Jilid 009 Halaman 2


Usaha yang sia-sia dan putus asa ini pun akan berjalan semakin lama pula. Korban yang berjatuhan akan menjadi semakin banyak. Korban-korban dari mereka yang sama sekali tidak tahu sudut tepinya peristiwa antara Pajang dan Jipang. Karena itu, ketika diketahuinya Tohpati menjadi ragu-ragu maka Sumangkar itu pun menjadi cemas. Sehingga ketika Tohpati tidak segera menjawab, berkatalah Sumangkar sambil tertawa lirih,
“Sebuah dongeng yang bagus Kakang Tambek Wedi.”
Tambak Wedi terkajut mendengar tanggapan Sumangkar itu. Karena itu, maka segera wajahnya menjadi tegang. Suaranya pun menjadi tegang pula. Katanya,
“Adi Sumangkar. Apakah adi tidak percaya pada muridku, murid Ki Tambak Wedi.”
“Kakang, bagaimana aku akan percaya. Ingatkah kakang apa yang telah kakang lakukan pada saat-saat ki Patih Mantahun terjepit antara dua pasukan Pajang yang kuat, yang dipimpin langsung oleh Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi, segera sepeninggal Arya Penangsang. Alangkah ngerinya. Patih itu berjuang mati-matian tanpa mengenal takut meskipun usianya telah lanjut. Nah, apa kerjamu waktu itu Ki Tambak Wedi? Seandainya kau tidak meninggalkannya waktu itu, setidak-tidaknya Patih Mantahun akan dapat meloloskan dirinya.”

Wajah Tambak Wedi menjadi merah semerah bara. Untunglah malam yang remang-remang telah melindunginya, sehingga perubahan wajah itu tidak segera diketahui oleh Tohpati. Namun demikian terasa dadanya bergetar dan suaranya pun gemetar pula.
“Adi. Adi terlalu berparasangka. Aku sudah menasehatkan untuk meninggalkan pertempuran kepada kakang Mantahun waktu itu. Tetapi ia menolak.”
Mendengar jawaban Tambak Wedi Sumangkar tertawa. Dengan menengadahkan wajahnya ia berkata,
“Kata-katamu aneh kakang. Pada saat perang antara Jipang dan Pajang pecah, setelah Arya Penangsang gagal membunuh Karebet karena ia memiliki Aji Lembu Sekilan, maka kau hampir-hampir tak pernah tampak lagi di Kepatihan Jipang. Apalagi setelah laskar Jipang terdesak dan Arya Penangsang terbunuh. Sehingga tidak mungkin kau berada di sekitar Kakang Mantahun pada saat menjelang ajalnya. Ketahuilah, bahwa Kakang Mantahun meninggal dalam pangkuanku, setelah menyingkir dari peperangan. Namun laskar Pajang berhasil merebut jenazahnya.”
Tubuh Tambak Wedi menjadi gemetar menahan marah. Meskipun demikian ditenangkannya hatinya sejauh mungkin. Ia masih mengharap Macan Kepatihan menerima muridnya. Karena itu, maka katanya,
“Angger Macan Kepatihan, terserahlah dalam penilaian angger. Tetapi kalau angger mau bekerja bersama Sidanti, maka aku janjikan bahwa tenagaku akan aku serahkan pula. Angger pasti percaya, bahwa Untara, Widura, Agung Sedayu dan siapa lagi, biarlah mereka maju bersama-sama, maka mereka akan terbunuh olehku, asal laskar Jipang membebaskan aku dari laskar Pajang yang pasti akan membantu pemimpin-pemimpinnya”
Dentang jantung Tohpati seakan-akan menjadi semakin cepat. Sekali-sekali dipalingkannya wajahnya memandang Sumangkar, namun Sumangkar tidak sedang memandangnya. Bahkan Sumangkar itu agaknya benar-benar menyerahkan persoalan itu kepadanya. Namun percakapan Ki Tambak Wedi dan Sumangkar telah memberinya banyak bahan. Dikenangnya apa yang pernah dilakukan oleh Ki Tambak Wedi itu atas gurunya, Patih Mantahun. Dikenangnya pula saat Sidanti datang menyongsongnya, benar-benar bukan sedang bermain-main. Dikenangnya bentuk mayat Plasa Ireng yang sobek di punggungnya arang kranjang. Ya, dikenangnya semuanya. Sehingga kemudian Tohpati itu menjawab,
“Paman Tambak Wedi, aku tidak dapat percaya, bahwa Sidanti akan melakukan kerjasama yang jujur. Pada saat Adipati Jipang sedang berusaha merebut kekuasaan dengan kekuatan yang agaknya cukup, paman berada di pihak kami. Tetapi demikian Jipang terdesak oleh kekuatan Pajang yang tak terduga-duga, murid paman itu berada di pihak Pajang. Apakah sekarang ada persoalan baru yang telah menyebabkan Sidanti berbalik pendirian lagi?”
“Sudah aku katakan sebabnya ngger, bukan benar-benar berpihak pada Untara”
Tohpati menggeram, kemudian katanya sambil menggeleng,
“Aku semakin yakin, bahwa kejujurannya tidak dapat dipercaya. Mungkin ia berselisih dengan Untara atau dengan Widura. Jangan disangka bahwa aku akan terjebak”

Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram keras. Tubuhnya menjadi semakin gemetar oleh kemarahannya yang semakin memuncak. Namun lebih dari Ki Tambak Wedi yang sudah tua itu, Sidanti tidak dapat melawan kemarahannya. Karena itu dengan lantang ia mendahului gurunya,
“Guru. Kenapa kita harus mengemis belas kasihannya?”
Mendengar kata-kata Sidanti itu, maka telinga Macan Kepatihan serasa tersentuh api. Sekali ia menggeretakkan giginya, kemudian setapak ia melangkah maju sambil menunjuk wajah Sidanti,
“Kau ternyata lebih jantan dari gurumu. Nah, sekarang bersikaplah jantan untuk seterusnya”
“Baik” sahut Sidanti dengan beraninya. Diangkatnya dadanya sambil berkata,
“Aku juga memiliki harga diri, Tohpati yang perkasa. Jangan disangka, bahwa hidup matiku ada di tanganmu”
Ki Tambak Wedi pun kemudian telah benar-benar kehilangan setiap kesempatan untuk menggabungkan Sidanti pada kekuatan Tohpati untuk membalas dendam kepada Untara beserta laskarnya. Alangkah kecewanya ketika semua rencananya dapat ditebak oleh Sumangkar, dan karena itu, maka di dalam hatinya, Ki Tambak Wedi itu mengumpat tiada habisnya. Diumpatinya Sumangkar, dan bahkan Ki Tambak Wedi itu berjanji, bahwa Sumangkar itu harus dilenyapkannya. Kini muridnya telah kehilangan kesabaran dan merasa tersinggung harga dirinya. Maka keadaan akan dapat berkembang ke arah yang tidak dikehendakinya. Namun ia tidak perlu pengkhawatirkan Sidanti. Selama ini anak muda itu telah ditempanya terus menerus. Mudah-mudahan telah dicapainya suatu tingkatan yang dapat menyamai Macan Kepatihan itu. Bukankah pada saat mereka bertempur di Sangkal Putung, kekuatan mereka tidak terpaut terlalu banyak. Ki Tambak Wedi itu pun bahkan dengan bernafsu mendorong muridnya untuk masuk ke dalam pertengkaran yang lebih dalam, sehingga ia akan mendapat kesempatan untuk membinasakan Sumangkar yang telah merusak segenap rencananya.
Macan Kepatihan itu pun menjadi marah bukan buatan. Tangannya pun kemudian menjadi gemetar dan dengan serta-merta ia berkata,
“Siapkan senjatamu. Tohpati akan mengayunkan tongkatnya pada gerakan yang pertama”

Sidanti tidak menjawab. selangkah ia meloncat ke samping, ditatapnya Tohpati dengan tajamnya, dan tiba-tiba kedua tangannya telah menggenggam dua belah pedang pendek. Dalam pada itu Ki Tambak Wedi berkata,
“Angger Tohpati, aku tidak mengharapkan perkelahian ini. Tetapi aku tidak dapat menyalahkan muridku. Sebagai murid lereng Merapi, ia tidak akan bersedia menelan hinaan”
“Persetan” sahut Tohpati,
“Dengan membunuhmu maka aku akan mengurangi kekuatan Sangkal Putung”
Sidanti sama sekali tidak berkata apapun. Kedua pedangnya bersilangan di muka dadanya.
Namun Tohpati masih juga menggeram,
“Manakah senjatamu yang mengerikan itu?”
Sidanti masih tetap diam. Hanya di dalam hatinya ia berkata,
“Peduli apa kau dengan senjata yang tertinggal di Sangkal Putung itu. Tetapi ternyata aku cukup kuat dengan senjata yang sepasang ini sekuat senjata yang aneh itu”
Kediaman Sidanti benar-benar telah membangkitkan luapan kemarahan Tohpati tiada taranya. Karena itu segera ia meloncat dan menyerang Sidanti dengan tongkat baja putihnya. Tetapi Sidanti telah benar-benar bersiap. Ketika tongkat baja Tohpati terayun ke kepalanya, Sidanti sama sekali tidak berkisar dari tempatnya. Sidanti itu telah pernah bertempur dengan Tohpati sehingga kekuatan Tohpati telah diketahuinya. Sidanti yakin bahwa selama ini Tohpati pasti tidak akan sempat memperdalam ilmunya, selain yang telah dimilikinya. Karena itu sengaja ia tidak mengelak, tetapi dibenturnya serangan itu dengan kedua pedang pendeknya. Dengan pedang itu Sidanti ingin menunjukkan, bahwa kini kekuatannya tidak lagi seperti beberapa waktu yang lalu, setelah dengan tekun ia melatih diri sejak ia meninggalkan Sangkal Putung. Lukanya yang tidak terlalu parah segera dapat disembuhkan oleh Ki Tambak Wedi. Dalam pada itu Sidanti yang menyimpan dendam di hatinya, segera berusaha untuk menambah ilmunya. Dendam kepada Untara dan orang-orang Sangkal Putung itu harus ditumpahkan. Kini tiba-tiba Sidanti menemukan lawan yang tidak disangka-sangka. Namun lawan ini pun sedahsyat orang yang didendamnya. Karena itu maka disadarinya, bahwa ia harus berjuang sekuat-kuat tenaganya. Ketika tongkat baja putih Tohpati membentur kedua pedang pendek Sidanti, terdengarlah gemerincing senjata-senjata itu. Suaranya membelah sepi malam, membentur ujung rimba. Demikian dahsyatnya sehingga bunga-bunga api memercik ke udara. Tohpati terkejut mengalami benturan senjata itu. Apalagi ketika dilihatnya Sidanti tetap di tempatnya, dan kedua senjatanya masih di tangannya. Bahkan kemudian terdengar anak muda murid Ki Tambak Wedi itu menggeram.

Alangkah marahnya Macan Kepatihan. Terasa bahwa kekuatan Sidanti telah meningkat. Anak muda itu kini dapat mengimbangi kekuatannya yang disalurkan pada ayunan tongkat putihnya. Namun apa yang terjadi adalah suatu peringatan baginya, bahwa lawannya kini bukanlah Sidanti beberapa saat yang lampau. Meskipun demikian, sebenarnya tangan Sidanti yang melawan tongkat baja putih Macan Kepatihan, merasakan arus kekuatan yang hampir melontarkan pedang-pedangnya. Namun dengan menggeretakkan giginya, ia berhasil menahan senjata-senjata itu, meskipun tangannya terasa nyeri. Dengan demikian, maka Sidanti merasa, bahwa kekuatan Macan Kepatihan masih belum dapat dikembarinya, namun ia masih dapat membanggakan kelincahannya dan ketajaman ujung pedangnya. Dengan sentuhan-sentuhan kecil, ia akan dapat merobek kulit Macan Kepatihan itu. Namun apabila ia tersentuh kepala tongkat Tohpati yang kekuning-kuningan dan berbentuk tengkorak itu, maka tulang-tulangnya pun akan dipecahkan. Maka mereka segera terlibat dalam sebuah perkelahian yang sengit. Sidanti yang lincah meloncat-loncat di sekitar lawannya, seakan-akan bayangan hantu yang sedang menari-narikan sebuah tarian maut. Namun lawannya adalah seekor harimau yang garang. Betapa Macan Kepatihan itu dengan tangguhnya melawan sambaran-sambaran pedang Sidanti. Dilindunginya dirinya dengan tongkat putihnya, dan sekali-sekali tongkatnya terjulur mematuk tubuh lawannya. Namun Sidanti benar-benar seperti bayangan yang tidak dapat disentuhnya. Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin cepat. Macan Kepatihan yang garang itu pun menjadi semakin garang, sedang Sidanti yang lincah menjadi semakin lincah. Kedua senjatanya dengan cepatnya menyambar seakan-akan dari segala penjuru. Dengan kelincahannya, sekali-sekali ujung pedangnya berhasil menyentuh tubuh Tohpati meskipun hanya seujung rambut. Namun ujung rambut yang runcing itu telah berhasil menggores kulit dan bahkan telah berhasil meneteskan darah. Tetapi darah yang menetes dari luka itu bahkan telah membakar kemarahan Tohpati. Wajahnya yang membara seakan-akan menyala dalam kegelapan. Sehingga tandangnya pun menjadi semakin dahsyat.
Ki Tambak Wedi untuk sesaat berdiri mematung melihat muridnya bertempur. Mula-mula ia masih juga ragu-ragu, apakah Sidanti dapat mengimbangi Tohpati. Namun kemudian ia tersenyum. Ia telah menemukan timbang-berat keduanya. Meskipun Sidanti belum dapat menyamai Tohpati sepenuhnya, namun masih dapat diharapkan, Tohpati berbuat kesalahan-kesalahan kecil yang dapat membantu Sidanti seandainya tidak sekalipun, maka ia tidak perlu terlalu cemas, bahwa muridnya akan dikalahkan oleh lawannya.

Ki Tambak Wedi itu kemudian mengangguk-angguk sambil bergumam,
“Itulah murid Ki Tambak Wedi. He, adi Sumangkar, apakah aku tidak berbangga karenanya?”
Sumangkar yang memperhatikan perkelahian itu berpaling. Jawabnya,
“Ya, kakang dapat berbangga karenanya. Umurnya masih cukup muda, sehingga perkembangannya dihari depan akan menjadi semakin menggemparkan lereng Merapi”
Ki Tambak Wedi tertawa pendek. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya terus ia berkata,
“Siapakah yang akan menang di antara mereka?”
“Aku tidak tahu” jawab Sumangkar pula.
“Mereka memiliki kelebihan sendiri-sendiri. Meskipun demikian, muridmu masih harus belajar sebulan dua bulan lagi dengan tekun, supaya ia dapat mensejajarkan diri dengan angger Macan Kepatihan sepenuhnya. Tetapi meskipun demikian, bukan berarti muridmu kehilangan kesempatan untuk memenangkan perkelahian ini”
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Perkelahian di antara keduanya masih berjalan dengan serunya. Bahkan semakin seru. Seperti angin pusaran mereka berputar-putar. Tetapi semakin seru perkelahian itu semakin nampak, bahwa sebenarnya Tohpati adalah seorang yang pilih tanding.
“Kau lihat perkembangan perkelahian itu?” bertanya Sumangkar.
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya kembali sambil menjawab,
“Apakah kau sedang bergembira karena kau melihat kelemahan muridku?”
“Ya” sahut Sumangkar pendek.
Tiba-tiba Ki Tambak Wedi tertawa. Tertawa berkepanjangan dan sangat menyakitkan telinga. Di antara suara tertawanya terdengar ia berkata,
“Meskipun tampak kekurangan pada muridku, namun ia akan mempunyai cukup waktu untuk menanti aku membunuhmu, adi”
Mendengar suara tertawa dan kata-kata Ki Tambak Wedi, Sumangkar berpaling. Dilihatnya Ki Tambak Wedi masih tertawa dan memandang muridnya yang sedang bertempur itu. Namun Sumangkar sama sekali tidak terkejut.
“Kau mendengar kata-kataku adi?” tiba-tiba Ki Tambak Wedi berteriak,
“Bahwa aku akan membunuhmu?”
Sumangkar mengangguk perlahan, “Ya, aku mendengar” sahutnya.

Namun ancaman Ki Tambak Wedi itu telah mempengaruhi Macan Kepatihan yang sedang bertempur dengan Sidanti, sehingga sambil mengayunkan tongkatnya dengan dahsyatnya ia menggeram,
“Ki Tambak Wedi, biarlah aku menyelesaikan persoalan ini dengan Sidanti. Paman Sumangkar tidak akan ikut campur dalam hal ini”
“Benar ngger, pamanmu Sumangkar tidak ikut campur dalam persoalan ini, tetapi ia pasti menghalangi aku seandainya aku ingin membunuh angger pula bersama-sama dengan muridku. Karena itu maafkan aku ngger. Aku terpaksa membunuhnya. Sesudah itu untuk membunuh Angger Macan Kepatihan yang perkasa akan mejadi semudah seperti membunuh seekor kelinci. Biarlah aku mendapat bintang jasa di dada, atau lebih baik Sidanti yang akan menyebut dirinya telah membunuh Macan Kepatihan. Kepala angger akan kami bawa sebagai bukti pekerjaan yang telah dilakukan oleh Sidanti. Besok Sidanti akan menerima anugerah pangkat Senapati dari Wiratamtama Pajang. Kalau mereka yang membunuh Adipati Jipang mendapat Mentaok dan Pati, maka kami akan memilih daerah di sebelah barat Mentaok, atau daerah Wanakerta di sebelah Pajang. Dari daerah-daerah itu kami akan dapat menguasainya, atau apabila kami mendapat Wanakerta, kami akan langsung menembus jantung Pajang”
“Diam” teriak Tohpati keras sekali. Suaranya mengguntur menyobek kepekatan malam yang sunyi. Namun suara itu ditimpa oleh gelak tertawa Ki Tambak Wedi,
“Bukankah itu suatu rencana yang bagus? Aku lebih berpijak pada kenyataan daripada angger Tohpati. Siapakah yang akan dapat mengalahkan Pemanahan, Penjawi dan Adipati Jipang itu di dalam laskar angger? Ki Tambak Wedi akan dapat menepuk dada melawan mereka. Karena itu jangan menyesal”
“Persetan dengan ocehanmu Tambak Wedi. Tetapi kau benar-benar setan yang licik. Ayo, majulah bersama Sidanti, Macan Kepatihan bukan seorang pengecut”
Suara Ki Tambak Wedi semakin berkepanjangan. Katanya,
“Nah, kenapa angger menolak uluran tangan kami? Kalau kami bekerja bersama, bukankah kami dapat membagi tanah Demak ini? Angger mendapat Jipang, dan kami mendapat Pajang dan Demak beserta daerah pesisir lainnya”
“Kau jangan banyak bicara pemimpi tua. Jipang bukanlah tempat orang-orang yang hanya dapat mengantuk dan mimpi seperti kau. Jipang mempunyai cukup kekuatan untuk melawanmu. Apalagi Tohpati sendiri mampu membunuh kau berdua sekarang ini”
“Jangan sombong ngger, jangan membual. Semakin banyak kau membual, semakin tampak bahwa kau menjadi berputus asa menjelang saat kematianmu yang nista”

Mendengar hinaan itu Macan Kepatihan menjadi marah bukan buatan. Namun karena itu, maka tandangnya menjadi terganggu. Dalam pada itu Sidanti mempergunakan saat itu sebaik-baiknya, menyerang dengan segenap kemampuan dan kelincahannya. Macan Kepatihan menggeram keras sekali untuk melepaskan kemarahan yang seolah-olah akan meledakkan dadanya. Apalagi suara tertawa Ki Tambak Wedi masih saja mengganggunya. Namun di sela suara tertawa Ki Tambak Wedi itu kemudian terdengar Sumangkar berkata,
“Angger Tohpati, kenapa angger menjadi gelisah sehingga murid Tambak Wedi itu mendapat kesempatan untuk memperpanjang nafasnya? Dalam pengamatan kami Raden, maka Sidanti benar-benar sudah hampir mati terjepit oleh kekuatan tongkat angger. Namun karena angger terganggu oleh suara Ki Tambak Wedi, maka Sidanti itu mampu bernafas kembali” Sekali lagi Tohpati menggeram. Kata-kata Sumangkar telah memperingatkannya, bahwa ia telah berbuat kesalahan. Namun dalam pada itu kembali suara Ki Tambak Wedi,
“Suatu peringatan yang baik. Peringatan yang terakhir dari adi Sumangkar. Setelah ini maka adi akan mati aku cekik, dan angger Tohpati akan mati pula untuk kemudian aku penggal lehernya”
Kembali kegelisahan merambat di hati Tohpati. Namun kemudian Sumangkar berkata lantang kepada Tohpati,
“Jangan hiraukan aku ngger. Bukankah aku seorang juru masak yang baik? Karena itu aku selalu membawa golok pembelah kayu ini. Namun sebagai murid Kedung Jati, sebagai saudara seperguruan Patih Mantahun, maka golok ini akan dapat aku pergunakan untuk membelah dada Ki Tambak Wedi yang sombong. Bukankah Sumangkar murid kedua dari perguruan Kedung Jati yang tidak kalah besarnya dari perguruan lereng Merapi?”
“Setan” desis Ki Tambak Wedi. Kini Ki Tambak Wedi itu tidak tertawa lagi. Diamat-amatinya wajah Sumangkar di dalam keremangan cahaya bulan. Wajah itu masih tenang setenang awan yang berlayar lembut dikebiruan langit,
“Kau merasa dirimu setingkat dengan Ki Tambak Wedi?”
Sumangkar tidak menghiraukan pertanyaan itu, namun kepada Tohpati ia berkata,
“Cekiklah Sidanti itu Raden. Sementara itu biarlah aku akan menyumbat mulut pemimpi tua itu dengan golokku”

Ternyata kata-kata Sumangkar itu memberi juga ketenangan pada Macan Kepatihan. Disadarinya kemudian, bahwa Sumangkar adalah saudara seperguruan gurunya sendiri, sehingga karena itu Macan Kepatihan itu tersenyum sendiri atas kegelisahan yang mencengkam dadanya. Kenapa ia mencemaskan nasib Sumangkar juru masak yang malas itu? Ia bukan seorang juru masak kebanyakan. Ia adalah seorang murid dari perguruan Kedung Jati seperti juga gurunya sendiri. Patih Mantahun yang sakti. Dalam pada itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata,
“Cecurut yang malang. Kau benar-benar jemu untuk hidup. Bukankah Ki Tambak Wedi telah terkenal mampu menangkap angin?”
Sumangkar tersenyum, jawabnya,
“Perguruan Kedung Jati terkenal karena murid-muridnya mampu menyimpan nyawa rangkapan di dalam tubuhnya”
Ki Tambak Wedi menggeram penuh kemarahan. Apalagi ketika dilihatnya bahwa Macan Kepatihan telah menemukan keseimbangannya kembali. Sehingga karena itu maka katanya,
“Kau juga pandai membual adi Sumangkar. Kalau murid Kedung Jati dapat menyimpan nyawa rangkap di dalam tubuhnya, maka Patih Mantahun itu tidak akan mati terbunuh meskipun harus bertempur melawan Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi atau Ki Juru Mertani ditambah Hadiwijaya dan Ngabehi Loring Pasar”
Sumangkarlah yang kini tertawa menyakitkan hati. Dengan renyah ia menjawab,
“Kau salah kakang. Mantahun waktu itu hanya membawa nyawa rangkap tiga. Tetapi ia benar-benar harus melawan lima orang sekaligus, Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, Karebet, Juru Mertani dan Sutawijaya dengan Kiai Plered di tangannya. Nah, karena itulah maka ketiga nyawanya terpaksa dilepaskan”
“Setan belang” umpat Ki Tambak Wedi,
“Jangan banyak bicara. Sekarang kau harus dienyahkan”
Sumangkar memutar tubuhnya menghadap Ki Tambak Wedi yang memandanginya seolah-olah biji matanya akan meloncat dari kepalanya. Namun Sumangkar masih tetap dalam ketenangan. Ia tahu, bahwa Ki Tambak Wedi adalah seorang yang sakti pilih tanding. Tetapi ia tidak bernafsu untuk mengalahkannya. Ia hanya harus bertahan, sampai Macan Kepatihan menyelesaikan tugasnya. Setelah itu, maka ia akan dapat menghindar bersama-sama dengan Macan Kepatihan. Dan ia mengharap bahwa ia akan mampu melakukannya, bertahan melampaui ketahanan Sidanti melawan Macan Kepatihan.

Karena itu ketika Ki Tambak Wedi memakinya sekali lagi, berkatalah Sumangkar,
“Kakang, aku sudah siap. Kali ini aku pun membawa nyawa tiga rangkap. Ayo mulailah. Kalau kau berhasil membunuh aku satu kali, maka kedua nyawaku yang lain akan mampu mencekik lehermu itu”
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Sekali ia menggeram dan dengan dahsyatnya ia meloncat menerkam Sumangkar. Namun Sumangkar sudah siap. Meskipun ia belum merasa perlu untuk mempergunakan senjata, namun goloknya tidak dapat diletakkannya dan tidak dapat terus disangkutkannya pada ikat pinggangnya karena tidak berwrangka. Karena itu maka sambil menghindar ia berkata,
“Kakang, sebenarnya aku sama sekali tidak menganggap perlu mempergunakan senjata ini. Namun terpaksa aku harus memeganginya terus supaya senjata ini tidak hilang apabila aku letakkan. Sebab aku sekarang adalah seorang juru masak. Aku perlu golok ini untuk membelah kayu bakar”
Tetapi Sumangkar itu terkejut ketika terasa goloknya menyentuh benda keras di tangan Ki Tambak Wedi. Barulah kini ia sadar. Di dalam kedua tangan hantu lereng Merapi itu tergenggam sepasang gelang-gelang besi. Dengan gelang-gelang itu Ki Tambak Wedi menyambar golok Sumangkar. Namun untunglah Sumangkar cepat menyadarinya, sehingga goloknya tidak terloncat dari tangannya. Dengan demikian, maka Sumangkar tidak dapat lagi berkelahi sambil membual. Ia harus benar-benar bertempur dengan segenap kewaspadaan dan kemampuan yang ada padanya. Maka dalam keremangan cahaya bulan, tampaklah dua lingkaran perkelahian yang semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Tambak Wedi yang menjadi amat marah itu pun bertempur dengan darah yang seolah-olah menyala membakar seluruh tubuhnya. Sumangkar itu adalah sumber kegagalannya malam ini. Kegagalan atas rencananya. Dan kegagalan itu membuatnya sangat marah. Karena itu, maka Ki Tambak Wedi pun segera berusaha untuk menyingkirkan Sumangkar supaya muridnya dapat membunuh Tohpati meskipun ia harus membantunya. Pikirannya yang tiba-tiba saja timbul untuk membunuh Tohpati dan membawa bukti kematian itu ke Pajang, sangat mempengaruhinya. Dengan demikian ia ingin Sidanti akan mendapat kepercayaan melampaui kepercayaannya yang telah didapat Untara, sebab apabila ia berhasil, maka telah membawa bukti kesetiaannya, sedang Untara dan Widura yang telah berjuang berbulan-bulan di Sangkal Putung sama sekali tidak mampu menangkap Macan Kepatihan hidup atau mati.
Tetapi Sumangkar ternyata bukan seorang yang bermalas-malasan saja. Ketika lawannya menjadi semakin dahsyat, maka gerakannya pun menjadi semakin tangguh. Ternyata murid kedua dari perguruan Kedung Jati itu tidak mengecewakan. Ketika terasa olehnya bahwa kedua tangan Ki Tambak Wedi seakan-akan terbalut oleh selapis baja, maka Sumangkar tidak lagi segan-segan mempergunakan goloknya. Meskipun golok itu golok pembelah kayu yang tidak setajam pedang Sidanti, namun di tangan Sumangkar senjata itu merupakan senjata yang cukup berbahaya.

Bulan di langit beredar dengan lambannya. Sepotong-sepotong awan mengalir keutara dihembus angin lembah yang lembut. Betapa dinginnya malam namun keempat orang yang sedang berjuang antara hidup dan mati itu telah basah oleh keringat yang mengalir dari segenap lubang-lubang dipermukaan kulit mereka. Dan ketika tubuh-tubuh mereka telah menjadi basah, maka gerak mereka pun menjadi semakin cepat dan semakin lincah. Sidanti kini benar-benar telah menemukan nilai-nilai baru di dalam tata geraknya. Unsur-unsur yang dapat memberinya kekuatan dan kelincahan. Kakinya melontar-lontar dengan cepatnya membawa tubuhnya yang seakan-akan tidak memiliki berat. Seperti seonggok kapuk yang diputar angin pusaran, sekali melenting tinggi, kemudian menukik menyambar dengan sepasang pedang pendeknya. Tohpati kini terpaksa melawannya dengan sepenuh kemampuannya. Bahkan kadang-kadang ia menjadi bingung melihat gerak Sidanti. Tetapi Macan Kepatihan adalah seorang yang memiliki pengalaman yang sangat luas, sehingga sesaat kemudian ia telah berhasil menemukan keseimbangannya kembali. Meskipun terasa juga, kadang-kadang ujung pedang Sidanti berhasil menggores kulitnya dan meneteskan darahnya, namun kini ia tidak menjadi cemas. Apabila sekali ia mencoba melihat perkelahian antara Ki Tambak Wedi dan Sumangkar, maka terasa olehnya, bahwa keduanya pun mempunyai ilmu yang dapat disejajarkan, sehingga karenanya maka ia tidak perlu memecah perhatiannya, mencemaskan nasib Sumangkar. Demikianlah, mereka berempat telah memeras tenaga masing-masing. Ki Tambak Wedi terpaksa mengakui, bahwa murid kedua perguruan Kedung Jati benar-benar mampu melawannya. Meskipun senjata yang dipergunakan bukanlah senjata ciri perguruan Kedung Jati, namun senjata seadanya itu benar-benar dapat membantu Sumangkar memperpanjang umurnya. Golok yang kehitam-hitaman di tangannya itu, berputaran, sekali mematuk, sekali menebas menyambar seperti hendak menebang roboh tubuh Ki Tambak Wedi itu. Namun hampir disetiap kesempatan Ki Tambak Wedi dengan beraninya memukul golok lawannya dengan tangannya yang terlindung oleh sepasang gelang baja. Dalam benturan-benturan yang terjadi itu, maka menyalalah bunga api memercik ke udara. Setiap kali terjadi benturan, senjata Sumangkar, golok pembelah kayunya mengalami luka dibagian tajamnya, sehingga kemudian mata golok yang memang bukan senjata buatan khusus itu, menjadi semacam mata gergaji. Namun dengan demikian, maka setiap goresan akan mampu menyobek kulit dengan bekas yang tersayat-sayat.

Ki Tambak Wedi pun kemudian terpaksa berjuang dengan sengitnya untuk segera mengalahkan Sumangkar. Namun Sumangkar tidak mau menerima keadaan dengan kedua tangan ngapurancang, Tetapi sepasang tangannya berjuang sekuat-kuat tenaganya, tenaga murid kedua perguruan Kedung Jati. Goloknya kadang-kadang menyambar dalam genggaman tangan kanannya, namun kemudian mematuk dalam kelincahan tangan kirinya.
“Demit, tetekan” Ki Tambak Wedi tak habis-habisnya mengumpat. Tetapi lawannya sama sekali tidak takut mendengar umpatan itu, bahkan dengan serunya Sumangkar melawannya tanpa mengenal lelah.
Keduanya adalah orang-orang sakti yang pilih tanding. Keduanya adalah orang-orang tua yang telah hampir merasa dirinya harus beristirahat dan menyerahkan segala persoalan kepada mereka yang masih muda. Namun pada saat-saat terkhir, mereka masih harus melindungi anak-anak muda yang mereka anggap akan dapat meneruskan umur mereka. Ki Tambak Wedi, seorang guru yang terlalu bangga akan muridnya dan terlalu jangkaunya, sedang Sumangkar melihat Tohpati adalah penerus perguruannya, lewat kakak seperguruan. Karena itu maka seandainya anak muda itu lenyap, lenyap pulalah ajaran-ajaran perguruan Kedung Jati yang pernah terkenal karena orang menyangka bahwa murid-murid perguruan Kedung Jati tidak dapat mati, karena memiliki nyawa rangkap. Sedang perguruan lereng Merapi yang terkenal seakan-akan setiap muridnya mampu menangkap angin.

Di pihak lain, Sidanti bertempur dengan sepenuh tekad melawan Macan Kepatihan. Kali ini ia akan menebus kekalahannya pada saat ia berhadapan dengan Macan Kepatihan itu. Seperti juga gurunya, ia benar-benar ingin membunuh Tohpati. Membawa kepalanya ke Pajang dan mengharap hadiah daripadanya, seperti hadiah yang akan diterima oleh mereka yang berhasil membunuh Arya Penangsang, tanah mentaok dan Pati. Kalau ia membunuh Macan Kepatihan, maka setidak-tidaknya ia akan menerima hadiah separo dari mereka yang membunuh Arya Penangsang. Dengan harapan itu, serta pangkat yang akan melampaui pangkat Untara, maka Sidanti berjuang sekuat-kuat tenaganya. Namun ternyata Macan Kepatihan tidak menyerahkan lehernya begitu saja. Bahkan semakin lama Tohpati seakan-akan menjadi semakin segar. Tongkatnya menjadi semakin cepat bergerak menyambar-nyambar seperti burung garuda yang bertempur di udara. Mula-mula Sidanti berbangga dengan kemenangan-kemenangan kecilnya. Ketika sekali dua kali ujung pedangnya mampu meneteskan darah dari tubuh Tohpati. Namun kemudian terasa, bahwa kulitnya pasti menjadi merah biru pula. Setiap sentuhan ujung tongkat Macan Kepatihan yang berbentuk tengkorak itu, seakan-akan benar-benar memecahkan tulangnya. Meskipun ia selalu dapat menghindarkan dirinya dari benturan langsung, atau dengan sepasang senjatanya menghentikan ayunan tongkat lawannya, namun terasa tongkat itu menyengat-nyengat tubuhnya semakin lama semakin sering. Sehingga dengan demikian, maka Sidanti kemudian tidak lagi dapat membanggakan kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Betapa ia menjadi semakin lincah di saat-saat terakhir, namun lawannya pun ternyata cukup tangguh untuk mengimbanginya. Karena itulah maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru. Ketika bulan menjadi semakin merendah ke garis cakrawala di ujung barat, maka mereka yang bertempur itu semakin ngetok kekuatan. Mereka tidak mau masing-masing menjadi korban dari perkelahian itu, dan mereka masing-masing berusaha untuk mengalahkan lawannya sebelum pasangannya dapat dikalahkan. Tetapi kemudian, perkelahian itu menjadi terganggu karenanya. Di kejauhan mereka melihat tiga bayangan yang bergerak-gerak dalam keremangan cahaya bulan. Tiga bayangan manusia yang datang mendekat daerah perkelahian itu.

Baik Ki Tambak Wedi maupun Sumangkar bertanya-tanya di dalam hati mereka, siapakah mereka, orang-orang yang mendatangi itu. Tohpati dan Sidanti pun kemudian melihat mereka pula. Karena itu, maka mereka menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak dapat menghentikan perkelahian itu. Perkelahian itu adalah perkelahian antara hidup dan mati. Namun kalau yang datang itu kawan dari salah satu pihak, maka keseimbangan perkelahian itu akan terganggu. Sesaat Tohpati menggeram keras sekali. Tiba-tiba ia memperketat tekanannya. Ia melihat satu tenaga cadangan yang akan mampu mempercepat penyelesaiannya. Kalau ia mengerahkan tenaganya dan berhasil, maka perkelahian itu akan menjadi semakin cepat selesai. Tetapi kalau tidak, maka akibatnya ia akan menjadi lebih dahulu kelelahan dan mungkin ia akan menjadi korban. Namun ia tidak dapat berbuat lain. Ketiga bayangan yang menjadi semakin dekat itu benar-benar mengganggunya. Akibatnya terasa pula oleh Sidanti. Serangan Macan Kepatihan menjadi bertambah dahsyat. Sedahsyat angin prahara yang melanda tebing pegunungan, menggetarkan pepohonan dan menggugurkan daun-daunnya. Sekali Sidanti terpaksa meloncat surut, namun Tohpati mengejarnya terus. Serangan Sidanti itu serasa benar-benar menyusup dari segenap arah, mematuk seluruh bagian tubuhnya. Dengan demikian maka Sidanti pun terseret ke dalam pencurahan segenap tenaga, segenap kekuatan dan segenap kemampuannya. Namun, meskipun demikian, maka amat sulitlah baginya untuk segera dapat membebaskan diri dari belitan serangan Tohpati yang seperti lesus itu. Pada saat-saat terakhir, Ki Tambak Wedi sebenarnya telah menemukan segi-segi lawannya. Betapapun saktinya Sumangkar, namun pada orang tua itu masih terdapat beberapa kelemahan. Apalagi ketika pada saat-saat terakhir ia lebih senang tinggal di dapur saja, maka nafsunya untuk bertempur tidak sehangat Ki Tambak Wedi lagi. Meskipun Sumangkar mampu mengimbangi hampir setiap usaha Ki Tambak Wedi untuk menembus pertahanannya, namun lambat laun, terasa bahwa Ki Tambak Wedi masih selapis berada di atas Sumangkar. Tetapi pada saat yang demikian, pada saat Ki Tambak Wedi memperkuat tekanannya untuk segera mengakhiri perkelahian itu, supaya ia sempat memenggal leher Tohpati, maka pada saat yang demikian itu pula, Sidanti terpaksa beberapa kali beringsut surut.
“Gila” desis Ki Tambak Wedi itu,
“Macan Kepatihan benar-benar berkelahi seperti seekor harimau jantan yang garang”

Dengan menggeram keras sekali ia mencoba mengakhiri perkelahiannya dengan Sumangkar, ketika dengan tangan kirinya ia memukul golok Sumangkar ke samping, dan dengan tangannya yang lain, Ki Tambak Wedi berusaha memecahkan kepala lawannya itu. Namun usahanya masih belum berhasil, Sumangkar masih mampu menggenggam golok itu di tangannya, dan masih mampu melontar ke samping sambil merendahkan dirinya, sehingga tangan Ki Tambak Wedi yang berlapis baja itu terbang beberapa jari dari kepalanya. Sesaat kemudian ketika Ki Tambak Wedi berusaha menerkamnya, maka Sumangkar sudah mampu mempersiapkan dirinya, dan menjulurkan goloknya di muka dadanya. Bahkan kemudian ketika Ki Tambak Wedi mengurungkan serangannya, Sumangkarlah yang meloncat maju dengan sebuah ayunan pendek. Namun kembali Ki Tambak Wedi mengumpat di dalam hatinya. Kini ia benar-benar melihat muridnya dalam kesulitan. Karena itu maka mau tidak mau ia harus membagi perhatiannya. Namun karena orang tua itu memiliki pengalaman yang bertimbun-timbun di dalam perbendaharaan ilmunya, maka segera ia menemukan jalan untuk menyelamatkan muridnya tanpa mengorbankan kehormatannya. Dengan lantang kemudian ia berkata,
“Ayo, meskipun Macan Kepatihan bukan muridmu Sumangkar, namun ia adalah murid saudara seperguruanmu, sehingga ilmumu berdua bersumber dari perguruan yang sama. Kalau ternyata kau tidak mampu melawan aku seorang diri, marilah, aku beri kesempatan kalian bertempur berpasangan. Muridku pasti akan senang juga melayanimu dengan cara itu”
“Kau licik” sahut Sumangkar,
“Agaknya kau telah melihat bahwa muridmu telah hampir sampai pada titik ajalnya”
“Persetan, aku sobek mulutmu itu”
“Silakanlah kakang” jawab Sumangkar.

Ki Tambak Wedi menggeretakkan giginya. Namun ia tidak merubah rencana. Langsung ia melepaskan Sumangkar dan berlari ke arah Sidanti yang semakin terdesak. Dengan demikian maka Sumangkar tidak dapat berbuat lain daripada berlari pula mengejar Ki Tambak Wedi itu. Sesaat kemudian maka mereka terlibat dalam pertempuran berpasangan. Mula-mula Sumangkar dan Tohpati agak canggung juga menyesuaikan diri masing-masing, namun karena mereka bersumber pada ilmu yang sama, maka segera mereka menemukan titik-titik yang dapat membuka kemungkinan-kemungkinan seterusnya. Dalam pada itu, ketika mereka telah luluh dalam satu lingkaran perkelahian, maka bayangan yang datang mendekati mereka menjadi semakin dekat. Mereka berjalan perlahan-lahan dengan penuh kebimbangan. Setapak mereka maju, dan sesaat mereka berhenti. Sejenak mereka maju lagi, namun dua tiga langkah mereka kembali tegak mengawasi perkelahian yang semakin seru.
“Mereka bertempur berpasangan” berkata salah seorang dari mereka.
“Ya. Salah satu pihak sedang mencari keseimbangan” jawab yang lain.
“Siapakah mereka?”
Tak seorang pun yang dapat menjawab. Namun salah seorang dari mereka berkata,
“Marilah kita mendekat”
Mereka berjalan maju lagi. Langkah mereka terayun satu-satu di antara rumput-rumput liar. Ragu-ragu dan penuh kewaspadaan, Namun kemudian mereka berhentu pada jarak yang tidak terlalu dekat.
“Dahsyat” terdengar salah seorang bergumam.
“Ya” sahut yang lain.
Dan yang lain lagi berkata,
“Aku sangka, mereka adalah guru dan murid saling berpasangan. Dua perguruan bertemu di padang rumput ini”
Namun sesaat kemudian mereka bertiga mengerutkan kening mereka. Hampir bersamaan mereka dapat melihat semakin jelas ketika mereka sudah menjadi lebih dekat lagi.
Perlahan-lahan di sela deru angin malam terdengar salah seorang berdesis,
“Macan Kepatihan”

Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tongkat baja putihnya, yang berkilat-kilat di keremangan cahaya bulan yang hampir tenggelam telah menunjukkan kepada mereka, siapakah salah seorang dari mereka yang sedang bertempur itu. Namun kemudian timbullah kebimbangan di hati mereka bertiga. Salah seorang berkata,
“Macan Kepatihan bertempur berpasangan. Siapakah yang seorang itu? Bukankah guru Macan Kepatihan itu Patih Mantahun? Dan Patih Mantahun itu telah mati terbunuh?”
Salah seorang bergumam lirih,
“Perguruan Kedung Jati terkenal, bahwa murid-muridnya mampu menyimpan nyawa rangkap di dalam tubuhnya”
“Aku juga mendengar itu” sahut yang lain.
Tetapi yang seorang lagi tertawa perlahan-lahan. Gumamnya,
“Sebuah dongeng untuk menidurkan anak-anak di senja hari”
Kedua orang yang lain saling berpandangan sesaat, seolah-olah mereka tidak mengerti, kenapa yang seorang itu sama sekali tidak menaruh perhatian atas berita tentang nyawa yang rangkap itu.
“Apakah kalian percaya bahwa ada seorang yang mampu menyimpan nyawa rangkap di dalam dirinya? Aji Pancasona barangkali? Nah, kalau kalian percaya, atau setidak-tidaknya bimbang akan hal itu, mulailah sejak ini menganggap bahwa itu hanya sebuah dongengan semata-mata. Dan hal itu pun terbukti pula, bahwa Patih Mantahun tidak lagi bangkit dari kuburnya”
Kedua orang yang lain kini berdiam diri. Namun mata mereka tajam menatap pasangan-pasangan yang sedang bertempur dengan serunya. Dalam keremangan cahaya bulam, maka mereka seolah-olah hanya melihat bayangan-bayangan hitam yang berputaran dan berbenturan, di sela-sela cahaya keputih-putihan yang memantul dari tongkat putih Macan Kepatihan dan sekali-sekali gemerlapnya pedang Sidanti. Golok Sumangkar yang kehitam-hitaman bahkan di sana sini tampak berkarat, sama sekali tidak mampu memantulkan cahaya bulan yang semakin rendah.
“Apakah kalian ingin melihat lebih jelas?” terdengar salah seorang bertanya.
“Marilah Kiai” jawab yang lain.

Orang yang mengajak itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kainnya yang bercorak gringsing menutupi sebagian tubuhnya sedang kedua orang yang lain, berjalan di belakangnya dengan penuh kewaspadaan. Mereka adalah dua orang anak muda yang sebaya. Yang seorang bertubuh sedang dan yang lain pendek gemuk hampir bulat. Di lambung mereka masing-masing tergantung sehelai pedang. Namun di lambung orang yang berjalan di paling depan dan bahkan kedua anak-anak muda itu, melingkar sebuah cambuk yang bertangkai pendek dan berujung janget. Ternyata orang yang pertama, yang berkain gringsing itu, telah menuntun mereka untuk mempergunakan senjata, ciri perguruannya, di samping senjata yang disukainya. Cambuk yang bertangkai tidak lebih dari sejengkal dan ujungnya berjuntai agak panjang, terbuat dari tambang kulit yang sangat kuat beranyam rangkap tiga ganda. Lemas namun kuatnya bukan main.
Tiba-tiba orang yang berkain gringsing itu berkata,
“Kemarilah ngger”
Kedua anak muda yang berjalan di belakangnya segera berdiri di sampingnya sebelah menyebelah.
“Apakah kalian kenal yang seorang lagi?”
Keduanya mengerutkan kening mereka dan mempertajam pandangan mata mereka. Tiba-tiba mereka berdesis,
“Sidanti”
“Ya, Sidanti” berkata orang yang berkain gringsing,
“Yang seorang pasti Ki Tambak Wedi”
Dua orang anak muda, Agung Sedayu dan Swandaru, mengangguk-anggukkan kepala mereka. Perlahan-lahan mereka berdesis,
“Kiai, lalu siapakah yang seorang lagi, pasangan Macan Kepatihan itu?”
Kiai Gringsing, yang oleh murid-muridnya lebih dikenal dengan nama Ki Tanu Metir menjawab,
“Aku belum tahu, siapakah orang itu. Aku masih belum dapat mengenalnya. Seandainya ia adalah seorang yang telah pernah terkenal di daerah ini, atau daerah Pajang, mungkin aku dapat menyebut namanya”

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kini mereka menjadi semakin berani. Apabila salah satu pihak dari mereka adalah Sidanti dan Ki Tambak Wedi, sedang di pihak lain dalam keadaan yang seimbang melayaninya, maka bersama guru mereka, mereka tidak akan menjadi cemas lagi siapa pun yang sedang bertempur itu. Karena itu maka Agung Sedayu kemudian berkata,
“Marilah kita dekati Kiai. Aku ingin melihat dengan pasti siapakah yang tengah bertempur itu”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia menjawab,
“Marilah. Tetapi berhati-hatilah. Siapa tahu bahwa mereka akan memilih lawan. Dan pilihan itu jatuh kepada kita”
Swandaru tersenyum. Selangkah ia maju. Tetapi ia segera berhenti ketika ia melihat perkelahian itu cepat bergeser dari tempatnya.
“Kenapa?” desisnya.
“Apakah ada perubahan dari keseimbangan mereka?”
Tetapi ternyata perkelahian itu segera berjalan kembali dengan sengitnya.
Mereka hanya bergerak sekedar menemukan bentuk yang baru dari daerah perkelahian serta letak pasangan dari antara mereka. Namun waktu yang sesaat itu telah menggoncangkan hati Kiai Gringsing. Pada saat yang demikian itu, ia mengenal, siapakah seorang lagi, yang selama ini menjadi teka-teki di antara murid-muridnya. Namun untuk meyakinkannya, ia dengan serta-merta melangkah maju lagi beberapa langkah, sehingga jarak mereka menjadi semakin dekat, bahkan terlalu dekat. Yang sedang bertempur itu pun kemudian terkejut melihat kehadiran mereka yang terlalu dekat itu. Apalagi dengan demikian segera mereka mengenal siapakah orang-orang yang datang mendekat. Yang pertama-tama berteriak di antara mereka adalah justru Ki Tambak Wedi, “He, orang yang menamakan diri Kiai Gringsing, apakah kerjamu di sini?”
Kiai Gringsing tidak menjawab. Matanya sedang menekuni gerak seorang lagi di antara mereka yang selama ini tak pernah disangkanya akan bertemu kembali. Tiba-tiba terdengar ia bergumam,
“Sumangkar, murid kedua dari perguruan Kedung Jati”
“He, siapakah kau?” sahut Sumangkar yang mendengar namanya disebut-sebut.
“Bertanyalah kepada Ki Tambak Wedi” sahut Kiai Gringsing
“Aku mendengar ia menyebutmu Kiai Gringsing. Siapakah sebenarnya kau ini?”
“Itulah aku sebenarnya”
Sumangkar masih mau berkata lagi. Tetapi tiba-tiba terdengar Tohpati berteriak,
“He, bukankah kalian orang-orang yang aku temukan di tengah kali itu? Yang gemuk itu, yang satunya dan apakah kau orang tua itu pula?”
“Ya, akulah itu” jawab Kiai Gringsing.

Ternyata dada Tohpati berdesir mendengar pengakuan itu, meskipun hal itu telah diketahuinya atau setidak-tidaknya telah digambarkannya. Sehingga karena itu ia berkata,
“Aku sudah menyangka. Kalau aku tahu bahwa kalian orang-orang aneh dari Sangkal Putung, maka pada saat itu kalian pasti telah aku bunuh”
“Apa salah kami?” teriak Kiai Gringsing,
“Dan karena itu pula agaknya waktu itu kami tidak mengaku orang-orang aneh”
“Gila!” teriak Tohpati,
“Jangan mengigau, nanti akan datang giliran kalian untuk aku bunuh setelah musuh-musuhku ini mati”
Yang terdengar adalah suara tertawa Ki Tambak Wedi. Sementara itu mereka basih bertempur dengan serunya. Dan di antara derai tertawa itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata,
“Jangan sombong Macan Kepatihan yang gagah perkasa. Mungkin kalian berdua mampu membunuh kami, tetapi orang-orang itu?”
Macan Kepatihan benar-benar terkejut mendengar kata-kata Ki Tambak Wedi yang biasanya terlalu menyombongkan diri. Tetapi ia tidak segera bertanya lagi. Tekanan Ki Tambak Wedi bahkan menjadi semakin mendesak. Dalam kesibukan perkelahian itu yang terdengar kemudian adalah geram Sidanti penuh kemarahan,
“Agung Sedayu, musuh bebuyutan, apakah kau sudah jemu hidup sehingga kau berani mendatangi tempat ini, dimana aku dan guruku sedang berpesta? Kedatanganmu akan merupakan hadiah terbesar bagiku sesudah kepala Tohpati malam ini”
Ketika Agung Sedayu hampir membuka mulutnya untuk menjawab maka terasa lengannya digamit oleh gurunya. Dengan serta-merta ia mengurungkan niatnya sambil berpaling kepada gurunya, untuk mendapat penjelasan. Namun Kiai Gringsing itu hanya mengangkat dagunya ke arah perkelahian itu. Dalam kebimbangan Agung Sedayu menuruti arah itu. Barulah kemudian ia tahu maksud gurunya, bahwa kata-kata Sidanti itu pasti akan menyinggung perasaan Tohpati pula. Dan Kiai Gringsing mengharap biarlah Macan Kepatihan itulah yang menjawab.
Sebenarnyalah kemudian Macan Kepatihan menggeram,
“Gila kau Sidanti, kau sangka bahwa Macan Kepatihan sama murahnya dengan kepalamu?”
“Jangan marah ngger” sahut Ki Tambak Wedi, “Sidanti hanya berkata sebenarnya”

Betapa marahnya Macan Kepatihan mendengar penghinaan itu. Namun kemudian terdengar Sumangkar berkata tenang,
“He orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing, kau lihat, bahwa di tempat ini terjadi dua macam perkelahian? Yang pertama perkelahian jasmaniah. Kami masing-masing telah bertempur dengan sekuat-kuat tenaga kami, namun belum ada di antara kami yang dapat dikalahkan oleh pihak yang lain, Sedang perkelahian yang kedua adalah perkelahian mulut. Kami masing-masing mencoba saling menyombongkan diri kami. Kami masing-masing berkata bahwa kami akan membunuh lawan-lawan kami. Kalau itu mampu lakukan, maka sudah pasti kami lakukan. Tetapi ternyata seperti yang kau lihat. Kami masih bertempur mati-matian sehingga kami harus tertawa mendengar suara kami sendiri. Karena itu Kiai, kalau Kiai masih ingin menonton, menontonlah dengan tenang. Waktu masih panjang. Kalau ada di antara kami yang akan memusuhi Kiai, maka itu masih harus melalui waktu yang cukup banyak untuk mengalahkan lawan-lawan kami”
Ki Tambak Wedi dan Sidanti menggeram mendengar kata-kata itu, bahkan Tohpati sendiri menggertakkan giginya. Namun dengan demikian mereka tidak lagi berteriak-teriak dan saling mengancam. Mereka kini memusatkan tenaga mereka dalam pertempuran yang terjadi. Namun meskipun demikian hati mereka telah digelisahkan oleh kehadiran Kiai Gringsing dengan murid-muridnya. Mereka mempunyai persoalan sendiri-sendiri terhadap mereka. Tohpati menyadari bahwa di antara orang-orang itu terdapat orang-orang Sangkal Putung. Namun justru karena itu ia mulai menimbang-nimbang. Kalau tidak ada persoalan di antara mereka dengan Sidanti, maka mereka pasti akan membantu Sidanti. Karena itu maka kehadiran mereka benar-benar mempengaruhi perasaannya. Dalam pada itu, Ki Tambak Wedi pun menjadi gelisah. Disadarinya bahwa orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu tidak dapat dikalahkan. Ternyata Kiai Gringsing telah mengambil lawan Sidanti menjadi muridnya. Dengan demikian maka apabila terpaksa mereka harus berhadapan saat itu, maka tidak akan dapat memberinya kesempatan apa-apa. Yang terdengar kemudian adalah suara Kiai Gringsing. Kiai Gringsing senang mendengar kejujuran sikap Sumangkar, sehingga menyahut,
“Kau benar-benar murid kedua perguruan Kedung Jati yang perkasa. Aku terpaksa tertawa mendengar pengakuanmu. Dan aku akan mencoba memenuhinya. Duduk di sini sambil melihat kalian berkelahi”
“Gila!” teriak Ki Tambak Wedi, namun suaranya segera tenggelam dalam kata-kata Sumangkar,
“Silakan Kiai, silakan. Kiai akan dapat menilai, sampai sejauh mana kemungkinan yang ada di kedua belah pihak. Dan kira-kira Kiai akan lebih senang melawan pihak yang mana? Bukankah dengan demikian Kiai dapat berbuat sesuatu?”
Kembali Kiai Gringsing tertawa, jawabnya,
“Tidak, aku tidak berpihak. Aku tidak akan berpihak pada yang lemah untuk nanti mendapatkan lawan yang lemah itu”

Sumangkar tertawa pendek. Sekali ia harus meloncat ke samping untuk menghindari sambaran tangan Ki Tambak Wedi. Namun ia harus segera menggeliat pula, ketika dilihatnya pedang Sidanti menjulur mematuk lambungnya. Namun ketika Ki Tambak Wedi akan menyerangnya kembali, segera Sumangkar meloncat dan memutar golok di tangannya. Ia tidak perlu memperhatikan Sidanti lagi, karena dengan serta-merta, tongkat Macan Kepatihan menyambar lengan anak muda itu, sehingga ia terpaksa meloncat surut. Namun dalam pada itu, timbullah banyak pertimbangan di kepala Tohpati. Seandainya perkelahian itu dibiarkannya berjalan dalam keseimbangan, maka semalam suntuk mereka pasti tidak akan menemukan penyelesaian. Bahkan mungkin pada saat-saat mereka hampir mati kekelahan, pada saat itulah Kiai Gringsing baru tampil ke gelanggang. Karena itu, maka segera timbul banyak pertimbangan di kepala Macan Kepatihan. Ia sendiri tidak yakin, apakah yang dapat dilakukan oleh Kiai Gringsing. Apakah ia akan berpihak ataukah ia akan melawan segala pihak. Namun keadaannya pasti akan menjadi paling baik. Seperti tantangan Sumangkar, Kiai Gringsing dapat berpihak yang dianggapnya paling lemah untuk membinasakan yang kuat, supaya apabila kemudian terpaksa bagi Kiai Gringsing untuk bertempur, maka musuhnya adalah pihak yang lemah. Namun agaknya permusuhan telah terjadi antara Kiai Gringsing dan Ki Tambak Wedi seperti halnya murid-muridnya di kedua belah pihak. Apakah permusuhan itulah yang menyebabkan Sidanti meninggalkan Sangkal Putung? Sekali-sekali terlintas juga di dalam benaknya untuk melawan saja Kiai Gringsing bersama muridnya itu bersama-sama dengan Sidanti dan gurunya dalam satu gabungan kekuatan, maka pasti Kiai Gringsing dapat dikalahkan. Namun kemudian Tohpati itu menjadi ragu-ragu pula. Meskipun hatinya cenderung berbuat demikian. Sebab apabila yang tinggal adalah mereka berempat, maka kekuatan mereka pasti akan tetap seimbang. Dalam keragu-raguan itu tiba-tiba Tohpati mendengar tawaran Ki Tambak Wedi yang agaknya mempunyai pikiran yang sama, sehingga tawaran itu benar-benar mengejutkan Macan Kepatihan,
“He, angger Tohpati yang perwira. Orang baru itu adalah musuhku bebuyutan. Sedangkan apa yang kita lakukan adalah suatu permainan yang tidak berarti apa-apa. Karena itu, apakah tidak sebaiknya kita hentikan permainan ini, dan kita binasakan saja lawan kita yang berbahaya itu bersama-sama. Kemudian baiklah permainan ini kita lanjutkan kembali?”
Tohpati mengerutkan keningnya. Semula ia tidak yakin akan tawaran Ki Tambak Wedi, namun kemudian tampaklah serangan-serangan Ki Tambak Wedi mengendor, sehingga Tohpati menjadi ragu-ragu dan bertanya,
“Apakah pertimbanganmu?”
Ki Tambak Wedi tertawa, jawabnya,
“Sebenarnyalah kita sudah dapat mengetahui keadaan kita masing-masing. Juga Kiai Gringsing itu pasti tahu, kenapa kita akan menyatukan kekuatan kita. Bukankah dengan demikian kita akan dapat meneruskan permainan ini tanpa terganggu dan tanpa menunggu kemungkinan yang paling buruk? Membiarkan Kiai Gringsing menunggu kita masing-masing mati kelelahan?”

Sekali lagi Tohpati dilanda oleh keragu-raguan. Sementara itu, Swandaru dan Agung Sedayu yang mendengar tawaran Ki Tambak Wedi itu segera meraba hulu pedang masing-masing. Tanpa berpikir akibat yang akan terjadi maka tiba-tiba Swandaru tertawa sambil berkata,
“Kiai, kita akan mendapat latihan yang baik” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Swandaru dan Agung Sedayu berganti-ganti. Tiba-tiba ia menjadi cemas. Mungkin Agung Sedayu dapat mempertahankan dirinya melawan Sidanti atau Tohpati sekalipun dalam taraf kekuatannya kini setelah ia maju dengan pesatnya. Namun Swandaru masih belum dapat disejajarkan dengan salah seorang dari mereka. Apalagi kalau kekuatan mereka digabung, maka Sumangkar dan Ki Tambak Wedi akan menjadi lawan yang amat berat meskipun kekuatan mereka telah menunjukkan tanda-tanda menurun karena perjuangan yang berat di antara mereka. Tetapi Swandaru yang sedang berkembang itu tidak dapat menimbang berat ringan orang-orang yang dihadapinya. Ia masih dalam tingkatan ingin mencoba segala kemampuan yang ada di dalam dirinya. Apalagi kini di hadapannya berdiri Sidanti dan Tohpati. Ia ingin menakar diri. Apakah kekuatannya sudah seimbang dengan Tohpati atau Sidanti? Dalam kesibukan berpikir itu, Kiai Gringsing mendengar Sumangkar menjawab tawaran Ki Tambak Wedi sebelum Tohpati mengambil keputusan,
“Ki Tambak Wedi, di hadapan kami berdiri Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Kini datang Kiai Gringsing dengan kedua muridnya, anak-anak Sangkal Putung. Adakah itu suatu kebetulan? Apakah Ki Tambak Wedi sudah menyediakan perangkap untuk menjebak kami berdua?”
Ingatan Tohpati benar-benar seperti tersengat lebah mendengar kata-kata itu. Alangkah mengejutkan meskipun seharusnya kemungkinan itu telah dipertimbangkannya. Ya, seandainya mereka telah merencanakan itu, alangkah bodohnya. Kalau ia menerima tawaran Ki Tambak Wedi, kemudian Ki Tambak Wedi dan Sidanti mengkhianatinya dalam perkelahian itu, maka membunuh Tohpati akan sama mudahnya dengan memijat biji ranti. Karena itu tiba-tiba Tohpati menggeram dengan marahnya. Katanya,
“Hem. Ternyata kalian adalah orang-orang yang sangat licik. Kalian berpura-pura saling bertentangan antara kedua pihak guru dan murid sekali. Tetapi ternyata kalian telah menjebak kami. Tetapi jangan kalian sangka Tohpati akan menyerah. Tohpati hanya menyerah apabila Tohpati telah menjadi mayat”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar