Jilid 018 Halaman 2


Prajurit itu adalah prajurit yang seorang lagi, bukan pemimpin prajurit yang memberikan perintah untuk menangkapnya. Karena prajurit itu kemudian sama sekali tidak mengucapkan kata-kata, maka Sutawijaya  pun meneruskan langkahnya ke tengah-tengah pendapa.
Tamu dari Menoreh yang menantang mereka berkelahi bersama, memandanginya dengan mata yang menyala. Meskipun demikian orang itu masih mencoba tersenyum sambil berkata,
“Hei. Kalian masih sangat muda.”
“Ya,” sahut Sutawijaya, “kami masih cukup muda.”
“Bagus,” desis orang itu. “Tetapi kenapa kalian senang mencari persoalan dengan orang lain. Kenapa kalian senang mencampuri urusan yang bukan urusanmu?”
“Kami tidak sengaja,” sahut Sutawijaya.
“kami tidak sengaja membuat persoalan dan mencampuri urusan orang lain. Tetapi kami juga tidak biasa melihat keanehan-keanehan terjadi?”
“Apa yang aneh menurut pertimbanganmu?” bentak orang itu.
“Banyak sekali.”
“Sebut satu di antaranya.”
“Di antaranya adalah, bahwa kau terlampau merasa dirimu penting dan merasa kau mempunyai wewenang yang berlebih-lebihan. Itu  pun akibat dari sesuatu keanehan. Ternyata kau adalah tamu yang terlampau manja di sini.”
“Diam!” tamu itu  pun berteriak sehingga hampir setiap orang terkejut karenanya. Dengan luapan kemarahan ia membentak-bentak.
“Kau tidak berwenang apa pun berbuat demikian. Itu adalah perbuatan yang menyakitkan hati.”
“Aku tidak peduli,” sahut Sutawijaya dengan tatag. Kini ia tidak lagi berusaha menghindari apapun.
“Tetapi aku tidak senang melihat sikap dan perbuatan yang demikian.”
“Siapkan diri kalian,” teriak orang itu tiba-tiba.
“Kita akan segera mulai. Majulah bertiga bersama-sama.”
“Tidak,” sahut Sutawijaya.
“Kami bukan pengecut yang hanya berani berkelahi bersama-sama. Kalau kau berkelahi sendiri, aku pun akan berkelahi sendiri.”

Darah orang itu telah benar-benar mendidih sampai ke kepala. Sikap Sutawijaya yang tatag berani itu benar-benar telah sangat mengganggunya. Anak yang masih terlampau muda itu seakan-akan merasa dirinya sangat yakin sehingga orang itu berteriak,
“Jangan berbangga karena kawan-kawanmu dapat menang dari kedua kawan-kawanku. Tetapi jangan mimpi bahwa kalian dapat mengalahkan aku. Aku adalah adik Kepala Daerah Perdikan Menoreh. Aku adalah paman Sidanti itu.”
“Pantas,” sahut Sutawijaya tegas.
“Apa?” teriaknya pula.
“Pantas. Benar kata adikku, kau sombong seperti Sidanti.”
Sekali lagi dada orang itu serasa akan meledak. Sekali lagi ia berkata lantang,
“Kita akan mulai. Kalau kau akan berkelahi seorang diri, dan kau menjadi korban kesombonganmu adalah bukan salahku. Semua orang akan menjadi saksi.”
“Baik,” sahut Sutawijaya, yang kemudian berkata kepada Agung Sedayu dan Swandaru,
“Minggirlah. Biarlah orang ini dapat menakar diri.”
Orang itu hampir tidak dapat mengekang dirinya lagi. Hampir-hampir ia meloncat menerkam Sutawijaya. Tetapi untunglah bahwa orang-orang yang duduk di tepi pendapa itu telah mempengaruhinya pula. Agung Sedayu dan Swandaru  pun menjadi kecewa. Mereka masing-masing ingin pula mendapat kesempatan untuk melawan orang itu, tetapi karena mereka mengetahui siapakah Sutawijaya itu, maka mereka  pun tidak membantahnya. Tetapi di pinggir pendapa itu, pemimpin prajurit yang seorang itu  pun tampak menjadi sangat gelisah. Prajurit itu seakan-akan ingin berbuat sesuatu, tetapi ia menjadi ragu-ragu. Kini ia melihat kedua kawan masing-masing pihak telah melangkah menepi dan ia melihat kemarahan telah membara pada wajah keduanya. Apalagi kemudian ia mendengar tamu dari Menoreh itu berteriak,
“Kita bukan anak-anak tanggung, yang hanya suka berkelahi. Tetapi kita masing-masing menyadari akibat daripadanya.”
Sutawijaya menyadari kata-kata itu. Para prajurit dan para pemimpin Kademangan Prambanan  pun menyadarnya pula. Mereka mendengar Sutawijaya menjawab,
“Aku tidak takut menghadapi akibat yang paling parah sekalipun.”
“Bagus,” sahut orang itu. “Kau akan dapat mati di arena ini.”
Perkataan itu telah menegangkan setiap hati yang mendengarnya. Beberapa orang menjadi ngeri dan perempuan-perempuan  pun menjadi lebih baik menyingkir jauh-jauh.

Tetapi sebelum mereka mulai, maka tiba-tiba pemimpin prajurit yang gelisah itu  pun meloncat berdiri. Dengan tegangnya ia berkata,
“Aku tidak ingin melihat pertumpahan darah di kademangan ini. Kau bukan orang Prambanan, kau  pun bukan. Apakah sebabnya kalian akan berkelahi di pendapa Banjar Desa Prambanan? Bahkan sampai mati? Tidak. Aku adalah pamimpin Prajurit Pajang di Prambanan. Aku mengemban tugas di sini. Dan aku melarang kalian berkelahi.”
Wajah tamu dari Menoreh itu  pun menjadi semakin menyala mendengarnya. Tiba-tiba ia memutar tubuhnya sambil menjawab kasar,
“Akulah yang akan berkelahi, bukan kau?”
“Aku mempunyai wewenang di sini. Aku penguasa yang mendapat tugas langsung dari pimpinan prajurit Wira Tamtama, dan bertanggung jawab kepada senapati di daerah lereng Merapi, Untara.”
Orang itu terdiam. Tetapi dada Agung Sedayu berdesir mendengar kata-kata itu. Ternyata daerah ini adalah masih merupakan daerah yang menjadi tanggung jawab kakaknya, Untara. Tetapi prajurit itu sama sekali belum mengenalnya, bahwa ia adalah adik Untara. Apalagi dirinya, bahkan ternyata terhadap Sutawijaya  pun orang itu belum mengenalnya.
Tetapi tamu itu berteriak,
“Apa peduliku. Bahkan seandainya Untara di sini, aku tidak akan takut. Aku akan tetap dalam pendirianku. Berkelahi sampai mati di sini.”
“Aku tidak berkepentingan apakah kau akan mati atau tidak. Tetapi tidak di sini. Tidak di Prambanan.”
Terdengar gigi tamu itu gemeretak. Demikian kemarahan menanjak sampai ke ubun-ubun sehingga sejenak justru ia terdiam. Beberapa orang menjadi heran melihat sikap pemimpin prajurit itu, bahkan kawannya, pemimpin prajurit yang lain  pun menjadi heran melihat sikap kawannya itu. Dengan tidak sesadarnya ia berteriak,
“Biarkan Kakang. Biarkan saja apa yang akan terjadi. Biarkan saja anak-anak Sangkal Putung itu dicekik sampai mampus. Mereka telah menghina kami di sini, menghina tamu-tamu itu dan menghina anak-anak muda Prambanan.”
“Aku tidak mau melihat daerah ini menjadi ajang pertentangan dari orang-orang di luar kademangan. Seolah-olah Prambanan adalah daerah yang paling jelek dari seluruh wilayah Pajang. Siapa yang akan berkelahi bahkan sampai mati, pergi saja ke Prambanan. Di sana perkelahian akan mendapat kehormatan dan dapat dilangsungkan di pendapa banjar desa. Begitu?”
“Tetapi kita tidak bersalah. Para tamu itu  pun tidak.”
“Aku tidak tahu siapa yang bersalah. Itu adalah urusan mereka pula. Kalau mereka ingin menyelesaikan dengan pertumpahan darah, itu terserah. Mereka adalah laki-laki jantan. Tetapi tidak di sini. Tidak di pendapa banjar desa ini.”
“Aku tidak berkeberatan,” bantah pemimpin itu.
“Akulah yang memegang seluruh pimpinan di sini,” sahut yang lain.
“Akulah yang mendapat tanggung jawab tertinggi di sini. Kecuali kalau Bapak Demang berpendapat lain.”

Di antara para penonton di pendapa itu kemudian berdiri seorang yang masih cukup muda. Ternyata ialah Demang Prambanan. Demang yang menurut ukuran umurnya masih terlampau muda. Dengan wajah yang tegang ia kemudian berkata dari tempanya berdiri,
“Aku sependapat dengan kau, Kakang. Aku tidak ingin melihat pendapa ini menjadi ajang perkelahian yang tidak aku mengerti ujung pangkalnya.”
“Nah, kalian dengar,” sahut prajurit itu, kemudian kepada tamu-tamunya dari Menoreh dan kepada Sutawijaya ia berkata,
“Hentikan perkelahian!”
“Tidak!” sahut tamu dari Menoreh.
“Tidak ada alasan untuk mengurungkan perkelahian. Perkelahian ini hanya dianggap selesai setelah aku mematahkan lehernya.”
“Kau dengar perintahku!” tiba-tiba prajurit itu pun berteriak.
“Aku mempunyai kekuasaaan di sini, dan aku mempunyai alat-alat kekuasaan itu. Apakah kau akan melawan segenap prajurit yang berada di wilayah ini?”
Wajah tamu itu  pun kini menjadi semakin membara. Tetapi ia terdiam sesaat. Agaknya pemimpin prajurit itu benar-benar akan bertindak apabila ia membantah perintahnya. Namun sama sekali ia tidak rela melepaskan lawannya. Karena itu maka ia  pun menyahut tidak kalah lantangnya.
“Baik. Baik. Kalian merasa diri kalian orang-orang yang luar biasa karena kalian menjadi prajurit Pajang pula, bahkan prajurit yang mempunyai pengaruh yang cukup.”
Jawaban itu agaknya berpengaruh juga di hati pemimpin prajurit itu. Tetapi ia telah terlanjur mengucapkan larangannya, sehingga karena itu ia tidak akan mungkin mencabutnya kembali. Bahkan sekali lagi ia menegaskan,
“Di Prambanan akulah yang mendapat kekuasaan. Bukan Sidanti.”
“Tetapi Sidanti kelak akan dapat menggantungmu di alun-alun Pajang.”
“Ia bukan Panglima Wira Tamtama, dan bukan pula senapati di daerah ini.”
“Persetan! Tetapi ia berpengaruh.”
“Aku tidak peduli. Tetapi kalian tidak boleh mengotori daerah ini dengan darah yang tidak ada gunanya tertumpah.”
Terdengar gigi tamu itu gemeretak. Tiba-tiba ia berpaling kepada Sutawijaya dan berkata,
“Kita gagal mempergunakan tempat ini. Tetapi kalau kau jantan, perkelahian ini tidak akan urung. Kita akan bertemu besok pagi-pagi di tepi kali Opak di ujung Selatan dari kademangan ini. Kademangan yang dikuasai oleh orang-orang cengeng macam pemimpin prajurit Pajang dan Demang itu. Kau setuju?”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia di hadapkan pada persoalan yang tidak dikehendakinya sama sekali. Tetapi darah mudanya tidak dapat melawan perasaannya sehingga dengan tegas ia menjawab,
“Di mana pun bukan soal bagiku.”
“Bagus!” teriak tamu itu. “Besok pada saat matahari terbit, aku telah menunggumu di sebelah barat perbukitan Baka. Aku akan membawa senjataku, sebuah pusaka berbentuk tombak pendek. Kalau kau mempunyai senjata bawalah. Kalau tidak carilah pinjaman kemana kau suka. Aku telah bertekad, bahwa salah satu di antara dada kita harus berlubang oleh senjata.”

Sekali lagi dada Sutawijaya berdesir. Agaknya orang itu telah benar-benar kehilangan keseimbangan berpikir. Kemarahannya telah mencapai puncak tertinggi, sehingga baginya tidak akan ada pemecahan lain dari pada maut.
“Hem,” Sutawijaya menggeram. Tetapi ia tidak sempat menjawab. Ia melihat tamu itu berputar dan berjalan tergesa-gesa meninggalkannya. Kedua kawannya  pun segera mengikutinya di belakang. Pemimpin prajurit itu berdiri saja termangu-mangu. Ia mendengar tantangan itu, dan ia  pun mendengar jawabannya pula. Karena itu hatinya  pun menjadi berdebar-debar. Tetapi ia kini tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Mereka akan berkelahi di luar daerah Kademangan Prambanan. Meskipun demikian, ia akan mampu memberi mereka peringatan, apabila mungkin mengurungkan perkelahian itu. Tetapi prajurit-prajurit yang lain, termasuk seorang pemimpinnya mempunyai tanggapan yang berbeda. Mereka telah dikecewakan oleh sikap pemimpinnya itu. Mereka ingin melihat anak-anak muda Sangkal Putung itu menjadi biru bengap. Bahkan mungkin tangannya atau kakinya akan patah dan cacat untuk seterusnya. Tetapi peristiwa itu tidak terjadi. Namun kemudian mereka mendengar persetujuan mereka, sehingga tanpa sesadarnya beberapa orang dari mereka berkata,
“Baik. Kita menunggu sampai besok. Kita masih mendapat kesempatan untuk menonton perkelahian yang menarik itu.”
Pemimpinnya yang seorang itu berpaling ke arah kawan-kawannya. Tetapi kawan-kawannya itu  pun tertawa dengan nada yang aneh. Seakan-akan mereka sengaja mentertawakan sikapnya. Dengan demikian dada pemimpin itu berdesir. Seandainya benar-benar tamu dari Menoreh itu tidak menghormati sikapnya, apakah kawan-kawannya para prajurit itu akan bersedia untuk melakukan perintahnya? Mengusir tamu-tamu dari Menoreh itu meninggalkan Prambanan? Ia sendiri yakin, bahwa seorang diri ia tidak dapat mengalahkan tamu yang seorang itu, adik Kepala Daerah Perdikan Menoreh. Apalagi bertiga. Tetapi ia mengharap beberapa anak-anak muda Prambanan yang masih menyadari kedudukannya akan membantunya, meskipun lebih banyak dari mereka yang lebih senang berbuat seperti orang-orang gila.
Peristiwa itu tiba-tiba telah mendorong pemimpin prajurit Pajang itu menyadari kesalahannya selama ini. Selama ini seolah-olah dibiarkannya Prambanan menjadi sebuah hutan belantara. Tidak ada peraturan yang pasti dapat menjamin ketetapan adat dan tingkah laku di kademangan ini, sehingga seolah-olah sama sekali tidak dirasakannya adanya ketenangan. Terutama di kalangan anak-anak mudanya. Ki Demang Prambanan sendiri seakan-akan sama sekali tidak mempunyai wibawa apapun. Ia hanya bertindak sesuka hatinya sendiri. Bahkan kadang-kadang hanyut di dalam arus kegilaan anak-anak muda. Demang Prambanan sendiri adalah demang yang masih cukup muda, dan itulah sebabnya, maka kadang-kadang ia masih berpikiran kurang dewasa. Beruntunglah kali ini Ki Demang Prambanan itu sependapat dengan pendirian pemimpin prajurit itu, sehingga keputusannya untuk menentang perkelahian itu menjadi lebih kuat.

Pemimpin prajurit itu melihat satu-satu para penonton di halaman sekeliling pendapa itu pergi meninggalkan halaman banjar desa. Wajah-wajah mereka seakan-akan memancarkan kekecewaan hati mereka, bahwa pemimpin prajurit itu telah mencegah suatu tontonan yang pasti akan lebih mengasikkan daripada sabung ayam jantan. Yang akan bersabung di pendapa itu bukan sekedar ayam jantan, tetapi adalah dua orang laki-laki jantan. Satu dari Bukit Menoreh, yang lain dari Sangkal Putung. Tetapi tontonan itu menjadi urung. Namun hati mereka terhibur pula, ketika mereka mengetahui tontonan itu sebenarnya hanya tertunda sampai esok pagi di tepi kali Opak di ujung kademangan, sebelah barat pegunungan Baka. Tamu-tamu, para pemimpin Kademangan Prambanan di pendapa, dan para prajurit meninggalkan pendapa itu pula. Mereka sama sekali tidak menyapa pemimpin prajurit yang masih berdiri tegak di tempatnya dan bahkan Demang Prambanan yang masih tegak pula. Mereka pergi dengan langkah yang tersendat-sendat seakan-akan ada yang mereka tinggalkan di pendapa itu. Sekali-kali mereka berpaling, dan mereka melihat wajah Sutawijaya yang memancarkan ketetapan hatinya, tanpa perasaan was-was sama sekali meskipun esok pagi ia harus berhadapan dengan tamu yang mereka segani.
“Wajah anak muda itu  pun seakan-akan mawa cahya,” tiba-tiba salah seorang berdesis. Tetapi tak seorang  pun yang menyahut.Orang yang berbicara itu  pun terdiam pula.
Sejenak kemudian maka pendapa itu  pun menjadi sepi. Bahkan halaman banjar desa itu  pun telah menjadi senyap. Satu dua orang masih tampak berjalan mondar-mandir. Tetapi mereka  pun segera pergi. Yang masih tinggal di halaman adalah dua orang perabot Kademangan Prambanan, Ki Jagabaya yang kurus tinggi beserta adiknya. Mereka menunggu demangnya dan mereka nanti akan bersama-sama kembali ke rumah masing-masing yang berdekatan. Di pendapa itu kini berdiri termangu-mangu pemimpin prajurit Pajang yang seorang, Ki Demang, Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru. Tetapi di sudut pendapa itu masih duduk beberapa anak-anak muda, di antaranya adalah Haspada dan Trapsila.
Prajurit itu memandangi anak-anak muda itu dengan sorot mata yang mengandung teka-teki. Seolah-olah pemuda-pemuda itu ingin melihat apa saja yang akan dilakukannya. Tetapi pemimpin prajurit itu telah mengenal dengan baik siapakah mereka itu. Haspasa, Trapsila, dan kawan-kawannya adalah anak-anak muda yang mempunyai tabiat yang berbeda dengan anak-anak muda pada umumnya. Namun justru karena itu, maka mereka hampir-hampir tak pernah mendapat perhatiannya. Tetapi kini anak-anak muda itulah yang tinggal mengawaninya.
Tiba-tiba prajurit itu seakan-akan bergumam kepada diri sendiri,
“Apakah yang kau tunggu?”
Anak-anak muda itu  pun terkejut mendengar pernyataan itu. Sesaat mereka saling berpandangan seakan-akan saling bertanya, “Ya, apakah yang kami tunggu?”
Karena anak-anak muda itu tidak segera menjawab, maka prajurit itu  pun menyambung kata-katanya, kali ini agak mengejutkan Haspada dan kawan-kawannya,
“Aku mengucapkan terimakasih atas sikapmu. Kau sudah membantu membuat keseimbangan pada saat-saat yang tidak menyenangkan. Mungkin selama ini kita tidak saling bertemu dalam perbuatan karena kesalahanku. Tetapi dalam keadaan yang penting, kalian dapat membantu aku.”
Haspada dan Trapsila tersenyum. Hampir bersamaan keduanya menjawab, “Mudah-mudahan.”
“Terimakasih,” sahut prajurit itu yang kemudian berpaling kepada Sutawijaya dan kedua kawannya.
“Bagaimana dengan kalian?”
“Kami akan kembali ke pondokan kami,” sahut Sutawijaya.
“Besok aku akan datang ke tempat yang telah kami setujui.”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Kalau kau mau mendengar kata-kataku, jangan datang. Lawanmu adalah orang yang luar biasa. Hanya dengan tombak pendeknya itu ia seorang diri mampu berburu harimau. Bahkan banyak perbuatan-perbuatan aneh yang telah dilakukannya di sini hanya dalam waktu yang sangat singkat. Mungkin sengaja ia memperlihatkan kemampuannya untuk mendapat perlakuan yang baik di sini.”
“Ya. Tamu itu terlampau manja. Tetapi aku tidak dapat ingkar janji.”
“Aku mencoba memperingatkan kalian. Ia adalah adik Kepala Daerah Perdikan Menoreh. Namanya Argajaya, sedang kakaknya bernama Argapati.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Prajurit itu pasti tidak hanya sekedar menakut-nakutinya. Meskipun mungkin apa yang dikatakan itu agak berlebih-lebihan, tetapi sebagian besar daripadanya pasti sebenarnya terjadi. Tetapi Sutawijaya adalah seorang anak muda yang punjuling-apapak. Anak muda itu mempunyai banyak kelebihan dari anak-anak muda sebayanya. Karena itu ia sama sekali tidak gentar mendengar keterangan prajurit itu. Bahkan timbullah hasratnya untuk menilai kekuatan orang kedua dari Bukit Menoreh. Darah muda yang mengalir di dalam tubuhnya ternyata sangat mempengaruhi keputusannya.
Terdengar prajurit itu kemudian berkata pula,
“Apakah kalian dapat mengerti keteranganku? Aku bermaksud baik. Meskipun Argajaya bukan Argapati, tetapi setidak-tidaknya ia memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Terimakasih. Tetapi sayang, aku sudah berjanji untuk menemuinya besok pagi.”
“Kau dapat membatalkannya. Mungkin kau perlu minta maaf kepadanya, atau kau segera meninggalkan kademangan ini kembali ke Sangkal Putung. Argajaya adalah seorang yang sakti. Mungkin ia mampu menyamai Untara, Senapati Pajang di daerah di sekitar Gunung Merapi.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Untara adalah seorang yang tanggon. Untara pulalah yang telah mampu membunuh Tohpati. Tetapi ia  pun pernah maju berperang, bahkan langsung melawan Arya Penangsang. Meskipun ia tidak pasti, bahwa ia akan dapat memenangkan pertempuran besok, namun bukanlah wataknya untuk meminta maaf dan belas kasihan, atau lari dengan diam-diam meninggalkan janji jantan.
“Aku adalah Sutawijaya,” katanya di dalam hati.
“Alangkah aib namaku dan nama ayahku kalau aku tinggal gelanggang colong playu. Aku harus memenuhi janji itu.”
Dan prajurit itu bertanya lagi,
“Bagaimana? Aku sayang melihat kemudaanmu. Menilik kedua adik-adikmu, maka kalian masih akan jauh berkembang. Mungkin lima atau sepuluh tahun lagi kau akan berjumpa kembali dengan Argajaya. Dan kau akan menebus malumu kali ini.”
“Terimakasih,” Sutawijaya mengulangi.
“Aku terpaksa menemuinya besok.”

Prajurit itu menarik nafas. Ketika ia berpaling dilihatnya Haspada dan Trapsila  pun menjadi tegang pula. Tetapi mereka berdua tidak berkata sepatah kata pun. Hanya demang yang masih muda itulah yang kemudian mencoba menasehati pula.
“Dengarkan nasehat itu. Tak seorang  pun yang mengenal kalian, sehingga nama kalian tidak akan tercemar karenanya. Berbeda akibatnya jika nama kalian adalah nama yang telah mengumandang setidak-tidaknya di sekitar daerah ini. Maka kalian pasti akan mempertahankan harga diri kalian masing-masing. Tetapi kalian akan lebih sayang pada nyawa kalian daripada nama kalian yang belum dikenal itu.”
Dada Sutawijaya berdesir. Hampir ia lupa dan meneriakkan namanya, Sutawijaya putra Panglima Wira Tamtama dan yang telah berhasil membenamkan tombaknya di perut Arya Penangsang. Untunglah ia menyadari keadaannya, sehingga maksudnya itu  pun diurungkannya. Meskipun demikian ia menjawab sekali lagi,
“Terimakasih atas segala nasehat itu. Kami bertiga menyadari bahwa nasehat-nasehat itu bermaksud baik untuk kepentingan keselamatan kami. Tetapi biarlah kami mencoba mengadu untung. Kami sebenarnya memang memerlukan banyak pengalaman untuk kepentingan kademangan kami.”
“Tetapi apabila terjadi sesuatu dengan salah seorang dari kalian, jangan mendendam pada Kademangan Prambanan. Kami sama sekali tidak tahu-menahu dan tidak campur tangan dengan persoalan kalian besok. Prambanan dan Sangkal Putung adalah kademangan yang selama ini belum pernah mempunyai persoalan apapun,” berkata demang itu pula.
“Baik Ki Demang,” sahut Sutawijaya.
“Kami dapat mengerti sepenuhnya maksud Ki Demang. Dan kami  pun tidak akan menyangkutkan orang lain dalam persoalan ini.”
Prajurit itu dan Ki Demang Prambanan  pun mengangguk-anggukkan kepala. Sesaat mereka saling berpandangan, kemudian berkatalah Ki Demang Prambanan,
“Terserahlah kepada kalian. Tetapi kemana malam ini kalian akan bermalam?”
“Kami akan kembali ke tempat kami menumpang malam ini. Kami berada di rumah Paman Astra.”
Kedua orang itu  pun mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian pemimpin prajurit itu  pun berkata,
“Kembalilah ke rumah Kakang Astra. Pikirkanlah sekali lagi apa yang akan kalian hadapi besok. Kalau kalian merubah pendirian kalian, kami akan ikut bersenang hati. Kalian dapat meninggalkan kademangan ini tanpa gangguan. Aku kira tamu-tamu itu tidak akan mengejarmu.”
“Baik, aku akan mencoba berpikir sekali lagi,” sahut Sutawijaya.
“Selamat malam,” desis prajurit itu.
“Terima kasih,” sahut Sutawijaya.

Prajurit itu, Ki Demang, dan Ki Jagabaya beserta adiknya dan kedua perabot desa yang lain, yang sudah mengunggu di halaman itu  pun kemudian pergi meninggalkan banjar desa pula. Haspada, Trapsila, dan kawan-kawannya  pun kemudian berdiri dan berkata,
“Kisanak. Kami sependapat dengan pemimpin prajurit dan Ki Demang. Meskipun kami telah melihat betapa kalian telah mengejutkan kami, tetapi bermain-main dengan tamu yang seorang itu adalah sangat berbahaya.”
“Terimakasih Kisanak. Aku akan mencoba memikirkan sekali lagi,” jawab Sutawijaya pula. Tetapi hatinya sama sekali tidak bergerak untuk merubah keputusannya. Ia akan menemui orang itu besok di sebelah Bukit Baka.
Banjar desa itu  pun kini menjadi semakin sepi. Para penabuh gamelan  pun telah tidak ada yang tinggal lagi. Karena itu maka Sutawijaya dan kawan-kawannya segera meninggalkan tempat itu pula, kembali ke rumah Astra. Di sepanjang jalan tidak banyak kata-kata yang mereka ucapkan. Dengan langkah yang panjang mereka menyuusuri jalan-jalan di Kademangan Prambanan. Sesudah mereka melintasi sebuah bulak pendek, maka mereka melihat beberapa orang anak-anak muda berkumpul bergerombol di pinggir jalan.
“Itulah mereka,” gumam Sutawijaya.
“Apakah mereka masih akan membuat onar lagi? Kali ini kita harus bersikap lain seandainya mereka berbuat sesuatu. Apalagi kalau di antara mereka terdapat tamu-tamu dari Menoreh itu.”
Agung Sedayu dan Swandaru menjawab hampir bersamaan, “Baik.” Dan Swandaru meneruskan,
“Aku menjadi muak melihat sikap mereka. Beruntunglah kademangan ini masih juga menyimpan anak-anak muda seperti Haspada dan Trapsila.”
“Mudah-mudahan mereka akan segera mendapatkan tempatnya kembali,” gumam Agung Sedayu.
“Aku menjadi heran, kenapa anak-anak muda seperti mereka itu justru menjadi terasing di sini.”
Kini mereka terdiam. Jarak mereka menjadi semakin dekat. Anak-anak muda yang berdiri di pinggir jalan itu  pun agaknya memperhatikan mereka pula. Tetapi Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru menjadi heran ketika mereka kemudian melihat anak-anak muda itu menundukkan kepala. Bahkan satu dua yang masih sempat, menghindar dan berlindung di balik-balik pagar halaman. Agaknya mereka menjadi malu melihat Sutawijaya dan kedua kawannya. Apalagi anak-anak muda yang pada sore harinya telah mencoba menghinanya. Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru berjalan terus. Berpaling  pun tidak. Mereka tidak mau membuat persoalan dengan mereka, atau sengaja membuat mereka malu. Ketika kemudian mereka menengadahkan wajah mereka, mereka melihat bintang Gubuk Penceng telah jauh condong ke arah barat. Tanpa sesadarnya Agung Sedayu bekata,
“Kita sudah hampir sampai ke ujung fajar.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya,
“Waktuku tinggal sedikit. Pada saat fajar menyingsing aku harus sudah berada di sebelah barat Pegunungan Baka. Aku kira kita tidak akan pergi sendiri. Aku kira banyak anak-anak muda yang ingin melihat perkelahian itu.”
“Ya,” sahut Agung Sedayu
“Terpaksa,” desis Sutawijaya, “aku tidak dapat menghindarinya.”
Kedua kawannya tidak menjawab, dan Sutawijaya berkata terus,
“Tetapi aku ingin singgah meskipun hanya sebentar di rumah Paman Astra. Sukurlah kalau Paman Astra telah menyediakan minuman hangat. Aku sangat haus.”
“Aku juga,” sahut Swandaru tiba-tiba.
“Aku agaknya terlalu lama menari tayub di pendapa, meskipun tanpa diiringi gamelan.”

Kedua kawannya tersenyum. Tetapi kemudian terdiam. Hanya desir kaki-kaki mereka di atas tanah yang kering terdengar mengusik sepi malam. Di kejauhan suara burung hantu terdengar seperti sedang memanggil-manggil. Ketika kemudian mereka memasuki halaman rumah Astra maka mereka bertiga itu  pun terkejut. Dengan terbungkuk-bungkuk Astra menyambut mereka sambil berkata,
“Mari, Ngger. Mari silakan masuk ke rumah paman yang jelek ini.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Sikap orang tua itu tiba-tiba berubah. Tetapi sebelum ia bertanya, apakah sebabnya, Astra telah berkata,
“Aku sudah mendengar apa yang telah Angger lakukan di pendapa dari kedua anakku. Sungguh luar biasa. Angger telah mengejutkan seluruh anak-anak muda Prambanan. Bahkan anak-anak yang paling disegani  pun tidak akan dapat menyamai angger sekalian. Angger Haspada dari Sembojan, Angger Trapsila dari Tlaga Kembar, menurut anak-anakku, mereka tidak akan dapat menyamai angger-angger ini. Apalagi aku mendengar bahwa Angger Sutajia akan bertanding pagi nanti di sebelah Bukit Baka.”
Ketiga anak muda itu tersenyum. Tanpa disengaja Sutawijaya bertanya,
“Di manakah kedua putera Paman itu?”
“Mereka bersembunyi, ngger. Mereka merasa malu.”
“Mudah-mudahan masih ada rasa malu pada anak Paman. Dengan demikian Paman masih mempunyai harapan, bahwa putera-putera Paman akan menjadi sadar, bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah sikap mereka yang sewajarnya. Mereka telah terbius oleh suatu keadaan yang tidak dapat mereka mengerti sendiri.”
“Ya, ya, Ngger. Mudah-mudahan,” berkata orang tua itu.
“Tetapi, marilah masuk. Marilah bibimu telah menyediakan sekedar minuman hangat.”
“Terimakasih, Paman.”
Tergesa-gesa Astra masuk ke dalam rumahnya diikuti oleh Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru. Wajah Swandaru yang bulat itu tampak tersenyum-senyum sambil berbisik lirih,
“Hem. Minuman hangat dan jadah panggang.”
“Sst,” desis Agung Sedayu. Namun mereka bertiga  pun tersenyum.

Di sebuah amben besar mereka duduk melingkari mangkuk-mangkuk berisi minuman hangat, dan tepat sekali seperti tebakan Swandaru, jadah panggang dan potongan-potongan jenang dodol. Dengan lahapnya mereka menikmati suguhan itu. Sekali-kali diselingi oleh suara mereka sahut menyahut. Namun Astra itu  pun menjadi semakin heran, bahwa tak ada kesan apa pun di wajah anak muda yang menyebut dirinya bernama Sutajia itu. Dari anak-anaknya ia mendengar bahwa anak-anak muda itu besok akan berperang tanding melawan tamu yang memimpin rombongan dari Bukit Menoreh, bahkan adik Kepala Tanah Perdikan Menoreh sendiri. Tetapi orang tua itu tidak berani bertanya tentang pertempuran besok, betapa  pun inginnya untuk mengetahui. Selagi mereka sibuk mengunyah jadah dan jenang dodol serta menghirup hangatnya minuman, tiba-tiba pintu rumah itu diketuk orang. Dari sela-sela pintu yang tidak tertutup rapat, mereka dikejutkan oleh hadirnya pemimpin prajurit Pajang yang telah mencoba mencegah Sutawijaya berkelahi besok.
“Marilah, Tuan, marilah,” Astra menjadi tergopoh-gopoh mempersilakan duduk di amben itu pula.
Sutawijaya dan kedua kawannya segera berdiri pula sambil mengangguk hormat. Prajurit itu  pun kemudian duduk di antara mereka. Astra segera menyuguhkan semangkuk air hangat dan segumpal gula kelapa kepada tamunya yang tidak disangka-sangkanya. Sambil terbungkuk-bungkuk ia bertanya,
“Tuan, kedatangan Tuan benar-benar mengejutkan hatiku. Apakah ada sesuatu yang Tuan anggap penting untuk datang berkunjung ke rumah yang jelek ini?”
Pemimpin prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak segera menjawab, tetapi ditatapnya wajah Sutawijaya dan kedua kawannya berganti-ganti. Namun dalam sekejap itu Sutawijaya dan kedua kawannya  pun segera dapat melihat, betapa besar pengaruh para prajurit Pajang di Prambanan. Mereka ditakuti oleh setiap orang dan dengan demikian, maka mempunyai kekuasaan yang cukup bersar.

Agung Sedayu dan Swandaru  pun melihat sikap Astra dan sikap prajurit itu. Hubungan mereka agak berbeda dengan sikap setiap prajurit di Sangkal Putung. Hubungan antara para prajurit dan penduduk Sangkal Putung tampak jauh lebih akrab. Kekuasaan Widura  pun sama sekali hanya terbatas pada segi-segi keprajuritan untuk menghadapi kekuatan Tohpati pada waktu itu. Demang Sangkal Putung sama sekali tidak merasa terganggu oleh kekuasaan yang diemban oleh pimpinan Wira Tamtama itu, bahkan keduanya saling isi-mengisi dengan serasi. Agaknya berbeda dengan kedudukan Demang dan penduduk Prambanan di mata para prajurit yang bertugas di tempat ini.
“Semuanya telah menyimpang dari kewajaran,” desis Sutawijaya di dalam hatinya. Ia tahu benar sikap ayahnya, Panglima Wira Tamtama. Namun kadang-kadang tidak semua prajurit merupakan cermin dari sikap Panglimanya.
“Astra,” kemudian terdengar pemimpin prajurit itu berkata.
“Aku datang kemari untuk menemui ketiga tamu-tamumu anak-anak muda dari Sangkal Putung ini.”
“O,” sahut Astra sambil membungkuk-bungkuk. “Silahkan, Tuan, silahkan.”
Pemimpin prajurit itu menarik nafas. Kemudian kepada Sutawijaya ia berkata,
“Aku tidak dapat melupakan persetujuanmu dengan tamu-tamu dari Menoreh itu. Begitu aku mencoba berbaring untuk beristirahat, segera aku menjadi cemas. Bahkan semakin lama menjadi semakin cemas. Aku tidak tahu, kenapa aku berperasaan demikian. Aku sudah mencoba berpikir, bahwa kau bukan sanak bukan kadangku. Seandainya kau mengalami bencana pun, aku tidak akan kehilangan. Tetapi aku tidak dapat berbuat demikian, sehingga aku terpaksa menemuimu.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Agung Sedayu dan Swandaru  pun menjadi heran pula atas sikap prajurit itu. Apakah yang telah mendorongnya berbuat demikian?
Tetapi prajurut itu kemudian mengaku sendiri, alasan-alasan yang telah mempengaruhi perasaannya selama ini. Katanya,
“Mungkin aku terdorong oleh perasaan bersalah. Selama ini aku tidak dapat melakukan tugasku sesuai dengan garis-garis yang telah diberikan oleh senapati daerah lereng Merapi, Untara. Bukankah Untara sekarang berada di sekitar Sangkal Putung? Mungkin aku cemas apabila terjadi sesuatu dengan kalian di Prambanan, dan berita itu sampai ke telinga Ki Untara, seolah-olah aku tidak berbuat apa-apa di sini.”
Kembali Sutawijaya mengerutkan keningnya. Tanpa dikehendakinya, ia berpaling ke arah Agung Sedayu dan Swandaru. Namun kemudian ia menjawab,
“Tuan, itu adalah tanggung jawabku sendiri. Kedua kawan-kawanku dan paman Astra menjadi saksi, bahwa Tuan telah berusaha sebaik-baiknya dan sejauh-jauhnya. Tetapi aku ternyata telah mengabaikannya. Salahkulah apabila terjadi sesuatu esok pagi.”

Prajurit itu terdiam. Direnunginya wajah Sutawijaya, seolah-olah ingin dilihatnya isi hatinya. Wajah anak muda itu agaknya terlampau tenang menghadapi perkelahian yang berbahaya. Sejenak mereka saling berdiam diri. Lewat pintu yang separo terbuka, berhembus angin yang silir menggerak-gerakan nyala pelita di atas bancik yang tersangkut pada tiang. Tiba-tiba mereka tersadar, bahwa mereka tidak usah menunggu terlalu lama. Di kejauhan mereka mendengar suara ayam jantan berkokok. Kemudian disahut oleh yang lain, dan suara kokok ayam itu seolah-olah menjalar dari satu kandang ke kandang yang lain. Bahkan ayam-ayam jantan yang bertengger di pepohonan  pun menyahut pula dengan suara nyaring.
“Hampir fajar,” desis prajurit itu. “Kesempatan terakhir bagi kalian.”
“Maaf, Tuan,” desis Sutawijaya. “Aku tidak dapat melepaskan janji itu. Betapa rendah martabatku, dan betapa kecil namaku seperti disebut oleh Ki Demang Sangkal Putung, tetapi aku harus menjunjung harga diriku dan harga diri keluargaku.”
Prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Terjadilah di luar lingkungan kekuasaanku. Terjadilah di luar tanggung jawabku. Kalian yang mendengar ini menjadi saksi, bahwa aku telah berusaha untuk membatalkan perkelahian ini.”
“Semuanya akan menjadi saksi,” sahut Sutawijaya. Tetapi darah mudanya telah mendorongnya berkata,
“Tetapi Tuan belum mencoba cara lain.”
Prajurit itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Cara apakah yang kau maksud?”
“Mungkin Tuan dapat menghubungi Argajaya, dan minta kepadanya untuk membatalkan maksudnya. Minta kepadanya untuk meninggalkan kademangan ini seperti yang Tuan kehendaki atas kami.”
Wajah prajurit itu menjadi tegang. Dipandanginya wajah Sutawijaya dengan tajamnya. Bahkan Agung Sedayu  pun terkejut pula mendengar perkataan Sutawijaya. Hanya Swandaru-lah yang tersenyum-senyum di dalam hati. Baginya perkataan Sutawijaya itu masih terlampau berhati-hati. Namun bagi Agung Sedayu, apa yang diucapkannya itu sebenarnya tidak perlu. Apalagi ketika Agung Sedayu melihat wajah prajurit yang menjadi tegang itu.
Tetapi meskipun demikian, meskipun Sutawijaya melihat juga kerut-merut di wajah prajurit itu, ia sama sekali tidak menyesal. Disadarinya benar-benar apa yang diucapkannya, sehingga karena itu ia sama sekali tidak terkejut ketika prajurit itu berkata,
“Anak muda, aku hanya mencoba menjaga keselamatanmu. Jangan menjadi sombong dan jangan menyangka bahwa aku akan menjadi ketakutan seandainya kau mengancam akan melaporkan setiap kesalahan yang pernah aku lakukan di sini, meskipun apabila masih ada kesempatan aku akan mencoba untuk memperbaikinya. Mungkin kau mempunyai perhitungan tersendiri, bahwa seandainya terjadi sesuatu atas dirimu, maka kesalahanku bukan saja karena aku membiarkan itu terjadi, tetapi apa yang pernah aku lakukan akan diusutnya pula. Namun itu bukan berarti bahwa aku akan menundukkan kepalaku di bawah pengaruhmu. Aku bermaksud baik, tetapi jangan mencoba memeras dan memperalat aku. Aku akan dapat bersikap sebaliknya.”

Swandaru mengerutkan keningnya mendengar jawaban itu, sedang dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Apalagi Astra yang tidak tahu ujung pangkal pembicaraan mereka menjadi sangat ketakutan. Namun wajah Sutawijaya sendiri sama sekali tidak berubah. Dengan tenang ia berkata,
“Maafkan, Tuan. Maksudku hanya ingin mengatakan. Bahwa apabila benar-benar Tuan ingin bersikap baik sebagai seorang prajurit, maka aku mengharap Tuan bersikap adil. Kalau Tuan menawarkan kebaikan hati kepada kami, maka apakah salahnya hal yang serupa Tuan berikan pula kepada tamu-tamu dari Menoreh itu.”
“Apakah benar kata kawan-kawanku bahwa kau telah menghina kami, para prajurit Pajang di Prambanan?”
“Tidak, Tuan,” sahut Sutawijaya cepat-cepat. Tetapi ia masih tetap tenang.
“Sekali lagi aku minta maaf. Aku menyadari maksud Tuan. Tetapi aku menyadari juga bahwa sikap Tuan tidak adil terhadap kami dan para tamu itu. Mungkin karena mereka datang dengan tanda-tanda kebesaran mereka sebagai seorang adik dari kepala tanah perdikan yang besar, sedang kami datang sebagai anak-anak gembala yang lusuh. Tetapi jangan salah paham Tuan. Kami hanya ingin mengatakan, bahwa kami sudah terlanjur menganggap bahwa kami tidak kurang selapis  pun dari tamu-tamu dari Bukit Menoreh itu. Itulah sebabnya kami berusaha untuk menjumpainya nanti di sebelah Bukit Baka.”
“Terserahlah kepadamu. Kau sudah mulai menyombongkan dirimu sebelum kau berbuat sesuatu.”
“Aku hanya mencoba membesarkan hatiku sendiri Tuan. Aku menyadari, bahwa setiap orang menganggap bahwa lebih baik bagiku untuk menghindari perkelahian besok selain mereka yang ingin melihat dadaku berlubang oleh ujung tombak. Tuan memang bermaksud baik, dan karenanya sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Tetapi sikap Tuan itu telah memperkecil hatiku. Maaf, Tuan. Aku harap Tuan mengerti supaya aku tidak menggigil pada saat aku melihat ujung tombaknya. Namun tak ada niatku untuk lari dari janji yang telah aku ucapkan.”
Wajah pemimpin prajurit Wira Tamtama di Prambanan itu masih juga tegang. Tetapi ia merasa aneh mendengar kata-kata anak muda dari Sangkal Putung itu. Ia merasa tersinggung karenanya, tetapi ia merasakan kebenarannya pula. Bahkan ia merasa hormat kepada anak yang melihat kenyataan yang telah berlaku di Prambanan ini. Sehingga dengan demikian ia menjadi ragu-ragu apakah benar ia hanya berhadapan dengan seorang anak gembala yang karena keadaan telah menjadi pengawal kademangannya? Dalam pada itu maka prajurit itu  pun menjadi ragu-ragu. Dengan demikian, maka ruangan itu  pun menjadi sunyi kembali. Yang terdengar kemudian adalah kokok ayam jantan yang menjadi semakin ramai di segenap sudut desa.
“Hampir fajar,” tiba-tiba Sutawijaya berdesis.
Dalam keragu-raguannya tiba-tiba prajurit itu berkata,
“Kau belum sempat beristirahat menghadapi saat yang berbahaya bagimu.”
“Aku sudah cukup beristirahat di sini. Aku sudah minum minuman hangat dan makan pagi, jadah panggang dan jenang manis.”
Prajurit itu tidak menjawab. Sejenak ia termenung. Kemudian terdengar ia berkata,
“Aku akan melihat apa yang terjadi. Aku kira di sebelah Barat Bukit Baka pagi ini akan menjadi sangat ramai dikunjungi orang. Mereka ingin melihat punggungmu dipatahkan, atau dadamu menjadi berlubang. Tetapi aku tidak bertanggung jawab.”
“Mudah-mudahan terjadi sebaliknya. Punggung tamu itulah yang akan aku patahkan dan dadanyalah yang akan berlobang.”
“Kau terlalu sombong.”
“Tidak, Tuan,” sahut Sutawijaya. “Sudah aku katakan, aku hanya ingin membesarkan hatiku sendiri.”

Prajurit itu memandangi wajah Sutawijaya dengan saksama. Tiba-tiba ia sadar, bahwa wajah itu sama sekali bukan wajah seorang gembala atau anak padesan Sangkal Putung. Tetapi ia tidak tahu, bagaimana ia harus mengatakannya. Tiba-tiba ia berkata,
“Apakah kau memerlukan senjata? Lawanmu akan mempergunakan sebuah pusakanya yang berbahaya. Sebatang tombak pendek. Kalau kau perlukan, kau dapat memakai pedangku.”
“Terima kasih,” sahut Sutawijaya. “Aku mempunyai senjataku sendiri.”
Dada prajurit itu berdesir, tetapi ia berdiam diri.
Ketika suara ayam jantan menjadi semakin ramai, maka berkatalah Sutawijaya,
“Aku tidak ingin terlambat. Lebih baik aku datang lebih dahulu. Aku akan berangkat segera.”
“Angger,” Astra yang sejak tadi berdiam diri tiba-tiba berkata,
“apakah Angger tidak dapat mengurungkan perkelahian itu? Aku telah mendengar pula dari anak-anakku bahwa Angger akan melakukan perang tanding pagi ini.”
Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, “Sayang, Paman. Doakan saja aku selamat.”
Sutawijaya  pun segera minta diri untuk memenuhi janjinya pergi ke sebelah Barat Bukit Baka di tepi Sungai Opak.
Wajah Astra yang tua itu  pun kemudian memancarkan perasaan cemasnya. Sorot matanya menjadi suram dan gelisah. Bahkan pemimpin prajurit itu  pun tertegun-tegun dicengkam oleh perasaan tak menentu. Namun terdengar Sutawijaya berkata tegas,
“Aku akan berangkat.” Kepada Agung Sedayu dan Swandaru ia berkata,
“Marilah. Aku tidak mempunyai waktu lagi.”
Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Segera mereka turun dari amben bambu yang besar itu dan mengipas-ngipaskan kain mereka. Prajurit itu  pun tiba-tiba berkata,
“Aku akan pergi bersama kalian.”
“Terima kasih,” sahut Sutawijaya yang kemudian sekali lagi minta diri kepada Astra.
“Kami akan berangkat, Paman.”

Astra melepas mereka dengan hati yang gelisah dan cemas. Ia sendiri tidak mengerti, kenapa ia mencemaskan nasib anak-anak muda yang baik itu. Meskipun anak-anak muda itu baru saja dikenalnya. Namun dalam tutur kata dan sikapnya, serta apa yang didengarnya dari kedua anaknya, maka hatinya telah tertarik kepada mereka. Tetapi Astra tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat memandangi langkah-langkah yang tetap dari ketiga anak-anak muda itu bersama pemimpin prajurit Pajang di Prambanan, meninggalkan halaman rumahnya.
Ketika Sutawijaya berbelok lewat sebuah pematang, maka prajurit itu  pun berkata,
“Kita menempuh jalan ini. Jalan ini adalah jalan yang paling dekat.”
Sutawijaya menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya wajah kedua kawannya seolah-olah ingin mendapat pertimbangan dari padanya. Tetapi kedua kawannya itu sama sekali tidak berbuat sesuatu bahkan sorot mata mereka  pun sama sekali tidak menunjukkan sesuatu sikap. Karena itu, maka Sutawijaya lah yang harus bersikap. Katanya,
“Aku harus lewat jalan ini, Tuan.”
“Kau harus memutari ladang. Baru kau akan sampai ke jalan yang sempit. Di ujung lain dari pematang itu, kau akan sampai ke jalan kecil, dan jalan kecil itu adalah simpangan dari jalan yang besar ini.”
Kembali Sutawijaya menjadi ragu-ragu. Tetapi ia harus melewati batang gayam tempat mereka menyangkutkan senjata-senjata mereka. Karena itu maka jawabnya,
“Jalan inilah yang aku kenal pada saat aku datang, Tuan. Karena itu aku akan menempuh jalan ini pula.”
“Aku mengenal setiap sudut Kademangan Prambanan seperti aku mengenal rumahku sendiri.”
Sutawijaya akhirnya tidak mempunyai alasan lain dari pada alasan yang sebenarnya, sehingga ia tidak lagi dapat menghindar. Maka katanya,
“Aku harus lewat di bawah pohon gayam di sebelah ladang ini, Tuan.”
Pemimpin prajurit itu menjadi heran, sehingga dengan serta merta ia bertanya,
“Kenapa kau harus lewat di bawah pohon gayam?”
Sutawijaya benar-benar sudah tidak ada kesempatan untuk menyembunyikan keadaannya. Maka jawabnya,
“Senjata kami, kami simpan di pohon itu, Tuan.”
“Senjata?” kembali prajurit itu terkejut. Ia telah mendengar Sutawijaya berkata bahwa ia akan mempergunakan senjatanya sendiri, tetapi ketika ia mendengar bahwa senjata itu tersimpan di pohon gayam, maka ia masih juga terperanjat.
“Ya, Tuan. Kami telah menyembunyikan senjata-senjata kami di atas dahan yang rimbun.”

Prajurit itu tidak menyahut, namun raut mukanya menjadi berkerut-kerut. Ditatapnya ketiga anak-anak muda itu berganti-ganti. Sutawijaya dengan wajah yang pasti dan teguh, sedang anak yang kedua berwajah tenang. Namun dalam ketenangan itulah tersembunyi relung yang dalam. Seperti wajah air, semakin tenang semakin dalamlah dasarnya. Anak muda yang ketiga, yang gemuk, adalah anak muda yang berwajah terang, tetapi membayangkan kekerasan tekadnya.
“Hem,” desah prajurit itu di dalam hatinya.
“Siapakah sebenarnya anak-anak ini. Kenapa baru sekarang aku dapat mengenali wajah-wajah mereka dengan baik justru di dalam keremang-remangan. Kenapa aku tidak melihatnya tadi di banjar desa yang terang benderang?”
Prajurit itu kini tidak membantah lagi. Diikutinya saja ketiga anak-anak muda itu di belakangnya. Ketika mereka sampai di bawah pohon gayam, maka segera mereka  pun berhenti. Sejenak mereka tegak berdiri sambil berpandang-pandangan. Namun yang pertama-tama berkata adalah Swandaru,
“Hem, aku lagikah yang harus memanjat?”
Mau tidak mau Sutawijaya dan Agung Sedayu tersenyum. Sebelum keduanya menjawab, maka Swandaru telah menyingsingkan lengan bajunya dan menyangkutkan kain panjangnya.
“Tak ada pilihan lain,” gumamnya.
“Jangan menggerutu,” sahut Agung Sedayu. “Aku  pun akan memanjat pula.”
“Kalau aku tahu di mana senjata-senjata itu disangkutkan, maka aku  pun bersedia untuk memanjat pula. Tetapi aku tidak tahu, apalagi hari masih gelap,” berkata Sutawijaya.
“Huh,” desis Swandaru. “Alasan yang sempurna.”
Sutawijaya tertawa. Dibiarkannya kedua kawan-kawannya memanjat ke atas. Namun terdengar ia berpesan,
“Berhati-hatilah. Hari masih terlalu gelap.”
Tetapi Swandaru dan Agung Sedayu kemudian berhasil mengambil seluruh senjata-senjata mereka. Sebatang tombak, dua batang pedang, tiga buah busur beserta endong panahnya.
Pemimpin prajurit itu terkejut melihat kelengkapan mereka. Sehingga dengan serta merta ia berkata,
“Bukan main. Kelengkapan kalian telah menambah teka-teki di dalam kepalaku. Siapakah sebenarnya kalian?”
“Sudah aku katakan,” sahut Sutawijaya, “kami adalah pengawal Kademangan Sangkal Putung.”

Prajurit itu  pun terdiam. Tetapi teka-teki di dadanya justru menjadi semakin membayang di wajahnya. Sekali-kali nampak mulutnya berkumat-kumit. Tetapi tak sepatah kata  pun keluar dari mulutnya. Ketika ketiga anak-anak muda itu sudah siap dengan senjata masing-masing, maka berkatalah Sutawijaya,
“Marilah. Kami sudah siap.”
Prajurit itu menjadi semakin bimbang akan penglihatan matanya. Sutawijaya kini tidak lagi kelihatan seperti seorang gembala. Dibenahinya pakaiannya dan dibetulkannya lipatan ikat kepalanya. Tampaklah betapa anak itu memiliki beberapa kelebihan di dalam dirinya. Sedang kedua anak-anak muda yang lain  pun berbuat pula serupa. Di lambung mereka kini tergantung sehelai pedang, dan di punggung mereka tersangkut sebuah busur. Sedang pada ikat pinggang mereka, tersangkut pula sebuah endong dengan anak-anak panah di dalamnya. Nafas prajurit itu tiba-tiba menjadi semakin cepat mengalir. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu.
“Marilah,” sekali lagi Sutawijaya mengajak kedua kawan-kawannya dan prajurit itu.
“Tetapi sebaiknya kita tidak melewati jalan. Apakah ada jalan lain yang lebih sepi dari jalan itu?”
Prajurit itu kini telah benar-benar terpesona melihat ketiga anak-anak muda itu, sehingga kata-kata Sutawijaya itu telah memukaunya pula. Tanpa sesadarnya prajurit itu menjawab,
“Ada, kita dapat memintas, lewat pematang di sepanjang parit kecil ini.”
“Bagus,” sahut Sutawijaya.
“Hari telah menjadi semakin terang. Aku tidak mau lagi berpapasan terlalu banyak orang. Mudah-mudahan aku tidak terlambat. Silahkan tuan berjalan di depan.”
Sekali lagi prajurit itu melakukan permintaan Sutawijaya tanpa disadarinya. Segera ia meloncat dan berjalan di paling depan, memintas pematang di sepanjang parit, menyusur ke sebelah Barat Bukit Baka.

Kini warna semburat merah di langit sebelah Timur sudah menjadi semakin nyata. Satu-satu bintang-bintang yang bergayutan di udara seakan-akan lenyap ditelan cahaya fajar yang segera pecah. Ujung-ujung pepohonan telah mulai nampak berkilat-kilat oleh cahaya pagi yang terpantul dari butir-butir embun yang mengantung di ujung dedaunan. Sutawijaya dan kawan-kawannya  pun segera mempercepat langkah mereka. Prajurit yang berjalan di depan itu  pun digamitnya sambil berkata,
“Aku agaknya akan terlambat.”
“Tidak,” sahut prajurit itu. “Matahari sedang terbit.”
“Saat inilah yang dijanjikan. Pada saat matahari terbit Argajaya menanti aku di sebelah Barat Gunung Baka.”
“Seandainya kau terlambat, maka saat kelambatanmu tidak ada sepemakan sirih.”
“Aku berharap dapat datang lebih dahulu sebelum Argajaya. Apalagi apabila kemudian ada orang-orang lain yang mencoba menonton sabungan ini.”
“Pasti. Aku dapat menduga bahwa hampir setiap laki-laki di Prambanan akan hadir melihat perkelahianmu nanti.”
Sutawijaya terdiam. Tetapi ia melangkah lebih cepat lagi. Akhirnya ujung Gunung Baka itu  pun menjadi semakin dekat. Di antara semak-semak ilalang tampaklah batu-batu padas yang menjorok seolah-olah ingin menggapai langit. Tetapi Bukit Baka bukan pegunungan yang cukup tinggi. Meskipun demikian, namun bukit itu tampak garang dalam keremangan cahaya fajar.
“Kita harus meloncat ke jalan. Parit ini akan menyilang jalan ke Gunung Baka.”
“Apakah ada jalan ke pegunungan itu? Bukankah pegunungan itu seakan-akan pegunungan yang tidak pernah disentuh kaki?”
“Tidak,” sahut prajurit itu.
“Banyak orang yang mencoba mendaki ke puncak itu.”
“Apa yang dicarinya?”
“Bermacam-macam kepercayaan telah dicengkam penduduk di sekitar tempat ini tentang gunung kecil itu.”
Sutawijaya mengerutkan dahinya. Tiba-tiba ia berkata,
“Kita turun ke Kali Opak. Adalah lebih baik bagiku menyusur tepian sungai dari pada berjalan lewat jalan itu. Mudah-mudahan tak banyak orang di sana.”

Prajurit itu tidak menyahut. Tetapi ia  pun segera membelok ke Barat. Meloncat-loncat di antara puntuk-puntuk padas. Kini mereka sudah meninggalkan tanah persawahan. Mereka telah sampai di padang ilalang yang jarang. Di sana-sini berserak-serakan batu-batu padas yang kelabu. Sesaat kemudian mereka telah sampai di pinggir tebing Sungai Opak. Tebing yang tidak begitu tinggi, sehingga mereka tidak mengalami kesukaran untuk meloncat turun. Kini mereka berempat berjalan di sepanjang pasir tepi Sungai Opak. Mereka berjalan dengan langkah yang panjang ke Selatan. Janji itu mengatakan, bahwa mereka akan bertemu di pinggir Kali Opak di sebelah Barat Pegunungan Baka. Sutawijaya terkejut ketika ia melihat beberapa orang berkerumun di kejauhan. Dengan serta merta ia berkata,
“Apakah kira-kira tempat itu yang disebut oleh Argajaya.”
“Tak ada seseorang yang tahu pasti, manakah yang dikehendaki oleh Argajaya. Tetapi pasti di sepanjang tepian ini. Tempat orang berkerumun itu adalah tepat di sebelah Barat ujung Gunung Baka.”
“Mungkin di sana Argajaya menunggu. Ternyata aku datang terlambat.”
Prajurit itu tidak menyahut. Mereka berjalan semakin cepat. Sebelum mereka mendekat, berkatalah Sutawijaya kepada Swandaru,
“Sekali lagi aku minta tolong. Bawalah busurku. Aku hanya akan mempergunakan tombakku.”
Swandaru menarik nafas. Katanya,
“Baiklah. Apakah busurmu tidak sama sekali kau berikan aku Kakang Agung Sedayu.”
Sutawijaya tersenyum. Tetapi wajahnya kini menjadi bersungguh-sungguh. Ia tidak lagi dapat bergurau ketika di hadapannya telah menunggu sekelompok orang yang ingin melihat dirinya berkelahi antara hidup dan mati. Swandaru melihat kesungguhan wajah Sutawijaya itu meskipun sambil tersenyum. Karena itu, maka Swandaru tidak mau bersenda lagi. Wajahnya  pun menjadi bersungguh-sungguh pula ketika kemudian ia menerima busur dan endong anak panah Sutawijaya. Mereka berempat kini berjalan semakin cepat. Namun tak sepatah kata  pun yang terucap. Masing-masing terbenam dalam angan-angannya sendiri.

Tiba-tiba orang-orang yang berkelompok itu  pun mulai bergerak-gerak seperti sarang semut yang tersentuh tangan.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar