Agaknya seseorang telah melihat kedatangan mereka, dan berita itu pun telah menjalar ke segenap telingga, sehingga semua orang di dalam kelompok itu pun berpaling dan memandangi Sutawijaya dan kawan-kawannya. Sutawijaya menarik nafas. Sekali ia menengadahkan wajahnya. Seleret sinar memancar di langit yang jernih. Dari balik Gunung Baka sinar matahari seolah-olah meluncur menghujam ke segenap penjuru.
“Hem,” guman
Sutawijaya, “matahari telah memanjat naik.”
“Belum
secengkang,” sahut prajurit itu.
Sutawijaya
terdiam. Dengan wajah yang tegang ia berjalan selangkah mendekati kelompok yang
tiba-tiba menebar seakan-akan memberikan jalan. Langkah Sutawijaya pun menjadi tetap. Tanpa ragu-ragu ia
berjalan masuk ke dalam kerumunan orang-orang Prambanan. Dengan sorot mata yang
tajam ia memandang berkeliling. Setiap pasang mata yang terbentur dengan sorot
mata anak muda itu, tiba-tiba terpaksa jatuh menunduk memandangi pasir tepian.
Sorot mata anak muda itu ternyata terlampau tajam bagi mereka. Tetapi
Sutawijaya belum melihat orang yang menantangnya. Meskipun hampir seluruh wajah
di baris terdepan telah dipandanginya, tetapi wajah Argajaya belum tampak
berada di tempat itu. Karena itu maka tanpa disadarinya ia bergumam,
“Di manakah
tamu yang terhormat itu?”
Sutawijaya
berpaling ketika ia mendengar jawaban di belakangnya, “Belum datang, Kisanak.”
Sutawijaya
melihat Haspada telah berada di tempat itu pula. Di sampingnya berdiri Trapsila
dan beberapa orang kawan-kawannya. Di sisi yang lain dilihatnya anak-anak muda
saling bergerombol. Satu dua Sutawijaya masih dapat mengenal. Di sebelah
Selatan adalah gerombolan anak-anak Sembojan, sedang di sisi Utara adalah
anak-anak Tlaga Kembar. Anak-anak induk kademangan bertebaran hampir di segenap
sudut, sedang anak-anak dari padesan-padesan kecil pun berkumpul di antara mereka. Orang-orang
tua berdiri agak ke belakang. Tetapi agaknya mereka pun ingin melihat apa yang akan terjadi.
“Apakah
Argajaya memilih tempat yang lain?” bertanya Sutawijaya tanpa ditujukan kepada
seorang pun.
Tak ada
jawaban. Tetapi wajah-wajah orang yang mengitarinya seakan-akan membantah
kata-katanya itu. Seakan-akan mereka ingin berkata,
“Ini adalah
batas Kademangan Prambanan. Ini adalah tepian Kali Opak di sebelah Barat Gunung
Baka.”
Tetapi tak
seorang pun yang mengatakannya. Mereka
seakan-akan terbungkam dan bahkan terpesona melihat anak muda yang berdiri di
tengah-tengah mereka. Anak muda itu seakan-akan bukan anak muda yang dilihatnya
kemarin. Juga kedua kawan-kawannya itu seakan-akan sama sekali bukan anak muda
yang berkelahi di pendapa. Dengan pedang di lambung dan busur menyilang di
punggung tampaknya mereka menjadi gagah, segagah prajurit-prajurit Pajang.
“Apakah
pemimpin prajurit Pajang yang datang bersama-sama dengan mereka itulah yang
meminjami mereka senjata?” Pertanyaan itu tumbuh di setiap dada mereka yang
berdiri berkerumun itu.
Namun yang
terdengar adalah suara Sutawijaya,
“Aku akan
menunggu Argajaya.”
Sutawijaya
berkata tidak terlampau keras. Namun terdengar menyusup dalam-dalam ke dalam
telinga orang-orang yang mengerumuninya. Suara yang terlontar dari bibir anak
muda itu terasa mengandung perbawa yang tajam.
Tetapi
ternyata Sutawijaya tidak perlu menunggu terlampau lama. Kembali orang-orang di
dalam kelompok itu bergerak-gerak. Semua kepala berpaling ke satu arah. Ketika
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru mengikuti pandangan mereka, terasa dada
mereka berdesir. Di sepanjang jalan kecil yang menembus padang ilalang, tampak
beberapa orang berjalan beriringan. Debu yang tipis tampak berhamburan
terlontar dari tanah yang kering oleh sentuhan kaki-kaki mereka. Di paling
depan berjalan seorang yang bertubuh tegap kekar. Dengan kepala tengadah ia
melangkah menjinjing sebatang tombak pendek, sependek tombak Sutawijaya. Orang
itu adalah Argajaya. Di belakangnya berjalan kedua orang kawannya, kemudian
pemimpin prajurit yang satu lagi dan beberapa orang prajurit Pajang. Bahkan
tampak di antara mereka Ki Demang Prambanan, Ki Jagabaya yang kurus dan
beberapa orang perabot desa yang lain. Tanpa disengajanya Sutawijaya berpaling
ke arah pemimpin prajurit yang seorang yang datang bersamanya. Tampaklah
wajahnya menjadi tegang, lebih tegang dari wajah Sutawijaya. Ia melihat para
prajurit bawahannya seakan-akan telah berpihak kepada tamu yang sombong itu.
Dengan demikian, maka seakan-akan ia telah kehilangan kewibawaan bagi para
prajuritnya. Bahkan Ki Demang Prambanan yang semalam membenarkan sikapnya, kini
agaknya telah berganti pendirian. Seakan-akan apa yang dikatakan semalam
hanyalah suatu mimpi yang kecut. Sekarang ia ingin bersikap lain. Besok adalah
soal besok. Sikapnya baru akan dipikirkannya besok juga. Tetapi pemimpin
prajurit itu menjadi agak tenang ketika ia melihat Haspada, Trapsila, dan
beberapa kawan-kawannya berada di tempat itu pula. Kalau ia harus memberikan keputusan,
sedang para prajuritnya tidak dapat dikendalikannya lagi, maka ia akan
memerlukan bantuan anak-anak muda Prambanan itu. Bahkan mungkin ia memerlukan
anak-anak Sangkal Putung ini. Ya, anak-anak Sangkal Putung ini mungkin akan
bersedia membantunya. Kini iring-iringan itu sudah semakin dekat. Ketika wajah
mereka menjadi kian jelas, maka tampaklah bibir Argajaya dihias oleh senyum
yang cerah. Sejenak orang-orang yang telah menanti di pinggir Kali Opak itu
terpesona melihat kehadiran Argajaya bersama orang-orang yang mengiringinya,
seakan-akan kehadiran seorang pemimpin bersama dengan anak buahnya, sehingga
mereka itu pun kemudian terdiam seperti
orang-orang tersentuh kaki.
Yang mula-mula
terdengar adalah suara Aryajaya menggelegar,
“He, agaknya
kau telah datang lebih dahulu anak muda. Ternyata kau benar-benar anak jantan.
Aku sangka kau semalam telah melarikan diri meninggalkan Prambanan kembali ke
rumahmu, bersembunyi di balik selendang ibumu.”
Alangkah
menyakitkan hati. Tetapi Sutawijaya tidak menjawab. Ditungguinya sampai
Argajaya semakin dekat. Sejenak kemudian mereka telah melintasi rumput-rumput
kering di tebing, kemudian berloncatan turun ke tepian. Para pengikutnya pun segera berloncatan pula. Dan tanpa mereka
sadari, mereka telah membuat suatu kelompok yang seakan-akan terpisah dari
kelompok yang lebih dahulu datang. Bahkan di antara mereka tampak satu dua
anak-anak muda Sembojan dan anak-anak muda Tlaga Kembar yang semalam saling
mengejar dan berkelahi. Ternyata pendapat mereka kini telah terbelah silang
menyilang. Anak-anak Sembojan dan anak-anak Tlaga Kembar sebagian telah datang
lebih dahulu bersama Haspada dan Trapsila. Sejenak kemudian kembali terdengar
suara Argajaya,
“Bagaimanapun
juga aku merasa kagum akan kejantananmu. Meskipun kalian menyadari apa yang
kalian hadapi, tetapi kalian tidak melarikan diri. Sidanti akan bergembira
mendengar berita ini. Aku harap ia akan mendengarnya kelak. Dari salah seorang
di antara kalian atau dari aku sendiri.”
Sutawijaya
masih berdiam diri. Ia tegak seperti tonggak. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru
berdiri beberapa langkah di belakangnya. Ketika Argajaya menjadi semakin dekat.
Dilihatnya kini bahwa di tangan Sutawijaya tergenggam sebatang tombak pendek
pula. Ia telah melihat tombak itu sejak ia masih berada di atas tebing. Tetapi
baru kini ia melihat ujung dari tombak yang pendek itu. Tanpa disadarinya
dipandanginya ujung tombaknya sendiri. Tombaknya adalah tombak pusaka. Tetapi
dalam sekilas itu ia dapat melihat, bahwa tombak anak muda itu pun bukan kebanyakan tombak. Apalagi kemudian
ia melihat Agung Sedayu dan Swandaru yang berdiri tidak jauh dari Sutawijaya
itu. Di lambungnya tergantung pedang, dan di punggungnya menyilang busur. Hati
Argajaya menjadi berdebar-debar. Busur itu semuanya berjumlah tiga buah. Pasti
milik ketiga anak itu.
Meskipun
demikian ia bertanya,
“He, dari mana
kau mendapat pinjaman senjata anak muda?”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab,
“Senjataku
sendiri. Apakah senjatamu itu senjata pinjaman?”
Argajaya
terkejut mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba sorot matanya menjadi tajam dan
dengan nada yang berat ia menjawab,
“Pertanyaanmu
terlampau tajam anak muda. Semalam, ketika aku meninggalkan pendapa banjar
desa, hatiku telah sedikit mereda. Aku menganggap bahwa kalian adalah anak-anak
yang patut dikasihani. Meskipun kali ini aku datang dengan senjata di tangan,
tetapi aku telah menjadi lilih. Aku tidak ingin membunuh seperti semalam. Aku
hanya ingin memberimu sekedar peringatan, bahwa kau telah berbuat kesalahan.
Tetapi itu mungkin karena kau sama sekali belum mengenal kami. Aku mengharap
perkenalan pagi ini akan memberimu kesadaran. Kalau kau dan kedua kawan-kawanmu
bersedia minta maaf kepadaku, maka kalian aku anggap tidak bersalah.”
“Terima kasih,
Argajaya,” sahut Sutawijaya. Namun kata-kata selanjutnya sangat mengejutkan,
“Aku sudah
menduga bahwa kau bukan seorang yang terlampau jahat. Kau hanya seorang pemarah
yang tidak dapat mengendalikan diri. Tetapi ingat, sikap yang demikian adalah
berbahaya. Berbahaya bagi orang-orang di sekitarmu dan berbahaya bagi dirimu
sendiri. Seperti kau, maka aku pun kini
sebenarnya sudah kehilangan gairah untuk berkelahi. Dan aku pun akan bersedia memberimu maaf seandainya
kau memerlukannya.”
Darah Argajaya
yang cepat mendidih itu pun tiba-tiba
bergejolak sampai kepalanya. Tombaknya
pun menjadi gemetar dan wajahnya menjadi merah membara. Tiba-tiba ia
berpaling kepada Ki Demang sambil berkata,
“Kau dengar Ki
Demang, apa yang dikatakannya? Apakah salahku apabila aku benar-benar
membunuhnya?”
Ki Demang
tidak segera menyahut. Dilihatnya setiap wajah menjadi tegang. Wajah para
prajurit pun menjadi tegang pula. Bahkan
pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya pun tidak dapat mengerti, kenapa tiba-tiba
sikap anak muda itu menjadi semakin keras dan semakin tajam.
“Apa katamu,
he Ki Demang?”
Demang
Prambanan terkejut. Tergagap ia menjawab,
“Ya, ya,
salahnya. Salahnya sendiri. Aku telah mendengar kata-katanya yang tidak sopan
itu.”
“Nah,”
tiba-tiba pemimpin prajurit yang lain, yang datang bersama Argajaya menyambung,
“apa kataku.
Ia telah menghina Prambanan dalam keseluruhan.”
Argajaya
itu pun kemudian mengangkat wajahnya.
Sambil memandang berkeliling ia berkata,
“Lihatlah,
betapa anak muda dari Sangkal Putung itu telah mencoba membunuh dirinya
sendiri. Kalian menjadi saksi, bahwa aku bersedia memaafkannya, apabila ia
dengan baik dan penuh penyesalan minta kepadaku. Tetapi kalian telah mendengar
jawabnya.”
Terdengar
suara bergumam di belakang mereka. Salah seorang yang telah setengah baya
berkata lirih,
“He, anak yang
keras kepala. Kenapa kesempatan itu dilewatkannya.”
Yang terdengar
kemudian adalah suara Argajaya pula,
“Sekarang
adalah terserah kepadaku. Bagaimanapun aku akan menyelesaikan persoalan ini.”
Kembali setiap
mulut menjadi terbungkam. Namun setiap jantung berdetak semakin keras. Sebagian
dari mereka menyesali anak muda dari sangkal putung itu. Kesempatan yang
diberikan oleh Argajaya akan dapat menyelamatkan mereka. Tetapi kesempatan itu
tidak dipergunakannya.
Argajaya
itu pun kemudian maju beberapa langkah
mendekati Sutawijaya yang berdiri tegak seperti patung. Wajahnya yang merah
membara itu pun kemudian tersenyum,
meskipun terasa betapa senyum itu hambar. Katanya,
“Hem, kau
memang anak muda yang keras hati. Kau ingin tahu dari mana aku mendapat
senjata? Senjata ini adalah pusaka dari Menoreh. Kau ingin tahu namanya?
Namanya Kiai Petit. Apalagi? Bertanyalah sebelum kau kehilangan kesempatan.”
“Tidak,” jawab
Sutawijaya singkat.
“Nah, sekarang
katakan kepadaku, siapakah yang memberimu senjata?” bertanya Argajaya. Tetapi
matanya berkisar memandangi pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya.
Dada prajurit itu berdesir. Ia merasa, bahwa Argajaya berprasangka kepadanya,
dengan demikian, apabila pekerjaan Argajaya atas Sutawijaya selesai, maka
hubungannya dengan tamu itu pasti tidak akan baik. Bahkan mungkin anak buahnya
sendiri pun akan bersikap tidak baik
pula kepadanya.
Tetapi ia
menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar jawaban Sutawijaya,
“Setiap
laki-laki Sangkal Putung pasti bersenjata. Sebab laki-laki Sangkal Putung
adalah pengawal-pengawal kademangannya menghadapi sisa-sisa laskar Arya
Penangsang.”
Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sekali lagi ia melihat ujung tombak Sutawijaya.
Tombak itu bukan tombak kebanyakan.
“Bagus,” sahut
Argajaya.
“Mungkin kau
pernah mendapat ilmu dari Sidanti. Mungkin dari para prajurit yang lain. Tetapi
ternyata kau menjadi terlampau sombong. Sekarang tentukan sikapmu yang
terakhir.
“Aku menunggu
kau minta maaf kepadaku dan berjanji untuk bertingkah laku baik dan sopan,”
jawab Sutawijaya.
Jawaban itu
telah menutup setiap kemungkinan untuk mengurungkan perkelahian. Argajaya
benar-benar menjadi gemetar. Matanya menyala seperti bara. Terdengar giginya
gemeretak. Dan dengan suara gemetar ia berkata,
“Bersiaplah.
Kau telah membakar kemarahanku kembali setelah aku bersedia memaafkanmu.”
“Kau juga
telah membuat aku marah,” sahut Sutawijaya lantang.
Argajaya sudah
tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Selangkah ia maju, dan tombaknya pun kini telah terangkat setinggi dada. Namun
Sutawijaya telah bersiap pula. Sekali ia berpaling kepada Agung Sedayu dan
Swandaru. Kedua kawannya itu pun berdiri
dengan tegangnya. Namun ketika Sutawijaya telah hampir mulai, mereka melangkah
menjauhi satu sama lain, sekan-akan mereka ingin melihat perkelahian itu dari
arah yang berbeda. Argajaya dan Sutawijaya kini telah berdiri berhadap-hadapan.
Tombak-tombak mereka telah mulai bergetar karena getar jantung mereka yang
menjadi semakin cepat. Tetapi agaknya mereka masih saling menanti agar
lawan-lawannyalah yang mulai menggerakkan senjatanya. Matahari kini telah
merayap naik semakin tinggi. Warna-warna merah di langit telah menjadi semakin
bening. Lamat-lamat terdengar burung-burung liar menyambut pagi. Sama sekali
tidak dihiraukannya ujung-ujung tombak yang telah siap berbicara di pinggir
Sungai Opak. Sutawijaya-lah yang kemudian sekali lagi memancing kemarahan
lawannya supaya kehilangan pengekangan diri. Ia mengharap bahwa lawannyalah
yang akan menyerangnya lebih dahulu. Karena itu maka katanya,
“Argajaya.
Ternyata kau tidak mendengarkan kata-kataku. Karena itu, maka aku tidak akan
dapat memberimu ampun lagi, meskipun kau paman Sidanti. Aku ingin
memberitahukan pula kepada Sidanti, bahwa sikap yang demikian seperti yang kau
lakukan, adalah sikap yang tercela. Apalagi kau ingin membuat daerah ini
menjadi semakin parah dengan segala macam kemaksiatan itu.”
Ternyata
Sutawijaya berhasil. Ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Dengan garangnya
Argajaya meloncat sambil menggerakkan tombaknya langsung mematuk dada
Sutawijaya.
Semua orang
yang melihat gerakan itu terkejut. Mereka yang sedang berdebar-debar mendengar
kata-kata Sutawijaya yang tajam itu dengan serta-merta telah melihat Argajaya
meloncat secepat kilat. Namun Sutawijaya telah benar-benar siap menanggapi
setiap serangan. Juga serangan Argajaya ini
pun telah diperhitungkannya. Dengan demikian, maka dengan tangkasnya
pula ia menarik tubuhnya selangkah ke samping. Dengan merendahkan dirinya
sedikit, Sutawijaya-lah yang kini mencoba menusuk lambung lawannya. Argajaya
terkejut melihat sambutan itu. Menilik tata geraknya, maka Argajaya menyadari,
bahwa lawannya bukanlah sekedar seorang anak muda yang pernah belajar bermain
tombak pada seorang prajurit saja, meskipun prajurit itu bernama Sidanti.
Karena itu, maka sikap Sutawijaya itu merupakan peringatan baginya, untuk
bersikap lebih hati-hati dan waspada. Sambil menggeliat, Argajaya menghindarkan
dirinya. Dengan tombaknya ia menangkis serangan Sutawijaya. Dengan demikian
maka kedua tombak itu pun bersentuhan. Namun dari sentuhan itu terasa betapa
kekuatan masing-masing seakan-akan telah menjalari tangan-tangan lawannya. Argajaya
terkejut ketika terasa tangannya tergetar. Sentuhan itu bukanlah suatu benturan
yang keras. Namun sentuhan itu telah cukup menggetarkan tangannya. Karena itu,
maka kemarahannya pun menjadi semakin
memuncak. Agaknya di tempat ini ia akan bertemu dengan seorang lawan yang tangguh
di luar dugaannya. Sutawijaya pun
merasakan sentuhan itu. Ia pun merasakan
betapa kekuatan tangan Argajaya mengguncang tangannya. Tetapi tiba-tiba
Sutawijaya tersenyum di dalam hatinya. Ternyata Argajaya bukanlah orang yang
perlu ditakuti. Ia merasa bahwa setidak-tidaknya ia mempunyai kesempatan yang
sama dengan lawannya. Maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru.
Argajaya benar-benar tidak hanya menakut-nakuti namanya saja. Tetapi tandangnya
benar-benar ngedab-edabi. Seperti rajawali di langit ia menyambar-nyambar
lawannya, kemudian tombaknya mematuk-matuk seperti anak panah yang meluncur
dari segenap penjuru. Orang-orang Prambanan yang telah mengaguminya menjadi
semakin kagum. Mereka tidak menyangka, bahwa sampai sedemikian dahsyatnya tata
gerak tamunya yang perkasa itu. Tetapi ketika mereka telah menyaksikannya
sendiri, maka kekaguman mereka menjadi kian bertambah-tambah. Para
prajurit pun menjadi kagum pula. Mereka
telah sering melihat peperangan yang dahsyat. Bahkan mereka pun pernah melihat
beberapa orang yang luar biasa berkelahi. Namun mereka masih juga menarik nafas
dalam-dalam ketika mereka melihat betapa Argajaya menggerakkan tombaknya. Tetapi
lebih daripada itu, di samping kekaguman mereka yang menggetarkan dada mereka,
maka lebih-lebih lagi anak muda dari Sangkal Putung itu. Para prajurit itu pun berdiri dengan dada berdebar-debar
melihat tandang Sutawijaya. Tanpa mereka sangka-sangka dengan lincahnya anak
muda itu dapat mengimbangi tata gerak Argajaya yang garang. Sehingga semakin
seru perkelahian itu, maka semakin keraslah degup jantung mereka. Dan semakin
keraslah dentang pertanyaan di dalam kepalanya,
“siapakah
sebenarnya anak-anak muda itu?”
Pemimpin
prajurit yang seorang, yang datang bersama-sama dengan Sutawijaya pun menjadi heran bukan buatan. Tetapi tanpa
disadarinya sendiri seolah-olah ia berdiri di pihak Sutawijaya. Karena itu,
tanpa disadarinya pula, merayaplah perasaan bangga membakar hatinya. Tanpa
disadarinya ia mengharap agar Sutawijaya mampu mempertahankan dirinya,
setidak-tidaknya menyelamatkan diri sendiri. Adalah di luar sadarnya, bahwa
ia pun kemudian tidak menyenangi sikap
tamunya yang merasa dirinya melampaui segala-galanya itu. Argajaya ternyata
bukan orang yang luar biasa. Kini ia dihadapkan pada seorang anak muda dan anak
muda itu ternyata mampu mengimbanginya. Bukan saja prajurit yang seorang itu
yang menjadi tegang. Prajurit-prajurit yang lain pun menjadi tegang pula. Ki Demang Prambanan
dan anak-anak muda kademangan itu, Haspada dan Trapsila melihat perkelahian itu
dengan tanpa berkedip. Dadanya serasa dihinggapi perasaan yang aneh. Sutawijaya
telah benar-benar mempesona mereka. Setiap orang yang melihat perkelahian itu
telah dicengkam pula oleh suatu perasaan yang tidak mereka mengerti sendiri.
Wajah-wajah mereka semakin lama menjadi semakin tegang, ketika tombak-tombak di
arena perkelahian itu pun menjadi
semakin cepat berputar. Adalah suatu kebetulan bahwa Argajaya pun seorang yang menguasai senjatanya yang
berbentuk tombak itu, seperti yang dipergunakan oleh Sutawijaya pula. Kedua
tombak itu seolah-olah menari-nari berloncat-loncatan, bersentuhan dan bahkan
berbenturan satu dengan yang lain. Kedua pasang tangan yang menggerakkannya
adalah pasangan-pasangan tangan yang benar-benar cekatan dalam olah senjata. Argajaya
sama sekali tidak menyangka, bahwa ia akan bertemu dengan anak muda seperti
yang sedang dilawannya itu. Hampir-hampir ia tidak dapat mempercayainya bahwa
ujung tombaknya sama-sekali tidak berdaya menyentuh tubuh lawannya. Bahkan
sekali-sekali tubuhnya sendiri hampir-hampir tersobek oleh senjata lawannya.
Dengan demikian, maka kemarahannya pun setiap saat menjadi kian berkobar di
dalam dadanya. Namun betapapun ia berusaha, tetapi kemungkinan dari akhir
perkelahian itu tidak ditentukannya sendiri. Akhir dari perkelahian itu adalah
tergantung pada kedua belah pihak. Adalah sudah sewajarnya apabila
masing-masing pihak ingin segera memenangkannya dalam keadaan serupa itu.
Apalagi Argajaya. Tetapi lawannya bukan sekedar menerima nasib yang ditentukan
olehnya. Bahkan lawannya pun mempunyai
kemungkinan yang sama besarnya dari pada dirinya sendiri. Pasir tepian itu pun kemudian menjadi seolah-olah diaduk
dengan bajak. Bekas-bekas kaki mereka telah membuat sebuah arena yang luas.
Keduanya berloncatan menghindar dan menyerang. Berputar dan berguling-guling di
pasir. Dengan demikian, maka pakaian-pakaian mereka menjadi kotornya. Pakaian
yang basah karena keringat itu, kemudian dilekati oleh pasir yang lembut.
Orang-orang
Prambanan benar-benar seperti dicengkam oleh suatu perasaan yang dahsyat.
Perkelahian itu adalah perkelahian yang belum pernah mereka saksikan.
Perkelahian antara dua orang yang perkasa. Jangankan orang-orang Prambanan
bahkan para prajurit-prajurit Pajang pun
menjadi kagum melihat tata gerak mereka. Argajaya yang marah itu pun berjuang semakin dahsyat. Berbagai
perasaan telah mendorongnya untuk memenangkan perkelahian itu. Ia adalah
seorang tamu yang dihormati, yang telah menunjukkan beberapa kelebihan yang mengherankan
orang-orang Prambanan dan prajurit-prajurit Pajang di Prambanan. Dengan
tombaknya itu ia mampu membunuh seekor harimau yang besar dan garang. Sedang
kini yang dihadapinya hanyalah seorang anak muda Sangkal Putung. Perasaan malu
telah menggelitik hatinya. Sudah sekian lama ia berkelahi, tetapi belum tampak
suatu tanda bahwa ia mampu menguasai keadaan. Tetapi ia tidak menyadari
siapakah yang berdiri sebagai lawannya. Sutawijaya yang setelah berkelahi
beberapa lama, segera dapat mengerti sampai di mana kemampuan Argajaya.
Meskipun perkelahian itu masih berlangsung dengan serunya, seakan-akan dua
tenaga raksasa yang sedang beradu, namun kembali Sutawijaya tersenyum di dalam
hati. Ia kini tahu benar bagaimana ia harus menghadapi Argajaya. Di dalam hatinya
Sutawijaya itu bergumam,
“Belum
melampaui Sidanti.”
Meskipun
demikan Sutawijaya tidak berusaha secepatnya memenangkan perkelahian itu.
Kekecewaannya atas keadaan yang telah disaksikannya di kademangan ini telah
memaksanya berbuat sesuatu. Ia ingin menguasai perhatian orang-orang Prambanan
atasnya, supaya mempunyai wibawa yang cukup untuk dapat berbuat sesuatu. Sebagai
sorang putra dari Panglima Wira Tamtama Pajang, maka keadaan di Prambanan telah
benar-benar menyinggung perasaan Sutawijaya. Sikap para prajurit dan sikap anak-anak
mudanya. Karena itu selagi ia berada di Prambanan maka apa yang dapat dilakukan
untuk membantu tugas ayahnya, akan dilakukan. Ia ingin mempergunakan caranya
sendiri untuk itu. Cara seorang anak muda pula. Orang-orang yang berdiri di
seputar arena perkelahian itu masih melihat perkelahian itu berlangsung dengan
sengitnya. Mereka masih melihat keduanya meloncat-loncat dan berputar-putar.
Menyerang dan menghindar. Mereka masih melihat kedua batang tombak itu saling
berbenturan dan mematuk-matuk dengan dahsyatnya. Sekali-kali terdengar Argajaya
menggeram. Dengan garangnya ia menerkam dada Sutawijaya dengan ujung tombaknya.
Tetapi setiap kali tombaknya selalu berputar dari arahnya. Ternyata tombak
Sutawijaya sangat lincah. Lebih lincah dari tombak Argajaya.
Ketika
perkelahian itu telah berlangsung beberapa lama, maka sampailah Sutawijaya pada
rencananya untuk mempengaruhi orang-orang Prambanan. Argajaya telah mendapat
kehormatan yang luar biasa karena orang-orang Prambanan telah melihat
ketrampilannya bermain dengan senjatanya. Menurut mereka, Argajaya dapat
berburu harimau hanya dengan tombak pendek itu. Tetapi kini Sutawijaya tidak
ingin berburu harimau, tetapi dengan tombak pendeknya itu ia ingin menjatuhkan
Argajaya di hadapan orang-orang Prambanan yang mengaguminya. Ia harus membuat
para prajurit itu menilai dirinya, supaya para prajurit itu kemudian
mendengarkan kata-katanya seperti mereka mendengarkan kata-kata Argajaya. Matahari
yang melambung di langit kini sudah menjadi semakin tinggi. Sinarnya menjadi
semakin cerah dan panas. Angin yang bertiup dari Selatan menggerak-gerakkan
daun ilalang dan mengusap wajah-wajah yang tegang di pinggir Kali Opak. Wajah-wajah
yang tegang itu menjadi semakin tegang. Tiba-tiba mereka melihat betapa tata
gerak Sutawijaya menjadi semakin lincah. Tombaknya menjadi semakin cepat
bergetar, berputar dan mematuk dari segenap arah. Sepasang tangan anak muda itu
seakan-akan telah berubah menjadi berpuluh-puluh pasang tangan dengan
berpuluh-puluh tombak di dalam genggaman. Argajaya terkejut pula melihat
perubahan itu. Untuk meyakinkan dirinya, Argajaya terpaksa meloncat surut.
Tetapi ia tidak berhasil memisahkan dirinya dari lawannya yang masih muda itu.
Beberapa kali ia ingin melihat lawannya dan mencoba menilai keadaan. Tetapi beberapa
kali pula lawannya selalu membawanya dalam keadaan yang sulit. Kemarahan
Argajaya pun menjadi semakin memuncak
pula sejalan dengan meningkatnya tata gerak Sutawijaya. Bahkan kemudian anak
muda itu menjadi agak membingungkannya. Sekali-kali ia terpaksa meloncat
jauh-jauh untuk menghindarkan diri dari kebingungan. Namun demikian ia
terlepas, demikian lawannya telah siap memaksanya menjadi sibuk dan bingung
kembali. Sejenak Argajaya masih belum berhasil mengerti, apakah yang sebenarnya
dihadapi. Namun semakin lama, maka orang itu
pun menjadi semakin menyadari keadaannya. Tetapi dengan demikan ia
dihadapkan pada pertentangan di dalam dirinya sendiri. Ia tidak mau melihat
kenyataan itu. Ia tidak mau mengerti apa yang sudah mulai dilihatnya. Dengan
penuh kemarahan ia mendesak setiap perasaan di dalam dadanya yang mengatakan
lawannya adalah anak muda yang pilih tanding.
“Anak setan
itu harus mampus,” geramnya di dalam hati. Ia mencoba membutakan dirinya dari
kenyataan yang dihadapinya. Meskipun setiap kali ia terdesak mundur dan bahkan
beberapa kali ia harus jatuh berguling-guling di atas pasir tepian untuk
menghindari kejaran ujung tombak lawannya, namun ia masih juga sesumbar di
dalam hatinya,
“Kubunuh anak
setan ini apabila ia tidak mau mohon maaf kepadaku.”
Sutawijaya
kini benar-benar sudah sampai pada puncak permainannya. Ia harus meyakinkan
kemenangannya kepada orang-orang Prambanan dan para prajurit Pajang yang
melihat pertempuran itu. Ia tidak sekedar mendapat kesempatan karena kelengahan
Argajaya. Tetapi setiap orang harus yakin bahwa memang anak muda yang menyebut
dirinya pengawal Sangkal Putung itu melampaui ketangkasan dan keperwiraan
lawannya. Meskipun demikian Sutawijaya masih sadar, bahwa ia tidak sepatutnya
menciderai lawannya. Ia ingin manunjukkan sikap yang baik. Namun ia mempunyai
pula maksud yang lain. Karena itu maka ia harus menundukkan Argajaya dalam
keadaan hidup.
Dalam
kemarahannya Argajaya menjadi semakin garang. Tandangnya menjadi semakin keras
dan kasar. Tetapi dengan demikian maka ketenangannya pun menjadi semakin kabur. Bahkan yang tampak
kemudian hanyalah nafsunya yang menggelepar di dalam dadanya. Tetapi
kemampuannya sama sekali tidak dapat mengimbanginya. Sutawijaya yang menjadi
semakin yakin dalam menilai lawannya, menjadi semakin matap. Dengan suatu
gerakan yang tiba-tiba ia berhasil mengejutkan Argajaya, sehingga orang itu
meloncat surut. Tetapi dengan tangkasnya anak muda itu memburu, tombaknya
berputar membingungkan. Namun tiba-tiba tombak itu mematuk lambung. Sekali lagi
Argajaya terkejut. Namun ia masih mempunyai kesempatan untuk menangkis serangan
itu. Dengan tombaknya ia berusaha memukul tombak Sutawijaya. Tetapi tombak
Sutawijaya itu tiba-tiba bergetar dan berputar menghindari tombak Argajaya
sehingga kedua tombak itu sama sekali tidak bersentuhan. Dalam keadaan yang
demikian, Sutawijaya mempunyai kesempatan yang baik, selagi Argajaya sedang
dalam batas keseimbangan. Gerakannya yang tidak dapat diperhitungkan oleh
Argajaya telah mendorong orang itu sehingga ia tidak dapat menguasai
keseimbangannya lagi. Dengan susah payah, Argajaya meloncat supaya ia tidak
jatuh. Tatapi dalam keadaan itu, kembali serangan Sutawijaya melandanya. Kali
ini serangan itu benar-benar telah membingungkan Argajaya. Ia tidak mampu lagi
menghindar. Dengan demikian maka kesempatan satu-satunya baginya adalah
menangkis serangan itu. Tetapi dalam pada itu keseimbangannya sudah
hampir-hampir tidak lagi dapat dikuasainya. Demikianlah Argajaya yang garang
itu kini benar-benar dalam keadaan yang sulit. Tombak Sutawijaya yang
menyergapnya seakan-akan telah hampir menghunjam di dadanya. Tetapi Argajaya
tidak mau dadanya dilubangi dengan ujung tombak anak yang menyebut dirinya
pengawal Sangkal Putung itu. Dengan kekuatannya yang disalurkannya pada
tangannya ia memukul tombak Sutawijaya. Namun dalam pada itu dibiarkannya
dirinya terjatuh untuk segera berguling-guling menjauhi lawannya. Tetapi
Sutawijaya tidak melepaskan kesempatan ini. Dengan sekuat tenaga pula ia
membenturkan tombaknya pada tombak lawannya. Ia tidak lagi berusaha menusuk
dada, tetapi ia berusaha melawan pukulan tombak Argajaya. Maka terjadi benturan
yang keras di antara keduanya. Tetapi keadaan Sutawijaya jauh lebih baik dari
lawannya, sehingga karena itu, maka Sutawijaya mempunyai kesempatan lebih
banyak untuk mengerahkan kekuatannya. Maka terjadilah hal yang tidak
tersangka-sangka bagi orang-orang yang mengerumuni perkelahian itu. Apalagi
bagi mereka yang membabi buta mengagumi Argajaya yang perkasa itu. Dengan dada
yang berdebar-debar dan darah yang seakan-akan membeku mereka melihat tombak
Argajaya terlontar dari tangannya dan terjatuh beberapa langkah daripadanya.
Argajaya
sendiri terkejut bukan buatan. Tetapi tangannya yang nyeri itu sama sekali
sudah tidak mampu untuk menahan senjatanya. Dengan kemarahan yang memuncak
sampai ke ubun-ubun ia menggeram keras. Beberapa kali ia berguling menjauhi
lawannya, kemudian seperti singgat ia melenting dengan lincahnya. Namun kembali
ia terkejut bukan kepalang. Kembali dadanya berguncang seperti tertimpa
reruntuhan Candi Jonggrang yang megah itu ketika tiba-tiba, tepat pada saat
kakinya berjejak di atas tanah, terasa ujung tombak Sutawijaya menyentuh
bajunya, tepat di lambungnya. Dengan suara perlahan-lahan namun penuh tekanan
terdengar suara anak muda itu,
“Sayang.
Tombakmu kau lempar tuan.”
Argajaya
berdiri tegak seperti patung. Ujung tombak Sutawijaya kini tidak sekedar
menyentuhnya, tetapi ujung tombak itu kini tertekan pada lambungnya. Betapapun
kemarahan membakar jantungnya, namun Argajaya terpaksa tidak berbuat sesuatu.
Ia berdiri saja dengan mata yang menyala. Bukan saya Argajaya yang berdiri
tegak seperti patung di tengah-tengah arena perkelahian itu. Orang-orang yang
menyaksikan perkelahian dengan jantung yang tegang itu pun seakan-akan merasa ujung tombak itu
melekat di lambung masing-masing, sehingga tak seorang pun di antara mereka yang berani menggerakkan
tubuhnya. Bahkan nafas mereka pun
menjadi tersendat-sendat dan dada mereka
pun menjadi sesak. Tombak itu masih melekat di lambung Argajaya. Ujung
tombak itu sama sekali tidak bergetar. Tangan yang menggengamnya adalah tangan
yang yakin akan kemampuannya. Arena yang hiruk-pikuk oleh perkelahian itu, kini
menjadi sunyi tegang. Wajah-wajah yang membeku, tubuh-tubuh yang kaku dan nafas
yang tersengal-sengal tampak di seputar Argajaya dan Sutawijaya yang masih
belum berkisar dari tempatnya.
Yang terdengar
memecah kesepian itu adalah suara Sutawijaya,
“Bagaimana,
Tuan?”
“Bunuh aku,”
suara itu bergetar di antara bibir Argajaya yang dibakar oleh kemarahannya.
Wajahnya yang membara kini bagaikan menyala.
“Hem,”
Sutawijaya menarik nafas,
“Kau
benar-benar berhati jantan. Tetapi aku bukan pengecut yang membunuh lawan tanpa
senjata.”
“Bunuh, jangan
menghina.”
“Tidak. Aku
hanya akan membunuhmu selagi senjatamu masih di tangan.”
Argajaya tidak
menjawab. Kemarahannya hampir meledakkan dadanya. Tetapi ujung tombak itu masih
melekat di lambungnya.
Tiba-tiba
semua semua orang yang berdiri di sekitar keduanya terkejut. Agung Sedayu dan
Swandaru pun terkejut ketika mereka
mendengar Sutawijaya berkata,
“Kalau kau
masih berani, ambil senjatamu. Aku akan membunuhmu apabila kau masih berani
melawan aku.”
Bukan main
panas hati Argajaya, seakan-akan hati itu kini berpijar. Terdengar ia
menggeram. Namun sekali lagi telinganya mendengar Sutawijaya berkata,
“Ambil
tombakmu, supaya aku dapat membunuhmu. Kalau kau tidak berani maka pergilah.
Kembali ke ibumu dan sembunyi di belakang selendangnya.”
Argajaya tidak
dapat lagi menahan hatinya. Tiba-tiba kakinya terayun memukul tombak
Sutawijaya. Namun Sutawijaya sudah bersiaga. Diangkatnya tombaknya, sehingga
ujung kaki itu sama sekali tidak menyentuh senjatanya. Sambil tersenyum ia
meloncat mundur dan berkata lantang,
“Bagus. Kau
ternyata bukan seorang pengecut. Aku beri kesempatan kau memungut senjata itu.
Kita berhadapan dengan senjata masing-masing di tangan.”
“Kau akan
menyesal anak iblis!” geram Argajaya.
Sutawijaya
masih tersenyum. Ia berdiri tegak sambil menunjuk tombak Argajaya,
“Ambil.
Ambilah. Aku tidak akan menusuk punggungmu selagi kau membungkuk memungut
tombak itu.”
“Kau
benar-benar akan menyesal. Ingat, aku tidak akan memberi kau kesempatan. Aku
benar-benar akan membelah dadamu.”
Sutawijaya
tertawa. Selangkah ia mundur, sambil berkata,
“Ambillah.
Ambillah jangan ragu-ragu. Ada dua kesempatan yang aku berikan kepadamu kini.
Mengambil senjata itu untuk melawan dan kemudian mati, atau berjongkok minta
ampun kepadaku. Pengawal Kademangan Sangkal Putung.”
Kata-kata itu
serasa merontokkan jantung Argajaya. Sekali ia meloncat dengan lincahnya dan
tombaknya kini telah digenggamnya kembali. Tanpa menunggu lebih lama lagi,
Argajaya pun telah mulai perkelahian itu
kembali. Tombaknya kembali berputar dan mematuk-matuk lawannya. Tandangnya yang
dilambari kemarahan yang memuncak tanpa terkendali benar-benar mengerikan.
Tetapi justru karena itu, maka perhitungannya
pun menjadi semakin kabur. Tanggapannya atas lawannya yang masih muda
menjadi kabur pula.
Sutawijaya
melayaninya dengan tenang. Semakin garang lawannya maka ia pun menjadi semakin tenang. Ia semakin banyak
melihat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Argajaya, justru karena
kemarahan itu. Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu benar-benar
dicengkam oleh ketegangan yang memuncak pula. Beberapa orang menjadi kabur
menilai perkelahian itu. Beberapa orang menjadi bingung dan beberapa orang
menjadi gelisah. Terutama para prajurit Pajang di Prambanan. Kemenangan bagi
Sutawijaya berarti penghinaan pula bagi mereka itu. Apalagi kemudian Argajaya
terbunuh, maka mungkin sekali mereka pun
akan mendapat bencana. Ketika terpandang olehnya pemimpinnya yang datang
bersama-sama dengan anak muda yang berkelahi itu, maka dada mereka berdesir.
Apakah kira-kira yang akan dilakukannya? Para prajurit itu merasa, bahwa
sedikit banyak mereka telah menentang atau mengabaikan pemimpinnya itu. Tetapi
yang mereka cemaskan itu pun mendekati
kenyataan. Argajaya kembali terdesak. Orang yang garang itu hampir-hampir tidak
mendapat kesempatan untuk berbuat apapun. Sekali lagi orang-orang yang
mengerumuni arena itu menahan nafas ketika mereka melihat Argajaya terdesak
jauh ke belakang. Orang itu terpaksa meloncat-loncat dan terus-menerus
menghindar mundur. Sedang Sutawijaya pun
nampaknya menjadi garang dan berbahaya. Akhirnya sekali lagi mereka melihat
sebuah serangan Sutawijaya membadai. Argajaya yang menjadi semakin lemah
kehilangan setiap kesempatan untuk menghindar. Maka terulanglah apa yang pernah
terjadi. Tombak Sutawijaya memukul tangkai tombak Argajaya, sehingga tombak
pendek itu sekali lagi terlepas dari tangannya. Dengan gerak naluriah Argajaya
meloncat mundur. Tetapi kali ini Sutawijaya tidak mengejarnya. Kali ini
Sutawijaya tidak menekankan ujung tombaknya ke dada lawannya. Dibiarkannya
lawannya berdiri tegak dengan nafas terengah-engah. Sutawijaya memandanginya
dengah wajah terangkat. Dengan nada suara yang tinggi ia bertanya,
“He, kenapa
tombakmu kau lepaskan lagi, Tuan?”
Argajaya tidak
menjawab.
Sutawijaya
yang telah menjadi cukup hangat hatinya bertanya,
“Apakah kau
mencoba menyelamatkan dirimu dengan cara pengecut itu?”
Terdengar gigi
Argajaya gemeretak.
“Kau tahu aku
tidak akan membunuh orang yang tidak bersenjata. Karena itu ketika aku hampir
berhasil membunuhmu kau lepaskan senjatamu,” desis Sutawijaya.
Argajaya
menggeram karena marah. Terasa seakan-akan di dalam dadanya berpijar segumpal
bara. Tetapi ia tidak dapat menumpahkan kemarahannya.
“Ambil
senjatamu kalau kau laki-laki,” desis Sutawijaya.
Tetapi harga
diri Argajaya menyentak di dalam hatinya. Katanya kasar, “Ternyata kau pun pengecut. Kau tidak berani melihat darah.
Kalau kau jantan, bunuh aku tanpa memejamkan mata.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Darah mudanya tersentuh. Tetapi kemudian ia tertawa
sambil berkata,
“Kau
benar-benar berani. Kalau demikian, apakah kau tidak sengaja melepaskan
tombakmu?”
Pertanyaan itu
tidak kalah tajamnya menusuk jantungnya. Sekali lagi ia menggeram. Tetapi ia
tidak dapat berbuat sesuatu. Dengan demikian, maka alangkah sakit hatinya.
Lebih baik dadanya segera ditembus senjata dari pada menerima penghinaan itu.
Tetapi
Sutawijaya sama sekali tidak ingin membunuhnya. Sekali lagi ia akan meyakinkan
sikap lawannya. Katanya,
“Aku beri kau
kesempatan sekali lagi. Ambil tombakmu.”
“Tidak!” sahut
Argajaya tegas.
“Aku akan mati
bersama harga diriku,” sambungnya.
“Apakah kau
akan minta maaf ?” bertanya Sutawijaya.
“Tidak. Aku
tidak akan minta maaf. Aku masih menunggu kau minta maaf kepadaku. Dan aku akan
memaafkanmu. Kalau tidak maka sikapku tidak akan berubah. Matilah yang merubah
pendirianku itu.”
“Bagus. Kau
adalah seorang yang berani dan sombong,” sahut Sutawijaya.
“Tetapi
sayang. Aku tidak akan membunuhmu. Sudah aku katakan, aku tidak dapat membunuh
orang yang tidak bersenjata.”
“Pengecut. Kau
tidak berani melihat darah musuhmu. Apalagi darahmu sendiri. Setetes darah dari
tubuhmu, akan menjadikan kau mati ketakutan.”
“Untunglah,
kau tidak berhasil meneteskan darahku,” sahut Sutawijaya pula.
Kembali
Argajaya menggeram. Darahnya serasa mendidih dan kepalanya seakan-akan menyala.
“Aku beri
kesempatan kau untuk lain kali. Kau dapat mengambil senjatamu dan pergi
meninggalkan Prambanan.”
“Sekehendakku.
Aku bukan bawahanmu, bukan budakmu. Kalau kau tidak senang melihat aku di sini,
bunuhlah aku, aku tidak takut. Tetapi jangan mencoba memerintah.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Orang itu benar-benar keras kepala. Dengan wajah yang
bersungguh-sungguh Sutawijaya berkata,
“Kau harus
pergi meninggalkan Prambanan.”
“Jangan kau
ulangi, anak setan! Itu urusanku.”
“Baik. Apabila
kau tidak akan pergi terserah kepadamu. Ternyata kau tidak mempunyai rasa harga
diri seperti yang kau ucapkan. Kau sama sekali tidak malu melihat
berpasang-pasang mata menyaksikan kekalahanmu.”
Kata-kata
Sutawijaya itu terasa jauh lebih pedih menusuk jantungnya dari ujung tombak.
Karena itu, maka terdengar gemeretak gigi Argajaya mengeras. Namun ia masih
juga berdiri tak bergerak.
“Nah, apakah
kau akan tetap tinggal di sini?” bertanya Sutawijaya.
“Itu urusanku,
tahu!” bentak Argajaya.
“Jangan kau tanyakan
lagi. Aku akan tetap tinggal di sini atau aku akan pergi adalah sepenuhnya
tergantung padaku. Kalau kau tidak senang melihatnya, kau dapat membunuh aku.
Ancaman apa pun yang kau ucapkan sama sekali tidak bernilai bagiku.”
Sutawijaya
menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menguasai perasaannya yang mulai
bergetar. Aragajaya memang seorang yang keras hati. Ketegangan perasaan
orang-orang yang menyaksikan sikap keduanya
pun menjadi bertambah-tambah. Mereka menjadi heran melihat kenapa
Sutawijaya masih tetap bersabar tidak membunuh lawannya yang keras kepala itu,
tetapi sebagian dari mereka menjadi semakin kagum melihat keberanian Argajaya.
Meskipun tangannya tidak lagi menggenggam senjata tapi ia sama sekali tidak
takut. Para prajurit yang datang bersama Argajaya kemudian dijalari pula oleh
kekerasan hati seperti orang yang dikaguminya itu. Mereka pun tiba-tiba menjadi semakin benci melihat
Sutawijaya yang masih menggenggam tombak. Bahkan ada beberapa orang di antara
mereka yang tanpa sesadarnya bergeser beberapa langkah maju. Seperti juga kedua
kawan Argajaya yang tidak dapat membiarkan pimpinannya dalam keadaan yang sulit
itu. Namun Agung Sedayu dan Swandaru pun
melihat pula gelagat itu. Juga tanpa disadari mereka bergerak selangkah maju.
Bahkan kemudian mereka berdua kini berdiri di dalam lingkaran orang-orang
Prambanan di sekeliling arena.
Keduanya telah
menumbuhkan kebimbangan pula pada orang-orang Argajaya itu. Mereka merasa bahwa
mereka berdua tidak akan dapat mengalahkan kedua anak-anak Sangkal Putung itu.
Tetapi mereka melihat bahwa para prajurit agaknya ada di pihaknya. Namun
pemimpin prajurit yang datang bersama lawan Argajaya itu agaknya berpendirian
lain. Suasana di tepian Kali Opak itu menjadi semakin sepi dan semakin tegang.
Setiap dada bergolak karenanya. Anak-anak muda yang melihat peristiwa itu pun mempunyai tanggapan yang berbeda. Haspada
dan Trapsila beserta beberapa orang kawan-kawannya melihat sikap Sutawijaya
dengan penuh kekaguman dan keheranan. Anak itu pasti bukan sekedar seorang
pengawal dari sebuah kademangan. Tetapi para prajurit yang semakin muak melihat
sikap Sutawijaya pun menjadi semakin
panas. Terdengar beberapa orang berdesis menahan perasaan mereka. Satu dua di
antaranya mereka, tanpa dikehendaki sendiri, telah meraba hulu pedangnya.
Tetapi ketika terpandang oleh mereka itu busur-busur di tangan Agung Sedayu dan
Swandaru, maka mereka masih harus mencoba mengekang perasaan mereka. Pemimpin
prajurit yang datang bersama Sutawijaya
pun melihat keadaan itu. Ia melihat beberapa orang prajurit menjadi
marah atas kemenangan Sutawijaya, apalagi kedua kawan Argajaya. Mereka akan
dapat menemukan titik persamaan kepentingan untuk bersama-sama menentang
Sutawijaya dan kedua kawannya. Sepuluh orang prajurit dan tiga orang tamu itu pasti
akan mempu melawan Sutawijaya dan kedua kawannya. Lalu bagaimana dengan
dirinya? Tiba-tiba pemimpin prajurit itu melihat Haspada dan Trapsila dan
beberapa anak-anak muda pun melangkah
maju. Mereka melihat wajah-wajah anak-anak muda itu menjadi tegang pula
setegang wajah-wajah prajurit Pajang yang berdiri di sisi yang lain.
“Apakah
perkelahian ini harus diikuti oleh pertempuran yang akan berakibat terlampau
parah?” desis prajurit itu dalam hatinya.
“Bagaimanakah
aku nanti harus mempertanggung jawabkan peristiwa ini seandainya Ki Untara
kelak mendengarnya?”
Pemimpin
prajurit itu menjadi bimbang. Namun ia tidak segera menemukan cara untuk
mengatasi kesulitan itu.
Dalam pada itu
terdengar suara Sutawijaya,
“Jadi kau
tidak mau memenuhi permintaanku?”
“Tidak!” sahut
Argajaya tegas.
“Tetapi
sebaiknya kau pergi dari tempat ini dan menemui Sidanti. Aku ingin mengetahui,
apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh kemenakanmu yang tidak kalah
sombongnya daripadamu itu. Mungkin ia akan malu mendengar kekalahan pamannya
dari seorang pengawal Sangkal Putung, meskipun kau sendiri tidak mengenal malu.
Atau barangkali kau akan dibunuhnya karena kau telah menyuramkan namanya.
Tetapi mungkin pula Sidanti akan, menjadi marah melihat kekalahanmu. Kalau
demikian, maka ia akan berhadapan dengan aku.”
“Tutup
mulutmu!” potong Argajaya. “Jangan menghina anak muda itu pula.”
“Tak ada
kata-kata lain untuk memberi gelar kepadamu dan kemanakanmu itu kecuali
orang-orang yang sombong, tetapi tidak bernilai.”
“Diam!” teriak
Argajaya.
“Kalau kau
marah, ambil tombakmu. Mari kita bertempur. Kalau kau tidak berani mengambil
tombakmu, diam dan dengarkan kata-kataku. Itu adalah urusanku sendiri, apakah
aku akan berbicara terus, apakah aku akan berhenti. Itu adalah tergantung
kepadaku. Tetapi kelebihanku darimu adalah, aku masih mengenggam tombakku.”
Kepala
Argajaya serasa akan meledak karenanya. Hampir-hampir ia meloncat memungut
tombaknya, tetapi harga dirinya telah mencegahnya. Ia telah mendapat kesempatan
satu kali untuk memungut tombak itu. Karena itu ia tidak akan mengulanginya.
Tetapi ia tidak mau mengakui kemenangan lawannya meskipun akibatnya dadanya
akan dibelah dengan ujung tombak. Karena itu, maka yang dapat dilakukan
hanyalah menggeram dan menggeretakkan giginya. Sedang Sulawijaya dengan acuh
tak acuh masih saja membuatnya marah dan malu. Sutawijaya mengharap bahwa
dengan demikian Argajaya akan pergi meninggalkan Prambanan. Ia tidak memikirkan
akibat apa yang dapat terjadi. Bahkan sengaja ia membuat Argajaya kelak
membakar kemarahan Sidanti pula.
Tetapi ia
masih saja melihat Argajaya berdiri tegak. Ia masih melihat Argajaya tidak
bergeser dari tempatnya.
“Kau tidak
juga mau pergi?” bertanya Sutawijaya.
“Semauku,”
jawab Argajaya pendek.
“Baik. Kalau
demikian dengarkan terus kata-kataku. Mungkin kau memang senang
mendengarkannya.”
“Cukup!” semua
orang terkejut mendengar kata-kata itu. Ketika mereka berpaling dilihatnya
pemimpin prajurit yang seorang, yang datang bersama-sama dengan Argajaya dan Ki
Demang Prambanan. Dengan garang ia kemudian berkata,
“Kau membuat
onar di Prambanan. Sepatutnya kau kami tangkap. Kami prajurit Pajang mendapat
tugas untuk menjaga keamanan daerah ini, di samping pemuda-pemuda Prambanan
sendiri. Meskipun kau menang atas tamu kita, tetapi kau tidak akan dapat menghadapi
kami semuanya.”
“Aku tidak
kalah!” teriak Argajaya.
“Benar,” sahut
pemimpin prajurit itu. “Apalagi Ki Argajaya belum mengakui kemenanganmu. Karena
itu menyerahlah.”
Kening
Sutawijaya berdesir. Kemarahannya tiba-tiba melonjak membakar jantungnya. Tetapi
yang terdengar adalah suara pemimpin prajurit yang datang bersamanya.
“Jangan
berbuat sesuatu. Kita telah berjanji untuk menjadi saksi dalam perkelahian ini.
Biarlah yang berkepentingan menentukan sendiri siapakah yang menang dan kalah
secara jantan.”
“Tetapi ia
menghina seorang prajurit Pajang dari Sangkal Puiung pula. Sidanti. Dengan
demikian ia menghina segenap prajurit Wira Tamtama.”
Prajurit yang
datang bersama dengan Sutawijaya terdiam sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab,
“Ia tidak
ingin menghina Wira Tamtama. Itu hanyalah sekedar luapan kemarahannya karena
Argajaya berkeras kepala.”
“Bohong! Aku
tetap akan menangkapnya.”
“Akulah
pemimpin prajurit di sini,” jawab pemimpin prajurit itu tegas-tegas.
“Aku
memerintahkan kalian tinggal diam.”
“Pengecut!”
bantah pemimpin yang lain.
“Lihat para
prajurit telah bersiap. Kalau kau tak mau turut dengan kami melakuan tugas ini,
kami tidak bertanggung jawab. Aku juga dapat menyusun laporan tentang dirimu.
Bahwa kau telah mengingkari tugasmu karena kau ketakutan melihat anak setan
itu.”
Prajurit
itu pun menjadi marah. Tiba-tiba ia
meloncat maju sambil berkata lantang,
“Dengar
perintahku. Kalian tetap di tempat kalian!”
“Tidak! Kami
akan menangkap anak muda itu.”
“Kalau kalian
berkeras kepala, aku berada di pihaknya. Aku berada di pihak anak muda itu.
Kalian memang harus dihukum karena kalian tidak patuh atas perintahku. Atas
nama pimpinan Wira Tamtama di Pajang, khususnya senapati untuk daerah ini, aku
berkata, jangan berpihak. Tetapi kalau kalian, memaksa, maka aku akan bertindak
demi kekuasaan di tanganku dan tanggung jawabku.”
“Jangan
mengigau tentang kekuasaan,” bantah pemimpin yang lain.
“Kau ternyata
menyalah-gunakan kekuasaan itu. Kau tunduk kepada kehendak kami, atau minggir,
supaya kau tidak tergilas oleh sikap kami demi keamanan daerah ini.”
Sutawijaya
yang mendengar pertengkaran itu menjadi kecewa, marah, dan cemas. Ternyata para
prajurit Pajang di Prambanan telah benar-benar kehilangan kepatuhan dan
ketaatannya kepada pimpinannya karena keadaan yang selama ini seolah-olah tidak
terkekang sama sekali. Kini ia melihat pertentangan itu mencapai puncaknya.
Bahkan agaknya bukan saja para prajurit Pajang, namun anak-anak mudanya pun agaknya telah berbeda pendirian dan sikap.
Mereka yang selama ini ikut serta dalam perbuatan-perbuatan yang aneh-aneh
bersama para prajurit itu, pasti akan berpihak kepada mereka. Tetapi anak-anak
muda yang lain sudah barang tentu akan berdiri berseberangan dengan mereka. Kini
Sulawijaya harus berpikir. Kalau ia terseret oleh arus perasaannya, maka ia
akan melihat dua pihak bertempur di pinggir Kali Opak ini. Pasti bukan sekedar
berkelahi sampai banak belur, dengan wajah merah biru bengap. Tetapi dalam
keadaan seperti kini, maka kemungkinannya pasti akan lebih jauh. Bahkan mungkin
akan jatuh korban pula karenanya. Ia terkejut ketika ia mendengar sekali lagi
pemimpin prajurit itu mengancamnya.
“Menyerahlah.
Aku bersama Ki Demang Prambanan mengemban pimpinan di Kademangan ini.”
“Tidak!”
prajurit yang satu itulah yang membantah.
“Kau telah
memberontak atas pimpinanmu.”
Tetapi agaknya
kata-kata itu tidak dihiraukannya. Bahkan pemimpin prajurit yang datang bersama
dengan Argajaya dan Ki Demang Prambanan itu dengan serta-merta menarik
pedangnya. Dada Sutawijaya berdesir ketika ia melihat para prajurit pun menarik pedang masing-masing. Hatinya
menjadi semakin cemas ketika tiba-tiba pemimpin prajurit yang datang
bersamanya pun menarik pedangnya pula.
Apalagi kemudian Sutawijaya melihat Haspada, Trapsila, dan beberapa yang lain
berloncatan pula ke arena. Terdengar Haspada menggeram,
“Kami,
anak-anak Prambanan yang setia pada pengabdian kami telah menjadi muak melihat
tingkah laku kalian di sini. Kini ada alasan bagi kami untuk berbuat sesuatu.
Kalian lelah menolak perintah pimpinan kalian, sehingga dengan demikian kalian
tidak ada bedanya dengan laskar Arya Penangsang yang melawan perintah itu.”
Darah para
prajurit itu pun menjadi semakin panas
karenanya. Mereka pun segera berloncatan
maju dengan senjata di tangan masing-masing. Tetapi mereka tertegun ketika
tiba-tiba mereka melihat ujung-ujung panah seakan-akan mengarah ke titik-titik
mata mereka. Terdengar Agung Sedayu menggeram,
“Aku mampu
melepaskan anak panah ini dalam sekejap dan melepaskan anak panah yang kedua
dalam sekejap berikutnya. Jumlah anak panahku masih melampaui jumlah kalian.
Apalagi bersama anak panah adikku itu.”
Kata-kata
Agung Sedayu itu bergetar di dalam setiap dada para, prajurit Pajang yang sudah
siap menerkam Sutawijaya. Mereka semua kini berdiri tegak bagaikan patung.
Tangan Agung Sedayu yang menggenggam busur dan pangkal anak panah itu tampaknya
benar-benar meyakinkan. Untuk menekankan kata-katanya Agung Sedayu berkata,
“Aku adalah
seorang pemburu. Aku dapat memanah kijang yang sedang berlari kencang. Apalagi
kalian yang berdiri mematung.”
Setiap dada
para prajurit itu pun menjadi semakin
bergelora. Kemarahan telah bergolak di dalam dada itu, tetapi mereka masih juga
harus berpikir akibatnya apabila anak panah itu terlepas dari busurnya. Apalagi
kemudian Swandaru pun telah memasang
anak panahnya pula pada busurnya, sedang busur yang lain bersilang di
punggungnya. Katanya,
“Aku bukan
pemanah sebaik kakakku itu. Tetapi sambil memejamkan mata aku akan dapat
mengenai salah seorang daripada kalian.”
Beberapa orang
prajurit menggeram. Namun mereka terdiam sambil mengerutkan leher mereka ketika
tiba-tiba Swandaru membentak sambil melangkah maju.
“Apakah kalian
tidak percaya? Baiklah aku mencoba.”
Ketika
Swandaru kemudian menarik busurnya, maka para prajurit itu pun semakin berkerut. Adalah terlampau dekat
untuk mencoba menangkis anak panah yang sedang meluncur. Bahkan Sutawijaya pun mengerutkan keningnya melihat sikap
Swandaru. Tetapi tiba-tiba Swandaru tertawa sambil berkata,
“Tidak, aku
tidak akan mendahului. Lebih baik aku menunggu kalian bergerak. Dengan demikian
maka bukan salah kami apabila kalian semuanya akan terbunuh di dalam arena ini.
Untara pun pasti tidak akan menyalahkan
kami, dan Sidanti pasti akan kehilangan kesombongannya apabila pamannya pun terbunuh pula.”
Agung Sedayu
menggigit bibirnya. Adik seperguruannya itu masih juga bergurau dalam keadaan
serupa itu.
Kini sejenak
mereka saling berdiam diri. Para prajurit, Argajaya dan kedua kawannya,
Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru dan anak-anak muda Prambanan, serta Ki
Demang, berdiri saja seolah-olah membeku.
Yang kemudian
memecah kesepian adalah suara Sutawijaya.
“Kami telah
terdorong ke dalam suatu keadaan yang tidak kami kehendaki. Tetapi kalianlah
yang lelah menyeret kami. Karena itu maka kami tidak bertanggung jawab, apa pun
yang akan terjadi. Juga apabila di sini akan jatuh korban kemudian. Sekarang
aku masih tetap ingin melihat Argajaya pergi dari tempat ini. Aku tidak peduli
apakah kemudian ia akan kembali membawa anak muda yang bernama Sidanti.”
Mata Argajaya
itu pun menjadi semakin menyala. Sekali
lagi ia menggeram, “Persetan!”
“Aku tidak
akan membunuhmu Argajaya,” berkata Sutawijaya. “Kalau kau tidak mau pergi,
baiklah. Kau dapat berbuat sekehendakmu. Tetapi aku pun akan dapat berbuat sekehendakku. Aku
dapat membunuhmu, namun itu sama sekali tidak akan aku lakukan karena kau tidak
bersenjata. Tetapi aku mempunyai cara yang lain untuk menghukummu. Aku akan
melukaimu atau membuatmu cacat seumur hidupmu.”
Kini tubuh
Argajaya itu pun menggigil karena
kemarahan yang tidak dapat disalurkannya. Terdengar gemeretak giginya, dan
matanya seakan-akan menyalakan api kemarahannya itu. Tetapi ia tidak beranjak
dari tempatnya. Sutawijaya akhirnya kehilangan kesabarannya. Tiba-tiba ia
meloncat maju. Terdengar beberapa orang menahan kejutan jantungnya. Argajaya
tidak sempat menghindar ketika tangkai tombak Sutawijaya terjulur ke arah
pelipisnya. Gerak itu sama sekali tidak diduganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar