Jilid 043 Halaman 1


KI ARGAPATI yang kemudian berdiri di depan regol itu memandangi bayangan barisan lawan di dalam gelap malam. Ia tidak dapat menduga, berapa besar pasukan lawan itu. Tetapi agaknya pasukan Ki Tambak Wedi itu pun berhenti beberapa puluh langkah di depan regol. Beberapa lama mereka mengatur gelar yang akan dipergunakan dan menempatkan orang-orang terpenting pada tempat yang telah ditentukan.
“Kita tidak akan dapat menahan mereka di luar regol,” desis Ki Argapati kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Samekta, Wrahasta, Kerti, Hanggapati, Dipasanga, Pandan Wangi, dan beberapa pemimpin kelompok terdekat.
“Mereka akan merupakan banjir bandang yang tidak tertahankan. Karena itu jangan berbuat bodoh dengan usaha yang sia-sia itu. Tetapi kalian harus berusaha, mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyak dapat kalian lakukan pada saat mereka mendesak masuk. Kita akan bertempur di dalam regol apabila mereka sudah memecahkan pertahanan kita. Karena itu, kita harus mempersiapkan arena itu. Sehingga kita mendapat keuntungan karenanya. Dalam perang campuh, kita harus masih mendapat kesempatan, mempergunakan senjata-senjata lontar. Itulah sebabnya, maka kita harus memanfaatkan pagar-pagar batu. Mereka tidak akan memperhitungkan sampai sejauh itu.”
Samekta dan para pemimpin yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. Persiapan itu memang telah dilakukannya. Peringatan Ki Gede ini telah memantapkan cara itu untuk melawan serangan yang kurang diketahui, betapa besarnya.
“Begitu mereka mulai bergerak,” sambung Ki Argapati,
“berikan tanda-tanda kepada pasukan yang berada di luar regol. Mereka akan menyerang pasukan lawan dari belakang. Mudah-mudahan pengaruhnya cukup baik bagi kita.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu,
“Kalian tidak boleh salah menempatkan diri. Kalian telah mempunyai lawan masing-masing, sehingga kalian harus menemukannya. Kalau tidak rencana kita tidak akan berjalan dengan baik. Orang-orang terpenting di pihak lawan akan menimbulkan terlampau banyak korban.”
Para pemimpin pengawal itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Hanggapati dan Dipasanga sejenak saling berpandangan. Mereka belum mengenal seorang demi seorang, apalagi lawan, sedang kawan sendiri pun masih belum dikenalnya dengan baik.
“Beri kami petunjuk,” berkata Hanggapati,
“supaya kami tidak keliru memilih lawan.”
“Ya,” jawab Ki Argapati,
“Wrahasta akan bersama Ki Hanggapati dan Kerti akan berada bersama Ki Dipasanga. Mereka akan membawa kalian berdua kepada lawan-lawan kalian untuk bertempur bersama-sama. Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga masih belum dapat menimbang betapa jauh kemampuan lawan, karena sebelumnya belum pernah mengenalnya.”
Hanggapati dan Dipasanga mengangguk-anggukkan kepalanya. Berkata Dipasanga,
“Yang penting bagi kami bukanlah untuk mengenal kemampuan. Hampir setiap prajurit di peperangan tidak mengenal kemampuan lawan-lawannya sebelumnya. Yang penting bagi kami, karena lawan-lawan kami telah ditentukan sebelumnya adalah orang-orangnya. Siapakah dan yang manakah yang bernama Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, Peda Sura, dan yang lain lagi.”
“Ya, ya,” Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya,
“aku dapat mengerti. Mudah-mudahan dalam hiruk-pikuk pertempuran, rencana yang telah kita susun itu dapat kita lakukan dengan baik.”
Hanggapati dan Dipasanga mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menyadari, bahwa lawan-lawan mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan tidak kalah dari para perwira Pajang. Karena itu, maka pertempuran kali ini tidak akan dapat dianggapnya sebuah perkelahian antara mereka yang sedang berebut air sawah, meskipun hakekatnya tidak jauh berbeda. Tetapi keduanya adalah pengawal yang telah dipercaya oleh Ki Gede Pemanahan, untuk mengawani putera satu-satunya, menyelami pedalaman Alas Mentaok. Keduanya adalah perwira-perwira yang dapat dibanggakan. Keduanya tidak jauh berbeda kemampuan dari Sutawijaya sendiri. Dan kini mereka berdua mendapat tugas untuk mendekatkan hubungan antara Mentaok, yang masih harus membangun hari depannya dengan Menoreh, yang kini sedang dibakar oleh api perpecahan.
“Aku harus dapat menunaikan tugas ini dengan baik,” berkata Hanggapati di dalam hatinya.
“Kalau aku gagal, maka pendekatan hubungan antara Angger Sutawijaya dan Ki Argapati ini pun akan gagal pula. Tetapi kalau aku berhasil bersama Ki Dipasanga, maka setidak-tidaknya, Ki Argapati akan mengingat-ingatnya di dalam hatinya. Apabila Angger Sutawijaya kelak berhasil membuka Mentaok, Menoreh pasti tidak akan mengganggunya.”

Sedang Dipasanga pun berpendirian serupa itu pula, sehingga meskipun kini mereka sedang berada di antara lingkungan yang baru saja dikenalnya, namun mereka merasa, bahwa tugas mereka harus mereka lakukan sebaik-baiknya untuk kepentingan Sutawijaya. Demikianlah, maka para pemimpin Menoreh itu  pun telah siap untuk menyambut lawan mereka. Wajah-wajah mereka segera menjadi tegang, ketika bayangan di atas sawah yang kering di hadapan regol itu mulai bergerak-gerak, seperti seleret pagar yang hitam yang maju perlahan-lahan di antara batang-batang ilalang yang tumbuh liar.
“Mereka telah mulai bergerak,” desis Samekta.
“Ya. Mereka telah mulai.”
Setiap orang mulai menahan nafasnya, seperti Ki Tambak Wedi juga menahan nafas. Sidanti, Argajaya, Ki Peda Sura, Ki Muni, Ki Wasi, dan pemimpin yang lain telah di tempatkan di tempat masing-masing. Dan pasukannya kini telah mulai merayap mendekati regol padukuhan di hadapan mereka. Ki Tambak Wedi menyadari, bahwa di sekitar regol itu telah siap segala macam ujung senjata yang akan menyambutnya. Namun tidak ada pilihan lain daripada bertempur. Tidak ada pilihan lain daripada menumpas mereka, yang akan dapat menjadi benih persoalan di masa depan. Ki Tambak Wedi sama sekali tidak menghiraukan lagi, apakah dengan demikian ia telah menyisihkan rasa perikemanusiaan. Sejenak kemudian, setiap tangan telah menggenggam senjata yang telanjang. Beberapa orang di setiap kelompok diperlengkapi dengan senjata-senjata jarak jauh. Panah, bandil dan bahkan tulup-tulup berduri. Di samping mereka yang berperisai, pelontar senjata-senjata jarak jauh itu harus berusaha mengurangi tekanan senjata-senjata yang dilontarkan oleh lawan. Maka setelah Ki Tambak Wedi merasa saatnya telah tiba, pasukannya itu pun dibawanya maju semakin dekat. Jarak yang semakin dekat itu telah membuat kedua belah pihak menjadi semakin berdebar-debar. Setiap orang mulai menilai diri. Dan setiap orang mulai bertanya-tanya, siapakah lawan yang akan dibinasakannya? Jarak yang memisahkan kedua pasukan itu menjadi semakin dekat. Sebentar lagi mereka pasti akan segera berbenturan. Dalam benturan yang dahsyat itu, mereka sudah tidak akan ingat lagi, bahwa mereka pernah hidup dalam satu lingkungan keluarga besar yang bersama-sama membina tanah perdikan ini. Yang pernah bersama-sama membuat sawah-sawah dan pategalan menjadi hijau. Menebas hutan untuk membuka tanah-tanah baru. Menggali parit, dan membuat jalan-jalan. Kini mereka telah terbelah dengan senjata di tangan masing-masing. Sedang dada mereka telah terbakar oleh kebencian dan nafsu-nafsu yang lain, yang tidak terkendali lagi. Dan kini mereka telah siap untuk saling membunuh. Ya, saling membunuh. Tanpa belas kasihan, tanpa berperikemanusiaan. Apalagi perintah Ki Tambak Wedi. Semua harus dimusnahkan. Mereka akan menjadi rabuk bagi kesuburan dan kemakmuran tanah ini di hari kemudian.
Ki Argapati menunggu pasukan lawan menjadi semakin dekat. Ia tidak akan menerima lawannya dekat di depan regol. Tetapi ia akan mundur beberapa puluh langkah. Ia memerlukan suatu arena yang luas untuk melawan pasukan Ki Tambak Wedi yang tidak akan dapat tertahan di mulut regol, karena Ki Argapati telah dapat membayangkan, betapa dahsyatnya banjir bandang yang akan melanda padukuhan dan pertahanannya kali ini. Namun menurut perhitungannya, korban mereka  pun tidak akan terhitung lagi.
Pasukan Ki Tambak Wedi itu  pun telah menjadi semakin dekat. Samekta yang telah berjanji untuk memberitahukan kepada gembala tua dan sebagian pasukannya yang berada di pategalan di sebelah padukuhan, itu pun segera memerintahkan untuk melepaskan tiga buah anak panah api ke udara, seperti yang telah dijanjikan. Tetapi panah api itu bukan sekedar pemberitahuan kepada pasukan Menoreh yang ada di luar padukuhan, tetapi juga merupakan perintah bagi setiap orang dari pasukan pengawal tanah perdikan ini untuk berada di tempatnya, dan bagi mereka yang berkewajiban untuk menyerang pasukan Tambak Wedi dengan senjata-senjata pelontar, untuk segera mulai memasang anak-anak panah, dan lembing-lembing yang akan segera mereka lepaskan apabila perintah berikutnya telah diberikannya. Sejenak kemudian, maka meluncurlah tiga buah panah api berturut-turut ke udara. Ki Tambak Wedi dan orang-orangnya yang melihat panah api itu mengerutkan kening mereka. Mereka sadar, bahwa tanda itu pasti merupakan suatu perintah. Tetapi mereka tidak tahu, arti dari perintah itu. Meskipun demikian, Ki Tambak Wedi  pun kemudian meneriakkan aba-aba yang segera disahut oleh para pemimpin kelompok, untuk berwaspada.
“Panah berapi itu pasti mengandung suatu maksud. Hati-hatilah. Kita sudah sampai ke hidung lawan. Sebentar lagi senjata-senjata mereka akan menghujani kita. Berlindunglah pada perisai-perisai kalian.”
Belum lagi gema perintah itu hilang, maka ternyatalah, bahwa Samekta telah memberikan perintah berikutnya atas persetujuan Ki Argapati.
Kali ini bukan panah api yang naik ke udara, tetapi sebuah panah api yang langsung dilepaskan oleh Samekta sendiri ke arah pasukan Ki Tambak Wedi. Beberapa orang pengawal yang melihat panah api itu pun segera menyadari, bahwa pertempuran sudah dimulai. Sekejap kemudian, maka beberapa panah api telah meluncur pula dari dalam lingkungan pring ori. Beberapa obor terpaksa dinyalakan untuk membakar ujung panah berapi itu. Ki Tambak Wedi  pun kemudian menggeram. Dengan suara bergetar ia segera meneriakkan perintah,
“Balas setiap panah dengan panah. Setiap nyawa dengan nyawa.”

Anak buahnya  pun segera menyiapkan perisai-perisai mereka dan di belakang orang-orang yang berperisai itu, beberapa orang telah menyiapkan busur dan anak-anak panah pula. Sejenak kemudian, maka udara di antara kedua pasukan itu  pun segera dipenuhi oleh anak-anak panah yang hilir-mudik ke arah yang berlawanan. Anak-anak panah para pengawal yang bersenjata di balik pring ori dan anak-anak panah orang-orang Ki Tambak Wedi yang mencoba melindungi diri mereka dengan perisai-perisai. Bukan saja anak-anak panah bedor berujung runcing yang berterbangan kian kemari, tetapi juga panah-panah api, seolah-olah menari-nari di udara. Pasukan Ki Tambak Wedi yang merayap maju itu sama sekali tidak menghiraukan bumbung-bumbung kecil di bawah kaki-kaki mereka. Dengan demikian, maka mereka telah menggulingkan beberapa di antara bumbung-bumbung yang berisi minyak, semakin lama semakin banyak. Dan minyak itu agaknya telah menangkap api yang terlontar dari panah-panah api dari balik pring ori. Dengan demikian, maka api  pun segera berkobar pada jerami yang sengaja ditebarkan oleh para pengawal Menoreh.
“Licik,” Ki Tambak Wedi menggeram. Mau tidak mau, maka api itu  pun telah mengganggu pasukannya. Bahkan beberapa orang yang lengah telah terjilat api jerami di bawah kaki-kaki mereka.
Api itu  pun sejenak kemudian telah menjalar. Api yang terlontar pada ujung-ujung panah api telah membakar jerami itu di beberapa tempat, sehingga jerami yang terbakar itu  pun kemudian seolah-olah merupakan pagar yang menjilat-jilat ke udara. Api itu benar-benar telah berhasil menahan arus pasukan Ki Tambak Wedi. Mereka harus berhati-hati, supaya kaki mereka tidak terbakar karenanya. Dalam kesempatan yang demikian itulah, pasukan pelontar lembing dan busur-busur di dalam pagar pring ori itu melepaskan lembing dan anak-anak panah. Seperti hujan senjata-senjata itu menyambar pasukan Ki Tambak Wedi yang sedang terhambat maju.
Sekali lagi Ki Tambak Wedi mengumpat. Sidanti yang menjadi kian marah berteriak nyaring,
“Jangan takut. Mereka menjadi licik karena mereka ketakutan melihat arus pasukan kita yang datang seperti banjir bandang. Pecahlah regol itu, kita jadikan padukuhan itu menjadi karang abang.”
Pasukan Ki Tambak Wedi  pun kemudian bersorak gemuruh. Tetapi mereka masih belum dapat maju, karena api yang membakar jerami di depan regol itu masih menyala-nyala, sementara anak-anak panah menyambar-nyambar di atas kepala mereka. Satu dua dari mereka ternyata menjadi lengah. Selagi mereka meloncat-loncat menghindari api di bawah kaki mereka, maka sementara itu dada mereka telah disambar oleh sebuah anak panah. Korban telah mulai berjatuhan. Justru karena itulah, maka kemarahan Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, dan para pemimpin yang lain menjadi semakin memuncak. Namun api jerami itu pun tidak dapat bertahan terlampau lama. Sejenak kemudian, api itu telah mulai surut. Meskipun demikian, api itu telah berhasil menahan mereka dalam garis lontaran anak-anak panah dan lembing, sehingga senjata-senjata itu telah berhasil merenggut beberapa nyawa dari lawan mereka.
“Kita maju terus,” teriak Ki Tambak Wedi.
Orang yang telah berada di depan api jerami itu tidak segera maju. Mereka masih menunggu pasukan yang lain, yang terpisah oleh api yang sudah hampir padam.
“Cepat, maju terus!” teriak Ki Tambak Wedi pula.
Namun mereka masih belum dapat maju. Sisa-sisa api dan abu jerami itu masih terlampau panas, sementara anak-anak panah dan lembing masih terus menghujani mereka, sehingga satu demi satu korban  pun kian bertambah-tambah. Baru sejenak kemudian, pasukan itu dapat melampaui bekas api jerami yang di sana-sini masih menyimpan bara. Dan ternyata kemudian, untuk melampaui garis yang dibuat oleh para pengawal Menoreh dengan jerami dan minyak itu, pasukan Ki Tambak Wedi sudah harus menyerahkan beberapa orang korban. Namun korban-korban itu seperti api yang menyentuh minyak di dalam dada para pemimpinnya. Dengan kemarahan yang menyala-nyala, mereka merayap semakin dekat. Panah dan lembing berloncatan di udara. Semakin lama semakin banyak. Bahkan ada di antara senjata-senjata itu yang berbenturan di udara dan jatuh di tanah tanpa menyentuh korbannya sama sekali.

Ki Gede melihat pasukan lawan yang semakin maju itu dengan dada yang berdebar-debar. Ternyata pasukan itu cukup kuat. Dan Ki Gede Menoreh itu tahu benar, bahwa sebagian dari mereka, bukanlah orang-orang Menoreh. Orang yang datang untuk pamrih-pamrih pribadi, itulah yang membuat Ki Gede terlampau prihatin. Orang-orang itu sama sekali tidak memikirkan kepentingan apa pun, selain kepentingan diri mereka sendiri. Sehingga dengan demikian, Menoreh sama sekali tidak akan berarti lagi bagi mereka, apabila maksud mereka telah dapat tercapai. Namun ada juga di antara mereka, di antaranya Ki Peda Sura, yang menginginkan Menoreh yang lain dari Menoreh yang sekarang. Selain dapat memberikan keuntungan pribadi secara langsung, juga di waktu-waktu mendatang. Menoreh akan tetap merupakan sumber yang tidak akan kering-keringnya bagi dirinya dan orang-orangnya. Tetapi Ki Gede juga berbangga, melihat kebulatan tekad para pengawal tanah perdikannya. Wajah-wajah mereka yang mantap dan sorot mata mereka yang membara, telah menyatakan, bahwa mereka bersedia melakukan apa saja untuk kepentingan tanah ini. Apalagi setelah mereka mendengar ceritera tentang pasukan berkuda Menoreh, yang telah berhasil menerobos masuk ke padukuhan induk. Ternyata, bahwa Ki Tambak Wedi bukan iblis yang melihat segala keadaan dan segala peristiwa di atas tanah ini. Suatu ketika orang yang mengerikan itu dapat juga lengah. Semakin dekat pasukan Ki Tambak Wedi, maka hujan senjata dari balik pring ori itu pun menjadi semakin lebat. Meskipun orang-orang Ki Tambak Wedi membalas juga, namun kedudukan orang-orang di balik pring ori itu ternyata jauh lebih baik dari mereka yang berlindung di balik perisai, karena arah lontaran anak panah lawan tidak dapat diperhitungkan. Namun betapapun lambatnya, pasukan lawan itu maju terus. Bahkan ketika regol padukuhan itu sudah menjadi semakin dekat, tiba-tiba terdengar Ki Tambak Wedi yang memimpin langsung serangan itu berteriak nyaring. Dan sejenak kemudian, seperti banjir bandang, pasukan itu mengalir melanda regol.
Sesaat Samekta tertegun, melihat arus manusia yang hampir-hampir seperti kehilangan perasaannya. Namun sejenak kemudian ia menyadari keadaannya, sehingga segera turun pula perintahnya agar pasukan pelontar yang menebar di belakang pring ori, segera menarik diri menghadap regol padukuhan. Menempatkan dirinya di balik pagar-pagar batu di sepanjang jalan. Mereka harus menyongsong pasukan Ki Tambak Wedi, yang pasti akan memecahkan regol. Hanya beberapa orang sajalah yang tertinggal di belakang pring ori untuk mengawasi apabila ada usaha lain yang dilakukan oleh pasukan lawan. Demikianlah, maka sebagian besar dari alat-alat pelontar yang dapat dipindah dari tempatnya segera dibawa ke balik pagar-pagar batu menghadap ke regol, yang sebentar lagi akan dipecahkan oleh pasukan Ki Tambak Wedi.
“Kurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya dapat kalian lakukan,” perintah Samekta.
“Sebagian langsung menyerang pasukan yang baru masuk itu dari depan, sedang yang lain harus memukulnya dari samping, apabila sebagian dari mereka justru telah masuk.”
Setiap pemimpin kelompok pasukan pelontar senjata jarak jauh itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka tahu benar, apa yang harus mereka lakukan.
“Dalam keadaan yang tidak teratasi, kalian harus mundur dan bergabung dengan pasukan yang lain.”
Sekali lagi mereka mengangguk. Tanpa sadar, mereka telah meraba hulu pedang di lambung mereka.
“Nah, lakukanlah.”
Orang-orang itu pun kemudian berlari-lari kembali ke kelompok masing-masing. Dengan dada berdebar-debar, mereka menunggu orang-orang Ki Tambak Wedi yang sedang berusaha untuk membuka pintu regol di dalam hujan anak-anak panah, yang dilontarkan oleh para pengawal di sebelah-menyebelah regol.
“Pecahkan regol itu!” teriak Ki Tambak Wedi.
Beberapa orang yang dipimpin langsung oleh Sidanti, berusaha memecah regol itu dengan kekerasan. Karena regol itu terlampau kuat dengan selarak kayu sebesar paha, maka Sidianti berusaha mencari cara lain. Bukan pintunyalah yang akan dipecahkannya. Tetapi dinding sebelah menyebelah pintu darurat itu. Beberapa orang berusaha memecah dinding itu dengan kapak dan berbagai macam senjata yang mereka bawa. Agaknya usaha itu berhasil. Sedikit demi sedikit papan-papan kayu itu pecah dan memberi kesempatan ujung senjata mengungkit sisa-sisanya. Sejenak kemudian, Sidanti telah berhasil memecahkan dinding itu. Dengan lantang ia berteriak,
“Masuk, buka selarak pintu.”
Seseorang dengan tergesa-gesa menyusup masuk lubang yang telah berhasil mereka buat. Tetapi begitu ia masuk, jatuhlah ia tertelungkup. Sebuah anak panah telah terhunjam di dadanya. Sidanti menggeram. Ia sadar, meskipun di depan regol itu tidak ada pasukan yang menghadang mereka, tetapi begitu pintu itu pecah, maka ujung-ujung anak panah akan berterbangan menyongsong mereka. Dalam keragu-raguan itu, terdengar Ki Tambak Wedi berteriak,
“Pecahkan dinding itu lebih lebar lagi!”
Dan Sidanti pun melakukannya. Dinding itu menjadi semakin menganga. Dan Sidanti pun semakin keras berteriak,
“Masuk dengan perlindungan perisai!”
Seseorang segera menyusup masuk dengan sebuah perisai yang menutup dada dan kepalanya. Tetapi ketika tangannya baru menyentuh selarak ia pun jatuh terguling. Mati oleh anak panah dari lambung.

Kini Sidanti menjadi semakin marah. Tetapi ia pun menjadi semakin banyak mengetahui, tentang kesiagaan lawannya. Karena itu, ia harus mengambil cara yang lain. Dan sekali lagi ia berteriak kepada orang-orangnya,
“Jangan hanya satu orang. Masuklah beberapa orang bersama-sama.”
Dinding yang pecah di sisi pintu itu  pun menjadi semakin lebar. Kini beberapa orang menyusup bersama-sama. Tidak hanya dari satu sisi, tetapi dari kedua belah pihak. Beberapa orang yang telah berada di dalam pintu gerbang itu pun segera membuat lingkaran untuk melindungi diri mereka dengan perisai yang satu dengan yang lain saling bersentuhan rapat, seolah-olah mereka telah berada di dalam suatu lingkaran baja yang rapat, dan tidak tembus oleh panah. Tetapi orang-orang Menoreh tidak kehabisan akal. Mereka tidak lagi memakai panah-panah berujung runcing. Tetapi mereka kemudian melemparkan panah-panah api lewat di atas perisai-perisai itu. Orang-orang yang melidungi dirinya dengan perisai itu mengumpat-umpat sambil meloncat-loncat karena api yang menyentuh kaki-kaki mereka, meskipun mereka telah menutup diri dengan perisai-perisai ganda. Seorang berjongkok yang lain berdiri, dalam satu lingkaran di depan pintu regol itu. Tetapi api yang dilontarkan begitu saja telah jatuh bertaburan di sekitar mereka, bahkan ada yang jatuh tepat di atas kepala. Sesaat kemudian, lingkaran perisai itu  pun segera terurai. Tetapi pada saat yang bersamaan, seseorang telah berhasil mengangkat selarak pintu regol yang besar itu pada satu sisinya.
“Setan,” geram Samekta yang berdiri di atas dinding batu. Tangannya segera terentang. Dan sejenak kemudian sebuah anak panah meluncur menyusup pagar perisai yang telah pecah, langsung menghunjam ke punggung orang yang sedang berusaha mengangkat selarak pintu itu. Terdengar ia terpekik. Kemudian terhuyung-huyung jatuh terlentang. Sekali lagi ia mengeluh tertahan, ketika palang pintu yang besar itu jatuh menimpa kepalanya. Kemudian untuk seterusnya ia terdiam. Mati. Namun dengan demikian pintu regol itu sudah menganga. Seperti prahara yang tidak tertahankan lagi, dan pintu itu bagaikan bendungan yang akan pecah. Perlahan-lahan kekuatan yang tidak terkira di luar pintu itu mendesak terus, sehingga akhirnya pintu itu  pun terbuka.
Seperti banjir bandang, orang-orang Ki Tambak Wedi kemudian berjejalan memasuki regol itu. Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sekejap kemudian, maka muntahlah dari setiap busur, anak-anak panah menghujani regol. Sejenak kemudian segera terdengar teriakan dan pekik tertahan. Beberapa orang segera jatuh terbanting di tanah karena dada mereka ditembus oleh panah dan lembing.
“Pergunakan perisai kalian!” teriak Sidanti.

Barulah orang-orang itu sadar. Tetapi korban telah berjatuhan. Kini mereka dengan hati-hati maju sambil melindungi diri masing-masing dengan perisai. Tetapi demikian, mereka berada di dalam regol, maka mereka pun segera berlari berpencaran di sepanjang jalan. Bahkan mereka pun segera berusaha meloncat masuk ke dalam halaman sebelah-menyebelah jalan. Namun ternyata, para pengawal tanah perdikan telah siap menyambut mereka. Sebelum mereka berhadapan dalam arena perang, maka para pengawal tanah perdikan masih sempat menyerang mereka dengan anak-anak panah dan lembing. Namun kesempatan untuk itu menjadi semakin sempit, karena jumlah lawan yang menjadi semakin banyak dan dekat.

Ki Argapati melihat semuanya itu dengan dada yang berdebaran. Kemudian ia  pun memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk menemukan lawan yang telah ditentukan. Ia sendiri masih berdiri tegak di tempatnya, di antara pengawal-pengawalnya yang paling terpercaya. Di sampingnya berdiri puteri satu-satunya, Pandan Wangi, yang telah menggenggam sepasang pedangnya.
“Mereka akan segera datang Wangi,” desis ayahnya.
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Ketika ia berpaling, dilihatnya tombak pendek ayahnya telah merunduk.
Pasukan lawan itu  pun semakin lama semakin maju perlahan-lahan. Mereka kini telah menebar, memencar ke segala arah. Namun untuk sampai di garis itu, mereka sudah harus menyerahkan terlampau banyak korban, seperti yang telah diduga oleh Ki Argapati. Ternyata dalam keadaan yang demikian, Ki Tambak Wedi masih tetap berhasil menguasai pasukannya. Masih tampak jelas, bahkan pasukannya itu maju dalam gelar. Gelar Gajah Meta, meskipun harus disesuaikan dengan keadaan. Arena agaknya terlampau sempit untuk merubah gelar itu ke dalam bentuk yang lain. Ki Argapati memang sudah menduga. Satu-satunya gelar yang paling menguntungkan bagi Ki Tambak Wedi. Mereka masih berada di dalam lingkungan yang sempit, karena mereka belum berhasil menebarkan pasukan mereka. Apalagi karena mereka berhadapan dengan gelar yang ternyata telah dipasang oleh Samekta, Sapit Urang.
Sementara itu, Wrahasta telah berdiri di samping Hanggapati. Mereka berdua harus menemukan Sidanti di dalam hiruk-pikuknya peperangan itu, sedang Kerti harus mengantar Dipasanga mencari Argajaya, atau apabila keadaan memaksa, dapat terjadi sebaliknya. Yang penting, bahwa Sidanti dan Argajaya dapat terikat dalam suatu perkelahian yang seimbang, sehingga mereka tidak terlampau banyak menghisap korban. Samekta yang mendapat kepercayaan memimpin, perlawanan itu kini telah mendekatkan dirinya kepada Ki Argapati. Keadaan menjadi terlampau sulit baginya. Karena itu, maka ia harus selalu berada di samping Ki Gede, agar segala perintahnya tidak menyesatkan. Ki Gede Menoreh tidak beranjak dari tempatnya. Ia yakin, bahwa Ki Tambak Wedi akan berada di ujung pasukannya, sehingga apabila ia tetap berada di tempat itu, maka mereka akan dapat segera bertemu.
Pertempuran itu  pun segera menjalar semakin merata. Orang-orang Ki Tambak Wedi yang mengembang semakin luas, segera harus berhadapan dengan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang semakin menyempit. Sidanti dan Argajaya telah menempatkan diri mereka masing-masing, di sebelah-menyebelah ujung belalai gelar Gajah Meta, seakan-akan menjadi ujung taring yang maha runcing. Sedang seperti telah diperhitungkan, Ki Tambak Wedi sendiri berada di tengah-tengah ujung pasukannya. Ki Argapati melihat gelar di kedua belah pihak dengan dada yang berdentangan. Kedua pasukan itu telah benar-benar bertempur, dan darah  pun telah membasahi Tanah Perdikan Menoreh. Darah putera-puteranya sendiri. Selagi pasukan Ki Tambak Wedi bergerak maju untuk mencapai seluruh arena pertempuran, terdengarlah hiruk-pikuk di ekor pasukan itu. Sejenak Ki Tambak Wedi tertegun, namun kemudian dibiarkannya orang-orang yang memang sudah di tempatkan di ekor barisan untuk mengatasi persoalannya. Ki Tambak Wedi memang sudah menduga, bahwa apabila pertempuran terjadi di dalam regol, maka kemungkinan yang terberat, orang-orang Argapati akan menyerang dari segala arah. Karena itu, maka Ki Peda Sura, Ki Muni, dan Ki Wasi di tempatkannya di ekor barisannya. Ternyata yang datang menyerang ekor pasukan Ki Tambak Wedi itu adalah para pengawal yang berada di luar padukuhan. Dengan tangkasnya mereka menyerang sisa-sisa pasukan lawan yang masih belum sempat masuk ke dalam regol. Dengan demikian, maka pasukan itu pun segera tertahan. Namun Ki Peda Sura yang telah sembuh dari lukanya, segera menempatkan diri di dalam pasukannya. Sejenak kemudian, ia berhasil membawa seluruh pasukannya masuk ke dalam regol sambil bertempur menghadap keluar. Ki Peda Sura, Ki Muni, dan Ki Wasi berusaha menyumbat pintu regol dengan ujung senjata bersama pasukannya, untuk mencegah para pengawal itu masuk. Tetapi ternyata usaha Ki Peda Sura itu tidak berhasil. Pasukan yang berada di luar padukuhan itu  pun mendesak terus, sehingga akhirnya, Ki Peda Sura harus menghadapinya di dalam padukuhan, di jalan-jalan sempit dan di halaman. Sementara ujung pasukannya telah maju lebih jauh lagi.

Ki Argapati pun kemudian melihat pula, bahwa pasukannya yang berada di luar lingkungan pring ori ini telah ikut serta pula bertempur. Ternyata cara yang dipergunakannya itu telah berhasil menahan arus maju pasukan Ki Tambak Wedi, karena sebagian dari mereka harus melawan serangan yang datang dengan tiba-tiba dari arah belakang. Meskipun hal serupa itu telah diperhitungkan oleh Ki Tambak Wedi, namun ia tidak menyangka, bahwa kekuatan yang menyerang dari ekor gelar Gajah Metanya itu adalah pasukan yang cukup kuat. Tetapi Ki Tambak Wedi percaya sepenuhnya kepada kemampuan Ki Peda Sura. Tidak ada orang Menoreh yang dapat mengalahkannya selain Ki Argapati sendiri. Kemampuan Ki Peda Sura tidak terpaut terlampau banyak daripadanya sendiri dan Ki Argapati. Karena itu, ia bersama-sama Ki Muni dan Ki Wasi, orang-orang terkuat di atas tanah perdikan ini, akan segera dapat menyapu lawan-lawannya, Betapapun kuatnya. Dalam hiruk-pikuk pertempuran itu, sekali-sekali terdengar teriakan-teriakan nyaring, di sela-sela keluhan kesakitan. Dentang senjata dan perisai, kadang-kadang melontarkan bunga-bunga api di udara. Namun dalam pada itu, orang-orang yang sedang bertempur itu  pun telah dikejutkan oleh ledakan cambuk yang memekakkan telinga.
“Setan!” geram Sidanti. “Apakah mereka berada di tempat ini juga?”
Namun sejenak kemudian, anak muda yang perkasa itu mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Akhirnya ia melihat seseorang yang bersenjatakan cambuk. Tetapi orang itu sama sekali belum dikenalnya. Seorang dalam pakaian yang serupa dengan pakaian para pengawal dan orang-orang Menoreh yang lain. Di sampingnya, seorang anak muda yang bertubuh raksasa, bertempur bagaikan gajah yang sedang mengamuk.
“Wrahasta,” desis Sidanti,
“anak itu terlampau sombong. Tubuhnya yang besar itu, disangkanya mampu membuatnya seorang yang tidak terkalahkan.”
Karena itu, maka Sidanti  pun segera meloncat, menyusup di antara peperangan itu, menyongsong Wrahasta yang sedang mengayun-ayunkan pedangnya. Sidanti sama sekali tidak menghiraukan orang bercambuk itu. Ia tidak melihat Wrahasta berbisik kepada orang yang memegang cambuk itu. Dan ia tidak melihat, bahwa orang yang memegang cambuk itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis,
“Jadi anak muda itulah yang bernama Sidanti. Pantas, ia tangkas seperti sikatan.”
“Akulah yang akan menyelesaikannya,” desis Wrahasta.
“Aku mendapat tugas untuk itu.”
“Aku adalah anak Menoreh. Aku ingin mencobanya.”
Hanggapati sama sekali belum dapat memperbandingkan kekuatan Wrahasta dengan kekuatan Sidanti, bahkan dengan kemampuannya sendiri. Tetapi agaknya Wrahasta sudah tidak dapat dicegah lagi. Ketika Sidanti datang semakin dekat, langsung ia menyongsongnya dengan sambaran pedang. Dengan penuh kebanggaan, Wrahasta terlampau percaya kepada tenaga raksasanya. Sidanti yang lebih kecil dan lebih pendek daripadanya, pasti tidak akan memiliki kekuatan seperti kekuatannya. Namun betapa terkejut Wrahasta, pada saat senjatanya membentur pedang Sidanti. Terasa seolah-olah tangannya menjadi retak. Perasaan sakit yang amat sangat telah menyengat telapak tangannya, kemudian menjalar sampai ke seluruh tubuhnya. Wrahasta sama sekali tidak berdaya untuk mempertahankan genggamannya, sehingga pedangnya itu pun bergetar dan jatuh di tanah.
“Kau terlampau sombong,” geram Sidanti.
“Ternyata kau telah mengantarkan nyawamu, he raksasa yang bodoh.”
Sejenak Wrahasta seakan-akan terpaku di tempatnya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Sidanti mempunyai kekuatan yang tidak terkirakan. Tangannya yang jauh lebih besar dari tangan Sidanti itu seolah-olah sama sekali tidak berdaya, dan pedangnya yang besar itu seakan-akan telah membentur batu karang. Tanpa dapat berbuat sesuatu, ia melihat Sidanti justru melangkah surut. Kemudian menggeram,
“Ternyata kaulah pemimpin pengawal Menoreh yang pertama-tama mati oleh ujung pedangku.”
Namun sebelum Sidanti meloncat maju sambil menghunjamkan ujung pedangnya, maka Hanggapati telah mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Dengan sepenuh tenaganya ia meledakkan cambuknya mengarah ke pergelangan tangan Sidanti. Sidanti terkejut bukan buatan. Disangkanya orang yang memegang cambuk itu adalah orang-orang Menoreh yang mencoba-coba jenis senjata itu, atau salah seorang dari orang-orang berkuda yang berusaha mengelabui orang-orangnya. Namun ternyata orang itu mampu bergerak begitu tangkas dan kuat. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa Sidanti sekali lagi meloncat surut. Namun orang itu ternyata tidak melepaskannya. Sekali lagi cambuk itu menggeletar di udara dan menyambar lehernya.
“Setan,” Sidanti mengumpat sambil merunduk rendah-rendah. Ia tidak mau menjadi sasaran tanpa berbuat sesuatu. Karena itu, maka tiba-tiba pedangnya terjulur lurus-lurus mengarah ke lambung lawannya.

Hanggapati terpaksa bergeser surut. Namun ia tidak lengah, dan cambuknya masih tetap berputar.
“He, menyenangkan juga jenis senjata ini,” katanya di dalam hati.
“Ternyata jenis senjata lentur dapat juga digerakkan dengan cepat dan lincah seperti sulur pepohonan.”
Dada Sidanti serasa terbakar menghadapi kenyataan itu. Karena itu, maka darahnya serasa mendidih sampai ke ubun-ubunnya. Apalagi ketika ia melihat raksasa yang kehilangan pedang itu telah berhasil memungut pedangnya kembali.
“Siapakah orang ini?” pertanyaan itu selalu mengganggu jantung Sidanti.
“Apakah di Menoreh ada orang baru yang demikian tangkasnya bermain dengan cambuk, ataukah orang-orang ini termasuk seperguruan atau termasuk dalam salah satu cabang perguruan Kiai Gringsing?”
Namun justru karena itu, maka Sidanti pun kemudian mendesak maju. Ia harus segera menyelesaikan lawannya, dan kemudian membinasakan orang-orang Menoreh seperti menebas batang ilalang. Tetapi ternyata orang ini memang mempunyai kelebihan dari orang lain. Bahkan kemudian, ternyata bahwa orang itu mampu melawannya dengan senjata cambuknya itu.
“He,” tiba-tiba Sidanti menggeram,
“siapa kau? Apakah kau orang baru di sini?”
Hanggapati tidak menjawab. Tetapi cambuknya sajalah yang bergeletar menyambar-nyambar, sehingga setiap kali Sidanti harus menghindarinya dan bahkan melangkah surut.
“Aku yakin, kau bukan orang Menoreh,” geram Sidanti kemudian.
“Sikapmu terlampau tenang dan pandangan matamu lurus-lurus ke pusat mata lawanmu. Kau pasti bukan orang Menoreh atau pengawal tanah perdikan ini. Coba katakan, siapakah kau?”
Hanggapati masih tetap berdiam diri. Tetapi serangannya menjadi semakin deras melanda lawannya. Ujung cambuknya berdesing-desing seperti lebah yang mengitari tubuh Sidanti. Bahkan sentuhan yang sekali-sekali menyengat tubuhnya, serasa seperti tusukan duri-duri yang paling tajam. Sekali lagi Sidanti menggeram. Tetapi ia pun terkejut, ketika di bagian lain dari pertempuran itu terdengar sekali lagi ledakan cambuk. Bahkan kemudian berturut-turut.
“Siapakah yang telah siap melawan Paman Argajaya itu?” Sidanti bertanya kepada diri sendiri. Dengan demikian, maka kemarahannya pun menjadi semakin meluap-luap. Sementara itu, Dipasanga pun telah melecutkan cambuknya berulang kali. Meskipun belum terlampau biasa, tetapi sebagai seorang prajurit ia segera dapat menyesuaikan diri dengan senjata yang ada di tangannya. Dan kali ini senjata itu adalah sebuah cambuk. Argajaya pun mengumpat tidak habis-habisnya. Ia tidak menyangka, bahwa pada suatu ketika ia akan bertemu dengan lawan yang demikian tangguhnya. Apalagi lawannya itu ternyata bersenjata cambuk.
“Pantaslah, bahwa orang-orang berkuda itu berani memasuki padukuhan induk. Di antaranya terdapat orang-orang bercambuk seperti ini.”
Namun seperti Sidanti, kemarahan Argajaya pun segera memuncak. Seperti Sidanti, ia pun bertanya dalam nada yang datar,
“Siapa kau, he?”
Namun berbeda dengan Hanggapati, ternyata Dipasanga menjawab,
“Namaku Dipa.”
“Darimana kau?”
“Aku orang Menoreh.”
“Bohong!” teriak Argajaya.
“Aku belum pernah melihat kau.”
“Apakah kau pernah datang ke Menoreh sebelum ini?”
Betapa hiruk-pikuknya peperangan, Kerti yang mendengar pertanyaan itu terpaksa tersenyum. Argajaya adalah adik kepala tanah perdikan ini.
Dengan demikian, maka pertanyaan Dipasanga itu telah membuktikan, bahwa justru Dipasanga-lah yang belum mengenal Menoreh. Karena itu, terdengar Argajaya menggeram,
“Kau terlampau bodoh untuk berpura-pura. Kenapa kau bertanya begitu kepadaku?”
Dipasanga surut selangkah. Namun kemudian, serangannya melibat lawannya seperti angin pusaran.
“Siapa kau?” ia ganti bertanya.
“Aku adalah Argajaya. Adik kepala tanah perdikan ini.”

Dipasanga mengerutkan keningnya. Ia mendapat tugas untuk menghadapi salah satu di antara dua, Sidanti, atau Argajaya. Kini ia telah bertemu dengan Argajaya. Tetapi ia masih belum yakin, karena tidak seorang pun yang memberitahukannya dengan pasti, bahwa Argajaya adalah adik Ki Argapati. Meskipun demikian, seakan-akan di luar sadarnya ia bertanya,
“Kenapa kau melawan kakakmu sendiri?”
Pertanyaan itu telah menusuk jantung Argajaya, seperti tajamnya ujung pedang. Sejenak ia terbungkam, meskipun senjatanya tidak berhenti terayun-ayun.
“Kenapa?” desak Dipasanga.
“Persetan!” jawab Argajaya.
“Apakah artinya seorang Kakak yang hanya mementingkan dirinya sendiri, tanpa mengerti persoalan orang lain, meskipun orang lain itu adalah anak dan adiknya sendiri?”
Dipasanga tersenyum. Katanya,
“Itulah yang tidak dapat diukur dengan ukuran-ukuran yang umum. Kepentingan seseorang tergantung sekali dari sudut memandangnya. Karena itulah, maka kau dapat mengatakan, bahwa Ki Argapati hanya sekedar mementingkan diri sendiri tanpa mengingat kepentinganmu dan anak laki-lakinya. Tetapi apakah kau yakin, setiap orang akan mengakui, bahwa kepentinganmu itu lebih bermanfaat bagi tanah ini dari sikap yang kau anggap kepentingan pribadi pada Ki Argapati itu? Apakah bukan karena kepentingan pribadimu yang tidak dipikirkannya justru untuk kepentingan yang lebih besar, kau merasa, bahwa Ki Argapati telah mementingkan dirinya sendiri.”
“Persetan, kau tahu apa? He, siapakah kau sebenarnya? Berapa kau diupah oleh Kakang Argapati untuk ikut di dalam pertempuran ini?”
“O,” jawab Dipasanga,
“ada beberapa perbedaan antara aku dan orang-orangmu, termasuk orang yang disebut-sebut bernama Peda Sura. Aku mempunyai kepentingan yang khusus, kenapa aku bersedia bertempur di pihak Ki Argapati. Mungkin dapat juga disebut pamrih-pamrih pribadi, meskipun tidak sejelas Ki Peda Sura. Tetapi aku ternyata telah melibatkan diri dalam pertempuran ini.”
Argajaya menggeram. Senjatanya berputar semakin cepat. Dan dengan demikian, maka cambuk Dipasanga pun menjadi semakin sering meledak-ledak.
Meskipun Dipasanga tidak biasa bertempur dengan senjata semacam itu, namun ia mampu mempergunakannya dengan baik. Sekali-sekali ujung cambuknya berhasil melontarkan beberapa orang yang lengah di sekitar tempat perkelahiannya melawan Argajaya. Bahkan sekali-sekali ujung cambuk itu dapat membuat Argajaya menjadi agak bingung. Tetapi Argajaya pun bukan orang Menoreh kebanyakan. Ia adalah adik Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Dengan demikian maka ia pun segera berhasil menempatkan dirinya menghadapi orang bercambuk itu. Dengan demikian, maka perkelahian di antara mereka menjadi semakin seru. Masing-masing memiliki kelebihannya, dan masing-masing adalah orang-orang yang sudah cukup banyak menyimpan pengalaman di dalam dirinya. Dalam pada itu, pasukan Ki Tambak Wedi itu  pun semakin lama menjadi semakin meluas, sedang pasukan Ki Argapati menjadi semakin menyempit. Kini di semua pihak, kedua pasukan itu telah bertemu dan bertempur mati-matian. Di jalan-jalan sempit, di halaman, dan di kebun-kebun. Mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi di mana mereka sedang berada, yang mereka perhatikan adalah garis lingkaran dari gelar mereka masing-masing. Dalam keadaan yang demikian itulah, maka ujung gelar Gajah Meta itu  pun kini telah sampai di muka puncak pimpinan gelar lawan. Sehingga dengan demikian, maka kedua pimpinan tertinggi itu  pun akan segera saling berhadapan.

Mereka masing-masing sudah menyangka, bahwa mereka akan bertemu lagi di dalam perang ini. Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi.
“He,” geram Ki Tambak Wedi, “apakah kau sudah sembuh benar?”
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Tombaknya telah merunduk semakin rendah. Beberapa, langkah ia menyongsong maju dibarengi oleh Pandan Wangi dan Samekta. Sebelah menyebelahnya adalah para pengawal yang paling terpercaya untuk melindunginya dari pasukan Ki Tambak Wedi yang lain.
“Aku sudah lama menunggumu, Ki Tambak Wedi,” sahut Argapati.
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dilihatnya seorang gadis yang membawa sepasang pedang yang sudah bersilang di muka dadanya.
“Kau bawa gadismu bertempur?” bertanya Ki Tambak Wedi.
“Apa bedanya seorang gadis dan seorang anak lelaki?”
“Kau memang luar biasa. Kau dapat membuat gadismu melebihi setiap lelaki di atas Bukit Menoreh ini.”
Ki Argapati tidak menjawab. Tetapi matanya tidak berkisar dari senjata Ki Tambak Wedi yang mengerikan. Sebuah nenggala bermata rangkap.
“Tetapi, sayang Ki Argapati,” berkata Ki Tambak Wedi selanjutnya,
“usahamu selama ini akan sia-sia. Karena aku sudah memutuskan, bahwa setiap orang di dalam padukuhan ini harus dimusnahkan. Semua harus dibunuh. Meskipun ia seorang gadis.”
“Keputusanmu lain dengan keputusanku, Ki Tambak Wedi. Dan aku mengharap, bahwa keputusankulah yang akan berlaku di sini.”
Ki Tambak Wedi menggeretakkan giginya. Segera ia meloncat menyerang sambil berteriak nyaring,
“Mampuslah kau ayah-beranak.”
Tetapi Ki Argapati telah siap menerima serangan itu. Karena itu maka ia pun segera meloncat ke samping untuk mengelakkan serangan itu. Berbareng dengan itu, tombaknya pun segera terjulur lurus mematuk dada lawannya. Ki Tambak Wedi berdesis. Ia terpaksa mengeliat dan memutar tubuhnya. Dengan cepatnya ia merendah dan menyusup di bawah senjata lawannya sambil menyerang lambung. Ki Argapati tidak menjadi bingung. Ia pun bergeser surut. Dengan cepatnya pula ia memutar tombaknya, dan berusaha untuk mengetok pundak lawannya dengan pangkal landean tombak itu.
“Kau gila,” geram Ki Tambak Wedi sambil meloncat surut. Namun sejenak kemudian serangannya telah membadai pula.
Pada gerak yang pertama-tama, telah terasa pada Ki Argapati, bahwa kelesuan geraknya memang agak terganggu oleh luka dan pembalut di dadanya. Namun meskipun demikian, ia masih merasa cukup mampu untuk menghadapi Ki Tambak Wedi dalam keadaan itu. Apalagi ia mengharap Pandan Wangi dapat mengganggu keseimbangan pertempuran itu.
“Suruh anakmu ikut serta,” tiba-tiba Ki Tambak Wedi berteriak.
“Jangan hiraukan lagi sikap jantan di peperangan.”
Seleret warna merah membayang di wajah Ki Argapati yang tegang. Betapa tajamnya sindiran Ki Tambak Wedi itu bagi seorang laki-laki seperti Ki Argapati. Namun sejenak kemudian, ia telah berhasil menguasai perasaannya. Bahkan kemudian ia menjawab,
“Kita tidak sedang berada dalam arena perang tanding, Ki Tambak Wedi. Di dalam peperangan, yang bertempur adalah pihak yang satu melawan pihak yang lain. Bukan Ki Tambak Wedi melawan Ki Argapati.”
“Persetan!” Ki Tambak Wedi menggeram, dan serangannya  pun menjadi semakin cepat.
Dalam perkelahian yang semakin seru, maka semakin terasa dada Ki Argapati terganggu sekali oleh pembalut dan bahkan lukanya yang masih belum sembuh benar. Karena itu, maka perlawanan Ki Argapati  pun tidak pada puncak kemampuannya. Untunglah, bahwa Pandan Wangi yang memiliki ilmu dari ayahnya itu mampu mengisi kekurangan Ki Argapati. Setiap kali Pandan Wangi dengan sepasang pedangnya dapat mengganggu perhatian Ki Tambak Wedi, sehingga setiap kali usaha Ki Tambak Wedi untuk mendesak Ki Argapati terpaksa diurungkannya, karena sambaran-sambaran pedang Pandan Wangi.
“Setan betina!” ia menggeram.
“Apakah kau dahulu yang harus mati, he?”
Pandan Wangi sama sekali tidak menyahut. Tetapi pedangnya menjadi semakin lincah berputaran. Ki Tambak Wedi semakin lama menjadi semakin marah mengalami perlawanan kedua ayah-beranak itu. Karena itu, maka dikerahkannya segenap kemampuannya untuk segera mendesak lawannya. Supaya Pandan Wangi tidak selalu mengganggunya, maka akhirnya ia memutuskan untuk membunuh saja anak itu lebih dahulu.
“Semua harus dibinasakan. Semua. Juga Pandan Wangi,” ia menggeram di dalam hatinya untuk memantapkan rencananya.
Maka sejenak kemudian, Ki Tambak Wedi mencoba memusatkan perhatiannya kepada Pandan Wangi. Ia ingin mengurangi gangguan-gangguan kecil pada saat ia akan memusnahkan Ki Argapati kelak. Tetapi kesempatannya pun terlampau terbatas. Kalau ia berkelahi melawan lima Pandan Wangi, maka ia pasti akan dapat menyelesaikan pekerjaannya satu demi satu. Tetapi kini ia berhadapan pula dengan Argapati, sehingga setiap saat ia harus berwaspada. Ujung tombak pendek itu setiap kali dengan tiba-tiba saja telah mengarah ke dadanya. Namun Ki Tambak Wedi adalah iblis yang paling mengerikan. Sehingga dengan segala macam cara ia telah berhasil melibat Pandan Wangi yang agak terpisah dari ayahnya. Namun, ketika ia siap melontarkan gelang-gelang besinya untuk segera menyelesaikan Pandan Wangi yang berdiri beberapa langkah daripadanya, tiba-tiba ia disambar oleh sebuah kenangan tentang seorang perempuan yang pernah hinggap di dalam hatinya. Ternyata wajah gadis yang bernama Pandan Wangi itu mirip benar dengan ibunya, Rara Wulan, Wajah yang pernah membuatnya kehilangan keseimbangan, sehingga lahirlah Sidanti. Dan apabila Rara Wulan itu kemudian bersuami, maka menjadi jauhlah ia lari dari setiap perempuan, dan menyepi di lereng Gunung Merapi.

Sekejap Ki Tambak Wedi dicengkam oleh keragu-raguan. Namun sekejap kemudian, ia menggeretakkan giginya sambil menggeram,
“Tidak seorang pun yang akan dapat lolos. Semua harus dimusnakan, termasuk Pandan Wangi. Siapa pun Pandan Wangi itu.”
Dengan demikian, maka segera digenggamnya selingkar gelang-gelang besinya. Dan dengan sekuat tenaganya, gelang itu dilontarkannya ke arah Pandan Wangi. Tetapi waktu yang sekejap itu ternyata terlampau besar artinya bagi Pandan Wangi. Ki Argapati yang mempunyai cukup pengalaman melihat sikap Ki Tambak Wedi di dalam pertempuran itu, segera dapat menangkap maksud dari iblis lereng Gunung Merapi itu. Karena itu, maka dengan segera ia meloncat mendekati Pandan Wangi tepat pada saatnya. Pada saat gelang besi itu meluncur ke arah dada anak gadisnya. Sambil menggeram Ki Argapati masih sempat memukul gelang besi itu ke udara, sehingga sepercik bunga api meloncat bersama gelang yang membubung itu.
“Gila,” Ki Tambak Wedi dan Ki Argapati mengumpat hampir bersamaan. Jantung di dalam dada mereka pun berdentang semakin cepat pula, sementara dada Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Hampir saja ia disambar oleh senjata Ki Tambak Wedi yang pasti tidak akan dapat dielakkannya. Dengan demikian, maka Ki Argapati menjadi lebih berhati-hati. Ia harus melupakan sakit di dadanya. Ia harus berusaha sejauh-jauh dapat dilakukan untuk melawan iblis yang paling ganas itu. Meskipun kadang-kadang Samekta dapat membantunya, tetapi tenaganya tidak terlalu banyak berarti bagi pertempuran antara orang-orang yang berilmu jauh di atas jangkauannya. Maka, betapa lambatnya, namun pasti, Ki Tambak Wedi akan dapat menguasai lawannya. Karena menurut pertimbangan Ki Tambak Wedi sendiri, pada suatu saat Argapati yang masih diganggu oleh lukanya itu, akan kehabisan tenaga sebelum waktu yang dapat dicapai oleh ketahanan tubuhnya seperti biasanya dalam keadaan yang wajar. Di sudut lain, Sidanti dan Argajaya ternyata tidak kalah tangkas dari lawan-lawan mereka. Wrahasta dan Kerti tidak terlampau banyak berarti lagi bagi keduanya, karena mereka harus melawan orang-orang yang memang sudah dipersiapkan oleh Sidanti dan Argajaya pula. Sehingga baik Argajaya maupun Sidanti, masih mempunyai keyakinan, bahwa mereka akan dapat mengalahkan lawan-lawan mereka. Tetapi saat itu, agaknya Hanggapati dan Dipasanga masih dipengaruhi oleh jenis senjata yang tidak biasa mereka pakai. Karena itu, mereka berdua  pun tidak berkeras hati, meskipun mereka merasa tidak dapat menguasai lawannya.
“Pada saatnya akan aku letakkan senjata-senjata ini. Dan aku akan memakai pedangku,” keduanya berpendirian serupa di dalam keadaan yang menjadi semakin gawat.
Namun, mau tidak mau, ledakan-ledakan cambuk itu telah menumbuhkan persoalan pula di dalam hati Ki Tambak Wedi, yang justru tidak melihat sendiri siapa yang mempergunakannya. Demikian mendesaknya persoalan suara-suara cambuk itu, sehingga akhirnya Ki Tambak Wedi tidak dapat menahan hatinya lagi untuk mengetahuinya. Diperintahkannya seorang penghubungnya untuk melihat, siapakah orang-orang yang telah mempergunakan cambuk di dalam peperangan ini.
“Kenapa kau digelisahkan oleh suara cambuk itu Ki Tambak Wedi? Apakah kau tidak senang mendengarnya?” bertanya Argapati sambil menyerang terus.
Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Dengan sekuat-kuat tenaganya ia berusaha untuk segera mengalahkan lawannya apabila mungkin. Dengan demikian, maka ia akan mendapat kesempatan untuk menjelajahi peperangan ini. Tetapi apabila tidak, maka ia harus menunggu Argapati kehabisan tenaga, dan sama sekali tidak berdaya lagi. Sejenak kemudian, penghubungnya telah kembali lagi kepadanya. Dengan cekatan ia meloncat surut, menghindari serangan Ki Argapati dan Pandan Wangi sambil bertanya,
“Siapa mereka?”
“Orang-orang yang tidak kita kenal,” jawab penghubung.
“Siapa nama mereka?”
Penghubung itu terpaksa meloncat jauh-jauh ketika serangan Ki Argapati melanda Ki Tambak Wedi dengan dahsyatnya. Tetapi Ki Tambak Wedi  pun cukup lincah untuk menghindarinya, bahkan dengan sigapnya ia meloncat menyerang Pandan Wangi. Tetapi sekali lagi ia harus membentur kekuatan Ki Argapati yang menghalanginya. Kemudian disusul oleh serangan sepasang pedang dari arah lambung. Ki Tambak Wedi terpaksa meloncat surut. Tetapi justru ia mendapat kesempatan untuk mendengar,
“Sidanti belum mengenalnya.”
Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Kalau Sidanti belum mengenalnya, mereka atau salah seorang daripadanya pasti bukan anak-anak dari seberang Mentaok yang menggelisahkan itu. Dengan demikian, maka Ki Tambak Wedi bertempur semakin mantap. Ia percaya, bahwa kekuatan pasukannya tidak terlampau jauh berada di bawah kekuatan lawannya, sebelah korban berjatuhan pada saat mereka masuk. Bahkan mungkin masih dapat mengimbangi atau bahkan melampauinya. Tetapi yang membuatnya yakin adalah kemampuan para pemimpinnya. Tidak ada seorang  pun yang dapat dipercaya di antara orang-orang yang masih setia kepada Argapati. Tidak akan ada orang yang dapat berhadapan langsung dengan Sidanti, Argajaya, dan apalagi Ki Peda Sura. Bahkan orang-orang Menoreh sendiri, Ki Muni dan Ki Wasi. Meskipun keduanya tidak akan banyak terpaut dari para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh, namun dengan demikian, maka kekuatan pasukannya telah meyakinkannya.

Karena itu, maka kini tenaganya dipusatkannya untuk menghancurkan Ki Argapati dan dengan sepenuh tenaga ia telah memaksa dirinya untuk memantapkan rencananya, membunuh Pandan Wangi juga. Meskipun setiap kali di wajah gadis itu seolah-olah selalu membayang wajah Rara Wulan yang kecemasan, yang seolah-olah memandangnya dengan tajam dan dengan perasaan yang meluap-luap.
“Kau gila, he, Tambak Wedi,” seolah-olah ia mendengar suara Rara Wulan.
“Gadis itu adalah anakku, anakku.”
“Persetan!” ia menggeram.
“Biarlah ia anak iblis, gendruwo, tetekan, aku tidak peduli. Semua orang, apalagi pemimpinnya, harus dibunuh. Pertahanan ini harus jadi neraka yang paling jahanam bagi mereka.”
Dengan demikian, maka sambil menggeretakkan giginya, Ki Tambak Wedi berkelahi terus, semakin lama semakin garang. Sementara itu, di bagian lain dari peperangan itu  pun menjadi semakin seru. Sekali-sekali terdengar mereka berteriak di sela-sela dentang senjata. Teriakan mereka yang mencoba menghentakkan kemampuannya, namun juga teriakan mereka yang tersentuh oleh senjata.

Desak-mendesak telah terjadi di setiap langkah di garis peperangan. Mereka adalah orang-orang yang berasal dari satu wadah, sehingga kekuatan, kemampuan dan cara-cara mereka bertempur hampir bersamaan. Hanya di beberapa bagian saja terjadi kegelisahan yang agak mengganggu ketabahan hati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang setia kepada Ki Argapati. Orang-orang yang tidak dikenal bertempur dengan kasar dan buasnya. Mereka sama sekali tidak menghiraukan perasaan apa pun. Apalagi mereka telah mendapat perintah untuk membinasakan semua orang yang melawan. Dengan demikian, maka mereka  pun bertempur tanpa batas lagi. Apalagi dengan sengaja mereka menunjukkan kekejaman-kekejaman yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, untuk menurunkan keberanian dan tekad lawan-lawan mereka. Tetapi ternyata semuanya itu hanyalah mengungkat kemarahan para pengawal tanah perdikan, sehingga mereka justru berkelahi semakin gigih untuk mempertahankan diri dan garis perlawanan di dalam gelar yang telah mantap. Kalau salah satu garis pertahanan itu dapat dipecahkan, maka gelar keseluruhan akan dapat terpengaruh karenanya. Dengan demikian, maka apa  pun yang terjadi, mereka bertahan sampai kemampuan mereka yang terakhir. Namun di sela-sela pertempuran yang semakin seru itu, terdapat tiga orang yang masih sedang mencari-cari lawan masing-masing. Mereka menyusup di antara hiruk-pikuknya ujung senjata. Di tangan mereka tergenggam pedang. Mereka tertegun sejenak, ketika mereka melihat kesulitan yang berbahaya pada garis pertempuran di bagian belakang gelar lawan. Agaknya Ki Peda Sura sedang menari dengan sepasang senjatanya yang mengerikan. Tanpa ampun, siapa yang mendekat, pasti akan terlempar jatuh. Sedang beberapa langkah dari padanya, Ki Wasi sedang mengamuk sebagai harimau terluka, dan di bagian lain lagi sambil berteriak-teriak Ki Muni mendesak lawannya tanpa dapat ditahan lagi. Betapa para pengawal berusaha, namun kekuatan mereka memang jauh melampaui kemampuan setiap orang di antara para pengawal. Sejenak gembala tua dan kedua anak-anaknya itu tertegun. Namun sejenak kemudian orang tua itu berkata,
“Hadapilah mereka berdua. Aku akan menyelesaikan Peda Sura. Hati-hatilah, jangan merasa dirimu lebih baik dari lawanmu. Perasaan yang demikian adalah ujung dari kekalahan, Betapapun lemahnya lawan-lawanmu.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar