Jilid 043 Halaman 2


Kedua muridnya mengangukkan kepalanya. Sambil menghindarkan diri dari setiap serangan, akhirnya mereka pun berpisah untuk menemui lawan-lawan yang telah ditentukan bagi mereka masing-masing. Beberapa langkah setelah meninggalkan gurunya, Gupala melonjak kegirangan, seperti anak kambing dilepaskan di padang rumput yang hijau segar. Beberapa kali ia tertegun melihat perang campuh yang seru. Ujung senjata berputaran dan terayun-ayun, kemudian gemerincing benturan yang melontarkan bunga-bunga api.
Sejenak kemudian Gupala telah berada di baris pertempuran yang terdepan. Kini ia harus mulai menyadari arti dari ujung-ujung senjata lawan, yang setiap saat dapat menghunjam di dadanya. Gupala mengerutkan keningnya. Sejenak ia melihat seorang pengawal yang bertempur mati-matian melawan seorang yang agak asing. Menurut dugaan Gupala orang itu pasti bukan orang Menoreh.
“Mungkin orang ini termasuk salah seorang anak buah Ki Peda Sura,” katanya di dalam hati. Dan tiba-tiba saja tangannya menjadi gatal. Apalagi ketika ia melihat orang itu tertawa sambil berkata,
“He, sebut ayah dan ibumu. Lalu tundukkan kepalamu. Aku akan memenggalnya.”
Lawannya, seorang pengawal tanah perdikan, menggeram. Tetapi ia memang sedang terdesak. Bahkan sejenak kemudian senjatanya telah terlepas dari genggamannya.
Sekali lagi Gupala melihat orang itu tertawa sambil berkata,
“Ayo cepat, berlutut.”
Pengawal itu surut beberapa langkah. Tetapi dalam perang yang hiruk-pikuk ia tidak banyak mendapat kesempatan. Sekali ia justru terdorong oleh seseorang yang sedang menghindarkan diri dari tusukan ujung tombak.
“Mau lari kemana kau anak yang malang,” suara tertawa itu menjadi semakin keras.
Dan tiba-tiba saja Gupala tidak dapat menahan tertawanya pula melihat orang yang sedang mabuk kemenangan itu. Bahkan kemudian ia berkata,
“He, kau cepat sekali mendapat kegembiraan. Itulah agaknya yang membuat kumismu menjadi tebal.”
Orang itu terdiam. Dipandanginya Gupala sejenak. Hanya sejenak. Hiruk-pikuk peperangan telah mendorongnya untuk segera melakukan sesuatu. Dan tiba-tiba saja ia meloncat menikam pengawal yang sudah tidak bersenjata itu, supaya ia segera dapat menghadapi musuhnya yang lain. Tetapi ujung senjata tidak pernah dapat menyentuh korbannya. Tiba-tiba saja ia terpekik selagi ia masih menjulurkan tangannya yang menggenggam senjata itu. Sejenak kemudian ia menjadi terhuyung-huyung. Demikian Gupala menarik pedangnya yang terhunjam di lambung orang itu, maka orang itu pun segera jatuh tertelungkup. Mati. Pengawal yang terselamatkan itu sejenak berdiri mematung. Ia mengenal anak yang gemuk itu sebagai seorang gembala. Tetapi bagaimana mungkin ia dapat melakukan hal itu. Begitu cepatnya, sehingga matanya tidak dapat menangkap gerak itu. Kini yang terdengar adalah suara tertawa Gupala. Sambil meloncat meninggalkan pengawal itu ia berdesis,
“Ambil senjata itu. Kau tidak dapat tidur di dalam peperangan kalau kau tidak mau benar-benar di bantai oleh lawan-lawanmu.”
Orang itu seperti tersadar dari tidurnya. Segera ia memungut senjata lawannya yang terbunuh itu, karena senjatanya sendiri telah tenggelam dalam hiruk-pikuknya peperangan.

Gupala  pun kemudian menyusup di antara kedua pasukan yang sedang bertempur itu. Sekali tangannya yang gatal tidak dapat ditahannya lagi.
“Bukankah aku berada di peperangan?” ia bergumam di dalam hatinya. Dengan demikian, maka setiap kali ia harus berhenti, seperti terhisap oleh suatu keinginan yang tidak tertahankan, maka setiap kali senjata telah terhunjam di tubuh lawan-lawannya. Meskipun demikian, Gupala masih mencoba membedakan, apakah lawannya itu orang-orang Menoreh, ataukah orang-orang asing yang datang ke Menoreh dalam keadaan yang kemelut itu. Meskipun kadang-kadang Gupala keliru, namun dari jenis pakaiannya, Gupala dapat mengira-irakan, siapakah yang sedang dihadapinya. Tiba-tiba Gupala itu tertegun. Dilihatnya seseorang bertempur sambil berteriak-teriak. Kadang-kadang tertawa dan kadang membentak-bentak. Sekilas Gupala dapat melihat, bahwa orang itu mempunyai kelebihan dari para pengawal tanah perdikan.
“Oh, inilah orang yang bernama Ki Muni itu agaknya,” berkata Gupala di dalam hatinya. Melihat ciri-ciri, tingkah laku dan pakaiannya, kalung yang dibebani dengan berbagai macam benda, maka Gupala  pun dapat memastikan, bahwa orang yang dicarinya itu sudah diketemukannya.
Perlahan-lahan Gupala yang gemuk itu  pun segera mendekatinya. Namun tiba-tiba ia mempunyai cara yang menyenangkan baginya untuk menarik perhatian orang yang garang itu.
“Senjatanya sangat menarik,” desis Gupala di dalam hatinya,
“sebuah pedang yang lengkung.”
Gupala memang tidak segera menyongsongnya. Dibiarkannya Ki Muni sesumbar dan bertempur seperti seekor elang yang menyambar. Beberapa orang terpaksa bergabung untuk melawannya. Gupala mengerutkan keningnya. Bukan saja tangannya yang menjadi gatal, tetapi hatinya tergelitik melihat sikap dan tandang Ki Muni, seolah-olah di seluruh jagad tidak ada orang laki-laki selain dirinya. Itulah sebabnya, maka Gupala  pun tiba-tiba telah berbuat serupa. Sambil tertawa berkepanjangan ia menyerang beberapa orang sekaligus. Ia membuat lingkaran perkelahian sendiri di samping arena yang berpusar pada Ki Muni. Beberapa orang lawan-lawannya terkejut melihat anak muda yang gemuk itu meloncat-loncat dengan lincahnya. Pedangnya terayun-ayun menyambar-nyambar seperti burung sikatan. Setiap kali ujung pedang itu menyentuh tubuh lawannya, dan setiap kali terdengar pekik kesakitan. Tetapi Gupala memang aneh. Ia masih sempat bergurau di peperangan. Kalau beberapa saat lawan-lawannya tidak ada yang terpekik kesakitan karena ujung pedangnya tidak berhasil melukai lawannya, maka ia sendirilah yang berteriak. Namun kemudian suara tertawanya menggema berkepanjangan. Cara bertempur Gupala itu benar-benar telah menarik perhatian. Baik lawan maupun kawan. Beberapa orang pengawal terheran-heran melihat gembala itu mampu bertempur demikian tangkasnya, apalagi seolah-olah ia hanya sedang bermain-main di saat terang bulan. Lawan-lawannya pun menjadi cemas melihat tandangnya. Ujung pedangnya seolah-olah mempunyai mata yang dapat melihat kemana lawannya menghindar. Seseorang yang sekali diburu oleh pedangnya, betapapun juga ia berusaha, maka akhirnya ujung pedang itu pasti akan bersarang di dadanya. Demikianlah, maka Gupala telah menimbulkan kegemparan di medan itu. Arena pertempuran di seputarnya menjadi gelisah seperti di landa angin pusaran.
Ternyata cara itu berhasil menarik perhatian Ki Muni. Orang yang merasa dirinya tidak terlawan itu mengerutkan keningnya melinat arena yang kisruh beberapa langkah daripadanya.
“He, siapa yang berkelahi di situ?” ia berteriak.
“He, akulah yang berkelahi di sini,” terdengar jawaban dari tempat yang gelisah itu.
“Siapa kau?” teriak Ki Muni pula.
“Aku, gegedug Tanah Perdikan Menoreh. Seorang pengawal yang paling setia pada tugasku, karena cita-cita yang menjiwai setiap perbuatanku.”
“Persetan, siapakah namamu?”
“Setiap orang mengenal aku. Karena aku selalu berada di sisi Ki Gede Menoreh, membina tanah ini. Sekarang selagi tanah ini menjadi semakin baik, kau datang untuk menghancurkannya.”
“Gila, gila kau,” Ki Muni berteriak sambil mengamuk. Senjatanya yang lengkung menyambar-nyambar seperti elang. Beberapa orang yang berada di sekitarnya segera terdesak menjauh, dan beberapa orang yang bersama-sama melawannya  pun meloncat surut. Beberapa langkah Ki Muni maju diikuti oleh pasukannya yang mendesak maju pula.
“Aku adalah seorang yang hampir sepanjang umurku berada di tanah ini,” berkata Ki Muni dengan lantangnya.
“Aku belum pernah mengenal tampangmu.”
Gupala tidak segera menjawab. Ia melihat Ki Muni menjadi semakin dekat ke lingkaran perkelahiannya.
“Ayo, sebut namamu.”
“Jawabanmu sungguh mentertawakan,” berkata Gupala.
“Kalau kau orang Menoreh, apalagi sejak kanak-kanak, kenapa kau ikut bersama-sama cucurut-cucurut itu untuk justru menghancurkan Menoreh?”
“Setan,” Ki Muni bergumam, “siapa namamu?”
“Kalau kau benar orang Menoreh, maka kau adalah seorang pengkhianat,” berkata Gupala selanjutnya tanpa menjawab pertanyaan Ki Muni.
“Diam, diam!” Ki Muni berteriak.
“Aku sobek mulutmu dengan pedang yang aku dapat dari ujung bumi, yang tajamnya tujuh kali tajam pedang yang lain.”

Gupala mengerutkan keningnya. Kini Ki Muni telah berada hanya beberapa langkah saja daripadanya. Sekilas ia melihat pedang yang lain dari pedang orang-orang Menoreh. Dalam redup sinar api yang sudah hampir padam, pedang itu tampak berkilat-kilat.
“Pedang itu memang tajam,” berkata Gupala di dalam hatinya.
“Setiap sentuhan pada tubuh, akibatnya sangat berbahaya. Tetapi agaknya pedang itu tidak sekukuh pedangku. Ternyata orang itu selalu berusaha menghindari benturan yang langsung. Apalagi dengan kekuatan yang besar.”
Gupala pun kemudian menggeram. Dan tiba-tiba saja ia berteriak,
“He. Kau ingin tahu namaku. Namaku adalah Ki Muni, seorang dukun yang tidak ada duanya. Yang setia kepada tanah kelahiran.”
“Persetan,” Ki Muni menjadi semakin marah. Terasa darahnya seakan-akan telah mendidih. Dengan serta-merta ia meloncat menyerang Gupala sejadi-jadinya.
Gupala surut selangkah untuk memantapkan diri. Namun kemudian ia  pun melangkah maju kembali sambil memutar pedangnya. Meskipun pedangnya tidak setajam pedang lawannya, namun pedang itu memiliki kelebihan juga. Ki Muni tidak akan berani beradu tenaga lewat tajam pedangnya. Dada Gupala menjadi berdebar, ketika ia melihat api yang tiba-tiba saja telah melonjak ke udara. Sekilas ia berpaling. Dilihatnya sebuah rumah yang terletak beberapa langkah dari arena perkelahian itu terbakar.
“Mereka menjadi liar,” desisnya di dalam hati.
“Api yang terhambur-hambur dari panah api, jerami-jerami yang bertimbun-timbun di sisi ujung jalan dan bahkan yang sengaja ditebarkan di luar regol, gardu darurat di regol yang telah terbakar pula, telah hampir padam. Tetapi kini sebuah rumah telah menyala.”
Tetapi Gupala tidak sempat untuk merenung dan mengumpat-umpat saja. Serangan Ki Muni segera melandanya seperti banjir. Namun ia  pun telah cukup siap untuk melawannya.
Perkelahian di antara keduanya segera menjadi semakin seru. Baik para pengawal tanah perdikan, maupun orang-orang Ki Tambak Wedi, lambat laun bergeser semakin jauh. Mereka menganggap perkelahian itu adalah perkelahian yang tidak perlu dicampurinya. Gupala tidak memerlukan waktu terlampau lama untuk menjajagi kemampuan lawannya. Dan tiba-tiba saja ia tersenyum. Ki Muni hanyalah seorang yang mampu berteriak-teriak saja. Meskipun ia memiliki kemampuan di atas orang kebanyakan, namun orang itu hampir tidak banyak berarti bagi Gupala. Karena itu, mulailah Gupala dengan tabiatnya. Selagi ia masih bertempur menghadapi Ki Muni, maka sekali-sekali ia berlari berputar-putar. Namun setiap kali pedangnya menyambar korban-korban yang berjatuhan di pihak lawan.
“He, apakah kau memang gila?” teriak Ki Muni.
“Ki Muni,” berkata Gupala,
“ayahku berpesan kepadaku, agar aku selalu tidak menganggap lawanku terlampau ringan. Aku pun tidak menganggap demikian terhadapmu. Tetapi, aku tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa sebenarnya Ki Muni itu tidak lebih dari namanya. Hanya suaranya saja seakan-akan bunyi ledakan petir di langit. Tetapi kau tidak memiliki kemampuan apa pun di peperangan.”
Betapa dada Ki Muni serasa akan meledak mendengar ejekan Gupala itu. Apalagi lawannya itu tidak lebih dari seorang anak muda gemuk yang tidak dikenal. Meskipun anak itu berjambang, namun wajahnya sama sekali tidak meyakinkannya, bahwa ia mampu bertempur di peperangan. Karena itu, maka Ki Muni  pun segera mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Dibacanya segala macam ilmu, doa dan jampi-jampi. Disebutnya segala macam nenek-moyang, bahureksa segala macam sudut, kali, dan hutan-hutan. Bahu reksa jalan dan perapatan. Kemudian sambil menghentakkan senjatanya ia berteriak nyaring. Orang-orang yang telah mengenal Ki Muni agak lama, mengetahuinya, bahwa Ki Muni sudah sampai pada puncak kemarahannya, dan dengan demikian orang-orang itu mengharap, bahwa korban di pihak lawan akan semakin banyak berjatuhan. Tetapi ternyata dugaan itu sama sekali tidak benar. Betapapun Ki Muni mengerahkan segala macam kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya, beserta pedang pusakanya yang didapatkannya dari ujung bumi, namun lawannya yang masih muda dan gemuk itu masih saja tertawa berkepanjangan.
“Ayo, kerahkan segenap kemampuanmu, Ki Muni,” berkata Gupala sambil tertawa.
“Atau barangkali kau memang sudah sampai pada puncak kemampuanmu?”
“Persetan!” sahut Ki Muni sambil berteriak-teriak, maka serangannya  pun menjadi semakin deras. Tetapi lawannya masih saja tertawa dan kadang-kadang menari-nari berloncat-loncatan dari seorang ke orang yang lain.

Di bagian lain dari pertempuran itu, Gupita dengan tenangnya bertempur melawan dukun yang lain, Ki Wasi. Namun ternyata Ki Wasi pun tidak seliar Ki Muni. Dengan sungguh-sungguh Ki Wasi berusaha untuk mengatasi keadaan. Namun pada kemampuan tertentu, ia terpaksa melihat kenyataan, bahwa lawannya meskipun masih cukup muda, namun memiliki kemampuan yang tidak dapat diabaikannya. Bahkan semakin lama, ternyata, bahwa lawannya adalah seorang yang luar biasa.
“Aku belum pernah melihat wajahmu anak muda,” desis Ki Wasi.
Gupita mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Mungkin, Ki Wasi.”
“Siapa namamu?”
“Gupita. Seorang gembala.”
“Kau berbohong.”
“Tidak. Aku memang seorang gembala.”
Ki Wasi terdiam. Senjatanya, sepasang trisula bertangkai pendek hampir tidak berarti sama sekali bagi lawannya. Namun ia berusaha sekuat-kuat tenaganya. Kalau semula ia berhasil mendesak setiap orang yang melawannya dan membawa kelompoknya setapak demi setapak maju, maka kini ia terbentur pada suatu perlawanan yang tidak mudah ditembusnya. Dan tanpa disangka-sangka, Ki Wasi mendengar lawannya yang masih muda itu bertanya,
“Ki Wasi, kenapa kau melakukan perlawanan atas Ki Argapati?”
Sejenak Ki Wasi tidak dapat menyahut. Pertanyaan itu benar-benar telah menyentuh perasaannya. Gupita merasakan sentuhan itu pula, karena perlawanan Ki Wasi yang seakan-akan tertegun. Bahkan kemudian orang itu meloncat selangkah mundur. Meskipun Ki Wasi menyilangkan trisulanya di muka dadanya, namun getaran di dalam dadanya telah mempengaruhinya. Tetapi Gupita tidak mempergunakan kesempatan itu. Bahkan membiarkan Ki Wasi menyadari keadaannya. Meskipun pedangnya teracu ke depan dada lawannya, tetapi Gupita tidak meloncat dan menembus dada itu dengan ujung pedangnya.
“Jangan kau tanyakan, mengapa aku melawannya,” geram Ki Wasi.
“Itu hakku,” jawab Gupita.
“Hakmu adalah menjawab atau tidak. Kalau kau memang berkeberatan, kau tidak perlu menjawabnya.”
“Aku tidak akan menjawab.”
“Terserahlah. Tetapi dengan demikian aku dapat membuat jawaban sendiri. Dan aku menganggap perlawananmu itu sebagai suatu pemberontakan dan ketidak-setiaan terhadap pimpinanmu.”
“Kau salah,” jawab Ki Wasi. Namun agaknya ia telah mendapatkan kemantapannya kembali, sehingga justru ia lah yang menyerang Gupita dengan sekuat-kuat tenaganya.
Namun Gupita sebenarnya bukanlah lawannya. Karena itu, Gupita dengan, mudahnya dapat menghindarkan diri dari setiap serangannya.
“Aku mempunyai pertimbangan sendiri,” desis Ki Wasi.
“Aku melawan Ki Argapati, karena Ki Argapati ternyata mengecewakan sekali. Berapa tahun aku bekerja dengan patuh. Namun agaknya Ki Argapati bukan seorang yang dapat menjadi contoh bagi setiap orang di atas tanah perdikan ini. Ia lebih mementingkan dirinya sendiri daripada membela anak dan adiknya. Ia begitu taat bersujud kepada kekuasaan Pajang daripada memberikan perlindungan kepada Angger Sidanti dan Argajaya. Apakah itu sikap seorang ayah yang baik. Adalah menjadi tanggung jawab seorang ayah, apa  pun yang dilakukan oleh anaknya.”
“Juga apabila anak itu melakukan kesalahan?”
“Tentu tidak. Tetapi Angger Sidanti tidak bersalah. Ia didorong ke dalam suatu keadaan yang tidak dapat dielakkannya lagi. Ia mempunyai harga diri sebagai seorang putera kepala tanah perdikan yang besar dan kuat. Tetapi Ki Gede telah melepaskan tangung jawab itu.”

Gupita mengerutkan keningnya. Api yang berkobar semakin besar menelan sebuah rumah. Cahayanya yang kemerah-merahan telah membuat wajah-wajah semakin menjadi tegang dan mengerikan. Keringat yang meleleh dari kening dan darah yang menitik dari luka, membuat medan perang itu menjadi semakin panas. Gupita masih bertempur melawan Ki Wasi. Tetapi ternyata Gupita tidak memanfaatkan setiap keadaan yang memberinya kesempatan untuk menyudahi perkelahian. Ki Wasi pun ternyata merasakan keganjilan yang terjadi dalam perkelahian itu. Ia merasa bahwa betapapun ia berusaha, namun ia tidak akan dapat mengimbangi lawannya. Tetapi meskipun demikian, ia masih tetap dapat melakukan perlawanan, betapapun disadarinya, bahwa perlawanannya itu hampir tidak ada artinya.
“Apakah maksud orang ini?” pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya.
“Kenapa ia tidak membunuh aku saja di dalam peperangan ini, meskipun agaknya ia dapat melakukannya dengan mudah?”
Dan Gupita memang tidak ingin membunuhnya. Agaknya Ki Wasi adalah salah seorang yang lemah hati, yang mudah percaya kepada hasutan dan keterangan-keterangan palsu. Ki Wasi yang melihat dan bahkan sering bermain-main dengan Sidanti ketika anak itu masih terlampau muda, tidak sampai hati melihat ia tersudut dalam kesulitan yang pahit, yang menurut pengertiannya, karena Argapati tidak mau melindunginya.
“Kalau Ki Wasi dapat mengerti keadaan yang sebenarnya, apa saja yang pernah dilakukan Sidanti, maka ia akan berpendirian lain. Ia baru mendengar keterangan dari sebelah sisi. Dan keterangan itu langsung dipercayainya,” berkata Gupita di dalam batinya. Dan karena itu pulalah ia ingin Ki Wasi tetap hidup, dan dapat mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi. Karena itu, meskipun dengan alasan yang berbeda-beda, namun kemudian Gupita pun telah bertempur tidak saja melawan Ki Wasi. Beberapa orang yang melihat pemimpin kelompoknya terdesak, segera berusaha membantunya. Tetapi Gupita sama sekali tidak mengalami kesulitan. Ternyata pedangnya mampu melindungi dirinya, dan bahkan mampu melukai beberapa orang lawan-lawannya. Seorang demi seorang, Gupita telah kehilangan lawan. Para pengawal tanah perdikan yang bersamanya selalu mempergunakan setiap kesempatan untuk mendesak terus, sehingga semakin lama semakin ternyata, bahwa garis medan di tempat itu tidak lagi dapat dipertahankan oleh orang-orang Ki Tambak Wedi yang dipimpin oleh Ki Wasi.

Di bagian tengah, Ki Peda Sura pemimpin pasukan yang menghadapi para pengawal yang datang dari arah belakang, sempat melihat pasukannya di kedua sisinya bergeser mundur, sehingga lingkaran gelar Gajah Meta itu pun menjadi semakin sempit, karenanya. Sambil menghentakkan senjatanya ia menggeram. Seharusnya kekuatan kedua sisi itu dapat dipercaya, karena masing-masing dipimpin oleh dua orang kuat dari Tanah Perdikan Menoreh ini sendiri. Tetapi ternyata, bahwa pertahanan itu semakin lama semakin surut.
“Apakah keduanya telah berkhianat dan justru membiarkan pasukannya mundur?” pertanyaan itu telah mengganggunya.
Namun karena itulah, maka ia pun segera mengamuk tanpa terkendalikan lagi. Setiap orang yang berusaha mendekatinya, pasti akan terpelanting tersentuh senjatanya. Meskipun senjatanya tidak mempunyai tajam seperti pedang, namun justru senjata itu mampu meremukkan tulang. Sentuhan di kepala tidak akan perlu diulanginya lagi. Namun agaknya kekalutan di kedua sisi pasukannya sangat mengganggunya, sehingga ia bermaksud untuk melihat sendiri, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Karena itu, maka diserahkannya pimpinan kepada salah seorang kepercayaannya, dan ia sendiri kemudian meninggalkan tempatnya untuk melihat apa yang terjadi di kedua sisinya. Yang mula-mula ingin dilihatnya adalah pasukan yang dipimpim oleh Ki Muni. Orang itu adalah orang yang cukup kasar, sehingga seharusnya ia mampu melakukan apa saja untuk menghancurkan lawannya. Apalagi di dalam pasukan Ki Muni itu, terdapat banyak orang-orangnya sendiri, yang pasti akan mampu membuat lawan-lawan mereka kehilangan keberanian. Orang-orangnya telah terlampau biasa melakukan pembunuhan dengan berbagai macam cara. Bahkan cara-cara yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Tetapi tiba-tiba Ki Peda Sura tertegun, ketika ia melihat sesuatu yang aneh di peperangan itu. Ia melihat seorang tua dengan kumis yang lebat sedang bertempur melawan beberapa orang sekaligus.
“Bukan main,” geram Ki Peda Sura,
“ternyata orang ini perlu mendapat perhatian.”
Dengan demikian, maka Ki Peda Sura mengurungkan niatnya. Dengan garangnya ia meloncat mendekati orang tua itu sambil menggeram.
“He, siapakah kau?”
Orang tua itu berpaling sejenak. Ketika dilihatnya Ki Peda Sura maka katanya,
“Kaukah yang bernama Ki Peda Sura?”
“Ya. Akulah Ki Peda Sura. Nah, dengan mengenali namaku, kau sudah dapat membayangkan, apa yang akan terjadi atasmu. Sekarang sebut namamu.”
“Sudah lama aku mencarimu. Di mana kau bertempur selama ini? Hampir-hampir aku menganggap, bahwa kau sudah mati terbunuh di peperangan ini,” jawab orang itu.
“Persetan!” Ki Peda Sura berteriak. Kemarahannya yang telah membakar dadanya, kini menjadi semakin memuncak.
“Sebut namamu!”
“Apakah arti nama seseorang?”
“Cepat, sebelum kau mati!”
“Aku dapat menyebut seribu macam nama. Panji Jayengraga, Rangga Semantana, Raden Badersewu.”
“Cukup. Cukup. Sebut namamu yang sebenarnya.”
“Pilihlah salah satu. Atau kalau kau anggap kurang sesuai, nah siapa sebaiknya namaku?”

Kemarahan Ki Peda Sura sudah tidak dapat ditahannya lagi. Karena itu, maka tanpa mengucapkan sepatah kata  pun lagi, ia menerkam orang tua berkumis itu dengan suatu serangan maut. Kedua senjatanya bersama-sama terayun, menghantam lawannya dengan kecepatan yang tidak tersangka-sangka. Lawannya menahan nafas. Ternyata Ki Peda Sura benar-benar seorang yang memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Namun, kali ini ia berhadapan dengan lawan yang tidak disangka-sangka akan dijumpainya di medan peperangan ini. Menurut perhitungannya, selain Ki Tambak Wedi dan Ki Argapati, tidak akan ada orang yang mampu menyamainya. Tetapi ternyata kali ini, orang berkumis itu mampu menghindari serangannya. Dengan loncatan yang melampaui kecepatannya, ia berhasil menghindar, sehingga ayunan senjata Ki Peda Sura telah menyeret tubuhnya sendiri. Karena ia tidak memperhitungkan sama sekali hal itu, maka tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah, sebelum ia berhasil menguasai keseimbangannya kembali. Sambil mengumpat-umpat Ki Peda Sura mempersiapkan dirinya untuk menghadapi lawannya yang mendebarkan jantungnya. Orang tua berkumis itu ternyata memiliki bekal yang cukup untuk menghadapinya. Dengan demikian, maka Ki Peda Sura harus berhati-hati. Kali ini ia harus bertempur bersungguh-sungguh, tidak sekedar membunuh lawan hampir tanpa perlawanan.
“Ki Peda Sura,” terdengar orang tua itu berbicara dengan suara yang agak sengau,
“aku terpaksa melibatkan diri dalam pertentangan ini, karena aku tidak ingin melihat tanah perdikan ini runtuh. Dengan kehadiranmu dan orang-orangmu, maka kekacauan di atas tanah ini akan semakin menjadi-jadi.”
“Kau juga orang asing di sini.”
“Memang, memang aku bukan orang Menoreh. Tetapi aku datang seorang diri. Katakanlah aku hanyalah datang bersama dua orang anak-anakku. Dan aku tidak akan melibatkan diri, seandainya tidak ada orang-orang seperti Ki Tambak Wedi, dan kau beserta anak buahmu. Kalau aku biarkan persoalan ini berlarut-larut, maka tanah ini akan jatuh ke tangan Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Namun untuk seterusnya kau akan selalu memerasnya. Bayangkan, apa yang akan terjadi atas tanah ini.”
“Persetan!” Ki Peda Sura menghentakan giginya. Kemudian serangannya  pun datang beruntun. Sepasang senjatanya terayun-ayun mengerikan.
Orang tua berkumis itu telah benar-benar bersedia untuk melawannya, sehingga karena itu, maka dengan sigapnya ia menghindari setiap serangan dan bahkan kemudian menyerang kembali. Sejenak orang tua itu menjadi ragu-ragu. Ia bukan seorang pembunuh yang selalu haus darah. Bahkan setiap ia melakukan pekerjaan yang menurut keyakinannya sudah pada tempatnya, ia masih saja memperhitungkan segala macam kemungkinan. Namun yang dihadapinya kini adalah seseorang yang telah berbentuk. Seseorang yang tidak akan mungkin dapat dirubahnya lagi. Ki Peda Sura adalah seseorang yang sangat berbahaya, bukan saja bagi Tanah Perdikan Menoreh, tetapi juga bagi kemanusiaan pada umumnya. Seandainya ia gagal memeras tanah perdikan ini, maka ia akan dapat melakukannya di tempat yang lain. Sambil bertempur orang tua itu masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan. Bahkan ia masih sempat bertanya,
“Ki Peda Sura. Apakah pamrihmu, sehingga kau bersama anak buahmu dengan bersusah payah ikut dalam pertentangan antara ayah dan anak ini?”
Ki Peda Sura tidak menyahut. Namun serangannya menjadi semakin garang, seperti badai mangsa kesanga.
“Ada dua kemungkinan Peda Sura,” berkata orang tua itu.
“Setelah peperangan ini selesai, kau pun akan diselesaikan pula oleh Ki Tambak Wedi, karena bagaimanapun juga, kau tidak akan menang melawannya. Sedang kemungkinan yang lain. Tambak Wedi lah yang akan kau peras habis-habisan. Seandainya Tambak Wedi berkeberatan, maka tanah perdikan inilah yang akan menjadi korban. Kau akan memasuki setiap pintu dan menghisap segala macam isinya. Dan sudah tentu kau akan menghindari benturan-benturan langsung dengan Tambak Wedi. Dan menurut perhitunganmu, Ki Tambak Wedi tidak akan sekuat Argapati dalam mengendalikan pemerintahan di Menoreh.”
 “Persetan,” Ki Peda Sura menggeram. Dengan sekuat tenaga ia menyerang lawannya. Namun serangan-serangannya itu sama sekali tidak pernah menegangkan urat orang tua yang berkumis itu.
“Tetapi Ki Peda Sura,” orang itu masih berbicara saja sambil memutar pedangnya,
“yang paling jelek adalah justru kemungkinan yang lain lagi. Kemungkinan ketiga. Yaitu apabila kau bersama-sama Ki Tambak Wedi memeras tanah perdikan ini.”
“Diam, diam!” teriak Ki Peda Sura. Sepasang senjatanya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun sepasang senjata itu sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya. Bahkan setiap kali senjatanya itu membentur pedang orang tua berkumis itu, terasa tangannya seakan-akan bergetar.
“Setan manakah yang tiba-tiba ada di dalam peperangan ini?” geram Ki Peda Sura.
“Nah Ki Peda Sura,” berkata orang itu pula,
“masih ada kesempatan sebelum orang-orangmu tumpas di peperangan ini. Tinggalkan medan dan pergi ke asalmu. Kalau kau tidak mengganggu tanah ini untuk seterusnya, kau pun tidak akan kami ganggu.”
“Tutup mulutmu!” terak Ki Peda Sura.
“Maaf. Aku akan berbicara terus. Kalau kau mau mendengarkan aku akan bergembira sekali. Sebab tidak akan ada kemungkinan bagimu untuk menyelamatkan anak buahmu. Kedua anakku, adalah gembala-gembala yang salah seorang daripadanya telah membantu Pandan Wangi melukai kau beberapa saat yang lampau. Keduanya kini ada di medan ini, sekarang dua orang lain yang akan dapat membinasakan Sidanti dan Argajaya. Nah, sekarang kau tahu, bahwa Ki Tambak Wedi telah salah menilai kekuatan lawannya. Termasuk kau yang terlampau tamak.”
“Bohong. Kau sangka aku percaya?”
“Satu contoh adalah di hadapanmu sekarang. Kalau kau tidak mau mendengarkan kata-kataku, apa boleh buat.”

Terasa dada Ki Peda Sura berdesir. Ia sadar, bahwa lawannya kali ini bukan sekedar seorang yang berbicara terlampau keras, tetapi ia adalah seorang yang tangguh tanggon. Meskipun demikian, sama sekali tidak terlintas di kepalanya untuk meninggalkan medan. Ia masih mempunyai cara untuk mencoba mengalahkan orang ini. Demikianlah mereka bertempur semakin lama semakin seru. Beberapa kali Ki Peda Sura terdesak, dan setiap kali ia telah bergeser surut. Beberapa orang yang bertempur di sekitar kedua orang itu terpaksa berusaha menyingkir, karena mereka masih harus melayani lawan masing-masing. Tetapi mereka lebih senang berada agak jauh dari keduanya, daripada tanpa setahu mereka, kepala mereka pecah oleh sentuhan senjata kedua orang yang luar biasa itu. Namun semakin lama semakin terasa, bahwa Ki Peda Sura tidak akan mampu lagi melakukan perlawanan lebih lama lagi. Apalagi ketika orang tua yang berkumis itu mengambil suatu keputusan, bahwa Ki Peda Sura memang harus dilenyapkan. Ki Peda Sura pun menyadari keadaaanya. Ia tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi melawan orang tua berkumis itu. Karena itu ia harus segera berbuat sesuatu, agar ia tidak terdesak terus, dan apalagi dibinasakan. Sejenak kemudian terdengar sebuah tanda yang meluncur dari mulutnya. Sebuah suitan nyaring. Orang tua berkumis itu menjadi berdebar-debar. Ia tahu benar, bahwa yang diperdengarkan oleh Ki Peda Sura itu pasti suatu pertanda, tetapi orang tua itu tidak tahu, apakah maksudnya.
“Aku harus segera menyelesaikannya,” pikir orang tua itu. Tetapi ia terkejut ketika beberapa orang berloncatan dari antara hiruk-pikuk peperangan, dan kemudian seolah-olah mengepungnya. Tiga orang yang bertubuh kekar dengan wajah yang mengerikan.
“Nah, kau tidak akan dapat lolos lagi,” desis Ki Peda Sura.
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis di dalam hatinya,
“Memang tidak ada pilihan lain. Melawan Peda Sura sama berbahayanya dengan melawan iblis.”
“Menyerahlah, supaya kau dapat mati dengan tenang,” geram Ki Peda Sura.
Tetapi orang berkumis itu masih tetap tenang. Sekali ia bergeser untuk mempersiapkan dirinya. Dipandanginya wajah-wajah itu satu demi satu.
“Sudah sekian lama aku tidak pernah bertempur bersungguh-sungguh. Berkelahi antara hidup dan mati. Tetapi berhadapan dengan empat orang ini agaknya memang tidak ada pilihan lain. Aku tidak hanya sekedar bermain-main lagi, seperti beberapa kali aku lakukan melawan Sumangkar dan Ki Tambak Wedi, karena saat itu aku belum berada di dalam suatu keadaan seperti sekarang. Tetapi kini aku harus menentukan,” berkata orang tua itu di dalam hatinya.
“Juga apabila pada suatu saat aku berhadapan dengan Tambak Wedi sendiri.”
“Kenapa kau membungkam?” bentak Ki Peda Sura.
“Jangan menyesal. Tidak ada pilihan lain bagimu.”
Orang berkumis itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Marilah Ki Peda Sura. Aku sudah siap.”
“Sebut namamu, supaya aku dapat berceritera, bahwa seorang yang bernama dadap, atau waru, atau tikus, atau kelinci, telah aku bunuh di peperangan,” desis Ki Peda Sura.
“Nama-nama itukah yang pantas bagiku? Bukan Panji Jayengraga, atau Rangga Parang Jumena, atau Rangga Surenggana.”
“Cukup, cukup!” bentak Ki Peda Sura.
“Baiklah kalau kau ingin mati tanpa nama.” Kemudian kepada kawan-kawannya ia berkata,
“Kita terpaksa membunuhnya tanpa ampun, terserahlah cara yang mana yang akan kalian pilih.”
“Orang ini harus dicincang,” geram salah seorang dari mereka,
“tetapi ia harus mati perlahan-lahan.”
“Bagus, aku ingin menangkapnya hidup-hidup.”
Terdengar salah seorang dari mereka tertawa. Kemudian hampir bersamaan mereka maju mendekat. Orang tua itu harus benar-benar mempersiapkan dirinya. Orang-orang itu bukanlah orang kebanyakan yang dapat diabaikan. Sejenak kemudian, Ki Peda Sura itu  pun berkata,
“Nah, selesaikan. Pekerjaan kita masih banyak.”
Serentak ketiga orang itu menyerang dari tiga jurusan. Dengan senjata masing-masing yang berbeda-beda mereka berusaha sekaligus menghancurkan lawannya. Salah seorang dari mereka mempergunakan sebuah tombak pendek berduri pandan. Sentuhan senjata itu dapat menyobek kulit dedel duwel. Seorang yang lain bersenjata sebuah golok yang besar, sedang yang seorang lagi bersenjata pedang. Tetapi orang tua berkumis itu cukup sadar. Dengan sigapnya ia menghindari serangan-serangan itu, dan bahkan salah seorang daripada mereka telah membenturkan dengan senjata orang tua itu. Betapa ia terkejut merasakan tangannya seakan-akan disengat oleh bara api. Hampir saja senjatanya terlepas dari tangannya. Karena itu, maka terdengar ia menggeram untuk melontarkan kemarahan yang menyesak dada. Namun sebelum orang tua itu berhasil berdiri tegak, serangan Ki Peda Sura sendiri datang membadai. Sepasang senjatanya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Hampir saja kepala orang tua itu tersentuh oleh senjata Peda Sura yang dahsyat itu. Hanya dengan kecepatan yang tidak dapat diperhitungkan oleh lawannya, orang tua itu berhasil menyelamatkan dirinya.
“Bukan main,” desisnya di dalam hati, “mereka berempat merupakan lawan yang berat juga.”
Karena itu, maka orang tua itu tidak lagi dapat berlengah-lengah barang sekejap pun. Menghadapi mereka berempat, maka tugasnya agak lebih berat daripada berhadapan langsung dengan seorang Tambak Wedi, karena ia harus memperhatikan beberapa arah sekaligus. Untunglah, bahwa orang-orang Ki Tambak Wedi mempunyai kegemaran membakar rumah, lumbung dan bahkan kandang-kandang kerbau, sehingga nyala api telah membantunya untuk melihat lawan-lawannya yang datang dari berbagai arah.

Sementara itu, Gupala telah menjadi jemu untuk bermain-main. Kini perhatiannya dipusatkannya kepada lawan utamanya, Ki Muni. Dukun itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Segenap mantra dan guna-guna telah dibacanya. Namun ternyata, bahwa ia menjadi cemas. Ternyata kemampuannya bertempur di peperangan tidak seperti yang diduganya sendiri. Ia mengharap lawannya menjadi gemetar dengan mantra dan guna-gunanya. Bahkan kemudian bersujud sambil memeluk lututnya sementara ia dapat menggoreskan pedang di leher lawan itu. Tetapi lawannya yang gemuk ini sama sekali tidak terpengaruh oleh mantra-mantranya. Danyang prapatan, kedung-kedung, dan pereng-pereng Bukit Menoreh, ternyata kali ini tidak merestuinya. Bahkan jimat-jimat yang tergantung di lehernya, taring celeng jantan, keyong buntet, dan segala macam bebatuan dan kayu-kayuan, sama sekali tidak menolongnya. Gupala pun agaknya adalah seorang yang terlampau sulit untuk mengendalikan dirinya. Ketika ia melihat Ki Muni mengamuk dalam keputus-asaannya, maka Gupala pun menjadi marah. Apalagi ketika pedang lengkung Ki Muni berhasil menyentuh talinya yang berwarna kekuning-kuningan sehingga terputus beberapa jari di ujungnya. Dan selagi ia sibuk dengan tali itu, pedang lengkung yang tajam bukan kepalang itu, telah menyentuh tubuhnya sehingga menitikkan darah. Kemarahan Gupala meluap sampai ke ujung rambutnya. Pedang yang tajam bukan buatan, itu benar-benar telah melukainya. Sentuhan yang tidak disangka-sangka itu ternyata telah membakar jantungnya. Untunglah, bahwa luka itu tidak berbahaya dan tidak terlampau dalam.
Namun demikian, luka itu telah cukup membuatnya kehilangan pertimbangan. Sejenak kemudian, sambil menggeram, Gupala meloncat maju. Kini serangannya membadai tanpa dapat ditahan lagi oleh lawannya. Beberapa orang yang mencoba membantu Ki Muni, setelah ternyata, bahwa Ki Muni tidak dapat melawannya sendiri telah terpelanting jatuh dengan dada terbelah, atau kening yang berlumuran darah. Ki Muni menjadi semakin berdebar-debar melihat lawannya seolah-olah menjadi semakin garang. Dengan demikian ia menjadi semakin berputus asa. Tidak ada seorang  pun lagi yang akan mampu menolongnya. Mantra-mantra dan jampi-jampinya  pun tidak. Tetapi Ki Muni masih juga mencoba melawan. Pedangnya masih berputar, terayun-ayun dengan cepatnya. Namun ia sendiri sudah tidak berhasil melakukan pengamatan atas gerak-geraknya sendiri. Gupala yang marah pun menyerangnya semakin cepat. Sehingga akhirnya, Ki Muni tidak dapat menghindar lagi. Ketika Gupala menjulurkan pedangnya, Ki Muni masih mencoba menghindarkan diri sambil memukul pedang itu. Tetapi pedang itu sama sekali tidak berkisar, bahkan kemudian terayun mengarah ke lambungnya. Dengan gugup Ki Muni masih berusaha untuk menyilangkan pedangnya, namun ternyata kekuatan lawannya terlalu besar, sehingga ia justru terdorong beberapa langkah surut. Belum lagi ia sempat memperbaiki keseimbangannya, ternyata Gupala telah meloncat sambil berteriak untuk mengakhiri perkelahian itu. Dada Ki Muni berdesir. Tetapi hanya sejenak. Kemudian serasa tubuhnya terdorong beberapa langkah, dan selanjutnya ia tidak tahu apalagi yang terjadi atas dirinya. Gupala menarik pedangnya. Dilihatnya Ki Muni kemudian roboh dengan darah menyembur dari luka di dadanya.
Kematian Ki Muni benar-benar telah berpengaruh pada anak buah yang dipimpinnya. Tiba-tiba mereka merasa ngeri melihat anak muda yang gemuk berjambang lebat itu. Tanpa mereka kehendaki, mereka  pun berusaha bergeser menjauhinya. Namun mereka tidak dapat menghindar dari pertempuran itu. Di mana-mana mereka bertemu dengan lawan, karena para pengawal Tanah Perdikan Menoreh  pun telah menyebar di segala medan. Bukan saja para pengawal yang masih muda, tetapi hampir setiap laki-laki yang setia kepada Ki Argapati mengangkat senjata. Mereka yang telah menyimpan senjata-senjata mereka, karena umur mereka telah merambat semakin tua pun, ternyata telah menarik senjata-senjata itu dari wrangkanya. Bahkan mereka yang hampir tidak pernah memegang senjata  pun telah bangkit dan ikut di dalam peperangan yang hiruk-pikuk itu.

Di ujung lain dari peperangan itu, Gupita masih bertempur melawan Ki Wasi. Tetapi ternyata Gupita lebih banyak sesorah daripada mempergunakan ujung pedangnya. Sedang lawannya  pun semakin dipengaruhi oleh perasaan heran, kenapa anak muda itu masih belum berusaha dengan sungguh-sungguh menyelesaikan pertempuran itu. Apalagi ketika tiba-tiba saja Gupita itu berkata,
“Masih ada waktu, Ki Wasi. Apakah kau dapat mempergunakan?”
Ki Wasi tidak menjawab. Tetapi sikap anak muda itu telah mengendorkan nafsu perlawanannya. Dan tiba-tiba ia melihat, bahwa peperangan ini telah menjadi semakin buas. Setiap kali ia mendengar teriakan kemarahan dan pekik kesakitan.
“Apakah memang hal serupa ini yang aku kehendaki?” pertanyaan itu telah mengganggunya.
Sebagai seorang dukun yang baik, Ki Wasi menjadi berdebat setiap ia melihat orang-orang yang terluka, merintih dan mengaduh.
“Inilah permulaan dari tingkah laku Sidanti,” terdengar Gupita berkata.
“Lalu apa yang kira-kira akan dilakukan apabila ia nanti berkuasa?”
Ki Wasi tidak menjawab. Sepasang trisulanya masih berputaran, meskipun ia sadar, bahwa hal itu tidak akan banyak gunanya.
“Ki Wasi,” desis Gupita,
“apakah kau tahu benar, kenapa Ki Argapati tidak mau melindungi anak laki-lakinya?”
Ki Wasi tidak menjawab.
“Bukankah kau hanya mendengar dari Ki Tambak Wedi atau Sidanti sendiri? Bukankah kau belum mendengarnya dari Ki Argapati?”
Ki Wasi masih tetap berdiam diri. Namun perlawanannya semakin lama menjadi semakin lemah. Apalagi karena ia menyadari, bahwa lawannya sama sekali tidak ingin membunuhnya. Meskipun Gupita melukai juga satu dua orang yang berusaha membantu Ki Wasi, tetapi ternyata Ki Wasi sama sekali tidak disentuh oleh ujung senjatanya. Meskipun demikian, tetapi setiap kata Gupita serasa lebih tajam dari ujung senjata yang di genggamnya. Kini ia melihat akibat dari pembangkangan Sidanti.
“Pasti ada suatu alasan, kenapa Argapati tidak mau melindungi Sidanti saat itu,” pikiran itu seakan-akan baru saja tumbuh di kepala Ki Wasi.
“Atau mungkin Sidanti dan Ki Tambak Wedi memang ingin mempercepat penyerahan kekuasaan tanah perdikan ini, supaya mereka dapat berbuat sekehendak hati?”
Karena itu, maka Ki Wasi  pun menjadi ragu-ragu. Perlawanannya menjadi semakin tidak berarti, sehingga Gupita ternyata lebih banyak melayani lawan-lawannya yang lain daripada Ki Wasi sendiri. Meskipun demikian, peperangan di sekitar Gupita masih saja berlangsung dengan serunya. Di antara pasukan Ki Tambak Wedi, maka orang-orang yang bukan berasal dari Menoreh sendiri, mempunyai cara yang mengerikan untuk menekan keberanian lawan. Seperti di sudut-sudut peperangan yang lain, mereka berbuat di luar batas. Dan merekalah yang lebih menarik perhatian Gupita daripada Ki Wasi yang seakan-akan telah kehilangan tenaganya sama sekali.
Namun adalah di luar dugaan sama sekali, ketika tiba-tiba saja terdengar orang itu mengaduh. Gupita yang sedang menyelesaikan seseorang yang berkelahi dengan ganasnya terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya Ki Wasi terhuyung-huyung.
Hampir di luar sadarnya ketika tiba-tiba saja Gupita meloncat mendekati Ki Wasi. Dengan serta-merta tangannya menyambar orang tua itu sehingga ia tidak jatuh terjerembab. Namun tiba-tiba dadanya berdesir. Tangannya itu merasakan sesuatu yang hangat meleleh dari punggung Ki Wasi. Luka.
“Bunuh pengkhianat itu,” terdengar seseorang berteriak.
Kini menjadi jelas bagi Gupita, bahwa agaknya seseorang di antara anak buah Ki Wasi sendiri telah berusaha membunuhnya, karena ia dianggap berkhianat. Dan belum lagi Gupita menyadari keadaan sepenuhnya, maka seseorang telah meloncat dan berusaha menusuk punggung Ki Wasi sekali lagi. Tetapi usaha orang itu kini tidak berhasil, karena pedangnya membentur pedang Gupita. Dan bahkan pedang orang itulah yang terlempar jatuh dari genggamannya.
“Jangan hiraukan aku anak muda,” desis Ki Wasi,
“biarlah aku menerima hukuman apa saja. Aku ternyata telah berkhianat dua kali lipat. Aku telah mengkhianati Ki Argapati dan kini aku sedang berpikir untuk mengkhianati Sidanti karena sikapmu.”
“Masih ada kesempatan,” jawab Gupita,
“kali ini Ki Wasi tidak sedang berkhianat. Tetapi Ki Wasi sedang berusaha memperbaiki kesalahan Ki Wasi itu.”
Ki Wasi menggeleng lemah, “Tidak ada gunanya. Lukaku parah.”
“Bukankah Ki Wasi seorang dukun? Apakah Ki Wasi tidak membawa obat apapun?”
Ki Wasi ragu-ragu sejenak, kemudian katanya,
“Aku memang membawa. Tetapi tidak untuk luka separah ini.”

Hiruk-pikuk peperangan menjadi semakin seru. Sementara tubuh Ki Wasi  pun menjadi semakin lemah. Gupita masih mencoba menahan tubuh yang lemah itu. Tetapi seperti yang dikatakannya sendiri, Ki Wasi sudah tidak mempunyai harapan. Gupita menarik nafas dalam sambil memegangi tubuh itu dengan tangan kirinya. Sedang tangan kanannya masih menggenggam pedangnya erat-erat.
“Serahkan pengkhianat itu kepada kami,” teriak salah seorang lawannya, “biarlah kami menyelesaikannya.”
“Kenapa kau anggap dia berkhianat?”
“Ia tidak melawan kau dengan sungguh-sungguh. Jangan kau sangka, bahwa tidak ada seorang pun di antara kami yang mendengar percakapan kalian, meskipun sepotong-sepotong. Kau mencoba mempengaruhinya, dan dukun gila itu agaknya sedang dirambati oleh racun perkataan-perkataanmu itu. Nah, jangan kau kira, bahwa kau  pun akan dapat hidup. Justru setelah pengkhianat itu mati, kau  pun akan segera diselesaikan.”
Betapa mengendapnya hati Gupita, namun darah mudanya dapat juga menjadi panas. Tetapi ia masih belum melepaskan Ki Wasi yang menjadi semakin lemah.
“Biarkan aku,” desis Ki Wasi, “aku pasti akan mati. Tidak ada kesempatan untuk mengobati aku. Tetapi biarlah, aku merasa bahwa di saat-saat terakhir aku sudah menyadari kesalahanku. Aku masih sempat untuk berpesan kepadamu. Sampaikan permohonan maafku kepada Ki Argapati.”
Gupita tidak segera dapat menjawab. Ia melihat penyesalan yang dalam di mata Ki Wasi, sehingga ia menjadi semakin iba karenanya. Tetapi agaknya Ki Wasi memang sudah tidak akan dapat tertolong lagi. Sejenak kemudian orang tua itu menjadi semakin parah. Nafasnya seakan-akan saling berkejaran, dan sejenak kemudian terdengar ia berdesis,
“Tinggalkan aku.”
Gupita tidak sempat menjawab lagi. Orang itu menghembuskan nafasnya yang terakhir. Gupita  pun menarik nafas. Diletakkannya orang itu perlahan-lahan di atas tanah. Lidah api yang menjilat ke langit, menerangi wajah yang menjadi seputih kapas itu dengan cahayanya yang kemerah-merahan.
Pada saat Gupita sedang merenungi Ki Wasi itu, hampir saja ia menjadi lengah, ketika salah seorang lawannya berhasil melepaskan diri dari para pengawal tanah perdikan, sehingga dengan sebuah loncatan yang panjang, ia berusaha menusuk lambung Gupita. Untunglah, Gupita menyadari keadaannya, tepat pada saatnya, ketika ia mendengar salah seorang pengawal berteriak,
“He, Gupita. Awas orang itu.”
Gupita masih sempat berguling sekali, kemudian melenting berdiri beberapa langkah dari lawannya.

Lawannya yang merasa kehilangan sasaran menggeram. Sekali lagi ia meloncat menyerang Gupita dengan garangnya. Namun kali ini Gupita telah siap menerimanya. Malang bagi orang itu. Gupita yang pikirannya masih dipengaruhi kematian Ki Wasi di ujung jalannya kembali itu, tidak dapat mengatur perasaannya. Ketika ujung senjata lawannya terjulur ke dadanya, ia bergeser ke samping. Kemudian digerakkannya ujung pedangnya, menyambar orang yang terseret oleh kekuatannya sendiri, meluncur di hadapannya. Terdengar keluh tertahan. Kemudian orang itu terbanting jatuh di tanah. Sejenak ia menggeliat, namun kemudian ia tidak akan bergerak-gerak lagi. Gupita menarik nafas. Kini tidak ada lagi orang yang disegani di daerah itu. Apalagi ketika ia melihat pasukannya berhasil menguasai keadaan. Sepeninggal Ki Wasi, maka orang-orang Ki Tambak Wedi itu seakan-akan telah kehilangan pimpinan. Seorang yang membunuh Ki Wasi, mencoba untuk memegang pimpinan di kelompok itu. Namun agaknya orang itu  pun tidak berumur lebih panjang lagi, ketika pundaknya seakan-akan terbelah oleh senjata seorang pengawal tanah perdikan. Gupita yang melihat keadaan orang-orangnya telah mantap, tiba-tiba saja ingin menemui gurunya. Ada sesuatu yang mendesak. Kematian Ki Wasi yang tidak wajar itu serasa mengganggu perasaannya saja. Ia ingin melepaskannya dengan menceriterakannya kepada gurunya. Hanya sebentar, dan ia akan segera kembali ke tempatnya. Karena itu, maka setelah memberitahukan maksudnya kepada seorang pengawal, Gupita pun meninggalkan tempat itu untuk menemui gurunya sebentar. Sejenak Gupita berputar-putar. Namun kemudian ia tertarik pada suatu lingkaran pertempuran yang seru. Dengan hati yang berdebar-debar ia mendekatinya, mungkin gurunya sedang bertempur melawan Ki Peda Sura.
Ternyata dugaannya tidak salah. Ia melihat gurunya bertempur. Tetapi tidak hanya melawan Ki Peda Sura, tetapi melawan empat orang yang tangguh dan beberapa orang lain. Ternyata Ki Peda Sura tidak hanya memberi isyarat kepada tiga orang kawannya. Beberapa orang yang lain pun datang susul-menyusul dari sela-sela peperangan.
“Hem,” Gupita menarik nafas dalam-dalam, gurunya memang orang yang luar biasa. Meskipun ia harus melawan sekian banyak orang, namun sama sekali tidak tampak gugup atau bingung. Dengan mantap ia menggerakkan senjatanya, menyambar-nyambar. Ki Peda Sura lah yang justru menjadi bingung. Sudah sekian lama ia bertempur bersama beberapa orang tetapi mereka belum berhasil mengalahkan gembala tua itu. Bahkan satu demi satu orang-orangnya terlempar dari arena.
“Ayo, cepat, kita selesaikan saja kakek ini,” teriak Ki Peda Sura.
“Jangan beri ia kesempatan!”
Kawan-kawannya menjadi semakin bernafsu. Tetapi terlampau sulit bagi mereka untuk dapat menembus putaran pedang kakek tua berkumis lebat itu. Gupita yang melihat gurunya bertempur melawan sekian banyak orang segera mendekatinya. Beberapa langkah dari arena itu, ia berhenti sejenak. Sekali-sekali ia harus menghindar apabila ujung-ujung senjata meluncur di seputarnya.
Agaknya gurunya melihat kehadirannya. Karena itu maka terdengar orang tua itu bertanya,
“He, Gupita. Kenapa kau berada di situ?”
“Aku ingin menemui Guru sebentar. Tetapi agaknya Guru baru sibuk.”
“Apakah ada kesulitan?”
“Tidak, Guru,” Gupita berhenti sejenak. Namun tiba-tiba timbullah keinginannya untuk mempengaruhi lawan-lawannya dengan berita kematian Ki Wasi. Karena itu maka katanya,
“Aku hanya akan memberitahukan, bahwa Ki Wasi telah terbunuh.”
“He?”
“Ki Wasi telah terbunuh.”
Berita itu agaknya telah mengejutkan Ki Peda Sura, sehingga dengan serta-merta ia berteriak,
“Bohong! Siapakah yang mampu membunuh Ki Wasi?”
“Aku,” jawab Gupita tanpa disangka-sangka.
“Bohong! Bohong! Anak kelinci macam kau.”
“Terserahlah kepadamu. Tetapi aku memberitahukan kepada Guru, bahwa Ki Wasi telah mati.”
“Kau bunuh dia?” bertanya gurunya sambil melayani lawan-lawannya. Sedang pertempuran pun masih berlangsung dengan hiruk-pikuk. Beberapa orang pengawal mencoba untuk membantu orang tua yang harus melawan sekian banyak orang. Tetapi orang-orang Ki Peda Sura  pun semakin banyak pula yang datang membantunya, sehingga seperti juga orang-orang Menoreh mempersiapkan diri mereka melawan pemimpin-pemimpin pasukan Ki Tambak Wedi, dengan sekelompok kecil, agaknya demikian pulalah yang dilakukan oleh Ki Peda Sura.
Dalam pada itu terdengar Gupita menjawab pertanyaan gurunya,
“Tidak, Guru. Aku tidak membunuhnya.”
“Nah,” teriak Ki Peda Sura,
“bukankah kau sudah membual. Ki Wasi tidak mungkin mati.”
“Benarkah begitu?” bertanya gurunya.
“Tidak. Ki Wasi memang sudah mati. Tetapi memang bukan aku yang membunuhnya. Ia telah dibunuh oleh anak buahnya sendiri.”
“Gila!” teriak Ki Peda Sura.
“Ya. Sebenarnyalah begitu.”

Ki Peda Sura terdiam sejenak. Sepasang senjatanya dengan dahsyatnya berputaran melanda lawannya. Tetapi lawannya benar-benar seorang yang tangguh. Meskipun demikian, betapa tangguhnya seseorang, namun untuk melawan sejumlah orang yang berilmu pula, agaknya memerlukan terlampau banyak tenaga dan pemusatan pikiran.
“Guru,” tiba-tiba Gupita berkata,
“apakah aku boleh ikut di dalam permanan ini?”
“Bagaimanakah dengan tugasmu?”
“Tidak ada hal yang menarik sepeninggal Ki Wasi.”
“Bohong, bohong!” Ki Peda Sura berteriak-teriak. Namun Gupita sama sekali tidak menghiraukannya.
“Baiklah,” jawab gurunya, “tetapi berhati-hatilah. Lawan kita adalah orang-orang yang buas dan liar.”
“Persetan!” geram Ki Peda Sura.
“Kau berdua adalah orang-orang yang paling licik. Kalian mencoba mempengaruhi perasaan kami dengan ceritera yang mentertawakan itu.”
Gupita masih belum menanggapinya. Kini ia maju semakin dekat. Kemudian ia meloncat masuk ke dalam arena. Yang mula-mula di tanganinya adalah mereka yang sedang bertempur melawan para pengawal yang mencoba membantu orang tua yang berkumis itu. Namun kemudian, ia merambat semakin dekat, sehingga akhirnya, ia sudah berada di ujung lingkaran pertempuran yang seakan-akan terpisah ini.
“Setan alas, kau ingin mati lebih dahulu,” geram salah seorang pembantu kepercayaan Ki Peda Sura.
Tetapi Gupita tidak memperhatikannya sama sekali. Bahkan kemudian perhatiannya tertarik kepada dua orang yang sekaligus terluka, ketika gurunya mengayunkan pedangnya.
“Guru memang bukan seorang pembunuh,” desisnya. Dan ternyata meskipun tidak mati, namun kedua orang itu sama sekali sudah tidak mampu lagi untuk melawan karena luka-lukanya. Bersama Gupita, gurunya bertempur melawan orang-orang Ki Peda Sura. Namun orang-orang itu sama sekali tidak menarik perhatiannya, yang penting baginya, adalah memotong induknya, Ki Peda Sura sendiri. Dengan hadirnya Gupita di dalam pertempuran itu, maka gurunya kini lebih banyak mendapat kesempatan untuk memusatkan perhatiannya kepada Ki Peda Sura. Ia sudah tidak lagi terlalu banyak diganggu oleh senjata-senjata yang berkeliaran di sekitarnya, karena sebagian dari mereka harus melayani Gupita yang bertempur seperti burung sikatan. Tekanan yang semakin lama semakin berat, ternyata tidak dapat lagi dielakkan oleh Ki Peda Sura, sehingga karena itu, maka ia harus lebih banyak mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Diperasnya segenap tenaganya untuk dapat bertahan terus di antara beberapa orang-orangnya yang terpenting. Namun gembala tua itu dapat bergerak secepat tatit. Kemana ia pergi, ujung senjatanya selalu saja mengikutinya, seolah-olah ujung senjata itu mempunyai mata yang dapat melihatnya.
“Persetan,” ia menggeram. Dan tiba-tiba saja ia bersuit beberapa kali dalam nada yang khusus.
“Apa lagi yang akan dilakukan iblis ini?” pikir gembala tua itu.
Dan ternyata ia tidak perlu menunggu lebih lama. Tiba-tiba seperti laron mengerumuni nyala api, beberapa orang anak buah Ki Peda Sura menyerang gembala tua itu sejadi-jadinya dari segala pihak. Orang tua itu adalah orang yang cukup berpengalaman. Ia pernah bertempur melawan berbagai macam kelompok dan gerombolan. Ia pernah bertempur melawan laskar yang teratur, melawan prajurit, melawan penjahat dan melawan gerombolan-gerombolan liar. Dan ia  pun mengenal watak dari para pemimpin gerombolan-gerombolan liar seperti Ki Peda Sura itu. Juga sikapnya kali ini. Dengan demikian, maka gembala tua itu segera dapat mengambil kesimpulan, bahwa Ki Peda Sura telah berusaha mempergunakan orang-orangnya menjadi perisai, sementara ia akan melarikan dirinya.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar