PASUKAN kecil itu pun segera menghilang dari pengawasan Pasukan Sidanti. Mundur dengan tergesa-gesa, merangkak di antara batang-batang jagung muda, supaya mereka dapat bergabung dengan pasukan cadangan yang agak besar, yang menunggu di padukuhan kecil di belakang mereka. Mereka mencoba menghilangkan segala macam jejak, agar Sidanti tidak mengetahui dengan pasti, bahwa mereka telah ditunggu di padukuhan kecil itu. Sedang para pengawal berkuda, menyingkir ke arah yang lain agak jauh. Namun mereka telah mempersiapkan diri untuk dengan tiba-tiba terjun di peperangan. Ketika Sidanti menyadari, bahwa lawannya yang kecil telah menghilang, maka segera ia bercuriga. Mereka pasti akan menyerang lagi dengan tiba-tiba. Dan Sidanti telah mempersiapkan dirinya. Beberapa orang berperisai berada di depan pasukannya, agar perisai itu dapat melindungi mereka dari anak-anak panah yang dilontarkan oleh lawan-lawan mereka. Tetapi naluri Sidanti sebagai seorang prajurit, telah memperingatkannya, bahwa di depan pasukannya di dalam padukuhan kecil itu, bahaya yang lebih besar sedang menunggunya. Dan Sidanti agaknya mempercayai sentuhan nalurinya itu, sehingga dengan demikian, ia telah mempersiapkan pasukannya sebaik-baiknya. Karena itu, ketika Sidanti memasuki padukuhan kecil itu, mereka sama sekali tidak terkejut ketika tiba-tiba saja pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh menyergap mereka. Yang sejenak kemudian disusul oleh pasukan berkuda yang tidak terlampau banyak jumlahnya. Dengan menggeretakkan giginya, Sidanti dan Argajaya telah menyambut lawan-lawannya dengan penuh nafsu. Senjata-senjata mereka segera berputaran seperti angin ribut, menyerang setiap orang yang berada di sekitarnya. Perang yang terjadi di medan ini pun adalah perang brubuh. Dengan kekuatan yang lebih kecil, pasukan pengawal Menoreh mencoba bertahan dari arus yang melanda seperti banjir bandang. Apalagi di antara mereka terdapat Sidanti dan Argajaya. Pada saat benturan itu mulai, sudah terasa oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, bahwa arus itu ternyata terlampau kuat. Sehingga menurut perhitungan mereka, mereka pasti tidak akan dapat menahannya dalam keadaan serupa itu. Karena itu, maka mereka harus memanggil kawan-kawan sebanyak-banyaknya, untuk bertahan, agar Tanah Perdikan Menoreh tidak digulung oleh Sidanti, Argajaya. dan orang-orang yang telah berpihak kepadanya.
“Kita tidak
punya kesempatan,” geram pemimpin pasukan Menoreh,
“para penghubung
akan memerlukan waktu untuk menghubungi orang-orang yang bersedia dengan suka
rela bertempur saat ini.”
“Hampir semua
laki-laki dan anak-anak muda telah berada di barisan.”
“Siapa pun juga. Panggil mereka dengan tanda.”
“Kentongan.”
“Ya, titir.”
“Apakah tidak
akan menimbulkan kecemasan dan kebingungan?”
“Terpaksa kita
lakukan. Keadaan sangat gawat di sini.”
Penghubung itu
tidak membantah. Ia mencari kesempatan untuk melepaskan diri dari perang
brubuh. Kemudian dengan berlari secepat-cepat mungkin dapat dilakukan, ia
menuju ke gardu terdekat. Dan sejenak kemudian, menggemalah suara kentongan
dalam irama titir yang panjang mengumandang membelah sepinya malam. Ternyata
suara itu telah menggemparkan setiap gardu-gardu perondan. Gardu-gardu yang
biasanya ditunggui oleh lima atau enam orang, kini tinggal diisi oleh dua
orang, karena yang lain sudah ditarik di medan-medan peperangan. Dan suara
titir itu telah memanggil mereka pula untuk membantu langsung ke medan-medan.
Tetapi sebelum mereka meninggalkan gardu mereka, maka lebih dahulu mereka telah
menyambung suara titir itu merambat dari gardu ke gardu, sehingga akhirnya,
seolah-olah seluruh Tanah Perdikan Menoreh telah meneriakkan irama kecemasan
oleh pertentangan di antara mereka sendiri.
“Titir,” desis
seseorang di sebuah gardu
”iramanya rata
diseling oleb pukulan dua dua.”
“Ya, pertanda
bahwa bahaya datang dari Timur.”
Setetah
menyambung suara titir itu sejenak, maka kedua orang di gardu itu pun segera
berlari-lari menuju ke padukuhan kecil di sebelah Timur padukuhan induk Tanah
Perdikan Menoreh. Namun, meskipun pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang masih
mungkin meninggalkan tugasnya mengalir satu-satu ke medan di sebelah Timur,
namun ternyata kekuatan Sidanti bagaikan badai yang dahsyat melanda daun alang-alang
yang ringkuh. Sehingga sejenak kemudian, maka korban pun segera berjatuhan membujur lintang di
atas tanah kelahiran yang dipertahankan dengan mempertaruhkan nyawa.
Sementara itu,
di medan sebelah Barat, pasukan Samekta telah hampir berhasil menguasai
lawannya, meskipun pasukan sayap kirinya masih belum dipergunakannya. Namun
akhirnya Samekta tidak ingin berkelahi lebih lama lagi. Ia berhasrat untuk
segera memanggil sisa pasukannya, agar pertempuran itu semakin cepat berakhir,
dan korban pun tidak bertambah-tambah
lagi. Tetapi dalam pada itu hatinya berguncang, ketika lamat-lamat ia mendengar
suara kentongan, merayap semakin lama semakin dekat. Kemudian suara itu
seolah-olah telah melingkar bergema di segenap sudut Tanah Perdikan Menoreh.
Berkumandang memukul lereng pebukitan, kemudian memantul kembali sahut
menyahut. Dada Samekta yang berguncang itu terasa semakin menggelapar, ketika
ia mendengar suara Peda Sura datar,
“Kau dengar
suara kentongan itu?”
Samekta
menggeram.
“Pasukan
Sidanti yang kuat telah datang dari arah Timur.”
Samekta tidak
menjawab. Tetapi terdengar giginya gemeretak. Suara titir itu telah langsung
memberitahukan kepadanya, bahwa pasukan cadangan tidak cukup kuat untuk menahan
arus lawan yang baru itu. Bahkan keadaan mereka pasti sangat berbahaya.
Tiba-tiba terbersit
ingatan di kepalanya,
“Pasukan sayap
kiri.”
Belum lagi
Samekta berbuat sesuatu, seorang penghububung dengan susah payah, setelah
menerobos perang brubuh itu berhasil mendekatinya. Dan sebelum orang itu
mengucapkan sepatah kata pun, Samekta mendahuluinya,
“Kau
memerlukan bantuan?”
Orang itu
mengangguk, “Ya.”
“Di padukuhan
sebelah, sayap kiri dari pasukan ini masih belum melibatkan diri dalam
peperangan.”
Orang itu
menganggukkan kepalanya. Tanpa menunggu perintah berikutnya, ia bergeser untuk
dengan cepat menghubungi pasukan yang masih belum melibatkan diri dalam
peperangan itu. Namun langkahnya terhenti ketika Samekta memanggilnya,
“Tunggu!”
Pengawal itu
tertegun sejenak. Tetapi dilihatnya Samekta menjadi ragu-ragu. Sejenak Samekta
telah melepaskan diri dari perkelahian melawan Peda Sura, dan membiarkan Pandan
Wangi dan beberapa orang lain yang membantunya bertempur terus.
“Apakah
keadaan sangat parah?”
Orang itu
ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia menggangguk.
Sekali lagi
Samekta tertegun-tegun dalam keragu-raguan. Sejenak dipandanginya Pandan Wangi
yang sedang bertempur itu. Ternyata kemampuan gadis itu jauh berada di atas
kemampuannya sendiri, tetapi masih belum dapat mengimbangi kemampuan Peda Sura
yang ganas, garang, dan bahkan kadang-kadang di luar perhitungan.
Betapapun
banyaknya bekal yang dibawa Pandan Wangi dalam olah kanuragan dan keprigelan,
tetapi di dalam peperangan apalagi perang brubuh melawan orang-orang yang sama
sekali tidak mengenal unggah-ungguh, tanggung jawab terhadap keperwiraan dan
kesatriaan dan bahkan tata kesopanan olah peperangan, Pandan Wangi adalah orang
baru sama sekali. Ia harus mendapat banyak tuntunan dan petunjuk untuk
menerapkan bekalnya yang cukup banyak itu.
“Ia dapat
tersesat,” berkata Samekta di dalam hatinya,
“ia dapat
menjadi ngeri dan kehilangan kemampuan untuk tetap bertahan setelah melihat
darah dan kebiadaban ini berlangsung di depan matanya. Tetapi apabila ia cukup
tabah, maka ia dapat nenjadi salah mengerti. Disangkanya, bahwa memang
demikianlah isi dari peperangan. Orang dapat melepaskan segala sifat-sifat
kemanusiaan dan peradaban sehingga seseorang di dalam peperangan dapat berbuat
apa saja tanpa bertanggung jawab.”
Pandan Wangi,
meskipun ia orang baru di medan peperangan, ternyata tanggapan terhadap keadaan
demikian tajamnya, sehingga seolah-olah ia mengerti apa yang terpikir di dalam
kepala Samekta. Namun meskipun demikian, di dalam kepalanya sendiri terjadi
juga keragu-raguan dan kebimbangan. Ada hasratnya untuk meninggalkan medan ini
dan pergi ke medan yang sedang parah, itu terdorong oleh tanggung jawabnya
sebagai seorang puteri kepala tanah perdikan. Tetapi ia ragu-ragu, apakah ia
dapat menghadapi Sidanti, kakaknya sendiri, sebagai lawan di peperangan,
meskipun ia yakin, bahwa kini seorang lawan seorang, ia tidak berada di bawah
kemampuan kakaknya itu
Namun
tiba-tiba ia berkata,
“Paman,
tinggalkanlah aku di sini. Aku akan mencoba menyelesaikan tugas
pengawal-pengawal Menoreh di sini. Silahkanlah Paman pergi ke medan di sebelah
Timur yang memerlukan bantuan itu, sambil membawa pasukan sayap kiri yang masih
utuh di padukuhan sebelah.”
Samekta
mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia masih diombang-ambingkan oleh
keragu-raguan. Terasa dadanya berdesir ketika ia mendengar Pandan Wangi berkata
seterusnya, sambil memutar pedangnya, melawan serangan-serangan Peda Sura yang
membadai,
“Pergilah
Paman. Sekejap dalam keadaan ini akan sangat bermanfaat. Jangan buang-buang
waktu dengan terus menerus dicengkam kebimbangan.”
“Hem,” Samekta
menggeram di dalam hatinya,
“justru Pandan
Wangi yang memberi petunjuk kepadaku. Tetapi aku kira memang tidak ada jalan
lain untuk menyelamatkan tanah ini.”
Karena itu,
maka Samekta itu pun menyahut,
“Ya Ngger. Aku
akan pergi. Tinggallah di sini bersama pasukan ini.” Lalu kepada orang tertua
di dalam kelompok kecil yang sedang melawan Peda Sura itu, ia berpesan,
“Kau mempunyai
pengalaman jauh lebih banyak dari Angger Pandan Wangi. Kau dapat memberinya
banyak petunjuk. Tetapi kekuasaan ada di tangannya sepeninggalku.”
Orang itu
mengangguk, “Ya, aku akan mencoba.”
Samekta masih
juga ragu-ragu. Tetapi ia tidak banyak mempunyai waktu. Ia harus segera berbuat
sesuatu. Dan ia pun segera mengambil
keputusan. Kepergiannya tidak akan banyak berpengaruh di medan ini, tetapi
mungkin akan berguna di medan yang lain.
Sejenak
Samekta masih berdiri di tempatnya. Agaknya ia masih mencoba meyakinkan
dirinya, apakah Pandan Wangi dapat ditinggalkannya. Dan sekali lagi ia melihat,
betapa gadis itu dengan lingahnya meloncat-loncat melayani lawannya, dibantu
oleh beberapa orang terpilih dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Hati-hatilah
Ngger,” desis Samekta kemudian. Sejenak ia menunggu dan didengarnya Pandan
Wangi menyahut di sela-sela dentang senjatanya,
“Baik Paman.”
Samekta segera
meninggalkan arena itu. Disumbatnya segenap keragu-raguan dengan menggeretakkan
giginya. Ia mencoba melepaskan segala macam kebimbangan, dan ia pun segera menerobos perang brubuh yang
kisruh, menuju ke padepokan di sebelah
Tanah Perdikan
Menoreh memang sedang memerlukan tenaganya. Ia harus memimpin pasukan yang
tersisa itu. Namun demikian, hatinya terasa terlampau gelisah. Ia telah salah
memperhitungkan cara yang akan ditempuh oleh Sidanti. Ternyata Sidanti
benar-benar seorang prajurit yang baik. Ia memancing para pengawal dengan
pasukan yang tidak terlampau kuat. Namun kemudian induk pasukannya justru
menyerang dari arah lain.
“Kami telah
kehilangan kesempatan,” gumam Samekta di dalam hatinya,
“kalau kami
berhadapan bersama-sama, maka kekuatan Menoreh pasti lebih besar dari kekuatan
Sidanti. Seandainya kami bertempur dalam gelar, maka dapat dipastikan bahwa
pasukan Sidanti akan pecah. Tetapi dengan cara ini, pasukan Menoreh banyak
kehilangan. Sidanti berhasil membinasakan pasukan Menoreh sedikit demi sedikit.
Waktu yang dipergunakan oleh Sidanti, untuk mengurangi sebanyak-banyaknya
kemampuan perlawanan pasukan Menoreh.”
Tiba-tiba
Samekta menggeram. Ia adalah orang yang telah cukup makan pahit asamnya
peperangan. Namun kali ini ia tidak berhasil menanggulangi siasat Sidanti.
“Mudah-mudahan
aku tidak terlambat sekali.”
Samekta
kemudian dengan tergesa-gesa masuk ke padukuhan sebelah, menemui pemimpin sayap
kirinya. Dengan singkat, pasukan itu mendapat penjelasan apa yang harus
dilakukan. Dengan tergesa-gesa Samekta segera membawa pasukan kecil itu menuju
ke medan di sebelah Timur. Dengan berlari-lari kecil ditelusurinya pematang,
diloncatinya parit dan ladang-ladang terpaksa di sasaknya tanaman-tanaman di
pategalan-pategalan untuk menempuh jalan yang memintas. Jalan yang paling
pendek untuk mencapai medan sebelah Timur, hampir mencapai padukuhan induk. Kedatangan
pasukan Samekta, beserta Samekta sendiri, memberikan gairah baru bagi pasukan
Menoreh yang sebenarnya telah terlampau parah. Korban telah banyak berjatuhan
dan daya perlawanan mereka pun telah hampir punah. Tetapi pasukan yang segar
ini telah membawa udara baru. Dengan cara seperti yang telah ditempuhnya
membuat kelompok-kelompok kecil, para pengawal menghadapi Sidanti dan Argajaya.
Mereka harus berusaha untuk mengurung kedua orang itu pada tempat tertentu,
supaya kedahsyatan ujung senjata mereka tidak menjalar di seluruh medan. Sejenak
desakan pasukan Sidanti agak tertahan. Tetapi sejenak kemudian Samekta pun segera merasakan, bahwa tekanan pasukan
lawan itu benar-benar tidak dapat dibendung lagi. Pasukannya datang ketika
pasukan yang terdahulu sudah hampir tidak berdaya sama sekali, sehingga
seakan-akan pasukan yang baru itu sajalah yang kini harus bertempur melawan
seluruh kekuatan Sidanti. Samekta itu menggeram, ketika ia mendengar jerit
seseorang di dekatnya. Sebatang tombak telah menembus dadanya, menyusup di
antara tulang-tulang rusuknya meraba jantung.
“Perlawanan
ini tidak dapat dipertahankan,” berkata Samekta di dalam hatinya,
“kami akan
ditumpasnya seperti batang ilalang yang disapu angin pusaran yang dahsyat.”
Tiba-tiba
Samekta mengambil sesuatu keputusan yang berbahaya, tetapi yang paling mungkin
dilakukan. Selagi pasukannya masih cukup segar, maka diperintahkannya seseorang
untuk segera menghubungi Wrahasta,
“Sampaikan
kepadanya, pasukan akan mundur sampai ke induk Padukuhan Menoreh. Ungsikan
sedapat mungkin semua penghuninya. Kami akan bertahan bergabung dengan pasukan
Wrahasta. Itu yang paling mungkin kami lakukan, karena Wrahasta tidak akan
dapat meninggalkan halaman menurut perintah Ki Gede. Setidak-tidaknya, kami
akan bertempur di padukuhan induk. Dengan demikian kami akan mendapat banyak
bantuan daripadanya.”
Penghubung itu
pun segera meninggalkan medan, langsung menemui Wrahasta di halaman rumah Ki
Argapati. Wajah Wrahasta segera menjadi tegang dan menyala. Katanya,
“Jadi pasukan
Menoreh tidak mampu menahan arus kekuatan Sidanti?”
Penghubung itu
menggeleng.
Wrahasta
berdiri tegang di tempatnya. Ia dapat mengerti cara berpikir Samekta meskipun
itu suatu permainan yang sangat berbahaya. Namun seandainya tidak demikian, dan
pasukan Samekta itu tertumpas habis, maka Sidanti pun pasti akan berhasil
merebut rumah Ki Argapati ini. Karena itu, memang tidak ada jalan lain daripada
menarik pasukan itu dan bergabung dengan pengawal rumah Kepala Tanah Perdikan
Menoreh. Mereka tidak akan menunggu pasukan Sidanti memasuki halaman, tetapi
mereka akan menyongsong mereka di ujung pedukuhan.
Maka Wrahasta pun kemudian menggeram,
“Sampaikan
kepada Paman Samekta, pasukanku akan menunggu di ujung pedukuhan.”
Penghubung itu
tidak menunggu apa pun lagi. Segera ia meloncat berlari kembali ke medan.
sementara Wrahasta berusaha untuk menyingkirkan perempuan dan anak-anak
meninggalkan pedukuhan induk, ke padukuhan yang dianggapnya aman. Dengan
Samekta dan pasukan-pasukan yang lain telah dibuat kesepakatan, bahwa apabila
terpaksa, mereka memang harus menempatkan keluarga mereka di padukuhan
tersebut. Bahkan dalam keadaan serupa itu, kemungkinan yang paling pahit pun harus dipikirkan. Apalagi pasukan mereka
terpaksa mundur, maka mereka akan menempatkan diri di padukuhan di hadapan
padukuhan pengungsian itu. Dan Wrahasta
pun harus menyiapkan penghubung-penghubung untuk keperluan tersebut.
Sebab ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari kenyataan, sesuai dengan
laporan penghubung yang datang dari medan di sebelah Timur. Dengan susah payah
penghubung yang telah berhasil menemui Wrahasta itu dapat melaporkan hasilnya
kepada Samekta, meskipun ia harus menembus perang yang semakin sengit berkobar
di medan itu. Dan Samekta pun tidak
menunggu lebih lama lagi. Ia tidak dapat membiarkan orang-orangnya menjadi
semakin parah. Karena itulah, maka segera ia memerintahkan penghubung-penghubungnya
menyampaikan perintahnya ke segenap kelompok dan bahkan ke segenap orang,
supaya di antara mereka tidak ada yang tertinggal, untuk menarik diri sampai ke
ujung padukuhan induk. Ternyata pasukannya yang telah menjadi semakin parah itu
pun agaknya tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Di saat-saat terakhir mereka
telah mencurahkan segenap sisa kemampuan mereka untuk bertahan terus.
Seandainya Samekta tidak mengeluarkan perintah itu, maka pasukan Menoreh justru
akan terpecah tanpa dapat dikendalikan lagi. Kini sambil mempertahankan hidup
masing-masing, para pengawal itu menarik diri. Mereka belum tahu pasti apakah
yang akan terjadi setelah mereka sampai di padukuhan induk. Sudah tentu Samekta
tidak dapat meneriakkan rencananya itu di medan perang. Namun meskipun
demikian, beberapa orang pemimpin kelompok dapat segera memahami maksud
Samekta, karena mereka tahu benar, bahwa di padukuhan induk masih tersisa
beberapa bagian dari kekuatan pasukan pengawal Menoreh. Demikianlah, seperti
didorong oleh banjir bandang, maka dengan cepatnya peperangan itu bergeser.
Menyeberangi sebuah bulak kecil menuju ke padukuhan induk.
Sidanti dan
Argajaya memang memperhitungkan juga, bahwa di padukuhan induk itu pasti masih
ada kekuatan yang akan dapat membantu pasukan Menoreh. Tetapi mereka yakin,
bahwa kekuatannya sudah tidak akan dapat dibendung lagi. Kekuatan Menoreh yang
telah dihancurkannya sedikit demi sedikit, kerena siasatnya yang berhasil,
tidak akan mampu menghimpun diri dalam waktu yang terlampau pendek. Dengan
demikian, mereka sudah memastikan, bahwa malam ini rumah Kepala Tanah Perdikan
Menoreh akan jatuh ketangan mereka.
“Kita tinggal
mengatur, bagaimana kita harus mempertahankan padukuhan induk itu untuk
seterusnya,” berkata Sidanti di dalam hatinya.
Sementara itu,
medan yang bergeser itu pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan
induk. Dentang senjata, pekik sorak, dan keluhan yang tertahan, mewarnai malam
yang semakin dalam. Di kejauhan masih juga terdengar satu-satu suara kentongan.
Namun telah kehilangan gairah dan bahkan seakan-akan menjadi ngelangut, seperti
nada-nada tembang dalam keputus-asaan. Dan ternyata bahwa suara titir yang
ngelangut itu telah mempengaruhi medan di sebelah Barat. Sepeninggal Samekta,
pasukan Menoreh telah dilanda oleh kegelisahan yang dahsyat. Kalau semula
mereka hampir berhasil menguasai keadaan, maka semakin lama harapan itu pun
menjadi semakin tipis. Pengaruh suara tetir yang seolah-olah meneriakkan pedih
yang menyengat jantung Tanah Perdikan Menoreh, agaknya membuat para pengawal
itu kini menjadi cemas. Mereka justru mencemaskan nasib kawan-kawan mereka di
medan sebelah Timur daripada memikirkan nasib mereka sendiri.
Meskipun
demikian, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih tetap dalam keadaan yang
cukup baik. Orang-orang Peda Sura masih belum mampu untuk merubah keadaan
terlampau banyak. Meskipun kini mereka tidak terlampau tertekan, namun mereka
masih juga belum dapat bernafas leluasa.
Namun
sementara itu, suara titir yang bergema menggetarkan seluruh Tanah Perdikan
Menoreh itu, terdengar pula dari Pucang Kembar. Ki Argapati yang sedang
bertempur antara hidup dan mati, melawan Ki Tambak Wedi, mendengar juga suara
dan irama titir itu. Karena itu, maka sejenak ia terpengaruh. Beberapa kali ia
terpaksa meloncat surut.
“Ha,” berkata
Ki Tambak Wedi sambil menyerangnya,
“kau dengar
suara titir yang memekik-mekik itu? Dengarlah. Bukankah suaranya seperti tangis
bayi yang memanggil-manggil ibunya, karena ketakutan melihat seekor harimau
yang mendekatinya sambil memperlihatkan taringnya serta kuku-kukunya yang
tajam?”
Argapati tidak
menjawab. Tetapi terdengar ia menggeram sambil memutar tombaknya.
“Jangan
berpura pura Argapati. Kau harus tahu, bahwa pasukan pengawalmu saat ini sedang
dilanda oleh arus pasukan Sidanti. Kalau kau masih selamat Argapati, kau akan
melihat bangkai bertimbun-timbun.”
Argapati masih
tetap membisu. Tetapi senjatanya masih tetap mematuk-matuk dengan dahsyatnya.
“Huh,” Ki
Tambak Wedi melanjutkan,
“agaknya kau
terlampau mementingkan dirimu sendiri. Kau sama sekali tidak berpikir tentang
orang-orangmu yang sedang sekarat.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Ia
terpaksa menghindar jauh-jauh karena ujung tombak Argapati menyambar
lambungnya. Hampir saja lambungnya itu tersobek oleh senjata lawannya.
“Alangkah garangnya
kau,” ia melanjutkan,
“tetapi
bayangkan, apakah kau yakin, bahwa Pandan Wangi mampu menyelamatkan dirinya,
meskipun ia seorang gadis yang garang? Kali ini jangan diharapkan Sidanti akan
menolongnya lagi seperti pada saat ia hampir dibantai oleh orang-orang liar
yang berdiri di pihak kami. Ha, kau harus tahu, bahwa sudah ada kesepakatan,
bahwa Sidanti tidak akan menghalang-halangi lagi siapa pun yang dapat menangkap
puterimu yang cantik itu untuk diperlakukan sekehendak hati.”
Tiba-tiba
Argapati menggeram dahsyat sekali, seolah-olah udara malam tergetar karenanya.
Kata-kata Ki Tambak Wedi, yang sengaja dilontarkan untuk mempengaruhi perasaan
Argapati, benar-benar mencapai sasarannya. Tetapi akibatnya justru sebaliknya.
Argapati tidak menjadi bingung dan kehilangan akal. Namun tiba-tiba Kepala
Tanah Perdikan Menoreh itu seolah-olah berubah menjadi seperti banteng yang
sedang terluka. Dan luka itu justru menambahnya menjadi lebih berbahaya. Ki
Tambak Wedi terkejut melihat perubahan itu. Ia mengharap Ki Argapati menjadi
lengah dalam kebingungannya. Namun agaknya Argapati adalah seorang yang
benar-benar telah matang. Meskipun ia marah bukan buatan, tetapi dalam
kesadarannya ia tidak menjadi mata gelap dan kehilangan pegangan. Dengan
sepenuh kesadaran ia berkata di dalam dirinya,
“Aku harus
berbuat sebaik-baiknya, supaya aku dapat keluar dari perkelahian ini.”
Kemarahan yang
didasari sepenuh kesadaran, membuat Ki Argapati menjadi semakin garang.
Tombaknya menyambar-nyambar dari segenap arah dan mematuk dengan tiba-tiba,
seperti seekor ular yang bersayap.
“Setan alas,”
Ki Tambak Wedi mengumpat di dalam hatinya,
“orang ini
justru menjadi semakin gila. Apakah suara titir itu tidak didengarnya?”
Tetapi Ki
Tambak Wedi tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa tekanan Argapati justru
semakin sengit. Beberapa kali Ki Tambak Wedi harus menghindar sambil melangkah
surut, sebelum ia mapan untuk melawan. Agaknya senjata Ki Tambak Wedi yang
sudah tidak genap sepasang itu mempengaruhinya pula, karena senjata Ki Argapati
agak lebih panjang dari senjatanya, meskipun berujung rangkap.
“He, apakah
kau tuli, Argapati,” berteriak Tambak Wedi itu pula,
“apa kau tidak
mendengar suara titir itu? Mungkin anakmu kini telah terbunuh. O, itu lebih
baik baginya, tetapi bagaimana kalau Pandan Wangi itu dapat ditangkap oleh
orang-orang liar yang kemarin mencegatnya?”
Argapati masih
tetap berdiam diri. Namun serangannya menjadi semakin dahsyat. Putaran
tombaknya menimbulkan goncangan pada pepohonan dan ranting-ranting di
sekitarnya, seolah-olah sedang dilanda angin pusaran.
“Hem,” Tambak
Wedi berdesah,
“tak ada
pilihan lain. Semakin lama orang ini menjadi semakin gila. Aku harus segera
membinasakannya, supaya aku sempat melihat Sidanti memasuki rumah Kepala Tanah
Perdikan Menoreh.”
Karena itu,
maka Ki Tambak Wedi segera mempertimbangkan untuk memanggil orang-orangnya yang
bersembunyi. Ia kini ingin segera selesai. Ia sudah menjadi muak melihat
tingkah laku Argapati. Tidak, bukan karena muak. Sebenarnyalah bahwa ia justru
mengaguminya. Tetapi kegarangan Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu membuatnya
terlampau marah dan cemas. Sehingga orang itu memang segera harus dibinasakan. Ki
Tambak Wedi yang masih selalu harus menghindari serangan-serangan Argapati yang
membadai itu tiba-tiba meloncat jauh-jauh. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar
sebuah suitan nyaring. Nyaring sekali membelah sepinya malam di bawah sepasang
Pucang Kembar. Argapati terkejut mendengar suitan itu. Meskipun ia sudah
meragukan kejantanan Ki Tambak Wedi kini, namun tanda sandi itu telah
menggetarkan jantungnya. Sehingga tiba-tiba ia pun tertegun tegak di tempatnya
seperti sebatang tonggak yang membeku. Baru sejenak kemudian terdengar ia
menggeram,
“Aku memang
sudah menduga Tambak Wedi, bahwa akan datang saatnya, kau kehilangan watakmu
sebagai Paguhan yang perkasa.”
“Terserahlah
penilaianmu, Argapati. Sebentar lagi kau akan binasa. Tak ada jalan lagi bagimu
untuk keluar dari daerah ini.”
“Aku
menyadarinya Tambak Wedi. Setitik air akan dapat merubah keseimbangan yang
mantap ini. Kau dan aku masih juga dalam keadaan yang serupa dengan beberapa
puluh tahun lampau. Apabila sekarang kau memanggil seseorang yang paling lemah
sekalipun, maka keseimbangan yang mantap ini pun akan segera menjadi goyah.”
“Hem,” Tambak
Wedi berdesah, lalu,
“kalau begitu,
kenapa kau tidak menyerah saja?”
“Ah, jangan
begitu Tambak Wedi. Meskipun aku tahu, bahwa aku akan binasa, tetapi lebih baik
bagiku mati sambil menggenggam tombak ini daripada mati di dalam bantaian.”
“Baiklah.
Untuk kepuasanmu, Argapati, aku akan memenuhinya.”
Argapati menggeram
mendengar kata-kata terakhir Tambak Wedi itu. Apalagi ketika ia melihat dua
orang yang segera berloncatan dari balik gerumbul. Keduanya kemudian berjalan
berurutan mendekati arena perkelahian.
“Itukah
kawan-kawanmu, Tambak Wedi?” bertanya Argapati.
Tambak Wedi
mengangguk. Namun betapapun juga terasa segores luka yang pedih di hatinya.
Seorang yang bergelar Ki Tambak Wedi telah melakukan kecurangan di dalam perang
tanding. Bukan saja kecurangan ini yang dilakukannya, tetapi
kecurangan-kecurangan yang lain, dan bahkan kecurangan yang paling memalukan.
Kecuali dua orang itu, ia masih bersedia sekelompok orang-orang yang telah
menyiapkan dirinya pula untuk membinasakan Argapati apabila ia berhasil lolos
dari Ki Tambak Wedi dan kedua temannya. Sepercik warna merah menjalar di wajah
Ki Tambak Wedi. Hampir saja ia berteriak mengusir kedua orang itu, dan kembali
berkelahi seorang lawan seorang. Namun kemudian ia menggeretakkan giginya dan
mengusir perasaan itu. Yang dipahatkan di hatinya adalah,
“Orang ini harus
segera binasa bersama rahasia tentang dirinya dan Sidanti.”
Argapati masih
berdiri tegak. Tangannya menggenggam tombaknya erat-erat. Sedang kakinya yang
renggang seakan-akan menghunjam ke dalam bumi. Sejenak dipandanginya kedua
orang yang berjalan dengan langkah yang tetap mendekatinya, dan sejenak
kemudian dipandanginya Ki Tambak Wedi. Terasa sesuatu bergetar di dalam
dadanya. Menurut pengamatannya kedua orang itu pun bukan orang kebanyakan,
meskipun tidak terlampau berbahaya. Tetapi bertiga bersama Ki Tambak Wedi, maka
seolah-olah keputusan telah jatuh, bahwa Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu
harus binasa di bawah Pucang Kembar itu. Tanpa disadarinya, Argapati
menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bulan yang bulat seakan-akan tergantung di
langit, disaput oleh awan yang tipis, mengalir lambat dihembus angin dari
selatan. Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya bulan yang bulat
kekuning-kuningan itu tajam-tajam, seolah-olah untuk yang terakhir kalinya. Setelah
puas Argapati memandangi bulan yang bulat di langit maka sambil menggeram
dipandanginya Ki Tambak Wedi dengan tegangnya. Dalam keremangan cahaya bulan,
dilihatnya wajah orang tua itu seperti wajah burung pemakan daging yang paling
buas dengan paruhnya yang lengkung dan matanya yang tajam dan liar. Dan sejenak
kemudian Ki Argapati itu berkata di dalam, hatinya,
“Apa pun yang
terjadi, Argapati bukan pengecut yang takut melihat beberapa ujung senjata
bersama-sama mengarah ke tubuhnya.”
Karena itu,
maka Argapati pun berdiri semakin
mantap. Tombak di dalam genggamannya tampak bergetar, dan ujungnya menunduk
setinggi dada.
“Marilah
Tambak Wedi,” terdengar suaranya dalam nada yang datar,
“kalau kau
menganggap perlu membawa orangmu itu bermain-main bersama. Aku berterima kasih
atas kehormatan ini. Bahwa seorang yang bernama Paguhan dan bergelar Tambak
Wedi, memerlukan dua orang kawan untuk melayani Argapati.”
Ki Tambak Wedi
menggeram. Kata-kata itu menggores jantungnya terlampau dalam. Betapa pedihnya.
Namun ia tidak mau melangkah surut. Ia mencoba untuk memaksa dirinya menjadi
seorang pengecut yang paling licik. Bahkan dengan menggeretakkan giginya,
mengusir segala macam perasaan malu dan segan ia berkata lantang,
“Tidak hanya
mereka berdua Argapati. Kalau kami bertiga ini gagal, maka aku masih menyediakan
sebuah pasukan kecil untuk membinasakan kau. Maaf, bahwa aku berbuat curang dan
licik. Mungkin melampaui demit. Tetapi keputusan kami telah jatuh. Argapati
harus binasa.”
“Kenapa kau
tunggu sekian lama, baru sekarang orangmu ini kau panggil?”
“Biarlah aku
berterus terang kepada seseorang yang sudah akan dikubur. Aku memang mencoba
untuk berkelahi seorang lawan seorang. Mungkin perkembangan yang terjadi antara
kau dan aku agak berbeda, sehingga seorang diri aku dapat membinasakan kau.
Dengan demkian, aku masih dapat menepuk dada, dan bangga atas harga diriku
sendiri. Tetapi ternyata aku tidak berhasil. Karena aku sudah menyangka
demikian sebelumnya, maka biarlah aku kini berbuat curang. Tetapi kecurangan
ini aku lakukan untuk suatu tujuan yang penting. Penting sekali Argapati.”
“Penting bagi
kau dan Sidanti. Tetapi sama sekali tidak berarti bagi aku dan rakyat Menoreh.”
“Ha, kau
membuat tafsiran menurut kepentinganmu. Sudah tentu aku membuat tafsiran sesuai
dengan kepentinganku pula dan kepentingan anak itu. Kau mengerti?”
Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku mengerti
Tambak Wedi. Memang apa yang baik untukmu tidak terlalu baik bagi orang lain.
Aku tahu pula, bahwa kau sekarang dapat berpikir, bahwa apa yang baik buatmu
dan anak itu, meskipun harus mengorbankan orang lain, namun tetap kau lakukan
juga. Kau ingin menempatkan anak itu pada kedudukan yang baik, meskipun
beralaskan bangkaiku. Sahabatmu dan orang yang pernah dipanggil ayahnya.”
Tambak Wedi
menggeretakkan giginya. Ternyata dadanya bergetar dahsyat sekali mendengar
kata-kata itu. Sejenak ia berdiri tegak dengan wajah yang tegang, sedang kedua
orang yang di panggilnya telah berdiri di sampingnya. Tetapi Tambak Wedi masih
tegak seperti patung. Dan ia mendengar Argapati berkata pula,
“Tetapi tidak
mengapa Tambak Wedi. Lakukanlah. Aku sudah sedia untuk bertempur melawan kalian
bertiga, apa pun yang akan terjadi atas diriku.”
Tambak Wedi
masih tegak di tempatnya. Terjadilah pergolakan yang menggoncangkan
perasaannya. Keragu-raguan yang tajam telah mencengkam jantungnya. Sementara
itu, di balik gerumbul yang rimbun, tidak terlampau jauh dari Pucang Kembar,
tiga pasang mata memandang apa yang terjadi itu dengan dada yang
berdebar-debar. Sama sekali tidak terlintas di hati mereka, bahwa orang yang
bernama Ki Tambak Wedi itu telah menyiapkan sebuah perangkap yang keji buat
Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka hati mereka pun serasa terbakar. Meskipun mawantu-wantu
Ki Gede Menoreh berpesan, tidak boleh ada seorang pun yang melihat perkelahian itu, namun
mereka sama sekai tidak akan membiarkan sesuatu terjadi atas kepala tanah
perdikannya.
Kerti, yang
tertua dari ketiga orang itu menggeram. Perlahan-lahan ia berdesis,
“Apakah kita
dapat melihat kecurangan itu terjadi.”
“Tidak,” sahut
kawannya yang kecil. Ternyata tangannya telah meraba tangkai pisau-pisaunya,
“Kita harus
berbuat sesuatu. Aku dapat membunuh mereka dari jarak yang cukup.”
“Jangan
berkesimpulan demikian. Kau memang pandai membidik. Kau dapat mengenai seekor
burung yang terbang di langit. Tetapi belum tentu kau mampu mengenai salah
seorang dari mereka. Mereka memiliki kelebihan dari seekor burung di langit.
Mereka mempunyai ketrampilan yang luar biasa untuk mengelak.”
Kawannya yang
kecil mengangguk-anggukkan kepalanya, ”Lalu apakah yang akan kita lakukan?”
“Kalau benar
mereka berkelahi bersama-sama, apa salahnya kita pun terjun di dalam arena itu,”
sahut kawannya yang lain.
Kerti menjadi
ragu-ragu. Apakah hal itu tidak akan membuat Ki Argapati menjadi marah.
Tetapi seandainya
dengan demikian, Argapati terselamatkan, maka ia akan bersedia menanggung
segala macam akibatnya. Ia akan bersedia menjalani hukuman apa pun yang akan
diberikan oleh Argapati atasnya. Kerti itu berpaling ketika kawannya yang kecil
menggamitnya. Dan ketika ia melihat telunjuk kawannya itu mengarah kebawah
Pucang Kembar, maka Kerti pun memandang ke sana pula. Yang dilihatnya kedua
orang kawan Ki Tambak Wedi telah mempersiapkan senjatanya, dan mereka melihat
ketiga orang lawan Argapati itu telah mendekat. Tetapi mereka tidak mendengar
apa yang dikatakan oleh hantu dari lereng Gunung Merapi itu.
Ternyata Ki
Tambak Wedi telah berhasil menekan perasaannya. Menekan kejantanan yang
menuntut di dalam hatinya. Dan ia sudah berkeputusan untuk beramai-ramai membunuh
Argapati beserta kedua kawannya. Karena itu, maka sesaat kemudian ia menggeram
dahsyat sekali untuk menekankan keputusan itu di dalam hatinya. Untuk mengusir
sama sekali sisa-sisa harga diri yang masih membayang di dalam dadanya. Sejenak
kemudian, dikerahkannya segenap tenaganya untuk melontarkan perintah lewat
mulutnya,
“Jangan
berdiri saja mematung. Kita sudah sampai pada saat yang kita tunggu. Lenyapkan
orang yang benama Argapati ini.”
Serentak kedua
orang itu berloncatan ke arah yang berbeda. Mereka akan menghadapi Argapati
dari sisi seberang menyeberang, sedangkan Ki Tambak Wedi akan melawannya dari
depan, berhadapan.
“Bagus,” desis
Argapati,
“kita sudah
siap. Marilah, kita tentukan akhir dari permainan ini dengan cara yang kau
pilih, Tambak Wedi.”
Ki Tambak Wedi
tidak menjawab. Dikatupkannya bibirnya rapat-rapat. Namun sejenak kemudian,
selangkah ia maju. Senjatanya telah bergetar di tangannya. Sesaat ia memandangi
wajah kepala tanah perdikan itu. Wajah yang memancarkan kemarahan dan kebencian
tiada taranya. Wajah itu seakan-akan wajah Arya Teja beberapa puluh tahun yang
lalu. Dari sepasang matanya memancar perasaan sakit hati yang tidak terhingga. Sesaat
keempat orang itu berdiri tegak seperti patung. Masing-masing telah
mempersiapkan senjatanya. Tidak seorang
pun yang sempat berkedip, karena mereka yakin, bahwa setiap saat waktu
yang sekejap itu akan dapat menentukan hidup dan mati. Bulan di langit masih
memancarkan cahayanya yang kuning keemasan. Sepotong awan yang putih telah
terhembus, menyingkir dari wajah bulan yang bulat, oleh sepercik angin yang
semilir.
Sejenak
keempat orang itu masih tetap berdiri diam di atas kedua kaki masing-masing
yang merenggang. Lutut mereka agak merendah dan tangan-tangan mereka telah
bergetar. Namun sekejap kemudian, terdengarlah geram yang dahsyat, seperti
dengus seekor banteng jantan. Hampir tidak dapat dipercaya, bahwa seseorang
mampu bergerak secepat itu. Ternyata Argapati yang dibakar oleh kemarahan yang
meluap-luap telah mulai dengan serangannya. Kali ini serangannya tidak tertuju
kepada Ki Tambak Wedi, tetapi kepada kawannya yang berdiri di sisinya sebelah
kanan. Serangan ini benar-benar mengejutkan. Orang yang berdiri di sebelah
kanannya, meskipun sudah siap benar, namun tidak menyangka sama sekali, bahwa serangan
yang pertama itu datang sedemikian cepatnya. Seperti tatit ia melihat tombak
Argapati menyambar dadanya, sehingga karena itu, ia sama sekali tidak sempat
untuk dapat mengelakkan dirinya. Yang dapat dilakukannya adalah berusaha
menangkis serangan itu. Terjadilah sebuah benturan yang dahsyat. Serangan
Argapati ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa. Meskipun lawannya
berhasil menangkis ujung tombaknya, namun kekuatan mereka tidak seimbang,
sehingga senjata orang itu pun terlepas dan terlempar dari tangannya yang
seolah-olah tersayat. Bukan hanya itu. Tombak itu hampir tidak terpengaruh,
meskipun arahnya berubah sedikit. Namun agaknya yang sedikit itu telah
menyelamatkan nyawanya. Meskipun demikian, orang itu memekik pendek. Sebuah
luka segera menganga di pundaknya. Demikian derasnya sentuhan tombak Argapati
itu, sehingga lawannya terdorong beberapa langkah surut, dan bahkan terbanting
jatuh di tanah. Agaknya kesempatan itu tidak diluangkan oleh Argapati. Ia sudah
siap untuk menyelesaikan satu dari ketiga lawannya. Karena itu, maka segera ia
mempersiapkan dirinya untuk segera menghujamkan tombaknya pada tubuh yang
sedang roboh itu. Tetapi ternyata bahwa di antara ketiga lawannya itu terdapat
Ki Tambak Wedi yang mampu berbuat seperti yang dilakukannya itu. Orang tua itu
ternyata tidak membiarkan seorang kawannya terbunuh pada serangan yang pertama.
Dengan demikian, maka ia pun berteriak
nyaring sambil melontarkan sebuah serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Senjatanya
yang mengerikan itu diputarnya seperti baling-baling, kemudian meluncur dengan
cepatnya, melanda Argapati yang sudah siap untuk membinasakan lawannya. Dengan
demikian, maka serangan Argapati itu menjadi urung. Ia terpaksa menyiapkan
dirinya untuk menghadapi Ki Tambak Wedi. Ia tahu benar, bahwa Ki Tambak Wedi
adalah orang yang jauh lebih berbahaya dari orang yang sudah terluka itu.
Sehingga dengan demikian, maka ia segera melontarkan dirinya, menyiapkan
senjatanya untuk menyambut senjata lawannya yang berbahaya itu.
Sekali lagi
terjadi sebuah benturan yang kali ini jauh lebih dahsyat lagi dari yang telah
terjadi. Keduanya adalah orang-orang yang mumpuni, yang memiliki kekuatan
raksasa. Namun karena kekuatan mereka seimbang, maka kedua senjata itu masih
tetap di dalam genggaman masing-masing. Namun sepercik bunga api telah meloncat
di udara, seperti ribuan kunang-kunang yang berloncatan berusaha menghindarkan
diri dari pengaruh benturan-benturan yang sedang terjadi itu. Kedua orang yang
sama-sama memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan itu, masing-masing
terdorong beberapa langkah surut. Keduanya sedang menahan nafas masing-masing,
dan mencoba menyalurkan segenap kemampuan dan ketahanan mereka, mengatasi getar
yang terjadi di dalam dirinya karena benturan yang terjadi itu. Namun, belum lagi
Argapati berhasil menguasai diri sepenuhnya, sebuah serangan yang lain telah
meluncur dari samping. Ternyata kawan Tambak Wedi yang lain tidak membiarkan
lawannya itu beristirahat dan memperbaiki keadaannya. Meskipun serangannya
tidak berbahaya seperti serangan Ki Tambak Wedi, namun Argapati sadar, bahwa
ujung senjata itu akan mampu merobek kulitnya apabila berhasil mengenainya.
Karena itu, maka sekali lagi ia harus menghindar. Dan sekaligus Argapati
berhasil memukul senjata lawannya itu dengan kerasnya, meskipun tidak sepenuh
tenaga. Terasa tangan orang itu seakan-akan menggenggam bara yang sedang
menyala. Seperti kawannya yang terluka, maka ia
pun tidak mampu mempertahankan senjatanya di dalam genggaman, sehingga
senjata itu pun meloncat beberapa langkah daripadanya. Namun sementara itu, Ki
Tambak Wedi telah siap pula. Ia telah berhasil menguasai diri sepenuhnya dan
bersiap untuk segera meluncurkan serangan-serangan berikutnya. Ia harus
berusaha menarik segenap perhatian Argapati untuk memberi kesempatan kedua
kawannya menguasai senjatanya kembali. Dan Argapati pun telah menyadarinya.
Sebelum mereka mulai bertempur bersama-sama, memang Argapati telah
memperhitungkannya. Kekuatan yang betapapun kecilnya, pasti akan segera merubah
keseimbangan di dalam pertempuran itu. Namun Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu
sama sekali tidak ngedap. Ia tidak segera berputus asa dan membiarkan dirinya
dirobek oleh ujung-ujung senjata lawan. Betapapun juga kematangan sikapnya,
telah membuatnya tetap tenang. Dalam keadaan yang demikian, betapa dadanya
dibakar oleh kemarahan yang menyala, namun ia tetap sadar, bahwa ia harus tetap
mempergunakan otaknya. Sejenak kemudian, maka Ki Tambak Wedi pun telah mulai menyerang dengan dahsyatnya.
Senjatanya berputaran seperti baling-baling. Mematuk dengan sebelah tajamnya,
kemudian ditariknya sambil menyambar dengan tajamnya yang lain, seperti tandang
seekor ular berkepala dua di ujung dan pangkalnya.
Sementara Ki
Argapati melayani serangan-serangan itu, maka usaha Ki Tambak Wedi untuk memberi
kesempatan kedua kawannya itu pun berhasil, yang seorang dengan sigapnya
meloncat memanggul senjatanya, meskipun tangannya masih terasa pedih. Sedang
yang lain dengan nafas terengah-engah bangkit berdiri. Tetapi ia tidak segera
memungut senjata yang terlempar jatuh. Tetapi dirabanya lengannya yang luka.
Darah yang mengalir dari luka itu kini telah berubah menjadi kehitam-hitaman. Orang
itu menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari, betapa berbahayanya senjata Ki
Argapati itu. Kalau ia tidak segera berhasil menahan arus darahnya yang
mengental, maka nyawanya pasti tidak akan tertolong lagi. Karena itu, maka
segera diambil sebungkus obat yang disimpannya di dalam bumbung kecil pada
kantong ikat pinggangnya. Diambilnya obat itu sebutir, kemudian diremasnya dan
ditaburkannya pada luka dan sekitarnya. Terasa luka itu menjadi sangat pedih,
seperti ditusuk-tusuk dengan duri. Tetapi kemudian tampaklah sepercik darah
yang segar. Sejenak kemudian, maka arus darah itu pun menjadi semakin lambat
dan akhirnya berhenti.
“Setan,”
geramnya. Kini ia berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Hampir saja ia
berteriak sambil menepuk dada. Namun tiba-tiba maksudnya itu diurungkannya,
ketika ia melihat Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi yang sedang berkelahi.
Ternyata keduanya adalah orang-orang yang sukar dicari bandingannya. Dengan
demikian, maka terdengar ia berkata lirih kepada dirinya sendiri,
“Lalu apakah
gunanya aku hadir di sini. Semula aku sudah ragu-ragu, apakah kehadiranku
berdua akan berpengaruh.”
Namun kemudian
sekali lagi ia menggeretakkan giginya. Katanya,
“Kalau aku
berkelahi melawan Argapati, mungkin aku tidak akan berani. Tetapi kali Argapati
baru berkelahi melawan Ki Tambak Wedi, yang mempunyai kemampuan seimbang. Maka
tugasku adalah membantunya, mengganggu dan menyerang dengan cara yang licik dan
paling curang.”
Maka kemudian
diambilnya senjatanya. Dilihatnya dalam cahaya bulan yang kuning, kawannya pun telah siap benar, meskipun agaknya masih
sedang menunggu kesempatan untuk menyerang dengan cara yang telah dipilihnya,
curang.
Namun, mereka
berdua itu tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika Ki Argapati sedang sibuk
melayani Ki Tambak Wedi, maka mulailah mereka melakukan perlawanan, langsung
bersama-sama maju dari arah yang berlawanan, langsung bersama-sama dengan Ki
Tambak Wedi mereka melibatkan diri dalam perkelahian. Tetapi mereka berdua
tidak berkelahi beradu dada. Mereka meloncat maju menyerang, namun kemudian
menjauh beberapa langkah, sementara kawannya yang lain menyerang dari arah yang
lain, kecuali serangan-serangan Ki Tambak Wedi sendiri. Mengalami
serangan-serangan itu, Ki Argapati menggeram. Dalam keadaan yang demikian, ia
tidak sedang melayani orang-orang yang lemah bersama-sama mengeroyoknya. Namun
di antara mereka ada Ki Tambak Wedi. Itulah kesulitan yang harus dihadapinya.
Sedikit saja perhatiannya tertarik oleh kedua lawannya itu, maka Ki Tambak Wedi
pasti akan dapat mempergunakan kesempatan itu untuk membinasakannya. Karena
itu, terasa oleh Ki Argapati, bahwa ia mulai menemukan kesulitan dalam pertempuran
itu. Meskipun demikian, dengan mengerahkan tenaga yang ada padanya, ia masih
mampu mencoba menyelamatkan dirinya. Namun yang terjadi Ki Argapati hanya mampu
menghidar, dan menangkis serangan-serangan yang datang bertubi-tubi, tetapi
kesempatannya menyerang menjadi semakin tipis. Dalam keadaan yang demikian,
Kerti menahan nafasnya yang terengah-engah. Terasa dadanya seolah-olah akan
meledak melihat sikap yang licik dan curang itu, sehingga sejenak kemudian ia
menggeram,
“Ternyata
aku pun tidak dapat berdiam diri saja di
sini melihat peristiwa itu. Aku harus berbuat sesuatu.”
“Ya, kita
harus berbuat sesuatu,” sahut kawannya.
“Apa pun yang
akan terjadi atas kita, termasuk kemarahan Ki Argapati yang akan ditimpakan
kepada kita,” sambung yang lain.
Namun mereka
masih tetap belum beranjak dari tempat masing-masing. Mereka masih dicengkam
keragu-raguan yang belum dapat mereka ke sampingkan. Kerti, yang tertua di
antara mereka pun masih tetap di tempatnya, tanpa berkedip mereka melihat
betapa ketiga orang lawan Argapati menyerangnya berganti-ganti dipimpin oleh Ki
Tambak Wedi, yang seolah-olah mengikat Argapati supaya ia tidak sempat
menghindari serangan-serangan dari kedua orang kawannya. Darah Kerti serasa
berhenti mengalir, ketika ia melihat Ki Argapati terdorong beberapa langkah
surut. Hampir saja ia terjatuh ketika kakinya terantuk segumpal batu padas.
Untunglah, bahwa ia berhasil memperbaiki keseimbangannya dan tegak di atas
kedua kakinya. Namun sebelum ia mampu berbuat sesuatu, serangan Tambak Wedi telah
melandanya, sehingga sekali lagi ia terpaksa meloncat surut. Sedang kedua kawan
Ki Tambak Wedi pun memburunya sambil berteriak nyaring.
“Pengecut,”
Kerti menggeram. Ia sudah tidak mampu menahan diri lagi. Kini ia melihat, bahwa
Argapati telah benar-benar terdesak oleh ketiga lawannya yang licik dan curang,
yang berkelahi tanpa tata kesopanan dalam olah kanuragan.
Tetapi kawan
Kerti yang kecil, yang mempunyai beberapa bilah pisau pada ikat pinggangnya,
agaknya lebih tidak dapat menahan dirinya lagi. Tiba-tiba saja ia telah
meloncat berdiri dan menarik pedangnya dengan tangan kanannya, sedang di tangan
kirinya telah tergenggam sebilah pisau yang siap untuk dilemparkannya.
“He,” Kerti
menggamitnya, “tunggu. Kita menanti kesempatan yang sebaik-baiknya.”
“Tidak ada
waktu lagi. Apakah kita harus menunggu Ki Gede Menoreh mendapat cidera. Mereka
terlampau licik,” jawab orang yang bertubuh kecil itu.
Ternyata
pembicaraan itu telah menggoncangkan dada Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi
beserta kedua kawannya. Meskipun tidak begitu jelas, namun telinga-telinga
mereka yang tajam telah mendengar pembicaraan seseorang. Sehingga tanpa mereka
sengaja, maka mereka pun mencari
kesempatan untuk berpaling, dan melihat seseorang berdiri tegak beberapa puluh
langkah dari mereka. Kemudian disusul seorang lagi, dan seorang lagi. Tiga
orang. Dada Argapati berguncang ketika ia mengenal ketiga orang, yang melangkah
perlahan-lahan mendekatinya. Orang-orang itu adalah orang-orangnya. Sehingga dengan
serta merta ia berteriak,
“He, siapakah
yang menyuruh kalian datang kemari?”
Kerti tidak
segera menjawab. Tetapi ia sudah bertekad, apa pun yang akan terjadi atasnya
dan hukuman apa yang akan diterimanya dari Ki Gede Menoreh, namun ia tidak
membiarkan kepala tanah perdikan itu mengalami nasib yang mengerikan, justru
karena sikap yang curang dan licik. Perkelahian itu pun tiba-tiba terhenti
untuk sejenak. Tampaklah dahi Ki Tambak Wedi berkerut-merut. Dan tiba-tiba saja
terloncat dari mulutnya,
“Ha, ternyata
bukan aku saja yang licik seperti demit, Argapati. Agaknya kau pun telah berlaku curang. Kau telah
menyiapkan perangkap yang serupa dengan perangkapku. Nah, apa kataku sekarang
tentang diriku.”
Terasa
seolah-olah darah telah mendidih di dalam tubuh Ki Argapati. Ia sama sekali
tidak menyangka, apalagi mengharapkan orang-orangnya datang menolongnya. Karena
itu, maka terdengar giginya gemeretak sambil bertanya,
“Siapa yang
menyuruh kalian datang kemarin, he! Kerti yang gila?”
Kerti menggelengkan
kepalanya, jawabnya,
“Tidak ada, Ki
Gede. Aku secara kebetulan saja datang ke tempat ini.”
Kata-kata itu
terpotong oleh meledaknya suara tertawa Ki Tambak Wedi. Di sela-sela suara
tertawanya ia berkata,
“O, alangkah
pandainya kau mengajari orang-orangmu untuk berbohong.”
Argapati
menggeram. Dengan suara bergetar ia mengulangi pertanyaannya,
“Siapa yang
menyuruh kalian kemari? Aku sudah berpesan kepada kalian, tidak seorang pun boleh melihat apa yang terjadi di sini,
apa pun alasannya. Dan bukankah kau mendapat tugas khusus untuk mengawasi
Pandan Wangi?”
“Maaf, Ki
Gede,” sahut Kerti,
“aku memang
sudah melanggar pesan Ki Gede, untuk tidak mengganggu perang tanding ini. Dan
aku memang mendapat tugas untuk selalu mengawasi Pandan Wangi. Nah, karena
tugas itu pulalah, maka aku sampai ke tempat ini.”
Dada Argapati
berdesir mendengar jawaban itu. Dengan berdebar-debar ia bertanya,
“Kenapa dengan
Pandan Wangi?”
“Aku akan
berterus terang, supaya Ki Gede mendapat gambaran yang sebenarnya, kenapa aku
sampai ke tempat ini.” Kerti berhenti sejenak, lalu,
“Pandan Wangi
telah hilang dari halaman rumah. Aku menyangka bahwa ia akan datang kemari
menyusul Ki Gede, karena sebelumnya ia selalu memperkatakan peperangan di bawah
Pucang Kembar. Tetapi agaknya ia tidak datang kemari.”
Ki Gege
mengerutkan keningnya. Berita tentang puterinya membuatnya menjadi cemas. Tanpa
dikehendakinya ia bertanya,
“Setelah kau
tahu bahwa Pandan Wangi tidak ada di sini, ke mana kira-kira ia pergi?”
Kerti
menggeleng,
“Aku tidak
tahu. Tetapi yang dipercakapkannya selain Pucang Kembar adalah Samekta. Mungkin
ia pergi kepada Samekta. Ada persoalan yang ingin dibicarakannya dengan
Samekta, tetapi ia tidak dapat meninggalkan halaman rumahnya.”
Ki Argapati
termenung sejenak. Kepergian Pandan Wangi menumbuhkan persoalan baru di dalam
dirinya. Karena itu, maka sejenak ia berdiri tegak dengan tegangnya. Ternyata,
bahwa saat-saat yang demikian itu tidak luput dari pengamatan Ki Tambak Wedi.
Kehadiran ketiga orang Menoreh itu telah membuatnya gelisah. Dengan hadirnya
ketiga orang itu, maka usahanya untuk membinasakan Argapati menjadi terganggu.
Ketiga orang ini akan dapat menghadapi kedua orang kawannya, dan ia harus
bertempur lagi seorang lawan seorang dengan Ki Gede Menoreh, sehingga untuk
waktu yang lama pasti tidak akan mendapat penyelesaian. Apalagi apabila ketiga
orang-orang Menoreh itu mempunyai beberapa kelebihan dari kedua kawannya maka
keadaan yang demikian akan sangat mengganggunya. Karena itu, maka Ki Tambak
Wedi yang licik itu segera mencari akal. Apakah yang dapat dilakukannya untuk
membinasakan Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
“Kalau perlu
aku akan segera memanggil orang-orangku yang lain. Pasukan kecil yang telah aku
persiapkan itu,” katanya di dalam hati. Namun sementara itu, ia masih
membiarkan Argapati berbicara kepada Kerti,
“Apakah tidak
seorang pun yang tahu, kemanakah
perginya anak itu? Apakah Wrahasta dan orang-orangnya yang berjaga-jaga di
halaman juga tidak melihatnya?”
Kerti
menggelengkan kepalanya,
“Tidak
seorang pun yang melihatnya.”
Ki Argapati
menggeram. Terloncat dari mulutnya sebuah desis,
“Anak itu
memang keras kepala. Untuk kedua kalinya ia lari. Hem.”
Kerti tidak
menyahut. Namun ia dapat mengerti, betapa dada Ki Argapati menjadi cemas
karenanya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Lebih baik ia berterus terang
daripada mendengar tuduhan Tambak Wedi, bahwa Argapati telah berbuat curang
pula dengan menyiapkan orang-orangnya.
Tiba-tiba
saja, tanpa disangka-sangak, Tambak Wedi merasa menemukan kesempatan sebelum ia
memanggil orang-orangnya. Pada saat Ki Argapati lengah, ia dapat berbuat
sesuatu. Meskipun dengan demikian, ia berbuat curang, namun apakah artinya
kecurangan itu di sela-sela seribu macam kecurangan-kecurangan yang lain, yang
telah dilakukannya. Demikanlah, pada saat jatung Ki Argapati dicengkam oleh
kecemasan tentang puterinya, dan kegelisahan karena kehadiran orang-orangnya
yang tentu disangka oleh lawannya, bahwa ia
pun berbuat curang seperti Ki Tambak Wedi, maka saat yang demikian
itulah yang akan dimanfaatkan oleh lawannya. Dengan serta merta, tanpa
tanda-tanda apa pun juga. Tambak Wedi meloncat sambil berteriak nyaring,
langsung menyerang Ki Argapati yang sama sekali tidak menyangka, bahwa hal itu
akan terjadi. Karena itu, betapa ia terkejut mengalami serangan yang bergitu
tiba-tiba. Serangan yang langsung mengarah ke pusat-pusat tubuhnya. Betapapun
kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya, dan betapapun ketangkasan yang
dimilikinya, namun serangan yang demikian adalah di luar kemampuannya untuk
menghindarinya. Apalagi serangan itu dilancarkan oleh seseorang yang bernama
Tambak Wedi. Namun Argapati tidak membiarkan ujung senjata lawannya itu
menghunjam di dadanya dan memecahkan jantungnya. Dalam keadaan yang betapapun
sulitnya, Argapati masih berusaha untuk menangkisnya. Sambil menggeram ia
bergeser setapak, dan mencoba memukul senjata lawannya dengan tangkai
tombaknya. Namun ayunan serangan Ki Tambak Wedi ternyata terlampau kuat.
Meskipun dalam keadaan yang sama kekuatan mereka seimbang, tetapi dalam keadaan
yang tidak terduga-duga itu, Argapati masih belum sempat menghimpun segala
kemampuan yang ada di dalam dirinya. Itulah sebabnya, maka Ki Argapati kali ini
tidak dapat melepaskan dirinya sama sekali dari senjata lawannya. Meskipun
ujung senjata Ki Tambak Wedi itu tidak mengenai langsung ke sasarannya, tetapi
sebuah goresan yang panjang telah membekas di dada Ki Argapati. Sebuah goresan
yang segera menjadi merah oleh darah.
Sejenak Kerti
dan kedua kawannya terpaku di tempatnya dengan mulut ternganga. Mereka sama
sekali tidak menyangka, bahwa seseorang yang bergelar Ki Tambak Wedi akan
melakukan kecurangan serupa itu. Puncak dari segala macam kecurangan. Tetapi
sejenak mereka seolah-olah tersentak dari sebuah mimpi yang paling buruk.
Mereka kini melihat Ki Argapati terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Sedang
Ki Tambak Wedi telah bersiap melakukan serangan berikutnya. Serangan yang
bernafas maut, karena Ki Argapati masih belum sempat memperbaiki kedudukannya
oleh serangan yang tiba-tiba itu, tetapi yang terutama justru karena ia
terkejut bukan buatan. Sesaat kemudian terdengar Ki Tambak Wedi itu berteriak
nyaring. Kakinya telah bergeser dan sekejap kemudian serangannya yang mematikan
pasti akan menghunjam di tubuh lawannya yang sedang berusaha untuk memperbaiki
keseimbangannya. Tetapi tanpa diduga-duga, Ki Tambak Wedi itu meloncat surut.
Terdengar mulutnya mengumpat keras-keras. Matanya yang buas menjadi semakin
liar. Ia dengan demikian telah kehilangan kesempatan yang menentukan itu.
Karena dalam sekejap itu, Argapati telah menemukan keseimbangannya kembali.
Tombaknya telah mantap di dalam gengamannya dan kakinya telah tegak di atas
tanah. Meskipun dadanya terluka, namun luka itu belum mengganggunya. Ketahanan
tubuhnya benar-benar sangat mengagumkannya.
“Setan alas,”
Ki Tambak Wedi mengumpat tidak habis-habisnya. Kemudian katanya kepada Argapati
yang telah siap menunggu serangannya,
“Kau telah
membawa setan kecil ini pula Argapati. Bersujudlah kepadanya, karena ia telah
menyelematkan nyawamu kali ini.”
Argapati
menggeretakkan giginya. Jawabnya,
“Kehadirannya
tidak aku kehendaki. Tetapi ia telah berbuat tepat. Lemparan pisaunya hanya
sekedar menghindarkan dirimu dari kecurangan yang lebih jahat. Ia menempatkan
keadaan seperti yang sebaiknya terjadi.”
“Bagus,”
teriak Tambak Wedi, “Sekarang baiklah, kita bertempur dalam lingkaran yang
besar. Kita masing-masing telah dihinggapi oleh rencana yang curang.”
“Tidak,” sahut
Argapati,
“aku tetap
dalam pendirianku. Aku akan bertempur seorang diri, apa pun yang akan kau
lakukan.”
“Jangan,”
tiba-tiba Kerti menyahut,
“itu tidak
adil. Meskipun Ki Gede sama sekali tidak menghendaki kami hadir di sini, namun
yang terjadi adalah demikian. Karena itu, kami harus meletakkan keadaan pada
keharusan yang lajim. Perang tanding adalah perang antara seorang dengan
seorang. Kami tidak akan mengganggu perang tanding itu yang akan kami lakukan
adalah menahan orang-orang yang licik ini untuk ikut campur di dalam perang
tanding. Apa pun yang akan terjadi atas Ki Gede dalam perang tanding, kami
tidak akan mencampuri, meskipun seandainya Ki Gede terdesak dan bahkan terancam
oleh maut.”
“Omong kosong,”
teriak Ki Tambak Wedi,
“seorang
kawanmu telah melontarkan pisaunya ketika aku siap untuk membunuh Argapati.”
“Dengan caramu
yang licik dan curang,” jawab Kerti, lalu,
“Sudah tentu
maksud perang tanding bukanlah demikian. Seseorang yang bergelar Tambak Wedi
seharusnya jauh lebih mengerti daripada aku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar