Kedua muridnya mengangukkan kepalanya. Sambil menghindarkan diri dari setiap serangan, akhirnya mereka pun berpisah untuk menemui lawan-lawan yang telah ditentukan bagi mereka masing-masing. Beberapa langkah setelah meninggalkan gurunya, Gupala melonjak kegirangan, seperti anak kambing dilepaskan di padang rumput yang hijau segar. Beberapa kali ia tertegun melihat perang campuh yang seru. Ujung senjata berputaran dan terayun-ayun, kemudian gemerincing benturan yang melontarkan bunga-bunga api.
Sejenak
kemudian Gupala telah berada di baris pertempuran yang terdepan. Kini ia harus
mulai menyadari arti dari ujung-ujung senjata lawan, yang setiap saat dapat
menghunjam di dadanya. Gupala mengerutkan keningnya. Sejenak ia melihat seorang
pengawal yang bertempur mati-matian melawan seorang yang agak asing. Menurut
dugaan Gupala orang itu pasti bukan orang Menoreh.
“Mungkin orang
ini termasuk salah seorang anak buah Ki Peda Sura,” katanya di dalam hati. Dan
tiba-tiba saja tangannya menjadi gatal. Apalagi ketika ia melihat orang itu
tertawa sambil berkata,
“He, sebut
ayah dan ibumu. Lalu tundukkan kepalamu. Aku akan memenggalnya.”
Lawannya, seorang
pengawal tanah perdikan, menggeram. Tetapi ia memang sedang terdesak. Bahkan
sejenak kemudian senjatanya telah terlepas dari genggamannya.
Sekali lagi
Gupala melihat orang itu tertawa sambil berkata,
“Ayo cepat,
berlutut.”
Pengawal itu
surut beberapa langkah. Tetapi dalam perang yang hiruk-pikuk ia tidak banyak
mendapat kesempatan. Sekali ia justru terdorong oleh seseorang yang sedang
menghindarkan diri dari tusukan ujung tombak.
“Mau lari
kemana kau anak yang malang,” suara tertawa itu menjadi semakin keras.
Dan tiba-tiba
saja Gupala tidak dapat menahan tertawanya pula melihat orang yang sedang mabuk
kemenangan itu. Bahkan kemudian ia berkata,
“He, kau cepat
sekali mendapat kegembiraan. Itulah agaknya yang membuat kumismu menjadi
tebal.”
Orang itu
terdiam. Dipandanginya Gupala sejenak. Hanya sejenak. Hiruk-pikuk peperangan
telah mendorongnya untuk segera melakukan sesuatu. Dan tiba-tiba saja ia
meloncat menikam pengawal yang sudah tidak bersenjata itu, supaya ia segera
dapat menghadapi musuhnya yang lain. Tetapi ujung senjata tidak pernah dapat
menyentuh korbannya. Tiba-tiba saja ia terpekik selagi ia masih menjulurkan
tangannya yang menggenggam senjata itu. Sejenak kemudian ia menjadi
terhuyung-huyung. Demikian Gupala menarik pedangnya yang terhunjam di lambung
orang itu, maka orang itu pun segera jatuh tertelungkup. Mati. Pengawal yang
terselamatkan itu sejenak berdiri mematung. Ia mengenal anak yang gemuk itu
sebagai seorang gembala. Tetapi bagaimana mungkin ia dapat melakukan hal itu.
Begitu cepatnya, sehingga matanya tidak dapat menangkap gerak itu. Kini yang
terdengar adalah suara tertawa Gupala. Sambil meloncat meninggalkan pengawal
itu ia berdesis,
“Ambil senjata
itu. Kau tidak dapat tidur di dalam peperangan kalau kau tidak mau benar-benar
di bantai oleh lawan-lawanmu.”
Orang itu
seperti tersadar dari tidurnya. Segera ia memungut senjata lawannya yang
terbunuh itu, karena senjatanya sendiri telah tenggelam dalam hiruk-pikuknya
peperangan.
Gupala pun kemudian menyusup di antara kedua pasukan
yang sedang bertempur itu. Sekali tangannya yang gatal tidak dapat ditahannya
lagi.
“Bukankah aku
berada di peperangan?” ia bergumam di dalam hatinya. Dengan demikian, maka
setiap kali ia harus berhenti, seperti terhisap oleh suatu keinginan yang tidak
tertahankan, maka setiap kali senjata telah terhunjam di tubuh lawan-lawannya.
Meskipun demikian, Gupala masih mencoba membedakan, apakah lawannya itu
orang-orang Menoreh, ataukah orang-orang asing yang datang ke Menoreh dalam
keadaan yang kemelut itu. Meskipun kadang-kadang Gupala keliru, namun dari
jenis pakaiannya, Gupala dapat mengira-irakan, siapakah yang sedang
dihadapinya. Tiba-tiba Gupala itu tertegun. Dilihatnya seseorang bertempur
sambil berteriak-teriak. Kadang-kadang tertawa dan kadang membentak-bentak. Sekilas
Gupala dapat melihat, bahwa orang itu mempunyai kelebihan dari para pengawal
tanah perdikan.
“Oh, inilah
orang yang bernama Ki Muni itu agaknya,” berkata Gupala di dalam hatinya.
Melihat ciri-ciri, tingkah laku dan pakaiannya, kalung yang dibebani dengan
berbagai macam benda, maka Gupala pun
dapat memastikan, bahwa orang yang dicarinya itu sudah diketemukannya.
Perlahan-lahan
Gupala yang gemuk itu pun segera
mendekatinya. Namun tiba-tiba ia mempunyai cara yang menyenangkan baginya untuk
menarik perhatian orang yang garang itu.
“Senjatanya
sangat menarik,” desis Gupala di dalam hatinya,
“sebuah pedang
yang lengkung.”
Gupala memang
tidak segera menyongsongnya. Dibiarkannya Ki Muni sesumbar dan bertempur
seperti seekor elang yang menyambar. Beberapa orang terpaksa bergabung untuk
melawannya. Gupala mengerutkan keningnya. Bukan saja tangannya yang menjadi
gatal, tetapi hatinya tergelitik melihat sikap dan tandang Ki Muni, seolah-olah
di seluruh jagad tidak ada orang laki-laki selain dirinya. Itulah sebabnya,
maka Gupala pun tiba-tiba telah berbuat
serupa. Sambil tertawa berkepanjangan ia menyerang beberapa orang sekaligus. Ia
membuat lingkaran perkelahian sendiri di samping arena yang berpusar pada Ki
Muni. Beberapa orang lawan-lawannya terkejut melihat anak muda yang gemuk itu
meloncat-loncat dengan lincahnya. Pedangnya terayun-ayun menyambar-nyambar
seperti burung sikatan. Setiap kali ujung pedang itu menyentuh tubuh lawannya,
dan setiap kali terdengar pekik kesakitan. Tetapi Gupala memang aneh. Ia masih
sempat bergurau di peperangan. Kalau beberapa saat lawan-lawannya tidak ada
yang terpekik kesakitan karena ujung pedangnya tidak berhasil melukai lawannya,
maka ia sendirilah yang berteriak. Namun kemudian suara tertawanya menggema
berkepanjangan. Cara bertempur Gupala itu benar-benar telah menarik perhatian.
Baik lawan maupun kawan. Beberapa orang pengawal terheran-heran melihat gembala
itu mampu bertempur demikian tangkasnya, apalagi seolah-olah ia hanya sedang
bermain-main di saat terang bulan. Lawan-lawannya pun menjadi cemas melihat
tandangnya. Ujung pedangnya seolah-olah mempunyai mata yang dapat melihat
kemana lawannya menghindar. Seseorang yang sekali diburu oleh pedangnya, betapapun
juga ia berusaha, maka akhirnya ujung pedang itu pasti akan bersarang di
dadanya. Demikianlah, maka Gupala telah menimbulkan kegemparan di medan itu.
Arena pertempuran di seputarnya menjadi gelisah seperti di landa angin pusaran.
Ternyata cara
itu berhasil menarik perhatian Ki Muni. Orang yang merasa dirinya tidak terlawan
itu mengerutkan keningnya melinat arena yang kisruh beberapa langkah
daripadanya.
“He, siapa
yang berkelahi di situ?” ia berteriak.
“He, akulah
yang berkelahi di sini,” terdengar jawaban dari tempat yang gelisah itu.
“Siapa kau?”
teriak Ki Muni pula.
“Aku, gegedug
Tanah Perdikan Menoreh. Seorang pengawal yang paling setia pada tugasku, karena
cita-cita yang menjiwai setiap perbuatanku.”
“Persetan,
siapakah namamu?”
“Setiap orang
mengenal aku. Karena aku selalu berada di sisi Ki Gede Menoreh, membina tanah
ini. Sekarang selagi tanah ini menjadi semakin baik, kau datang untuk
menghancurkannya.”
“Gila, gila
kau,” Ki Muni berteriak sambil mengamuk. Senjatanya yang lengkung
menyambar-nyambar seperti elang. Beberapa orang yang berada di sekitarnya
segera terdesak menjauh, dan beberapa orang yang bersama-sama melawannya pun meloncat surut. Beberapa langkah Ki Muni
maju diikuti oleh pasukannya yang mendesak maju pula.
“Aku adalah
seorang yang hampir sepanjang umurku berada di tanah ini,” berkata Ki Muni
dengan lantangnya.
“Aku belum
pernah mengenal tampangmu.”
Gupala tidak
segera menjawab. Ia melihat Ki Muni menjadi semakin dekat ke lingkaran
perkelahiannya.
“Ayo, sebut
namamu.”
“Jawabanmu
sungguh mentertawakan,” berkata Gupala.
“Kalau kau
orang Menoreh, apalagi sejak kanak-kanak, kenapa kau ikut bersama-sama
cucurut-cucurut itu untuk justru menghancurkan Menoreh?”
“Setan,” Ki
Muni bergumam, “siapa namamu?”
“Kalau kau
benar orang Menoreh, maka kau adalah seorang pengkhianat,” berkata Gupala
selanjutnya tanpa menjawab pertanyaan Ki Muni.
“Diam, diam!”
Ki Muni berteriak.
“Aku sobek
mulutmu dengan pedang yang aku dapat dari ujung bumi, yang tajamnya tujuh kali
tajam pedang yang lain.”
Gupala
mengerutkan keningnya. Kini Ki Muni telah berada hanya beberapa langkah saja
daripadanya. Sekilas ia melihat pedang yang lain dari pedang orang-orang
Menoreh. Dalam redup sinar api yang sudah hampir padam, pedang itu tampak
berkilat-kilat.
“Pedang itu
memang tajam,” berkata Gupala di dalam hatinya.
“Setiap
sentuhan pada tubuh, akibatnya sangat berbahaya. Tetapi agaknya pedang itu
tidak sekukuh pedangku. Ternyata orang itu selalu berusaha menghindari benturan
yang langsung. Apalagi dengan kekuatan yang besar.”
Gupala pun
kemudian menggeram. Dan tiba-tiba saja ia berteriak,
“He. Kau ingin
tahu namaku. Namaku adalah Ki Muni, seorang dukun yang tidak ada duanya. Yang
setia kepada tanah kelahiran.”
“Persetan,” Ki
Muni menjadi semakin marah. Terasa darahnya seakan-akan telah mendidih. Dengan
serta-merta ia meloncat menyerang Gupala sejadi-jadinya.
Gupala surut
selangkah untuk memantapkan diri. Namun kemudian ia pun melangkah maju kembali sambil memutar
pedangnya. Meskipun pedangnya tidak setajam pedang lawannya, namun pedang itu
memiliki kelebihan juga. Ki Muni tidak akan berani beradu tenaga lewat tajam
pedangnya. Dada Gupala menjadi berdebar, ketika ia melihat api yang tiba-tiba
saja telah melonjak ke udara. Sekilas ia berpaling. Dilihatnya sebuah rumah
yang terletak beberapa langkah dari arena perkelahian itu terbakar.
“Mereka
menjadi liar,” desisnya di dalam hati.
“Api yang
terhambur-hambur dari panah api, jerami-jerami yang bertimbun-timbun di sisi
ujung jalan dan bahkan yang sengaja ditebarkan di luar regol, gardu darurat di
regol yang telah terbakar pula, telah hampir padam. Tetapi kini sebuah rumah
telah menyala.”
Tetapi Gupala
tidak sempat untuk merenung dan mengumpat-umpat saja. Serangan Ki Muni segera
melandanya seperti banjir. Namun ia pun
telah cukup siap untuk melawannya.
Perkelahian di
antara keduanya segera menjadi semakin seru. Baik para pengawal tanah perdikan,
maupun orang-orang Ki Tambak Wedi, lambat laun bergeser semakin jauh. Mereka
menganggap perkelahian itu adalah perkelahian yang tidak perlu dicampurinya. Gupala
tidak memerlukan waktu terlampau lama untuk menjajagi kemampuan lawannya. Dan
tiba-tiba saja ia tersenyum. Ki Muni hanyalah seorang yang mampu
berteriak-teriak saja. Meskipun ia memiliki kemampuan di atas orang kebanyakan,
namun orang itu hampir tidak banyak berarti bagi Gupala. Karena itu, mulailah
Gupala dengan tabiatnya. Selagi ia masih bertempur menghadapi Ki Muni, maka
sekali-sekali ia berlari berputar-putar. Namun setiap kali pedangnya menyambar
korban-korban yang berjatuhan di pihak lawan.
“He, apakah
kau memang gila?” teriak Ki Muni.
“Ki Muni,”
berkata Gupala,
“ayahku
berpesan kepadaku, agar aku selalu tidak menganggap lawanku terlampau ringan.
Aku pun tidak menganggap demikian terhadapmu. Tetapi, aku tidak dapat
mengingkari kenyataan, bahwa sebenarnya Ki Muni itu tidak lebih dari namanya.
Hanya suaranya saja seakan-akan bunyi ledakan petir di langit. Tetapi kau tidak
memiliki kemampuan apa pun di peperangan.”
Betapa dada Ki
Muni serasa akan meledak mendengar ejekan Gupala itu. Apalagi lawannya itu
tidak lebih dari seorang anak muda gemuk yang tidak dikenal. Meskipun anak itu
berjambang, namun wajahnya sama sekali tidak meyakinkannya, bahwa ia mampu
bertempur di peperangan. Karena itu, maka Ki Muni pun segera mengerahkan segenap kemampuan yang
ada padanya. Dibacanya segala macam ilmu, doa dan jampi-jampi. Disebutnya
segala macam nenek-moyang, bahureksa segala macam sudut, kali, dan hutan-hutan.
Bahu reksa jalan dan perapatan. Kemudian sambil menghentakkan senjatanya ia
berteriak nyaring. Orang-orang yang telah mengenal Ki Muni agak lama,
mengetahuinya, bahwa Ki Muni sudah sampai pada puncak kemarahannya, dan dengan
demikian orang-orang itu mengharap, bahwa korban di pihak lawan akan semakin
banyak berjatuhan. Tetapi ternyata dugaan itu sama sekali tidak benar.
Betapapun Ki Muni mengerahkan segala macam kemampuan yang tersimpan di dalam
dirinya, beserta pedang pusakanya yang didapatkannya dari ujung bumi, namun
lawannya yang masih muda dan gemuk itu masih saja tertawa berkepanjangan.
“Ayo, kerahkan
segenap kemampuanmu, Ki Muni,” berkata Gupala sambil tertawa.
“Atau
barangkali kau memang sudah sampai pada puncak kemampuanmu?”
“Persetan!”
sahut Ki Muni sambil berteriak-teriak, maka serangannya pun menjadi semakin deras. Tetapi lawannya
masih saja tertawa dan kadang-kadang menari-nari berloncat-loncatan dari seorang
ke orang yang lain.
Di bagian lain
dari pertempuran itu, Gupita dengan tenangnya bertempur melawan dukun yang
lain, Ki Wasi. Namun ternyata Ki Wasi pun tidak seliar Ki Muni. Dengan
sungguh-sungguh Ki Wasi berusaha untuk mengatasi keadaan. Namun pada kemampuan
tertentu, ia terpaksa melihat kenyataan, bahwa lawannya meskipun masih cukup
muda, namun memiliki kemampuan yang tidak dapat diabaikannya. Bahkan semakin
lama, ternyata, bahwa lawannya adalah seorang yang luar biasa.
“Aku belum
pernah melihat wajahmu anak muda,” desis Ki Wasi.
Gupita mengerutkan
keningnya. Jawabnya,
“Mungkin, Ki
Wasi.”
“Siapa
namamu?”
“Gupita.
Seorang gembala.”
“Kau
berbohong.”
“Tidak. Aku
memang seorang gembala.”
Ki Wasi
terdiam. Senjatanya, sepasang trisula bertangkai pendek hampir tidak berarti
sama sekali bagi lawannya. Namun ia berusaha sekuat-kuat tenaganya. Kalau
semula ia berhasil mendesak setiap orang yang melawannya dan membawa
kelompoknya setapak demi setapak maju, maka kini ia terbentur pada suatu
perlawanan yang tidak mudah ditembusnya. Dan tanpa disangka-sangka, Ki Wasi
mendengar lawannya yang masih muda itu bertanya,
“Ki Wasi,
kenapa kau melakukan perlawanan atas Ki Argapati?”
Sejenak Ki
Wasi tidak dapat menyahut. Pertanyaan itu benar-benar telah menyentuh
perasaannya. Gupita merasakan sentuhan itu pula, karena perlawanan Ki Wasi yang
seakan-akan tertegun. Bahkan kemudian orang itu meloncat selangkah mundur.
Meskipun Ki Wasi menyilangkan trisulanya di muka dadanya, namun getaran di
dalam dadanya telah mempengaruhinya. Tetapi Gupita tidak mempergunakan
kesempatan itu. Bahkan membiarkan Ki Wasi menyadari keadaannya. Meskipun
pedangnya teracu ke depan dada lawannya, tetapi Gupita tidak meloncat dan
menembus dada itu dengan ujung pedangnya.
“Jangan kau
tanyakan, mengapa aku melawannya,” geram Ki Wasi.
“Itu hakku,”
jawab Gupita.
“Hakmu adalah
menjawab atau tidak. Kalau kau memang berkeberatan, kau tidak perlu
menjawabnya.”
“Aku tidak
akan menjawab.”
“Terserahlah.
Tetapi dengan demikian aku dapat membuat jawaban sendiri. Dan aku menganggap
perlawananmu itu sebagai suatu pemberontakan dan ketidak-setiaan terhadap
pimpinanmu.”
“Kau salah,”
jawab Ki Wasi. Namun agaknya ia telah mendapatkan kemantapannya kembali,
sehingga justru ia lah yang menyerang Gupita dengan sekuat-kuat tenaganya.
Namun Gupita
sebenarnya bukanlah lawannya. Karena itu, Gupita dengan, mudahnya dapat
menghindarkan diri dari setiap serangannya.
“Aku mempunyai
pertimbangan sendiri,” desis Ki Wasi.
“Aku melawan
Ki Argapati, karena Ki Argapati ternyata mengecewakan sekali. Berapa tahun aku
bekerja dengan patuh. Namun agaknya Ki Argapati bukan seorang yang dapat
menjadi contoh bagi setiap orang di atas tanah perdikan ini. Ia lebih
mementingkan dirinya sendiri daripada membela anak dan adiknya. Ia begitu taat
bersujud kepada kekuasaan Pajang daripada memberikan perlindungan kepada Angger
Sidanti dan Argajaya. Apakah itu sikap seorang ayah yang baik. Adalah menjadi
tanggung jawab seorang ayah, apa pun
yang dilakukan oleh anaknya.”
“Juga apabila
anak itu melakukan kesalahan?”
“Tentu tidak.
Tetapi Angger Sidanti tidak bersalah. Ia didorong ke dalam suatu keadaan yang
tidak dapat dielakkannya lagi. Ia mempunyai harga diri sebagai seorang putera
kepala tanah perdikan yang besar dan kuat. Tetapi Ki Gede telah melepaskan
tangung jawab itu.”
Gupita
mengerutkan keningnya. Api yang berkobar semakin besar menelan sebuah rumah.
Cahayanya yang kemerah-merahan telah membuat wajah-wajah semakin menjadi tegang
dan mengerikan. Keringat yang meleleh dari kening dan darah yang menitik dari
luka, membuat medan perang itu menjadi semakin panas. Gupita masih bertempur
melawan Ki Wasi. Tetapi ternyata Gupita tidak memanfaatkan setiap keadaan yang
memberinya kesempatan untuk menyudahi perkelahian. Ki Wasi pun ternyata
merasakan keganjilan yang terjadi dalam perkelahian itu. Ia merasa bahwa betapapun
ia berusaha, namun ia tidak akan dapat mengimbangi lawannya. Tetapi meskipun
demikian, ia masih tetap dapat melakukan perlawanan, betapapun disadarinya,
bahwa perlawanannya itu hampir tidak ada artinya.
“Apakah maksud
orang ini?” pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya.
“Kenapa ia
tidak membunuh aku saja di dalam peperangan ini, meskipun agaknya ia dapat
melakukannya dengan mudah?”
Dan Gupita
memang tidak ingin membunuhnya. Agaknya Ki Wasi adalah salah seorang yang lemah
hati, yang mudah percaya kepada hasutan dan keterangan-keterangan palsu. Ki
Wasi yang melihat dan bahkan sering bermain-main dengan Sidanti ketika anak itu
masih terlampau muda, tidak sampai hati melihat ia tersudut dalam kesulitan yang
pahit, yang menurut pengertiannya, karena Argapati tidak mau melindunginya.
“Kalau Ki Wasi
dapat mengerti keadaan yang sebenarnya, apa saja yang pernah dilakukan Sidanti,
maka ia akan berpendirian lain. Ia baru mendengar keterangan dari sebelah sisi.
Dan keterangan itu langsung dipercayainya,” berkata Gupita di dalam batinya.
Dan karena itu pulalah ia ingin Ki Wasi tetap hidup, dan dapat mengerti apa
yang sebenarnya telah terjadi. Karena itu, meskipun dengan alasan yang
berbeda-beda, namun kemudian Gupita pun telah bertempur tidak saja melawan Ki
Wasi. Beberapa orang yang melihat pemimpin kelompoknya terdesak, segera
berusaha membantunya. Tetapi Gupita sama sekali tidak mengalami kesulitan.
Ternyata pedangnya mampu melindungi dirinya, dan bahkan mampu melukai beberapa
orang lawan-lawannya. Seorang demi seorang, Gupita telah kehilangan lawan. Para
pengawal tanah perdikan yang bersamanya selalu mempergunakan setiap kesempatan
untuk mendesak terus, sehingga semakin lama semakin ternyata, bahwa garis medan
di tempat itu tidak lagi dapat dipertahankan oleh orang-orang Ki Tambak Wedi
yang dipimpin oleh Ki Wasi.
Di bagian
tengah, Ki Peda Sura pemimpin pasukan yang menghadapi para pengawal yang datang
dari arah belakang, sempat melihat pasukannya di kedua sisinya bergeser mundur,
sehingga lingkaran gelar Gajah Meta itu pun menjadi semakin sempit, karenanya.
Sambil menghentakkan senjatanya ia menggeram. Seharusnya kekuatan kedua sisi
itu dapat dipercaya, karena masing-masing dipimpin oleh dua orang kuat dari
Tanah Perdikan Menoreh ini sendiri. Tetapi ternyata, bahwa pertahanan itu
semakin lama semakin surut.
“Apakah
keduanya telah berkhianat dan justru membiarkan pasukannya mundur?” pertanyaan
itu telah mengganggunya.
Namun karena
itulah, maka ia pun segera mengamuk tanpa terkendalikan lagi. Setiap orang yang
berusaha mendekatinya, pasti akan terpelanting tersentuh senjatanya. Meskipun
senjatanya tidak mempunyai tajam seperti pedang, namun justru senjata itu mampu
meremukkan tulang. Sentuhan di kepala tidak akan perlu diulanginya lagi. Namun
agaknya kekalutan di kedua sisi pasukannya sangat mengganggunya, sehingga ia
bermaksud untuk melihat sendiri, apakah yang sebenarnya telah terjadi. Karena
itu, maka diserahkannya pimpinan kepada salah seorang kepercayaannya, dan ia sendiri
kemudian meninggalkan tempatnya untuk melihat apa yang terjadi di kedua
sisinya. Yang mula-mula ingin dilihatnya adalah pasukan yang dipimpim oleh Ki
Muni. Orang itu adalah orang yang cukup kasar, sehingga seharusnya ia mampu
melakukan apa saja untuk menghancurkan lawannya. Apalagi di dalam pasukan Ki
Muni itu, terdapat banyak orang-orangnya sendiri, yang pasti akan mampu membuat
lawan-lawan mereka kehilangan keberanian. Orang-orangnya telah terlampau biasa
melakukan pembunuhan dengan berbagai macam cara. Bahkan cara-cara yang tidak
dapat dibayangkan sebelumnya. Tetapi tiba-tiba Ki Peda Sura tertegun, ketika ia
melihat sesuatu yang aneh di peperangan itu. Ia melihat seorang tua dengan
kumis yang lebat sedang bertempur melawan beberapa orang sekaligus.
“Bukan main,”
geram Ki Peda Sura,
“ternyata
orang ini perlu mendapat perhatian.”
Dengan
demikian, maka Ki Peda Sura mengurungkan niatnya. Dengan garangnya ia meloncat
mendekati orang tua itu sambil menggeram.
“He, siapakah
kau?”
Orang tua itu
berpaling sejenak. Ketika dilihatnya Ki Peda Sura maka katanya,
“Kaukah yang
bernama Ki Peda Sura?”
“Ya. Akulah Ki
Peda Sura. Nah, dengan mengenali namaku, kau sudah dapat membayangkan, apa yang
akan terjadi atasmu. Sekarang sebut namamu.”
“Sudah lama
aku mencarimu. Di mana kau bertempur selama ini? Hampir-hampir aku menganggap,
bahwa kau sudah mati terbunuh di peperangan ini,” jawab orang itu.
“Persetan!” Ki
Peda Sura berteriak. Kemarahannya yang telah membakar dadanya, kini menjadi
semakin memuncak.
“Sebut
namamu!”
“Apakah arti
nama seseorang?”
“Cepat,
sebelum kau mati!”
“Aku dapat
menyebut seribu macam nama. Panji Jayengraga, Rangga Semantana, Raden
Badersewu.”
“Cukup. Cukup.
Sebut namamu yang sebenarnya.”
“Pilihlah
salah satu. Atau kalau kau anggap kurang sesuai, nah siapa sebaiknya namaku?”
Kemarahan Ki
Peda Sura sudah tidak dapat ditahannya lagi. Karena itu, maka tanpa mengucapkan
sepatah kata pun lagi, ia menerkam orang
tua berkumis itu dengan suatu serangan maut. Kedua senjatanya bersama-sama
terayun, menghantam lawannya dengan kecepatan yang tidak tersangka-sangka. Lawannya
menahan nafas. Ternyata Ki Peda Sura benar-benar seorang yang memiliki
kemampuan yang cukup tinggi. Namun, kali ini ia berhadapan dengan lawan yang
tidak disangka-sangka akan dijumpainya di medan peperangan ini. Menurut
perhitungannya, selain Ki Tambak Wedi dan Ki Argapati, tidak akan ada orang
yang mampu menyamainya. Tetapi ternyata kali ini, orang berkumis itu mampu
menghindari serangannya. Dengan loncatan yang melampaui kecepatannya, ia berhasil
menghindar, sehingga ayunan senjata Ki Peda Sura telah menyeret tubuhnya
sendiri. Karena ia tidak memperhitungkan sama sekali hal itu, maka tubuhnya
terhuyung-huyung beberapa langkah, sebelum ia berhasil menguasai
keseimbangannya kembali. Sambil mengumpat-umpat Ki Peda Sura mempersiapkan
dirinya untuk menghadapi lawannya yang mendebarkan jantungnya. Orang tua
berkumis itu ternyata memiliki bekal yang cukup untuk menghadapinya. Dengan
demikian, maka Ki Peda Sura harus berhati-hati. Kali ini ia harus bertempur
bersungguh-sungguh, tidak sekedar membunuh lawan hampir tanpa perlawanan.
“Ki Peda
Sura,” terdengar orang tua itu berbicara dengan suara yang agak sengau,
“aku terpaksa
melibatkan diri dalam pertentangan ini, karena aku tidak ingin melihat tanah perdikan
ini runtuh. Dengan kehadiranmu dan orang-orangmu, maka kekacauan di atas tanah
ini akan semakin menjadi-jadi.”
“Kau juga
orang asing di sini.”
“Memang,
memang aku bukan orang Menoreh. Tetapi aku datang seorang diri. Katakanlah aku
hanyalah datang bersama dua orang anak-anakku. Dan aku tidak akan melibatkan
diri, seandainya tidak ada orang-orang seperti Ki Tambak Wedi, dan kau beserta
anak buahmu. Kalau aku biarkan persoalan ini berlarut-larut, maka tanah ini
akan jatuh ke tangan Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Namun untuk seterusnya kau
akan selalu memerasnya. Bayangkan, apa yang akan terjadi atas tanah ini.”
“Persetan!” Ki
Peda Sura menghentakan giginya. Kemudian serangannya pun datang beruntun. Sepasang senjatanya
terayun-ayun mengerikan.
Orang tua berkumis
itu telah benar-benar bersedia untuk melawannya, sehingga karena itu, maka
dengan sigapnya ia menghindari setiap serangan dan bahkan kemudian menyerang
kembali. Sejenak orang tua itu menjadi ragu-ragu. Ia bukan seorang pembunuh
yang selalu haus darah. Bahkan setiap ia melakukan pekerjaan yang menurut
keyakinannya sudah pada tempatnya, ia masih saja memperhitungkan segala macam
kemungkinan. Namun yang dihadapinya kini adalah seseorang yang telah berbentuk.
Seseorang yang tidak akan mungkin dapat dirubahnya lagi. Ki Peda Sura adalah
seseorang yang sangat berbahaya, bukan saja bagi Tanah Perdikan Menoreh, tetapi
juga bagi kemanusiaan pada umumnya. Seandainya ia gagal memeras tanah perdikan
ini, maka ia akan dapat melakukannya di tempat yang lain. Sambil bertempur
orang tua itu masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan. Bahkan ia masih
sempat bertanya,
“Ki Peda Sura.
Apakah pamrihmu, sehingga kau bersama anak buahmu dengan bersusah payah ikut
dalam pertentangan antara ayah dan anak ini?”
Ki Peda Sura
tidak menyahut. Namun serangannya menjadi semakin garang, seperti badai mangsa
kesanga.
“Ada dua
kemungkinan Peda Sura,” berkata orang tua itu.
“Setelah
peperangan ini selesai, kau pun akan diselesaikan pula oleh Ki Tambak Wedi,
karena bagaimanapun juga, kau tidak akan menang melawannya. Sedang kemungkinan
yang lain. Tambak Wedi lah yang akan kau peras habis-habisan. Seandainya Tambak
Wedi berkeberatan, maka tanah perdikan inilah yang akan menjadi korban. Kau
akan memasuki setiap pintu dan menghisap segala macam isinya. Dan sudah tentu
kau akan menghindari benturan-benturan langsung dengan Tambak Wedi. Dan menurut
perhitunganmu, Ki Tambak Wedi tidak akan sekuat Argapati dalam mengendalikan
pemerintahan di Menoreh.”
“Persetan,” Ki Peda Sura menggeram. Dengan
sekuat tenaga ia menyerang lawannya. Namun serangan-serangannya itu sama sekali
tidak pernah menegangkan urat orang tua yang berkumis itu.
“Tetapi Ki
Peda Sura,” orang itu masih berbicara saja sambil memutar pedangnya,
“yang paling
jelek adalah justru kemungkinan yang lain lagi. Kemungkinan ketiga. Yaitu
apabila kau bersama-sama Ki Tambak Wedi memeras tanah perdikan ini.”
“Diam, diam!”
teriak Ki Peda Sura. Sepasang senjatanya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Namun sepasang senjata itu sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya.
Bahkan setiap kali senjatanya itu membentur pedang orang tua berkumis itu,
terasa tangannya seakan-akan bergetar.
“Setan manakah
yang tiba-tiba ada di dalam peperangan ini?” geram Ki Peda Sura.
“Nah Ki Peda
Sura,” berkata orang itu pula,
“masih ada
kesempatan sebelum orang-orangmu tumpas di peperangan ini. Tinggalkan medan dan
pergi ke asalmu. Kalau kau tidak mengganggu tanah ini untuk seterusnya, kau pun
tidak akan kami ganggu.”
“Tutup
mulutmu!” terak Ki Peda Sura.
“Maaf. Aku
akan berbicara terus. Kalau kau mau mendengarkan aku akan bergembira sekali.
Sebab tidak akan ada kemungkinan bagimu untuk menyelamatkan anak buahmu. Kedua
anakku, adalah gembala-gembala yang salah seorang daripadanya telah membantu
Pandan Wangi melukai kau beberapa saat yang lampau. Keduanya kini ada di medan
ini, sekarang dua orang lain yang akan dapat membinasakan Sidanti dan Argajaya.
Nah, sekarang kau tahu, bahwa Ki Tambak Wedi telah salah menilai kekuatan
lawannya. Termasuk kau yang terlampau tamak.”
“Bohong. Kau
sangka aku percaya?”
“Satu contoh
adalah di hadapanmu sekarang. Kalau kau tidak mau mendengarkan kata-kataku, apa
boleh buat.”
Terasa dada Ki
Peda Sura berdesir. Ia sadar, bahwa lawannya kali ini bukan sekedar seorang
yang berbicara terlampau keras, tetapi ia adalah seorang yang tangguh tanggon. Meskipun
demikian, sama sekali tidak terlintas di kepalanya untuk meninggalkan medan. Ia
masih mempunyai cara untuk mencoba mengalahkan orang ini. Demikianlah mereka
bertempur semakin lama semakin seru. Beberapa kali Ki Peda Sura terdesak, dan
setiap kali ia telah bergeser surut. Beberapa orang yang bertempur di sekitar
kedua orang itu terpaksa berusaha menyingkir, karena mereka masih harus
melayani lawan masing-masing. Tetapi mereka lebih senang berada agak jauh dari
keduanya, daripada tanpa setahu mereka, kepala mereka pecah oleh sentuhan
senjata kedua orang yang luar biasa itu. Namun semakin lama semakin terasa,
bahwa Ki Peda Sura tidak akan mampu lagi melakukan perlawanan lebih lama lagi.
Apalagi ketika orang tua yang berkumis itu mengambil suatu keputusan, bahwa Ki
Peda Sura memang harus dilenyapkan. Ki Peda Sura pun menyadari keadaaanya. Ia
tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi melawan orang tua berkumis itu.
Karena itu ia harus segera berbuat sesuatu, agar ia tidak terdesak terus, dan
apalagi dibinasakan. Sejenak kemudian terdengar sebuah tanda yang meluncur dari
mulutnya. Sebuah suitan nyaring. Orang tua berkumis itu menjadi berdebar-debar.
Ia tahu benar, bahwa yang diperdengarkan oleh Ki Peda Sura itu pasti suatu
pertanda, tetapi orang tua itu tidak tahu, apakah maksudnya.
“Aku harus
segera menyelesaikannya,” pikir orang tua itu. Tetapi ia terkejut ketika
beberapa orang berloncatan dari antara hiruk-pikuk peperangan, dan kemudian
seolah-olah mengepungnya. Tiga orang yang bertubuh kekar dengan wajah yang
mengerikan.
“Nah, kau
tidak akan dapat lolos lagi,” desis Ki Peda Sura.
Orang tua itu
mengerutkan keningnya. Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis di
dalam hatinya,
“Memang tidak
ada pilihan lain. Melawan Peda Sura sama berbahayanya dengan melawan iblis.”
“Menyerahlah,
supaya kau dapat mati dengan tenang,” geram Ki Peda Sura.
Tetapi orang
berkumis itu masih tetap tenang. Sekali ia bergeser untuk mempersiapkan
dirinya. Dipandanginya wajah-wajah itu satu demi satu.
“Sudah sekian
lama aku tidak pernah bertempur bersungguh-sungguh. Berkelahi antara hidup dan
mati. Tetapi berhadapan dengan empat orang ini agaknya memang tidak ada pilihan
lain. Aku tidak hanya sekedar bermain-main lagi, seperti beberapa kali aku
lakukan melawan Sumangkar dan Ki Tambak Wedi, karena saat itu aku belum berada
di dalam suatu keadaan seperti sekarang. Tetapi kini aku harus menentukan,”
berkata orang tua itu di dalam hatinya.
“Juga apabila
pada suatu saat aku berhadapan dengan Tambak Wedi sendiri.”
“Kenapa kau
membungkam?” bentak Ki Peda Sura.
“Jangan
menyesal. Tidak ada pilihan lain bagimu.”
Orang berkumis
itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Marilah Ki
Peda Sura. Aku sudah siap.”
“Sebut namamu,
supaya aku dapat berceritera, bahwa seorang yang bernama dadap, atau waru, atau
tikus, atau kelinci, telah aku bunuh di peperangan,” desis Ki Peda Sura.
“Nama-nama
itukah yang pantas bagiku? Bukan Panji Jayengraga, atau Rangga Parang Jumena,
atau Rangga Surenggana.”
“Cukup,
cukup!” bentak Ki Peda Sura.
“Baiklah kalau
kau ingin mati tanpa nama.” Kemudian kepada kawan-kawannya ia berkata,
“Kita terpaksa
membunuhnya tanpa ampun, terserahlah cara yang mana yang akan kalian pilih.”
“Orang ini
harus dicincang,” geram salah seorang dari mereka,
“tetapi ia
harus mati perlahan-lahan.”
“Bagus, aku
ingin menangkapnya hidup-hidup.”
Terdengar
salah seorang dari mereka tertawa. Kemudian hampir bersamaan mereka maju
mendekat. Orang tua itu harus benar-benar mempersiapkan dirinya. Orang-orang
itu bukanlah orang kebanyakan yang dapat diabaikan. Sejenak kemudian, Ki Peda
Sura itu pun berkata,
“Nah,
selesaikan. Pekerjaan kita masih banyak.”
Serentak
ketiga orang itu menyerang dari tiga jurusan. Dengan senjata masing-masing yang
berbeda-beda mereka berusaha sekaligus menghancurkan lawannya. Salah seorang
dari mereka mempergunakan sebuah tombak pendek berduri pandan. Sentuhan senjata
itu dapat menyobek kulit dedel duwel. Seorang yang lain bersenjata sebuah golok
yang besar, sedang yang seorang lagi bersenjata pedang. Tetapi orang tua
berkumis itu cukup sadar. Dengan sigapnya ia menghindari serangan-serangan itu,
dan bahkan salah seorang daripada mereka telah membenturkan dengan senjata
orang tua itu. Betapa ia terkejut merasakan tangannya seakan-akan disengat oleh
bara api. Hampir saja senjatanya terlepas dari tangannya. Karena itu, maka
terdengar ia menggeram untuk melontarkan kemarahan yang menyesak dada. Namun
sebelum orang tua itu berhasil berdiri tegak, serangan Ki Peda Sura sendiri
datang membadai. Sepasang senjatanya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Hampir saja kepala orang tua itu tersentuh oleh senjata Peda Sura yang dahsyat
itu. Hanya dengan kecepatan yang tidak dapat diperhitungkan oleh lawannya,
orang tua itu berhasil menyelamatkan dirinya.
“Bukan main,”
desisnya di dalam hati, “mereka berempat merupakan lawan yang berat juga.”
Karena itu,
maka orang tua itu tidak lagi dapat berlengah-lengah barang sekejap pun.
Menghadapi mereka berempat, maka tugasnya agak lebih berat daripada berhadapan
langsung dengan seorang Tambak Wedi, karena ia harus memperhatikan beberapa
arah sekaligus. Untunglah, bahwa orang-orang Ki Tambak Wedi mempunyai kegemaran
membakar rumah, lumbung dan bahkan kandang-kandang kerbau, sehingga nyala api
telah membantunya untuk melihat lawan-lawannya yang datang dari berbagai arah.
Sementara itu,
Gupala telah menjadi jemu untuk bermain-main. Kini perhatiannya dipusatkannya
kepada lawan utamanya, Ki Muni. Dukun itu telah mengerahkan segenap kemampuannya.
Segenap mantra dan guna-guna telah dibacanya. Namun ternyata, bahwa ia menjadi
cemas. Ternyata kemampuannya bertempur di peperangan tidak seperti yang
diduganya sendiri. Ia mengharap lawannya menjadi gemetar dengan mantra dan
guna-gunanya. Bahkan kemudian bersujud sambil memeluk lututnya sementara ia
dapat menggoreskan pedang di leher lawan itu. Tetapi lawannya yang gemuk ini
sama sekali tidak terpengaruh oleh mantra-mantranya. Danyang prapatan,
kedung-kedung, dan pereng-pereng Bukit Menoreh, ternyata kali ini tidak
merestuinya. Bahkan jimat-jimat yang tergantung di lehernya, taring celeng
jantan, keyong buntet, dan segala macam bebatuan dan kayu-kayuan, sama sekali
tidak menolongnya. Gupala pun agaknya adalah seorang yang terlampau sulit untuk
mengendalikan dirinya. Ketika ia melihat Ki Muni mengamuk dalam
keputus-asaannya, maka Gupala pun menjadi marah. Apalagi ketika pedang lengkung
Ki Muni berhasil menyentuh talinya yang berwarna kekuning-kuningan sehingga
terputus beberapa jari di ujungnya. Dan selagi ia sibuk dengan tali itu, pedang
lengkung yang tajam bukan kepalang itu, telah menyentuh tubuhnya sehingga
menitikkan darah. Kemarahan Gupala meluap sampai ke ujung rambutnya. Pedang
yang tajam bukan buatan, itu benar-benar telah melukainya. Sentuhan yang tidak
disangka-sangka itu ternyata telah membakar jantungnya. Untunglah, bahwa luka
itu tidak berbahaya dan tidak terlampau dalam.
Namun
demikian, luka itu telah cukup membuatnya kehilangan pertimbangan. Sejenak
kemudian, sambil menggeram, Gupala meloncat maju. Kini serangannya membadai
tanpa dapat ditahan lagi oleh lawannya. Beberapa orang yang mencoba membantu Ki
Muni, setelah ternyata, bahwa Ki Muni tidak dapat melawannya sendiri telah
terpelanting jatuh dengan dada terbelah, atau kening yang berlumuran darah. Ki
Muni menjadi semakin berdebar-debar melihat lawannya seolah-olah menjadi
semakin garang. Dengan demikian ia menjadi semakin berputus asa. Tidak ada
seorang pun lagi yang akan mampu
menolongnya. Mantra-mantra dan jampi-jampinya
pun tidak. Tetapi Ki Muni masih juga mencoba melawan. Pedangnya masih
berputar, terayun-ayun dengan cepatnya. Namun ia sendiri sudah tidak berhasil
melakukan pengamatan atas gerak-geraknya sendiri. Gupala yang marah pun
menyerangnya semakin cepat. Sehingga akhirnya, Ki Muni tidak dapat menghindar
lagi. Ketika Gupala menjulurkan pedangnya, Ki Muni masih mencoba menghindarkan
diri sambil memukul pedang itu. Tetapi pedang itu sama sekali tidak berkisar,
bahkan kemudian terayun mengarah ke lambungnya. Dengan gugup Ki Muni masih
berusaha untuk menyilangkan pedangnya, namun ternyata kekuatan lawannya terlalu
besar, sehingga ia justru terdorong beberapa langkah surut. Belum lagi ia
sempat memperbaiki keseimbangannya, ternyata Gupala telah meloncat sambil
berteriak untuk mengakhiri perkelahian itu. Dada Ki Muni berdesir. Tetapi hanya
sejenak. Kemudian serasa tubuhnya terdorong beberapa langkah, dan selanjutnya
ia tidak tahu apalagi yang terjadi atas dirinya. Gupala menarik pedangnya.
Dilihatnya Ki Muni kemudian roboh dengan darah menyembur dari luka di dadanya.
Kematian Ki
Muni benar-benar telah berpengaruh pada anak buah yang dipimpinnya. Tiba-tiba
mereka merasa ngeri melihat anak muda yang gemuk berjambang lebat itu. Tanpa
mereka kehendaki, mereka pun berusaha
bergeser menjauhinya. Namun mereka tidak dapat menghindar dari pertempuran itu.
Di mana-mana mereka bertemu dengan lawan, karena para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh pun telah menyebar di segala
medan. Bukan saja para pengawal yang masih muda, tetapi hampir setiap laki-laki
yang setia kepada Ki Argapati mengangkat senjata. Mereka yang telah menyimpan
senjata-senjata mereka, karena umur mereka telah merambat semakin tua pun,
ternyata telah menarik senjata-senjata itu dari wrangkanya. Bahkan mereka yang
hampir tidak pernah memegang senjata pun
telah bangkit dan ikut di dalam peperangan yang hiruk-pikuk itu.
Di ujung lain
dari peperangan itu, Gupita masih bertempur melawan Ki Wasi. Tetapi ternyata
Gupita lebih banyak sesorah daripada mempergunakan ujung pedangnya. Sedang
lawannya pun semakin dipengaruhi oleh
perasaan heran, kenapa anak muda itu masih belum berusaha dengan
sungguh-sungguh menyelesaikan pertempuran itu. Apalagi ketika tiba-tiba saja
Gupita itu berkata,
“Masih ada
waktu, Ki Wasi. Apakah kau dapat mempergunakan?”
Ki Wasi tidak
menjawab. Tetapi sikap anak muda itu telah mengendorkan nafsu perlawanannya.
Dan tiba-tiba ia melihat, bahwa peperangan ini telah menjadi semakin buas.
Setiap kali ia mendengar teriakan kemarahan dan pekik kesakitan.
“Apakah memang
hal serupa ini yang aku kehendaki?” pertanyaan itu telah mengganggunya.
Sebagai
seorang dukun yang baik, Ki Wasi menjadi berdebat setiap ia melihat orang-orang
yang terluka, merintih dan mengaduh.
“Inilah
permulaan dari tingkah laku Sidanti,” terdengar Gupita berkata.
“Lalu apa yang
kira-kira akan dilakukan apabila ia nanti berkuasa?”
Ki Wasi tidak
menjawab. Sepasang trisulanya masih berputaran, meskipun ia sadar, bahwa hal
itu tidak akan banyak gunanya.
“Ki Wasi,”
desis Gupita,
“apakah kau
tahu benar, kenapa Ki Argapati tidak mau melindungi anak laki-lakinya?”
Ki Wasi tidak
menjawab.
“Bukankah kau
hanya mendengar dari Ki Tambak Wedi atau Sidanti sendiri? Bukankah kau belum
mendengarnya dari Ki Argapati?”
Ki Wasi masih
tetap berdiam diri. Namun perlawanannya semakin lama menjadi semakin lemah.
Apalagi karena ia menyadari, bahwa lawannya sama sekali tidak ingin
membunuhnya. Meskipun Gupita melukai juga satu dua orang yang berusaha membantu
Ki Wasi, tetapi ternyata Ki Wasi sama sekali tidak disentuh oleh ujung senjatanya.
Meskipun demikian, tetapi setiap kata Gupita serasa lebih tajam dari ujung
senjata yang di genggamnya. Kini ia melihat akibat dari pembangkangan Sidanti.
“Pasti ada
suatu alasan, kenapa Argapati tidak mau melindungi Sidanti saat itu,” pikiran itu
seakan-akan baru saja tumbuh di kepala Ki Wasi.
“Atau mungkin
Sidanti dan Ki Tambak Wedi memang ingin mempercepat penyerahan kekuasaan tanah
perdikan ini, supaya mereka dapat berbuat sekehendak hati?”
Karena itu,
maka Ki Wasi pun menjadi ragu-ragu. Perlawanannya
menjadi semakin tidak berarti, sehingga Gupita ternyata lebih banyak melayani
lawan-lawannya yang lain daripada Ki Wasi sendiri. Meskipun demikian,
peperangan di sekitar Gupita masih saja berlangsung dengan serunya. Di antara
pasukan Ki Tambak Wedi, maka orang-orang yang bukan berasal dari Menoreh
sendiri, mempunyai cara yang mengerikan untuk menekan keberanian lawan. Seperti
di sudut-sudut peperangan yang lain, mereka berbuat di luar batas. Dan
merekalah yang lebih menarik perhatian Gupita daripada Ki Wasi yang seakan-akan
telah kehilangan tenaganya sama sekali.
Namun adalah
di luar dugaan sama sekali, ketika tiba-tiba saja terdengar orang itu mengaduh.
Gupita yang sedang menyelesaikan seseorang yang berkelahi dengan ganasnya
terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya Ki Wasi terhuyung-huyung.
Hampir di luar
sadarnya ketika tiba-tiba saja Gupita meloncat mendekati Ki Wasi. Dengan
serta-merta tangannya menyambar orang tua itu sehingga ia tidak jatuh
terjerembab. Namun tiba-tiba dadanya berdesir. Tangannya itu merasakan sesuatu
yang hangat meleleh dari punggung Ki Wasi. Luka.
“Bunuh
pengkhianat itu,” terdengar seseorang berteriak.
Kini menjadi
jelas bagi Gupita, bahwa agaknya seseorang di antara anak buah Ki Wasi sendiri
telah berusaha membunuhnya, karena ia dianggap berkhianat. Dan belum lagi
Gupita menyadari keadaan sepenuhnya, maka seseorang telah meloncat dan berusaha
menusuk punggung Ki Wasi sekali lagi. Tetapi usaha orang itu kini tidak
berhasil, karena pedangnya membentur pedang Gupita. Dan bahkan pedang orang
itulah yang terlempar jatuh dari genggamannya.
“Jangan
hiraukan aku anak muda,” desis Ki Wasi,
“biarlah aku
menerima hukuman apa saja. Aku ternyata telah berkhianat dua kali lipat. Aku
telah mengkhianati Ki Argapati dan kini aku sedang berpikir untuk mengkhianati
Sidanti karena sikapmu.”
“Masih ada
kesempatan,” jawab Gupita,
“kali ini Ki
Wasi tidak sedang berkhianat. Tetapi Ki Wasi sedang berusaha memperbaiki
kesalahan Ki Wasi itu.”
Ki Wasi
menggeleng lemah, “Tidak ada gunanya. Lukaku parah.”
“Bukankah Ki
Wasi seorang dukun? Apakah Ki Wasi tidak membawa obat apapun?”
Ki Wasi ragu-ragu
sejenak, kemudian katanya,
“Aku memang
membawa. Tetapi tidak untuk luka separah ini.”
Hiruk-pikuk
peperangan menjadi semakin seru. Sementara tubuh Ki Wasi pun menjadi semakin lemah. Gupita masih
mencoba menahan tubuh yang lemah itu. Tetapi seperti yang dikatakannya sendiri,
Ki Wasi sudah tidak mempunyai harapan. Gupita menarik nafas dalam sambil
memegangi tubuh itu dengan tangan kirinya. Sedang tangan kanannya masih
menggenggam pedangnya erat-erat.
“Serahkan
pengkhianat itu kepada kami,” teriak salah seorang lawannya, “biarlah kami
menyelesaikannya.”
“Kenapa kau
anggap dia berkhianat?”
“Ia tidak
melawan kau dengan sungguh-sungguh. Jangan kau sangka, bahwa tidak ada seorang
pun di antara kami yang mendengar percakapan kalian, meskipun
sepotong-sepotong. Kau mencoba mempengaruhinya, dan dukun gila itu agaknya
sedang dirambati oleh racun perkataan-perkataanmu itu. Nah, jangan kau kira,
bahwa kau pun akan dapat hidup. Justru
setelah pengkhianat itu mati, kau pun
akan segera diselesaikan.”
Betapa
mengendapnya hati Gupita, namun darah mudanya dapat juga menjadi panas. Tetapi
ia masih belum melepaskan Ki Wasi yang menjadi semakin lemah.
“Biarkan aku,”
desis Ki Wasi, “aku pasti akan mati. Tidak ada kesempatan untuk mengobati aku.
Tetapi biarlah, aku merasa bahwa di saat-saat terakhir aku sudah menyadari
kesalahanku. Aku masih sempat untuk berpesan kepadamu. Sampaikan permohonan
maafku kepada Ki Argapati.”
Gupita tidak
segera dapat menjawab. Ia melihat penyesalan yang dalam di mata Ki Wasi,
sehingga ia menjadi semakin iba karenanya. Tetapi agaknya Ki Wasi memang sudah
tidak akan dapat tertolong lagi. Sejenak kemudian orang tua itu menjadi semakin
parah. Nafasnya seakan-akan saling berkejaran, dan sejenak kemudian terdengar
ia berdesis,
“Tinggalkan
aku.”
Gupita tidak
sempat menjawab lagi. Orang itu menghembuskan nafasnya yang terakhir. Gupita pun menarik nafas. Diletakkannya orang itu
perlahan-lahan di atas tanah. Lidah api yang menjilat ke langit, menerangi
wajah yang menjadi seputih kapas itu dengan cahayanya yang kemerah-merahan.
Pada saat
Gupita sedang merenungi Ki Wasi itu, hampir saja ia menjadi lengah, ketika
salah seorang lawannya berhasil melepaskan diri dari para pengawal tanah
perdikan, sehingga dengan sebuah loncatan yang panjang, ia berusaha menusuk
lambung Gupita. Untunglah, Gupita menyadari keadaannya, tepat pada saatnya,
ketika ia mendengar salah seorang pengawal berteriak,
“He, Gupita.
Awas orang itu.”
Gupita masih
sempat berguling sekali, kemudian melenting berdiri beberapa langkah dari
lawannya.
Lawannya yang
merasa kehilangan sasaran menggeram. Sekali lagi ia meloncat menyerang Gupita
dengan garangnya. Namun kali ini Gupita telah siap menerimanya. Malang bagi
orang itu. Gupita yang pikirannya masih dipengaruhi kematian Ki Wasi di ujung
jalannya kembali itu, tidak dapat mengatur perasaannya. Ketika ujung senjata
lawannya terjulur ke dadanya, ia bergeser ke samping. Kemudian digerakkannya
ujung pedangnya, menyambar orang yang terseret oleh kekuatannya sendiri,
meluncur di hadapannya. Terdengar keluh tertahan. Kemudian orang itu terbanting
jatuh di tanah. Sejenak ia menggeliat, namun kemudian ia tidak akan
bergerak-gerak lagi. Gupita menarik nafas. Kini tidak ada lagi orang yang
disegani di daerah itu. Apalagi ketika ia melihat pasukannya berhasil menguasai
keadaan. Sepeninggal Ki Wasi, maka orang-orang Ki Tambak Wedi itu seakan-akan
telah kehilangan pimpinan. Seorang yang membunuh Ki Wasi, mencoba untuk memegang
pimpinan di kelompok itu. Namun agaknya orang itu pun tidak berumur lebih panjang lagi, ketika
pundaknya seakan-akan terbelah oleh senjata seorang pengawal tanah perdikan. Gupita
yang melihat keadaan orang-orangnya telah mantap, tiba-tiba saja ingin menemui
gurunya. Ada sesuatu yang mendesak. Kematian Ki Wasi yang tidak wajar itu
serasa mengganggu perasaannya saja. Ia ingin melepaskannya dengan
menceriterakannya kepada gurunya. Hanya sebentar, dan ia akan segera kembali ke
tempatnya. Karena itu, maka setelah memberitahukan maksudnya kepada seorang
pengawal, Gupita pun meninggalkan tempat itu untuk menemui gurunya sebentar. Sejenak
Gupita berputar-putar. Namun kemudian ia tertarik pada suatu lingkaran
pertempuran yang seru. Dengan hati yang berdebar-debar ia mendekatinya, mungkin
gurunya sedang bertempur melawan Ki Peda Sura.
Ternyata
dugaannya tidak salah. Ia melihat gurunya bertempur. Tetapi tidak hanya melawan
Ki Peda Sura, tetapi melawan empat orang yang tangguh dan beberapa orang lain.
Ternyata Ki Peda Sura tidak hanya memberi isyarat kepada tiga orang kawannya.
Beberapa orang yang lain pun datang susul-menyusul dari sela-sela peperangan.
“Hem,” Gupita
menarik nafas dalam-dalam, gurunya memang orang yang luar biasa. Meskipun ia
harus melawan sekian banyak orang, namun sama sekali tidak tampak gugup atau
bingung. Dengan mantap ia menggerakkan senjatanya, menyambar-nyambar. Ki Peda
Sura lah yang justru menjadi bingung. Sudah sekian lama ia bertempur bersama
beberapa orang tetapi mereka belum berhasil mengalahkan gembala tua itu. Bahkan
satu demi satu orang-orangnya terlempar dari arena.
“Ayo, cepat,
kita selesaikan saja kakek ini,” teriak Ki Peda Sura.
“Jangan beri
ia kesempatan!”
Kawan-kawannya
menjadi semakin bernafsu. Tetapi terlampau sulit bagi mereka untuk dapat
menembus putaran pedang kakek tua berkumis lebat itu. Gupita yang melihat
gurunya bertempur melawan sekian banyak orang segera mendekatinya. Beberapa
langkah dari arena itu, ia berhenti sejenak. Sekali-sekali ia harus menghindar
apabila ujung-ujung senjata meluncur di seputarnya.
Agaknya
gurunya melihat kehadirannya. Karena itu maka terdengar orang tua itu bertanya,
“He, Gupita.
Kenapa kau berada di situ?”
“Aku ingin
menemui Guru sebentar. Tetapi agaknya Guru baru sibuk.”
“Apakah ada kesulitan?”
“Tidak, Guru,”
Gupita berhenti sejenak. Namun tiba-tiba timbullah keinginannya untuk
mempengaruhi lawan-lawannya dengan berita kematian Ki Wasi. Karena itu maka
katanya,
“Aku hanya
akan memberitahukan, bahwa Ki Wasi telah terbunuh.”
“He?”
“Ki Wasi telah
terbunuh.”
Berita itu
agaknya telah mengejutkan Ki Peda Sura, sehingga dengan serta-merta ia
berteriak,
“Bohong!
Siapakah yang mampu membunuh Ki Wasi?”
“Aku,” jawab
Gupita tanpa disangka-sangka.
“Bohong!
Bohong! Anak kelinci macam kau.”
“Terserahlah
kepadamu. Tetapi aku memberitahukan kepada Guru, bahwa Ki Wasi telah mati.”
“Kau bunuh
dia?” bertanya gurunya sambil melayani lawan-lawannya. Sedang pertempuran pun
masih berlangsung dengan hiruk-pikuk. Beberapa orang pengawal mencoba untuk
membantu orang tua yang harus melawan sekian banyak orang. Tetapi orang-orang
Ki Peda Sura pun semakin banyak pula
yang datang membantunya, sehingga seperti juga orang-orang Menoreh
mempersiapkan diri mereka melawan pemimpin-pemimpin pasukan Ki Tambak Wedi,
dengan sekelompok kecil, agaknya demikian pulalah yang dilakukan oleh Ki Peda
Sura.
Dalam pada itu
terdengar Gupita menjawab pertanyaan gurunya,
“Tidak, Guru.
Aku tidak membunuhnya.”
“Nah,” teriak
Ki Peda Sura,
“bukankah kau
sudah membual. Ki Wasi tidak mungkin mati.”
“Benarkah
begitu?” bertanya gurunya.
“Tidak. Ki
Wasi memang sudah mati. Tetapi memang bukan aku yang membunuhnya. Ia telah
dibunuh oleh anak buahnya sendiri.”
“Gila!” teriak
Ki Peda Sura.
“Ya.
Sebenarnyalah begitu.”
Ki Peda Sura
terdiam sejenak. Sepasang senjatanya dengan dahsyatnya berputaran melanda
lawannya. Tetapi lawannya benar-benar seorang yang tangguh. Meskipun demikian,
betapa tangguhnya seseorang, namun untuk melawan sejumlah orang yang berilmu
pula, agaknya memerlukan terlampau banyak tenaga dan pemusatan pikiran.
“Guru,”
tiba-tiba Gupita berkata,
“apakah aku
boleh ikut di dalam permanan ini?”
“Bagaimanakah
dengan tugasmu?”
“Tidak ada hal
yang menarik sepeninggal Ki Wasi.”
“Bohong,
bohong!” Ki Peda Sura berteriak-teriak. Namun Gupita sama sekali tidak
menghiraukannya.
“Baiklah,”
jawab gurunya, “tetapi berhati-hatilah. Lawan kita adalah orang-orang yang buas
dan liar.”
“Persetan!”
geram Ki Peda Sura.
“Kau berdua
adalah orang-orang yang paling licik. Kalian mencoba mempengaruhi perasaan kami
dengan ceritera yang mentertawakan itu.”
Gupita masih
belum menanggapinya. Kini ia maju semakin dekat. Kemudian ia meloncat masuk ke
dalam arena. Yang mula-mula di tanganinya adalah mereka yang sedang bertempur
melawan para pengawal yang mencoba membantu orang tua yang berkumis itu. Namun
kemudian, ia merambat semakin dekat, sehingga akhirnya, ia sudah berada di
ujung lingkaran pertempuran yang seakan-akan terpisah ini.
“Setan alas,
kau ingin mati lebih dahulu,” geram salah seorang pembantu kepercayaan Ki Peda
Sura.
Tetapi Gupita
tidak memperhatikannya sama sekali. Bahkan kemudian perhatiannya tertarik
kepada dua orang yang sekaligus terluka, ketika gurunya mengayunkan pedangnya.
“Guru memang
bukan seorang pembunuh,” desisnya. Dan ternyata meskipun tidak mati, namun
kedua orang itu sama sekali sudah tidak mampu lagi untuk melawan karena
luka-lukanya. Bersama Gupita, gurunya bertempur melawan orang-orang Ki Peda
Sura. Namun orang-orang itu sama sekali tidak menarik perhatiannya, yang
penting baginya, adalah memotong induknya, Ki Peda Sura sendiri. Dengan
hadirnya Gupita di dalam pertempuran itu, maka gurunya kini lebih banyak
mendapat kesempatan untuk memusatkan perhatiannya kepada Ki Peda Sura. Ia sudah
tidak lagi terlalu banyak diganggu oleh senjata-senjata yang berkeliaran di
sekitarnya, karena sebagian dari mereka harus melayani Gupita yang bertempur
seperti burung sikatan. Tekanan yang semakin lama semakin berat, ternyata tidak
dapat lagi dielakkan oleh Ki Peda Sura, sehingga karena itu, maka ia harus
lebih banyak mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Diperasnya segenap
tenaganya untuk dapat bertahan terus di antara beberapa orang-orangnya yang
terpenting. Namun gembala tua itu dapat bergerak secepat tatit. Kemana ia
pergi, ujung senjatanya selalu saja mengikutinya, seolah-olah ujung senjata itu
mempunyai mata yang dapat melihatnya.
“Persetan,” ia
menggeram. Dan tiba-tiba saja ia bersuit beberapa kali dalam nada yang khusus.
“Apa lagi yang
akan dilakukan iblis ini?” pikir gembala tua itu.
Dan ternyata
ia tidak perlu menunggu lebih lama. Tiba-tiba seperti laron mengerumuni nyala
api, beberapa orang anak buah Ki Peda Sura menyerang gembala tua itu
sejadi-jadinya dari segala pihak. Orang tua itu adalah orang yang cukup
berpengalaman. Ia pernah bertempur melawan berbagai macam kelompok dan
gerombolan. Ia pernah bertempur melawan laskar yang teratur, melawan prajurit,
melawan penjahat dan melawan gerombolan-gerombolan liar. Dan ia pun mengenal watak dari para pemimpin
gerombolan-gerombolan liar seperti Ki Peda Sura itu. Juga sikapnya kali ini.
Dengan demikian, maka gembala tua itu segera dapat mengambil kesimpulan, bahwa
Ki Peda Sura telah berusaha mempergunakan orang-orangnya menjadi perisai,
sementara ia akan melarikan dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar