Jilid 018 Halaman 3


Agaknya seseorang telah melihat kedatangan mereka, dan berita itu  pun telah menjalar ke segenap telingga, sehingga semua orang di dalam kelompok itu pun berpaling dan memandangi Sutawijaya dan kawan-kawannya. Sutawijaya menarik nafas. Sekali ia menengadahkan wajahnya. Seleret sinar memancar di langit yang jernih. Dari balik Gunung Baka sinar matahari seolah-olah meluncur menghujam ke segenap penjuru.
“Hem,” guman Sutawijaya, “matahari telah memanjat naik.”
“Belum secengkang,” sahut prajurit itu.
Sutawijaya terdiam. Dengan wajah yang tegang ia berjalan selangkah mendekati kelompok yang tiba-tiba menebar seakan-akan memberikan jalan. Langkah Sutawijaya  pun menjadi tetap. Tanpa ragu-ragu ia berjalan masuk ke dalam kerumunan orang-orang Prambanan. Dengan sorot mata yang tajam ia memandang berkeliling. Setiap pasang mata yang terbentur dengan sorot mata anak muda itu, tiba-tiba terpaksa jatuh menunduk memandangi pasir tepian. Sorot mata anak muda itu ternyata terlampau tajam bagi mereka. Tetapi Sutawijaya belum melihat orang yang menantangnya. Meskipun hampir seluruh wajah di baris terdepan telah dipandanginya, tetapi wajah Argajaya belum tampak berada di tempat itu. Karena itu maka tanpa disadarinya ia bergumam,
“Di manakah tamu yang terhormat itu?”
Sutawijaya berpaling ketika ia mendengar jawaban di belakangnya, “Belum datang, Kisanak.”
Sutawijaya melihat Haspada telah berada di tempat itu pula. Di sampingnya berdiri Trapsila dan beberapa orang kawan-kawannya. Di sisi yang lain dilihatnya anak-anak muda saling bergerombol. Satu dua Sutawijaya masih dapat mengenal. Di sebelah Selatan adalah gerombolan anak-anak Sembojan, sedang di sisi Utara adalah anak-anak Tlaga Kembar. Anak-anak induk kademangan bertebaran hampir di segenap sudut, sedang anak-anak dari padesan-padesan kecil  pun berkumpul di antara mereka. Orang-orang tua berdiri agak ke belakang. Tetapi agaknya mereka  pun ingin melihat apa yang akan terjadi.
“Apakah Argajaya memilih tempat yang lain?” bertanya Sutawijaya tanpa ditujukan kepada seorang pun.
Tak ada jawaban. Tetapi wajah-wajah orang yang mengitarinya seakan-akan membantah kata-katanya itu. Seakan-akan mereka ingin berkata,
“Ini adalah batas Kademangan Prambanan. Ini adalah tepian Kali Opak di sebelah Barat Gunung Baka.”
Tetapi tak seorang  pun yang mengatakannya. Mereka seakan-akan terbungkam dan bahkan terpesona melihat anak muda yang berdiri di tengah-tengah mereka. Anak muda itu seakan-akan bukan anak muda yang dilihatnya kemarin. Juga kedua kawan-kawannya itu seakan-akan sama sekali bukan anak muda yang berkelahi di pendapa. Dengan pedang di lambung dan busur menyilang di punggung tampaknya mereka menjadi gagah, segagah prajurit-prajurit Pajang.
“Apakah pemimpin prajurit Pajang yang datang bersama-sama dengan mereka itulah yang meminjami mereka senjata?” Pertanyaan itu tumbuh di setiap dada mereka yang berdiri berkerumun itu.
Namun yang terdengar adalah suara Sutawijaya,
“Aku akan menunggu Argajaya.”
Sutawijaya berkata tidak terlampau keras. Namun terdengar menyusup dalam-dalam ke dalam telinga orang-orang yang mengerumuninya. Suara yang terlontar dari bibir anak muda itu terasa mengandung perbawa yang tajam.

Tetapi ternyata Sutawijaya tidak perlu menunggu terlampau lama. Kembali orang-orang di dalam kelompok itu bergerak-gerak. Semua kepala berpaling ke satu arah. Ketika Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru mengikuti pandangan mereka, terasa dada mereka berdesir. Di sepanjang jalan kecil yang menembus padang ilalang, tampak beberapa orang berjalan beriringan. Debu yang tipis tampak berhamburan terlontar dari tanah yang kering oleh sentuhan kaki-kaki mereka. Di paling depan berjalan seorang yang bertubuh tegap kekar. Dengan kepala tengadah ia melangkah menjinjing sebatang tombak pendek, sependek tombak Sutawijaya. Orang itu adalah Argajaya. Di belakangnya berjalan kedua orang kawannya, kemudian pemimpin prajurit yang satu lagi dan beberapa orang prajurit Pajang. Bahkan tampak di antara mereka Ki Demang Prambanan, Ki Jagabaya yang kurus dan beberapa orang perabot desa yang lain. Tanpa disengajanya Sutawijaya berpaling ke arah pemimpin prajurit yang seorang yang datang bersamanya. Tampaklah wajahnya menjadi tegang, lebih tegang dari wajah Sutawijaya. Ia melihat para prajurit bawahannya seakan-akan telah berpihak kepada tamu yang sombong itu. Dengan demikian, maka seakan-akan ia telah kehilangan kewibawaan bagi para prajuritnya. Bahkan Ki Demang Prambanan yang semalam membenarkan sikapnya, kini agaknya telah berganti pendirian. Seakan-akan apa yang dikatakan semalam hanyalah suatu mimpi yang kecut. Sekarang ia ingin bersikap lain. Besok adalah soal besok. Sikapnya baru akan dipikirkannya besok juga. Tetapi pemimpin prajurit itu menjadi agak tenang ketika ia melihat Haspada, Trapsila, dan beberapa kawan-kawannya berada di tempat itu pula. Kalau ia harus memberikan keputusan, sedang para prajuritnya tidak dapat dikendalikannya lagi, maka ia akan memerlukan bantuan anak-anak muda Prambanan itu. Bahkan mungkin ia memerlukan anak-anak Sangkal Putung ini. Ya, anak-anak Sangkal Putung ini mungkin akan bersedia membantunya. Kini iring-iringan itu sudah semakin dekat. Ketika wajah mereka menjadi kian jelas, maka tampaklah bibir Argajaya dihias oleh senyum yang cerah. Sejenak orang-orang yang telah menanti di pinggir Kali Opak itu terpesona melihat kehadiran Argajaya bersama orang-orang yang mengiringinya, seakan-akan kehadiran seorang pemimpin bersama dengan anak buahnya, sehingga mereka itu  pun kemudian terdiam seperti orang-orang tersentuh kaki.

Yang mula-mula terdengar adalah suara Aryajaya menggelegar,
“He, agaknya kau telah datang lebih dahulu anak muda. Ternyata kau benar-benar anak jantan. Aku sangka kau semalam telah melarikan diri meninggalkan Prambanan kembali ke rumahmu, bersembunyi di balik selendang ibumu.”
Alangkah menyakitkan hati. Tetapi Sutawijaya tidak menjawab. Ditungguinya sampai Argajaya semakin dekat. Sejenak kemudian mereka telah melintasi rumput-rumput kering di tebing, kemudian berloncatan turun ke tepian. Para pengikutnya  pun segera berloncatan pula. Dan tanpa mereka sadari, mereka telah membuat suatu kelompok yang seakan-akan terpisah dari kelompok yang lebih dahulu datang. Bahkan di antara mereka tampak satu dua anak-anak muda Sembojan dan anak-anak muda Tlaga Kembar yang semalam saling mengejar dan berkelahi. Ternyata pendapat mereka kini telah terbelah silang menyilang. Anak-anak Sembojan dan anak-anak Tlaga Kembar sebagian telah datang lebih dahulu bersama Haspada dan Trapsila. Sejenak kemudian kembali terdengar suara Argajaya,
“Bagaimanapun juga aku merasa kagum akan kejantananmu. Meskipun kalian menyadari apa yang kalian hadapi, tetapi kalian tidak melarikan diri. Sidanti akan bergembira mendengar berita ini. Aku harap ia akan mendengarnya kelak. Dari salah seorang di antara kalian atau dari aku sendiri.”
Sutawijaya masih berdiam diri. Ia tegak seperti tonggak. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru berdiri beberapa langkah di belakangnya. Ketika Argajaya menjadi semakin dekat. Dilihatnya kini bahwa di tangan Sutawijaya tergenggam sebatang tombak pendek pula. Ia telah melihat tombak itu sejak ia masih berada di atas tebing. Tetapi baru kini ia melihat ujung dari tombak yang pendek itu. Tanpa disadarinya dipandanginya ujung tombaknya sendiri. Tombaknya adalah tombak pusaka. Tetapi dalam sekilas itu ia dapat melihat, bahwa tombak anak muda itu  pun bukan kebanyakan tombak. Apalagi kemudian ia melihat Agung Sedayu dan Swandaru yang berdiri tidak jauh dari Sutawijaya itu. Di lambungnya tergantung pedang, dan di punggungnya menyilang busur. Hati Argajaya menjadi berdebar-debar. Busur itu semuanya berjumlah tiga buah. Pasti milik ketiga anak itu.
Meskipun demikian ia bertanya,
“He, dari mana kau mendapat pinjaman senjata anak muda?”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab,
“Senjataku sendiri. Apakah senjatamu itu senjata pinjaman?”
Argajaya terkejut mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba sorot matanya menjadi tajam dan dengan nada yang berat ia menjawab,
“Pertanyaanmu terlampau tajam anak muda. Semalam, ketika aku meninggalkan pendapa banjar desa, hatiku telah sedikit mereda. Aku menganggap bahwa kalian adalah anak-anak yang patut dikasihani. Meskipun kali ini aku datang dengan senjata di tangan, tetapi aku telah menjadi lilih. Aku tidak ingin membunuh seperti semalam. Aku hanya ingin memberimu sekedar peringatan, bahwa kau telah berbuat kesalahan. Tetapi itu mungkin karena kau sama sekali belum mengenal kami. Aku mengharap perkenalan pagi ini akan memberimu kesadaran. Kalau kau dan kedua kawan-kawanmu bersedia minta maaf kepadaku, maka kalian aku anggap tidak bersalah.”
“Terima kasih, Argajaya,” sahut Sutawijaya. Namun kata-kata selanjutnya sangat mengejutkan,
“Aku sudah menduga bahwa kau bukan seorang yang terlampau jahat. Kau hanya seorang pemarah yang tidak dapat mengendalikan diri. Tetapi ingat, sikap yang demikian adalah berbahaya. Berbahaya bagi orang-orang di sekitarmu dan berbahaya bagi dirimu sendiri. Seperti kau, maka aku  pun kini sebenarnya sudah kehilangan gairah untuk berkelahi. Dan aku  pun akan bersedia memberimu maaf seandainya kau memerlukannya.”

Darah Argajaya yang cepat mendidih itu  pun tiba-tiba bergejolak sampai kepalanya. Tombaknya  pun menjadi gemetar dan wajahnya menjadi merah membara. Tiba-tiba ia berpaling kepada Ki Demang sambil berkata,
“Kau dengar Ki Demang, apa yang dikatakannya? Apakah salahku apabila aku benar-benar membunuhnya?”
Ki Demang tidak segera menyahut. Dilihatnya setiap wajah menjadi tegang. Wajah para prajurit  pun menjadi tegang pula. Bahkan pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya  pun tidak dapat mengerti, kenapa tiba-tiba sikap anak muda itu menjadi semakin keras dan semakin tajam.
“Apa katamu, he Ki Demang?”
Demang Prambanan terkejut. Tergagap ia menjawab,
“Ya, ya, salahnya. Salahnya sendiri. Aku telah mendengar kata-katanya yang tidak sopan itu.”
“Nah,” tiba-tiba pemimpin prajurit yang lain, yang datang bersama Argajaya menyambung,
“apa kataku. Ia telah menghina Prambanan dalam keseluruhan.”
Argajaya itu  pun kemudian mengangkat wajahnya. Sambil memandang berkeliling ia berkata,
“Lihatlah, betapa anak muda dari Sangkal Putung itu telah mencoba membunuh dirinya sendiri. Kalian menjadi saksi, bahwa aku bersedia memaafkannya, apabila ia dengan baik dan penuh penyesalan minta kepadaku. Tetapi kalian telah mendengar jawabnya.”
Terdengar suara bergumam di belakang mereka. Salah seorang yang telah setengah baya berkata lirih,
“He, anak yang keras kepala. Kenapa kesempatan itu dilewatkannya.”
Yang terdengar kemudian adalah suara Argajaya pula,
“Sekarang adalah terserah kepadaku. Bagaimanapun aku akan menyelesaikan persoalan ini.”
Kembali setiap mulut menjadi terbungkam. Namun setiap jantung berdetak semakin keras. Sebagian dari mereka menyesali anak muda dari sangkal putung itu. Kesempatan yang diberikan oleh Argajaya akan dapat menyelamatkan mereka. Tetapi kesempatan itu tidak dipergunakannya.
Argajaya itu  pun kemudian maju beberapa langkah mendekati Sutawijaya yang berdiri tegak seperti patung. Wajahnya yang merah membara itu  pun kemudian tersenyum, meskipun terasa betapa senyum itu hambar. Katanya,
“Hem, kau memang anak muda yang keras hati. Kau ingin tahu dari mana aku mendapat senjata? Senjata ini adalah pusaka dari Menoreh. Kau ingin tahu namanya? Namanya Kiai Petit. Apalagi? Bertanyalah sebelum kau kehilangan kesempatan.”
“Tidak,” jawab Sutawijaya singkat.
“Nah, sekarang katakan kepadaku, siapakah yang memberimu senjata?” bertanya Argajaya. Tetapi matanya berkisar memandangi pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya. Dada prajurit itu berdesir. Ia merasa, bahwa Argajaya berprasangka kepadanya, dengan demikian, apabila pekerjaan Argajaya atas Sutawijaya selesai, maka hubungannya dengan tamu itu pasti tidak akan baik. Bahkan mungkin anak buahnya sendiri  pun akan bersikap tidak baik pula kepadanya.

Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar jawaban Sutawijaya,
“Setiap laki-laki Sangkal Putung pasti bersenjata. Sebab laki-laki Sangkal Putung adalah pengawal-pengawal kademangannya menghadapi sisa-sisa laskar Arya Penangsang.”
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sekali lagi ia melihat ujung tombak Sutawijaya. Tombak itu bukan tombak kebanyakan.
“Bagus,” sahut Argajaya.
“Mungkin kau pernah mendapat ilmu dari Sidanti. Mungkin dari para prajurit yang lain. Tetapi ternyata kau menjadi terlampau sombong. Sekarang tentukan sikapmu yang terakhir.
“Aku menunggu kau minta maaf kepadaku dan berjanji untuk bertingkah laku baik dan sopan,” jawab Sutawijaya.
Jawaban itu telah menutup setiap kemungkinan untuk mengurungkan perkelahian. Argajaya benar-benar menjadi gemetar. Matanya menyala seperti bara. Terdengar giginya gemeretak. Dan dengan suara gemetar ia berkata,
“Bersiaplah. Kau telah membakar kemarahanku kembali setelah aku bersedia memaafkanmu.”
“Kau juga telah membuat aku marah,” sahut Sutawijaya lantang.
Argajaya sudah tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Selangkah ia maju, dan tombaknya  pun kini telah terangkat setinggi dada. Namun Sutawijaya telah bersiap pula. Sekali ia berpaling kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Kedua kawannya itu  pun berdiri dengan tegangnya. Namun ketika Sutawijaya telah hampir mulai, mereka melangkah menjauhi satu sama lain, sekan-akan mereka ingin melihat perkelahian itu dari arah yang berbeda. Argajaya dan Sutawijaya kini telah berdiri berhadap-hadapan. Tombak-tombak mereka telah mulai bergetar karena getar jantung mereka yang menjadi semakin cepat. Tetapi agaknya mereka masih saling menanti agar lawan-lawannyalah yang mulai menggerakkan senjatanya. Matahari kini telah merayap naik semakin tinggi. Warna-warna merah di langit telah menjadi semakin bening. Lamat-lamat terdengar burung-burung liar menyambut pagi. Sama sekali tidak dihiraukannya ujung-ujung tombak yang telah siap berbicara di pinggir Sungai Opak. Sutawijaya-lah yang kemudian sekali lagi memancing kemarahan lawannya supaya kehilangan pengekangan diri. Ia mengharap bahwa lawannyalah yang akan menyerangnya lebih dahulu. Karena itu maka katanya,
“Argajaya. Ternyata kau tidak mendengarkan kata-kataku. Karena itu, maka aku tidak akan dapat memberimu ampun lagi, meskipun kau paman Sidanti. Aku ingin memberitahukan pula kepada Sidanti, bahwa sikap yang demikian seperti yang kau lakukan, adalah sikap yang tercela. Apalagi kau ingin membuat daerah ini menjadi semakin parah dengan segala macam kemaksiatan itu.”
Ternyata Sutawijaya berhasil. Ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Dengan garangnya Argajaya meloncat sambil menggerakkan tombaknya langsung mematuk dada Sutawijaya.

Semua orang yang melihat gerakan itu terkejut. Mereka yang sedang berdebar-debar mendengar kata-kata Sutawijaya yang tajam itu dengan serta-merta telah melihat Argajaya meloncat secepat kilat. Namun Sutawijaya telah benar-benar siap menanggapi setiap serangan. Juga serangan Argajaya ini  pun telah diperhitungkannya. Dengan demikian, maka dengan tangkasnya pula ia menarik tubuhnya selangkah ke samping. Dengan merendahkan dirinya sedikit, Sutawijaya-lah yang kini mencoba menusuk lambung lawannya. Argajaya terkejut melihat sambutan itu. Menilik tata geraknya, maka Argajaya menyadari, bahwa lawannya bukanlah sekedar seorang anak muda yang pernah belajar bermain tombak pada seorang prajurit saja, meskipun prajurit itu bernama Sidanti. Karena itu, maka sikap Sutawijaya itu merupakan peringatan baginya, untuk bersikap lebih hati-hati dan waspada. Sambil menggeliat, Argajaya menghindarkan dirinya. Dengan tombaknya ia menangkis serangan Sutawijaya. Dengan demikian maka kedua tombak itu pun bersentuhan. Namun dari sentuhan itu terasa betapa kekuatan masing-masing seakan-akan telah menjalari tangan-tangan lawannya. Argajaya terkejut ketika terasa tangannya tergetar. Sentuhan itu bukanlah suatu benturan yang keras. Namun sentuhan itu telah cukup menggetarkan tangannya. Karena itu, maka kemarahannya  pun menjadi semakin memuncak. Agaknya di tempat ini ia akan bertemu dengan seorang lawan yang tangguh di luar dugaannya. Sutawijaya  pun merasakan sentuhan itu. Ia  pun merasakan betapa kekuatan tangan Argajaya mengguncang tangannya. Tetapi tiba-tiba Sutawijaya tersenyum di dalam hatinya. Ternyata Argajaya bukanlah orang yang perlu ditakuti. Ia merasa bahwa setidak-tidaknya ia mempunyai kesempatan yang sama dengan lawannya. Maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru. Argajaya benar-benar tidak hanya menakut-nakuti namanya saja. Tetapi tandangnya benar-benar ngedab-edabi. Seperti rajawali di langit ia menyambar-nyambar lawannya, kemudian tombaknya mematuk-matuk seperti anak panah yang meluncur dari segenap penjuru. Orang-orang Prambanan yang telah mengaguminya menjadi semakin kagum. Mereka tidak menyangka, bahwa sampai sedemikian dahsyatnya tata gerak tamunya yang perkasa itu. Tetapi ketika mereka telah menyaksikannya sendiri, maka kekaguman mereka menjadi kian bertambah-tambah. Para prajurit  pun menjadi kagum pula. Mereka telah sering melihat peperangan yang dahsyat. Bahkan mereka pun pernah melihat beberapa orang yang luar biasa berkelahi. Namun mereka masih juga menarik nafas dalam-dalam ketika mereka melihat betapa Argajaya menggerakkan tombaknya. Tetapi lebih daripada itu, di samping kekaguman mereka yang menggetarkan dada mereka, maka lebih-lebih lagi anak muda dari Sangkal Putung itu. Para prajurit itu  pun berdiri dengan dada berdebar-debar melihat tandang Sutawijaya. Tanpa mereka sangka-sangka dengan lincahnya anak muda itu dapat mengimbangi tata gerak Argajaya yang garang. Sehingga semakin seru perkelahian itu, maka semakin keraslah degup jantung mereka. Dan semakin keraslah dentang pertanyaan di dalam kepalanya,
“siapakah sebenarnya anak-anak muda itu?”

Pemimpin prajurit yang seorang, yang datang bersama-sama dengan Sutawijaya  pun menjadi heran bukan buatan. Tetapi tanpa disadarinya sendiri seolah-olah ia berdiri di pihak Sutawijaya. Karena itu, tanpa disadarinya pula, merayaplah perasaan bangga membakar hatinya. Tanpa disadarinya ia mengharap agar Sutawijaya mampu mempertahankan dirinya, setidak-tidaknya menyelamatkan diri sendiri. Adalah di luar sadarnya, bahwa ia  pun kemudian tidak menyenangi sikap tamunya yang merasa dirinya melampaui segala-galanya itu. Argajaya ternyata bukan orang yang luar biasa. Kini ia dihadapkan pada seorang anak muda dan anak muda itu ternyata mampu mengimbanginya. Bukan saja prajurit yang seorang itu yang menjadi tegang. Prajurit-prajurit yang lain  pun menjadi tegang pula. Ki Demang Prambanan dan anak-anak muda kademangan itu, Haspada dan Trapsila melihat perkelahian itu dengan tanpa berkedip. Dadanya serasa dihinggapi perasaan yang aneh. Sutawijaya telah benar-benar mempesona mereka. Setiap orang yang melihat perkelahian itu telah dicengkam pula oleh suatu perasaan yang tidak mereka mengerti sendiri. Wajah-wajah mereka semakin lama menjadi semakin tegang, ketika tombak-tombak di arena perkelahian itu  pun menjadi semakin cepat berputar. Adalah suatu kebetulan bahwa Argajaya  pun seorang yang menguasai senjatanya yang berbentuk tombak itu, seperti yang dipergunakan oleh Sutawijaya pula. Kedua tombak itu seolah-olah menari-nari berloncat-loncatan, bersentuhan dan bahkan berbenturan satu dengan yang lain. Kedua pasang tangan yang menggerakkannya adalah pasangan-pasangan tangan yang benar-benar cekatan dalam olah senjata. Argajaya sama sekali tidak menyangka, bahwa ia akan bertemu dengan anak muda seperti yang sedang dilawannya itu. Hampir-hampir ia tidak dapat mempercayainya bahwa ujung tombaknya sama-sekali tidak berdaya menyentuh tubuh lawannya. Bahkan sekali-sekali tubuhnya sendiri hampir-hampir tersobek oleh senjata lawannya. Dengan demikian, maka kemarahannya pun setiap saat menjadi kian berkobar di dalam dadanya. Namun betapapun ia berusaha, tetapi kemungkinan dari akhir perkelahian itu tidak ditentukannya sendiri. Akhir dari perkelahian itu adalah tergantung pada kedua belah pihak. Adalah sudah sewajarnya apabila masing-masing pihak ingin segera memenangkannya dalam keadaan serupa itu. Apalagi Argajaya. Tetapi lawannya bukan sekedar menerima nasib yang ditentukan olehnya. Bahkan lawannya  pun mempunyai kemungkinan yang sama besarnya dari pada dirinya sendiri. Pasir tepian itu  pun kemudian menjadi seolah-olah diaduk dengan bajak. Bekas-bekas kaki mereka telah membuat sebuah arena yang luas. Keduanya berloncatan menghindar dan menyerang. Berputar dan berguling-guling di pasir. Dengan demikian, maka pakaian-pakaian mereka menjadi kotornya. Pakaian yang basah karena keringat itu, kemudian dilekati oleh pasir yang lembut.

Orang-orang Prambanan benar-benar seperti dicengkam oleh suatu perasaan yang dahsyat. Perkelahian itu adalah perkelahian yang belum pernah mereka saksikan. Perkelahian antara dua orang yang perkasa. Jangankan orang-orang Prambanan bahkan para prajurit-prajurit Pajang  pun menjadi kagum melihat tata gerak mereka. Argajaya yang marah itu  pun berjuang semakin dahsyat. Berbagai perasaan telah mendorongnya untuk memenangkan perkelahian itu. Ia adalah seorang tamu yang dihormati, yang telah menunjukkan beberapa kelebihan yang mengherankan orang-orang Prambanan dan prajurit-prajurit Pajang di Prambanan. Dengan tombaknya itu ia mampu membunuh seekor harimau yang besar dan garang. Sedang kini yang dihadapinya hanyalah seorang anak muda Sangkal Putung. Perasaan malu telah menggelitik hatinya. Sudah sekian lama ia berkelahi, tetapi belum tampak suatu tanda bahwa ia mampu menguasai keadaan. Tetapi ia tidak menyadari siapakah yang berdiri sebagai lawannya. Sutawijaya yang setelah berkelahi beberapa lama, segera dapat mengerti sampai di mana kemampuan Argajaya. Meskipun perkelahian itu masih berlangsung dengan serunya, seakan-akan dua tenaga raksasa yang sedang beradu, namun kembali Sutawijaya tersenyum di dalam hati. Ia kini tahu benar bagaimana ia harus menghadapi Argajaya. Di dalam hatinya Sutawijaya itu bergumam,
“Belum melampaui Sidanti.”
Meskipun demikan Sutawijaya tidak berusaha secepatnya memenangkan perkelahian itu. Kekecewaannya atas keadaan yang telah disaksikannya di kademangan ini telah memaksanya berbuat sesuatu. Ia ingin menguasai perhatian orang-orang Prambanan atasnya, supaya mempunyai wibawa yang cukup untuk dapat berbuat sesuatu. Sebagai sorang putra dari Panglima Wira Tamtama Pajang, maka keadaan di Prambanan telah benar-benar menyinggung perasaan Sutawijaya. Sikap para prajurit dan sikap anak-anak mudanya. Karena itu selagi ia berada di Prambanan maka apa yang dapat dilakukan untuk membantu tugas ayahnya, akan dilakukan. Ia ingin mempergunakan caranya sendiri untuk itu. Cara seorang anak muda pula. Orang-orang yang berdiri di seputar arena perkelahian itu masih melihat perkelahian itu berlangsung dengan sengitnya. Mereka masih melihat keduanya meloncat-loncat dan berputar-putar. Menyerang dan menghindar. Mereka masih melihat kedua batang tombak itu saling berbenturan dan mematuk-matuk dengan dahsyatnya. Sekali-kali terdengar Argajaya menggeram. Dengan garangnya ia menerkam dada Sutawijaya dengan ujung tombaknya. Tetapi setiap kali tombaknya selalu berputar dari arahnya. Ternyata tombak Sutawijaya sangat lincah. Lebih lincah dari tombak Argajaya.

Ketika perkelahian itu telah berlangsung beberapa lama, maka sampailah Sutawijaya pada rencananya untuk mempengaruhi orang-orang Prambanan. Argajaya telah mendapat kehormatan yang luar biasa karena orang-orang Prambanan telah melihat ketrampilannya bermain dengan senjatanya. Menurut mereka, Argajaya dapat berburu harimau hanya dengan tombak pendek itu. Tetapi kini Sutawijaya tidak ingin berburu harimau, tetapi dengan tombak pendeknya itu ia ingin menjatuhkan Argajaya di hadapan orang-orang Prambanan yang mengaguminya. Ia harus membuat para prajurit itu menilai dirinya, supaya para prajurit itu kemudian mendengarkan kata-katanya seperti mereka mendengarkan kata-kata Argajaya. Matahari yang melambung di langit kini sudah menjadi semakin tinggi. Sinarnya menjadi semakin cerah dan panas. Angin yang bertiup dari Selatan menggerak-gerakkan daun ilalang dan mengusap wajah-wajah yang tegang di pinggir Kali Opak. Wajah-wajah yang tegang itu menjadi semakin tegang. Tiba-tiba mereka melihat betapa tata gerak Sutawijaya menjadi semakin lincah. Tombaknya menjadi semakin cepat bergetar, berputar dan mematuk dari segenap arah. Sepasang tangan anak muda itu seakan-akan telah berubah menjadi berpuluh-puluh pasang tangan dengan berpuluh-puluh tombak di dalam genggaman. Argajaya terkejut pula melihat perubahan itu. Untuk meyakinkan dirinya, Argajaya terpaksa meloncat surut. Tetapi ia tidak berhasil memisahkan dirinya dari lawannya yang masih muda itu. Beberapa kali ia ingin melihat lawannya dan mencoba menilai keadaan. Tetapi beberapa kali pula lawannya selalu membawanya dalam keadaan yang sulit. Kemarahan Argajaya  pun menjadi semakin memuncak pula sejalan dengan meningkatnya tata gerak Sutawijaya. Bahkan kemudian anak muda itu menjadi agak membingungkannya. Sekali-kali ia terpaksa meloncat jauh-jauh untuk menghindarkan diri dari kebingungan. Namun demikian ia terlepas, demikian lawannya telah siap memaksanya menjadi sibuk dan bingung kembali. Sejenak Argajaya masih belum berhasil mengerti, apakah yang sebenarnya dihadapi. Namun semakin lama, maka orang itu  pun menjadi semakin menyadari keadaannya. Tetapi dengan demikan ia dihadapkan pada pertentangan di dalam dirinya sendiri. Ia tidak mau melihat kenyataan itu. Ia tidak mau mengerti apa yang sudah mulai dilihatnya. Dengan penuh kemarahan ia mendesak setiap perasaan di dalam dadanya yang mengatakan lawannya adalah anak muda yang pilih tanding.
“Anak setan itu harus mampus,” geramnya di dalam hati. Ia mencoba membutakan dirinya dari kenyataan yang dihadapinya. Meskipun setiap kali ia terdesak mundur dan bahkan beberapa kali ia harus jatuh berguling-guling di atas pasir tepian untuk menghindari kejaran ujung tombak lawannya, namun ia masih juga sesumbar di dalam hatinya,
“Kubunuh anak setan ini apabila ia tidak mau mohon maaf kepadaku.”
Sutawijaya kini benar-benar sudah sampai pada puncak permainannya. Ia harus meyakinkan kemenangannya kepada orang-orang Prambanan dan para prajurit Pajang yang melihat pertempuran itu. Ia tidak sekedar mendapat kesempatan karena kelengahan Argajaya. Tetapi setiap orang harus yakin bahwa memang anak muda yang menyebut dirinya pengawal Sangkal Putung itu melampaui ketangkasan dan keperwiraan lawannya. Meskipun demikian Sutawijaya masih sadar, bahwa ia tidak sepatutnya menciderai lawannya. Ia ingin manunjukkan sikap yang baik. Namun ia mempunyai pula maksud yang lain. Karena itu maka ia harus menundukkan Argajaya dalam keadaan hidup.

Dalam kemarahannya Argajaya menjadi semakin garang. Tandangnya menjadi semakin keras dan kasar. Tetapi dengan demikian maka ketenangannya  pun menjadi semakin kabur. Bahkan yang tampak kemudian hanyalah nafsunya yang menggelepar di dalam dadanya. Tetapi kemampuannya sama sekali tidak dapat mengimbanginya. Sutawijaya yang menjadi semakin yakin dalam menilai lawannya, menjadi semakin matap. Dengan suatu gerakan yang tiba-tiba ia berhasil mengejutkan Argajaya, sehingga orang itu meloncat surut. Tetapi dengan tangkasnya anak muda itu memburu, tombaknya berputar membingungkan. Namun tiba-tiba tombak itu mematuk lambung. Sekali lagi Argajaya terkejut. Namun ia masih mempunyai kesempatan untuk menangkis serangan itu. Dengan tombaknya ia berusaha memukul tombak Sutawijaya. Tetapi tombak Sutawijaya itu tiba-tiba bergetar dan berputar menghindari tombak Argajaya sehingga kedua tombak itu sama sekali tidak bersentuhan. Dalam keadaan yang demikian, Sutawijaya mempunyai kesempatan yang baik, selagi Argajaya sedang dalam batas keseimbangan. Gerakannya yang tidak dapat diperhitungkan oleh Argajaya telah mendorong orang itu sehingga ia tidak dapat menguasai keseimbangannya lagi. Dengan susah payah, Argajaya meloncat supaya ia tidak jatuh. Tatapi dalam keadaan itu, kembali serangan Sutawijaya melandanya. Kali ini serangan itu benar-benar telah membingungkan Argajaya. Ia tidak mampu lagi menghindar. Dengan demikian maka kesempatan satu-satunya baginya adalah menangkis serangan itu. Tetapi dalam pada itu keseimbangannya sudah hampir-hampir tidak lagi dapat dikuasainya. Demikianlah Argajaya yang garang itu kini benar-benar dalam keadaan yang sulit. Tombak Sutawijaya yang menyergapnya seakan-akan telah hampir menghunjam di dadanya. Tetapi Argajaya tidak mau dadanya dilubangi dengan ujung tombak anak yang menyebut dirinya pengawal Sangkal Putung itu. Dengan kekuatannya yang disalurkannya pada tangannya ia memukul tombak Sutawijaya. Namun dalam pada itu dibiarkannya dirinya terjatuh untuk segera berguling-guling menjauhi lawannya. Tetapi Sutawijaya tidak melepaskan kesempatan ini. Dengan sekuat tenaga pula ia membenturkan tombaknya pada tombak lawannya. Ia tidak lagi berusaha menusuk dada, tetapi ia berusaha melawan pukulan tombak Argajaya. Maka terjadi benturan yang keras di antara keduanya. Tetapi keadaan Sutawijaya jauh lebih baik dari lawannya, sehingga karena itu, maka Sutawijaya mempunyai kesempatan lebih banyak untuk mengerahkan kekuatannya. Maka terjadilah hal yang tidak tersangka-sangka bagi orang-orang yang mengerumuni perkelahian itu. Apalagi bagi mereka yang membabi buta mengagumi Argajaya yang perkasa itu. Dengan dada yang berdebar-debar dan darah yang seakan-akan membeku mereka melihat tombak Argajaya terlontar dari tangannya dan terjatuh beberapa langkah daripadanya.

Argajaya sendiri terkejut bukan buatan. Tetapi tangannya yang nyeri itu sama sekali sudah tidak mampu untuk menahan senjatanya. Dengan kemarahan yang memuncak sampai ke ubun-ubun ia menggeram keras. Beberapa kali ia berguling menjauhi lawannya, kemudian seperti singgat ia melenting dengan lincahnya. Namun kembali ia terkejut bukan kepalang. Kembali dadanya berguncang seperti tertimpa reruntuhan Candi Jonggrang yang megah itu ketika tiba-tiba, tepat pada saat kakinya berjejak di atas tanah, terasa ujung tombak Sutawijaya menyentuh bajunya, tepat di lambungnya. Dengan suara perlahan-lahan namun penuh tekanan terdengar suara anak muda itu,
“Sayang. Tombakmu kau lempar tuan.”
Argajaya berdiri tegak seperti patung. Ujung tombak Sutawijaya kini tidak sekedar menyentuhnya, tetapi ujung tombak itu kini tertekan pada lambungnya. Betapapun kemarahan membakar jantungnya, namun Argajaya terpaksa tidak berbuat sesuatu. Ia berdiri saja dengan mata yang menyala. Bukan saya Argajaya yang berdiri tegak seperti patung di tengah-tengah arena perkelahian itu. Orang-orang yang menyaksikan perkelahian dengan jantung yang tegang itu  pun seakan-akan merasa ujung tombak itu melekat di lambung masing-masing, sehingga tak seorang  pun di antara mereka yang berani menggerakkan tubuhnya. Bahkan nafas mereka  pun menjadi tersendat-sendat dan dada mereka  pun menjadi sesak. Tombak itu masih melekat di lambung Argajaya. Ujung tombak itu sama sekali tidak bergetar. Tangan yang menggengamnya adalah tangan yang yakin akan kemampuannya. Arena yang hiruk-pikuk oleh perkelahian itu, kini menjadi sunyi tegang. Wajah-wajah yang membeku, tubuh-tubuh yang kaku dan nafas yang tersengal-sengal tampak di seputar Argajaya dan Sutawijaya yang masih belum berkisar dari tempatnya.
Yang terdengar memecah kesepian itu adalah suara Sutawijaya,
“Bagaimana, Tuan?”
“Bunuh aku,” suara itu bergetar di antara bibir Argajaya yang dibakar oleh kemarahannya. Wajahnya yang membara kini bagaikan menyala.
“Hem,” Sutawijaya menarik nafas,
“Kau benar-benar berhati jantan. Tetapi aku bukan pengecut yang membunuh lawan tanpa senjata.”
“Bunuh, jangan menghina.”
“Tidak. Aku hanya akan membunuhmu selagi senjatamu masih di tangan.”
Argajaya tidak menjawab. Kemarahannya hampir meledakkan dadanya. Tetapi ujung tombak itu masih melekat di lambungnya.

Tiba-tiba semua semua orang yang berdiri di sekitar keduanya terkejut. Agung Sedayu dan Swandaru  pun terkejut ketika mereka mendengar Sutawijaya berkata,
“Kalau kau masih berani, ambil senjatamu. Aku akan membunuhmu apabila kau masih berani melawan aku.”
Bukan main panas hati Argajaya, seakan-akan hati itu kini berpijar. Terdengar ia menggeram. Namun sekali lagi telinganya mendengar Sutawijaya berkata,
“Ambil tombakmu, supaya aku dapat membunuhmu. Kalau kau tidak berani maka pergilah. Kembali ke ibumu dan sembunyi di belakang selendangnya.”
Argajaya tidak dapat lagi menahan hatinya. Tiba-tiba kakinya terayun memukul tombak Sutawijaya. Namun Sutawijaya sudah bersiaga. Diangkatnya tombaknya, sehingga ujung kaki itu sama sekali tidak menyentuh senjatanya. Sambil tersenyum ia meloncat mundur dan berkata lantang,
“Bagus. Kau ternyata bukan seorang pengecut. Aku beri kesempatan kau memungut senjata itu. Kita berhadapan dengan senjata masing-masing di tangan.”
“Kau akan menyesal anak iblis!” geram Argajaya.
Sutawijaya masih tersenyum. Ia berdiri tegak sambil menunjuk tombak Argajaya,
“Ambil. Ambilah. Aku tidak akan menusuk punggungmu selagi kau membungkuk memungut tombak itu.”
“Kau benar-benar akan menyesal. Ingat, aku tidak akan memberi kau kesempatan. Aku benar-benar akan membelah dadamu.”
Sutawijaya tertawa. Selangkah ia mundur, sambil berkata,
“Ambillah. Ambillah jangan ragu-ragu. Ada dua kesempatan yang aku berikan kepadamu kini. Mengambil senjata itu untuk melawan dan kemudian mati, atau berjongkok minta ampun kepadaku. Pengawal Kademangan Sangkal Putung.”
Kata-kata itu serasa merontokkan jantung Argajaya. Sekali ia meloncat dengan lincahnya dan tombaknya kini telah digenggamnya kembali. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Argajaya  pun telah mulai perkelahian itu kembali. Tombaknya kembali berputar dan mematuk-matuk lawannya. Tandangnya yang dilambari kemarahan yang memuncak tanpa terkendali benar-benar mengerikan. Tetapi justru karena itu, maka perhitungannya  pun menjadi semakin kabur. Tanggapannya atas lawannya yang masih muda menjadi kabur pula.

Sutawijaya melayaninya dengan tenang. Semakin garang lawannya maka ia  pun menjadi semakin tenang. Ia semakin banyak melihat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Argajaya, justru karena kemarahan itu. Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu benar-benar dicengkam oleh ketegangan yang memuncak pula. Beberapa orang menjadi kabur menilai perkelahian itu. Beberapa orang menjadi bingung dan beberapa orang menjadi gelisah. Terutama para prajurit Pajang di Prambanan. Kemenangan bagi Sutawijaya berarti penghinaan pula bagi mereka itu. Apalagi kemudian Argajaya terbunuh, maka mungkin sekali mereka  pun akan mendapat bencana. Ketika terpandang olehnya pemimpinnya yang datang bersama-sama dengan anak muda yang berkelahi itu, maka dada mereka berdesir. Apakah kira-kira yang akan dilakukannya? Para prajurit itu merasa, bahwa sedikit banyak mereka telah menentang atau mengabaikan pemimpinnya itu. Tetapi yang mereka cemaskan itu  pun mendekati kenyataan. Argajaya kembali terdesak. Orang yang garang itu hampir-hampir tidak mendapat kesempatan untuk berbuat apapun. Sekali lagi orang-orang yang mengerumuni arena itu menahan nafas ketika mereka melihat Argajaya terdesak jauh ke belakang. Orang itu terpaksa meloncat-loncat dan terus-menerus menghindar mundur. Sedang Sutawijaya  pun nampaknya menjadi garang dan berbahaya. Akhirnya sekali lagi mereka melihat sebuah serangan Sutawijaya membadai. Argajaya yang menjadi semakin lemah kehilangan setiap kesempatan untuk menghindar. Maka terulanglah apa yang pernah terjadi. Tombak Sutawijaya memukul tangkai tombak Argajaya, sehingga tombak pendek itu sekali lagi terlepas dari tangannya. Dengan gerak naluriah Argajaya meloncat mundur. Tetapi kali ini Sutawijaya tidak mengejarnya. Kali ini Sutawijaya tidak menekankan ujung tombaknya ke dada lawannya. Dibiarkannya lawannya berdiri tegak dengan nafas terengah-engah. Sutawijaya memandanginya dengah wajah terangkat. Dengan nada suara yang tinggi ia bertanya,
“He, kenapa tombakmu kau lepaskan lagi, Tuan?”
Argajaya tidak menjawab.
Sutawijaya yang telah menjadi cukup hangat hatinya bertanya,
“Apakah kau mencoba menyelamatkan dirimu dengan cara pengecut itu?”
Terdengar gigi Argajaya gemeretak.
“Kau tahu aku tidak akan membunuh orang yang tidak bersenjata. Karena itu ketika aku hampir berhasil membunuhmu kau lepaskan senjatamu,” desis Sutawijaya.
Argajaya menggeram karena marah. Terasa seakan-akan di dalam dadanya berpijar segumpal bara. Tetapi ia tidak dapat menumpahkan kemarahannya.
“Ambil senjatamu kalau kau laki-laki,” desis Sutawijaya.
Tetapi harga diri Argajaya menyentak di dalam hatinya. Katanya kasar, “Ternyata kau  pun pengecut. Kau tidak berani melihat darah. Kalau kau jantan, bunuh aku tanpa memejamkan mata.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Darah mudanya tersentuh. Tetapi kemudian ia tertawa sambil berkata,
“Kau benar-benar berani. Kalau demikian, apakah kau tidak sengaja melepaskan tombakmu?”
Pertanyaan itu tidak kalah tajamnya menusuk jantungnya. Sekali lagi ia menggeram. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Dengan demikian, maka alangkah sakit hatinya. Lebih baik dadanya segera ditembus senjata dari pada menerima penghinaan itu.
Tetapi Sutawijaya sama sekali tidak ingin membunuhnya. Sekali lagi ia akan meyakinkan sikap lawannya. Katanya,
“Aku beri kau kesempatan sekali lagi. Ambil tombakmu.”
“Tidak!” sahut Argajaya tegas.
“Aku akan mati bersama harga diriku,” sambungnya.
“Apakah kau akan minta maaf ?” bertanya Sutawijaya.
“Tidak. Aku tidak akan minta maaf. Aku masih menunggu kau minta maaf kepadaku. Dan aku akan memaafkanmu. Kalau tidak maka sikapku tidak akan berubah. Matilah yang merubah pendirianku itu.”
“Bagus. Kau adalah seorang yang berani dan sombong,” sahut Sutawijaya.
“Tetapi sayang. Aku tidak akan membunuhmu. Sudah aku katakan, aku tidak dapat membunuh orang yang tidak bersenjata.”
“Pengecut. Kau tidak berani melihat darah musuhmu. Apalagi darahmu sendiri. Setetes darah dari tubuhmu, akan menjadikan kau mati ketakutan.”
“Untunglah, kau tidak berhasil meneteskan darahku,” sahut Sutawijaya pula.

Kembali Argajaya menggeram. Darahnya serasa mendidih dan kepalanya seakan-akan menyala.
“Aku beri kesempatan kau untuk lain kali. Kau dapat mengambil senjatamu dan pergi meninggalkan Prambanan.”
“Sekehendakku. Aku bukan bawahanmu, bukan budakmu. Kalau kau tidak senang melihat aku di sini, bunuhlah aku, aku tidak takut. Tetapi jangan mencoba memerintah.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Orang itu benar-benar keras kepala. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh Sutawijaya berkata,
“Kau harus pergi meninggalkan Prambanan.”
“Jangan kau ulangi, anak setan! Itu urusanku.”
“Baik. Apabila kau tidak akan pergi terserah kepadamu. Ternyata kau tidak mempunyai rasa harga diri seperti yang kau ucapkan. Kau sama sekali tidak malu melihat berpasang-pasang mata menyaksikan kekalahanmu.”
Kata-kata Sutawijaya itu terasa jauh lebih pedih menusuk jantungnya dari ujung tombak. Karena itu, maka terdengar gemeretak gigi Argajaya mengeras. Namun ia masih juga berdiri tak bergerak.
“Nah, apakah kau akan tetap tinggal di sini?” bertanya Sutawijaya.
“Itu urusanku, tahu!” bentak Argajaya.
“Jangan kau tanyakan lagi. Aku akan tetap tinggal di sini atau aku akan pergi adalah sepenuhnya tergantung padaku. Kalau kau tidak senang melihatnya, kau dapat membunuh aku. Ancaman apa pun yang kau ucapkan sama sekali tidak bernilai bagiku.”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menguasai perasaannya yang mulai bergetar. Aragajaya memang seorang yang keras hati. Ketegangan perasaan orang-orang yang menyaksikan sikap keduanya  pun menjadi bertambah-tambah. Mereka menjadi heran melihat kenapa Sutawijaya masih tetap bersabar tidak membunuh lawannya yang keras kepala itu, tetapi sebagian dari mereka menjadi semakin kagum melihat keberanian Argajaya. Meskipun tangannya tidak lagi menggenggam senjata tapi ia sama sekali tidak takut. Para prajurit yang datang bersama Argajaya kemudian dijalari pula oleh kekerasan hati seperti orang yang dikaguminya itu. Mereka  pun tiba-tiba menjadi semakin benci melihat Sutawijaya yang masih menggenggam tombak. Bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang tanpa sesadarnya bergeser beberapa langkah maju. Seperti juga kedua kawan Argajaya yang tidak dapat membiarkan pimpinannya dalam keadaan yang sulit itu. Namun Agung Sedayu dan Swandaru  pun melihat pula gelagat itu. Juga tanpa disadari mereka bergerak selangkah maju. Bahkan kemudian mereka berdua kini berdiri di dalam lingkaran orang-orang Prambanan di sekeliling arena.

Keduanya telah menumbuhkan kebimbangan pula pada orang-orang Argajaya itu. Mereka merasa bahwa mereka berdua tidak akan dapat mengalahkan kedua anak-anak Sangkal Putung itu. Tetapi mereka melihat bahwa para prajurit agaknya ada di pihaknya. Namun pemimpin prajurit yang datang bersama lawan Argajaya itu agaknya berpendirian lain. Suasana di tepian Kali Opak itu menjadi semakin sepi dan semakin tegang. Setiap dada bergolak karenanya. Anak-anak muda yang melihat peristiwa itu  pun mempunyai tanggapan yang berbeda. Haspada dan Trapsila beserta beberapa orang kawan-kawannya melihat sikap Sutawijaya dengan penuh kekaguman dan keheranan. Anak itu pasti bukan sekedar seorang pengawal dari sebuah kademangan. Tetapi para prajurit yang semakin muak melihat sikap Sutawijaya  pun menjadi semakin panas. Terdengar beberapa orang berdesis menahan perasaan mereka. Satu dua di antaranya mereka, tanpa dikehendaki sendiri, telah meraba hulu pedangnya. Tetapi ketika terpandang oleh mereka itu busur-busur di tangan Agung Sedayu dan Swandaru, maka mereka masih harus mencoba mengekang perasaan mereka. Pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya  pun melihat keadaan itu. Ia melihat beberapa orang prajurit menjadi marah atas kemenangan Sutawijaya, apalagi kedua kawan Argajaya. Mereka akan dapat menemukan titik persamaan kepentingan untuk bersama-sama menentang Sutawijaya dan kedua kawannya. Sepuluh orang prajurit dan tiga orang tamu itu pasti akan mempu melawan Sutawijaya dan kedua kawannya. Lalu bagaimana dengan dirinya? Tiba-tiba pemimpin prajurit itu melihat Haspada dan Trapsila dan beberapa anak-anak muda  pun melangkah maju. Mereka melihat wajah-wajah anak-anak muda itu menjadi tegang pula setegang wajah-wajah prajurit Pajang yang berdiri di sisi yang lain.
“Apakah perkelahian ini harus diikuti oleh pertempuran yang akan berakibat terlampau parah?” desis prajurit itu dalam hatinya.
“Bagaimanakah aku nanti harus mempertanggung jawabkan peristiwa ini seandainya Ki Untara kelak mendengarnya?”
Pemimpin prajurit itu menjadi bimbang. Namun ia tidak segera menemukan cara untuk mengatasi kesulitan itu.
Dalam pada itu terdengar suara Sutawijaya,
“Jadi kau tidak mau memenuhi permintaanku?”
“Tidak!” sahut Argajaya tegas.
“Tetapi sebaiknya kau pergi dari tempat ini dan menemui Sidanti. Aku ingin mengetahui, apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh kemenakanmu yang tidak kalah sombongnya daripadamu itu. Mungkin ia akan malu mendengar kekalahan pamannya dari seorang pengawal Sangkal Putung, meskipun kau sendiri tidak mengenal malu. Atau barangkali kau akan dibunuhnya karena kau telah menyuramkan namanya. Tetapi mungkin pula Sidanti akan, menjadi marah melihat kekalahanmu. Kalau demikian, maka ia akan berhadapan dengan aku.”
“Tutup mulutmu!” potong Argajaya. “Jangan menghina anak muda itu pula.”
“Tak ada kata-kata lain untuk memberi gelar kepadamu dan kemanakanmu itu kecuali orang-orang yang sombong, tetapi tidak bernilai.”
“Diam!” teriak Argajaya.
“Kalau kau marah, ambil tombakmu. Mari kita bertempur. Kalau kau tidak berani mengambil tombakmu, diam dan dengarkan kata-kataku. Itu adalah urusanku sendiri, apakah aku akan berbicara terus, apakah aku akan berhenti. Itu adalah tergantung kepadaku. Tetapi kelebihanku darimu adalah, aku masih mengenggam tombakku.”

Kepala Argajaya serasa akan meledak karenanya. Hampir-hampir ia meloncat memungut tombaknya, tetapi harga dirinya telah mencegahnya. Ia telah mendapat kesempatan satu kali untuk memungut tombak itu. Karena itu ia tidak akan mengulanginya. Tetapi ia tidak mau mengakui kemenangan lawannya meskipun akibatnya dadanya akan dibelah dengan ujung tombak. Karena itu, maka yang dapat dilakukan hanyalah menggeram dan menggeretakkan giginya. Sedang Sulawijaya dengan acuh tak acuh masih saja membuatnya marah dan malu. Sutawijaya mengharap bahwa dengan demikian Argajaya akan pergi meninggalkan Prambanan. Ia tidak memikirkan akibat apa yang dapat terjadi. Bahkan sengaja ia membuat Argajaya kelak membakar kemarahan Sidanti pula.
Tetapi ia masih saja melihat Argajaya berdiri tegak. Ia masih melihat Argajaya tidak bergeser dari tempatnya.
“Kau tidak juga mau pergi?” bertanya Sutawijaya.
“Semauku,” jawab Argajaya pendek.
“Baik. Kalau demikian dengarkan terus kata-kataku. Mungkin kau memang senang mendengarkannya.”
“Cukup!” semua orang terkejut mendengar kata-kata itu. Ketika mereka berpaling dilihatnya pemimpin prajurit yang seorang, yang datang bersama-sama dengan Argajaya dan Ki Demang Prambanan. Dengan garang ia kemudian berkata,
“Kau membuat onar di Prambanan. Sepatutnya kau kami tangkap. Kami prajurit Pajang mendapat tugas untuk menjaga keamanan daerah ini, di samping pemuda-pemuda Prambanan sendiri. Meskipun kau menang atas tamu kita, tetapi kau tidak akan dapat menghadapi kami semuanya.”
“Aku tidak kalah!” teriak Argajaya.
“Benar,” sahut pemimpin prajurit itu. “Apalagi Ki Argajaya belum mengakui kemenanganmu. Karena itu menyerahlah.”

Kening Sutawijaya berdesir. Kemarahannya tiba-tiba melonjak membakar jantungnya. Tetapi yang terdengar adalah suara pemimpin prajurit yang datang bersamanya.
“Jangan berbuat sesuatu. Kita telah berjanji untuk menjadi saksi dalam perkelahian ini. Biarlah yang berkepentingan menentukan sendiri siapakah yang menang dan kalah secara jantan.”
“Tetapi ia menghina seorang prajurit Pajang dari Sangkal Puiung pula. Sidanti. Dengan demikian ia menghina segenap prajurit Wira Tamtama.”
Prajurit yang datang bersama dengan Sutawijaya terdiam sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab,
“Ia tidak ingin menghina Wira Tamtama. Itu hanyalah sekedar luapan kemarahannya karena Argajaya berkeras kepala.”
“Bohong! Aku tetap akan menangkapnya.”
“Akulah pemimpin prajurit di sini,” jawab pemimpin prajurit itu tegas-tegas.
“Aku memerintahkan kalian tinggal diam.”
“Pengecut!” bantah pemimpin yang lain.
“Lihat para prajurit telah bersiap. Kalau kau tak mau turut dengan kami melakuan tugas ini, kami tidak bertanggung jawab. Aku juga dapat menyusun laporan tentang dirimu. Bahwa kau telah mengingkari tugasmu karena kau ketakutan melihat anak setan itu.”
Prajurit itu  pun menjadi marah. Tiba-tiba ia meloncat maju sambil berkata lantang,
“Dengar perintahku. Kalian tetap di tempat kalian!”
“Tidak! Kami akan menangkap anak muda itu.”
“Kalau kalian berkeras kepala, aku berada di pihaknya. Aku berada di pihak anak muda itu. Kalian memang harus dihukum karena kalian tidak patuh atas perintahku. Atas nama pimpinan Wira Tamtama di Pajang, khususnya senapati untuk daerah ini, aku berkata, jangan berpihak. Tetapi kalau kalian, memaksa, maka aku akan bertindak demi kekuasaan di tanganku dan tanggung jawabku.”
“Jangan mengigau tentang kekuasaan,” bantah pemimpin yang lain.
“Kau ternyata menyalah-gunakan kekuasaan itu. Kau tunduk kepada kehendak kami, atau minggir, supaya kau tidak tergilas oleh sikap kami demi keamanan daerah ini.”

Sutawijaya yang mendengar pertengkaran itu menjadi kecewa, marah, dan cemas. Ternyata para prajurit Pajang di Prambanan telah benar-benar kehilangan kepatuhan dan ketaatannya kepada pimpinannya karena keadaan yang selama ini seolah-olah tidak terkekang sama sekali. Kini ia melihat pertentangan itu mencapai puncaknya. Bahkan agaknya bukan saja para prajurit Pajang, namun anak-anak mudanya  pun agaknya telah berbeda pendirian dan sikap. Mereka yang selama ini ikut serta dalam perbuatan-perbuatan yang aneh-aneh bersama para prajurit itu, pasti akan berpihak kepada mereka. Tetapi anak-anak muda yang lain sudah barang tentu akan berdiri berseberangan dengan mereka. Kini Sulawijaya harus berpikir. Kalau ia terseret oleh arus perasaannya, maka ia akan melihat dua pihak bertempur di pinggir Kali Opak ini. Pasti bukan sekedar berkelahi sampai banak belur, dengan wajah merah biru bengap. Tetapi dalam keadaan seperti kini, maka kemungkinannya pasti akan lebih jauh. Bahkan mungkin akan jatuh korban pula karenanya. Ia terkejut ketika ia mendengar sekali lagi pemimpin prajurit itu mengancamnya.
“Menyerahlah. Aku bersama Ki Demang Prambanan mengemban pimpinan di Kademangan ini.”
“Tidak!” prajurit yang satu itulah yang membantah.
“Kau telah memberontak atas pimpinanmu.”
Tetapi agaknya kata-kata itu tidak dihiraukannya. Bahkan pemimpin prajurit yang datang bersama dengan Argajaya dan Ki Demang Prambanan itu dengan serta-merta menarik pedangnya. Dada Sutawijaya berdesir ketika ia melihat para prajurit  pun menarik pedang masing-masing. Hatinya menjadi semakin cemas ketika tiba-tiba pemimpin prajurit yang datang bersamanya  pun menarik pedangnya pula. Apalagi kemudian Sutawijaya melihat Haspada, Trapsila, dan beberapa yang lain berloncatan pula ke arena. Terdengar Haspada menggeram,
“Kami, anak-anak Prambanan yang setia pada pengabdian kami telah menjadi muak melihat tingkah laku kalian di sini. Kini ada alasan bagi kami untuk berbuat sesuatu. Kalian lelah menolak perintah pimpinan kalian, sehingga dengan demikian kalian tidak ada bedanya dengan laskar Arya Penangsang yang melawan perintah itu.”
Darah para prajurit itu  pun menjadi semakin panas karenanya. Mereka  pun segera berloncatan maju dengan senjata di tangan masing-masing. Tetapi mereka tertegun ketika tiba-tiba mereka melihat ujung-ujung panah seakan-akan mengarah ke titik-titik mata mereka. Terdengar Agung Sedayu menggeram,
“Aku mampu melepaskan anak panah ini dalam sekejap dan melepaskan anak panah yang kedua dalam sekejap berikutnya. Jumlah anak panahku masih melampaui jumlah kalian. Apalagi bersama anak panah adikku itu.”

Kata-kata Agung Sedayu itu bergetar di dalam setiap dada para, prajurit Pajang yang sudah siap menerkam Sutawijaya. Mereka semua kini berdiri tegak bagaikan patung. Tangan Agung Sedayu yang menggenggam busur dan pangkal anak panah itu tampaknya benar-benar meyakinkan. Untuk menekankan kata-katanya Agung Sedayu berkata,
“Aku adalah seorang pemburu. Aku dapat memanah kijang yang sedang berlari kencang. Apalagi kalian yang berdiri mematung.”
Setiap dada para prajurit itu  pun menjadi semakin bergelora. Kemarahan telah bergolak di dalam dada itu, tetapi mereka masih juga harus berpikir akibatnya apabila anak panah itu terlepas dari busurnya. Apalagi kemudian Swandaru  pun telah memasang anak panahnya pula pada busurnya, sedang busur yang lain bersilang di punggungnya. Katanya,
“Aku bukan pemanah sebaik kakakku itu. Tetapi sambil memejamkan mata aku akan dapat mengenai salah seorang daripada kalian.”
Beberapa orang prajurit menggeram. Namun mereka terdiam sambil mengerutkan leher mereka ketika tiba-tiba Swandaru membentak sambil melangkah maju.
“Apakah kalian tidak percaya? Baiklah aku mencoba.”
Ketika Swandaru kemudian menarik busurnya, maka para prajurit itu  pun semakin berkerut. Adalah terlampau dekat untuk mencoba menangkis anak panah yang sedang meluncur. Bahkan Sutawijaya  pun mengerutkan keningnya melihat sikap Swandaru. Tetapi tiba-tiba Swandaru tertawa sambil berkata,
“Tidak, aku tidak akan mendahului. Lebih baik aku menunggu kalian bergerak. Dengan demikian maka bukan salah kami apabila kalian semuanya akan terbunuh di dalam arena ini. Untara  pun pasti tidak akan menyalahkan kami, dan Sidanti pasti akan kehilangan kesombongannya apabila pamannya  pun terbunuh pula.”
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Adik seperguruannya itu masih juga bergurau dalam keadaan serupa itu.
Kini sejenak mereka saling berdiam diri. Para prajurit, Argajaya dan kedua kawannya, Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru dan anak-anak muda Prambanan, serta Ki Demang, berdiri saja seolah-olah membeku.
Yang kemudian memecah kesepian adalah suara Sutawijaya.
“Kami telah terdorong ke dalam suatu keadaan yang tidak kami kehendaki. Tetapi kalianlah yang lelah menyeret kami. Karena itu maka kami tidak bertanggung jawab, apa pun yang akan terjadi. Juga apabila di sini akan jatuh korban kemudian. Sekarang aku masih tetap ingin melihat Argajaya pergi dari tempat ini. Aku tidak peduli apakah kemudian ia akan kembali membawa anak muda yang bernama Sidanti.”
Mata Argajaya itu  pun menjadi semakin menyala. Sekali lagi ia menggeram, “Persetan!”
“Aku tidak akan membunuhmu Argajaya,” berkata Sutawijaya. “Kalau kau tidak mau pergi, baiklah. Kau dapat berbuat sekehendakmu. Tetapi aku  pun akan dapat berbuat sekehendakku. Aku dapat membunuhmu, namun itu sama sekali tidak akan aku lakukan karena kau tidak bersenjata. Tetapi aku mempunyai cara yang lain untuk menghukummu. Aku akan melukaimu atau membuatmu cacat seumur hidupmu.”
Kini tubuh Argajaya itu  pun menggigil karena kemarahan yang tidak dapat disalurkannya. Terdengar gemeretak giginya, dan matanya seakan-akan menyalakan api kemarahannya itu. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya. Sutawijaya akhirnya kehilangan kesabarannya. Tiba-tiba ia meloncat maju. Terdengar beberapa orang menahan kejutan jantungnya. Argajaya tidak sempat menghindar ketika tangkai tombak Sutawijaya terjulur ke arah pelipisnya. Gerak itu sama sekali tidak diduganya.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 017                                                                                                       Jilid 019 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar