“AKU tidak pernah mempunyai keberanian yang cukup untuk menegurnya, meskipun aku sering berpapasan dengan gadis itu.”
Wuranta
tertawa, ditatapnya wajah Alap-alap yang keras dan bermata seperti mata burung
alap-alap itu. Katanya,
“Tuan adalah
seorang anak muda yang perkasa. Semuda umur Tuan, Tuan telah memiliki banyak
kelebihan dari anak-anak muda sebaya Tuan, bahkan yang lebih tua dari Tuan.
Tetapi kenapa Tuan tidak memiliki keberanian untuk menegur seorang gadis yang
justru telah berada di dalam lingkungan Tuan sendiri?”
Alap-alap
Jalatunda menggeleng-gelengkan kepalanya. Desisnya,
“Aku tidak
tahu.”
“Baiklah,”
gumam Wuranta,
“akulah yang nanti
akan menegurnya apabila kita berpapasan.”
“Gila,”
tiba-tiba mata Alap-alap Jalatunda menjadi merah,
“meskipun kau
kini membawa pedang di lambungmu, ayo, kita lihat siapakah yang lebih berhak
disebut jantan.”
Wuranta
tertegun sejenak, tetapi kemudian ia tersenyum,
“Apakah Tuan
salah sangka? Maksudku, aku akan menegur untuk kemudian memberi jalan kepada
Tuan supaya Tuan dapat berbicara lebih lancar.”
“He,” mata
Alap-alap Jalatunda yang menyala itu pun sedikit demi sedikit menjadi suram
kembali.
“Apakah Tuan
sependapat?”
Alap-alap
Jalatunda tidak segera menjawab.
“Tetapi kalau
Tuan tidak sependapat, baiklah. Aku akan menutup mulut.”
“Tetapi,”
desis Alap-alap Jalatunda,
“kalau kau
ingin membantu aku, aku kira aku tidak akan berkeberatan.”
“Begitu?”
Alap-alap
Jalatunda menganggukkan kepalanya, tetapi ia tidak menyahut.
Keduanya pun
kemudian berjalan kembali menyusul Sekar Mirah lewat lorong kecil yang telah
dilalui oleh gadis itu.
“Apakah kita
menyusul di belakangnya?” bertanya Wuranta.
“Ya, kenapa?”
“Kita
laki-laki muda mengikuti seorang gadis?”
“Jadi
bagaimana?” bertanya Alap-alap Jalatunda dengan herannya.
“Kita mencari
jalan lain yang akan sampai ke sungai itu pula. Seolah-olah kita tidak sengaja
mengikutinya. Kita selusuri sungai ini. Kalau perlu dari salah satu ujung.
Bukankah kita sedang nganglang dan tidak sengaja menjumpainya di sungai?”
Alap-alap
Jalatunda mengerutkan dahinya. Sejenak ia berdiam diri. Mulutnya
berkumat-kamit, tetapi sama sekali tidak terdengar kata-katanya.
“Tuan,” berkata
Wuranta kemudian,
“ada beberapa
alasan yang harus Tuan pertimbangkan. Selain supaya gadis itu tidak menjadi
takut dan kemudian menghindar, maka tidaklah pantas anak-anak muda mengikuti
seorang gadis yang akan pergi ke sungai. Seandainya ia tidak menghindar, maka
gadis itu pasti akan mengurungkan niatnya. Untuk mandi misalnya, atau mencuci
pakaian. Tetapi yang lebih penting bagi Tuan, maka apa yang Tuan lakukan tidak
akan menimbulkan kecurigaan bagi para pengawas.”
“He, kenapa
para pengawas? Seandainya mereka berkeberatan, maka leher mereka akan aku
penggal di hadapan gadis itu.”
“Bukan begitu
Tuan,” Wuranta diam sejenak, kemudian diteruskannya,
“Siapakah yanq
harus mengawasi gadis itu? Orang-orang Jipang atau orang-orang padepokan ini?”
“Bergantian.
Semua orang yang telah memiliki senjata di tangannya tidak terkecuali. Gadis
itu termasuk salah satu hal yang harus mendapat pengawasan seperti jalan masuk,
dinding-dinding padepokan, rumah-rumah penting dan lain-lain.”
“Nah, bukankah
kadang-kadang Tuan akan menemui seseorang yang tidak senang terhadap Tuan.”
“Aku tidak
perduli. Orang itu akan dapat aku bunuh seketika.”
“Tetapi ingat.
Sidanti mempunyai kepentingan pula atas gadis itu. Bukan aku menganggap Tuan
tidak berani, tetapi dalam keadaan seperti sekarang, jangan dulu timbul
curiga-mencurigai di kalangan sendiri.”
Wajah
Alap-alap Jalatunda menjadi tegang. Wuranta yang dianggapnya terlampau bodoh
itu dapat memberinya petunjuk yang dapat dimengertinya. Karena itu, maka
tiba-tiba ia mengangguk-angguk sambil tersenyum,
“Baik, aku
menuruti nasehatmu. Jadi bagaimana dengan kita? Gadis itu telah hilang di balik
tikungan. Kalau kita terlambat, ia pasti sudah selesai mandi atau mencuci.
Dengan demikian, maka kau tidak akan mendapat kesempatan melihatnya.”
“Bukankah
kesempatan itu tidak hanya sehari ini? Seandainya sekarang aku terlambat, besok
masih juga ada hari.”
Alap-alap
Jalatunda tersenyum. Sekali lagi ia mengangguk-angguk sambil berkata,
“Bagus, bagus.
Kau benar. Agaknya akulah yang takut terlambat.”
Keduanya
kemudian memutar langkahnya. Mereka tidak menempuh jalan yang telah dilalui
Sekar Mirah.
“Kemana kita?”
bertanya Alap-alap Jalatunda.
“Aku tidak
tahu. Tuan-lah yang lebih tahu dari aku. Atau barangkali Tuan akan menyelusuri
sungai ini dari ujung sampai ke ujung yang lain? Bukankah dengan demikian tak
seorang pun akan mencurigai Tuan.”
“Baiklah,”
sahut Alap-alap Jalalunda,
“marilah kita
pergi ke ujung sungai ini memasuki padepokan. Kita berjalan menyelusur tepian
sampai ke ujung yang lain.”
“Marilah,
Tuan. Sikap berhati-hati adalah sikap yang paling baik dalam segala hal.”
Keduanya pun kemudian berjalan dengan tergesa-gesa.
Setelah beberapa kali mereka membelok, akhirnya mereka sampai pada dinding
padepokan yang cukup tinggi. Dinding batu yang agaknya umurnya sudah cukup tua.
“Beberapa
puluh langkah lagi kita akan sampai ke sungai,” gumam Alap-alap Jalatunda.
Wuranta tidak
menyahut. Ia berjalan saja di samping Alap-alap Jalatunda. Dan benarlah
katanya, segera mereka sampai ke sebuah lereng yang dangkal. Ketika mereka
menuruni lereng itu, maka oleh Wuranta tampak seakan-akan sebuah mata air yang
besar tersumbul dari dalam tanah.
“Hem,” katanya
di dalam hati,
“inilah
agaknya sebuah urung-urung air yang cukup besar.”
Dalam pada itu
terdengar Alap-alap Jalatunda berkata,
“Inilah ujung
sungai itu. Air memasuki daerah padepokan lewat di bawah dinding yang rendah.”
“Bukan main,”
sahut Wuranta, “bagaimana urung-urung itu dapat dibuat?”
“Aku tidak
tahu. Tetapi urung-urung itu terbuat dari batu pula, bagian atasnya lengkung supaya
urung-urung ini tahan desakan air, meski banjir sekalipun.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa disadarinya ia mengamat-amati urung-urung
itu.
“Tidak
terlampau tebal,” desisnya di dalam hati.
“Kau menaruh
perhatian?” bertanya Alap-alap Jalatunda.
“Aku mengagumi
pembuatnya,” desisnya,
“urung-urung
ini agaknya tidak terlampau tebal.”
“Memang tidak.
Dua atau tiga kali lipat dari tebal dinding itu.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Hatinya menjadi puas melihat urung-urung air
itu. Urung-urung itu akan sangat berguna baginya. Tetapi ia berkata dengan
tiba-tiba,
“Mari kita
berjalan. Kita akan terlambat.”
Alap-alap
Jalatunda tersenyum. Jawabnya,
“Bukankah
besok masih juga ada hari?”
Wuranta
tersenyum pula, tetapi ia mulai melangkahkan kakinya menyelusuri tepian.
“Apakah tempat
untuk mandi dan mencuci itu jauh dari ujung ini?”
“O, tidak.
Bukankah kita juga tidak terlampau jauh berjalan. Di belakang tikungan itu ada
sebuah belik. Di situlah ia biasa mandi. Beberapa orang perempuan padepokan ini
pun mandi dan mencuci di situ pula.”
“Tuan agaknya
mengetahui terlalu banyak tentang gadis itu.”
“Hus,” desis
Alap-alap Jalatunda.
Mereka pun terdiam sejenak. Hanya langkah mereka di
atas pasir tepian terdengar gemerisik lembut. Di samping mereka, air sungai
yang jernih mengalir segar. Sepercik-sepercik buih berloncatan, apabila
sepotong dahan yang kering jatuh ke dalamnya. Di kejauhan burung-burung
bertengger di atas cabang-cabang pepohonan meneriakkan dendang yang riang.
Mereka sama sekali tidak menyadari apa artinya pedang di lambung orang-orang
yang berjalan di lorong-lorong padukuhan itu. Tidak banyak terjadi permusuhan
di antara mereka. Tidak banyak timbul persoalan selain berebut makan. Tidak
seperti manusia yang mempunyai nalar dan budi yang menyadari seribu satu macam
kepentingan. Dan setiap sentuhan kepentingan, dapat saja berakhir di ujung
pedang. Mereka lebih banyak berbicara dengan bahasa pedang daripada bahasa
cinta kasih di antara mereka.
Wuranta
terkejut ketika tiba-tiba Alap-alap Jalatunda menepuk bahunya. Terdengar ia
berbisik lirih,
“Wuranta,
lihatlah. Gadis itu lagi mencuci bajunya.”
“He,” Wuranta
menarik keningnya, seakan-akan ingin membuat matanya menjadi lebih lebar.
“Di mana?” ia
bertanya.
“Di belik
itu.”
“O,” Wuranta
menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya Sekar Mirah sedang berjongkok
membelakangi mereka di tepi belik. Agaknya ia memang sedang mencuci bajunya.
Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya Wuranta berkata,
“Marilah kita
berjalan. Kenapa berhenti?”
Alap-alap
Jalatunda menggeleng, “Tidak. Aku di sini saja.”
“Lalu
bagaimana dengan aku?”
“Kau juga di
sini saja.”
“Kenapa?”
“Jangan banyak
bertanya.”
“Adakah setiap
kali Tuan berbuat demikian. Memandang keindahan gadis itu dari kejauhan?”
Alap-alap
Jalatunda tidak menjawab.
Tetapi Wuranta
menjadi berdebar-debar karenanya. Perbuatan Alap-alap Jalatunda itu justru
berbahaya bagi Sekar Mirah. Anak muda itu akan selalu berangan-angan. Karena ia
tidak berani berkenalan dengan gadis-gadis, maka angan-angannya akan dapat
menjadi terlampau liar dan buas. Karena itu, maka Wuranta itu pun berkata,
“Marilah Tuan.
Lewat di sampingnya bersama aku. Mungkin Tuan sekali dua kali akan dapat
bercakap-cakap dengannya. Kecuali kalau Tuan berkeberatan karena
memperhitungkan pengawasan orang-orang Sidanti.”
“Setan. Jangan
kau sebut lagi monyet-monyet itu. Aku tidak takut. Dan mereka tidak akan
menyangka, bahwa aku sengaja mengikuti gadis itu seperti katamu tadi. Sebab aku
datang dari arah yang sangat berbeda.”
“Karena itu
marilah.”
Alap-alap
Jalatunda ragu-ragu sejenak. Tetapi Wuranta menarik tangannya sambil berkata,
“Marilah.
Gadis itu tidak akan menggigit.”
Alap-alap
Jalatunda masih ragu-ragu. Tetapi kemudian ia
pun melangkah kakinya. Dengan kepala tunduk Alap-alap Jalatunda
berjalan, di tepian, di atas tanggul bersama Wuranta. Sekali-sekali ia hanya
berani melemparkan sudut pandangannya. Sekar Mirah yang sedang mencuci bajunya
terkejut mendengar langkah di atas tanggul sungai. Cepat-cepat ia meletakkan
cuciannya dan membetulkan kain pinjungnya. Ketika ia perpaling, dilihatnya dua
orang berjalan dengan pedang di lambung masing-masing. Tanpa diduganya, maka
Wuranta menganggukkan kepalanya sambi berkata,
“Maaf. Kami
tidak tahu bahwa Nini sedang mencuci pakaian. Karena itu kami tidak sengaja
telah lewat di tanggul ini.”
Wuranta
melihat kerut-merut di kening Sekar Mirah. Tetapi tiba-tiba dadanya berdesir.
Ia melihat Sekar Mirah tersenyum. Dengan manisnya ia menjawab,
“Oh, tidak apa
Tuan. Tanggul ini memang sering dilalui orang. Akulah yang bersalah, mencuci
pakaian di belik di bawah tanggul ini.”
Sejenak
Wuranta justru terbungkam. Ia tidak menyangka bahwa Sekar Mirah akan
menjawabnya sambil tersenyum. Bahkan kemudian Sekar Mirah itu berkata,
“Bahkan aku
menjadi sangat senang, bahwa seseorang sudi menegur aku. Selama ini orang-orang
di padepokan ini acuh tak acuh saja kepadaku, justru karena aku bukan orang
padepokan ini.”
Wuranta masih
saja terbungkam. Apalagi Alap-alap Jalatunda. Tetapi Wuranta menjadi
berdebar-debar bukan karena senyum Sekar Mirah yang telah menggoncangkan
hatinya. Sama sekali tidak. Ia tetap menyadari dirinya. Ia sedang bermain-main
dengan Alap-alap Jalatunda. Tetapi ia tidak menyangka, bahwa Sekar Mirah akan
semudah itu tersenyum kepada laki-laki yang belum dikenalnya.
“Apakah benar
gadis ini Sekar Mirah yang dikatakan oleh Agung Sedayu.” Wuranta justru menjadi
ragu-ragu. Alangkah murahnya senyum gadis itu.
Tetapi
tiba-tiba ia terhenyak dalam suatu sikap seperti ia sendiri. Ia tidak tahu
apakah sebenarnya yang tersimpan di dalam hati Sekar Mirah. Kenapa dirinya
sendiri bersikap baik juga terhadap Alap-alap Jalatunda? Apakah demikian juga
agaknya Sekar Mirah yang sedang berusaha untuk menemukan jalan keluar dan
kesulitannya. Wuranta seakan-akan terbangun ketika ia mendengar Sekar Mirah
berkata,
“Kenapa Tuan
menjadi bingung? Apakah Tuan juga akan mandi?”
“O, tidak.
Tidak,” Wuranta tergagap. “Kami hanya kebetulan saja lewat.”
“Apakah Tuan
seorang prajurit?” bertanya Sekar Mirah.
“Aku bukan,”
sahut Wuranta,
“tetapi Tuan
ini adalah seorang pemimpin prajurit Jipang. Ia bernama Alap-alap Jalatunda.”
Dada Sekar
Mirah berdesir mendengar nama itu. Nama yang pernah didengarnya sejak di
Sangkal Putung dahulu. Dan kini ia melihat seorang anak muda yang berwajah
keras dan bermata tajam, setajam mata burung alap-alap. Sejenak Sekar Mirah
terpaku diam. Dipandanginya Alap-alap Jalatunda dengan tajamnya seperti hendak
dilihatnya sesuatu di dalam dada anak muda itu. Dengan demikian, maka Alap-alap
Jalatunda itu pun menjadi semakin tunduk.
Ia tidak dapat menentang mata Sekar Mirah yang seperti api menjilat wajahnya. Wuranta
bukan seorang anak muda pemalu. Ia dapat bergaul dengan gadis-gadis di
padukuhannya, meskipun ia tahu batas-batas yang tak dapat di lewatinya. Namun
di hadapan Sekar Mirah, Wuranta merasa dadanya seperti berdentang terlampau
cepat. Dalam pada itu terdengar suara Sekar Mirah,
“Aku tidak
menyangka bahwa suatu kali aku akan dapat bertemu dengan seorang anak muda yang
namanya jauh menjangkau di luar lingkungannya. Aku pernah mendengar nama
Alap-alap Jalatunda. Hampir setiap prajurit Pajang membicarakannya.”
Wuranta yang
berdiri di samping Alap-alap Jalatunda semakin lama menjadi semakin dapat
menguasai dirinya kembali. Ia kini telah menjadi agak tenang, sehingga ia
sempat menjawab,
“Apakah yang
mereka katakan tentang dirinya?”
“Ia adalah
salah seorang yang paling disegani dari pihak Jipang, di samping nama-nama
Sanakeling dan Sidanti.”
“Sidanti bukan
seorang prajurit Jipang,” tiba-tiba Alap-alap Jalatunda bergumam perlahan,
seolah-olah hanya ditujukan kepada dirinya sendiri.
“Apa yang Tuan
katakan?” Sekar Mirah bertanya.
Alap-alap
Jalatunda menjadi semakin tunduk. Mulutnya bagaikan terkunci, sehingga ia tidak
dapat menjawab pertanyaan Sekar Mirah itu.
“Tuan,”
Wuranta lah yang kemudian bertanya,
“Nini Sekar
Mirah ingin Tuan mengulangi kata-kata Tuan yang tidak begitu jelas baginya.”
Wajah
Alap-alap Jalatunda menjadi merah, seperti seorang jejaka kecil bertemu dengar
seorang gadis yang memikat hatinya.
“Apakah Tuan
mengatakan bahwa Sidanti bukan salah seorang prajurit Jipang?”
Alap-alap
Jalatunda menganggukkan kepalanya.
“Demikianlah
Nini, Sidanti bukan seorang prajurit Jipang.”
“O,” Sekar
Mirah menyahut,
“ya, aku tahu.
Justru Sidanti pernah berada di Sangkal Putung. Ia adalah bekas seorang
prajurit Pajang.” Sekar Mirah berhenti sebentar, lalu diteruskannya,
“Apakah Tuan
sekarang berada di padepokan ini juga?”
Alap-alap
Jalatunda tidak segera menjawab. Sehingga Wuranta terpaksa mendesaknya.
“Tuan, Tuan
harus menjawab pertanyaan itu.”
Perlahan-lahan
Alap-alap Jalatunda mengangkat wajahnya. Hatinya seakan-akan pecah seperti
belanga yang terbanting di atas batu hitam ketika ia sepintas memandang Sekar
Mirah yang hanya berkain pinjung yang telah basah, berdiri menatapnya. Tatapan
mata gadis itu seperti tusukan anak panah yang langsung melubangi dinding
jantungnya. Sekali lagi wajah Alap-alap Jalatunda terbanting di atas pasir
tepian jang basah. Tanpa dikehendakinya sendiri, tangannya bergerak-gerak
meraba bulu pedangnya. Dengan gelisah ia berdiri saja membisu.
“Bagaimana
jawab Tuan?” bertanya Wuranta.
“Tuan tidak
sudi berbicara dengan aku?” suara Sekar Mirah seperti meremas hatinya menjadi
lebu.
“Tidak, bukan
begitu,” jawab Wuranta.
“Ia terlampau
sopan. Itulah sebabnya, maka setiap kata-katanya pasti diatur sebaik-baiknya
supaya tidak menimbulkan salah sangka. Agak berbeda dengan aku yang kasar ini.”
“Apakah Tuan
bukan seorang prajurit?” bertanya Sekar Mirah kepada Wuranta.
“Bukan. Aku
hanya sekedar seorang gembala yang kebetulan mendapat pinjaman sehelai pedang.”
Kening Sekar
Mirah tampak berkerut-merut. Ia melihat pancaran mata yang jauh lebih tajam
dari seorang gembala biasa. Karena itu, maka ia mendesaknya,
“Aku tidak
percaya bahwa Tuan hanya sekedar seorang gembala. Wajah Tuan tidak meyakinkan
kata-kata Tuan.”
Hati Wuranta
menjadi berdebar-debar. Jangan-jangan pujian itu dapat menumbuhkan kemarahan
Alap-alap Jalatunda. Karena itu, maka dengan serta-merta ia menjawab,
“Nini salah
lihat. Tetapi sebaiknya Nini mendengarkan jawabannya.” Kemudian kepada Alap-alap
Jalatunda ia berbisik,
“Berkatalah
Tuan.”
Alap-alap
Jalatunda mencoba memaksa dirinya sendiri untuk mengucapkan kata-kata. Maka dengan
terbata-bata ia berkata,
“Ya, aku
sekarang berada di padepokan ini.”
“Bersama
Sidanti?” bertanya Sekar Mirah pula.
“Ya, bersama
Sidanti,” jawab Alap-alap Jalatunda. Sekar Mirah tiba-tiba mencibirkan
bibirnya. Tetapi sejenak kemudian ia tersenyum,
“Dari manakah
Tuan berdua ini?”
Alap-alap
Jalatunda menjadi kebingungan. Sekenanya saja ia menjawab, “Berjalan-jalan.”
“Berjalan-jalan.
Dalam keadaan serupa ini Tuan masih sempat berjalan-jalan.
“Berjalan-jalan
menurut pengertian seorang prajurit,” Wuranta lah yang menyahut.
“Aku kira Nini
tahu pula maksudnya, seperti barangkali prajurit-prajurit Pajang pernah berkata
demikian pula.”
“Apakah
artinya?”
“Nganglang,
melihat keadaan. Supaya tak ada bahaya yang dapat dengan diam-diam melanda
padepokan ini.”
“Dan supaya
aku tidak dapat melarikan diri, begitu?” potong Sekar Mirah.
“Apakah Nini
akan berbuat begitu seandainya mungkin?”
“Aku pernah
berangan-angan untuk melepaskan diri dari neraka ini. Tetapi ternyata aku akan
mengurungkan niatku setelah aku melihat bahwa di dalam neraka pun aku bertemu
dengan anak-anak muda yang lain daripada Sidanti.”
Wajah
Alap-alap Jalatunda menjadi semakin merah. Kini mulutnya benar-benar menjadi
terbungkam. Bahkan terasa seakan-akan dentang jantungnya akan memecahkan
dadanya. Tetapi Wuranta menjadi semakin tenang. Sambil tersenyum ia menjawab,
“Tetapi neraka
ini adalah milik Sidanti, semua isinya adalah miliknya pula.”
“Bohong,”
tiba-tiba Alap-alap Jalatunda memotong.
“Aku
sependapat dengan anak muda yang bergelar Alap-alap Jalatunda itu.” sahut Sekar
Mirah. Dan kata-katanya itu membuat dada Alap-alap Jalatunda menjadi semakin
bergelora.
“O, jadi demikian?”
berkala Wuranta.
“Kalau begitu
aku salah menilai keadaan di padepokan ini.”
“Kau orang
kemarin sore di padepokan ini,” geram Alap-alap Jalatunda.
“Mudah-mudahan
kalian benar,” gumam Wuranta seperti kepada diri sendiri.
“Nah, apakah
Tuan juga akan mencuci pakaian seperti aku?” bertanya Sekar Mirah sambil
tersenyum.
“Tidak,” sahut
Wuranta, “kami sedang nganglang.”
Kemudian
kepada Alap-alap Jalatunda ia berkata,
“Bagaimana
Tuan? Apakah kita akan meneruskan perjalanan?”
Alap-alap
Jalatunda mengangguk, “Marilah.”
“Kenapa Tuan
begitu tergesa-gesa?” bertanya Sekar Mirah.
“Kami tidak
sedang berjalan-jalan di bawah terangnya bulan purnama,” jawab Wuranta.
“Mudah-mudahan
kesempatan itu suatu ketika datang padaku. Berjalan-jalan sambil berdendang
lagu Asmaradana.”
“Aku akan
berdoa untukmu,” sahut Sekar Mirah.
Wuranta tidak
sempat menjawab, ketika Alap-alap Jalatunda menggamitnya sambil berkata,
“Ayolah. Kau
masih saja berbicara.”
“O,” desis
Wuranta, “marilah.”
“Kalian
benar-benar tidak mau tinggal lebih lama lagi?”
“Bukan aku
yang menentukan,” sahut Wuranta.
“Aku bertanya
kepada yang berhak menentukan.”
“Jawablah
Tuan,” berkata Wuranta.
“Ah,”
Alap-alap Jalatunda berdesah. Namun ia berkata, “Lain kali aku akan datang.”
“Aku menunggu
kedatangan Tuan,” jawab Sekar Mirah.
Alap-alap
Jalatunda hampir tidak dapat menahan gelora di dalam dadanya. Karena itu maka
dengan tergesa-gesa ia melangkah pergi meninggalkan tepian itu. Wuranta pun
kemudian terloncat-loncat mengikutinya. Sekali ia berpaling dan dilihatnya.
Sekar Mirah melambaikan tangannya. Betapa beratnya, namun Wuranta terpaksa
mengangkat tangannya pula. Sementara itu di kepalanya berkecamuk berbagai
pertanyaan tentang gadis itu. Gambarannya tentang Sekar Mirah sebelum ia
melihatnya, adalah jauh berbeda dari kenyataan yang dihadapinya. Meskipun sikap
itu agak mirip dengan sikap Swandaru Geni, namun apa yang dilihatnya telah
membuatnya termenung untuk beberapa lama. Wuranta itu terkejut ketika, ia
mendengar Alap-alap Jalatunda mengumpat,
“Setan kau
Wuranta. Kau berbicara tak ada habis-habisanya.”
Wuranta
tertawa, jawabnya,
“Jangan marah,
Tuan. Aku memberi kesempatan kepada Tuan, tetapi Tuan hanya berdiam diri saja.”
“Aku tidak
biasa bergurau dengan wanita.”
“Sekali-sekali
Tuan perlu berbuat demikian, supaya kita tidak menjadi lekas tua.”
Alap-alap
Jalatunda terdiam. Ia berjalan semakin cepat seperti takut terlambat. Sehingga
Wuranta perlu memperingatkannya, “Kenapa Tuan berjalan semakin lama semakin
cepat. Gadis itu tidak akan mengejar Tuan.”
“O,” Alap-alap
Jalatunda seakan-akan tersadar dari sebuah angan-angan yang dahsyat. Ia
memperlambat jalannya. Kemudian ditunggunya Wuranta berjalan di sampingnya.
Katanya,
“Gadis itu
agaknya tertarik kepadamu. Tetapi awas, lehermu akan dapat terpenggal sebelum
kau menjadi Demang Jati Anom.”
“Aku tidak
berminat, Tuan,” jawab Wuranta.
“Kenapa?”
“Bukan karena
gadis itu kurang cantik. Tetapi aku tidak pantas untuk menempatkan diri dalam
sayembara pilih maupun sayembara tanding di samping Tuan dan Sidanti.”
“Jangan kau
sebut lagi iblis itu!” tiba-tiba Alap-alap Jalatunda membentak. Matanya menjadi
merah seperti bara.
Wuranta
menjadi berdebar-debar. Tetapi kemudian ia tersenyum. Ia tidak mau kehilangan
akal menghadapi Alap-alap yang buas ini. Katanya,
“Kenapa Tuan
marah? Apakah aku kurang memberi kesempatan kepada Tuan?”
“Kalau sekali
lagi kau sebut-sebut nama Sidanti dalam hubungannya dengan gadis itu, aku sobek
mulutmu. Kau tadi sudah menyebut namanya di hadapan Sekar Mirah, seakan-akan
Sidanti lah yang paling berkuasa di sini.”
“Maaf,” jawab
Wuranta,
“ternyata aku
keliru.”
Alap-alap
Jalatunda tidak berkata-kata lagi. Segera ia memutar tubuhnya dan berjalan
cepat-cepat kembali ke pondoknya. Tetapi ia tertegun ketika Wuranta berkata,
“Apakah kita
akan berpacu lagi?”
“O,” Alap-alap
Jalatunda memperlambat langkahnya.
“Tuan,”
berkata Wuranta kemudian,
“aku sudah
melihat gadis itu, tetapi di manakah ia tinggal?”
“Kau akan
mencurinya?”
“Tidak Tuan,”
Wuranta tampak bersungguh-sungguh,
“percayalah.
Aku hanya ingin tahu. Aku sendiri sama sekali tidak berpikir lagi tentang gadis
itu.”
“Kenapa kau
tanyakan pondoknya?”
“Ah, Aku kira
bukan terdorong oleh suatu keinginan apapun. Adalah suatu kelajiman saja bagiku
mengetahui rumah orang-orang yang sudah aku kenal.”
“Tetapi jangan
berbuat gila, supaya kau tidak mati muda.”
Senyum Wuranta
di mulutnya menjadi semakin lebar. Dengan lucu ia mengangguk dan menjawab,
“Tuan, aku
lebih baik memilih menjadi Demang Jati Anom tanpa gadis itu daripada mendapat
gadis itu tetapi harus hidup tanpa kepala.”
“Persetan,”
geram Alap-alap Jalatunda,
“kau memang
lahir hanya untuk menjadi seorang badut yang tidak berarti.”
“O, Tuan
salah,” jawab Wuranta.
“Orang yang
banyak tertawa umurnya akan menjadi lebih panjang.”
Alap-alap
Jalatunda tidak menjawab, tetapi tanpa sesadarnya ia berjalan lewat rumah
tempat tinggal Sekat Mirah. Dengan berbagai macam akal, bahkan dengan akal
seorang badut sekalipun akhirnya Wuranta berhasil mengetahui tempat tinggal
Sekar Mirah dan ujung sungai yang berupa urung-urung. Kedua penemuan itu baginya
sangat berarti. Itulah sebabnya, maka setelah ia berhasil, maka ia tidak lagi
banyak bertingkah. Bahkan ia menjadi semakin hati-hati, meskipun ia tidak ingin
merubah kesan Alap-alap Jalatunda terhadapnya. Seorang badut yang tidak
berarti. Tetapi yang dibicarakannya kemudian hanyalah soal-soal yang
benar-benar tidak berarti dan tidak ada hubungannya dengan padepokan Tambak
Wedi, Sidanti dan Sekar Mirah. Siang itu Wuranta dapat beristirahat
sepuas-puasnya. Ia ingin tidur sepanjang siang hari. Tetapi bahkan kepalanya
menjadi pening karena selama ia berbaring, matanya tidak juga mau
dipejamkannya. Berbagai persoalan hilir mudik di kepalanya. Sekar Mirah,
urung-urung sungai dan rumah tempat gadis itu tinggal. Tetapi tidak kalah
menggelisahkan adalah sikap Alap-alap Jalatunda terhadap Sekar Mirah. Sinar
matanya yang buas dan liar telah mencemaskannya. Namun yang mengherankannya
adalah sikap Sekar Mirah sendiri. Apakah gadis itu tidak melihat sorot mata
Alap-alap Jalatunda yang seakan-akan akan membakar gadis itu, meskipun hanya
sekilas. Bagi Wuranta, sikap Sekar Mirah sendiri adalah sikap yang sangat
berbahaya. Wuranta menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendapat perintah sekali
lagi, malam itu ia harus turun ke Jati Anom. Ia harus melihat perkembangan
keadaan. Ia harus melihat, apakah yang terjadi kemudian di Jati Anom?
Senja itu
Wuranta berangkat dengan dada yang berdebar-debar. Apakah ada seseorang lagi
yang akan mengintainya? Apakah Alap-alap Jalatunda masih juga mengikutinya?
Tetapi Wuranta tidak lagi menjadi cemas. Ia akan pulang saja ke rumahnya. Kalau
Agung Sedayu atau salah seorang dari ketiganya tidak ada di rumahnya, ia dapat
meninggalkan pesan supaya pagi harinya disampaikan ke rumah Agung Sedayu oleh
salah seorang keluarganya. Akhirnya malam yang kelam pun turun menyelimuti
lereng Merapi. Perjalanan Wuranta menjadi semakin lama semakin dekat dengan
Kademangan Jati Anom. Dua hari ia telah berada di padepokan Tambak Wedi, tetapi
ia sendiri belum berkesempatan untuk melihat seluruh bagian dari terapat itu. Meskipun
demikian bagian-bagian terpenting telah dilihatnya. Seandainya keadaan memaksa,
maka ia telah dapat memberi beberapa petunjuk kepada Agung Sedayu dan Swandaru.
Dengan hati yang berdebar-debar Wuranta melangkah terus. Sekali dua kali ia
berpaling, tetapi ia tidak melihat seorangpun. Ia masih belum tahu benar,
apakah perjalanannya itu diikuti oleh seseorang atau tidak. Tetapi agaknya
Sidanti masih belum juga mempercayainya bulat-bulat. Ketika ia memasuki halaman
rumahnya, maka ia tidak segera melintasi halaman masuk ke dalam rumahnya.
Sejenak ia berdiri di balik regol halaman di dalam tempat yang terlindung. Ia
mencoba memperhatikan, kalau-kalau seseorang mengikutinya. Tetapi beberapa lama
ia berdiri, ia tidak mendengar sesuatu. Karena itu maka ia pun segera masuk ke dalam rumahnya lewat
pintu butulan di belakang. Ketika pintu terbuka, ia mendengar suara Agung
Sedayu dan Swandaru berdesis,
“Hampir aku
tidak sabar menunggumu.”
“Hem,” Wuranta
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kedua anak muda itu telah menunggunya.
Ketika kedua kakinya telah melampaui tlundak pintu, maka segera pintu itu akan
ditutupnya. Tetapi Wuranta terkejut ketika ia mendengar suara lirih di
belakangnya,
“Jangan
ditutup dahulu.”
Wuranta
mencoba memandangi arah suara itu di dalam gelap. Ia sudah berusaha untuk
melihat dan mendengar seluruh isi halamannya. Tetapi ia tidak dapat melihat
orang itu.
“Aku, Ngger,”
berkata suara itu.
“Ki Tanu
Metir?” bertanya Wuranta.
“Ya,” jawab
orang yang ternyata Ki Tanu Metir,
“aku menunggu
Angger di ujung kademangan ini. Seperti Angger Agung Sedayu dan Angger
Swandaru, aku pun hampir tidak sabar.
Alangkah banyaknya nyamuk di kademangan ini. Ketika aku hampir kehabisan
kesabaran, barulah aku melihatmu berjalan tertatih-tatih di dalam malam yang
semakin gelap.”
“Oh,” Wuranta
tersenyum. Baru kemudian ia melihat Ki Tanu Metir berdiri di bawah sebatang
pohon kemuning yang rimbun. Keduanya pun
kemudian masuk dan menutup pintu rumah itu rapat-rapat.
“Aneh,” desis
Wuranta.
“Apa yang
aneh?” bertanya Agung Sedayu.
“Ternyata Ki
Tanu Metir mengikuti aku sejak dari ujung kademangan ini. Ketika aku memasuki
regol halaman, aku telah berlindung sejenak, menunggu apabila seseorang
mengikuti aku. Tetapi aku tidak melihat seorang pun. Namun ternyata orang yang
mengikuti aku berhasil masuk tidak setahuku.”
“O,” sahut Ki
Tanu Metir, “itu mudah sekali dilakukan.”
“Bagaimana?”
“Aku
mendahului Angger masuk ke dalam halaman ini. Sebab aku tahu pasti bahwa Angger
akan memasuki halaman rumah ini.”
“Oh,” Wuranta
tersenyum. Tampaknya sederhana sekali. Tetapi anak muda itu menjadi semakin
mengagumi orang tua yang bernama Ki Tanu Metir itu.
Sejenak mereka
terdiam, seakan-akan sesuatu telah membungkam mereka. Hanya wajah-wajah
merekalah yang membersitkan berbagai macam perasaan yang bergolak di dalam
hati. Di kejauhan terdengar angkup nangka seakan-akan sedang mengeluh. Seperti
anak-anak yang rindu menunggu ibunya ngrena di tempat yang sangat jauh. Dalam
keheningan itu terdengar suara Ki Tanu Metir perlahan,
“Kami sudah
menyangka, bahwa kau malam ini akan turun lagi, Ngger.”
Wuranta
mengangguk,
“Ya, Kiai, aku
mendapat tugas untuk melihat perkembangan tiga orang prajurit berkuda yang
kemarin aku beritahukan kepada Sidanti.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Perkembangannya
berlangsung terlampau cepat. Hari ini pasukan Untara telah berada di Jati
Anom.”
“He?” Wuranta
mengerutkan alisnya, “sudah datang?” seakan-akan ia tidak percaya.
“Ya, pasukan
itu sudah datang meskipun tidak sekuat pasukan Widura di Sangkal Putung.”
Wuranta tidak
tahu kekuatan Widura di Sangkal Putung, sehingga karena itu ia berkata,
“Bagaimanakah
imbangan kekuatan itu menurut perhitungan Kiai.”
“Aku ingin
mendengar keteranganmu. Selain orang-orang Jipang, apakah Sidanti mempunyai
pasukan tersendiri di padepokannya?”
“Ya. Menurut
penglihatanku dan menurut keterangan yang tidak jelas dari Alap-alap Jalatunda,
di padepokan itu ada dua jenis pasukan. Pasukan Sidanti dan pasukan Alap-alap
Jalatunda.”
“Pemimpin dari
orang-orang Jipang adalah Sanakeling.”
“He?” Wuranta
menarik keningnya.
”Jadi bukan
Alap alap Jalatunda?”
“Bukan. Apakah
kau belum melihat Sanakeling?”
“Aku
melihatnya, tetapi aku tidak banyak berbicara dengan orang yang mengerikan
itu.”
Ki Tanu Metir
tersenyum. Lalu sambungnya,
“Apakah kau
dapat memberikan gambaran tentang imbangan kekuatan mereka, antara orang-orang
Sidanti dan orang-orang Sanakeling?”
“Apakah mereka
tidak sejalan?”
“Bukan begitu.
Maksudku, dengan demikian akan dapat digambarkan kekuatan seluruhnya dari
padepokan Sidanti itu. Kami ingin memperbandingkan dengan kekuatan Tohpati di
Sangkal Putung.”
“Aku tidak
tahu pasti. Tetapi orang-orang yang agaknya bukan orang-orang Jipang itu pun cukup banyak. Setiap laki-laki di
padepokan Tambak Wedi menyandang senjata. Setiap penghuni dan setiap cantrik.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya.
”Angger Untara
harus segera mendengar. Agaknya kekuatan di padepokan itu agak lebih besar dari
kekuatannya. Bahkan mungkin lebih besar dari kekuatan Tohpati. Sedang pasukan
Pajang di Jati Anom tidak sekuat pasukan Angger Widura, apalagi tanpa anak-anak
muda Sangkal Putung.”
Wuranta ikut
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak menyahut. Yang terdengar adalah
suara Ki Tanu Metir itu masih saja bergumam seperti kepada diri sendiri,
“Aku kira
kemungkinan yang dapat dilakukan oleb Angger Untara adalah menarik sebagian
pasukan Angger Widura. Baginya tidak ada kesempatan untuk menyusun kekuatan
anak-anak muda Jati Anom seperti Sangkal Putung dalam menghadapi orang-orang
Jipang. Tetapi apabila ada gerakan Sidanti ke Sangkal Putung, Angger Wuranta
harus segera menyampaikan kabar itu kemari.”
Wuranta masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba terkejut ketika Swandaru
memotong,
“Kiai, Kiai
hanya mengatakan tentang pasukan Jipang dan pasukan Pajang. Tetapi Kiai tidak
minta keterangan tentang Sekar Mirah. Bukankah kedatangan kami sebenarnya
berkepentingan dengan Sekar Mirah?”
“Oh,” Ki Tanu
Metir berpaling memandangi muridnya yang gemuk itu. Katanya,
“Ya, ya. Kau
benar. Kita berkepentingan dengan Sekar Mirah. Tetapi kita berkepentingan pula
dengan pasukan Pajang itu.”
“Itu adalah
persoalan kedua bagi kita Kiai,” Agung Sedayu menyahut.
“Sekarang
bagaimana kita menyelamatkan Sekar Mirah?”
“Hem,” Ki Tanu
Metir menarik nafas dalam-dalam,
“baiklah. Aku
akan berbicara tentang Sekar Mirah. Tetapi ingat, kita tidak dapat berbicara
tentang Sekar Mirah tanpa berbicara tentang Sidanti. Dan kita tidak dapat
berbicara tentang Sidanti tanpa berbicara tentang Untara.”
“Tak ada
gunanya kita mendahului pasukan kakang Untara kalau kita masih harus menunggu
mereka. Menunggu prajurit-prajurit Pajang itu siap menghadapi Sidanti.”
“Kedua
persoalan itu tidak dapat dipisahkan.”
“Keduanya
mempunyai sifat yang berbeda,” sahut Swandaru.
“Sekar Mirah
tidak dapat dibiarkan seperti daerah Tambak Wedi itu sendiri. Seribu tahun lagi
Sidanti berada di Tambak Wedi, maka Tambak Wedi tidak akan mengalami noda apa
pun seperti Tambak Wedi yang sudah berbentuk seperti sekarang ini. Tetapi Sekar
Mirah tidak. Setiap satu hari bertambah panjang, maka noda itu pun menjadi semakin dekat padanya. Dan
apabila noda itu sudah melekat padanya, maka seumur hidupnya ia akan tersiksa.”
Ki Tanu Metir
tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah muridnya itu. Ia tahu benar, dorongan
apakah yang telah membuat Swandaru menjadi terlampau keras. Tetapi ia tidak
ingin terlampau memanjakan murid-muridnya, sehingga karena itu ia menjawab.
“Jadi
bagaimana Anakmas Swandaru. Apakah kau telah cukup menyusun rencana yang harus
aku kerjakan? Kalau demikian, marilah. Aku akan melakukan segala ketentuan yang
telah kau buat.”
Jawaban itu
telah membentur dada Swandaru seperti tujuh kali sekeras bunyi cambuk Kiai
Gringsing itu. Karena itu maka wajahnya
pun menjadi tertunduk lemah. Perlahan-lahan terdengar ia berdesah,
“Maaf Kiai.
Aku terlampau bingung.”
Ki Tanu Metir
menjadi beriba hati setelah ia melihat muridnya menjadi menyesal. Tetapi
wajahnya hampir-hampir tidak menunjukkan perasaannya itu. Sedang Wuranta yang
melihat mereka menjadi heran. Begitu besar pengaruh Ki Tanu Metir atas
Swandaru. Maka besarlah dugaannya bahwa Ki Tanu Metir adalah guru kedua anak
muda itu. Setelah mereka sejenak berdiam diri maka berkatalah Ki Tanu Metir,
“Anakmas
Wuranta. Sekarang aku ingin tahu, bagaimanakah dengan seorang gadis yang bernama
Sekar Mirah? Apakah kau telah melihatnya?”
“Ya Kiai, aku
telah bertemu dengan Sekar Mirah.”
Agung Sedayu
dan Swandaru tersentak mendengar jawaban itu sehingga tanpa mereka sadari
mereka bergeser maju. Tetapi mereka tidak segera berani bertanya. Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya Kemudian dilanjutkannnya pertanyaannya.
“Bagaimanakah
dengan Sekar Mirah. Apakah ia selamat?”
“Menurut
pengamatanku, ia baik-baik saja, Kiai.”
“Tidak ada
sesuatu apa pun dengan dia?”
Kening Wuranta
menjadi berkerut-merut. Ia tahu maksud pertanyaan itu. Tiba-tiba ia menjadi
ragu-ragu. Dan pertanyaan itu bergema kembali di dalam hatinya,
“Tidak ada
sesuatu apa pun dengan dia?”
Karena Wuranta
tidak segera menjawab maka Agung Sedayu yang didorong oleh berbagai macam perasaan
di dalam dadanya mendesaknya,
“Bagaimana
kakang Wuranta? Apakah tidak ada sesuatu yang terjadi?”
Dalam keragu-raguan
Wuranta menjawab,
“Tidak. Aku
kira tidak.” Tetapi Wuranta sendiri tidak dapat meyakini kebenaran jawabannya.
Namun menilik kata-kata Alap-alap Jalatunda yang menyebut Sidanti sebagai
seorang pengecut terhadap wanita, maka Sekar Mirah masih belum disentuhnya. Agung
Sadayu itu pun menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi gelora di dalam dadanya seakan-akan hendak meledakkan
dadanya. Ia ingin segera berangkat ke lereng Merapi, ke padepokan Tambak Wedi.
Ia ingin segera melihat apa yang sebenarnya terjadi atas Sekar Mirah. Dalam
pada itu terdengar Ki Tanu Metir bertanya pula,
“Di manakah
kau jumpai gadis itu?”
“Di sungai
Kiai.”
“He,” ketiga
orang yang mendengar jawaban itu terkejut.
“Di sungai,”
hampir berbareng mereka mengulang.
“Ya.”
Ki Tanu Metir
beringsut maju. Sambil mengerutkan dahinya ia berkata,
“Angger
Wuranta. Keteranganmu mengenai Sekar Mirah sangat menarik perhatian. Apakah
benar kau jumpai Sekar Mirah itu sedang berada di sungai?”
“Ya Kiai.
Gadis itu sedang mencuci.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian Katanya,
“Anakmas,
cobalah ceriterakan apakah yang Angger ketahui tentang Sekar Mirah dan tentang padepokan
itu?”
Wuranta pun kemudian dengan singkat menceriterakan
apa yang telah dilihatnya, dan apakah yang telah didengarnya. Dikatakannya
tentang Sekar Mirah yang sedang mencuci pakaiannya, tentang urung-urung dan
tentang dinding yang mengelilingi padepokan itu. Tentang sikap Alap-alap
Jalatunda dan sikap orang-orang yang dijumpainya. Tetapi ada satu yang tidak
diceriterakannya, adalah sikap Sekar Mirah kepadanya dan kepada Alap-alap
Jalatunda. Wuranta masih ingin mengetahui latar belakang daripada sikap itu.
Sebab ia yakin bahwa Sekar Mirah tidak akan berbuat demikian tanpa sesuatu
maksud tertentu. Belum lagi Wuranta selesai berceritera, telah terdengar
gemeretak gigi Swandaru Geni. Dengan gemetar ia berdesis,
“Kalau aku
tidak dapat mengambil kembali Sekar Mirah, maka lebih baik aku tidak kembali ke
Sangkal Putung. Adalah aib yang tidak dapat dihapuskan dari keningku, dari
kening Kademangan Sangkal Putung, bahwa Padepokan Tambak Wedi berhasil mencuri
Sekar Mirah dari lingkungannya.”
Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam mendengar kata-kata Swandaru. Tetapi kali ini
dibiarkan anak itu melontarkan kemarahan yang bergolak di dalam dadanya. Namun
Agung Sedayu berkata pula,
“Kalau terjadi
sesuatu dengan Sekar Mirah, maka padepokan itu harus dijadikan karang abang.”
“Bagus,”
tiba-tiba Swandaru menyahut,
“ternyata itu
lebih baik. Setiap anak muda Sangkal Putung
pun akan sependapat. Pasukan Paman Widura, pasukan Kakang Untara dan
anak-anak muda Jati Anom akan menghancur-lumatkan setiap hidup di atas
padepokan Tambak Wedi.”
Ki Tanu Metir
masih saja berdiam diri. Dibiarkannya anak-anak muda itu melepaskan
perasaannya. Dibiarkannya mereka mengurangi nyeri-nyeri yang seakan-akan
meremas-remas jantung. Baru ketika kedua anak-anak muda itu menjadi agak
tenang, maka Ki Tanu Metir mulai berbicara lagi,
“Bagaimanakah
dengan dinding padepokan itu?”
“Dinding itu
cukup tinggi Kiai. Bahkan hampir merupakan sebuah benteng. Di dalam maupun di
luar dinding itu cukup banyak orang-orang Sidanti maupun orang-orang Jipang
yang berkeliaran siang dan malam.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaklah kerut-merut di dahinya menjadi
semakin dalam. Orang tua itu pun
kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Angger
Wuranta, bukankah malam ini Angger kembali ke padepokan Tambak Wedi? Meskipun
sebenarnya ada juga dua orang yang mencoba mengawasi Angger malam ini, tetapi
mereka hampir tidak berarti. Jarak itu terlampau jauh, dan mereka segera
kembali setelah Angger mendekati rumah ini. Dua orang itu sama sekali tidak
usah diperhitungkan. Laporkan kepada Sidanti, bahwa Angger Untara sudah berada
di Jati Anom. Pasukannya segelar sepapan lengkap dengan pasukan berkuda.”
Ketiga
anak-anak muda yang mendengar penjelasan Ki Tanu Metir itu menjadi heran. Agung
Sedayu mengangkat wajahnya seakan-akan ia hendak berbicara, tetapi mulutnya
tidak mengucapkan sesuatu.
“Angger
Wuranta,” berkata Ki Tana Metir kemudian,
“tugas
Angger pun akan segera sampai kepada
puncak yang berbahaya. Tetapi agaknya Angger mampu bermain sebaik-baiknya
sehingga aku sama sekali tidak mengkhawatirkan Angger.”
“Mudah-mudahan,
Kiai,” Wuranta bergumam seperti kepada diri sendiri.
“Tetapi
bagaimana dengan keterangan tentang pasukan segelar sepapan. Apakah hal itu
tidak seharusnya malah dirahasiakan sama sekali?”
“Tidak ada
gunanya, Angger. Orang-orang Sidanti pasti akan segera mengetahui pula. Kalau
mereka mengetahui hal itu sebelum Angger melaporkannya, maka kepercayaan mereka
akan turun. Sedang kehadiran Angger di lereng Merapi, di padepokan Tambak Wedi,
sangat diperlukan.”
“Baiklah,
Kiai,” sahut Wuranta.
Dan tiba-tiba
Agung Sedayu memotong pembicaraan itu,
“Lalu
bagaimana dengan Sekar Mirah, Kiai?”
“Kita akan
membicarakannya. Segera kita harus mengambil sikap. Tetapi sikap itu harus
tepat. Kita tidak dapat berbuat sesuatu dengan tergesa-gesa, sebab akibat dari
perbuatan itu justru sebaliknya dari yang kita harapkan.”
Agung Sedayu
terdiam. Meskipun gelora di dalam dadanya belum juga surut. Sesaat kemudian,
setelah minum dan makan beberapa potong makanan yang disediakan oleh keluarga
Wuranta, maka Wuranta itu pun
meninggalkan Kademangan Jati Anom kembali ke padepokan Tambak Wedi, sementara
itu Ki Tanu Metir dan kedua muridnya pergi menemui Untara. Untara dan sebagian
dari pasukannya berada di rumahnya sendirian dan sebagian lagi berada di
kademangan. Ki Demang Jati Anom yang selama ini menyingkir untuk menghindari
orang-orang dari padepokan Tambak Wedi, kini telah berada di rumahnya.
Sebenarnya ia bukan seorang penakut, tetapi ia sama sekali belum siap untuk
berbuat sesuatu. Apalagi diketahuinya, bahwa kekuatan Sidanti dan Sanakeling
benar-benar berada di luar kemampuannya untuk menahannya. Malam itu Untara
masih duduk dengan beberapa orang pemimpin pasukannya bersama Ki Demang Jati
Anom. Mereka sedang berbincang mengenai beberapa persoalan. Ketika mereka
melihat Ki Tanu Metir bersama kedua muridnya, maka mereka bertiga segera
dipersilahkannya masuk. Belum lagi Untara bertanya sesuatu, maka Agung Sedayu
lah yang pertama-tama berkata,
“Kami belum
dapat berbuat sesuatu, Kakang.”
“Duduklah,”
Untara mempersilahkan. “Marilah, Kiai.”
Ki Tanu Metir
menganggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Untara sejenak tetapi Ki Tanu Metir
itu tidak segera berkata sesuatu. Mereka pun kemudian duduk di antara para
pemimpin pasukan Pajang dan Ki Demang Jati Anom. Mereka pun kemudian ikut pula mendengarkan
pembicaraan mereka. Tetapi Untara sendiri tidak segera bertanya tentang
kepentingan Agung Sedayu dan Swandaru. Untara tidak segera bertanya bagaimanakah
nasib gadis itu, dan bagaimanakah cara untuk membebaskannya. Untara itu hanya
berbicara tentang letak, kekuatan dan persoalan-persoalan keprajuritan yang
lain sehingga Agung Sedayu dan Swandaru menjadi gelisah. Mereka merasa bahwa
kepentingan mereka sama sekali tidak mendapat perhatian dari Untara. Ki Tanu
Metir agaknya dapat menangkap perasaan kedua anak-anak muda itu. Orang tua itu
melihat betapa wajah keduanya dibasahi oleh keringat yang dingin. Bagaimana
mereka duduk dengan gelisah. Tetapi mereka tidak segera dapat mengemukakan perasaan
mereka. Namun Ki Tanu Metir pun dapat
mengerti, bahwa perhitungan Untara harus bertaut pada setiap persoalan. Ia
memandang keseluruhan persoalan yang dihadapinya, bukan sepotong-potong seperti
yang selalu digelisahkan oleh Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Tetapi tiba-tiba
mereka terkejut ketika mereka mendengar Ki Demang Jati Anom berkata,
“Tetapi
sayang, Anakmas Untara, sekian banyak anak-anak muda di Jati Anom yang aku
percaya, justru yang paling banyak memberikan harapan kepadaku sebelumnya, bahwa
ia akan mampu membimbing kawan-kawannya, setidak-tidaknya membantu Angger,
ternyata kini telah berkhianat.”
“Siapa?”
bertanya Untara. “Aku mengenal setiap pemuda di Jati Anom.”
“Tentu. Angger
tentu mengenalnya. Namanya dikenal oleh setiap orang. Bahkan setiap anak-anak
muda di Jati Anom menaruh harap kepadanya. Tetapi suatu hari beberapa orang
melihatnya berjalan bersama-sama dengan orang-orang Jipang dan orang-orang
padepokan Tambak Wedi. Bukan sebagai seorang tawanan, tetapi sebagai seorang
yang bebas. Bahkan orang itu menduga bahwa anak itu telah membantu orang-orang
dari lereng Merapi itu.”
“Ya, tetapi
siapakah namanya?”
“Wuranta.”
“He,” betapa
terkejutnya Untara mendengar nama itu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa
Wuranta kini berbalik berada di pihak orang-orang Ki Tambak Wedi. Tetapi tidak
kalah terkejut pula Agung Sedayu dan Swandaru. Mereka tahu benar bahwa Wuranta
sama sekali tidak berkhianat. Tanpa mereka sadari, bersama-sama mereka
berpaling memandangi wajah Ki Tanu Metir yang berkerut merut. Kalau ada salah
paham di antara orang-orang Jati Anom sendiri, itu adalah tanggung jawab Ki
Tanu Metir. Bahkan hal ini telah pernah dikemukakan oleh Wuranta sendiri. Data
kini ternyata hal itu benar-benar terjadi. Demang Jati Anom yang pasti
mendengar dari beberapa orang yang melihat peristiwa beberapa hari yang lalu,
ketika Wuranta berpura-pura dikejar-kejar oleh Agung Sedayu lalu menemui
Sidanti dan kawan-kawannya.
Agung Sedayu
dan Swandaru menjadi gelisah ketika Ki Tanu Metir tidak segera mengatakan keadaan
Wuranta yang sebenarnya. Malahan orang tua itu berkata,
“Adalah wajar
sekali Ki Demang. Telur sepetarangan, ada yang menetas hitam dan ada yang
menetas putih.”
Agung Sedayu
dan Swandaru saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak berkata sepatah
kata pun meskipun di dalam dada mereka berdesakan pertanyaan tentang kata-kata
gurunya itu. Dalam pada itu Ki Damang pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan
menyesal ia berkata pula,
“Wuranta
adalah anak yang paling memberi kebanggaan kepadaku beberapa saat yang lampau.
Aku tidak tahu, apa yang telah menyeretnya masuk ke dalam perangkap hantu-hantu
dari lereng Merapi.”
Orang-orang
yang berada di dalam ruangan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sejenak
mereka berdiam diri, sehingga ruangan itu pun menjadi sepi. Di luar beberapa orang
prajurit berjalan hilir mudik. Ada yang sedang bertugas, tetapi ada juga yang
duduk sambil minum air hangat. Ada pula yang berjalan-jalan saja tanpa tujuan
di sekitar halaman. Mencoba mengenali beberapa macam bentuk pepohonan dan
rumah-rumah penduduk. Ketika malam telah jauh melampaui pertengahannya, maka
pertemuan itu pun berakhir. Mereka
masing-masing segera pergi beristirahat di tempat yang baru hari ini mereka
tempati. Ki Demang pun kemudian kembali
ke kademangan dengan hati yang tenang. Sebab di rumahnya kini berada sebagian
dari prajurit-prajurit Untara. Ruangan pertemuan itu kini menjadi semakin sepi.
Yang berada di dalamnya hanyalah Untara, Agung Sedayu, Swandaru dan Ki Tanu
Metir. Agung Sedayu yang sejak tadi selalu menahan pertanyaannya di dalam hati,
kini anak muda itu tidak dapat lagi menyimpannya, sehingga terloncatlah
pertanyaannya,
“Kiai,
bagaimana dengan Wuranta?”
Dengan
serta-merta Untara menyahut,
“Ya, aku
menyesal sekali mendengar keterangan Ki Demang, bahwa Wuranta kini telah
berkhianat.”
Ketika Ki Tanu
Metir tidak segera menyahut, maka kegelisahan Agung Sedayu dan Swandaru pun
menjadi semakin memuncak. Hampir-hampir saja mereka tidak dapat menahan dirinya
lagi, dan langsung mamberi penjelasan tentang anak muda itu. Tetapi sebelum
mereka mengatakannya, maka berkatalah Kiai Gringsing,
“Angger
Untara, agaknya Angger tidak mengetahui keadaan Wuranta sebaik-baiknya. Tetapi
itu bukan salah Angger. Bukankah Ki Demang yang mengatakan hal itu kepadamu?”
Untara
mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya,
“Bagaimana
maksud Kiai sebenarnya?”
“Aku ingin
menjelaskan tentang Wuranta.”
“Apakah Kiai
mengenalnya?”
“Aku
mengenalnya,” jawab Kiai Gringsing.
“Tetapi Ngger,
apakah Angger tidak pernah menerima laporan dari tiga orang prajurit yang
mendahului Angger datang kemari?”
“Ya, ya.
Mereka telah mendahului aku. Perintahku kepada mereka mengatakan bahwa mereka
harus melihat keadaan Jati Anom. Kalau tempat itu berbahaya mereka harus
memberi keterangan kepadaku. Kalau tidak, maka mereka pun harus menyatakan, bahwa mereka telah
kembali dan tidak terdapat hal-hal yang menghalangi keberangkatan kami. Dan
mereka kemudian telah kembali. Malahan mereka bertemu dengan Agung Sedayu, Swandaru,
dan Kiai di sini.”
“Tidak di rumah
ini.”
“O,” Untara
mengerutkan keningnya, “laporan itu tidak terperinci.”
“Apakah mereka
tidak mengatakan tentang seorang anak muda yang lain, yang malam itu pergi ke
lereng Merapi?”
“Ya, ya.” Wajah
Untara menjadi agak tegang.
“Aku
mendengarnya. Aku memang sudah merencanakan untuk menanyakan hal itu kepada
Kiai langsung. Keterangan orang-orangku tentang anak muda itu tidak begitu
jelas. Aku ingin tahu, apakah menurut pertimbangan Kiai anak itu tidak
berbahaya bagi kita di sini?”
“Anak itu
banyak membantu kami. Akulah yang menempatkannya sehingga anak itu mendapat
kepercayaan dari Sidanti.”
“Dari Sidanti?
Bagaimanakah sebenarnya persoalan yang Kiai katakan itu?”
“Ah. Tidak
aneh. Angger juga mempunyai suatu kelompok prajurit sandi.”
Untara
mengerutkan keningnya.
“Anak itu
agaknya berhasil masuk ke dalam lingkungan mereka untuk kepentingan kita.”
Untara kini
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil meraba-raba janggutnya yang tumbuh tidak
teratur ia bertanya,
“Apakah Kiai
meyakininya?”
“Aku melihat
sejak ia mulai, “Sahut Kiai Gringsing. Lalu diceriterakannya serba sedikit
tentang keadaan Wuranta.
Sehingga
justru dari anak muda itu ia mendapat banyak keterangan mengenai padepokan
Tambak Wadi dan mengenai Sekar Mirah.
“O,” Untara
menarik nafas dalam-dalam,
“begitulah
ceriteranya. Jadi anak muda itu adalah Wuranta.”
“Ya, Wuranta.
Aku kira ketika orang-orangmu mendengar juga nama itu.”
“Aku belum
sempat mendengar laporannya dengan lengkap. Mereka datang ketika pasukan sudah
siap untuk berangkat,” Untara berhenti sejenak, lalu katanya,
“Tetapi kenapa
Kiai tidak mengatakannya kepada Ki Demang Jati Anom supaya mereka tidak
mencurigai anak muda itu?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar