Jilid 019 Halaman 1


KARENA itu, maka kepala Argajaya terdorong ke belakang. Sentuhan tangkai tombak Sutawijaya memang tidak begitu keras, sehingga Argajaya pun tidak sampai kehilangan keseimbangan. Tetapi tangkai tombak Sutawijaya itu pun telah membuat luka pada pelipis Argajaya, sehingga luka itu meneteskan darah. Terdengar tiba-tiba Argajaya mengumpat kasar. Dengan tiba-tiba ia menyerang kembali Sutawijaya. Namun Sutawijaya telah bersiaga dan dalam waktu yang singkat, ia segera dapat menguasai lawannya. Apalagi kini Argajaya tidak lagi bersenjata.
“Bunuh aku anak setan” teriak Argajaya
“Tidak, aku akan membuatmu cacat sewnur hidup. Tangkai tombakku akan dapat mematuk kedua belah matamu, dan kau akan menjadi buta karenanya. Nah, apakah yang dapat kau lakukan tanpa sepasang matamu. Aku tidak akan mempergunakan ujung tombakku, sebab setiap goresan dapat berakibat maut.”
Ancaman itu benar-benar mengerikan. Tiba-tiba Argajaya meloncat mundur. Ternyata Sutawijaya membiarkannya. Ia sama sekali tidak mengejarnya. Terdengar kemudian Argajaya menggeram. Suaranya menggeletar melontarkan kemarahan yang pepat di dalam dadanya,
“Aku akan pergi anak demit. Tetapi jangan kau sangka bahwa aku takut menghadapi kau. Bukan berarti aku lari dari kematian. Tetapi kau ternyata bengis melampaui iblis. Aku akan menunggumu di Sangkal Putung kalau kau benar-benar anak Sangkal Putung. Aku akan mencari kesempatan untuk melakukan perang tanding sekali lagi di hadapan para pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Patung. Perang tanding sampai salah seorang di antara kita mati”
“Pergi,” teriak Sutawijaya,
“jangan mengigau. Kau dan Sidanti boleh maju bersama-sama ke dalam arena.”
“Mulutmulah yang pertama-tama harus dipecahkan” geram Argajaya dengan suara yang tajam.
“Lakukanlah kalau kau mampu melakukan.” sahut Suta­wijaya.
“Tetapi ada pesanku padamu. Kalau kau mencari Sidanti, jangan kau cari ia di Sangkal Putung. Anak gila itu kini berada di padepokan gurunya. Carilah ia ke sana, dan kau akan menemukannya. Katakanlah kepadanya, bahwa luka di pelipismu adalah luka yang dibuat sebagai pertanda, bahwa kau telah berkelahi dengan seorang pengawal dari Sangkal Putung.”

Dada Argajaya bergetar mendengar kata-kata itu. Sejenak ia terpaku saja di tempatnya. Diulanginya pendengarannya itu di dalam hatinya,
“Sidanti sudah tidak berada di Sangkal Putung lagi”
Tetapi kemudian ia menggeram. Dengan marahnya ia menjawab,
“Bohong. Ternyata kau bukan orang Sangkal Putung. Sidanti adalah orang pang penting di Kademangan itu. Ia adalah sapu kawat. Tanpa Sidanti, Sangkal Putung tidak akan berarti sebagai suatu pertahanan untuk mempertahankan lumbung makan.”
Terdengar suara tertawa Sutawijaya, disusul oleh gelak Swandaru seakan-akan melengking, sehingga hampir setiap mata berpaling kepadanya. Yang terdengar kemudian adalah jawaban Sutawijaya,
“Kau memang sedang mengigau. Kapan kau datang untuk terakhir kalinya ke Sangkal Putung? Jangankan kau yang datang dari pegunungan Menoreh di seberang hutan Mentaok, sedangkan orang-orang di Prambanan, bahkan para prajurit di Prambanan ini pun belum tahu apa yang sebenarnya terjadi di Sangkal Putung. Alangkah jeleknya jaring-jaring perhubungan antara para prajurit Pajang yang tersebar dimana-mana ini.”
Bukan saja Argajaya, tetapi para prajurit pun menjadi berdebar-debar mendengarkan kata-kata itu.
Kembali Sutawijaya meneruskan kata-katanya,
“Tetapi kalau kau tidak percaya, cobalah datang ke Sangkal Putung. Setiap hidung pasti akan mentertawakan kedatanganmu, seperti mereka mentertawakan Sidanti. Sidanti sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Kademangam itu.”
Tiba-tiba terdengar pemimpin prajurit yang datang bersama Argajaya memotong kata-katanya,
“Maksudmu kehadiran para prajurit Wira Tamtama di Sangkal Putung tidak berarti apa-apa bagi Kademangan itu serta penduduknya?”
“Siapa yang berkata demikian?” bantah Sutawijaya
“yang aku katakan adalah Sidanti. Sidanti, Kau dengar”
Telinga prajurit itu menjadi panas. Tetapi ia masih melihat anak panah yang sudah melekat pada tali busurnya di tangan Agung Sedayu dan Swandaru. Meskipun demikian ia berkata,
“Bukankah Sidanti itu seorang prajurit Wira Tamtama yang ditempatkan di Pajang?”
“Ya” sahut Sutawijaya pendek.
“Nah, jadi bukankah demikian kau telah menghina prajurit Wira Tamtama?”
“Tidak. Aku hanya mengatakan bahwa Sidanti tidak berada di Sangkal Pusung. Ia berada di tempat gurunya,” kemudian Sutawijaya itu pun berpaling kepada Argajaya,
“Sekarang pergilah, pergi kepada Sidanti. Bertanyalah kepadanya tentang pengawal Sangkal Putung seperti yang kau lihat kini kepada Sidanti. Ia kenal kami bertiga dengan baik.”
Argajaya tidak menjawab. Tetapi ia belum beranjak dari tempatnya.
“Jadi kau ingin aku melakukan kehendakku atasmu. Membuatmu cacat seumur hidupmu?”

Kembali terdengar Argajaya menggeram.
“Kesempatan yang aku berikan hampir sampai pada batasnya” sambung Sutawijaya,
“ternyata aku mempunyai alat yang lebih baik daripada tangkai tombakku.” Ketika Sutawijaya kemudian berpaling memandanqi ujung-ujung anak panah Agung Sedayu, maka berdesirlah setiap dada. Apakah anak muda itu akan menyuruh adiknya itu untuk melepaskan anak-panahnya mengarah ke mata Argajaya.
Argajaya pun melihat ujung anak panah itu. Dengan demikian maka gelora di dalam dadanya semakin menyala. Dendam, benci dan muak bercampur-baur di dalam hatinya. Dengan suara bergetar ia melepaskan perasaannya itu katanya,
“Aku ingin bertemu sekali lagi. Aku akan mendengarkan pesanmu kali ini. Aku akan pergi ke guru Sidanti di lereng Merapi. Daripadanya aku akan mendengar keadaan anak muda itu. Mudah-mudahan kita akan dapat bertemu kembali. Kau benar-benar akan menyesal kelak, bahwa kau tidak membunuhku saat ini.”
“Pergilah. Terima kasih bahwa kau mau mendengarkan pesanku. Pesan seorang pengawal Kademangan Sangkal Putung. Jangan lupa, sebut kami satu persatu di hadapan Sidanti. Aku, adikku yang bertubuh sedang dan berwajah tampan seperti topeng Panji, yang satu gemuk bulat seperti kelapa. Kau telah mengenal nama-nama kami. Karena itu, maka ……..”
“Cukup! Kau menjadi besar kepala karenanya. Tetapi akan datang saatnya, kepalamu itu aku penggal kelak.”
Argajaya tidak menunggu jawaban Sutawijaya. Segera ia memutar tubuhnya dan melangkah meninggalkan arena dengan tergesa-gesa. Tetapi ia tertegun ketika ia mendengar Sutawijaya berkata,
“Tunggu. Kau kelupaan tombakmu. Kalau tombakmu itu memang sebuah pusaka sipat kandel dari Tanah Perdikan Menoreh, bawalah. Mungkin akan berguna bagimu.”
Mata Argajaya menjadi merah, semerah darah. Giginya gemeretak dan tubuhnya bergetar. Tetapi ia melangkah cepat-cepat ke arah tombaknya yang tergolek di atas pasir tepian.
“Anggaplah tombak itu sebuah kenang-kenangan daripadaku,” berkata Sutawijaya.
Argajaya berpaling  pun tidak. Ia berjalan cepat-cepat meninggalkan tempat itu. meskipun demikian, meskipun ia meninggalkan lawannya, namun sebenarnya di dalam hati Sutawijaya mengakui kejantanan lawannya itu. Sikapnya yang pantang menyerah dalam keyakinannya, meskipun ujung tombak telah melekat di lambungnya. Tetapi orang yang demikian, pasti benar-benar akan melakukan kata-katanya yang diucapkan sebagai janji untuk melepaskan dendamnya kelak apabila ada kesempatan.

Semua mata memandang langkah Argajaya yang tergesa-gesa itu, yang kemudian disusul oleh kedua pengiringnya dari Mentaok. Kesan keberanian dan keteguhan hatinya masih terasa di dalam hati orang-orang yang berdiri di tepian itu. Bahkan Agung Sedayu bergumam di dalam hatinya,
“Seperti Sidanti. Keras hati. Namun nalarnya kadang-kadang terdesak jauh ke belakang, sehingga orang itu kurang memikirkan akibat dari perbuatannya.”
Belum lagi Argajaya itu jauh, terdengar prajurit yang datang bersamanya menggeram,
“Perbuatanmu tidak dapat lagi dimaafkan. Kalau kelak Sidanti itu benar-benar datang kemari, maka kami adalah saksi yang akan dapat mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi.”
“Sidanti tidak akan datang kemari,” jawab Sutawijaya.
“Apakah kau pasti?” bertanya prajurit itu.
“Sidanti tidak lagi berada di Sangkal Putung.”
“Bohong! Salah seorang dari kami akan menghadap ke Sangkal Putung. Ki Untara harus mendengar bahwa pimpinan kami di sini telah berbuat kesalahan dengan membiarkan kalian membuat onar di Kademangan Prambanan. Kalian bersama pimpinan kami itu harus ditangkap.”
Pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya itu pun segera memotong,
“Kalianlah yang telah memberontak. Aku masih tetap pimpinan di sini. Aku pun dapat mengatakan apa yang telah terjadi dan orang-orang yang berdiri di sini yang semalam melihat apa yang terjadi di banjar desa akan menjadi saksi.”
“Baik. Kita lihat, siapakah yang akan dipercaya oleh pimpinan kita di Sangkal Putung.”
Tiba-tiba Sutawijaya itu  pun tertawa. Katanya,
“Kalian terlalu percaya bahwa Sidanti akan dapat memberimu perlindungan. Tetapi sudah aku katakan, kami tidak takut kepada Sidanti. Kami tidak takut pula seandainya Ki Untara mempercayai kata-katamu. Bahkan kami tidak akan takut seandainya Panglima Wira Tamtama sendiri datang kemari.”
Para prajurit itu  pun terkejut mendengar kata-kata itu. Prajurit yang berpihak kepadanya  pun terkejut. Sejenak ia terbungkam sambil memandangi anak muda yang masih menggenggam tombak di tangannya itu.
Sutawijaya melihat wajah-wajah yang menjadi semakin tegang. Tetapi ia masih saja tertawa dan berkata,
“Aku berkata sebenarnya. Tidak ada seorang  pun yang akan dapat berbuat sesuatu atas kami. Tetapi sebaliknya, kami akan dapat mengatakan apa yang telah terjadi di sini kepada siapa pun yang akan datang kemari. Ki Untara, Ki Penjawi, Ki Juru Mertani, atau Ki Gede Pemanahan sendiri.”

Yang mendengarkan kata-kata itu menjadi semakin tidak mengerti. Bahkan para prajurit yang berpihak kepada Argajaya menganggap bahwa anak muda itu sebenarnya anak yang tidak tahu adat. Karena itu maka pemimpinnya  pun berkata,
“Nah, semua orang telah mendengar kata-katamu. Kau benar-benar telah menghina Wira Tamtama. Sedang pemimpin kami yang bertanggung jawab di sini masih saja diam mematung.”
Pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya itu  pun menjadi heran mendengar kata-kata Sutawijaya. Kata-kata itu sendiri telah dapat digolongkan pada suatu tindakan yang kurang pada tempatnya. Kata-kata itu sebenarnya memang menyangkut nama Wira Tamtama dan apalagi panglimanya. Karena itu, maka sejenak ia terdiam. Dicobanya untuk mencernakan apa yang telah dilihatnya dan apa yang telah didengarnya.
“Aku sama sekali tidak menghinanya. Aku justru mempercayai mereka, para pemimpin Wira Tamtama. Baik yang berada di Prambanan, baik yang berada di Sangkal Putung maupun yang berada di Pajang. Aku memang tidak takut seandainya mereka datang bersama-sama kemari, sebab mereka pasti dapat membedakan mana yang baik dan mana yang salah,” berkata Sutawijaya.
Pemimpin prajurit yang datang bersamanya tiba-tiba menganggukkan kepalanya. Katanya,
“Benar, kau benar anak muda. Orang yang yakin akan kebenarannya tidak perlu takut menghadapi apapun, apalagi mereka yang tegak pada keadilan. Aku pun percaya bahwa para pemimpin itu akan mempertahankan keadilan yang selurus-lurusnya.”
“Persetan!” sahut pemimpin yang lain. “Kalian adalah orang-orang yang memang pandai berbicara. Tetapi marilah kita lihat apakah yang akan terjadi kelak.” Kemudian kepada kawan-kawannya ia berkata,
“Marilah kita tinggalkan tempat ini.”
“Tunggu,” cegah Sutawijaya.
“Persoalan kalian belum selesai. Dengan demikian, maka di Prambanan kini masih ada dua pimpinan prajurit yang merasa masing-masing berkuasa. Pimpinan yang sebenarnya dan pimpinan bayangan.”
“Akulah yang memegang pimpinan sekarang. Semua prajurit di Prambanan tunduk kepadaku.”
“Tidak!” sahut yang datang bersama Sutawijaya.
“Aku tetap pimpinan di sini. Siapa yang tidak tunduk pada perintahku, kepadanya akan dapat dikenakan hukuman.”
“Omong koaong! Jangan hiraukan. Mari kita pergi.”
Tetapi ketika mereka sudah mulai bergerak untuk meninggalkan tempat itu, kembali mereka tertegun karena Sutawijaya berkata, “Aku hanya mengakui pimpinan yang seorang, yang datang bersamaku. Bukan karena ia membenarkan sikapku, tetapi karena ialah yang menerima kekuasaan dalam jabatan itu. Setiap pelanggaran atas perintahnya, berarti pemberontakan yang akan ditindak.”

Wajah pemimpin prajurit yang lain menjadi merah menyala. Dengan kasarnya ia berkata,
“Apakah hakmu berkata demikian, he anak Sangkal Putung. Prambanan bukan bawahan Sangkal Putung, meskipun kebetulan pemimpin kami berada di sana. Tetapi kami hanya bertanggung jawab kepada Ki Untara. Kalau kau tidak mau mengakui kami, kami tidak berkeberatan. Tetapi sebenarnya bahwa kami ingin menangkap kalian dan mengikat di halaman banjar desa.”
Prajurit itu tidak berpaling ketika Sutawijaya berkata,
“Tunggu.”
Beberapa prajurit yang lain  pun segera mengikutinya. Tetapi langkah mereka  pun tertegun-tegun. Agaknya mereka sedang membicarakan sesuatu. Sekali tampak mereka berpaling ketika anak-anak muda yang datang bersama mereka  pun telah bergerak pula. Hanya Ki Demang lah yang masih saja berdiri mematung. Tetapi mereka  pun terkejut ketika para prajurit itu berhenti dan tiba-tiba saja mereka berlari berpencaran kembali mengelilingi arena dari arah yang berbeda-beda. Yang terjadi itu berlangsung terlampau cepat. Sutawijaya tegak di tengah-tengah arena itu dengan hati yang berdebar-debar, sedang Agung Sedayu sejenak menjadi seakan-akan membeku. Mereka menyadari apa yang akan dilakukan oleh para prajurit itu, tetapi mereka tidak segera menemukan cara untuk mengatasinya.
“Aku tidak menyangka bahwa mereka segila itu,” desah Sutawijaya di dalam hatinya.
Sejenak kemudian terdengar pemimpin prajurit yang seorang, yang datang bersama Argajaya berteriak,
“Demi tegaknya tanggung jawab para prajurit Pajang di Prambanan, marilah kita tangkap anak setan itu. He, para pemuda Prambanan, jangan tidur, kau  pun telah mendapat penghinaan dari orang itu.”
Tiba-tiba para pemudanya  pun bergerak. Semula mereka berdesak-desakan saja, namun kemudian sebagian dari mereka segera memencar setelah mereka menyadari maksud gerakan para prajurit itu. Dengan demikian mereka menghindarkan diri mereka sejauh-jauh mungkin dari anak panah Agung Sedayu dan Swandaru, karena mereka terpencar-pencar. Para prajurit itu mengharap, bahwa mereka dapat membuat gerakan-gerakan yang dapat membingungkan Agung Sedayu dan Swandaru. Agung Sedayu dan Swandaru pasti tidak akan mungkin lagi memanah mereka dalam sekejap dan melepaskan anak panah yang kedua sekejap kemudian, atau dengan mata terpejam mengarah kepada sekelompok orang.
Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru, pemimpin prajurit yang lain, dan beberapa orang kini terkepung oleh sebuah lingkaran yang terdiri dari para prajurit Pajang di Prambanan beserta beberapa anak-anak muda. Anak-anak muda itu bergerak saja seperti kena pesona, karena hubungan mereka yang rapat dengan para prajurit itu. Ki Demang  pun tiba-tiba bergerak pula bersama dengan mereka.
“Jangan berbuat sesuatu yang tidak akan ada gunanya,” ancam pemimpin prajurit itu.
“Kalian telah terkepung. Meskipun kalian bertiga seorang-seorang menang dari orang-orang Menoreh, tetapi jangan mimpi untuk dapat melawan kami semuanya ini.”
“Kalian benar-benar gila!” teriak pemimpin prajurit yang berada di dekat Sutawijaya.
“Uraikan kepungan ini!”
“Tidak!”
“Demi kekuasaan Wira Tamtama yang berada di tanganku.”
“Tidak! Menyerahlah!”

Gigi pemimpin prajurit itu  pun gemeretak. Kini pedangnya tergenggam erat di tangannya. Sedang para prajurit di luar lingkaran itu  pun telah menggenggam senjata masing-masing pula. Suasana segera meningkat semakin tegang. Orang-orang tua yang berdiri di dalam kepungan menjadi ketakutan dan gemetar. Tetapi pemimpin prajurit yang memimpin pengepungan itu berkata,
“Siapa yang tidak turut dan tidak ingin melibatkan dirinya, segera keluar dari kepungan ini, kecuali empat orang yang akan kami tangkap.”
Beberapa orang kemudian tersuruk-suruk berjalan ke luar lingkaran dengan tubuh yang menggigil karena ketakutan. Satu-satu mereka menghilang ke belakang kepungan, sehingga orang-orang yang berada di dalam itu pun susut dengan cepatnya. Tetapi ternyata tidak semua orang berlari ke luar lingkaran. Ketika tidak seorang  pun lagi yang bergerak, maka tampaklah dengan jelas, siapa-siapa yang kini berdiri berseberangan. Yang masih tinggal di dalam lingkaran itu, ternyata bukan saja Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru, dan pemimpin prajurit yang seorang, tetapi di dalam lingkaran itu berdiri Haspada, Trapsila, dan beberapa pemuda yang lain. Meskipun mereka tidak bersenjata panjang, tetapi mereka dapat menduga, bahwa sesuatu akan terjadi. Ternyata di dalam baju mereka terselip sebilah keris. Ketika keadaan meningkat menjadi semakin tegang, meka hulu-hulu keris itu  pun telah tersembul dari dalam baju-baju mereka. Dada Sutawijaya menjadi semakin berdebar-debar melihat peristiwa itu. Apakah benar-benar akan terjadi pertumpahan darah di tepian Kali Opak itu? Tiba-tiba udara digetarkan oleh suara tertawa berkepanjangan. Ketika semua berpaling ke arah suara itu, mereka melihat Swandaru masih saja tertawa sambil mamandang pemimpin prajurit yang berdiri di lingkaran, siap dengan senjata di tangan.
“Hem,” berkata Swandaru,
“kalau kalian bersungguh-sungguh, maka sudah barang tentu bahwa kami tidak akan mempergunakan anak panah ini. Sebenarnya kami tidak senang berkelahi dengan anak panah. Kalau aku berhasil membinasakan lawan dengan anak panah, aku sama sekali tidak mendapat kepuasan karenanya. Aku lebih senang membelah dada lawanku dengan pedangku ini.”
Swandaru kemudian dengan tenangnya meletakkan busurnya, melepaskan busur Sutawijaya di punggungnya, dan seolah-olah sedang melepaskan pakaiannya untuk mandi saja, anak yang gemuk bulat itu melepas tali-tali endong anak panahnya.

Para prajurit Pajang, beberapa anak-anak muda yang berdiri mengepungnya dan bahkan anak-anak muda yang berada di dalam kepungan, menjadi heran melihat ketenangan sikapnya. Orang-orang yang berdiri mengancamnya dengan senjata di tangan itu seakan-akan sama sekali tidak mempengaruhinya. Namun ketenangan Swandaru itu telah membuat para prajurit Pajang bertanya-tanya di dalam hati dan membuat anak-anak muda Prambanan menjadi gelisah. Dengan tenang pula tangan kanannya kemudian menarik hulu pedangnya yang terbuat dari gading dan kini berjuntai seutas tali yang kekuning-kuningan. Ketika pedang itu kemudian menjadi telanjang, maka tampaklah pedang itu adalah sebilah pedang yang panjang.
Dengan nada yang tinggi Swandaru itu  pun berkata,
“Apakah kita benar-benar akan berkelahi?”
Sutawijaya dan Agung Sedayu melihat sikap itu dengan cemas, apalagi ketika kemudian mereka melihat wajah-wajah para prajurit Pajang itu  pun menjadi semakin tegang.
Tanpa berjanji maka Agung Sedayu dan Sutawijaya itu pun saling berpandangan. Seakan-akan mereka saling bertanya, apakah yang sebaiknya mereka lakukan. Ternyata yang merayap di dalam hati mereka serupa. Mereka mencemaskan keadaan di sekitarnya. Bukan karena mereka cemas tentang nasib mereka masing-masing, tetapi mereka mencemaskan nasib anak-anak muda Prambanan, kalau terjadi perkelahian di pinggir Kali Opak ini maka korban yang paling banyak adalah anak-anak muda itu. Sebagian dari mereka sama sekali tidak bersenjata. Tetapi terbakar oleh darah mudanya, maka mereka akan menjadi mabuk keberanian tanpa perhitungan. Dalam perkelahian yang demikian, maka kemungkinan jatuhnya korban adalah besar sekali. Mereka sendiri pasti tidak akan dapat menjamin, bahwa senjata-senjata mereka tidak akan menyentuh tubuh lawan.
Sebelum menemukan sesuatu cara yang sebaik-baiknya mereka mendengar pemimpin prajurit yang melingkari mereka itu berkata,
“Ternyata kalian benar-benar melawan perintah kami. Bahkan ada beberapa anak-anak Prambanan sendiri yang mencoba menentang kami pula. Aku memberi kesempatan terakhir kepada anak-anak muda Prambanan. Haspada, Trapsila dan kawan-kawannya. Tinggalkan orang-orang itu, supaya kami dapat segera menangkapnya tanpa membuat korban anak-anak muda Prambanan sendiri.”
Haspada memandang wajah prajurit itu dengan sorot mata yang menyala. Tiba-tiba ia menjawab,
“Aku sudah jemu melihat tingkah lakumu. Bagi Prambanan sebenarnya lebih baik apabila kalian pergi saja. Mungkin kami memerlukan perlindungan dari para prajurit Pajang, tetapi bukan prajurit semacam kalian.”
Kemarahan prajurit-prajurit Pajang itu kini telah memuncak. Segera mereka bergerak maju, sehingga lingkaran itu  pun menjadi semakin sempit. Sutawijaya masih belum bergeser dari tempatnya, sedang Agung Sedayu masih menggenggam anak panah pada busurnya. Hati mereka  pun menjadi semakin cemas melihat perkembangan keadaan. Tetapi mereka menyadari, bahwa mereka tidak dapat untuk sekedar mencemaskannya saja tanpa berbuat sesuatu.

Ketika lingkaran itu menjadi semakin menyempit, maka anak-anak muda Prambanan di dalam lingkaran itu  pun segera bersiap pula. Di tangan mereka kini tergenggam keris masing-masing. Dengan wajah tengadah mereka menghadapi para prajurit yang menggenggam pedang di tangannya. Sedang pemimpin prajurit yang berpihak pada Sutawijaya  pun berdiri dengan mata menyala. Sambil mengacung-acungkan pedangnya ia berkata,
“Apa pun yang kalian lakukan, maka kalian tidak akan dapat mengingkari pertanggungan jawab.”
“Justru karena aku tidak mengingkari pertanggungan jawabku maka aku berbuat, menangkap kalian, mengikat di halaman banjar desa, minta maaf kepada tamu-tamu kami dan kemudian menyerahkan kalian kepada Ki Sidanti atau Ki Untara.”
Tiba-tiba kembali terdengar suara tertawa menggeletar. Kali ini Sutawijaya-lah yang tertawa. Suara tertawanya itu  pun telah menarik perhatian pula, sehingga segenap mata seakan-akan tertumpah padanya.
“Apakah kira-kira yang akan kau katakan kepada Ki Untara?” terdengar Sutawijaya itu bertanya. Ia ingin mencoba untuk mengurungkan perkelahian itu. Tak ada jalan yang dapat ditempuhnya selain yang sedang dicobanya itu. Tetapi kalau gagal, maka ia tidak tahu, apakah akibatnya. Terasa sejak lama, sejak ia bertempur melawan Argajaya, penyesalan merayapi hatinya. Apalagi kini, pertentangan itu seakan-akan semakin menjadi-jadi.
Prajurit yang memimpin pengepungan itu menjawab kasar,
“Aku akan melaporkan apa yang pernah kalian lakukan di sini.”
“Apakah Ki Untara dapat mempercayaimu?”
“Ada berpuluh-puluh saksi di sini. Ki Demang Prambanan ini  pun akan dapat menjadi saksi pula.”
Kembali Sutawijaya tertawa. Katanya,
“Lalu apakah yang akan dilakukan oleh Untara itu kira-kira?”
“Kalian akan diserahkan kepada kami. Dan kami akan mencincang kalian di halaman banjar desa.”
“Kalau kau berani mencincang anak itu,” berkata Sutawijaya sambil menunjuk Agung Sedayu,
“maka leher kalianlah taruhannya.”

Prajurit itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia berkata hampir berteriak,
“Pengecut, kalian mencoba mencari jalan untuk menyelamatkan diri.”
“Tidak. Kalau kau tidak percaya, pergilah ke Sangkal Putung. Bukan saja Untara berada di sana kini. Tetapi Panglima Wira Tamtama  pun berada di sana pula. Kalau kalian ingin memanggilnya, maka aku akan menunggu mereka itu di sini. Untara dan Panglima Wira Tamtama itu.”
Sebelum mereka menjawab, kini tertawa Swandaru lah yang terdengar memenuhi udara.
“He,” katanya,
“apakah kau akan mengatakan bahwa Agung Sedayu itu tak akan dihukum oleh Untara.”
Agung Sedayu berpaling ke arah adik seperguruannya. Tetapi ia pun tahu maksud Sutawijaya. Agaknya adi seperguruannya yang tidak begitu senang menggunakan otaknya, karena ia lebih senang mempergunakan perasaannya, kini menyadari keadaan yang gawat itu. Sehingga dengan demikian maka baik Sutawijaya maupun Agung Sedayu tersenyum karenanya.
“Apakah kau tidak ingin berkelahi?” terdengar Sutawijaya bertanya kepadanya.
“Sebenarnya. Tetapi agaknya Tuan akan menutup kesempatan itu dengan cara Tuan.”
“He,” teriak pemimpin prajurit yang mengepungnya,
“jangan membuat cara yang aneh-aneh untuk menyelamatkan diri.”
“Kalau Untara datang, maka kami akan selamat. Apakah tadi kau dengar anak muda yang gemuk itu berkata?” bertanya Sutawijaya, “Anak yang berwajah tampan seperti Panji itu adalah adik Untara. Ya, ia adik senapati yang namanya selalu kau sebut-sebut.”
Kata-kata Sutawijaya itu terdengar menggelegar seperti guntur yang meledak di atas kepala mereka. Sejenak mereka terdiam seperti kena pukau yang tajam. Semua mata memandangi Agung Sedayu yang menjadi tersipu-sipu karenanya.

Meskipun demikian pemimpin prajurit yang mengepungnya tidak segera mempercayainya. Dengan ragu-ragu kini ia berkata,
“Kau mendapatkan suatu cara yang baik sekali. Memang kami tidak akan berani berbuat sesuatu atas adik Ki Untara, seandainya adiknya benar-benar berada di sini. Tetapi setiap orang dapat menyebut dirinya adik Ki Untara. Bukan saja adik Ki Untara, setiap orang dapat menyebut dirinya adik Panglima Wira Tamtama atau menyebut dirinya putera Ki Gede Pemanahan.”
Suara prajurit itu terputus ketika terdengar meledak suara tertawa Swandaru Geni. Anak itu benar-benar tertawa terkekeh-kekeh sehingga tubuhnya yang bulat terguncang-guncang.
Namun Sutawijaya-lah yang menyahut,
“Memang kami tidak akan dapat membuktikannya bahwa anak muda itu adik Ki Untara. Tetapi jangan mencoba memancing pertengkaran. Kalau anak muda itu mengayunkan pedangnya, maka dalam gerakan yang pertama, lima dari kalian pasti sudah terbunuh olehnya. Apalagi anak-anak muda Prambanan yang tidak bersenjata atau yang bersenjata terlampau pendek. Untuk melawan kalian, semua orang yang mencoba mengepung kami, maka Agung Sedayu sendiri akan dapat menyelesaikannya. Apakah kalian tidak percaya?”
Tampaknya wajah-wajah di sekitarnya menjadi bimbang. Beberapa anak muda menjadi pucat dan beberapa yang lain saling berpandangan.
“Persetan!” teriak prajurit itu,
“Cara yang sudah lapuk untuk menakut-nakuti lawan. Sekarang kalau kalian ingin perlakuan yang lebih baik, menyerahlah. Aku tidak akan percaya apakah yang akan kalian katakan tentang diri kalian.”
Sutawijaya menarik alisnya. Memang sulitlah untuk membuktikan diri mereka di hadapan orang-orang itu. Tetapi apabila ia tidak berhasil, maka mereka benar-benar akan menyerang dan perkelahian  pun akan terjadi. Meskipun beberapa orang prajurit dan anak-anak muda Prambanan itu sama sekali tidak akan menitikkan keringatnya, apalagi dibantu oleh beberapa anak-anak muda Prambanan sendiri justru yang paling kuat di antara mereka, namun setiap korban yang jatuh pasti akan membuatnya menyesal.
Dalam keragu-raguannya itu tiba-tiba terdengar pemimpin prajurit yang mengepungnya berteriak sekali lagi,
“Ayo menyerahlah meskipun kau mengaku anak dewa dari langit, atau anak iblis dari dasar bumi.”
“Tidak terlampau jauh,” Sahut Swandaru sambil tertawa, “tebakanmu yang pertama tepat.”
Pemimpin prajurit itu memandanginya sambil menunjuk Sutawijaya,
“Apakah ia anak dewa dari langit.”
“Yang pertama.”
Prajurit itu terdiam. Tiba-tiba ia bertanya, “Yang mana?”
“Putra Ki Gede Pemanahan.”

Kembali udara di pinggir kali Opak itu menggeletar oleh jawaban Swandaru itu. Kembali orang-orang yang berdiri di tempat itu diam mematung. Kini pusat perhatian mereka adalah anak muda yang menggenggam tombak di tangannya, yang telah berhasil mengalahkan Argajaya dengan tidak mengalami kesulitan. Namun kemudian pemimpin prajurit itu berteriak kembali, meskipun terasa bahwa dadanya diamuk oleh kebimbangan,
“Nah. Aku menjadi semakin tidak yakin akan kebenaran kata-kata kalian. Mula-mula salah seorang dari kalian dinamakan adik Ki Untara, kemudian kini yang lain disebut putera Ki Gede Pemanahan. Nah, yang seorang itu, yang gemuk, akan kalian namakan apalagi. Apakah anak yang gemuk itu akan disebut sebagai Putera Sultan Hadiwijaya?”
Swandaru tertawa semakin keras mendengar kata-kata itu. Sehingga beberapa titik air matanya membasahi pipinya yang gembung. Sutawijaya dan Agung Sedayu  pun terpaksa tersenyum melihat tingkah lakunya.
Haspada, Trapsila, beberapa anak-anak muda yang berada di dalam lingkaran, beserta pemimpin prajurit yang datang bersamanya, benar-benar membeku melihat tingkah laku ketiga anak-anak muda itu. Sebutan-sebutan yang mereka ucapkan telah mempengaruhi sikap mereka. Tanpa mereka kehendaki, maka tiba-tiba mereka kini semakin memperhatikan wajah-wajah dari ketiga anak-anak muda yang menyebut dirinya Pengawal Kademangan Sangkal Putung.
Wajah Agung Sedayu yang mantap dan tenang. Wajah Sutawijaya yang tajam berwibawa dan wajah gemuk bulat namun memancarkan keteguhan tekad. Ketiganya sudah pasti bukan anak-anak gembala yang kebetulan menjadi seorang pengawal kademangannya.
Tetapi meskipun ragu-ragu, namun pemimpin prajurit yang mengepungnya mencoba untuk tidak terpengaruh kata-kata itu. Baginya setiap hidung akan dapat mengucapkan sebutan-sebutan itu. Dengan demikian, maka apabila ia terpengaruh olehnya, berarti kegagalan pula baginya. Namun prajurit itu  pun tidak lagi dapat bertindak segarang semula. Di dalam hati kecilnya tersimpan pula pengakuan, bahwa anak-anak muda itu pasti bukan anak kebanyakan. Tetapi apabila mereka benar-benar adik Untara, apalagi putera Ki Gede Pemanahan, apakah pula kerjanya menyelusuri hutan sampai ke Kademangan Prambanan tanpa pengawalan seorang prajurit pun.
Tetapi kini prajurit itulah yang terkejut, ketika Swandaru membentaknya,
“He, apakah kau tidak percaya?”
“Tidak,” sahutnya dengan serta merta.
Swandaru menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Bagaimana Tuan. Apakah kita berkelahi saja.”
“Jangan,” cegah Sutawijaya. Ia kini tinggal mempunyai satu cara untuk mencoba meyakinkan dirinya. Sejenak ia terdiam. Dipandanginya wajah pemimpin prajurit yang datang bersamanya. Tiba-tiba ia berkata,
“Kemarilah. Lihat landean tombak pendekku ini. Bukankah kau pandai membaca?”
Prajurit yang dipanggil oleh Sutawijaya itu memandanginya dengan penuh pertanyaan. Ia sama sekali tidak tahu maksud anak muda itu.
“Kemarilah,” panggil Sutawijaya, “mendekatlah.”
Yang terdengar adalah suara pemimpin prajurit yang mengepungnya,
“Jangan banyak tingkah. Menyerahlah.”
Tetapi Sutawijaya seakan-akan sama sekali tidak mendengarkannya. Sekali lagi ia berkata,
“Kemarilah. Lihat landean tombakku ini.”
Seperti kena pesona pemimpin prajurit yang memihak kepada Sutawijaya itu  pun berjalan mendekatinya.
“Kau pandai membaca bukan?” bertanya Sutawijaya.
Prajurit itu menganggukkan kepalanya.
Pada landean itu ternyata tercoreng beberapa huruf yang dipahatkan agak dalam. Sambil menunjuk kepada huruf-huruf itu Sutawijaya berkata,
“Baca. Bacalah huruf-huruf ini.”

Prajurit itu masih belum tahu maksud Sutawijaya. Tetapi ia membacanya juga. Diamatinya huruf-huruf yang berjejer-jejer membentuk kata-kata itu. Pa-nglegena, sa-wulu-layar, sa-nglegena, wa-suku dan ka-wulu-layar. “Pasir Sawukir,” gumam prajurit itu.
“Apakah kau pernah mendengar nama itu?” bertanya Sutawijaya.
Prajurit itu menggeleng. Dan pemimpin yang lain berteriak,
“He. Apakah kau sedang bermain gila-gilaan?”
“Kau juga belum pernah mendengar nama itu?” bertanya Sutawijaya kepada prajurit di luar lingkaran.
“Nama itu sama sekali tak berarti bagi kami.”
“Baik,” sahut Sutawijaya. Diputarnya landean tombaknya. Di sisi yang lain ternyata tertera beberapa huruf pula. Sambil menunjuk huruf yang tertera itu, maka Sutawijaya berkata,
“Sekarang bacalah huruf-huruf ini. Huruf-huruf ini akan menyebut sebuah nama. Nama itu adalah namaku. Kalian dapat percaya atau tidak. Tetapi itu adalah namaku. Seandainya kalian tidak percaya, dan kalian tetap dalam pendirian kalian, maka kalian pagi ini juga pasti akan menjadi bangkai. Burung-burung gagak pasti akan kekucah di pinggir Kali Opak ini. Nama yang akan dibaca oleh pemimpin kalian ini adalah usahaku yang terakhir untuk mencegah perkelahian.”
Kata-kata Sutawijaya itu menyusup ke dalam setiap dada seperti tajamnya tombak yang menyusup ke jantung mereka. Beberapa anak muda menjadi cemas dan ketakutan. Beberapa yang lain setapak demi setapak surut ke belakang.
Tetapi para prajurit yang mengepungnya masih saja tegak di tempatnya. Meskipun ke ragu-raguan semakin besar melanda jantungnya, tetapi mereka masih belum dapat mempercayai sesuatu.
Pemimpin prajurit yang berdiri di samping Sutawijaya itu mengamat-amati huruf demi huruf. Beberapa kali ia mencoba membacanya di dalam hatinya. Nama itu pernah didengarnya. Ya, nama itu telah pernah menggemparkan dada setiap prajurit Pajang. Karena itu, tiba-tiba keringat dingin mengalir melalui segenap lubang-lubang kulitnya. Sejenak ia diam mematung. Diawasinya huruf-huruf itu, dan kemudian diucapkannya nama itu kembali di dalam hatinya.
“Jadi………,” kata-katanya serasa terhenti di kerongkongan.
“Baca,” minta Sutawijaya.

Prajurit itu memandang wajah Sutawijaya. Tiba-tiba prajurit itu melihat seakan-akan wajah itu memancarkan sinar yang menyilaukan. Dengan serta-merta ia menundukkan kepalanya sambil berkata gemetar,
“Ampun, Tuan. Ampun. Aku tidak mengenal Tuan sebelumnya. Kalau benar Tuan yang datang di sini, maka sepantasnyalah Tuan yang menghukum kami.”
Orang-orang yang berdiri di sekelilingnya menjadi heran dan terperanjat. Kenapa tiba-tiba pemimpin prajurit itu menjadi pucat pasi seperti mayat. Pemimpin prajurit yang sedang mengepungnya melihat peristiwa itu dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi tanpa disadarinya ia berteriak,
“He, kenapa kau menjadi takut seperti melihat hantu. Apakah pada landean tombak itu tertera nama hantu-hantu, atau penjaga hutan dan lereng Merapi? Atau sebuah nama perguruan yang menakutkan, atau sebuah gerombolan penjahat yang mengerikan?”
Tetapi prajurit yang sedang gemetar itu seakan-akan tidak mendengarnya. Ia masih saja berkata,
“Tuan. Kami sama sekali tidak mengetahui, dengan siapa kami berhadapan. Kalau kami mengenal Tuan sebelumnya, maka kami tidak akan bersikap seperti ini. Juga kawan-kawan kami dan pasti juga tamu-tamu kami akan bersikap lain. Apalagi anak-anak muda Prambanan ini.”
“He, siapa dia?” teriak beberapa orang prajurit yang tidak sabar menunggu. Sebut namanya, supaya kami segera bersikap.”
Yang terdengar justru suara tertawa Swandaru. Meskipun ia berusaha untuk menahannya, tetapi suara itu meluncur juga dari sela-sela bibirnya. Agung Sedayu memandanginya dengan kerut-merut di dahinya. Kali ini mereka tidak sedang bergurau. Kalau bukti terakhir ini tidak juga dipercaya, berarti darah akan mengalir di pinggir Kali Opak ini. Tetapi suara tertawa Swandaru itu segera dapat dihentikannya, seakan-akan ditelannya kembali, meskipun perutnya terasa sakit.
Prajurit-prajurit yang mengepung mereka itu kini sudah menjadi tidak bersabar lagi. Hampir bersamaan mereka berteriak, “Sebut, sebutlah namanya. Apakah kalian sedang bermain-main untuk menakut-nakuti kami. Kalau benar nama itu menggetarkan hatimu. Sebutlah.”
Sutawijaya mengangkat dagunya. Dipandanginya orang-orang di sekelilingnya. Wajah-wajah yang tegang dan penuh pertanyaan. Haspada, Trapsila dan kawan-kawannya seakan-akan membeku di tempatnya. Namun pancaran wajahnya terasa menjadi terlampau tegang.
“Bacalah,” desis Sutawijaya kemudian.
Pemimpin prajurit itu memandanginya dengan ragu-ragu. Tetapi sekali lagi Sutawijaya berkata,
“Bacalah.”

Dengan suara bergetar maka prajurit itu  pun membaca nama itu,
“Sutawijaya yang bergelar Ngabehi Loring Pasar.”
Suara prajurit yang gemetar itu terdengar seperti ledakan Gunung Merapi di telinga orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Baik yang berdiri di dalam lingkaran, maupun yang berada di luar kepungan. Sejenak mereka dicengkam oleh suasana yang aneh, sehingga tak seorang  pun yang segera dapat menentukan sikapnya. Prajurit yang pemimpin pengepungan itu  pun berdiri dengan mulut menganga. Pedang yang di tangannya itu tiba-tiba menjadi bergetar dan hampir-hampir jatuh dari genggamannya. Sekali lagi dicobanya untuk menatap wajah anak muda yang menggenggam tombak itu. Kemudian beralih kepada anak muda yang disebutnya adik Untara, seterusnya kepada anak muda yang gemuk bulat yang seakan-akan selalu tertawa dalam segala keadaan. Sutawijaya melihat ketegangan dalam setiap hati. Ia ingin mempergunakan kesempatan itu untuk meyakinkan orang-orang Prambanan tentang dirinya. Bukan karena ia ingin bersombong diri, tetapi dengan demikian ia mengharap para prajurit dan orang-orang Prambanan mengurungkan niatnya untuk menangkapnya. Dengan demikian maka perkelahian  pun akan terhindar, dan pertumpahan darah  pun dapat disingkiri. Dengan wajah tengadah anak muda itu  pun berkata,
“Nah, siapa yang tidak percaya pada tulisan itu? Aku tidak berkeberatan seandainya masih ada yang berkata, bahwa setiap orang dapat saja menulis apa saja pada landean tombaknya. Dapat saja menulis dirinya dengan sebutan aneh-aneh. Mungkin kalian dapat berkata bahwa setiap orang dapat menulis namanya dan menyebutnya sebagai putera Dewa Brahma seperti tersebut di dalam dongeng-dongeng. Atau dapat menyebut dirinya sebagai titisan Wishnu seperti Kresna atau Kekasih Syiwa. Tetapi aku masih mempunyai satu bukti lagi yang akan meyakinkan kalian apabila kalian kehendaki. Aku adalah Sutawijaya putera Ki Gede Pemanahan. Akulah yang pernah membenamkan ujung tombakku ke lambung Arya Penangsang, meskipun tombak itu bukan tombak yang aku pergunakan sekarang. Tombak itu adalah tombak pusaka sipat kandel Kadipaten Pajang, yang bernama Kiai Pleret, dan berlandean panjang, jauh lebih panjang dari tombakku ini. Meskipun demikian, meskipun aku kali ini tidak membawa Kiai Pleret, tetapi apabila kalian tetap dalam pendirian kalian ingin menangkap Sutawijaya, maka sebelum kalian sempat menyentuh pakaianku, maka kalian pasti telah menjadi mayat. Apalagi kalau kedua kawan-kawanku itu ikut serta. Pedangnya tidak kalah dahsyatnya dari sepuluh pasang pedang di dalam genggaman tangan kalian. Aku berkata sebenarnya bahwa yang seorang itu adalah adik Untara. Ya, adik Kakang Untara, senapati yang mendapat kepercayaan di seluruh daerah di seputar Gunung Merapi. Sedang yang seorang lagi, yang gemuk itu adalah putera Ki Demang Sangkal Putung, pemimpin anak-anak muda pengawal Kademangan Sangkal Putung. Apalagi seperti yang kalian lihat di sini berdiri pemimpin prajurit Pajang di Prambanan yang syah dan di sini berdiri pula beberapa anak muda yang masih dapat berpikir jernih. Yang masih sempat melihat keruntuhan yang dengan perlahan-lahan menerkam kademangan kalian. Keruntuhan pribadi satu-satu dari kalian adalah pertanda yang paling jelas bahwa kademangan ini kini telah berada di pinggir jurang kehancuran,” Sutawijaya berhenti sejenak. Dipandanginya setiap wajah yang ada di sekitarnya. Wajah-wajah anak-anak muda yang berada di dalam lingkaran dan wajah-wajah yang sedang mengepungnya rapat-rapat, juga wajah-wajah yang berada di luar kepungan. Pada wajah-wajah itu Sutawijaya dapat membaca bahwa kata-katanya telah bergolak di setiap dada.

Pinggir Kali Opak itu kini dicengkam oleh kesenyapan. Tak seorang  pun yang mengucapkan kata-kata. Mulut mereka terbuka, tetapi serasa kerongkongan mereka tersumbat oleh sebuah perasaan yang aneh. Sejenak kemudian kembali Sutawijaya berkata,
“Nah, sekarang apa yang akan kalian lakukan? Apakah kalian percaya kepada kata-kataku ataukah kalian masih saja menganggap bahwa aku hanya sekedar menakut-nakuti?”
Tak ada jawaban.
Dan Sutawijaya  pun berkata pula,
“Meskipun aku baru semalam melihat wajah Kademangan kalian, tetapi aku sudah mendapat gambaran yang jelas, apa yang sebenarnya terjadi di sini. Kemunduran watak dan tabiat, kehilangan pegangan karena mabuk kemenangan-kemenangan kecil yang sebenarnya tidak berarti apa-apa, dan yang terpenting kemudian, pengingkaran atas nilai-nilai kebaktian kalian kepada sumber hidup kalian. Kemaksiatan bukan saja pelanggaran atas nilai-nilai hidup duniawi, tetapi lebih-lebih daripada itu, kemaksiatan adalah jalan yang menuju kepada Bebendu Abadi. Mungkin bagi mereka yang memegang pedang di tangan, dapat menghindari setiap tanggung jawab duniawi dengan kekuasaan yang terpancar dari tajam pedangnya. Tetapi apakah pedang itu akan bermanfaat untuk melawan pengadilan tertinggi, pengadilan dari Sumber Hidup kalian?”
Orang-orang yang berdiri di tepian Kali Opak itu benar-benar seperti cengkerik terinjak kaki. Diam membeku.
Namun tiba-tiba mereka seperti tersentak bangun ketika Sutawijaya berkata,
“Ayo, siapa yang akan menangkap Sutawijaya?”
Prajurit-prajurit yang berdiri memagari Sutawijaya dan kawan-kawannya itu  pun tiba-tiba terlempar pada kesadaran mereka tentang diri mereka. Kata-kata Sutawijaya itu seakan-akan ujung-ujung tombak yang menghujani beribu kali ke pusat jantung mereka. Pedih dan nyeri. Tubuh mereka itu  pun kemudian bergetaran. Meskipun ada juga perasaan ingkar atas segala tuduhan yang tidak langsung ditimpakan kepada diri mereka, tetapi ketika terpandang wajah Sutawijaya itu, maka wajah-wajah mereka  pun tertunduk lesu. Bahkan kemudian terbayang di rongga mata mereka, Panglima Wira Tamtama yang mereka segani, akan datang sendiri menghakimi mereka. Menunjuk ke wajah-wajah mereka sambil menjatuhkan hukuman yang paling berat.

Demang Prambanan  pun berdiri dengan pucatnya. Lututnya beradu seperti orang melihat hantu. Dadanya serasa diguncang-guncang oleh perasaan yang mengerikan. Seakan-akan ia sedang berada di dalam dunia mimpi yang menakutkan. Orang-orang yang berdiri di pinggir kali Opak itu kini serasa di kejar oleh perasaan bersalah dan ketakutan. Para prajurit yang mengepung Sutawijaya itu  pun merasa betapa mereka menyesal atas kelakuan mereka. Kenapa ia harus berhadapan dengan putera Ki Gede Pemanahan tanpa mereka ketahui. Kini ternyata mereka telah mengancam putera panglimanya. Bukan saja karena anak muda itu putera Panglima Wira Tamtama, tetapi anak muda itu adalah putera angkat yang kinasih dari Adipati Pajang sendiri. Dengan demikian maka setiap orang di pinggir sungai Opak itu kini justru terbungkam. Yang memecah kesenyapan adalah suara Sutawijaya kembali,
“Bagaimana? Apakah kalian masih tetap pada pendirian kalian?”
Tiba-tiba pemimpin prajurit yang mengepungnya itu melangkah selangkah maju. Tubuhnya yang gemetar hampir-hampir tidak dapat lagi berdiri tegak di atas kedua kakinya. Ketika ia kemudian membungkukkan badannya maka pedangnya  pun terjatuh dari tangannya, katanya maka,
“Aku dan kawan-kawanku memohon seribu ampun”
“Apakah kau masih ragu-ragu?” bertanya Sutawijaya lantang.
“Tidak. Tidak, Tuan,” sahut prajurit itu dengan serta merta.
“Kau melihat aku berkelahi melawan Argajaya?”
“Ya, Tuan.”
“Ketahuilah, bahwa dengan dua tiga unsur gerak aku dapat membunuhnya. Tetapi aku masih menghormatinya dan membiarkan ia melawan sampai beberapa saat. Meskipun demikian aku tidak akan membunuhnya. Bukan karena ia paman Sidanti, sebab Sidanti itu  pun sama sekali tidak berarti bagiku.” Sutawijaya itu berhenti sejenak. Dipandanginya para prajurit yang menundukkan kepalanya dengan lutut gemetar,
“Ketahuilah,” katanya kemudian,
“Sidanti kini memang sudah tidak berada di Sangkal Putung lagi. Sidanti telah melarikan dirinya karena ia melawan kepada pimpinannya. Sidanti telah mencoba membunuh Kakang Untara untuk dapat menggantikannya. Tetapi Untara tidak terbunuh, sehingga dengan demikian Sidanti harus melarikan diri. Anak muda yang bernama Sidanti dan dibangga-banggakan itu sama sekali tidak mampu melawan anak muda yang berdiri di sini itu. Adik Kakang Untara. Karena itu, seandainya datang tiga Sidanti di pinggir Kali Opak saat ini, maka kami bertiga tidak akan menjadi cemas sama sekali, apalagi tiga orang Argajaya yang sombong itu.”

Prajurit-prajurit Pajang itu masih berdiri dengan wajah yang tertunduk. Tak seorang  pun kini yang berani mengangkat wajahnya memandangi wajah putera Ki Gede Pemanahan itu. Dalam pada itu Ki Demang Prambanan yang masih muda itu berkata dengan nada yang datar gemetar,
“Tuan, kami benar-benar tidak tahu siapakah Tuan. Bukan kebiasaan kami tidak menghormati tamu-tamu, tetapi hanya karena kami tidak tahu, maka mungkin sikap kami, orang-orang kademangan ini, tidak berkenan di hati Tuan. Terhadap Argajaya itu  pun kami bersikap hormat pula, meskipun kami tahu, betapa orang itu sangat memuakkan karena kesombongannya. Apalagi terhadap Tuan apabila kami tahu sebelumnya.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Ki Demang Prambanan itu. Sedang Ki Demang itu berkata pula,
“Karena itu, Tuan, aku mengharap Tuan sudi bermalam di Kademangan kami. Kami akan menjamu Tuan dengan kemeriahan dua tiga kali lipat dari jamuan yang pernah kami adakan untuk Argajaya.”
Sutawijaya memandangi wajah Demang itu dengan tajamnya. Tetapi anak muda itu tidak segera menjawab. Ki Demang itu masih juga berkata,
“Kami akan mengadakan pertunjukan menurut kesenangan Tuan tiga hari tiga malam dan akan menjamu Tuan menurut kehendak Tuan. Kami akan menyembelih lembu dan kambing sebagai tanda hormat kami atas kesudian Tuan hadir di Kademangan ini.”
Ketika terpandang oleh Sutawijaya wajah Swandaru, maka Sutawijaya itu  pun segera mengetahui, bahwa di dalam dada anak muda itu  pun bergejolak perasaan seperti yang bergolak di dalam dadanya sendiri. Tetapi ketika ia memandangi wajah Agung Sedayu, maka sukarlah baginya untuk menjajagi perasaan anak muda itu. Wajahnya hampir tidak berubah. Kesannya tenang dan dalam. Tetapi dalam ketenangan itu, sebenarnya bergelombanglah perasaan di dalam hatinya. Bahkan tiba-tiba ia menjadi kecewa melihat wajah Ki Demang Prambanan itu. Kecewa akan sikapnya yang miyur, tanpa berpegangan kepada suatu sikap yang terpuji. Baru saja mereka melihat, bagaimanakah sikapnya terhadap Argajaya, kini mereka melihat sikap yang tiba-tiba berubah. Tetapi Agung Sedayu berusaha untuk menekan perasaannya. Ia tidak mau merusak suasana yang sudah hampir mereda.
“Marilah, Tuan,” berkata Ki Demang, yang kemudian kepada para prajurit dan orang-orangnya ia berkata,
“Marilah kita sambut tamu-tamu kita ini dengan kegembiraan di hati. Tidak terpaksa karena sopan santun saja seperti kita menyambut Argajaya kemarin. Tetapi kali ini kita akan merayakannya dengan ikhlas. Bahwa kademangan kita telah mendapat kesempatan dikunjungi oleh priyagung dari Pajang.”

Belum lagi Ki Demang itu selesai, terdengar Sutawijaya berkata,
“Terima kasih Ki Demang. Kami bukan orang-orang yang dapat dimabukkan oleh sambutan-sambutan dan kemeriahan lahiriah. Kami bukan Argajaya. Mungkin ada beberapa perbedaan di antara kami dan Argajaya itu.” Sutawijaya berhenti sejenak. Dilihatnya wajah Ki Demang yang pucat menjadi semakin pucat. Apalagi ketika sejenak kemudian Sutawijaya berkata,
“Jangan mencoba mencuci tanganmu dengan darah lembu dan kambing yang akan kau sembelih. Tak ada gunanya Ki Demang. Yang dapat mencuci namamu yang agaknya selama ini menjadi buram adalah sebuah pengakuan. Pengakuan atas kesalahan-kesalahan yang pernah kau lakukan. Dengan janji di dalam hati bahwa kesalahan itu tidak akan terulang kembali.”
Mulut Ki Demang kini benar-benar terbungkam. Seluruh tubuhnya telah basah karena keringat dingin yang mengalir seperti terperas dari dalam tubuhnya. Dengan lutut yang beradu ia mencoba untuk dapat tegak berdiri. Ki Demang itu hampir terjatuh ketika ia terkejut mendengar Sutawijaya membentaknya,
“Bagaimana Ki Demang. Apakah kau dengar kata-kataku?”
“Ya, ya, Tuan. Aku mendengar.”
“Dan Mengerti pula?”
“Ya, aku mengerti, Tuan.”
“Apa?”
Jantung Ki Demang Prambanan itu serasa dihentak-hentak oleh guruh yang meledak di dalam dadanya. Hampir-hampir ia menjadi pingsan karena ketakutan.
“Apa yang kau ketahui he Ki Demang?”
Ki Demang tidak segera dapat menjawab. Mulutnya benar-benar serasa tersumbat.
“Kenapa kau diam, he? Kau sangka aku bermain-main?” desak Sutawijaya agak keras.
“Aku tidak bermain-main Ki Demang. Aku juga tidak menakut-nakuti kalian. Aku akan dapat membuktikannya apa yang aku katakan. Bukan karena aku putera Panglima Wira Tamtama. Tetapi seandainya bukan, maka aku sanggup menghadapi kalian dengan ujung tombakku ini, kau dengar?”
“Ya, ya, Tuan,” suara Ki Demang hampir tidak kedengaran.
“Apakah kau menyesal?”
“Ya, Tuan.”

Sutawijaya menarik nafas. Ia tahu, bahwa Ki Demang itu memang sudah tidak mungkin lagi diajaknya berbicara. Tetapi dengan demikian, maka semua kata-katanya besok atau lusa pasti akan dipertimbangkannya. Karena itu maka katanya,
“Aku malam nanti tidak akan bermalam lagi di Kademangan ini. Aku sudah tahu gambaran yang pasti tentang Kademangan ini. Beruntunglah bahwa di sini masih ada seorang prajurit yang menyadari kesalahannya pada saat-saat terakhir. Kepadanya aku percayakan prajurit-prajurit yang lain. Apabila masih juga terjadi, mereka menentang perintah pemimpinnya yang syah, yang diangkat dan bertanggung jawab kepada Kakang Untara, maka mereka akan ditindak seperti orang-orang yang sampai saat ini masih membangkang di bawah pimpinan Sanakeling. Sedang Kademangan Prambanan harus merasa berterima kasih bahwa mereka masih memiliki anak-anak muda seperti Haspada, Trapsila dan beberapa orang yang lain. Merekalah yang seterusnya harus tampil ke depan, membimbing kawan-kawannya. Mungkin satu dua ada juga yang tidak ingin melepaskan cara hidupnya kini. Berkeliaran, berbuat aneh-aneh dan tidak menghiraukan lagi adat dan tata-cara. Adalah menjadi tugas anak-anak muda sendirilah untuk menghentikannya. Bahkan orang-orang tua yang memberi banyak contoh-contoh yang sesat itu  pun harus dihentikan. Sekarang juga. Jangan menunggu sampai gunung Merapi meledak dan menimbuni daerah ini dengan pasir dan batu.”
Ketika Sutawijaya terdiam, maka tak ada suara yang berderik, selain gemericik air Kali Opak dan desir angin di dedaunan. Semaunya terdiam beku. Wajah-wajah yang menunduk dan hati yang pepat dan kecut. Ternyata mereka berhadapan dengan seorang anak muda yang luar biasa. Tidak saja menggerakkan tombaknya, tetapi juga menggerakkan lidahnya. Kesepian itu kemudian terpecahkan ketika Sutawijaya tiba-tiba berkata,
“Aku akan pergi.”
Kata-kata itu  pun sangat mengejutkan. Semua wajah yang tunduk itu terangkat, dan semua mata memandang kepadanya. Tetapi ia berkata sekali lagi,
“Aku akan pergi. Marilah Agung Sedayu dan Swandaru. Kita lanjutkan perjalanan kita.”
“Tuan,” pemimpin prajurit itu berusaha untuk mencegahnya,
“Sebaiknya Tuan bermalam di sini. Bukan maksud kami untuk mencoba menyenang-nyenangkan hati tuan karena kesalahan-kesalahan kami, dengan harapan supaya Tuan sudi memaafkannya, tetapi sebenarnyalah kami ingin Tuan bermalam di sini untuk memberikan beberapa petunjuk yang mungkin akan sangat penting bagi kami.”
“Cukup,” sahut Sutawijaya.
“Aku sudah cukup banyak berbicara. Mungkin besok atau lusa atau seminggu dua minggu lagi ada orang lain yang berkepentingan datang kemari. Mungkin kawan-kawanmu para prajurit yang berada di sini harus ditarik dan diganti oleh yang lain, mungkin keputusan-keputusan lain yang akan diambil oleh kakang Untara, tetapi mungkin kalian masih akan dibiarkannya saja seperti sekarang, karena kesibukannya yang terlampau banyak. Aku tidak tahu. Itu bukan urusanku. Tetapi aku mempunyai kepentingan sendiri dan aku akan pergi.”
“Tuan,” potong prajurit itu, tetapi Sutawijaya seperti tidak mendengarnya. Bahkan ia berkata kepada Swandaru,
“Berikan busurku itu.”
Swandaru  pun kemudian memungut busur itu dan memberikannya sambil bertanya,
“Apakah kita akan meneruskan perjalanan kita?”
“Ya,” sahut Sutawijaya

Swandaru tidak bertanya lagi. Yang berbicara kemudian adalah Sutawijaya kedapa Haspada dan Trapsila,
“Selamat kepada kalian. Mudah-mudahan kalian akan tampil kembali dalam kepemimpinan anak-anak muda. Jangan patah hati. Kalau perlu kalian dapat berlaku agak keras. Bukankah kalian mempunyai bekal yang cukup untuk melakukannya?”
“Mudah-mudahan kami dapat melakukannya, Tuan,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Bagus. Sekarang aku akan meninggalkan kademangan ini. Aku mengharap di saat lain aku akan kembali mengunjungi daerah ini. Bukankah menurut cerita yang pernah aku dengar, kademangan ini pernah mendapat seorang demang yang sangat baik? Cobalah ulangi nama yang baik itu. Jauhkan segala macam kericuhan dan kemaksiatan.”
Orang-orang yang berdiri di pinggir Kali Opak itu kemudian hanya dapat melihat ketiga anak-anak muda itu berjalan dengan langkah yang tetap meninggalkan pinggiran Kali Opak, menyeberang ke arah Barat. Beberapa lama mereka tegak bagaikan sekelompok patung di tepian sungai Opak. Dengan hati yang berdebar-debar mereka melihat ketiganya menyeberang sungai yang tidak begitu dalam, namun cukup lebar. Kaki-kaki mereka menyentuh air yang mengalir, membuat gejolak kecil. Namun gejolak yang terjadi di dalam dada orang-orang Prambanan itu terasa betapa besarnya melanda dinding-dinding jantung mereka. Ketika ketiga anak-anak muda itu meloncat tebing di sisi seberang dan menghilang di balik rimbunnya alang-alang, maka kini berpasang-pasang mata berpaling memandangi pemimpin prajurit yang berdiri di dalam lingkaran bersama beberapa anak-anak muda Prambanan. Prajurit yang masih mendapat kepercayaan dari putera Panglima Wira Tamtama untuk memimpin Kademangan Prambanan. Betapa dada para prajurit yang lain menjadi semakin berdebar-debar. Prajurit yang seorang itu dapat berbuat menurut kehendaknya. Ia akan dapat melepaskan dendamnya kepada mereka. Bahkan dapat berbuat diluar dugaan. Juga kepada Ki Demang Prambanan dengan bantuan anak-anak muda yang tegak di sekitarnya.
Tetapi prajurit itu berkata seperti bukan kehendaknya sendiri,
“Kalau terjadi kesalahan pada kita dimasa-masa lalu, marilah kita sadari bersama, bahwa kesalahan itu adalah kesalahan kita bersama. Bukan saja kesalahanku, bukan saja kesalahanmu. Tetapi kesalahan kita seluruh isi Kademangan. Kehadiran anak muda, Putera Ki Gede Pemanahan itu ternyata telah membawa kesadaran baru di dalam hati kita.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar