Jilid 027 Halaman 3


Ki Tanu Metir yang tua mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali-sekali tangannya meraba-raba keningnya yang basah. Dan sejenak kemudian, orang tua itu berkata perlahan, “Kau memang berjiwa besar, Ngger.”
“Ah,” Wuranta berdesah. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.
“Hatimu yang telah terbuka itu pasti akan banyak sekali menolong kegelapan hati kita masing-masing,” berkata orang tua itu pula.
Tetapi Untara kemudian berkata,
“Apakah aku akan membiarkan persoalan ini berlarut-larut?”

Ki Tanu Metir berpaling memandangi wajah Untara dengan kening yang berkerut, sedang Wuranta pun mengangkat kepalanya pula dan berkata,
“Persoalan ini telah selesai Untara. Aku lelah mengakui segala kesalahan yang telah aku lakukan. Aku tidak akan mengganggu gugat lagi, apa pun yang akan kau lakukan atas Agung Sedayu. Tetapi janganlah Agung Sedayu kau korbankan hanya karena ketamakanku. Kalau terpaksa harus memutuskan hubungan, maka akulah yang sudah sewajarnya menarik diri, sebab aku belum pernah merasakan getaran apa pun yang menghubungkan hati kami. Hatikulah yang terlampau lemah. Mudah-mudahan, aku belum terlambat untuk mengakui kesalahanku ini.”
Sikap Wuranta itu sama sekali tidak diduga-duga sebelumnya oleh Untara dan Ki Tanu Metir. Karena itu, maka tanggapan mereka atas sikap Wuranta itu  pun terasa aneh. Namun terbersit di hati mereka kebesaran jiwa anak muda Jati Anom itu, meskipun terlampau dicengkam oleh gelora perasaannya. Ki Tanu Metir yang tua itu sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya. Di samping perasaan ibanya terhadap Wuranta, orang tua itu menjadi agak lapang pula dadanya. Dengan demikian ia mengharap, bahwa persoalan muridnya dengan demikian akan segera selesai. Untara tidak akan lagi diganggu oleh kemungkinan yang mencemaskannya. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat meretakkan hubungan antara anak-anak muda Jati Anom sendiri.
Untara yang dapat merasakan, betapa pahitnya perasaan Wuranta sejenak menjadi terdiam. Ia melihat betapa sakitnya hati Wuranta, tetapi ia merasakan juga, bahwa sikap Wuranta itu dilambari dengan keikhlasan yang dalam. Wuranta benar-benar telah menyatakan isi hatinya, bukan sekedar untuk memulas diri, basa-basi, atau semacam pameran keluhuran budi. Tetapi Wuranta benar-benar ikhlas menelan kepahitan yang dihadapinya. Setelah nalarnya mampu bekerja dengan bening, maka anak muda itu melihat betapa ia telah dikuasai oleh ketamakan dan kesombongan tiada taranya. Baru berapa hari ia mengenal Sekar Mirah. Ia tidak tahu perasaan apakah yang tersimpan di dalam dada gadis itu terhadap dirinya, maka ia telah merasa berhak untuk beriri-hati terhadap Agung Sedayu yang telah berkenalan jauh lebih lama dengan gadis Sangkal Putung itu, bahkan di antara keduanya telah terjalin hubungan yang betapapun lembutnya.
Namun meskipun demikian, Untara, Senapati Perang dari prajurit Wira Tamtama itu, tiba-tiba merasa terikat oleh keputusannya sendiri. Tiba-tiba ia merasa bahwa pendiriannya itu adalah pendirian yang sebaik-baiknya bagi adiknya.
Karena itu, maka tiba-tiba Untara itu  pun berkata,
“Aku dapat mengerti Wuranta. Aku berterima kasih kepadamu. Kau telah membantu kami untuk menentukan sikap kami terhadap Agung Sedayu.” Untara itu berhenti sejenak. Namun Ki Tanu Metir terkejut ketika Untara itu meneruskan,
“Tetapi aku merasa, bahwa keputusanku adalah jalan yang sebaik-baiknya bagi Agung Sedayu. Bukan saja karena aku ingin melerai pertentangan yang ada di antara kalian, kau dan Agung Sedayu. Meskipun tidak tampak di dalam sikap dan tindak-tanduk, tetapi hanya tersimpan di dalam hati. Namun aku memang menganggap, bahwa sebaiknya Agung Sedayu menghindari rintangan-rintangan yang akan dipasangnya sendiri sepanjang perjalanan hidupnya.”

Ketika Untara berhenti berbicara, terdengar Ki Tanu Metir berdesah. Orang tua itu bergeser setapak maju sambil mengernyitkan alisnya.
“Hem,” orang tua itu menarik nafasnya dalam-dalam sehingga dadanya terangkat.
Untara melihat sikap Ki Tanu Metir dengan dada yang berdebar. Tetapi ia masih saja ingin meyakinkan orang tua itu, bahwa Agung Sedayu masih harus membentuk dan menyusun hari depannya sebaik-baiknya. Kalau pagi-pagi ia sudah tidak dapat melepaskan ikatan pinjung gadis Sangkal Putung itu, maka hari depannya pasti tidak akan dapat diharapkan. Ia tidak akan menjadi orang yang dibicarakan di istana Pajang. Mungkin ia akan dapat menjadi seorang gegedug, seorang yang dipandang pilih tanding suatu daerah, di suatu kademangan atau di suatu daerah tanah perdikan. Tetapi namanya tidak akan sempat disebut-sebut di dalam sidang-sidang agung di istana Pajang, karena tidak seorang  pun yang dapat mengenalnya dengan pasti.
“Angger Untara,” berkata Ki Tanu Metir itu kemudian,
“aku dapat mengerti perasaan Angger. Aku dapat mengerti kehendak yang sebaik-baiknya yang tersimpan di dalam hati Angger sebagai seorang kakak terhadap adik satu-satunya. Adalah sudah sewajarnya, apabila Angger Untara sebagai seorang saudara tua, seorang pengganti ibu bapa ingin melihat Angger Agung Sedayu menjadi seorang besar, seorang yang terpandang. Bahkan apabila mungkin menjadi seorang yang penting di dalam pemerintahan. Angger Untara, aku kagum akan sikapmu itu. Seorang saudara tua yang benar-benar memikirkan nasib saudara satu-satunya, adiknya. Meskipun sikap ini sebenarnya tumbuh dari persoalan yang telah bergeser dari titik tumpuannya.”
Untara mengerutkan keningnya. Ia tahu benar arah pembicaraan Ki Tanu Metir. Ki Tanu Metir ternyata dapat mengerti maksudnya, tetapi orang tua itu tetap pada pendiriannya pula. Bahkan orang tua itu menganggap, bahwa keputusannya itu beralaskan persoalan yang mula-mula tidak seperti yang dinyatakannya sekarang.
“Tetapi,” Ki Tanu Metir meneruskan,
“Angger tidak melihat hati Angger Agung Sedayu. Angger memandang dari satu segi, dan Angger tidak mencoba melihat dari celah-celah perasaan Angger Agung Sedayu itu. Meskipun maksud Angger itu baik dan Angger nyatakan dengan jujur, tetapi Angger kurang memberikan kesempatan kepada Angger Agung Sedayu untuk turut serta menentukan dirinya sendiri. Angger Untara dapat memberikan arah kepada Angger Agung Sedayu, tetapi jangan membunuh perkembangannya dengan cara yang keras. Sudah aku katakan, Ngger, akan mencoba membantu Angger Untara. Dan aku pun merasa bertanggung jawab pula atas Angger Agung Sedayu, karena aku adalah gurunya. Baik-buruk, hitam-putih anak muda itu, pertama-tama pasti diukur dengan kemampuan gurunya. Kalau ia gagal, akulah yang paling parah menanggungnya. Aku pasti akan menjadi tempat untuk melemparkan hinaan dan celaan. Akulah yang menanggung malu karenanya. Seorang guru yang tidak mampu membentuk muridnya menjadi seorang yang baik. Karena itu, Ngger, percayakan ia kepadaku. Aku akan mengikutinya ke Sangkal Putung. Kemudian membawanya bersama Angger Swandaru untuk meninggalkan kademangan itu. Aku ingin memberi mereka sedikit pengalaman dalam perantauan.”

Jantung Untara serasa menjadi semakin cepat berdentang. Tetapi apa yang dikatakan oleh Ki Tanu Metir itu tidak dapat disangkalnya. Tanggung jawab atas Agung Sedayu memang lebih banyak akan dibebankan kepada gurunya daripada kepada kakaknya. Karena itu maka Untara itu  pun terdiam untuk beberapa saat. Tampaklah ketegangan di wajahnya menjadi semakin memuncak.
“Angger Untara,” terdengar Ki Tanu Metir meneruskan,
“mudah-mudahan aku dapat membantu Angger, membuat Angger Agung Sedayu menjadi seorang yang Angger harapkan. Aku akan membentuknya sesuai dengan keadaannya dan mempersiapkannya menjadi seorang yang cukup memiliki bekal untuk menjadi seorang yang namanya akan disebut-sebut di istana Pajang. Tentang Angger Sekar Mirah jangan kau hiraukan lagi. Aku mengharap, bahwa Angger Sekar Mirah tidak akan menjadi penghalang, tetapi justru akan menjadi seorang yang dapat mendorong Angger Agung Sedayu untuk meletakkan cita-citanya setinggi bintang di langit.”
Untara masih tetap berdiam diri. Kini di dalam dadanya terjadi pergolakan yang sengit. Ia merasa berat sekali untuk mencabut dan merubah sikapnya, namun ia dapat mengerti dan memahami pendirian Ki Tanu Metir. Kini sejenak mereka yang berada di pringgitan itu saling berdiam diri. Untara mencoba mencari kemungkinan yang sebaik-baiknya yang dapat dilakukannya.
Akhirnya Senapati muda itu berkata,
“Kiai, aku dapat mengerti pendirian Kiai. Tetapi aku juga tidak dapat melepaskan keinginanku, bahwa adikku akan menjadi orang yang mapan di hari depannya. Karena itu Kiai, apabila Kiai merasa, bahwa Kiai dapat membantu aku, menyelamatkan masa depan anak itu, maka aku dapat menyerahkannya kepada Kiai. Tetapi dengan jaminan bahwa Agung Sedayu tidak akan segera terikat dalam suatu ikatan yang dapat menutup kemungkinan-kemungkinan di masa datang.”
“Maksud Angger Untara, agar Angger Agung Sedayu tidak segera kawin sebelum memiliki cukup bekal untuk hidupnya. Begitu?” potong Ki Tanu Metir.
Untara menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk,
“Ya, begitulah Kiai, dan tidak lagi mengalami kesulitan justru karena hubungannya dengan gadis itu.”
“Sebenarnya, perkawinan bukan suatu batas bagi perkembangan seseorang. Mungkin justru di dalam masa perkawinan itulah, seseorang mendapat dorongan untuk berbuat sesuatu,” sahut Ki Tanu Metir,
“tetapi seandainya Angger menghendaki demikian, maka aku akan mengusahakannya. Aku akan membuatnya bersiap menghadapi masa depannya. Seandainya ia kelak menjadi seorang prajurit, biarlah ia menjadi seorang prajurit yang telah masak. Angger Agung Sedayu saat ini memang masih terlampau hijau. Ia masih banyak memerlukan pengalaman untuk mengikuti Angger Untara merayap ke tangga istana Pajang. Khususnya sebagai seorang prajurit Wira Tamtama.”

Sekali lagi Untara terbungkam. Ia tidak menemukan alasan untuk menyangkal pikiran Ki Tanu Metir itu. Karena itu, maka Untara itu  pun kemudian berkata,
“Baiklah, Kiai. Aku serahkan Agung Sedayu kepada Kiai. Tetapi ingat, aku sebagai kakaknya, pengganti ibu-bapa, ingin agar Agung Sedayu mendapat tempat di dalam lingkungan keprajuritan, di mana ia akan mendapat kesempatan untuk langsung mengabdikan diri kepada negerinya. Aku akan menyesal apabila kelak Agung Sedayu tidak lebih daripada seorang yang hanya dapat menakut-nakuti pencuri-pencuri ayam di padesan yang jauh dari pimpinan pemerintahan.”
Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu benar, bahwa cita-cita Untara melambung tinggi ke awang-awang. Seperti cita-citanya sendiri dalam pengabdiannya terhadap negara dan tanah kelahirannya, ia pun mengharap adiknya akan turut serta di dalam pengabdian itu. Tetapi sebagai manusia, maka Untara tidak luput pula dari pamrih. Ia ingin adiknya menjadi seorang yang namanya disebut-sebut di dalam sidang-sidang di istana, seperti juga namanya sendiri selalu disebut-sebutnya.
“Baiklah, Ngger,” berkata Ki Tanu Metir,
“aku akan mencoba membantu perkembangan pribadinya, meskipun sebagian terbesar tergantung pada Angger Agung Sedayu sendiri. Aku akan mencoba menempuh jalan yang paling mudah bagi Angger Agung Sedayu. Kelak apabila datang saatnya, maka aku akan datang kembali membawa Angger Agung Sedayu. Aku akan menyerahkannya kepada Angger Untara. Seterusnya jalan akan lebih lapang bagi Angger Agung Sedayu, apabila ia bersama dengan Angger Untara.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mudah-mudahan, Kiai. Semuanya terserah kepada Kiai.” Kemudian Untara itu berpaling kepada Wuranta,
“Terima kasih akan kerelaanmu mengorbankan kepentinganmu sendiri, Wuranta. Kau telah membantu memecahkan persoalan ini.”
Wuranta mengangkat wajahnya. Kemudian ia berkata,
“Aku seharusnya minta maaf langsung kepada Agung Sedayu, kepadamu, dan kepada Ki Tanu Metir. Tetapi aku tidak cukup berani untuk berhadapan dengan Agung Sedayu.”
“Kau cukup berjiwa besar, Ngger. Kau telah mengatakannya kepadaku dan Angger Untara. Itu sudah cukup. Aku akan menyampaikannya kepada Agung Sedayu,” sahut Ki Tanu Metir.
Wuranta tidak menjawab. Tetapi kepalanya ditundukkannya. Dan terdengar Ki Tanu Metir berkata,
“Kalau demikian, maka biarlah aku membawa anak-anak Sangkal Putung itu pulang ke rumahnya. Seterusnya aku akan membawa Angger Agung Sedayu dan Angger Swandaru untuk menambah pengalamannya yang masih terlampau sempit. Mungkin ada tempat-tempat yang perlu dikunjungi. Mungkin aku akan dapat memperkenalkannya dengan orang-orang yang namanya pernah tersebar di seluruh daerah Demak lama, dan yang kini seakan-akan mengasingkan dirinya.”

Untara tidak segera menjawab. Tetapi hatinya terasa berdesir juga. Terbayang di pelupuk matanya, adiknya yang masih muda itu akan memulai dengan sesuatu kehidupan yang baru baginya. Kehidupan yang asing sama sekali dari kehidupannya di masa kanak-kanaknya. Dibayangkannya, di masa kanak-kanak Agung Sedayu, hampir tidak pernah terpisah dari ujung selendang ibunya. Ke mana ibunya pergi, Agung Sedayu hampir pasti ikut bersamanya. Kalau sekali-sekali Agung Sedayu pergi juga dengan ayahnya, maka ibunya selalu berpesan bersungguh-sungguh, supaya anak itu nanti kembali dengan selamat kepadanya. Kini Agung Sedayu yang hampir tidak pernah menjenguk keluar pagar itu, akan pergi dengan gurunya ke tempat yang tidak menentu. Merantau untuk menambah pengalaman dan menggembleng diri. Untara tersadar ketika ia mendengar Ki Tanu Metir berkata,
“Angger Untara, aku kira tidak ada lagi kepentingan kami di sini. Karena itu, maka biarlah kami minta diri. Kami akan pergi ke Sangkal Putung untuk mengembalikan Sekar Mirah, kemudian mencoba membentuk Angger Agung Sedayu dan Angger Swandaru untuk menjadi seorang laki-laki dewasa.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku tidak akan mencegah lagi, Kiai. Aku kali ini mempercayakannya kepada Kiai. Mudah-mudahan Kiai tidak gagal. Umur Agung Sedayu akan selalu merayap, dan tidak akan dapat diulang. Tetapi aku minta, Kiai tidak pergi meninggalkan padepokan ini, sekarang atau besok pagi. Aku ingin, kita bersama-sama yang telah berbuat sesuatu untuk menyelesailan pekerjaan ini, berkumpul bersama-sama untuk mengatakan kegembiraan hati kita dan untuk menyatakan terima-kasih kita kepada Tuhan yang telah memberikan jalan yang lapang kepada kita. Aku ingin kita semuanya sempat melepaskan ketegangan yang selama ini telah menghimpit hati kita, meskipun itu tidak berarti bahwa kita akan kehilangan kewaspadaan.”
“Ah,” sahut Ki Tanu Metir,
“aku kira kami tidak perlu turut serta dalam kegembiraan itu. Bagi anak-anak Sangkal Putung itu, kegembiraan yang paling besar kini adalah kembali kepada ayah dan ibunya.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia berkata,
“Aku tahu, Kiai, tetapi biarlah kegembiraan kita menjadi lengkap. Hari itu tidak akan terlampau lama. Dua tiga hari kita akan menyelenggarakannya di Jati Anom, seperti yang telah aku katakan. Aku sudah mengirimkan beberapa orang untuk menemui Ki Demang di Jati Anom. Sayang, bahwa hari-hari yang kita rencanakan itu tidak dapat dilakukan besok atau lusa. Ki Demang memerlukan persiapan untuk itu, apalagi setelah Jati Anom dikacaukan oleh kehadiran orang-orang dari padepokan ini.
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Katanya,
“Apakah Angger Untara benar-benar ingin menahan kami.”
“Tentu, Kiai. Terutama Agung Sedayu. Aku harus melepaskannya dengan beberapa pesan yang mudah-mudahan berguna baginya. Sebab aku telah memberikan perintah lain kepadanya. Akulah yang akan memberitahukan perubahan itu, meskipun sebelumnya Kiai dapat mengatakan kepadanya. Tetapi ia harus mendengar dari mulutku, bahwa perubahan itu hanyalah sekedar perubahan cara yang harus ditempuhnya. Bukan masalahnya ia harus tetap menyadari betapa pentingnya membina hari depannya.”

Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Untara masih harus tetap menjaga kewibawaan dirinya di hadapan adiknya itu. Dan Ki Tanu Metir tidak akan dapat menyalahkannya. Maka jawabnya,
“Kalau demikian, baiklah, Ngger. Aku akan memberikan beberapa penjelasan pendahuluan. Biarlah Angger Agung Sedayu datang sendiri kepada Angger Untara.”
“Baiklah, Kiai.”
“Kalau begitu, aku segera minta diri, Ngger. Aku akan kembali ke pondok, supaya aku tidak terlambat memberikan penerangan kepada adik Angger itu.”
Untara mengerutkan keningnya, “Kenapakah Agung Sedayu itu, Kiai?”
“Syarafnya menjadi tegang, hampir tidak dapat dikuasainya. Semalam ia tidak tidur sama sekali, dan hampir-hampir saja aku tidak dapat melihatnya lagi di padepokan ini.”
“Apa yang akan dilakukan?” tiba-tiba wajah Untara-lah yang menjadi tegang.
“Kalau aku tidak segera datang dan mendengar apa yang mereka bicarakan serta mencegahnya, maka semalam Angger Agung Sedayu telah membawa Angger Swandaru dan Angger Sekar Mirah ke Sangkal Putung.”
“Kenapa begitu?”
“Hal-hal serupa itulah yang harus Angger ketahui. Perasaannya tidak dapat menerima tekanan dari luar, tetapi ia tidak berani untuk berterus terang melawannya. Ia tidak berani menolak perintah Angger Untara, tetapi ia tidak dapat melakukan perintah itu. Maka diambilnya jalan ketiga yang mungkin akan dapat menjerumuskannya ke dalam bencana. Kalau mereka bertiga benar-benar meninggalkan padepokan ini, dan di ujung lereng tikungan di luar padepokan ini mereka bertemu dengan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya, seandainya mereka masih berkeliaran di sini, maka mereka pasti akan menjadi endeg amun-amun.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Dadanya menjadi berdebar-debar. Soal semacam ini baginya adalah soal yang baru. Hal yang demikian tidak pernah terjadi di kalangan keprajuritan. Tetapi Agung Sedayu hampir melakukannya.
“Jadikanlah hal ini suatu pengalaman,” berkata Ki Tanu Metir.
Betapa beratnya, namun akhirnya Untara menganggukkan kepalanya,
“Ya, Kiai. Untunglah bahwa hal itu belum terjadi.”
Dalam pada itu, dengan nada yang dalam Wuranta berdesis,
“Seandainya hal itu terjadi, dan seandainya mereka menemui bahaya di perjalanan, maka aku adalah salah satu penyebabnya. Dan aku  pun pasti akan menyesal sepanjang hidupku.”
“Tetapi semuanya itu belum terjadi, Ngger. Semuanya masih belum terlambat.”
Wuranta tidak menyahut. Tetapi bintik-bintik keringat di keningnya masih menitik satu-satu. Sekali ia mengusap wajah yang basah dengan telapak tangannya. Namun wajah itu tidak juga menjadi kering.
“Sekarang,” berkata Ki Tanu Metir,
“kabut yang menyelimuti Angger sekalian telah tersingkap. Mudah-mudahan hari-hari berikutnya menjadi cerah.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan,
“Mudah-mudahan. Mudah-mudahan semuanya dapat terjadi seperti yang kita inginkan.”
“Tetapi kita tidak boleh menentukan, bahwa keinginan kita pasti akan terjadi, Ngger. Kita hanya dapat berusaha sejauh-jauh mungkin. Namun akhirnya semuanya terserah kepada Yang Maha Besar. Meskipun demikian, kita tidak dapat menunggu saja, dan keinginan kita itu akan terpenuhi dengan sendirinya. Kita harus memohon. Dan kesungguhan dari permohonan kita itu harus tercermin dari kesungguhan usaha kita. Kalau kita tidak bersungguh-sungguh berusaha, maka permohonan kita itu  pun tidak bersungguh-sungguh pula, sehingga wajarlah bahwa hal itu tidak terjadi.”
“Aku mengerti, Kiai,” desis Untara.
“Tetapi kita harus percaya, bahwa usaha yang baik pasti akan dilindungi. Kepercayaan itulah yang terungkap sebagai kepercayaan kepada diri sendiri. Percaya kepada kesungguhan diri sendiri dan percaya bahwa kesungguhan itu adalah kesungguhan dari permohonan kita, yang pasti akan didengar oleh Yang Maha Kuasa.”

Untara mengangguk-angguk dan Wuranta  pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ketika Ki Tanu Metir berhenti berbicara, maka sekali lagi pringgitan itu menjadi sepi. Seolah-olah mereka sedang merenungkan kata-kata Ki Tanu-Metir itu. Mereka terkejut ketika mereka melihat pintu pringgitan itu bergerak. Sebuah kepala tersembul dari luar dan dengan hati-hati orang itu bertanya,
“Apakah aku boleh masuk masuk?”
“Untuk apa?” bertanya Untara.
“Makan telah tersedia.”
“Oh,” Untara menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Seolah-olah segenap ketegangan yang menyumbat dadanya selama ini telah dilepaskannya.
“Bawalah masuk,” katanya kemudian, “kita bertiga di sini.”
“Baik,” sahut orang itu.
Sejenak kemudian, orang itu  pun hilang di balik pintu. Tetapi segera muncul kembali sambil menjinjing tiga bungkus nasi.
“Letakkanlah di situ,” berkata Untara.
Orang itu  pun segera meletakkan ketiga bungkus nasi itu di atas gledeg bambu. Kemudian ia  pun segera meninggalkan ruangan itu.
“Marilah, Kiai. Makan telah tersedia. Makanan medan perang nasi tanpa lauk pauk.”
Ki Tanu Metir tertawa. Katanya,
“Di medan perang kita masih dapat mengharap rangsum makanan, Ngger. Tetapi di perantauan, kita harus mencarinya sendiri. Bukankah begitu?”
Untara  pun tersenyum pula.
“Ya, Kiai,” jawabnya. Kemudian kepada Wuranta ia berkata, “Marilah, Wuranta.”
Sejenak kemudian, maka ketiganya  pun telah membuka bungkusan masing-masing. Nasi putih dengan sejumput serundeng yang terlalu kering. Sepotong kecil daging lembu dan sambal lombok merah.
“Alangkah nikmatnya,” desis Ki Tanu Metir,
“semalam aku sama sekali tidak tidur. Karena itu, maka aku kini merasa sangat penat dan lapar. Nasi hangat ini benar-benar telah menghangatkan tubuhku.”
Untara tidak menyahut. Tetapi ia tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ketika mereka telah selesai makan dan minum, maka Ki Tanu Metir  pun segera minta diri. Katanya,
“Ah, aku terlampau lama di sini. Aku telah minta diri untuk yang kesekian kalinya. Untunglah, bahwa aku tidak segera pergi. Jika demikian, maka aku tidak akan mendapat bagian nasi serundeng. Apalagi apabila nanti sampai di pondokan Angger Agung Sedayu, rangsum telah habis, dihabiskan oleh Angger Swandaru. Maka aku  pun akan menjadi kelaparan. Sekarang, setelah aku kenyang, aku akan benar-benar minta diri, Ngger.”
“Silahkan, Kiai,” jawab Untara,
“tetapi harapanku kali ini tergantung pada kebijaksanaan Kiai.”
“Ya, ya aku mengerti,” desis orang tua itu,
“aku harus segera sampai kepada Angger Agung Sedayu. Aku takut kalau jantungnya menjadi terlampau tegang dan justru akan berhenti berdetak, atau karena hatinya terlampau gelap, ia telah melakukan rencananya semalam, pergi dari padepokan ini.”
“Silahkan, Kiai,” sahut Untara sambil mengerutkan keningnya.

Setelah minta diri pula kepada Wuranta, maka kali ini Ki Tanu Metir itu  pun berdiri dan melangkah perlahan-lahan meninggalkan pringgitan, diantar oleh Untara dan Wuranta sampai ke muka pintu. Ketika orang tua itu telah turun dari pendapa, maka terdengar Wuranta berdesis,
“Aku menjadi malu sekali, Untara.”
“Tak seorang  pun yang tahu. Kami yang mengetahui persoalanmu, aku dan Ki Tanu Metir, dapat memahami perasaanmu. Dan kami mengagumi kebesaran jiwamu.”
“Itu terlampau berlebih-lebihan.”
“Jangan kau pikirkan lagi. Semuanya telah selesai.”
“Kalau kau tetap pada pendirianmu untuk melarang Agung Sedayu mengantar Sekar Mirah ke Sangkal Putung, maka hatiku akan menjadi terlampau parah. Aku adalah sebab dari persoalan ini, meskipun kau menyebut alasan-alasan yang lain, tetapi sikapku yang gila selama ini adalah sebab yang terbesar dari keputusanmu.”
“Lupakan. Semuanya sudah selesai.”
“Aku akan mencoba melupakannya, Untara.”
Sesaat Untara tidak menyahut. Dipandangnya langkah Ki Tanu Metir yang ringan di halaman banjar padepokan. Sejenak orang tua itu berhenti di gardu peronda. Untara tidak tahu apa yang dibicarakan oleh Ki Tanu Metir dengan para penjaga di gardu itu, tetapi ia melihat Ki Tanu Metir itu tertawa.
“Sebenarnya orang tua itu adalah seorang periang,” berkata Untara di dalam hatinya.
Tanpa sesadarnya, ingatannya merayap kembali kepada masa yang telah dilampauinya. Pada saat-saat ia terluka dan bersembunyi di rumah dukun dari Pakuwon itu. Melihat sepintas, seseorang tidak akan menyangka, bahwa dukun dari Dukuh Pakuwon itu adalah seorang yang mampu mengimbangi kedahsyatan nama Ki Tambak Wedi, dan bahkan tidak akan berada di bawah tingkatan Ki Gede Pemanahan, seorang Panglima Wira Tamtama.
“Aneh,” pikir Untara,
“orang ini seolah-olah sama sekali tidak mempunyai pamrih apa pun dengan keadaan di sekitarnya. Ia berbuat seperti yang dikehendakinya. Kalau ia bersedia menghubungkan dirinya dengan kepentingan-kepentingan duniawi, maka ia tidak akan jauh dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat dibanggakan. Baik di dalam kedudukan maupun di dalam olah kanuragan.”
Dan keheranan itu semakin lama semakin dalam tergores di dinding hatinya. Untara itu mengenal nama-nama seperti Adiwijaya, Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, Ki Juru Mertani, Ki Mancanegara, Ki Wuragil, Arya Penangsang, Mantahun, Sumangkar, Ki Tambak Wedi dan yang lain-lain. Semuanya ada di dalam dunianya masing-masing. Semuanya memiliki pamrihnya sendiri-sendiri. Meskipun Ki Tambak Wedi tidak berada di dalam lingkungan istana mana pun, Demak, Pajang, atau Jipang. Juga tidak Cerbon dan Banten, namun ia justru terlampau dikuasai oleh pamrihnya sendiri.
“Mas Karebet itu pun didorong oleh pamrih-pamrih duniawi tertentu,” berkata Untara pula di dalam hatinya, “terutama setelah Demak menjadi kosong. Ditambah lagi dengan dua gadis yang dijanjikan oleh Kangjeng Ratu Kalinyamat.”
Tetapi orang ini benar-benar aneh. Ia tinggal di padukuhan yang kecil sebagai seorang dukun. Tidak lebih daripada itu. Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia tersadar, ketika ia sudah tidak melihat lagi Ki Tanu Metir di halaman itu. Ternyata orang tua itu telah meninggalkan gardu. Ketika Untara itu berpaling, ia masih melihat Wuranta berdiri di sampingnya.
“Oh,” Untara berdesis, “Marilah, duduklah.”
Wuranta tidak menjawab, tetapi diikutinya Untara melangkah kembali ke bentangan tikar pandan di pringgitan itu.

Sementara itu, Ki Tanu Metir berjalan tergesa-gesa ke pondok Agung Sedayu. Ia mencemaskan anak muda itu. Seandainya Agung Sedayu benar-benar tidak dapat menguasai perasaannya, maka ia akan dapat berbuat hal-hal yang tidak terduga-duga. Mungkin ia akan benar-benar membawa Swandaru dan Sekar Mirah segera pergi ke Sangkal Putung. Tetapi orang tua itu menarik nafas dalam-dalam ketika ternyata Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah masih ditemuinya di pondoknya, meskipun agaknya Agung Sedayu sudah hampir tidak sabar lagi menantinya. Belum lagi Ki Tanu Metir masuk ke dalam rumah, maka Agung Sedayu sudah menyongsongnya sambil bertanya,
“Bagaimana, Guru. Apakah aku harus menjalani keputusan Kakang Untara itu?”
“Apakah aku tidak kau persilahkan masuk?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Oh,” Agung Sedayu menarik nafas. Tetapi ia benar-benar sudah tidak dapat menunggu lagi keterangan dari gurunya itu tertunda-tunda. Dengan tergesa-gesa ia berkata,
“Marilah, Kiai. Silahkan duduk. Tetapi bagaimana dengan Kakang Untara?”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya wajah Agung Sedayu yang pucat, wajah-wajah Swandaru dan Sekar Mirah yang gelisah dan bingung.
Tiba-tiba orang tua itu berkata sareh,
“Bukankah kalian telah dirisaukan oleh hati kalian sendiri?”
Hampir bersamaan ketiganya menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi Sekar Marah menyahut pertanyaan itu,
“Ya, Kiai, kami memang sedang dirisaukan oleh hati kami sendiri.”
“Nah, kalau demikian, tenangkanlah hati kalian. Tidak ada alasan apa  pun bagi kalian untuk menjadi risau.”
Sejenak Swandaru dan Agung Sedayu saling berpandangan. Mereka sama sekali tidak menemukan kesan yang mencemaskan di wajah orang tua itu. Bahkan sejenak kemudian orang tua itu bertanya.
“Apakah kalian telah mendapat rangsum?”
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Pertanyaan itu sama sekali tidak diharapkannya. Tetapi ia menyahut,
“Sudah, Kiai. Baru saja. Kami masih belum sempat memakannya.”
“Makanlah.”
“Kami belum lapar, Kiai,” jawab Agung Sedayu.
“Tetapi mungkin Angger Swandaru dan Sekar Mirah menjadi lapar.”
Keduanya bersama-sama menggelengkan kepala mereka,
“Belum, Kiai.”
“Kalau begitu akulah yang lapar. Di banjar aku sudah mendapat makan, tetapi hanya satu bungkus. Berapa bungkus kalian mendapat rangsum?”
Sekali lagi Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mulutnya terpaksa juga menjawab,
“Empat, Kiai. Kami minta satu untuk Kiai.”
“Bagus. Marilah kita makan. Kita merayakan akhir dari keadaan yang selama ini telah membuat kalian menjadi bingung. Kita akan sampai pada suatu keadaan yang baru. Suatu kehidupan yang lain dari yang pernah kalian tempuh selama ini.”

Awan yang putih kemerah-merahan mengapung di langit. Matahari yang telah perlahan-lahan turun ke punggung Gunung Merapi. Sinarnya semakin lama menjadi semakin pudar. Burung-burung seriti terbang bergumpal-gumpal mengitari sebatang pohon beringin. Ratusan, bahkan ribuan, sehingga seolah-olah mendung yang gelap mengambang di langit. Lamat-lamat terdengar kentongan di gardu, di pintu gerbang padepokan Tambak Wedi, memecah keheningan senja. Suaranya mengumandang memenuhi lereng Gunung Merapi. Bertalu-talu seperti dibunyikan berulang kali. Seorang prajurit muda yang berdiri di depan gardu di samping regol padepokan itu berbisik kepada kawannya,
“Besok kita turun ke Jati Anom.”
“Ya,” sahut kawannya yang masih muda pula,
“suasana yang tegang selama ini akan berakhir. Kita akan terlepas dari cara hidup yang keras dan kasar ini.”
“Di Jati Anom akan diselenggarakan sekedar keramaian untuk menyatakan kegembiraan hati atas kemenangan kita. Dengan hancurnya Tambak Wedi, maka seolah-olah di bagian Selatan ini telah tidak ada lagi gangguan apa pun bagi Pajang.”
Tiba-tiba kawannya mengerutkan keningnya. Katanya,
“Tetapi kita akan segera ditarik dan dikirim ke pesisir Utara. Kita harus berkelahi lagi melawan orang-orang pesisir.”
Kawannya menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Peperangan di pesisir pun sudah semakin tipis. Tidak banyak lagi perlawanan yang harus dihadapi oleh Pajang. Setidak-tidaknya kita akan mendapatkan beberapa hari libur, pulang ke rumah dan berada di lingkungan keluarga. Anak dan isteri, meskipun kita kelak harus bertempur lagi.”
“Pekerjaan kita memang berkelahi,” sahut prajurit muda yang pertama.
“Kita adalah orang-orang yang dibentuk untuk berkelahi.”
“Ya, kita memang telah menyatakan diri kita sebagai seorang prajurit. Pekerjaan prajurit adalah bertempur. Meskipun demikian kita adalah manusia, yang suatu ketika ingin hidup seperti kebiasaan hidup manusia. Berkeluarga, bercakap-cakap dengan isteri dan bermain-main dengan anak-anak.”
Tiba-tiba keduanya terperanjat ketika di belakang mereka terdengar suara,
“Siapa yang berkata bahwa prajurit itu pekerjaannya berkelahi dan bertempur?”
“Oh, Ki Lurah,” desis kedua prajurit itu hampir bersamaan. Ternyata di belakang mereka berdiri seorang lurah Wira Tamtama.
“Habis, apakah yang harus kita lakukan, Ki Lurah?” bertanya salah seorang dari kedua prajurit itu.
Lurah Wira Tamtama itu tersenyum. Namun ia bertanya pula,
“Apabila peperangan ini telah selesai, sisa-sisa orang-orang yang berkeras kepala, bekas pengikut Arya Penangsang telah habis dan tidak ada lagi pertentangan di seluruh wilayah Pajang, lalu kita para prajurit harus mencari persoalan baru supaya kita tidak menjadi seorang penganggur?”
“Ah,” desah salah seorang prajurit muda itu.
“Coba katakan,” bertanya lurah Wira Tamtama itu, “apa yang harus kita kerjakan?”
Kedua prajurit itu saling berpandangan. Kemudian salah seorang dari mereka berkata,
“Bukankah jumlah prajurit akan berangsur-angsur dikurangi, dan kita akan kehilangan pekerjaan kita?”
Lurah Wira Tamtama itu tersenyum,
“Dan kau akan menjadi sakit hati karenanya?”
Kedua prajurit muda itu terdiam. Sekali lagi mereka saling berpandangan.
“Coba katakan, apakah niatmu ketika kau pertama kali memasuki lapangan ini.”
Keduanya tidak segera menjawab.
“Apakah kalian hanya sekedar ingin mendapat lapangan pekerjaan supaya kalian tidak menjadi penganggur? Hanya itu?”
Kini keduanya menggeleng,
“Tidak, Ki Lurah. Aku memasuki lapangan ini oleh suatu dorongan yang kuat.”
“Katakanlah sifat dorongan itu. Supaya kau tidak mati kelaparan? Atau supaya kau menjadi seorang yang ditakuti oleh tetangga-tetanggamu karena kau membawa senjata di lambung? Atau supaya kau mudah untuk mendapatkan yang kau ingini? Karena kau prajurit, maka kau melamar gadis tetanggamu. Apabila gadis itu menolak segera kau mengancamnya, bahwa sekelompok kawan-kawanmu akan datang dan menangkap orang tua gadis itu. Begitu? Atau kepentingan lain, supaya kau dapat mengambil kambing, kerbau atau apa saja kepunyaan tetanggamu yang kau ingini karena kau prajurit?”
“Tentu tidak, Ki Lurah. Tentu tidak. Aku bukan seorang yang gila seperti itu. Seandainya ada seorang prajurit yang hanya didorong oleh nafsunya yang demikian, maka ia telah menodai Wira Tamtama.”
“Bagus,” potong lurah Wira Tamtama.
“Lalu dorongan apa yang telah memaksamu masuk ke dalam lingkungan keprajuritan.”
Kedua prajurit itu mengerutkan keningnya,
“Aku tidak tahu Ki. Tetapi keinginanku menjadi seorang prajurit demikian besarnya. Aku ingin karena aku melihat prajurit-prajurit yang lebih dahulu daripadaku. Mereka telah banyak sekali berbuat sesuatu untuk kepentingan orang banyak.”
Lurah Wira Tamtama itu mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Bagus. Bagus. Kau hanya tidak pandai mengatakan. Dorongan yang demikian itu lahir karena sifat-sifat ksatria yang ada di dalam dirimu. Kau ingin mengabdikan diri untuk kepentingan lingkunganmu, untuk kepentingan negara dan tanah tumpah darah. Ingat, menjadi seorang prajurit adalah menyerahkan diri dalam pengabdian. Ini adalah landasan pertama yang harus ada di dalam dada setiap prajurit.”

Kedua prajurit yang mendengarkan kata-kata lurah Wira Tamtama itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang mereka  pun merasakan arti dari kata-kata itu, tetapi mereka tidak pandai untuk mengatakannya.
“Nah,” lurah Wira Tamtama itu meneruskan,
“bukankah dengan demikian tugas seorang prajurit tidak hanya berkelahi, bertempur dan berperang? Tidak setiap kali mencari persoalan supaya ada kerja yang dilakukannya?”
Kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Banyak sekali yang harus dilakukan,” sambung lurah itu pula,
“Apabila terjadi kerusuhan, kejahatan dan sebagainya, maka prajurit pun harus berbuat untuk melindungi rakyat yang lemah. Tetapi itu pun masih dapat disebut berkelahi atau bertempur. Yang lain misalnya, apabila ada bencana. Bencana alam atau bencana apa pun, maka pengabdian prajurit harus ditunjukkannya juga. Masa-masa yang sulit. Kekeringan air atau malahan banjir.”
“Ya,” kedua prajurit itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya.”
“Itu adalah kewajiban-kewajiban lahiriah yang tampak oleh mata kita,” berkata lurah Wira Tamtama itu pula.
“Yang lebih penting dari itu adalah menanamkan keyakinan, bahwa prajurit adalah pengabdian. Maka semua tindak-tanduk bahkan angan-angannya pun akan selalu berlandaskan pada keyakinan itu. Pengabdian. Bukan sebaliknya dari itu.”
“Ya, ya, Ki Lurah,” berkata salah seorang prajurit itu,
“sekarang aku tahu bagaimana mengatakannya. Tetapi demikian itulah yang membersit di dalam dadaku sebelum aku memasuki prajurit.”
“Sebelum memasuki dunia keprajuritan? Lalu, sesudah itu, maka keyakinanmu justru berubah?”
“Tidak, tidak. Bukan maksudku. Aku  pun masih tetap memegang keyakinan itu.”
“Bagus,” lurah Wira Tamtama itu berdesis.
“Aku percaya kepada kalian. Nah, sebenarnya, bahwa besok kalian akan turun ke Jati Anom. Tetapi tidak seluruhnya. Sebagian dari kalian masih harus tetap berjaga-jaga di padepokan ini. Meskipun kemenangan kalian dapat disebut mutlak, tetapi otak dari padepokan ini ternyata dapat melepaskan diri.”
Kedua prajurit itu menarik nafas dalam-dalam,
“Siapakah yang akan tinggal di sini?”
“Sepertiga dari seluruh pasukan akan tinggal di sini.”
Kedua prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalian akan menerima perintah nanti malam. Siapakah yang besok akan turun ke Jati Anom dan siapa yang tinggal. Tidak banyak bedanya. Yang tinggal di sini  pun pasti akan mendapat bagian dari keramaian yang akan diselenggarakan di Jati Anom. Kalau tidak salah, maka ada lima ekor lembu yang tersedia buat kalian di sini.”
Kedua prajurit itu tidak menjawab. Tetapi kepala mereka terangguk-angguk kecil.
Dan lurah prajurit itu berkata pula,
“Sepertiga dari kalian akan tinggal di sini, sepertiga di Jati Anom dan sepertiga dari kalian diperkenankan untuk pulang ke rumah masing-masing untuk waktu-waktu tertentu. Demikian bergiliran, sehingga kalian pasti akan segera mendapat giliran pula. Perintah yang serupa akan diberikan juga kepada pasukan di Sangkal Putung. Sepertiga dari mereka akan bergiliran, kembali ke rumah masing-masing untuk beristirahat.”
Kedua prajurit itu masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, lakukanlah tugasmu baik-baik,” berkata lurah Wira Tamtama itu kemudian,
“meskipun seolah-olah kalian sudah tidak berhadapan dengan bahaya, tetapi jangan lengah. Kalau datang waktunya kalian bertugas di regol padepokan ini, maka tugas itu harus kalian lakukan dengan baik. Suatu saat, kalian masih akan mendapat tugas yang cukup berat. Membawa para tawanan ke Pajang.”
“Ya, Ki Lurah,” jawab kedua prajurit itu hampir bersamaan.
Lurah Wira Tamtama itu  pun segera meninggalkan gardu itu. Perlahan-lahan ia berjalan menyusur jalan padepokan untuk melihat gardu-gardu yang lain.

Perlahan-lahan pula, maka malam  pun turun menyelubungi lereng gunung Merapi. Cahaya kemerah-merahan di puncak gunung itu  pun semakin lama menjadi semakin pudar. Asapnya yang putih kemerahan mengepul seolah-olah ingin menggapai bintang yang mulai bermunculan satu demi satu. Beberapa buah obor mulai dipasang di gardu-gardu, di perapatan dan di jalan-jalan padepokan yang masih dianggap belum aman sama sekali.

Dan malam  pun menjadi semakin malam. Sehelai-sehelai kabut yang tipis mengalir menyentuh padepokan yang seakan-akan sedang lelap dalam tidur yang nyenyak. Padepokan itu terbangun, ketika ayam jantan mulai berkokok bersahut-sahutan. Dari ujung ke ujung terdengar betapa riuhnya, menyongsong warna fajar yang membayang di ujung Timur. Ketika fajar kemudian menjadi semakin terang, dan semua prajurit telah menunaikan kewajiban masing-masing, maka mereka pun segera bersiap-siap untuk turun ke Jati Anom. Sepertiga dari mereka masih harus tinggal di padepokan itu, menjaga orang-orang Jipang dan Tambak Wedi yang terpaksa diperlakukan sebagai tawanan. Beberapa orang perwira akan tinggal pula di padepokan itu, untuk menjaga setiap kemungkinan, seandainya Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya datang kembali.
“Perintah segera akan disebarkan,” berkata Untara kepada para perwira itu.
“Beberapa orang prajurit akan segara pergi ke Sangkal Putung, sebagian akan pergi ke Prambanan dan Pangrantunan. Para prajurit di Prambanan harus mengawasi setiap gerakan yang mencurigakan. Apalagi apabila mereka melihat gerakan yang datang dari seberang hutan Mentaok. Dari Mentaok misalnya, apabila dendam Sidanti benar-benar tidak terkendali.”
Para perwira itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menyadari bahaya yang dapat timbul apabila Sidanti benar-benar datang membawa pasukan dari seberang Hutan Mentaok. Tetapi kekuatan itu pasti sudah tidak akan sedahsyat apabila mereka bergabung dengan kekuatan sisa-sisa orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi.
“Untunglah, bahwa kekuatan-kekuatan yang dapat membantunya di sini sudah tidak ada lagi,” desis salah seorang perwira.
“Ya,” sahut Untara,
“aku mempunyai perhitungan, bahwa Sidanti tidak akan berani datang membawa pasukannya apabila perhitungannya masih jernih. Tetapi apabila Sidanti dan Ki Tambak Wedi itu sudah menjadi mata gelap, serta mereka berhasil menghasut Argapati, maka kemungkinan itu akan dapat terjadi.”
“Ya,” para perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi apakah dengan demikian tidak berarti suatu pemberontakan yang terang-terangan melawan Pajang, yang akibatnya akan dapat membuat Tanah Perdikan Menoreh itu menjadi parah?”
“Pemberontakan itu memang sudah dimulai dari Tambak Wedi ini,” sahut Untara.
“Tetapi meskipun demikian, aku tidak yakin, bahwa Argapati memiliki sifat-sifat seperti Tambak Wedi. Aku kira Argapati telah salah memilih guru buat puteranya, yang sebenarnya memiliki bekal yang kuat di dalam dirinya.”
“Mungkin,” sahut salah seorang perwira,
“tetapi menilik sikap Argajaya, maka Argapati pasti setidak-tidaknya memiliki sifat serupa.”
“Mudah-mudahan tidak. Argapati bukan keturunan seorang pemberontak. Ia seorang yang baik, yang berjasa bagi Demak.”
Para perwira itu terdiam. Dan Untara meneruskan,
“Tetapi semua kemungkinan dapat terjadi. Kuwajiban kita adalah siaga menghadapi setiap kemungkinan, tanpa melepaskan kewaspadaan sama sekali.”
Sekali lagi para perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sejenak kemudian, maka sampailah saatnya pasukan Pajang yang berada di padepokan itu sebagian turun ke Jati Anom. Untara sendiri memimpin langsung pasukannya. Di antara pasukan yang turun ke Jati Anom itu, terdapat beberapa orang yang bukan prajurit-prajurit Wira Tamtama. Di bagian depan, di sisi Untara sendiri berjalan Wuranta. Langkahnya yang lemah, serta kepalanya yang menunduk, membayangkan perasaannya yang belum tenang benar. Sekali-sekali ia menengadahkan wajahnya dan melihat batu-batu yang berserakan di sebelah-menyebelah jalan yang dilaluinya, namun kepala itu kemudian tunduk lagi.
“Kita pulang ke kampung halaman,” desis Untara ya berjalan di sampingnya.
Wuranta berpaling, Jawabnya, “Sesudah mengalami masa yang menggoncangkan hati.”
Untara tersenyum. Katanya,
“Pengalaman yang tidak akan dapat dilupakan. Tetapi pengalaman adalah pelajaran yang baik buat seseorang. Ia akan dapat menggurui kita di saat-saat mendatang, supaya kita menjadi lebih berhati-hati dan lebih cermat memperhitungkan keadaan dengan nalar.”
Wuranta tidak menjawab. Dianggukkannya kepalanya perlahan. Tetapi kemudian ia bertanya,
“Kau tidak berkuda?”
Untara menggeleng, “Tidak.”
“Apakah sebagian dari kuda-kuda yang dibawa oleh para prajurit itu akan ditinggalkan di padepokan Tambak Wedi.”
“Ya, hanya sebagian saja yang aku bawa kembali ke Jati Anom. Di sini kuda-kuda itu diperlukan. Apabila terjadi sesuatu, maka beberapa orang harus dengan cepat menyampaikan kabar itu ke Jati Anom.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia sudah tidak bertanya lagi. Ketika ia memandang ke kejauhan, maka dilihatnya sebuah dataran yang lepas menghijau jauh di bawah kakinya. Hutan yang tidak terlampau lebat, kemudian tanah yang coklat kehijauan. Jati Anom. Pasukan itu  pun menjalar menurut jalan kecil yang berkelok-kelok di sepanjang lereng Gunung Merapi, seperti seekor ular raksasa yang turun dari puncak gunung yang sedang terbakar. Dan ujung Gunung Merapi itu  pun sebenarnya sedang memerah seperti bara. Sinar matahari pagi telah mewarnai puncak Merapi itu dengan warna darah.
Di belakang pasukan yang meluncur lambat, berjalan Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah. Beberapa langkah di belakang mereka adalah Ki Tanu Metir. Mereka seolah-olah terpisah dari pasukan Wira Tamtama yang berjalan dalam barisan di hadapan mereka. Meskipun di lambung kedua anak-anak muda itu tergantung juga pedang, tetapi keduanya langsung dapat dibedakan dari para prajurit Wira Tamtama itu.
“Aku sebenarnya segera ingin pulang ke Sangkal Putung, Kakang,” berkata Sekar Mirah kepada Swandaru.
“Aku juga, Mirah. Sebenarnya aku gembira mendengar Kakang Agung Sedayu mengajak kita segera meninggalkan padepokan ini apa  pun alasannya. Tetapi ternyata kita masih harus merayap di belakang barisan ini.”
“Dan kita masih harus menunggu keramaian di Jati Anom berakhir. Apakah sebenarnya yang akan diadakan di dalam keramaian itu? Makan bersama atau wayang beber atau tayub?”
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya,
“Aku  pun tidak tahu. Tetapi maksudnya adalah, sekedar melepaskan ketegangan yang selama ini telah mencengkam hati kita masing-masing.”
“Tetapi aku belum terlepas dari ketegangan itu sebelum aku bertemu dengan ibu dan ayahku,” bantah Sekar Mirah.
“Ya, aku tahu, Mirah. Tetapi ini adalah sekedar sopan-santun untuk menunjukkan terima kasih kita. Maksud Kakang Untara adalah baik. Supaya kita ikut bergembira di dalam keramaian itu. Kegembiraan yang pasti akan berkesan di hati kita, terutama kau, Mirah, setelah kau terlepas dari tangan iblis-iblis itu.”
Sekar Mirah tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah kakaknya yang gemuk. Tetapi Swandaru itu sedang memandangi gerumbul-gerumbul liar di sebelah jalan yang sedang mereka lalui. Bahkan seolah-olah tidak mendengar kata-kata Agung Sedayu. Tetapi baik Sekar Mirah maupun Swandaru, bertanya di dalam hatinya,
“Kenapa Kakang Agung Sedayu kemarin dulu malam menjadi seperti orang bingung dan hampir-hampir membawa kami ke Sangkal Putung?”
Tetapi keduanya tidak mengucapkan pertanyaan itu. Keduanya menyimpannya di dalam hatinya.

Pasukan Pajang itu berjalan semakin lama semakin menurun. Jalan menjadi semakin berkelok-kelok, menyusup di antara batu-batu besar yang menjorok, seolah-olah menghadang di jalan yang akan mereka lalui. Perjalanan itu berlangsung dengan lancar. Tidak ada sesuatu yang menghalangi mereka, sehingga mereka pada saatnya sampai ke Jati Anom dengan selamat. Ki Demang Jati Anom menjadi sibuk menerima pasukan Pajang itu. Beberapa anak-anak muda menyambut pasukan itu dengan wajah berseri-seri. Apalagi ketika mereka melihat Untara dan Wuranta. Maka tanpa menghiraukan tata barisan lagi langsung mereka mendapatkan mereka.
“Kalian adalah anak-anak muda Jati Anom yang luar biasa,” berkata mereka sambil mengguncang-guncang lengan Untara dan Wuranta.
Untara sama sekali tidak ingin mengecewakan mereka, sehingga diserahkannya barisan Wira Tamtama Pajang itu kepada perwira bawahannya untuk mengaturnya. Sementara itu, ia melayani kawan-kawannya semasa kanak-kanak yang mengerumuninya bersama Wuranta. Kepada Wuranta, anak-anak muda itu berkata,
“Maafkan kami Wuranta. Kami tidak tahu apa yang sedang kau lakukan saat itu. Aku sangka kau terbujuk oleh orang-orang Tambak Wedi. Ternyata kau adalah seorang pahlawan bagi Jati Anom.”
“Ah,” Wuranta berdesah, tetapi ia tidak menjawab.
Salah seorang dari anak muda Jati Anom itu berkata,
“Kademangan ini telah dipersiapkan untuk menyambut kalian berdua. Untara dan Wuranta. Kalian berdua adalah anak-anak dari kademangan ini, dan kalian berdualah yang telah berhasil memusnahkan musuh kita itu.”
“Terima kasih,” Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang senapati, maka yang dilakukan itu adalah sebagian dari kewajibannya. Tetapi sekali lagi Untara tidak mau mengecewakan kawan-kawannya semasa kecil.
“Marilah, marilah,” ajak anak-anak muda itu,
“kami sudah menyediakan jamuan khusus buat kalian berdua di kademangan.”
“Terima kasih,” sahut Untara, “aku akan berada di antara anak buahku.”
“Mereka  pun telah mendapat sambutan secukupnya. Tetapi kami, kawan-kawan bermain semasa kanak-anak ingin menyambutmu secara khusus, sebelum sambutan resmi besok malam diadakan di pendapa kademangan.”
“Terima kasih,” jawab Untara dan Wuranta hampir bersamaan.
“Jangan kecewakan kami.”
Untara akhirnya tidak dapat menolak lagi. Dilingkari oleh anak-anak muda Jati Anom, mereka berdua dibawa langsung ke gandok sebelah Timur kademangan. Ketika mereka masuk ke dalamnya, maka mereka  pun segera tertegun. Ternyata di gandok itu telah tersedia makanan yang berlimpah-limpah. Nasi putih, beberapa buah ingkung ayam, dan lauk pauk beraneka rupa.
“Kami lah yang memasaknya,” berkata salah seorang anak muda Jati Anom.
“Kau?” bertanya Untara.
“Maksudku, anak-anak muda dan gadis-gadis. Kami masak khusus untuk kalian berdua, sedang perempuan-perempuan yang lain masak untuk para prajurit.”
Dada Untara menjadi berdebar-debar. Sambutan itu tidak disangka-sangkanya. Apalagi Wuranta. Terasa kerongkongannya justru menjadi kering.
“Mungkin masakan ini tidak seenak masakan yang disuguhkan bagi para prajurit. Tetapi aku kira inilah yang paling kami banggakan. Ini adalah ungkapan dari kegembiraan dan terima kasih kami, karena kalian berdua telah membebaskan kami dari ketakutan.”
“Bukan kami berdua. Bukan aku dan Wuranta,” sahut Untara,
“tetapi seluruh pasukan yang ada di sini, bahkan seluruh rakyat di Jati Anom.”
“Apa yang telah kami lakukan selain mengungsi?” bertanya salah seorang anak muda itu.
“Kalian telah mengungsi. Kalian tidak bersedia membantu orang-orang Sidanti dan orang-orang Sanakeling, itu adalah bantuan yang besar sekali bagi kami.”
“Ah,” desis salah seorang dari mereka,
“pujian itu berlebih-lebihan. Tetapi baiklah, kami senang mendengarnya, Sekarang, marilah. Makanlah. Kalian pasti sedang lapar dan haus.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Wuranta. Katanya,
“Kita tidak dapat menolak, Wuranta.”
Sentuhan-sentuhan di dada Wuranta masih terasa mendebarkan jantungnya. Perlahan-lahan ia menganggukkan kepalanya,
“Kita tidak dapat menolak.”

Mereka  pun kemudian duduk di antara anak-anak muda itu. Terdengar di sana-sini suara mereka tertawa. Sementara itu para prajurit  pun telah di tempatkan di tempat yang telah disediakan. Pendapa, gandok yang sebelah, dan beberapa rumah di sekitar kademangan itu. Tetapi karena kesibukan masing-masing, maka baik Untara maupun perwira yang diserahinya, tidak ingat lagi bahwa di antara mereka terdapat Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah. Sehingga dengan demikian, ketika para prajurit Pajang telah mendapat tempatnya masing-masing, maka Ki Tanu Metir, kedua muridnya, dan Sekar Mirah itu masih berada di halaman kademangan. Sejenak mereka berdiri termangu-manggu. Prajurit-prajurit Pajang yang berada di halaman itu semakin lama menjadi semakin tipis, karena masing-masing segera pergi ke pondok yang telah disediakan untuk beristirahat.
“Kemanakah kita pergi?” bertanya Sekar Mirah kepada kakaknya.
Swandaru tidak menjawab, tetapi ia berpaling memandangi Agung Sedayu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, namun ia  pun tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Karena Swandaru dan Agung Sedayu tidak menjawab, maka Sekar Mirah berkata pula,
“Apakah kita memang tidak masuk hitungan, Kakang?”
“Ah,” Ki Tanu Metir-lah yang menyahut,
“jangan berpikir begitu, Ngger. Suasana di kademangan ini masih berada dalam keadaan perang. Sehingga semua perhatian bercurah kepada para prajurit dan kelengkapannya. Tetapi aku yakin, bahwa mereka sama sekali tidak bermaksud apa-apa terhadap kita. Ini adalah suatu kekhilafan yang tidak disengaja saja.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Dan kita harus berdiri saja di sini menunggu seseorang mempersilahkan kita?”
Ki Tanu Metir tidak segera menjawab. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Ia melihat beberapa orang perwira sibuk mengurus para prajurit itu serta beberapa pimpinan kademangan mengatur tempat dan perlengkapannya.
“Marilah kita duduk di gardu itu sebentar. Di sini semakin lama menjadi semakin panas.”
Sekar Mirah menggelengkan kepalanya,
“Aku akan tetap berdiri di sini sampai seseorang mempersilahkan aku.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 026                                                                                                       Jilid 028 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar