Usaha yang sia-sia dan putus asa ini pun akan berjalan semakin lama pula. Korban yang berjatuhan akan menjadi semakin banyak. Korban-korban dari mereka yang sama sekali tidak tahu sudut tepinya peristiwa antara Pajang dan Jipang. Karena itu, ketika diketahuinya Tohpati menjadi ragu-ragu maka Sumangkar itu pun menjadi cemas. Sehingga ketika Tohpati tidak segera menjawab, berkatalah Sumangkar sambil tertawa lirih,
“Sebuah
dongeng yang bagus Kakang Tambek Wedi.”
Tambak Wedi
terkajut mendengar tanggapan Sumangkar itu. Karena itu, maka segera wajahnya
menjadi tegang. Suaranya pun menjadi tegang pula. Katanya,
“Adi
Sumangkar. Apakah adi tidak percaya pada muridku, murid Ki Tambak Wedi.”
“Kakang,
bagaimana aku akan percaya. Ingatkah kakang apa yang telah kakang lakukan pada
saat-saat ki Patih Mantahun terjepit antara dua pasukan Pajang yang kuat, yang
dipimpin langsung oleh Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi, segera sepeninggal
Arya Penangsang. Alangkah ngerinya. Patih itu berjuang mati-matian tanpa
mengenal takut meskipun usianya telah lanjut. Nah, apa kerjamu waktu itu Ki
Tambak Wedi? Seandainya kau tidak meninggalkannya waktu itu, setidak-tidaknya
Patih Mantahun akan dapat meloloskan dirinya.”
Wajah Tambak
Wedi menjadi merah semerah bara. Untunglah malam yang remang-remang telah
melindunginya, sehingga perubahan wajah itu tidak segera diketahui oleh
Tohpati. Namun demikian terasa dadanya bergetar dan suaranya pun gemetar pula.
“Adi. Adi
terlalu berparasangka. Aku sudah menasehatkan untuk meninggalkan pertempuran
kepada kakang Mantahun waktu itu. Tetapi ia menolak.”
Mendengar
jawaban Tambak Wedi Sumangkar tertawa. Dengan menengadahkan wajahnya ia
berkata,
“Kata-katamu
aneh kakang. Pada saat perang antara Jipang dan Pajang pecah, setelah Arya
Penangsang gagal membunuh Karebet karena ia memiliki Aji Lembu Sekilan, maka
kau hampir-hampir tak pernah tampak lagi di Kepatihan Jipang. Apalagi setelah
laskar Jipang terdesak dan Arya Penangsang terbunuh. Sehingga tidak mungkin kau
berada di sekitar Kakang Mantahun pada saat menjelang ajalnya. Ketahuilah,
bahwa Kakang Mantahun meninggal dalam pangkuanku, setelah menyingkir dari
peperangan. Namun laskar Pajang berhasil merebut jenazahnya.”
Tubuh Tambak
Wedi menjadi gemetar menahan marah. Meskipun demikian ditenangkannya hatinya
sejauh mungkin. Ia masih mengharap Macan Kepatihan menerima muridnya. Karena
itu, maka katanya,
“Angger Macan
Kepatihan, terserahlah dalam penilaian angger. Tetapi kalau angger mau bekerja
bersama Sidanti, maka aku janjikan bahwa tenagaku akan aku serahkan pula.
Angger pasti percaya, bahwa Untara, Widura, Agung Sedayu dan siapa lagi,
biarlah mereka maju bersama-sama, maka mereka akan terbunuh olehku, asal laskar
Jipang membebaskan aku dari laskar Pajang yang pasti akan membantu
pemimpin-pemimpinnya”
Dentang
jantung Tohpati seakan-akan menjadi semakin cepat. Sekali-sekali dipalingkannya
wajahnya memandang Sumangkar, namun Sumangkar tidak sedang memandangnya. Bahkan
Sumangkar itu agaknya benar-benar menyerahkan persoalan itu kepadanya. Namun
percakapan Ki Tambak Wedi dan Sumangkar telah memberinya banyak bahan.
Dikenangnya apa yang pernah dilakukan oleh Ki Tambak Wedi itu atas gurunya,
Patih Mantahun. Dikenangnya pula saat Sidanti datang menyongsongnya,
benar-benar bukan sedang bermain-main. Dikenangnya bentuk mayat Plasa Ireng
yang sobek di punggungnya arang kranjang. Ya, dikenangnya semuanya. Sehingga
kemudian Tohpati itu menjawab,
“Paman Tambak
Wedi, aku tidak dapat percaya, bahwa Sidanti akan melakukan kerjasama yang
jujur. Pada saat Adipati Jipang sedang berusaha merebut kekuasaan dengan
kekuatan yang agaknya cukup, paman berada di pihak kami. Tetapi demikian Jipang
terdesak oleh kekuatan Pajang yang tak terduga-duga, murid paman itu berada di
pihak Pajang. Apakah sekarang ada persoalan baru yang telah menyebabkan Sidanti
berbalik pendirian lagi?”
“Sudah aku
katakan sebabnya ngger, bukan benar-benar berpihak pada Untara”
Tohpati
menggeram, kemudian katanya sambil menggeleng,
“Aku semakin
yakin, bahwa kejujurannya tidak dapat dipercaya. Mungkin ia berselisih dengan
Untara atau dengan Widura. Jangan disangka bahwa aku akan terjebak”
Sekali lagi Ki
Tambak Wedi menggeram keras. Tubuhnya menjadi semakin gemetar oleh kemarahannya
yang semakin memuncak. Namun lebih dari Ki Tambak Wedi yang sudah tua itu,
Sidanti tidak dapat melawan kemarahannya. Karena itu dengan lantang ia
mendahului gurunya,
“Guru. Kenapa
kita harus mengemis belas kasihannya?”
Mendengar
kata-kata Sidanti itu, maka telinga Macan Kepatihan serasa tersentuh api.
Sekali ia menggeretakkan giginya, kemudian setapak ia melangkah maju sambil
menunjuk wajah Sidanti,
“Kau ternyata
lebih jantan dari gurumu. Nah, sekarang bersikaplah jantan untuk seterusnya”
“Baik” sahut
Sidanti dengan beraninya. Diangkatnya dadanya sambil berkata,
“Aku juga
memiliki harga diri, Tohpati yang perkasa. Jangan disangka, bahwa hidup matiku
ada di tanganmu”
Ki Tambak Wedi
pun kemudian telah benar-benar kehilangan setiap kesempatan untuk menggabungkan
Sidanti pada kekuatan Tohpati untuk membalas dendam kepada Untara beserta
laskarnya. Alangkah kecewanya ketika semua rencananya dapat ditebak oleh
Sumangkar, dan karena itu, maka di dalam hatinya, Ki Tambak Wedi itu mengumpat
tiada habisnya. Diumpatinya Sumangkar, dan bahkan Ki Tambak Wedi itu berjanji,
bahwa Sumangkar itu harus dilenyapkannya. Kini muridnya telah kehilangan
kesabaran dan merasa tersinggung harga dirinya. Maka keadaan akan dapat
berkembang ke arah yang tidak dikehendakinya. Namun ia tidak perlu
pengkhawatirkan Sidanti. Selama ini anak muda itu telah ditempanya terus
menerus. Mudah-mudahan telah dicapainya suatu tingkatan yang dapat menyamai
Macan Kepatihan itu. Bukankah pada saat mereka bertempur di Sangkal Putung,
kekuatan mereka tidak terpaut terlalu banyak. Ki Tambak Wedi itu pun bahkan
dengan bernafsu mendorong muridnya untuk masuk ke dalam pertengkaran yang lebih
dalam, sehingga ia akan mendapat kesempatan untuk membinasakan Sumangkar yang
telah merusak segenap rencananya.
Macan
Kepatihan itu pun menjadi marah bukan buatan. Tangannya pun kemudian menjadi
gemetar dan dengan serta-merta ia berkata,
“Siapkan
senjatamu. Tohpati akan mengayunkan tongkatnya pada gerakan yang pertama”
Sidanti tidak
menjawab. selangkah ia meloncat ke samping, ditatapnya Tohpati dengan tajamnya,
dan tiba-tiba kedua tangannya telah menggenggam dua belah pedang pendek. Dalam
pada itu Ki Tambak Wedi berkata,
“Angger
Tohpati, aku tidak mengharapkan perkelahian ini. Tetapi aku tidak dapat
menyalahkan muridku. Sebagai murid lereng Merapi, ia tidak akan bersedia
menelan hinaan”
“Persetan”
sahut Tohpati,
“Dengan
membunuhmu maka aku akan mengurangi kekuatan Sangkal Putung”
Sidanti sama
sekali tidak berkata apapun. Kedua pedangnya bersilangan di muka dadanya.
Namun Tohpati
masih juga menggeram,
“Manakah
senjatamu yang mengerikan itu?”
Sidanti masih
tetap diam. Hanya di dalam hatinya ia berkata,
“Peduli apa
kau dengan senjata yang tertinggal di Sangkal Putung itu. Tetapi ternyata aku
cukup kuat dengan senjata yang sepasang ini sekuat senjata yang aneh itu”
Kediaman
Sidanti benar-benar telah membangkitkan luapan kemarahan Tohpati tiada taranya.
Karena itu segera ia meloncat dan menyerang Sidanti dengan tongkat baja
putihnya. Tetapi Sidanti telah benar-benar bersiap. Ketika tongkat baja Tohpati
terayun ke kepalanya, Sidanti sama sekali tidak berkisar dari tempatnya.
Sidanti itu telah pernah bertempur dengan Tohpati sehingga kekuatan Tohpati
telah diketahuinya. Sidanti yakin bahwa selama ini Tohpati pasti tidak akan
sempat memperdalam ilmunya, selain yang telah dimilikinya. Karena itu sengaja
ia tidak mengelak, tetapi dibenturnya serangan itu dengan kedua pedang
pendeknya. Dengan pedang itu Sidanti ingin menunjukkan, bahwa kini kekuatannya
tidak lagi seperti beberapa waktu yang lalu, setelah dengan tekun ia melatih
diri sejak ia meninggalkan Sangkal Putung. Lukanya yang tidak terlalu parah
segera dapat disembuhkan oleh Ki Tambak Wedi. Dalam pada itu Sidanti yang
menyimpan dendam di hatinya, segera berusaha untuk menambah ilmunya. Dendam
kepada Untara dan orang-orang Sangkal Putung itu harus ditumpahkan. Kini
tiba-tiba Sidanti menemukan lawan yang tidak disangka-sangka. Namun lawan ini
pun sedahsyat orang yang didendamnya. Karena itu maka disadarinya, bahwa ia
harus berjuang sekuat-kuat tenaganya. Ketika tongkat baja putih Tohpati
membentur kedua pedang pendek Sidanti, terdengarlah gemerincing senjata-senjata
itu. Suaranya membelah sepi malam, membentur ujung rimba. Demikian dahsyatnya
sehingga bunga-bunga api memercik ke udara. Tohpati terkejut mengalami benturan
senjata itu. Apalagi ketika dilihatnya Sidanti tetap di tempatnya, dan kedua
senjatanya masih di tangannya. Bahkan kemudian terdengar anak muda murid Ki
Tambak Wedi itu menggeram.
Alangkah
marahnya Macan Kepatihan. Terasa bahwa kekuatan Sidanti telah meningkat. Anak
muda itu kini dapat mengimbangi kekuatannya yang disalurkan pada ayunan tongkat
putihnya. Namun apa yang terjadi adalah suatu peringatan baginya, bahwa
lawannya kini bukanlah Sidanti beberapa saat yang lampau. Meskipun demikian,
sebenarnya tangan Sidanti yang melawan tongkat baja putih Macan Kepatihan,
merasakan arus kekuatan yang hampir melontarkan pedang-pedangnya. Namun dengan
menggeretakkan giginya, ia berhasil menahan senjata-senjata itu, meskipun
tangannya terasa nyeri. Dengan demikian, maka Sidanti merasa, bahwa kekuatan
Macan Kepatihan masih belum dapat dikembarinya, namun ia masih dapat
membanggakan kelincahannya dan ketajaman ujung pedangnya. Dengan
sentuhan-sentuhan kecil, ia akan dapat merobek kulit Macan Kepatihan itu. Namun
apabila ia tersentuh kepala tongkat Tohpati yang kekuning-kuningan dan
berbentuk tengkorak itu, maka tulang-tulangnya pun akan dipecahkan. Maka mereka
segera terlibat dalam sebuah perkelahian yang sengit. Sidanti yang lincah
meloncat-loncat di sekitar lawannya, seakan-akan bayangan hantu yang sedang
menari-narikan sebuah tarian maut. Namun lawannya adalah seekor harimau yang
garang. Betapa Macan Kepatihan itu dengan tangguhnya melawan sambaran-sambaran
pedang Sidanti. Dilindunginya dirinya dengan tongkat putihnya, dan
sekali-sekali tongkatnya terjulur mematuk tubuh lawannya. Namun Sidanti
benar-benar seperti bayangan yang tidak dapat disentuhnya. Perkelahian itu
semakin lama menjadi semakin cepat. Macan Kepatihan yang garang itu pun menjadi
semakin garang, sedang Sidanti yang lincah menjadi semakin lincah. Kedua
senjatanya dengan cepatnya menyambar seakan-akan dari segala penjuru. Dengan
kelincahannya, sekali-sekali ujung pedangnya berhasil menyentuh tubuh Tohpati
meskipun hanya seujung rambut. Namun ujung rambut yang runcing itu telah
berhasil menggores kulit dan bahkan telah berhasil meneteskan darah. Tetapi
darah yang menetes dari luka itu bahkan telah membakar kemarahan Tohpati.
Wajahnya yang membara seakan-akan menyala dalam kegelapan. Sehingga tandangnya
pun menjadi semakin dahsyat.
Ki Tambak Wedi
untuk sesaat berdiri mematung melihat muridnya bertempur. Mula-mula ia masih
juga ragu-ragu, apakah Sidanti dapat mengimbangi Tohpati. Namun kemudian ia
tersenyum. Ia telah menemukan timbang-berat keduanya. Meskipun Sidanti belum
dapat menyamai Tohpati sepenuhnya, namun masih dapat diharapkan, Tohpati
berbuat kesalahan-kesalahan kecil yang dapat membantu Sidanti seandainya tidak
sekalipun, maka ia tidak perlu terlalu cemas, bahwa muridnya akan dikalahkan
oleh lawannya.
Ki Tambak Wedi
itu kemudian mengangguk-angguk sambil bergumam,
“Itulah murid
Ki Tambak Wedi. He, adi Sumangkar, apakah aku tidak berbangga karenanya?”
Sumangkar yang
memperhatikan perkelahian itu berpaling. Jawabnya,
“Ya, kakang
dapat berbangga karenanya. Umurnya masih cukup muda, sehingga perkembangannya
dihari depan akan menjadi semakin menggemparkan lereng Merapi”
Ki Tambak Wedi
tertawa pendek. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya terus ia berkata,
“Siapakah yang
akan menang di antara mereka?”
“Aku tidak
tahu” jawab Sumangkar pula.
“Mereka
memiliki kelebihan sendiri-sendiri. Meskipun demikian, muridmu masih harus
belajar sebulan dua bulan lagi dengan tekun, supaya ia dapat mensejajarkan diri
dengan angger Macan Kepatihan sepenuhnya. Tetapi meskipun demikian, bukan
berarti muridmu kehilangan kesempatan untuk memenangkan perkelahian ini”
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Perkelahian di antara keduanya masih berjalan dengan
serunya. Bahkan semakin seru. Seperti angin pusaran mereka berputar-putar.
Tetapi semakin seru perkelahian itu semakin nampak, bahwa sebenarnya Tohpati
adalah seorang yang pilih tanding.
“Kau lihat
perkembangan perkelahian itu?” bertanya Sumangkar.
Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya kembali sambil menjawab,
“Apakah kau
sedang bergembira karena kau melihat kelemahan muridku?”
“Ya” sahut
Sumangkar pendek.
Tiba-tiba Ki
Tambak Wedi tertawa. Tertawa berkepanjangan dan sangat menyakitkan telinga. Di
antara suara tertawanya terdengar ia berkata,
“Meskipun
tampak kekurangan pada muridku, namun ia akan mempunyai cukup waktu untuk
menanti aku membunuhmu, adi”
Mendengar
suara tertawa dan kata-kata Ki Tambak Wedi, Sumangkar berpaling. Dilihatnya Ki
Tambak Wedi masih tertawa dan memandang muridnya yang sedang bertempur itu.
Namun Sumangkar sama sekali tidak terkejut.
“Kau mendengar
kata-kataku adi?” tiba-tiba Ki Tambak Wedi berteriak,
“Bahwa aku
akan membunuhmu?”
Sumangkar
mengangguk perlahan, “Ya, aku mendengar” sahutnya.
Namun ancaman
Ki Tambak Wedi itu telah mempengaruhi Macan Kepatihan yang sedang bertempur
dengan Sidanti, sehingga sambil mengayunkan tongkatnya dengan dahsyatnya ia
menggeram,
“Ki Tambak
Wedi, biarlah aku menyelesaikan persoalan ini dengan Sidanti. Paman Sumangkar
tidak akan ikut campur dalam hal ini”
“Benar ngger,
pamanmu Sumangkar tidak ikut campur dalam persoalan ini, tetapi ia pasti
menghalangi aku seandainya aku ingin membunuh angger pula bersama-sama dengan
muridku. Karena itu maafkan aku ngger. Aku terpaksa membunuhnya. Sesudah itu
untuk membunuh Angger Macan Kepatihan yang perkasa akan mejadi semudah seperti
membunuh seekor kelinci. Biarlah aku mendapat bintang jasa di dada, atau lebih
baik Sidanti yang akan menyebut dirinya telah membunuh Macan Kepatihan. Kepala
angger akan kami bawa sebagai bukti pekerjaan yang telah dilakukan oleh
Sidanti. Besok Sidanti akan menerima anugerah pangkat Senapati dari Wiratamtama
Pajang. Kalau mereka yang membunuh Adipati Jipang mendapat Mentaok dan Pati,
maka kami akan memilih daerah di sebelah barat Mentaok, atau daerah Wanakerta
di sebelah Pajang. Dari daerah-daerah itu kami akan dapat menguasainya, atau
apabila kami mendapat Wanakerta, kami akan langsung menembus jantung Pajang”
“Diam” teriak
Tohpati keras sekali. Suaranya mengguntur menyobek kepekatan malam yang sunyi.
Namun suara itu ditimpa oleh gelak tertawa Ki Tambak Wedi,
“Bukankah itu
suatu rencana yang bagus? Aku lebih berpijak pada kenyataan daripada angger
Tohpati. Siapakah yang akan dapat mengalahkan Pemanahan, Penjawi dan Adipati
Jipang itu di dalam laskar angger? Ki Tambak Wedi akan dapat menepuk dada
melawan mereka. Karena itu jangan menyesal”
“Persetan
dengan ocehanmu Tambak Wedi. Tetapi kau benar-benar setan yang licik. Ayo,
majulah bersama Sidanti, Macan Kepatihan bukan seorang pengecut”
Suara Ki
Tambak Wedi semakin berkepanjangan. Katanya,
“Nah, kenapa
angger menolak uluran tangan kami? Kalau kami bekerja bersama, bukankah kami
dapat membagi tanah Demak ini? Angger mendapat Jipang, dan kami mendapat Pajang
dan Demak beserta daerah pesisir lainnya”
“Kau jangan
banyak bicara pemimpi tua. Jipang bukanlah tempat orang-orang yang hanya dapat
mengantuk dan mimpi seperti kau. Jipang mempunyai cukup kekuatan untuk
melawanmu. Apalagi Tohpati sendiri mampu membunuh kau berdua sekarang ini”
“Jangan
sombong ngger, jangan membual. Semakin banyak kau membual, semakin tampak bahwa
kau menjadi berputus asa menjelang saat kematianmu yang nista”
Mendengar
hinaan itu Macan Kepatihan menjadi marah bukan buatan. Namun karena itu, maka
tandangnya menjadi terganggu. Dalam pada itu Sidanti mempergunakan saat itu
sebaik-baiknya, menyerang dengan segenap kemampuan dan kelincahannya. Macan
Kepatihan menggeram keras sekali untuk melepaskan kemarahan yang seolah-olah
akan meledakkan dadanya. Apalagi suara tertawa Ki Tambak Wedi masih saja
mengganggunya. Namun di sela suara tertawa Ki Tambak Wedi itu kemudian terdengar
Sumangkar berkata,
“Angger
Tohpati, kenapa angger menjadi gelisah sehingga murid Tambak Wedi itu mendapat
kesempatan untuk memperpanjang nafasnya? Dalam pengamatan kami Raden, maka
Sidanti benar-benar sudah hampir mati terjepit oleh kekuatan tongkat angger.
Namun karena angger terganggu oleh suara Ki Tambak Wedi, maka Sidanti itu mampu
bernafas kembali” Sekali lagi Tohpati menggeram. Kata-kata Sumangkar telah
memperingatkannya, bahwa ia telah berbuat kesalahan. Namun dalam pada itu
kembali suara Ki Tambak Wedi,
“Suatu peringatan
yang baik. Peringatan yang terakhir dari adi Sumangkar. Setelah ini maka adi
akan mati aku cekik, dan angger Tohpati akan mati pula untuk kemudian aku
penggal lehernya”
Kembali
kegelisahan merambat di hati Tohpati. Namun kemudian Sumangkar berkata lantang
kepada Tohpati,
“Jangan
hiraukan aku ngger. Bukankah aku seorang juru masak yang baik? Karena itu aku
selalu membawa golok pembelah kayu ini. Namun sebagai murid Kedung Jati,
sebagai saudara seperguruan Patih Mantahun, maka golok ini akan dapat aku pergunakan
untuk membelah dada Ki Tambak Wedi yang sombong. Bukankah Sumangkar murid kedua
dari perguruan Kedung Jati yang tidak kalah besarnya dari perguruan lereng
Merapi?”
“Setan” desis
Ki Tambak Wedi. Kini Ki Tambak Wedi itu tidak tertawa lagi. Diamat-amatinya
wajah Sumangkar di dalam keremangan cahaya bulan. Wajah itu masih tenang
setenang awan yang berlayar lembut dikebiruan langit,
“Kau merasa
dirimu setingkat dengan Ki Tambak Wedi?”
Sumangkar
tidak menghiraukan pertanyaan itu, namun kepada Tohpati ia berkata,
“Cekiklah
Sidanti itu Raden. Sementara itu biarlah aku akan menyumbat mulut pemimpi tua
itu dengan golokku”
Ternyata
kata-kata Sumangkar itu memberi juga ketenangan pada Macan Kepatihan.
Disadarinya kemudian, bahwa Sumangkar adalah saudara seperguruan gurunya
sendiri, sehingga karena itu Macan Kepatihan itu tersenyum sendiri atas
kegelisahan yang mencengkam dadanya. Kenapa ia mencemaskan nasib Sumangkar juru
masak yang malas itu? Ia bukan seorang juru masak kebanyakan. Ia adalah seorang
murid dari perguruan Kedung Jati seperti juga gurunya sendiri. Patih Mantahun
yang sakti. Dalam pada itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata,
“Cecurut yang
malang. Kau benar-benar jemu untuk hidup. Bukankah Ki Tambak Wedi telah
terkenal mampu menangkap angin?”
Sumangkar
tersenyum, jawabnya,
“Perguruan
Kedung Jati terkenal karena murid-muridnya mampu menyimpan nyawa rangkapan di
dalam tubuhnya”
Ki Tambak Wedi
menggeram penuh kemarahan. Apalagi ketika dilihatnya bahwa Macan Kepatihan
telah menemukan keseimbangannya kembali. Sehingga karena itu maka katanya,
“Kau juga
pandai membual adi Sumangkar. Kalau murid Kedung Jati dapat menyimpan nyawa
rangkap di dalam tubuhnya, maka Patih Mantahun itu tidak akan mati terbunuh
meskipun harus bertempur melawan Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi atau Ki Juru
Mertani ditambah Hadiwijaya dan Ngabehi Loring Pasar”
Sumangkarlah
yang kini tertawa menyakitkan hati. Dengan renyah ia menjawab,
“Kau salah
kakang. Mantahun waktu itu hanya membawa nyawa rangkap tiga. Tetapi ia
benar-benar harus melawan lima orang sekaligus, Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi,
Karebet, Juru Mertani dan Sutawijaya dengan Kiai Plered di tangannya. Nah,
karena itulah maka ketiga nyawanya terpaksa dilepaskan”
“Setan belang”
umpat Ki Tambak Wedi,
“Jangan banyak
bicara. Sekarang kau harus dienyahkan”
Sumangkar
memutar tubuhnya menghadap Ki Tambak Wedi yang memandanginya seolah-olah biji
matanya akan meloncat dari kepalanya. Namun Sumangkar masih tetap dalam
ketenangan. Ia tahu, bahwa Ki Tambak Wedi adalah seorang yang sakti pilih
tanding. Tetapi ia tidak bernafsu untuk mengalahkannya. Ia hanya harus
bertahan, sampai Macan Kepatihan menyelesaikan tugasnya. Setelah itu, maka ia
akan dapat menghindar bersama-sama dengan Macan Kepatihan. Dan ia mengharap
bahwa ia akan mampu melakukannya, bertahan melampaui ketahanan Sidanti melawan
Macan Kepatihan.
Karena itu
ketika Ki Tambak Wedi memakinya sekali lagi, berkatalah Sumangkar,
“Kakang, aku
sudah siap. Kali ini aku pun membawa nyawa tiga rangkap. Ayo mulailah. Kalau
kau berhasil membunuh aku satu kali, maka kedua nyawaku yang lain akan mampu
mencekik lehermu itu”
Ki Tambak Wedi
tidak menjawab. Sekali ia menggeram dan dengan dahsyatnya ia meloncat menerkam
Sumangkar. Namun Sumangkar sudah siap. Meskipun ia belum merasa perlu untuk mempergunakan
senjata, namun goloknya tidak dapat diletakkannya dan tidak dapat terus
disangkutkannya pada ikat pinggangnya karena tidak berwrangka. Karena itu maka
sambil menghindar ia berkata,
“Kakang,
sebenarnya aku sama sekali tidak menganggap perlu mempergunakan senjata ini.
Namun terpaksa aku harus memeganginya terus supaya senjata ini tidak hilang
apabila aku letakkan. Sebab aku sekarang adalah seorang juru masak. Aku perlu
golok ini untuk membelah kayu bakar”
Tetapi
Sumangkar itu terkejut ketika terasa goloknya menyentuh benda keras di tangan
Ki Tambak Wedi. Barulah kini ia sadar. Di dalam kedua tangan hantu lereng
Merapi itu tergenggam sepasang gelang-gelang besi. Dengan gelang-gelang itu Ki
Tambak Wedi menyambar golok Sumangkar. Namun untunglah Sumangkar cepat
menyadarinya, sehingga goloknya tidak terloncat dari tangannya. Dengan
demikian, maka Sumangkar tidak dapat lagi berkelahi sambil membual. Ia harus
benar-benar bertempur dengan segenap kewaspadaan dan kemampuan yang ada
padanya. Maka dalam keremangan cahaya bulan, tampaklah dua lingkaran
perkelahian yang semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Tambak Wedi yang
menjadi amat marah itu pun bertempur dengan darah yang seolah-olah menyala
membakar seluruh tubuhnya. Sumangkar itu adalah sumber kegagalannya malam ini.
Kegagalan atas rencananya. Dan kegagalan itu membuatnya sangat marah. Karena
itu, maka Ki Tambak Wedi pun segera berusaha untuk menyingkirkan Sumangkar
supaya muridnya dapat membunuh Tohpati meskipun ia harus membantunya.
Pikirannya yang tiba-tiba saja timbul untuk membunuh Tohpati dan membawa bukti
kematian itu ke Pajang, sangat mempengaruhinya. Dengan demikian ia ingin
Sidanti akan mendapat kepercayaan melampaui kepercayaannya yang telah didapat
Untara, sebab apabila ia berhasil, maka telah membawa bukti kesetiaannya,
sedang Untara dan Widura yang telah berjuang berbulan-bulan di Sangkal Putung
sama sekali tidak mampu menangkap Macan Kepatihan hidup atau mati.
Tetapi
Sumangkar ternyata bukan seorang yang bermalas-malasan saja. Ketika lawannya
menjadi semakin dahsyat, maka gerakannya pun menjadi semakin tangguh. Ternyata
murid kedua dari perguruan Kedung Jati itu tidak mengecewakan. Ketika terasa
olehnya bahwa kedua tangan Ki Tambak Wedi seakan-akan terbalut oleh selapis
baja, maka Sumangkar tidak lagi segan-segan mempergunakan goloknya. Meskipun
golok itu golok pembelah kayu yang tidak setajam pedang Sidanti, namun di
tangan Sumangkar senjata itu merupakan senjata yang cukup berbahaya.
Bulan di
langit beredar dengan lambannya. Sepotong-sepotong awan mengalir keutara
dihembus angin lembah yang lembut. Betapa dinginnya malam namun keempat orang
yang sedang berjuang antara hidup dan mati itu telah basah oleh keringat yang
mengalir dari segenap lubang-lubang dipermukaan kulit mereka. Dan ketika tubuh-tubuh
mereka telah menjadi basah, maka gerak mereka pun menjadi semakin cepat dan
semakin lincah. Sidanti kini benar-benar telah menemukan nilai-nilai baru di
dalam tata geraknya. Unsur-unsur yang dapat memberinya kekuatan dan kelincahan.
Kakinya melontar-lontar dengan cepatnya membawa tubuhnya yang seakan-akan tidak
memiliki berat. Seperti seonggok kapuk yang diputar angin pusaran, sekali
melenting tinggi, kemudian menukik menyambar dengan sepasang pedang pendeknya. Tohpati
kini terpaksa melawannya dengan sepenuh kemampuannya. Bahkan kadang-kadang ia
menjadi bingung melihat gerak Sidanti. Tetapi Macan Kepatihan adalah seorang
yang memiliki pengalaman yang sangat luas, sehingga sesaat kemudian ia telah
berhasil menemukan keseimbangannya kembali. Meskipun terasa juga, kadang-kadang
ujung pedang Sidanti berhasil menggores kulitnya dan meneteskan darahnya, namun
kini ia tidak menjadi cemas. Apabila sekali ia mencoba melihat perkelahian
antara Ki Tambak Wedi dan Sumangkar, maka terasa olehnya, bahwa keduanya pun
mempunyai ilmu yang dapat disejajarkan, sehingga karenanya maka ia tidak perlu
memecah perhatiannya, mencemaskan nasib Sumangkar. Demikianlah, mereka berempat
telah memeras tenaga masing-masing. Ki Tambak Wedi terpaksa mengakui, bahwa
murid kedua perguruan Kedung Jati benar-benar mampu melawannya. Meskipun
senjata yang dipergunakan bukanlah senjata ciri perguruan Kedung Jati, namun
senjata seadanya itu benar-benar dapat membantu Sumangkar memperpanjang
umurnya. Golok yang kehitam-hitaman di tangannya itu, berputaran, sekali
mematuk, sekali menebas menyambar seperti hendak menebang roboh tubuh Ki Tambak
Wedi itu. Namun hampir disetiap kesempatan Ki Tambak Wedi dengan beraninya
memukul golok lawannya dengan tangannya yang terlindung oleh sepasang gelang baja.
Dalam benturan-benturan yang terjadi itu, maka menyalalah bunga api memercik ke
udara. Setiap kali terjadi benturan, senjata Sumangkar, golok pembelah kayunya
mengalami luka dibagian tajamnya, sehingga kemudian mata golok yang memang
bukan senjata buatan khusus itu, menjadi semacam mata gergaji. Namun dengan
demikian, maka setiap goresan akan mampu menyobek kulit dengan bekas yang
tersayat-sayat.
Ki Tambak Wedi
pun kemudian terpaksa berjuang dengan sengitnya untuk segera mengalahkan
Sumangkar. Namun Sumangkar tidak mau menerima keadaan dengan kedua tangan
ngapurancang, Tetapi sepasang tangannya berjuang sekuat-kuat tenaganya, tenaga
murid kedua perguruan Kedung Jati. Goloknya kadang-kadang menyambar dalam
genggaman tangan kanannya, namun kemudian mematuk dalam kelincahan tangan
kirinya.
“Demit,
tetekan” Ki Tambak Wedi tak habis-habisnya mengumpat. Tetapi lawannya sama
sekali tidak takut mendengar umpatan itu, bahkan dengan serunya Sumangkar
melawannya tanpa mengenal lelah.
Keduanya
adalah orang-orang sakti yang pilih tanding. Keduanya adalah orang-orang tua
yang telah hampir merasa dirinya harus beristirahat dan menyerahkan segala
persoalan kepada mereka yang masih muda. Namun pada saat-saat terkhir, mereka
masih harus melindungi anak-anak muda yang mereka anggap akan dapat meneruskan
umur mereka. Ki Tambak Wedi, seorang guru yang terlalu bangga akan muridnya dan
terlalu jangkaunya, sedang Sumangkar melihat Tohpati adalah penerus
perguruannya, lewat kakak seperguruan. Karena itu maka seandainya anak muda itu
lenyap, lenyap pulalah ajaran-ajaran perguruan Kedung Jati yang pernah terkenal
karena orang menyangka bahwa murid-murid perguruan Kedung Jati tidak dapat
mati, karena memiliki nyawa rangkap. Sedang perguruan lereng Merapi yang
terkenal seakan-akan setiap muridnya mampu menangkap angin.
Di pihak lain,
Sidanti bertempur dengan sepenuh tekad melawan Macan Kepatihan. Kali ini ia
akan menebus kekalahannya pada saat ia berhadapan dengan Macan Kepatihan itu.
Seperti juga gurunya, ia benar-benar ingin membunuh Tohpati. Membawa kepalanya
ke Pajang dan mengharap hadiah daripadanya, seperti hadiah yang akan diterima
oleh mereka yang berhasil membunuh Arya Penangsang, tanah mentaok dan Pati.
Kalau ia membunuh Macan Kepatihan, maka setidak-tidaknya ia akan menerima
hadiah separo dari mereka yang membunuh Arya Penangsang. Dengan harapan itu,
serta pangkat yang akan melampaui pangkat Untara, maka Sidanti berjuang
sekuat-kuat tenaganya. Namun ternyata Macan Kepatihan tidak menyerahkan
lehernya begitu saja. Bahkan semakin lama Tohpati seakan-akan menjadi semakin
segar. Tongkatnya menjadi semakin cepat bergerak menyambar-nyambar seperti
burung garuda yang bertempur di udara. Mula-mula Sidanti berbangga dengan
kemenangan-kemenangan kecilnya. Ketika sekali dua kali ujung pedangnya mampu
meneteskan darah dari tubuh Tohpati. Namun kemudian terasa, bahwa kulitnya
pasti menjadi merah biru pula. Setiap sentuhan ujung tongkat Macan Kepatihan
yang berbentuk tengkorak itu, seakan-akan benar-benar memecahkan tulangnya.
Meskipun ia selalu dapat menghindarkan dirinya dari benturan langsung, atau
dengan sepasang senjatanya menghentikan ayunan tongkat lawannya, namun terasa
tongkat itu menyengat-nyengat tubuhnya semakin lama semakin sering. Sehingga
dengan demikian, maka Sidanti kemudian tidak lagi dapat membanggakan
kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Betapa ia menjadi semakin lincah di
saat-saat terakhir, namun lawannya pun ternyata cukup tangguh untuk
mengimbanginya. Karena itulah maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin
seru. Ketika bulan menjadi semakin merendah ke garis cakrawala di ujung barat,
maka mereka yang bertempur itu semakin ngetok kekuatan. Mereka tidak mau
masing-masing menjadi korban dari perkelahian itu, dan mereka masing-masing
berusaha untuk mengalahkan lawannya sebelum pasangannya dapat dikalahkan. Tetapi
kemudian, perkelahian itu menjadi terganggu karenanya. Di kejauhan mereka
melihat tiga bayangan yang bergerak-gerak dalam keremangan cahaya bulan. Tiga
bayangan manusia yang datang mendekat daerah perkelahian itu.
Baik Ki Tambak
Wedi maupun Sumangkar bertanya-tanya di dalam hati mereka, siapakah mereka,
orang-orang yang mendatangi itu. Tohpati dan Sidanti pun kemudian melihat
mereka pula. Karena itu, maka mereka menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka
tidak dapat menghentikan perkelahian itu. Perkelahian itu adalah perkelahian
antara hidup dan mati. Namun kalau yang datang itu kawan dari salah satu pihak,
maka keseimbangan perkelahian itu akan terganggu. Sesaat Tohpati menggeram
keras sekali. Tiba-tiba ia memperketat tekanannya. Ia melihat satu tenaga
cadangan yang akan mampu mempercepat penyelesaiannya. Kalau ia mengerahkan
tenaganya dan berhasil, maka perkelahian itu akan menjadi semakin cepat
selesai. Tetapi kalau tidak, maka akibatnya ia akan menjadi lebih dahulu
kelelahan dan mungkin ia akan menjadi korban. Namun ia tidak dapat berbuat
lain. Ketiga bayangan yang menjadi semakin dekat itu benar-benar mengganggunya.
Akibatnya terasa pula oleh Sidanti. Serangan Macan Kepatihan menjadi bertambah
dahsyat. Sedahsyat angin prahara yang melanda tebing pegunungan, menggetarkan
pepohonan dan menggugurkan daun-daunnya. Sekali Sidanti terpaksa meloncat
surut, namun Tohpati mengejarnya terus. Serangan Sidanti itu serasa benar-benar
menyusup dari segenap arah, mematuk seluruh bagian tubuhnya. Dengan demikian
maka Sidanti pun terseret ke dalam pencurahan segenap tenaga, segenap kekuatan
dan segenap kemampuannya. Namun, meskipun demikian, maka amat sulitlah baginya
untuk segera dapat membebaskan diri dari belitan serangan Tohpati yang seperti
lesus itu. Pada saat-saat terakhir, Ki Tambak Wedi sebenarnya telah menemukan
segi-segi lawannya. Betapapun saktinya Sumangkar, namun pada orang tua itu
masih terdapat beberapa kelemahan. Apalagi ketika pada saat-saat terakhir ia
lebih senang tinggal di dapur saja, maka nafsunya untuk bertempur tidak
sehangat Ki Tambak Wedi lagi. Meskipun Sumangkar mampu mengimbangi hampir
setiap usaha Ki Tambak Wedi untuk menembus pertahanannya, namun lambat laun,
terasa bahwa Ki Tambak Wedi masih selapis berada di atas Sumangkar. Tetapi pada
saat yang demikian, pada saat Ki Tambak Wedi memperkuat tekanannya untuk segera
mengakhiri perkelahian itu, supaya ia sempat memenggal leher Tohpati, maka pada
saat yang demikian itu pula, Sidanti terpaksa beberapa kali beringsut surut.
“Gila” desis
Ki Tambak Wedi itu,
“Macan
Kepatihan benar-benar berkelahi seperti seekor harimau jantan yang garang”
Dengan
menggeram keras sekali ia mencoba mengakhiri perkelahiannya dengan Sumangkar,
ketika dengan tangan kirinya ia memukul golok Sumangkar ke samping, dan dengan
tangannya yang lain, Ki Tambak Wedi berusaha memecahkan kepala lawannya itu.
Namun usahanya masih belum berhasil, Sumangkar masih mampu menggenggam golok
itu di tangannya, dan masih mampu melontar ke samping sambil merendahkan
dirinya, sehingga tangan Ki Tambak Wedi yang berlapis baja itu terbang beberapa
jari dari kepalanya. Sesaat kemudian ketika Ki Tambak Wedi berusaha
menerkamnya, maka Sumangkar sudah mampu mempersiapkan dirinya, dan menjulurkan
goloknya di muka dadanya. Bahkan kemudian ketika Ki Tambak Wedi mengurungkan
serangannya, Sumangkarlah yang meloncat maju dengan sebuah ayunan pendek. Namun
kembali Ki Tambak Wedi mengumpat di dalam hatinya. Kini ia benar-benar melihat
muridnya dalam kesulitan. Karena itu maka mau tidak mau ia harus membagi
perhatiannya. Namun karena orang tua itu memiliki pengalaman yang
bertimbun-timbun di dalam perbendaharaan ilmunya, maka segera ia menemukan
jalan untuk menyelamatkan muridnya tanpa mengorbankan kehormatannya. Dengan lantang
kemudian ia berkata,
“Ayo, meskipun
Macan Kepatihan bukan muridmu Sumangkar, namun ia adalah murid saudara
seperguruanmu, sehingga ilmumu berdua bersumber dari perguruan yang sama. Kalau
ternyata kau tidak mampu melawan aku seorang diri, marilah, aku beri kesempatan
kalian bertempur berpasangan. Muridku pasti akan senang juga melayanimu dengan
cara itu”
“Kau licik”
sahut Sumangkar,
“Agaknya kau
telah melihat bahwa muridmu telah hampir sampai pada titik ajalnya”
“Persetan, aku
sobek mulutmu itu”
“Silakanlah
kakang” jawab Sumangkar.
Ki Tambak Wedi
menggeretakkan giginya. Namun ia tidak merubah rencana. Langsung ia melepaskan
Sumangkar dan berlari ke arah Sidanti yang semakin terdesak. Dengan demikian
maka Sumangkar tidak dapat berbuat lain daripada berlari pula mengejar Ki
Tambak Wedi itu. Sesaat kemudian maka mereka terlibat dalam pertempuran
berpasangan. Mula-mula Sumangkar dan Tohpati agak canggung juga menyesuaikan
diri masing-masing, namun karena mereka bersumber pada ilmu yang sama, maka
segera mereka menemukan titik-titik yang dapat membuka kemungkinan-kemungkinan
seterusnya. Dalam pada itu, ketika mereka telah luluh dalam satu lingkaran
perkelahian, maka bayangan yang datang mendekati mereka menjadi semakin dekat.
Mereka berjalan perlahan-lahan dengan penuh kebimbangan. Setapak mereka maju,
dan sesaat mereka berhenti. Sejenak mereka maju lagi, namun dua tiga langkah
mereka kembali tegak mengawasi perkelahian yang semakin seru.
“Mereka
bertempur berpasangan” berkata salah seorang dari mereka.
“Ya. Salah
satu pihak sedang mencari keseimbangan” jawab yang lain.
“Siapakah
mereka?”
Tak seorang
pun yang dapat menjawab. Namun salah seorang dari mereka berkata,
“Marilah kita
mendekat”
Mereka
berjalan maju lagi. Langkah mereka terayun satu-satu di antara rumput-rumput
liar. Ragu-ragu dan penuh kewaspadaan, Namun kemudian mereka berhentu pada
jarak yang tidak terlalu dekat.
“Dahsyat”
terdengar salah seorang bergumam.
“Ya” sahut
yang lain.
Dan yang lain
lagi berkata,
“Aku sangka,
mereka adalah guru dan murid saling berpasangan. Dua perguruan bertemu di
padang rumput ini”
Namun sesaat
kemudian mereka bertiga mengerutkan kening mereka. Hampir bersamaan mereka
dapat melihat semakin jelas ketika mereka sudah menjadi lebih dekat lagi.
Perlahan-lahan
di sela deru angin malam terdengar salah seorang berdesis,
“Macan
Kepatihan”
Yang lain
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tongkat baja putihnya, yang berkilat-kilat
di keremangan cahaya bulan yang hampir tenggelam telah menunjukkan kepada
mereka, siapakah salah seorang dari mereka yang sedang bertempur itu. Namun
kemudian timbullah kebimbangan di hati mereka bertiga. Salah seorang berkata,
“Macan
Kepatihan bertempur berpasangan. Siapakah yang seorang itu? Bukankah guru Macan
Kepatihan itu Patih Mantahun? Dan Patih Mantahun itu telah mati terbunuh?”
Salah seorang
bergumam lirih,
“Perguruan
Kedung Jati terkenal, bahwa murid-muridnya mampu menyimpan nyawa rangkap di
dalam tubuhnya”
“Aku juga
mendengar itu” sahut yang lain.
Tetapi yang
seorang lagi tertawa perlahan-lahan. Gumamnya,
“Sebuah
dongeng untuk menidurkan anak-anak di senja hari”
Kedua orang
yang lain saling berpandangan sesaat, seolah-olah mereka tidak mengerti, kenapa
yang seorang itu sama sekali tidak menaruh perhatian atas berita tentang nyawa
yang rangkap itu.
“Apakah kalian
percaya bahwa ada seorang yang mampu menyimpan nyawa rangkap di dalam dirinya?
Aji Pancasona barangkali? Nah, kalau kalian percaya, atau setidak-tidaknya
bimbang akan hal itu, mulailah sejak ini menganggap bahwa itu hanya sebuah
dongengan semata-mata. Dan hal itu pun terbukti pula, bahwa Patih Mantahun
tidak lagi bangkit dari kuburnya”
Kedua orang
yang lain kini berdiam diri. Namun mata mereka tajam menatap pasangan-pasangan
yang sedang bertempur dengan serunya. Dalam keremangan cahaya bulam, maka
mereka seolah-olah hanya melihat bayangan-bayangan hitam yang berputaran dan
berbenturan, di sela-sela cahaya keputih-putihan yang memantul dari tongkat
putih Macan Kepatihan dan sekali-sekali gemerlapnya pedang Sidanti. Golok
Sumangkar yang kehitam-hitaman bahkan di sana sini tampak berkarat, sama sekali
tidak mampu memantulkan cahaya bulan yang semakin rendah.
“Apakah kalian
ingin melihat lebih jelas?” terdengar salah seorang bertanya.
“Marilah Kiai”
jawab yang lain.
Orang yang
mengajak itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kainnya yang bercorak gringsing
menutupi sebagian tubuhnya sedang kedua orang yang lain, berjalan di
belakangnya dengan penuh kewaspadaan. Mereka adalah dua orang anak muda yang
sebaya. Yang seorang bertubuh sedang dan yang lain pendek gemuk hampir bulat.
Di lambung mereka masing-masing tergantung sehelai pedang. Namun di lambung
orang yang berjalan di paling depan dan bahkan kedua anak-anak muda itu,
melingkar sebuah cambuk yang bertangkai pendek dan berujung janget. Ternyata
orang yang pertama, yang berkain gringsing itu, telah menuntun mereka untuk
mempergunakan senjata, ciri perguruannya, di samping senjata yang disukainya.
Cambuk yang bertangkai tidak lebih dari sejengkal dan ujungnya berjuntai agak
panjang, terbuat dari tambang kulit yang sangat kuat beranyam rangkap tiga
ganda. Lemas namun kuatnya bukan main.
Tiba-tiba
orang yang berkain gringsing itu berkata,
“Kemarilah
ngger”
Kedua anak
muda yang berjalan di belakangnya segera berdiri di sampingnya sebelah
menyebelah.
“Apakah kalian
kenal yang seorang lagi?”
Keduanya
mengerutkan kening mereka dan mempertajam pandangan mata mereka. Tiba-tiba
mereka berdesis,
“Sidanti”
“Ya, Sidanti”
berkata orang yang berkain gringsing,
“Yang seorang
pasti Ki Tambak Wedi”
Dua orang anak
muda, Agung Sedayu dan Swandaru, mengangguk-anggukkan kepala mereka. Perlahan-lahan
mereka berdesis,
“Kiai, lalu
siapakah yang seorang lagi, pasangan Macan Kepatihan itu?”
Kiai
Gringsing, yang oleh murid-muridnya lebih dikenal dengan nama Ki Tanu Metir
menjawab,
“Aku belum
tahu, siapakah orang itu. Aku masih belum dapat mengenalnya. Seandainya ia
adalah seorang yang telah pernah terkenal di daerah ini, atau daerah Pajang,
mungkin aku dapat menyebut namanya”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kini mereka menjadi semakin berani. Apabila
salah satu pihak dari mereka adalah Sidanti dan Ki Tambak Wedi, sedang di pihak
lain dalam keadaan yang seimbang melayaninya, maka bersama guru mereka, mereka
tidak akan menjadi cemas lagi siapa pun yang sedang bertempur itu. Karena itu
maka Agung Sedayu kemudian berkata,
“Marilah kita
dekati Kiai. Aku ingin melihat dengan pasti siapakah yang tengah bertempur itu”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia menjawab,
“Marilah.
Tetapi berhati-hatilah. Siapa tahu bahwa mereka akan memilih lawan. Dan pilihan
itu jatuh kepada kita”
Swandaru
tersenyum. Selangkah ia maju. Tetapi ia segera berhenti ketika ia melihat
perkelahian itu cepat bergeser dari tempatnya.
“Kenapa?”
desisnya.
“Apakah ada
perubahan dari keseimbangan mereka?”
Tetapi
ternyata perkelahian itu segera berjalan kembali dengan sengitnya.
Mereka hanya
bergerak sekedar menemukan bentuk yang baru dari daerah perkelahian serta letak
pasangan dari antara mereka. Namun waktu yang sesaat itu telah menggoncangkan
hati Kiai Gringsing. Pada saat yang demikian itu, ia mengenal, siapakah seorang
lagi, yang selama ini menjadi teka-teki di antara murid-muridnya. Namun untuk
meyakinkannya, ia dengan serta-merta melangkah maju lagi beberapa langkah,
sehingga jarak mereka menjadi semakin dekat, bahkan terlalu dekat. Yang sedang
bertempur itu pun kemudian terkejut melihat kehadiran mereka yang terlalu dekat
itu. Apalagi dengan demikian segera mereka mengenal siapakah orang-orang yang
datang mendekat. Yang pertama-tama berteriak di antara mereka adalah justru Ki
Tambak Wedi, “He, orang yang menamakan diri Kiai Gringsing, apakah kerjamu di
sini?”
Kiai Gringsing
tidak menjawab. Matanya sedang menekuni gerak seorang lagi di antara mereka
yang selama ini tak pernah disangkanya akan bertemu kembali. Tiba-tiba
terdengar ia bergumam,
“Sumangkar,
murid kedua dari perguruan Kedung Jati”
“He, siapakah
kau?” sahut Sumangkar yang mendengar namanya disebut-sebut.
“Bertanyalah
kepada Ki Tambak Wedi” sahut Kiai Gringsing
“Aku mendengar
ia menyebutmu Kiai Gringsing. Siapakah sebenarnya kau ini?”
“Itulah aku
sebenarnya”
Sumangkar
masih mau berkata lagi. Tetapi tiba-tiba terdengar Tohpati berteriak,
“He, bukankah
kalian orang-orang yang aku temukan di tengah kali itu? Yang gemuk itu, yang
satunya dan apakah kau orang tua itu pula?”
“Ya, akulah
itu” jawab Kiai Gringsing.
Ternyata dada
Tohpati berdesir mendengar pengakuan itu, meskipun hal itu telah diketahuinya
atau setidak-tidaknya telah digambarkannya. Sehingga karena itu ia berkata,
“Aku sudah
menyangka. Kalau aku tahu bahwa kalian orang-orang aneh dari Sangkal Putung,
maka pada saat itu kalian pasti telah aku bunuh”
“Apa salah
kami?” teriak Kiai Gringsing,
“Dan karena
itu pula agaknya waktu itu kami tidak mengaku orang-orang aneh”
“Gila!” teriak
Tohpati,
“Jangan
mengigau, nanti akan datang giliran kalian untuk aku bunuh setelah
musuh-musuhku ini mati”
Yang terdengar
adalah suara tertawa Ki Tambak Wedi. Sementara itu mereka basih bertempur
dengan serunya. Dan di antara derai tertawa itu terdengar Ki Tambak Wedi
berkata,
“Jangan
sombong Macan Kepatihan yang gagah perkasa. Mungkin kalian berdua mampu
membunuh kami, tetapi orang-orang itu?”
Macan
Kepatihan benar-benar terkejut mendengar kata-kata Ki Tambak Wedi yang biasanya
terlalu menyombongkan diri. Tetapi ia tidak segera bertanya lagi. Tekanan Ki
Tambak Wedi bahkan menjadi semakin mendesak. Dalam kesibukan perkelahian itu
yang terdengar kemudian adalah geram Sidanti penuh kemarahan,
“Agung Sedayu,
musuh bebuyutan, apakah kau sudah jemu hidup sehingga kau berani mendatangi
tempat ini, dimana aku dan guruku sedang berpesta? Kedatanganmu akan merupakan
hadiah terbesar bagiku sesudah kepala Tohpati malam ini”
Ketika Agung
Sedayu hampir membuka mulutnya untuk menjawab maka terasa lengannya digamit
oleh gurunya. Dengan serta-merta ia mengurungkan niatnya sambil berpaling
kepada gurunya, untuk mendapat penjelasan. Namun Kiai Gringsing itu hanya
mengangkat dagunya ke arah perkelahian itu. Dalam kebimbangan Agung Sedayu
menuruti arah itu. Barulah kemudian ia tahu maksud gurunya, bahwa kata-kata
Sidanti itu pasti akan menyinggung perasaan Tohpati pula. Dan Kiai Gringsing
mengharap biarlah Macan Kepatihan itulah yang menjawab.
Sebenarnyalah
kemudian Macan Kepatihan menggeram,
“Gila kau
Sidanti, kau sangka bahwa Macan Kepatihan sama murahnya dengan kepalamu?”
“Jangan marah
ngger” sahut Ki Tambak Wedi, “Sidanti hanya berkata sebenarnya”
Betapa
marahnya Macan Kepatihan mendengar penghinaan itu. Namun kemudian terdengar
Sumangkar berkata tenang,
“He orang yang
menamakan dirinya Kiai Gringsing, kau lihat, bahwa di tempat ini terjadi dua
macam perkelahian? Yang pertama perkelahian jasmaniah. Kami masing-masing telah
bertempur dengan sekuat-kuat tenaga kami, namun belum ada di antara kami yang
dapat dikalahkan oleh pihak yang lain, Sedang perkelahian yang kedua adalah
perkelahian mulut. Kami masing-masing mencoba saling menyombongkan diri kami.
Kami masing-masing berkata bahwa kami akan membunuh lawan-lawan kami. Kalau itu
mampu lakukan, maka sudah pasti kami lakukan. Tetapi ternyata seperti yang kau
lihat. Kami masih bertempur mati-matian sehingga kami harus tertawa mendengar
suara kami sendiri. Karena itu Kiai, kalau Kiai masih ingin menonton,
menontonlah dengan tenang. Waktu masih panjang. Kalau ada di antara kami yang
akan memusuhi Kiai, maka itu masih harus melalui waktu yang cukup banyak untuk
mengalahkan lawan-lawan kami”
Ki Tambak Wedi
dan Sidanti menggeram mendengar kata-kata itu, bahkan Tohpati sendiri
menggertakkan giginya. Namun dengan demikian mereka tidak lagi berteriak-teriak
dan saling mengancam. Mereka kini memusatkan tenaga mereka dalam pertempuran
yang terjadi. Namun meskipun demikian hati mereka telah digelisahkan oleh
kehadiran Kiai Gringsing dengan murid-muridnya. Mereka mempunyai persoalan
sendiri-sendiri terhadap mereka. Tohpati menyadari bahwa di antara orang-orang
itu terdapat orang-orang Sangkal Putung. Namun justru karena itu ia mulai
menimbang-nimbang. Kalau tidak ada persoalan di antara mereka dengan Sidanti,
maka mereka pasti akan membantu Sidanti. Karena itu maka kehadiran mereka
benar-benar mempengaruhi perasaannya. Dalam pada itu, Ki Tambak Wedi pun
menjadi gelisah. Disadarinya bahwa orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing
itu tidak dapat dikalahkan. Ternyata Kiai Gringsing telah mengambil lawan
Sidanti menjadi muridnya. Dengan demikian maka apabila terpaksa mereka harus
berhadapan saat itu, maka tidak akan dapat memberinya kesempatan apa-apa. Yang
terdengar kemudian adalah suara Kiai Gringsing. Kiai Gringsing senang mendengar
kejujuran sikap Sumangkar, sehingga menyahut,
“Kau
benar-benar murid kedua perguruan Kedung Jati yang perkasa. Aku terpaksa
tertawa mendengar pengakuanmu. Dan aku akan mencoba memenuhinya. Duduk di sini
sambil melihat kalian berkelahi”
“Gila!” teriak
Ki Tambak Wedi, namun suaranya segera tenggelam dalam kata-kata Sumangkar,
“Silakan Kiai,
silakan. Kiai akan dapat menilai, sampai sejauh mana kemungkinan yang ada di kedua
belah pihak. Dan kira-kira Kiai akan lebih senang melawan pihak yang mana?
Bukankah dengan demikian Kiai dapat berbuat sesuatu?”
Kembali Kiai
Gringsing tertawa, jawabnya,
“Tidak, aku
tidak berpihak. Aku tidak akan berpihak pada yang lemah untuk nanti mendapatkan
lawan yang lemah itu”
Sumangkar
tertawa pendek. Sekali ia harus meloncat ke samping untuk menghindari sambaran
tangan Ki Tambak Wedi. Namun ia harus segera menggeliat pula, ketika dilihatnya
pedang Sidanti menjulur mematuk lambungnya. Namun ketika Ki Tambak Wedi akan
menyerangnya kembali, segera Sumangkar meloncat dan memutar golok di tangannya.
Ia tidak perlu memperhatikan Sidanti lagi, karena dengan serta-merta, tongkat
Macan Kepatihan menyambar lengan anak muda itu, sehingga ia terpaksa meloncat
surut. Namun dalam pada itu, timbullah banyak pertimbangan di kepala Tohpati.
Seandainya perkelahian itu dibiarkannya berjalan dalam keseimbangan, maka
semalam suntuk mereka pasti tidak akan menemukan penyelesaian. Bahkan mungkin
pada saat-saat mereka hampir mati kekelahan, pada saat itulah Kiai Gringsing
baru tampil ke gelanggang. Karena itu, maka segera timbul banyak pertimbangan
di kepala Macan Kepatihan. Ia sendiri tidak yakin, apakah yang dapat dilakukan
oleh Kiai Gringsing. Apakah ia akan berpihak ataukah ia akan melawan segala
pihak. Namun keadaannya pasti akan menjadi paling baik. Seperti tantangan
Sumangkar, Kiai Gringsing dapat berpihak yang dianggapnya paling lemah untuk
membinasakan yang kuat, supaya apabila kemudian terpaksa bagi Kiai Gringsing
untuk bertempur, maka musuhnya adalah pihak yang lemah. Namun agaknya
permusuhan telah terjadi antara Kiai Gringsing dan Ki Tambak Wedi seperti
halnya murid-muridnya di kedua belah pihak. Apakah permusuhan itulah yang
menyebabkan Sidanti meninggalkan Sangkal Putung? Sekali-sekali terlintas juga
di dalam benaknya untuk melawan saja Kiai Gringsing bersama muridnya itu
bersama-sama dengan Sidanti dan gurunya dalam satu gabungan kekuatan, maka
pasti Kiai Gringsing dapat dikalahkan. Namun kemudian Tohpati itu menjadi
ragu-ragu pula. Meskipun hatinya cenderung berbuat demikian. Sebab apabila yang
tinggal adalah mereka berempat, maka kekuatan mereka pasti akan tetap seimbang.
Dalam keragu-raguan itu tiba-tiba Tohpati mendengar tawaran Ki Tambak Wedi yang
agaknya mempunyai pikiran yang sama, sehingga tawaran itu benar-benar
mengejutkan Macan Kepatihan,
“He, angger
Tohpati yang perwira. Orang baru itu adalah musuhku bebuyutan. Sedangkan apa
yang kita lakukan adalah suatu permainan yang tidak berarti apa-apa. Karena
itu, apakah tidak sebaiknya kita hentikan permainan ini, dan kita binasakan
saja lawan kita yang berbahaya itu bersama-sama. Kemudian baiklah permainan ini
kita lanjutkan kembali?”
Tohpati
mengerutkan keningnya. Semula ia tidak yakin akan tawaran Ki Tambak Wedi, namun
kemudian tampaklah serangan-serangan Ki Tambak Wedi mengendor, sehingga Tohpati
menjadi ragu-ragu dan bertanya,
“Apakah
pertimbanganmu?”
Ki Tambak Wedi
tertawa, jawabnya,
“Sebenarnyalah
kita sudah dapat mengetahui keadaan kita masing-masing. Juga Kiai Gringsing itu
pasti tahu, kenapa kita akan menyatukan kekuatan kita. Bukankah dengan demikian
kita akan dapat meneruskan permainan ini tanpa terganggu dan tanpa menunggu
kemungkinan yang paling buruk? Membiarkan Kiai Gringsing menunggu kita
masing-masing mati kelelahan?”
Sekali lagi
Tohpati dilanda oleh keragu-raguan. Sementara itu, Swandaru dan Agung Sedayu
yang mendengar tawaran Ki Tambak Wedi itu segera meraba hulu pedang
masing-masing. Tanpa berpikir akibat yang akan terjadi maka tiba-tiba Swandaru
tertawa sambil berkata,
“Kiai, kita
akan mendapat latihan yang baik” Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
Ditatapnya wajah Swandaru dan Agung Sedayu berganti-ganti. Tiba-tiba ia menjadi
cemas. Mungkin Agung Sedayu dapat mempertahankan dirinya melawan Sidanti atau
Tohpati sekalipun dalam taraf kekuatannya kini setelah ia maju dengan pesatnya.
Namun Swandaru masih belum dapat disejajarkan dengan salah seorang dari mereka.
Apalagi kalau kekuatan mereka digabung, maka Sumangkar dan Ki Tambak Wedi akan
menjadi lawan yang amat berat meskipun kekuatan mereka telah menunjukkan
tanda-tanda menurun karena perjuangan yang berat di antara mereka. Tetapi
Swandaru yang sedang berkembang itu tidak dapat menimbang berat ringan
orang-orang yang dihadapinya. Ia masih dalam tingkatan ingin mencoba segala
kemampuan yang ada di dalam dirinya. Apalagi kini di hadapannya berdiri Sidanti
dan Tohpati. Ia ingin menakar diri. Apakah kekuatannya sudah seimbang dengan
Tohpati atau Sidanti? Dalam kesibukan berpikir itu, Kiai Gringsing mendengar
Sumangkar menjawab tawaran Ki Tambak Wedi sebelum Tohpati mengambil keputusan,
“Ki Tambak
Wedi, di hadapan kami berdiri Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Kini datang Kiai
Gringsing dengan kedua muridnya, anak-anak Sangkal Putung. Adakah itu suatu
kebetulan? Apakah Ki Tambak Wedi sudah menyediakan perangkap untuk menjebak
kami berdua?”
Ingatan
Tohpati benar-benar seperti tersengat lebah mendengar kata-kata itu. Alangkah
mengejutkan meskipun seharusnya kemungkinan itu telah dipertimbangkannya. Ya,
seandainya mereka telah merencanakan itu, alangkah bodohnya. Kalau ia menerima
tawaran Ki Tambak Wedi, kemudian Ki Tambak Wedi dan Sidanti mengkhianatinya
dalam perkelahian itu, maka membunuh Tohpati akan sama mudahnya dengan memijat
biji ranti. Karena itu tiba-tiba Tohpati menggeram dengan marahnya. Katanya,
“Hem. Ternyata
kalian adalah orang-orang yang sangat licik. Kalian berpura-pura saling
bertentangan antara kedua pihak guru dan murid sekali. Tetapi ternyata kalian
telah menjebak kami. Tetapi jangan kalian sangka Tohpati akan menyerah. Tohpati
hanya menyerah apabila Tohpati telah menjadi mayat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar