Di kejauhan kemudian Tundun melihat dua anak buahnya yang bertugas di sisi Utara berdiri tegang menatap ke balakang gerumbul.
“Ayo, kemarilah,”
berkata salah seorang penjaga itu,
“apakah kau
bernyawa rangkap?”
Tiba-tiba
sekali lagi terdengar suara tertawa itu. Dan tiba-tiba muncullah dari balik
gerumbul seorang anak muda yang lincah sekali. Sambil tertawa ia berdiri
bertolak pinggang. Kemuadian katanya,
“He, apakah
laskar Tohpati tidak berangkat seluruhnya?”
Tundun
terkejut bukan buatan melihat anak muda itu. Anak muda itu pernah dilihatnya di
medan peperangan ketika ia ikut mencoba merebut Sangkal Putung. Tetapi ia
kurang yakin.
Karena itu
maka tubuhnya segera menjadi gemetar. Gemetar karena marah. Namun juga gemetar
karena cemas.
Sekali lagi
Tundun melihat orang itu tertawa sambil bertolak pinggang. Sambil mennjuk
kepadanya ia berkata,
“Ha. Itu
datang satu lagi. Ayo. Kumpulkan semua kawan-kawanmu yang tinggal. Lima puluh
atau sepuluh orang?”
Tundun
memandang kedua kawannya yang lebih dahulu melihat orang yang bertolak pinggang
itu. Kemudia ia berpaling, dan dilihatnya di belakangnya. Punggungnya terasa
berdesir, sebab Bajang masih menggenggem pisau dapur yang tajam berkilat-kilat.
Tetapi Tundun itu berlega hati ketika ternyata Bajang pun kemudian berdiri di
sampingnya sambil memandang anak muda yang tertawa menjengkelkan.
“Kau siapa?”
yang bertanya mula-mula sekali adalah Bajang.
Yang ditanya
masih juga tertawa.
Bajang menjadi
marah. Sekali ia membentak.
“He. Diam!
Jangan seperti orang mabuk.”
Suara tertawa
itu terputus. Dipandangnya Bajang dari ujung kaki ke ujung kepalanya.
“Kau belum
mengenal aku?”
“Apakah namamu
cukup bernilai untuk dikenal oleh setiap orang?”
Anak muda itu
mengerutkan keningnya. Jawaban Bajang benar-benar menyakitkan hatinya. Namun
selain menyakitkan hati anak muda itu, juga menyakitkan hati Tundun.
Seakan-akan Bajang itu lebih berani daripadanya. Karena itu Tundun itupun
berteriak,
“Jangan merasa
dirimu dikenal setiap orang. Andaikata aku mengenalmu sekalipun aku tidak akan
terkejut melihat tampangmu di sini.”
Anak muda itu
menggeram. Namun sekali lagi ia tertawa. Katanya,
“Hem. Empat
orang. Apakah masih ada yang lain?”
Untuk apa kau
cari yang lain? Agaknya kau anak yang terlalu sombong.”
“Terserahlah
kau menilai diriku. Tetapi kalian berempat ini bagiku hampir tak berarti sama
sekali. Aku datang karena aku ingin melihat kekuatan perkemahanmu. Aku ingin
menghitung ada berapa gubug yang kau dirikan di sini, dan ada berapa luas tanah
yang kau perlukan.”
“Cukup!”
teriak Tundun. Tetapi terasa suaranya ragu-ragu, sebab ia pernah mengenal akan
muda itu di medan pertempuran. Namun ia menjadi heran. Kenapa kali ini anak
muda itu tidak berada di medan? Apakah ia mendapat tugas khusus dari Untara
untuk mendatangi perkemahan ini?
Tetapi anak
muda itu masih tertawa. Suaranya semakin menyakitkan hati. Bahkan suara tertawa
itu menjadi semakin dibuat-buat agar yang mendengar menjadi marah.
“Jangan
membentak-bentak. Aku ingin berjalan berkeliling kemah ini. Kau dengar. Kalau
kau berani, halangi aku. Berempat, atau panggil kawan-kawanmu yang lain. Kalau
tidak, biarkan aku berjalan-jalan di sini.”
Bajang masih
heran melihat Tundun, pemarah itu, masih berdiri saja di tempatnya. Biasanya,
dalam keadaan yang demikian, ia pasti sudah berlari menyerbu dengan garangnya.
Tetapi kini Tundun itu masih tegak seperti patung meskipun terdengar giginya
gemeretak. Bahkan sekali lagi ia memandang berkeliling. Dua orang anak buahnya,
dan Bajang. Kemudian berempat dengan dirinya sendiri. Meskipun baru saja ia
bertengkar dengan Bajang, namun ia mengharap Bajang tidak mengkhianatinya.
Meskipun demikian, kalau perlu ia dapat memanggil orang-orangnya yang lain
dengan sebuah tanda yang telah mereka tentukan. Empat atau lima orang akan
datang bersama-sama. Tetapi apabila langsung mereka terlibat dalam perkelahian,
setidak-tidaknya mereka berempat lebih dahulu yang harus bertahan. Mungkin
berlima dengan Sumangkar. Tetapi Sumangkar itu tidak dilihatnya. Dan Sumangkar
bagi Tundun adalah seorang tua pemalas yang sama sekali tidak berguna. Namun
dalam pada itu sekali lagi terdengar Bajang menggeram,
“Kau belum
menjawab pertanyaanku, siapakah kau itu?”
Anak muda itu
memandangnya dengan nyala ketidaksenangan di matanya. Kemudian kepada Tundun ia
berkata,
“Apakah kau
juga belum mengenal aku?”
Tundun
menggeleng. Pura-pura ia belum mengenalnya pula. Katanya pula,
“Yang aku
kenal hanyalah orang-orang yang penting di daerah ini. Tohpati, Widura, Untara,
Tambak Wedi. Sedang tampangmu sama sekali tidak berarti bagiku. Apalagi
sebentar lagi kau akan mati terkubur di sini.”
Anak muda itu mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Bagus.
Mungkin kalian akan mencincang aku. Tetapi baiklah aku perkenalkan diriku.
Kalian pernah mendengar nama Tambak Wedi.”
“Jangan
menyebut nama itu. Apakah kau bermaksud menempatkan dirimu di sisi nama itu?”
Anak muda itu
tertawa.
“Tidak. Itu
tidak mungkin, sebab aku adalah muridnya.”
Yang mendengar
jawaban itu terkejut bukan kepalang. Mereka pernah mendengar ceritera tentang
murid Tambak Wedi yang bernama Sidanti. Seorang yang kini berhasil menempatkan
dirinya di samping Macan Kepatihan. Karena itu maka dada mereka menjadi semakin
berdebar-debar. Tundun memang pernah melihat kegarangan anak muda itu, yang
pernah berhasil membunuh Plasa Ireng. Mengerikan. Bulu kuduk Tundun itu
meremang. Ia kini menjadi yakin. Siapakah yang kini berdiri di mukanya. Mayat
Plasa Ireng yang hampir tidak berbentuk itu terbayang di wajahnya. Gila. Anak
muda itu adalah anak muda yang sangat buas.
“Pantas, ia
tidak berada di medan. Aku pernah mendengar, bahwa ada perselisihan antara
Sidanti dan Widura. Hem. Aku pernah melihat tampangnya, dan aku pernah
mendengar nama Sidanti. Tetapi baru sekarang aku pasti, bahwa yang bernama
Sidanti itu adalah anak yang membunuh Plasa Ireng itu pula.” Tundun yang
bergumam di dalam hatinya itu kemudian mencoba mengingat-ingat kembali pada
saat Plasa Ireng terbunuh. Pada saat itu ia hampir tidak mempedulikannya,
siapakah yang membunuh. Baginya orang-orang Pajang sama saja semuanya. Semuanya
harus dibinasakan.
Namun dengan
demikian ia menjadi ragu-ragu. Apalagi kedua kawan-kawannya yang lain. Mereka
berdiri membeku di tempatnya. Kalau benar Sidanti itu telah menjadi sejajar
dengan Tohpati, maka akan binasahlah mereka semuanya. Tetapi tiba-tiba timbul
pikiran yang memberi harapan bagi Tundun. Apabila Sidanti itu benar-benar
berselisih dengan Widura dan Untara, maka apakah kedatangannya itu dapat
dianggap sebagai kawan? Karena itu maka segera Tundun bertanya,
“Sidanti,
kenapa kau tidak berada di medan. Bukankah hari ini berkobar perang yang
terbesar yang pernah terjadi di Sangkal Putung?”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Ia menjajagi pertanyaan itu. Katnaya,
“Kenapa kau
bertanya tentang hal itu”
“Ya kenapa?
Bukankah kau prajurit Pajang?”
Sidanti
tertawa. Jawabnya,
“Aku dapat
berbuat sekehendakku. Apakah aku ingin berperang, apakah aku ingin
melihat-lihat hutan ini. Tak seorangpun pula yang dapat mencegah kehendakku.
Dada Tundun
menjadi berdebar-debar. Namun dipaksanya juga mulutnya berkata,
“Hem, aku
dengar kau tidak lagi berada dalam lingkungan keprajuritan Pajang.”
Tundun terkejut
mendengar jawaban Sidanti.
“Apa
perdulimu?”
Sesaat Tundun
terdiam. Tetapi kemudian ia bertanya pula,
“Lalu apa
maksudmu kemari?”
“Sudah aku
katakan. Aku ingin melihat, berapa kemah yang ada dan berapa luas tanah yang
diperlukan. Aku ingin mengira-ngirakan kekuatan Tohpati.”
“Untuk apa?”
“Sekehendakku.”
Tiba-tiba
Tundun bertanya,
“Apakah kau
tidak bermaksud bekerja bersama dengan Macan Kepatihan?”
Sidanti
tertawa. Benar-benar menyakitkan telinga, katanya,
“Kau sudah
gila agaknya. Apa arti Tohpati bagiku, dan apakah arti seluruh kekuatannya?”
Sekali lagi
dada Tundun berdesir. Betapapun juga ia adalah seorang prajurit. Karena itu,
maka meskipun ia telah mendengar bahwa Sidanti itu mempunyai kesaktian yang
hampir setingkat dengan Macan Kepatihan, namun adalah kewajibannya untuk
menunaikan tugasnya. Karena itu maka katanya,
“Sidanti. Aku
hormat kepadamu. Aku pernah mendengar bahwa kau memang seorang anak muda yang
pilih tanding. Tetapi kali ini perkemahan ini menjadi tanggung jawabku. Maka
jangan mencoba berbuat hal-hal yang dapat membahayakan keselamatannmu.”
Kini Sidanti
itu tertawa terbahak-bahak. Di antara tertawanya terdengar ia berkata,
“O, prajurit
yang malang. Kenapa kau berani berkata demikian padaku? Sudah aku katakan, tak
seorangpun dapat memerintah aku, dan tak seorangpun dapat menghalangi
kemauanku. Kali ini aku ingin berjalan-jalan mengelilingi perkemahan ini.
Jangan mencoba mencegahnya.”
Hati Tundun
adalah hati yang mudah terbakar. Kali inipun betapa bara menyaka di dadanya.
Namun terhadap Sidanti ia harus berhati-hati. Sekali lagi ia memandang kedua
kawannya yang seolah-olah telah membeku. Di sampingnya berdiri Bajang seperti
patung pula. Namun tampak bahwa wajah orang yang bertubuh kecil ini sama sekali
tidak menunjukkan kecemasan di hatinya. Bajang masih juga berdiri dengan wajah
menyala. Bahkan kemudian ia menggeram.
“Sidanti.
Jangan menganggap kami di sini sebagai anak-anak yang takut mendengar anjing
menggonggong.”
Sidanti
terkejut mendengar kata-kata itu. Benar-benar menyakitkan hati. Karena itu maka
tiba-tiba warna merah menjalar di wajahnya. Katanya,
“Siapa kau?”
Sumangkar
mengerutkan keningnya, tetapi ia mendengar orang yang bertubuh kekar itu
meneruskan, “Ayo, kaupun harus bekerja seperti kami. Kau jangan berjalan saja
mondar-mandir.”
Sumangkar
memandang orang itu. Orang yang bertubuh kekar itu. Ia melihat beberapa cacat
tubuhnya. Jari-jari tangan kirinya tidak lagi genap. Tiga di antaranya
terpotong dalam pertempuran. Sebuah goresan melintang menghias dadanya, dan di
pelipisnya tampak bekas luka pula.
“Aku bukan
lagi mondar-mandir saja Tundun. Tetapi aku lagi menanak nasi di belanga itu.”
Tundun, orang
yang besar kekar itu mengerutkan keningnya, jawabnya,
“Tetapi
menanak nasi tidak terus-menerus harus kau tunggui. Bukankah kau dapat
melakukan pekerjaan yang lain sambil menunggu nasi itu masak.”
“Ah,” desah
Sumangkar.
“Biarlah kita
mengerjakan pekerjaan ini di antara kita.”
“Aku mendapat
tugas untuk mengawasi dan menjaga perkemahan ini,” jawabnya lantang.
Sumangkar
masih berdiri di tempatnya. Dilihatnya kemudian Tundun menghampirinya dengan
mata yang memandanginya tajam-tajam.
“Ayo lakukan!”
bentaknya.
“Jangan takut
bahwa kami akan terlambat,” sahut Sumangkar.
Tetapi orang
itu membentak sekali lagi.
“Jangan
membantah. Kalau tak kau lakukan perintahku, aku robek mulutmu, tua Bangka.”
Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya sekali lagi mata orang itu. Mata itu
menjadi semakin tajam memandanginya. Sumangkar tersenyum di dalam hati. Tetapi
ia menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berjalan kembali ke tempat
kawan-kawannya bekerja. Ketika ia kemudian membungkukkan badannya meraba tubuh
rusa yang menggeletak di samping perapian, maka terdengar kawannya yang
pertama-tama bertanya kepadanya itu berbisik,
“Sudahlah.
Biarlah nanti aku kerjakan.”
Sumangkar
berpaling. Dilihatnya kawannya itu. Seorang yang bertubuh kecil. Jawabnya,
“Biarlah,
biarlah aku lakukan perintah Tundun itu.”
“Kau sudah
terlalu tua untuk bekerja terlalu banyak,” katanya.
“Aku menyesal
menanyakannya kepadamu, sehingga Tundun membentak-bentakmu.”
Sumangkar
menepuk bahu orang yang bertubuh kecil itu. Kini ia benar-benar tersenyum.
“Biarlah
Bajang, biarlah aku mengerjakannya.”
Orang bertubuh
kecil dan mendapat panggilan Bajang itu masih juga berkata,
“Sudahlah
Sumangkar. Duduk sajalah di samping rusa itu. Tundun akan menyangka bahwa kau
sudah bekerja untuk melakukan perintahnya. Nanti kalau aku sudah selesai dengan
pekerjaan ini, biarlah aku mengerjakannya.”
Tetapi
Sumangkar menyentuh tubuh rusa itu, dan kemudian mengerjakannya dengan cekatan.
Memang orang tua itu mempunyai keahlian sebagai juru masak yang baik. Tetapi
beberapa orang menganggapnya, meskipun ia juru masak yang baik, namun ia agak
terlalu malas. Tetapi Bajang menganggap lain. Sumangkar sudah terlalu tua.
Bukan semata-mata karena malas. Dalam mengerjakan pekerjaan itu, pkiran
Sumangkar tidak dapat lepas dari murid saudara tua seperguruannya. Tohpati,
yang hari ini terasa sangat aneh. Ia melihat betapa persiapan Tohpati itu
melampaui kebiasaan yang dilakukannya. Kali ini Macan Kepatihan itu terlalu
teliti. Perintahnya menentukan semuanya, dan Sumangkar melihat perintah itu
sedemikian rapinya, sehingga ia seakan-akan melihat gelar Dirada Meta yang
perkasa benar-benar akan melanda Sangkal Putung. Tetapi Sumangkar menyadari
pula, bahwa di Sangkal Putung ada Untara dan Widura. Kedua orang itu benar-benar
telah mengagumkannya pula. Tetapi yang terlebih aneh lagi bagi Sumangkar adalah
percakapannya sendiri dengan Macan Kepatihan itu. Ketika pasukan Tohpati itu
telah benar-benar dipersiapkan, maka tiba-tiba Sumangkar ingin melihat, apakah
yang akan terjadi di medan pertempuran. Ia melihat perbedaan-perbedaan pada
sikap dan perbuatan Tohpati menjelang keberangkatan laskarnya. Tetapi Tohpati
itu berkata,
“Tidak Paman.
Paman tinggal di perkemahan ini. Paman sudah cukup lama mengalami masa-masa
yang pahit. Sekarang biarlah Paman beristirahat. Biarlah pekerjaan ini
dilakukan oleh yang muda-muda.”
Tohpati
benar-benar berbeda dari kebiasaannya. Ketika Macan Kepatihan itu kemudian
bermohon diri kepadanya maka katanya,
“Paman, kali
ini bagiku adalah kali yang terakhir. Hanya ada dua kemungkinan bagiku kali
ini. Menang atau kalah. Supaya peperangan ini tidak menjadi semakin
berlarut-larut.”
“Apakah
maksudmu Raden,” Sumangkar mencoba bertanya.
Tohpati
menggelengkan kepalanya. Dan Sumangkar ditinggalkannya. Beberapa langkah
kemudian Tohpati itu berpaling, seolah-olah ia ingin mengatakan seseuatu,
tetapi tidak jadi.
“Apakah ada
yang akan Angger katakan,” Sumangkar mencoba bertanya.
“Tidak Paman.
Tidak ada yang akan aku katakan.”
Tohpati
kemudian pergi. Pergi ke gubugnya. Sampai kemudian pasukannya berangkat.
Sumangkar tidak bercakap-cakap lagi dengan Macan Kepatihan itu. Ia hanya
melihat Tohpati berdiri di muka pasukannya dengan tanda-tanda kebesaran
sepenuhnya. Bukan sekedar tanda-tanda kebesaran dari suatu susunan kesatuan,
tetapi benar-benar tanda-tanda kebesaran Jipang selengkapnya. Kali ini
Sumangkar melepaskan Tohpati dengan hati yang risau. Aneh. Seperti melepaskan
anak-anak menyeberangi sungai yang lagi banjir.
Tetapi
Sumangkar itu terkejut ketika tiba-tiba ia merasa punggungnya didorong
seseorang. Karena Sumangkar itu sama sekali tidak menyangka, maka hampir-hampir
ia jatuh terjerambab. Ketika ia berpaling, dilihatnya Tundun berdiri di
belakangnya.
“Jangan
termenung. Aku bilang kerjakan rusa itu.”
“Ya. Ya
Tundun,” jawab Sumangkar cepat-cepat.
“Tetapi kalau
aku pergi, kembali kau duduk saja termenung. Kau benar-benar malas. Kalau Macan
Kepatihan mengetahui kemalasannmu lehermu itu pasti akan dipatahkannya.”
“Ya, Tundun
maksudku ……”
“Diam!” bentak
Tundun.
“Aku mau kau
bekerja, tidak menjawab setiap kata-kataku.”
Sumangkar
tidak menjawab. Ternyata ketika kenangannya terbang mengikuti Tohpati,
tangannya berhenti bekerja.
“Sudahlah Tundun,”
tiba-tiba Bajang menyahut,
“biarlah orang
tua itu bekerja menurut kekuatan tenaganya. Jangan dipaksa. Ia telah terlalu
lemah.”
Tundun
berpaling. Dipandanginya Bajang dengan matanya yang tajam. Kemudian terdengar
ia membentak,
“Jangan turut
campur Bajang. Aku tahu apa yang harus aku kerjakan.”
“Tetapi keu
terlalu kasar, Tundun.”
“He!” teriak
Tundun.
“Kau berani
membantah, dan mengatakan aku terlalu kasar?”
“Aku
mengatakan sebenarnya.”
“Gila kau
Bajang, apa aku harus menampar mulutmu?”
“Aku tidak mau
kau perlakukan kasar.”
Tundun
benar-benar menjadi marah. Tiba-tiba kakinya terayun deras sekali ke arah
Bajang berjongkok di samping Sumangkar. Tetapi ternyata Bajang pun cekatan.
Segera ia meloncat menghindari kaki Tundun. Bahkan kemudian Bajang telah
berdiri tegak. Di tangannya masih tergenggam sebilah pisau yang tajam berkilat-kilat.
“Kau berani
melawan aku Bajang?” suara Tundun gemetar karena marahnya.
“Kau sangka
bahwa karena tubuhmu yang cacat karena ciri-ciri peperangan itu kau ditakuti
orang, Tundun. Bajang adalah seorang prajurit pula. Aku menyesal telah
dilemparkan di dapur yang kotor dan memuakkan ini. Ayo, kalu kau ingin melihat,
apakah Bajang juga mampu berkelahi.”
Tundun
hampir-hampir tidak mampu menahan diri lagi. Tetapi ketika mereka hampir
bertempur, maka segera Sumangkar berkata,
“Jangan
bertengkar. Kalau kalian bertengkar, maka kalian akan mempercepat kebinasaan
kita sendiri.”
Tetapi Tundun
dan Bajang tidak mendengarnya. Masing-masing kemudian setapak maju lagi. Namun
tiba-tiba mereka terkejut ketika di kejauhan mereka mendengar suara ribut.
“Siapa itu he,
siapa itu?” Disusul dengan suara tawa nyaring. Kemudian terdengar teriakan di
kejauhan.
“Aku datang
dengan dada terbuka. Ayo. Siapa yang berada di perkemahan ini?”
“Jangan
membunuh diri,” terdengar jawaban.
Tundun dan
Bajang terpaksa menghentikan permusuhan yang hampir-hampir meledak itu. Dengan
marahnya Tundun menggeram,
“Tunggu
Bajang, akan datang saatnya kepalamu terkelupas.”
Bajang pun
tidak kalah marahnya. Meskipun ia bertubuh kecil tetapi ternyata ia lincah
bukan kepalang. Dengan beraninya ia menjawab,
“Asal kau
datang dari depan saja,Tundun. Jangan memperkecil arti Bajang yang kecil ini.”
Kemarahan
Tundun tiba-tiba terungkat semakin tajam. Tetapi di kejauhan terdengar pula
suara nyaring.
“Ayo. Siapa
yang bertugas menunggu kemah ini.”
Dada Tundun
tergetar mendengar suara itu. Suara itupun seakan-akan menantangnya. Sebab
ialah yang bertugas memimpin beberapa orang untuk menunggui kemah ini. Karena
itu, maka segera Tundun berlari ke arah suara itu. Sesaat ia melupakan Bajang
dan Sumangkar. Namun Bajang pun mendengar pula suara di kejauhan. Dan iapun
ingin melihat siapakah yang dengan beraninya mendatangi perkemahannya.
Perlahan-lahan iapun melangkah ke arah Tundun menghilang di belakang belukar,
dan Sumangkar pun menyusul pula di belakang mereka. Di kejauhan kemudian Tundun
melihat dua anak buahnya yang bertugas di sisi Utara berdiri tegang menatap ke
balakang gerumbul.
“Ayo,
kemarilah,” berkata salah seorang penjaga itu,
“apakah kau
bernyawa rangkap?”
Tiba-tiba
sekali lagi terdengar suara tertawa itu. Dan tiba-tiba muncullah dari balik
gerumbul seorang anak muda yang lincah sekali. Sambil tertawa ia berdiri bertolak
pinggang. Kemuadian katanya,
“He, apakah
laskar Tohpati tidak berangkat seluruhnya?”
Tundun
terkejut bukan buatan melihat anak muda itu. Anak muda itu pernah dilihatnya di
medan peperangan ketika ia ikut mencoba merebut Sangkal Putung. Tetapi ia
kurang yakin. Karena itu maka tubuhnya segera menjadi gemetar. Gemetar karena
marah. Namun juga gemetar karena cemas. Sekali lagi Tundun melihat orang itu
tertawa sambil bertolak pinggang. Sambil mennjuk kepadanya ia berkata,
“Ha. Itu
datang satu lagi. Ayo. Kumpulkan semua kawan-kawanmu yang tinggal. Lima puluh
atau sepuluh orang?”
Tundun
memandang kedua kawannya yang lebih dahulu melihat orang yang bertolak pinggang
itu. Kemudia ia berpaling, dan dilihatnya di belakangnya. Punggungnya terasa
berdesir, sebab Bajang masih menggenggem pisau dapur yang tajam berkilat-kilat.
Tetapi Tundun itu berlega hati ketika ternyata Bajang pun kemudian berdiri di
sampingnya sambil memandang anak muda yang tertawa menjengkelkan.
“Kau siapa?”
yang bertanya mula-mula sekali adalah Bajang.
Yang ditanya
masih juga tertawa. Bajang menjadi marah. Sekali ia membentak.
“He. Diam!
Jangan seperti orang mabuk.”
Suara tertawa
itu terputus. Dipandangnya Bajang dari ujung kaki ke ujung kepalanya.
“Kau belum
mengenal aku?”
“Apakah namamu
cukup bernilai untuk dikenal oleh setiap orang?”
Anak muda itu
mengerutkan keningnya. Jawaban Bajang benar-benar menyakitkan hatinya. Namun
selain menyakitkan hati anak muda itu, juga menyakitkan hati Tundun.
Seakan-akan Bajang itu lebih berani daripadanya. Karena itu Tundun itupun
berteriak,
“Jangan merasa
dirimu dikenal setiap orang. Andaikata aku mengenalmu sekalipun aku tidak akan
terkejut melihat tampangmu di sini.”
Anak muda itu
menggeram. Namun sekali lagi ia tertawa. Katanya,
“Hem. Empat
orang. Apakah masih ada yang lain?”
“Untuk apa kau
cari yang lain? Agaknya kau anak yang terlalu sombong.”
“Terserahlah
kau menilai diriku. Tetapi kalian berempat ini bagiku hampir tak berarti sama
sekali. Aku datang karena aku ingin melihat kekuatan perkemahanmu. Aku ingin
menghitung ada berapa gubug yang kau dirikan di sini, dan ada berapa luas tanah
yang kau perlukan.”
“Cukup!”
teriak Tundun. Tetapi terasa suaranya ragu-ragu, sebab ia pernah mengenal akan
muda itu di medan pertempuran. Namun ia menjadi heran. Kenapa kali ini anak
muda itu tidak berada di medan? Apakah ia mendapat tugas khusus dari Untara
untuk mendatangi perkemahan ini?
Tetapi anak
muda itu masih tertawa. Suaranya semakin menyakitkan hati. Bahkan suara tertawa
itu menjadi semakin dibuat-buat agar yang mendengar menjadi marah.
“Jangan
membentak-bentak. Aku ingin berjalan berkeliling kemah ini. Kau dengar. Kalau
kau berani, halangi aku. Berempat, atau panggil kawan-kawanmu yang lain. Kalau
tidak, biarkan aku berjalan-jalan di sini.”
Bajang masih
heran melihat Tundun, pemarah itu, masih berdiri saja di tempatnya. Biasanya,
dalam keadaan yang demikian, ia pasti sudah berlari menyerbu dengan garangnya.
Tetapi kini Tundun itu masih tegak seperti patung meskipun terdengar giginya
gemeretak. Bahkan sekali lagi ia memandang berkeliling. Dua orang anak buahnya,
dan Bajang. Kemudian berempat dengan dirinya sendiri. Meskipun baru saja ia
bertengkar dengan Bajang, namun ia mengharap Bajang tidak mengkhianatinya.
Meskipun demikian, kalau perlu ia dapat memanggil orang-orangnya yang lain
dengan sebuah tanda yang telah mereka tentukan. Empat atau lima orang akan
datang bersama-sama. Tetapi apabila langsung mereka terlibat dalam perkelahian,
setidak-tidaknya mereka berempat lebih dahulu yang harus bertahan. Mungkin
berlima dengan Sumangkar. Tetapi Sumangkar itu tidak dilihatnya. Dan Sumangkar
bagi Tundun adalah seorang tua pemalas yang sama sekali tidak berguna. Namun dalam
pada itu sekali lagi terdengar Bajang menggeram,
“Kau belum
menjawab pertanyaanku, siapakah kau itu?”
Anak muda itu
memandangnya dengan nyala ketidaksenangan di matanya. Kemudian kepada Tundun ia
berkata,
“Apakah kau
juga belum mengenal aku?”
Tundun menggeleng.
Pura-pura ia belum mengenalnya pula. Katanya pula, “Yang aku kenal hanyalah
orang-orang yang penting di daerah ini. Tohpati, Widura, Untara, Tambak Wedi.
Sedang tampangmu sama sekali tidak berarti bagiku. Apalagi sebentar lagi kau
akan mati terkubur di sini.”
Anak muda itu mengerutkan
keningnya. Katanya,
“Bagus.
Mungkin kalian akan mencincang aku. Tetapi baiklah aku perkenalkan diriku.
Kalian pernah mendengar nama Tambak Wedi.”
“Jangan
menyebut nama itu. Apakah kau bermaksud menempatkan dirimu di sisi nama itu?”
Anak muda itu
tertawa.
“Tidak. Itu
tidak mungkin, sebab aku adalah muridnya.”
Yang mendengar
jawaban itu terkejut bukan kepalang. Mereka pernah mendengar ceritera tentang
murid Tambak Wedi yang bernama Sidanti. Seorang yang kini berhasil menempatkan
dirinya di samping Macan Kepatihan. Karena itu maka dada mereka menjadi semakin
berdebar-debar. Tundun memang pernah melihat kegarangan anak muda itu, yang
pernah berhasil membunuh Plasa Ireng. Mengerikan. Bulu kuduk Tundun itu
meremang. Ia kini menjadi yakin. Siapakah yang kini berdiri di mukanya. Mayat
Plasa Ireng yang hampir tidak berbentuk itu terbayang di wajahnya. Gila. Anak
muda itu adalah anak muda yang sangat buas.
“Pantas, ia
tidak berada di medan. Aku pernah mendengar, bahwa ada perselisihan antara
Sidanti dan Widura. Hem. Aku pernah melihat tampangnya, dan aku pernah
mendengar nama Sidanti. Tetapi baru sekarang aku pasti, bahwa yang bernama
Sidanti itu adalah anak yang membunuh Plasa Ireng itu pula.” Tundun yang
bergumam di dalam hatinya itu kemudian mencoba mengingat-ingat kembali pada
saat Plasa Ireng terbunuh. Pada saat itu ia hampir tidak mempedulikannya,
siapakah yang membunuh. Baginya orang-orang Pajang sama saja semuanya. Semuanya
harus dibinasakan.
Namun dengan
demikian ia menjadi ragu-ragu. Apalagi kedua kawan-kawannya yang lain. Mereka
berdiri membeku di tempatnya. Kalau benar Sidanti itu telah menjadi sejajar
dengan Tohpati, maka akan binasahlah mereka semuanya. Tetapi tiba-tiba timbul
pikiran yang memberi harapan bagi Tundun. Apabila Sidanti itu benar-benar
berselisih dengan Widura dan Untara, maka apakah kedatangannya itu dapat
dianggap sebagai kawan? Karena itu maka segera Tundun bertanya,
“Sidanti,
kenapa kau tidak berada di medan. Bukankah hari ini berkobar perang yang terbesar
yang pernah terjadi di Sangkal Putung?”
Sidanti
mengerutkan keningnya. Ia menjajagi pertanyaan itu. Katanya,
“Kenapa kau
bertanya tentang hal itu”
“Ya kenapa?
Bukankah kau prajurit Pajang?”
Sidanti
tertawa. Jawabnya,
“Aku dapat
berbuat sekehendakku. Apakah aku ingin berperang, apakah aku ingin
melihat-lihat hutan ini. Tak seorangpun pula yang dapat mencegah kehendakku.”
Dada Tundun
menjadi berdebar-debar. Namun dipaksanya juga mulutnya berkata,
“Hem, aku
dengar kau tidak lagi berada dalam lingkungan keprajuritan Pajang.”
Tundun terkejut
mendengar jawaban Sidanti.
“Apa
perdulimu?”
Sesaat Tundun
terdiam. Tetapi kemudian ia bertanya pula,
“Lalu apa
maksudmu kemari?”
“Sudah aku
katakan. Aku ingin melihat, berapa kemah yang ada dan berapa luas tanah yang diperlukan.
Aku ingin mengira-ngirakan kekuatan Tohpati.”
“Untuk apa?”
“Sekehendakku.”
Tiba-tiba
Tundun bertanya,
“Apakah kau
tidak bermaksud bekerja bersama dengan Macan Kepatihan?”
Sidanti
tertawa. Benar-benar menyakitkan telinga, katanya,
“Kau sudah
gila agaknya. Apa arti Tohpati bagiku, dan apakah arti seluruh kekuatannya?”
Sekali lagi
dada Tundun berdesir. Betapapun juga ia adalah seorang prajurit. Karena itu,
maka meskipun ia telah mendengar bahwa Sidanti itu mempunyai kesaktian yang
hampir setingkat dengan Macan Kepatihan, namun adalah kewajibannya untuk
menunaikan tugasnya. Karena itu maka katanya,
“Sidanti. Aku
hormat kepadamu. Aku pernah mendengar bahwa kau memang seorang anak muda yang
pilih tanding. Tetapi kali ini perkemahan ini menjadi tanggung jawabku. Maka
jangan mencoba berbuat hal-hal yang dapat membahayakan keselamatannmu.”
Kini Sidanti
itu tertawa terbahak-bahak. Di antara tertawanya terdengar ia berkata,
“O, prajurit
yang malang. Kenapa kau berani berkata demikian padaku? Sudah aku katakan, tak
seorangpun dapat memerintah aku, dan tak seorangpun dapat menghalangi
kemauanku. Kali ini aku ingin berjalan-jalan mengelilingi perkemahan ini.
Jangan mencoba mencegahnya.”
Hati Tundun
adalah hati yang mudah terbakar. Kali inipun betapa bara menyaka di dadanya.
Namun terhadap Sidanti ia harus berhati-hati. Sekali lagi ia memandang kedua
kawannya yang seolah-olah telah membeku. Di sampingnya berdiri Bajang seperti
patung pula. Namun tampak bahwa wajah orang yang bertubuh kecil ini sama sekali
tidak menunjukkan kecemasan di hatinya. Bajang masih juga berdiri dengan wajah
menyala. Bahkan kemudian ia menggeram.
“Sidanti.
Jangan menganggap kami di sini sebagai anak-anak yang takut mendengar anjing
menggonggong.”
Sidanti
terkejut mendengar kata-kata itu. Benar-benar menyakitkan hati. Karena itu maka
tiba-tiba warna merah menjalar di wajahnya. Katanya,
“Siapa kau?”
“Namaku
Bajang.”
“Kau masih
belum terlalu tua. Kenapa kau mencoba membunuh dirimu? Apakah kau tidak senang
hidup di lingkungan Macan Kepatihan?”
“Jangan
mengigau. Cobalah kau maju selangkah lagi. Maka kau akan berkubur di tanah
ini.”
Sidanti
benar-benar telah terbakar oleh kemarahannya yang memuncak. Karena itu
tiba-tiba ia meloncat maju sambil berteriak.
“Kumpulkan
semua pengawal barak-barak di perkemahan ini. Ayo, inilah Sidanti, murid Tambak
Wedi.”
Tundun, kedua
prajurit yang lain, dan Bajang sendiri kini tidak dapat mengelakkan diri lagi.
Mereka harus menghadapi anak muda yang berani dan perkasa ini. Bagaimanapun
juga mereka adalah prajurit-prajurit yang sudah terlalu sering bermain-main
dengan senjata dan bercumbu dangan maut. Ketika mereka melihat Sidanti dengan
sigapnya meloncat maju, maka merekapun segera mendekat pula. Tanpa berjanji
mereka berdiri seberang-menyeberang. Seakan-akan mereka sengaja mengepung
Sidanti yang dengan garngnya berdiri di antara mereka.
“Kau yang
tajam mulut,” geram Sidanti sambil menunjuk kepada Bajang,
“kaulah yang
pertama-tama akan aku sobek mulutmu.”
Tetapi agaknya
Bajang sama sekali tidak takut. Dengan pisaunya ia bersiap menghadapi setiap
kemungkinan. Tundunpun kemudian bersiap pula. Ia tidak mau kalah daripada
Bajang. Bajang yang hanya bersenjatakan pisau dapur betapapun besar dan
tajamnya, berani menghadapi Sidanti dengan tatagnya, maka Tundun yang di
pinggangnya tergantung sebilah pedang, pasti harus lebih berani daripadanya.
Sidanti yang
berdiri di antara mereka, sekali lagi memandang setiap wajah di sekitarnya.
Tundun yang cacat, Bajang yang kecil dan kedua prajurit yang lain. Tiba-tiba
Sidanti itu berkata nyaring.
“Ayo, siapkan
senjata-senjata kalian. Apakah kalian dapat menggerakkannya dengan baik?”
Tanpa
dikehendaki, maka tiba-tiba tangan mereka yang berdiri di sekeliling Sidanti
itu menarik senjata masing-masing. Dengan serta merta senjata-senjata itupun
segera tertuju ke arah Sidanti.
“Nah, kalian
ternyata sigap pula menarik senjata. Sekarang aku ingin tahu, apakah kalian
mampu bermain-main dengan senjata-senjata itu.”
Tundun tidak
menunggu lebih lama lagi. Segera ia melompat menusuk Sidanti. Tetapi Sidanti
benar-benar lincah selincah sikatan. Pedang itu meluncur beberapa cengkang di
muka telinga kanannya. Sambil menghindar Sidanti sempat berteriak.
“Ha. Ternyata
kau adalah prajurit yang baik. Meskipun tubuhmu telah dipenuhi oleh cacat
badaniah, namun kesetiaanmu kepada Macan Kepatihan tidak juga berkurang.”
Tetapi
ternyata mereka salah sangka. Sidanti sama sekali tidak berusaha untuk mencegah
orang yang membunyikan tanda bahaya itu. Bahkan sambil tertawa ia berkata,
“Baik. Aku
beri kesempatan kalian memanggil kawan-kawan kalian. Berapa orangkah semua yang
masih ada di perkemahan ini? Sepuluh atau lebih? Kalau lebih dari sepuluh, aku
harus berpikir-pikir untuk segera mengurangi jumlah itu supaya aku tidak
kelelahan.”
Kata-kata itu
benar-benar menyiksa perasaan prajurit-prajurit Jipang itu. Dengan penuh luapan
kemarahan mereka berjuang sekuat tenaga mereka. Tetapi bagi Sidanti mereka
benar-benar tidak berarti. Beberapa kawan-kawan mereka di tempat-tempat yang
lain terkejut mendengar tanda itu. Mereka menyangka bahwa beberapa orang Pajang
telah menyerang mereka. Beberapa orang yang tidak dipasang dalam gelar untuk
melawan Macan Kepatihan. Karena itu segera mereka berlari-lari menuju ke arah
tanda itu. Empat orang dari dua sudut penjagaan datang hampir bersamaan. Tetapi
mereka terkejut ketika mereka melihat, bahwa di tempat itu hanya ada seorang
yang sudah bertempur melawan empat orang prajurit Jipang. Dengan nanar mereka
mencoba memandang berkeliling. Namun mereka tidak melihat orang selain daripada
yang sedang bertempur itu. Sehingga salah seorang dari mereka berteriak,
“Kenapa
dibunyikan tanda bahaya?”
“Kau lihat
lawan ini?” berteriak Tundun.
“Yang hanya
seorang itu?”
“Buka matamu
lebar-lebar,” jawab Tundun.
“Meskipun
seorang tetapi ia adalah anak iblis.”
Yang terdengar
kemudian adalah suara tertawa Sidanti, katanya,
“Ya. Yang
seorang ini anak iblis. Berapa orang kalian yang datang? Apakah genap enam
orang, sehingga semua berjumlah sepuluh dengan orang-orang yang pertama?”
Keempat orang
yang datang itu baru menyadari keadaan lawannya, mereka kini melihat keempat
kawannya masih berkelahi dengan sekuat-kuat tenaga mereka dengan senjata di
tangan. Namun lawannya yang hanya seorang itu, dengan tersenyum selalu
menghindarkan diri dari serangan yang bagaimanapun dahsyatnya. Bahkan merekapun
kemudian melihat bahwa yang seorang itu masih belum mempergunakan senjatanya.
“Jangan
berdiri seperti patung!” teriak Tundun.
“Apakah kalian
menunggu kami menjadi bangkai?”
Teriakan itu
benar-benar telah membangunkan mereka dari kekaguman mereka melihat tata gerak
Sidanti. Lincah, tangguh dan membingungkan. Karena itu segera mereka mencabut
senjata masing-masing dan terjun ke dalam arena perkelahian itu.
“Apakah kalian
tidak akan saling menusuk di antara kawan-kawan sendiri?” teriak Sidanti.
Tak seorangpun
yang menjawab. Namun kini kepungan mereka menjadi semakin rapat. Ujung-ujung
senjata semakin cepat menyambar kulit Sidanti dari segala arah. Karena itu maka
katanya kemudian,
“Nah, sekarang
baru aku merasa perlu mempergunakan pedang. Ayo, sebutkan jumlah kalian,
berapa?”
Tetapi
pertanyaan itu dijawab dengan serangan yang datang bertubi-tubi dengan
sengitnya. Namun akirnya Sidanti berhasil menghitung mereka, katanya,
“Delapan. Aku
harus mengurangi tiga di antara kalian. Aku hanya ingin melawan lima orang.”
“Gila!” geram
Tundun. Tetapi segera ia terdiam ketika pedang Sidanti yang baru saja ditarik
itu hampir-hampir menyentuh hidungnya. Dan hampir-hampir cacat di wajahnya
bertambah seleret lagi. Demikianlah perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin dahsyat. Dalam pada itu Tundun masih menunggu beberapa orang kawannya
yang sedang nganglang. Tetapi kawan-kawannya yang nganglang itu berada di
tempat yang cukup jauh. Mereka tidak menyangka bahwa akan datang bahaya di perkemahan
mereka, sehingga mereka kehilangan kewaspadaan. Mereka bahkan sedang asyik
berburu rusa dan kijang. Karena itu maka mereka sama sekali tidak mendengar
tanda yang dibunyikann oleh kawan Tundun di perkemahan. Maka Tundun terpaksa
bertempur dengan kawan-kawannya yang telah ada. Delapan orang. Kemudian datang
pula dua orang, namun mereka sama sekali bukan prajurit. Mereka adalah
orang-orang dapur, kawan-kawan Sumangkar. meskipun demikian, mereka membawa
senjata di tangan mereka. Tetapi dalam perkelahian itu mereka tidak segera
dapat ikut serta.
Sidanti
kemudian berkelahi dengan lincahnya melawan delapan orang. Ia menyangka bahwa
ia akan dapat bermain-main dengan lawannya itu. Tetapi ternyata keadaannya
berbeda dengan dugaannya. Prajurit Jipang adalah sebenarnya prajurit. Hanya
satu dua dari mereka adalah orang-orang yang kurang baik. Namun yang lain
adalah prajurit-prajurit yang cukup. Meskipun bukan orang-orang puncak.
“Hem,” desis Sidanti
sambil meloncat-loncat,
“ternyata
kalian cukup terlatih. Karena itu, maka jangan lebih dari lima supaya aku dapat
bermain-main dengan baik tanpa menyakiti kamu sekalian. Tetapi kalau di antara
kalian tidak ada yang meninggalkan arena ini, aku terpaksa memaksamu.”
Tak seorangpun
yang menjawab. Bahkan mereka bekerja semakin keras. Senjata-senjata mereka
berganti-ganti sambar-menyambar tak henti-hentinya, sehingga semakin lama
Sidanti semakin merasa bahwa sangat berat baginya untuk melawan delapan orang
itu sekaligus. Ia terpaksa sekali-sekali meloncat jauh ke belakang, kemudian
dengan cepatnya melingkar dan menyerang seperti petir menyambar di udara. Kedelapan
orang itupun merasa, betapa besar tenaga anak muda yang bernama Sidanti itu.
Kini Tundun mulai dirayapi oleh kepercayaannya bahwa Sidanti benar-benar mampu
menempatkan diri hampir sejajar dengan Macan Kepatihan. Namun betapapun kuatnya
Sidanti, untuk melawan delapan orang sekaligus adalah berat baginya. Karena
itu, ia kemudian terpaksa bekerja mati-matian. Sebab kedelapan orang itupun
bekerja dengan keras dan bertempur mati-matian pula.
“Sebenarnya
aku tak ingin menyakiti kalian,” teriak Sidanti,
“tetapi
ternyata melawan kalian berdelapan adalah berat sekali. Kalian benar-benar
prajurit yang tangguh. Karena itu, seandainya pedangku melukai salah seorang
dari kalian, janganlah kalian menjadi sakit hati.”
Kata-kata itu
sama sekali tidak mendapat perhatian. Bahkan dengan demikian Tundun dan
kawan-kawannya merasa, bahwa Sidanti merasa terdesak. Karena itu justru mereka
memperketat tekanan mereka. Sidanti yang merasa semakin terdesak akhirnya
menjadi marah pula. Darahnya semakin lama benar-benar semakin panas. Apalagi
ketika kemudian sebuah goresan melukai punggungnya. Goresan itu tidak terlalu
dalam. Namun goresan itu telah menyobek baju dan menyentuh kulitnya. Luka itu,
meskipun tidak seberapa, namun karena darah yang menetes, maka hati Sidanti
telah benar-benar terbakar karenanya. Hilanglah kemudian segala pengamatan
diri. Dan dengan demikian maka anak murid Tambak Wedi itu menggeram dengan
dahsyatnya. Sekali ia meloncat dengan lincahnya beberapa langkah surut, namun
kemudian dengan cepatnya ia melingkar, menyerang menyambar-nyambar dengan
sengitnya.
Perkelahian
itu segera meningkat dengan cepatnya. Semakin lama semakin dahsyat.
Masing-masing piak telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Tundun
pun kemudian merasa, bahwa kekuatannya bersama kawan-kawannya dapat mengimbangi
kelincahan Sidanti yang hanya seorang itu. Tetapi untuk mengalahkan, menangkap
atu membinasakan adalah sulit sekali. Sidanti itu benar-benar seperti anak
setan. Sekali ia menerobos di antara lawan-lawannya, namun kemudian melontar
dan menyerang dari sisi dan belakang mereka. Kalau Tundun dan kawan-kawannya
berusaha untuk mengepungnya, maka usaha itu selalu gagal. Sidanti mampu
meloncat dengan jarak yang tidak dapat mereka jangkau dengan loncatan dan
senjata. Ketika pertempuran itu menjadi semakin meningkat, maka terdengarlah
Tundun berteriak,
“Bunyikan
kembali lagi tanda bahaya. Supaya kawan-kawan kita yang nganglang
mendengarnya.”
Kembali salah
seorang dari mereka meloncat keluar arena perkelahian. Kali ini Sidanti tidak
membiarkannya. Tetapi ia tidak mampu mencegahnya, sebab tujuh orang yang lain
dengan garangnya mencoba melindungi kawannya yang seorang itu.
“Gila!” teriak
Sidanti.
“Bukan maksudku
membunuh salah seorang dari kalian, tetapi kalian benar-benar keras kepala.
Karena itu, aku akan terpaksa melakukannya.”
Maka Sidanti
itupun kemudian sampai pada puncak permainannya. Rasa nyeri di punggungnya
telah memaksanya untuk mendendam. Karena itu, maka sesaat kemudian, terdengar
sebuah keluhan tertahan. Bajang meloncat surut dari lingkaran pertempuran
sambil meraba pundaknya. Tampak darah yang merah segar meleleh dari luka itu.
“Anak setan!”
teriaknya. Kemudian kepada kawan-kawannya juru masak yang berdiri menonton
perkelahian itu dengan wajah pucat ia berkata,
“Berikan
pedangmu itu.”
Kedua kawannya
yang biasanya hanya dapat menunggui perapian segera berlari kepadanya dan memberikan
pedangnya kepada Bajang.
“Terima kasih.
Senjataku terlalu pendek sehingga pundakku terluka.”
Bajang yang
terluka itu kemudian dengan kemarahan yang membakar ubun-ubunnya meloncat
kembali ke arena. Tetapi demikian ia sampai, terdengar pula orang lain
mengeluh. Sekali lagi, salah seorang dari mereka meloncat ke luar arena. Kali
ini agaknya lebih parah dari luka yang diderita Bajang. Ternyata darah mengucur
dari tangannya. Dua buah jarinya terpenggal dan pedangnya terlempar jatuh.
Wajah prajurit
yang kehilangan jari-jarinya itu menjadi merah padam. Merah padam karena menahan
marah dan sakit. Ketika ia melihat seorang juru masak berdiri dengan pedang di
tangan, tetapi tidak ikut dalam pertempuran, terdengar ia berteriak,
“Berikan
pedangmu.”
Orang itu
ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian diberikan juga pedangnya. Prajurit itu
menerima dengan tangan kirinya. Cepat ia meloncat kembali ke arena dengan
pedang di tangan kiri. Meskipun tangan kirinya tidak setangkas tangan kanan,
namun tandangnya hampir-hampir tak berkurang. Ternyata tanda bahaya yang kedua
itu menggema, jauh lebih dalam dari yang terdahulu. Kawan-kawan Tundun,
sebanyak empat orang yang sedang nganglang dan berburu rusa, terkejut mendengar
tanda itu. Sesaat mereka berdiri termangu-mangu. Seakan-akan bunyi tanda bahaya
itu terdengar di telinga mereka.
“Kau dengar,”
bergumam salah seorang dari mereka.
“Ya,” sahut
yang lain.
“Aku hampir
tak percaya. Apakah orang-orang Pajang tidak memasang seluruh orang-orangnya
dalam perlawanan kali ini?”
“Mungkin.
Mungkin mereka sengaja membagi kekuatan.”
“Bodoh. Kalau
aku menjadi pemimpin pengawal kemah ini, aku biarkan mereka masuk. Aku biarkan
mereka merusak kemah-kemah kita, sebab Macan Kepatihan pasti akan berhasil
masuk Sangkal Putung.”
“Kau yakin
benar.”
“Ya, kalau
pasukan Pajang mengurangi kekuatannya, Sangkal Putung pasti akan pecah.”
“Tetapi Kakang
Tundun memanggil kita dengan tanda itu.”
“Mari kita
pulang.”
Keempatnya
segera berlari-lari kembali ke kemah mereka. Mereka menyangka bahwa di dalam
perkemahan itu telah terjadi peperangan antara para pengawal yang jumlahnya
sangat terbatas, melawan sebagian orang-orang Pajang yang sengaja tidak
dipasang dalam peperangan di Sangkal Putung. Semakin dekat mereka dengan kemah
mereka, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Mereka masih belum melihat
tanda-tanda peperangan di dalam perkemahan itu.
“Aneh,” desis
salah seorang dari mereka.
Sebelum yang
lain menyahut, mereka telah memasuki daerah perkemahan mereka.
“Tidak ada
apa-apa,” gumam yang lain.
“Kita lihat
berkeliling,” berkata yang lain pula.
Mereka segera
berjalan berkeliling. Dilihatnya tempat-tempat penjagaan sudah kosong. Karena
itu mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Ketika mereka sampai di sisi
Utara, barulah mereka melihat kawan-kawannya berkumpul dalam satu lingkaran
perkelahian. Mereka melihat kawan-kawan mereka berkelahi melawan satu orang
saja.
“Gila!” teriak
salah seorang dari mereka.
“Apakah aku
harus nonton permainan yang menggelikan ini.”
Tundun yang
memimpin pertempuran di antara kawan-kawannya itu menjadi marah. Jawabnya
lantang,
“Buka matamu,
jangan mulutmu!”
Keempat
kawannya itu berdiam diri. Sesaat mereka memandangi perkelahian itu. Dilihatnya
beberapa orang kawan-kawannya telah menjadi payah. Bahkan ada yang terluka.
“Bukan main,”
desis salah seorang dari mereka.
“Siapa anak
muda yang gila itu?”
Tiba-tiba
salah seorang yang lain dapat mengenal wajah itu. Jawabnya,
“Anak muda
yang membunuh Plasa Ireng.”
“Pantas ia
berhasil membunuh Plasa Ireng. Tetapi ia kini tak akan lolos lagi.”
Orang itupun
segera berlari menghambur menerjunkan diri ke dalam arena pertempuran. Tetepi
tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia mendengar salah seorang kawannya
berteiak tinggi. Ia melihat sosok tubuh terhuyung-huyung. Untunglah ia cepat
dapat menangkapnya.
“Dadaku,”
kaluh orang itu. Dan dari dadanya mengalir darah dengan derasnya.
Karena itu ia
tidak segera dapat bertempur. Dipapahnya orang itu menepi dan diserahkannya
kepada dua orang dapur yang berdiri terpaku di sisi pertempuran itu. Namun
ketiga kawan-kawannya yang lain telah meloncat pula mendahuluinya memasuki
arena.
Sidanti yang
melihat kedadiran keempat orang baru itu menjadi semakin marah. Dengan sekuat
tenaga ia berhasil mengurangi satu lawan. Namun yang empat itu pasti lebih baik
dari yang seorang yang terlempar dari perkelahian itu.
“Kalian
benar-benar jemu hidup,” teriak Sidanti.
“Ternyata
kalian tidak mau mendengar permintaanku. Karena itu, aku tidak akan dapat
menahan ujung senjataku.”
“Persetan
dengan kesombonganmu. Ternyata kau tidak akan dapat keluar dari perkemahan ini,
sehingga kau akan berkubur di sini,” sahut Tundun. Namun suaranya itu disaut
oleh sebuah teriakan. Satu lagi kawannya terluka. Telinganya tergores pedang
Sidanti, sehingga hampir putus. Tetapi dengan demikian yang akan dapat terjadi.
Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah
menumpahkan segenap kamampuan yang ada pada diri mereka. Sidanti yang hanya
seorang itupun, tenpaksa memeras kesaktiannya. Untunglah ia murid Ki Tambak
Wedi yang namanya menakutkan setiap orang yang mendengarnya. Namun melawan
sekian banyak orang, maka akhirnya ia mendapat kesulitan juga. Bahkan nyawanya
kini terancam. Tetapi perkelahian itu tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah teriakan
nyaring. Teriakan itu demikian kerasnya, sehingga hampir-hampir memecahkan
telinga mereka. Meskipun mereka sedang bertempur dengan dahsyatnya, namun suara
itu dapat menembus ke dada mereka.
“Berhenti,
berhenti!” berkata suara itu melengking-lengking.
Semua orang di
dalam arena berloncatan mundur. Ketika mereka berpaling, mereka melihat seorang
tua dengan wajah yang tegang, dan mata yang tajam memandangi mereka satu per
satu. Dada para prajurit Jipang berdesir melihat orang itu. Tatapan matanya
terasa terlalu dalam menghunjam ke dalam dada mereka. Meskipun mata itu tidak
seliar mata Sidanti, namun sinar matanya memancarkan nada serupa. Tetapi orang
itu ternyata kemudian tersenyum. Dipandanginya Sidanti sambil berkata,
“Jangan
bersungguh-sungguh Sidanti. Bukankah kita tidak akan menyakiti hati mereka.”
Sidanti
menggigit bibirnya.
“Kau telah
melukai beberapa orang di antaranya.”
“Mereka
benar-benar ingin membunuhku,” sahut Sidanti.
Para prajurit
Jipang masih saja mematung. Mereka belum pernah melihat orang tua itu. Mereka
menjadi semakin heran ketika orang tua itu berkata kepada mereka,
“Maafkanlah
muridku ini.”
Tak seorangpun
yang segera menjawab. Mereka masih berdiri kaku di tempatnya, dengan
senjata-senjata mereka siap di tangan.
“Kalian heran
melihat kehadiranku? Mungkin kalian belum mengenal aku. Aku adalah Ki Tambak
Wedi.”
Kembali dada
prajurit-prajurit Jipang berdesir. Ternyata orang inilah yang bernama Tambak
Wedi. Orang yang namanya menghantui seluruh lereng Gunung Merapi. Kini orang
itu berada di hadapan mereka dengan muridnya yang bernama Sidanti.
“Aku minta
maaf,” berkata Tambak Wedi itu pula.
“Maksud kedatangan
kami semula adalah baik. Kami ingin mengetahui keadaan kalian di sini.”
Yang menjadi
pimpinan pasukan pengawal itu adalah Tundun. Karena itu, maka ialah yang
menjawab,
“Kiai, kami
minta maaf atas kelancangan kami. Kami terpaksa melakukan perlawanan karena
tugas-tugas kami.”
“Bagus,”
potong Ki Tambak Wedi.
“Kalian adalah
prajurit. Jadi kalian harus melakukan kewajiban kalian.”
Jawaban itu
benar-benar tidak disangka-sangka oleh Tundun. Dan justru karena itu ia menjadi
bingung, sehingga ia tidak tahu, apalagi yang akan dikatakannya. Yang berkata
kemudian adalah Ki Tambak Wedi.
“Kisanak.
Kedatangan kami sama sekali tidak bermaksud untuk menyakiti hati kalian. Kami
hanya ingin sekedar memperkenalkan diri kami. Aku dan muridku. Apakah kalian
bersedia menerima salam perkenalan ini?”
Tundun menjadi
semakin bingung. Ia tidak tahu maksud Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka ia masih
saja berdiam diri tegak seperti tonggak. Ki Tambak Wedi yang melihat para
prajurit Jipang itu tertawa. Katanya,
“Kenapa kalian
menjadi seperti orang kehilangan ingatan? Percayalah, aku tidak akan berbuat
apa-apa. Mungkin muridku telah terlanjur melukai beberapa orang di antara
kalian, tetapi itu hanya karena umurnya yang masih muda sehingga ia tidak mudah
untuk mengendalikan dirinya. Meskipun maksudnya memang ingin mencoba
bermain-main dengan kalian, tetapi tidak untuk melukai apalagi membunuh.”
Tundun dan
kawan-kawannya semakin tidak mengerti maksud kata-kata itu. Dengan demikian
mereka masih saja berdiri membisu.
Karena tidak
seoragpun menyahut, Tamak Wedi itu berkata terus.
“Maksud
muridku memang ingin berkelahi untuk sekedar memperkenalkan diri. Maksudnya
akan memberitahukan kepada kalian bahwa Tohpati sama sekali bukan manusia yang
aneh. Bukan manusia yang melampaui batas kemampuan manusia yang lain. Sekarang
kalian telah melihat muridku dan mengalami perkelahian. Sudah tentu kalian akan
dapat menilai, manakah yang lebih sakti. Macan Kepatihan atau Sidanti.”
Debar di dada
prajurit Jipang itu menjadi semakin deras. Apalagi ketika terdengar Tambak Wedi
berkata,
“Itupun aku
masih menganggap bahwa Sidanti masih harus berjuang membentuk dirinya
mempelajari ilmuku untuk menjadi sempurna.”
“Muridnya
telah mampu berbuat sedemikian,” pikir para prajurit itu,
“apalagi
gurunya.”
“Nah bagaimana
menurut penilaian kalian? Apakah Sidanti sudah sama dengan Macan Kepatihan?”
Tak seorangpun
yang menjawab pertanyaan itu.
“Bagus, kalian
pasti tidak akan dapat menjawabnya. Tetapi biarlah kami memberikan
pertanyaan-pertanyaan yang lain. Apakah kalian masih tetap ingin berjuang
bersama-sama Macan Kepatihan?”
Masih tidak
menjawab.
“Tentu, kalian
tentu tidak akan menjawab. Tetapi ketahuilah,” berkata Ki Tambak Wedi
seterusnya,
“bahwa kami
pernah datang kepada Tohpati. Kami ingin berbuat baik kepadanya. Kami menawarkan
jasa-jasa kami dan tenaga kami untuk kemenangannya. Tetapi maksud kami itu
ditolaknya. Sayang.”
Mendengar
keterangan itu Tundun mengerutkan keningnya. Sejak semula ia sudah
menanyakannya kepada Sidanti kemungkinan itu, tetapi Sidanti malah menghinanya,
menghina pasukan Jipang itu seluruhnya. Tambak Wedi melihat perasaan yang
bergerak di dalam hati Tundun. Maka segera ia berkata, “Aku mendengar
pertanyaanmu di permulaan perkenalanmu dengan muridku. Dan muridku sengaja
menghinamu, untuk membangkitkan kemarahanmu, supaya muridku dapat bermain-main
dengan kau. He, apakah kau pemimpin pasukan pengawal ini?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar