekar Mirah hampir-hampir tidak sabar lagi
menunggu jarak yang sudah kian pendek itu. Seandainya ia mampu ia pasti akan
meloncat langsung ke halaman rumahnya berlari mendapatkan ayahnya dan memeluk
ibunya. Tetapi ia masih harus tetap berada di punggung kudanya.
Beberapa saat
kemudian mereka telah masuk ke daerah Kademangan Sangkal Putung. Mereka telah
berada di tengah-tengah bulak persawahan. Bulak yang beberapa saat yang lampau
jarang-jarang sekali disentuh tangan karena keadaan, tetapi kini sawah-sawah
itu telah mulai tampak dibasahi oleh air. Sebentar lagi sawah-sawah itu pasti
akan menjadi hijau kembali, apabila orang-orang Sangkal Putung telah yakin,
bahwa tidak akan ada gangguan lagi yang bakal datang ke kademangan mereka.
Agaknya beberapa orang telah mulai memperbaiki parit-parit dan mengalirkan air
ke sawah-sawah yang selama ini tidak sempat ditanaminya.
Semakin dekat
dengan induk kademangan, maka sawah-sawah telah menjadi hijau. Sawah-sawah itu
masih tetap selalu digarap meskipun dalam keadaan yang kalut, karena
sawah-sawah itu terletak tidak terlampau jauh dari induk kademangan.
Melihat induk
kademangan yang terbentang di hadapannya, dada Sekar Mirah menjadi
berdebar-debar. Beberapa lama ia tidak melihat wajah kampung halamannya, terasa
seakan-akan sudah bertahun-tahun. Apalagi apabila diingatnya, bahwa hampir saja
ia terjerumus ke dalam jurang yang terlampau dalam. Dan ia yakin bahwa ia pasti
tidak akan bangkit kembali.
Kademangan
Sangkal Putung yang terbentang itu, seolah-olah seperti seorang raksasa yang
baru berbaring diam. Warnanya yang hijau segar langsung terasa menyentuh hati.
Ketika Sekar
Mirah melihat ujung daun nyiur yang bergerak-gerak disentuh angin, seolah-o1ah
melambai menyambut kedatangannya, terasa kerongkongannya menjadi pepat. Ada
sesuatu ingin meledak di dadanya. Mata gadis itu pun kemudian menjadi pedih.
Bukan oleh debu yang menyentuhnya, tetapi kenangan yang ngeri dan harapan bagi
masa mendatang, bercampur baur di dalam hatinya
Ki Tanu Metir
yang berkuda di depan bersama Agung Sedayu pun merasakan, seolah-olah
kademangan itu benar-benar telah siap menyambut kedatangan mereka. Tetapi dahi
orang tua itu pun kemudian berkerut
ketika dilihatnya debu mengepul di kejauhan. Ternyata tidak hanya Ki Tanu Metir
sajalah yang tertarik melihat debu yang keputih-putihan itu. Agung Sedayu,
Swandaru, dan prajurit pun
memperhatikannya dengan penuh perhatian.
“Orang-orang
berkuda, Kiai,” desis Agung Sedayu. Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya,
“Aku kira
mereka adalah para peronda dari Sangkal Putung.”
“Tetapi
agaknya tidak hanya dua tiga orang. Mereka kira-kira terdiri dari lima enam
orang, Kiai?”
Ki Tanu Metir
tidak segera menjawab. Beberapa saat kemudian orang-orang berkuda itu menjadi
semakin jelas. Ketika mereka muncul dari balik tanaman yang rimbun, tampaklah
bahwa mereka berjumlah lima orang.
“Mereka memang
peronda dari Sangkal Putung,” berkata Ki Tanu Metir kemudian.
“Mungkin,”
sahut Agung Sedayu. Tetapi matanya hampir tidak berkedip melekat pada
bintik-bintik yang berpacu menyongsong mereka.
Sejenak
kemudian mereka melihat kelima orang itu berhenti sejenak. Kemudian tiga di
antara mereka meneruskan perjalanan ke arah Ki Tanu Metir dan iring-iringanya.
“Kenapa
sebagian dari mereka berhenti Kiai?” bertanya Agung Sedayu.
“Suatu sikap
hati-hati. Ketiga orang itu harus melihat siapa yang datang. Kalau yang datang
ini berbahaya bagi mereka, maka kedua orang yang berhenti itu sempat memberikan
laporan atau tanda-tanda sandi kepada induk pasukannya, sementara yang lain
sedang menghadapi bahaya itu”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia bertanya,
“Apakah mereka
mencurigai kita? Maksudku, mereka mencurigai iring-iringan yang belum mereka
ketahui ini?”
“Mungkin.”
“Kalau
demikian maka ada sesuatu yang penting terjadi di sini,” berkata Agung Sedayu.
“Sangkal
Putung belum mendengar secara pasti bahwa Tambak Wedi sudah jatuh.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi karena Jati Anom dan Sangkal Putung
sebenarnya tidak terlampau jauh, maka adalah suatu kemungkinan bahwa Widura
telah mendengar berita tentang Tambak Wedi.
“Apakah Kakang
Untara tidak segera mengirimkan utusan ke Sangkal Putung untuk memberitahukan
keadaan Tambak Wedi?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku kira
belum. Kita adalah utusan-utusan itu. Dan kitalah yang akan memberitahukan
kepada pamanmu Widura, bahwa Tambak Wedi telah jatuh. Seandainya Angger Untara
mengirimkan utusan, maka Angger Untara pasti tidak yakin bahwa utusannya akan
segera sampai. Apabila mereka bertemu dengan Ki Tambak Wedi, maka utusan itu
pasti akan menjadi korban. Mungkin Angger Untara mempunyai perhitungan lain
pula, supaya Sangkal Putung tetap berada dalam kewaspadaan dan tidak menjadi
lengah. Sebab masih banyak sekali kemungkinan yang dapat terjadi. Mungkin masih
ada satu dua orang Sanakeling yang terlepas dari kehancuran justru karena
mereka berkeliaran di daerah ini pada saat Tambak Wedi jatuh. Atau mungkin
hal-hal lain menurut pertimbangan Angger Untara.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia memandang lurus-lurus ke depan kepada
tiga orang prajurit yang sudah menjadi semakin dekat.
Demikian para
prajurit itu mengenali Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah,
serta prajurit-prajurit Pajang yang mengantarkan mereka, maka terdengar salah
seorang dari mereka berteriak gembira,
“He, kaukah
itu, Kiai?”
“Ya, inilah
aku,” sahut Ki Tanu Metir.
“Dengan Adi
Sekar Mirah?”
“Ya,” jawab Ki
Tanu Metir pula.
“Syukurlah.
Ibunya selalu menangis.”
Mendengar
kata-kata prajurit itu, Sekar Mirah yang berkuda di samping kakaknya tiba-tiba
memotong,
“Apakah ibuku
selalu menangis saja?”
Prajurit itu
menjadi ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya,
“Ya, tetapi
setiap orang di Sangkal Putung yakin, bahwa kau akan dapat dibebaskan.”
Sekar Mirah
menarik nafas dalam-dalam. Ia semakin ingin cepat-cepat sampai. Tetapi ia tidak
cukup pandai untuk berpacu. Karena itu maka ia menjadi gelisah. Serasa ingin ia
meloncati jarak yang sudah menjadi semakin pendek. Yang bertanya kemudian
adalah Ki Tanu Metir,
“Kalian
agaknya terlampau hati-hati menghadapi keadaan. Kalian tinggalkan kedua kawan
kalian. Bukankah dengan demikian kalian memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan
yang berbahaya.”
Salah seorang
dari ketiga prajurit itu mengangguk,
“Ya. Kami
memang sedang gelisah.”
“Kenapa?”
Prajurit itu
tidak segera menjawab. Mereka bertiga menganggukkan kepala mereka kepada
prajurit-prajurit Pajang yang datang dari Jati Anom.
Perwira yang
memimpin rombongan kecil itu pun maju
mendekati prajurit Sangkal Putung itu sambil bertanya,
“Apakah yang
telah menggelisahkan kalian di Sangkal Putung?”
Prajurit-prajurit
itu menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian berkata,
“Marilah. Kami
antar kalian untuk menemui Ki Widura.”
“Kami akan menemuinya,”
sahut perwira itu,
“tetapi apa
yang menggelisahkan itu?”
Prajurit itu
berpaling kepada kawan-kawannya. Tetapi kawan-kawannya tidak dapat memberikan
kesan apa pun kepadanya.
“Berkatalah,”
perintah perwira itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar