Jilid 045 Halaman 1


DENGAN darah yang bergelora mereka telah bertekad untuk merebut padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mereka harus merebut kembali pusat pemerintahan yang selama ini telah diduduki oleh Ki Tambak Wedi. Bagaimanapun juga, agaknya tempat itu berpengaruh pula bagi rakyat Menoreh yang berada agak jauh dari padukuhan induk itu. Ki Argapati ternyata benar-benar ingin ikut pula di dalam barisan, meskipun ia harus berada di atas punggung kuda. Pada saat terakhir ia menolak untuk duduk di atas sebuah tandu.
“Aku sudah menjadi semakin baik,” katanya.
“Adalah lebih baik bagiku berada di atas punggung kuda daripada di atas tandu seperti seorang perempuan.”
“Tetapi bagi luka Ayah, aku kira lebih baik Ayah berada di dalam tandu,” berkata Pandan Wangi.
Ki Argapati menggeleng,
“Aku akan duduk di atas punggung kuda. Tetapi aku minta satu dua orang memegang kendali kudaku, supaya aku tidak bernafsu untuk memacunya.”
Gembala tua yang mengobati luka-lukanya pun tidak dapat merubah pendiriannya, sehingga karena itu, maka ia berpesan,
“Tetapi hati-hatilah, Ki Gede. Luka itu pernah kambuh dan bahkan agak parah. Jangan sampai luka itu kambuh kembali. Ki Gede harus selalu ingat akan hal itu.”
“Ya, ya. Aku akan selalu ingat.”
Demikanlah ketika gelap malam mulai meraba Tanah Perdikan Menoreh, maka mulailah ujung dari pasukan Menoreh keluar dari regol induk, didahului oleh beberapa orang petugas sandi yang harus mengamat-amati jalan. Maka merayaplah sebuah pasukan seperti seekor ular raksasa yang keluar dari lubang persembunyiannya, menjalar di sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk.
Setiap hati dari setiap orang yang berada di dalam pasukan itu telah bertekad untuk memilih satu di antara dua. Merebut kembali padukuhan induk itu atau mati di peperangan. Bagi mereka sudah tidak akan ada pilihan lain. Kalau mereka gagal merebut padukuhan induk, maka kekalahan itu akan mencerminkan kehancuran yang bakal mereka alami di saat-saat mendatang. Seandainya mereka terpaksa mundur dan bertahan di belakang pring ori itu pula, maka pada saatnya Ki Tambak Wedi  pun akan menjadikan padukuhan itu perapian raksasa yang akan membakar mereka. Karena itu, maka pertempuran kali ini adalah pertempuran yang menentukan. Kekalahan yang terjadi pasti akan semakin menghapus kepercayaan rakyat Menoreh terhadap kemampuan para pengawalnya. Dengan demikian maka hari-hari yang mendatang sama sekali tidak akan berarti apa-apa lagi. Namun demikian, masih juga ada di antara mereka yang sempat berkelakar meskipun sambil berbisik. Tetapi ada juga di antara mereka yang memandang setiap bayangan di sekitarnya dengan wajah yang tegang.
“Paman,” berkata Wrahasta kepada Kerti,
“supaya pasukan ini tidak segera diketahui lawan, maka sebaiknya beberapa orang harus mendahului di samping petugas-petugas sandi. Mereka harus membungkam setiap gardu perondan di sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk itu.”
“Ya, pasukan itu memang sudah tersedia. Samekta juga telah memerintahkan beberapa orang mempersiapkan diri.”
“Kapan mereka akan kita lepaskan?”
“Kalau kita telah melampaui bulak di depan kita itu.”
“Aku sendiri akan memimpin mereka.”
“Kenapa kau?”
“Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang berat. Aku kurang percaya kepada anak-anak itu. Kalau tugas ini gagal, maka pasukan lawan akan mendapat kesempatan untuk mempersiapkan diri mereka. Dengan demikian maka korban akan menjadi semakin banyak berjatuhan.”
“Sebaiknya bukan kau, Wrahasta.”
“Perang kali ini harus menentukan. Kita  pun harus berbuat dengan sesungguh hati. Apakah artinya segala usaha yang pernah kita lakukan kalau pada saat terakhir kita akan gagal?”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari pentingnya tugas itu. Tetapi kenapa Wrahasta sendiri yang harus pergi mendahului?
“Bagaimana, Paman?” desak Wrahasta.
“Kau sudah cukup banyak berbuat.”
“Belum, Paman. Aku harus menunjukkan bahwa kehadiranku di atas Tanah ini ada gunanya. Bukan sekedar hanya memperbanyak jumlah jiwa saja.”
“Tugas kita masih banyak.”
“Aku sangsi, apakah aku akan dapat ikut seterusnya.”
“He?” Kerti terbelalak. “Jangan berkata begitu.”
Tetapi Wrahasta justru tersenyum. Katanya,
“Ah, sebaiknya kita tidak berbicara tentang hal-hal yang kita ketahui. Yang pasti, para peronda itu jangan mendapat kesempatan memberikan tanda apa  pun juga. Aku akan membawa kelompok yang sudah tersusun itu.”
Kerti menggelengkan kepalanya. Tetapi ia berkata,
“Berkatalah kepada Samekta. Samekta yang dapat mengambil keputusan.”
“Ya,” sahut Wrahasta sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku akan menemuinya. Aku ingin menunjukkan sesuatu kepada Tanah ini. Aku adalah putera Tanah Perdikan Menoreh.”
Wrahasta pun kemudian meninggalkan Kerti. Beberapa langkah ia mendahului sekelompok pengawal, kemudian ditemuinya Samekta sedang berjalan bersama gembala tua itu.
“Aku akan mendahului pasukan,” berkata Wrahasta.
“He?” Samekta mengerutkan keningnya.
“Aku akan memimpin langsung kelompok yang sudah tersusun untuk membungkam setiap gardu perondan yang akan kita lalui.”
“Ah,” desah Samekta,
“bukan kau. Kau masih mempunyai tugas-tugas lain yang lebih penting.”
“Aku tahu, tetapi sebelum sampai saatnya pasukan ini menebar dalam gelar, aku akan sudah berada kembali di tempatku.”
“Tetapi itu terlampau berbahaya bagimu.”
“Aku tidak mau gagal. Aku minta ijin.”

Samekta mengerutkan keningnya. Agaknya Wrahasta berkeras untuk melakukan tugas itu. Sehingga karena itu, Samekta tidak dapat mencegahnya lagi.
“Tetapi kau harus berhati-hati.”
“Tentu, tetapi apabila maut memang sudah merabaku, apa boleh buat.”
“Hus,” desis Samekta. “Jangan mengigau.”
Wrahasta tertawa. Adalah sesuatu yang jarang dilakukannya. Tetapi kali ini memang benar-benar tertawa.
“Aku akan pergi. Berapa orang yang sudah siap di dalam kelompok itu?”
“Sepuluh,” jawab Samekta.
“Bagus, berapa orang petugas sandi jang menyertai kami?”
“Tiga.”
“Terima kasih. Di ujung bulak itu kita akan berpisah. Aku akan mendahului, menengok setiap gardu yang mungkin ada di sepanjang jalan ini.”
Wrahasta tidak menunggu jawaban Samekta. Langsung ia meninggalkannya, menemui sekelompok pengawal pilihan yang akan mendahului pasukan ini, bersama beberapa orang petugas sandi.
“Kemana raksasa itu?” bertanya Gupala sambil berbisik kepada Gupita.
Gupita mengerutkan keningnya. Ia mendengar serba sedikit pembicaraan Wrahasta dengan Samekta yang berjalan beberapa langkah di depannya bersama gurunya.
“Ke gardu-gardu. Supaya pasukan ini sama sekali tidak diketahui oleh induk pasukan Ki Tambak Wedi.”
“Sulit. Aku yakin bahwa salah seorang dari mereka akan sempat menyentuh tanda bahaya. Apa pun caranya. Dengan demikian kita malah memberitahukan kehadiran kita sebelumnya.”
Gupita tidak segera menyahut. Sekilas dilihatnya Wrahasta yang seakan-akan terbenam ke dalam gelapnya. Hilang.
Gupita tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Wrahasta termasuk salah seorang pemimpin dari pasukan pengawal Menoreh. Sebaiknya ia tidak usah pergi melakukan tugas yang berbahaya itu. Ia dapat menugaskan seseorang yang mempunyai kelebihan dan orang lain, namun tidak perlu seorang pemimpin.
“Gupala,” berkata Gupita,
“Wrahasta seharusnya tetap berada di dekat Samekta dan Kerti sebelum gelar ini menebar di muka padukuhan induk itu. Karena itu, biarlah orang lain saja yang melakukan tugasnya sekarang, mendahului menyergap gardu-gardu peronda.
Gupala mengerutkan keningnya,
“Biarlah mereka mengurusinya.”
“Hus,” desis Gupita, “kita ikut bertanggung jawab atas keselamatan seluruh pasukan.”
“Lalu, apakah kita akan melarangnya?”
“Bukan begitu maksudku. Sebaiknya kita berdua sajalah yang pergi.”
“Malas.”
“He?” Gupita membelalakkan matanya.
“Kenapa malas? Kalau kau malas berbuat sesuatu, tidur saja di gardu itu.”
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya gelap malam yang membayang di hadapannya. Wrahasta telah tidak tampak lagi, hilang ditelan malam, di antara bayangan-bayangan hitam yang bergerak-gerak di sepanjang jalan.
“Bagaimana dengan guru?” berkata Gupala.
“Kita akan minta ijin.”
“Baiklah,” jawab Gupala kemudian.
“Biarlah kita orang-orang buangan ini sajalah yang diumpankan kepada para peronda itu.”
“Jangan mengingau.”
Gupala tidak menjawab. Keduanya  pun kemudian mendekati gurunya. Dengan berbisik Gupita kemudian menyatakan maksudnya, menyusul Wrahasta. Mereka berdualah yang akan menggantikan pekerjaannya mendahului pasukan ini bersama beberapa orang untuk menyergap gardu-gardu peronda.
Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab,
“Kalau pimpinan pasukan pengawal tidak berkeberatan dan mempercayai kalian, aku  pun tidak berkeberatan. Tetapi hati-hatilah. Tidak saja dalam tugas itu, tetapi juga caramu menyampaikan maksud itu kepada Wrahasta.”
“Guru sajalah yang mengatakannya kepada Ki Samekta.”
Gurunya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Baiklah.”
Gembala tua itu  pun kemudian bergeser beberapa langkah mendekati Samekta dan menyampaikan maksud kedua anak-anaknya.
“Aku berterima kasih,” berkata Samekta,
“tetapi kalian kurang mengenal daerah ini. Tugas yang dilakukan oleh kelompok ini adalah tugas yang berat, yang harus didasari atas pengenalan yang sempurna atas daerah yang akan dilaluinya. Mereka akan menyusup lewat jalan-jalan yang bukan seharusnya.”
“Tetapi bukankah anak-anak itu tidak sendiri?”
“Dalam keadaan yang memaksa, mungkin mereka harus menebar.”
“Tetapi anak-anakku adalah gembala yang sudah terlampau sering menyusur tempat-tempat yang tersembunyi. Apalagi kedua anak-anakku tidak terikat di dalam pasukan dan apalagi pimpinan.”
Samekta mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Baiklah. Tetapi hati-hatilah.” Ia berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi mungkin sekali Wrahasta tidak mau menarik dirinya. Jika demikian biarlah ia pergi. Agaknya hatinya sedang dirisaukan oleh sesuatu. Karena itu sebaiknya ia tidak diganggu. Namun kedua anak-anakmu harus berusaha memperingatkannya, bahwa apabila gelar telah dibuka, ia harus sudah berada di dalam barisan.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun di dalam hati ia bertanya,
“Bagaimana kalau Wrahasta tidak berhasil?” Tetapi gembala itu tidak mengucapkannya.
“Nah, suruhlah anak-anakmu itu pergi bersama Wrahasta. Tetapi jangan berselisih di depan medan. Aku titip anak muda itu. Aku tahu, bahwa anak-anakmu jauh lebih baik dari raksasa yang sedang kecewa itu.”
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia bertanya,
“Kenapa Angger Wrahasta kecewa?”
“Tidak. Tidak apa-apa,” jawab Samekta dengan serta-merta.
Orang tua itu  pun tidak bertanya lagi. Gupala yang mendekatinya sudah mendengar sebagian terbesar dari pembicaraan itu, sehingga ketika gurunya mendekatinya ia berkata,
“Jadi, kami diperkenankan menyusul pasukan itu?”
“Pergilah. Tetapi hati-hatilah. Jangan membuat keributan yang dapat menghancurkan seluruh pasukan ini. Kesalahan yang kecil dari kalian mungkin akan dapat membunuh puluhan jiwa manusia. Dan kau harus mempertimbangkannya. Bukan hanya jiwamu sendiri.”
Gupala mengerutkan keningnya. Ia mengerti apa yang dimaksud oleh gurunya. Ketika kemudian ia berpaling kepada Gupita, maka anak muda itu pun sedang menatapnya.
“Huh, Kakang Gupita menyalahkan aku pula agaknya,” desisnya di dalam hati.
“Pergilah dan ingat, hati-hatilah dalam menghadapi setiap persoalan,” pesan gurunya.
“Baik, Guru,” jawab keduanya hampir bersamaan.

Maka keduanya  pun kemudian melangkah di sisi barisan yang masih juga berjalan maju itu untuk menyusul Wrahasta. Mereka sadar, bahwa tugas itu termasuk tugas yang sulit. Kalau mereka tidak dapat melakukannya dengan baik, sehingga satu atau dua orang dari para peronda itu sempat lolos, atau menyentuh alat-alat yang dapat memberikan tanda apa pun, maka justru yang terjadi akan sebaliknya. Kehadiran mereka akan segera diketahui oleh lawan. Beberapa saat kemudian mereka telah berhasil menemukan Wrahasta di antara kelompok yang memang sudah tersusun. Sepuluh orang dengan tiga orang petugas sandi.
“Wrahasta,” berkata Gupita ketika mereka telah berhadapan,
“aku mendapat pesan dari Ki Samekta, bahwa aku berdua ditugaskan untuk membantu kelompok ini.”
Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah kedua anak-anak muda itu berganti-ganti, seakan-akan ingin melihat langsung ke dalam pusat jantung mereka. Gupala dan Gupita  pun menjadi berdebar-debar pula. Mereka menduga-duga bagaimakah tanggapan anak muda yang bertubuh raksasa itu. Dan sejenak kemudian mereka mendengar Wrahasta bertanya,
“Kenapa Paman Samekta mengirimkan kalian kemari?”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
“Perintah yang sebenarnya adalah menggantikan kau di dalam tugas kelompok ini, karena menurut pertimbangannya, kau sangat diperlukan di dalam saat-saat terakhir. Kau harus memegang pimpinan langsung. Sedang tugas ini dapat dilakukan oleh orang lain yang tidak begitu diperlukan.”
“O,” tiba-tiba Wrahasta tertawa,
“jadi kau sangka bahwa orang yang berada di dalam kelompok ini harus mati? Dan kau menganggap bahwa aku pun pasti akan mati pula?”
Gupita menjadi ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya,
“Bukan begitu. Tetapi kemungkinan untuk itu memang ada. Kemungkinan untuk hidup dan kemungkinan untuk mati sama besarnya.”
“Aku sudah tahu. Dan aku  pun tidak akan ingkar meskipun aku akan mati sekalipun. Mati untuk Tanah ini.”
“Memang mati di dalam perjuangan dapat memberikan kebanggaan. Tetapi kau diperlukan.”
“Kembalilah kepada Ki Samekta. Katakan bahwa aku akan tetap berada di dalam kelompok ini. Sebentar lagi kita akan melampaui bulak ini, dan aku akan segera memisahkan diri, mendahului perjalanan kalian.”
Gupita terdiam sejenak. Ia memang tidak melihat kemungkinan bahwa Wrahasta akan bersedia meninggalkan kelompok itu dan kembali kepada Samekta. Karena itu maka akan sia-sialah apabila ia berusaha memaksanya. Maka Gupita itu  pun kemudian berkata,
“Kami hanya dapat menyampaikan pesan itu. Selebihnya kami tidak mempunyai wewenang apa pun. Meskipun demikian, Ki Samekta telah menugaskan kami untuk berada di dalam kelompok ini.”
“Aku tahu, aku tahu. Ki Samekta memang lebih percaya kepada kalian dari pada kepadaku. Soalnya bukan karena aku diperlukan di dalam gelar yang akan kita pergunakan, tetapi karena Ki Samekta menganggap bahwa kalian akan lebih berhasil di dalam tugas ini.”
Gupala yang selama itu berusaha membatasi dirinya, untuk tidak berkata sepatah pun juga supaya ia tidak salah ucap, menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu, namun kemudian dilontarkannya pandangan matanya ke dalam gelapnya malam. Gupita tidak segera dapat menjawab. Ia memang harus berhati-hati. Ternyata anak muda yang bertubuh raksasa ini sangat perasa. Dan karena kedua anak-anak muda itu tidak menjawab, Wrahasta berkata selanjutnya,
“Kemudian terserahlah kepada kalian. Aku tetap memimpin kelompok ini. Kalau kalian ingin ikut serta, maka kalian akan berada di bawah perintahku. Kalau tidak, kembalilah kepada Ki Samekta. Katakan bahwa aku tetap berada di sini.”

Gupala mengerutkan keningnya. Baginya sikap Wrahasta itu sudah merupakan pembangkangan. Seandainya ia menjadi pemimpin yang lebih tinggi, maka ia pasti akan mengambil tindakan.
“Apakah dengan demikian aku akan disebut kurang bijaksana?” bertanya Gupala di dalam hatinya.
Gupala mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Gupita berkata,
“Kami berdua akan tetap berada di dalam kelompok ini. Kami memang ditugaskan demikian sambil menyampaikan pesan. Apakah pesan itu akan kau lakukan atau tidak, terserahlah kepadamu.”
Wrahasta mengerutkan keningnya. Namun kernudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baik. Kau berada di dalam pasukan kecil ini. Aku tahu, bahwa kalian mempunyai ilmu yang cukup baik. Dan itu akan sangat berguna bagi tugas ini. Kami harus melakukan penyergapan dengan tiba-tiba dan membinasakan para peronda.”
“Ya. Kami akan tetap berada di dalam pasukan ini. Tetapi kami kira, kami tidak perlu berbuat terlampau kasar. Yang penting adalah melumpuhkan dan membungkam mereka. Bukan membinasakan.”
“Persetan istilah yang kau pergunakan.”
“Bukan sekedar istilah. Maksudku, mereka tidak perlu dibunuh.”
“He?” Wrahasta mengerutkan keningnya, “Jadi bagaimana?”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tanpa dikehendakinya ia sudah terlibat dalam suatu pembicaraan tentang pelaksanaan tugas kelompok kecil itu.
“Maksudku, mereka dapat diikat tanpa membunuhnya.”
Wrahasta tertawa berkepanjangan, sehingga tubuhnya berguncang-guncang.
“O, kau adalah manusia yang paling baik di dunia. Kau telah menjunjung tinggi perikemanusiaan di atas kepalamu. Berbahagialah kau dan adikmu yang gemuk itu.”
Gupita dan Gupala saling berpandangan sejenak. Bahkan orang-orang lain di dalam kelompok itu  pun menjadi heran melihat tingkah laku Wrahasta. Meskipun mereka juga berkeberatan mendengar pendapat Gupita, namun mereka juga merasa aneh terhadap Wrahasta. Mereka belum pernah melihat raksasa itu berbuat demikian.
“He, Gupita,” bertanya Wrahasta,
“apakah kau belum pernah perang sebelum kau berada di atas Tanah Perdikan ini?”
Gupita heran mendengar pertanyaan itu. Tanpa sesadarnya ia menjawab, “Sudah.”
“O, apakah kau tidak pernah melihat, bahwa di dalam peperangan kadang-kadang kita harus membunuh lawan?”
Gupita tidak menjawab. Sekilas dipandanginya wajah Gupala. Wajah itu terasa aneh baginya. Dan bahkan Gupala itu berbisik,
“Kaulah yang aneh Kakang.”
Gupita menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab.
“Akulah pimpinan kelompok ini. Setiap orang harus tunduk kepada perintahku. Kalian harus menyergap setiap gardu perondan dan membinasakan semua isinya. Begitu tiba-tiba sehingga mereka tidak mendapat kesempatan.” Wrahasta berhenti sejenak, lalu,
“Nah, kita sudah sampai di ujung bulak. Bersiaplah. Kita akan segera memisahkan diri, mendahului pasukan ini dan melihat gardu di depan kita yang terdekat, sambil mengamati kemungkinan petugas-petugas sandi lawan di sepanjang jalan.”
Gupala dan Gupita saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak dapat berbuat lain. Kalau mereka tetap akan berada di dalam pasukan itu, mereka memang harus tunduk kepada perintah Wrahasta. Sementara itu orang-orang lain dalam kelompok kecil itu  pun telah bersiap pula. Mereka telah sampai di ujung sebuah bulak. Sebentar lagi mereka akan memasuki sebuah pategalan. Di seberang pategalan yang tidak begitu luas itu terdapat sebuah padesan kecil.
 “Di pategalan itu terdapat gardu pengawasan,” berkata Wrahasta,
“karena itu pasukan ini harus berhenti sejenak. Kita akan melihat apakah yang ada di dalamnya.”
Wrahasta kemudian memerintahkan pasukan itu berhenti sambil mengirimkan seorang penghubung kepada Samekta, memberitahukan bahwa ia telah melepaskan diri mendahului seluruh pasukan. Gupala dan Gupita akhirnya turut juga bersama pasukan kecil itu. Mereka mengharap bahwa mereka berdua dapat membantu anak muda yang bertubuh raksasa itu apabila diperlukan. Kelompok itu kemudian berjalan dengan hati-hati menuju ke ujung pategalan. Menurut pengenalan mereka, di pategalan itu terdapat sebuah gardu kecil. Tetapi biasanya orang-orang Ki Tambak Wedi tidak mempergunakannya. Mereka berada di dalam gardu yang lebih besar, di seberang pategalan itu. Di antarai oleh beberapa kotak sawah yang sempit, di mulut sebuah padesan kecil. Meskipun demikian, mereka memerlukan melihat gardu kecil itu, apabila secara kebetulan ditunggui oleh dua atau tiga orang setelah pasukan Ki Tambak Wedi menderita kekalahan.

Pasukan kecil itu berhenti beberapa langkah dari gardu itu, di balik gerumbul-gerumbul dan semak-semak pategalan. Seorang petugas sandi dengan sangat hati-hati merayap maju. Namun ternyata gardu kecil itu memang kosong. Agaknya Ki Tambak Wedi atau orang-orangnya, memang tidak memperhitungkan bahwa pasukan Menoreh akan menyusul mereka. Sebab menurut Ki Tambak Wedi, luka Ki Argapati menjadi agak parah. Tanpa Ki Argapati, pasukan Menoreh tidak akan mampu berbuat banyak.
“Tetapi di gardu di depan pasti ada beberapa orang petugas,” desis Wrahasta.
“Pasti,” jawab salah seorang petugas sandi.
“Mari kita lihat.” Kemudian katanya kepada salah seorang petugas sandi itu pula.
“Suruh pasukan Ki Samekta maju perlahan-lahan. Tetapi mereka tidak boleh keluar dari pategalan ini, supaya tidak dapat dilihat oleh seseorang yang seandainya kebetulan berada di sawah di depan pategalan ini.”
Petugas itu  pun kemudian meninggalkan Wrahasta kembali ke induk pasukan, sementara kelompok kecil itu merayap semakin maju. Mereka tidak berjalan di atas jalan yang membelah beberapa kotak sawah di antara pategalan dan padesan di depan. Tetapi mereka turun ke dalam parit dan sambil membungkuk-bungkuk menyusur maju mendekati padesan. Di belakang tanggul mereka kemudian berhenti, untuk mengawasi keadaan. Mereka sudah melihat lamat-lamat beberapa berkas sinar lampu yang menerobos dari dinding-dinding rumah menyentuh dedaunan.
Dan tiba-tiba saja Wrahasta menggeram,
“Persetan dengan penduduk padesan itu. Mereka pun merupakan bahaya bagi pasukan ini. Dan mereka pun memang termasuk orang-orang yang sama sekali tidak kita perlukan lagi.”
“Kenapa?” tanpa sesadarnya Gupita bertanya.
“Mereka sama sekali tidak mempedulikan perjuangan kami. Selagi kami berprihatin di dalam sarang-sarang tikus, mereka tetap saja tinggal dengan nyamannya di rumah masing-masing dikawal oleh pasukan Sidanti. Sungguh menyakitkan hati.” Wrahasta berhenti sejenak, kemudian,
“Apakah tidak sepatasnya kalau mereka dibinasakan pula?”
“Berlebih-lebihan,” sahut Gupita.
“Sebenarnya mereka  pun telah membantu kita. Bukankah di antara mereka telah menyerahkan bahan-bahan makanan dan barang-barang lain yang kita perlukan?”
“Hanya satu dua orang saja. Tetapi sebagian besar dari mereka adalah pengkhianat-pengkhianat.”
“Jangan dinilai begitu. Kehadiran mereka telah memberikan perlindungan kepada orang-orang yang bersedia membantu kita. Mereka merupakan tabir yang dapat dipergunakan oleh mereka yang membantu kita sebagai tempat persembunyian. Dengan mereka, maka orang-orang yang membantu kita tidak akan segera dikenal. Tetapi tanpa mereka, maka tidak ada seorang pun yang berani memberikan apa saja yang kita perlukan.”
Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Namun kemudian diperintahkannya seseorang untuk mengintai gardu di ujung lorong. Seorang petugas sandi  pun kemudian merangkak dengan hati-hati mendekati padesan itu. Kemudian menyusur dinding batu yang ditumbuhi lumut, mendekati gardu di mulut desa, langsung merupakan regol masuk. Ternyata mereka pun kurang berwaspada karena mereka sama sekali tidak akan menduga, bahwa pasukan lawan telah merayap semakin dekat. Meskipun mereka masih juga bangun, namun mereka tidak banyak menaruh perhatian terhadap keadaan di sekeliling mereka. Mereka saling berbicara dan berkelakar. Tetapi, petugas sandi itu masih melihat, seorang dari mereka berjalan hilir-mudik di muka regol. Sejenak ia mencoba melihat keadaan. Dari mana kelompok kecil itu harus mendekat. Dari mana mereka akan menyergap dan bagaimana mereka dapat segera membungkam para petugas itu. Meskipun petugas sandi itu tidak dapat melihat orang-orang yang berada di dalam gardu, namun ia dapat menduga, bahwa orang-orang itu tidak lebih dari enam atau tujuh orang. Setelah ia menemukan kesimpulan, maka segera ia  pun kembali ke kelompok kecil itu dan dengan beberapa petunjuk, dibawanya kelompoknya maju mendekat dengan hati-hati sekali. Kelompok itu akhirnya berhasil berada beberapa langkah saja di samping regol yang sekaligus merupakan gardu penjaga. Pintunya masih terbuka lebar, dan seorang dari mereka masih juga berjalan hilir-mudik dengan senjata telanjang di tangan.

Wrahasta mengerutkan keningnya. Ia tampak sedang memikirkan cara yang paling baik berdasarkan pengamatan petugas sandi itu. Lamat-lamat mereka masih mendengar orang-orang di dalam regol itu bergurau. Seseorang di antara mereka telah mengumpat-umpat di sela-sela suara tertawanya.
“Mereka harus dibungkam untuk selama-lamanya,” geram Wrahasta yang berjongkok melekat dinding batu.
“He, kemarilah,” desis Wrahasta memanggil Gupala.
Gupala memandang wajah Gupita sejenak. Ketika ia melihat Gupita menganggukkan kepalanya, maka ia pun merayap mendekat.
“Tugasmu adalah menyergap orang yang berjalan hilir-mudik itu. Kami akan segera menyerbu ke dalam regol. Sebagian akan masuk meloncat dinding batu ini dan menyerang dari dalam, supaya tidak seorang pun sempat melarikan diri.”
Sekali lagi Gupala memandangi wajah Gupita, dan sekali lagi Gupita menganggukkan kepalanya.
“Baiklah,” jawab Gupala kemudian.
“Nah kau,” berkata Wrahasta kepada Gupita,
“bersama lima orang, kalian meloncat dinding ini, dan menyergap dari dalam.”
“Ya,” jawab Gupita.
“Aku akan berada di luar bersama Gupala. Aku akan memberikan tanda. Kalau kalian mendengar suara cengkerik berderik dua kali berturut-turut, kalian harus siap. Kemudian kalian akan mendengar aba-abaku untuk menyergap serentak.”
Gupita menganggukkan kepalanya.
“Cepatlah, bersama lima orang.”
Gupita tidak menjawab lagi. Tetapi ia berdesis,
“Ayo, siapakah di antara kalian yang akan mengikuti aku meloncati dinding batu ini?”
Beberapa orang kemudian bergerak serentak, bergeser mendekatinya. Tetapi justru hampir semuanya.
“Yang lain tinggal di sini,” perintah Wrahasta.
Akhirnya Gupita mendapatkan kawan-kawannya. Dengan hati-hati mereka satu demi satu meloncati pagar batu yang cukup tinggi. Tetapi ternyata mereka adalah anak-anak muda yang berkemauan dan bertekad baja. Meskipun mereka mengalami sedikit kesulitan, bahkan ada di antaranya yang bagian dadanya terluka dan berdarah, namun mereka berhasil memasuki padukuhan itu.
“Sakit?” bertanya Gupita kepada kawannya yang terluka di dadanya.
“Ah tidak apa-apa. Hanya lecet sedikit ketika kakiku terlepas dari injakan.”
Gupita mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
“Kita harus mendekat, supaya kita tidak terlambat.”
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan mereka  pun kemudian mengikuti Gupita yang merangkak maju mendekati regol. Semakin dekat, suara mereka menjadi semakin jelas. Agaknya mereka mencoba mengusir kantuk mereka dengan berbicara, berbantah dan bergurau. Bahkan di bagian dalam regol itu, tampak sebuah perapian dan sebuah belanga di atasnya. Agaknya mereka merebus makanan atau menanak nasi untuk makan mereka di malam nanti, supaya mereka tidak kehabisan tenaga dan tertidur. Gupita yang merangkak semakin dekat, menjadi semakin berhati-hati karenanya. Kini ia tidak dapat memberi aba-aba lagi, sehingga karena itu ia hanya dapat memberikan tanda-tanda dengan tangannya.
Di luar dinding batu, Wrahasta pun berbuat serupa. Ia merangkak semakin dekat diikuti oleh para pengawal. Sedang Gupala merayap mendahului mereka. Dengan hati-hati ia berusaha untuk mencapai jarak sedekat-dekatnya, supaya apabila Wrahasta memberikan perintah, ia langsung dapat menyergap orang itu tanpa memerlukan waktu terlampau panjang.
Sejenak kemudian terdengar suara cengkerik berderik dua kali berturut-turut. Tetapi ternyata suara cengkerik itu agak terlampau keras sehingga menumbuhkan kecurigaan pada penjaga yang sedang berjalan hilir-mudik di muka regol sehingga langkahnya terhenti. Dengan dahi yang berkerut-merut dipandanginya arah suara cengkerik yang aneh terdengar di telinganya itu. Wrahasta pun melihat sikap pengawal yang mendebarkan jantung itu. Apalagi ketika pengawal itu justru beberapa langkah mendekat. Gupala benar-benar berusaha menahan nafasnya. Penjaga itu hanya beberapa langkah saja berdiri di depannya dengan termangu-mangu. Sedang kawan-kawannya yang berada di dalam regol masih saja berkelakar dan berbantah tanpa ujung dan pangkal.
Dalam ketegangan itulah tiba-tiba Wrahasta berdesis,
“Sekarang, Gupala.”
Orang yang berdiri termangu-mangu itu mendengar juga desis Wrahasta. Tetapi ia tidak sempat berpikir tentang suara itu. Ia tidak menyangka, bahwa justru dari muka hidungnya, seseorang meloncat menerkam lehernya. Penjaga itu memang tidak sempat berteriak. Tetapi sebuah dengus perlahan telah terdengar dari dalam regol, disusul oleh hentakan-hentakan kaki. Hanya sebentar, kemudian terdiam. Wrahasta menjadi tegang melihat sergapan yang hanya beberapa kejapan mata itu. Betapa pun juga ia terpaksa mengakui, bahwa Gupala memang seorang yang mempunyai kekuatan luar biasa. Namun sejenak kemudian ia menyadari keadaannya. Ternyata beberapa orang di dalam regol itu telah mendengar sesuatu. Suara mereka yang riuh tiba-tiba terputus dan dengan tergesa-gesa beberapa orang berloncatan sambil menggenggam senjata masing-masing.
“Hampir terlambat,” desis Gupala di dalam hatinya. Tetapi ia masih menunggu perintah Wrahasta.
Dan perintah itu  pun menyusul beberapa saat kemudian. Wrahasta  pun kemudian memberikan aba-aba untuk menyergap orang-orang yang sedang keluar dari dalam regol itu. Orang-orang itu  pun terkejut bukan kepalang. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk mempersiapkan diri mereka. Tiba-tiba saja mereka telah diserang dari dalam dan dari luar regol bersama-sama. Apalagi di antara para penyerang itu terdapat Gupala dan Gupita. Wrahasta memang tidak memerlukan waktu terlampau banyak. Orang-orangnya segera menguasai keadaan. Orang-orang yang sesaat yang lalu masih berkelakar, kini terbaring diam tanpa bergerak sama sekali.
Gupita melihat mayat-mayat yang terbujur lintang di tanah itu dengan hati yang berdebar-debar. Semua orang yang berada di dalam regol itu memang telah terbunuh mati. Agaknya Wrahasta dan orang-orangnya sama sekali tidak bermaksud untuk membiarkan mereka hidup.

Ketika Gupita memandang adik seperguruannya, tampaklah anak yang gemuk itu tersenyum lucu kepadanya. Gupita menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang yang dipukulnya sehingga pingsan itu pun ternyata telah mati pula. Ia tidak tahu siapakah yang telah menusuk dadanya dengan sebilah pedang. Gupita mengangkat kepalanya ketika ia mendengar suara Wrahasta datar,
“Terima kasih. Kalian telah melakukan tugas kalian sebaik-baiknya. Kini kita akan maju lagi. Di ujung lorong ini, di mulut padukuhan, pasti ada juga beberapa orang penjaga. Mereka  pun harus kita binasakan pula.”
Sekali lagi Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak kuasa untuk mencegahnya. Meskipun hal itu tidak sesuai dengan keinginannya, namun ia harus membiarkannya terjadi. Bahkan adik seperguruannya itu pun telah melakukannya dengan senang hati. Sementara itu seorang penghubung telah dikirimnya pula untuk memberitahukan apa yang telah terjadi. Kemudian bersama yang seorang lagi, yang telah dikirimnya lebih dahulu, harus menggabungkan dirinya di gardu di mulut lorong yang lain. Demikianlah mereka  pun kemudian merayap maju. Di dalam gelapnya bayangan pepohonan yang rapat di jalan padukuhan, mereka mendekati gardu penjagaan di ujung lorong itu. Seorang petugas sandi yang berjalan di paling depan tiba-tiba terhenti. Beberapa langkah ia mundur mendekati Wrahasta. Kemudian dengan isyarat diberitahukannya bahwa di hadapan mereka ada seseorang yang berjalan ke arah mereka. Wrahasta  pun kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk berhenti dan melekat dinding batu di sebelah-menyebelah jalan. Meskipun ada kemungkinan bahwa orang yang berjalan itu dapat melihat mereka, namun orang itu tidak boleh mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Agaknya orang itu memang tidak bercuriga apa pun. Ia berjalan saja sambil berlenggang. Namun tiba-tiba ia membelalakkan matanya ketika seseorang tanpa diketahui dari mana datangnya meloncat dan menerkamnya. Ia menyadari keadaannya ketika sudah terlambat. Sepasang tangan bagaikan jari-jari besi telah mencekik lehernya. Sejenak kemudian gelap malam  pun menjadi semakin kelam, dan nafasnya  pun putus karenanya. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam sambil mengibaskan tangannya. Demikian tangannya terlepas, orang itu  pun kemudian terjatuh seperti sebatang kayu.
“Lemparkan ke balik pagar batu,” perintah Wrahasta kepada salah seorang anak buahnya.
Gupita yang melihat mayat itu menahan gejolak di dalam dadanya. Orang itu adalah seorang tua yang sudah tidak bertenaga dan sama sekali tidak bersenjata.
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata di dalam hatinya,
“Ini adalah salah satu wajah peperangan. Orang ini sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi atas dirinya. Dan kematiannya  pun sama sekali tidak berarti apa-apa.”
Namun yang lebih pahit lagi baginya adalah, bahwa Wrahasta sama sekali tidak menunjukkan penyesalan atas peristiwa itu. Dengan jantung yang berdenyut semakin cepat, Gupita menyaksikan mayat itu diangkat dan dilemparkan begitu saja ke balik pagar batu di pinggir jalan.
“Kita melanjutkan perjalanan ini. Hati-hati. Mungkin kita akan bertemu dengan seseorang lagi,” berkata Wrahasta kemudian.
Tanpa dapat menahan diri lagi Gupita menyahut,
“Tetapi orang-orang semacam ini sama sekali tidak berbahaya.”
Wrahasta memandang wajah Gupita dengan tajamnya.
Kemudian jawabnya,
“Kau sangka orang-orang semacam ini tidak mempunyai mulut?”
“Aku menyadari. Tetapi orang setua itu tidak akan banyak dapat berbuat. Apakah tidak ada jalan lain daripada membunuhnya?”
“Ah, kau.” geram Wrahasta.
“Aku tidak sempat berpikir di dalam keadaan serupa ini. Kalau setiap prajurit dan pengawal berbuat seperti kau, maka peperangan yang mana pun tidak akan dapat diselesaikan.”
Gupita tidak menjawab lagi. Sementara itu Gupala mendekatinya sambil berbisik,
“Memang kau benar-benar aneh, Kakang.”
Gupita menggigit bibirnya. Namun ia tidak dapat ingkar dari dera perasaannya. Meskipun demikian ia tidak menjawab lagi.
“Cepat, kita maju ke gardu di depan. Tanpa keragu-raguan dan pertimbangan-pertimbangan yang cengeng,” perintah Wrahasta selanjutnya.
Maka pasukan kecil itu  pun kemudian maju lagi. Lebih cepat dari semula. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan gardu di mulut lorong.
“Lihat, apakah yang ada di dalam gardu itu,” perintah Wrahasta kepada salah seorang anak buahnya.

Orang itu  pun kemudian mendekati gardu dengan sangat hati-hati. Di dalam gardu itu ada beberapa orang, tetapi berbeda dengan gardu yang pertama. Orang-orang di dalam gardu itu lebih tidak berhati-hati. Mereka menganggap bahwa penjagaan di gardu pertama cukup kuat, dan mereka sama sekali tidak bermimpi bahwa beberapa orang telah berhasil mendekat, meskipun sebagian dari mereka benar-benar telah tertidur.
“Tidak lebih dari lima orang,” berkata orang itu kepada Wrahasta.
“Apalagi sebagian dari mereka telah tertidur.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Cepat. Mereka harus kita selesaikan pula.”
Kelompok kecil itu  pun semakin mendekat. Dan tiba-tiba saja Wrahasta membawa anak-anak muda di dalam kelompok itu dengan serta-merta menyergap. Tidak seorang pun yang sempat turun dari gardunya. Bahkan yang sedang tertidur pun tidak sempat bangun untuk selama-lamanya. Wrahasta menarik nafas panjang. Pedangnya yang basah oleh darah disarungkannya. Kemudian dengan nada rendah ia berkata,
“Kita menunggu mereka yang sedang menghubungi induk pasukan. Kemudian kita akan semakin dekat dengan padukuhan induk.”
Kelompok kecil itu pun sejenak mendapat kesempatan untuk beristirahat. Mereka sama sekali tidak menaruh perhatian atas mayat-mayat yang masih terbaring di dalam gardu. Sesaat kemudian maka para petugas yang menghubungi induk pasukan telah menggabungkan diri kembali. Dengan demikian maka kelompok kecil itu segera meneruskan tugas mereka mendahului untuk merambas jalan.
“Pasukan induk telah maju,” lapor petugas itu.
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagus,” katanya,
“semakin cepat kita mulai akan menjadi semakin baik. Tetapi setiap kali pasukan induk itu harus menunggu isyarat kita.”
“Ya.”

Wrahasta kemudian terdiam sejenak. Mereka akan segera melalui sebuah padesan lagi. Wrahasta tahu benar, bahwa di padesan itu pasti terdapat tidak hanya dua buah gardu perondan, karena desa itu agak lebih besar.
“Ada tiga jalan memasuki desa itu,” berkata salah seorang petugas sandi.
“Ketiganya pasti diisi oleh pengawal-pengawal yang lebih baik dari pengawal di gardu kedua. Setidak-tidaknya mereka adalah pengawal-pengawal setingkat dengan pengawal-pengawal di gardu pertama, sehingga kita tidak akan dapat mengharapkan mereka tertidur nyenyak.”
“Sebenarnya mereka tidak berbeda. Tetapi para peronda di gardu kedua agak kurang berhati-hati. Itulah kesalahannya. Bukan karena kemampuan mereka lebih rendah dari gardu pertama. Demikian juga agaknya orang-orang di gardu depan nanti.” Petugas itu berhenti sejenak.
“Tetapi kita dapat mengharap bahwa mereka  pun lengah.”
Kelompok kecil itu merayap semakin dekat. Seperti yang sudah mereka lakukan, maka petugas sandilah yang lebih dahulu mendekati mulut lorong. Orang itu sudah cukup banyak mengenal daerah ini dan bahkan di sekitarnya. Sebagai anak Menoreh, ia sudah terlalu sering bermain-main di tempat ini.
“Memang mereka tidak sedang tidur,” bisik petugas sandi itu kepada Wrahasta,
“tetapi mereka tidak lebih dari lima orang.”
Wrahasta menganggukkan kepalanya. Dengan isyarat dibawanya pasukannya mendekat. Kemudian seperti seekor kucing menerkam tikus mereka menyergap orang-orang di dalam gardu itu. Ternyata perhitungan Wrahasta tepat. Orang-orang ini lebih sigap dari orang-orang yang berada di gardu-gardu yang terdahulu. Tetapi karena jumlah mereka tidak lebih dari lima orang, maka mereka tidak berhasil menghindarkan diri dari terkaman maut. Apalagi sergapan itu datang begitu tiba-tiba tanpa mereka duga-duga lebih dahulu. Tanpa melepaskan korban, kelompok itu telah berhasil membinasakan tiga kelompok peronda. Dan kini mereka merayap maju lagi. Seperti seekor harimau yang sedang mengintai sarang kelinci. Berapa kali saja harimau itu menangkap kelinci, namun harimau itu tidak akan menjadi kenyang sama sekali.
Ternyata di desa itu terdapat tiga gardu peronda. Dan isi dari ketiga gardu itu  pun mengalami nasib serupa, meskipun di gardu ketiga, salah seorang anggota kelompok yang dipimpin oleh Wrahasta itu terluka di pundaknya.
“Jalan telah terbuka,” geram Wrahasta.
“Kita tinggal melintasi bulak panjang dan sebuah desa. Kemudian sebuah bulak pendek yang tidak berarti. Di bulak pendek itulah kita akan menyusun gelar.”
“Terlampau dekat,” tiba-tiba salah seorang pengawal menyahut.
Wrahasta menggeleng,
“Tidak. Tidak terlampau dekat.”
“Selama kita menyusun gelar di bulak pendek itu, ada kemungkinan, bahwa kedatangan kita diketahui oleh pengawas.”
“Tetapi kita akan segera siap untuk menyerang mereka.”
“Bukankah lebih baik, apabila dengan tiba-tiba saja kita menyergap seperti gardu-gardu perondan ini?”
Wrahasta menggelengkan kepalanya. Sambil menengadahkan dadanya ia berkata,
“Kita mempunyai banyak kelebihan dari lawan.”
Dada Gupita berdesir mendengar jawaban itu. Agaknya kemenangan-kemenangan kecil di sepanjang jalan ini membuat Wrahasta terlampau berbangga. Karena itu, ia menjadi cemas pula. Gupala yang tidak pernah membuat terlampau banyak pertimbangan itu  pun merasakan, bahwa Wrahasta merasa dirinya terlampau cakap untuk memimpin pasukan. Namun Gupala tidak mencoba berbuat apa pun. Kalau terjadi perselisihan di antara mereka, maka keadaan pasti akan menjadi kalut. Dan gurunya hanya dapat menyalahkannya.
“Marilah kita lintasi bulak ini dengan mengangkat kepala. Kita telah membinasakan lima kelompok peronda, dalam waktu yang singkat,” berkata Wrahasta kemudian.
Raksasa itu tidak menunggu jawaban siapa pun. Segera ia melangkah menyusur jalan yang terbentang di tengah-tengah tanah persawahan yang luas. Gupita yang melihat tingkah laku Wrahasta merasa wajib untuk memperingatkannya demi keselamatan seluruh pasukan, tidak hanya sekedar kelompok kecil ini. Maka dengan hati-hati ia berkata,
“Kita harus tetap memperhitungkan kemungkinan pengawasan di tengah-tengah bulak ini.”
Wrahasta berpaling. Jawabnya,
“Aku sudah tahu. Aku mempunyai pengalaman yang cukup. Aku kira jauh lebih banyak dari seorang gembala, karena aku adalah pemimpin pengawal Tanah Perdikan.”
Jawaban itu sama sekali tidak disangka-sangka. Karena itu, terasa sesuatu bergetar di dalam dada Gupita dan apalagi Gupala. Namun keduanya tidak menyahut. Mereka berjalan saja di belakang Wrahasta. Gupita menjadi berprihatin karenanya. Namun Gupala menjadi acuh tidak acuh. Suara Wrahasta dianggapnya seperti desau angin malam yang lewat menyentuh telinganya.
“Kalau aku mendengarkannya, maka aku berniat untuk menjawabnya,” berkata Gupala di dalam hatinya.
“Dan mulut ini rasa-rasanya sudah terlampau gatal. Karena itu, lebih baik aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.”

Dan kelompok itu pun merayap maju terus di antara tanah persawahan. Semakin lama semakin jauh ke tengah bulak yang panjang. Mereka dengan penuh tekad menyerahkan segenap hidup mereka kepada kewajiban yang sedang mereka lakukan. Namun dengan demikian, bukan berarti bahwa mereka sedang membunuh diri. Namun agaknya Ki Tambak Wedi dan Sidanti memang tidak memperhitungkan kemungkinan itu. Meskipun mereka tidak menjadi lengah, dan menempatkan para peronda di tempatnya, tetapi agaknya orang-orang yang bertugas itu tidak mendapat peringatan keras, bahwa kemungkinan itu akan dapat terjadi. Menurut perhitungan Ki Tambak Wedi, Ki Argapati pasti masih belum dapat bangkit dari pembaringannya. Meskipun Ki Tambak Wedi sudah mengambil keputusan untuk secepatnya menggempur benteng pring ori itu dan menjadikannya karang abang, namun ternyata para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh berbuat lebih cepat lagi. Mendahului hari yang telah ditentukan oleh Ki Tambak Wedi. Samekta, pemimpin tertinggi yang kali ini diserahi pasukan di samping Ki Argapati sendiri yang sedang terluka itu, tidak dapat membayangkan, apalagi memperhitungkan dengan tepat, berapakah kekuatan lawan. Sebagai gambaran dipergunakannya kekuatan Ki Tambak Wedi yang dibawa langsung menyerang pemusatan pasukannya yang terakhir.
“Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi belum dapat menghimpun orang Menoreh yang masih bertebaran di padukuhan-padukuhan kecil. Dengan janji-janji yang membubung setinggi awan, mereka yang ragu-ragu akan menjadi mudah terpikat. Apalagi ternyata selama ini Ki Gede Menoreh hanya bersembunyi saja di balik pagar pring ori itu,” berkata Samekta di dalam haitinya.
“Jika demikian, maka jumlah pasukan Ki Tambak Wedi akan segera bertambah. Meskipun mereka bukan orang-orang yang terlatih baik, namun pada umumnya setiap laki-laki di Menoreh, mampu menggenggam senjata.”
Samekta mengerutkan keningnya. Apa yang dilihatnya di sepanjang jalan adalah permulaan yang baik bagi pasukannya. Kelompok yang dikirimkannya mendahului induk pasukan ternyata telah melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
“Meskipun jumlah pasukan Ki Tambak Wedi menjadi berlipat, namun sergapan yang tiba-tiba akan membuat mereka bingung,” desis Samekta.
“Mudah-mudahan kita akan segera berhasil.”
Sekilas dipandanginya gembala tua yang berjalan beberapa langkah di sampingnya. Sekali-kali tumbuh keragu-raguan di dalam hatinya.
“Apakah orang ini benar-benar dapat dipercaya untuk, melawan Ki Tambak Wedi?”
Sementara itu induk pasukan Menoreh itu  pun maju terus melintasi jalan berdebu. Langit yang kehitam-hitaman ditaburi oleh bintang-bintang yang gemerlapan. Namun tiba-tiba terasa betapa Tanah Perdikan ini telah benar-benar terbakar dalam suatu pertentangan di antara keluarga sendiri. Samekta menarik nafas dalam-dalam.

Namun dalam pada itu, Wrahasta tersenyum sambil menengadahkan kepalanya. Dengan garangnya ia berkata,
“Para peronda di desa itu pun akan segera binasa.”
“Hati-hatilah,” desis Gupita dengan serta-merta.
“Aku sudah cukup mengerti,” bentak Wrahasta, “kau tidak perlu setiap kali menggurui aku.”
“Tetapi kita sudah terlampau dekat dengan padesan di depan kita. Para peronda di dalam gardu itu akan melihat bayangan kita di hadapan layar kebiruan langit yang terang,” sahut Gupita.
“Persetan,” jawab Wrahasta, “kalau kau menjadi ketakutan, kembalilah.”
Gupita adalah seseorang yang selama ini selalu berusaha menahan dirinya. Demikian juga pada saat itu. Betapa dadanya menjadi bergetar, namun ia tidak menanggapinya dengan perasaan.
“Kita akan langsung menyergap gardu di mulut lorong itu,” geram Wrahasta.
Gupita menahan geletar jantungnya. Namun agaknya sikap Wrahasta itu telah menumbuhkan keheranan, tidak saja pada Gupita dan Gupala, namun akhirnya para pengawal Menoreh sendiri pun menjadi heran. Seorang petugas sandi yang berada di dalam kelompok kecil itu segera berkata,
“Tetapi dengan demikian kita telah kehilangan kewaspadaan. Sebaiknya kita melakukannya dengan hati-hati seperti yang baru saja terjadi. Bukankah kita berhasil dengan baik? Cara itu ternyata adalah cara yang sebaik-baiknya.”
“Kita bukan pengecut,” jawab Wrahasta,
“pengecut yang hanya berani menyergap lawan tanpa beradu dada.”
“Bukan. Bukan sikap pengecut,” jawab petugas sandi itu.
“Tetapi kita memang seharusnya berhati-hati di peperangan.”
“Aku akan maju terus lewat jalan ini. Kemudian kita akan bertempur dengan orang-orang yang ada di dalam gardu itu. Kita baru akan dapat dikatakan berhasil dengan baik apabila dengan beradu dada kita dapat membinasakan mereka.”
Gupita mengerutkan keningnya. Dan ia melihat Wrahasta menengadahkan kepalanya sambil berdesis,
“Lihatlah bintang-bintang yang gemerlapan di langit. Mereka akan menjadi saksi, bahwa malam ini seorang pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bernama Wrahasta telah berhasil menunaikan tugasnya dengan sempurna. Tugas seorang lelaki jantan. Bukan seorang pegecut. Dengan demikian apabila kita berhasil maka kita baru dapat disebut sebenarnya pahlawan.” Wrahasta berhenti sejenak. Namun tiba-tiba semua orang menahan nafasnya ketika Wrahasta itu seolah-olah berbicara kepada bintang-bintang di langit,
“He, bintang gemintang. Apabila kita tidak bertemu lagi besok malam, maka kalian akan mengenangkan jasaku atas tanah perdikan ini. Kalian akan melihat bahwa aku bukan pengecut. Bukan orang yang sama sekali tidak berharga seperti yang kalian sangka selama ini.”
Orang-orang yang berada di dalam kelompok itu saling berpandangan sejenak. Tetapi tidak seorang  pun yang berbicara. Sementara itu Wrahasta sambil tertawa kecil berkata kepada mereka,
“Nah, kita akan menyergap dari depan. Ingat. Kita adalah laki-laki.”
Gupala yang terheran-heran pula mendekati Gupita sambil berbisik,
“He, apakah Wrahasta menjadi gila?”
“Hus,” desis Gupita. “Tetapi cara ini memang sangat berbahaya.”
“Tetapi menyenangkan,” desis Gupala. “Aku sependapat.”
“Ah, kau pun telah menjadi gila pula.”
Gupita menjadi jengkel melihat Gupala malahan tersenyum. Dipandanginya wajah Gupita yang berkerut merut. Namun Gupala tidak berkata sesuatu.

Tetapi Gupita  pun menyadari, bahwa ada perbedaan tanggapan atas sikap Wrahasta dan Gupala, meskipun keduanya ingin mempergunakan cara yang sama. Wrahasta yang dimabukkan oleh kemenangan-kemenangan kecil itu merasa dirinya menjadi terlampau cakap untuk melakukan tugasnya. Sedang Gupala hanya sekedar terdorong oleh jiwanya yang kadang-kadang menggeletak tanpa dapat dikendalikan. Ia memang selalu ingin mengalami sesuatu yang dahsyat. Gupala sama sekali tidak puas melakukan penyergapan atas orang-orang yang sedang tidur atau setengah tidur. Mengejutkan mereka, dan sebelum mereka berbuat sesuatu, orang-orang di dalam pasukannya telah berebutan menghunjamkan pedangnya.
“Apakah menariknya perkelahian serupa itu?” katanya di dalam hati.
Gupita menarik nafas. Tetapi ia tidak dapat mencegah kelompok ini berjalan terus semakin mendekati mulut padesan di depan mereka.
“Wrahasta,” berkata Gupita kemudian,
“bukan berarti bahwa kita takut menghadapi mereka beradu dada, tetapi apabila tiba-tiba mereka membunyikan tanda bahaya, maka seluruh tugas kita akan gagal.”
Wrahasta mengerutkan keningnya.
“Yang pengecut sama sekali bukan kita. Tetapi kalau orang-orang di dalam gardu itulah yang pengecut, akibatnya kitalah yang akan mengalaminya. Pimpinan tertinggi pasukan menoreh akan menganggap bahwa kita tidak mampu melakukan tugas kita.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba ia menggeram,
“Itulah susahnya kalau kita tidak yakin bahwa kita akan berhadapan dengan laki-laki jantan.”
“Dan pengecut yang demikian akan lari sebelum kita bertemu pandang. Sebagian dari mereka akan segera memukul tanda-tanda bahaya sebelum melihat jumlah lawan yang mereka hadapi.”
“Bagus,” jawab Wrahasta yang dengan demikan dapat mendengar keterangan Gupita,
“sebagian dari kalian harus berlindung. Kalian akan berjalan di sepanjang parit, dan yang sebagian akan menyusup di antara batang-batang jagung. Aku akan berjalan di atas jalan ini seorang diri.”
“Kenapa?” bertanya Gupita.
“Aku akan datang dari depan. Dan aku kira mereka tidak akan segera memukul tanda-tanda apabila mereka hanya melihat aku seorang diri.”
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi itu akan jauh lebih baik dari rencana Wrahasta semula. Demikianlah ketika mereka telah menjadi semakin dekat maka Wrahasta segera memerintahkan pasukannya untuk memecah. Katanya kemudian,
“Aku akan mulai dengan perkelahian. Kalian harus segera menyergap dari arah masing-masing. Jangan diberi kesempatan sama sekali untuk memberikan tanda apa pun. Kentongan atau panah api atau panah sendaren.”
Para pengawal di dalam kelompok kecil itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun para petugas sandi saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka kemudian mengangguk-anggukkan kepala mereka pula.
Meskipun demikian salah seorang dari mereka bertanya,
“Apakah tidak sebaiknya aku melihat lebih dahulu, apa saja yang terdapat di dalam gardu?”
“Tidak perlu. Seandainya ada sepuluh atau lima belas orang, apakah kalian takut?”
“Bukan takut.”
“Nah, kalau begitu, kita akan melakukannya dengan caraku. Seandainya di dalam gardu itu ada sepuluh orang, kita masih mempunyai beberapa kelebihan. Bukankah kita semuanya lebih dari sepuluh orang. Seandainya jumlah mereka lebih banyak, bukankah kalian juga tidak akan takut seandainya satu-dua di antara kalian harus melawan lebih dari seorang?”
Jawaban Wrahasta itu sama sekali bukan yang dimaksud oleh petugas sandi itu. Karena itu ia mencoba menjelaskan,


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar