TETAPI dengan berita itu, maka Sangkal Putung harus lebih berhati-hati lagi. Lawan mereka kini bukan saja Tohpati dan Sumangkar yang setiap saat dapat menyusup ke dalam lingkungan mereka, tetapi juga Sidanti dan Ki Tambak Wedi yang apabila mereka kehendaki mereka akan dapat berjalan-jalan di daerah Kademangan Sangkal Putung yang mereka kenal dengan baik. Karena itu maka mereka harus lebih berwaspada apabila malam-malam yang akan datang salah seorang atau dua tiga orang dari mereka nganglang kademangan. Sehari itu, cerita tentang Sidanti dan Ki Tambak Wedi yang bertempur melawan Tohpati dan Sumangkar telah tersebar luas di antara laskar Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung. Sengaja berita itu disebarkan sejauh-jauh mungkin supaya mereka menjadi semakin berhati-hati menghadapi setiap kemungkinan. Gardu-gardu dengan demikian menjadi semakin cermat mengawasi keadaan. Penjaga-penjaga menjadi lebih hati-hati dan penghubung-penghubung pun selalu berwaspada apabila tiba-tiba mereka bertemu dengan orang-orang yang mereka anggap sebagai hantu-hantu yang berkeliaran, siang maupun malam. Tetapi malam berikutnya, bukan saja berita tentang Sidanti dan Tohpati yang ternyata berkeliaran, dan yang suatu saat mereka saling bertemu dan bertempur, tetapi datang pula seorang pengawas menghadap Untara. Seorang prajurit dalam jabatan sandi. Untara, Widura, Kiai Gringsing, Ki Demang Sangkal Putung, Agung Sedayu dan Swandaru, dengan dada yang berdebar-debar menerima orang itu.
“Apakah yang
kau ketahui tentang Tohpati?” bertanya Untara.
Orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian katanya,
“Kami, para
pengawas melihat kesibukan di antara mereka. Bahkan salah seorang dari kami
telah berhasil menghubungi orang-orang kami yang dekat dengan lingkungan laskar
Tohpati. mereka kini sedang menyiapkan diri untuk menyerbu Sangkal Putung
kembali”
Mereka yang
mendengar laporan itu sama sekali tidak terkejut. Mereka selalu menunggu, siang
maupun malam, serbuan yang serupa itu dapat terjadi. Tetapi adalah lebih baik
apabila hal itu telah mereka ketahui sebelumnya seperti pada saat-saat yang
lewat.
“Kapan rencana
itu akan mereka lakukan?” bertanya Widura.
“Secepatnya,
mungkin dalam dua tiga hari ini”
Ki Demang Sangkal
Putung tersenyum, katanya,
“Beberapa hari
yang lalu, mereka telah menyiapkan diri pula. Bahkan sampai dua tiga kali,
namun serangan itu tidak juga datang”
“Tetapi kali
ini agaknya serangan itu tidak akan ditunda-tunda lagi” Sahut pengawas itu.
“Mereka hanya
ingin menakut-nakuti kita” gumam Swandaru.
“Itu salah
satu dari siasat Tohpati yang cerdik” berkata Untara,
“Beberapa kali
ia menggagalkan serangannya, supaya untuk seterusnya kita selalu menganggap
bahwa serangan-serangannya akan tertunda-tunda pula. Tetapi apabila kita telah
lengah, maka sergapan itu benar-benar datang”
Yang mendengar
penjelasan Untara itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Untara yang
berpandangan luas itu sangat berhati-hati menanggapi setiap persoalan.
“Ya, Angger
Untara benar” sahut Ki Demang Sangkal Putung,
“Ternyata aku
telah termakan oleh siasat itu”
“Belum
terlambat” sahut Widura
“Kalau mereka
tidak datang” sambung Swandaru, “Kitalah yang datang kepada mereka”
Serentak,
mereka yang duduk di pringgitan, berpaling kepada Swandaru. Mereka merasakan
getaran kata-kata itu. Getaran kata-kata seorang anak muda yang sedang dibakar
oleh darah mudanya.
Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti sedalam-dalamnya perasaan yang
sedah membakar hati Swandaru Geni. Sebagai seorang anak Demang Sangkal Putung,
ia merasa bahwa tanah kelahirannya itu selalu dalam keadaan kecut dan suram.
Ketakutan, kegelisahan dan kecemasan membayangi setiap wajah. Bahkan setiap
orang di Sangkal Putung menjadi ngeri apabila senja datang, apabila matahari
mendekati punggung pegunungan di ujung barat. Namun mereka menjadi gelisah
apabila mereka mendengar ayam jantan berkokok menjelang fajar. Mereka selalu
diganggu oleh bayangan-bayangan yang menakutkan. Apabila malam datang, maka
seolah-olah orang-orang Jipang merayap-rayap di halaman rumah-rumah mereka.
Merangkak-rangkat mendekati pintu dan setiap saat mereka akan dapat dikejutkan
oleh ketokan yang keras dan kasar pada pintu-pintu rumah mereka. Tetapi apabila
matahari mulai membayang di ujung timur, mereka membayangkan sepasukan laskar
Jipang dalam gelar Sapit Urang, atau dalam gelar Wilan Punanggal, bahkan
mungkin dalam gelar Samodra Rob datang melanda kademangan itu. Karena itulah
maka setiap laki-laki di Sangkal Putung di setiap malam selalu menggantungkan
senjata di atas pembaringan mereka, kecuali mereka yang berada di gardu-gardu.
Bahkan lebih banyak dari mereka yang tidak berada di dalam rumah mereka, tetapi
di gardu-gardu, di simpang-simpang empat dan di bajar desa, dengan pedang di
tangan, atau keris di lambung. Namun hati mereka menjadi agak tenteram apabila
mereka melihat laskar Pajang yang tampaknya selalu tenang dan teguh hati.
Mereka berbangga apabila mereka melihat pedang yang berjuntai di ikat pinggang
mereka, atau tombak di pundak mereka. Bukan saja laskar Pajang, namun anak-anak
muda mereka sendiri telah memberi kepada mereka sekedar ketentraman dan
keberanian. Tetapi bagaimanapun juga, Sangkal Putung selalu dibayangi oleh
ancaman-ancaman yang menegangkan. Seperti bumbung yang dipanggang di atas api.
Setiap saat akan meledak dengan dahsyatnya.
Bukan saja
Kiai Gringsing, tetapi hampir setiap orang, bahkan Agung Sedayu yang sebaya
dengan Swandaru itu pun dapat melihat perasaan itu. Namun selain perasaan itu,
Kiai Gringsing melihat perasaan yang lain yang mendorong Swandaru kedalam
gelora yang lebih dahsyat lagi. Seperti yang pernah dilihatnya, Swandaru tidak
segera dapat mengerti, mengapa mereka harus menghindari Tohpati dan Sidanti
pada saat mereka bertemu di padang rumput malam yang lampau. Kiai Gringsing
menyadari bahwa anak muda itu sukar mengendalikan perasaannya yang sedang
berkobar. Apalagi setelah ia merasa mendapatkan bekal yang lebih banyak dari
masa-masa sebelumnya. Karena itu maka Kiai Gringsing merasa bahwa tugasnya
membentuk Swandaru jauh lebih berat daripada Agung Sedayu. Baik dalam ilmu tata
bela diri maupun dalam pembinaan watak dan sifatnya.
Dalam pada
itu, terdengarlah Untara menyahut sambil tersenyum,
“Pendapatmu
sangat baik Swandaru. Kalau mereka tidak datang, kita akan menjemput mereka.
Namun sayang, bahwa kita masih harus melihat jalan-jalan manakah yang dapat
kita lalui untuk sampai ke pesangrahan Macan Kepatihan itu”
“Nah, bukankah
orang yang dapat mengetahui bahwa mereka akan menyerang kita itu dapat
menunjukkan dimana tempat tinggal mereka?”
Untara masih
tersenyum. Jawabnya,
“Mudah-mudahan.
Tetapi orang-orang itu pasti hanya mengetahui letak dan sekedar keadaan mereka.
Namun mereka tidak akan mengenal tempat itu sebaik Tohpati mengenal Sangkal
Putung. Mereka tidak atau belum dapat mengenal bahaya dan rintangan yang
mungkin dipasang oleh orang-orang Macan Kepatihan. Tempat-tempat yang berbahaya
sebagai tempat yang sengaja dipersiapkan untuk menyergap dan menghancurkan kita.
Sebab mereka tahu pasti, bahwa daerah mereka tidak akan dilewati orang lain
selain orang-orang mereka. Dan suatu ketika orang-orang Pajang. Berbeda dengan
Sangkal Putung. Bagaimanapun juga, Sangkal Putung adalah daerah terbuka”
Swandaru
mengerutkan keningnya. Ia mengerti keterangan itu. Tetapi ia berkata di dalam
hatinya,
“Kenapa kita
tidak menyergapnya dari arah-arah yang berbeda? Kalau dari satu arah di pasang
rintangan-rintangan maka dari arah yang lain kita akan dapat mencapainya”.
Tetapi Swandaru tidak mengatakannya. Ia mengerti betul bahwa di dalam
perbendaharaan pengalaman Untara, semuanya itu telah diperhitungkan dengan
seksama.
Sepeninggal
orang yang menyampaikan kabar kepada Untara tentang persiapan orang-orang
Jipang itu, maka segera Untara mempersiapkan laskarnya. Kepada petugas sandi
itu Untara berpesan, bahwa pada saatnya ia harus menerima berita kelanjutan
dari berita itu. Sedangkan kepada Swandaru dan Agung Sedayu, Untara berpesan
untuk sementara merahasiakan berita itu, supaya rakyat Sangkal Putung tidak
menjadi gelisah dan supaya Tohpati tidak menyadari bahwa rencananya sudah
diketahui. Namun yang diketahui oleh rakyat Sangkal Putung dan bahkan laskar
Pajang sendiri, mereka diwajibkan meningkatkan kewaspadaan dan latihan-latihan
mereka, supaya mereka tidak menjadi lengah dan bahkan melupakan bahaya yang
setiap saat dapat datang. Meskipun demikian, orang-orang yang telah penuh
dengan pengalaman seperti Hudaya, Citra Gati, Sonya dan beberapa orang lain,
segera dapat merasakan kesibukan para pemimpin mereka, dan dengan tersenyum
Citra Gati pada suatu senja berbisik kepada Hudaya,
“Adi, apakah
aku masih akan sempat mencukur rambut yang tumbuh di wajahku ini besok?”
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan
malam nanti aku belum mati”
Hudaya
tersenyum, katanya,
“Pasti belum
malam nanti”
Sonya yang ada
didekat mereka menyahut,
“aku sudah
menyiapkan pisau itu sekarang kakang Citra Gati, mumpung kau masih sempat”
Citra Gati
mengerutkan keningnya, kemudian tangannya meraba kumisnya yang jarang,
“Hem”
desahnya, “Jangan sekarang. Aku belum sempat”
Sonya pun
kemudian tersenyum. Katanya,
“Aku sudah
mengasah pedang. Kapan kira-kira kita bermain-main lagi?”
Citra Gati mengerutkan
keningnya, jawabnya,
“Pasti sudah
mendesak. Dua tiga hari lagi”
“Kenapa
perintah itu tidak dijelaskan saja kepada kita? Supaya kita menjadi semakin
gairah berlatih dan memersiapkan diri”
Citra Gati
menggeleng,
“Entahlah.
Pasti ada pertimbangan-pertimbangan lain. Mungkin untuk membuat kesan
seolah-olah kita belum menyadari bahaya yang akan mengancam. Dengan demikian
kewaspadaan orang-orang Jipang akan berkurang, seperti pada saat-saat yang
lampau. Terutama pada saat serangannya yang pertama”
Sonya
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi Hudaya terawa pendek,
“Sebenarnya
kita sudah siap menerima mereka, atau datang ke tempat mereka”
“Kemana?”
bertanya Citra Gati.
“Ke sarang
mereka” sahut Hudaya.
“Ya, dimana
sarang itu?”
Hudaya
menggeleng,
“Kalau aku
tahu, aku sudah pergi ke sana”
“Uh, jangan
membual. Belum sampai kau ke jarak seribu langkah, kepalamu telah retak oleh
tongkat baja putih itu”
Hudaya
tersenyum. Dikenangnya pada saat ia harus membantu Sidanti bersama Citra Gati
untuk melawan Tohpati. Senjata tongkat baja putih itu terasa seperti seekor
nyamuk yang beterbangan di sekeliling telinganya.
“Ngeri”
gumamnya tiba-tiba.
“Apa yang
ngeri?” bertanya Citra Gati dan Sonya hampir bersamaan.
“Tongkat baja
putih itu. Ketika Tohpati datang untuk pertama kali, kepala tongkat itu hampir
menyambar kepalaku”
“Oh” sahut Sonya,
“aku tidak
sempat ikut bertempur saat itu. Aku hanya boleh berlari. Tetapi lusa, kalau
Macan Kepatihan itu datang kembali, akulah lawannya”
Mereka bertiga
tertawa, seakan-akan mereka mempercakapkan suatu peristiwa yang lucu. Namun
percakapan itu adalah suatu pengakuan, betapa besarnya perbawa Macan Kepatihan
pada lawan-lawannya. Mereka berhenti tertawa ketika mereka melihat Swandaru dan
Agung Sedayu berjalan melintasi pendapa turun ke halaman. Mereka kemudian
berjalan berdua ke halaman belakang kademangan.
“Sudah
mendesak” terdengar Agung Sedayu berbisik. Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Aku tidak
sabar. Apa kata orang itu tadi?”
“Laskar
Tohpati kini telah siap seluruhnya”
“Aku berani
bertaruh, serangan itu pasti akan ditunda lagi”
“Menurut
persiapan yang diketahui oleh prajurit sandi itu, agaknya mereka benar-benar
akan segera menyerang”
Swandaru
menggeleng lemah,
“Seperti
beberapa waktu yang lalu. Persiapan itu telah sempurna, namun mereka tidak
datang. Kali ini pun agaknya demikian”
“Kita tunggu
saja tengah malam nanti. Orang itu berjanji akan datang, atau orang lain yang
ditugaskannya”
“Aku tidak
sabar. Sarang Macan Kepatihan itu pasti di sekitar tempat mereka bertempur
melawan Sidanti itu. Kita aduk saja seluruh hutan itu, maka kita pasti akan
menjumpai sarangnya” gerutu Swandaru.
Agung Sedayu
tidak menjawab. Ia tahu benar tabiat saudara seperguruannya. Meskipun demikian,
terasa suasana yang berbeda pada kademangan itu. Firasatnya mengatakan bahwa
Tohpati benar-benar akan datang. Swandaru kemudian pergi berbelok memasuki dapur.
Dilihatnya ibunya dan Sekar Mirah sedang menunggui beberapa orang yang sedang
masak. Ketika Swandaru melihat gumpalan daging rebus, maka segera disambarnya
sepotong.
“He, Swandaru.
Daging itu baru direbus. Belum lagi dibumbui. Digarami pun belum”
Swandaru tidak
menjawab. Tangannya menyambar sejumput garam. Kemudian dilumurkannya garam itu
pada gumpalan dagingnya.
“Huh” Sekar
Mirah mencibirkan bibirnya.
“Anak muda
kentuk”
Swandaru
berhenti. Ia berpaling sambil bertanya,
“apa itu?”
“Anak muda
yang suka masuk ke dapur, adalah anak muda yang ketuk”
Swandaru
tertawa terbahak-bahak. Sambil berteriak ia bertanya,
“He, kakang
Agung Sedayu, kau mau daging?”
Agung Sedayu
yang berjalan ke perigi mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia tidak menjawab.
Langsung diraihnya senggot timba, dan dengan tersenyum ia menarik senggot itu
turun. Sekar Mirah yang mendengar gerit timba segera mengetahui bahwa Agung
Sedayu berada di perigi. Tetapi ketika ia beranjak, Swandaru membentaknya,
“Mau apa kau?”
“Apa
pedulimu?”
“Yang mengambil
air itu bukan Sidanti”
Tiba-tiba
Sekar Mirah itu meloncat mengambil sepotong kayu dan dilemparkannya kepada
kakaknya. Swandaru bergeser setapak sambil tertawa,
“Jangan marah,
aku berkata sebenarnya”
Ketika
lemparannya tidak mengenai sasarannya, Sekar Mirah langsung mengambil segayung
air.
“Mirah” cegah
ibunya,
“Jangan
membuat dapur menjadi becek”
Sekar Mirah
bersungut-sungut sambil berjalan keluar. Gerutunya,
“Awas kakang
Swandaru”
Tetapi bukan
saja Swandaru yang bermain-main mengejek adiknya, namun sebenarnya ibunya pun
kadang-kadang heran melihat sifat anak perempuannya itu. Ibunya itu tahu benar,
hubungan yang tampaknya bersungguh-sungguh antara Sekar Mirah dan Sidanti
beberapa waktu yang lampau. Ibunya itu pun mengetahui perubahan-perubahan yang
terjadi kemudian. Sejak Agung Sedayu datang ke kademangan ini. Agaknya Sekar
Mirah adalah seorang pengagum atas sifat-sifat kejantanan, kepahlawanan. Dan
terpengaruh oleh kedudukan ayahnya, ia adalah seorang gadis yang selalu
berangan-angan tentang kepemimpinan dan kedudukan. Ketika setiap orang di
Sangkal Putung membicarakan keberanian anak muda yang bernama Sidanti disetiap
medan pertempuran, maka Sekar Mirah pun mengaguminya berlebih-lebihan.
Dimatanya pada saat itu tak ada seorang laki-laki yang melampaui Sidanti di
seluruh Sangkal Putung. Itulah sebabnya maka hubungannya dengan anak muda itu
tampak bersungguh-sungguh. Tetapi pada suatu ketika hadirlah Agung Sedayu di
antara mereka. Setiap mulut menyebut namanya sebagai seorang anak muda yang
telah membebaskan Sangkal Putung dari bencana. Seorang anak muda yang pemalu
dan pendiam, tetapi menyimpan kesaktian yang tiada taranya. Namun Sekar Mirah
kadang-kadang menjadi ragu-ragu menghadapi Agung Sedayu. Anak itu terlalu
lembut. Bahkan anak itu selalu menghindarkan diri dari bentrokan yang akan
terjadi atas dirinya dan Sidanti. Bahkan Agung Sedayu membiarkan dirinya
dihinakan dan direndahkan di muka Sekar Mirah dan pamannya Widura. Sekar Mirah
hampir-hampir kehilangan kepercayaan tentang kesaktian Agung Sedayu, ketika
anak muda itu tidak mau mengikuti sayembara memanah beberapa saat yang lalu. Namun
Sekar Mirah tidak dapat mengerti, kenapa Agung Sedayu ternyata benar-benar
memiliki kelebihan dari orang lain. Kenapa Agung Sedayu menyembunyikan
kelebihannya itu. Seandainya Swandaru tidak melihatnya, maka kemampuan Agung
Sedayu tetap akan terpendam untuk seterusnya.
“Anak muda itu
terlampau rendah hati” desisnya di dalam hati ketika ia melihat kemenangan
Agung Sedayu atas Sidanti di lapangan pada saat-saat mereka sedang berlomba.
Kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh Agung Sedayu benar-benar membuat hati
Sekar Mirah meledak-ledak.
Sepeninggal
Sidanti, maka hubungannya dengan Agung Sedayu menjadi semakin dalam. Sekar
Mirah semakin lama menjadi semakin mengagumi Agung Sedayu. Dari kakaknya ia
mendengar bahwa Agung Sedayu mampu mengalahkan Alap-alap Jalatunda digaris
peperangan. Tetapi Sekar Mirah tidak dapat mengerti kenapa Alap-alap Jalatunda
itu tidak dibinasakan seperti Sidanti membinasakan Plasa Ireng. Bukankah dengan
demikian namanya akan menjadi semakin ditakuti oleh lawan dan disegani oleh
kawan? Bukankah dengan demikian kejantanannya akan menjadi semakin mengagumkan
setiap orang di Sangkal Putung seperti Sidanti di saat-saat yang lampau.
Sidanti selalu membanggakan diri kepadanya bahwa ia telah lebih dari sepuluh
kali membinasakan lawan-lawannya dipeperangan. Kemudian angka itu dengan
cepatnya naik. Duapuluh dan yang terakhir sebelum Tohpati sendiri datang ke Sangkal
Putung, Sidanti berkata,
“Nanggala ini
telah menghisap darah lebih dari limapuluh orang”
Tetapi Agung
Sedayu tak pernah berkata tentang peperangan. Agung Sedayu tidak pernah
bercerita, berapa orang telah pernah dipenggal lehernya, atau berapa orang
pernah ditumpahkan darahnya.
Namun di
samping kekecewaan-kekecewaan itu, Agung Sedayu telah benar-benar memikat hati
Sekar Mirah. Ada kekuatan-kekuatan lain yang telah menariknya. Bukan karena
kekaguman-kekaguman yang berlebih-lebihan. Bukan karena Agung Sedayu banyak
menceritakan kemenangan-kemenangannya seperti Sidanti. Bukan karena
sifat-sifatnya yang keras dan tegas. Tetapi ujud wadag Agung Sedayu lah yang
telah mempesona Sekar Mirah. Meskipun Sekar Mirah kadang-kadang kecewa atas
sifat dan sikap Agung Sedayu yang menurut anggapannya telalu lemah dan menyia-nyiakan
kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhnya, namun wajah Agung Sedayu
selalu membayang di rongga matanya. Ketika Sekar Mirah melangkahi pintu dapur,
ia masih mendengar suara tertawa Swandaru di dalam rumahnya. Tetapi Sekar Mirah
tidak memperdulikannya. Bahkan kemudian gadis itu melangkahkan kakinya ke
perigi, menghampiri Agung Sedayu yang sedang menimba air.
“Untuk apa
kakang menimba air?” bertanya Sekar Mirah.
“Mandi” jawab
Agung Sedayu. Jawaban itu terlalu singkat bagi Sekar Mirah, sehingga karena itu
maka sambil mencibirkan bibirnya Sekar Mirah menirukan jawaban itu,
“Mandi”
Agung Sedayu
berpaling. Ketika dilihatnya wajah Sekar Mirah yang memberengut, Agung Sedayu
tersenyum,
“Kenapa?”
“Kenapa?”
Kembali Sekar Mirah menirukan.
Agung Sedayu
kini tertawa. Tangannya masih sibuk melayani senggot timba. Ketika air di dalam
upih telah dituangkannya kedalam jambangan, maka dilepaskannya senggot timba
itu. Perlahan-lahan ia berjalan mendekati Sekar Mirah sambil bertanya,
“Apakah
jawabanku salah?”
“Tidak” sahut
Sekar Mirah pendek.
Kini suara
tertawa Agung Sedayu menjadi semakin keras. Katanya,
“Ah, agaknya
aku telah berbuat suatu kesalahan di luar sadarku. Maafkan aku Mirah”
“Tidak ada
yang harus dimaafkan” sahut Sekar Mirah sambil berjalan menjauh.
Agung Sedayu
mengikuti di belakangnya beberapa langkah. Kemudian diambilnya sebutir batu,
dan dilemparkannya ke arah sarang lebah di sebuah cabang yang tinggi. Begitu
sarang lebah itu terkena lemparan Agung Sedayu, maka berbondong-bondong
lebah-lebah itu beterbangan. Sekar Mirah terkejut. Ketika dilihatnya segerombol
lebah beterbangan di udara, maka ia menjadi ketakutan. Dengan serta-merta ia
berlari dan bersembunyi di belakang Agung Sedayu sambil berkata cemas,
“Kakang, lebah
itu akan menyengat kita”
Agung Sedayu
tertawa. Jawabnya,
“Biarlah kita
menjadi bengkak-bengkak karenanya”
“Kakang, aku
takut”
Agung Sedayu
masih tertawa. Dilihatnya lebah itu semakin banyak beterbangan mengitari
sarangnya yang baru saja disentuh oleh batu Agung Sedayu. Tetapi lebah itu
adalah lebah gula yang jarang sama sekali tidak berbahaya dan tidak buas. Tetapi
Sekar Mirah menjadi semakin ketakutan melihat lebah beterbangan mengitari
sarangnya,
“Kakang”
katanya, “Bagaimana kalau lebah-lebah itu menyerang kita?”
“Kulitku
kebal” sahut Agung Sedayu,
“Tak ada lebah
yang dapat menyengat kulitku”
“Tetapi aku
tidak” berkata Sekar Mirah sambil mengguncang-guncang tubuh Agung Sedayu.
“Lihat”
berkata Agung Sedayu,
“Lebah itu
akan menurut segala perintahku. Sebentar lagi mereka pasti akan kembali ke
dalam sarang-sarang mereka setelah diketahuinya bahwa aku yang berdiri di sini”
Sekar Mirah
tidak menjawab, tetapi ia masih berpegangan pada lengan Agung Sedayu.
Dan
sebenarnyalah lebah-lebah yang beterbangan itu satu demi satu hinggap kembali
ke dalam sarangnya. Sehingga semakin lama gerombolan lebah yang mirip dengan
gumpalan asap itu menjadi semakin tipis. Sekar Mirah memandangi lebah-lebah itu
dengan mulut ternganga. Namun ketika dilihatnya lebah itu menjadi semakin
berkurang, hatinya pun menjadi semakin tenang.
“Apakah mereka
tidak akan menyerang kita kakang?” gumamnya.
“Kalau
lebah-lebah itu akan menyerangmu, biarlah aku lawan mereka. Bukankah aku wajib
melindungimu?”
“Kenapa? Siapa
yang mewajibkan melindungi aku?”
“Oh, jadi
bukan begitu?”
“Tidak ada
kewajiban itu” jawab Sekar Mirah sambil bersungut.
Agung Sedayu
tidak menjawab. Tetapi kembali ia meraih sebutir batu.
“Untuk apa?”
bertanya Sekar Mirah terkejut.
“Sekehendakkulah”
sahut Agung Sedayu sambil membidik sarang itu kembali,
“Kali ini aku
akan menjatuhkan sarangnya. Dengan demikian lebah itu akan menjadi liar. Aku
tidak takut sebab kulitku kebal. Dan aku tidak perlu melindungi seseorang di
sini”
“Jangan.
Jangan kakang” minta Sekar Mirah
“Sekehendakku”
jawab Agung Sedayu.
“Aku takut”
“Sekehendakku”
“Kakang,
jangan”
Agung Sedayu
telah menarik tangannya siap mengayunkan lemparan batunya. Tetapi Sekar Mirah
memegangi tangannya sambil meminta,
“Jangan. Kalau
kakang melempar juga, aku akan berteriak-teriak”
Agung Sedayu
tertawa. Batu di tangannya dilemparkannya dan kemudian katanya,
“Kanapa kau
melarang?”
“Aku takut
disengat lebah”
“Lebah itu
sama sekali tidak berbahaya. Lihatlah sarangnya yang melekat pada pohon itu.
Bukankah itu sarang lebah gula? Bahkan sebaiknya besok aku bikin gelodok. Kalau
lebah itu mau bersarang ke dalam gelodok, maka kita akan mendapatkan madu”
Sekar Mirah
menekan dadanya sambil bersungut-sungut,
“Kakang
menakut-nakuti aku”
“Seharusnya
kau tidak takut Mirah. Lebah itu sama sekali tidak berbahaya, seandainya lebah
yang paling buas sekalipun. Lebih berbahaya daripada itu adalah laskar Jipang
yang dipimpin Tohpati. Kalau Tohpati itu menyerang kita, dan berhasil memasuki
kademangan ini, nah barulah kau boleh merasa takut atau barangkali kau akan
berbangga atas kedatangannya”
“Kenapa aku
berbangga?”
“Tohpati
berwajah tampan, bertubuh tegap kekar dan seorang yang sangat sakti”
“Huh” Sekar
Mirah mencibirkan bibirnya, kemudian katanya,
“Apakah
peduliku?” Tetapi tiba-tiba ia bertanya,
“Tetapi apakah
benar-benar Tohpati mungkin sampai ke rumah ini?”
Agung Sedayu
memandangi wajah gadis itu dengan seksama, kemudian jawabnya,
“Bagaimana
kalau hal itu terjadi?”
“Jangan,
jangan biarkan hal itu terjadi kakang” sahut Sekar Mirah
Kali ini Agung
Sedayu tidak mengganggunya lagi ketika dilihatnya wajah Sekar Mirah menjadi
bersungguh-sungguh. Seakan-akan dari matanya memancar kecemasan yang sangat.
Sekali lagi ia bertanya,
“Apakah laskar
Jipang itu masih cukup kuat untuk mematahkan pertahanan Sangkal Putung?”
Agung Sedayu
tidak segera menjawab. Ia takut kalau jawabannya akan menambah kegelisahan
gadis itu. Dan karena Agung Sedayu tidak menjawab, Sekar Mirah mendesaknya
lagi,
“Kakang,
apakah dengan kepergian Sidanti, kekuatan Sangkal Putung menjadi sangat jauh
berkurang?”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Sambil menarik
nafas dalam-dalam Agung Sedayu bertanya,
“Siapa yang
mengatakannya Mirah?”
Sekar Mirah
menggeleng,
“Tidak ada.
Tetapi aku menyangka demikian. Sebab kakang Sidanti adalah seorang yang sangat
sakti. Bukankah kakang Sidanti telah berhasil membunuh orang yang bernama Plasa
Ireng sebelum ia meninggalkan Sangkal Putung?”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Jawabnya,
“Mungkin
Sidanti sangat sakti. Tetapi apakah tidak ada orang lain yang menyamai kesaktiannya?”
“Ya, ya, ada”
sahut Sekar Mirah cepat-cepat,
“Kau, kakang”
Agung Sedayu
menggeleng,
“Bukan, bukan
aku”
“Ya, aku
melihat sendiri kau memenangkan perlombaan memanah pada waktu itu”
“Bukan ukuran
dalam peperangan yang campuh” jawab Agung Sedayu.
“Tetapi unsur
perseorangan sangat berarti dalam peperangan yang betapapun juga”
“Mungkin kau
benar. Tetapi aku mengharap bahwa ada orang lain yang akan dapat mengganti
kedudukannya. Bukankah di Sangkal Putung masih ada kakang Untara dan paman
Widura?”
“Ya, dan kau
kakang?”
“Aku tidak
terhitung dalam tingkatan itu. Aku hanya seorang untuk menambah hitungan saja”
Sekar Mirah
memandang Agung Sedayu dengan sudut matanya. Alangkah jauh berbeda. Kalau yang
berdiri di hadapannya itu Sidanti maka jawabannya pasti akan bertentangan sama
sekali. Sidanti pasti akan menjawab,
“Tak ada orang
lain di Sangkal Putung yang dapat menyamai aku”. Tetapi Agung Sedayu berkata
lain,
“Aku hanya
seorang untuk menambah hitungan saja”
“Hem” Sekar
Mirah menarik nafas.
“Kenapa?” bertanya
Agung Sedayu.
Sekar Mirah
menggeleng, “Tidak apa-apa”
Kembali Agung
Sedayu tersenyum. Ia menyangka bahwa Sekar Mirah masih jengkel kepadanya karena
lebah gula itu. Tetapi ia tidak tahu apa yang sebenarnya bergolak di dalam
gadis itu. Diam-diam ia selalu membandingkan Agung Sedayu dengan Sidanti.
Sidanti
baginya adalah seorang laki-laki yang dahsyat. Ia selalu berkata tentang
dirinya, tentang kepercayaan pada diri sendiri, tentang kemampuan dan tentang
cita-citanya yang melambung setinggi langit. Ia kagum kepada anak muda itu. Ia
kagum akan kedahsyatannya, akan kepercayaan kepada diri sendiri, akan kemampuan
dan cita-citanya. Tetapi ia hanya mengaguminya. Lebih dari itu, ternyata tidak.
Ia kecewa bahwa Sidanti pergi. Kecewa karena di Sangkal Putung tidak ada
seorang yang dapat dibanggakan kesaktiannya. Tidak ada orang yang berkata
kepadanya, bahwa dadanya adalah perisai dari kademangan ini. Tidak ada orang
yang berkata kepadanya seperti Sidanti pernah berkata,
“Mirah,
berkatalah. Apakah aku harus membawa sepotong kepala untuk kakimu? Tunggulah,
pada saatnya, aku akan membawa kepala Tohpati. Rambutnya dapat kau pakai untuk
membersihkan alas kakimu”
Meskipun Sekar
Mirah tahu benar justru Untara ternyata melampaui kedahsyatan Sidanti
menghadapi Tohpati, namun ia hampir tidak mengenal Untara. Orang itu terlalu
angker baginya. Seakan-akan hampir-hampir belum pernah ia bercakap-cakap dengan
orang itu. Karena itu maka tidak sentuhan apa-apa yang dapat memberinya
kebanggaan. Widura yang menurut pendengaran Sekar Mirah tidak kalah saktinya
dari Sidanti, itu pun bagi Sekar Mirah tidak berarti apa-apa. Dahulu ia pernah
mengharap di dalam hatinya, semoga Sidanti dapat menunjukkan kelebihannya dari
Widura, sehingga Sidanti mendapat tempat yang lebih baik daripadanya. Dengan
demikian ia akan dapat turut merasakan kedudukan anak muda itu. Sebab Sekar
Mirah lebih mengenal Sidanti dari Widura yang sama sekali hampir tidak pernah
mempedulikannya. Di antara mereka yang dapat dibanggakan di Sangkal Putung yang
dikenalnya dengan baik adalah Agung Sedayu. Menurut penilaiannya Agung Sedayu
ternyata melampaui Sidanti. Ia melihat sendiri Agung Sedayu memenangkan
perlombaan memanah beberapa saat yang lalu. Bahkan ketika mereka berkelahi di
samping kandang kuda itu pun ternyata Sidanti terpaksa mengambil sepotong kayu
sebagai senjatanya. Sedang Agung Sedayu sama sekali tidak mempergunakan senjata
apapun. Tetapi kenapa Agung Sedayu tidak pernah berkata kepadanya,
“Mirah, apakah
aku harus membawa kepala Tohpati untuk alas kakimu?”
Tidak, Agung
Sedayu tidak berkata demikian kepadanya. Anak muda itu hanya akan membuat
gelodok lebah gula untuk mendapat madu.
Sebenarnya
Sekar Mirah menjadi kecewa atas sikap Agung Sedayu itu. Sikap yang baginya
kurang jantan. Kurang dahsyat dan kurang perkasa. Sangat berbeda dengan
Sidanti. Tetapi meskipun Sekar Mirah mengagumi Sidanti, namun ia mempunyai
perasaan yang aneh terhadap Agung Sedayu yang mengecewakannya itu. Perasaan
yang tak dimilikinya terhadap Sidanti.
“Alangkah
mengagumkan seorang anak muda, seandainya berwadag Agung Sedayu namun memiliki
sifat-sifat kejantanan Sidanti” gumamnya di dalam hati,
“Sayang
Sidanti tidak terlalu menarik, dan lebih-lebih sayang lagi, Sidanti telah
mengkhianati kawan sendiri”
Ketika Sekar
Mirah masih saja termeung, maka berkatalah Agung Sedayu,
“Kenapa kau
termenung Mirah?”
“Oh” Sekar
Mirah tergagap seperti baru terbangun dari tidurnya,
“Tidak
apa-apa”
Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Ternyata Sekar Mirah tidak saja masih jengkel kepadanya
hanya karena lebah itu. Maka itu ia bertanya,
“Kenapa kau
termenung? Apakah kau masih marah kepadaku tentang lebah itu, atau tentang hal
yang lain?”
“Tidak kakang”
jawab Sekar Mirah sekenanya, bahkan kemudian diteruskannya,
“Aku masih
cemas tentang laskar Tohpati itu”
Tiba-tiba Agung
Sedayu tertawa,
“Jangan cemas.
Tohpati tidak berbahaya bagi Sangkal Putung. Laskarnya tidak melampaui laskar
Pajang di Sangkal Putung, ditambah dengan anak-anak muda yang berani dan
bertanggung jawab”
“Tetapi
Tohpati sendiri?” bertanya Sekar Mirah.
“Bukankah di
sini ada kakang Untara atau paman Widura?”
Sekar Mirah
menggigit bibirnya,
“Kalau kakang
Untara atau paman Widura tidak ada?”
“Mereka akan
tetap di sini Mirah”
“Ya.
Seandainya tidak ada. Atau ada halangan apapun”
Agung Sedayu
menarik nafas panjang, namun ia tersenyum,
“Salah seorang
dari mereka pasti berada di sini. Kalau ada keperluan yang sangat penting
sekalipun, pasti mereka tidak akan pergi berdua”
“Seandainya
mereka berdua sakit? Sakit panas, sakit perut atau sakit apa pun yang berat dan
bersamaan?”
“Itu adalah
suatu halangan di luar kemampuan manusia. Namun di sini ada seorang dukun yang
pandai yang akan dapat mengobatinya”
“Oh” Sekar
Mirah menjadi tidak sabar. Katanya hampir berteriak,
“Keduanya
tidak dapat maju berperang. Apa pun alasannya. Lalu bagaimana, apakah Sangkal
Putung akan menyerah?”
Meskipun Agung
Sedayu tidak tahu maksud Sekar Mirah namun ia menjawab,
“Tentu tidak
Mirah. Di sini ada paman Citra Gati dan paman Hudaya. Ada juga paman Sonya dan
kakang Sendawa. Mereka dapat menggabungkan kekuatan mereka dalam satu lingkaran
untuk melawan Tohpati”
Mendengar
jawaban Agung Sedayu itu Sekar Mirah terhenyak duduk di atas setumpuk kayu
bakar. Ditekankan tangannya pada dadanya yang seakan-akan menjadi sesak.
Jawaban Agung Sedayu benar-benar tidak diharapkannya. Meskipun ia terduduk di
atas seonggok kayu bakar namun hatinya berteriak,
“Oh, Agung
Sedayu yang bodoh, kenapa jawabanmu demikian mengecewakan aku? Kenapa kau tidak
menjawab sambil mengangkat kepalamu, “Seandainya mereka sakit, atau berhalangan
apa pun Sekar Mirah, ak, Agung Sedayu lah yang akan melawan Tohpati. Aku akan
bunuh orang itu, aku penggal kepalanya, dan aku berikan sebagai alas kakimu”
“Oh” tiba-tiba
Sekar Mirah mengeluh.
Agung Sedayu
benar-benar tidak mengerti maksud Sekar Mirah. Ia melihat gadis itu menjadi
kecewa. Tetapi ia tidak tahu kenapa ia menjadi kecewa. Terdorong oleh
kegelisahannya karena ia tidak tahu apa yang dikehendaki oleh Sekar Mirah, maka
dengan jujur Agung Sedayu itu bertanya,
“Mirah, apakah
sebenarnya yang kau kehendaki dengan segala macam pertanyaanmu?”
“Kakang Agung
Sedayu” berkata Sekar Mirah menahan jengkel,
“Apakah kau
tidak akan ikut bertempur?”
“Tentu Mirah”
“Kenapa kakang
hanya menyebut nama-nama orang lain? Kakang tidak pernah menyebut nama kakang
sendiri. Apakah dengan demikian berarti bahwa kakang tidak banyak mempunyai
kepentingan dengan laskar Tohpati itu? Atau barangkali kakang tidak
mempedulikan mereka. Atau tidak memperdulikan Sangkal Putung?”
“Kenapa?”
bertanya Agung Sedayu semakin tidak mengerti.
“Baiklah aku
bertanya terus kakang, tetapi aku ingin segera mendengar jawabanmu yang
terakhir. Aku ingin kau menyebut namamu sendiri. Kakang, bagaimanakah
seandainya tidak ada orang lain yang dapat lagi maju melawan Tohpati? Apakah
yang akan kakang lakukan?”
Agung Sedayu
tiba-tiba mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini tahulah arah pertanyaan Sekar
Mirah. Karena itu, tiba-tiba Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab,
“Oh, itukah
yang ingin kau ketahui Mirah”
“Ya, aku ingin
mendengar jawabmu. Aku ingin mendengar apakah yang dapat kau berikan kepada
Sangkal Putung. Apakah yang dapat kau sumbangkan kepada tanah kelahiranku ini?
Bukan kakang Untara, bukan paman Widura, bukan paman Hudaya, paman Citra Gati,
paman Sonya. Bukan kakang Swandaru, bukan ayah, bukan orang lain. Tetapi kakang
Agung Sedayu”
“Hem” Agung
Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Aku sendiri?
Baiklah. Aku akan menjawab pertanyaanmu Sekar Mirah. Kalau tidak ada orang lain
yang akan melawan Tohpati, maka sudah tentu aku akan melawannya”
“Hanya itu?”
Sekar Mirah masih kecewa.
“Lalu apa lagi?”
“Apakah kau
biarkan Tohpati mengalahkanmu? Membunuhmu?”
“Kau aneh
Mirah”
“Apa yang aneh
padaku? Kaulah yang aneh”
“Kenapa kau
bertanya demikian?”
“Habis. Kau
tidak berkata, apa yang akan kau lakukan atas Tohpati itu”
Perlahan-lahan
Agung Sedayu kemudian dapat meraba pertanyaan-pertanyaan Sekar Mirah yang
membanjiri dirinya itu. Sekar Mirah ingin mendengar jawaban yang dapat
memberinya kepuasan. Yang dapat menenteramkan dirinya dan mungkin dapat
memberinya kebanggaan. Namun tidak terpikir oleh Agung Sedayu bahwa keinginan
Sekar Mirah bukan saja jawaban-jawaban yang dapat menenteramkan hatinya, dan
memberinya kebanggaan, tetapi Sekar Mirah ingin mendapat seorang pahlawan yang
dapat mengimbangi Sidanti. Karena itu bagaimanapun juga Agung Sedayu masih juga
tidak memberinya kepuasan seperti yang dikehendakinya, ketika ia mendengar
Agung Sedayu itu menjawab,
“Sekar Mirah,
sudah tentu aku akan melawan Tohpati dengan segenap tenaga dan kemampuan yang
ada padaku. Aku masih ingin hidup lebih lama lagi, Mirah. Karena itu maka aku
tidak akan membiarkan Tohpati berbuat sekehendak hatinya. Aku akan melawannya.
Tetapi takdir berada di tangan Tuhan. Itulah sebabnya maka aku tidak dapat
berkata lebih jauh daripada itu tentang diriku. Aku berwenang berusaha, namun
akhir daripada semua peristiwa berada di tanganNya”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia sama sekali tidak puas dengan
sifat-sifat Agung Sedayu itu, namun ia tidak akan mendesaknya lagi. Sekar Mirah
semakin melihat perbedaan-perbedaan yang ada pada Agung Sedayu dan Sidanti. Ia
pernah juga dahulu mendengar Agung Sedayu itu berkata tentang dirinya. Bahkan
dahulu Agung Sedayu lebih banyak menyebut-nyebut dirinya dan membanggakan
tugas-tugas yang telah diselesaikannya. Tetapi sekarang, sungguh mengherankan,
Agung Sedayu seakan-akan telah kehilangan gairah atas kemenangan-kemenangan
yang pernah dicapainya. Tetapi bagaimanapun juga, Agung Sedayu itu selalu
membayanginya. Wajahnya hampir tidak pernah lenyap dari matanya. Bahkan di
dalam tidur sekalipun. Namun justru karena itulah maka Sekar Mirah menjadi
semakin kecewa. Ia ingin melibatkan dirinya dalam hubungan yang semakin dalam.
Namun Agung Sedayu tidak bersikap seperti yang diinginkannya. Sekar Mirah yang
duduk di atas seonggok kayu bakar itu mengangkat wajahnya. Ia mendengar langkah
orang di sudut rumahnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya seorang prajurit
berjalan ke perigi. Di lambungnya tergantung pedang yang panjang.
“Kenapa
senjata itu disandangnya?” tiba-tiba ia bertanya.
Agung Sedayu
berpaling. Ia melihat prajurit itu. Karena itu ia menjawab,
“Sangkal
Putung berada dalam kesiap-siagaan penuh. Prajurit itu aku kira baru saja
nganglang kademangan”
“Apakah Tohpati
akan segera menyerang?”
“Aku tidak
tahu. Tetapi kemungkinan itu setiap saat memang dapat terjadi”
Sekar Mirah
mengerutkan keningnya. Ia memang melihat pada saat-saat terakhir kesibukan yang
meningkat. Ia melihat ayahnya semakin jarang-jarang berada di rumah, dan
kakaknya tidak pernah berpisah dengan pedangnya.
“Apakah sudah
ada berita tentang penyerbuan yang bakal datang?”
Agung Sedayu
ragu-ragu sejenak. Ia tidak dapat berkata berterus terang. Agaknya Ki Demang
dan Swandaru pun belum berkata kepada gadis itu. Karena itu jawabnya,
“Meskipun
tidak ada berita apa pun dan dari siapa pun Mirah, memang kita wajib selalu
berwaspada. Ketegangan memang meningkat akhir-akhir ini. Tohpati mempercepat
gelombang kegiatannya pula”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kadang-kadang ia menjadi cemas membayangkan apa
yang bakal terjadi seandainya Macan Kepatihan itu benar-benar akan menggulung
Sangkal Putung. Tetapi kadang-kadang ia mengharap serbuan itu datang. Ia
mengharap kakaknya, Swandaru berhasil membunuh orang-orang penting dari laskar
Tohpati itu. Dan ian mengharap Agung Sedayu berhasil lebih banyak lagi. Bahkan
ia mengharap bahwa Agung Sedayu lah yang akan membunuh Tohpati, bukan Untara
dan bukan Widura. Tetapi apabila ia melihat sikap Agung Sedayu, kembali ia
menjadi kecewa,
“Hem” desahnya
di dalam hati,
“Orang ini
lebih pantas menjadi seorang penulis kitab-kitab tembang daripada seorang
prajurit. Seorang yang hampir setiap hari duduk di atas tikar pandan,
menggurat-gurat rontal dengan pensilnya. Kemudian membaca kisah-kisah yang
menawan hati. Kisah kasih antara Pandu dan Kirana, atau kisah petikan-petikan
dari Mahabharata.”
Ketika Sekar
Mirah sejenak berdiam diri sambil memandangi noktah-noktah dikejauhan, maka
berkatalah Agung Sedayu,
“Betapapun
kuatnya laskar Macan Kepatihan, Mirah, tetapi kau jangan cemas. Sangkal Putung
pun semakin lama menjadi semakin kuat. Anak-anak muda yang kini menjadi semakin
kaya akan pengalaman dan semakin kaya akan tekad mempertahankan tanahnya,
menjadi perlambang kemenangan-kemenangan yang akan dicapai oleh daerah ini”
“Mudah-mudahan”
gumam Sekar Mirah,
“Mudah-mudahan
kademangan ini dapat di selamatkan. Tohpati dapat terpenggal lehernya dan
orang-orang Jipang itu dapat dimusnahkan”
“Kemungkinan
yang kita harapkan akan terjadi Mirah. Jangan takut”
Sekar Mirah
itu kemudian bangkit dan berjalan perlahan-lahan keperigi. Katanya,
“Mudah-mudahan
itu akan segera terjadi dan kakang akan datang kepadaku sambil bercerita, bahwa
pedang kakang telah menghisap darah lebih dari seratus orang”
Agung Sedayu
tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Dipandanginya Sekar Mirah untuk beberapa
saat, kemudian ia bertanya,
“Apakah kau
akan mengambil air?”
“Tidak”
“Lalu
mengapa?”
“Tidak
apa-apa”
Agung Sedayu
tidak bertanya lagi. Ia melihat Sekar Mirah mengambil sebuah belanga dan menjinjingnya
ke dapur.
Agung Sedayu
tidak mengikutinya terus. Ia melihat Sekar Mirah berpaling dan tersenyum
kepadanya. Senyum seorang gadis yang lincah dan manis. Namun bagaimanapun juga,
Agung Sedayu melihat sesuatu di belakang senyum yang manis itu. Sekar Mirah
adalah seorang gadis yang keras hati. Seperti kakaknya, gadis itu pun ingin
melihat dan mendengar peristiwa-peristiwa yang dahsyat. Seandainya sama sekali
itu pun seorang pemuda seperti Swandaru, maka keduanya akan menjadi pasangan
kakak-beradik yang dahsyat pula. Ketika Agung Sedayu kemudian kembali ke
pringgitan, dilihatnya seseorang yang datang memasuki pringgitan itu pula
besama-sama dengan kakaknya. Sesaat kemudian orang itu bersama dengan Untara
telah duduk berhadapan sambil berbicara perlahan-lahan.
“Baiklah”
berkata Untara kemudian,
“Aku akan
mempersilakan paman Widura dan bapak Demang kemari”
Untara itu pun
kemudian menyuruh seseorang memanggil Widura dan Ki Demang Sangkal Putung.
Agung Sedayu pun diperkenankan pula ikut hadir di dalam pertemuan kecil itu
besama dengan Swandaru Geni. Ketika orang-orang yang penting itu telah
berkumpul, maka mulailah orang itu berkata,
“Kakang
Untara, hampir pasti bahwa Tohpati akan menyerbu besok pagi-pagi. Agaknya
mereka tidak akan mengulangi serangan malamnya yang gagal. Mereka akan mencoba
memecahkan pertahanan Sangkal Putung pada siang hari. Mereka akan menempuh arah
yang lurus dari barat. Mereka kali ini akan datang dalam gelar perang yang
sempurna”
“Apakah laskar
mereka bertambah kuat sehingga Tohpati mengambil keputusan datang dengan gelar
perang?”
“Sanakeling
berhasil menghimpun tenaga cukup banyak. Meskipun ia tidak berhasil menghubungi
laskar yang tersebar di pantai utara, namun yang ada benar-benar telah cukup
untuk mengimbangi kekuatan laskar Pajang di Sangkal Putung ini”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang dipelupuk matanya sepasukan yang kuat
datang dari arah barat dipagi-pagi buat dalam gelar yang sempurna. Sembil
menarik nafas dalam-dalam ia berkata,
“Tohpati telah
kehabisan kesabaran”
“Ya” jawab
orang itu.
“Mereka
menganggap bahwa serangan kali ini haruslah serangan yang terakhir. Mereka
sudah jemu menunggu kesempatan untuk memasuki Sangkal Putung. Beberapa bagian
laskar dari utara telah terlalu lama berada di daerah ini. Bahkan Tohpati
sendiri, sudah ingin melepaskan beberapa kepentingan di selatan. Namun sesudah
Sangkal Putung jatuh. Sesudah mereka mendapat bekal yang cukup untuk perjalanan
mereka kembali ke daerah yang bertebaran”
Yang
mendengarkan keterangan orang itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka
menyadari apa yang sedang mereka hadapi sekarang. Agaknya bahaya kali ini
benar-benar telah menggoncangkan dada mereka.
”Keadaan ini
benar-benar menegangkan,“ desis Ki Demang Sangkal Putung.
Untara
berpaling. Sambil tersenyum senapati yang masih muda itu berkata,
“Tidak banyak
bedanya dengan serangan-serangannya yang lampau Ki Demang”
Ki Demang mengerutkan
keningnya. Sahutnya,
“Ah, angger
hanya ingin membesarkan hatiku. Tetapi aku mempunyai gambaran yang lain. Macan
Kepatihan benar-benar telah mengerahkan kekuatan yang luar biasa”
“Tetapi
kekuatannya sangat terbatas. Laskar Pajang di mana-mana telah berusaha memotong
perhubungan mereka, sehingga yang dapat mereka kumpulkan itu pun pasti belum merupakan
bahaya yang sebenarnya bagi Sangkal Putung” jawab Untara.
Ki Demang
tidak segera menjawab. Sekali disambarnya wajah Widura yang tegang. Kemudian
wajah Agung Sedayu dan akhirnya wajah anaknya sendiri. Dilihatnya Swandaru Geni
tersenyum. Wajahnya menjadi amat cerah, dan sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berkata,
“Bagus, lebih
besar kekuatan Tohpati, akan lebih baik bagi kita. Kita akan dapat menimbang,
seberapa sebenarnya kekuatan kita di Sangkal Putung. Ayah sebenarnya tidak
perlu cemas. Anak-anak Sangkal Putung semakin banyak yang bersedia ikut
memegang senjata. Sedang mereka pun menjadi semakin banyak memiliki pengalaman.
Nah, aku mengharap Tohpati mengerahkan seluruh sisa laskar Jipang”
“Huh” sahut Ki
Demang Sangkal Putung,
“Kau hanya
pandai membual Swandaru. Kau tidak memperhitungkan kecakapan laskar Jipang
dibandingkan dengan anak-anak muda Sangkal Putung”
“Ayah
memperkecil arti anak-anak kita sendiri” jawab Swandaru sambil mengerutkan
keningnya. Ia tidak senang mendengar keluhan itu, sebab ia sendirilah yang
memimpin anak-anak muda Sangkal Putung.
“Swandaru benar
kakang Demang” potong Widura,
“Kakang harus
mencoba membuat hati mereka menjadi besar. Anak-anak Sangkal Putung hampir
setingkat dengan laskar Pajang sendiri dan sudah tentu laskar Jipang pula.
Beberapa orang bekas prajurit yang ada di Sangkal Putung telah menguntungkan
keadaan meskipun pada umumnya usia mereka telah cukup tinggi. Namun pengalaman
mereka menggerakkan senjata dan olah peperangan masih cukup baik”
Ki Demang
Sangkal Putung tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dicobanya untuk menenangkan hatinya. Tetapi sebagai seorang yang
bertanggung-jawab atas Sangkal Putung, atas semua isi dan penghuninya, maka mau
tidak mau Demang Sangkal Putung itu menjadi prihatin. Bagaimana nasib
orang-orangnya apabila laskar Tohpati benar-benar dapat menmbus pertahanan
Untara. Bagaimana akan jadinya dengan kademangan ini? Tetapi apabila
dipandanginya wajah Widura, wajah Untara, Agung Sedayu dan apalagi anaknya
sendiri, terasa ketenangan merayapi dadanya. Wajah-wajah itu tampak teguh dan
meyakinkan bahwa mereka akan mencoba sekuat-kuat tenaga mereka melindungi
kademangan yang subur dan kaya ini.
“Kakang
Untara” terdengar prajurit sandi itu berkata,
“Aku akan
segera kembali ke tempat tugasku. Mudah-mudahan aku akan mendapat
keterangan-keterangan yang lebih jelas. Malam ini kami akan mencoba untuk
membuat hubungan terus-menerus dengan kakang di sini”
Untara
mengangguk,
“Baik, lakukan
pekerjaanmu sebaik-baiknya. Keadaan kami di sini sebagian tergantung kepada
keterangan-keterangan yang akan kau berikan kemudian”
“Baik kakang”
sahut orang itu.
Dan sesaat
kemudian orang itu pun minta diri untuk kembali ke tempatnya. Sepeninggal orang
itu, maka Widura dan Untara segera menentukan keadaan. Apa yang harus mereka
lakukan untuk melawan kedatangan laskar Macan Kepatihan itu.
“Jangan
dilupakan, bahwa kita akan minta Kiai Gringsing untuk ikut serta” desis Widura.
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sahutnya,
“Baik paman,
aku akan minta kepadanya. Tetapi dimana Ki Tanu Metir itu sekarang?”
“Berjalan-jalan”
sahut Agung Sedayu,
“Namun aku
sangka bahwa guru tidak akan berkeberatan”
Untara dan
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka pun yakin akan kesediaan itu,
“Nanti kalau
Ki Tanu Metir kembali, sampaikan sekali lagi permohonan kami itu Sedayu” minta
Untara kepada adiknya.
“Baik kakang”
jawab Agung Sedayu.
Widura pun
kemudian memanggil beberapa orang pemimpin kelompok untuk datang keringgitan.
Kini mereka tidak lagi harus merahasiakan kedatangan Tohpati besok.
Perlahan-lahan namun jelas, Widura menguraikan apa yang kira-kira akan mereka
hadapi. Hudaya yang duduk di samping Sonya tersenyum mendengar penjelasan itu.
Ketika kemudian pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata Citra Gati,
yang duduk di belakang Untara, mereka pun mengangguk-angguk sambil tersenyum
pula.
“Kakang
Hudaya” bisik Sonya,
“Cepat-cepatlah
mencukur janggut dan kumismu malam ini”
“Sst” desis
Hudaya,
“Jangan ribut.
Lihat kakang Citra Gati sedang menghitung, berapa sisa hutangnya yang tidak
perlu dibayarnya”
Sonya menutup
mulutnya dengan kedua tangannya ketika ia hampir tidak dapat menahan tawanya.
Namun ia tidak tertawa lagi ketika kemudian ia melihat beberapa orang
kawan-kawannya menjadi tegang. Hanya Sendawa agaknya tidak banyak menaruh
perhatian. Sekali-sekali ia memandang lampu yang menggapai-gapai tiang. Dan
hari pun segera memasuki ujung malam. Malam yang pasti akan sangat menegangkan
seluruh Sangkal Putung. Sebab besok pagi-pagi mereka akan dihadapkan pada suatu
bahaya yang benar-benar tidak dapat diabaikan. Dengan cermatnya Widura dan
Untara mulai mengatur laskar mereka. Mereka mempertimbangkan setiap kemungkinan
dan setiap keadaan dengan pemimpin-pemimpin kelompok di dalam laskar Pajang
itu. Dengan penuh kesungguhan mereka mengurai kekuatan yang ada pada mereka dan
kemungkinan-kemungkinan yang ada pada lawan mereka. Setapak demi setapak malam
pun memasuki daerah kelamnya semakin dalam. Pembicaraan di antara para pemimpin
Pajang itu pun menjadi semakin meningkat. Gelar-gelar yang harus mereka
persiapkan untuk menghadapi kemungkinan dari setiap gelar yang akan
dipergunakan oleh Macan Kepatihan.
“Tohpati pasti
akan berada di pusat pimpinan gelarnya” berkata Untara,
“Ia adalah
seorang senapati yang bertanggung-jawab atas tugas-tugasnya”
“Ya” Widura
menjawab.
“Itu dapat
kita pastikan. Seandainya mereka mempergunakan gelar Dirada Meta, maka Tohpati
akan menjadi ujung belalainya”
“Kemungkinan
yang paling banyak terjadi. Gelar Dirada Meta pasti akan sesuai dengan sifat-sifat
Macan Kepatihan itu.
“Lalu
bagaimanakah gelar kita, dan siapakah yang akan berada di pusat pimpinan?”
bertanya Swandaru.
Semua orang
berpaling kepadanya. Pertanyaan itu sebenarnya sudah mereka ketahui jawabnya.
Pastilah Untara yang akan berada di pusat pimpinan. Seandainya mereka harus
melawan dalam gelar yang lebih luas karena jumlah mereka lebih banyak, meskipun
nilainya belum pasti melampaui laskar Jipang, karena di antara mereka terdapat
anak-anak muda Sangkal Putung, misalnya gelar Garuda Nglayang, maka Untara
pasti akan menjadi ujung paruhnya. Untara sendiri tersenyum mendengar
pertanyaan itu. Jawabnya,
“Siapakah
menurut penilaianmu yang paling tepat untuk melawan Tohpati itu Swandaru?”
Swandaru
kemudian tersenyum pula. Ia ingin berkata,
“Swandaru lah
yang paling mungkin untuk melawan Macan Kepatihan yang garang itu, seandainya
diberi kesempatan”. Tetapi Swandaru kemudian bahkan menundukkan wajahnya.
Yang terdengar
kemudian adalah suara Untara,
“Biarlah aku
mencoba sekali lagi melawan Macan Kepatihan itu. Mudah-mudahan kali ini aku
dapat pula mengimbanginya”
“Siapakah
senapati-senapati pengapitnya kakang?” bertanya Swandaru pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar