Karena suara yang mereka dengar juga selalu berubah, maka keduanya segera mengambil kesimpulan bahwa yang ada di sekitarnya pasti bukan hanya satu dua orang.
Sejenak mereka
saling berpandangan. Namun sejenak kemudian Kirti berdesis,
“Tidak ada
gunanya untuk melawan. Kita harus melaporkannya.”
Juki
menganggukkan kepalanya. Karena itu, maka mereka segera menggerakkan kendali
kuda mereka sehingga kuda-kuda itu pun segera meloncat meninggalkan tempat itu.
Namun kuda-kuda itu segera terkejut. Keduanya meringkik dan berdiri pada kedua
kaki belakang, ketika tiba-tiba saja sebuah cambuk telah melibat kaki-kaki
mereka.
Hampir saja
penunggangnya terpelanting. Hanya karena keprigelan mereka sajalah maka mereka
tidak terlempar. Namun tanpa mereka sangka-sangka, sebuah kekuatan yang besar
telah menghentakkan tangan mereka, dan menyeretnya jatuh ke tanah hampir
berbareng. Dengan sigapnya mereka berloncatan. Segera mereka berhasil berdiri
di atas kedua kaki masing-masing. Sedang pedang mereka masih tetap di dalam
genggaman.
“Siapa kalian
setan?” bertanya Juki.
Yang berdiri
di hadapan keduanya adalah seorang anak muda yang gemuk. Sambil tertawa ia
berkata,
“Kalian harus
tetap berada di sini.”
“Siapa kau?”
“Kami telah
terpaksa membunuh orang-orang yang sedang berada di dalam gardu. Terpaksa.
Tetapi tidak terhadap kalian, karena kami mempunyai banyak kesempatan untuk
berbuat lain. Apalagi kalau kakakku tahu, bahwa aku telah membunuh kelinci,
maka aku pasti akan dimarahi. Nah, karena itu, tinggallah kalian di dalam gardu
ini. Sebagai bukti ketaatan kami kepada kakakku, maka kalian akan kami ikat dan
kami tunjukkan kepadanya, bahwa kami hanya membunuh apabila terpaksa. Terpaksa
sekali. Dan bahkan ia, maksudku kakakku itu, pasti telah melakukan pembunuhan
pula selama pertempuran berlangsung. Sengaja atau tidak sengaja.”
Kedua orang
itu menggeretakkan giginya. Ketika sekilas mereka memandangi kuda-kuda mereka,
maka kuda-kuda itu telah lari dan hilang di dalam kelamnya malam.
“Jangan
melawan.”
“Persetan
dengan kau!” teriak Kirti.
“Kaulah yang
harus menyerah kepada kami dan mempertanggungjawabkan segala kesalahanmu.”
“Ah, jangan
berpura-pura. Aku tahu, bahwa kalian menjadi gemetar. Lebih baik kalian
berterus terang. Kami tidak akan membunuh kalian. Tetapi kami hanya ingin
mengikat kalian di dalam gardu itu.”
“Lihat, aku
bersenjata. Laki-laki yang bersenjata pantang menyerah. Kecuali kepada maut.”
Gupala
tiba-tiba saja tertawa,
“Ah, jangan
berbicara seperti dalang wayang beber.”
“Persetan!”
kedua orang itu merasa benar-benar terhina.
“Berlakulah
jujur. Kalian ngeri melihat mayat yang berserakan ini bukan? Tentu. Aku juga
menjadi ngeri. Karena itu jangan kita tambah lagi jumlahnya. Seandainya kita
bertempur, maka baik aku mau pun kau yang terbunuh, jumlah mayat-mayat ini
pasti akan bertambah.”
Kedua orang
itu tidak menjawab lagi. Serentak mereka melangkah maju. Namun langkah itu
tertegun mendengar anak yang gemuk itu berkata,
“Kalian telah
terkepung. Kami mampu membunuh seluruh isi gardu tanpa perlawanan yang berarti.
Meskipun ada juga korban yang jatuh di pihak kami. Meskipun demikian kalau kau
menyerah, kami akan menghidupi kalian.”
Kedua orang
itu tertegun. Mereka percaya, bahwa mereka benar-benar telah terkepung. Tetapi
untuk menyerah, terasa betapa rendah martabat mereka. Karena itu, maka dengan
serta-merta mereka menyerang Gupala. Kedua senjata itu langsung menusuk ke
pusat jantung. Tetapi Gupala tidak sedang tidur nyenyak. Dengan sigapnya ia
menghindar sambil berkata,
“Jangan
membunuh diri. Sebaiknya kalian melihat kenyataan yang kalian hadapi.”
Tetapi kedua
orang itu sama sekali tidak menghiraukaunya. Keduanya segera mempersiapkan
serangan berikutnya. Senjata mereka bergetar secepat getar jantungnya. Gupala
menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak mendapat kesempatan untuk terlalu
banyak berbicara. Kedua lawannya itu menyerang dengan dahsyatnya.
“He, jangan
gila.” Gupala masih mencoba berteriak. Namun suaranya hilang seperti teriakan
seorang nelayan yang sendiri di lautan lepas.
Kedua lawannya
masih tetap menyerangnya. Dan Gupala terpaksa selalu menghindar. Tetapi
ternyata Gupala bukan seorang yang cukup sabar dan ragu-ragu menghadapi
lawan-lawannya yang demikian. Ia merasa bahwa ia sudah tidak dapat dianggap
sewenang-wenang lagi, karena ia sudah mencoba memberi pringatan kepada
lawan-lawannya. Tetapi karena mereka tidak menghiraukannya, maka apa boleh
buat. Dan Gupala memang tidak begitu berhasrat menahan dirinya lagi. Kedua
orang yang baginya terlampau sombong itu, sama sekali tidak diberinya
kesempatan lagi. Kali ini Gupala bertempur dengan pedang. Dengan tenaganya yang
dahsyat, ia memukul senjata lawannya. Sentuhan pertama membuat tangan lawannya
menjadi pedih. Sedang sentuhan berikutnya telah melemparkan senjata lawannya
beberapa langkah dari padanya. Gupala segera menyerang lawannya yang sudah
tidak bersenjata lagi itu. Dengan susah payah mereka berloncatan dan mencoba
memencar. Namun nasib mereka memang terlampau malang. Tanpa mereka duga,
tiba-tiba saja muncul beberapa orang di belakang mereka, sehingga mereka telah
terkepung rapat. Dan ternyata bukan sekedar sebuah kepungan yang rapat. Sejenak
kemudian kepungan itu telah menyempit, dan tanpa dapat berbuat apa-apa lagi,
beberapa ujung senjata telah hampir melukai tubuhnya.
“Nah, apakah
kau masih akan melawan?” terdengar suara yang bernada dalam.
Kedua orang
itu berpaling. Dilihatnya wajah Wrahasta yang tegang. Tetapi kedua orang itu
tidak menjawab.
“Sudah
terlampau banyak korban di pihak kita,” berkata salah seorang yang lain,
“sedang kita
masih belum cukup mendapat ganti. Karena itu bunuh saja kedua tikus ini.”
“Sudah sekian
banyak kita membunuh dan sekian banyak korban yang jatuh. Kenapa kita masih
sempat membuat pertimbangan-pertimbangan?”
Namun
tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara di belakang mereka,
“Adalah kurang
bijaksana untuk membunuh orang yang sudah tidak berdaya.”
Ketika mereka
berpaling, mereka melihat seseorang yang berdiri bertolak pinggang. Gupala dan
beberapa orang yang lain mengerutkan keningnya. Namun segera mereka dapat
mengenal orang itu,
“Ki Peda
Sura.”
Karena itu,
maka dada mereka pun menjadi
berdebar-debar. Ditatapnya orang yang bertolak pinggang itu dengan tajamnya.
Sejenak kemudian terdengar orang itu berkata,
“Memang luar
biasa. Kalian telah berhasil membinasakan seluruh isi gardu. Kemudian kedua
orang yang ditugaskan oleh Angger Sidanti ini pun berhasil kalian jebak pula. Tetapi
sayang, bahwa kau telah membunuh beberapa orang-orangku pula sehingga aku pun memerlukan kalian sebagai gantinya.
Setuju?”
Darah Gupala
segera menjadi panas. Selangkah ia maju. Meskipun ia sadar, bahwa Ki Peda Sura
adalah seorang yang pilih tanding. Namun untuk melawan orang itu bersama-sama
dengan beberapa orang kawan-kawannya, agaknya akan dapat memberinya kesempatan
bertahan beberapa lama.
“He, kau anak
yang gemuk,” desis Ki Peda Sura.
“Kau memang
anak yang berani. Berani, cerdik dan tangguh. Tetapi kau kurang cermat. Kedua
ekor kuda yang kembali tanpa penunggangnya itu aku jumpai di pinggir padukuhan
induk. Dan salah satu di antaranya telah aku pergunakan kemari, karena aku
menjadi curiga karenanya.”
Gupala
mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia berteriak,
“Bohong.
Kupingku tidak tuli. Kalau kau datang berkuda, aku akan mendengar derap
kakinya.”
Ki Peda Sura
tertawa. Katanya,
“Hanya
orang-orang yang bodoh sajalah yang berpacu dengan derap yang memekakkan
telinga. Kuda-kuda itu dengan senang hati akan berjalan lebih lambat tanpa
melemparkan suara gemeretak sampai berpuluh-puluh langkah di depan, sebelum
kuda itu mendekat.”
Gupala tidak
menyahut. Dan Ki Peda Sura berkata,
“Aku berhenti
beberapa puluh langkah. Kemudian aku berjalan kaki mendekati gardu ini, tempat
kalian menjebak orang-orang Sidanti.”
Gupala menjadi
semakin marah. Tetapi ia menyadari. bahwa melawan orang itu bukan pekerjaan
yang mudah. Karena itu maka katanya,
“Wrahasta.
Biarlah orang-orang lain mengurus kelinci-kelinci itu. Kita akan menangkap
musang.”
Suara tertawa
Ki Peda Sura menjadi berkepanjangan. Katanya,
“Kau memang
terlampau sombong. Aku tidak peduli dengan kedua orang itu. Kalau kau ingin
menjadi pembunuh-pembunuh licik, maka bunuhlah orang-orang yang sudah tidak
berdaya itu apa pun alasannya. Keduanya bukan orang-orangku. Tetapi yang akan
aku lakukan adalah menuntut kematian orang-orangku. Di gardu ini hampir separo
dari mereka yang terbunuh adalah orang-orangku.”
“Dan sebentar
lagi kau sendiri.”
Ki Peda Sura
mengerutkan keningnya. Namun suara tertawanya menjadi semakin keras.
“Kau memang
sedang mengigau. Baik. Mengigaulah sepuas-puasmu.”
Namun
tiba-tiba suara tertawa itu terputus, ketika ia mendengar gemerisik langkah
kaki di balik rimbunnya dedaunan.
“Siapa yang
bersembunyi?” teriak Ki Peda Sura,
“Apakah masih
belum semuanya hadir di sini? Marilah, aku persilahkan kalian keluar dari
persembunyiannya.”
Sejenak
suasana menjadi sepi. Tidak seorang pun
yang berbicara dan beranjak dari tempatnya. Semua berdiri tegang dan bersiaga,
sedang dua orang yang datang berkuda masih saja membeku di antara beberapa
orang yang mengacungkan senjatanya.
Suara
gemerisik di balik rimbunnya dedaunan kini tidak terdengar lagi. Betapa pun mereka mencoba mendengarkan setiap suara,
namun suara desir itu sama sekali tidak mereka dengar.
“Kita tidak
tahu,” berkata Gupala,
“apakah suara
itu suara kawanku atau justru kawanmu. Kalau yang datang itu kawanmu, baiklah
ia segera keluar. Kalau kawanku biarlah ia tetap bersembunyi agar aku sempat
membunuh kau lebih dahulu.”
Ki Peda Sura
mengerutkan keningnya. Tanpa disadarinya ia memandang setiap orang yang sedang
berdiri tegang. Kedua orang-orang Sidanti itu sama sekali tidak dapat
diharapkannya lagi. Dengan satu gerakan serentak, dua tiga pedang akan
membinasakan mereka. Lalu orang-orang itu akan beramai-ramai menyerangnya.
Ditambah seorang yang cukup berkemampuan yang masih belum menampakkan dirinya. Orang
tua itu menimbang sejenak. Tetapi ia sudah mendapatkan suatu keuntungan. Dengan
demikian ia mengetahui, bahwa bahaya telah berada di ambang pintu, sedang Ki
Tambak Wedi dan para pemimpin yang lain sama sekali belum mengerti, bahwa para
peronda di gardu-gardu telah musnah, tanpa sempat membunyikan tanda bahaya.
“Berita ini
sangat penting. Kalau aku melayani anak-anak ini, mungkin aku akan kehilangan
banyak waktu,” katanya di dalam hati. Tiba-tiba saja maka Ki Peda Sura itu
menggerakkan sepasang senjatanya sambil melangkah maju. Gupala terkejut, segera
pedangnya bersilang di muka dadanya. Sedang Wrahasta pun melangkah ke samping
menjauhi Gupala.
Namun yang terjadi
benar-benar di luar dugaan. Ki Peda Sura meloncat dengan tangkasnya justru
menjauhi lawannya. Orang tua itu ternyata berlari kencang-kencang ke luar
padesan.
“He, kemana
kau akan lari?” bertanya Gupala.
Tetapi Gupala
tidak dapat berlari secepat Ki Peda Sura. Juga ketika sebuah bayangan dari
balik dedaunan mencoba mengejarnya. Ternyata Ki Peda Sura menambatkan kudanya
agak jauh dari gardu, di balik pohon-pohon jarak di jalan sidatan. Dengan
lincahnya orang tua itu meloncat ke punggung kuda sambil menarik kendali yang
disangkutkannya pada sebatang ranting yang kecil. Sebelum orang-orang yang
mengejarnya mampu menyentuhnya, Ki Peda Sura telah melarikan kudanya seperti
disentuh hantu. Dalam saat yang sekejap itu, ternyata kedua orang yang telah
tidak bersenjata itu pun sempat melarikan dirinya. Tetapi mereka tidak
mengambil arah seperti Ki Peda Sura. Dengan serta-merta mereka meloncat pagar
batu dan menghilang di dalam rimbunnya dedaunan. Gupala, Gupita yang mencoba
mengintai Ki Peda Sura dari balik gerumbul dan Wrahasta, menumpahkan segala
perhatian mereka kepada Ki Peda Sura, sehingga mereka sama sekali kehilangan
pengamatan atas kedua orang yang datang berkuda itu. Beberapa orang yang sedang
mengacungkan senjata mereka, agaknya telah terpengaruh pula oleh keributan yang
terjadi dengan tiba-tiba itu, sehingga mereka telah kehilangan waktu setelah
hampir saja mereka binasakan itu untuk melarikan dirinya. Sejenak mereka
berkejaran, namun kedua orang itu kemudian lenyap seperti iblis di dalam
gelapnya malam, dalam rimbunnya gerumbul-gerumbul liar dan rumpun-rumpun bambu
yang lebat.
Dengan wajah
yang merah padam Wrahasta menggeretakkan giginya. Ketika mereka telah berkumpul,
Wrahasta itu menggeram,
“Sia-sialah
semua pengorbanan ini. Ternyata akhirnya kedatangan kita akan diketahui oleh Ki
Tambak Wedi.”
Tetapi Gupita
menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Tidak
sia-sia. Ternyata pasukan induk itu telah terlampau dekat. Aku telah melaporkan
semuanya, dan aku mendahului mereka, karena pertimbangan-pertimbangan yang
khusus. Ternyata bahwa kecemasanku ada juga sebabnya. Sayang Ki Peda Sura dapat
melarikan diri.” Gupita terdiam sejenak. Namun sambil mengangkat wajahnya ia
berkata,
“Aku sudah
mendengar derap pasukan induk itu.”
“Mereka harus
segera mendengar apa yang telah terjadi,” desis Wrahasta.
“Ya, dan
mereka harus segera memasang gelar dan langsung menusuk jantung padukuhan
induk.”
Wrahasta tidak
menjawab. Ujung pasukan induk itu sudah menjadi semakin dekat. Akhirnya,
pasukan itu muncul dari ujung lorong. Sejenak mereka berhenti. Samekta dengan
seksama mendengarkan laporan Wrahasta tentang tugasnya.
“Tetapi di
saat terakhir mereka mengetahui juga bahwa pasukan kita akan datang,” berkata
Wrahasta kemudian.
“Belum dapat
disebut demikian. Yang diketahui oleh Ki Peda Sura adalah serangan pada gardu
ini dan membinasakan seluruh isinya,” jawab Samekta.
“Namun ia akan
dapat menarik kesimpulan.”
“Kita sudah
cukup dekat. Kita akan segera menyusun gelar dan masuk ke padukuhan induk,
sebelum mereka berhasil menyusun kekuatan.”
Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Samekta berbicara sebentar dengan gembala
tua, Hanggapati, dan Dipasanga. Kemudian dengan tergesa-gesa Samekta
menyampaikan semuanya itu kepada Ki Argapati.
“Kau sudah
bertindak tepat. Lakukanlah.” Samekta
pun kemudian kembali ke tempatnya. Dengan isyarat yang kemudian
disalurkan ke setiap pemimpin kelompok, Samekta memerintahkan untuk memasang
gelar di depan padukuhan itu.
Sejenak
kemudian pasukannya menebar. Mereka tidak lagi mengingat tanaman-tanaman yang
sedang menghijau di sawah dan pategalan. Mereka juga tidak menghiraukan pula
tanah berlumpur dan pematang-pematang. Demikianlah, sejenak kemudian Samekta
telah berhasil menyusun gelar. Samekta, gembala tua, dan kedua anak-anaknya
berada di induk pasukan, sedang Wrahasta dan Kerti masing-masing berada di
sayap. Seperti yang pernah direncanakan, maka Hanggapati dan Dipasanga
masing-masing harus berada di sayap sebelah-menyebelah. Menurut perhitungan,
Sidanti dan Argajaya pun akan berada dan memimpin masing-masing sebelah sayap. Sedang
Gupita dan Gupala di pertempuran nanti harus mencari Ki Peda Sura yang menurut
dugaan orang-orang Menoreh, akan berdiri di bagian dalam pasukan Ki Tambak
Wedi.
“Kalau mereka
tidak sempat menyusun gelar, atau menyusun barisan,” berkata Samekta,
“maka Ki
Hanggapati dan Ki Dipasanga terpaksa harus keluar dari sayap dan mencari
Sidanti dan Argajaya.”
Keduanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari bahwa mereka kini tidak berada
dalam susunan gelar prajurit. Di dalam lingkungan keprajuritan, maka pada
umumnya pangkat mereka telah menggambarkan, meskipun tidak selalu dan mutlak,
tingkat tanggung jawab dan kewajiban. Mereka tidak perlu membagi-bagi dan
menempatkan orang demi orang yang harus saling berhadapan, selain
senapati-senapatinya.
Sejenak
kemudian maka Samekta pun segera memberi isyarat, agar pasukan itu segera
berderap maju. Dalam gelar, mereka menembus tanah persawahan yang sedang
ditanami. Para pengawal Tanah Perdikan, yang sebagian terbesar terdiri dari
keluarga petani yang telah agak lama tidak mendapat kesempatan bersentuhan
dengan daun padi muda, merasa sangat sayang menginjak-injak tanaman itu. Tetapi
apa boleh buat. Mereka harus maju dalam gelar yang siap melawan pasukan lawan. Baru
beberapa langkah mereka maju, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara kentongan
menggema di padukuhan induk. Agaknya Ki Peda Sura telah sampai di sana dan
melaporkan apa yang telah mereka 1ihat.
“Setan alas!”
teriak Ki Tambak Wedi. “Tidak seorang
pun yang dapat hidup di gardu itu?”
“Ya.”
“Berapa orang
yang telah menyerang mereka?”
“Aku tidak
tahu. Tetapi sergapan itu aku kira begitu tiba-tiba. Yang aku lihat masih ada
di sana sekitar lima atau enam orang. Tetapi pasti di antara mereka telah jatuh
korban pula.”
“Terlalu,” Ki
Tambak Wedi menggeram.
“Tetapi,
apakah menurut dugaanmu mereka akan datang menyerang malam ini bersama seluruh
kekuatan?”
“Aku tidak
tahu. Tetapi hal itu mungkin mereka lakukan.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya.
“Apakah
Argapati telah dapat memimpin pasukannya, atau bahkan Argapati telah mati,
sehingga dengan putus asa mereka menyergap ke induk padukuhan ini?”
“Salah satu
dari dua kemungkinan. Tetapi bagaimanapun juga kita harus bersiap. Menghadapi
orang yang sedang membunuh diri agaknya pekerjaan kita akan menjadi jauh lebih
berat.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara suara kentongan telah memenuhi bukan
saja padukuhan induk tetapi desa-desa kecil di sekitarnya.
Para penjaga
menjadi semakin bersiaga. Namun sebuah pertanyaan telah mengganggu mereka,
“Kenapa suara
tanda-tanda bahaya itu justru mulai dari padukuhan induk?”
Dengan
tergesa-gesa Ki Tambak Wedi menyusun barisannya. Seperti yang telah
diperhitungkan oleh para pemimpin Menoreh maka Sidanti dan Argajayalah yang
mendapat tugas untuk memimpin sayap pasukan mereka.
“Aku mendengar
suara cambuk sebelum paman Peda Sura melihat keadaan di padesan itu. Aku
menyangka salah seorang dari mereka adalah orang-orang yang sering
mempergunakan cambuk seperti yang selama ini kita lihat.”
“Maksudmu
orang-orang yang mempunyai pengetahuan keprajuritan dan bertempur seperti prajurit-prajurit
Pajang itu?”
“Ya, meskipun
pada keadaan tertentu mereka lebih cakap mempergunakan pedang.”
“Berhati-hatilah.
Kita tidak boleh terjebak oleh kebanggaan kita sendiri. Karena itu, kita harus
mengerahkan segenap kemampuan. Kalau mereka benar-benar akan datang, mereka pun
pasti akan membawa semua kekuatan yang ada. Apakah mereka berkeinginan untuk
merebut kembali padukuhan induk ini ataukah karena mereka sedang berputus asa.”
Sidanti,
Argajaya dan Ki Peda Sura dapat mengerti sepenuhnya pesan Ki Tambak Wedi itu,
sehingga karena itu, maka mereka tidak meninggalkan segala perhitungan. Semua
kekuatan yang ada telah dikerahkan. Bahkan mereka yang sedang berada di
gardu-gardu pun telah mereka tarik
sebanyak-banyaknya dapat mereka lakukan.
“Kita dapat
mengirimkan dua orang pengawas, untuk melihat apakah ada sepasukan lawan yang
mendekat,” berkata Ki Tambak Wedi.
Ketika kedua
orang itu meninggalkan padukuhan induk, pasukan Ki Tambak Wedi dan Ki Peda Sura
telah hampir seluruhnya berkumpul. Kemudian mereka mendapatkan beberapa
petunjuk untuk menghadapi lawan.
“Kita melawan
di depan padukuhan ini, agar tidak menimbulkan banyak akibat dan kerusakan.
Kita akan menyapu mereka sampai orang yang terakhir. Ingat, seandainya mereka
mengundurkan diri, jangan diberi kesempatan seorang pun untuk lolos. Tetapi
kemungkinan yang lain, mereka akan berkelahi membabi buta. Hati-hatilah melawan
orang-orang yang sedang gila. Kalian tidak boleh kehilangan akal.”
Pasukan yang
belum lengkap benar itu pun kemudian
bergerak meninggalkan halaman rumah Kepala Tanah Perdikan dan lapangan kecil di
muka banjar. Mereka akan segera bergabung sambil menunggu kelompok-kelompok
yang akan segera menyusul.
“Cepat, kita
tidak boleh tersumbat di mulut jalan,” teriak Sidanti.
Pasukan itu
pun maju semakin cepat. Sejenak kemudian ujung pasukan itu telah keluar dari
regol. Namun bersamaan dengan itu datanglah kedua pengawas itu berlari-lari. Setiap
orang menjadi berdebar-debar melihat keduanya. Tetapi kedua orang itu tidak mau
menjawab setiap pertanyaan. Dan itu adalah kewajibannya. Semua persoalan harus
dilaporkannya kepada pemimpinnya lebih dahulu. Karena itu maka kedua orang itu
langsung mencari Ki Tambak Wedi atau Sidanti. Mereka menemukan Ki Tambak Wedi
dan Sidanti justru sedang berbicara dengan Argajaya dan Ki Peda Sura.
“He, apa yang
kau lihat?” bertanya Sidanti.
Dengan nafas
terengah-engah salah seorang dari mereka berkata,
“Aku melihat
sebuah barisan mendatang.”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Dan kedua pengawas itu hampir bersamaan berkata,
“Sebuah
barisan yang kuat.”
“Ya,” Ki Tambak
Wedi menganggukkan kepalanya.
“Apa kau dapat
mengetahui, siapakah yang memimpin pasukan itu?”
Keduanya
menggelengkan kepalanya.
“Baik,”
berkata Ki Tambak Wedi,
“kita songsong
mereka. Mereka pasti sedang membunuh diri. Aku jakin bahwa Argapati tidak akan
mampu memimpin pasukan itu hari ini. Bahkan mungkin orang itu sudah mati.”
Dengan
tergesa-gesa Ki Tambak Wedi pun kemudian pergi ke ujung barisannya. Dengan
isyarat ia mengembangkan tangannya. Dengan demikian maka pasukannya pun segera
menebar. Kali ini Sidanti dan Argajaya langsung pergi ke sayap
sebelah-menyebelah. Sedang Ki Peda Sura berada di induk pasukan bersama Ki
Tambak Wedi. Meskipun pasukan Ki Tambak Wedi masih belum utuh, namun sebagian
besar dari kekuatannya sudah berkumpul, sementara kelompok-kelompok kecil masih
mengalir dan menggabungkan dirinya. Demikianlah maka dua pasukan yang telah
berada dalam gelar telah saling mendekat.
Ternyata usaha
Wrahasta untuk membungkam semua gardu-gardu yang ada di sepanjang jalan, dengan
korban yang tidak sedikit, tidak begitu bermanfaat, meskipun bukan berarti
tidak berguna sama sekali. Karena ternyata Ki Tambak Wedi terpaksa menyiapkan
pasukannya dengan tergesa-gesa sehingga semua persoalan dipecahkannya dengan
kurang cermat. Apalagi persiapan tekad bagi pasukannya sama sekali kurang
mendapat perhatian. Para pemimpinnya tidak sempat memberikan petunjuk-petunjuk
dan bimbingan kepada mereka. Sementara itu Samekta pun telah mendapat laporan pula bahwa
ternyata Ki Tambak Wedi sempat menyiapkan pasukannya. Dan kini pasukan itu
telah menyongsong kedatangan pasukan Menoreh.
“Kita memang
harus bertempur sepenuh tenaga,” berkata Samekta kepada gembala tua yang berada
di ujung pasukan.
“Ya, tetapi
bagaimanapun juga, persiapan Ki Tambak Wedi tidak akan sebaik apabila mereka
mendapat cukup kesempatan.”
“Mereka tidak
akan sempat membawa bermacam-macam alat seperti apabila pasukannya telah
bersiap menyongsong kita. Mereka tidak akan dapat menyiapkan alat-alat pelontar
seperti yang dapat kita persiapkan selagi kita menyongsong kedatangan pasukan
mereka.”
“Ya, dan
mereka sengaja menyongsong kita. Mereka tidak menunggu kedatangan kita di
pinggir padukuhan,” desis gembala tua itu. Lalu,
“Kita harus
mulai dengan mengejutkan mereka.”
Samekta
mengerutkan keningnya.
“Kita berhenti
apabila kita sudah berhadapan. Kemudian kita mulai dengan senjata jarak jauh.
Kita akan menyerang mereka dengan panah. Menurut perhitunganku, mereka tidak
siap untuk menghadapi serangan pertama yang demikian. Aku kira mereka tidak
mempersiapkan perisai secukupnya,” berkata gembala itu.
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada seorang penghubung ia berkata,
“Siapkan
mereka yang bersenjata jarak jauh. Mereka harus segera menempatkan diri.
Apabila keadaan tidak mengijinkannya lagi, mereka harus segera masuk kembali ke
tempatnya dan mempergunakan senjata pendek.”
Perintah itu
sejenak kemudian telah tersebar. Mereka yang membawa busur dan panah, segera
maju di depan pasukan yang sedang berjalan. Meskipun jumlah mereka tidak begitu
banyak, namun mereka akan dapat mengejutkan lawan dan membuat mereka sejenak
kebingungan. Kesan dari serangan pertama itu tentu akan sangat berpengaruh
untuk peperangan berikutnya. Mereka yang membawa busur dan anak panah itu kemudian
menebar dari ujung sampai ke ujung pasukan. Dengan dada yang berdebar-debar
mereka mempersiapkan anak panah mereka yang pertama pada busurnya. Wrahasta
yang berada dan memimpin sayap tiba-tiba melangkah mendahului pasukannya.
Kepada salah seorang yang memegang busur ia berkata,
“Berikan busur
dan panah itu.”
Orang itu
termangu-mangu sejenak.
“Aku akan
mempergunakannya.”
“Tetapi?”
“Aku akan
tetap memimpin sayap ini. Tetapi sebelumnya aku akan mempergunakan busur dan
anak panahmu.”
Orang itu
tidak dapat menolak. Diberikannya busurnya dan endong anak panahnya.
Hanggapati
yang kebetulan berada di sayap itu juga melangkah maju sambil berkata,
“Apakah kau
memerlukannya?”
“Ya. Aku harus
mendapat korban yang sebesar-besarnya. Kami telah kehilangan banyak sekali
pahlawan di saat kita belum mulai.”
“Tetapi kalian
telah berhasil membinasakan jauh lebih banyak.”
“Belum cukup.
Setiap orang sama harganya dengan sepuluh orang lawan. Pahaku sama nilainya
dengan sepuluh orang pula. Apalagi nyawaku. Aku akan membunuh seratus orang
sekaligus.”
“Ah,” desah
Hanggapati,
“kau akan
membunuh seratus orang tanpa menukarkan dengan nyawamu sendiri.”
Tetapi
Wrahasta tertawa. Dan tiba-tiba saja ia bertanya,
“Ki
Hanggapati, apakah kau sudah berkeluarga?”
Hanggapati
mengerutkan keningnya, “Kenapa?”
Wrahasta
menggelengkan kepalanya.
“Tidak
apa-apa. Aku dilahirkan oleh keluarga yang miskin. Ibuku adalah seorang
perempuan yang baik. Ibuku tidak pernah menuntut yang tidak mungkin dapat
diusahakan oleh ayahku.”
Hanggapati
tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah raksasa yang buram itu sejenak.
Sambil menimang-nimang busurnya Wrahasta berjalan lurus ke depan. Sama sekali
tidak dihiraukannya, apa yang terinjak oleh kaki-kakinya.
Dan tiba-tiba
Wrahasta meneruskan,
“Tetapi ibu
tidak panjang umurnya.”
“O,”
Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ayah juga
tidak panjang umur.”
“O,”
Hanggapati masih mengangguk, “jadi mereka sudah tidak ada lagi?”
“Ya. Ibu sudah
tidak ada sejak sepuluh tahun yang lalu, dan ayah sejak lima tahun.”
“Kau satu-satunya
anak?”
Wrahasta
menggelengkan kepalanya,
“Tidak. Aku
adalah anak yang kedua. Saudaraku ada lima orang.”
“Di mana
mereka sekarang?”
“Satu adikku
ada di dalam barisan ini juga. Kakakku adalah seorang petani yang tekun. Aku
tidak tahu apakah ia terlibat atau melibatkan diri dalam kekisruhan ini atau
tidak. Tetapi aku tidak melihat ia berada bersama kita. Sedang dua adikku yang
lain berada di padukuhan sebelah pertahanan terakhir kita.”
Hanggapati
menganggukkan kepalanya.
“Kakakku sudah
beranak empat orang,” berkata Wrahasta, kemudian,
“sehingga
dengan demikian aku tidak akan mencemaskan bahwa garis keturunan ayah dan ibu
akan terputus.”
Hanggapati
mengerutkan keningnya pula. Dipandanginya wajah itu sejenak. Wajah Wrahasta
yang suram. Dan tiba-tiba saja ia berdesis,
“Kedua anak
gembala itu memang luar biasa. Ternyata aku bukan apa-apanya.”
“Apakah
maksudmu?” bertanya Hanggapati.
“Tidak. Aku
tidak bermaksud apa-apa. Aku sekedar memuji dan mengagumi. Aku begitu bodoh
sebelumnya tanpa melihat kelebihan yang ada pada mereka.”
Hanggapati
menjadi semakin heran. Raksasa ini berbicara tanpa ujung dan pangkal,
seolah-olah begitu saja berloncatan dari mulutnya. Dan tiba-tiba saja Wrahasta
tertawa pendek.
“Di depan kita
pasukan Ki Tambak Wedi sudah menghadang kita. Apakah kau sudah siap, Ki
Hanggapati?”
“Ya. Aku sudah
siap.”
“Apakah kau
akan bersenjata cambuk atau pedang atau keduanya?”
“Aku biasa
mempergunakan pedang.”
Wrahasta
tertawa. Tetapi tatapan matanya masih lurus ke depan. Padukuhan induk itu pun telah menjadi semakin dekat. Bahkan
karena begitu tergesa-gesa orang-orang Ki Tambak Wedi tidak sempat memadamkan
obor di gardu-gardu. Dan sinar obor yang menusuk gelapnya malam itu telah
tampak jelas di kejauhan, lebih dahulu dari bayangan setiap orang di dalam pasukan
Ki Tambak Wedi yang bergerak maju pula. Ternyata kedua belah pihak selalu
mengirimkan pengawas-pengawas, sehingga mereka mengetahui dengan pasti jarak
antara kedua pasukan itu.
Karena itu,
ketika pengawas yang dikirimkan oleh Samekta datang kepadanya dan melaporkan
bahwa pasukan Ki Tambak Wedi telah melintasi parit, dan dalam waktu yang hampir
bersamaan seorang pengawas di pihak lain melaporkan kepada Ki Tambak Wedi bahwa
pasukan Menoreh telah melampaui simpang empat, dan menyeberang jalan silang, sadarlah
mereka, bahwa pertempuran akan segera berkobar.
“Apakah
pasukan Ki Tambak Wedi telah siap sepenuhnya?” bertanya Samekta kepada pengawas
itu.
“Aku kurang
tahu. Tetapi mereka telah berada di dalam gelar.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Baik. Kita
akan segera mulai.”
Sejenak
kemudian Samekta memerlukan melaporkannya kepada Ki Argapati, yang dengan
seksama mengikuti perkembangan keadaan.
“Kita hampir
mulai, Ki Gede,” desis Samekta.
“Apakah semua
sudah berada di tempatnya?”
“Sudah, Ki
Gede.”
“Bagus.
Kembalilah ke tempatmu.”
Samekta
menganggukkan kepalanya. Dipandanginya Ki Argapati sejenak. Tampaknya Ki
Argapati seakan-akan telah benar-benar sembuh dari lukanya. Medan perang yang
akan dihadapinya telah membuatnya kehilangan perhatian atas dirinya sendiri.
Sedang di tangannya masih tetap tergenggam tombak pendek, pusaka Tanah Perdikan
Menoreh, meskipun sebenarnya telah tertukar dengan milik Argajaya.
Sebelum
meninggalkan Ki Argapati, Samekta masih sempat berbisik di telinga Pandan
Wangi,
“Hati-hatilah,
Ngger. Orang-orang Ki Tambak Wedi sebagian adalah orang-orang yang buas dan
liar.”
Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya,
“Kami telah
siap, Paman.”
Samekta
menyapu wajah para pengawal dengan tatapan matanya. Kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajah-wajah yang tegang tetapi meyakinkan itu
memberinya kepercayaan, bahwa mereka akan berhasil melindungi Ki Argapati.
Apalagi apabila para senapati lawan telah terikat di dalam pertempuran dengan
orang-orang yang memiliki kemampuan yang seimbang.
Sejenak
kemudian Samekta pun kembali ke
tempatnya. Di ujung induk pasukan bersama gembala tua. Di belakangnya kedua
anak-anak gembala itu berjalan sambil menundukkan kepalanya. Samekta
memerintahkan pasukannya berhenti. Jarak mereka dengan lawan sudah menjadi semakin
dekat. Yang diperintahkannya untuk maju adalah mereka yang bersenjatakan panah.
“Kalian
menunggu mereka mendekat. Kemudian serang mereka dengan panah, sebanyak-banyak
kalian dapat melepaskan anak-anak panah.”
Para pengawal
yang telah menyiapkan busur mereka pun berhenti sambil menyiapkan diri. Di
hadapan mereka, pasukan Ki Tambak Wedi semakin mendekat pula. Mereka berharap
dapat melawan pasukan Menoreh sejauh-jauh dari padukuhan induk. Ternyata mereka
tidak mempergunakan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh Ki Argapati.
Menunggu di belakang pagar-pagar batu dengan senjata-senjata jarak jauh. Kecuali
pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh tidak mempunyai pagar pring ori dan
pagar-pagar batu yang tinggi, apalagi padukuhan induk itu adalah sebuah padukuhan
yang luas, maka pasukan Ki Tambak Wedi tetap menyangka bahwa kekuatan mereka
masih melampaui kekuatan lawan. Apalagi menurut perhitungan mereka, Ki Argapati
pasti belum dapat ikut serta sepenuhnya di dalam peperangan ini. Orang-orang
itu, bahkan termasuk Ki Tambak Wedi sendiri, kurang memperhitungkan
ketergesa-gesaan mereka, sehingga belum seluruh pasukan dan seluruh kekuatan
yang kini dihadapkan kepada pasukan Menoreh, yang justru sedang menumpahkan
segenap kemampuan dan bahkan jumlah orang-orang mereka. Meskipun demikian,
ketika Ki Tambak Wedi mendapat laporan bahwa lawan telah berada di depan hidung
mereka, diperintahkannya pasukannya untuk berhati-hati. Tetapi gelapnya malam
masih tetap menyaput pemandangan. Namun demikian, mata Ki Tambak Wedi yang
setajam mata burung hantu itu segera melihat seleret bayangan, di kaki langit,
seperti wayang yang berjajar di wajah layar yang biru kehitam-hitaman. Tetapi
bayangan yang dilihatnya adalah hitam. Hitam. Ki Tambak Wedi yang berada di
induk pasukan bersama Ki Peda Sura segera memerintahkan
penghubung-penghubungnya untuk menyampaikan pesannya kepada Sidanti dan
Argajaya di sayap masing-masing, bahwa lawan telah berada dekat di hadapan
mereka. Karena itu mereka pun harus
berhati-hati.
“Orang-orang
Ki Argapati adalah orang-orang yang sangat licik,” pesannya.
“Mungkin
mereka akan melakukan sesuatu yang akan dapat mengejutkan kalian. Karena itu,
kalian harus berhati-hati. Sepenuhnya berhati-hati. Semua senjata akan
dipergunakan. Juga senjata-senjata jarak jauh.”
Dan pesan itu
segera ternyata kebenarannya menurut penilaian Sidanti. Sidanti yang semula
tidak begitu menghiraukan pesan itu, yang dianggapnya seperti pesan-pesannya
yang lain, hati-hati, waspada dan sebagainya, ternyata harus memperhatikannya.
“Semua yang
berperisai berada di depan,” teriak Sidanti dan Argajaya di tempat
masing-masing. Meskipun mereka tidak berjanji, tetapi ketika anak panah yang
pertama terbang di atas pasukannya, maka mereka segera meneriakkan perintah
serupa.
Beberapa orang
yang bersenjata perisai segera mendesak ke depan. Mereka berjalan maju sambil
melindungi bukan saja diri mereka sendiri, tetapi seluruh pasukan dengan
perisai-perisai. Tetapi anak panah terlampau kecil untuk dapat dibendung oleh
perisai-perisai yang tidak memenuhi jumlahnya. Kadang-kadang satu dua ada saja
anak-panah yang menyusup di sela-sela perisai-perisai itu dan langsung mematuk
dada.
“Setan!”
Sidanti mengumpat. Belum lagi mereka bertemu, telah jatuh beberapa korban di
antara mereka.
Sementara itu,
para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bersenjata panah, telah melepaskan
anak panah mereka sebanyak-banyaknya. Mereka tidak perlu membidik. Mereka hanya
sekedar mengarahkan anak panah itu ke dalam deretan bayangan yang
kehitam-hitaman.
Ternyata bahwa
serangan pertama itu cukup berpengaruh. Bukan karena jumlah korban yang
terlampau banyak berjatuhan. Tetapi justru serangan itu telah mengejutkan
mereka. Satu dua korban yang jatuh, suara rintihan, dan kadang-kadang sebuah
teriakan terkejut, telah membuat mereka yang kurang tatag hatinya menjadi
kecut. Sementara anak-anak panah terus mengalir seperti hujan. Ki Tambak Wedd
menggeram melihat serangan yang hampir menahan pasukannya. Karena itu maka
tiba-tiba ia berterak,
“Jangan bodoh.
Kita harus menyergap mereka secepat-cepatnya untuk menghentikan perbuatan licik
ini.”
Kemudian Ki
Tambak Wedi pun mengangkat tangannya. Ketika ia mengayunkan tangannya itu ke
depan, disusul oleh beberapa orang pemimpin kelompok dan beberapa orang yang
menjadi penghubung antara induk pasukan dan sayap-sayapnya, maka pasukan
itu pun kemudian segera berderap dengan
cepatnya maju menyerang lawannya. Yang maju paling depan adalah induk pasukan,
kemudian kedua sayapnya pun segera
menyusul. Bahkan beberapa orang dari mereka, terlebih-lebih adalah orang-orang
Ki Peda Sura segera berteriak sekeras-kerasnya untuk meledakkan gairah mereka
menggetarkan senjata masing-masing. Samekta
pun kemudian menyadari bahwa ia harus dapat mengimbangi arus pasukan
lawan. Karena itu, maka ia pun segera
mempersiapkan pasukannya. Sekali lagi ia memberikan beberapa peringatan,
kemudian menunggu anak panah yang tersisa. Setelah sebagian terbesar dari
mereka telah melepaskan hampir seluruh anak panah, maka seperti Ki Tambak Wedi
yang langsung memimpin pasukannya, Samekta
pun segera memacu barisannya menyongsong lawan. Mereka yang semula
berada di depan dengan busur dan anak panah, telah menyilangkan busur-busur
mereka di punggung dan memutar endong mereka. Kini di tangan mereka telah
tergenggam pedang dan dengan segera mereka pun menempatkan diri di kelompok
masing-masing. Kedua pasukan yang maju itu bagaikan arus yang berlawanan.
Sebentar kemudian, kedua arus yang deras itu pun berbenturan di antara
sorak-sorai dan teriakan-teriakan yang kasar dibarengi oleh umpatan-umpatan
yang sangat liar.
Dalam waktu
yang sekejap, maka ujung-ujung senjata telah mulai berbicara. Yang bernasib
malang, pada benturan pertama sama sekali tidak berhasil mengelakkan dirinya
dari dorongan senjata lawan. Demikian ia terjatuh, maka kaki-kaki yang
bersimpang-siur, tanpa menghiraukannya lagi, telah menginjak-injak tubuh yang
tergolek di tanah, betapa pun ia
berteriak-teriak. Bukan saja kaki lawan, tetapi kadang-kadang kaki-kaki
kawannya. Tetapi kawan-kawannya itu pun
tidak akan sempat menolongnya, karena mereka harus pula memperhatikan setiap
ujung senjata lawan yang mengarah ke dadanya. Dalam hiruk-pikuk perang itu,
beberapa orang berusaha untuk menemukan lawan-lawannya yang seimbang, agar
mereka tidak menimbulkan korban terlampau banyak di antara orang-orangnya.
Sambil
melindungi dirinya dari sergapan-sergapan yang tiba-tiba, Hanggapati dan
Dipasanga yang sudah terlanjur ikut terlibat di dalam perang yang membakar
Tanah Perdikan Menoreh itu, segera berusaha menemukan lawan-lawan yang telah
ditentukan bagi mereka. Ternyata bahwa pekerjaan itu tidak terlampau sulit,
karena Sidanti dan Argajaya pun segera mencari lawan-lawan mereka, sebelum
mereka membuat terlalu banyak korban. Dalam pertempuran itu, Hanggapati
akhirnya bertemu dengan Sidanti dan Dipasanga harus bertempur melawan Argajaya.
Sedang Wrahasta dan Kerti masing-masing tetap memegang pimpinan sayap-sayap
pasukan mereka. Tetapi seperti yang pernah terjadi sebelumnya, baik Sidanti
mau pun Argajaya tidak segera dapat
mengatasi lawan-lawan mereka. Apalagi di dalam hiruk-pikuk peperangan.
Kadang-kadang seorang pengawal tanpa disangka-sangka langsung menyerang salah
seorang dari mereka. Sehingga perhatian mereka itu pun terganggu karenanya.
Di pusat
gelar, Ki Tambak Wedi telah mulai memutar senjatanya. Setiap sentuhan akan
berarti maut. Bahkan bukan saja senjatanya yang seakan-akan menyebar nafas
kematian, tetapi tangan kirinya, kakinya bahkan hampir seluruh tubuhnya. Lutut
dan sikunya pun ikut pula membunuh atau
setidak-tidaknya melumpuhkan pengawal-pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang
berani mendekatinya. Di ujung gelar lawan, gembala tua itu melihat seseorang
mendesak maju diikuti oleh pasukannya. Dengan segera ia mengenal bahwa orang
itu adalah Ki Tambak Wedi.
“Apa boleh
buat,” berkata gembala itu di dalam hatinya.
“Tidak ada
pilihan lain. Apalagi pokal Ki Tambak Wedi kini telah sampai ke puncaknya,
sehingga benar-benar harus dihentikan.”
Dengan
demikian, maka tanpa ragu-ragu lagi gembala tua itu pun segera berusaha menyongsong Ki Tambak
Wedi yang sedang mengamuk bagaikan harimau kelaparan.
“Mana
Argapati, he, mana Argapati?” iblis tua itu berteriak-teriak. Tetapi tidak
seorang pun yang menjawab.
Dalam
keremangan cahaya bintang-bintang di langit, matanya yang tajam menangkap
bayangan seseorang yang berada di atas punggung kuda dikawal oleh beberapa
orang bersenjata lengkap. Tiba-tiba saja ia berteriak,
“He, siapa
yang berada di belakang barisan ini? He? Siapa?” Ki Tambak Wedi berhenti
sebentar. Kemudian,
“Kau pasti
Argapati. Kau pasti Argapati yang sudah hampir mati. Dengan putus asa kau bawa
pasukanmu membunuh diri bersama-sama. Bagus, bagus, mari aku tolong kau.”
Suaranya
menggelepar di dalam hiruk-pikuknya pertempuran, seperti suara iblis yang
menggema di sela-sela deru angin pusaran.
Setiap hati
mereka yang mendengar suara itu, menggelepar di dalam dada. Suara itu bagaikan
duri yang langsung menusuk sampai ke pusat jantung. Mengerikan. Ki Argapati
yang tidak terlampau dekat dengan garis pertempuran tidak dapat menangkap
kata-kata Ki Tambak Wedi dengan jelas. Tetapi ia merasakan, bahwa kata-kata itu
pasti berisi lontaran penghinaan. Karena itu, tanpa disadarinya tombaknya
tergerak dan ujungnya merunduk ke depan.
“Ayah tetap di
sini bersamaku,” desis Pandan Wangi yang melihat gelagat getar di dada ayahnya.
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Tambak Wedi berteriak lagi,
“He, kenapa
kau tidak membuat gelar Gedung Menep saja, supaya kau dapat bersembunyi di
dalam gelar? Kenapa kau datang dengan gelar terbuka tetapi kau berada jauh-jauh
di belakang?”
Ki Argapati
masih belum mendengar suara itu dengan jelas, tetapi terdengar giginya
gemeretak.
“Baik, baik,”
berkata Ki Tambak Wedi kemudian.
“Kalau kau
tidak mau maju, akulah yang akan datang kepadamu.”
Ternyata Ki
Tambak Wedi tidak hanya sekedar berteriak-teriak. Agaknya ia ingin benar-benar
mendekati Ki Argapati, sehingga karena itu, maka segera ia mencoba menyibakkan
lawan dengan memutar senjatanya.
Para pengawal
Menoreh benar-benar menjadi ngeri melihat tandang iblis dari lereng Merapi itu,
sehingga tanpa mereka sadari, mereka telah membuka sebuah jalur jalan yang akan
dapat dilalui oleh Ki Tambak Wedi, meskipun para pengawal itu tidak berarti
membiarkannya lewat tanpa menyerangnya dari segala arah. Namun agaknya beberapa
pengawal khusus Ki Tambak Wedi pun tahu
benar akan tugasnya, sehingga langkah Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin
lancar. Namun tiba-tiba, langkah iblis itu pun terhenti. Tiba-tiba saja di
hadapannya, di jalur jalan yang telah tersibak, berdiri seseorang dengan
tenangnya memandangnya. Sejenak Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Namun
betapa pun suramnya malam, ia segera dapat mengenal orang yang berdiri di
hadapannya itu. Hanya beberapa langkah.
Tiba-tiba pula
Ki Tambak Wedi menggeram sambil mengumpat,
“Setan alas,
kau ada di sini pula?”
Orang itu maju
selangkah. Sekali-kali ia menyapu hiruk-pikuk peperangan di seputarnya.
“Kelakuanmu
telah sampai ke ujung yang paling memuakkan aku,” jawabnya.
“Karena itu,
sebaiknya kau mengakhirinya, Ki Tambak Wedi. Jika demikian maka tidak saja di
atas tanah perdikan ini, tetapi kita akan menemukan kedamaian di sebagian besar
dari seluruh Tanah ini.”
“Jangan
menggurui aku Setan Tua. Sebaiknya kau tidak ikut mencampuri persoalan keluarga
ini.”
“Kau telah
memaksa Sidanti mengkhianati ayahnya.”
“Argapati
bukan ayahnya.”
Sepercik
keheranan merambat di hati orang tua itu. Namun ia tidak sempat memikirkannya.
Perang menjadi semakin lama semakin ganas, dan korban telah berjatuhan di
sekitarnya. Karena itu maka gembala tua itu pun segera mengurai senjatanya yang
dibelitkannya di lambungnya.
“Aku tidak
akan bermain-main lagi. Aku akan mempergunakan senjataku.”
Ki Tambak Wedi
menatap ujung cambuk itu sejenak. Ia sadar bahwa cambuk ini bukan sekedar
cambuk seorang gembala. Sekali-kali ia menangkap kilatan pantulan cahaya
bintang dari bintik-bintik di juntai cambuk yang panjang itu. Dan bintik-bintik
yang berkilat-kilat itu telah membuat dadanya berdebar-debar. Kini Ki Tambak
Wedi merasa, bahwa agaknya peperangan ini memang merupakan puncak dari
segala-galanya. Kehadiran orang tua bercambuk itu berada di luar perhitungannya
selama ini. Selama ini memang mencemaskannya. Setiap kali pasukannya selalu
digemparkan oleh orang-orang bercambuk. Tetapi selama ini orang-orang bercambuk
itu tidak memberinya keyakinan bahwa orang bercambuk yang inilah yang hadir di
peperangan. Bahkan di dalam pertempuran yang terakhir, pada saat pasukannya
memecah regol pertahanan terakhir Argapati, sama sekali tidak ada kesan bahwa
orang ini ada di antara pasukan Argapati. Sepercik ingatan tentang Ki Peda Sura
telah membayang di kepalanya, pada saat orang tua itu terluka. Ia melawan
Pandan Wangi yang kemudian dibantu oleh seorang anak muda. Orang ini bersenjata
cambuk. Namun senjata cambuk itu kemudian menjadi kabur oleh
peristiwa-peristiwa berikutnya. Hampir setiap orang dari pengawal berkuda yang
berkeliaran di malam hari bersenjatakan cambuk. Kemudian dua orang prajurit
yang ada di dalam pasukan Argapati, yang bertempur melawan Sidanti dan Argajaya
pun bersenjata cambuk. Tetapi kini ia bertemu dengan orang yang sebenanya.
Orang yang sebenarnya disebutnya orang bercambuk.
Karena itu Ki
Tambak Wedi tidak lagi dapat mengangkat wajahnya sambil berkata,
“Kalian sedang
membunuh diri.” Tidak. Orang bercambuk ini tidak sedang membunuh dirinya
bersama Ki Argapati.
Sejenak mereka
masih saling berdiam diri dalam hiruk pikuknya peperangan. Namun sejenak kemudian
Ki Tambak Wedi berkata,
“Apa boleh
buat. Aku tidak menganggapmu musuh sampai ujung kemampuan dalam peperangan yang
dahsyat ini. Kau tidak mempunyai kepentingan langsung dengan aku. Tetapi sejak
aku berada di Tambak Wedi, bahkan sejak Sidanti berada di Sangkal Putung, kau
selalu mengganggu aku dan muridku. Aku kira kini sudah saatnya pula aku
menghindarkan diriku dari gangguanmu.”
“Kita
berpendapat sama. Aku dan kau menganggap bahwa saatnya memang sudah tiba. Kau
menganggap bahwa aku harus lenyap agar kau tidak selalu dikejar-kejar oleh
gangguanku seperti yang terjadi selama ini, sedang aku menganggap bahwa
kelakuanmu benar-benar telah berlebih-lebihan. Dengan demikian kita sudah
berkeputusan bahwa kita akan mempertaruhkan nyawa kali ini.”
“Aku tidak
akan ingkar.”
“Kau jangan
lari lagi seperti di Tambak Wedi. Kau mempunyai pintu sandi yang dapat kau
pakai untuk menghindarkan diri. Tetapi sebaiknya sekarang tidak.”
Ki Tambak Wedi
tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya seakan-akan telah membara. Setapak ia
maju. Senjatanya di tangannya telah mulai bergetar. Gembala tua itu pun
menyadari, bahwa Ki Tambak Wedi kali ini pasti akan berusaha membunuhnya,
sehingga karena itu, ia pun harus sangat
berhati-hati. Pertempuran di sekitar keduanya menjadi semakin lama semakin
sengit. Satu-dua di antara mereka ada juga yang berusaha menyerang kedua orang
tua-tua itu. Tetapi serangan-serangan yang demikian tidak akan banyak berarti,
apalagi di sekeliling mereka, berdiri kedua belah pihak. Kedua orang itu
berkisar selangkah, kemudian masing-masing mempersiapkan diri untuk mulai
dengan sebuah tarian maut. Sejenak kemudian maka perkelahian yang dahsyat itu
pun mulailah. Keduanya adalah orang-orang yang mempunyai tingkat ilmu yang
tinggi, yang hampir mencapai kesempurnaan. Senjata mereka pun merupakan
senjata-senjata yang khusus, yang memiliki kelebihan tiada taranya di tangan
pemiliknya masing-masing. Begitu perkelahian itu dimulai, maka meledaklah suara
cambuk gembala tua itu. Dan ledakan ini benar-benar telah mengejutkan seisi
medan. Selama ini mereka telah sering mendengar ledakan-ledakan cambuk di
peperangan atau dalam perjalanan sebagian dari mereka yang ikut dalam pasukan
berkuda. Tetapi mereka belum pernah mendengar cambuk yang meledak demikian
dahsyatnya.
Dan seterusnya
cambuk itu meledak dan meledak lagi. Setiap kali menyambar lawannya yang dengan
sigapnya berloncatan menghindarinya. Namun kemudian seperti tatit menyusup di
sela-sela ujung cambuk itu langsung menyerang dada. Demikianlah dalam pertempuran yang dahsyat. Keduanya
berloncatan saling menyerang dan menghindar. Semakin lama semakin cepat.
Kedahsyatan
pekelahian di antara keduanya telah menyibakkan peperangan di sekitarnya. Para
pengawal dan orang-orang Ki Tambak Wedi yang lagi sibuk mempertahankan hidup
masing-masing masih juga sempat mengagumi apa yang telah terjadi. Perkelahian
yang hampir-hampir tidak dapat mereka mengerti. Ternyata gembala tua itu tidak
kalah dahsyat dari Ki Argapati. Perlawanannya terhadap Ki Tambak Wedi
benar-benar telah mendebarkan jantung. Bahkan jantung Ki Tambak Wedi sendiri.
Gembala tua yang kadang-kadang senang berkelakar itu, kini mengerutkan keningnya.
Dengan tajam ia mengikuti setiap gerak lawan. Kedua ujung senjata Ki Tambak
Wedi yang mengerikan dan serangan-serangan yang cepat seperti tatit harus
dilayaninya dengan sepenuh kemampuannya. Sehingga setiap kali cambuknya harus
meledak-ledak tidak henti-hentinya. Pada saat gembala tua itu bertempur melawan
Ki Tambak Wedi, maka kedua anak-anaknya mengikutinya dengan seksama. Tetapi
mereka percaya bahwa gurunya akan dapat menyelesaikan tugasnya.
Setidak-tidaknya ia dapat menjaga dirinya dan bertempur sepanjang kemampuan
lawannya. Karena itu, segera mereka pun
menyadari akan tugasnya. Mereka berdua harus menemukan Ki Peda Sura, dan
berusaha melawannya. Dengan demikan maka keduanya meninggalkan arena yang
dahsyat itu. Menyusup di dalam arena peperangan yang luas untuk menemukan lawan
yang telah ditentukan untuk mereka. Sementara itu Ki Peda Sura berkelahi dengan
kasarnya. Seakan-akan ia menyadari sepenuhnya, bahwa tidak akan ada seorang
lawan pun yang dapat mengimbanginya. Seperti Ki Tambak Wedi, ia menyangka bahwa
Ki Argapati masih belum dapat turun ke medan. Dan seperti Ki Tambak Wedi pula
ia menyangka, bahwa para pengawal itu sedang membunuh diri karena putus asa. Tetapi
terasa dadanya berdebar-debar pula ketika ia mendengar suara ledakan cambuk beruntun
tanpa ada henti-hentinya. Suara cambuk itu seakan-akan menggelegar di dalam
dadanya, mengguncang jantung.
“Siapakah orang
itu?” desisnya di dalam hati.
“Apakah Ki
Tambak Wedi sedang tidur, dan tidak sempat membungkam suara cambuk yang
memekakkan telinga itu?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar