Ki Tambak Wedi mengumpat di dalam hatinya. Sumangkar benar-benar gila. Beberapa kali ia merusak usahanya. Kini orang itu telah menempatkannya pada kesulitan pula. Karena itu ia berteriak,
“Sumangkar,
kau adalah biang keladi dari kehancuran Macan Kepatihan. Kini kau menolak
tawaranku. Baiklah marilah kita teruskan perkelahian ini. Siapa yang menang,
biarlah ia menjadi korban berikutnya dari kebodohanmu. Dan kita berempat akan
mati di lapangan rumput ini. Apa katamu?”
“Lebih baik
demikian Ki Tambak Wedi” sehut Sumangkar,
“Lebih baik
kita mati berempat di sini daripada hanya kami saja berdua. Setuju”
Sekali lagi Ki
Tambak Wedi menggeram. Rupanya kesempatan untuk bersama-sama menghancurkan Kiai
Gringsing telah benar-benar tertutup baginya, sehingga tidak ada pilihan lain
daripada meneruskan perkelahian itu mati-matian. Tetapi sejak saat itu Tohpati
selalu dihantui oleh kemungkinan yang sangat pahit. Terjebak oleh perangkap Ki
Tambak Wedi dan Kiai Gringsing bersama-sama. Karena itu maka otaknya bekerja
dengan sibuknya, di samping tenaganya yang berjuang melawan lawan-lawannya, ia
harus menemukan jalan untuk melepaskan diri seandainya Kiai Gringsing dan kedua
anak muda Sangkal Putung itu mulai menyerangnya pula dengan cara apapun. Karena
itulah maka Tohpati harus menemukan suatu cara untuk mengusir mereka dari
padang rumput ini. Bukan karena ia takut untuk bertempur sampai mati, tetapi ia
tidak mau mati meringkuk dalam perangkap lawannya. Tiba-tiba dalam kesibukan
pertempuran itu Tohpati memasukkan jari-jari tangan kirinya ke dalam mulutnya,
dan sesaat kemudian terdengarlah ia bersuit nyaring membelah sepi malam. Sekali
suaranya seolah-olah meluncur memenuhi padang rumput, bahkan terpantul oleh
bukit di kejauhan melengking berkali-kali.
Ki Tambak Wedi
terkejut mendengar suara itu. Bahkan semua orang yang mendengarnya, termasuk
Sumangkar. Namun sebelum mereka menyadari keadaan mereka, terdengar kembali
suitan Tohpati untuk kedua kalinya dan sesaat kemudian untuk ketiga kalinya.
“Gila!” teriak
Sidanti, “Apakah yang kau lakukan pengecut?”
“Mari, mari Ki
Tambak Wedi dan Kiai Gringsing, majulah bersama-sama. Cobalah tangkap Tohpati
dan Sumangkar malam ini”
“Kau panggil
anak buahmu?” bertanya Sidanti
“Itu adalah
hakku”
“Pengecut, kau
tidak berani berkelahi sebagai seorang laki-laki”
“Aku adalah
pemimpin pasukan Jipang. Aku tidak mau masuk ke dalam perangkap kalian. Apakah
aku harus membiarkan kalian berbuat licik, berusaha memasukkan kami berdua ke dalam
perangkap? Sedang aku, Macan Kepatihan sebagai pemimpin pasukan tidak boleh
memanggil pasukannya?”
“Gila” desis
Ki Tambak Wedi.
Namun sebelum
mereka sempat berkata lagi, kembali terdengar Tohpati bersuit. Kali ini
berkepanjangan.
“Apa artinya?”
gumam Ki Tambak Wedi.
Macan
Kepatihan tertawa, katanya, “Orang-orangku harus menangkap kalian hidup-hidup”
“Kau
benar-benar licik seperti setan” geram Ki Tambak Wedi.
Tohpati tidak
menjawab, namun tongkatnya berputar semakin cepat menyambar lawan-lawannya.
Dalam pada itu
timbullah pikiran baru di dalam benak Ki Tambak Wedi. Kalau pasukan Tohpati
segera datang dan membantu, maka keseimbangan akan segera berubah. Betapapun
lemahnya orang se orang dalam pasukan Tohpati, namun mereka pasti akan mampu
menambah kekuatan kedua orang yang tak dapat mereka kalahkan bersama dengan
Sidanti. Karena itu, maka tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menggeram,
“Bagus
Tohpati, karena kau tidak menepati kejantananmu, maka biarlah aku melepaskan
kesempatan kali ini memenggal lehermu, memenggal leher adik gurumu. Tetapi
ingatlah, aku pasti akan datang untuk kedua kalinya”
“Pengecut”
terdengar suara Tohpati,
“Kau akan
lari?”
“Bukan aku
yang licik”
“Tidak ada
kesempatan. Perintahku, mengepung tempat ini dan merapat dari jarak yang agak
jauh, supaya setiap usaha untuk lari dapat digagalkan”
“Persetan,
laskarmu akan aku tumpas kalau berani menghalangi aku”
Macan
Kepatihan itu tertawa berkepanjangan. Katanya,
“Jangan
mengigau. Umurmu tidak akan lebih dari umur bintang pagi yang baru terbit itu”
Ki Tambak Wedi
menggeram sekali lagi. Tiba-tiba ia berkata kepada muridnya,
“Musuh kita
kali ini licik seperti demit. Tak ada gunanya kita menjual kejantanan diri,
menghadapi setan-setan pengecut itu. Marilah kita tinggalkan padang rumput ini,
kita mencari kesempatan di lain kali”
“Tunggulah
sebentar” cegah Sumangkar,
“Aku belum
selesai”
“Persetan”
sahut Ki Tambak Wedi yang menyangka bahwa Sumangkar ingin memperlambatnya,
sehingga laskar Jipang cukup waktu untuk mengepung mereka.
Sesaat
kemudian Ki Tambak Wedi dan Sidanti itu berloncatan menarik diri masing-masing,
kemudian segera mereka berlari meninggalkan gelanggang sebelum mereka terjebak
dalam kepungan laskar Macan Kepatihan. Kegelisahan itu sebenarnya tidak saja
melanda Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Kiai Gringsing pun ternyata terpaksa
berpikir menghadapi keadaan itu. Seandainya laskar Jipang yang sarangnya
mungkin tidak jauh dari tempat ini benar-benar datang, maka mereka benar-benar
berada dalam kesulitan. Sebab Kiai Gringsing seperti juga Ki Tambak Wedi
menyadari, bahwa di dalam laskar Tohpati itu ada orang-orang seperti
Sanakeling, Alap-alap Jalatunda, dan orang-orang lain yang tidak jauh
tingkatnya dari mereka itu. Di samping Sumangkar dan Tohpati, maka mereka pasti
akan menjadi orang-orang yang sangat berbahaya. Sekali dua kali Kiai Gringsing
menimbang-nimbang. Diamat-amatinya muridnya. Ia menjadi cemas apabila ia
menatap Swandaru yang gemuk itu. Anak itu kurang perhitungan. Ia merasa
tenaganya terlampau kuat, sehingga ia tidak pernah mempertimbangkan kekuatan
lawan-lawannya. Karena itu maka ketika dilihatnya Ki Tambak Wedi melarikan
dirinya, tiba-tiba Kiai Gringsing berteriak,
“Angger Macan
Kepatihan dan Sumangkar yang perkasa. Aku kali ini lebih berkepentingan dengan
Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Karena itu biarlah aku mengejar mereka.
Mudah-mudahan lain kali aku dan murid-muridku dapat menjumpai kalian berdiu
dalam kesempatan seperti ini”
“Kau juga mau
lari?” teriak Macan Kepatihan.
Kiai Gringsing
tertawa, tetapi ia sudah meloncat sambil berkata kepada murid-muridnya,
“Jangan
lepaskan Sidanti”
Swandaru dan
Agung Sedayu tidak sempat bertanya lebih banyak. Segera ia pun berloncatan
mengikuti Ki Tanu Metir mengejar Ki Tambak Wedi dan Sidanti.
Tohpati dan
Sumangkar melihat mereka berlari-larian meninggalkan lapangan rumput sambil
tertawa,
“Hem”
geramnya, “Aku sudah hampir kehabisan akal”
Sumangkar
tidak segera menyahut. Ia masih memandang ke dalam malam yang semakin gelap,
karena bulan yang terbelah telah lenyap di balik pepohonan.
Baru setelah
mereka lenyap dari pandangan mata Sumangkar, maka berkatalah orang tua itu
kepada Tohpati,
“Semula aku
tidak tahu, apakah maksud angger sebenarnya”
Tohpati
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
“Kita tidak
akan dapat melawan mereka semuanya apabila mereka benar-benar ingin menjebak
kita”
“Ya, dan
angger telah membuat permainan yang baik sekali. Ternyata mereka semuanya pergi
meninggalkan kita. Mereka menyangka bahwa angger benar-benar memanggil anak
buah angger”
Tohpati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata bersungguh-sungguh,
“Tetapi ada
sesuatu yang tidak wajar paman. Aku sangka, Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing
benar-benar tidak akan bekerja bersama-sama, meskipun kita harus berhati-hati
terhadap dugaan itu”
Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya,
“Aku juga
menyangka demikian. Bahkan aku menyangka di antara mereka benar-benar ada
persoalan yang telah membawa mereka dalam suatu keadaan permusuhan”
“Nah, bukankah
kalau demikian kita akan dapat mempergunakan salah satu pihak untuk keuntungan
kita? Sidanti misalnya?”
“Belum pasti
ngger. Belum pasti kalau Sidanti dan Ki Tambak Wedi akan dapat memberi
keuntungan kepada angger. Kalau sekali ia telah meninggalkan kesetiannya kepada
kesatuannya dan berpihak kepada lawannya, maka orang yang demikian adalah orang
yang benar-benar tidak dapat dipercaya. Mungkin ia akan memperalat kita untuk
kepentingannya, kemudian menghancurkan kita sendiri. Gurunya, Ki Tambak Wedi,
bukankah contoh yang sangat baik bagi sifat Sidanti itu?”
“Aku akan
dapat mempergunakannya dimana perlu paman, jangan sebaliknya”
Sumangkar
mengerutkan keningnya. Kembali dadanya dirayapi oleh kecemasan. Mungkin Tohpati
akan dapat mempergunakan Sidanti tanpa mencelakakan dirinya. Mungkin kemudian
Sidanti akan dapat dibinasakan oleh Tohpati apabila ada tanda-tanda ia akan
mengkhianatinya. Namun dengan demikian, maka keadaan akan menjadi semakin
parah. Peperangan akan menjadi semakin berlarut-larut. Karena itu, maka
diberanikan dirinya berkata,
“Raden, apakah
Raden dapat bekerja sama dengan anak muda itu? Setiap kali angger malahan akan
kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu. Angger setiap kali hanya akan
mengawasinya saja. Pekerjaan itu pasti akan menjemukan sekali. Dan bukankah
dengan demikian angger akan memperluas kesulitan rakyat Jipang dan Pajang
sendiri?”
Tohpati
menundukkan wajahnya. Tiba-tiba hatinya bergetar cepat sekali. Teringatlah ia
kini, akan apa yang mengganggunya akhir-akhir ini. Kesadaran diri atas segala
yang telah berlaku dan akan dilakukan benar-benar mengganggunya siang dan
malam. Perang, kebencian, kekerasan dan permusuhan merajalela. Sesaat kemudian
terdorong dalam suatu kesepian yang pekat. Malam menjadi sangat gelapnya. Di
langit bintang-bintang masih bercanda dengan awan yang mengalir dihanyutkan
oleh angin yang lembut. Sementara itu Ki Tambak Wedi dan Sidanti berlari
kencang-kencang meninggalkan padang rumput itu. Mereka benar-benar menyangka
bahwa Tohpati sedang memanggil anak buahnya. Apabila demikian, maka mereka
pasti akan dibinasakan. Binasa dalam keadaan yang benar-benar mengecewakan. Apalagi
ketika mereka berpaling, mereka melihat tiga buah bayangan mengejarnya, maka
segera mereka mempercepat langkah mereka. Sesaat kemudian mereka telah
menyelinap ke dalam gerumbul-gerumbul liar dan hilang di dalamnya.
Kiai Gringsing
yang berlari sambil menunggu murid-muridnya ternyata kehilangan jejak. Karena
itu, maka segera mereka berhenti di antara gerumbul-gerumbul perdu. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai Gringsing bergumam,
“Hilang,
mereka hilang di sini”
“Marilah kita
cari Kiai” ajak Swandaru.
Swandaru
benar-benar tidak melihat bahaya yang dapat menyergapnya apabila mereka
mencari. Ki Tambak Wedi akan dapat menerkam muridnya satu persatu. Bagi Kiai
Gringsing sendiri, maka bahaya itu tidak akan sampai membinasakannya. Namun
bagaimana dengan Swandaru dan Agung Sedayu? Ki Tambak Wedi dan Sidanti dapat
berada di setiap kegelapan di balik gerumbul-gerumbul itu. Dengan ujung-ujung
pedangnya Sidanti dapat mendahuluinya. Apalagi Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya sambil bergumam,
“Sangat
berbahaya Swandaru, terutama bagimu dan bagi Agung Sedayu”
“Kalau
demikian, lalu apa yang harus kita lakukan Kiai?”
Kiai Gringsing
berdiam diri untuk sejenak. Ia tahu pasti bahwa Swandaru menjadi kecewa. Jauh
lebih kecewa dari Agung Sedayu, sebab ia kehilangan kesempatan untuk mencoba
ilmunya. Sehingga Ki Tanu Metir dengan sangat hati-hati mencoba melunakkan hatinya,
“Kita
kehilangan lawan Swandaru”
“Tetapi kita
tidak mencarinya”
“Di setiap
ujung daun-daun perdu itu mungkin sekali kau temukan ujung pedang Sidanti atau
ujung-ujung jari Ki Tambak Wedi”
“Tetapi dengan
demikian mereka tidak berlaku jantan”
“Mungkin
demikian, namun apakah yang dapat kita katakan dengan kejantanan itu apabila
lambung kita telah tembus oleh pedangnya. Dan bukankah sangat sulit untuk
mencari dua orang saja di antara gerumbul-gerumbul liar itu?. Mungkin mereka
tidak menunggu kita dengan ujung pedang, tetapi mereka kini telah hilang
menyusur gerumbul-gerulbul itu masuk ke dalam hutan. Nah, apakah dengan
demikian kita tidak hanya akan membuang waktu?”
“Apakah kita
akan kembali ke tempat Tohpati?”
Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya,
“Setiap
kemungkinan untuk dapat bertemu semua pihak telah hilang. Seandainya Tohpati
benar-benar memanggil anak buahnya, maka kita akan masuk ke dalam perangkapnya.
Seandainya Macan Kepatihan hanya menakut-nakuti Ki Tambak Wedi dan muridnya,
maka kini ia pasti sudah pergi”
“Ternyata
bukan Ki Tambak Wedi dan Sidanti saja yang menjadi ketakutan Kiai, kita juga
menjadi ketakutan dan lari terbirit-birit”
Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya. Ia tahu benar perasaan muridnya yang seorang itu.
Swandaru menjadi sangat kecewa, bahwa ia tidak berhasil mendapat tempat untuk
mencoba segala macam ilmu yang selama ini dipelajarinya.
Maka
berkatalah dukun tua itu,
“Swandaru,
kita harus mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi atas
perbuatan kita. Kita bukan orang-orang yang memiliki kekhususan yang
berlebih-lebihan. Bukan orang yang tak pernah melihat kelemahan diri. Apabila
demikian ngger, maka kita telah mulai dengan langkah yang sangat berbahaya”
“Tetapi kita
bukan pengecut-pengecut Kiai. Bukankah kita anak-anak jantan yang pantang
menghindari kesulitan?”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya,
“Ya, apabila
kesulitan itu berada di jalan kita, maka kita tidak boleh menghindar. Kita
harus mencoba mengatasinya. Tetapi bukan kita mencari kesulitan apabila
kesulitan itu sama sekali tidak akan berarti apa-apa bagi kita”
“Kiai, baik
Sidanti maupun Tohpati adalah orang-orang yang sangat berbahaya bagi Sangkal
Putung. Kenapa mereka kita lepaskan setelah mereka berada di ujung hidung kita?
Apakah dengan demikian kita tidak hanya malas mengatasi kesulitan yang bakal
datang?”
Ki Tanu Metir
tersenyum. Muridnya yang seorang ini memang keras hati. Dalam kekerasan itu
maka apabila mendapat menyaluran yang tepat, maka Swandaru akan dapat menjadi
seorang prajurit yang nggegirisi. Tetapi ternyata bahwa akalnya masih belum
mampu mempertimbangkan setiap kemungkinan dari tindakannya.
“Swandaru”
jawab Ki Tanu Metir,
“Sebaiknya
mulai saat ini belajarlah menilai diri sendiri secara wajar. Jangan terlalu
menghargai kekuatan sendiri berlebih-lebihan. Dengan demikian kita akan mudah
terjerumus ke dalam tindak yang kurang bijaksana. Coba hitunglah, apa yang
dapat kita lakukan bertiga dan apa yang dilakukan oleh Tohpati berdua ditambah
dengan laskarnya yang bakal datang. Kita tidak tahu berapa orang, tiga, enam,
sepuluh atau lebih. Di antaranya akan datang Sanakeling, Alap-alap Jalatunda,
dan orang-orang lain yang cukup berbahaya bagi kita. Nah, kita harus
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kalau kita bertempur
melawan mereka”
“Jadi kita
tidak berani menghadapi mereka itu?”
“Ada bedanya
Swandaru” jawab Ki Tanu Metir,
“Ada perbedaan
antara seorang pengecut dan seorang yang memperhitungkan kekuatan diri.
Seseorang dapat saja meninggalkan perkelahian dan pertempuran dalam keadaan
tertentu. Kalau kita meninggalkan Tohpati yang memanggil laskarnya, maka kita
sama sekali bukan pengecut. Tohpati lah yang mulai. Sebab ia memanggil orang
banyak untuk menghadapi kita bertiga. Dan kita tidak mau membunuh diri kita.
Seorang pemberani bukanlah seorang yang membabi buta dan membunuh diri sendiri”
Swandaru
terdiam sesaat. Ia dapat mengerti keterangan gurunya itu. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berguman,
“Ya, aku
mengerti Kiai”
“Bagus,
ingatlah untuk seterusnya” sahut Kiai Gringsing.
Swandaru tidak
menjawab. Ia dapat mengerti keterangan gurunya, namun di hati kecilnya
tumbuhlah perasaan yang aneh. Seolah-olah ia sedang melarikan diri dari suatu
tugas yang harus diselesaikan. Ketika malam yang hening merambat makin jauh, maka
bergumamlah kiai Gringsing,
“Kita kembali
ke kademangan. Ada sesuatu yang harus kita sampaikan kepada Angger Widura dan
Angger Untara. Perjalanan kita kali ini menangkap suatu peristiwa yang tidak
kita duga-duga sebelumnya. Sidanti dan Tohpati berdiri berhadapan langsung
sebagai lawan”
“Apakah yang
penting dari peristiwa ini Kiai?” bertanya Agung Sedayu.
“Mereka tidak
bekerja bersama” sahut Kiai Gringsing.
“Mungkin hal
ini baik bagi Sangkal Putung. Tetapi mungkin buruk pula. Sidanti dapat
membentuk suatu gerombolan baru yang akan mempersulit keadaan. Ki Tambak Wedi
mempunyai pengaruh yang kuat di lereng Merapi ini”
Kedua murid Ki
Tanu Metir itu terdiam. Berbagai persoalan hilir mudik di dalam kepala mereka.
Swandaru masih merasa aneh tentang dirinya, sedang Agung Sedayu dapat berpikir
lebih tenang dan memandang lebih jauh. Sifat-sifatnya dimasa anak-anaknya
ternyata ikut membantu mengekangnya menghindari bentrokan-bentrokan yang sama
sekali tidak perlu. Untunglah bahwa setelah ia berhasil memecahkan dinding yang
mengungkungnya dalam dunia ketakutan, ia tidak kehilangan keseimbangan.
Untunglah bahwa ia berada di dekat kakaknya yang dapat memberinya
petunjuk-petunjuk, untunglah bahwa gurunya adalah seorang dukun yang banyak
sekali berusaha menyembuhkan orang-orang sakit, bukan sebaliknya membuat orang
menjadi sakit. Sejenak kemudian maka mereka pun meninggalkan padang rumput itu,
dan kembali ke kademangan Sangkal Putung.
Pada saat itu
Tohpati dan Sumangkar telah pula melangkah pergi. Mereka tidak meneruskan
perjalanan mereka ke Sangkal Putung. Tetapi mereka bermaksud kembali ke sarang
mereka. Tohpati berjalan dengan wajah tertunduk, sedang di sampingnya Sumangkar
berjalan sambil mengamat-amati goloknya. Perlahan-lahan ia bergumam,
“Besok aku
akan mengalami kesulitan”
“Apa?” Tohpati
terkejut mendengar keluhan itu.
Sambil
menunjukkan goloknya Sumangkar berkata,
“Mata golokku
menjadi pecah-pecah. Aku tidak dapat lagi mempergunakannya untuk membelah kayu”
“Oh” Tohpati
menarik nafas dalam-dalam. Kalau bukan Sumangkar yang berkata demikian, maka
orang itu pasti sudah ditamparnya. Namun tiba-tiba untuk melepaskan
kejengkelannya Tohpati itu berkata lantang,
“Besok aku
akan pergi ke Sangkal Putung untuk yang terakhir kalinya”
Sumangkar lah
kini yang terkejut,
“Besok? Apakah
angger sudah cukup siap?”
Tohpati tidak
segera menjawab. Ia melangkah semakin lama menjadi semakin cepat dan semakin
panjang, sehingga Sumangkar terpaksa berkali-kali mempercepat langkahnya pula.
Ketika Tohpati
tidak segera menjawab pertanyaannya maka sekali lagi Sumangkar bertanya,
“Angger,
apakah angger besok dapat menyiapkan laskar Jipang untuk menyerang Sangkal
Putung?”
“Aku telah
siap sejak pecah perang Jipang dan Pajang” geram Tohpati tanpa berpaling.
Sumangkar
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba terasa sesuatu pada dinding Tohpati itu. Meskipun
demikian Sumangkar mencemaskan nasib Macan Kepatihan itu pula sehingga ia
berkata,
“Mungkin
angger Tohpati sendiri telah siap sejak lama. Tetapi apakah laskar angger, dan
pimpinan-pimpinan yang lain telah siap pula?”
“Aku tidak
peduli apakah mereka sudah siap atau belum. Besok aku akan menyerbu Sangkal
Putung. Untuk yang terakhir kalinya”
“Kenapa yang
terakhir kalinya ngger?”
“Aku sudah
jemu pada peperangan ini. Aku sudah jemu melihat pepati. Aku sudah jemu melihat
darah dan penderitaan”
Dada Sumangkar
berdesir mendengar jawaban itu. Ia sendiri adalah orang yang jemu menghadapi
persoalan yang seakan-akan tidak berpangkal dan tidak berujung. Tetapi ia
melihat pada dada Tohpati itu membayang keputus-asaan dan kekecewaan yang
meluap-luap. Di samping Widura dan Untara, kini ia mengenal lawan yang baru,
yang cukup berbahaya pula baginya. Bukan Sidanti, tetapi Ki Tambak Wedi. Ia
tidak akan dapat menggantungkan nasibnya terus menerus kepada Sumangkar, paman
gurunya itu. Bahkan kemudian diketahuinya pula bahwa di Sangkal Putung ada
orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing yang memiliki ilmu sejajar dengan
Ki Tambak Wedi, sehingga orang itu berani menonton perkelahian yang sedang
berlangsung di antara mereka. Di antara ilmu yang bersumber dari Kedung Jati melawan
ilmu yang bersumber dari lereng Merapi. Persoalan-persoalan yang tumbuh di
dalam perkemahannya, persoalan-persoalan yang tumbuh di sekitarnya telah
mendorong Tohpati dalam keadaan yang sulit. Tetapi semuanya itu tidak akan
menggoncangkan tekadnya, seandainya tidak ada persoalan-persoalan yang tumbuh
di dalam dadanya sendiri. Beberapa hari ia telah diganggu oleh
pertimbangan-pertimbangan yang membingungkannya. Pertimbangan-pertimbangan yang
tidak pernah dikenalnya sebelumnya. Tak pernah sehelai bulunya pun yang meremang, apabila ia melihat darah,
mayat, mendengar pekik rintih dan tangis. Dadanya sama sekali tidak tergetar
melihat pedang yang berlumur darah dan bahkan tubuh yang terpisah-pisah. Namun
tiba-tiba kini ia merasa ngeri hanya mengenangkan itu semua. Mengenangkan
kembali dan tidak sedang menghayatinya.
“Setan”
geramnya.
Sumangkar
berjalan terloncat-loncat di sampingnya. Ketika ia mendengar Tohpati menggeram,
maka sekali lagi ia bertanya,
“Kenapa angger
menjadi jemu?”
Sekali lagi
Tohpati menggeram, katanya,
“Kenapa paman
bertanya? Paman adalah salah satu sebab dari kejemuan itu. Paman telah membujuk
aku. Paman telah memperlemah tekadku. Dan paman pasti akan menyetujui
pendapatku. Peperangan ini harus segera berakhir. Pajang atau Jipang yang akan
hancur”
Dada Sumangkar
benar-benar bergetar mendengar jawaban itu. Sehingga cepat-cepat ia menjawab,
“Angger telah
memilih jalan yang sama sekali tidak tepat”
Langkah
Tohpati terhenti mendengar perkataan Sumangkar itu. Dengan tajamnya ia
memandang wajah orang tua itu dengan sinar kemarahan yang menyala-nyala,
“Apakah yang
kau katakan paman?”
“Angger
mencoba menempuh jalan yang salah”
“Kenapa?”
“Angger telah
meninggalkan segenap perhitungan seorang senapati”
“Apa gunanya
perhitungan-perhitungan itu lagi? Bukankah paman juga menghendaki supaya kami
cepat hancur dan peperangan berhenti?”
“Tidak”
“Paman” geram
Tohpati,
“Paman sudah
tua. Dan perkataan paman sama sekali tidak dapat didengar dengan pasti. Apa
yang paman kehendaki sebetulnya? Jangan mencla-mencle”
“Tidak, aku
tetap pada pendirianku. Aku menghendaki peperangan segera berakhir. Tetapi aku
tidak menghendaki laskar Jipang membunuh dirinya”
“Apa pedulimu
paman. Hidupku adalah wewenangku. Kalau besok aku menyerbu Sangkal Putung
sebagai sulung menjelang api, dan kemudian aku akan binasa karenanya, namun
peperangan akan berhenti, bukankah paman akan tertawa pula karenanya. Paman
akan tertawa melihat mayat Tohpati dipenggal kepalanya dan diseret sepanjang
jalan raya Pajang untuk dipertontonkan kepada rakyat. Dan paman akan tertawa
melihat Untara mendapat hadiah serupa dengan yang diterima oleh Pemanahan dan
Penjawi?”
“Angger salah
terka. Aku tidak ingin melihat angger membunuh diri bersama seluruh laskar”
“Apa pedulimu?
Apa pedulimu. He? Nyawa ini adalah nyawaku. Hidup ini adalah hidupku sendiri”
“Aku tidak
keberatan kalau Raden membunuh diri dengan cara itu. Tetapi jangan membinasakan
laskar angger itu. Jangan membawa mereka terjun ke dalam lembah kengerian itu”
“Diam, diam
kau tua bangka” teriak Tohpati dengan marahnya sehingga tongkatnya terayun-ayun
menunjuk ke arah kepala Sumangkar. Tetapi kini Sumangkar tidak meletakkan
goloknya, tidak menyerahkan kepalanya sambil ngapurancang. Tetapi orang tua itu
tiba-tiba meloncat surut sambil mempersiapkan dirinya. Benar-benar bukan
Sumangkar juru masak yang malas, tetapi Sumangkar yang telah berhasil
mengimbangi kekuatan hantu lereng Merapi.
Mata Tohpati
terbelalak karenanya, seakan-akan ingin meloncat dari pelupuknya. Betapa
dadanya menjadi bergelora seolah-olah akan meledak melihat sikap Sumangkar itu.
Melihat Sumangkar menyilangkan goloknya di muka dadanya dan siap menghadapi
setiap kemungkinan. Sejenak kemudian tubuhnya menjadi gemetar karena marahnya.
Tongkatnya yang putih berkilauan itu pun bergetar dalam genggaman tangannya.
Sambil menunjuk si dengan tongkatnya itu Macan Kepatihan menbentak,
“He,
Sumangkar, apakah kau akan berani melawan Macan Kepatihan?”
“Hem”
Sumangkar berdesah,
“Angger Macan
Kepatihan, meskipun angger bernyawa rangkap berkadang dewa-dewa di langit,
namun kau tidak akan mampu melawan Sumangkar”
“Persetan
dengan kesombonganmu itu tetapi kau telah berbuat kesalahan terhadap pemimpinmu
di sini”
“Apa salahku?
Aku mencoba mengatakan apa yang baik bagiku. Bagi pendirianku. Apakah itu
salah? Kalau kau tidak mau mendengarkan nasehatku, jangan kau dengar.
Berbuatlah sesuka hatimu. Kau bukan anakku, bukan cucuku. Kau bagiku tidak
lebih dari murid saudara seperguruanku. Apakah kau akan mati pancang, ataukah
mati digilas guntur dari langit, aku tidak akan kehilangan. Tetapi sebagai
orang tua aku ingin melihat, kalau kau mati, matilah dengan hormat. Kalau kau
jemu melihat penderitaan, jangan kau jerumuskan anak buahmu dalam penderitaan.
Kalau kau jemu melihat pepati, jangan kau bawa anak buahmu ke dalam lembah
kematian. Kau dapat berbuat banyak, namun orang akan menilai apa yang telah kau
lakukan. Apalagi kalau kau sudah memutuskan untuk pergi ke Sangkal Putung yang
terakhir kalinya. Maka nilaimu sebagai seorang pemimpin akan terletak pada
saat-saat yang demikian itu”
Tohpati
menjadi seolah-olah terbungkam. Ia tidak mampu menjawab kata-kata Sumangkar
itu. Dan bahkan kepalanya pun terkulai tunduk menghunjam ke tanah di muka
kakinya. Tongkatnya pun kemudian tertunduk dengan lemahnya.
Terdengar
Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya,
“Maafkan aku
paman”
Sesaat mereka
terhentak ke dalam kesenyapan. Angin malam yang lembut mengusap mahkota
dedaunan. Suaranya yang gemerisik seolah-olah suara tembang yang sangat rawan
dikejauhan.
Dalam
keheningan malam itu terdengar suara Tohpati berat,
“Maafkan aku
paman. Ternyata aku telah kehilangan akal”
“Jangan
menyesal ngger” sahut Sumangkar sambil mendekati Tohpati yang masih berdiri di
tempatnya.
“Aku hanya
ingin memberimu peringatan. Rupa-rupanya dengan cara yang wajar, kau tidak
dapat mendengar kata-kataku. Mungkin dinding hatimu yang kisruh itu
hampir-hampir telah tertutup rapat oleh kebingungan dan kekecewaan, sehingga
aku harus menjebolnya dengan sedikit permainan yang agak kasar”
“Tidak paman”
sahut Tohpati,
“Aku berterima
kasih kepada paman. Paman telah menarik aku kembali pada tempat yang sewajarnya
bagiku. Aku akan dapat tegak kembali sebagai seorang kesatria dari Kepatihan
Jipang. Aku bukan sebangsa cecurut yang kerdil menghadapi kesulitan. Terima
kasih paman. Akan aku pikirkan nasehat paman. Aku akan kembali ke Sangkal
Putung untuk yang terakhir kalinya, tetapi tidak besok. Aku akan berbicara
dengan Sanakeling”
Sementara itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
“Bagus. Angger
adalah seorang pemimpin. Angger tidak boleh kehilangan kebeningan pikiran.
Kepadamu tergantung beratus-ratus nyawa anak buahmu. Sedang pada beratus-ratus
nyawa itu tergantung beribu-ribu jiwa keluarganya”
Tohpati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata,
“Marilah kita
kembali keperkemahan”
Sumangkar
mengangguk kecil,
“Marilah”
katanya.
Sepanjang
jalan kembali itu mereka sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Mereka
terbenam dalam kesibukan pikiran masing-masing. Begitu sampai ke baraknya,
segera Tohpati berteriak kepada seseorang yang berada di samping barak itu
untuk berjaga-jaga,
“He, panggil
Sanakeling kemari”
Orang itu mengangguk
hormat sambil menjawab,
“Baik Raden”
Sepeninggal
orang itu maka berkatalah Sumangkar,
“Aku akan
kembali ke barakku Raden. Silakan Raden membicarakan persoalan ini dengan para
pemimpin laskar Jipang”
“Tidak paman”
sahut Tohpati,
“Paman tetap
di sini”
Sumangkar
menggeleng lemah,
“Aku hanya
akan mengganggu saja ngger. Mungkin aku akan menambah persoalan yang akan
angger bicarakan. Mungkin aku tidak dapat menahan mulutku, apabila aku
mendengar persoalan-persoalan yang aku tidak sependapat. Karena itu, aku tidak
akan mencampuri persoalan-persoalan para pemimpin. Aku hanya akan tunduk pada
setiap perintah. Mudah-mudahan angger tetap pada kejernihan hati”
“Nasehat paman
sangat kami perlukan”
“Tetapi aku
adalah orang tua ngger. Aku sudah tidak dapat menyesuaikan diri lagi dengan
anak-anak muda seperti angger Sanakeling, angger Alap-alap Jalatunda dan
beberapa orang yang lain. Tetapi aku akan menjalankan setiap perintah”
Sumangkar
benar-benar tidak mau lagi tinggal di barak Tohpati. Karena itu maka Macan
Kepatihan terpaksa membiarkannya pergi meninggalkannya dan berjalan
tersuruk-suruk di antara beberapa barak kembali menuju ke baraknya sendiri.
Sebuah barak doyong beratap daun-daun ilalang, bertiang bambu muda dan
berdinding anyaman bambu pula.
Di dalam barak
itu ditemuinya beberapa orang tidur mendengkur di atas tumpukan ilalang kering.
Ketika salah seorang membuka matanya terdengar suaranya parau,
“Dari mana
kau, paman Sumangkar?”
“Berjalan-jalan”
sahut Sumangkar
“Tidurlah,
hari telah jauh malam, bahkan hampir menjelang pagi. Besok Kau terlambat
bangun. Kenapa golok itu kau bawa kemari?”
“Golokku
rusak”
“Kenapa?”
“Tulang-tulang
harimau yang keras telah memecahkan di bagian tajamnya”
Orang yang
terbangun itu menguap sekali, lalu sahutnya,
“Apakah kau
mendapat seekor harimau?”
“Hanya
tulang-tulangnya” sahut Sumangkar.
“Huh” orang
itu mencibirkan bibirnya.
“Jangan
membual, sekarang tidurlah”
“Aku belum
mengantuk”
Orang itu,
yang mengenal Sumangkar tidak lebih dari seorang juru masak yang malas
mengumpat. Katanya,
“Pemalas tua.
Besok kau pasti akan terlambat bangun. Kalau kau tidak dapat menyiapkan makan
kami, maka kepalamu akan aku gunduli”
“Bukankah
tidak aku sendiri juru masak di perkemahan ini?” Bantah Sumangkar.
“Tetapi kaulah
yang paling malas di antara mereka. Dan kemalasanmu akan dapat menjalar ke
segenap orang.”
“Bukankah itu
bukan salahku.”
“Diam.
Sekarang kau tidur. Kalau tidak aku sumbat mulutmu dengan ilalang.”
Sumangkar
tidak menjawab. Segera ia merebahkan dirinya di atas tumpukan ilalang itu pula.
“Nah.
Begitulah.” Gumam orang yang membentak-bentaknya.
Sumangkar
hanya tersenyum,
“Biarlah ia
mendapat kepuasan” katanya dalam hati,
“kasian orang
itu. Jarang-jarang ia menemukan kepuasan seperti ini. Apa salahnya aku
menyenangkan hatinya?”
Lamat-lamat
masih terdengar orang itu berkata,
“Kalau kau
tidak mau menuruti perintahku, maka kau benar-benar akan menyesal seumur
hidupmu.”
Sumangkar
masih saja berdiam diri. Dan orang itu pun masih saja bergumam untuk melepaskan
kepuasannya. Ia mengumpat Sumangkar sepuas-puasnya. Akhirnya orang itu pun
terdiam. Ketika Sumangkar mengangkat kepalanya, dilihatnya orang itu tidur
mendekur menikmati mimpi yang indah.
“Kasihan”
desis Sumangkar,
“Anak itu
tidak pernah mendapat kesempatan untuk membentak-bentak orang lain kecuali aku
dan para juru masak. Para pemimpin lebih banyak membentak-bentaknya daripada
memberinya hati.”
Tetapi sejenak
kemudian Sumangkar itu pun benar-benar merasa sangat penat. Matanya mulai
diganggu oleh kantuk yang amat sangat, sehingga sejenak kemudian orang tua itu
pun tertidur pula di atas batang-batang ilalang kering. Dalam pada itu, penjaga
yang mendapat perintah dari Tohpati untuk memanggil Sanakeling telah melakukan
pekerjaannya. Betapa Sanakeling mengumpat tidak habis-habisnya. Matanya yang
seolah-olah melekat itu benar-benar mengganggunya.
“Kenapa tidak
menunggu sampai esok” keluhnya. Tetapi ia tidak dapat membantah panggilan itu.
Sanakeling tahu, bahwa agaknya Macan Kepatihan sedang diganggu oleh perasaan
yang tidak menyenangkannya. Sehingga Alap-alap Jalatunda mengalami perlakuan
yang sedemikian buruknya. Karena itu, maka betapapun juga, Sanakeling berjalan
pula ke barak Tohpati.
Sedangkan
Tohpati hampir tidak sabar menunggu kedatangan Sanakeling. Mondar-mandir ia
berjalan di dalam ruang yang sempit itu. Ketika itu ia mendengar langkah
seorang di luar pintu, maka segera ia menyapa,
“Kau
Sanakeling”
“Ya Raden”
“Duduklah”
Sanakeling
melangkah memasuki ruangan yang diterangi oleh pelita yang samar. Meskipun
demikian, betapa terkejutnya Sanakeling melihat tubuh Tohpati. Di beberapa
tempat dilihatnya goresan-goresan dan darah yang telah kering.
“Kenapa luka
itu?” bertanya Sanakeling dengan serta-merta.
Macan
Kepatihan menggeram. Dipandanginya goresan-goresan itu. Tetapi sama sekali
luka-luka itu tak terasa lagi.
“Kakang
bertempur?” bertanya Sanakeling.
“Ya” sahut
Tohpati pendek.
“Dengan
orang-orang Sangkal Putung?”
Tohpati menggeleng,
“Tidak”
sahutnya, “Dengan Sidanti”
“Sidanti?”
ulang Sanakeling.
“Jadi benar
dengan orang Sangkal Putung”
“Tidak” Macan
Kepatihan mencoba menjelaskan,
“Sidanti sudah
tidak lagi di Sangkal Putung. Agaknya ada pertentangan di antara mereka”
“Oh” Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi kenapa
kakang bertempur melawan Sidanti itu? Apakah dengan demikian kakang tidak dapat
mengambil keuntungan dari pertentangan itu?”
“Sidanti telah
berkhianat atas kesatuan dan kesetiaannya. Dimana pun ia berada maka ia akan
berbuat hal yang serupa. Anak itu memang ingin menggabungkan kekuatannya dengan
kita. Namun aku menolaknya”
Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tersirat pula kekecewaan hatinya. Segera
ia mengetahui apa yang agaknya terjadi. Tohpati dan Sidanti pasti telah
bertempur. Tetapi luka-luka itu benar-benar mengherankannya, sehingga ia
bertanya,
“Apakah
Sidanti seorang diri?”
“Tidak,
bersama gurunya”
“Oh”
Sanakeling mengangguk-angguk kembali. Ia kini dapat membayangkan semakin jelas
perkelahian yang terjadi antara Tohpati dan Sumangkar melawan Sidanti dan Ki
Tambak Wedi.
Namun ia masih
juga diliputi oleh perasaan kecewa. Kalau saja Sidanti dapat berada di
pihaknya, maka orang itu akan dapat menambah banyak kekuatan pada kesatuan
Jipang. Sudah pasti bahwa Ki Tambak Wedi akan membantunya pula. Mungkin
pengaruh yang dimilikinya atas orang-orang di lereng Merapi akan menambah
jumlah kekuatan mereka. Tetapi ia tidak berani menanyakannya kepada Tohpati.
Besok atau kapan saja apabila ada kesempatan ia ingin menemui Sidanti dan
membawanya dalam lingkungan mereka. Namun di antara kekecewaan yang merayapi
hatinya, Sanakeling menjadi heran pula. Agaknya Sumangkar yang tua itu masih
saja memiliki ketangguhan yang dapat dibanggakan, meskipun selama ini ia lebih
senang berada di muka perapian menanak nasi. Sanakeling itu pun kemudian duduk
di sebuah bale-bale bambu. Ia masih memandangi tubuh Tohpati yang tergores oleh
ujung pedang di beberapa tempat.
“Sidanti menjadi
semakin maju” desisnya,
“Agaknya gurunya
selalu mengolahnya”
Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau demikian maka Sidanti akan lebih baik
baginya.
Namun
seolah-olah Tohpati mengetahui apa yang tersirat di dalam kepala Sanakeling
itu. Maka katanya,
“Tetapi
Betapapun baiknya anak itu, namun ia tidak dapat kita jadikan kawan. Suatu
ketika ia pasti akan menerkam kita sendiri”
Sanakeling
tidak menjawab. Ia mengangguk lemah.
“Nah,
lupakanlah Sidanti dan Ki Tambak Wedi itu” berkata Tohpati tiba-tiba.
“Kewajiban
kita adalah menyerang Sangkal Putung. Bagaimanamun juga kepergian Sidanti pasti
akan mengurangi kekuatan Sangkal Putung. Aku tidak tahu, apakah laskar Sangkal
Putung terpecah atau tidak. Syukurlah kalau ada sebagian dari mereka pergi
mengikuti Sidanti, tetapi ukuran kita laskar Sangkal Putung masih utuh”
“Ya” sahut
Sanakeling. Ia menjadi gembira mendengar pendapat Macan Kepatihan itu.
Laskarnya sudah terlalu lama menunggu sehingga ia takut apabila akan timbul
kejemuan dikalangan mereka. Kejemuan itu sudah pasti akan sangat membahayakan.
Mereka akan dapat berbuat aneh-aneh untuk mengisi kekosongan waktu mereka. Dan
kadang-kadang akan sangat merugikan. Kadang-kadang mereka berpencaran ke desa-desa
dan dengan demikian maka kadang-kadang ada di antara mereka yang dapat
ditangkap oleh laskar Pajang.
“Bagaimana
pendapatmu?” bertanya Macan Kepatihan itu kemudian.
“Sangat
menarik. Aku sudah lama mengharap keputusan itu. Agaknya kakang selalu
ragu-ragu. Sekarang apabila kakang telah menemukan keputusan, maka keputusan
itu harus segera dilaksanakan. Tidak ditunda-tunda lagi. Aku juga sudah membuat
perintah untuk bersiap. Tetapi karena aku ragu-ragu bahwa kakang akan
menundanya lagi, maka perintahku belum perintah terakhir, belum perintah
kepastian”
“Sekarang aku
sudah pasti. Kita harus secepatnya pergi ke Sangkal Putung, bagaimana kalau
besok?”
“He?” mata
Sanakeling terbelak. Namun kemudian ia tersenyum,
“Tidak
mungkin. Besok aku baru mengambil keputusan tentang perintah yang akan aku
berikan. Besok perintah itu pula baru akan di jalankan. Besok malam
secepat-cepatnya laskar itu baru siap. Sedang kalau ada beberapa kelambatan
maka laskar itu baru akan siap lusa. Sehingga sehari sesudah itu kita baru akan
dapat mulai dengan setiap rencana penyerangan yang baik. Bukankah kakang telah
beberapa kali mengalami kegagalan? Apakah kakang Raden Tohpati, harus gagal
lagi nanti?”
“Tidak. Kali
ini harus kali yang terakhir”
Sanakeling
tertawa. Sahutnya,
“Bagus. Karena
itu persiapan kita harus benar-benar masak. Bukankah kita harus mendapatkan
Sangkal Putung sebagai tempat perbekalan? Kalau kita menduduki Sangkal Putung,
maka kita harus dapat memanfaatkannya. Lumbung kademangan itu harus dapat
segera kita singkirkan. Kita duduki tempat itu sejauh dapat kita pertahankan.
Meskipun kakang akan melepaskan beberapa kepentingan di daerah selatan ini
kelak, namun apa yang ada di daerah yang subur dan kaya itu harus benar-benar
bermanfaat bagi kita. Korban telah banyak jatuh untuk merebut daerah itu”
Tohpati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayanglahh apa saja yang pernah dilakukan
untuk merebut daerah ini. Bahkan akhirnya dirinya sendirilah yang memimpin
pasukan Jipang untuk menguasai daerah yang kaya. Kaya akan hasil bumi, sehingga
lumbung-lumbung Sangkal Putung penuh dengan padi. Dan kaya akan berbagai macam
benda-benda berharga. Penduduk Sangkal Putung terkenal sebagai penduduk yang
senang sekali menyimpan barang-barang berharga. Perhiasan, ternak dan
benda-benda lainnya. Tetapi, meskipun ia sendiri yang memimpin laskar Jipang di
daerah Sangkal Putung, namun ia belum berhasil untuk merebutnya. Belum berhasil
untuk menguasai kekayaan yang tersimpan di dalamnya. Dan Pajang pun agaknya
tidak mau melepaskan daerah itu, sehingga di tempatkannya Untara untuk mencoba
melindunginya. Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Sejak Arya Jipang dan
kemudian Patih Mantahun terbunuh di peperangan, maka korban masih saja
berjatuhan. Satu demi satu dan bahkan sepuluh dua puluh sekaligus. Peperangan
masih saja terjadi dimana-mana. Gerombolan kecil-kecil dari sisa-sisa laskar
Jipang masih bergerak terus, meskipun demikian mereka tidak lebih dari
gerombolan-gerombolan perampok dan penyamun. Tetapi karena mereka masih merasa
terikat oleh seorang pemimpin yang mereka segani, maka mereka masih belum
melepaskan diri dari kelaskaran mereka. Kesetiaan mereka kepada pemimpin mereka
masih mengikat mereka untuk merasa wajib melakukan perang untuk seterusnya. Dan
karena itulah maka dimana-mana masih timbul pepati. Sedang pemimpin itu adalah
dirinya sendiri, Tohpati.
Tohpati
menggigit bibirnya. Ia berterima kasih kepada kesetiaan itu. Ia merasa betapa
dirinya mendapat kehormatan untuk mengikat sekian banyak manusia dalam satu
ikatan. Tetapi ia merasa bahwa dirinyalah sumber dari setiap akibat dari
kesetiaan itu. Akibat yang kadang-kadang tidak dikehendakinya.
Ruangan itu
untuk sejenak dikuasai oleh kesepian. Masing-masing terbenam dalam angan-angan
sendiri. Angan-angan yang bertolak dari gejolak perasaan yang berbeda-beda.
Sanakeling masih dikuasai oleh nafsu untuk memiliki segenap kekayaan yang ada
di Sangkal Putung. Kekayaan yang mungkin masih akan dapat membantu
gerakan-gerakan yang mereka lakukan. Dan kekayaan yang mungkin dapat
dimilikinya. Bahkan mungkin untuk dirinya sendiri. Mungkin akan ditemuinya
perhiasan-perhiasan yang sangat berharga. Gelang, kalung atau pendok emas
tretes berlian. Atau apa saja yang dapat dimilikinya sendiri. Sesaat mereka
masih tetap membisu. Sanakeling masih saja berangan-angan tentang kekayaan yang
akan dapat dirampasnya dari Sangkal Putung, sedang Tohpati berjejak pada pendapat
yang berbeda. Pendapat seorang pemimpin yang melihat kenyataan-kenyataan dari
laskar yang dipimpinnya, perkembangan keadaan dan perhitungan-perhitungan atas
masa-masa yang akan datang. Malam yang hening itu kemudian dipecahkan oleh
suara Sanakeling penuh nafsu,
“Kakang,
baiklah aku kembali ke barakku. Aku berjanji bahwa orang-orangku dan
orang-orang baru yang telah aku panggil dari daerah utara akan merupakan
kekuatan yang dapat dibanggakan. Sangkal Putung kini ternyata telah berkurang
kekuatan, sedang kekuatan kita bertambah. Menurut perhitunganku maka kekuatan
yang telah ada di sini ditambah dengan kekuatan-keuatan baru, akan dapat
melanda Sangkal Putung dan menghancurkannya. Laskar dari utara itu kelak akan
kembali dengan perbekalan untuk mereka, sedang laskar di daerah ini pun akan
dapat memperkuat diri dengan semua yang akan kita dapatkan dari Sangkal Putung”
Tohpati
mengerutkan keningnya. Ia tidak menanggapi angan-angan Sanakeling itu, tetapi
ia berkata,
“Kembalilah.
Aku tidak dapat menunggu lebih lama dari waktu yang kau katakan”
Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi timbullah keheranannya atas sikap
Tohpati itu. Beberapa kali ia menunda penyerangan sehingga laskarnya tercerai
berai kembali, namun tiba-tiba kini Macan Kepatihan itu menjadi sangat
tergesa-gesa.
“Mungkin Raden
Tohpati melihat kelemahan Sangkal Putung kini” pikirnya.
Sanakeling itu
kemudian berdiri. Dilihatnya halaman barak itu. Gelapnya masih menghitam.
“Aku akan
kembali” katanya.
“Kembalilah.
Ingat-ingat perintahku”
“Baik” sahut
Sanakeling sambil melangkah meninggalkan ruangan itu. Di sepanjang jarak yang
ditempuhnya, bahkan sampai ke tempatnya dan ketika ia telah membaringkan
dirinya, dirasakannya beberapa keanehan pada pemimpinnya itu. Ia melihat
wajahnya yang murung, dan kadang-kadang perbuatan-perbuatan yang tidak pernah
dilakukannya sebelumnya. Dalam keseluruhannya, tampaklah Tohpati menjadi sangat
gelisah. Tetapi Sanakeling tidak mempedulikannya. Mungkin Tohpati sedang
diganggu oleh beberapa persoalan yang bersifat pribadi. Mungkin ia kesal pada
kegagalan-kegagalan yang dialaminya, atau mungkin Tohpati sedang membuat
rencana-rencana baru yang belum dimengertinya.
Pada hari
berikutnya, maka tampaklah kesibukan di perkemahan itu. Beberapa orang berjalan
hilir mudik dari satu barak ke barak yang lain, sedang beberapa orang lagi
pergi meninggalkan perkemahan itu di atas punggung-punggung kuda. Mereka harus
pergi berpencaran mencari tempat-tempat yang tersebar dari kawan-kawan mereka.
Gerombolan-gerombolan yang seolah-olah liar dan melakukan berbagai perbuatan
yang kadang-kadang benar-benar kasar dan menakutkan. Perampokan, perampasan dan
sebagainya. Kadang-kadang hanya sekedar untuk memberikan kesan bahwa keadaan
sedemikian buruknya, tetapi kadang-kadang mereka benar-benar melakukannya untuk
memperpanjang hidup mereka. Dalam pada itu Sangkal Putung pun telah disibukkan
pula oleh persoalan yang dibawa Kiai Gringsing beserta murid-muridnya. Untara
dan Widura yang mendengarkan cerita Ki Tanu Metir menjadi berlega hati, bahwa
kekuatan Sidanti pada saat yang pendek masih belum mungkin bergabung dengan
kekuatan Tohpati. Meskipun demikian di saat-saat yang akan datang, mereka
merasa, bahwa pekerjaan mereka akan menjadi semakin berat. Apakah Sidanti dan
Tohpati menemukan titik-titik persamaan dan kemudian dapat bekerja sama, apakah
Sidanti dengan Ki Tambak Wedi akan menyusun kekuatan baru untuk menggagalkan
semua rencananya. Kalau demikian, maka Sidanti pasti hanya akan sekedar
membalas dendam, dan mungkin setelah usaha Untara dan Widura gagal di Sangkal
Putung, Sidanti akan menjual jasa melenyapkan Tohpati.
“Tetapi
kedudukan Tohpati cukup kuat ngger” berkata Ki Tanu Metir kemudian.
Untara, Widura
dan bahkan Ki Demang Sangkal Putung yang ikut pula mendengarkan segenap cerita
itu mengerutkan kening-kening mereka. Terdengarlah kemudian Untara bertanya,
“Bukankah kita
sudah mengetahui kekuatan mereka?”
“Ternyata ada
yang belum angger ketahui”
“Apakah itu?”
bertanya Widura.
Ki Tanu Metir
memandang mereka satu demi satu. Kemudian katanya,
“Murid kedua
dari Kedung Jati ternyata ada di antara mereka”
“Siapa?” desak
Untara
“Angger pasti
sudah pernah dengar namanya, Sumangkar”
“Sumangkar”
Untara dan Widura hampir bersamaan mengulang nama itu.
“Ya” berkata
Untara seterusnya,
“Aku pernah
mendengar nama itu, dan pernah pula melihat dan bertemu dengan orang itu di
Kepatihan Jipang. Bukankah paman Sumangkar itu adik seperguruan paman
Mantahun?”
“Ya” sahut
Kiai Gringsing.
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Yang terdengar kemudian adalah suara Widura,
“Nama itu
cukup mengejutkan hampir seperti nama patih Mantahun sendiri. Tetapi kenapa
selama ini orang itu tidak pernah hadir di dalam setiap pertempuran? Bukankah
dengan tenaganya maka Sangkal Putung pasti sudah dapat dipatahkan sejak
serangan yang pertama?”
Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Entahlah. Aku
tidak tahu. Apakah Sumangkar belum lama berada di antara mereka, apakah ada
sebab-sebab lain”
Namun ternyata
berita itu benar-benar telah menyebabkan Untara dan Widura berpikir keras.
Kalau pada saat-saat mendatang orang itu hadir pula dalam pertempuran, maka
keadaan Sangkal Putung pasti akan sangat berbahaya. Tetapi tiba-tiba Untara
tersenyum, katanya,
“Sumangkar
benar-benar berbahaya bagi kita di sini seandainya ia ikut bertempur bersama Tohpati,
kecuali Kiai Gringsing bersedia menolong kami”
Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Untara itu. Namun kemudian ia
tersenyum sambil menjawab,
“Hem, apakah
aku harus melibatkan diriku langsung dalam pertengkaran antara Pajang dan Jipang?”
“Adalah
menjadi kewajiban kita bersama untuk berbuat demikian Kiai” sahut Untara,
“Seperti
Sumangkar merasa wajib pula untuk melindungi Tohpati”
“Ya, angger
benar. Angger tahu pasti pendirian Sumangkar dalam pertentangan antara Jipang
dan Pajang. Sumangkar adalah orang kedua setelah Mantahun dalam perguruannya,
sedang orang kedua setelah Mantahun dalam tata kelaskaran Jipang adalah Tohpati
itu sendiri. Sehingga mau tidak mau, maka Sumangkar adalah orang yang langsung
berkepentingan atas Tohpati itu. Baik Tohpati sebagai pemimpinnya maupun
Tohpati sebagai murid saudara seperguruannya”
Mendengar
jawaban itu, Untara mengerutkan keningnya. Widura yang duduk di samping Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil memijit-mijit betisnya.
“Ya” desah
Untara,
“Kiai benar.
Seharusnya aku tidak melibatkan Kiai dalam pertentangan yang belum pasti Kiai
setujui. Sebenarnyalah bahwa aku belum tahu pasti pendirian Kiai dalam
pertentangan antara Pajang dan Jipang”
Kiai Gringsing
itu pun tertawa. Sahutnya,
“Jangan menangkap
kata-kataku itu terlalu tajam ngger. Meskipun aku termasuk orang yang menjadi
bersedih hati melihat pertentangan yang berlarut-larut antara orang-orang
Pajang dan orang-orang Jipang, namun aku melihat kenyataan-kenyataan yang kini
berlangsung. Aku pun tidak akan dapat melihat kelaliman dan kekerasan
berlangsung terus-menerus. Aku tidak menutup mata, bahwa laskar Jipang yang
putus asa itu menjadi liar dan berbuat banyak hal yang terkutuk. Karena itu aku
pun tidak akan mengingkari tugasku untuk membantu mencegah perbuatan-perbuatan
itu”
Tiba-tiba
wajah Untara dan Widura menjadi cerah. Meskipun Kiai Gringsing tidak
menjanjikan sesuatu dengan jelas, namun apa yang dikatakannya adalah jaminan,
bahwa apabila Sumangkar turut campur pula dalam pertempuran yang akan datang,
dalam setiap pertempuran yang pasti akan berlangsung lagi, maka Kiai Gringsing
akan dapat menjadi lawannya yang cukup berbahaya bagi murid kedua setelah
Mantahun dari perguruan Kedung Jati itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar