“Apakah hanya ada lima orang pemimpin kelompok yang berada di tempat ini?”
“Ya kakang.
Pemimpin kelompok dari kelompok lima, tujuh dan sembilan tidak datang, sedang
pemimpin kelompok delapan sedang bertugas di gardu selatan”
“Besok kalian
berada langsung di bawah pimpinan ayah sendiri. Aku mempunyai tugas khusus
bersama kakang Agung Sedayu. Satu kelompok laskar Pajang ada di antara kalian.
Ingat, bahwa satu kelompok laskar Pajang, meskipun jumlahnya hampir sama dengan
kelompok-kelompokmu, namun mereka sudah terlatih baik dan penuh pengalaman.
Kalian berada di bawah tuntunan mereka bersama beberapa orang Sangkal Putung
sendiri bekas prajurit yang akan ikut serta dengan kalian dalam
kelompok-kelompok yang telah ditentukan”
“Baik kakang”
jawab mereka hampir bersamaan.
Swandaru
menjadi bangga akan kesediaan anak-anak Sangkal Putung menghadapi bahaya.
Mereka benar-benar telah siap lahir batin untuk membela tanah yang digarapnya
setiap hari, tanah sumber hidupnya, kampung halaman.
“Bagus” sahut
Swandaru,
“Kalau
demikian, kalian harus segera berbuat sesuatu. Waktumu terbatas sekali. Siapkan
beberapa anak muda untuk membantu Jagabaya. Serahkan beberapa orang dari
kelompok tiga. Mereka harus membantu menyelenggarakan pengungsian dan kemudian
mengadakan pengawalan atas kademangan. Hubungi pimpinan kelompok orang-orang
yang sudah setengah umur. Mereka pun harus membantu penyelenggaraan pengungsian
dan pengawalan atas kademangan. Tetapi separo dari mereka yang masih sanggup
ikut pula besok pagi-pagi menyongsong musuh, kalian harus bersiap di halaman
banjar desa. Tidak akan ada tanda bahaya dibunyikan. Satu-satunya tanda justru
kentong dara muluk menjelang terang tanah. Atau kalau perlu dipercepat. Ingat,
dara muluk”
Kelima anak
muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sudah dapat membayangkan apa
yang harus mereka lakukan bersama ayah-ayah mereka, paman-paman mereka, dan
bahkan kakek-kakek mereka. Setiap laki-laki di Sangkal Putung. Setiap kelompok
mempunyai tugasnya masing-masing. Kelompok anak-anak muda, kelompok orang-orang
yang lebih tua dan kelompok orang-orang setengah umur yang masih sanggup
menggenggam senjata. Bahkan anak-anak tanggung pun akan diikut-sertakan dalam
kesempatan yang sesuai dengan hasrat yang menyala di dalam dada mereka. Ketika
semuanya sudah menjadi jelas, maka berkata Agung Sedayu,
“Jangan
kecewakan Tima yang telah terlanjur menyediakan suguhan buat kalian. Tetapi
usahakan dengan bijaksana supaya kerja besok tidak terbengkalai”
“Baik kakang”
jawab salah seorang dari mereka,
“Aku akan
berusaha mempercepat hidangan itu. Sesudah itu, kami akan bekerja keras”
“Bagus,
cobalah untuk beristirahat. Jangan kau peras habis tenagamu malam ini” sambung
Agung Sedayu.
“Baik”
“Kalau
demikian, kembalilah ke pendapa. Pakaian kalian pun telah basah pula”
“Tidak apa.
Kami hanya tinggal sebentar duduk di antara mereka”
Setelah
semuanya menjadi semakin jelas, maka Swandaru dan Agung Sedayu pun segera
berlari kembali ke pendapa bersama kelima anak-anak muda pemimpin kelompok itu.
Ditangga pendapat Agung Sedayu dan Swandaru segera minta diri kepada Tima yang
berdiri dengan mulut ternganga. Ia sama sekali tidak tahu apa yang sedang
dilakukan oleh Agung Sedayu dan Agung Sedayu. Sehingga terloncat dari mulutnya,
“Lalu apakah yang kalian kehendaki datang dalam pakaian yang basah kuyup tanpa
baju, kemudian pergi sebelum aku memberikan apa-apa?”
Swandaru
tertawa,
“Nanti aku
datang kembali”
Tima tidak
sempat berkata apa pun lagi. Mereka yang di pendapa hanya sempat melihat
Swandaru dan Agung Sedayu meloncat kedalam hujan yang lebat dan hilang ditelan
oleh kegelapan. Tima masih berdiri di atas tangga pendapa rumahnya. Ia merasa
aneh atas sikap Swandaru itu. Namun telah terasa pula di dalam hatinya, bahkan
setiap orang dan anak muda yang duduk di pendapa itu, bahwa sesuatu yang
penting telah terjadi. Segera mereka menghubungkan perintah kesiapsiagaan yang
meningkat akhir-akhir ini. Latihan-latihan yang lebih berat, dan kewaspadaan
yang semakin tajam. Kini yang menjadi pusat perhatian mereka adalah kelima
anak-anak muda yang masih berdiri di tangga pendapa. Meskipun pakaian mereka
basah juga, namun mereka masih sempat naik ke pendapa dan duduk kembali di
tempat masing-masing.
Tima yang
tidak sabar segera bertanya kepada salah seorang dari mereka,
“Apakah yang
penting?”
Yang ditanya
menggeleng,
“Tidak ada”
“Kau menyimpan
rahasia itu?” bertanya anak muda yang lain.
“Tidak.
Swandaru hanya datang untuk mempercepat nasi megana yang telah dipersiapkan
supaya tidak menjadi terlalu dingin”
Tima segera
mengerti. Kini ia yakin, bahwa pertemuan itu telah dikejar waktu. Ada sesuatu
yang penting akan terjadi. Demikian juga orang-orang lain di pendapa itu.
Sehingga karena itu maka Tima berkata,
“Baik. Aku
akan percepat gelombang hidangan yang telah kami siapkan. Bukankah kalian ditunggu
oleh tugas-tugas yang penting ?”
Kelima orang
anak muda itu tersenyum. Dan senyumnya itu telah membenarkan ucapan Tima yang
segera bergegas ke belakang.
Pertemuan itu
cepat selesai jauh sebelum waktu yang ditentukan. Kelima anak-anak muda
pemimpin kelompok segera memanfaatkan pertemuan itu. Sehingga sejenak kemudian,
beberapa anak-anak muda segera berlari-larian berpencaran dari rumah Tima untuk
melakukan pekerjaan masing-masing.
Sebenarnyalah
Sangkal Putung di dalam malam yang kelam, dibawah cucuran hujan yang lebat itu,
telah terbangun karena sebuah kejutan yang menegangkan. Hilir mudik anak-anak
muda dan orang-orang yang bertugas menyelenggarakan penyingkiran perempuan dan
anak-anak, masuk keluar pintu-pintu rumah, mengetuk pintu-pintu yang masih
tertutup dan memberitahukan kepada mereka untuk mengamankan diri mereka bersama
anak-anak mereka. Rakyat Sangkal Putung benar-benar dicengkam oleh kecemasan.
Cemas akan datangnya malapetaka besok, dan cemas akan hujan angin yang kencang.
Namun mereka terpaksa meninggalkan rumah-rumah mereka, membawa barang-barang
mereka yang paling berharga. Dibawah payung-payung belarak dan daun-daun
pisang, mereka berbondong-bondong pergi ke kademangan mengamankan diri dan
barang-barabg mereka. Tangis anak-anak kecil telah memecahkan kesepian
kademangan itu. Obor-obor blarak berlarian di dalam kelamnya malam. Namun
sebagian dari obor-obor itu terbunuh oleh hujan yang masih saja tercurah dari
langit. Tetapi pengungsian berjalan terus. Laskar Pajang yang berada di kademangan
telah menyingkirkan diri mereka sendiri dari pendapa. Mereka betebaran di
gandok dan di setiap sudut rumah itu untuk memberi tempat kepada para perempuan
dan anak-anak yang segera akan memenuhi pendapa itu.
Pendapa
Kademangan Sangkal Putung itu segera menjadi hiruk pikuk. Rengek anak-anak di
antara tangis bayi. Sedangkan beberapa orang perempuan menjadi gemetar
ketakutan. Tetapi mereka menjadi agak tentram ketika mereka melihat beberapa
orang laki-laki, suami-suami mereka, anak-anak mereka, dan saudara-saudara
mereka telah siap dengan senjata di tangan mereka. Apalagi ketika mereka
melihat beberapa orang prajurit Pajang yang hilir mudik di antara mereka.
Seolah-olah mereka berada di dalam pelukan tangan-tangan yang akan sanggup
melindunginya. Ternyata waktu merayap terlampau cepat. Prajurit-prajurit Pajang
dan laki-laki Sangkal Putung yang besok harus maju berperang, sama sekali tidak
mendapat kesempatan untuk beristirahat. Karena itu maka Untara segera mengambil
kebijaksanaan lain. Setiap orang yang besok akan ikut serta dalam perlawanan
terhadap laskar Jipang langsung digaris peperangan harus meninggalkan
kademangan dan pergi ke banjar desa. Maka sesaat kemudian seperti banjir yang
mengalir mereka meninggalkan halaman kademangan. Dan sesaat kemudian laki-laki
di halaman kademangan itu, menjadi semakin susut, tetapi sebaliknya perempuan
dan anak-anak menjadi bertambah-tambah.
Yang tinggal
di halaman itu, selain para pengungsi, tinggallah beberapa orang laki-laki dan
para pemuda yang bertugas mengawal mereka. Tetapi di samping mereka, hampir
setiap laki-laki yang seharusnya tidak turut dalam setiap persiapan karena
umur-umur mereka yang telah lanjut, ternyata tidak mau ketinggalan pula.
Meskipun mereka telah dibebaskan dari kewajiban itu, namun mereka tidak dapat
tinggal diam. Seorang yang berambut putih seperti kapas berkata kepada temannya
yang berdiri di sampingnya, diteritisan kademangan itu,
“Hem. Kenapa
aku tidak diikutsertakan dalam barisan yang besok akan menyongsong lawan itu?”
Temannya yang
sudah tidak bergigi satu pun menjawab,
“Aku juga
menyesal. Kemarin aku sudah berkata apabila ada bahaya datang setiap saat, aku
sanggup untuk maju ke garis perang terdepan. Tetapi Ki Jagabaya tertawa sambil
menunjuk gigiku yang telah habis ini,
“Gigimu telah
habis Kek”
Aku menjawab,
“Bukankah aku
tidak akan menggigit musuh-musuhku? Tetapi tanganku masih kuat mengayunkan
pedang. Jagabaya itu tidak percaya. Aku telah memberinya bukti. Dengan sebuah
kapak, aku membelah sepotong balok di halaman rumah Ki Jagabaya. Tetapi Ki
Jagabaya masih juga tertawa sambil menjawab, ‘Balok itu tak dapat bergerak kek.
Kalau lawanmu itu mampu menghindar dan menjauh, kau akan kehabisan nafas untuk
mengejarnya’. Terlalu, terlalu Ki Jagabaya itu. Meskipun demikian aku sekarang
membawa kapakku itu. Aku akan membuktikan bahwa aku masih mampu membelah kepala
musuh-musuhku”
Temannya yang
berambut putih kapas mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku pun masih
dapat memanjat pohon kelapa di halaman rumahku. Kau tahu, di rumahku ada duapuluh
lima pohon kelapa. Aku memanjatnya berganti-ganti tanpa istirahat”
Temannya yang
tak bergigi mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Jawabnya,
“Itulah.
Mereka menyangka kita sudah pikun. Nanti, apabila orang-orang Jipang itu ada
yang merembes sampai kehalaman ini, akan aku buktikan kemampuanku”
Mereka
kemudian berdiam diri. Dengan tajamnya mereka mengamati beberapa orang prajurit
Pajang yang masih bertugas ditegol halaman itu. Di teritisan yang lain mereka
melihat anak-anak muda yang telah bersiaga penuh. Sebagian dari mereka menyeret
pedang di lambung mereka, dan sebagian lagi memandi tombak di pundak mereka. Kedua
orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka berbangga di dalam hati
mereka. Tetapi mereka lebih berbangga hati lagi, ketika mereka melihat
orang-orang tua sebaya dengan mereka, membawa senjata-senjata pula di
tangannya. Seorang yang duduk ditepi pendapa, meskipun hampir seluruh kulitnya
telah berkeriput, namun tangannya masih juga menggenggam sebilah pedang
karatan. Pedang yang agaknya tidak pernah disentuhnya selama ini. Namun justru
pedang-pedang yang karatan itu merupakan senjata yang berbahaya. Luka yang
ditimbulkannya dapat menjadikan penderitanya bengkak dan keracunan. Seorang
yang lain sibuk membelai cucunya yang menangis. Ibu anak itu sedang menyusui
bayinya yang menangis pula. Tetapi anak yang menangis dipangkuan kakeknya itu
masih sempat mempermainkan hulu keris kakeknya.
“Jangan
dicabut ngger” desis kakeknya. Tetapi cucunya melengking-lengking ingin melihat
benda itu.
“Hem” desis
kakeknya.
“Mintalah yang
lain”
Cucunya
terdiam ketika seorang perempuan yang lain memberinya sepotong jenang alot
kepadanya.
Pendapa,
pringgitan, bahkan ruangan dalam dan gandok kademangan itu benar-benar telah
penuh sesak. Tak ada setapak tempat pun yang masih kosong. Anak panah yang
malang mujur terbaring, dan ibu-ibu mereka yang duduk bersimpuh di antara
mereka. Mereka sama sekali tidak memperhatikan lagi pakaian mereka yang basah
kuyup. Sedang di bawah pendapa itu, diteritisan gandok dan di belakang kademangan,
sebagian anak-anak muda berdiri berjajar-jajar dengan sebagian laki-laki
Sangkal Putung dalam kesiagaan. Hujan yang lebat terasa menjengkelkan selaki.
Tetapi mereka sama sekali tidak kehilangan kewaspadaan. Setiap saat
tangan-tangan mereka siap mengangkat senjata mereka. Sedang di regol halaman
beberapa prajurit Pajang pun selalu berada dalam kesiagaan penuh. Prajurit-prajurit
yang lain, laki-laki Sangkal Putung dan anak-anak muda mereka, yang besok
mendapat tugas menyongsong musuh, berjalan dalam iring-iringan kebanjar desa.
Beberapa orang di antara mereka terutama anak-anak mudanya, berjalan langsung
menuju kebanjar itu dari rumah masing-masing. Sedangkan ayah-ayah mereka
terpaksa mengantar istri-istri mereka, dan anak-anak mereka yang masih kecil
lebih dahulu kekademangan. Banjar desa dan lapangan dimukanya telah menjadi
pusat persiapan untuk menghadapi lawan-lawan mereka besok.
Semakin jauh
malam memanjat kepuncaknya, maka Sangkal Putung menjadi semakin sibuk.
Persiapan-persiapan menjadi semakin ketat, dan setiap dada menjadi semakin
berdebar-debar. Bagi laskar Sangkal Putung, adalah untuk pertama kalinya mereka
akan menghadapi lawan-lawan mereka dengan gelar yang sempurna. Namun Widura
berkata kepada mereka,
“Apa yang akan
kalian alami tidak akan jauh berbeda dari setiap pertempuran yang pernah
terjadi. Kalian hanya lebih terikat pada kerjasama dalam gelar yang telah
ditentukan. Namun untuk selanjutnya apabila kalian selalu ingat kepada segala
petunjuk yang pernah diberikan kepada kalian, maka kalian tidak akan menemui
kesulitan apa-apa. Satu kelompok prajurit Pajang akan menuntun kalian, apa yang
harus kalian lakukan”
Laskar Sangkal
Putung itu menjadi berbesar hati. Tetapi mereka tidak cukup terlatih seperti
prajurit Pajang dan para prajurit Jipang yang mampu bertempur sehari penuh.
Mulai pada saat matahari terbit, dan baru berhenti pada saat matahari terbenam.
Mereka telah cukup dapat mengatur diri mereka untuk menyesuaikan dengan keadaan
itu. Sedangkan laskar Sangkal Putung masih belum pernah melakukannya.
Peperangan yang pernah terjadi tidak sampai melampaui tengah hari. Dan
pertemuran malam pun tidak sampai separo malam. Kini apabila kedua pihak telah
bertekad untuk melakukan peperangan dalam tingkat terakhir maka mereka harus
berani menghadapi kemungkinan itu.
Untuk
menghadapi keadaan ini Untara dan Widura mempunyai cara mengatasinya.
“Kita harus
menyediakan tenaga cadangan” berkata Untara
“Ya” Widura
membenarkan,
“Sebagian dari
mereka harus tetap segar. Kalau kawan-kawan mereka sesudah tengah hari akan
mengalami kekendoran dan kelelahan, maka mereka harus turun ke garis perang.
Bukankah begitu?”
“Ya paman”
jawab Untara, “Aku kira jumlah kita bersama dengan laskar Sangkal Putung
melampaui jumlah prajurit Jipang. Karena itu maka kita akan dapat menyimpan
tenaga cadangan di samping mereka yang bertugas di kademangan dan di
gardu-gardu. Apabila kita ternyata terdesak oleh kekuatan mereka, maka sebagian
laskar cadangan itu dapat kita turunkan kemedan, berangsur-angsur. Dan apabila
perlu, maka sebagaimana peronda di gardu-gardu dapat ditarik seluruhnya. Di
gardu-gardu itu kita tempatkan dua orang pengawas saja, yang apabila keadaan
memaksa mereka hanya bertugas untuk melaporkan keadaan”
“Ya, semua
tenaga dapat penyaluran sewajarnya menurut keadaan dan kekuatan lawan. Pengawal
di kademangan pun kalau perlu dapat dikurangi” sahut Widura.
Kesepakatan
pendapat itulah yang kemudian mereka pergunakan untuk mengatur laskar Sangkal
Putung dan prajurit Pajang. Sekali lagi segenap pemimpin kelompok bertemu. Dan
sekali lagi Untara memberi penjelasan, apa yang harus dilakukan dan apa yang
harus diperhatikan.
Setelah itu
maka segala persiapan telah selesai. Saat yang pendek itu dapat mereka
pergunakan untuk beristirahat. Beberapa orang di belakang merebus air sambil
menghangatkan tubuhnya. Sedang beberapa orang yang masih sakit, yang di
tempatkan di banjar desa itu menjadi kecewa, bahwa mereka tidak dapat ikut
serta kali ini menyongsong pula kedatangan Macan Kepatihan. Ketika malam telah
melampaui pusatnya, maka Untara telah mengirim dua orang berkuda untuk
menghubungi para pengawas di gardu terdepan. Namun mereka belum melihat sesuatu
dan bahkan para pengawas yang langsung berada dilingkungan lawan pun belum
memberikan laporan apa-apa. Tetapi Untara dan Widura idak melemahkan kesiagaan.
Mereka tetap dalam kesiapan. Setiap saat laskar di banjar desa itu dapat
digerakkan. Namun demikian, masih ada yang selalu membayangi perasaan Untara,
Widura dan bahkan beberapa orang Sangkal Putung yang lain. Ki Tanu Metir masih
belum tampak di antara mereka. Sehingga semakin dekat fajar menyingsing,
harapan mereka untuk mengikutsertakan Ki Tanu Metir menjadi semakin tipis. Apalagi
ketika kemudian telah datang beberapa orang dari kademangan membawa makan pagi
bagi laskar Sangkal Putung dan prajurit Pajang di banjar desa itu. Maka mereka
tidak akan memerhitungkan kekuatan Ki Tanu Metir lagi. Kepada laskarnya Widura
berkata,
“Makanlah.
Makanlah sekenyang-kenyangnya. Mungkin sehari nanti kalian tidak mendapat
kesempatan untuk makan. Apalagi makan, minum pun belum tentu. Apabila kekuatan
kita melampaui kekuatan lawan atau sebaliknya, maka pertempuran itu akan lekas
selesai. Kalian akan menang atau akan kalah. Tetapi kalau kekuatan kita
seimbang, maka belum mengalami kekalahan salah satu pihak harus berjuang dahulu
sehari penuh. Nah, mudah-mudahan kekalahan itu tidak di pihak kita. Makanlah
dan kemudian siapkan dirimu. Kalian besok harus berusaha sekuat-kuat tenagamu.
Tetapi kalian tidak boleh melupakan, bahwa segala sesuatu tergantung kepada
Yang Maha Pengasih. Karena itu berdoalah, semoga kalian dapat menyelesaikan
tugas-tugas kalian”
Sejenak
kemudian mereka telah tenggelam dalam kesibukan menyuapi mulut-mulut mereka.
Citra Gati yang duduk didekat Sendawa berguman,
“Alangkah
nikmatya makan pagi kali ini”
“Hus” desis
Sendawa,
“Apakah
makanan ini merupakan makanan terakhir yang dapat kau makan?”
“Jangan berkata
begitu” sahut Citra Gati,
“Tetapi
masakan kali ini memang lain daripada yang lain. Mungkin juga nasi hangat dan
sambal lombok goreng ini benar-benar sesuai dengan suasanan yang dingin beku
ini”
Keduanya
tertawa. Dan keduanya menyuapi mulut-mulut mereka tanpa henti-hentinya.
Tidak terlalu
jauh dari Sangkal Putung. Di tengah-tengah hutan yang tidak terlalu lebat,
Tohpati duduk termenung membelai tongkat baja putihnya. Ia masih mendengar
hiruk pikuk prajuritnya yang sedang menyusun diri. Berbagai perasaan berkecamuk
di dalam kepala Macan yang garang itu. Baru saja ia menjatuhkan perintah
terakhir. Siap untuk berangkat. Namun demikian, meskipun perintah itu
diucapkannya dengan tegas, tetapi ia tidak dapat mengelabui dirinya sendiri.
Hatinya selama ini selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Peristiwa-peristiwa yang
susul-menyusul di saat-saat terakhir benar-benar sangat mempengaruhinya. Ia
mendengar berbagai tanggapan atas peperangan yang masih saja dilanjutkannya.
Mula-mula ia merasa bahwa ia harus berbangga, ia dapat bertahan sampai sekian
lama sepeninggal Arya Penangsang. Bahkan laskar Jipang yang berserakan masih
juga mengakuinya sebagai pimpinan mereka, sehingga kepadanyalah ketergantungan
itu dipercayakan. Tetapi, Tohpati bukanlah seorang yang berhati batu berjantung
kayu. Setiap kali ia melihat darah menggelimang di ujung tongkatnya, setiap
kali ia melihat mayat terbujur lintang. Bukan saja mayat-mayat prajurit yang
bertempur di medan-medan perang, tetapi ia pernah juga melihat mayat-mayat
perempuan dan anak-anak yang terbunuh dalam kerusuhan-kerusuhan. Bahkan ia
pernah melihat mayat seorang perempuan dan bayinya masih dalam pelukan. Tetapi
mayat itu sudah menjadi arang. Macan Kepatihan itu menarik nafas dalam-dalam.
Tanpa disadarinya diamatinya tangannya. Besar dan kasar. Bulu-bulunya tumbuh
hampir sampai ketelapak tangannya.
“Hem” geram
Macan yang garang itu. Bulu-bulunya serasa tegak berdiri ketika tiba-tiba
dikenangnya bahwa tangan itu pernah menampar pipi seorang perempuan muda.
Demikian kerasnya sehingga perempuan itu pingsan. Dan tiga hari kemudian didengarnya
bahwa perempuan itu mati. Perempuan itu datang kepadanya sambil
mengumpat-umpatinya. Dituding-tudingnya wajahnya sambil mengucapkan sumpah
serapah yang paling menyakitkan hati.
“Tohpati”
berkata perempuan itu,
“Kau bunuh
suamiku itu”
Tohpati
menggeleng-gelengkan kepala. Seakan-akan perempuan itu berdiri di mukanya kini.
Suaminya, yang baru saja mengawininya, terbunuh di medan perang. Dan perempuan
itu menyalahkannya.
“Ketamakanmu
atas kekuasaan telah membunuh suamiku” berkata perempuan itu,
“Kaulah yang
kelak akan menjadi adipati menggantikan Adipati Jipang, tetapi suamiku yang kau
korbankan”
Pada saat itu
Tohpati tidak mau mendengar perempuan itu berteriak-teriak sehingga tanpa
disadarinya, terbakar oleh kemarahan yang memuncak, perempuan itu ditamparnya.
Tetapi sama sekali ia tidak bermaksud membunuhnya.
“Perempuan itu
bukan satu-satunya” desisnya,
“Ada sepuluh,
seratus bahkan ribuan perempuan yang menangisi kematian suaminya. Tetapi
perempuan-perempuan Pajang, perempuan-perempuan Sangkal Putung menangisi
kematian suaminya dengan kebanggan di dalam hati. Meskipun mereka menangis,
tetapi mereka dapat berkata,
“Kematianmu
adalah tawur bagi sawah ladang, kampung halaman. Kematianmu akan dikenang
seumur negeri ini”
Tohpati
mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Sanakeling berteriak memberikan
aba-aba. Sesaat kemudian terdengar suara Alap-alap Jalatunda menyahut, dan
kemudian yang lain-lain pun terdengar meneruskan perintah Sanakeling itu. Tohpati
menarik nafas dalam-dalam. Perintah itu adalah perintah mempersiapkan diri
untuk segera berangkat ke Sangkal Putung. Tetapi Tohpati seakan-akan masih saja
terpaku diambennya. Ia masih duduk termenung sambil membelai tongkat berkepala
tengkorak kuningnya. Ia masih tenggelam dalam seribu macam kenangan. Bahkan sejak
ia menjadi prajurit dalam kadipaten Jipang. Pada masa Demak masih mengumandang
namanya, kemudian datanglah bencana itu. Perang saudara antara Jipang dan
Pajang ketika tahta Demak kosong sepeninggal Sultan Trenggana yang gugur. Dan
kini ia tinggal di dalam barak ilalang dengan orang-orang sekasar Sanakeling,
selicik Alap-alap Jalatunda dan setamak dirinya sendiri. Kembali Tohpati
terkejut ketika ia mendengar seseorang memasuki gubug itu. Ketika ia berpaling
dilihatnya Sanakeling berdiri di ambang pintu dengan wajah berseri-seri.
“Semuanya
sudah siap kakang Tohpati. Kita menunggu perintah untuk berangkat”
Tohpati pun
kemudian tegak berdiri. Sekali ia menarik nafas pula sedalam-dalamnya. Kemudian
terdengar ia menggertakkan giginya. Ia ingin menindas setiap perasaan yang
dapat mengganggunya. Karena itu sebelum ia bertempur melawan orang-orang Pajang
dan Sangkal Putung, ia harus memenangkan perasaannya lebih dahulu. Tetapi
alangkah sulitnya. Ia tidak dapat mempergunakan senjatanya yang mengerikan itu
dalam pertempurannya melawan perasaanya sendiri. Namun tiba-tiba Tohpati itu
berteriak keras-keras sehingga Sanakeling terkejut,
“Siapkan
mereka!. Aku segera akan datang!”
“Baik kakang!”
sahut Sanakeling yang tiba-tiba berteriak pula tanpa disengajanya.
Ketika Sanakeling
kemudian lenyap di dalam kelam di luar barak itu, maka Tohpati pun kemudian
melangkah perlahan-lahan. Sampai di ambang pintu ia berhenti sesaat. Ia tidak
tahu kenapa ia berpaling. Kenapa tiba-tiba ia ingin memandangi segenap isi
ruangan itu. Lampu minyak. Tiang-tiang bambu. Sebuah gelodog bambu di sudut dan
sebuah gendi di atasnya. Amben bambu tempatnya berbaring tidur. Itu saja.
Baru Tohpati
itu melangkah keluar.
Hatinya
berdesir ketika di dalam cahaya obor ia melihat berbagai macam umbul-umbul, rontek
dan tunggul-tunggul. Terasa sesuatu yang aneh merayap di dalam hatinya. Ia sama
sekali tidak memerintahkan untuk membawa segala perlengkapan upacara perang
itu. Tetapi agaknya perintahnya untuk membuat gelar yang sempurna telah
menumbuhkan perintah pula untuk membawa segala macam tanda-tanda kebesaran
Jipang, meskipun umbul-umbul dan rontek itu sudah menjadi kumal karena tidak
terpelihara. Namun bahwa barang-barang itu dapat di selamatkan telah
membesarkan hatinya pula.
“Itu adalah
jasa paman Sumangkar” gumamnya di dalam hati.
Sementara itu
Tohpati diam mematung. Diamat-amatinya seluruh pasukannya yang telah siap
menunggu perintahnya. Tiba-tiba hatinya merasa tersentuh oleh kesetiaan
laskarnya itu. Meskipun keadaan mereka telah jauh terperosok dalam kesulitan
yang sangat, namun dibawah panji-panji kebesaran Jipang, terasa seakan-akan ia
benar masih seorang senapati perang yang berwibawa. Sebenarnya bahwa Macan
Kepatihan itu masih memiliki kewibawaan di antara anak buahnya, sehingga apa
pun yang diperintahkannya akan dilakukan. Dan kali ini pasukan itu menunggu
untuk berangkat menggempur laskar Sangkal Putung yang dipimpin oleh seorang
senapati muda bernama Untara. Di muka pasukannya itu telah berdiri Sanakeling.
Di lambung kirinya tergantung sebilah pedang dalam wrangka putih mengkilat, dan
di lambung kanannya, pada ikat pinggangnya tergantung sebuah bindi dari kayu
berlian berlapis besi berjalur-jalur. Bindi itu di tangan kiri Sanakeling
kadang-kadang dipakainya sebagai perisai untuk menangkis serangan lawan namun
apabila bindi itu menyentuh tubuh lawannya, maka akibatnya tidak kalah
berbahaya dari pedang di tangan kanannya. Agak jauh di belakang dilihatnya
belahan pasukannya dibawah pimpinan seorang anak muda yang bermata tajam
setajam mata burung alap-alap. Sebenarnya anak muda itu berbangga apabila orang
menyebutnya Alap-alap Jalatunda. Dengan penuh dendam ia mengharap dapat bertemu
lagi dengan Agung Sedayu. Kali ini ia mengharap bahwa ia akan dapat menebus
kekalahannya. Setelah dengan tekun ia melatih dirinya sendiri hampir siang dan
malam, maka sudah tentu ia memiliki kemampuan yang bertambah-tambah.
Ketika Tohpati
memandang wajah Sanakeling yang samar-samar diterangi oleh cahaya obor yang
kemerah-merahan, dilihatnya wajah yang keras kasar itu hampir tidak sabar lagi
menunggu perintahnya. Karena itu maka sambil menganggukkan kepalanya, Tohpati
melambaikan tongkat baja putihnya yang mengerikan itu. Sanakeling tersenyum
melihat lambaian tongkat Macan Kepatihan. Dengan serta-merta ia menarik
pedangnya. Diangkatnya pedangnya itu tinggi-tinggi seolah-olah hendak menusuk
langit. Dan kemudian dari sela-sela bibirnya yang tebal, terdengarlaj ia
meneriakkan aba-aba. Dalam waktu sekejap, hampir setiap pemimpin kelompok telah
mengulangi aba-aba itu. Terdengarlah kemudian seseorang membunyikan sebuah
bende. Suaranya menggema melingkar-lingkar di dalam hutan itu. Ketika
Sanakeling mengangkat tangannya untuk kedua kalinya, maka sekali lagi bende itu
bergema, suaranya memukul-mukul batang-batang kayu dan dedaunan. Hampir setiap
tubuh di dalam pasukan itu bergerak. Tangan-tangan mereka sekali lagi
meraba-raba pakaian mereka, senjata mereka dan perlengkapan-perlengkapan mereka
yang lain. Mereka tidak boleh menjadi korban karena kealpaan mereka atas
persiapan mereka sendiri. Sesaat kemudian Sanakeling mengangkat pedangnya untuk
yang ketiga kalinya. Pedang itu melingkar satu kali, disambut oleh bunyi bende
untuk yang ketiga kalinya. Bunyi itu terasa seakan-akan menyentuh sudut hati
mereka yang berdiri di dalam barisan itu. Sudah lama mereka tidak mendengar
bunyi aba-aba dengan cara yang demikian. Sudah lama mereka hanya mendengar
aba-aba dari pemimpin-pemimpin mereka yang berteriak-teriak tidak menentu.
Kadang-kadang bahkan bunyi aba-aba itu terasa sesuka hati yang mengucapkannya.
Namun kali ini mereka mendengar aba-aba seperti yang selalu didengarnya pada
saat Jipang masih tegak. Pada saat mereka masih bernama seorang prajurit
Wiratamtama Jipang, dibawah pimpinan adipati yang mereka segani, Arya
Penangsang. Seorang adipati muda yang perkasa, dengan seekor kuda bernama Gagak
Rimang dan sebilah keris di tangannya. Keris yang sakti tiada taranya, yang
dinamainya Setan Kober. Sedemikian saktinya keris itu, sehingga orang
menganggapnya, bahwa karena sentuhan keris itu gunung akan runtuh dan lautan
akan menjadi kering.
Meskipun kali
ini mereka tidak bersama dengan adipati itu lagi, namun Macan Kepatihan masih
tetap memberi mereka kebanggaan. Macan Kepatihan yang kali ini tidak berada di
atas punggung kudanya, kuda segagah Gagak Rimang yang dinamainya Maruta. Kuda
yang dapat berlari sekencang angin. Namun meskipun demikian, ketika setiap
orang dalam pasukan itu melihat tongkat putihnya yang berkilat-kilat, maka hati
mereka menjadi bangga. Seolah-olah merekalah yang menggenggam senjata yang
mengerikan itu. Beberapa orang dari mereka tidak dapat melupakan kenyataan,
bahwa Tohpati itu beberapa waktu yang lampau dapat dilukai oleh senapati Pajang
yang di tempatkan di Sangkal Putung, dan bernama Untara. Tetapi mereka
menganggap peristiwa itu sebagai sebuah kecelakaan. Tohpati pasti tidak dapat
dikalahkan oleh siapapun. Mungkin Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, atau Ki Juru
Mertani. Tetapi tidak oleh orang lain. Apalagi Untara. Tohpati pada waktu itu
pasti baru melindungi seseorang atau lebih, sehingga dirinya sendiri
dikorbankannya. Apalagi kini, dibawah umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul
kebesaran Jipang, di belakang senapati mereka, Macan Kepatihan, maka laskar
Jipang itu merasa, bahwa mereka adalah pasukan yang paling kuat yang pernah
terbentuk sejak Jipang runtuh. Demikianlah, maka setelah bende yang ketiga
kalinya itu, pasukan Jipang mulai bergerak dengan sigapnya. Setiap orang di
dalam pasukan itu tampak berwajah cerah, seakan-akan mereka telah menggengam
kemenangan di tangannya. Di bawah cahaya obor-obor yang menyala hampir di
setiap ujung dan pangkal kelompok, pasukan itu bergerak. Mereka tidak takut
lagi apabila lawan-lawan mereka dapat melihat cahaya obor-obor itu dari
kejauhan. Kini mereka datang dengan dada tengadah, tanpa berusaha mencari
kelengahan lawan. Kini mereka datang beradu muka. Mereka datang dalam gelar
yang sempurna. Dari Sanakeling mereka telah mendengar perintah, apabila mereka
telah sampai di daerah yang luas, maka mereka segera akan membuat gelar yang
cukup tanggon, Dirada Meta.
Laskar Jipang
itu kemudian menjalar bagaikan seekor ular raksasa yang merayap di antara
pohon-pohon liar. Seekor ular naga yang bersisik api. Obor-obor di antara
mereka benar-benar seperti sisik yang gemerlapan. Semua orang di dalam pasukan
itu tiba-tiba menengadahkan wajahnya ketika mereka melihat kilat menyambar di
udara. Sekali-sekali mereka mendengar guntur menggelegar di langit. Ketika
mereka memandang ke arah timur, tampaklah langit gelap pekat. Seorang di dalam
barisan itu bergumam lirih,
“Di arah timur
aku kira hujan turun dengan lebatnya”
Kawannya yang
berjalan di sampingnya mengangguk. Sebelum ia menjawab, ditengadahkannya
tangannya, katanya,
“Di sini pun
hujan sebentar lagi akan turun. Lihat, titik-titik air telah satu-satu
berjatuhan”
“Tetapi angin
bertiup ke arah timur. Awan yang basah itu akan dihalau pergi”
Kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Perlahan-lahan
ular raksasa itu maju terus. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan tepi
hutan. Dan sesaat kemudian ujung dari barisan itu telah muncul dari sela-sela
belukar dan batang-batang pohon liar. Kini mereka berjalan di atas padang perdu
yang tidak terlalu luas, diselingi oleh gerumbul-gerumbul dan pepohonan yang
semakin jarang. Macan Kepatihan yang berjalan di ujung pasukan itu berdesir.
Didekat tempat inilah ia bersama Sumangkar bertemu dengan Ki Tambak Wedi dan
Sidanti. Bahkan kemudian datang pula Kiai Gringsing dan kedua orang yang
mungkin sekali adalah murid-muridnya. Macan Kepatihan itu tiba-tiba menundukkan
wajahnya. seolah-olah ia ingin melihat setiap langkah yang dilampaui oleh
kaki-kakinya itu. Dijinjingnya tongkatnya dengan tangan kanannya, terbuai oleh
ayunan lenggangnya. Sekali-sekali tongkat itu tampak gemerlapan karena cahaya
obor yang dipantulkannya.
Agak jauh di
hadapan mereka, dua orang bersembunyi dengan rapatnya di balik dedaunan. Ketika
mereka melihat iring-iringan itu, hati mereka menjadi berdebar-debar. Apalagi
ketika mereka melihat umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul lengkap dibagian
depan pasukan Jipang.
“Gila” desis
salah seorang dari mereka,
“Mereka
benar-benar datang dalam kelengkapan yang sempurna”
Yang lain
tidak menjawab. Ketika mulutnya hampir terbuka, tiba-tiba didengarnya
lamat-lamat suara aba-aba dari laskar Jipang itu. Dengan sigapnya setiap orang
di dalam barisan itu bergerak. Dan terbentuklah gelar Dirada Meta yang
sempurna. Macan Kepatihan, senapati yang disegani itu, berdiri di ujung gelar
itu. Agak jauh di sisinya, kedua senapati pengapitnya, siap membayangi setiap
perkembangan keadaan. Mereka adalah Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda.
Tepatlah tebakan Untara atas gelar yang akan dilakukan oleh Macan Kepatihan
itu. Namun sebaliknya. Macan Kepatihan pun dapat memperhitungkan dengan tepat,
bahwa Pajang akan mempergunakan gelar yang lebih luas. Sesuai dengan keadaan
laskarnya yang bercampur baur dengan laskar Sangkal Putung, maka mereka
memerlukan medan yang lebih lebar, supaya tidak terjadi desak-mendesak diatara
mereka. Laskar Sangkal Putung itu pasti belum mampu untuk menghadapi keadaan
yang serba tiba-tiba seperti lasakar Pajang sendiri. Namun keberanian dan tekad
dari orang-orang Sangkal Putung benar-benar memusingkan kepala Tohpati. Mereka
mengamuk seperti orang mabuk, apalagi di sampingnya selalu dibayangi oleh
kemahiran bertempur orang-orang Pajang, sehingga gabungan di antara mereka,
keberanian, tekad yang meluap-luap dan pengalaman serta kemahiran merupakan
kekuatan yang benar-benar ngedab-edabi.
Kedua orang
yang bersembunyi itu adalah orang-orang Pajang yang dipasang oleh Untara.
Karena itu maka segera mereka menyelinap dan berlari terbongkok-bongkok ke arah
kuda-kuda mereka di dalam semak-semak. Sesaat kemudian mereka itu pun telah
meloncat keatas punggung kuda masing-masing dan dengan hati-hati mereka berusaha
untuk mencari tempat-tempat yang terlindung. Baru setelah agak jauh mereka
memacu kuda-kuda mereka dengan cepatnya menuju ke Sangkal Putung. Tohpati dan
beberapa pemimpin pasukan Jipang melihat kedua orang berkuda itu. Namun mereka
sama sekali tidak berkeberatan seandainya kedatangan mereka kali ini disongsong
oleh laskar Sangkal Putung dan pasukan Pajang. Pasukan Jipang yang terhimpun
dari orang-orang mereka yang betebaran itu merupakan kekuatan yang cukup besar
untuk menggulung Kademangan Sangkal Putung. Kedua pengawas dari Sangkal Putung
itu memacu kudanya seperti angin. Mereka harus segera sampai Sangkal Putung dan
melaporkan apa yang mereka lihat. Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan
Sangkal Putung, terasa titik-titik hujan semakin deras berjatuhan di atas
tubuh-tubuh mereka. Namun ketika kemudian mereka melihat air yang tergenang di
sana-sini, maka gumam salah seorang adri mereka,
“Agaknya hujan
lebat di daerah ini”
Yang lain
menganggukkan kepalanya sambil berkata,
“Ya, lebat
sekali. Bahkan angin pun agaknya terlalu kencang”
Keduanya tidak
berbicara lagi. Kuda mereka berlari semakin kencang. Sekali-sekali menyeberangi
genangan-genangan air di jalan yang mereka lalui. Dan ternyata hujan pun belum
teduh sama sekali, sehingga sebelum mereka memasuki Sangkal Putung mereka telah
menjadi basah kuyup pula. Tetapi hujan sudah jauh berkurang. Air tidak lagi
seakan-akan tertumpah dari langit yang retak.
Kedua ekor
kuda itu berpacu langsung kekademangan. Tetapi mereka menjadi kecewa ketika
para penjaga regol kademangan berkata bahwa Untara telah berangkat ke banjar
desa.
“Hem” desah
salah seorang dari mereka,
“Marilah kita
lekas ke banjar desa itu”
Dan kembali
keduanya berpacu. Derap langkah kuda-kuda mereka itu terdengar memecah kesepian
jalan-jalan di Sangkal Putung. Sekali-sekali genangan air memercik membasahi
kaki penunggang-penunggang kuda itu. Mereka harus segera menemui Untara atau
Widura. Di banjar desa derap kuda itu disambut dengan hati yang berdebar-debar.
Kedua orang itu segera dibawa menghadap Untara dan Widura untuk menyampaikan
laporannya tentang laskar Tohpati itu. Dengan tergesa-gesa kedua orang itu
menceritakan apa yang telah dilihatnya tentang laskar Jipang yang datang
benar-benar dengan gelar dan kelengkapan gelar yang sempurna.
“Hem” Untara
menarik nafas dalam-dalam.
“Mereka
mempergunakan tanda-tanda kebesaran Kadipaten Jipang?”
“Ya tuan”
jawab kedua orang itu.
Untara terdiam
sejenak. Meskipun yang dikatakan oleh kedua pengawasnya itu adalah
barang-barang mati, umbul-umbul, rontek dan sebagainya, namun benda-benda itu
langsung atau tidak langsung akan mempunyai pengaruh pada jiwa setiap orang di
dalam pasukan itu. Tanda-tanda itu akan memberi semangat dan nafsu berjuang.
Tanda-tanda itu dapat memperbesar hati setiap prajuritnya. Tanda-tanda itu
dapat menjadi lambang tekad dari segenap prajurit di dalam barisan itu. Widura
pun agaknya mempunyai pendapat yang sama. Karena itu ketika ia melihat Untara
termenung, maka gumamnya,
“Apa kita juga
memerlukannya, Untara?”
“Ya paman.
Alangkah baiknya kalau kita memiliki benda-benda semacam itu. Kalau tidak, maka
sesaat pasukan kita bertemu dengan pasukan Jipang itu, maka akan terasa
seolah-olah pasukan Jipang itu mempunyai kebesaran melampaui pasukan kita,
sehingga mau tidak mau, perasaan yang demikian akan mempengaruhi setiap
prajurit di dalam pasukan kita. Sedang sebaliknya, pasukan Jipang akan lebih
berbesar hati dengan kebesarannya”
“Lalu apakah
kita akan memasang umbul-umbul?” bertanya Widura.
“Berapa banyak
umbul-umbul yang ada di sini?”
“Terlalu
sedikit. Dan tidak lebih dari tanda-tanda pasukanku. Sama sekali bukan
umbul-umbul kebesaran Pajang, apalagi Demak” sahut Widura,
“Dan itu pun
terlalu kecil hampir tidak akan berarti”
Untara kembali
termenung. Dan tiba-tiba ia berkata,
“Tidak
apa-apa, yang kecil itu akan merupakan panji-panji kebanggaan pasukan paman
Widura. Tetapi adalah paman mempunyai panji-panji Gula Kelapa?”
“Gula Kelapa?
Mengapa?”
“Panji-panji
itu adalah lambang kebesaran Demak. Dan tentu akan merupakan lambang kebesaran
Pajang pula”
“Tentu. Di
dalam pasukanku ada panji-panji itu”
Untara
mengangguk-angguk. Kepada Ki Demang Sangkal Putung ia pun bertanya,
“Ada berapa
panji-panji Gula Kelapa di seluruh Kademangan Sangkal Putung?”
Ki Demang
ragu-ragu sejenak. Dengan ragu-ragu pula ia menjawab,
“Aku tidak
tahu ngger. Apakah di Sangkal Putung ada panji-panji semacam itu”
“Tentu paman”
jawab Untara,
“Bukankah
Sangkal Putung dahulu mengakui kebesaran Demak, kemudian mengakui Pajang dan
bukan Jipang?”
Ki Demang itu
kembali termangu-mangu. Tiba-tiba ia tersentak, seakan-akan sebuah ingatan
telah menyentak kepalanya. Katanya,
“Ya, ya. Aku
ingat sekarang. Di kademangan ini ada sebuah pepunden. Panji-panji Gula Kelapa
yang besar. Panji-panji yang kita namai Kiai Unggul. Tetapi panji-panji itu adalah
pepunden kademangan ini, yang kami keluarkan dari penyimpanan setahun sekali,
setiap bulan pertama untuk dibersihkan”
Untara
mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Itulah. Saat
ini adalah waktunya untuk mengeluarkan Kiai Unggul dari simpanannya”
“Ya, bahkan
ada pula panji-panji yang lain. Milik seorang bekas prajurit Demak. Lengkap
dengan tunggulnya. Panji-panji itu didapatnya pada saat ia ikut berperang
melawan orang-orang Portugis di ujung Melayu bersama pangeran Sabrang Lor”
“Orang itu
sudah tua sekali?”
“Ya,
panji-panji itu dinamainya Kiai Jetayu”
“Nama seekor
burung Garuda” desis Agung Sedayu
“Ya,
panji-panji itu pun cukup besar. Hampir sebesar Kiai Unggul” berkata Ki Demang.
Wajah Untara
menjadi cerah. Tiba-tiba ia berkata lantang,
“Waktu sudah
mendesak. Siapkan pasukan dan siapkan Kiai Tunggul dan Kiai Jetayu”, kemudian
kepada Ki Demang ia berkata,
“Suruhlah
seseorang menjemput kedua panji-panji itu. Berkuda sekarang juga, dan bersama
dengan itu ambillah semua tanda-tanda kebesaran pasukan Pajang di kademangan”
Untara tidak
perlu mengulangi perintahnya. Widura segera berdiri dan berjalan kehalaman.
Kepada bawahannya segera ia memerintahkan untuk menyiapkan pasukan. Sedan
kepada beberapa orang lain diperintahkannya mengambil beberapa tanda kebesaran
di kademangan. Di dalam gelodog, di pringgitan. Sedang beberapa orang yang lain
mendapat perintah dari Ki Demang untuk mengambil panji-panji Kiai Unggul dan
Kiai Jetayu beserta tunggulnya masing-masing. Sesaat kemudian di lapangan di
muka banjar desa itu, pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung telah
mempersiapkan dirinya. Mereka menunggu beberapa orang menyiapkan tanda-tanda
kebesaran mereka. Beberapa buah tunggul dengan ujung berbentuk garuda dan bunga
berdaun lima. Itu adalah tanda kebesaran dari pasukan Widura di Sangkal Putung.
Panji-panji yang besar berwarna emas dengan gambar seekor Garuda yang sedang
mengembangkan sayap-sayapnya. Kemudian beberapa umbul-umbul kecil dan
rontek-rontek yang tidak semegah umbul-umbul pasukan Jipang. Namun ketika kemudian
di ujung pasukan itu berkibar tiga buah panji-panji yang besar berwarna Gula
Kelapa, maka kebesaran pasukan Pajang bersama dengan laskar Sangkal Putung itu
menjadi bercahaya. Ketiga panji-panji itu adalah Kiai Unggul, Kiai Jetayu dan
panji-panji pasukan Widura sendiri. Panji-panji Gula Kelapa dari pasukan
Wiratamtama di bawah kekuasaan Pajang, di samping panji-panji pasukannya. Ketika
pasukan Pajang beserta laskar Sangkal Putung itu melihat ketiga panji-panji
Gula Kelapa di ujung pasukannya maka hati mereka serentak bersorak. Kiai Unggul
bagi rakyat Sangkal Putung mempunyai arti tersendiri. Kiai Jetayu itu pun telah
mereka kenal pula sebagai selembar panji-panji pusaka yang bertuah.
Dari kedua
orang pengawasnya, Untara mengetahui bahwa pasukan Jipang sudah berangkat
menuju ke Sangkal Putung. Karena itu maka ia tidak menunggu lebih lama lagi.
Dipersiapkannya seluruh pasukannya untuk segera berangkat menyongsong pasukan
Jipang. Sesaat kemudian terdengar di pendapa banjar desa itu, kentongan dalam
nada Dara-muluk. Nada yang tidak biasa diperdengarkan dalam keadaan bahaya
seperti saat itu. Namun setiap orang di Sangkal Putung kali ini mengetahui,
bahwa bunyi kentong itu adalah pertanda bahwa pasukan Pajang beserta laskar
Sangkal Putung telah siap untuk berangkat. Beberapa orang yang karena suatu
sebab, belum berada di lapangan itu, segera berlari-lari sambil menjinjing
senjatanya, menuju ke banjar desa. Ketika mereka melihat laskar Sangkal Putung
telah bersiap segera mereka memasuki kelompok masing-masing. Setelah para
pemimpin kelompok menghitung anak buah masing-masing serta segala persiapan
telah lengkap, maka terdengarlah suara Widura memecah gelap malam. Mengumandang
memenuhi lapangan. Aba-aba itu adalah aba-aba yang pertama. Aba-aba yang
disambut dengan debar di setiap dada. Sehingga lapangan itu kemudian terhenyak
kedalam kesepian. Seakan-akan tak seorang pun yang berada di sana. Aba-aba itu
adalah aba-aba yang pertama. Aba-aba yang disambut sesaat kemudian, setelah
Widura yakin bahwa segala sesuatunya telah siap, maka terdengarlah aba-abanya
yang terakhir. Aba-aba itu disambut oleh pemimpin-pemimpin kelompok, yang
mengulanginya dengan cepat seperti apa yang diucapkan oleh Widura. Maka
mulailah pasukan itu bergerak. Seperti pasukan Jipang, maka pasukan Widura ini
pun dilengkapi dengan obor-obor, sehingga lapangan di muka banjar desa itu
menjadi terang benderang.
Hujan kini
sudah tidak lebat lagi. Titik-titik air satu-satu masih berjatuhan. Namun sudah
tidak mampu lagi memadamkan nyala-nyala obor yang seolah-olah melonjak-lonjak
kegirangan. Untara dan Widura berjalan di ujung pasukan itu. Kemudian Agung
Sedayu, Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung. Hudaya dan Sonya masih berada di
dalam kelompoknya masing-masing sebelum mereka kemudian harus mempersiapkan
diri bersama-sama dengan Agung Sedayu dan Swandaru menghadapi kemungkinan yang
paling berat. Melawan seorang yang bernama Sumangkar. Di belakang induk pasukan
berjalanlah sebagian dari laskar Sangkal Putung. Mereka berjalan dengan penuh
semangat. Mereka merasa bahwa di pundak mereka terletak tanggung-jawab atas
Sangkal Putung. Pasukan Pajang yang berada di kademangan itu adalah sekedar
tenaga yang memberi bantuan kepada mereka. Merekalah yang harus melindungi
kademangan itu. Dan merekalah yang harus bertempur mati-matian melawan
orang-orang Jipang. Di belakang laskar Sangkal Putung itu Citra Gati berjalan
sambil menundukkan wajahnya. Ia merasa badannya aneh kali ini. Kepada seseorang
yang berjalan di belakangnya, Citra Gati itu bertanya,
“Kau lihat Hudaya?”
Orang yang mendapat
pertanyaan itu menjawab,
“Kakang Hudaya
masih berada di dalam kelompoknya”
“Panggil ia
sebentar kemari” katanya.
Orang itu pun
segera keluar dari barisannya. Sesaat ia berhenti menunggu Hudaya yang berada
agak jauh di belakang mereka.
Hudaya heran
mendengar bahwa Citra Gati memanggilnya. Karena itu dengan tergesa-gesa ia
berjalan mendahului berisannya kekelompok Citra Gati. Kelompok yang nanti akan
memimpin pasukan Pajang disayap kanan.
Ketika Hudaya
telah berjalan didekat Citra Gati, maka dengan serta-merta ia bertanya,
“Apakah ada
sesuatu yang penting ?”
Citra Gati
berpaling. Dilihatnya Hudaya memandanginya dengan tegang. Citra Gati itu
tersenyum. Ia hanya ingin melepaskan perasaannya yang aneh. Maka katanya,
“Apakah kumis
dan janggutmu sempat kau bersihkan?”
Hudaya
mengerutkan keningnya.
“Belum. Kau
juga belum” jawabnya,
“Biarkan saja
kumis dan janggut itu. Tetapi apakah yang penting?”
Citra Gati menggeleng,
“Tidak ada” jawabnya,
“Aku hanya
merasa sepi. Seakan-akan aku berjalan seorang diri di sayap ini”
“Uh, bukan
main” keluh Hudaya sambil mengerutkan keningnya,
“Aku sangka
ada hal-hal yang sangat penting”
Citra Gati
tersenyum. Tetapi senyumnya tampak hambar. Katanya,
“Jangan marah.
Rambut di wajahmu benar-benar menarik perhatianku. Aku cemas kalau kau tidak
sempat membersihkannya lagi”
Hudayalah yang
kini tersenyum, katanya,
“Aku belum
pernah melihat seseorang yang bernama Sumangkar. Mungkin ia ganas, seganas
Macan Kepatihan. Tetapi mungkin ia lunak, selunak jenang alot”
“Jangan
mengigau” potong Citra Gati,
“Sekarang
kembalilah kekelompokmu”
Hudaya menarik
nafas dalam-dalam. Gumamnya,
“Aku sangka
kau sempat membawa jenang alot itu kakang. Dan kau ingin memberi aku sepotong.
Kalau tahu demikian, aku tidak akan datang”
Citra Gati
tidak menjawab. Sekali lagi ia tersenyum, senyum yang hambar. Hudaya kembali
kekelompoknya. Namun ia merasa aneh. Citra Gati tidak pernah merasakan hal-hal
yang aneh di dalam setiap pertempuran. Ia tidak pernah merasa keganjilan dalam
setiap tugas yang diserahkan kepadanya. Tetapi Hudaya tidak mau dipengaruhi
oleh keadaan itu. Dipusatkannya perhatiannya kepada saat-saat yang akan datang.
Sesaat kemudian mereka telah meninggalkan induk padesan Sangkal Putung. Di hadapan
mereka terbentang beberapa desa kecil. Lepas padesan itu nanti, segera mereka
akan sampai ke tempat terbuka. Tanah persawahan yang menghadap langsung
kepadang rumput dan perdu di pinggir hutan.
Untara segera
memerintahkan untuk mempercepat perjalanan, supaya mereka tidak terlambat.
Apabila laskar Tohpati sudah memasuki padesan Sangkal Putung, maka pertempuran
akan menjadi bertambah sulit. Apabila mungkin maka mereka harus sudah melampaui
tanah-tanah persawahan dan bertempur dipadang rumput. Supaya tanaman mereka
tidak terinjak-injak. Di sepanjang perjalanan itu meskipun Untara, Widura,
Agung Sedayu dan Swandaru seakan-akan telah membulatkan hatinya untuk bertempur
tanpa Kiai Gringsing, namun di sudut hati mereka masih juga menyimpan harapan,
mudah-mudahan Kiai Gringsing tiba-tiba saja muncul di antara mereka. Tetapi
semakin jauh mereka berjalan, harapan itu semakin tipis. Semula mereka masih
juga mengharap, bahwa Kiai Gringsing hanya sedang berteduh karena hujan yang
lebat. Namun setelah hujan menjadi jauh berkurang, dan Kiai Gringsing tidak
juga muncul, maka harapan mereka pun menjadi semakin tipis pula. Dengan langkah
yang tetap setiap orang di dalam pasukan itu berjalan menuju ke ujung
kademangan. Satu dua desa kecil telah mereka lampaui. Dan akhirnya mereka
menembus jalan di tengah-tengah desa terakhir. Semakin dekat mereka dengan
ujung jalan itu, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Demikian mereka
keluar dari mulut lorong itu, demikian dada mereka bergetar. Ternyata agak jauh
di hadapan mereka, mereka melihat sea untaian obor-obor beriringan. Terdengarlah
hampir setiap mulut bergumam,
“Itulah
mereka”
Tanpa
disengaja setiap tangan segera meraba senjata masing-masing. Beberapa bagian
dari mereka, yang bersenjata pasangan pedang dan perisai, segera memasang
perisai-perisai mereka di tangan kiri. Sedang mereka yang bersenjata tombak,
maka tombak-tombak itu sudah tidak mereka panggul di atas pundak mereka. Namun
tombak-tombak itu telah merunduk, seolah-olah mereka tidak sabar lagi untuk
meloncat menerkam dada lawan-lawan mereka. Untara semakin mempercepat
perjalanan itu. Ternyata laskar Jipang telah lebih dahulu sampai dipadang
rumpur. Namun apabila mereka berjalan cepat, maka mereka masih belum terlambat.
Mereka masih akan mencapai sisi padang itu, sebelum laskar Jipang lepas
meninggalkannya. Kening Untara berkerut ketika ia melihat iring-iringan laskar
Jipang itu. Meskipun Untara belum dapat melihat dengan jelas, namun sebagai
seorang prajurit yang berpengalaman ia segera dapat menebak, bahwa laskar Jipang
telah berjalan dalam gelar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar