SWANDARU menjadi heran melihat sikap itu. Tetapi kemudian ia pun menyadarinya pula, sehingga tiba-tiba saja sikapnya pun menjadi lain. Dengan nada yang datar ia berkata,
“Mirah. Kau di
sini bukan berada di rumahmu sendiri. Kau harus mencoba menyesuaikan dirimu.”
Gupita melihat
sikap kedua anak-anak muda yang tiba-tiba menjadi kaku itu. Karena itu, maka
ia pun mencoba untuk mengatasi keadaan,
“Marilah kita
teruskan perjalanan yang tinggal beberapa langkah ini.”
Pandan Wangi
berpaling kepadanya. Dan Gupita pun
berkata pula,
“Berjalanlah
dahulu. Kaulah yang akan mempersilahkan tamu-tamu kami.”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Tetapi kudanya melangkah lambat mendahului yang lain. Di
belakangnya Gupita dan Sumangkar tidak lagi berada di punggung kuda. Mereka pun
berloncatan turun dan berjalan bersama-sama dengan Sekar Mirah dan Gupala. Pandan
Wangi lah yang mendahului masuk ke halaman rumahnya. Didapatinya Samekta dam
Kerti berdiri gelisah di tangga pendapa.
“Hem, kau
Wangi,” desis Samekta.
“Dapat saja
kau membuat orang-orang tua berdebar-debar. Dari mana kau, he?”
Pandan Wangi
tidak menjawab pertanyaan itu. Tetapi ia langsung memberitahukan kehadiran dua
orang tamu, yang salah seorang di antaranya adalah adiknya Gupita.
“Yang
seorang?” bertanya Samekta.
“Gurunya,”
jawab Pandan Wangi,
“seorang yang
pasti luar biasa seperti gembala bercambuk itu. Muridnya yang bernama Sekar
Mirah, mempunyai kemampuan yang cukup tinggi.”
Samekta
mengerutkan keningnya Kemudian ia pun bertanya,
“Apakah
keperluannya? Tanah Perdikan ini sudah mulai tenang. Apakah mereka akan ikut
mengguncang-guncangnya lagi?”
“Tidak,
Paman,” jawab Pandan Wangi.
“Menilik
pembicaraan mereka, agaknya mereka sedang mencari Gupala yang sebenarnya
bernama Swandaru.”
“He?”
“Itulah
mereka,” berkata Pandan Wangi ketika ia melihat Gupita dan tamu-tamunya
memasuki regol.
Samekta
sejenak berdiri mematung.
“Sambutlah,
Paman. Paman adalah wakil ayah saat ini, sebelum ayah dapat menemui mereka.”
“O,” Samekta
tersadar, “marilah,” ajaknya kepada Kerti.
Keduanya pun kemudian menyongsong kedatangan tamu
mereka, seorang gadis dengan gurunya yang bernama Sumangkar itu. Ketika Sekar
Mirah melihat Samekta dan Kerti menyongsongnya, maka ia pun bertanya kepada
kakaknya,
“Yang manakah
yang bernama Ki Gede Menoreh?”
“Bukan
kedua-duanya,” jawab Swandaru.
“Tetapi yang
satu, yang di depan itu adalah tetua Tanah Perdikan ini sesudah Ki Argapati.
Ialah yang menerima kepercayaan untuk melakukan tugas-tugas pemerintahan.
Sedang untuk tugas-tugas yang menyangkut keamanan sebagian terbesar diletakkan
pada puterinya itu.”
“Pantas,”
desis Sekar Mirah.
“Kenapa?”
“Gadis itu
luar biasa.”
“Darimana kau
tahu?”
Sekar Mirah
tidak menjawab. Tetapi Sumangkar yang mendengar percakapan itu tersenyum. Namun
ia tidak sempat menyahut. Sedang Gupita yang meskipun mendengar pula, tetapi ia
pura-pura tidak mendengarnya sama sekali. Gupita lah yang kemudian
memperkenalkan tamu-tamunya kepada Samekta dan Kerti. Keduanya kemudian
mempersilahkan Sumangkar dan muridnya untuk naik ke pendapa.
“Di sini
tinggal seorang gembala yang aneh,” berkata Samekta kemudian,
“yang menurut
pengakuannya adalah ayah Gupala dan Gupita. Tetapi sejak semula aku sudah
ragu-ragu. Apakah Ki Sumangkar mengenalnya?”
“Siapa?”
bertanya Sumangkar.
“Bertanyalah
kepada Gupita dan Gupala, siapakah sebenarnya orang yang mengaku ayahnya itu.
Seorang gembala yang bersenjata cambuk.”
Sumangkar
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
tersenyum. Ia tahu benar siapakah yang dimaksud oleh Samekta itu. Karena itu ia
menjawab,
“Apakah yang
kalian maksud seorang gembala tua bersenjata cambuk, tetapi juga seorang
dukun?”
“Tepat,” sahut
Kerti.
“Dukun itulah
yang mengobati luka-luka Ki Argapati dengan cermatnya, sehingga agaknya luka,
itu akan segera dapat sembuh.”
Sumangkar
mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
“Tentu aku
mengenalnya. Di manakah gembala itu sekarang?”
“Ia ada di
dalam.” Kemudian katanya kepada Gupita,
“apakah kau
tidak mengundang ayahmu supaya ikut menemui tamu kita di sini?”
Gupita
tersenyum. Jawabnya,
“Baiklah. Aku
akan mengundangnya untuk ikut menemui Ki Sumangkar.”
Gupita pun
kemudian masuk ke pringgitan. Gembala tua itu sedang duduk di dalam bilik Ki
Argapati.
Dengan
hati-hati Gupita menjengukkan kepalanya di pintu yang terbuka. Kemudian
mengangguk sambil bertanya,
“Apakah aku
dapat masuk?”
“Masuklah,”
desis gembala itu perlahan-lahan.
Gupita pun segera masuk dengan hati-hati pula.
“Siapakah yang
masuk?” bertanya Ki Argapati dengan nada datar.
“Gupita, Ki
Gede. Anakku.”
“O, apakah,
ada keperluan dengan aku?”
“Tidak, Ki
Gede,” sahut Gupita perlahan-lahan.
“Aku hanya
sekedar menemui ayah untuk menyampaikan pemberitahuan.”
“Ada apa?”
bertanya gembala itu.
“Ada tamu,
Ayah.”
“Siapa?”
“Ki Sumangkar
bersama Sekar Mirah, yang agaknya telah diangkat menjadi muridnya.”
Gembala itu
mengerutkan keningnya, namun kemudian ia tertawa.
“Baik. Baik,
aku akan menemuinya.” Kemudian kepada Ki Gede yang terluka itu gembala tua itu
berkata,
“Ki Gede,
seorang saudaraku datang berkunjung kemari. Aku minta diri sejenak untuk menemuinya.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya,
“Apakah Pandan
Wangi sudah kembali? Bukankah ia pergi bersamamu, Gupita. Ia minta ijin
kepadaku. Tetapi menurut Ki Samekta, ia belum datang sehingga menimbulkan
kegelisahan.”
“Ya, Ki Gede,”
jawab Gupita,
“tetapi ia
sudah datang bersama aku. Ia berada di pendapa menemui tamu-tamu kami bersama
Ki Samekta dan Ki Kerti.”
“Kemana saja
kalian pergi?”
“Kami hanya
sekedar melihat-lihat daerah Tanah Perdikan ini. Tetapi kami bertemu dengan Ki
Sumangkar di perjalanan, sehingga kami bersama-sama kembali ke rumah ini.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Syukurlah,
kalau tidak terjadi sesuatu di perjalanan.”
“Tidak, Ki
Gede.”
“Sekarang
silahkan, kalau kalian ingin menemui tamu-tamu kalian,” berkata Ki Argapati
kemudian.
“Ya, Ki Gede,
kalau Ki Gede tidak berkeberatan, Ki Sumangkar pun akan menemui Ki Gede pula.
Tidak ada persoalan apa pun yang akan dibicarakan, selain memperkenalkan
dirinya.”
“Tentu aku
sama sekali tidak berkeberatan.” Ki Gede berhenti sejenak, kemudian,
“Tetapi
siapakah Ki Sumangkar itu?”
“Ia pernah
menjadi seorang penghuni Kepatihan Jipang. Ki Sumangkar sebenarnya adalah
saudara seperguruan Ki Patih Mantahun yang terbunuh di peperangan antara Jipang
dan Pajang.”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya.
“Tetapi,”
gembala itu meneruskan,
“Sumangkar
telah mendapat pengampunan, karena ia tidak banyak terlibat dalam masalah
Jipang dan Pajang.”
Ki Argapati
kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Saudara
seperguruan Patih Mantahun, bukanlah orang kebanyakan.”
Gembala tua
itu tersenyum, “Demikianlah kiranya, Ki Gede.”
“Baik, baik.
Aku akan menerimanya dengan senang hati.”
Sejenak
kemudian maka Gupita pun mengikuti
gurunya keluar dari bilik Ki Argapati. Di ruang tengah mereka berpapasan dengan
Pandan Wangi.
“Kemana,
Wangi?” bertanya Gupita.
“Menyiapkan
minuman untuk tamu-tamu kita.”
“O,” Gupita
mengangguk-angguk, lalu,
“ayahmu
agaknya menjadi gelisah pula.”
“Kenapa?”
“Kita
terlampau lama pergi,” sambung Gupita. Lalu diberitahukannya apa yang sudah
dikatakan kepada Ki Gede tentang kepergian mereka berdua.
“Jangan
salah,” pesan Gupita kepada Pandan Wangi,
“kalau kau
ingin berceritera, sesuaikan ceriteramu dengan ceriteraku.”
Pandan Wangi
mengangguk.
“He,” tegur
gembala tua,
“darimanakah
sebenarnya kalian? Jadi apa yang kau katakan kepada Ki Argapati tidak benar?”
“Bukan tidak
benar,” jawab Gupta,
“tetapi tidak
lengkap. Masih ada beberapa hal yang belum kami katakan sekarang.”
Gembala tua
itu menarik nafas. Gumamnya,
“Anak-anak
muda sekarang kadang-kadang memang membuat orang-orang tua kebingungan.”
Gupita tidak
menjawab. Ia mengikut saja di belakang gurunya ketika gurunya meneruskan
langkahnya ke pendapa, sedang Pandan Wangi pergi ke dapur untuk mengatur jamuan
bagi tamu-tamunya, sebelum ia pergi ke bilik ayahnya. Pertemuan antara dua
orang tua-tua di pendapa rumah itu merupakan pertemuan yang meriah. Dengan nada
yang tinggi Sumangkar berkata,
“Apakah Kiai
selamat selama kita tidak bertemu? Dan bagaimanakah kabar tentang
kambing-kambingmu?”
Gembala tua
itu pun tertawa. Sambil membungkuk dalam-dalam ia menjawab,
“Kami selamat
semua di sini. Bagaimana dengan kalian, dan Ki Demang Sangkal Putung suami
isteri?”
Sumangkar pun tertawa
pula. Ia mengenal orang tua itu dengan seribu nama dan seribu warna. Kali ini
ia menjadi seorang gembala dengan kedua anak-anaknya.
“Selamat, Kiai,”
jawab Sumangkar kemudian.
“Ki Demang dan
Nyai Demang Sangkal Putung dan seluruh rakyatnya dalam keadaan selamat.
Kademangan Sangkal Putung telah mulai berkembang kembali, setelah sekian lama
dibayangi oleh ketakutan.”
“Syukurlah.
Dan kini Adi Sumangkar sempat berjalan-jalan sampai ke daerah ini.”
“Ya,” jawab
Sumangkar,
“Ki Demang
Sangkal Putung mengharap Angger Swandaru segera kembali. Kini Sangkal Putung
telah diserahkan seluruhnya kepada Sangkal Putung sendiri. Pasukan Pajang sama
sekali sudah ditarik.”
“Angger
Widura?”
“Sudah ditarik
pula.”
“Jadi Paman
sudah tidak berada lagi di Sangkal Pulung?” bertanya Gupita.
“Tidak,” jawab
Sumangkar,
“Sangkal
Putung sudah dianggap dapat menjaga dirinya sendiri.”
“Dan Kiai
masih saja berada di Sangkal Putung itu?”
“Ya,” sahut
Sumangkar,
“aku diijinkan
tinggal. Tetapi setiap saat aku dipanggil, aku harus datang ke Pajang.”
“Kalau Kiai
tidak berada di tempat seperti sekarang ini?”
“Aku sudah
mendapat ijin.”
Gupita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya Sumangkar masih belum memiliki
kebebasannya sepenuhnya. Dan orang tua itu berkata pula,
“Tetapi, aku
hampir tidak dapat mengenal lagi daerah sebelah Barat Sangkal Putung. Sejak
meninggalkan Prambanan, kami merasakan perubahan yang pasti telah menjadi di
sebelah Barat. Hutan Tambak Baya rasa-rasanya sudah tidak singup lagi. Sebuah
jalan telah dibuka, dan berbagai padukuhan kecil telah dihuni orang. Semakin ke
Barat, yang menurut pengenalan kami sebelumnya semakin pepat, karena daerah itu
mendekati Alas Mentaok, namun ternyata justru menjadi semakin ramai. Agaknya
Alas Mentaok telah dibuka. Dan menurut pendengaran kami, yang membuka alas
Mentaok itu adalah Ki Gede Pemanahan dengan puteranya, Mas Ngabehi Loring
Pasar.”
Gembala tua
beserta anak-anaknya mengerutkan keningnya. Demikian juga Samekta dan Kerti.
“Apakah Alas
Mentaok sudah menjadi sebuah kota yang ramai?”
“Belum dapat
disebut sebuah kota,” berkata Sumangkar,
“tetapi sebuah
padukuhan yang besar, meskipun masih belum teratur. Namun setiap hari
berdatangan orang-orang baru dari daerah di sekitarnya, dan menetap menjadi
penghuni-penghuni baru dari padukuhan yang semakin lama semakin besar itu.
Lebih dari itu, mereka yang mengenal siapakah Ki Gede Pemanahan dan siapakah
Sutawijaya itu pun segera mengarahkan pandangan matanya kepada mereka.
Padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan besar yang baru itu, secara diam-diam
mengakui bahwa Ki Gede Pemanahan dan puteranya, akan dapat memberikan bimbingan
kepada mereka, sehingga mereka telah berkiblat ke padukuhan yang baru itu.
Mereka tiba-tiba merasa, bahwa mereka menjadi terlampau jauh dari Pajang.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi aku
tidak tahu, apalagi yang sudah berkembang di daerah itu, karena aku hanya
sekedar lewat.”
Gembala itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagaimanakah
dengan padukuhan-padukuhan di sebelah Timur Alas Mentaok itu sendiri. Prambanan
dan Sangkal Putung sendiri misalnya?”
“Alas Mentaok
baru menjadi dongeng di daerah kami, Sangkal Putung. Tetapi sekali pernah
datang Angger Widura dan beberapa orang perwira yang lain. Mereka berbicara
dengan Ki Demang tentang perkembangan daerah baru itu.”
“Apa kata
mereka?”
Sumangkar
menggeleng, “Aku tidak tahu.”
“Aku mendengar
sedikit,” berkata Sekar Mirah.
“Apa kata
mereka?”
“Kakang Untara
mendapat tugas langsung untuk mengawasi daerah Selatan.”
Terasa dada
Gupita berdesir mendengar jawaban itu. Sejak semula mereka yang berada di
Menoreh telah menduga, bahwa senapati muda itulah yang akan mendapat tugas yang
berat itu.
“Tetapi
selanjutnya kami tidak tahu.”
Setiap orang
yang mendengarkan ceritera itu hanya sekedar mengangguk-anggukkan kepala
mereka, sehingga pada suatu saat Pandan Wangi datang dengan nampan kayu di
tangannya, membawa minuman bagi tamu-tamu yang baru datang itu. Sejenak
kemudian, mereka pun telah meneguk air
hangat dan menikmati makanan yang dihidangkan untuk mereka. Sedang pembicaraan
mereka pun telah berkisar tanpa sesadar mereka. Dengan demikian, maka tamu-tamu
yang bermalam di rumah itu pun menjadi bertambah dengan dua orang. Mereka di
tempatkan di gandok, kecuali Sekar Mirah, yang mendapat tempat di ruang dalam. Namun
dengan demikian, setiap kali Sekar Mirah pasti melihat bagaimana Pandan Wangi
berusaha melayani kakaknya sebaik-baiknya, meskipun masih tetap di dalam
pengawasan yang ketat.
Meskipun
Sidanti sendiri tetap acuh tak acuh terhadap siapa pun, tetapi Pandan Wangi
sama sekali tidak berkecil hati. Ia bersikap baik dan teliti, seperti juga
terhadap pamannya. Namun terasa oleh Pandan Wangi, bahwa sikap kakaknya dan
pamannya kini telah menjadi jauh berlainan. Hati pamannya yang sekeras batu
padas itu semakin lama akan semakin dapat dilunakkan. Tetapi agaknya tidak
begitu mudah bagi Sidanti. Tetapi Pandan Wangi dapat mengerti. Argajaya adalah
adik kandung Argapati, sedang sejak kelahirannya, Sidanti telah dipisahkan oleh
jarak yang seakan-akan tidak akan terseberangi lagi dari Kepala Tanah Perdikan
Menoreh itu, meskipun hal itu belum lama disadarinya. Meskipun demikian, Pandan
Wangi tidak segera berputus asa. Meskipun kadang-kadang ia harus menitikkan air
matanya. Betapa besar dendam yang membara di dada Sekar Mirah terhadap Sidanti,
namun sikap Pandan Wangi menumbuhkan iba juga di hatinya. Setiap kali ia
melihat betapa Pandan Wangi seakan-akan diguncang-guncang oleh perasaannya. Ia
berdiri di persimpangan yang sangat sulit. Argapati adalah ayahnya. Ayah yang
dicintai dan mencintanya. Sedang Sidanti adalah kakaknya, yang dilahirkan oleh
ibunya pula. Kakak yang telah banyak menolongnya sejak ia masih kanak-kanak
hingga api permusuhan antara ayah dan kakaknya itu sudah mulai kemelut.
“Kalau Kakang
Sidanti tetap berkeras hati dan Ayah kemudian kehilangan kesabarannya, maka
hatiku pasti akan semakin hancur.” desisnya kepada diri sendiri.
Dengan
hadirnya Sekar Mirah, Pandan Wangi merasa mendapat seorang kawan. Meskipun
kadang-kadang ia tidak dapat mengerti sifat kawan barunya, adik Gupala yang
juga ternama Swandaru itu, namun sedikit banyak ia mendapat tempat untuk
mengungkapkan perasaannya.
Atas nasehat
Gupita, Gupala, dan gurunya, Sekar Mirah berusaha menyesuaikan dirinya dengan
cara hidup Pandan Wangi, meskipun kadang-kadang ia harus memaksa diri.
Sebenarnya Sekar Mirah tidak begitu telaten menenggang perasaan seperti gadis
puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Menurut Sekar Mirah, apabila Sidanti
memang berkeras kepala, apa salahnya kalau ia dihukum mati saja meskipun menurut
pengertiannya ia adalah putera Argapati sendiri.
“Jangan
berkata begitu kepada Pandan Wangi,” Agung Sedayu mencoba menasehatinya.
“Gadis itu
terlampau cengeng.”
“Bukan, bukan
terlampau cengeng, tetapi perasaannya sangat lembut meskipun ia mampu bertempur
dengan sepasang pedangnya di peperangan.”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya. Tetapi ia mencoba untuk menahan hatinya. Ia mencoba
seolah-olah ia mengerti dan menampung perasaan gadis Menoreh yang lembut itu. Tetapi
di hadapan Swandaru, Sekar Mirah masih juga berkata sambil mencibirkan
bibirnya,
“He, kaukah
yang berkata kepadaku dahulu di Sangkal Putung, bahwa kau akan kembali sambil
menjinjing kepala Sidanti?”
“Hus, jangan
begitu, Mirah. Hati-hatilah sedikit dengan kata-katamu. Kami semua tidak akan
dapat berkata begitu lagi. Kita berhadapan dengan orang-orang yang lain
daripada orang-orang Tohpati dan bahkan Sidanti sendiri.”
Sekar Mirah
tersenyum. Jawabnya,
“Aku mengerti.
Mereka mencoba untuk menjadi pahlawan-pahlawan yang luhur budi, yang mengampuni
segala kesalahan orang lain, agar dirinya sendiri mendapat pujian atas kebaikan
hati itu.”
“Begitukah
caramu memandang sikap Ki Argapati, Pandan Wangi, dan orang-orang lain lagi?
Apa katamu terhadap Kakang Untara dan Ki Gede Pemanahan yang telah mengampuni Ki
Sumangkar, yang sekarang menjadi gurumu?” bertanya Swandaru.
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan kakaknya.
“Sudahlah.
Jangan kita persoalkan lagi. Kau coba menyesuaikan dirimu. Setidak-tidaknya kau
harus menjadi tamu yang baik.”
“Kau sekarang
memandang aku menurut caramu,” berkata Sekar Mirah,
“tetapi aku
tidak boleh memandang sikap orang lain menurut caraku. Sekarang di dalam
pandanganmu aku selalu bersalah, sedang gadis Menoreh itu selalu benar, karena
kau sudah jatuh cinta kepadanya.”
“Hus.”
“Karena
Sidanti adalah kakak gadis yang kau cintai itu, maka kau pun telah merubah
niatmu untuk membalas sakit hatimu. Bukankah kau sudah dua atau tiga kali
dipukulnya?”
“Sudahlah.
Jangan ribut. Lihat, itu Pandan Wangi mencari kau. Ia membutuhkan seorang kawan
yang dapat diajaknya membagi duka. Kau adalah adikku, sehingga kau harus
membantu aku, agar ia tidak benci kepadaku.”
“Bukankah
ternyata bahwa kita masing-masing mementingkan diri kita sendiri?”
“Ya. Aku tidak
ingkar.”
Sekar Mirah
menjadi bersungut-sungut. Tetapi ia menyongsong Pandan Wangi yang pergi ke
arahnya. Keduanya pun kemudian berjalan bergandengan ke belakang rumah sambil
bercakap-cakap dengan akrabnya. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
harapannya kini menjadi kian membara di dalam dadanya. Kalau Sekar Mirah dapat
membantunya, maka kemungkinan untuk mempertautkan hatinya kepada gadis itu akan
berhasil.
Dari hari ke
hari, maka luka Ki Argapati pun kian menjadi baik. Dengan sangat hati-hati dan
lambat laun Ki Argapati mencoba untuk bangkit dan duduk. Gembala tua itu pun
dengan telaten selalu menungguinya apabila Ki Argapati mulai dengan
perkembangan baru sesuai dengan kesehatannya yang menjadi semakin baik.
“Aku sudah
merasa seakan-akan aku sudah sehat sama sekali,” desisnya.
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tampak sesuatu mengganggu
pikirannya.
“Kiai,”
berkata Ki Argapati,
“bagaimana
menurut pendapat Kiai dengan keadaanku kemudian? Apakah aku akan dapat pulih
kembali seperti sediakala?”
Gembala itu
merenung sejenak.
“Berkatalah
terus terang. Aku bukan anak-anak lagi.”
“Ki Gede,”
berkata gembala tua itu,
“aku tidak
dapat mengatakan dengan pasti. Meskipun aku tetap berusaha. Namun agaknya ada
sesuatu yang kurang pada Ki Gede sekarang, sehingga untuk dapat pulih kembali
seperti sediakala, agaknya memerlukan waktu yang sangat panjang.”
Ki Argapati
memandang wajah gembala tua itu dengan saksama. Tetapi dari sorot matanya
terpancar hatinya yang sudah pasrah kepada pepesten, kepada keharusan yang
tidak akan dapat dielakkannya lagi. Karena itulah maka Ki Argapati tidak lagi
menjadi gelisah dan cemas, apa pun yang akan terjadi atasnya. Seandainya ia
tidak akan dapat pulih kembali sekalipun. Yang terutama menjadi persoalan di
dalam hatinya adalah justru Tanah Perdikan Menoreh. Kalau ia tidak kuasa lagi
memimpin tanah ini dan tidak ada orang lain yang dapat dipercayainya, maka
Tanah yang kini tinggal abunya ini tidak akan dapat tumbuh dan berkembang
kembali. Samekta dan Kerti memang dapat memimpin pemerintahan dalam arti yang
sangat sempit. Tetapi untuk mengembangkan apa yang masih tersisa untuk mencapai
tingkat yang diharapkan agaknya akan banyak menjumpai kesulitan.
“Tanah ini
memerlukan orang kuat,” berkata Ki Argapati di dalam hatinya.
Sekilas terlintas
di angan-angannya satu-satunya anaknya Pandan Wangi. Kepadanyalah Ki Argapati
menumpahkan segala harapannya.
“Tetapi ia hanya
seorang gadis,” desisnya,
“bagaimana pun
juga nalarnya kadang-kadang terdesak oleh perasaannya.”
“Kiai,”
berkata Ki Argapati kepada gembala tua itu,
“bagaimana pun
juga aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepadamu dan kedua
anak-anakmu.”
Gembala tua
itu pun tersenyum.
“Tetapi,”
berkata Ki Argapati,
“aku masih
ingin mendapat pertimbanganmu Kiai.”
Gembala tua
itu mengerutkan keningnya.
“Apakah yang
sebaiknya aku lakukan atas Argajaya dan Sidanti?” bertanya Ki Argapati
kemudian.
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam. Kedua orang itu adalah termasuk dalam keluarga
Ki Argapati. Karena itu maka sulitlah baginya untuk menyatakan sikapnya.
Apalagi bahan-bahan yang ada padanya tentang hubungan kekeluargaan dan sikap
Argajaya dan Sidanti atas Menoreh sebelumnya terlampau sedikit.
“Ki Gede,”
berkata gembala itu,
“kalau aku
boleh berterus terang, aku tidak dapat menyatakan apa pun tentang kedua anggota
keluarga terdekat Ki Gede itu. Ki Argajaya adalah adik kandung Ki Gede, sedang
Sadanti adalah putera Ki Gede.”
“Kau benar
Kiai, tetapi apakah katamu setelah kau melihat sikap mereka kini? Menurut
laporan yang aku terima, agaknya Argajaya sempat melihat kepada dirinya
sendiri. Kepada apa yang sudah dilakukannya. Ia sempat memisahkan mana yang
salah dan mana yang benar. Tetapi agaknya Sidanti masih tetap berkeras hati.”
Gembala tua itu
menganggukkan kepalanya,
“Ya Ki Gede.
Memang demikanlah agaknya. Aku memang menjadi heran justru Angger Sidanti sama
sekali tidak mau mengerti akan kedudukannya, meskipun gurunya sudah meninggal.”
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Ia menduga bahwa gembala tua itu belum tahu,
hubungan yang sebenarnya antara dirinya dan anak muda yang keras hati itu.
“Itulah yang
membuat aku berprihatin,” desis Ki Argapati.
“Ki Gede,”
berkata gembala tua itu,
“aku kira ada
jalan yang dapat Ki Gede tempuh. Tetapi sudah tentu itu bukan satu-satunya.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Bagaimana
kalau Ki Gede memanggil mereka, dan berbicara langsung dari hati ke hati? Ki
Gede akan dapat bertanya kepada mereka, bagaimanakah sikap mereka sekarang.”
Ki Gede menarik
nafas dalam-dalam. Katanya,
“Aku memang
sudah berpikir demikian. Aku memang berhasrat untuk memanggil mereka. Tetapi
sudah tentu tidak bersama-sama.”
“Aku kira
memang itu adalah jalan yang sebaik-baiknya. Kini di rumah ini ada dua orang
tamu, yang apabila diperlukan dapat membantu Ki Gede dengan pendapat-pendapatnya
pula. Terutama Adi Sumangkar.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Sesudah aku
bertemu dengan keduanya berganti-ganti, aku memang mungkin memerlukan
pendapat-pendapat itu.”
“Aku kira
mereka tidak akan berkeberatan.”
“Tetapi
bukankah kalian masih akan tinggal di Tanah Perdikan ini untuk waktu yang tidak
terlampau pendek?”
“Kami berharap
bahwa kami akan segera dapat minta diri, Ki Argapati. Perkembangan di sebelah
Timur Kali Praga agaknya memerlukan perhatian. Alas Mentaok yang kini sudah
menjadi semakin ramai ternyata menjadi pusat perhatian seluruh kerajaan Pajang.
Bahkan daerah di sekitarnya kini seakan-akan telah berpaling ke daerah baru
itu.”
Ki Argapati
menganggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba ia berkata,
“Bagaimana
dengan Ki Ageng Mangir?”
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil menggelengkan kepalanya ia menjawab,
“Aku tidak
tahu.”
Ki Argapati
merenung sejenak. Tetapi menurut pengenalannya atas Ki Ageng Mangir, agaknya
pemimpin Tanah Perdikan di Mangir itu pun tidak akan banyak mengambil peranan
di dalam perubahan keadaan yang tidak akan dapat dielakkan lagi. Entahlah
apabila Ki Ageng Mangir itu sudah tidak mampu lagi memimpin pemerintahan, dan
yang kelak akan menyerahkan pimpinan kepada puteranya. Mungkin puteranya yang
kini masih kecil itu akan bersikap lain apabila ia mendengar riwayat
perkembangan Tanah Perdikannya dan hadirnya suatu daerah baru di Alas Mentaok
yang lebih muda dari Tanah Perdikannya.
“Kiai,” berkata
Ki Argapati kemudian,
“apalagi
menghadapi keadaan yang berkembang terus di sebelah Kali Praga. Tanah Perdikan
ini sendiri memerlukan seorang yang kuat. Apabila aku tidak dapat melakukan
tugasku dengan baik, maka aku menjadi cemas, bahwa Tanah Perdikan yang kini
seakan-akan menjadi lumpuh ini tidak dapat mengikuti perkembangan keadaan,
sehingga akhirnya justru ditelan oleh pergeseran yang terjadi di luar Tanah ini
sendiri. Apalagi apabila selama ini, kami keluarga Tanah Perdikan ini masih
belum dapat mengatasi goncangan-goncangan keadaan yang telah timbul sebagai
akibat api yang baru saja membakar Tanah ini.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Karena itu,
aku memanggil Argajaya segera. Kemudian Sidanti. Aku harus mendapat kepastian,
apakah mereka akan ikut serta, atau harus kita tinggalkan.”
Gembala tua
itu masih mengangguk-angguk. Memang tidak ada jalan lain daripada berbicara
langsung dengan keduanya. Baik Argajaya maupun Sidanti.
“Tetapi,”
berkata gembala itu,
“apakah Ki
Gede tidak menunggu keadaan Ki Gede menjadi semakin baik?”
“Kapan, Kiai?”
jawab Ki Argapati.
“Kalau aku
masih harus menunggu lagi, maka aku kira Tanah Perdikan ini akan banyak
kehilangan waktu.”
Gembala tua
itu tidak menjawab, ia mengerti bahwa Ki Argapati harus bertindak cepat.
Apabila Ki Argapati sudah mempunyai keputusan, apakah yang sebaiknya dilakukan
atas Argajaya dan Sidanti, maka ia pun akan segera dapat membuat rencana bagi
keseluruhan Tanah Perdikannya, meskipun masih banyak masalah yang harus di
atasinya. Putera Ki Argajaya yang masih berkeliaran dengan beberapa orang yang
keras kepala, tanah yang kering karena parit-parit yang rusak, persediaan
makanan yang menipis, dan panen yang harus segera dapat diusahakan untuk
mengatasi kekurangan bahan makanan akibat peperangan. Menoreh memang harus
mengadakan perbaikan di segala bidang, terutama mengembalikan kepercayaan
rakyat kepada pemimpinnya. Dalam keadaannya, Ki Gede pasti tidak akan dapat
bekerja selincah sebelumnya. Badannya sudah tidak memungkinkan lagi meskipun
bukan berarti bahwa Ki Gede harus selalu berada di pembaringan.
“Kiai,” berkata
Ki Gede Menoreh kemudian,
“aku ingin
bertemu dengan Argajaya. Tetapi maaf, aku kira lebih baik tidak seorang pun
yang mendengarkan pembicaraan kami. Bukan karena aku tidak percaya kepada siapa
pun juga terutama kepada Kiai, tetapi aku menjaga agar Argajaya dapat berkata
dengan hati terbuka.”
Gembala itu
mengerutkan keningnya. Namun katanya,
“Ki Gede
memerlukan saksi meskipun hanya seorang. Saksi itu bukan orang lain, tetapi
sebaiknya adalah Angger Pandan Wangi.”
Ki Argapati
merenung sejenak. Katanya,
“Apakah,
kehadiran Pandan Wangi tidak justru mengganggu?”
“Menurut
pendapatku tidak, Ki Gede. Pandan Wangi adalah puteri Ki Gede yang diharap
kelak akan berperanan di dalam pemerintahan.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Baiklah. Aku
sependapat. Aku minta tolong sama sekali, apakah Kiai dapat membawa keduanya
kemari?”
“Maksud Ki
Gede aku harus membawa Angger Pandan Wangi dan Ki Argajaya?”
“Ya.”
Gembala itu
merenung sejenak. Kemudian,
“Sebaiknya
biarlah Angger Pandan Wangi sajalah yang membawa pamannya kemari?”
“Tetapi
Argajaya adalah seorang yang keras kepala. Meskipun menurut laporan yang kami
terima, orang itu sudah menjadi agak lunak, tetapi aku belum mempercayainya
sepenuhnya.”
Gembala itu
tidak segera menjawab.
“Bagaimana
kalau tiba-tiba timbul niatnya untuk melakukan perbuatan yang tidak terpuji?”
“Ki Gede, kami
akan mengawasi dari kejauhan.”
“Argajaya
dapat berbuat cukup cepat.”
“Tetapi Angger
Pandan Wangi adalah seorang gadis yang cukup terlatih, ia mempunyai kemampuan
yang seandainya terpaut, tidak terlampau banyak dari Ki Argajaya. Karena itu,
setidak-tidaknya ia mempunyai kesempatan bertahan sampai kami datang mendekati
mereka.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku sependapat,
Kiai,” katanya kemudian,
“tetapi aku
titipkan keselamatan Pandan Wangi kepadamu.”
Gembala itu
mengangguk, “Ya. Aku akan mencoba.”
“Baiklah. Aku menunggu
kedatangan Argajaya dan Pandan Wangi.”
Gembala tua
itu pun kemudian minta diri. Ditemuinya
Pandan Wangi, dan diberitahukannya maksud ayahnya untuk berbicara langsung
dengan Ki Argajaya.
“Bagus,”
Pandan Wangi menjawab dengan serta-merta,
“sudah lama
aku memikirkan hal itu. Sebaiknya ayah memang berbicara langsung apabila
keadaannya sudah memungkinkan.”
“Ya, Ngger.
Aku juga mengharap bahwa segala sesuatunya akan segera selesai.”
“Lalu?”
“Kami sudah
terlampau lama di sini. Aku dan anak-anakku harus kembali menyeberang Kali
Praga dan Alas Mentaok.”
“Bukankah Alas
Mentaok sudah mulai ramai?”
“Kami masih
harus membuktikan.”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Sekilas terbayang kedua anak-anak muda yang mengaku anak
gembala tua itu, yang ternyata bernama Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Terasa
sesuatu berdesir di dadanya. Apakah ia akan dapat membiarkan keduanya pergi
begitu saja tanpa kesan apa pun? Bagaimana dengan pesan Swandaru lewat Agung
Sedayu? Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Ia sudah pasti tidak akan dapat
memikirkan Agung Sedayu. Sama sekali tidak akan ada gunanya, karena sudah hadir
Sekar Mirah. Tetapi anak yang gemuk itu pun agaknya, sudah mulai tersangkut di
hatinya, meskipun perlahan-lahan. Sikapnya yang terbuka meskipun tidak
terhadapnya dan mengenai masalahnya. Tertawanya yang lepas dan tidak
tertahan-tahan. Sikap dan tingkah lakunya yang kadang-kadang penuh kejenakaan.
“Bagaimana,
Ngger?” suara gembala tua itu mengejutkannya.
“O,” Pandan
Wangi tergagap,
“maksud Kiai,
aku sekarang supaya membawa Paman Argajaya menghadap Ayah?”
“Ya, Ngger,
kami akan mengamat-amati dari kejauhan.”
“Kenapa Kiai
masih harus mengamat-amati?”
“Ayahmu masih
belum mempercayainya sepenuhnya.”
“Aku percaya
kepadanya. Paman tidak akan berbuat apa-apa. Karena itu Kiai tidak perlu
mengawasinya. Aku bertanggung jawab atas Paman Argajaya.”
Gembala itu
menarik nafas dalam-dalam. Ada juga sifat keras hati pada gadis ini, seperti
juga pada keluarga Menoreh yang lain. Pada Ki Argapati dan Ki Argajaya, dan
meskipun berbeda sumber aliran darahnya, namun juga Sidanti. Bahkan putera
Argajaya itu pun ternyata keras kepala juga.
“Kapan ayah
akan menerima Paman?” bertanya Pandan Wangi.
“Sekarang
ayahmu sudah siap, Ngger.”
“Baik. Baik.
Aku akan pergi ke bilik Paman di ujung gandok.”
Pandan Wangi pun kemudian berlari-lari pergi ke bilik Ki
Argajaya. Gupita, Gupala, dan beberapa orang pengawal terkejut melihat
kedatangannya. Bahkan Sekar Mirah dan Sumangkar yang duduk agak jauh dari
mereka pun mengerutkan keningnya.
“Kenapa anak
itu berlari-lari” desis Sumangkar.
Sekar Mirah
menggelengkan kepalanya. Tetapi ia pun
kemudian berdiri dan berjalan mendekatinya. Gupita dan Gupala yang merasa
diserahi tanggung jawab atas Ki Argajaya serentak berdiri dan bertanya,
“Ada apa
Wangi?”
“O,” Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam,
“Ayah
memanggil Paman Argajaya.”
Gupita dan
Gupala berpandangan sejenak. Namun kemudian guru mereka pun datang sambil berkata,
“Ya, Ki
Argapati memanggil Ki Argajaya.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Apakah kalian
tidak percaya kepadaku, sehingga ayahmu perlu menjelaskan?”
“Tidak. Sama
sekali tidak,” Gupala lah yang menjawab.
“Aku percaya
kepadamu.”
Pandan Wangi
memandang Gupala dengan tajamnya. Dan Gupala berkata terus,
“Silahkan
mengambil Ki Argajaya.”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Tetapi kemudian ia melangkah menghampiri pintu yang diselarak
dari luar. Perlahan-lahan ia menarik selarak itu, lalu perlahan pula pintu
bilik itu terbuka.
“Paman,” desis
Pandan Wangi sebelum ia memasuki bilik itu.
Argajaya yang
duduk termenung di atas pembaringannya mengangkat wajahnya. Ketika ia
berpaling, memandang ke arah pintu, dilihatnya seorang gadis dengan ragu-ragu
memasuki biliknya.
“Paman,”
sekali lagi Pandan Wangi berdesis.
“O,” Ki
Argajaya menarik nafas dalam-dalam, “kau Wangi.”
“Ya, Paman.”
“Jangan masuk.
Udara sangat lembab dan aku hampir tidak dapat bernafas di dalam bilik yang
sempit dan gelap ini.”
Pandan Wangi
tertegun sejenak.
“Apakah
keperluanmu Wangi?”
“Aku akan
berbicara sedikit, Paman.”
Argajaya tidak
segera menjawab. Matanya yang menyala kini menjadi cekung dan dalam. Perlahan-lahan
ia berdiri dan melangkah mendekati Pandan Wangi.
“Kau lebih
baik tetap berada di muka pintu itu Wangi. Kau tidak akan menjadi sesak nafas.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Tetapi ditungguinya pamannya mendekatinya.
“Paman,”
katanya kemudian setelah pamannya berdiri di hadapannya,
“Ayah
memanggil Paman.”
Ki Argajaya
mengerutkan keningnya. Kemudian kepalanya terangguk-angguk. Sejenak kemudian ia
menarik nafas sambil bertanya,
“Wangi, apakah
ayahmu sudah menemukan keputusan, hukuman apakah yaag akan dijatuhkan atasku?”
“Tidak,
Paman,” jawab Pandan Wangi,
“Ayah sekedar
ingin berbicara dengan Paman.”
“Apakah yang
akan dibicarakan?”
“Aku tidak
tahu, Paman. Tetapi sudah terang, tentang Tanah Perdikan ini.”
“Pandan
Wangi,” berkata Argajaya,
“kau tahu
bahwa aku pasti sudah dianggap bersalah oleh ayahmu. Sudah tentu ayahmu akan
mengambil suatu keputusan untuk menghukum aku.”
“Tidak, Paman.
Tidak.”
“Sejak semula
ayahmu tidak mau bertanggung jawab terhadap semua tindakanku dan Sidanti yang
menyangkut kekuasaan Pajang. Itulah sebabnya Sidanti mencoba mencari kekuatan
dibantu oleh gurunya. Karena aku terlibat dalam masalah Tambak Wedi yang
langsung berbenturan dengan kekuasaan Pajang di Selatan yang dipimpin oleh
Untara, maka aku tidak mempunyai pilihan lain daripada mencoba mencuri kekuatan
bersama Sidanti untuk menghadapi setiap tindakan Pajang atas diri kami.”
“Tetapi
ternyata Pajang tidak berbuat apa-apa. Bahkan sekarang mereka tidak akan sempat
lagi mengurus masalah-masalah yang kecil seperti itu, Paman.”
“Kenapa?.”
“Aku tidak
tahu pasti. Tetapi Ki Gede Pemanahan sudah tidak menjadi panglima lagi. Bersama
puteranya mereka membuka hutan Mentaok di sebelah Kali Praga.”
Argajaya
mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia berkata,
“Mungkin kau
salah, Wangi. Mereka membuka Alas Mentaok sebagai batu landasan untuk meloncat
ke Barat.”
“Aku kira
tidak begitu, Paman.”
Argajaya
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Tetapi
entahlah, apa yang terjadi di seberang Kali Praga. Yang penting sekarang Paman
diminta datang oleh Ayah. Tetapi Ayah sama sekali tidak akan menjatuhkan
keputusan saat ini.”
Ki Argajaya
merenung sejenak. Dari sela-sela pintu yang terbuka ia memandang ke luar, ke
hijaunya dedaunan. Ketika terasa angin yang silir menyusup lewat pintu yang
terbuka menyentuh wajahnya, ia menarik nafas dalam-dalam.
“Marilah,
Paman,” berkata Pandan Wangi,
“aku antarkan
Paman menghadap ayah.”
“Sudah tentu
aku tidak akan dapat ingkar,” jawab Argajaya.
“Adalah hak
ayahmu untuk memanggil aku, bahkan menggantung aku di alun-alun kalau aku
dianggapnya sebagai seorang pengkhianat yang telah menodai Tanah Perdikan ini.”
Pandan Wangi
menahan nafasnya sejenak. Ditatapnya wajah pamannya yang cekung dan pucat.
Tetapi pada wajah itu kini sudah tidak dilihatnya lagi gelora yang menyala
seperti sebelum terjadi peperangan yang telah membuat Tanah Perdikan Menoreh
menjadi abu. Wajah yang pucat itu kini seolah-olah seperti wajah telaga yang
tenang. Pasrah.
“Paman,”
berkata Pandan Wangi kemudian,
“aku menjamin
bahwa ayah tidak akan menghukum Paman, apabila Paman sejak kini masih tetap
menjadi seorang putera Menoreh yang bersedia untuk bersama-sama membangun tanah
ini kembali.”
“Jangan, Pandan
Wangi,” potong pamannya,
“jangan
memberikan jaminan apa-apa. Kalau kau berbeda pendirian dengan ayahmu, maka
akan timbul persoalan-persoalan berikutnya sebagai akibat jaminan yang kau
berikan itu.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Sifat-sifat itu masih juga ditemui pada pamannya yang
agaknya sudah pasrah.
“Sekarang,
bawalah aku menghadap ayahmu. Apa pun yang akan diperlakukan atasku, aku tidak
akan dapat ingkar. Aku tidak dapat menolak dengan cara apa pun. Kasar atau
halus.”
Pandan Wangi
tidak menyahut. Tetapi ia bergeser ketika pamannya perlahan-lahan melangkah ke
luar pintu. Selangkah di luar pintu Ki Argajaya berhenti sejenak. Disekanya
matanya, seakan-akan ia menjadi silau melihat sinar matahari yang menyala di
halaman. Namun sejenak kemudian ia melangkah lagi dengan kepala tunduk. Ki
Argajaya sama sekali tidak mempedulikan siapa saja yang memandanginya dari
dekat dan kejauhan. Ia tidak melihat gembala tua, Gupita dan Gupala, Sumangkar
dan bahkan Sekar Mirah yang memandanginya dengan tatapan mata yang tidak
berkedip.
Perlahan-lahan
Ki Argajaya berjalan naik ke pendapa, kemudian masuk ke pringgitan diantar oleh
Pandan Wangi. Beberapa langkah di belakangnya, gembala tua itu mengikutinya.
Tetapi ia tidak ikut memasuki bilik Ki Argapati. Karena itu, maka ia pun kemudian duduk saja di ruang tengah
bersama beberapa orang prajurit yang bertugas mengawasi bilik Sidanti.
Ketika kaki
Argajaya memasuki bilik kakaknya yang masih berbaring, rasanya kaki itu menjadi
lemah dan gemetar. Karena itu maka langkahnya pun tertegun sejenak. Terlampau sulit
baginya untuk mengendalikan perasaannya yang tiba-tiba saja bergolak.
“Kau
Argajaya,” terdengar suara Ki Argapati datar.
Ki Argajaya
menelan ludahnya.
“Marilah.
Duduklah.”
Ki Argajaya
tidak menjawab. Tetapi ia maju selangkah.
“Duduklah.”
Pandan Wangi kemudian
memberikan sebuah dingklik kayu kepadanya. Ki Argajaya pun kemudian duduk di
atas dingklik kayu itu di dekat pembaringannya Ki Argapati.
“Mendekatlah
Argajaya. Badanku masih belum terlampau baik untuk duduk terlampau lama.”
Argajaya tidak
menjawab dan tidak bergeser dari tempatnya. Terdengar desah nafas Ki Gede,
kemudian Ki Gede itu pun perlahan-lahan bangkit. Pandan Wangi segera
mendekatinya dan menolongnya duduk. Tetapi ia bertanya,
“Apakah Ayah
tidak terlampau lelah?”
Ki Argapati
menggeleng, “Tidak, Wangi.”
Pandan Wangi
tidak bertanya lagi. Dibantunya ayahnya menempatkan diri, duduk menghadap
kepada adiknya, Argajaya. Setelah menarik nafas dalam-dalam Ki Argapati
berkata,
“Argajaya. Kau
sudah mendengar akibat dari peperangan yang baru saja terjadi?”
Ki Argajaya
yang menundukkan kepalanya itu mengangguk.
“Ya, Kakang.
Aku mendengarnya.”
“Baik,” sahut
Ki Argapati,
“bukankah kau
juga mendengar bahwa Tanah Perdikan ini sudah benar-benar menjadi abu?”
“Ya, Kakang.”
“Ini adalah
suatu contoh dan pengalaman yang baik bagi masa depan. Setiap perpecahan tidak
akan membawa manfaat apa pun bagi Tanah ini. Seandainya Ki Tambak Wedi, kau,
dan Sidanti memenangkan perang yang baru saja terjadi itu, kalian pun pasti
hanya akan menemukan sisa-sisa seperti Tanah Perdikan ini sekarang. Kerusuhan
masih terdapat di mana-mana. Setiap saat rakyat masih selalu dicengkam oleh
ketakutan. Mereka yang selalu menghantui rakyat Tanah Perdikan Menoreh ini.”
Dan tiba-tiba
saja Ki Argapati bertanya,
“Bagaimana
dengan anakmu?”
Ki Argajaya
menarik nafas dalam-dalam. Dengan kepala yang masih menunduk ia berkata,
“Aku tidak
tahu, apa yang telah terjadi atasnya.”
“Pandan Wangi
sudah mencoba mencarinya.”
Ki Argajaya
tidak menyahut, sedang Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Untunglah bahwa
mereka tidak membicarakan anak itu lebih jauh.
“Itu adalah
salah satu gambaran, Argajaya,” berkata Ki Argapati,
“ayah yang
terpisah dari anak, anak yang terpisah dari ibu dan isterinya yang terpisah
dari suami.”
Argajaya masih
tetap berdiam diri.
“Meskipun hal
itu dapat dianggap wajar terjadi dalam peperangan, tetapi alangkah baiknya
kalau peperangan, perpecahan lebih-lebih di antara keluarga sendiri itu tidak
terjadi. Dengan demikian tidak akan ada suami yang terpisah dari isterinya, ibu
yang terpisah dari anaknya dan anak yang terpisah dari bapaknya. Lebih
menyedihkan lagi, apabila anak dan ayah, adik dan kakak telah memilih pihak
yang berlawanan seperti yang sudah terjadi atas kita berdua, justru sebagai
pusat perhatian orang-orang dari tlatah Menoreh ini. Maka jalur perpecahan itu
akan membelah seluruh rakyat Tanah Perdikan ini. Bahkan akan membelah
keluarga-keluarga dan saudara-saudara sekandung seperti kita pula.”
Ki Argajaya
masih saja menundukkan kepalanya. Tetapi kata-kata kakaknya itu telah menyentuh
hatinya. Terbayang kembali peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di atas Tanah
Perdikan ini. Pertempuran demi pertempuran. Kekerasan dan perampasan yang
hampir tidak terkendali atas rakyat yang seakan-akan tidak terlindungi lagi.
Dan tiba-tiba Ki
Argajaya itu memandang ke dirinya sendiri. Benarkah bahwa ia melakukan
perlawanan atas kakaknya itu hanya karena ia memerlukan perlindungan terhadap
orang-orang Pajang yang mungkin masih mencarinya sampai ke Tanah Perdikan
Menoreh? Benarkah bahwa ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali berpihak kepada
Sidanti dan Ki Tambak Wedi karena ia sudah terlanjur terlibat dalam peperangan
di Tambak Wedi? Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat
membohongi dirinya sendiri, bahwa ia merasa satu-satunya keluarga trah
Argapati. Kalau Ki Argapati tidak ada lagi, maka ia adalah satu-satunya waris
yang sah atas Tanah Perdikan ini. Sudah tentu ia harus menyingkirkan Pandan
Wangi pula. Ia tidak lagi terhalang oleh Sidanti, karena ia akan segera dapat
mengumumkan bahwa Sidanti sama sekali bukan darah keturunan Ki Argapati. Tetapi
yang terjadi kini adalah sama sekali tidak seperti yang dibayangkannya waktu
itu. Yang terjadi, Tanah Perdikan Menoreh kini menjadi abu setelah terbakar
oleh api peperangan di antara keluarga sendiri. Dan Ki Argajaya yang sedang
merenung itu kemudian mendengar suara Ki Argapati,
“Argajaya,
apakah kau merasakan semuanya itu kini?”
Argajaya
mengangguk perlahan,
“Ya, Kakang.
Aku merasakan kini. Dan aku tidak ingkar, bahwa aku telah ikut membakar Tanah
Perdikan Menoreh apa pun alasanku. Karena itu, sekarang Kakang dapat
menjatuhkan keputusan, apakah aku akan digantung, atau dipancung atau dipicis
sekalipun.”
Ki Argapati
mengerutkan alisnya. Katanya,
“Kau masih
seperti dulu. Apakah kau tidak dapat menanggapi keadaan ini dengan cara yang
lain-lain. Apakah kau masih saja mengeraskan hatimu meskipun kau sudah melihat
sendiri Tanah Perdikan ini terbakar menjadi abu?”
Ki Argajaya
mengangkat wajahnya. Sorot matanya memancarkan pertanyaan yang tersimpan di
dalam hatinya atas kata-kata kakaknya.
“Argajaya,”
berkata Ki Argapati kemudian,
“kalau kau
masih berkeras hati, maka harapanku untuk membangun Tanah ini akan lenyap sama
sekali. Aku sendiri bukan orang yang dapat menahan diri dan bersabar menghadapi
persoalan-persoalan yang berat. Apalagi dalam keadaanku sekarang. Karena itu,
aku harap kau dapat mengerti maksudku. Aku pun tidak akan dapat merendahkan
diri, mohon kepadamu agar kau sudi membantu aku, seperti kau tidak akan
mengatakan kepadaku, bahwa kau merasa bersalah, kemudian minta agar kesalahan
itu diampuni dan mendapat kesempatan untuk hidup. Tidak. Kau tidak mau dan aku
pun tidak, karena kita masing-masing adalah orang-orang yang berhati batu.”
Dada Ki
Argajaya tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Dan ia mendengar Ki Argapati berkata
seterusnya,
“Kau merasa
lebih jantan apabila kau digantung atau dipacung di alun-alun, sehingga karena
itu kau menantang aku untuk melakukannya.” Argapati berhenti sejenak, lalu,
“Argajaya.
Kalau aku menuruti perasaanku, aku cenderung untuk memenuhi tantanganmu. Tetapi
dengan demikian aku tidak berhasil mengatasi persoalan di antara kita sendiri
dengan cara yang baik. Yang aku inginkan, kita dapat membangun Tanah yang sudah
menjadi abu ini. Tentu saja dengan ikhlas.”
Ki Argajaya
tidak menjawab. Tetapi kepalanya kini tertunduk semakin dalam.
“Kita
masing-masing harus bersedia mengorbankan sebagian kecil harga diri kita
masing-masing. Mungkin aku terpaksa menelan ucapan-ucapan orang yang tidak
senang melihat sikap ini, bahwa aku tidak berani mengambil sikap yang tegas,
atau karena kau adalah adik kandungku. Dan kau pun barangkali akan mendapat
sebutan seorang pengecut yang minta ampun dan tidak bertanggung jawab setelah
kalah di peperangan. Tetapi kalau kelak kita dapat membuktikan bahwa kita
berhasil membangun Tanah Perdikan ini sehingga menjadi pulih kembali, maka
suara-suara itu akan hilang dengan sendirinya.”
Ki Argajaya
tidak menyahut.
“Tetapi sudah
tentu, bahwa persetujuan di antara kita harus dibuat dengan ikhlas. Kalau tidak,
maka benih-benih api yang akan membakar Tanah ini, kelak masih belum
terpadamkan.”
Terasa sesuatu
bergetar di dada Argajaya. Belum pernah ia mendapat sentuhan begitu tajam pada
dinding jantungnya, sehingga tanpa sesadarnya kepalanya terangguk-angguk lemah.
“Bagaimana
pendapatmu, Argajaya?”
Sejenak ia
masih berdiam diri. Tetapi kepalanya masih terangguk-angguk.
“Apakah kau
dapat mengerti dan bersedia untuk bersama-sama dengan semua orang yang masih
ada dan sejalan dengan pikiran kita untuk membangun kembali Tanah ini.”
Ki Argajaya
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian diangkatnya kepalanya perlahan-lahan sambil
berdesis,
“Ya, Kakang.
Aku mengerti maksud Kakang. Agaknya meskipun samar-samar aku telah dapat
melihat ke dalam diriku sendiri. Apakah memang benar kata-kata Kakang Argapati
bahwa aku adalah orang yang keras kepala? Jika demikian, maka biarlah aku
mencoba untuk melunakkan diri sendiri. Dan agaknya aku memang harus mengakui
bahwa aku kadang-kadang tidak dapat mempertimbangkan sikapku lebih dahulu.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sekarang,”
berkata Ki Argapati,
“apakah katamu
tentang masa depan Tanah ini, tentang kau dan tentang aku? Apakah kau dapat
menerima pendapatku?”
Ki Argajaya
mengangguk-angguk kecil pula, sambil menyahut perlahan-lahan,
“Aku akan
menerima kemurahan hati Kakang itu dengan segala senang hati dan terima kasih.
Kalau aku memang masih mendapat kesempatan, maka kesempatan itu akan aku
pergunakan sebaik-baiknya.”
Sejenak Ki
Argapati berdiam diri sambil menatap wajah adiknya seakan-akan ingin mengunyah
jawaban itu di dalam hati. Sepercik harapan telah tumbuh di dalam dada Ki
Argapati, bahwa ia akan dapat menyiapkan kembali Tanah Perdikan Menoreh,
meskipun ia masih harus tetap mempunyai kecurigaan, bahwa masih ada benih-benih
yang dapat menyalakan api di kemudian hari.
“Agaknya
laporan-laporan tentang Argajaya ada juga benarnya,” katanya di dalam hati.
“Setelah ia
mendapat kesempatan menilai perbuatannya, maka agaknya ia menemukan
kesadarannya.”
Tanpa
sesadarnya Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika terpandang
olehnya wajah puterinya Pandan Wangi, maka puterinya itu pun mengangguk kecil.
“Agaknya
Pandan Wangi menyetujui pembicaraan ini,” katanya di dalam hati pula,
“tetapi,
apabila pembicaraan nanti sampai pada Sidanti, apakah juga akan dapat selancar
ini?”
Sejenak mereka
yang ada di dalam ruangan itu saling berdiam diri, tenggelam dalam angan-angan
masing-masing.
“Argajaya,”
berkata Ki Argapati kemudian,
“aku merasa
bahwa aku pun akan segera sembuh sama sekali. Kalau kau dapat melupakan apa
yang terjadi, maka aku kira Tanah ini akan segera pulih kembali seperti sedia
kala.”
Argajaya tidak
menjawab. Tetapi ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Argajaya,”
berkata Ki Argapati kemudian,
“aku akan
segera mempersiapkan segala sesuatunya. Aku juga akan segera bertemu dengan
Sidanti. Mudah-mudahan hatinya pun sudah terbuka. Dengan demikian kita akan
segera dapat bersama-sama membangun Tanah yang tinggal sisa-sisanya ini.”
Tetapi dada
Argajaya tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Ia mengenal benar sifat Sidanti yang
keras seperti batu hitam. Karena itu, apakah usaha Ki Argapati itu akan
berhasil?
Sejenak Ki
Argajaya melihat ke dirinya sendiri. Ke hatinya yang semula tidak kalah
kerasnya dari Sidanti. Namun akhirnya hatinya menjadi luluh. Bukan saja karena
ia menyadari segala kekeliruannya, tetapi sebagian juga karena sikap Argapati
yang tidak disangka-sangka. Menurut pengenalan Ki Argajaya, kakaknya itu pun
berhati padas. Namun agaknya kali ini ia sempat mempergunakan nalarnya. Bukan
sekedar perasaannya.
“Argajaya,”
berkata Ki Argapati kemudian,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar