KARENA itu, maka kepala Argajaya terdorong ke belakang. Sentuhan tangkai tombak Sutawijaya memang tidak begitu keras, sehingga Argajaya pun tidak sampai kehilangan keseimbangan. Tetapi tangkai tombak Sutawijaya itu pun telah membuat luka pada pelipis Argajaya, sehingga luka itu meneteskan darah. Terdengar tiba-tiba Argajaya mengumpat kasar. Dengan tiba-tiba ia menyerang kembali Sutawijaya. Namun Sutawijaya telah bersiaga dan dalam waktu yang singkat, ia segera dapat menguasai lawannya. Apalagi kini Argajaya tidak lagi bersenjata.
“Bunuh aku
anak setan” teriak Argajaya
“Tidak, aku
akan membuatmu cacat sewnur hidup. Tangkai tombakku akan dapat mematuk kedua
belah matamu, dan kau akan menjadi buta karenanya. Nah, apakah yang dapat kau
lakukan tanpa sepasang matamu. Aku tidak akan mempergunakan ujung tombakku,
sebab setiap goresan dapat berakibat maut.”
Ancaman itu
benar-benar mengerikan. Tiba-tiba Argajaya meloncat mundur. Ternyata Sutawijaya
membiarkannya. Ia sama sekali tidak mengejarnya. Terdengar kemudian Argajaya
menggeram. Suaranya menggeletar melontarkan kemarahan yang pepat di dalam
dadanya,
“Aku akan
pergi anak demit. Tetapi jangan kau sangka bahwa aku takut menghadapi kau.
Bukan berarti aku lari dari kematian. Tetapi kau ternyata bengis melampaui
iblis. Aku akan menunggumu di Sangkal Putung kalau kau benar-benar anak Sangkal
Putung. Aku akan mencari kesempatan untuk melakukan perang tanding sekali lagi
di hadapan para pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Patung. Perang tanding
sampai salah seorang di antara kita mati”
“Pergi,” teriak
Sutawijaya,
“jangan
mengigau. Kau dan Sidanti boleh maju bersama-sama ke dalam arena.”
“Mulutmulah
yang pertama-tama harus dipecahkan” geram Argajaya dengan suara yang tajam.
“Lakukanlah
kalau kau mampu melakukan.” sahut Sutawijaya.
“Tetapi ada
pesanku padamu. Kalau kau mencari Sidanti, jangan kau cari ia di Sangkal
Putung. Anak gila itu kini berada di padepokan gurunya. Carilah ia ke sana, dan
kau akan menemukannya. Katakanlah kepadanya, bahwa luka di pelipismu adalah
luka yang dibuat sebagai pertanda, bahwa kau telah berkelahi dengan seorang
pengawal dari Sangkal Putung.”
Dada Argajaya
bergetar mendengar kata-kata itu. Sejenak ia terpaku saja di tempatnya.
Diulanginya pendengarannya itu di dalam hatinya,
“Sidanti sudah
tidak berada di Sangkal Putung lagi”
Tetapi
kemudian ia menggeram. Dengan marahnya ia menjawab,
“Bohong.
Ternyata kau bukan orang Sangkal Putung. Sidanti adalah orang pang penting di
Kademangan itu. Ia adalah sapu kawat. Tanpa Sidanti, Sangkal Putung tidak akan
berarti sebagai suatu pertahanan untuk mempertahankan lumbung makan.”
Terdengar
suara tertawa Sutawijaya, disusul oleh gelak Swandaru seakan-akan melengking,
sehingga hampir setiap mata berpaling kepadanya. Yang terdengar kemudian adalah
jawaban Sutawijaya,
“Kau memang
sedang mengigau. Kapan kau datang untuk terakhir kalinya ke Sangkal Putung?
Jangankan kau yang datang dari pegunungan Menoreh di seberang hutan Mentaok,
sedangkan orang-orang di Prambanan, bahkan para prajurit di Prambanan ini pun
belum tahu apa yang sebenarnya terjadi di Sangkal Putung. Alangkah jeleknya
jaring-jaring perhubungan antara para prajurit Pajang yang tersebar dimana-mana
ini.”
Bukan saja
Argajaya, tetapi para prajurit pun menjadi berdebar-debar mendengarkan
kata-kata itu.
Kembali Sutawijaya
meneruskan kata-katanya,
“Tetapi kalau
kau tidak percaya, cobalah datang ke Sangkal Putung. Setiap hidung pasti akan
mentertawakan kedatanganmu, seperti mereka mentertawakan Sidanti. Sidanti sama
sekali tidak berarti apa-apa bagi Kademangam itu.”
Tiba-tiba
terdengar pemimpin prajurit yang datang bersama Argajaya memotong kata-katanya,
“Maksudmu
kehadiran para prajurit Wira Tamtama di Sangkal Putung tidak berarti apa-apa
bagi Kademangan itu serta penduduknya?”
“Siapa yang
berkata demikian?” bantah Sutawijaya
“yang aku
katakan adalah Sidanti. Sidanti, Kau dengar”
Telinga
prajurit itu menjadi panas. Tetapi ia masih melihat anak panah yang sudah
melekat pada tali busurnya di tangan Agung Sedayu dan Swandaru. Meskipun
demikian ia berkata,
“Bukankah
Sidanti itu seorang prajurit Wira Tamtama yang ditempatkan di Pajang?”
“Ya” sahut
Sutawijaya pendek.
“Nah, jadi
bukankah demikian kau telah menghina prajurit Wira Tamtama?”
“Tidak. Aku
hanya mengatakan bahwa Sidanti tidak berada di Sangkal Pusung. Ia berada di
tempat gurunya,” kemudian Sutawijaya itu pun berpaling kepada Argajaya,
“Sekarang
pergilah, pergi kepada Sidanti. Bertanyalah kepadanya tentang pengawal Sangkal
Putung seperti yang kau lihat kini kepada Sidanti. Ia kenal kami bertiga dengan
baik.”
Argajaya tidak
menjawab. Tetapi ia belum beranjak dari tempatnya.
“Jadi kau
ingin aku melakukan kehendakku atasmu. Membuatmu cacat seumur hidupmu?”
Kembali
terdengar Argajaya menggeram.
“Kesempatan
yang aku berikan hampir sampai pada batasnya” sambung Sutawijaya,
“ternyata aku
mempunyai alat yang lebih baik daripada tangkai tombakku.” Ketika Sutawijaya
kemudian berpaling memandanqi ujung-ujung anak panah Agung Sedayu, maka
berdesirlah setiap dada. Apakah anak muda itu akan menyuruh adiknya itu untuk
melepaskan anak-panahnya mengarah ke mata Argajaya.
Argajaya pun
melihat ujung anak panah itu. Dengan demikian maka gelora di dalam dadanya
semakin menyala. Dendam, benci dan muak bercampur-baur di dalam hatinya. Dengan
suara bergetar ia melepaskan perasaannya itu katanya,
“Aku ingin
bertemu sekali lagi. Aku akan mendengarkan pesanmu kali ini. Aku akan pergi ke guru
Sidanti di lereng Merapi. Daripadanya aku akan mendengar keadaan anak muda itu.
Mudah-mudahan kita akan dapat bertemu kembali. Kau benar-benar akan menyesal
kelak, bahwa kau tidak membunuhku saat ini.”
“Pergilah.
Terima kasih bahwa kau mau mendengarkan pesanku. Pesan seorang pengawal
Kademangan Sangkal Putung. Jangan lupa, sebut kami satu persatu di hadapan
Sidanti. Aku, adikku yang bertubuh sedang dan berwajah tampan seperti topeng
Panji, yang satu gemuk bulat seperti kelapa. Kau telah mengenal nama-nama kami.
Karena itu, maka ……..”
“Cukup! Kau
menjadi besar kepala karenanya. Tetapi akan datang saatnya, kepalamu itu aku
penggal kelak.”
Argajaya tidak
menunggu jawaban Sutawijaya. Segera ia memutar tubuhnya dan melangkah
meninggalkan arena dengan tergesa-gesa. Tetapi ia tertegun ketika ia mendengar
Sutawijaya berkata,
“Tunggu. Kau
kelupaan tombakmu. Kalau tombakmu itu memang sebuah pusaka sipat kandel dari
Tanah Perdikan Menoreh, bawalah. Mungkin akan berguna bagimu.”
Mata Argajaya
menjadi merah, semerah darah. Giginya gemeretak dan tubuhnya bergetar. Tetapi
ia melangkah cepat-cepat ke arah tombaknya yang tergolek di atas pasir tepian.
“Anggaplah
tombak itu sebuah kenang-kenangan daripadaku,” berkata Sutawijaya.
Argajaya
berpaling pun tidak. Ia berjalan
cepat-cepat meninggalkan tempat itu. meskipun demikian, meskipun ia
meninggalkan lawannya, namun sebenarnya di dalam hati Sutawijaya mengakui
kejantanan lawannya itu. Sikapnya yang pantang menyerah dalam keyakinannya,
meskipun ujung tombak telah melekat di lambungnya. Tetapi orang yang demikian,
pasti benar-benar akan melakukan kata-katanya yang diucapkan sebagai janji
untuk melepaskan dendamnya kelak apabila ada kesempatan.
Semua mata
memandang langkah Argajaya yang tergesa-gesa itu, yang kemudian disusul oleh
kedua pengiringnya dari Mentaok. Kesan keberanian dan keteguhan hatinya masih
terasa di dalam hati orang-orang yang berdiri di tepian itu. Bahkan Agung Sedayu
bergumam di dalam hatinya,
“Seperti
Sidanti. Keras hati. Namun nalarnya kadang-kadang terdesak jauh ke belakang,
sehingga orang itu kurang memikirkan akibat dari perbuatannya.”
Belum lagi
Argajaya itu jauh, terdengar prajurit yang datang bersamanya menggeram,
“Perbuatanmu
tidak dapat lagi dimaafkan. Kalau kelak Sidanti itu benar-benar datang kemari,
maka kami adalah saksi yang akan dapat mengatakan apa yang sebenarnya telah
terjadi.”
“Sidanti tidak
akan datang kemari,” jawab Sutawijaya.
“Apakah kau
pasti?” bertanya prajurit itu.
“Sidanti tidak
lagi berada di Sangkal Putung.”
“Bohong! Salah
seorang dari kami akan menghadap ke Sangkal Putung. Ki Untara harus mendengar
bahwa pimpinan kami di sini telah berbuat kesalahan dengan membiarkan kalian
membuat onar di Kademangan Prambanan. Kalian bersama pimpinan kami itu harus
ditangkap.”
Pemimpin
prajurit yang datang bersama Sutawijaya itu pun segera memotong,
“Kalianlah
yang telah memberontak. Aku masih tetap pimpinan di sini. Aku pun dapat
mengatakan apa yang telah terjadi dan orang-orang yang berdiri di sini yang
semalam melihat apa yang terjadi di banjar desa akan menjadi saksi.”
“Baik. Kita
lihat, siapakah yang akan dipercaya oleh pimpinan kita di Sangkal Putung.”
Tiba-tiba
Sutawijaya itu pun tertawa. Katanya,
“Kalian terlalu
percaya bahwa Sidanti akan dapat memberimu perlindungan. Tetapi sudah aku
katakan, kami tidak takut kepada Sidanti. Kami tidak takut pula seandainya Ki
Untara mempercayai kata-katamu. Bahkan kami tidak akan takut seandainya
Panglima Wira Tamtama sendiri datang kemari.”
Para prajurit
itu pun terkejut mendengar kata-kata
itu. Prajurit yang berpihak kepadanya
pun terkejut. Sejenak ia terbungkam sambil memandangi anak muda yang
masih menggenggam tombak di tangannya itu.
Sutawijaya
melihat wajah-wajah yang menjadi semakin tegang. Tetapi ia masih saja tertawa
dan berkata,
“Aku berkata
sebenarnya. Tidak ada seorang pun yang
akan dapat berbuat sesuatu atas kami. Tetapi sebaliknya, kami akan dapat
mengatakan apa yang telah terjadi di sini kepada siapa pun yang akan datang
kemari. Ki Untara, Ki Penjawi, Ki Juru Mertani, atau Ki Gede Pemanahan
sendiri.”
Yang
mendengarkan kata-kata itu menjadi semakin tidak mengerti. Bahkan para prajurit
yang berpihak kepada Argajaya menganggap bahwa anak muda itu sebenarnya anak yang
tidak tahu adat. Karena itu maka pemimpinnya
pun berkata,
“Nah, semua
orang telah mendengar kata-katamu. Kau benar-benar telah menghina Wira Tamtama.
Sedang pemimpin kami yang bertanggung jawab di sini masih saja diam mematung.”
Pemimpin
prajurit yang datang bersama Sutawijaya itu
pun menjadi heran mendengar kata-kata Sutawijaya. Kata-kata itu sendiri
telah dapat digolongkan pada suatu tindakan yang kurang pada tempatnya.
Kata-kata itu sebenarnya memang menyangkut nama Wira Tamtama dan apalagi
panglimanya. Karena itu, maka sejenak ia terdiam. Dicobanya untuk mencernakan
apa yang telah dilihatnya dan apa yang telah didengarnya.
“Aku sama
sekali tidak menghinanya. Aku justru mempercayai mereka, para pemimpin Wira
Tamtama. Baik yang berada di Prambanan, baik yang berada di Sangkal Putung
maupun yang berada di Pajang. Aku memang tidak takut seandainya mereka datang
bersama-sama kemari, sebab mereka pasti dapat membedakan mana yang baik dan
mana yang salah,” berkata Sutawijaya.
Pemimpin
prajurit yang datang bersamanya tiba-tiba menganggukkan kepalanya. Katanya,
“Benar, kau
benar anak muda. Orang yang yakin akan kebenarannya tidak perlu takut
menghadapi apapun, apalagi mereka yang tegak pada keadilan. Aku pun percaya
bahwa para pemimpin itu akan mempertahankan keadilan yang selurus-lurusnya.”
“Persetan!”
sahut pemimpin yang lain. “Kalian adalah orang-orang yang memang pandai
berbicara. Tetapi marilah kita lihat apakah yang akan terjadi kelak.” Kemudian
kepada kawan-kawannya ia berkata,
“Marilah kita
tinggalkan tempat ini.”
“Tunggu,”
cegah Sutawijaya.
“Persoalan
kalian belum selesai. Dengan demikian, maka di Prambanan kini masih ada dua
pimpinan prajurit yang merasa masing-masing berkuasa. Pimpinan yang sebenarnya
dan pimpinan bayangan.”
“Akulah yang
memegang pimpinan sekarang. Semua prajurit di Prambanan tunduk kepadaku.”
“Tidak!” sahut
yang datang bersama Sutawijaya.
“Aku tetap
pimpinan di sini. Siapa yang tidak tunduk pada perintahku, kepadanya akan dapat
dikenakan hukuman.”
“Omong koaong!
Jangan hiraukan. Mari kita pergi.”
Tetapi ketika
mereka sudah mulai bergerak untuk meninggalkan tempat itu, kembali mereka
tertegun karena Sutawijaya berkata, “Aku hanya mengakui pimpinan yang seorang,
yang datang bersamaku. Bukan karena ia membenarkan sikapku, tetapi karena ialah
yang menerima kekuasaan dalam jabatan itu. Setiap pelanggaran atas perintahnya,
berarti pemberontakan yang akan ditindak.”
Wajah pemimpin
prajurit yang lain menjadi merah menyala. Dengan kasarnya ia berkata,
“Apakah hakmu
berkata demikian, he anak Sangkal Putung. Prambanan bukan bawahan Sangkal
Putung, meskipun kebetulan pemimpin kami berada di sana. Tetapi kami hanya
bertanggung jawab kepada Ki Untara. Kalau kau tidak mau mengakui kami, kami
tidak berkeberatan. Tetapi sebenarnya bahwa kami ingin menangkap kalian dan
mengikat di halaman banjar desa.”
Prajurit itu
tidak berpaling ketika Sutawijaya berkata,
“Tunggu.”
Beberapa
prajurit yang lain pun segera
mengikutinya. Tetapi langkah mereka pun
tertegun-tegun. Agaknya mereka sedang membicarakan sesuatu. Sekali tampak
mereka berpaling ketika anak-anak muda yang datang bersama mereka pun telah bergerak pula. Hanya Ki Demang lah
yang masih saja berdiri mematung. Tetapi mereka
pun terkejut ketika para prajurit itu berhenti dan tiba-tiba saja mereka
berlari berpencaran kembali mengelilingi arena dari arah yang berbeda-beda. Yang
terjadi itu berlangsung terlampau cepat. Sutawijaya tegak di tengah-tengah
arena itu dengan hati yang berdebar-debar, sedang Agung Sedayu sejenak menjadi
seakan-akan membeku. Mereka menyadari apa yang akan dilakukan oleh para
prajurit itu, tetapi mereka tidak segera menemukan cara untuk mengatasinya.
“Aku tidak
menyangka bahwa mereka segila itu,” desah Sutawijaya di dalam hatinya.
Sejenak
kemudian terdengar pemimpin prajurit yang seorang, yang datang bersama Argajaya
berteriak,
“Demi tegaknya
tanggung jawab para prajurit Pajang di Prambanan, marilah kita tangkap anak
setan itu. He, para pemuda Prambanan, jangan tidur, kau pun telah mendapat penghinaan dari orang
itu.”
Tiba-tiba para
pemudanya pun bergerak. Semula mereka
berdesak-desakan saja, namun kemudian sebagian dari mereka segera memencar
setelah mereka menyadari maksud gerakan para prajurit itu. Dengan demikian
mereka menghindarkan diri mereka sejauh-jauh mungkin dari anak panah Agung
Sedayu dan Swandaru, karena mereka terpencar-pencar. Para prajurit itu
mengharap, bahwa mereka dapat membuat gerakan-gerakan yang dapat membingungkan
Agung Sedayu dan Swandaru. Agung Sedayu dan Swandaru pasti tidak akan mungkin
lagi memanah mereka dalam sekejap dan melepaskan anak panah yang kedua sekejap
kemudian, atau dengan mata terpejam mengarah kepada sekelompok orang.
Sutawijaya,
Agung Sedayu, Swandaru, pemimpin prajurit yang lain, dan beberapa orang kini
terkepung oleh sebuah lingkaran yang terdiri dari para prajurit Pajang di
Prambanan beserta beberapa anak-anak muda. Anak-anak muda itu bergerak saja
seperti kena pesona, karena hubungan mereka yang rapat dengan para prajurit
itu. Ki Demang pun tiba-tiba bergerak
pula bersama dengan mereka.
“Jangan
berbuat sesuatu yang tidak akan ada gunanya,” ancam pemimpin prajurit itu.
“Kalian telah
terkepung. Meskipun kalian bertiga seorang-seorang menang dari orang-orang
Menoreh, tetapi jangan mimpi untuk dapat melawan kami semuanya ini.”
“Kalian benar-benar
gila!” teriak pemimpin prajurit yang berada di dekat Sutawijaya.
“Uraikan
kepungan ini!”
“Tidak!”
“Demi
kekuasaan Wira Tamtama yang berada di tanganku.”
“Tidak!
Menyerahlah!”
Gigi pemimpin
prajurit itu pun gemeretak. Kini
pedangnya tergenggam erat di tangannya. Sedang para prajurit di luar lingkaran
itu pun telah menggenggam senjata
masing-masing pula. Suasana segera meningkat semakin tegang. Orang-orang tua
yang berdiri di dalam kepungan menjadi ketakutan dan gemetar. Tetapi pemimpin
prajurit yang memimpin pengepungan itu berkata,
“Siapa yang
tidak turut dan tidak ingin melibatkan dirinya, segera keluar dari kepungan
ini, kecuali empat orang yang akan kami tangkap.”
Beberapa orang
kemudian tersuruk-suruk berjalan ke luar lingkaran dengan tubuh yang menggigil
karena ketakutan. Satu-satu mereka menghilang ke belakang kepungan, sehingga
orang-orang yang berada di dalam itu pun susut dengan cepatnya. Tetapi ternyata
tidak semua orang berlari ke luar lingkaran. Ketika tidak seorang pun lagi yang bergerak, maka tampaklah dengan
jelas, siapa-siapa yang kini berdiri berseberangan. Yang masih tinggal di dalam
lingkaran itu, ternyata bukan saja Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru, dan
pemimpin prajurit yang seorang, tetapi di dalam lingkaran itu berdiri Haspada,
Trapsila, dan beberapa pemuda yang lain. Meskipun mereka tidak bersenjata
panjang, tetapi mereka dapat menduga, bahwa sesuatu akan terjadi. Ternyata di
dalam baju mereka terselip sebilah keris. Ketika keadaan meningkat menjadi
semakin tegang, meka hulu-hulu keris itu
pun telah tersembul dari dalam baju-baju mereka. Dada Sutawijaya menjadi
semakin berdebar-debar melihat peristiwa itu. Apakah benar-benar akan terjadi
pertumpahan darah di tepian Kali Opak itu? Tiba-tiba udara digetarkan oleh
suara tertawa berkepanjangan. Ketika semua berpaling ke arah suara itu, mereka
melihat Swandaru masih saja tertawa sambil mamandang pemimpin prajurit yang
berdiri di lingkaran, siap dengan senjata di tangan.
“Hem,” berkata
Swandaru,
“kalau kalian
bersungguh-sungguh, maka sudah barang tentu bahwa kami tidak akan mempergunakan
anak panah ini. Sebenarnya kami tidak senang berkelahi dengan anak panah. Kalau
aku berhasil membinasakan lawan dengan anak panah, aku sama sekali tidak
mendapat kepuasan karenanya. Aku lebih senang membelah dada lawanku dengan
pedangku ini.”
Swandaru
kemudian dengan tenangnya meletakkan busurnya, melepaskan busur Sutawijaya di
punggungnya, dan seolah-olah sedang melepaskan pakaiannya untuk mandi saja,
anak yang gemuk bulat itu melepas tali-tali endong anak panahnya.
Para prajurit
Pajang, beberapa anak-anak muda yang berdiri mengepungnya dan bahkan anak-anak
muda yang berada di dalam kepungan, menjadi heran melihat ketenangan sikapnya.
Orang-orang yang berdiri mengancamnya dengan senjata di tangan itu seakan-akan
sama sekali tidak mempengaruhinya. Namun ketenangan Swandaru itu telah membuat
para prajurit Pajang bertanya-tanya di dalam hati dan membuat anak-anak muda
Prambanan menjadi gelisah. Dengan tenang pula tangan kanannya kemudian menarik
hulu pedangnya yang terbuat dari gading dan kini berjuntai seutas tali yang
kekuning-kuningan. Ketika pedang itu kemudian menjadi telanjang, maka tampaklah
pedang itu adalah sebilah pedang yang panjang.
Dengan nada
yang tinggi Swandaru itu pun berkata,
“Apakah kita
benar-benar akan berkelahi?”
Sutawijaya dan
Agung Sedayu melihat sikap itu dengan cemas, apalagi ketika kemudian mereka
melihat wajah-wajah para prajurit Pajang itu
pun menjadi semakin tegang.
Tanpa berjanji
maka Agung Sedayu dan Sutawijaya itu pun saling berpandangan. Seakan-akan
mereka saling bertanya, apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Ternyata yang
merayap di dalam hati mereka serupa. Mereka mencemaskan keadaan di sekitarnya.
Bukan karena mereka cemas tentang nasib mereka masing-masing, tetapi mereka
mencemaskan nasib anak-anak muda Prambanan, kalau terjadi perkelahian di
pinggir Kali Opak ini maka korban yang paling banyak adalah anak-anak muda itu.
Sebagian dari mereka sama sekali tidak bersenjata. Tetapi terbakar oleh darah
mudanya, maka mereka akan menjadi mabuk keberanian tanpa perhitungan. Dalam
perkelahian yang demikian, maka kemungkinan jatuhnya korban adalah besar
sekali. Mereka sendiri pasti tidak akan dapat menjamin, bahwa senjata-senjata
mereka tidak akan menyentuh tubuh lawan.
Sebelum
menemukan sesuatu cara yang sebaik-baiknya mereka mendengar pemimpin prajurit
yang melingkari mereka itu berkata,
“Ternyata
kalian benar-benar melawan perintah kami. Bahkan ada beberapa anak-anak
Prambanan sendiri yang mencoba menentang kami pula. Aku memberi kesempatan
terakhir kepada anak-anak muda Prambanan. Haspada, Trapsila dan kawan-kawannya.
Tinggalkan orang-orang itu, supaya kami dapat segera menangkapnya tanpa membuat
korban anak-anak muda Prambanan sendiri.”
Haspada
memandang wajah prajurit itu dengan sorot mata yang menyala. Tiba-tiba ia
menjawab,
“Aku sudah
jemu melihat tingkah lakumu. Bagi Prambanan sebenarnya lebih baik apabila
kalian pergi saja. Mungkin kami memerlukan perlindungan dari para prajurit
Pajang, tetapi bukan prajurit semacam kalian.”
Kemarahan
prajurit-prajurit Pajang itu kini telah memuncak. Segera mereka bergerak maju,
sehingga lingkaran itu pun menjadi
semakin sempit. Sutawijaya masih belum bergeser dari tempatnya, sedang Agung
Sedayu masih menggenggam anak panah pada busurnya. Hati mereka pun menjadi semakin cemas melihat
perkembangan keadaan. Tetapi mereka menyadari, bahwa mereka tidak dapat untuk
sekedar mencemaskannya saja tanpa berbuat sesuatu.
Ketika
lingkaran itu menjadi semakin menyempit, maka anak-anak muda Prambanan di dalam
lingkaran itu pun segera bersiap pula.
Di tangan mereka kini tergenggam keris masing-masing. Dengan wajah tengadah
mereka menghadapi para prajurit yang menggenggam pedang di tangannya. Sedang
pemimpin prajurit yang berpihak pada Sutawijaya
pun berdiri dengan mata menyala. Sambil mengacung-acungkan pedangnya ia
berkata,
“Apa pun yang
kalian lakukan, maka kalian tidak akan dapat mengingkari pertanggungan jawab.”
“Justru karena
aku tidak mengingkari pertanggungan jawabku maka aku berbuat, menangkap kalian,
mengikat di halaman banjar desa, minta maaf kepada tamu-tamu kami dan kemudian
menyerahkan kalian kepada Ki Sidanti atau Ki Untara.”
Tiba-tiba
kembali terdengar suara tertawa menggeletar. Kali ini Sutawijaya-lah yang
tertawa. Suara tertawanya itu pun telah
menarik perhatian pula, sehingga segenap mata seakan-akan tertumpah padanya.
“Apakah
kira-kira yang akan kau katakan kepada Ki Untara?” terdengar Sutawijaya itu
bertanya. Ia ingin mencoba untuk mengurungkan perkelahian itu. Tak ada jalan
yang dapat ditempuhnya selain yang sedang dicobanya itu. Tetapi kalau gagal,
maka ia tidak tahu, apakah akibatnya. Terasa sejak lama, sejak ia bertempur
melawan Argajaya, penyesalan merayapi hatinya. Apalagi kini, pertentangan itu
seakan-akan semakin menjadi-jadi.
Prajurit yang
memimpin pengepungan itu menjawab kasar,
“Aku akan
melaporkan apa yang pernah kalian lakukan di sini.”
“Apakah Ki
Untara dapat mempercayaimu?”
“Ada
berpuluh-puluh saksi di sini. Ki Demang Prambanan ini pun akan dapat menjadi saksi pula.”
Kembali
Sutawijaya tertawa. Katanya,
“Lalu apakah
yang akan dilakukan oleh Untara itu kira-kira?”
“Kalian akan
diserahkan kepada kami. Dan kami akan mencincang kalian di halaman banjar
desa.”
“Kalau kau
berani mencincang anak itu,” berkata Sutawijaya sambil menunjuk Agung Sedayu,
“maka leher
kalianlah taruhannya.”
Prajurit itu
mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia berkata hampir berteriak,
“Pengecut,
kalian mencoba mencari jalan untuk menyelamatkan diri.”
“Tidak. Kalau
kau tidak percaya, pergilah ke Sangkal Putung. Bukan saja Untara berada di sana
kini. Tetapi Panglima Wira Tamtama pun
berada di sana pula. Kalau kalian ingin memanggilnya, maka aku akan menunggu
mereka itu di sini. Untara dan Panglima Wira Tamtama itu.”
Sebelum mereka
menjawab, kini tertawa Swandaru lah yang terdengar memenuhi udara.
“He,” katanya,
“apakah kau
akan mengatakan bahwa Agung Sedayu itu tak akan dihukum oleh Untara.”
Agung Sedayu
berpaling ke arah adik seperguruannya. Tetapi ia pun tahu maksud Sutawijaya.
Agaknya adi seperguruannya yang tidak begitu senang menggunakan otaknya, karena
ia lebih senang mempergunakan perasaannya, kini menyadari keadaan yang gawat
itu. Sehingga dengan demikian maka baik Sutawijaya maupun Agung Sedayu
tersenyum karenanya.
“Apakah kau
tidak ingin berkelahi?” terdengar Sutawijaya bertanya kepadanya.
“Sebenarnya.
Tetapi agaknya Tuan akan menutup kesempatan itu dengan cara Tuan.”
“He,” teriak
pemimpin prajurit yang mengepungnya,
“jangan
membuat cara yang aneh-aneh untuk menyelamatkan diri.”
“Kalau Untara
datang, maka kami akan selamat. Apakah tadi kau dengar anak muda yang gemuk itu
berkata?” bertanya Sutawijaya, “Anak yang berwajah tampan seperti Panji itu
adalah adik Untara. Ya, ia adik senapati yang namanya selalu kau sebut-sebut.”
Kata-kata
Sutawijaya itu terdengar menggelegar seperti guntur yang meledak di atas kepala
mereka. Sejenak mereka terdiam seperti kena pukau yang tajam. Semua mata
memandangi Agung Sedayu yang menjadi tersipu-sipu karenanya.
Meskipun
demikian pemimpin prajurit yang mengepungnya tidak segera mempercayainya. Dengan
ragu-ragu kini ia berkata,
“Kau
mendapatkan suatu cara yang baik sekali. Memang kami tidak akan berani berbuat
sesuatu atas adik Ki Untara, seandainya adiknya benar-benar berada di sini.
Tetapi setiap orang dapat menyebut dirinya adik Ki Untara. Bukan saja adik Ki
Untara, setiap orang dapat menyebut dirinya adik Panglima Wira Tamtama atau
menyebut dirinya putera Ki Gede Pemanahan.”
Suara prajurit
itu terputus ketika terdengar meledak suara tertawa Swandaru Geni. Anak itu
benar-benar tertawa terkekeh-kekeh sehingga tubuhnya yang bulat
terguncang-guncang.
Namun
Sutawijaya-lah yang menyahut,
“Memang kami
tidak akan dapat membuktikannya bahwa anak muda itu adik Ki Untara. Tetapi
jangan mencoba memancing pertengkaran. Kalau anak muda itu mengayunkan
pedangnya, maka dalam gerakan yang pertama, lima dari kalian pasti sudah
terbunuh olehnya. Apalagi anak-anak muda Prambanan yang tidak bersenjata atau
yang bersenjata terlampau pendek. Untuk melawan kalian, semua orang yang mencoba
mengepung kami, maka Agung Sedayu sendiri akan dapat menyelesaikannya. Apakah
kalian tidak percaya?”
Tampaknya
wajah-wajah di sekitarnya menjadi bimbang. Beberapa anak muda menjadi pucat dan
beberapa yang lain saling berpandangan.
“Persetan!”
teriak prajurit itu,
“Cara yang
sudah lapuk untuk menakut-nakuti lawan. Sekarang kalau kalian ingin perlakuan
yang lebih baik, menyerahlah. Aku tidak akan percaya apakah yang akan kalian
katakan tentang diri kalian.”
Sutawijaya
menarik alisnya. Memang sulitlah untuk membuktikan diri mereka di hadapan
orang-orang itu. Tetapi apabila ia tidak berhasil, maka mereka benar-benar akan
menyerang dan perkelahian pun akan
terjadi. Meskipun beberapa orang prajurit dan anak-anak muda Prambanan itu sama
sekali tidak akan menitikkan keringatnya, apalagi dibantu oleh beberapa
anak-anak muda Prambanan sendiri justru yang paling kuat di antara mereka,
namun setiap korban yang jatuh pasti akan membuatnya menyesal.
Dalam
keragu-raguannya itu tiba-tiba terdengar pemimpin prajurit yang mengepungnya
berteriak sekali lagi,
“Ayo
menyerahlah meskipun kau mengaku anak dewa dari langit, atau anak iblis dari
dasar bumi.”
“Tidak
terlampau jauh,” Sahut Swandaru sambil tertawa, “tebakanmu yang pertama tepat.”
Pemimpin
prajurit itu memandanginya sambil menunjuk Sutawijaya,
“Apakah ia
anak dewa dari langit.”
“Yang
pertama.”
Prajurit itu
terdiam. Tiba-tiba ia bertanya, “Yang mana?”
“Putra Ki Gede
Pemanahan.”
Kembali udara
di pinggir kali Opak itu menggeletar oleh jawaban Swandaru itu. Kembali orang-orang
yang berdiri di tempat itu diam mematung. Kini pusat perhatian mereka adalah
anak muda yang menggenggam tombak di tangannya, yang telah berhasil mengalahkan
Argajaya dengan tidak mengalami kesulitan. Namun kemudian pemimpin prajurit itu
berteriak kembali, meskipun terasa bahwa dadanya diamuk oleh kebimbangan,
“Nah. Aku
menjadi semakin tidak yakin akan kebenaran kata-kata kalian. Mula-mula salah
seorang dari kalian dinamakan adik Ki Untara, kemudian kini yang lain disebut
putera Ki Gede Pemanahan. Nah, yang seorang itu, yang gemuk, akan kalian
namakan apalagi. Apakah anak yang gemuk itu akan disebut sebagai Putera Sultan
Hadiwijaya?”
Swandaru
tertawa semakin keras mendengar kata-kata itu. Sehingga beberapa titik air
matanya membasahi pipinya yang gembung. Sutawijaya dan Agung Sedayu pun terpaksa tersenyum melihat tingkah
lakunya.
Haspada,
Trapsila, beberapa anak-anak muda yang berada di dalam lingkaran, beserta
pemimpin prajurit yang datang bersamanya, benar-benar membeku melihat tingkah
laku ketiga anak-anak muda itu. Sebutan-sebutan yang mereka ucapkan telah
mempengaruhi sikap mereka. Tanpa mereka kehendaki, maka tiba-tiba mereka kini
semakin memperhatikan wajah-wajah dari ketiga anak-anak muda yang menyebut
dirinya Pengawal Kademangan Sangkal Putung.
Wajah Agung
Sedayu yang mantap dan tenang. Wajah Sutawijaya yang tajam berwibawa dan wajah
gemuk bulat namun memancarkan keteguhan tekad. Ketiganya sudah pasti bukan
anak-anak gembala yang kebetulan menjadi seorang pengawal kademangannya.
Tetapi
meskipun ragu-ragu, namun pemimpin prajurit yang mengepungnya mencoba untuk
tidak terpengaruh kata-kata itu. Baginya setiap hidung akan dapat mengucapkan
sebutan-sebutan itu. Dengan demikian, maka apabila ia terpengaruh olehnya,
berarti kegagalan pula baginya. Namun prajurit itu pun tidak lagi dapat bertindak segarang
semula. Di dalam hati kecilnya tersimpan pula pengakuan, bahwa anak-anak muda
itu pasti bukan anak kebanyakan. Tetapi apabila mereka benar-benar adik Untara,
apalagi putera Ki Gede Pemanahan, apakah pula kerjanya menyelusuri hutan sampai
ke Kademangan Prambanan tanpa pengawalan seorang prajurit pun.
Tetapi kini
prajurit itulah yang terkejut, ketika Swandaru membentaknya,
“He, apakah
kau tidak percaya?”
“Tidak,”
sahutnya dengan serta merta.
Swandaru menggeleng-gelengkan
kepalanya,
“Bagaimana
Tuan. Apakah kita berkelahi saja.”
“Jangan,”
cegah Sutawijaya. Ia kini tinggal mempunyai satu cara untuk mencoba meyakinkan
dirinya. Sejenak ia terdiam. Dipandanginya wajah pemimpin prajurit yang datang
bersamanya. Tiba-tiba ia berkata,
“Kemarilah.
Lihat landean tombak pendekku ini. Bukankah kau pandai membaca?”
Prajurit yang
dipanggil oleh Sutawijaya itu memandanginya dengan penuh pertanyaan. Ia sama
sekali tidak tahu maksud anak muda itu.
“Kemarilah,”
panggil Sutawijaya, “mendekatlah.”
Yang terdengar
adalah suara pemimpin prajurit yang mengepungnya,
“Jangan banyak
tingkah. Menyerahlah.”
Tetapi
Sutawijaya seakan-akan sama sekali tidak mendengarkannya. Sekali lagi ia
berkata,
“Kemarilah.
Lihat landean tombakku ini.”
Seperti kena
pesona pemimpin prajurit yang memihak kepada Sutawijaya itu pun berjalan mendekatinya.
“Kau pandai
membaca bukan?” bertanya Sutawijaya.
Prajurit itu
menganggukkan kepalanya.
Pada landean
itu ternyata tercoreng beberapa huruf yang dipahatkan agak dalam. Sambil
menunjuk kepada huruf-huruf itu Sutawijaya berkata,
“Baca. Bacalah
huruf-huruf ini.”
Prajurit itu
masih belum tahu maksud Sutawijaya. Tetapi ia membacanya juga. Diamatinya
huruf-huruf yang berjejer-jejer membentuk kata-kata itu. Pa-nglegena,
sa-wulu-layar, sa-nglegena, wa-suku dan ka-wulu-layar. “Pasir Sawukir,” gumam
prajurit itu.
“Apakah kau
pernah mendengar nama itu?” bertanya Sutawijaya.
Prajurit itu
menggeleng. Dan pemimpin yang lain berteriak,
“He. Apakah
kau sedang bermain gila-gilaan?”
“Kau juga
belum pernah mendengar nama itu?” bertanya Sutawijaya kepada prajurit di luar
lingkaran.
“Nama itu sama
sekali tak berarti bagi kami.”
“Baik,” sahut
Sutawijaya. Diputarnya landean tombaknya. Di sisi yang lain ternyata tertera
beberapa huruf pula. Sambil menunjuk huruf yang tertera itu, maka Sutawijaya
berkata,
“Sekarang
bacalah huruf-huruf ini. Huruf-huruf ini akan menyebut sebuah nama. Nama itu
adalah namaku. Kalian dapat percaya atau tidak. Tetapi itu adalah namaku.
Seandainya kalian tidak percaya, dan kalian tetap dalam pendirian kalian, maka
kalian pagi ini juga pasti akan menjadi bangkai. Burung-burung gagak pasti akan
kekucah di pinggir Kali Opak ini. Nama yang akan dibaca oleh pemimpin kalian
ini adalah usahaku yang terakhir untuk mencegah perkelahian.”
Kata-kata
Sutawijaya itu menyusup ke dalam setiap dada seperti tajamnya tombak yang
menyusup ke jantung mereka. Beberapa anak muda menjadi cemas dan ketakutan.
Beberapa yang lain setapak demi setapak surut ke belakang.
Tetapi para
prajurit yang mengepungnya masih saja tegak di tempatnya. Meskipun ke
ragu-raguan semakin besar melanda jantungnya, tetapi mereka masih belum dapat
mempercayai sesuatu.
Pemimpin
prajurit yang berdiri di samping Sutawijaya itu mengamat-amati huruf demi
huruf. Beberapa kali ia mencoba membacanya di dalam hatinya. Nama itu pernah
didengarnya. Ya, nama itu telah pernah menggemparkan dada setiap prajurit
Pajang. Karena itu, tiba-tiba keringat dingin mengalir melalui segenap
lubang-lubang kulitnya. Sejenak ia diam mematung. Diawasinya huruf-huruf itu,
dan kemudian diucapkannya nama itu kembali di dalam hatinya.
“Jadi………,”
kata-katanya serasa terhenti di kerongkongan.
“Baca,” minta
Sutawijaya.
Prajurit itu
memandang wajah Sutawijaya. Tiba-tiba prajurit itu melihat seakan-akan wajah
itu memancarkan sinar yang menyilaukan. Dengan serta-merta ia menundukkan
kepalanya sambil berkata gemetar,
“Ampun, Tuan.
Ampun. Aku tidak mengenal Tuan sebelumnya. Kalau benar Tuan yang datang di
sini, maka sepantasnyalah Tuan yang menghukum kami.”
Orang-orang
yang berdiri di sekelilingnya menjadi heran dan terperanjat. Kenapa tiba-tiba
pemimpin prajurit itu menjadi pucat pasi seperti mayat. Pemimpin prajurit yang
sedang mengepungnya melihat peristiwa itu dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi
tanpa disadarinya ia berteriak,
“He, kenapa
kau menjadi takut seperti melihat hantu. Apakah pada landean tombak itu tertera
nama hantu-hantu, atau penjaga hutan dan lereng Merapi? Atau sebuah nama
perguruan yang menakutkan, atau sebuah gerombolan penjahat yang mengerikan?”
Tetapi
prajurit yang sedang gemetar itu seakan-akan tidak mendengarnya. Ia masih saja
berkata,
“Tuan. Kami
sama sekali tidak mengetahui, dengan siapa kami berhadapan. Kalau kami mengenal
Tuan sebelumnya, maka kami tidak akan bersikap seperti ini. Juga kawan-kawan
kami dan pasti juga tamu-tamu kami akan bersikap lain. Apalagi anak-anak muda
Prambanan ini.”
“He, siapa
dia?” teriak beberapa orang prajurit yang tidak sabar menunggu. Sebut namanya,
supaya kami segera bersikap.”
Yang terdengar
justru suara tertawa Swandaru. Meskipun ia berusaha untuk menahannya, tetapi
suara itu meluncur juga dari sela-sela bibirnya. Agung Sedayu memandanginya
dengan kerut-merut di dahinya. Kali ini mereka tidak sedang bergurau. Kalau
bukti terakhir ini tidak juga dipercaya, berarti darah akan mengalir di pinggir
Kali Opak ini. Tetapi suara tertawa Swandaru itu segera dapat dihentikannya,
seakan-akan ditelannya kembali, meskipun perutnya terasa sakit.
Prajurit-prajurit
yang mengepung mereka itu kini sudah menjadi tidak bersabar lagi. Hampir
bersamaan mereka berteriak, “Sebut, sebutlah namanya. Apakah kalian sedang
bermain-main untuk menakut-nakuti kami. Kalau benar nama itu menggetarkan
hatimu. Sebutlah.”
Sutawijaya
mengangkat dagunya. Dipandanginya orang-orang di sekelilingnya. Wajah-wajah
yang tegang dan penuh pertanyaan. Haspada, Trapsila dan kawan-kawannya
seakan-akan membeku di tempatnya. Namun pancaran wajahnya terasa menjadi
terlampau tegang.
“Bacalah,”
desis Sutawijaya kemudian.
Pemimpin
prajurit itu memandanginya dengan ragu-ragu. Tetapi sekali lagi Sutawijaya
berkata,
“Bacalah.”
Dengan suara
bergetar maka prajurit itu pun membaca
nama itu,
“Sutawijaya
yang bergelar Ngabehi Loring Pasar.”
Suara prajurit
yang gemetar itu terdengar seperti ledakan Gunung Merapi di telinga orang-orang
yang berdiri di sekitarnya. Baik yang berdiri di dalam lingkaran, maupun yang
berada di luar kepungan. Sejenak mereka dicengkam oleh suasana yang aneh,
sehingga tak seorang pun yang segera
dapat menentukan sikapnya. Prajurit yang pemimpin pengepungan itu pun berdiri dengan mulut menganga. Pedang
yang di tangannya itu tiba-tiba menjadi bergetar dan hampir-hampir jatuh dari
genggamannya. Sekali lagi dicobanya untuk menatap wajah anak muda yang menggenggam
tombak itu. Kemudian beralih kepada anak muda yang disebutnya adik Untara,
seterusnya kepada anak muda yang gemuk bulat yang seakan-akan selalu tertawa
dalam segala keadaan. Sutawijaya melihat ketegangan dalam setiap hati. Ia ingin
mempergunakan kesempatan itu untuk meyakinkan orang-orang Prambanan tentang
dirinya. Bukan karena ia ingin bersombong diri, tetapi dengan demikian ia
mengharap para prajurit dan orang-orang Prambanan mengurungkan niatnya untuk
menangkapnya. Dengan demikian maka perkelahian
pun akan terhindar, dan pertumpahan darah pun dapat disingkiri. Dengan wajah tengadah
anak muda itu pun berkata,
“Nah, siapa
yang tidak percaya pada tulisan itu? Aku tidak berkeberatan seandainya masih
ada yang berkata, bahwa setiap orang dapat saja menulis apa saja pada landean
tombaknya. Dapat saja menulis dirinya dengan sebutan aneh-aneh. Mungkin kalian
dapat berkata bahwa setiap orang dapat menulis namanya dan menyebutnya sebagai
putera Dewa Brahma seperti tersebut di dalam dongeng-dongeng. Atau dapat menyebut
dirinya sebagai titisan Wishnu seperti Kresna atau Kekasih Syiwa. Tetapi aku
masih mempunyai satu bukti lagi yang akan meyakinkan kalian apabila kalian
kehendaki. Aku adalah Sutawijaya putera Ki Gede Pemanahan. Akulah yang pernah
membenamkan ujung tombakku ke lambung Arya Penangsang, meskipun tombak itu
bukan tombak yang aku pergunakan sekarang. Tombak itu adalah tombak pusaka
sipat kandel Kadipaten Pajang, yang bernama Kiai Pleret, dan berlandean
panjang, jauh lebih panjang dari tombakku ini. Meskipun demikian, meskipun aku
kali ini tidak membawa Kiai Pleret, tetapi apabila kalian tetap dalam pendirian
kalian ingin menangkap Sutawijaya, maka sebelum kalian sempat menyentuh
pakaianku, maka kalian pasti telah menjadi mayat. Apalagi kalau kedua kawan-kawanku
itu ikut serta. Pedangnya tidak kalah dahsyatnya dari sepuluh pasang pedang di
dalam genggaman tangan kalian. Aku berkata sebenarnya bahwa yang seorang itu
adalah adik Untara. Ya, adik Kakang Untara, senapati yang mendapat kepercayaan
di seluruh daerah di seputar Gunung Merapi. Sedang yang seorang lagi, yang
gemuk itu adalah putera Ki Demang Sangkal Putung, pemimpin anak-anak muda
pengawal Kademangan Sangkal Putung. Apalagi seperti yang kalian lihat di sini
berdiri pemimpin prajurit Pajang di Prambanan yang syah dan di sini berdiri
pula beberapa anak muda yang masih dapat berpikir jernih. Yang masih sempat
melihat keruntuhan yang dengan perlahan-lahan menerkam kademangan kalian.
Keruntuhan pribadi satu-satu dari kalian adalah pertanda yang paling jelas
bahwa kademangan ini kini telah berada di pinggir jurang kehancuran,”
Sutawijaya berhenti sejenak. Dipandanginya setiap wajah yang ada di sekitarnya.
Wajah-wajah anak-anak muda yang berada di dalam lingkaran dan wajah-wajah yang
sedang mengepungnya rapat-rapat, juga wajah-wajah yang berada di luar kepungan.
Pada wajah-wajah itu Sutawijaya dapat membaca bahwa kata-katanya telah bergolak
di setiap dada.
Pinggir Kali
Opak itu kini dicengkam oleh kesenyapan. Tak seorang pun yang mengucapkan kata-kata. Mulut mereka
terbuka, tetapi serasa kerongkongan mereka tersumbat oleh sebuah perasaan yang
aneh. Sejenak kemudian kembali Sutawijaya berkata,
“Nah, sekarang
apa yang akan kalian lakukan? Apakah kalian percaya kepada kata-kataku ataukah
kalian masih saja menganggap bahwa aku hanya sekedar menakut-nakuti?”
Tak ada
jawaban.
Dan
Sutawijaya pun berkata pula,
“Meskipun aku
baru semalam melihat wajah Kademangan kalian, tetapi aku sudah mendapat
gambaran yang jelas, apa yang sebenarnya terjadi di sini. Kemunduran watak dan
tabiat, kehilangan pegangan karena mabuk kemenangan-kemenangan kecil yang
sebenarnya tidak berarti apa-apa, dan yang terpenting kemudian, pengingkaran
atas nilai-nilai kebaktian kalian kepada sumber hidup kalian. Kemaksiatan bukan
saja pelanggaran atas nilai-nilai hidup duniawi, tetapi lebih-lebih daripada
itu, kemaksiatan adalah jalan yang menuju kepada Bebendu Abadi. Mungkin bagi
mereka yang memegang pedang di tangan, dapat menghindari setiap tanggung jawab
duniawi dengan kekuasaan yang terpancar dari tajam pedangnya. Tetapi apakah
pedang itu akan bermanfaat untuk melawan pengadilan tertinggi, pengadilan dari
Sumber Hidup kalian?”
Orang-orang
yang berdiri di tepian Kali Opak itu benar-benar seperti cengkerik terinjak
kaki. Diam membeku.
Namun tiba-tiba
mereka seperti tersentak bangun ketika Sutawijaya berkata,
“Ayo, siapa
yang akan menangkap Sutawijaya?”
Prajurit-prajurit
yang berdiri memagari Sutawijaya dan kawan-kawannya itu pun tiba-tiba terlempar pada kesadaran mereka
tentang diri mereka. Kata-kata Sutawijaya itu seakan-akan ujung-ujung tombak
yang menghujani beribu kali ke pusat jantung mereka. Pedih dan nyeri. Tubuh
mereka itu pun kemudian bergetaran.
Meskipun ada juga perasaan ingkar atas segala tuduhan yang tidak langsung
ditimpakan kepada diri mereka, tetapi ketika terpandang wajah Sutawijaya itu,
maka wajah-wajah mereka pun tertunduk
lesu. Bahkan kemudian terbayang di rongga mata mereka, Panglima Wira Tamtama
yang mereka segani, akan datang sendiri menghakimi mereka. Menunjuk ke
wajah-wajah mereka sambil menjatuhkan hukuman yang paling berat.
Demang
Prambanan pun berdiri dengan pucatnya.
Lututnya beradu seperti orang melihat hantu. Dadanya serasa diguncang-guncang
oleh perasaan yang mengerikan. Seakan-akan ia sedang berada di dalam dunia mimpi
yang menakutkan. Orang-orang yang berdiri di pinggir kali Opak itu kini serasa
di kejar oleh perasaan bersalah dan ketakutan. Para prajurit yang mengepung
Sutawijaya itu pun merasa betapa mereka
menyesal atas kelakuan mereka. Kenapa ia harus berhadapan dengan putera Ki Gede
Pemanahan tanpa mereka ketahui. Kini ternyata mereka telah mengancam putera
panglimanya. Bukan saja karena anak muda itu putera Panglima Wira Tamtama,
tetapi anak muda itu adalah putera angkat yang kinasih dari Adipati Pajang sendiri.
Dengan demikian maka setiap orang di pinggir sungai Opak itu kini justru
terbungkam. Yang memecah kesenyapan adalah suara Sutawijaya kembali,
“Bagaimana?
Apakah kalian masih tetap pada pendirian kalian?”
Tiba-tiba
pemimpin prajurit yang mengepungnya itu melangkah selangkah maju. Tubuhnya yang
gemetar hampir-hampir tidak dapat lagi berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Ketika ia kemudian membungkukkan badannya maka pedangnya pun terjatuh dari tangannya, katanya maka,
“Aku dan
kawan-kawanku memohon seribu ampun”
“Apakah kau
masih ragu-ragu?” bertanya Sutawijaya lantang.
“Tidak. Tidak,
Tuan,” sahut prajurit itu dengan serta merta.
“Kau melihat
aku berkelahi melawan Argajaya?”
“Ya, Tuan.”
“Ketahuilah,
bahwa dengan dua tiga unsur gerak aku dapat membunuhnya. Tetapi aku masih
menghormatinya dan membiarkan ia melawan sampai beberapa saat. Meskipun
demikian aku tidak akan membunuhnya. Bukan karena ia paman Sidanti, sebab
Sidanti itu pun sama sekali tidak
berarti bagiku.” Sutawijaya itu berhenti sejenak. Dipandanginya para prajurit
yang menundukkan kepalanya dengan lutut gemetar,
“Ketahuilah,”
katanya kemudian,
“Sidanti kini
memang sudah tidak berada di Sangkal Putung lagi. Sidanti telah melarikan
dirinya karena ia melawan kepada pimpinannya. Sidanti telah mencoba membunuh
Kakang Untara untuk dapat menggantikannya. Tetapi Untara tidak terbunuh,
sehingga dengan demikian Sidanti harus melarikan diri. Anak muda yang bernama
Sidanti dan dibangga-banggakan itu sama sekali tidak mampu melawan anak muda
yang berdiri di sini itu. Adik Kakang Untara. Karena itu, seandainya datang
tiga Sidanti di pinggir Kali Opak saat ini, maka kami bertiga tidak akan
menjadi cemas sama sekali, apalagi tiga orang Argajaya yang sombong itu.”
Prajurit-prajurit
Pajang itu masih berdiri dengan wajah yang tertunduk. Tak seorang pun kini yang berani mengangkat wajahnya
memandangi wajah putera Ki Gede Pemanahan itu. Dalam pada itu Ki Demang
Prambanan yang masih muda itu berkata dengan nada yang datar gemetar,
“Tuan, kami
benar-benar tidak tahu siapakah Tuan. Bukan kebiasaan kami tidak menghormati
tamu-tamu, tetapi hanya karena kami tidak tahu, maka mungkin sikap kami,
orang-orang kademangan ini, tidak berkenan di hati Tuan. Terhadap Argajaya
itu pun kami bersikap hormat pula,
meskipun kami tahu, betapa orang itu sangat memuakkan karena kesombongannya.
Apalagi terhadap Tuan apabila kami tahu sebelumnya.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Ki Demang Prambanan itu. Sedang Ki
Demang itu berkata pula,
“Karena itu,
Tuan, aku mengharap Tuan sudi bermalam di Kademangan kami. Kami akan menjamu
Tuan dengan kemeriahan dua tiga kali lipat dari jamuan yang pernah kami adakan
untuk Argajaya.”
Sutawijaya
memandangi wajah Demang itu dengan tajamnya. Tetapi anak muda itu tidak segera
menjawab. Ki Demang itu masih juga berkata,
“Kami akan
mengadakan pertunjukan menurut kesenangan Tuan tiga hari tiga malam dan akan
menjamu Tuan menurut kehendak Tuan. Kami akan menyembelih lembu dan kambing
sebagai tanda hormat kami atas kesudian Tuan hadir di Kademangan ini.”
Ketika
terpandang oleh Sutawijaya wajah Swandaru, maka Sutawijaya itu pun segera mengetahui, bahwa di dalam dada
anak muda itu pun bergejolak perasaan
seperti yang bergolak di dalam dadanya sendiri. Tetapi ketika ia memandangi
wajah Agung Sedayu, maka sukarlah baginya untuk menjajagi perasaan anak muda
itu. Wajahnya hampir tidak berubah. Kesannya tenang dan dalam. Tetapi dalam
ketenangan itu, sebenarnya bergelombanglah perasaan di dalam hatinya. Bahkan
tiba-tiba ia menjadi kecewa melihat wajah Ki Demang Prambanan itu. Kecewa akan
sikapnya yang miyur, tanpa berpegangan kepada suatu sikap yang terpuji. Baru
saja mereka melihat, bagaimanakah sikapnya terhadap Argajaya, kini mereka
melihat sikap yang tiba-tiba berubah. Tetapi Agung Sedayu berusaha untuk
menekan perasaannya. Ia tidak mau merusak suasana yang sudah hampir mereda.
“Marilah,
Tuan,” berkata Ki Demang, yang kemudian kepada para prajurit dan orang-orangnya
ia berkata,
“Marilah kita
sambut tamu-tamu kita ini dengan kegembiraan di hati. Tidak terpaksa karena
sopan santun saja seperti kita menyambut Argajaya kemarin. Tetapi kali ini kita
akan merayakannya dengan ikhlas. Bahwa kademangan kita telah mendapat
kesempatan dikunjungi oleh priyagung dari Pajang.”
Belum lagi Ki
Demang itu selesai, terdengar Sutawijaya berkata,
“Terima kasih
Ki Demang. Kami bukan orang-orang yang dapat dimabukkan oleh sambutan-sambutan
dan kemeriahan lahiriah. Kami bukan Argajaya. Mungkin ada beberapa perbedaan di
antara kami dan Argajaya itu.” Sutawijaya berhenti sejenak. Dilihatnya wajah Ki
Demang yang pucat menjadi semakin pucat. Apalagi ketika sejenak kemudian
Sutawijaya berkata,
“Jangan
mencoba mencuci tanganmu dengan darah lembu dan kambing yang akan kau sembelih.
Tak ada gunanya Ki Demang. Yang dapat mencuci namamu yang agaknya selama ini
menjadi buram adalah sebuah pengakuan. Pengakuan atas kesalahan-kesalahan yang
pernah kau lakukan. Dengan janji di dalam hati bahwa kesalahan itu tidak akan
terulang kembali.”
Mulut Ki
Demang kini benar-benar terbungkam. Seluruh tubuhnya telah basah karena
keringat dingin yang mengalir seperti terperas dari dalam tubuhnya. Dengan
lutut yang beradu ia mencoba untuk dapat tegak berdiri. Ki Demang itu hampir
terjatuh ketika ia terkejut mendengar Sutawijaya membentaknya,
“Bagaimana Ki
Demang. Apakah kau dengar kata-kataku?”
“Ya, ya, Tuan.
Aku mendengar.”
“Dan Mengerti
pula?”
“Ya, aku
mengerti, Tuan.”
“Apa?”
Jantung Ki
Demang Prambanan itu serasa dihentak-hentak oleh guruh yang meledak di dalam
dadanya. Hampir-hampir ia menjadi pingsan karena ketakutan.
“Apa yang kau
ketahui he Ki Demang?”
Ki Demang
tidak segera dapat menjawab. Mulutnya benar-benar serasa tersumbat.
“Kenapa kau
diam, he? Kau sangka aku bermain-main?” desak Sutawijaya agak keras.
“Aku tidak
bermain-main Ki Demang. Aku juga tidak menakut-nakuti kalian. Aku akan dapat
membuktikannya apa yang aku katakan. Bukan karena aku putera Panglima Wira
Tamtama. Tetapi seandainya bukan, maka aku sanggup menghadapi kalian dengan
ujung tombakku ini, kau dengar?”
“Ya, ya,
Tuan,” suara Ki Demang hampir tidak kedengaran.
“Apakah kau
menyesal?”
“Ya, Tuan.”
Sutawijaya
menarik nafas. Ia tahu, bahwa Ki Demang itu memang sudah tidak mungkin lagi
diajaknya berbicara. Tetapi dengan demikian, maka semua kata-katanya besok atau
lusa pasti akan dipertimbangkannya. Karena itu maka katanya,
“Aku malam
nanti tidak akan bermalam lagi di Kademangan ini. Aku sudah tahu gambaran yang
pasti tentang Kademangan ini. Beruntunglah bahwa di sini masih ada seorang
prajurit yang menyadari kesalahannya pada saat-saat terakhir. Kepadanya aku
percayakan prajurit-prajurit yang lain. Apabila masih juga terjadi, mereka
menentang perintah pemimpinnya yang syah, yang diangkat dan bertanggung jawab
kepada Kakang Untara, maka mereka akan ditindak seperti orang-orang yang sampai
saat ini masih membangkang di bawah pimpinan Sanakeling. Sedang Kademangan
Prambanan harus merasa berterima kasih bahwa mereka masih memiliki anak-anak
muda seperti Haspada, Trapsila dan beberapa orang yang lain. Merekalah yang
seterusnya harus tampil ke depan, membimbing kawan-kawannya. Mungkin satu dua
ada juga yang tidak ingin melepaskan cara hidupnya kini. Berkeliaran, berbuat
aneh-aneh dan tidak menghiraukan lagi adat dan tata-cara. Adalah menjadi tugas
anak-anak muda sendirilah untuk menghentikannya. Bahkan orang-orang tua yang
memberi banyak contoh-contoh yang sesat itu
pun harus dihentikan. Sekarang juga. Jangan menunggu sampai gunung
Merapi meledak dan menimbuni daerah ini dengan pasir dan batu.”
Ketika
Sutawijaya terdiam, maka tak ada suara yang berderik, selain gemericik air Kali
Opak dan desir angin di dedaunan. Semaunya terdiam beku. Wajah-wajah yang
menunduk dan hati yang pepat dan kecut. Ternyata mereka berhadapan dengan
seorang anak muda yang luar biasa. Tidak saja menggerakkan tombaknya, tetapi
juga menggerakkan lidahnya. Kesepian itu kemudian terpecahkan ketika Sutawijaya
tiba-tiba berkata,
“Aku akan
pergi.”
Kata-kata
itu pun sangat mengejutkan. Semua wajah
yang tunduk itu terangkat, dan semua mata memandang kepadanya. Tetapi ia berkata
sekali lagi,
“Aku akan
pergi. Marilah Agung Sedayu dan Swandaru. Kita lanjutkan perjalanan kita.”
“Tuan,”
pemimpin prajurit itu berusaha untuk mencegahnya,
“Sebaiknya
Tuan bermalam di sini. Bukan maksud kami untuk mencoba menyenang-nyenangkan
hati tuan karena kesalahan-kesalahan kami, dengan harapan supaya Tuan sudi
memaafkannya, tetapi sebenarnyalah kami ingin Tuan bermalam di sini untuk
memberikan beberapa petunjuk yang mungkin akan sangat penting bagi kami.”
“Cukup,” sahut
Sutawijaya.
“Aku sudah
cukup banyak berbicara. Mungkin besok atau lusa atau seminggu dua minggu lagi
ada orang lain yang berkepentingan datang kemari. Mungkin kawan-kawanmu para
prajurit yang berada di sini harus ditarik dan diganti oleh yang lain, mungkin
keputusan-keputusan lain yang akan diambil oleh kakang Untara, tetapi mungkin
kalian masih akan dibiarkannya saja seperti sekarang, karena kesibukannya yang
terlampau banyak. Aku tidak tahu. Itu bukan urusanku. Tetapi aku mempunyai
kepentingan sendiri dan aku akan pergi.”
“Tuan,” potong
prajurit itu, tetapi Sutawijaya seperti tidak mendengarnya. Bahkan ia berkata
kepada Swandaru,
“Berikan
busurku itu.”
Swandaru pun kemudian memungut busur itu dan
memberikannya sambil bertanya,
“Apakah kita
akan meneruskan perjalanan kita?”
“Ya,” sahut
Sutawijaya
Swandaru tidak
bertanya lagi. Yang berbicara kemudian adalah Sutawijaya kedapa Haspada dan
Trapsila,
“Selamat
kepada kalian. Mudah-mudahan kalian akan tampil kembali dalam kepemimpinan
anak-anak muda. Jangan patah hati. Kalau perlu kalian dapat berlaku agak keras.
Bukankah kalian mempunyai bekal yang cukup untuk melakukannya?”
“Mudah-mudahan
kami dapat melakukannya, Tuan,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Bagus.
Sekarang aku akan meninggalkan kademangan ini. Aku mengharap di saat lain aku
akan kembali mengunjungi daerah ini. Bukankah menurut cerita yang pernah aku
dengar, kademangan ini pernah mendapat seorang demang yang sangat baik? Cobalah
ulangi nama yang baik itu. Jauhkan segala macam kericuhan dan kemaksiatan.”
Orang-orang
yang berdiri di pinggir Kali Opak itu kemudian hanya dapat melihat ketiga
anak-anak muda itu berjalan dengan langkah yang tetap meninggalkan pinggiran
Kali Opak, menyeberang ke arah Barat. Beberapa lama mereka tegak bagaikan
sekelompok patung di tepian sungai Opak. Dengan hati yang berdebar-debar mereka
melihat ketiganya menyeberang sungai yang tidak begitu dalam, namun cukup
lebar. Kaki-kaki mereka menyentuh air yang mengalir, membuat gejolak kecil.
Namun gejolak yang terjadi di dalam dada orang-orang Prambanan itu terasa
betapa besarnya melanda dinding-dinding jantung mereka. Ketika ketiga anak-anak
muda itu meloncat tebing di sisi seberang dan menghilang di balik rimbunnya
alang-alang, maka kini berpasang-pasang mata berpaling memandangi pemimpin
prajurit yang berdiri di dalam lingkaran bersama beberapa anak-anak muda
Prambanan. Prajurit yang masih mendapat kepercayaan dari putera Panglima Wira
Tamtama untuk memimpin Kademangan Prambanan. Betapa dada para prajurit yang
lain menjadi semakin berdebar-debar. Prajurit yang seorang itu dapat berbuat
menurut kehendaknya. Ia akan dapat melepaskan dendamnya kepada mereka. Bahkan
dapat berbuat diluar dugaan. Juga kepada Ki Demang Prambanan dengan bantuan
anak-anak muda yang tegak di sekitarnya.
Tetapi
prajurit itu berkata seperti bukan kehendaknya sendiri,
“Kalau terjadi
kesalahan pada kita dimasa-masa lalu, marilah kita sadari bersama, bahwa
kesalahan itu adalah kesalahan kita bersama. Bukan saja kesalahanku, bukan saja
kesalahanmu. Tetapi kesalahan kita seluruh isi Kademangan. Kehadiran anak muda,
Putera Ki Gede Pemanahan itu ternyata telah membawa kesadaran baru di dalam
hati kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar