“meskipun kita sudah menemukan persetujuan, tetapi aku minta maaf, bahwa aku masih akan mempersilahkan kau kembali ke dalam bilikmu. Mungkin bilik itu sama sekali tidak memadai. Setelah aku menemukan kesamaan pendapat dengan Sidanti, kita akan segera berbuat sesuatu. Kau akan segera dapat mencari anakmu bersama dengan beberapa orang yang akan mengawani kau dalam perjalanan, karena orang-orang yang tidak puas mungkin masih akan melakukan tindakan-tindakan yang tidak sepantasnya.”
“Terserahlah
kepada Kakang,” jawab Ki Argajaya.
“Nah,
Argajaya, biarlah Pandan Wangi membawamu kembali. Besok atau lusa kita akan
bertemu lagi. Hari ini aku akan berusaha bertemu dengan Sidanti supaya
masalahnya, lekas selesai.”
Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia tidak dapat menahan diri
ketika dari mulutnya meloncat suatu peringatan kepada kakaknya,
“Hati-hatilah
terhadap Sidanti, Kakang.”
Ki Argapati
mengerutkan keningnya. Tetapi dari lontaran kata-kata itu ia melihat ketulusan
hati Argajaya. Karena itu maka ia menjawab,
“Terima kasih
Argajaya. Aku akan berhati-hati kepadanya. Tetapi aku telah mengenalnya sejak
kecil. Ia adalah anakku.”
Ki Argajaya
memandang wajah Argapati sejenak. Tetapi tampaklah kemuraman yang dalam menikam
jantungnya. Kata-kata itu telah dipaksanya untuk meloncat dari bibirnya, sedang
hatinya sendiri tersayat karenanya.
Namun Ki
Argajaya tidak berkata apa pun lagi.
“Argajaya,” Ki
Argapatilah yang berkata lagi,
“biarlah
Pandan Wangi mengantarkan kau.” Kemudian kepada Pandan Wangi ia berkata,
“Langsung
sajalah kau pergi menjemput kakakmu. Bawalah ia kemari. Aku ingin berbicara
pula kepadanya.”
“Baik, Ayah,”
jawab Pandan Wangi.
“Marilah,
Wangi,” berkata Ki Argajaya. Lalu kepada Ki Argapati,
“Aku minita
diri Kakang. Aku menunggu apa pun yang akan Kakang lakukan. Tetapi sebelumnya
aku mengucapkan diperbanyak terima kasih atas kebaikan hati Kakang itu.”
“Sudahlah.
Kita saling memerlukan.”
Pandan Wangi
pun kemudian, mengantarkan pamannya keluar dari bilik ayahnya. Di ambang pintu,
Pandan Wangi melihat gembala tua itu duduk di antara mereka yang bertugas
menjaga Sidanti.
“Hem, gembala
itu tidak percaya lagi kepada Paman Argajaya dan barangkali juga kepada Kakang
Sidanti,” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak mengucapkan kata-kata itu. Ketika
Argajaya juga melihat gembala itu, maka ia pun segera berpaling. Ia masih belum
dapat mengatur perasaannya apabila ia melihat orang-orang dari luar Tanah
Perdikan ini, tetapi terlampau banyak ikut mencampuri masalah di dalam wilayah
ini. Karena itu, maka Argajaya pun kemudian melangkah tanpa berpaling lagi
diikuti oleh Pandan Wangi. Apalagi ketika di luar pendapa ia melihat Gupita dan
Gupala dan bahkan Sekar Mirah ada di antara mereka. Dahinya pun segera menjadi
berkerut-merut. Tetapi tidak ada yang dapat dilakukannya selain membuang
wajahnya. Ia menjadi muak mendengar suara Gupala dan Gupita dari dalam
biliknya, selama Gupala dan Gupita bertugas di luar pintu menungguinya.
“Mereka pun harus pergi. Selama mereka masih ada di
atas Tanah ini, Kakang Argapati tidak akan dapat melakukan pekerjaannya sesuai
dengan kehendaknya yang murni. Orang-orang ini
pun pasti mempunyai maksud pula untuk kepentingan diri mereka sendiri,
yang mungkin bertentangan dengan kepentingan Tanah Perdikan ini,” katanya di
dalam hati.
Gupala dan
Gupita pun sama sekali tidak menegurnya. Bahkan mereka pun kemudian berpaling
pula memandang ke arah lain. Sejenak kemudian Ki Argajaya telah masuk kembali
ke dalam biliknya. Namun pertemuannya dengan kakaknya menjadikannya semakin
menyadari diri. Meskipun perlahan-lahan namun pasti, bahwa Ki Argajaya merasa,
bahwa tidak ada jalan lain daripada menundukkan kepalanya kembali di hadapan
kakaknya. Baik sebagai seorang saudara muda, maupun sebagai seorang warga Tanah
Perdikan Menoreh. Ki Argajaya mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Pandan
Wangi berkata,
“Silahkan,
Paman, aku minta diri untuk menemui Kakang Sidanti.”
“O,” Ki Argajaya
menjawab,
“baiklah.
Mudah-mudahan semuanya dapat berjalan lancar seperti yang diharapkan oleh
ayahmu. Sekali lagi aku menyampaikan terima kasih atas kemurahannya. Tetapi aku
pun berpesan, agar orang-orang asing itu segera diusir dari Tanah ini. Mereka
akan menjadi benalu yang memuakkan apabila mereka dibiarkan untuk tetap berada
di atas Tanah ini.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya.
“Maksud
Paman?” ia bertanya.
“Orang-orang
gila itu. Swandaru, Agung Sedayu, gurunya, dan orang-orang lain yang datang
bersamanya. Termasuk perempuan muda itu pula.”
Pandan Wangi
menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab. Yang dikatakannya kemudian,
“Silahkan
Paman beristirahat. Aku akan menemui Kakang Sidanti.”
Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia melangkah ke pembaringannya di
dalam bilik yang gelap dan lembab. Sejenak kemudian pintu bilik itu pun tertutup kembali. Argajaya merasa bahwa
kini ia kembali terpisah dari dunia di sekitarnya. Dunianya adalah ruangan yang
sempit, gelap, dan lembab. Dunia yang sama sekali tidak berarti apa-apa itu. Ia
mengangkat kepalanya ketika ia mendengar pintu, biliknya di selarak dari luar.
Dan ia berdesah ketika ia mendengar suara Gupala,
“Aku akan
menungguinya.”
“Jagalah ia
baik-baik,” pesan Pandan Wangi.
“Tentu. Aku
akan menjaganya baik-baik.”
Sejenak
kemudian tidak terdengar apa-apa lagi. Sepi. Agaknya Pandan Wangi telah pergi
meninggalkan pintu biliknya.
Sebenarnyalah
bahwa Pandan Wangi telah pergi. Dengan hati yang berdebar-debar ia menuju ke
bilik kakaknya. Terasa sesuatu yang lain. Dan gadis itu sadar, bahwa kakaknya
Sidanti memang bersikap lain dari pamannya, Ki Argajaya.
“Aku akan
mencoba melunakkan hatinya,” katanya di dalam hati. Namun demikian Pandan Wangi
sendiri masih ragu-ragu. Apakah ia akan berhasil? Agaknya hati Sidanti
benar-benar sudah mengeras, sekeras batu hitam.
“Tetapi kami
harus berusaha. Keputusan terakhir terserah kepada ayah,” ia berbicara kepada
dirinya sendiri.
Di muka pintu
ruangan tengah ia menjadi ragu-ragu sejenak. Ia masih melihat gembala tua itu
duduk di antara penjaga bilik Sidanti.
“Marilah,
Ngger,” gembala itu mempersilahkan.
Pandan Wangi
maju beberapa langkah, kemudian katanya,
“Kiai, aku
mendapat perintah dari ayah untuk membawa Kakang Sidanti menghadap sekarang.”
“Sekarang?”
bertanya gembala itu.
“Ya. Ayah
ingin menyelesaikan pembicaraan ini sama sekali. Kemudian ayah akan segera
dapat menyusun rencana untuk Tanah Perdikan ini. Rencana yang segera dapat
dikerjakan, dan rencana yang akan dikerjakan kemudian.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Pembicaraan antara Ki Argapati dan Sidanti
pasti akan merupakan peristiwa yang cukup penting. Sementara itu ia tidak
melihat Ki Samekta dan Ki Kerti.
“Karena itu,”
berkata Pandan Wangi kemudian,
“aku akan
menemui Kakang Sidanti sekarang.”
“Ya, ya. Silahkan,”
berkata orang tua itu.
“Tetapi apakah
Angger melihat Ki Samekta dan Ki Kerti?”
“Mereka berada
di antara para pengawal. Mungkin sekarang mereka sedang nganglang atau
melihat-lihat apa pun.”
“Apakah mereka
tidak dipanggil oleh Ki Argapati?”
“Kali ini
tidak.”
Gembala itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Kalau begitu,
silahkanlah. Tetapi hati-hatilah.”
“Aku adalah
adiknya. Aku mengenal tabiatnya sejak kanak-kanak.”
Gembala itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya Pandan Wangi sama sekali tidak dapat
melepaskan hubungan yang telah mengikatnya sejak ia dilahirkan. Sebagai dua
orang anak yang dilahirkan oleh ibu yang sama, maka Pandan Wangi tetap merasa
sebagai seorang adik dan Sidanti adalah seorang kakak. Pergaulan mereka di masa
kanak-kanak pun agaknya membekas terlampau dalam di hati gadis itu.
Pandan Wangi
pun kemudian melangkah perlahan-lahan mendekati ujung ruangan itu. Di muka
pintu bilik Sidanti, Pandan Wangi menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia berusaha
menindas setiap perasaan yang telah menghambatnya.
“Sekasar-kasar
Kakang Sidanti, ia tetap kakakku. Ia masih berusaha menolongku justru di
permulaan pertentangan antara ayah dan Kakang Sidanti itu, sedang Kakang
Sidanti sadar, bahwa aku pasti akan berpihak kepada ayah.”
Ketika Pandan
Wangi maju semakin dekat, maka seorang pengawal telah mendekatinya dan berkata,
“Apakah pintu
ini akan dibuka.”
“Ya,” jawab
Pandan Wangi.
Pengawal itu
pun kemudian maju ke depan pintu. Perlahan-lahan ia meraba selaraknya, dan perlahan-lahan
ia mulai menarik. Namun demikian dadanya menjadi kian berdebar-debar. Berbagai
bayangan melonjak di kepalanya. Bagaimana kalau tiba-tiba saja pintu ini
menyentak terbuka. Kemudian sebuah pukulan melayang ke wajahnya, sehingga ia
menjadi pingsan. Oleh angan-angannya sendiri, maka tangannya menjadi semakin
gemetar. Ketika selarak itu telah terlepas, maka tiba-tiba selarak itu
sekan-akan meloncat dari tangannya dan jatuh berderak-derak di lantai. Semua
orang terkejut karenanya. Lebih-lebih lagi adalah orang itu sendiri, sehingga
ia meloncat beberapa langkah surut sambil menarik pedangnya.
“He, kenapa
kau?” bertanya kawannya.
Ketika ia
menyadari keadaanya, maka wajahnya menjadi merah padam. Tersipu-sipu ia
menyarungkan pedangnya kembali sambil melangkah maju.
“Kenapa kau,
he?” bertanya Pandan Wangi.
“Tidak
apa-apa,” jawab pengawal itu. Tetapi hatinya masih tetap berdebaran.
Ketika
kemudian Pandan Wangi perlahan-lahan membuka pintu, pengawal itu menekan
nafasnya. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam ketika dari sela-sela
pintu yang mulai terbuka itu ia melihat Sidanti duduk saja di pembaringannya.
Bahkan berpaling pun tidak. Seakan-akan
ia tidak mendengar pintu itu terbuka dan adiknya melangkah masuk.
“Kakang,”
desis Pandan Wangi kemudian.
Tanpa
berpaling Sidanti katanya,
“Kenapa kau
kemari?”
Pandan Wangi
tidak segera menyahut. Selangkah ia maju. Ditatapnya wajah kakaknya yang muram
dan gelap. Rambutnya yang kusut dan ikat kepalanya yang tersangkut di lehernya.
Terasa dada Pandan Wangi tergetar. Setiap kali ia melihat kakaknya itu dikawani
oleh beberapa orang pengawal dan diawasi oleh gembala tua, apabila ia pergi ke
sumur atau ke pakiwan. Namun ia tidak melihat wajah yang semuram dan segelap
itu.
“Kenapa?”
suaranya datar.
Terasa
kesepian yang tajam membakar dada anak muda itu. Ia merasa bahwa kini ia
tinggal hidup sendiri. Karena itu maka setiap orang sama sekali sudah tidak
berarti lagi baginya. Juga Pandan Wangi.
“Kakang,”
berkata Pandan Wangi, “aku perlu berbicara sedikit.”
“Tidak,” jawab
Sidanti, “tidak ada yang dapat kita bicarakan.”
“Tentu ada
Kakang. Soal apa pun juga.”
“Tidak.
Pergilah. Tinggalkan aku sendiri.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Namun ia maju selangkah,
“Kakang, aku
ingin berbicara kepadamu. Bukankah aku adikmu.”
“Dahulu kau
adikku. Tetapi sekarang kau sudah berpihak kepada laki-laki tamak itu.”
Dada Pandan
Wangi tergetar. Ia memang sudah menyadari bahwa ia seakan-akan berdiri di
simpang jalan yang paling sulit untuk memilih arah. Sidanti adalah kakaknya,
dan Argapati adalah ayahnya. Tetapi sama sekali tidak ada hubungan darah antara
Argapati dan Sidanti itu. Bahkan sejak dilahirkan, sebuah jurang yang dalam
memang telah ternganga di antara keduanya. Betapa pun Ki Argapati mencoba
menimbuni jurang itu, namun ketika banjir bandang yang dahsyat melanda dari
tebing-tebing pegunungan, maka semua lumpur di dalam jurang yang sedikit demi
sedikit tertimbun itu telah hanyut kembali seluruhnya. Dan jurang itu kini
menganga semakin dalam dan semakin lebar.
“Kakang,”
berkata Pandan Wangi,
“apa pun yang telah terjadi atas diri kita
masing-masing, tetapi ikatan itu tidak akan dapat berubah. Kau dilahirkan oleh
Rara Wulan, dan aku pun dilahirkan oleh perempuan itu pula. Kita tidak akan
dapat lari dari kenyataan itu. Kenyataan bahwa kita seibu. Kita adalah
kakak-beradik.”
“Aku bukan
laki-laki cengeng,” suara Sidanti meninggi,
“aku tidak mau
terbelenggu oleh ikatan-ikatan yang tidak aku kehendaki. Aku tidak minta
dilahirkan oleh perempuan yang melahirkan kau juga. Aku tidak pernah menghendaki
apa pun atas kelahiranku. Justru aku merasa tersiksa bahwa aku telah dilahirkan
oleh perempuan yang bernama Rara Wulan itu, karena ia berhubungan dengan
laki-laki yang bukan bakal suaminya.”
“Kakang.”
“Apakah kau
akan ingkar? Bukankah kau yang mengatakan bahwa kita tidak dapat lari dari
kenyataan. Dan kenyataan itu mengatakan bahwa perempuan yang bernama Rara Wulan
itu telah berbuat keji karena ia berhubungan dengan Ki Tambak Wedi sehingga aku
terlempar ke dunia dengan cacat yang tidak akan terhapuskan. Apakah aku harus
berbangga dan berterima kasih atas kejadian serupa itu? Kalau kemudian Rara
Wulan itu melahirkan kau juga itu sama sekali tidak aku minta.” Sidanti berhenti
sejenak, lalu,
“apakah
sekarang aku harus tetap mengikatkan diri pada masalah-masalah dan hubungan
yang tidak aku kehendaki itu. Tidak. Tidak. Aku kini sudah melepaskan diri dari
semuanya itu. Aku adalah aku. Aku tidak terikat oleh siapa pun.”
“Kakang,”
suara Pandan Wangi menjadi semakin dalam,
“hatimu
menjadi gelap. Kau sudah kehilangan dirimu sendiri.”
“Di dalam
bilik yang sempit ini aku menemukan diriku. Aku. Aku. Tanpa orang lain aku
tetap Sidanti. Dan kini suatu kenyataan pula, yang menurut kau, sebaiknya tidak
kita hindari bahwa aku adalah aku sendiri. Tanpa kau, tanpa Argapati, tanpa
Tambak Wedi seandainya ia masih hidup, tanpa Argajaya, dan tanpa Rara Wulan
seandainya ia masih ada pula.”
Pandan Wangi
menggelengkan kepalanya. Tetapi matanya mulai basah,
“Tidak,
Kakang. Tidak mungkin. Kau adalah putera ibuku. Itu tidak akan dapat berubah
betapa pun kau membencinya, betapa kau menganggap ia perempuan yang paling hina
sekalipun. Kau dapat malu kepada dirimu sendiri, bahwa kau mempunyai seorang
ibu bernama Rara Wulan dan seorang ayah bernama Tambak Wedi, tetapi kau tidak
dapat menghapusnya. Itu sudah terjadi. Kau sudah lahir. Dan kau adalah kau itu
juga.”
Suara Pandan
Wangi terpotong oleh isaknya yang seakan-akan menyumbat kerongkongannya.
Sejenak ia tidak dapat mengucapkan kata-kata selain suara isaknya yang
tertahan-tahan. Sidanti masih duduk di tempatnya. Ia sama sekali tidak
berpaling dan beringsut sama sekali. Tatapan matanya yang tajam, seakan-akan
terpaku ke sudut bilik yang sempit itu. Dengan susah payah Pandan Wangi mencoba
menahan perasaannya. Dengan susah payah ia membendung air matanya. Tetapi
setitik-setitik air mata itu jatuh pecah di atas lantai.
“Kau hanya
akan memamerkan tangismu,” geram Sidanti kemudian.
Pandan Wangi
tidak segera menjawab. Dengan ujung bajunya ia mengusap matanya yang basah.
“Kalau kau
hanya akan menangis, sebaiknya kau keluar.”
“Tidak. Aku
tidak menangis,” jawab Pandan Wangi terputus-putus.
“Bohong! Kau
menangis.”
“Tidak.”
“Air matamu
mengalir semakin deras.”
“Itu adalah
air mata kegadisanku. Tetapi aku tidak mau tunduk pada perasaan itu. Aku harus tetap
pada suatu pendirian bahwa kau harus menghadap ayah saat ini. Memang itu bukan
ayahmu, itu adalah ayahku. Tetapi kita bersama-sama adalah putera Tanah
Perdikan ini yang bersama-sama mempunyai tanggung jawab bagi masa depannya. Kau
dilahirkan dan dibesarkan di atas Tanah ini meskipun kau kemudian pergi ke
Tambak Wedi. Ibumu adalah anak Tanah ini juga. Kau tidak dapat acuh tidak acuh
terhadap masa depan Tanah ini. Mungkin orang yang bernama Ki Tambak Wedi itu
seandainya masih hidup sama sekali tidak peduli, apakah Tanah ini menjadi abu
atau akan tetap berkembang. Tetapi kau tidak. Kau tidak dapat.”
“Diam! Diam!”
bentak Sidanti.
“Kenapa aku
harus diam? Marilah kita berbicara tentang diri kita, pendirian kita, sikap
kita dan pandangan hidup kita masing-masing. Baik atas Tanah Perdikan Menoreh
maupun atas diri kita sendiri.”
“Cukup!
Cukup!”
“Aku akan
berbicara. Kalau kau akan berbicara, berbicaralah. Mungkin kau akan melepaskan
endapan-endapan yang selama ini terpaksa kau simpan di dalam dadamu. Sekarang
lontarkanlah semuanya. Mungkin kau akan mengatakan bahwa Argapati adalah
seorang yang tamak, yang tidak bertanggung jawab, yang hanya mementingkan
dirinya sendiri, yang apa lagi, apa lagi. Kemudian kau dapat menilai
orang-orang lain, menilai aku, menilai ibuku dan ibumu itu dan menilai apa pun juga. Berbicaralah, berteriaklah
sepuas-puasmu.” Pandan Wangi berhenti sejenak, kemudian,
“Tetapi apa
yang sudah terjadi akan tetap seperti yang sudah terjadi itu. Kau akan tetap
menjadi anak Rara Wulan seperti aku.”
“Cukup,
cukup!” Sidanti berteriak semakin keras, sehingga setiap orang yang berada di
ruang tengah menjadi berdebar-debar. Gembala tua yang ada di ruangan itu telah
beringsut mendekat. Ia tidak dapat lengah, seandainya Sidanti kehilangan
kendali atas dirinya sendiri.
Tetapi yang
dilihatnya, Sidanti itu tiba-tiba menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sejenak
bilik itu menjadi sepi. Hanya desah nafas mereka sajalah yang terdengar, saling
berkejaran. Dengan dada yang berdebar-debar mereka yang berada di luar bilik itu
melihat lewat pintu yang masih terbuka, apa yang kira-kira akan terjadi. Mereka
kemudian menahan nafas ketika tiba-tiba saja mereka melihat Pandan Wangi
meloncat maju. Dengan serta-merta ia berjongkok di hadapan kakaknya yang masih
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dengan nada suara yang meninggi Pandan Wangi
berkata sambil mengguncangi lengan Sidanti,
“Kakang.
Kakang. Dengarlah kata-kataku. Aku datang kepadamu sebagai seorang anak Tanah
Perdikan ini, dan lebih daripada itu aku tidak akan dapat melepaskan diri dari
ikatan kekeluargaan kita. Kakang. Apakah kau tidak sempat melihat ke dalam
dirimu, ke masa lampau kita dan ke masa datang yang panjang?”
Sidanti tidak
menjawab. Tetapi ia tidak dapat menatap wajah adiknya, sehingga karena itu ia
memalingkan wajahnya.
“Kakang.
Berbicaralah seperti kau dahulu berbicara kepadaku.”
Sidanti masih
tetap berdiam diri.
“Kakang.
Kenapa kau diam saja, kenapa?”
Tetapi Sidanti
masih tetap mematung.
Akhirnya
bagaimanapun juga, Pandan Wangi tetap seorang gadis yang tidak kuat menahan
gelora perasaannya. Seperti bendungan yang tidak tahan lagi menahan arus banjir
yang melandanya, Pandan Wangi kemudian menangis sejadi-jadinya. Tanpa malu-malu
diletakkannya kepalanya di pangkuan kakaknya yang masih duduk diam seperti
patung batu. Tetapi Sidanti tidak mengusirnya. Sidanti tidak lagi berkata.
Terasa sesuatu bergetar di dada anak muda yang keras hati itu. Guncangan isak
tangis Pandan Wangi telah mengguncang jantungnya pula. Kembali keduanya
terdiam. Tetapi kini yang terdengar adalah isak tangis Pandan Wangi yang
semakin keras. Air matanya pun menjadi
semakin deras mengalir. Tetapi Sidanti tidak mengusirnya Sidanti tidak lagi
berteriak-teriak. Meskipun hatinya telah mengeras sekeras batu, namun Pandan
Wangi tetap mempunyai kesan yang lain padanya. Meskipun ia berusaha, tetapi ia
tidak akan dapat melepaskan dirinya dari kenangan masa kanak-kanaknya.
Terbayang di
angan-angannya gadis kecil itu menangis memeluknya sambil berkata
terputus-putus,
“Kakang, anak
itu nakal Kakang. Aku dicubitnya. Permainanku diambilnya.”
Di saat-saat
yang demikian itulah ia berteriak,
“Siapa yang
nakal? Tunggu di sini. Aku pilin tangannya.”
Tetapi apakah
yang harus dilakukannya kini? Pandan Wangi kini menangis di pangkuannya dalam
keadaan yang jauh berbeda dari tangis seorang gadis kecil.
Apalagi
pikiran Sidanti sendiri memang sedang kalut oleh keadaan yang tidak menentu
baginya. Sidanti tidak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya. Mungkin Ki
Argapati kini sudah menyiapkan seorang pengawal untuk memenggal lehernya, atau
menggantungnya di alun-alun. Sedang kini Pandan Wangi sedang membujuknya untuk
menghadap ayahnya, agar ia dapat mendengar keputusan hukuman itu. Terasa dada
Sidanti bergetar. Hampir saja ia mendorong Pandan Wangi dan melemparkannya ke
sudut ruangan.
“Ia membawa
sepasang pedang,” katanya di dalam hati,
“Aku dapat
mengambilnya dan mempergunakannya. Atau aku dapat menjadikan gadis ini sebagai
perisai untuk keluar dari rumah ini.”
Ketika Sidanti
hampir saja melakukannya, tiba-tiba tangannya menjadi gemetar. Ia benar-benar
tidak dapat berbuat demikian betapapun ia sendiri sedang dilanda oleh kekalutan
hati. Meskipun Sidanti mencoba menyingkirkan segala macam pertimbangan, namun
ia masih tetap diam tanpa berbuat sesuatu.
Sejenak
kemudian, ketika tangis Pandan Wangi mereda, maka terdengar suaranya kembali,
“Kakang,
apakah kau mendengarkan aku?”
Sidanti tidak
menjawab.
“Akulah yang
minta kepadamu.”
“Kau membujuk
aku, Wangi. Kau ingin mengeluarkan aku dari bilik ini, dan tidak akan kembali
lagi ke mari.”
“Kenapa,
Kakang?”
“Sidanti akan
tinggal namanya saja,” sahut Sidanti.
“Aku menyesal
bahwa aku tidak terbunuh di peperangan. Itu akan menjadi jauh lebih baik dari
keadaanku sekarang.”
“Tidak. Kalau
kau terbunuh, maka tidak akan ada kemungkinan lagi bagimu, untuk turut serta
membangun Tanah ini.”
“Sekarang pun tidak.”
“Ada. Seperti
Paman Argajaya. Paman telah menyatakan kesediaanya untuk ikut serta
membangkitkan Tanah ini kembali.
Sidanti
mengerutkan keningnya.
“Begitukah
dengan Paman Argajaya?”
“Ya.”
Sidanti
terdiam sejenak. Wajahnya menjadi tegang kembali. Namun sejenak kemudian ia
menarik nafas.
“Argajaya
adalah adik Argapati,” katanya.
“Aku bukan
apa-apanya.”
“Itu tidak
penting. Yang penting, kita adalah putera-putera Tanah Perdikan. Pada kitalah terletak
tanggung jawab masa depan Tanah ini. Tanah yang kini sudah menjadi abu.”
“He, kau ingin
mengatakan bahwa akulah yang telah membakar Tanah ini, dan adalah menjadi
tanggung jawabku untuk mengembalikannya kembali.”
“Tidak. Bukan
itu. Kita akan melupakan apa yang sudah terjadi. Kita akan melupakannya.”
Sidanti
terdiam sejenak. Ditatapnya wajah adiknya dengan saksama. Dilihatnya wajah itu
tidak secerah wajahnya dahulu. Betapa sayunya. Ketika Pandan Wangi kemudian
menatapnya dengan mata yang merah karena tangis, Sidanti tidak dapat menolaknya
lagi.
“Aku minta kau
pergi kepada ayah, Kakang.”
Sidanti tidak
menjawab.
“Bukankah kau
bersedia?”
Sidanti
akhirnya menganggukkan kepalanya.
“Kalau bukan
kau, Wangi, aku tidak akan beranjak dari tempat ini apa pun yang akan terjadi
atasku. Aku kira aku akan lebih merasa berbahagia kalau aku mati di bilik ini
daripada di alun-alun.”
“Aku yang
meminta kau pergi.”
Sidanti
mengangkat wajahnya. Dipandanginya sudut-sudut bilik ini, seolah-olah ia tidak
akan dapat melihatnya lagi.
“Di sini aku
tinggal di masa kecil itu. Di bilik ini pula aku tidur. Kadang-kadang sendiri,
kadang-kadang bersama Paman Argajaya.”
Sidanti
terdiam sejenak,
“aku merasa
bersyukur bahwa aku masih sempat melihat untuk yang terakhir kalinya sebelum
aku mati.”
“Kau tidak
akan mati.”
“Marilah, Pandan
Wangi,” berkata Sidanti,
“aku sudah
muak melihat wajah-wajah di luar bilik ini. Kau lupa menutup pintu.”
Pandan Wangi
berpaling. Ia melihat beberapa orang yang duduk di ruang dalam agak jauh dari
pintu bilik itu.
“Mereka tidak
akan dapat berbuat apa-apa.”
“Maksudku,
mereka adalah orang-orang yang memuakkan. Mereka adalah penjilat-penjilat yang
tidak tahu diri.”
Pandan Wangi
tidak menjawab. Ia takut kalau suasana itu akan rusak karenanya. Karena itu,
maka ia hanya sekedar menganggukkan kepalanya saja. Pandan Wangi kemudian
berdiri ketika air matanya sudah menjadi agak kering. Sidanti pun berdiri pula
dan berjalan mengikuti Pandan Wangi. Sekali-sekali matanya masih juga tertarik
pada sepasang pedang di lambung adiknya. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Ketika
ia melintasi ruang tengah, anak muda itu sama sekali tidak mengacuhkan, siapa
saja yang duduk di atas tikar pandan itu. Ia hanya sekilas melihat sebuah
tombak pendek yang mencuat di antara mereka. Maka sadarlah ia bahwa orang-orang
yang duduk itu pasti para pengawal yang sedang menjaganya, sedang di antara
mereka adalah gembala tua yang dikenalnya bernama Kiai Gringsing. Seperti
Argajaya, maka ketika kakinya melangkah memasuki ruangan bilik Ki Argapati,
hatinya menjadi berdebar-debar. Tetapi ia merasa heran, bahwa di dalam bilik
itu sama sekali tidak terdapat para pengawal yang berjaga-jaga. Ki Argapati
yang melihat kedatangannya pun segera
bangkit dan duduk di pembaringannya. Dengan nada yang dalam ia berkata,
“Kemarilah,
Sidanti.”
Sidanti tidak
menjawab. Tetapi yang pertama-tama dilihatnya adakah tombak pendek yang
bersandar dinding di atas pembaringan Ki Argapati. Tetapi segera ia menggeser
tatapan matanya kepada Ki Argapati yang duduk dengan nafas yang masih belum
teratur benar karena luka-lukanya.
“Duduklah
dulu, Sidanti,” orang tua itu mempersilahkan Sidanti duduk di atas dingklik
kayu di dekat pembaringannya.
Tetapi Sidanti
tidak segera duduk. Ia berdiri saja di tempatnya. Meskipun demikian ia masih
juga merasa heran. Bilik tempat Ki Argapati berbaring itu sama sekali tidak
seperti yang dibayangkannya. Tidak ada seorang pengawal pun yang ada di dalam.
Ki Argapati yang sakit itu tidak juga diapit-apit oleh dua orang pengawal
pilihan, kemudian di setiap sudut, dan di sisi pintu, tidak juga ada
ujung-ujung senjata yang merunduk ke arahnya.
“Duduklah,” Ki
Argapati mengulangi. Tetapi Sidanti masih tetap berdiam diri.
Pandan
Wangi-lah yang kemudian membimbingnya dan meletakkannya di atas dingklik itu.
Seperti anak-anak yang dibimbing ibunya Sidanti tidak melawan. Ia melangkah
dengan berat, dan kemudian duduk di atas dingklik kayu itu dengan kepala
tunduk.
“Sudah lama
aku ingin berbicara dengan kau, Sidanti,” berkata Ki Argapati,
“tetapi lukaku
agaknya masih belum mengijinkan. Hari ini aku merasa agak ringan, sehingga aku
segera memanggil kau dan pamanmu berganti-ganti.”
Sidanti tidak
menjawab. Kepalanya masih saja menunduk.
“Apakah adikmu
sudah mengatakan sesuatu kepadamu?”
Sidanti
mengangkat wajahnya sejenak, kemudian dipalingkannya kepalanya kepada Pandan
Wangi. Tetapi kepalanya itu pun kemudian menunduk lagi tanpa menjawab apa pun juga.
“Aku belum
mengatakan apa-apa kepadanya, Ayah,” sela Pandan Wangi.
“Aku hanya
mengajaknya kemari, agar Ayah mengatakan sendiri maksud Ayah itu.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Baiklah,
Pandan Wangi. Aku akan mengatakannya seperti aku mengatakan kepada Argajaya.”
Tetapi Sidanti
sama sekali tidak menyahut.
Ki Argapati
terdiam sejenak. Dipandanginya kepala Sidanti yang menunduk. Tetapi tangkapan
mata hati Ki Argapati yang tajam segera merasakan, bahwa hati Sidanti masih
belum dapat dilunakkan sama sekali, tidak seperti pamannya Argajaya.
“Anak ini
benar-benar keras kepala,” berkata Ki Argapati di dalam hatinya. Meskipun demikian
Ki Argapati masih akan mencobanya untuk menjajagi hati Sidanti lebih jauh.
“Sidanti,”
katanya,
“apakah hatimu
sudah terbuka untuk berbicara? Seperti pamanmu Argajaya, aku membawanya
berbicara tentang keadaan kita saat ini. Tentang Tanah Perdikan Menoreh, dan
tentang masa depannya. Aku ingin bersama melihat, di mana kita sekarang ini
berada. Dan ke mana kita masing-masing akan pergi. Kalau kita dapat menemukan
persesuaian arah, maka kita akan dapat berjalan bersama-sama.”
Ternyata
Sidanti masih belum menjawab. Kepalanya masih menunduk, seakan-akan ia sedang
merenungi dirinya sendiri dalam-dalam.
“Sidanti,
kenapa kau diam saja?” bertanya Ki Argapati.
“Katakanlah
apa yang ingin kau katakan. Aku memang ingin mendengarkan isi hatimu dengan
terbuka, supaya aku dapat memperhitungkan segala sesuatu buat masa depan Tanah
ini.”
Perlahan-lahan
Sidanti mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu adalah wajah yang suram dan
gelap. Dengan suara parau ia berkata datar,
“Kalau kau
akan menjatuhkan hukuman atasku, segera katakan. Ternyata aku menjadi muak
berada di bilik ini lebih lama lagi.”
“Kakang,”
Pandan Wangi memotong,
“sadarilah
keadaan ini, Kakang. Kita sedang mencari jalan sebaik-baiknya, agar kita
menemukan titik pertemuan.”
“Itulah yang
sulit. Kalian kini sedang berkuasa atasku. Kalian dapat berbuat apa saja.”
“Tetapi kami
tidak ingin berbuat demikian. Kami ingin mencari cara yang baik. Seperti Paman
Argajaya, yang dengan hati terbuka menyatakan keinginannya untuk bersama-sama
membangun kembali Tanah Perdikan ini.”
“Apakah aku
harus berjanji seperti Paman Argajaya itu pula?”
“Tidak, Sidanti,”
sela Ki Argapati,
“tidak seorang
pun yang mengharuskannya. Mungkin aku dapat memaksa berjanji. Tetapi janji yang
demikian adalah janji yang tidak akan menghasilkan buah yang wajar. Janji itu
sendiri harus terlontar dari hati dan kesadaran diri.”
Jawab Sidanti
ternyata telah mengejutkan Pandan Wangi dan Ki Argapati,
“Aku tidak
akan berjanji apa-apa. Aku tidak merasa wajib untuk berbuat sesuatu.”
“Kakang,”
Pandan Wangi hampir berteriak,
“kita adalah
anak-anak Tanah ini. Kita dilahirkan di atas Tanah ini.”
“Tetapi aku
sudah mengkhianati Tanah ini menurut anggapanmu dan anggapan orang-orang yang
sekarang ini berkuasa. Kenapa kalian tidak menghukum aku saja? Apakah kalian
sedang berusaha untuk memperalat aku, agar perlawanan yang mungkin masih ada
itu segera padam?”
“Seandainya
demikian, Sidanti,” jawab Ki Argapati,
“itu sudah
merupakan urusanmu membangun Tanah ini. Dengan demikian maka ketenteraman akan
segera pulih kembali.”
“Aku tidak mau
diperalat dengan cara itu, dengan cara yang licik. Kalian sudah menang atas
pasukanku. Kalian berhak membunuh aku. Aku tidak boleh berkhianat untuk kedua
kalinya. Berkhianat menurut anggapanmu dan berkhianat terhadap pasukanku yang
telah kau hancurkan. Apalagi berkhianat terhadap guruku, dan………” Sidanti tidak
dapat mengatakannya. Terasa sesuatu menahan di kerongkongannya sehingga
kata-katanya terputus. Tetapi dengan demikian api kebenciannya kepada Ki
Argapati serasa meluap. Tiba-tiba saja ia merasa terlempar pada kenyataannya.
Seperti yang dikatakan oleh Pandan Wangi. Dan ia tidak dapat mengingkari
kenyataan itu, bahwa Argapati bukan apa-apa baginya.
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa usahanya kali ini tidak akan dapat
berhasil. Agaknya hati Sidanti benar-benar telah mengeras seperti batu hitam. Namun
demikian, berbeda dengan Ki Argapati, Pandan Wangi merasa bahwa masih ada
harapan untuk merubah sikap kakaknya itu. Meskipun harapan itu tampaknya
semakin lama menjadi semakin tipis. Tetapi ia masih berkata,
“Apakah kita
tidak dapat melupakan apa yang telah terjadi? Atau bahkan kita menganggap hal
itu sebagai suatu pengalaman?”
“Tidak,
tidak!” Sidanti berteriak.
Pandan Wangi
terkejut mendengar teriakan itu. Sekilas dipandanginya wajah ayahnya yang
tegang. Terasa bahwa di wajah ayahnya itu telah terbayang warna hatinya yang
muram.
“Apakah Kakang
Sidanti tidak juga dapat dilunakkan?” pertanyaan itu mulai membelit hatinya.
Dalam pada
itu, di ruang tengah beberapa orang duduk dengan cemasnya. Mereka kini sudah
beringsut dari depan pintu bilik Sidanti ke depan pintu bilik Ki Argapati.
Bahkan kini jumlah mereka telah bertambah pula karena Ki Samekta dan Ki Kerti
telah ada di antara mereka.
“Apakah Ki
Gede memang memanggil Angger Sidanti?” bertanya Samekta sambil berbisik.
“Ya,” jawab
gembala tua itu.
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kerti
pun berkata,
“Ki Argapati
masih juga dipengaruhi oleh hubungan masa lampau. Bagaimana pun juga Sidanti
pernah dianggap sebagai anaknya.”
“Ya,” jawab
Samekta,
“tetapi apakah
pantas bahwa anak itu kini berteriak-teriak begitu di dalam bilik Ki Argapati
yang sedang sakit.”
Kerti
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Siapa sajakah
yang ada di dalam?” bertanya Kerti kemudian.
“Selain Angger
Sidanti hanyalah Angger Pandan Wangi.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia percaya kepada Pandan Wangi. Tetapi
hatinya hampir-hampir tidak tahan lagi mendengar Sidanti berteriak-teriak dan
membentak-bentak.
“Itu sudah
terlalu,” gumam Samekta.
“Sedang
Sidanti yang bukan tawanan saja, tidak sepantasnya berteriak-teriak dan
membentak-bentak seperti itu. Apalagi kini Sidanti adalah tawanan.”
“Kalau ia
bukan seorang tawanan, aku kira ia tidak akan membentak-bentak,” berkata
gembala tua itu lirih.
“Kenapa?”
“Sebagai
seorang tawanan ia merasa bahwa tubuhnya terbelenggu. Karena itu, maka yang
dapat dilakukan hanyalah sekedar melepaskan suaranya menembus ikatan-ikatan
yang membatasinya.”
“Tetapi
akibatnya dapat berbahaya bagi dirinya. Kalau Ki Argapati marah, maka segala
kebaikan hatinya akan larut, karena ia adalah manusia biasa.”
Gembala tua
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab,
“Sidanti telah
dicengkam oleh keputus-asaan dan kehilangan pegangan. Ia menyadari hal itu,
tetapi agaknya ia memang memilih jalan yang terdekat untuk mati.”
Samekta dan
Kerti mengerutkan keningnya. Namun kepala mereka pun kemudian terangguk-angguk lemah. Sejenak
mereka pun terdiam. Mereka mencoba
mendengarkan apa yang dikatakan oleh Pandan Wangi. Tetapi mereka tidak dapat
mendengarnya dengan jelas, apalagi kemudian terdengar suara Pandan Wangi
seakan-akan tenggelam di dalam isaknya.
“Jangan
membujuk lagi,” suara Sidanti-lah yang terdengar jelas,
“aku sudah
memutuskan. Kalau kalian akan membunuh aku, segera lakukanlah. Jangan memaksa
aku untuk melakukan hal-hal yang tidak akan mungkin bagiku. Aku tidak bertabiat
serendah itu.”
“Kau tidak mau
memikirkannya, Kakang,” sahut Pandan Wangi,
“kau
menanggapinya dengan perasaan tanpa nalar. Itu adalah kebiasaan perempuan. Kau
adalah seorang anak muda. Seorang laki-laki. Tetapi hatimu digelapi oleh
perasaanmu. Seharusnya kau mempergunakan nalarmu, Kakang.”
“Tidak. Aku
tidak dapat kau paksa lagi dengan cara apa pun.”
“Kalau begitu,
maka kau adalah laki-laki cengeng. Bukan sebaliknya, karena kau tidak dapat
mempergunakan nalarmu.”
Wajah Sidanti
menjadi merah padam. Sejenak ia membeku. Dipandanginya wajah Pandan Wangi dan
Argapati berganti-ganti.
Melihat
kakaknya berdiam diri, maka tumbuh kembalilah harapan Pandan Wangi. Karena itu
maka suaranya segera menurun, “Bukankah begitu, Kakang? Bukankah kau seorang
laki-laki yang berani menghadapi kenyataan? Seharusnya kau memang tidak usah
lari. Marilah kita terima apa yang sudah tersedia di hadapan kita. Kalau kita
menerimanya dengan ikhlas, maka semuanya akan berlangsung dengan baik.”
Sidanti tidak
menjawab. Dengan demikian maka Pandan Wangi
pun menjadi semakin berpengharapan. Bahkan Ki Argapati yang sudah
berputus asa untuk dapat mengait Sidanti dari kegelapan, menjadi heran. Apakah
Pandan Wangi akan berhasil.
“Kau mengerti
maksudku bukan, Kakang?”
Sidanti masih
tetap berdiam diri.
Perlahan-lahan
Pandan Wangi melangkah mendekati tempat duduk kakaknya sambil berkata pula,
“Bukankah kau
mengerti? Ini bukan kebaikan hati kami. Tidak. Tetapi kita akan bertanggung
jawab bersama-sama.”
Namun yang
terjadi kemudian benar-benar di luar dugaan Pandan Wangi. Ternyata kediaman
Sidanti telah menumbuhkan kelengahan pada Pandan Wangi. Pandan Wangi tidak
dapat mencegahnya ketika tiba-tiba saja Sidanti meloncat menyambar tombak yang
terletak di atas pembaringan Ki Argapati. Demikian cepatnya, sehingga Pandan
Wangi sadar, ketika tombak itu sudah ada di tangan Sidanti. Argapati pun
terkejut bukan buatan. Getaran dadanya yang tergoncang agaknya telah membuat
lukanya menjadi seakan-akan terhenti. Dengan darah yang seakan-akan terhenti ia
menatap ujung tombaknya itu merunduk ke arah dadanya yang luka. Pandan Wangi
tidak mendapat kesempatan untuk merebut tombak itu dari tangan kakaknya. Tetapi
ia tidak tinggal diam menyaksikan ujung tombak itu menembus dada ayahnya.
Karena itu, maka dengan secepat-cepat kemampuannya ia meloncat memeluk
kakangnya dari belakang. Tetapi Sidanti telah menjadi wuru. Seakan-akan ia
telah kehilangan akal. Tanpa menghiraukan apa
pun lagi, maka dikibaskannya Pandan Wangi sekuat-kuatnya. Pandan Wangi
yang belum siap benar menanggapi peristiwa itu, tidak dapat bertahan. Ia
terlempar membentur dinding kayu bilik itu, kemudian terjatuh di lantai. Kini
Sidanti berdiri dengan mata yang merah menghadap Argapati yang belum mampu
melakukan perlawanan apa pun karena luka-lukanya. Tombak di tangannya kini
telah merunduk kembali setelah diguncang oleh Pandan Wangi, tepat mengarah ke
dada Ki Argapati. Benturan tubuh Pandan Wangi pada dinding kayu telah
mengejutkan beberapa orang yang berada di luar pintu. Tetapi mereka tidak
segera melihat apa yang telah terjadi di dalamnya. Pintu yang terbuka sedikit,
tidak tepat pada pembaringan Ki Argapati, sehingga orang-orang yang di luar
pintu, tidak melihat Sidanti yang menggenggam tombak telah menggeram seperti
seekor harimau yang terluka.
“Suara apakah
itu?” bertanya Ki Samekta.
Tetapi yang
lain hanya menggelengkan kepalanya saja. Tidak seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Mereka
agaknya segan untuk memasuki ruangan itu, sebelum mereka dipanggil.
Namun
demikian, tanpa mereka sadari, seorang demi seorang telah beringsut dari tempat
duduknya semula. Pandan Wangi yang terbanting di lantai masih sempat melihat
kakaknya maju setapak dengan tombak di tangannya. Dan tiba-tiba saja ia
terpekik,
“Kakang,
Kakang Sidanti. Jangan.”
Tetapi Sidanti
sama sekali tidak mendengarkan lagi suara ini. Ia maju selangkah lagi. Kini ia
sudah memusatkan tenaganya di telapak tangannya yang menggenggam tombak pendek
itu.
Ki Argapati
benar-benar telah tidak mempunyai kesempatan apa pun. Ia tidak melihat senjata
apa pun yang akan dapat menolongnya,
sedang tenaganya sama sekali belum cukup kuat untuk melontarkan tubuhnya dari
pembaringannya itu. Karena itu, ia hanya menunggu apa yang akan terjadi, ia
mengharap bahwa ia masih sempat untuk mengelak apabila Sidanti benar-benar
ingin menghunjamkan, tombak pendeknya. Ternyata suara Pandan Wangi telah
mengejutkan mereka yang berada di luar pintu. Serentak mereka berloncatan dan
tanpa menunggu lagi, mereka berlari-larian ke bilik Ki Argapati. Tetapi untuk
memasuki pintu itu mereka memerlukan waktu. Sedang Sidanti telah benar-benar
siap menusukkan tombaknya. Terdengar ia menggeram,
“Orang-orang
Menoreh hanya dapat menghukum mati aku satu kali. Meskipun aku membunuhmu, maka
hukuman itu tidak akan dapat ditambah lagi.”
Ketika gembala
tua, Ki Samekta, Kerti, dan beberapa orang prajurit meloncat tlundak pintu,
maka pada saat itu, mereka kehilangan segala kemungkinan untuk dapat menolong
Ki Argapati karena Sidanti sudah mulai mengayunkan tombaknya untuk menusuk
langsung ke dada Ki Argapati.
Tetapi dalam
kecemasan yang amat sangat, yang telah mencekam setiap dada, mereka melihat
kilatan senjata yang langsung menghunjam ke lambung Sidanti. Demikian, cepat
dan kerasnya, sehingga Sidanti yang telah mengayunkan tombak itu terdorong ke
samping. Terdengar sebuah keluhan tertahan. Kemudian perlahan-lahan tombak yang
sudah hampir saja menembus dada Ki Argapati itu menjadi bergetar, dan terjatuh di
lantai. Yang telah terjadi itu telah benar-benar mencengkam semua orang yang
menyaksikannya. Nafas mereka seakan-akan telah berhenti mengalir ketika
kemudian mereka melihat, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Pandan Wangi
berdiri dengan tubuh gemetar di sisi pembaringan ayahnya. Dengan wajah yang
pucat pasi dipandanginya pedangnya yang masih menghunjam di lambung kakaknya
yang berdiri tertatih-tatih. Sejenak Sidanti memandang adiknya, namun kemudian
ia tidak lagi mampu bertahan. Perlahan-lahan ia jatuh di atas lututnya, sedang
darah yang merah mengalir dari lukanya. Dengan kekuatan terakhirnya Sidanti
masih sempat mencabut pedang yang telah terlepas dari tangan Pandan Wangi itu,
kemudian meletakkannya di sampingnya. Pandan Wangi memandanginya dengan wajah
yang tegang beku. Namun ketika kemudian Sidanti tidak lagi mampu berdiri di
atas lututnya, dan perlahan-lahan menahan tubuhnya dengan kedua tangannya,
terdengar Pandan Wangi menjerit keras sekali,
“Kakang.
Kakang Sidanti.”
Seperti orang
yang kehilangan akal, Pandan Wangi memeluk kakaknya yang sudah hampir kehabisan
tenaganya, sehingga justru dengan demikian Sidanti tidak lagi dapat bertahan.
Perlahan-lahan ia menelentang dan terbaring dilantai, sedang Pandan Wangi
menelungkup memeluknya sambil menangis sejadi-jadinya. Darah Sidanti yang
bergelimang di lantai, telah memerahi pakaian gadis itu pula.
“Kakang,
Kakang Sidanti.”
Ki Argapati
yang masih berada di pembaringan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Perlahan-lahan ia beringsut dan memaksa dirinya untuk duduk di pinggir
pembaringan, sementara gembala tua, Samekta, dan Ki Kerti serta beberapa orang
yang lain telah melingkarinya.
“Kakang,
Kakang, kenapa jadi begini, Kakang. Aku tidak sengaja, Kakang. Aku tidak
sengaja melukaimu.”
Nafas Sidanti
semakin cepat memburu. Ketika ia membuka matanya ia melihat Pandan Wangi yang
menangis seperti kanak-kanak, meraung-raung tidak terkendali lagi. Penyesalan
yang tiada taranya telah melanda dadanya. Dengan gerak naluriah ternyata ia telah
meloncat dan menusuk lambung Sidanti untuk mencegah Sidanti membenamkan ujung
tombaknya di dada ayahnya. Ternyata akibat dari tusukan di lambung anak muda
itu terlampau parah, sehingga maut telah membayang di wajahnya.
Dalam suatu
saat, ternyata Pandan Wangi memang harus memilih. Dan saat itu terlampau
pendek. Hanya sekejap. Ia tidak dapat membuat pertimbangan lebih jauh ketika ia
melihat kakaknya sudah siap menusukkan tombak pendeknya ke dada Argapati. Dan
Pandan Wangi pun memang sudah melakukan pilihan itu. Betapa besar ikatan kasih
antara kakak-beradik, namun ia tidak dapat membiarkan ayahnya terbunuh di
pembaringan selagi ia tidak kuasa berbuat apa-apa. Dan di saat yang sekejap
itu, ia telah memilih ayahnya daripada kakaknya meskipun akhirnya ia harus
memeras air matanya.
“Pandan
Wangi,” terdengar suara Sidanti parau.
“Kakang. Aku
minta maaf.”
Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang yang kini berjongkok di sekitarnya
melihat Sidanti menyeringai menahan sakit. Namun kemudian mereka menjadi heran
dan kemudian terharu ketika mereka melihat Sidanti itu tersenyum,
“Kau tidak
bersalah, Adikku,” desisnya.
“Aku tidak
sengaja, Kakang.”
“Aku tahu
bahwa kau memang tidak sengaja. Tetapi dipandang dari segi keharusanmu, kau
sudah bertindak tepat. Kau berusaha menyelamatkan ayahmu.”
“Tetapi
maksudku tanpa mengorbankan kau.”
“Dalam keadaan
ini tidak mungkin, Pandan Wangi,” jawab kakaknya.
“Alangkah
anehnya hati ini. Justru pada saat terakhir aku melihat cahaya yang terang.”
“Maksudmu,
Kakang?”
“Aku merasa
bersalah.”
“Kakang,”
Pandan Wangi menggucang-guncang tubuh kakaknya.
“Jangan kau
guncang, Wangi. Sakit.”
“Tetapi jangan
berkata saat-saat terakhir. Kau pasti akan sembuh,” tiba-tiba saja Pandan Wangi
dengan nanar mengedarkan tatapan matanya.
“Kiai. Kiai,” katanya
kepada gembala tua itu,
“kenapa kau
diam saja? Kenapa kau tidak berbuat sesuatu untuk mengobati luka Kakang
Sidanti.”
Gembala tua
itu beringsut maju. Tetapi suara Sidanti menjadi semakin lemah,
“Tidak ada
gunanya. Aku akan mati.”
“Tidak. Tidak.
Kau tidak akan mati.”
Sekali lagi
Pandan Wangi melihat Sidanti tersenyum. Kemudian dicobanya memandangi Argapati
yang duduk di pinggir pembaringannya.
“Ayah,”
desisnya.
Terasa sesuatu
berdesir di dada Ki Argapati. Panggilan itu selalu didengarnya dahulu. Tetapi
di saat-saat api membakar Tanah Perdikan, anak muda itu telah menjadi musuhnya.
Kini, ketika jari-jari maut mulai merabanya, ia mendengar panggilan itu lagi.
“Aku minta
maaf.”
“Kau tidak
bersalah, Sidanti,” suara Ki Argapati berat.
Tetapi Sidanti
tertawa,
“Maafkan aku,
Ayah, jangan berkata aku tidak bersalah.”
Ki Argapati
terdiam sesaat.
Dan Sidanti
mengulanginya,
“Aku mengharap
Ayah memaafkan kesalahanku.”
“Ya, ya,
Sidanti. Aku maafkan semua kesalahanmu.”
“Terima
kasih,” nafas Sidanti menjadi semakin sendat.
Dan yang
terdengar adalah suara Pandan Wangi,
“Kiai, kenapa
Kiai diam saja? Apakah Kiai memang mengharap luka itu tidak dapat ditolong
lagi.”
Gembala tua
itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi, sebagai seorang yang telah mengenal
beribu jenis luka, maka luka Sidanti itu tidak akan dapat ditolong lagi.
“Sudahlah,” Sidanti
sendiri memang menolak,
“aku sudah
sampai pada batas,” suaranya menjadi semakin lambat. Lalu,
“Kiai,
bukankah murid-muridmu ada di sini?”
“Ya. Mereka
ada di sini, Ngger.”
“Apakah aku
dapat bertemu.”
Gembala itu
mengerutkan keningnya,
“Apakah maksud
Angger Sidanti, anak-anak itu dipanggil kemari?”
Sidanti
mengangguk lemah. “Apakah Paman Argajaya juga ada?”
Gembala itu
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kepada seseorang yang ada di belakangnya ia
memberi isyarat untuk memanggil mereka. Dengan tergesa-gesa orang itu berdiri.
Tetapi di muka pintu ia tertegun sejenak. Dipandanginya Ki Argapati,
seolah-olah ingin mendapat ketegasannya. Ketika Ki Airgapati pun kemudian menganggukkan kepalanya, maka
orang itu pun berlari ke gandok. Dengan
singkat disampaikannya berita tentang Sidanti dan diperintahkannya kedua murid
gembala tua itu membawa Ki Argajaya menghadap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar