“Ki Tambak Wedi mempunyai seribu pasang telinga. Telinga-telinga itu berada di pepohonan, di dinding-dinding halaman, di regol-regol dan tersebar di mana saja. Sedang kita di sini masing-masing mempunyai seribu mulut yang akan mengatakan setiap rahasia dari mulut yang satu ke mulut yang lain. Aku belum tahu benar tentang diri Ki Demang Jati Anom.”
Untara
mengerutkan keningnya. Sejenak wajahnya menjadi berkerut-merut, namun sejenak
kemudian ia pun tersenyum. Katanya,
“Kiai cukup
hati-hati. Seharusnya aku sudah mengerti akan hal itu. Terima kasih Kiai.
Mungkin aku terpengaruh oleh pengertian yang lebih banyak tentang Ki Demang
itu. Sudah lama aku mengenalnya. Dan aku percaya kepadanya.”
“Ya, mungkin
demikian bagi Angger Untara, tetapi aku tidak. Aku baru saja melihat dan
mengenalnya.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baik Kiai.
Sikap Kiai akan membantu sekali. Mudah-mudahan Wuranta dapat melakukan tugasnya
dengan baik. Dan mudah-mudahan sesudah ia menyelesaikannya, namanya tidak akan
tetap dibenci oleh orang-orang Jati Anom. Tetapi justru sebaliknya.”
“Itu adalah
tanggung jawab kita bersama, Ngger. Kita harus menyelamatkannya dan menyelamatkan
namanya.”
“Ya, ya Kiai.
Dan kita tidak akan mengingkarinya.”
“Anak muda itu
bukan saja dapat memberikan banyak keterangan mengenai padepokan Tambak Wedi
karena ia berhasil masuk ke dalamnya, tetapi juga tentang Sekar Mirah.”
“Oh,” Untara
mengerutkan keningnya,
“ya, tentang
Sekar Mirah. Bagaimana dengan gadis itu?”
“Seorang
penjabat saja tidak akan dapat mengetahui tempat dan kebiasaan gadis itu
apabila ia berada di luar padepokan. Tetapi Wuranta berhasil menemukannya,
bahkan anak muda itu telah berhasil bercakap-cakap dengan Sekar Mirah.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Apakah Kiai
telah menemukan hubungan tindakan yang sebaik baiknya untuk segala
kepentingan?”
“Itu adalah
keputusan yang harus Angger ambil.”
“Tetapi aku
memerlukan pertimbangan dan pendapat Kiai”
Ki Tanu Metir
mengangguk-angguk pula. Kemudian diceriterakannya apa yang didengar dan dilihat
oleh Wuranta. Hubungan antara Sidanti dan Sanakeling. Dinding-dinding batu yang
tinggi. Ujung-ujung senjata di balik batu-batu besar di lereng Merapi, dan
kesulitan-kesulitan yang lain yang harus mendapat banyak perhatian. Akhirnya
orang tua itu berkata,
“Kekuatan
mereka tidak kurang dari kekuatan Tohpati selagi masih utuh.”
Untara
mengerutkan keningnya. Wajahnya yang tegang terhunjam pada nyala api dlupak
yang terletak di tengah-tengah lingkaran duduk mereka. Kemudian perlahan-lahan
ia berkata,
“Begitukah
keadaan yang sebenarnya?”
“Menurut
Wuranta.”
“Kiai percaya
kepada laporan itu?”
“Aku percaya.”
“Kalau
demikian, laporan itu akan menjadi dasar perhitunganku. Aku membawa pasukan
tidak sekuat paman Widura di Sangkal Putung. Aku sangka kekuatan padepokan
Tambak Wedi tidak sebesar pasukan Jipang yang menyerah.”
“Kau harus
berusaha memperkuat pasukanmu, Ngger. Sebelum orang-orang Tambak Wedi
mengetahui. Kalau mereka mengambil sikap, mendahului menyerang Jati Anom
sebelum Angger bersiap, maka keadaan Angger akan menjadi sulit.”
“Ya, Kiai.
Yang mula-mula akan membantu aku adalah anak-anak muda Jati Anom. Mereka adalah
kawan-kawan bermain di masa kanak-kanak. Tetapi kekuatan itu tidak seberapa.”
“Orang-orang
yang tinggal di padepokan Tambak Wedi serupa benar dengan orang-orang Sangkal
Putung. Setiap lelaki adalah seorang prajurit.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus mempertimbangkan keadaan itu
sebaik-baiknya. Kalau Tambak Wedi mendahului memukul Jati Anom, maka ia pasti
benar-benar berada dalam kesulitan. Mungkin pasukannya akan mampu mengundurkan
diri dengan korban yang sekecil-kecilnya, tetapi bagaimana dengan kademangan
Jati Anom ini sendiri? Mungkin orang-orang Tambak Wedi akan menetap di
kademangan ini atau menghancurkan isi dan bentuknya. Yang kedua itulah yang
paling mungkin dilakukan. Sebab bagi orang-orang Tambak Wedi dan sisa-sisa
pengikut Tohpati itu lebih merasa aman bertahan di padepokan Tambak Wedi.
“Aku harus
mengambil sikap segera,” desis Untara,
“satu-satunya
jalan yang segera dapat aku lakukan adalah menarik sebagian pasukan Pajang di
Sangkal Putung. Tetapi itu pasti mengandung bahaya, seandainya orang-orang
Sanakeling dan Sidanti langsung menyerang Sangkal Putung. Mungkin aku dapat
menempatkan beberapa orang pengawas, tetapi kemungkinan yang paling pahit harus
menjadi pertimbanganku.”
Ki Tanu Metir
tidak menjawab. Pikirannya pun berkata demikian dan ia pun menjadi cemas seperti Untara, apabila
Tambak Wedi langsung menusuk ke Sangkal Patung. Sejenak mereka terdiam. Untara
sibuk berpikir tentang masalah yang sedang dihadapinya. Masalah yang segera
harus mendapat pemecahan. Dan ia berterima kasih kepada Kiai Gringsing dan
kepada Wuranta yang telah memungkinkan ia melihat perimbangan kekuatan antara
pasukannya dan pasukan lawannya. Namun dalam pada itu Agung Sedayu dan Swandaru
masih saja dirisaukan oleh sikap Untara. Meskipun guru mereka telah
menyinggung-nyinggung tentang Sekar Mirah, tetapi Untara seakan-akan
menanggapinya dengan acuh tidak acuh. Sehingga karena dadanya yang pepat, maka
diberanikannya dirinya bertanya,
“Kakang, lalu
bagaimana dengan Sekar Mirah?”
Untara
mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya
kepada Kiai Gringsing,
“Bagaimanakah
dengan gadis itu Kiai? Apakah yang telah Kiai lakukan dengan mendahului
keberangkatan kami?”
“Yang baru
kami lakukan adalah menemukan Angger Wuranta,” sahut Kiai Gringsing.
“Kalau kita
dapat menyelesaikan persoalan Ki Tambak Wedi, merebut kedudukan mereka,
bukankah persoalan Sekar Mirah itu akan selesai dengan sendirinya.”
Agung Sedayu
dan Swandaru tersentak di tempatnya. Bahkan setapak mereka bergeser maju.
Wajah-wajah mereka menjadi tegang dan bahkan terdengar Swandaru berdesis dalam
nada yang tinggi,
“Tidak. Tidak
semudah itu.”
Untara
mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Swandaru yang gemuk bulat itu, tetapi
Swandaru pun menatap wajah Untara dengan
tajamnya.
“Setiap hari
aku berkelahi dengan gadis itu, tetapi ia adalah adikku. Aku adalah saudaranya
laki-laki. Karena itu keselamatannya adalah menjadi tanggung jawabku.”
Wajah Untara pun kemudian menjadi tegang,
“Bagaimanakah
maksudmu?” ia bertanya.
“Sekar Mirah
harus mendapat perhatian yang khusus. Ia harus mendapat penyelesaian lebih
dahulu justru sebelum pasukan Pajang menyerang padepokan Tambak Wedi. Sebab
apabila demikian, maka Sekar Mirah akan menjadi banten. Ia akan menjadi tempat
untuk melepaskan kemarahan orang-orang Tambak Wedi. Seperti seekor kambing di
antara kawanan serigala yang lapar dan buas.”
Dahi
Untara pun kemudian menjadi
berkerut-merut,
“Lalu apa yang
harus aku kerjakan?”
Swandaru
terdiam, namun sorot matanya masih memancarkan suatu tuntutan perasaannya yang
tidak terucapkan. Yang menjawab pertanyaan Untara itu adalah Agung Sedayu,
“Kakang,
setiap tindakan atas padepokan itu harus dipertimbangkan pula keselamatan Sekar
Mirah. Kakang tidak akan dapat bertindak hanya berdasarkan kepentingan pasukan
saja.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya,
“Ya, aku
memang memperhatikan keduanya. Aku mempertimbangkan untung rugi setiap
tindakan. Itulah sebabnya aku tidak dapat dengan tergesa-gesa mengambil sikap
apa pun tentang Sekar Mirah. Sejak aku masih berada di Sangkal Putung, bukankah
pendirian itu sudah kau mengerti? Tanggung jawabku adalah tanggung jawab
keperajuritan. Aku bertanggung jawab terbadap Panglima Wira Tamtama. Tidak
kepada orang lain. Karena itu maka setiap tindakanku pun berdasarkan atas pertanggungan jawab
itu.”
Agung Sedayu
dan Swandaru sama sekali tidak puas mendengar jawaban itu. Hampir saja mereka
berbareng menyatakan perasaannya. Tetapi Kiai Gringsing, orang tua yang telah
kenyang makan pahit manis kehidupan, segera memotongnya,
“Nah, apalagi
yang masih akan dipersoalkan? Semuanya sudah jelas. Semuanya berpijak pada
pendirian yang serupa. Mungkin ada perbedaan landasan untuk berbuat, tetapi
unsur-unsur yang harus dipertimbangkan tidak berbeda. Adalah wajar bahwa sudut
pandangan Angger Swandaru dan Agung Sedayu berbeda dengan Angger Untara. Tetapi
kalian masing-masing tidak akan dapat berbuat sendiri-sendiri. Apalagi dalam
keadaan sekarang, di mana Angger Untara masih harus memikirkan jumlah dan
kekuatannya. Bukankah begitu Angger?”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Meskipun ia tidak sependapat sepenuhnya, tetapi kalimat Ki
Tanu Metir yang terakhir merupakan tekanan yang tidak dapat dihindarinya. Ia
dihadapkan pada kenyataan, bahwa pasukan Pajang tidak akan dapat berdiri
sendiri tanpa orang-orang itu. Meskipun Untara tidak lagi secara langsung
memerlukan anak-anak muda Sangkal Putung, tetapi hal itu tidak akan dapat
dihindarinya. Setiap ia menginginkan sebagian dari pasukan Widura, maka setiap
kali ia harus mempertimbangkan anak-anak muda kademangan itu. Dan Swandaru
adalah pemimpin langsung dari anak-anak muda Sangkal Putung. Apalagi kalau
diingatnya, bahwa Ki Tanu Metir lah yang mengatakan pertimbangan itu. Tak ada
orang lain yang dapat mengimbangi kekuatan dan kemampuan Ki Tambak Wedi selain
Ki Tanu Metir. Pertimbangan-pertimbangan itulah yang membuat Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam dalam nada yang datar,
“Ya, Kiai
benar. Aku tidak dapat berbuat lain lepas dari pertimbangan itu. Aku tahu benar
maksud Kiai. Dan aku tidak dapat melangkahinya.”
“Jangan
begitu, Ngger,” berkata Kiai Gringsing.
“Aku sama
sekali tidak meletakkan pepalang di hadapan Angger sebagai pertanda, kapan dan
bagaimana Angger harus berbuat. Bukankah kenyataan yang Angger hadapi pun
memaksa Angger untuk diam di kademangan ini untuk sementara dan merahasiakan
kekuatan Angger yang sebenarnya? Bukankah Angger Untara tidak akan dapat segera
memukul padepokan Tambak Wedi karena jumlah pasukan Angger kurang mencukupi?”
Untara menarik
nafas dalam-dalam,
“Ya, Kiai
benar.” Namun terasa sesuatu seakan-akan menyentuh jantungnya.
“Angger Untara,”
berkata Ki Tanu Metir,
“ketahuilah,
bahwa Angger Wuranta malam ini datang ke kademangan ini.”
Untara
mengangkat wajahnya sambil bertanya, “Dimana ia sekarang?”
“Ia telah
kembali.”
“Aku ingin
bertemu.”
“Jangan
sekarang, Ngger. Masih ada satu dua orang yang bertugas mengawasinya. Karena
itu ia harus dijaga benar-benar agar tidak dicurigai oleh orang-orang lereng
Merapi itu. Malam ini Angger Wuranta membawa berita bahwa siang tadi Angger
Untara telah datang di Jati Anom.”
“Kenapa berita
itu justru dibawa oleh Wuranta?”
“Adalah lebih
baik demikian, sebab mereka pasti akan segera tahu pula. Bahkan apabila Angger
Wuranta belum memberitahukan kepada mereka, maka kepercayaan mereka kepada
Angger Wuranta akan surut. Setidak-tidaknya mereka menganggap bahwa Angger
Wuranta kurang cakap melakukan tugasnya. Tetapi yang perlu Angger ketahui
adalah, bahwa Angger Wuranta akan melaporkan kepada Sidanti, bahwa Angger
datang segelar sepapan lengkap dengan prajurit-prajurit berkuda.”
“Kenapa
demikian?”
“Sidanti akan
ragu-ragu untuk mendahului menyerang Angger. Karena itu Angger pun harus pasang gelar sandi. Setiap hari
Angger harus membuat kesan seakan-akan Kademangan penuh dengan prajurit. Setiap
hari semua prajurit harus keluar, berjalan dalam kelompok-kelompok dan meronda
berkeliling. Beberapa orang berkuda harus selalu hilir mudik pula di segenap
sudut kademangan.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang Senapati segera ia menangkap
maksud Kiai Gringsing. Ia harus berusaha mengelabuhi petugas-petugas sandi dari
Tambak Wedi yang pasti akan dipasang oleh Sidanti. Bahkan mungkin di antara
petugas-petugas sandi itu nanti adalah Wuranta sendiri. Meskipun Untara merasa
singgungan-singgungan langsung pada perasaannya, oleh kata-kata Kiai Gringsing,
apalagi kedua muridnya, yang seakan-akan kepentingan mereka harus mendapat
perhatian terlampau banyak dari kepentingan-kepentingan yang lain, namun ia
mengucapkan terima kasih pula di dalam hatinya kepada orang tua yang aneh ini.
Orang itu telah mendahuluinya berbuat sesuatu. Dan apa yang dilakukannya
ternyata sangat barguna, tidak saja bagi orang tua itu serta murid-muridnya
sendiri, tetapi sangat berguna pula bagi seluruh pasukan Pajang di Jati Anom.
Untara
seakan-akan tersedar ketika ia mendengar Kiai Gringsing bertanya,
“Bagaimana
pertimbangan Angger?”
“Ya, ya Kiai,”
sahut Untara terbata-bata,
“aku sependapat
dengan Kiai. Mulai besok aku akan pasang gelar sandi untuk mengelabuhi
perhitungan lawan, supaya mereka tidak mengambil keuntungan dari keadaan ini
dengan mendahului menyerang Jati Anom.”
“Bagus,” desis
Kiai Gringsing.
“Sementara
itu, aku akan dapat mengumpulkan anak-anak muda Jati Anom, teman-temanku
bermain, di masa kanak-kanak. Meskipun jumlah mereka dan ketrampilan mereka
belum seperti anak-anak muda Sangkal Putung, namun aku mengharap mereka akan
membantu.”
“Tentu.”
“Kalau
demikian, maka malam ini aku akan memberikan beberapa perintah kepada para
pemimpin prajurit Pajang di sini,” berkata Untara,
“supaya sejak
pagi, mereka telah melakukan gelar sandi yang kita maksudkan.”
“Baiklah,”
berkata Kiai Gringsing kemudian, “kami
pun akan segera beristirahat. Mungkin kami masih akan banyak berbuat di
samping Angger Untara. Meskipun demikian, sebelumnya kami minta maaf seandainya
kami tidak berada dan berbuat di dalam lingkungan Angger, sebab kami bukan
prajurit Pajang. Meskipun demikian kami berjanji, bahwa kami tidak akan
mengganggu setiap rencana Angger. Kami akan selalu bertanya apa yang akan
Angger lakukan dan kami selalu akan melaporkan apa yang akan kami perbuat,
supaya kami tidak menjadi saling tunjang.”
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Seandainya yang berbicara itu bukan seorang Kiai Gringsing,
maka ia akan menyawab,
“Dalam keadaan
serupa ini, maka perintah seorang Senapati perang berlaku bagi setiap orang di
dalam wilayah kekuasaannya untuk kepentingan gerakan pasukan.” Tetapi Untara
tidak dapat berkata demikian terhadap orang tua itu. Ia merasa ada sesuatu
perbawa yang tidak mampu dilampauinya. Ia tahu bahwa ia hanya bertanggung jawab
terhadap Ki Gede Pemanahan. Namun orang tua ini
pun sangat mempengaruhi sikap dan jalan pikirannya. Kadang-kadang ia
merasa, sebagai seorang Senapati, ia adalah orang yang harus mengambil sikap
dan keputusan. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan tentang orang tua
yang bernama Ki Tanu Metir dan sering menyebut dirinya dengan sebutan Kiai
Gringsing itu.
“Nah, selamat
malam, Ngger,” desis Kiai Gringsing itu kemudian,
“kami, aku dan
anak-anak ini akan beristirahat. Mudah-mudahan usaha Angger berhasil dan usaha
kami pun akan berhasil.”
“Baik, Kiai,”
sahut Untara,
“terima
kasih.” Namun hatinya sekali lagi merasakan sebuah sentuhan kata-kata orang tua
itu yang telah membuat garis pemisah atas kerja yang akan mereka lakukan
masing-masing. Tetapi Untara tidak ingin bertanya.
Kiai Gringsing
dan kedua muridnya pun segera
meninggalkan rumah itu. Mereka pergi ke rumah Wuranta. Menurut pendapat Kiai
Gringsing, kedua muridnya dan dirinya sendiri lebih baik berada di tempai itu.
Setiap saat mereka dapat bertemu dengan Wuranta apabila anak itu pulang, tanpa
dicurigai oleh orang-orang yang mungkin masih saja mengawasinya. Dalam pada
itu, Wuranta telah menjadi semakin dekat dengan padepokan Tambak Wedi. Kali ini
ia tidak kesiangan. Bahkan sebelum bayangan fajar mewarnai langit di ujung
Timur, Wuranta telah memasuki daerah padepokan Tambak Wedi.
“Justru dengan
demikian ia merasakan betapa ketatnya penjagaan. Tanpa disadarinya, tiba tiba
dua ujung tombak telah mengarah ke lambungnya. Terdengar suara berdesis,
“Siapa?”
Wuranta
berpaling. Dilihatnya dari sisi sebuah batu besar dua orang pengawal telah
mengancamnya dengan tombak, sedang dua orang lain berdiri beberapa langkah
dengan pedang di tangan.
“Mereka sangat
berhati-hati,” desisnya di dalam hati.
“Siapa?”
terdengar pertanyaan itu diulang.
“Wuranta,”
jawab Wuranta pendek.
Para penjaga
itu terdiam sejenak. Tampaknya mereka sedang berpikir.
“Dari mana?”
salah seorang dari mereka bertanya pula.
“Jati Anom.”
Kedua ujung
tombak itu pun kemudian terangkat
kembali. Tanpa mengucapkan kata-kata mereka melepaskan Wuranta begitu saja.
Bahkan keempat orang itu pun segera
meninggalkannya. Wuranta menjadi agak heran melihat sikap itu, tetapi ia tidak
bertanya. Ia langsung melangkahkan kakinya, meneruskan perjalanannya. Tetapi
tiba-tiba ia tertegun ketika lamat-lamat ia mendengar suara berdesis,
“Ia datang ke
mari dibawa oleh Ki Lurah Sidanti. Tetapi ia sekarang menjadi sahabat Alap-alap
kerdil itu.”
Terasa dada
Wuranta berdesir. Kenapa orang-orang di padepokan ini berkata demikian? Agaknya
mereka telah membedakan antara Sidanti dan Alap-alap Jalatunda. Sambil merenung
Wuranta berjalan terus. Berkali-kali ia membelok menyusup antara batu-batu
besar. Dan ia tahu, bahwa di setiap sisi batu-batu itu, tidak mustahil akan
terjulur ujung-ujung pedang yang akan menghentikan langkahnya.
Tetapi
beberapa orang penjaga yang telah mengenalnya, membiarkannya lewat tanpa
menyapa sepatah kata pun. Bahkan ada yang dengan malas memalingkan mukanya.
Tetapi ada pula yang mendebarkan dada Wuranta. Lamat-lamat ia mendengar
sekelompok penjaga menyapanya,
“He, apakah
Tuanku baru datang dari bertamasya?”
Wuranta tidak
tahu maksud pertanyaan itu. Karena itu ia tidak segera menjawab.
“Tentu Tuanku
belum mengenal kami,” sambung yang lain.
Wuranta masih
berdiam diri.
“Kenapa Tuanku
menjadi terheran-heran seperti seekor kera kena sumpit?”
Wajah Wuranta
menjadi merah. Kini ia tahu benar, bahwa sekelompok penjaga itu sedang
mempermainkannya.
“Apakah maksud
kalian dengan pertanyaan itu?” desis Wuranta.
“Jangan marah
Tuan. Semalam kami berburu kelinci, tetapi tak satu pun yang aku dapatkan. Jangan Tuan membiarkan
diri Tuan menjadi kelinci buruan kami. Tuan akan kami kuliti dan kami bakar
seperti kami membakar kelinci.”
Alangkah
marahnya anak muda Jati Anom itu. Tetapi ia masih mencoba menahan dirinya. Ia
tidak tahu ujung pangkal dari persoalannya. Karena itu, ia masih belum menanggapinya.
“Pergilah.
Laporlah kepada Yang Dipertuan Sidanti. Katakanlah, bahwa kami
prajurit-prajurit dari kadipaten Jipang, pengikut setia Senapati Agung kami
Arya Penangsang dan Senapati muda Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan telah
menghinamu…”
Belum lagi
suara itu berhenti, terdengar mereka tertawa bersama. Meledak seolah-olah tawa
itu telah tertahan-tahan bertahun-tahun di dalam dada mereka.
“Kenapa
terjadi demikian?” gumam Wuranta di dalam hatinya.
Kini ia
mendapat kesimpulan, bahwa kedua golongan di dalam padepokan itu agaknya tidak
dapat luluh menjadi satu keluarga. Agaknya mereka masing-masing merasa, bahwa
hubungan yang terjadi itu hanyalah bersifat sementara. Kini tahulah Wuranta,
kenapa beberapa orang yang ditemuinya baru-baru saja bersikap aneh terhadapnya.
Tahulah ia kenapa orang-orang itu berkata, bahwa kedatangannya kemari karena ia
dibawa oleh Sidanti, tetapi ia kini telah menjadi sahabat Alap-alap yang
kerdil. Wuranta menarik nafas. Ia tidak ingin menanggapi orang-orang itu.
Dengan demikian ia akan hanyut dalam pertentangan orang-orang padepokan itu
sendiri tanpa dapat menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Tetapi sebelum
ia melangkahkan kakinya, dadanya berdesir sekali lagi. Tiba-tiba ia melihat
bayangan seseorang berdiri di atas sebuah batu yang besar sambil bertolak
pinggang. Terdengarlah suaranya lantang,
“Ayo, siapa
yang ingin bertemu dengan Sidanti. Inilah Sidanti. Jangan hanya
berteriak-teriak di belakang punggung.”
Tiba-tiba
setiap suara dan orang-orang yang menyebut dirinya prajurit Jipang itu terdiam.
Tak seorang pun yang berani bergerak
dari tempatnya. Mulut mereka pun
seoIah-olah terkunci. Bahkan beberapa orang menjadi saling berpandangan. Dalam
keadaan yang demikian, terasa betapa besar perbawa Sidanti. Prajurit-prajurit
Jipang itu pun dapat dipengaruhinya seperti kena sihir. Laki-laki yang tegap
dan kokoh, dengan berbagai macam senjata di tangan mereka, berdiri diam seperti
patung oleh kehadiran Sidanti itu.
“Ayo,” berkata
Sidanti,
“siapa yang
ingin mencoba, bagaimana Sidanti berbuat terhadap orang-orang yang ingin
menghinanya. Padepokan ini adalah padepokan guruku. Kalian berada di tempat ini
karena belas kasian guruku, Ki Tambak Wedi. Kalau kalian merasa bahwa kalian
tidak kerasan di sini, kenapa kalian tidak pergi saja?”
Tak
seorang pun yang berani menjawab.
“Siapa?”
sekali lagi Sidanti bertanya,
“kalau aku
tidak mengingat kepentingan yang sama di antara kita, maka kalian akan menjadi
bangkai malam ini juga. Sidanti bukan hanya pandai berbicara, tetapi pedangnya
mampu juga memenggal lehermu.”
Belum lagi
debar jantung Wuranta berhenti, sekali lagi dadanya digetarkan oleh peristiwa
yang menyusul. Dari dalam kegelapan terdengar sebuah suara nyaring menjawab
kata-kata Sidanti,
“Ah, jangan
terlampau sombong Sidanti. Kalau kita sudah meletakkan dasar kerja sama yang
baik, maka setiap persoalan harus diselesaikan dengan baik pula. Tidak dengan
caramu itu. Kau dapat menghubungi aku, dan aku lah yang akan bertindak atas
anak-anakku yang kau anggap kurang sopan. Tidak dengan menjajakan keberanian
dan kesaktian,”
“Orang-orang
Jipang itulah yang keterlaluan,” bantah Sidanti,
“mereka
sengaja menghinaku.”
“Tetapi caramu
tidak menyenangkan aku.”
“Aku tidak
perduli, apakah kau senang atau tidak senang.”
“Kalau
demikian, apa maumu?”
Dari dalam
kegelapan, Wuranta melihat sebuah bayangan meluncur langsung bertengger di atas
sebuah batu yang lain tepat di hadapan Sidanti. Orang itu adalah Sanakeling.
Kini keduanya
telah berhadapan dengan wajah-wajah yang tegang. Meskipun mereka belum mencabut
pedang masing-masing, tetapi di tangan kiri mereka telah tergenggam
senjata-senjata rangkapan, justru senjata-senjata mereka yang berbahaya. Tangan
kiri Sidanti menggenggam nanggalnya yang runcing di kedua ujungnya, sedang
tangan kiri Sanakeling menggenggam sebuah bindi. Dalam ketegangan itu,
tiba-tiba mereka telah dikejutkan oleh sebuah ledakan di samping mereka. Sebuah
batu yang besar terpukul sehingga percikan pecahannya berserakan ke segala
penjuru. Kemudian berdentang sebuah gelang-gelang besi di bawah batu-batu
tempat Sidanti dan Sanakeling berdiri. Sidanti dan Sanakeling menyeringai bersama
sama. Bahkan orang-orang Jipang pun
terdengar mengaduh. Ternyata pecahan-pecahan batu itu telah melukai tubuh-tubuh
mereda sehingga berdarah. Yang dapat berbuat sedahsyat itu, dengan senjata
semacam itu tidak ada duanya. Pasti Ki Tambak Wedi. Dan sejenak kemudian
KiTambak Wedi telah berdiri di antara mereka. Di antara Sidanti dan Sanakeling.
Dengan wajah yang merah padam, maka ditunjuknya hidung Sanakeling dan Sidanti
berganti-ganti.
“Gila. Kalian
anak-anak gila. Apakah kalian sadari apa yang kalian lakukan itu? Alangkah
bodohnya. Alangkah gobloknya. Kalian akan menghancurkan diri sendiri di hadapan
hidung orang-orang Pajang. Apakah kalian buta dan tuli? Lihat dan dengar.
Sekarang pasukan Pajang telah berada di Jati Anom.”
Sidanti,
Sanakeling, dan orang-orang Jipang yang lain terkejut untuk kedua kalinya. Kini
jantung mereka bergetar dan seakan-akan mereka disentakkan pada sebuah mimpi
yang mengerikan. Bahwa orang Pajang akan datang ke Jati Anom adalah suatu hal
yang telah mereka duga, tetapi demikian cepatnya itu cepatlah di luar
perhitungan mereka.
Karena itu
dengan serta-merta Sidanti bertanya,
“Apakah mereka
orang-orang Pajang yang berada di Sangkal Putung?”
“Aku tidak
tahu,” sahut Ki Tambak Wedi. Kemudian ia melanjutkan.
”Dari Sangkal
Putung atau bukan, tetapi kalau kalian berkelahi sesama kalian, maka membunuh
kalian akan sama mudahnya mencekik katak kekeringan.”
Sanakeling dan
Sidanti terdiam. Keduanya menundukkan kepala masing-masing. Namun mereka merasa
beruntung, bahwa belum terjadi sesuatu di antara mereka. Kalau mereka
bertempur, maka anak buah mereka pun
pasti tidak akan tinggal diam. Dan kini mereka tidak akan dapat lagi saling
menyembunyikan diri, bahwa sebenarnya di dalam padepokan itu telah terjadi
keretakan yang semakin lama menjadi semakin parah. Hanya karena Ki Tambak Wedi
lah maka mereka tetap berada di pihak masing-masing sambil mengendalikan diri
sekuat-kuat hati. Namun Ki Tambak Wedi pun yang tampaknya berdiri di
tengah-tengah itu, sebenarnya tidak berpijak di tempatnya dengan jujur. Ia
tetap memelihara ikatan di antara mereka, karena mereka mempunyai kepentingan
yang bersamaan. Tetapi apabila kepentingan bersama itu telah lampau, maka
dengan hati dan darah yang dingin, Ki Tambak Wedi akan dengan mudah
membinasakan orang-orang Jipang yang kini berada di pihaknya. Kesepian itu
tiba-tiba pecah, ketika dengan serta-merta pula Sidanti berkata,
“He Wuranta.
Bukankah kau datang dari Jati Anom?”
Wuranta
tersentak. Dengan terbata-bata ia menjawab,
“Ya Tuan.”
Tetapi hatinya menjadi kecut ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi telah
mengatakannya lebih dahulu, bahwa orang-orang Pajang telah berada di Jati Anom.
“Guru telah
mengatakan bahwa orang-orang Pajang sudah berada di Jati Anom. Lalu apa kerjamu
sehingga kau belum mengetahuinya?”
“Aku sudah
mengetahuinya, Tuan.”
“Tetapi kau
tidak mengatakan. Dari mana aku tahu, bahwa kau telah mengetahuinya.”
Dada Wuranta
berdebar-debar mendengar pertanyaan itu. Dicobanya untuk tetap tenang dan
menjawabnya,
“Tuan.
Bukankah aku baru saja datang? Aku melihat Tuan berdiri di atas batu itu dengan
wajah merah padam. Bagaimana aku berani berbuat sesuatu?”
Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Apakah baru
sekarang kau ketahui?”
“Pasukan
Untara datang siang kemarin. Baru sore tadi aku berangkat.”
Sekali lagi
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Sekarang
katakan, apa yang kau lihat?”
“Pasukan
Untara segelar sepapan telah berada di Jati Anom. Lengkap dengan pasukan
berkuda.” Meskipun kata-katanya lancar, tetapi terasa juga sebuah getaran yang
meragukan. Kini ia berhadapan dengan orang yang bernama Ki Tambak Wedi yang
telah mengetahui pula, bahwa pasukan Untara berada di Jati Anom. Apakah Ki
Tambak Wedi itu tahu pula tentang dirinya? Kalau demikian, maka akan selesailah
tugasnya oleh sebuah tali gantungan.
“Siapakah anak
itu?” terdengar Ki Tambak Wedi menggeram.
“Aku ketemukan
anak ini di Jati Anom, Guru.”
“Apakah ia
dapat kau percaya?”
“Sampai saat ini,
Guru,” jawab Sidanti ragu-ragu. Sebenarnya ia tidak ingin menunjukkan
kepercayaan itu langsung di muka Wuranta. Dan Sidanti itu menjadi semakin sulit
ketika gurunya bertanya,
“Apakah dua
orang yang aku jumpai malam tadi mengikutinya dan mengawasinya?”
Sidanti
menggigit bibirnya. Tetapi ia menjawab,
“Aku masih
perlu meyakinkannya, Guru.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Wuranta menundukkan wajahnya, untuk
menyembunyikan berbagai kesan yang bergolak di dalam dirinya. Ia senang mendengar
kepercayaan Sidanti, dan ia tersenyum di dalam hati mendengar pertanyaan Ki
Tambak Wedi yang terlampau berterus terang itu. Tetapi tiba-tiba lehernya
berkerut merut,
“Apakah Ki
Tambak Wedi sedang mencoba menilai tanggapan Sidanti tentang diriku yang salah,
yang justru sebenarnya telah diketahui oleh Ki Tambak Wedi?”
Tetapi
ternyata tidak demikian. Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu pun meloncat pergi sambil bergumam,
“Kalau kalian
masih juga bertengkar, maka kalian berdua akan aku bunuh bersama-sama. Tak ada
gunanya kalian berdua di padepokan ini. Kau jangan merasa, bahwa justru kau
muridku Sidanti. Tetapi kebodohanmu hampir tak dapat dimaafkan.”
Sidanti tidak
menjawab. Kepalanya tiba-tiba menunduk. Dan tanpa bertanya sepatah pun
dibiarkannya gurunya pergi. Sepeninggal Ki Tambak Wedi, maka Sidanti pun segera meloncat turun mendapatkan Wuranta.
Dilanjutkannya pertanyaannya,
“Jadi pasukan
Pajang telah berada di Jati Anom?”
“Ya, seperti
yang telah dikatakan oleh Ki Tambak Wedi. Dari manakah diketahuinya tentang hal
ini?”
“Guru adalah
orang aneh. Tetapi bagaimana dengan pasukan Untara itu?”
Wuranta tidak
segera menjawab. Sekali lagi ia mengatur perasaannya yang sebenarnya
bergejolak. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba Sidanti
mendesaknya,
“Bagaimana?
Kenapa dengan pasukan itu?”
“Pasukan
Untara datang segelar sepapan, Tuan”
“Bagaimana
dengan pasukan Untara itu dibandingkan dengan pasukan Widura?”
Hampir saja
terloncat jawaban dari mulutnya, tetapi untunglah ia menjadi sadar, bahwa ia
belum pernah melihat pasukan Widura. Maka jawabnya,
“Pasukan
Widura yang manakah yang Tuan maksud?”
“Oh,” Sidanti
menelan ludahnya,
“kau belum
pernah melihatnya. Pasukan itu berada di Sangkal Putung.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Untunglah ia tidak terlanjur menjawab karena
terlampau bernafsu.
“Tetapi
bagaimana aku mendapat gambaran tentang kekuatan pasukan Untara itu?”
“Sulit Tuan.
Adalah sulit bagiku untuk mengatakan seberapa banyak orang di dalam pasukan
itu.”
“Baik, Baik.
Guru pasti akan melihatnya sendiri. Kalau tidak, aku akan mengirim seseorang
yang cukup berpengalaman melihat kekuatan pasukan.”
“Silahkanlah
Tuan,” gumam Wuranta,
“aku tidak
banyak mengetahui keadaan dan susunan keprajuritan.”
“Kau perlu
pengetahuan mengenai hal itu Wuranta, apabila kau akan menjadi seorang prajurit
yang baik kelak.”
“Aku tidak
begitu bernafsu untuk menjadi seorang prajurit, Tuan. Aku ingin menjadi seorang
Demang.”
Sidanti
tersenyum. Katanya,
“Baik. Kau
akan menjadi Demang Jati Anom. Aku akan membunuh Demang yang sekarang ini
berkuasa. Bukankah begitu maksudmu?”
Tiba-tiba dada
Wuranta berdesir. Telinganya masih terasa ngeri mendengar kata-kata Sidanti
itu. Ia sama sekali tidak ingin melihat demangnya terbunuh. Tetapi ia tidak
menjawab lain daripada mengangguk dan berkata,
“Demikianlah
Tuan.”
“Jangan
takut,” tetapi hati Sidanti mengumpat habis-habisan. Katanya di dalam hatinya,
“Persetan kau.
Baru saja kau mulai, kau sudah membayangkan pangkat yang menyenangkan itu. Aku
yang sudah lama berada di dalam perjuangan ini sama sekali belum mendapat
apa-apa. Membayangkan saja aku belum sempat. Sepantasnya kau aku cekik sampai
mati, begitu kami berhasil menduduki Jati Anom dan mengusir pasukan Pajang itu.
Dengan demikian, maka pemberontakan Tambak Wedi akan menjadi jelas. Dan Pajang
yang baru akan tegak berdiri dan sedang menghadapi Adipati-adipati di pesisir
Lor dan Bang Wetan itu akan menjadi semakin sulit kedudukannya. Sementara itu
Ki Tambak Wedi akan terus menghimpun kekuatan ke Selatan dan Timur Gunung
Merapi.”
Keduanya
kemudian terdiam. Langkah mereka seakan-akan menjadi semakin cepat. Dan agak
jauh di belakang mereka, berjalan Sanakeling menjinjing bindinya. Para pemimpin
padepokan Tambak Wedi dan orang-orang Jipang yang berada di padepokan itu pun segera mengadakan pertemuan. Kali ini
dipimpin sendiri oleh Ki Tambak Wedi. Agaknya kehadiran Untara di Jati Amom
telah menumbuhkan persoalan yang harus mendapat perhatian yang cukup. Tetapi
sayang, bahwa Wuranta tidak diperkenankan ikut serta di dalam pembicaraan itu.
Hanya orang-orang penting dan mendapat kepercayaan sajalah yang boleh ikut di
dalam pembicaraan itu.
“Beristirahatlah,”
berkata Sidanti kepada Wuranta,
“mungkin kau
akan mendapat pekerjaan baru yang lebih penting dari kerjamu yang dahulu.”
“Baik, Tuan,”
sahut Wuranta.
Tetapi ketika
ia melangkah keluar dari ruangan itu, ia tertegun. Alap-alap Jalatunda
menggamitnya sambil berbisik,
“Jangan kau
ganggu gadis itu.”
“Ah,” Wuranta
tersenyum, “apakah aku tidak boleh melihatnya?”
“Aku cekik kau
sampai mati. Sekarang kau jangan lagi bersandar kepada kekuatan Sidanti. Nama
itu semakin lama menjadi semakin jelek di mata prajurit-prajurit Jipang. Salah
sendiri. Sikapnya terlampau sombong. Ia bukan Tohpati yang bergelar Macan
Kepatihan. Tetapi ia bersikap seolah-olah berkuasa melampaui Tohpati itu.”
“Ki Sanakeling
hampir berkelahi melawan anak muda itu.”
“He? Begitu?”
“Ya.”
“Aku belum
sempat menemuinya. Aku harap demikian. Kalau tidak, maka akulah yang akan
berkelahi kelak.”
“Perkara gadis
itu?”
“Mungkin.
Mungkin juga karena kesombongannya. Aku tidak dapat lagi diperintahnya seperti
hari-hari yang lampau.”
“Tetapi
pasukan Untara telah datang. Apakah kalian akan sibuk dengan pertentangan
pribadi?”
Alap-alap
Jalatunda terdiam. Tetapi kerut-merut di keningnya tampak semakin dalam.
“Kau dapat
bertemu dengan gadis itu?” tiba-tiba Alap-alap Jalatunda bertanya.
“Kenapa?”
“Tetapi apakah
kau berpihak kepada Sidanti?”
“Aku selalu
mementingkan kepentingan bersama.”
“Persetan. Kau
mau apa tidak membawa pesanku kepada gadis itu?”
“Baiklah. Itu
tidak ada sangkut pautnya dengan pasukan Untara.”
“Katakan aku
menginginkannya. Kalau ia bersedia, maka aku akan mengorbankan segala-galanya
untuknya.”
“Baik, Tuan.
Pesan itu akan sampai segera. Siang ini.”
Wuranta pun kemudian meninggalkan rumah itu. Ketika
ia berpaling, ia melihat para pemimpin agaknya telah semakin banyak hadir.
Bahkan ia melihat beberapa orang penjaga telah siap pula di muka rumah itu.
Menilik perbedaan sikap dan pakaian maka yang berjaga-jaga di luar itu datang
dari kedua belah pihak. Dan kini Wuranta telah mendapatkan suatu kepastian,
bahwa di dalam padepokan itu pun telah
terjadi keretakan yang gawat. Suatu hal yang menguntungkan bagi pasukan Untara.
Tetapi bagaimana dapat memanfaatkan keretakan itulah yang harus dicari saat dan
kesempatan yang tepat. Meskipun Wuranta merasa juga agak lelah dan kantuk,
namun ia tidak ingin tidur. Ia ingin tetap bangun dan berjaga-jaga. Kalau-kalau
ada sesuatu keputusan mengenai dirinya, maka ia tidak akan diseret selagi ia
sedang tidur. Tetapi tiba-tiba Wuranta teringat akan pesan Alap-alap Jalatunda
untuk menemui Sekar Mirah dan menyampaikan pesannya. Pesan yang gila.
“Hem,” Wuranta
menarik nafas dalam-dalam, “apakah aku akan menyampaikan pesan itu?”
Sementara itu
matahari yang telah mulai memanjat langit di ujung Timur, telah memancarkan
sinarnya yang kekuning-kuningan. Dedaunan menjadi cerah dan segar. Tetes-tetes
embun yang masih menyangkut di rerumputan memantulkan kilatan cahaya matahari
yang binar. Wuranta masih saja duduk di muka pondokan yang diperuntukkannya.
Pondokan pada sebuah rumah yang didiami oleh seorang laki-laki dan perempuan
tua. Suami isteri yang agaknya telah terlampau lama menghuni padepokan ini.
“Apakah Angger
tidak ingin tidur?” bertanya kakek penghuni rumah itu,
“Ke manakah
Angger semalam tadi pergi?”
“Jalan-jalan
saja, Kek,” sahut Wuranta.
“Huh, tak ada
seorang anak muda dari padepokan ini yang sempat berjalan-jalan. Tetapi agaknya
Angger bukan anak muda dari padepokan ini.”
“Aku anak Jati
Anom.”
“O, pantas,
pantas. Aku baru melihat Angger setelah Angger di tempatkan di rumah ini.”
“Ya, Kek.”
“Bagus. Angger
telah memilih pihak yang benar. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang tidak dapat
ditakar kemampuannya, ia mampu menangkap angin taufan, seperti Ki Ageng Sela.
mampu menangkap petir. Meskipun aku sudah tua, tetapi aku masih bersedia
mengangkat, senjata seperti anak-anak muda apabila orang-orang Pajang
benar-benar akan menahancurkan padepokan ini. Bukankah orang-orang Pajang telah
merencanakannya demikian hanya karena Adipati Pajang menjadi iri hati atas
kesaktian Ki Tambak Wedi.”
Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak menjawab.
“Ah, agaknya
Angger mengantuk dan payah. Silahkanlah beristirahat. Di amben dalam telah
disediakan oleh nenek, ubi rebus. Tidak sekedar ubi rebus, tetapi ubi yang
direbus dengan legen. Manis, Ngger.”
“Terima kasih,
Kek,” Wuranta pun segera bangkit.
Perutnya memang merasa lapar. Dan ubi badek adalah makanan yang sangat
digemarinya. Namun meskipun kemudian mulutnya mengunyah ubi, pikirannya masih
juga dikalutkan oleh berbagai macam persoalan. Pesan Alap-alap Jalatunda,
pembicaraan para pemimpin padepokan ini dan orang-orang Jipang dan berbagai
macam yang lain. Disadarinya, bahwa keadaan akan dapat berkembang dengan
cepatnya.
Setelah
kenyang, maka Wuranta segera bangkit. Perlahan-lahan ia pergi ke biliknya,
berbaring-baring untuk melepaskan waktu. Namun ia tidak melepaskan pedang dari
lambungnya.
“Baiklah, aku
penuhi pesan Alap-alap Jalatunda,” desisnya.
“Aku mengharap
bahwa perkembangan daripadanya tidak akan berbahaya bagi Sekar Mirah, tetapi
dapat mempertajam keretakan antara Sidanti dan Alap-alap yang buas itu.”
Akhirnya
Wuranta pun berketetapan hati untuk
menemui gadis itu di pinggir sungai, menyampaikan pesan Alap-alap Jalatunda dan
melihat kemungkinan yang dapat terjadi. Kini ia akan berjalan seorang diri.
Tidak dalam pengawasan Alap-alap Jalatunda, karena anak muda itu sedang
mengadakan pembicaraan dengan pimpinan-pimpinan yang lain. Wuranta itu kemudian
menjadi gelisah, ia tidak lagi dapat berbaring di dalam biliknya.
Perlahan-lahan ia bangkit dan melangkah ke luar. Di halaman dilihatnya kakek
penghuni rumah itu sedang menyiangi tanamannya.
“Kau tidak
tidur, Ngger?”
“Tidak, Kek.”
“Dua malam
Angger berada di sini. Dua malam Angger tidak tidur di pondokan.”
Wuranta
tersenyum. Tetapi ia merasa aneh dengan badannya sendiri. Ia tidak merasa
terlampau lelah dan terlampau kantuk.
“Aku akan
berjalan-jalan, Kek. Aku akan menikmati cerahnya pagi di padepokan ini.”
“Heh,” kakek
itu tersenyum,
“silahkan.
Seumurku ini pun agaknya aku tidak
sempat menikmati cerahnya pagi.”
Kalau begitu,
Kakek banyak kehilangan pada usia-usia muda Kakek.”
“Mungkin.
Mungkin aku banyak kehilangan. Tetapi aku banyak pula menemukan. Aku kehilangan
cerahnya pagi, tetapi aku dapat menyadap ilmu Ki Tambak Wedi
sebanyak-banyaknya. Ilmu kasampurnan lahir dan batin.”
“Ilmu macam
apakah itu?”
“Ilmu
kasunyatan. Persoalan kita adalah persoalan yang nyata. Kita manfaatkan apa
yang dapat kita lihat dan kita raba dan kita rasakan.”
“Maknanya?”
bertanya Wuranta.
“Kemampuan
berpikir menguasai alam. Memecahkan teka-teki yang memenuhi keadaan di sekitar
kita. Dengan demikian maka kita akan menjadi rajin bekerja dan mencari.
Menguasai dan memanfaatkan alam. Menghisap sari-patinya.”
“Itu saja?”
“Apa lagi?”
“Itulah
sebabnya Kakek banyak kehilangan. Kakek tidak dapat menikmati cerahnya pagi.
Apalagi menikmati kurnia Pencipta pagi yang cerah. Yang memiliki rahasia yang
tak akan terpecahkan, sehingga sia-sialah Kakek menghabiskan umur.”
Laki-laki itu
terkejut mendengar jawaban Wuranta, sehingga ia terhenyak beberapa saat.
Ditatapnya wajah anak muda yang tersenyum-senyum itu. Tiba-tiba orang tua itu
berkata,
“Agaknya
Angger mempunyai pengetahuan yang berbeda?”
“O, aku sama
sekali tidak berpengetahuan, Kakek. Apalagi berilmu. Tetapi aku hanya sekedar
mencoba mengerti tentang diri sendiri. Siapa dan apakah aku ini?”
“Kasihan,”
orang tua itu seakan-akan mengeluh,
“kasihan benar
kau, Ngger. Lihat, betapa Ki Tambak Wedi mampu menjadikan dirinya seorang yang
maha sakti karena ia mampu memecahkan teka-teki alam di sekitarnya.”
“Dari manakah
Ki Tambak Wedi menemukan kekuatannya dan kemampuannya yang luar biasa itu?”
“Justru ia
menguasai dan memanfaatkan kekuatan alam di sekitarnya.”
Wuranta
tersenyum. Ia tidak akan dapat berbantah dengan orang tua itu. Bertahun-tahun
orang tua itu mengunyah dan menelan saja pandangan hidup yang didengarnya dari
Ki Tambak Wedi. Meskipun demikian, Wuranta itu bertanya,
“Dan apakah
yang sudah Kakek dapatkan setelah Kakek menyadap ilmu Ki Tambak Wedi
sebanyak-banyaknya? Ilmu yang dapat Kakek pergunakan menangkap taufan atau
menangkap asap atau menangkap petir seperti Ki Ageng Sela?”
Orang tua itu
terkejut mendengar pertanyaan Wuranta. Tiba-tiba ia terdiam. Sejenak ia menjadi
bingung. Wuranta masih saja tersenyum. Tiba-tiba ia berkata,
“Sudahlah
Kakek, bekerjalah. Aku akan berjalan-jalan. Aku tidak pernah berusaha menghisap
kekuatan yang diberikan oleh alam seperti cara yang ditempuh oleh Ki Tambak
Wedi. Tetapi aku ingin menikmati cerahnya pagi. Mengucap syukur kepada Pencipta
pagi yang cerah dan memohon kekuatan kepada-Nya untuk menghadapi tiap
kesulitan.”
“Kepada
siapa?” orang tua itu bertanya.
“Tidak kepada
benda-benda yang memiliki segala macam kekuatan, tidak berusaha mencari dan
memanfaatkan dan menguasai rahasia kekuatan dari pepohonan dan sudut-sudut yang
gelap, tetapi kepada Pencipta setiap benda, setiap pepohonan dan setiap
sudut-sudut yang gelap dan terang.”
Orang tua itu
masih saja menjadi bingung. Bahkan wajahnya kini menjadi berkerut-merut. Tetapi
Wuranta sudah melangkahkan kakinya sambil berkata,
“Lain kali
kita bercakap-cakap, Kakek. Sekarang aku akan berjalan-jalan.”
“Silahkan,
Ngger, silahkan,” jawab orang tua itu. Namun kepalanya masih dilingkari oleh
kata-kata Wuranta yang terdengar aneh di telinganya.
Dalam pada itu
Wuranta telah meninggalkan halaman rumah kakek tua itu. Namun tiba-tiba ia
menjadi cemas. Kalau orang tua itu mengatakan pendiriannya kepada
kawan-kawannya, maka setidak-tidaknya ia akan mendapat perhatian khusus. Tetapi
Wuranta akhirnya dapat melupakan pembicaraan itu. Kakek tua itu pasti tidak
akan mempersoalkannya, karena orang tua itu tidak segera memahami kata-katanya
dan kata-katanya sendiri. Langkah Wuranta itu kemudian membawanya ke jalan
padepokan yang kemarin dilewatinya bersama Alap-alap Jalatunda. Menyelusuri
tebing sungai. Sepanjang jalan Wuranta selalu mereka-reka, bagaimana ia akan
menyampaikan pesan Alap-alap Jalatunda kepada Sekar Mirah.
“Mudah-mudahan
ia tidak salah mengerti,” desis Wuranta seorang diri.
“Mudah-mudahan
ia sadar akan persoalan yang dihadapinya dan dapat memanfaatkannya.”
Tetapi
alangkah kecewa Wuranta ketika ia sampai kebelik sungai itu. Ia tidak melihat
Sekar Mirah mencuci pakaiannya seperti kemarin.
“Hem,” desahnya,
“agaknya tidak setiap hari ia pergi ke sungai mencuci pakaian. Mungkin hari ini
pakaiannya tidak ada lagi yang dicucinya. Bagaimana aku dapat menemuinya?”
Wuranta itu
menjadi agak bimbang. Apakah ia dapat menemui gadis itu di pemondokannya?
Wuranta tidak berani menerima akibat dari perbuatannya itu. Kalau para penjaga
dan pengawas melihatnya, maka akibatnya adalah kegagalan seluruh tugasnya.
“Apa yang
harus aku lakukan?” gumamnya.
Tetapi tanpa
disadarinya langkahnya telah menyelusuri jalan menuju ke pondokan Sekar Mirah.
Sekali dua kali di jumpainya juga beberapa orang laskar yang sedang meronda.
Tetapi para peronda itu seakan-akan tidak menghiraukannya. Mereka telah
mengenal Wuranta, karena Wuranta sering berjalan bersama Sidanti, Alap-alap
Jalatunda, dan pemimpin yang lain. Tetapi tanpa diduga-duganya langkahnya
terhenti. Di lorong sempit yang menuju ke sungai ia melihat Sekar Mirah
berjalan di depannya dalam arah yang berlawanan. Tiba-tiba saja hatinya menjadi
berdebar-debar. Dan tiba-tiba saja keringatnya mengalir membasahi punggungnya.
“Aku hanya
sekedar membawa pesan,” desisnya di dalam hati untuk menenangkan perasaannya
sendiri.
“Mudah-mudahan
ia tidak salah terima.”
Dadanya
menjadi semakin tegang ketika di kejauhan ia melihat Sekar Mirah itu tersenyum
kepadanya. Senyum yang cerah, secerah sinar pagi yang mengusap ujung pepohonan.
Langkah mereka, semakin lama menjadi semakin dekat. Dan jantung Wuranta
seakan-akan berhenti berdenyut ketika ia mendengar gadis itu menyapanya,
“Selamat pagi,
Tuan.”
“Selamat
pagi,” jawab Wuranta tergagap. Sikapnya tiba-tiba berubah. Tidak selincah
sikapnya kemarin.
“Dari mana
Tuan sepagi ini?”
“E,” Wuranta
agak kebingungan mencari jawab. Akhirnya sekenanya ia berkata,
“Jalan-jalan,
Nini.”
“Sepagi ini?”
“Justru sepagi
ini, Nini. Pagi yang cerah,” Wuranta telah menjadi agak tenang sehingga
kata-katanya telah mulai meluncur agak lancar.
Tetapi
meskipun demikian hatinya masih saja diliputi oleh kebimbangan tentang pesan
Alap-alap Jalatunda yang harus disampaikannya. Dalam pada itu terdengar Sekar
Mirah bertanya pula,
“Kenapa Tuan
hanya seorang diri? Di manakah kawan Tuan yang seorang kemarin?”
“Ia adalah
orang yang penting di dalam kedudukannya, Nini. Pagi ini orang-orang penting
sedang mengadakan pertemuan. Sedang aku adalah seorang yang hampir tak berarti
di sini.”
Sekar Mirah
tersenyum. Katanya,
“Tuan
terlampau merendahkan diri.”
“Aku berkata
sebenarnya.”
“Tetapi
bagaimanakah kedudukan kawan Tuan kemarin di samping kedudukan Sidanti?”
“Ada bedanya
Nini, Sidanti adalah pemimpin padepokan ini, sedang Alap-alap Jalatunda adalah
pemimpin Laskar Jipang.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyangka bahwa Wuranta adalah anak muda
dari padepokan ini. Kalau Wuranta itu salah seorang laskar Jipang. maka
setidak-tidaknya ia pernah mendengar nama Sekar Mirah sebagai seorang puteri
Demang Sangkal Putung yang akan dapat membedakan kedudukan Sidanti dan
Alap-alap Jalatunda. Sebab keduanya pernah berada di sekitar Sangkal Putung,
bahkan Sidanti sendiri pernah berada di kademangan itu. Tetapi hal itu tidak
penting bagi Sekar Mirah. Ia tidak pula bertanya kenapa justru anak itu menjadi
sahabat Alap-alap Jalatunda, meskipun Sekar Mirah tidak tahu, bahwa
persahabatan itu adalah persahabatan yang semu, yang didorong pula oleh keharusan
Alap-alap Jalatunda mengawasi Wuranta. Dengan sadar Sekar Mirah menghadapi
keduanya. Sidanti dan Alap-alap Jalatunda. Itulah sebabnya ia bertanya,
“Jadi
Alap-alap Jalatunda itu benar-benar seorang pemimpin Laskar Jipang?”
“Ya.”
“Alangkah
menarik. Usianya agaknya masih cukup muda. Tetapi ia telah memangku kedudukan
yang cukup berat.”
“Ya.”
“Sayang ia
tidak berjalan bersama Tuan pagi ini.”
Kening Wuranta
berkerut. Debar dadanya menjadi semakin deras. Ia merasa bahwa ia telah
mendapatkan kesempatan. Tetapi ia masih saja ragu-ragu.
“Apakah sepagi
ini para pemimpin padepokan ini sudah mulai mengadakan pembicaraan?”
“Dalam keadaan
khusus, Nini.”
“Kenapa?”
“Pasukan
Untara telah berada di Jati Anom.”
“He,”
tiba-tiba wajah Sekar Mirah itu berubah. Tetapi hanya sejenak. Gadis itu
berusaha untuk menguasai perasaannya sekuat-kuatnya. Tetapi sejenak kemudian,
ia melangkah sambil bergumam,
“Aku melihat
dua orang prajurit berjalan kejurusan ini. Aku tidak mau mereka mencurigai aku
atau Tuan.”
“Oh,” dada
Wuranta menjadi berdebar-debar. Ketika ia berpaling, ia memang melihat dua
orang prajurit berjalan di kejauhan. Tetapi ia telah menyatakan kesanggupannya
menyampaikan pesan Alap-alap Jalatunda. Karena itu dengan tergesa-gesa ia
berkata,
“Nini,
sebenarnya aku membawa pesan dari Alap-alap Jalatunda. Pesan itu mengatakan,
bahwa Alap-alap Jalatunda menginginkan Nini untuknya. Ia sanggup mengorbankan
apa saja untuk kepentingan itu.”
Wuranta
melihat wajah Sekar Mirah menjadi kemerah-merahan. Tetapi yang sama sekali
tidak diduganya gadis itu tersenyum sambil menyahut dengan serta-merta,
“Aku
menunggunya.”
“Gila. Gila,”
desis Wuranta di dalam hati. Bagaimana mungkin jawaban itu begitu cepatnya
tanpa dipikirkannya? Apakah gadis itu telah mempunyai perhitungannya tersendiri
atau memang semuanya ini telah masuk di dalam rencananya.
Tetapi sebelum
Wuranta sempat berkata lagi, Sekar Mirah telah meneruskan perjalanannya. Kedua
orang peronda berjalan ke arahnya. Perlahan-lahan Wuranta melangkahkan kakinya
pula, namun dadanya masih dipenuhi berbagai macam persoalan antara Alap-alap
Jalatunda dan gadis itu. Kedua peronda itu kemudian berjalan di sisinya
melampauinya. Keduanya berpaling dan salah seorang daripadanya bertanya,
“Kau sudah
kenal gadis itu?”
Wuranta
menggeleng sambil tersenyum,
“Belum. Apakah
ia adikmu?”
“Pantas kau
berani mengganggunya.”
“Aku tidak
mengganggu. Aku hanya mengucapkan selamat pagi. Sebab aku heran, bahwa
padepokan ini telah melahirkan gadis secerah matahari pagi.”
“Dengar,”
berkata yang seorang lagi,
“ingat-ngatlah
kata-kataku ini. Supaya lehermu tidak dipancung oleh Sidanti, jangan
mencoba-coba mengganggunya.”
“He,” Wuranta
pura-pura terkejut
“apakah ia
adik Sidanti?”
“Setan belang
itu tidak bersanak keluarga di sini, selain gurunya yang hidungnya mancung
seperti paruh burung hantu, dan baru-baru ini datang pamannya yang bernama
Argajaya. Gadis itu adalah gadis simpanannya yang dicurinya duri Sangkal
Putung.”
“O,” Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“maaf. Aku
tidak tahu.”
“Untunglah
bahwa kami yang melihat perbuatanmu. Kalau orang-orang padepokan ini, mungkin
kau segera akan digantung.”
“Maafkan aku,”
desis Wuranta pula.
Kedua orang
itu pun segera berlalu. Wuranta sama sekali sudah tidak memperhatikannya lagi.
Tetapi yang mencemaskannya adalah bagaimanakah jadinya apabila Alap-alap
Jalatunda ingin melaksanakan maksudnya?,
“Itu adalah
tanggung jawabnya,” desisnya,
“tetapi apakah
anak yang liar itu tidak berbahaya bagi Sekar Mirah?”
Wuranta
kemudian berjalan kembali ke pondoknya dengan penuh kebimbangan dan kecemasan.
Tetapi ia harus menyampaikan jawaban Sekar Mirah,
“Aku
menunggunya.”
“Kalau saja
jawaban itu dilandasi oleh kesadaran dan perhitungan yang cermat,” desisnya di
dalam hati.
“Tetapi
Alap-alap itu bukan seorang anak muda yang dungu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar