Jilid 049 Halaman 3


Mereka  pun segera memenuhinya pula. Argajaya justru berjalan di paling depan. Kemudian Gupala dan Gupita. Tetapi tidak hanya mereka, Sekar Mirah dan Sumangkar  pun ikut serta pula.

Ketika mereka sampai ke dalam bilik itu, Sidanti sudah menjadi terlampau lemah. Tetapi ia masih sempat melihat Argajaya, Agung Sedayu, dan Swandaru berjongkok di sampingnya. Dan ia masih sempat berbisik,
“Maafkan aku.”
Agung Sedayu yang dikenal juga bernama Gupita dan Swandaru yang dipanggil Gupala itu menganggukkan kepalanya. Tetapi mereka tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Betapa kebencian mencengkam dada mereka, namun mereka menjadi terharu juga melihat kematian yang tidak disangka-sangka itu. Dalam pada itu, semua orang yang ada di seputarnya terkejut, ketika tiba-tiba saja Sidanti menghentakkan kepalanya dan seolah-olah ia berusaha untuk bangkit. Tetapi ia sudah terlampau lemah, sehingga ia sama sekali tidak berhasil menggerakkan dirinya. Yang terdengar kemudian suaranya lambat,
“Apakah mataku masih juga tidak salah? Apakah benar aku melihat Sekar Mirah.”
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab,
“Ya, Sekar Mirah memang ada di sini.”
Sidanti tersenyum. Bibirnya bergetar lamban sekali. Dan Pandan Wangi masih mendengar ia berdesis,
“Mirah.”
Tidak seorang pun yang dapat mengucapkan kata-kata ketika mereka melihat Sidanti menjadi semakin lemah. Tatapan matanya menjadi semakin redup. Tetapi ia masih berusaha tersenyum. Dipandanginya Argajaya yang seolah-olah menjadi semakin kabur, Argapati, Pandan Wangi, Sekar Mirah, dan yang lain-lain. Sekali lagi Sidanti menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin menyambung nafasnya yang menjadi semakin pendek. Tetapi ketika ia melepaskan nafas itu, ternyata itu adalah tarikan nafasnya yang terakhir. Yang terdengar adalah jerit Pandan Wangi yang melengking. Sidanti telah meninggal, justru karena ujung senjatanya, yang tidak dengan sengaja telah menghunjam ke lambung kakaknya yang selama ini masih diharapkannya untuk dapat hidup dan berbuat sesuatu bersama-sama untuk kepentingan Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa orang telah mencoba menenangkan hati gadis itu. Sekar Mirah pun kemudian mendekatinya dan mencoba membawanya pergi meninggalkan mayat Sidanti yang masih terbujur di lantai. Tetapi Pandan Wangi masih saja memeluknya, betapa tubuh itu telah mulai menjadi dingin.
“Pandan Wangi,” bisik Sekar Mirah,
“biarlah tubuh Kakang Sidanti segera mendapat perawatan yang sebaik-baiknya.”
Tetapi Pandan Wangi masih belum melepaskannya. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ditatapnya mayat Sidanti yang pucat. Tiba-tiba dada Sekar Mirah berdesir. Teringat olehnya, bagaimana Sidanti pernah menculiknya dan menyembunyikannya di padepokan Tambak Wedi. Pada saat itu, hatinya yang seakan-akan terbakar oleh kemarahan dan kebencian, seakan-akan berjanji, bahwa pada suatu saat ia menginginkan kepala anak muda itu. Ia pernah mengharap Agung Sedayu berkata kepadanya,
“Aku akan pergi ke Menoreh dan akan kembali, dengan membawa kepala Sidanti.”
Tetapi ketika kini ia melihat anak muda itu terbujur sambil memejamkan matanya, hatinya menjadi iba juga. Bagaimana pun juga, Sidanti pernah tinggal serumah dengan keluarganya di Sangkal Putung. Dan tiba-tiba pula ia merasa, bahwa perasaan Sidanti kepadanya saat itu agaknya memang bersungguh-sungguh. Sidanti tidak sekedar ingin melepaskan ketegangan urat syarafnya selagi ia berada di peperangan. Tetapi Sidanti benar-benar mencintainya. Argajaya, gembala tua yang dikenal juga bernama Kiai Gringsing, Argapati yang duduk di pembaringan, dan orang-orang lain yang ada di sekitar mayat Sidanti itu pun telah mencoba untuk menenteramkan hati Pandan Wangi.
Akhirnya tangis gadis itu  pun mereda. Sekali lagi Sekar Mirah berbisik di telinganya,
“Marilah kita tinggalkan Kakang Sidanti, agar ia segera mendapat perawatan yang sebaik-baiknya. Ternyata bahwa setiap orang masih menaruh hormat kepadanya. Kepada kejantanannya dan kekerasan hatinya. Ia mati setelah ia mempertahankan keyakinannya sampai batas terakhir.”
Pandan Wangi masih terisak-isak. Dan di sela-sela isaknya ia menjawab,
“Tetapi kekerasan hatinya itu pulalah yang menyeretnya ke dalam keadaannya yang pahit ini. Kakang Sidanti sama sekali tidak mau melihat kenyataan yang dihadapinya.”
“Ya, hatinya memang sekeras batu. Tetapi itu adalah ciri kejantanannya. Meskipun ia tersesat jalan. Karena itu, maka biarlah ia dihormati karena kekerasan hatinya pula.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
“Marilah. Kau  pun perlu membersihkan dirimu. Mandi dan berganti pakaian.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ketika Sekar Mirah membimbingnya, maka perlahan-lahan ia pun melepaskan pelukannya dan bangkit berdiri. Pakaiannya yang kusut telah dinodai oleh darah Sidanti yang menjadi kehitam-hitaman.
“Marilah,” ajak Sekar Mirah.
Sambil menundukkan kepalanya Pandan Wangi melangkah setapak demi setapak meninggalkan bilik itu dibimbing oleh Sekar Merah. Di depan pintu ia berpaling. Sejenak ia berdiri memandangi tubuh kakaknya yang pucat membeku. Namun kemudian ia meneruskan langkahnya meninggalkan bilik itu.

Sepeninggal Pandan Wangi, barulah mayat Sidanti itu diangkat dan dibawa keluar dari bilik Ki Argapati. Atas perintah Ki Argapati, Sidanti dirawat sebagai putera Kepala Tanah Perdikan Menoreh apa pun yang telah dilakukannya. Dalam pada itu, ketika tubuh Sidanti sedang sibuk dibersihkan dan dirawat seperlunya, Pandan Wangi duduk di dalam biliknya dengan air mata yang selalu membasah pipinya. Yang paling mencengkamnya adalah justru penyesalan yang sangat, bahwa ia adalah lantaran kematian kakaknya itu.
“Kau tidak dapat berbuat lain, Pandan Wangi,” berkata Sekar Mirah. Lalu,
“Aku kira setiap orang akan berbuat seperti yang telah kau lakukan dalam saat-saat serupa itu.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
“Kau dapat membuat perbandingan, sekedar untuk mengurangi penyesalan yang selalu menyesakkan dadamu. Seandainya kau tidak berbuat demikian, maka apakah kira-kira jadinya. Kau harus bersyukur, bahwa kau hadir pada saat itu. Bukan berarti bahwa Kakang Sidanti pantas dikorbankan, tetapi kau sudah menghindarkan korban yang lebih banyak lagi.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk kecil.
“Kau harus berusaha untuk melupakan apa yang sudah terjadi. Dan kau harus mencoba melihat ke masa depan.”
Pandan Wangi mengangguk pula. Setiap kali ia sendiri selalu mengatakan tentang masa depan. Karena itu, ia tidak harus mengorbankan masa depan itu karena peristiwa yang meledak sesaat.
“Tanah ini memerlukan penanganan,” katanya di dalam hati. Dan Pandan Wangi sadar, bahwa ia tidak boleh tenggelam dalam kekecewaan dan kesedihan.
Dalam pada itu, maka di pendapa orang-orang sedang sibuk merawat tubuh Sidanti yang segera akan dimakamkan. Seperti perintah Ki Argapati, maka Sidanti diperlakukan sebagai seorang putera Kepala Tanah Perdikan. Meskipun ada di antara mereka, para pengawal dan rakyat Menoreh yang melakukannya dengan setengah hati, karena mereka tidak dapat menutup mata, apa yang telah dilakukan oleh Sidanti itu. Tetapi bagaimana  pun juga mereka harus melakukan perintah Kepala Tanah Perdikannya. Ketika semuanya sudah selesai, maka mayat Sidanti pun segera dimakamkan dengan penghormatan secukupnya. Argajaya, Pandan Wangi dan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh, gembala tua yang juga bernama Kiai Gringsing serta kedua muridnya, Sumangkar, dan Sekar Mirah hadir di pemakaman itu.
“Aku kehilangan satu-satunya saudara laki-lakiku,” gumam Pandan Wangi ketika mereka kembali dari tanah pekuburan.
“Kau akan segera mendapatkan,” desis Sekar Mirah.
Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi terasa bahwa kini hatinya yang kosong menjadi kian sepi.
“Satu-satunya keluarga adalah ayah,” berkata Pandan Wangi seterusnya.
“Hari ini,” jawab Sekar Mirah,
“tetapi keluarga itu akan segera berkembang. Bahkan kita akan meninggalkan ayah-ayah kita untuk hidup dalam keluarga yang baru.”
Pandan Wangi tertegun sejenak. Ditatapnya wajah Sekar Mirah yang tersenyum karenanya.
Tetapi Pandan Wangi tidak menyahut. Kepalanya masih selalu tunduk. Terasa bahwa apa yang baru saja terjadi itu adalah suatu goncangan yang sangat berat baginya. Di rumahnya pun Pandan Wangi seakan-akan kehilangan segala kegairahannya. Ia tidak mau makan dan sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Terbayang-bayang selalu di rongga matanya, Sidanti yang terbaring berlumuran darah. Sebuah luka yang dalam telah menghunjam di lambungnya.
“Akulah yang membunuhnya. Justru aku.”
Atas desakan Swandaru, Agung Sedayu, dan gurunya sendiri, Sekar Mirah selalu berusaha mengawani Pandan Wangi untuk mengurangi kesepian yang mencengkam dadanya. Tetapi bagaimana pun juga Sekar Mirah sudah mencoba, namun agaknya masih saja ada ruang-ruang yang kosong di dalam hati Pandan Wangi. Dalam saat-saat yang demikian itulah maka Agung Sedayu berkata kepada Swandaru,
“Kau lihat, betapa akibat yang sangat parah telah mencengkam hati gadis itu.”
“Ya. Ia menjadi sangat sedih dan menjadi semakin diam.”
“Swandaru,” berkata Agung Sedayu,
“Sekar Mirah memang dapat menjadi sekedar isi di dalam kekosongan jiwa Pandan Wangi. Tetapi ia memerlukan seorang kakak. Tidak sekedar menghiburnya, tetapi yang dapat memberinya ketenangan. Ketenangan seorang gadis dewasa.”
“Maksudmu?”
“Aku tahu, bahwa kau bersungguh-sungguh menaruh hati kepada gadis itu, bukan?”
Swandaru mengerutkan keningnya,
“Tentu. Aku memang menaruh hati kepada gadis itu. Sepenuh hati.”
“Nah,” berkata Agung Sedayu,
“kini adalah waktunya bagimu. Kau akan dapat mengisi kekosongan hatinya.”
Swandaru termenung sejenak, lalu, “Bagaimana aku dapat mengisinya?”
“Jangan kau tunggu gadis itu melamarmu. Kaulah, yang harus datang kepadanya. Dengan bijaksana dan sopan, rebutlah hatinya.”
“Tetapi, tetapi bukankah kau sudah mengatakan kepadanya?”
“Belum sepenuhnya.”
“Kalau begitu, kau pasti bersedia menolong aku.”
“Swandaru,” berkata Agung Sedayu,
“kau sendirilah yang harus melakukannya. Ia memerlukan seseorang setelah ia kehilangan kakaknya.”
“Tetapi aku tidak mengerti, bagaimana aku harus mulai.”
“Hem,” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam,
“pergunakanlah Sekar Mirah. Bukankah kau dapat saja menemuinya bersama Sekar Mirah, kemudian berbicara apa saja?”
Swandaru berpikir sejenak, kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, aku mengerti.”
“Nah, lakukanlah. Semakin lama ia mengalami kekosongan, semakin berbahaya baginya. Ia akan selalu merenung dan memikirkan banyak sekali kemungkinan di dalam hidupnya. Kalau kau tidak segera hadir di dalam hatinya, mungkin ia tidak akan dapat lagi membuka kemungkinan itu bagi siapa pun.”
“Ya, ya. Aku mengerti.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya wajah Swandaru sejenak. Ia melihat sesuatu membayang di wajah yang bulat itu. Agak lain dari kebiasaannya. Ketika dahi Swandaru mulai berkerut, tahulah Agung Sedayu, bahwa adik seperguruannya itu mulai berpikir dengan sungguh-sungguh. Sebenarnyalah Swandaru memikirkan petunjuk Agung Sedayu itu. Ia sadar, bahwa kekosongan jiwa itu memerlukan isi. Bahkan kemudian ia  pun sadar, seandainya Agung Sedayu yang datang kepadanya setiap kali, meskipun membawa pesannya, namun akan dapat terjadi kesalah-pahaman. Justru Agung Sedayu lah yang akan mengisi kekosongan hati gadis itu.
“Terima kasih,” desisnya,
“memang aku harus berbuat sesuatu. Aku sendiri. Tanpa perantara orang lain.”
“Bagus. Tetapi hati-hatilah. Jangan tergesa-gesa supaya tidak terjadi hal yang sebaliknya. Kalau kau salah langkah, maka hatinya tidak akan tersentuh.”
“Ya, ya. Aku mengerti.”
Demikianlah Swandaru mulai berpikir sungguh-sngguh atas masalah yang dihadapinya. Masalah ini memang bukan masalah yang dapat dilakukannya sambil lalu, dengan tertawa dan kemudian dilupakannya. Masalah ini akan menyangkut seluruh hidupnya kelak, yang menurut perhitungan lahiriah masih cukup panjang. Kali ini Swandaru tidak akan dapat melakukannya dengan cara yang semudah-mudahnya saja. Setiap langkah harus diperhitungkannya masak-masak. Untunglah bahwa di antara mereka hadir Sekar Mirah yang dapat menjadi jembatan, yang akan menghubungkannya dengan gadis itu.
“Mirah,” berkata Swandaru dalam suatu kesempatan,
“sekarang kau harus menolong aku.”
“Apa yang harus aku kerjakan?”
“Kawani aku.”
“Untuk apa?”
“Aku ingin mengatakan sesuatu kepada Pandan Wangi. Aku harus mengatakannya sendiri. Menurut Kakang Agung Selayu, saat ini Pandan Wangi sedang dicengkam oleh kekosongan jiwa.”
Meskipun Sekar Mirah lebih muda dari Swandaru, tetapi ia lebih cepat dapat mengerti apa yang dimaksud. Karena itu maka katanya sambil tersenyum,
“Ah, sudah tentu aku tidak akan dapat mengawanimu. Kau harus pergi sendiri kepadanya.”
“Jangan mengganggu aku, Sekar Mirah.”
“Kau keliru. Sudah tentu maksudnya, kau harus dapat mengisi kekosongan jiwanya kalau kau ingin merebut hatinya. Kalau aku selalu mengawanimu, maka maksud itu tidak akan tercapai. Pandan Wangi akan dibayangi oleh perasaan malu seorang gadis.”
Swandaru mengerutkan keningnya.
“Tetapi Kakang Sedayu mengatakan, bahwa kau dapat menjadi penghubung yang baik.”
“Tentu. Maksudnya, aku hanya sekedar mendekatkan kau kepadanya, sehingga kau mendapat kesempatan itu. Bukan mengawani.”
Swandaru mengangguk-angguk kecil.
“Jadi, bagaimana?”
“Ikuti aku. Tetapi kemudian kau harus melakukannya sendiri.”
“Kapan?”
“Sekarang.”
“Jangan sekarang. Dadaku sudah mulai berdebar-debar.”
“Lalu?”
“Sebaiknya nanti, atau besok, agar aku dapat mengatur perasaanku sebaik-baiknya.”
Sekali lagi Sekar Mirah tertawa. Katanya,
“Terserahlah kepadamu. Tetapi kalau kau terlampau lamban maka burung itu akan terlepas dan terbang terlampau tinggi. Padahal kau terlampau pendek, sehingga kau akan mengalami kesulitan untuk meraihnya.”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia bersungut-sungut. Adiknya memang nakal. Tetapi bahwa Sekar Mirah telah menyanggupinya untuk mendekatkannya kepada Pandan Wangi, maka anak yang gemuk itu menjadi agak berlega hati. Ketika saat itu tiba di keesokan harinya, maka Sekar Mirah berkata,
“Marilah, bukankah perasaanmu telah tenang. Selagi Pandan Wangi tidak sedang sibuk. Ia sedang duduk di serambi gandok. Baru saja ia membagikan makan para pengawal.”
Swandaru berpikir sejenak. Namun kemudian,
“Ayolah, Kakang, sebaiknya kau ikut pula.”
“Ah, ada-ada saja kau. Aku akan mengganggu,” jawab Agung Sedayu.
“Tetapi kehadiran kita tidak akan menimbulkan kecurigaan. Kita menemuinya seperti biasanya saja.”
“Kalau begitu waktu ini pun akan terbuang seperti biasanya pula.”
“Jadi, bagaimana?”
“Pergilah bersama Sekar Mirah. Kemudian Sekar Mirah akan meninggalkan kau berdua.”
“Jangan sekarang. Jangan sekarang.”
“Kapan. Kapan lagi,” Sekar Mirah hampir berteriak.
“Kau akan kehilangan waktu. Suatu ketika kau hanya akan melihat orang datang melamarnya, dan kau kehilangan segala kesempatan.”
Swandaru yang juga dikenal bernama Gupala itu termangu-mangu sejenak.
“Tetapi kali ini aku minta kalian mengawani aku.”
Agung Sedayu tidak dapat menghindar lagi ketika Swandaru menarik tangannya. Sehingga kemudian mereka bertiga berjalan ke serambi gandok. Tetapi apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Pembicaraan mereka sama sekali tidak dapat mengarah seperti yang dimaksudkan. Ketegangannya hampir tidak berkata apa-apa, karena Pandan Wangi nampaknya masih diliputi oleh kepedihan hati. Sekali-sekali Sekar Mirah lah yang mencoba menenteramkan hatinya seperti yang setiap kali dilakukannya. Seperti setiap kali ia mendengar kata-kata Sekar Mirah, maka Pandan Wangi selalu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Lihat,” bisik Agung Sedayu,
“kau tidak akan mendapat kesempatan.”
Swandaru mengerutkan keningnya.
Akhirnya Swandaru benar-benar tidak berbuat apa-apa, karena Pandan Wangi kemudian dipanggil oleh ayahnya.
“Maaf,” berkata gsdis itu, “ayah memanggil aku.”
“Silahkan,” jawab Sekar Mirah,
“tetapi di saat lain kami akan selalu mengawani kau kalau kau memerlukan.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, “Terima kasih.”
Namun demikian tumbuhlah sebuah pertanyaan di hatinya. Sekar Mirah setiap hari sudah selalu mengawaninya. Kenapa tiba-tiba ia harus berkata, bahwa ia selalu akan mengawani di kesempatan lain?
“Tetapi katanya ‘Kami akan selalu mengawani’. Kami, bukan aku,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.
Ia merasa aneh, bahwa ia sempat mempersoalkan kata-kata itu di dalam hatinya yang sedang pepat. Bahkan sekali-sekali terbayang wajah-wajah yang telah menggetarkan jantungnya. Dalam kekosongan jiwa, wajah-wajah itu rasanya menjadi semakin terbayang. Bahkan semakin dibayangkannya di dalam hatinya.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia  pun meninggalkan anak-anak muda itu berserta Sekar Mirah, masuk dalam bilik ayahnya.

Sepeninggal Pandan Wangi, Sekar Mirah tertawa berkepanjangan meskipun ia berusaha menahannya. Ditatapnya wajah kakaknya yang kecewa dan sekaligus gelisah.
“Nah, apakah yang kau dapatkan?”
Swandaru tidak menjawab. Tetapi dahinya menjadi berkerut-merut.
“Lain kali,” berkata Agung Sedayu,
“berbuatlah lebih baik. Kalau kau tetap ragu-ragu, maka kau akan kehilangan banyak waktu. Siapa tahu, besok atau lusa kita harus sudah meninggalkan tempat ini. Sepeninggal Sidanti, agaknya tidak banyak lagi yang harus dilakukan oleh Ki Argapati untuk mengatasi pertentangan yang setiap kali masih akan meledak.”
“Anak Argajaya masih belum diketemukan.”
“Ah, anak-anak itu tidak banyak dapat berbuat. Ia masih belum mempunyai sikap sekuat Sidanti. Kalau pada suatu saat ia bertemu dengan ayah ibunya, ia akan segera tunduk kepada mereka.”
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Di dalam setiap tindakan kau pasti lebih cepat mengambil keputusan daripadaku. Kau kadang-kadang menjadi jengkel karena aku selalu saja menunggu dan menurut kau ragu-ragu. Tetapi sekarang kau lebih ragu-ragu daripadaku.”
“Tetapi persoalan ini belum pernah aku hadapi,” jawab Swandaru.
“Berapa kali kau akan menghadapi masalah serupa ini, Kakang?” bertanya Sekar Mirah.
“Maksudku, aku masih sangat asing.”
“Cobalah.”
“Baiklah. Aku akan mencobanya. Aku akan menemuinya dengan Sekar Mirah. Kemudian biarlah Sekar Mirah meninggalkan aku.”
Sekar Mirah tersenyum.
“Sungguh. Aku bersungguh-sungguh.”
Sambil melangkah Sekar Mirah berkata,
“Aku percaya. Tetapi marilah kita pergi. Aku akan menemui guru.”
“Untuk apa?”
“He, apakah kita akan selamanya di sini? Bukankah pada suatu saat kita akan kembali ke tempat kita masing-masing? Ayah dan Ibu dahulu berpesan, kami jangan terlampau lama di perjalanan. Ibu pasti menunggu kita dengan gelisah. Aku akan bertanya kepada guru, apakah kami dapat menunggu kau yang maju mundur ini.”
“Hus, jangan mengacaukan perasaanku. Kau dan Ki Sumangkar harus menunggu sampai aku selesai dengan persoalan ini.”
“Kau belum mulai. Kapan akan selesai.”
Swandaru menjadi bersungut-sungut karenanya. Tetapi ia tidak menjawab. Sambil mengikuti langkah adiknya ia menundukkan kepalanya. Sedang Agung Sedayu berjalan di sampingnya. Tetapi mereka pun kemudian tidak berkata apa pun juga.
Sehari-harian Swandaru hanya berbaring saja di ujung gandok, di atas sebuah lincak kayu. Wajahnya tampak bersungguh-sungguh dan gelisah sekaligus. Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Direka-rekanya apa yang akan dikatakan seandainya ia nanti benar-benar dapat berbicara dengan Pandan Wangi.
Namun tiba-tiba sesuatu telah meledak di dadanya,
“Kenapa aku tiba-tiba saja menjadi pengecut?”
Swandaru mengerutkan keningnya. Di dalam pergaulan sehari-hari ia dapat berbuat wajar, berbicara dan bahkan bergurau, dengan gadis itu. Tetapi apabila masalahnya membentur perasaannya terhadap gadis itu, tiba-tiba saja lehernya seakan-akan menjadi berkerut terlampau pendek.
“Aku tidak boleh berlaku demikian,” katanya kepada diri sendiri,
“aku harus mulai dengan sikap yang bersungguh-sungguh.”
Perlahan-lahan maka Swaudaru  pun kemudian menemukan kepercayaan kepada diri sendiri. Katanya di dalam hati,
“Seandainya aku menunda-nunda, maka akhirnya aku pun harus sampai pada masalah itu. Aku harus sampai pada suatu batas, bahwa aku harus mengucapkannya dengan mulutku sendiri.”
Demikianlah di saat Swandaru mendapat kesempatan untuk menjumpai Pandan Wangi bersama Sekar Mirah ketika senja turun di serambi belakang, sikapnya sudah berlainan. Meskipun dadanya masih juga berdebar-debar, tetapi Swandaru tampaknya sudah menjadi tenang.
“Apakah Ki Argapati sudah menjadi semakin baik?” bertanya Sekar Mirah.
“Ya, gembala tua yang ternyata bernama Kiai Gringsing itu dengan tekun merawatnya”
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ia seorang dukun yang luar biasa,” desis Sekar Mirah.
“Namanya bukan saja Kiai Gringsing. Ketika ia pertama kali muncul di Sangkal Putung, ia memakai pakaian gringsing. Tetapi ia dikenal juga dengan nama Ki Tanu Metir.”
“Tidak,” sahut Swandaru,
“ia menyebut dirinya Kiai Gringsing pertama-tama ketika ia menjumpai Kakang Agung Sedayu di perjalanan ke Sangkal Putung.”
“O,” Sekar Mirah mengerutkan keningnya.
Sementara itu, Swandaru meneruskan ceriteranya tentang dukun yang aneh itu, sehingga akhirnya ia menjadi muridnya bersama Agung Sedayu.
“Sampai saat ini, aku masih belum tahu benar, siapakah sebenarnya Kiai Gringsing itu.”

Pandan Wangi mendengarkannya dengan penuh minat. Namun tiba-tiba ia berpaling ketika Sekar Mirah meloncat berdiri,
“He, ada yang harus aku tanyakan kepada guruku”
“Sesuatu. Tunggulah kau di sini sebentar. Hanya sebentar.”
“Apa?”
Sekar Mirah tidak menunggu jawaban. Dengan tergesa-gesa ia meninggalkan Pandan Wangi dan Swandaru sambil berkata,
“Teruskan ceriteramu, Kakang. Aku tidak lama.”
“He,” Pandan Wangi memanggil.
Sekar Mirah berpaling sambil tersenyum. Tetapi ia berjalan. Swandaru dan Pandan Wangi yang ditinggalkannya sejenak menjadi termangu-mangu. Mereka memandangi langkah Sekar Mirah yang hilang di sudut serambi. Tetapi Swandaru yang benar-benar ingin menyatakan perasaannya, dan yang perlahan-lahan telah menemukan keberanian itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
“Biar saja anak itu pergi.”
Pandan Wangi tidak menjawab, tetapi kepalanya tiba-tiba saja tertunduk dalam-dalam.
“Sampai di mana aku tadi berceritera?” bertanya Swandaru.
Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Ia tidak menyangka bahwa pembicaraan mereka masih akan tetap dapat berjalan lancar. Namun ia tidak menjawab.
“O, ya” berkata Swandaru,
“aku sendiri sampai sekarang tidak tahu, siapakah sebenarnya guruku.”
“Aneh,” desis Pandan Wangi tiba-tiba.
“Apa yang aneh.”
“Kau. Kau yang sudah sekian lama berguru, masih juga tidak tahu siapakah gurumu.”
“Memang aneh.”
“Dan sekarang, aku dan orang-orang Menoreh lebih-lebih lagi tidak tahu. Bukan saja siapa gurumu itu, tetapi siapakah kau sebenar-benarnya. Mula-mula kau mengaku seorang gembala. Kemudian adikmu itu mengatakan bahwa kau bukan bernama Gupala, tetapi Swandaru yang kau tambahi sendiri menjadi Swandaru Geni, anak seorang Demang di Sangkal Putung.”
Swandaru tersenyum.
“Kakakmu itu pun orang aneh.”
Swandaru tertawa pendek. Katanya,
“Kami memang kumpulan orang aneh-aneh. Tetapi itu adalah ajaran guru. Guru orang aneh. Murid-muridnya pun orang aneh pula.”
Pandan Wangi pun tersenyum pula.
“Tetapi kepadamu aku pasti harus berterus terang,” berkata Swandaru kemudian. Terasa bahwa nadanya menjadi agak gemetar. Pandan Wangi mengangkat wajahnya, memandang langit yang menjadi semakin hitam. Tanpa memandang Swandaru itu berkata,
“Kenapa?”
Swandaru menjadi agak bingung. Tetapi kemudian ia menjawab,
“Karena kau pemilik rumah ini, di mana aku, kakak seperguruanku, adikku, dan guru tinggal.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menyahut, sehingga suasana menjadi hening sejenak. Dan tiba-tiba saja terdengar Pandan Wangi menarik nafas panjang. Panjang sekali. Meskipun yang ada di sampingnya kini adalah Gupala, yang ternyata bernama Swandaru itu, namun sekali melintas juga bayangan gembala yang lain, yang telah menyentuh hatinya dengan suara serulingnya. Tetapi sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat menyebut namanya lagi di dalam hatinya, karena kini sudah pasti baginya bahwa telah terjadi ikatan antara gembala yang pandai bermain seruling itu dengan Sekar Mirah.
“Aku memang tidak memerlukannya,” ia menghentak di dalam hatinya sendiri. Namun kemudian terasa seolah-olah dunianya menjadi sepi. Apalagi sepeninggal Sidanti.
Terasa kekosongan yang sunyi telah melihatnya. Di dalam saat-saat tertentu ia merasa, seakan-akan terlempar ke dalam suatu dunia yang asing. Kadang-kadang ia merasa berdiri di atas jalur yang panjang sekali. Seolah-olah tidak ada ujung dan pangkalnya. Kadang-kadang ia seakan-akan berdiri di sebuah padang yang luas. Luas sekali tanpa tepi. Hanya kadang-kadang ia melihat ayahnya berdiri di kejauhan. Dengan luka di dadanya ia berjalan tertatih-tatih. Lambat sekali. Dalam kesepian, dalam kesendirian di dunia yang serasa asing dan sunyi itu hadir seorang anak muda. Anak muda yang mempunyai beberapa kelebihan dari anak-anak muda yang lain. Tiba-tiba terasa sesuatu telah menyentuh hatinya. Sentuhan-sentuhan yang semula tidak begitu terasa, kini benar-benar telah menumbuhkan kesan yang agak mendalam. Dalam keadaan itu, Swandaru tidak mau kehilangan kesempatan. Ia harus sampai pada pokok masalah yang selama ini telah direndamnya. Karena itu, maka ia masih juga berusaha mencari jalan, untuk dapat sampai pada masalah itu.
Karena Pandan Wangi masih juga diam saja maka Swandaru itu pun bertanya,
“Kenapa kau tiba-tiba terdiam?”
Pandan Wangi berpaling. Tetapi ia tidak menjawab.

Swandaru menjadi agak gelisah. Namun ia tidak mau mundur lagi. Dengan suara yang semakin gemetar, ia kemudian bertanya,
“Pandan Wangi, pada suatu saat aku dan rombonganku yang kecil ini pasti akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, tidak akan ada salahnya kalau kau mengenal aku bukan sebagai murid seorang guru yang selalu terselubung.”
Pandan Wangi masih tetap berdiam diri.
“Apakah Sekar Mirah sudah mengatakan tentang dirinya dan diriku?”
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
“Nah, baiklah. Kalau ia berkata bahwa aku adalah anak seorang Demang di Sangkal Putung itu berarti bahwa ia berkata sebenarnya.”
Sekali lagi Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
“Dan selain Sekar Mirah, apakah Kakang Agung Sedayu sudah pernah mengatakan sesuatu tentang dirinya sendiri?”
“Belum,” jawab Pandan Wangi lambat.
“Mungkin. Mungkin ia tidak akan mengatakan tentang dirinya sendiri, sehingga sampai saat ini kau pasti belum mengenalnya dengan baik. Ia adalah seorang anak Jati Anom. Kakaknya adalah seorang Senapati Pajang yang mempunyai daerah kekuasaan di sepanjang sisi Selatan Pulau ini. Tetapi yang penting bukan itu.” Swandaru berhenti sejenak, lalu,
“Yang penting bagiku adalah Kakang Agung Sedayu pernah mengatakan sesuatu tentang diriku?”
Sepercik warna merah membayang di wajah Pandan Wangi. Kini ia merasa bahwa ia sudah diseret ke dalam suatu pembicaraan pribadi yang berat. Dengan demikian Pandan Wangi menjadi semakin tunduk. Diusapnya keringatnya yang membasahi keningnya. Kemudian dengan jari-jarinya ia mempermainkan ujung kain panjangnya. Tetapi Pandan Wangi masih tetap berdiam diri.
“Pandan Wangi,” desis Gupala, “kau belum menjawab pertanyaanku.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
“Apakah Kakang Agung Sedayu yang kau panggil sehari-hari dengan nama Gupita itu sudah pernah mengatakan sesuatu pesan dari padaku?”
Tiba-tiba kepala Pandan Wangi terangguk lemah. Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Kini ia sudah, hampir sampai pada pokok pembicaraannya. Karena itu, meskipun dadanya menjadi semakin berdebar-debar ia berkata selanjutnya,
“Bagaimanakah jawabmu?”
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Kepalanya kini terangkat. Dipandanginya hitamnya malam yang kini telah merata. Hijaunya dedaunan yang menjadi kelam dan seolah-olah bersembunyi di balik kegelapan. Sejemput angin yang silir mengalir mengusap wajah-wajah yang menegang itu. Di kejauhan sinar obor yang lemah telah menyentuh kulit mereka yang menjadi merah tembaga. Tetapi Pandan Wangi tidak segera menjawab. Di dalam dirinya masih saja terjadi gelora yang mengguncang jantungnya. Namun ia tidak akan dapat lari dari kenyataan, bahwa Swandaru memang mempunyai sentuhan-sentuhan yang membekas di hatinya.
“Bagaimana, Pandan Wangi?” desak Swandaru.
Pandan Wangi menarik nafas. Kemudian terdengar suaranya lemah sekali,
“Tetapi Agung Sedayu belum mengatakan pesanmu seluruhnya. Tiba-tiba kalimat-kalimatnya terganggu oleh gerombolan di bawah pimpinan adik sepupuku sendiri.”
“Tetapi bukankah kau sudah tahu maksudnya?”
Swandaru menggerutu di dalam hatinya ketika ia melihat Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Belum. Aku belum tahu maksudnya.”
“Tetapi, menurut Kakang Agung Sedayu, ia sudah mengatakannya.”
“Kalau begitu akulah yang tidak mendengarnya,” jawab Pandan Wangi.
“Jalan itu memang menegangkan, sehingga perhatianku terlampau banyak tertuju kepada daerah yang sedang kami lewati daripada yang lain-lain.”
“O,” Swandarulah yang kini menundukkan kepalanya,
“memang mungkin pesan itu sama sekali tidak berharga bagimu, sehingga kau sama sekali tidak berkesempatan untuk mendengarkannya.”

Pandan Wangi terkejut mendengar suara Swandaru yang tiba-tiba mendatar itu, sehingga ia  pun berpaling. Ketika dilihatnya Swandaru menunduk dalam-dalam maka ia  pun berdesis,
“Tidak. Bukan maksudku untuk mengabaikannya. Tetapi, aku tidak dapat menangkapnya dengan jelas karena berbagai macam keadaan. Aku sudah mencoba untuk mengetahuinya, tetapi tidak seluruhnya aku mengerti.”
“Apakah kesanmu terhadap yang sedikit itu?” desak Swandaru.
Namun jawaban yang didengarnya sama sekali tidak diduganya. Sambil menundukkan kepalanya Pandan Wangi menjawab,
“Aku tidak dapat mengatakan sesuatu. Aku takut kalau pesan yang sedikit itu keliru.”
Swandaru menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa sesadarnya. Kini sudah pasti baginya untuk mengatakan sendiri. Agaknya Pandan Wangi memang ingin mendengar hal itu daripadanya.
Setelah beberapa kali ini menarik nafas dalam-dalam, maka ia berkata lambat,
“Begitulah, Pandan Wangi. Seperti yang aku pesankan kepada Kakang Agung Sedayu,” Swandaru berhenti sejenak. Kemudian,
“Seperti yang dinasehatkan oleh Kakang Agung Sedayu kepadaku. Katanya,
“Swandaru, kau harus mulai dengan suatu sikap hidup yang baru karena umurmu sudah cukup dewasa. Kalau kau memang menaruh hati kepadanya, katakanlah berterus terang.” Dan aku memang tidak ingkar lagi akan hal itu.”
Swandaru berhenti sejenak. Ia menunggu kesan Pandan Wangi atas kata-katanya itu, tetapi Pandan Wangi masih tetap berdiam diri.
“Begitulah Pandan Wangi, dan aku sekarang telah mencoba memenuhi petunjuk Kakang Agung Sedayu.”
Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Sekali lagi dilontarkannya tatapan matanya jauh ke alam gelap. Tanpa memandangi Swandaru ia berkata,
“Hanya sekedar memenuhi pesan Kakang Agung Sedayu?”
“O, tidak. Tidak,” cepat-cepat Swandaru menyahut. Kini keringatnya sudah mengalir membasahi tubuhnya. Betapa ia mengatur perasaannya, namun terasa jantungnya menjadi semakin cepat berdebaran.
“Bukan maksudku, Pandan Wangi,” katanya,
“tetapi aku memang harus mengatakannya. Maksudku bahwa aku sama sekali tidak mengerti apa yang harus aku perbuat. Dan Kakang Agung Sedayu memberi nasehat itu kepadaku.”
Pandan Wangi menundukkan kepalanya pula. Malam menjadi semakin lama semakin gelap, dan obor di regol butulan halaman belakang terombang ambing disentuh angin. Lamat-lamat tampak bayangan para penjaga yang hilir-mudik, meskipun tidak begitu jelas.

Dalam pada itu, seseorang yang sedang berjalan ke regol belakang berhenti sejenak di balik bayangan yang kelam. Tatapan matanya yang tajam memandang kedua sosok tubuh yang duduk di serambi. Meskipun keduanya tidak tersentuh langsung oleh sinar-sinar lampu, tetapi tampak olehnya betapa mereka sedang berbicara bersungguh-sungguh. Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun melangkah pergi sambil menundukkan kepalanya. Terasa sesuatu berdesir di dadanya. Namun kemudian ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
“Mudah-mudahan Swandaru berhasil,” desisnya.
“Tidak pantas lagi aku memikirkan tentang seseorang.”
Sambil menggigit bibirnya orang itu  pun sekali lagi berpaling. Tetapi orang itu, Agung Sedayu, tidak berhenti. Ia sadar bahwa ia harus berdiri di atas kaki yang kuat. Perasaannya memang kadang-kadang menjadi agak lentur. Namun ia mencoba melawannya sekuat-kuatnya.
Sementara itu Swandaru sendiri duduk dengan gelisahnya. Punggungnya menjadi basah oleh keringat. Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam, karena serasa dadanya tersumbat oleh perasaannya yang bergejolak.
“Pandan Wangi,” berkata Swandaru kemudian. Dikerahkannya segenap keberaniannya, sehingga meledaklah kata-katanya,
“Aku ingin mendengar jawabmu, apakah kau bersedia menjadi imbangan hidupku kelak?”
Pertanyaan Swandaru yang terlampau langsung itu ternyata telah menggetarkan isi dadanya. Terasa darah-darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir. Kini mulutnya justru menjadi seakan-akan terbungkam. Ia memang mengharapkan Swandaru mengatakan hal itu langsung kepadanya. Bukan sekedar pesan atau cara-cara yang miring. Tetapi ia ingin mendengarnya langsung. Namun justru karena ia kini mendengar pertanyaan itu langsung, maka sejenak ia menjadi kebingungan. Swandaru yang dengan segala macam usaha dengan pengerahan keberaniannya telah berhasil melontarkan pertanyaan itu, seakan-akan merasa dadanya menjadi terlampau lapang. Seakan-akan ia telah melontarkan sesuatu yang selama ini membebaninya. Karena itu, kini darahnya menjadi tidak terasa terlampau panas, sedang dadanya tidak lagi berguncang-guncang. Bahkan karena Pandan Wangi tidak segera menjawab ia mendesaknya,
“Kau belum menjawab, Pandan Wangi.”
Untunglah bahwa cahaya obor di kejauhan tidak mencapai langsung ke tempat mereka, sehingga Swandaru tidak melihat wajah itu menjadi kemerah-merahan.
“Aku sudah mengucapkannya,” berkata Swandaru pula,
“dan aku ingin mendengar kau menjawabnya.”
Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak berpaling ke arah Swandaru. Perlahan-lahan ia berkata,
“Kakang Swandaru. Aku adalah seorang gadis. Sudah menjadi kelaziman bagi seorang gadis Menoreh, bahwa lamaran itu ditujukan kepada orang tuanya. Demikian pula aku. Sebaiknya Kakang Swandaru memintanya kepada ayah.”
“Tetapi, bagaimana dengan kau sendiri, Wangi. Aku ingin mendengar perasaanmu.”
“Aku tidak dapat menentukan sesuatu atas diriku sendiri.”
“Tetapi bukankah kau mempunyai perasaan itu?” suara Swandaru menjadi gelisah kembali.
“Aku tidak peduli, apakah jawaban orang tuamu nanti. Tetapi bagaimana perasaanmu sendiri?”
“Tidak, Kakang Swandaru,” sahut Pandan Wangi,
“kau tidak dapat untuk tidak menghiraukan suara ayahku. Suara ayah itu pasti menentukan. Kalau ayah berkata ya, maka semua itu akan terjadi, tetapi kalau ayah berkata tidak, maka semuanya tidak akan dapat terjadi.”
“Aku tahu, aku tahu,” nada suara Swandaru meninggi,
“tetapi aku ingin tahu perasaanmu sendiri. Kalau kau berkata ya, aku akan berusaha melamarmu lewat ayahmu, meskipun memang mungkin juga ditolak dan urung. Tetapi kalau kau berkata tidak, maka aku tidak akan berbuat apa-apa. Meskipun seandainya ayahmu mengijinkan, tetapi aku tidak mendapatkan kau seutuhnya.”
Pandan Wangi tidak dapat mengelak lagi. Ketika Swandaru kemudian bertanya lagi,
“Bagaimana pendapatmu, Pandan Wangi?” maka dengan wajah yang merah dan bibir yang gemetar gadis itu menjawab parau,
“Apakah kau akan menemui ayah?”
“Tentu. Seandainya bukan aku, karena itu juga tidak lazim, tetapi ayah atau orang-orang tua yang lain, itu pun akan tergantung kepada jawabanmu.”
“Datanglah kepadanya. Bertanyalah kepada ayah.”
“Aku akan melakukannya, tetapi setelah aku mendapat kepastian. Aku juga mempunyai adik seorang gadis. Aku kira adat kita tidak akan jauh berbeda. Kalau seseorang datang melamar, maka orang tuanya akan menjawab ‘Aku akan menanyakannya dahulu kepada gadisku’. Bukankah ayahmu nanti akan berkata begitu juga? Nah, sebelumnya aku sudah membawa jawabnya. Meskipun aku tidak akan dapat mendahului jawaban ayahmu, tetapi setidak-tidaknya aku berpengharapan untuk mendapatkan kau seutuhnya. Kau dan perasaanmu. Kalau kau kemudian mengiakannya, itu bukan karena ayahmu yang mendesaknya. Aku tahu pasti, kalau kau sendiri tidak berkeberatan.”
Pandan Wangi benar-benar sudah tersudut. Sedang Swandaru mendesaknya lagi,
“Bagaimana, Wangi?”
Gadis itu tidak dapat menghindarinya. Karena itu, maka betapa  pun beratnya, dianggukkannya kepalanya.
“Terima kasih, terima kasih,” terdengar Swandaru berdesis,
“aku sudah mengerti perasaanmu sekarang. Aku memang sudah menduga. Tunggulah. Aku akan memenuhi segala macam upacara adat kelak. Tetapi sudah tentu aku harus kembali dahulu ke Sangkal Putung. Namun selain ayahku, aku mempunyai orang tua di sini, guruku. Mungkin sebelum ayahku datang, guruku akan dapat membicarakannya dengan ayahmu. Guruku, guru adikku itu, dan Kakang Agung Sedayu.” Swandaru berhenti sejenak, lalu,
“Begitu, bukankah begitu?”

Namun ketika ia tanpa sesadarnya menyentuh lengan Pandan Wangi gadis itu beringsut sejengkal. Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia sadar, bahwa sentuhan di antara mereka memang tidak dibenarkan. Pandan Wangi sendiri tidak tahu, kenapa ia harus bergeser. Ia tidak mengelak, ketika tangannya dibimbing oleh gembala yang lain di peperangan setelah mereka berkelahi melawan Ki Peda Sura.
“Saat itu, perasaanku telah dirampas oleh tegangnya peperangan,” ia mencoba mencari jawabnya.
“Nah,” terdengar suara Swandaru,
“nanti malam aku akan dapat tidur nyenyak, Pandan Wangi. Dan aku akan mengatakannya kepada guruku. Apakah ia dapat berbuat sesuatu sebelumnya, mendahului ayah dan ibuku di Sangkal Putung.”
Pandan Wangi tidak menyahut. Kembali kepalanya tunduk dalam-dalam. Dan malam pun menjadi semakin malam. Akhirnya kedua anak-anak muda itu menjadi seakan-akan tersadar, bahwa mereka telah terlampau lama duduk berdua, di dalam keremangan malam yang tidak langsung dicapai oleh cahaya obor di kejauhan. Karena itu, ketika Swandaru mendengar tembang macapat yang melontar dari gandok di sebelah Barat, ia berkata,
“Sudahlah Pandan Wangi, aku sudah puas dengan jawabanmu. Aku merasa bahwa kehadiranku di atas Tanah Perdikan ini tidak sia-sia. Bukan saja untuk kepentingan Tanah Perdikanmu, tetapi untuk kepentinganku pula.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk lemah.
“Hari sudah menjadi semakin malam. Aku sudah mendengar salah seorang pengawal membaca tembang macapat.”
Sekali lagi kepala Pandan Wangi terangguk. Swandaru kemudian berdiri dan melangkah menjauhi serambi. Sekali ia berhenti dan berpaling.
“Apakah kau tidak akan masuk ke dalam,” ia bertanya ketika ia masih melihat Pandan Wangi duduk di tempatnya.
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tetapi ia masih tetap berdiam diri.
“Masuklah,” berkata Swandaru, “malam akan menjadi terlampau dingin.”
Perlahan-lahan Pandan Wangi  pun berdiri. Seperti bukan kehendaknya sendiri. Ia pun melangkah, menuju ke pintu butulan. Sejenak kemudian ia pun segera hilang di balik pintu. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun meneruskan langkahnya kembali ke ujung gandok. Tugasnya bersama Agung Sedayu masih belum dicabut, menunggui bilik Argajaya, meskipun sudah tidak seketat semula.
Malam itu rasa-rasanya menjadi malam yang terlampau segar bagi Swandaru. Kadang-kadang ia tersenyum sendiri mengenangkan pembicaraannya. Ia merasa sebagai seorang pahlawan yang telah memenangkan perang.
“Apakah kau berhasil?” bertanya Agung Sedayu ketika ia melihat Swandaru berbaring sambil memandang langit-langit biliknya.
“Agaknya aku merasa berhasil,” jawab Swandaru,
“aku masih perlu meyakinkan.”
Agung Sedayu tersenyum, “Apa yang akan kau yakinkan?”
“Kebenaran kata-katanya.”
Sambil tertawa Agung Sedayu menepuk bahunya,
“Kau memang harus yakin.”
Swandaru tidak menjawab. Ia masih tetap berbaring ketika Agung Sedayu meninggalkan biliknya. Dan Swandaru itu pun tidak mendengar Agung Sedayu bergumam,
“Mudah-mudahan kau menemukan kebahagiaan.”

Di ruang dalam, Sekar Mirah sempat juga mengganggu Pandan Wangi yang tersipu-sipu. Karena Sekar Mirah tidak juga berhenti, maka Pandan Wangi pun kemudian berlari menuju ke pintu bilik ayahnya. Namun kemudian, berjingkat ia masuk. Dengan demikian ia berhasil melepaskan dirinya dari Sekar Mirah. Tetapi pertemuan dan pengakuan merupakan jenjang kehidupan baru bagi keduanya. Keduanya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh perasaan masing-masing, sehingga hampir setiap orang segera dapat melihat, bahwa ada sesuatu yang berkembang di hati keduanya. Namun bukan saja hati Swandaru dan Pandan Wangi yang telah berkembang. Keadaan di Tanah Perdikan Menoreh pun telah berkembang pula. Ki Argapati yang mengikuti keadaan dengan seksama, meskipun ia masih tetap berada di pembaringannya, pada suatu kesempatan telah memanggil Argajaya untuk menghadap, dikawani oleh Pandan Wangi, Samekta, dan Ki Kerti.
“Aku percaya kepadamu,” berkata Ki Argapati kepada adiknya setelah mereka berbincang panjang,
“mudah-mudahan kau tidak menyia-nyiakan kepercayaanku itu.”
“Aku sudah menyesali semuanya itu, Kakang. Bukan karena aku sudah tidak berdaya lagi. Tetapi aku melihat noda-noda yang melekat di hati ini. Aku memang banyak dipengaruhi oleh pamrih dan ketamakan. Kalau semula aku hanya dicemaskan oleh kejaran orang-orang Pajang, namun kemudian masalahnya menjadi berkembang terlampau jauh, sehingga aku harus malu kepada diri sendiri.”
“Baiklah. Atas persetujuan kami, kau kami ijinkan pulang ke rumahmu.”
“Kakang?”
“Ya. Aku kira kau tahu apa artinya.” Ki Argapati menarik nafas, kemudian,
“kau telah ditunggu oleh suatu kewajiban bagi Tanah perdikan ini.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ketahuilah, bahwa anakmu masih belum dapat kami ketemukan. Ia masih berada di antara orang-orang yang belum dapat diyakinkan, bahwa apa yang mereka lakukan adalah sia-sia.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepala. Ia mengerti bahwa anaknya telah berada di antara gerombolan orang-orang yang dengan putus asa telah melakukan apa saja tanpa tujuan, selain memuaskan nafsu kekerasan mereka.
“Pulanglah, mungkin anakmu akan datang kepadamu. Ia masih terlampau muda.”
“Baiklah, Kakang. Mudah-mudahan aku dapat menjumpainya dan menjinakkannya.”
“Cobalah,” Argajaya berhenti sejenak. Ia tampak menjadi ragu-ragu, namun kemudian,
“Tetapi, kau pun jangan salah mengerti. Apakah kau memerlukan perlindungan? Mungkin seseorang telah menjadi sakit hati atau mencoba untuk melakukan sesuatu atasmu.”
Argajaya menarik nafas pula. Semakin dalam ia menyadari bahwa kakaknya seharusnya tidak mengatakan bahwa ia perlu dilindungi, tetapi ia agaknya memang perlu diawasi.
“Mana yang baik bagi, Kakang,” jawab Argajaya.
“Jangan salah mengerti. Menurut perhitunganku, masih ada orang yang akan melakukan sesuatu yang berbahaya bagimu, karena sikapmu. Kau pasti akan dianggap bersalah terhadap mereka, karena justru kau menyadari keadaanmu yang sebenarnya.”
Argajaya tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. Ia dapat mengerti sikap kakaknya. Dan karena itu maka ia tidak menolaknya. Meskipun berat ia berkata,
“Baiklah, Kakang. Kalau Kakang menganggap perlu.”
“Aku masih menganggap perlu,” jawab Argapati.
“Mungkin dari orang-orangmu sendiri yang kini tidak dapat terkendali. Tetapi mungkin juga dari pihak lain. Rakyat yang merasa terjerumus ke dalam kesulitan karena peperangan yang baru lalu dan mereka pasti akan melemparkan kesalahan kepada Sidanti dan gurunya. Apabila yang ada kemudian tinggal kau sendiri, maka kau akan dapat menjadi sasaran kemarahan mereka.”
Ki Argajaya menganggukkan kepalanya. Memang alasan kakaknya dapat diterima, di samping dugaannya yang lain, bahwa kakaknya masih perlu mengawasinya.

Maka Ki Argajaya pada hari itu juga telah diijinkan meninggalkan bilik sempit yang dihuninya selama ini. Bilik yang sempit, gelap, dan pengap. Kebebasan yang didapatnya kali ini terasa sebagai suatu kurnia yang tidak ternilai harganya. Kini ia dapat melihat alam yang terbentang. Tidak hanya sesempit sebuah bilik dan bayangan dedaunan yang kadang-kadang dapat dilihatnya dari sela-sela pintunya apabila sedang terbuka. Diantar oleh sepasukan kecil pengawal, Argajaya akan pulang ke rumahnya. Untuk mengurangi bahaya yang dapat menerkamnya setiap saat, Ki Argapati telah berpesan dengan sungguh-sungguh kepada pemimpin pengawal itu,
“Ingat, kau jangan sampai melakukan kesalahan. Aku sudah memaafkan kesalahan Argajaya dengan beberapa macam pertimbangan. Bahkan aku sudah mengumumkan pengampunan umum. Kau harus mengawasi anak buahmu dan setiap orang di sekitar rumah Argajaya. Tidak boleh ada dendam yang dilontarkan kepadanya. Bukan karena Argajaya adikku, tetapi aku mempunyai banyak pertimbangan. Aku mengampuni semua orang yang mau mendengarkan seruanku dan dengan kesungguhan hati berusaha ikut membangunkan kembali Tanah yang sudah hampir runtuh ini.”
Pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tampaknya ia tidak begitu yakin. Bukan karena ia sendiri tidak dapat menyingkirkan dendam di hatinya, tetapi apakah ia akan mampu membendung perasaan seluruh anak buahnya dan bahkan rakyat di sekitarnya?
“Apakah kau ragu-ragu?” bertanya Ki Argapati.
“Tugas ini sangat berat bagiku,” jawab pemimpin pengawal itu.
“Ya, aku tahu bahwa tugasmu sangat berat. Tetapi aku harap kau dapat melakukannya.”
Orang itu tidak segera menyahut.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian,
“Mungkin kau memerlukan seorang kawan?”
Pemimpin itu menganggukkan kepalanya.
Ki Argapati berpikir sejenak. Tampaklah wajahnya menjadi tegang. Namun sejenak kemudian ia berkata,
“Panggillah gembala tua itu.”
Pemimpin pasukan itu ragu-ragu sejenak. Tetapi ia pun kemudian meninggalkan bilik Ki Argapati memanggil gembala tua yang kini juga disebut Kiai Gringsing itu.
“Kiai,” berkata Ki Argapati, “aku memerlukan bantuan Kiai.”
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
“Aku masih mengharap Kiai berada di Tanah Perdikan ini beberapa saat. Hanya beberapa saat saja.”
“Maksud Ki Gede?”
“Aku akan meminjam anak-anakmu. Salah seorang atau keduanya.”
“Untuk?”

Maka diceriterakannya maksudnya. Untuk melindungi Argajaya ia memerlukan sepasukan prajurit. Tetapi pemimpin prajurit itu memerlukan kawan, karena ia agak bimbang atas kemampuannya melakukan tugas yang berat ini. Ia merasa bahwa ia tidak hanya sekedar berhadapan dengan banyak kemungkinan yang datang dari sekelilingnya. Mungkin sisa-sisa pasukan Argajaya sendiri yang mendendam, mungkin rakyat yang marah, tetapi juga mungkin timbul dari pasukannya itu sendiri. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti kesulitan pemimpin pasukan itu. Karena itu maka jawabnya, “Baiklah, Ki Gede. Aku akan menyuruh kedua anak-anakku itu mengikuti Ki Argajaya, karena tugas mereka selama ini pun adalah menjaganya di dalam bilik itu.”
“Terima kasih,” Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ketika Kiai Gringsing mengatakannya kepada Swandaru, tampak betapa ia menjadi kecewa. Bahkan sambil berdesah ia menjawab,
“Guru, apakah aku boleh beristirahat?”
Kiai Gringsing menjadi heran mendengar jawaban itu. Swandaru adalah seorang anak muda yang lebih senang berada di lingkungan ketegangan daripada duduk menunggu sambil bertopang dagu. Tetapi tiba-tiba kini sikapnya menjadi lain.
“Lalu apakah yang akan kamu lakukan?”
“Aku minta ijin untuk beristirahat barang sejenak di rumah ini. Aku ingin beberapa hari tidak lagi dibebani oleh tugas-tugas yang berat.”
Kiai Gringsing masih belum mengerti, kenapa tiba-tiba tabiat muridnya ini berubah. Namun sebelum orang tua itu menanyakannya kepada Swandaru sendiri, Agung Sedayu telah mendahuluinya,
“Biarlah aku berangkat sendiri untuk kali ini, Guru.”
“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi sambil tersenyum dipandanginya wajah Swandaru yang murung.
“Kenapa?” gurunya mendesak.
“Adi Swandaru sedang sakit.”
“Sakit,” guruya menjadi semakin heran,
“apakah yang sakit? Kenapa kau tidak mengatakannya kepadaku? Meskipun segalanya tergantung kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi kita wajib berusaha. Dan aku akan berusaha untuk mengobatinya.”


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 048                                                                                                       Jilid 050 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar