Jilid 049 Halaman 2


“meskipun kita sudah menemukan persetujuan, tetapi aku minta maaf, bahwa aku masih akan mempersilahkan kau kembali ke dalam bilikmu. Mungkin bilik itu sama sekali tidak memadai. Setelah aku menemukan kesamaan pendapat dengan Sidanti, kita akan segera berbuat sesuatu. Kau akan segera dapat mencari anakmu bersama dengan beberapa orang yang akan mengawani kau dalam perjalanan, karena orang-orang yang tidak puas mungkin masih akan melakukan tindakan-tindakan yang tidak sepantasnya.”
“Terserahlah kepada Kakang,” jawab Ki Argajaya.
“Nah, Argajaya, biarlah Pandan Wangi membawamu kembali. Besok atau lusa kita akan bertemu lagi. Hari ini aku akan berusaha bertemu dengan Sidanti supaya masalahnya, lekas selesai.”

Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia tidak dapat menahan diri ketika dari mulutnya meloncat suatu peringatan kepada kakaknya,
“Hati-hatilah terhadap Sidanti, Kakang.”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Tetapi dari lontaran kata-kata itu ia melihat ketulusan hati Argajaya. Karena itu maka ia menjawab,
“Terima kasih Argajaya. Aku akan berhati-hati kepadanya. Tetapi aku telah mengenalnya sejak kecil. Ia adalah anakku.”
Ki Argajaya memandang wajah Argapati sejenak. Tetapi tampaklah kemuraman yang dalam menikam jantungnya. Kata-kata itu telah dipaksanya untuk meloncat dari bibirnya, sedang hatinya sendiri tersayat karenanya.
Namun Ki Argajaya tidak berkata apa  pun lagi.
“Argajaya,” Ki Argapatilah yang berkata lagi,
“biarlah Pandan Wangi mengantarkan kau.” Kemudian kepada Pandan Wangi ia berkata,
“Langsung sajalah kau pergi menjemput kakakmu. Bawalah ia kemari. Aku ingin berbicara pula kepadanya.”
“Baik, Ayah,” jawab Pandan Wangi.
“Marilah, Wangi,” berkata Ki Argajaya. Lalu kepada Ki Argapati,
“Aku minita diri Kakang. Aku menunggu apa pun yang akan Kakang lakukan. Tetapi sebelumnya aku mengucapkan diperbanyak terima kasih atas kebaikan hati Kakang itu.”
“Sudahlah. Kita saling memerlukan.”
Pandan Wangi pun kemudian, mengantarkan pamannya keluar dari bilik ayahnya. Di ambang pintu, Pandan Wangi melihat gembala tua itu duduk di antara mereka yang bertugas menjaga Sidanti.
“Hem, gembala itu tidak percaya lagi kepada Paman Argajaya dan barangkali juga kepada Kakang Sidanti,” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak mengucapkan kata-kata itu. Ketika Argajaya juga melihat gembala itu, maka ia pun segera berpaling. Ia masih belum dapat mengatur perasaannya apabila ia melihat orang-orang dari luar Tanah Perdikan ini, tetapi terlampau banyak ikut mencampuri masalah di dalam wilayah ini. Karena itu, maka Argajaya pun kemudian melangkah tanpa berpaling lagi diikuti oleh Pandan Wangi. Apalagi ketika di luar pendapa ia melihat Gupita dan Gupala dan bahkan Sekar Mirah ada di antara mereka. Dahinya pun segera menjadi berkerut-merut. Tetapi tidak ada yang dapat dilakukannya selain membuang wajahnya. Ia menjadi muak mendengar suara Gupala dan Gupita dari dalam biliknya, selama Gupala dan Gupita bertugas di luar pintu menungguinya.
“Mereka  pun harus pergi. Selama mereka masih ada di atas Tanah ini, Kakang Argapati tidak akan dapat melakukan pekerjaannya sesuai dengan kehendaknya yang murni. Orang-orang ini  pun pasti mempunyai maksud pula untuk kepentingan diri mereka sendiri, yang mungkin bertentangan dengan kepentingan Tanah Perdikan ini,” katanya di dalam hati.
Gupala dan Gupita pun sama sekali tidak menegurnya. Bahkan mereka pun kemudian berpaling pula memandang ke arah lain. Sejenak kemudian Ki Argajaya telah masuk kembali ke dalam biliknya. Namun pertemuannya dengan kakaknya menjadikannya semakin menyadari diri. Meskipun perlahan-lahan namun pasti, bahwa Ki Argajaya merasa, bahwa tidak ada jalan lain daripada menundukkan kepalanya kembali di hadapan kakaknya. Baik sebagai seorang saudara muda, maupun sebagai seorang warga Tanah Perdikan Menoreh. Ki Argajaya mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Pandan Wangi berkata,
“Silahkan, Paman, aku minta diri untuk menemui Kakang Sidanti.”
“O,” Ki Argajaya menjawab,
“baiklah. Mudah-mudahan semuanya dapat berjalan lancar seperti yang diharapkan oleh ayahmu. Sekali lagi aku menyampaikan terima kasih atas kemurahannya. Tetapi aku pun berpesan, agar orang-orang asing itu segera diusir dari Tanah ini. Mereka akan menjadi benalu yang memuakkan apabila mereka dibiarkan untuk tetap berada di atas Tanah ini.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya.
“Maksud Paman?” ia bertanya.
“Orang-orang gila itu. Swandaru, Agung Sedayu, gurunya, dan orang-orang lain yang datang bersamanya. Termasuk perempuan muda itu pula.”
Pandan Wangi menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab. Yang dikatakannya kemudian,
“Silahkan Paman beristirahat. Aku akan menemui Kakang Sidanti.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia melangkah ke pembaringannya di dalam bilik yang gelap dan lembab. Sejenak kemudian pintu bilik itu  pun tertutup kembali. Argajaya merasa bahwa kini ia kembali terpisah dari dunia di sekitarnya. Dunianya adalah ruangan yang sempit, gelap, dan lembab. Dunia yang sama sekali tidak berarti apa-apa itu. Ia mengangkat kepalanya ketika ia mendengar pintu, biliknya di selarak dari luar. Dan ia berdesah ketika ia mendengar suara Gupala,
“Aku akan menungguinya.”
“Jagalah ia baik-baik,” pesan Pandan Wangi.
“Tentu. Aku akan menjaganya baik-baik.”
Sejenak kemudian tidak terdengar apa-apa lagi. Sepi. Agaknya Pandan Wangi telah pergi meninggalkan pintu biliknya.

Sebenarnyalah bahwa Pandan Wangi telah pergi. Dengan hati yang berdebar-debar ia menuju ke bilik kakaknya. Terasa sesuatu yang lain. Dan gadis itu sadar, bahwa kakaknya Sidanti memang bersikap lain dari pamannya, Ki Argajaya.
“Aku akan mencoba melunakkan hatinya,” katanya di dalam hati. Namun demikian Pandan Wangi sendiri masih ragu-ragu. Apakah ia akan berhasil? Agaknya hati Sidanti benar-benar sudah mengeras, sekeras batu hitam.
“Tetapi kami harus berusaha. Keputusan terakhir terserah kepada ayah,” ia berbicara kepada dirinya sendiri.
Di muka pintu ruangan tengah ia menjadi ragu-ragu sejenak. Ia masih melihat gembala tua itu duduk di antara penjaga bilik Sidanti.
“Marilah, Ngger,” gembala itu mempersilahkan.
Pandan Wangi maju beberapa langkah, kemudian katanya,
“Kiai, aku mendapat perintah dari ayah untuk membawa Kakang Sidanti menghadap sekarang.”
“Sekarang?” bertanya gembala itu.
“Ya. Ayah ingin menyelesaikan pembicaraan ini sama sekali. Kemudian ayah akan segera dapat menyusun rencana untuk Tanah Perdikan ini. Rencana yang segera dapat dikerjakan, dan rencana yang akan dikerjakan kemudian.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Pembicaraan antara Ki Argapati dan Sidanti pasti akan merupakan peristiwa yang cukup penting. Sementara itu ia tidak melihat Ki Samekta dan Ki Kerti.
“Karena itu,” berkata Pandan Wangi kemudian,
“aku akan menemui Kakang Sidanti sekarang.”
“Ya, ya. Silahkan,” berkata orang tua itu.
“Tetapi apakah Angger melihat Ki Samekta dan Ki Kerti?”
“Mereka berada di antara para pengawal. Mungkin sekarang mereka sedang nganglang atau melihat-lihat apa pun.”
“Apakah mereka tidak dipanggil oleh Ki Argapati?”
“Kali ini tidak.”
Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Kalau begitu, silahkanlah. Tetapi hati-hatilah.”
“Aku adalah adiknya. Aku mengenal tabiatnya sejak kanak-kanak.”
Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya Pandan Wangi sama sekali tidak dapat melepaskan hubungan yang telah mengikatnya sejak ia dilahirkan. Sebagai dua orang anak yang dilahirkan oleh ibu yang sama, maka Pandan Wangi tetap merasa sebagai seorang adik dan Sidanti adalah seorang kakak. Pergaulan mereka di masa kanak-kanak pun agaknya membekas terlampau dalam di hati gadis itu.
Pandan Wangi pun kemudian melangkah perlahan-lahan mendekati ujung ruangan itu. Di muka pintu bilik Sidanti, Pandan Wangi menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia berusaha menindas setiap perasaan yang telah menghambatnya.
“Sekasar-kasar Kakang Sidanti, ia tetap kakakku. Ia masih berusaha menolongku justru di permulaan pertentangan antara ayah dan Kakang Sidanti itu, sedang Kakang Sidanti sadar, bahwa aku pasti akan berpihak kepada ayah.”
Ketika Pandan Wangi maju semakin dekat, maka seorang pengawal telah mendekatinya dan berkata,
“Apakah pintu ini akan dibuka.”
“Ya,” jawab Pandan Wangi.
Pengawal itu pun kemudian maju ke depan pintu. Perlahan-lahan ia meraba selaraknya, dan perlahan-lahan ia mulai menarik. Namun demikian dadanya menjadi kian berdebar-debar. Berbagai bayangan melonjak di kepalanya. Bagaimana kalau tiba-tiba saja pintu ini menyentak terbuka. Kemudian sebuah pukulan melayang ke wajahnya, sehingga ia menjadi pingsan. Oleh angan-angannya sendiri, maka tangannya menjadi semakin gemetar. Ketika selarak itu telah terlepas, maka tiba-tiba selarak itu sekan-akan meloncat dari tangannya dan jatuh berderak-derak di lantai. Semua orang terkejut karenanya. Lebih-lebih lagi adalah orang itu sendiri, sehingga ia meloncat beberapa langkah surut sambil menarik pedangnya.
“He, kenapa kau?” bertanya kawannya.
Ketika ia menyadari keadaanya, maka wajahnya menjadi merah padam. Tersipu-sipu ia menyarungkan pedangnya kembali sambil melangkah maju.
“Kenapa kau, he?” bertanya Pandan Wangi.
“Tidak apa-apa,” jawab pengawal itu. Tetapi hatinya masih tetap berdebaran.
Ketika kemudian Pandan Wangi perlahan-lahan membuka pintu, pengawal itu menekan nafasnya. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam ketika dari sela-sela pintu yang mulai terbuka itu ia melihat Sidanti duduk saja di pembaringannya. Bahkan berpaling  pun tidak. Seakan-akan ia tidak mendengar pintu itu terbuka dan adiknya melangkah masuk.
“Kakang,” desis Pandan Wangi kemudian.
Tanpa berpaling Sidanti katanya,
“Kenapa kau kemari?”
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Selangkah ia maju. Ditatapnya wajah kakaknya yang muram dan gelap. Rambutnya yang kusut dan ikat kepalanya yang tersangkut di lehernya. Terasa dada Pandan Wangi tergetar. Setiap kali ia melihat kakaknya itu dikawani oleh beberapa orang pengawal dan diawasi oleh gembala tua, apabila ia pergi ke sumur atau ke pakiwan. Namun ia tidak melihat wajah yang semuram dan segelap itu.
“Kenapa?” suaranya datar.
Terasa kesepian yang tajam membakar dada anak muda itu. Ia merasa bahwa kini ia tinggal hidup sendiri. Karena itu maka setiap orang sama sekali sudah tidak berarti lagi baginya. Juga Pandan Wangi.
“Kakang,” berkata Pandan Wangi, “aku perlu berbicara sedikit.”
“Tidak,” jawab Sidanti, “tidak ada yang dapat kita bicarakan.”
“Tentu ada Kakang. Soal apa pun juga.”
“Tidak. Pergilah. Tinggalkan aku sendiri.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun ia maju selangkah,
“Kakang, aku ingin berbicara kepadamu. Bukankah aku adikmu.”
“Dahulu kau adikku. Tetapi sekarang kau sudah berpihak kepada laki-laki tamak itu.”
Dada Pandan Wangi tergetar. Ia memang sudah menyadari bahwa ia seakan-akan berdiri di simpang jalan yang paling sulit untuk memilih arah. Sidanti adalah kakaknya, dan Argapati adalah ayahnya. Tetapi sama sekali tidak ada hubungan darah antara Argapati dan Sidanti itu. Bahkan sejak dilahirkan, sebuah jurang yang dalam memang telah ternganga di antara keduanya. Betapa pun Ki Argapati mencoba menimbuni jurang itu, namun ketika banjir bandang yang dahsyat melanda dari tebing-tebing pegunungan, maka semua lumpur di dalam jurang yang sedikit demi sedikit tertimbun itu telah hanyut kembali seluruhnya. Dan jurang itu kini menganga semakin dalam dan semakin lebar.
“Kakang,” berkata Pandan Wangi,
“apa  pun yang telah terjadi atas diri kita masing-masing, tetapi ikatan itu tidak akan dapat berubah. Kau dilahirkan oleh Rara Wulan, dan aku pun dilahirkan oleh perempuan itu pula. Kita tidak akan dapat lari dari kenyataan itu. Kenyataan bahwa kita seibu. Kita adalah kakak-beradik.”
“Aku bukan laki-laki cengeng,” suara Sidanti meninggi,
“aku tidak mau terbelenggu oleh ikatan-ikatan yang tidak aku kehendaki. Aku tidak minta dilahirkan oleh perempuan yang melahirkan kau juga. Aku tidak pernah menghendaki apa pun atas kelahiranku. Justru aku merasa tersiksa bahwa aku telah dilahirkan oleh perempuan yang bernama Rara Wulan itu, karena ia berhubungan dengan laki-laki yang bukan bakal suaminya.”
“Kakang.”
“Apakah kau akan ingkar? Bukankah kau yang mengatakan bahwa kita tidak dapat lari dari kenyataan. Dan kenyataan itu mengatakan bahwa perempuan yang bernama Rara Wulan itu telah berbuat keji karena ia berhubungan dengan Ki Tambak Wedi sehingga aku terlempar ke dunia dengan cacat yang tidak akan terhapuskan. Apakah aku harus berbangga dan berterima kasih atas kejadian serupa itu? Kalau kemudian Rara Wulan itu melahirkan kau juga itu sama sekali tidak aku minta.” Sidanti berhenti sejenak, lalu,
“apakah sekarang aku harus tetap mengikatkan diri pada masalah-masalah dan hubungan yang tidak aku kehendaki itu. Tidak. Tidak. Aku kini sudah melepaskan diri dari semuanya itu. Aku adalah aku. Aku tidak terikat oleh siapa pun.”
“Kakang,” suara Pandan Wangi menjadi semakin dalam,
“hatimu menjadi gelap. Kau sudah kehilangan dirimu sendiri.”
“Di dalam bilik yang sempit ini aku menemukan diriku. Aku. Aku. Tanpa orang lain aku tetap Sidanti. Dan kini suatu kenyataan pula, yang menurut kau, sebaiknya tidak kita hindari bahwa aku adalah aku sendiri. Tanpa kau, tanpa Argapati, tanpa Tambak Wedi seandainya ia masih hidup, tanpa Argajaya, dan tanpa Rara Wulan seandainya ia masih ada pula.”
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Tetapi matanya mulai basah,
“Tidak, Kakang. Tidak mungkin. Kau adalah putera ibuku. Itu tidak akan dapat berubah betapa pun kau membencinya, betapa kau menganggap ia perempuan yang paling hina sekalipun. Kau dapat malu kepada dirimu sendiri, bahwa kau mempunyai seorang ibu bernama Rara Wulan dan seorang ayah bernama Tambak Wedi, tetapi kau tidak dapat menghapusnya. Itu sudah terjadi. Kau sudah lahir. Dan kau adalah kau itu juga.”

Suara Pandan Wangi terpotong oleh isaknya yang seakan-akan menyumbat kerongkongannya. Sejenak ia tidak dapat mengucapkan kata-kata selain suara isaknya yang tertahan-tahan. Sidanti masih duduk di tempatnya. Ia sama sekali tidak berpaling dan beringsut sama sekali. Tatapan matanya yang tajam, seakan-akan terpaku ke sudut bilik yang sempit itu. Dengan susah payah Pandan Wangi mencoba menahan perasaannya. Dengan susah payah ia membendung air matanya. Tetapi setitik-setitik air mata itu jatuh pecah di atas lantai.
“Kau hanya akan memamerkan tangismu,” geram Sidanti kemudian.
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Dengan ujung bajunya ia mengusap matanya yang basah.
“Kalau kau hanya akan menangis, sebaiknya kau keluar.”
“Tidak. Aku tidak menangis,” jawab Pandan Wangi terputus-putus.
“Bohong! Kau menangis.”
“Tidak.”
“Air matamu mengalir semakin deras.”
“Itu adalah air mata kegadisanku. Tetapi aku tidak mau tunduk pada perasaan itu. Aku harus tetap pada suatu pendirian bahwa kau harus menghadap ayah saat ini. Memang itu bukan ayahmu, itu adalah ayahku. Tetapi kita bersama-sama adalah putera Tanah Perdikan ini yang bersama-sama mempunyai tanggung jawab bagi masa depannya. Kau dilahirkan dan dibesarkan di atas Tanah ini meskipun kau kemudian pergi ke Tambak Wedi. Ibumu adalah anak Tanah ini juga. Kau tidak dapat acuh tidak acuh terhadap masa depan Tanah ini. Mungkin orang yang bernama Ki Tambak Wedi itu seandainya masih hidup sama sekali tidak peduli, apakah Tanah ini menjadi abu atau akan tetap berkembang. Tetapi kau tidak. Kau tidak dapat.”
“Diam! Diam!” bentak Sidanti.
“Kenapa aku harus diam? Marilah kita berbicara tentang diri kita, pendirian kita, sikap kita dan pandangan hidup kita masing-masing. Baik atas Tanah Perdikan Menoreh maupun atas diri kita sendiri.”
“Cukup! Cukup!”
“Aku akan berbicara. Kalau kau akan berbicara, berbicaralah. Mungkin kau akan melepaskan endapan-endapan yang selama ini terpaksa kau simpan di dalam dadamu. Sekarang lontarkanlah semuanya. Mungkin kau akan mengatakan bahwa Argapati adalah seorang yang tamak, yang tidak bertanggung jawab, yang hanya mementingkan dirinya sendiri, yang apa lagi, apa lagi. Kemudian kau dapat menilai orang-orang lain, menilai aku, menilai ibuku dan ibumu itu dan menilai apa  pun juga. Berbicaralah, berteriaklah sepuas-puasmu.” Pandan Wangi berhenti sejenak, kemudian,
“Tetapi apa yang sudah terjadi akan tetap seperti yang sudah terjadi itu. Kau akan tetap menjadi anak Rara Wulan seperti aku.”
“Cukup, cukup!” Sidanti berteriak semakin keras, sehingga setiap orang yang berada di ruang tengah menjadi berdebar-debar. Gembala tua yang ada di ruangan itu telah beringsut mendekat. Ia tidak dapat lengah, seandainya Sidanti kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Tetapi yang dilihatnya, Sidanti itu tiba-tiba menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sejenak bilik itu menjadi sepi. Hanya desah nafas mereka sajalah yang terdengar, saling berkejaran. Dengan dada yang berdebar-debar mereka yang berada di luar bilik itu melihat lewat pintu yang masih terbuka, apa yang kira-kira akan terjadi. Mereka kemudian menahan nafas ketika tiba-tiba saja mereka melihat Pandan Wangi meloncat maju. Dengan serta-merta ia berjongkok di hadapan kakaknya yang masih menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dengan nada suara yang meninggi Pandan Wangi berkata sambil mengguncangi lengan Sidanti,
“Kakang. Kakang. Dengarlah kata-kataku. Aku datang kepadamu sebagai seorang anak Tanah Perdikan ini, dan lebih daripada itu aku tidak akan dapat melepaskan diri dari ikatan kekeluargaan kita. Kakang. Apakah kau tidak sempat melihat ke dalam dirimu, ke masa lampau kita dan ke masa datang yang panjang?”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi ia tidak dapat menatap wajah adiknya, sehingga karena itu ia memalingkan wajahnya.
“Kakang. Berbicaralah seperti kau dahulu berbicara kepadaku.”
Sidanti masih tetap berdiam diri.
“Kakang. Kenapa kau diam saja, kenapa?”
Tetapi Sidanti masih tetap mematung.

Akhirnya bagaimanapun juga, Pandan Wangi tetap seorang gadis yang tidak kuat menahan gelora perasaannya. Seperti bendungan yang tidak tahan lagi menahan arus banjir yang melandanya, Pandan Wangi kemudian menangis sejadi-jadinya. Tanpa malu-malu diletakkannya kepalanya di pangkuan kakaknya yang masih duduk diam seperti patung batu. Tetapi Sidanti tidak mengusirnya. Sidanti tidak lagi berkata. Terasa sesuatu bergetar di dada anak muda yang keras hati itu. Guncangan isak tangis Pandan Wangi telah mengguncang jantungnya pula. Kembali keduanya terdiam. Tetapi kini yang terdengar adalah isak tangis Pandan Wangi yang semakin keras. Air matanya  pun menjadi semakin deras mengalir. Tetapi Sidanti tidak mengusirnya Sidanti tidak lagi berteriak-teriak. Meskipun hatinya telah mengeras sekeras batu, namun Pandan Wangi tetap mempunyai kesan yang lain padanya. Meskipun ia berusaha, tetapi ia tidak akan dapat melepaskan dirinya dari kenangan masa kanak-kanaknya.
Terbayang di angan-angannya gadis kecil itu menangis memeluknya sambil berkata terputus-putus,
“Kakang, anak itu nakal Kakang. Aku dicubitnya. Permainanku diambilnya.”
Di saat-saat yang demikian itulah ia berteriak,
“Siapa yang nakal? Tunggu di sini. Aku pilin tangannya.”
Tetapi apakah yang harus dilakukannya kini? Pandan Wangi kini menangis di pangkuannya dalam keadaan yang jauh berbeda dari tangis seorang gadis kecil.
Apalagi pikiran Sidanti sendiri memang sedang kalut oleh keadaan yang tidak menentu baginya. Sidanti tidak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya. Mungkin Ki Argapati kini sudah menyiapkan seorang pengawal untuk memenggal lehernya, atau menggantungnya di alun-alun. Sedang kini Pandan Wangi sedang membujuknya untuk menghadap ayahnya, agar ia dapat mendengar keputusan hukuman itu. Terasa dada Sidanti bergetar. Hampir saja ia mendorong Pandan Wangi dan melemparkannya ke sudut ruangan.
“Ia membawa sepasang pedang,” katanya di dalam hati,
“Aku dapat mengambilnya dan mempergunakannya. Atau aku dapat menjadikan gadis ini sebagai perisai untuk keluar dari rumah ini.”
Ketika Sidanti hampir saja melakukannya, tiba-tiba tangannya menjadi gemetar. Ia benar-benar tidak dapat berbuat demikian betapapun ia sendiri sedang dilanda oleh kekalutan hati. Meskipun Sidanti mencoba menyingkirkan segala macam pertimbangan, namun ia masih tetap diam tanpa berbuat sesuatu.
Sejenak kemudian, ketika tangis Pandan Wangi mereda, maka terdengar suaranya kembali,
“Kakang, apakah kau mendengarkan aku?”
Sidanti tidak menjawab.
“Akulah yang minta kepadamu.”
“Kau membujuk aku, Wangi. Kau ingin mengeluarkan aku dari bilik ini, dan tidak akan kembali lagi ke mari.”
“Kenapa, Kakang?”
“Sidanti akan tinggal namanya saja,” sahut Sidanti.
“Aku menyesal bahwa aku tidak terbunuh di peperangan. Itu akan menjadi jauh lebih baik dari keadaanku sekarang.”
“Tidak. Kalau kau terbunuh, maka tidak akan ada kemungkinan lagi bagimu, untuk turut serta membangun Tanah ini.”
“Sekarang  pun tidak.”
“Ada. Seperti Paman Argajaya. Paman telah menyatakan kesediaanya untuk ikut serta membangkitkan Tanah ini kembali.
Sidanti mengerutkan keningnya.
“Begitukah dengan Paman Argajaya?”
“Ya.”
Sidanti terdiam sejenak. Wajahnya menjadi tegang kembali. Namun sejenak kemudian ia menarik nafas.
“Argajaya adalah adik Argapati,” katanya.
“Aku bukan apa-apanya.”
“Itu tidak penting. Yang penting, kita adalah putera-putera Tanah Perdikan. Pada kitalah terletak tanggung jawab masa depan Tanah ini. Tanah yang kini sudah menjadi abu.”
“He, kau ingin mengatakan bahwa akulah yang telah membakar Tanah ini, dan adalah menjadi tanggung jawabku untuk mengembalikannya kembali.”
“Tidak. Bukan itu. Kita akan melupakan apa yang sudah terjadi. Kita akan melupakannya.”
Sidanti terdiam sejenak. Ditatapnya wajah adiknya dengan saksama. Dilihatnya wajah itu tidak secerah wajahnya dahulu. Betapa sayunya. Ketika Pandan Wangi kemudian menatapnya dengan mata yang merah karena tangis, Sidanti tidak dapat menolaknya lagi.
“Aku minta kau pergi kepada ayah, Kakang.”
Sidanti tidak menjawab.
“Bukankah kau bersedia?”
Sidanti akhirnya menganggukkan kepalanya.
“Kalau bukan kau, Wangi, aku tidak akan beranjak dari tempat ini apa pun yang akan terjadi atasku. Aku kira aku akan lebih merasa berbahagia kalau aku mati di bilik ini daripada di alun-alun.”
“Aku yang meminta kau pergi.”
Sidanti mengangkat wajahnya. Dipandanginya sudut-sudut bilik ini, seolah-olah ia tidak akan dapat melihatnya lagi.
“Di sini aku tinggal di masa kecil itu. Di bilik ini pula aku tidur. Kadang-kadang sendiri, kadang-kadang bersama Paman Argajaya.”
Sidanti terdiam sejenak,
“aku merasa bersyukur bahwa aku masih sempat melihat untuk yang terakhir kalinya sebelum aku mati.”
“Kau tidak akan mati.”
“Marilah, Pandan Wangi,” berkata Sidanti,
“aku sudah muak melihat wajah-wajah di luar bilik ini. Kau lupa menutup pintu.”
Pandan Wangi berpaling. Ia melihat beberapa orang yang duduk di ruang dalam agak jauh dari pintu bilik itu.
“Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa.”
“Maksudku, mereka adalah orang-orang yang memuakkan. Mereka adalah penjilat-penjilat yang tidak tahu diri.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Ia takut kalau suasana itu akan rusak karenanya. Karena itu, maka ia hanya sekedar menganggukkan kepalanya saja. Pandan Wangi kemudian berdiri ketika air matanya sudah menjadi agak kering. Sidanti pun berdiri pula dan berjalan mengikuti Pandan Wangi. Sekali-sekali matanya masih juga tertarik pada sepasang pedang di lambung adiknya. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Ketika ia melintasi ruang tengah, anak muda itu sama sekali tidak mengacuhkan, siapa saja yang duduk di atas tikar pandan itu. Ia hanya sekilas melihat sebuah tombak pendek yang mencuat di antara mereka. Maka sadarlah ia bahwa orang-orang yang duduk itu pasti para pengawal yang sedang menjaganya, sedang di antara mereka adalah gembala tua yang dikenalnya bernama Kiai Gringsing. Seperti Argajaya, maka ketika kakinya melangkah memasuki ruangan bilik Ki Argapati, hatinya menjadi berdebar-debar. Tetapi ia merasa heran, bahwa di dalam bilik itu sama sekali tidak terdapat para pengawal yang berjaga-jaga. Ki Argapati yang melihat kedatangannya  pun segera bangkit dan duduk di pembaringannya. Dengan nada yang dalam ia berkata,
“Kemarilah, Sidanti.”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi yang pertama-tama dilihatnya adakah tombak pendek yang bersandar dinding di atas pembaringan Ki Argapati. Tetapi segera ia menggeser tatapan matanya kepada Ki Argapati yang duduk dengan nafas yang masih belum teratur benar karena luka-lukanya.
“Duduklah dulu, Sidanti,” orang tua itu mempersilahkan Sidanti duduk di atas dingklik kayu di dekat pembaringannya.
Tetapi Sidanti tidak segera duduk. Ia berdiri saja di tempatnya. Meskipun demikian ia masih juga merasa heran. Bilik tempat Ki Argapati berbaring itu sama sekali tidak seperti yang dibayangkannya. Tidak ada seorang pengawal pun yang ada di dalam. Ki Argapati yang sakit itu tidak juga diapit-apit oleh dua orang pengawal pilihan, kemudian di setiap sudut, dan di sisi pintu, tidak juga ada ujung-ujung senjata yang merunduk ke arahnya.
“Duduklah,” Ki Argapati mengulangi. Tetapi Sidanti masih tetap berdiam diri.
Pandan Wangi-lah yang kemudian membimbingnya dan meletakkannya di atas dingklik itu. Seperti anak-anak yang dibimbing ibunya Sidanti tidak melawan. Ia melangkah dengan berat, dan kemudian duduk di atas dingklik kayu itu dengan kepala tunduk.
“Sudah lama aku ingin berbicara dengan kau, Sidanti,” berkata Ki Argapati,
“tetapi lukaku agaknya masih belum mengijinkan. Hari ini aku merasa agak ringan, sehingga aku segera memanggil kau dan pamanmu berganti-ganti.”
Sidanti tidak menjawab. Kepalanya masih saja menunduk.
“Apakah adikmu sudah mengatakan sesuatu kepadamu?”
Sidanti mengangkat wajahnya sejenak, kemudian dipalingkannya kepalanya kepada Pandan Wangi. Tetapi kepalanya itu pun kemudian menunduk lagi tanpa menjawab apa  pun juga.
“Aku belum mengatakan apa-apa kepadanya, Ayah,” sela Pandan Wangi.
“Aku hanya mengajaknya kemari, agar Ayah mengatakan sendiri maksud Ayah itu.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baiklah, Pandan Wangi. Aku akan mengatakannya seperti aku mengatakan kepada Argajaya.”
Tetapi Sidanti sama sekali tidak menyahut.
Ki Argapati terdiam sejenak. Dipandanginya kepala Sidanti yang menunduk. Tetapi tangkapan mata hati Ki Argapati yang tajam segera merasakan, bahwa hati Sidanti masih belum dapat dilunakkan sama sekali, tidak seperti pamannya Argajaya.
“Anak ini benar-benar keras kepala,” berkata Ki Argapati di dalam hatinya. Meskipun demikian Ki Argapati masih akan mencobanya untuk menjajagi hati Sidanti lebih jauh.
“Sidanti,” katanya,
“apakah hatimu sudah terbuka untuk berbicara? Seperti pamanmu Argajaya, aku membawanya berbicara tentang keadaan kita saat ini. Tentang Tanah Perdikan Menoreh, dan tentang masa depannya. Aku ingin bersama melihat, di mana kita sekarang ini berada. Dan ke mana kita masing-masing akan pergi. Kalau kita dapat menemukan persesuaian arah, maka kita akan dapat berjalan bersama-sama.”
Ternyata Sidanti masih belum menjawab. Kepalanya masih menunduk, seakan-akan ia sedang merenungi dirinya sendiri dalam-dalam.
“Sidanti, kenapa kau diam saja?” bertanya Ki Argapati.
“Katakanlah apa yang ingin kau katakan. Aku memang ingin mendengarkan isi hatimu dengan terbuka, supaya aku dapat memperhitungkan segala sesuatu buat masa depan Tanah ini.”
Perlahan-lahan Sidanti mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu adalah wajah yang suram dan gelap. Dengan suara parau ia berkata datar,
“Kalau kau akan menjatuhkan hukuman atasku, segera katakan. Ternyata aku menjadi muak berada di bilik ini lebih lama lagi.”
“Kakang,” Pandan Wangi memotong,
“sadarilah keadaan ini, Kakang. Kita sedang mencari jalan sebaik-baiknya, agar kita menemukan titik pertemuan.”
“Itulah yang sulit. Kalian kini sedang berkuasa atasku. Kalian dapat berbuat apa saja.”
“Tetapi kami tidak ingin berbuat demikian. Kami ingin mencari cara yang baik. Seperti Paman Argajaya, yang dengan hati terbuka menyatakan keinginannya untuk bersama-sama membangun kembali Tanah Perdikan ini.”
“Apakah aku harus berjanji seperti Paman Argajaya itu pula?”
“Tidak, Sidanti,” sela Ki Argapati,
“tidak seorang pun yang mengharuskannya. Mungkin aku dapat memaksa berjanji. Tetapi janji yang demikian adalah janji yang tidak akan menghasilkan buah yang wajar. Janji itu sendiri harus terlontar dari hati dan kesadaran diri.”
Jawab Sidanti ternyata telah mengejutkan Pandan Wangi dan Ki Argapati,
“Aku tidak akan berjanji apa-apa. Aku tidak merasa wajib untuk berbuat sesuatu.”
“Kakang,” Pandan Wangi hampir berteriak,
“kita adalah anak-anak Tanah ini. Kita dilahirkan di atas Tanah ini.”
“Tetapi aku sudah mengkhianati Tanah ini menurut anggapanmu dan anggapan orang-orang yang sekarang ini berkuasa. Kenapa kalian tidak menghukum aku saja? Apakah kalian sedang berusaha untuk memperalat aku, agar perlawanan yang mungkin masih ada itu segera padam?”
“Seandainya demikian, Sidanti,” jawab Ki Argapati,
“itu sudah merupakan urusanmu membangun Tanah ini. Dengan demikian maka ketenteraman akan segera pulih kembali.”
“Aku tidak mau diperalat dengan cara itu, dengan cara yang licik. Kalian sudah menang atas pasukanku. Kalian berhak membunuh aku. Aku tidak boleh berkhianat untuk kedua kalinya. Berkhianat menurut anggapanmu dan berkhianat terhadap pasukanku yang telah kau hancurkan. Apalagi berkhianat terhadap guruku, dan………” Sidanti tidak dapat mengatakannya. Terasa sesuatu menahan di kerongkongannya sehingga kata-katanya terputus. Tetapi dengan demikian api kebenciannya kepada Ki Argapati serasa meluap. Tiba-tiba saja ia merasa terlempar pada kenyataannya. Seperti yang dikatakan oleh Pandan Wangi. Dan ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu, bahwa Argapati bukan apa-apa baginya.

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa usahanya kali ini tidak akan dapat berhasil. Agaknya hati Sidanti benar-benar telah mengeras seperti batu hitam. Namun demikian, berbeda dengan Ki Argapati, Pandan Wangi merasa bahwa masih ada harapan untuk merubah sikap kakaknya itu. Meskipun harapan itu tampaknya semakin lama menjadi semakin tipis. Tetapi ia masih berkata,
“Apakah kita tidak dapat melupakan apa yang telah terjadi? Atau bahkan kita menganggap hal itu sebagai suatu pengalaman?”
“Tidak, tidak!” Sidanti berteriak.
Pandan Wangi terkejut mendengar teriakan itu. Sekilas dipandanginya wajah ayahnya yang tegang. Terasa bahwa di wajah ayahnya itu telah terbayang warna hatinya yang muram.
“Apakah Kakang Sidanti tidak juga dapat dilunakkan?” pertanyaan itu mulai membelit hatinya.
Dalam pada itu, di ruang tengah beberapa orang duduk dengan cemasnya. Mereka kini sudah beringsut dari depan pintu bilik Sidanti ke depan pintu bilik Ki Argapati. Bahkan kini jumlah mereka telah bertambah pula karena Ki Samekta dan Ki Kerti telah ada di antara mereka.
“Apakah Ki Gede memang memanggil Angger Sidanti?” bertanya Samekta sambil berbisik.
“Ya,” jawab gembala tua itu.
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kerti  pun berkata,
“Ki Argapati masih juga dipengaruhi oleh hubungan masa lampau. Bagaimana pun juga Sidanti pernah dianggap sebagai anaknya.”
“Ya,” jawab Samekta,
“tetapi apakah pantas bahwa anak itu kini berteriak-teriak begitu di dalam bilik Ki Argapati yang sedang sakit.”
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Siapa sajakah yang ada di dalam?” bertanya Kerti kemudian.
“Selain Angger Sidanti hanyalah Angger Pandan Wangi.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia percaya kepada Pandan Wangi. Tetapi hatinya hampir-hampir tidak tahan lagi mendengar Sidanti berteriak-teriak dan membentak-bentak.
“Itu sudah terlalu,” gumam Samekta.
“Sedang Sidanti yang bukan tawanan saja, tidak sepantasnya berteriak-teriak dan membentak-bentak seperti itu. Apalagi kini Sidanti adalah tawanan.”
“Kalau ia bukan seorang tawanan, aku kira ia tidak akan membentak-bentak,” berkata gembala tua itu lirih.
“Kenapa?”
“Sebagai seorang tawanan ia merasa bahwa tubuhnya terbelenggu. Karena itu, maka yang dapat dilakukan hanyalah sekedar melepaskan suaranya menembus ikatan-ikatan yang membatasinya.”
“Tetapi akibatnya dapat berbahaya bagi dirinya. Kalau Ki Argapati marah, maka segala kebaikan hatinya akan larut, karena ia adalah manusia biasa.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab,
“Sidanti telah dicengkam oleh keputus-asaan dan kehilangan pegangan. Ia menyadari hal itu, tetapi agaknya ia memang memilih jalan yang terdekat untuk mati.”
Samekta dan Kerti mengerutkan keningnya. Namun kepala mereka  pun kemudian terangguk-angguk lemah. Sejenak mereka  pun terdiam. Mereka mencoba mendengarkan apa yang dikatakan oleh Pandan Wangi. Tetapi mereka tidak dapat mendengarnya dengan jelas, apalagi kemudian terdengar suara Pandan Wangi seakan-akan tenggelam di dalam isaknya.
“Jangan membujuk lagi,” suara Sidanti-lah yang terdengar jelas,
“aku sudah memutuskan. Kalau kalian akan membunuh aku, segera lakukanlah. Jangan memaksa aku untuk melakukan hal-hal yang tidak akan mungkin bagiku. Aku tidak bertabiat serendah itu.”
“Kau tidak mau memikirkannya, Kakang,” sahut Pandan Wangi,
“kau menanggapinya dengan perasaan tanpa nalar. Itu adalah kebiasaan perempuan. Kau adalah seorang anak muda. Seorang laki-laki. Tetapi hatimu digelapi oleh perasaanmu. Seharusnya kau mempergunakan nalarmu, Kakang.”
“Tidak. Aku tidak dapat kau paksa lagi dengan cara apa pun.”
“Kalau begitu, maka kau adalah laki-laki cengeng. Bukan sebaliknya, karena kau tidak dapat mempergunakan nalarmu.”
Wajah Sidanti menjadi merah padam. Sejenak ia membeku. Dipandanginya wajah Pandan Wangi dan Argapati berganti-ganti.
Melihat kakaknya berdiam diri, maka tumbuh kembalilah harapan Pandan Wangi. Karena itu maka suaranya segera menurun, “Bukankah begitu, Kakang? Bukankah kau seorang laki-laki yang berani menghadapi kenyataan? Seharusnya kau memang tidak usah lari. Marilah kita terima apa yang sudah tersedia di hadapan kita. Kalau kita menerimanya dengan ikhlas, maka semuanya akan berlangsung dengan baik.”
Sidanti tidak menjawab. Dengan demikian maka Pandan Wangi  pun menjadi semakin berpengharapan. Bahkan Ki Argapati yang sudah berputus asa untuk dapat mengait Sidanti dari kegelapan, menjadi heran. Apakah Pandan Wangi akan berhasil.
“Kau mengerti maksudku bukan, Kakang?”
Sidanti masih tetap berdiam diri.
Perlahan-lahan Pandan Wangi melangkah mendekati tempat duduk kakaknya sambil berkata pula,
“Bukankah kau mengerti? Ini bukan kebaikan hati kami. Tidak. Tetapi kita akan bertanggung jawab bersama-sama.”

Namun yang terjadi kemudian benar-benar di luar dugaan Pandan Wangi. Ternyata kediaman Sidanti telah menumbuhkan kelengahan pada Pandan Wangi. Pandan Wangi tidak dapat mencegahnya ketika tiba-tiba saja Sidanti meloncat menyambar tombak yang terletak di atas pembaringan Ki Argapati. Demikian cepatnya, sehingga Pandan Wangi sadar, ketika tombak itu sudah ada di tangan Sidanti. Argapati pun terkejut bukan buatan. Getaran dadanya yang tergoncang agaknya telah membuat lukanya menjadi seakan-akan terhenti. Dengan darah yang seakan-akan terhenti ia menatap ujung tombaknya itu merunduk ke arah dadanya yang luka. Pandan Wangi tidak mendapat kesempatan untuk merebut tombak itu dari tangan kakaknya. Tetapi ia tidak tinggal diam menyaksikan ujung tombak itu menembus dada ayahnya. Karena itu, maka dengan secepat-cepat kemampuannya ia meloncat memeluk kakangnya dari belakang. Tetapi Sidanti telah menjadi wuru. Seakan-akan ia telah kehilangan akal. Tanpa menghiraukan apa  pun lagi, maka dikibaskannya Pandan Wangi sekuat-kuatnya. Pandan Wangi yang belum siap benar menanggapi peristiwa itu, tidak dapat bertahan. Ia terlempar membentur dinding kayu bilik itu, kemudian terjatuh di lantai. Kini Sidanti berdiri dengan mata yang merah menghadap Argapati yang belum mampu melakukan perlawanan apa pun karena luka-lukanya. Tombak di tangannya kini telah merunduk kembali setelah diguncang oleh Pandan Wangi, tepat mengarah ke dada Ki Argapati. Benturan tubuh Pandan Wangi pada dinding kayu telah mengejutkan beberapa orang yang berada di luar pintu. Tetapi mereka tidak segera melihat apa yang telah terjadi di dalamnya. Pintu yang terbuka sedikit, tidak tepat pada pembaringan Ki Argapati, sehingga orang-orang yang di luar pintu, tidak melihat Sidanti yang menggenggam tombak telah menggeram seperti seekor harimau yang terluka.
“Suara apakah itu?” bertanya Ki Samekta.
Tetapi yang lain hanya menggelengkan kepalanya saja. Tidak seorang  pun yang beranjak dari tempatnya. Mereka agaknya segan untuk memasuki ruangan itu, sebelum mereka dipanggil.
Namun demikian, tanpa mereka sadari, seorang demi seorang telah beringsut dari tempat duduknya semula. Pandan Wangi yang terbanting di lantai masih sempat melihat kakaknya maju setapak dengan tombak di tangannya. Dan tiba-tiba saja ia terpekik,
“Kakang, Kakang Sidanti. Jangan.”
Tetapi Sidanti sama sekali tidak mendengarkan lagi suara ini. Ia maju selangkah lagi. Kini ia sudah memusatkan tenaganya di telapak tangannya yang menggenggam tombak pendek itu.
Ki Argapati benar-benar telah tidak mempunyai kesempatan apa pun. Ia tidak melihat senjata apa  pun yang akan dapat menolongnya, sedang tenaganya sama sekali belum cukup kuat untuk melontarkan tubuhnya dari pembaringannya itu. Karena itu, ia hanya menunggu apa yang akan terjadi, ia mengharap bahwa ia masih sempat untuk mengelak apabila Sidanti benar-benar ingin menghunjamkan, tombak pendeknya. Ternyata suara Pandan Wangi telah mengejutkan mereka yang berada di luar pintu. Serentak mereka berloncatan dan tanpa menunggu lagi, mereka berlari-larian ke bilik Ki Argapati. Tetapi untuk memasuki pintu itu mereka memerlukan waktu. Sedang Sidanti telah benar-benar siap menusukkan tombaknya. Terdengar ia menggeram,
“Orang-orang Menoreh hanya dapat menghukum mati aku satu kali. Meskipun aku membunuhmu, maka hukuman itu tidak akan dapat ditambah lagi.”
Ketika gembala tua, Ki Samekta, Kerti, dan beberapa orang prajurit meloncat tlundak pintu, maka pada saat itu, mereka kehilangan segala kemungkinan untuk dapat menolong Ki Argapati karena Sidanti sudah mulai mengayunkan tombaknya untuk menusuk langsung ke dada Ki Argapati.
Tetapi dalam kecemasan yang amat sangat, yang telah mencekam setiap dada, mereka melihat kilatan senjata yang langsung menghunjam ke lambung Sidanti. Demikian, cepat dan kerasnya, sehingga Sidanti yang telah mengayunkan tombak itu terdorong ke samping. Terdengar sebuah keluhan tertahan. Kemudian perlahan-lahan tombak yang sudah hampir saja menembus dada Ki Argapati itu menjadi bergetar, dan terjatuh di lantai. Yang telah terjadi itu telah benar-benar mencengkam semua orang yang menyaksikannya. Nafas mereka seakan-akan telah berhenti mengalir ketika kemudian mereka melihat, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Pandan Wangi berdiri dengan tubuh gemetar di sisi pembaringan ayahnya. Dengan wajah yang pucat pasi dipandanginya pedangnya yang masih menghunjam di lambung kakaknya yang berdiri tertatih-tatih. Sejenak Sidanti memandang adiknya, namun kemudian ia tidak lagi mampu bertahan. Perlahan-lahan ia jatuh di atas lututnya, sedang darah yang merah mengalir dari lukanya. Dengan kekuatan terakhirnya Sidanti masih sempat mencabut pedang yang telah terlepas dari tangan Pandan Wangi itu, kemudian meletakkannya di sampingnya. Pandan Wangi memandanginya dengan wajah yang tegang beku. Namun ketika kemudian Sidanti tidak lagi mampu berdiri di atas lututnya, dan perlahan-lahan menahan tubuhnya dengan kedua tangannya, terdengar Pandan Wangi menjerit keras sekali,
“Kakang. Kakang Sidanti.”
Seperti orang yang kehilangan akal, Pandan Wangi memeluk kakaknya yang sudah hampir kehabisan tenaganya, sehingga justru dengan demikian Sidanti tidak lagi dapat bertahan. Perlahan-lahan ia menelentang dan terbaring dilantai, sedang Pandan Wangi menelungkup memeluknya sambil menangis sejadi-jadinya. Darah Sidanti yang bergelimang di lantai, telah memerahi pakaian gadis itu pula.
“Kakang, Kakang Sidanti.”
Ki Argapati yang masih berada di pembaringan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia beringsut dan memaksa dirinya untuk duduk di pinggir pembaringan, sementara gembala tua, Samekta, dan Ki Kerti serta beberapa orang yang lain telah melingkarinya.
“Kakang, Kakang, kenapa jadi begini, Kakang. Aku tidak sengaja, Kakang. Aku tidak sengaja melukaimu.”
Nafas Sidanti semakin cepat memburu. Ketika ia membuka matanya ia melihat Pandan Wangi yang menangis seperti kanak-kanak, meraung-raung tidak terkendali lagi. Penyesalan yang tiada taranya telah melanda dadanya. Dengan gerak naluriah ternyata ia telah meloncat dan menusuk lambung Sidanti untuk mencegah Sidanti membenamkan ujung tombaknya di dada ayahnya. Ternyata akibat dari tusukan di lambung anak muda itu terlampau parah, sehingga maut telah membayang di wajahnya.

Dalam suatu saat, ternyata Pandan Wangi memang harus memilih. Dan saat itu terlampau pendek. Hanya sekejap. Ia tidak dapat membuat pertimbangan lebih jauh ketika ia melihat kakaknya sudah siap menusukkan tombak pendeknya ke dada Argapati. Dan Pandan Wangi pun memang sudah melakukan pilihan itu. Betapa besar ikatan kasih antara kakak-beradik, namun ia tidak dapat membiarkan ayahnya terbunuh di pembaringan selagi ia tidak kuasa berbuat apa-apa. Dan di saat yang sekejap itu, ia telah memilih ayahnya daripada kakaknya meskipun akhirnya ia harus memeras air matanya.
“Pandan Wangi,” terdengar suara Sidanti parau.
“Kakang. Aku minta maaf.”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang yang kini berjongkok di sekitarnya melihat Sidanti menyeringai menahan sakit. Namun kemudian mereka menjadi heran dan kemudian terharu ketika mereka melihat Sidanti itu tersenyum,
“Kau tidak bersalah, Adikku,” desisnya.
“Aku tidak sengaja, Kakang.”
“Aku tahu bahwa kau memang tidak sengaja. Tetapi dipandang dari segi keharusanmu, kau sudah bertindak tepat. Kau berusaha menyelamatkan ayahmu.”
“Tetapi maksudku tanpa mengorbankan kau.”
“Dalam keadaan ini tidak mungkin, Pandan Wangi,” jawab kakaknya.
“Alangkah anehnya hati ini. Justru pada saat terakhir aku melihat cahaya yang terang.”
“Maksudmu, Kakang?”
“Aku merasa bersalah.”
“Kakang,” Pandan Wangi menggucang-guncang tubuh kakaknya.
“Jangan kau guncang, Wangi. Sakit.”
“Tetapi jangan berkata saat-saat terakhir. Kau pasti akan sembuh,” tiba-tiba saja Pandan Wangi dengan nanar mengedarkan tatapan matanya.
“Kiai. Kiai,” katanya kepada gembala tua itu,
“kenapa kau diam saja? Kenapa kau tidak berbuat sesuatu untuk mengobati luka Kakang Sidanti.”
Gembala tua itu beringsut maju. Tetapi suara Sidanti menjadi semakin lemah,
“Tidak ada gunanya. Aku akan mati.”
“Tidak. Tidak. Kau tidak akan mati.”
Sekali lagi Pandan Wangi melihat Sidanti tersenyum. Kemudian dicobanya memandangi Argapati yang duduk di pinggir pembaringannya.
“Ayah,” desisnya.
Terasa sesuatu berdesir di dada Ki Argapati. Panggilan itu selalu didengarnya dahulu. Tetapi di saat-saat api membakar Tanah Perdikan, anak muda itu telah menjadi musuhnya. Kini, ketika jari-jari maut mulai merabanya, ia mendengar panggilan itu lagi.
“Aku minta maaf.”
“Kau tidak bersalah, Sidanti,” suara Ki Argapati berat.
Tetapi Sidanti tertawa,
“Maafkan aku, Ayah, jangan berkata aku tidak bersalah.”
Ki Argapati terdiam sesaat.
Dan Sidanti mengulanginya,
“Aku mengharap Ayah memaafkan kesalahanku.”
“Ya, ya, Sidanti. Aku maafkan semua kesalahanmu.”
“Terima kasih,” nafas Sidanti menjadi semakin sendat.
Dan yang terdengar adalah suara Pandan Wangi,
“Kiai, kenapa Kiai diam saja? Apakah Kiai memang mengharap luka itu tidak dapat ditolong lagi.”
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, sebagai seorang yang telah mengenal beribu jenis luka, maka luka Sidanti itu tidak akan dapat ditolong lagi.
“Sudahlah,” Sidanti sendiri memang menolak,
“aku sudah sampai pada batas,” suaranya menjadi semakin lambat. Lalu,
“Kiai, bukankah murid-muridmu ada di sini?”
“Ya. Mereka ada di sini, Ngger.”
“Apakah aku dapat bertemu.”
Gembala itu mengerutkan keningnya,
“Apakah maksud Angger Sidanti, anak-anak itu dipanggil kemari?”
Sidanti mengangguk lemah. “Apakah Paman Argajaya juga ada?”
Gembala itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kepada seseorang yang ada di belakangnya ia memberi isyarat untuk memanggil mereka. Dengan tergesa-gesa orang itu berdiri. Tetapi di muka pintu ia tertegun sejenak. Dipandanginya Ki Argapati, seolah-olah ingin mendapat ketegasannya. Ketika Ki Airgapati  pun kemudian menganggukkan kepalanya, maka orang itu  pun berlari ke gandok. Dengan singkat disampaikannya berita tentang Sidanti dan diperintahkannya kedua murid gembala tua itu membawa Ki Argajaya menghadap.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar