Jilid 022 Halaman 2


“Ki Tambak Wedi mempunyai seribu pasang telinga. Telinga-telinga itu berada di pepohonan, di dinding-dinding halaman, di regol-regol dan tersebar di mana saja. Sedang kita di sini masing-masing mempunyai seribu mulut yang akan mengatakan setiap rahasia dari mulut yang satu ke mulut yang lain. Aku belum tahu benar tentang diri Ki Demang Jati Anom.”
Untara mengerutkan keningnya. Sejenak wajahnya menjadi berkerut-merut, namun sejenak kemudian ia  pun tersenyum. Katanya,
“Kiai cukup hati-hati. Seharusnya aku sudah mengerti akan hal itu. Terima kasih Kiai. Mungkin aku terpengaruh oleh pengertian yang lebih banyak tentang Ki Demang itu. Sudah lama aku mengenalnya. Dan aku percaya kepadanya.”
“Ya, mungkin demikian bagi Angger Untara, tetapi aku tidak. Aku baru saja melihat dan mengenalnya.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baik Kiai. Sikap Kiai akan membantu sekali. Mudah-mudahan Wuranta dapat melakukan tugasnya dengan baik. Dan mudah-mudahan sesudah ia menyelesaikannya, namanya tidak akan tetap dibenci oleh orang-orang Jati Anom. Tetapi justru sebaliknya.”
“Itu adalah tanggung jawab kita bersama, Ngger. Kita harus menyelamatkannya dan menyelamatkan namanya.”
“Ya, ya Kiai. Dan kita tidak akan mengingkarinya.”
“Anak muda itu bukan saja dapat memberikan banyak keterangan mengenai padepokan Tambak Wedi karena ia berhasil masuk ke dalamnya, tetapi juga tentang Sekar Mirah.”
“Oh,” Untara mengerutkan keningnya,
“ya, tentang Sekar Mirah. Bagaimana dengan gadis itu?”
“Seorang penjabat saja tidak akan dapat mengetahui tempat dan kebiasaan gadis itu apabila ia berada di luar padepokan. Tetapi Wuranta berhasil menemukannya, bahkan anak muda itu telah berhasil bercakap-cakap dengan Sekar Mirah.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Apakah Kiai telah menemukan hubungan tindakan yang sebaik baiknya untuk segala kepentingan?”
“Itu adalah keputusan yang harus Angger ambil.”
“Tetapi aku memerlukan pertimbangan dan pendapat Kiai”

Ki Tanu Metir mengangguk-angguk pula. Kemudian diceriterakannya apa yang didengar dan dilihat oleh Wuranta. Hubungan antara Sidanti dan Sanakeling. Dinding-dinding batu yang tinggi. Ujung-ujung senjata di balik batu-batu besar di lereng Merapi, dan kesulitan-kesulitan yang lain yang harus mendapat banyak perhatian. Akhirnya orang tua itu berkata,
“Kekuatan mereka tidak kurang dari kekuatan Tohpati selagi masih utuh.”
Untara mengerutkan keningnya. Wajahnya yang tegang terhunjam pada nyala api dlupak yang terletak di tengah-tengah lingkaran duduk mereka. Kemudian perlahan-lahan ia berkata,
“Begitukah keadaan yang sebenarnya?”
“Menurut Wuranta.”
“Kiai percaya kepada laporan itu?”
“Aku percaya.”
“Kalau demikian, laporan itu akan menjadi dasar perhitunganku. Aku membawa pasukan tidak sekuat paman Widura di Sangkal Putung. Aku sangka kekuatan padepokan Tambak Wedi tidak sebesar pasukan Jipang yang menyerah.”
“Kau harus berusaha memperkuat pasukanmu, Ngger. Sebelum orang-orang Tambak Wedi mengetahui. Kalau mereka mengambil sikap, mendahului menyerang Jati Anom sebelum Angger bersiap, maka keadaan Angger akan menjadi sulit.”
“Ya, Kiai. Yang mula-mula akan membantu aku adalah anak-anak muda Jati Anom. Mereka adalah kawan-kawan bermain di masa kanak-kanak. Tetapi kekuatan itu tidak seberapa.”
“Orang-orang yang tinggal di padepokan Tambak Wedi serupa benar dengan orang-orang Sangkal Putung. Setiap lelaki adalah seorang prajurit.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus mempertimbangkan keadaan itu sebaik-baiknya. Kalau Tambak Wedi mendahului memukul Jati Anom, maka ia pasti benar-benar berada dalam kesulitan. Mungkin pasukannya akan mampu mengundurkan diri dengan korban yang sekecil-kecilnya, tetapi bagaimana dengan kademangan Jati Anom ini sendiri? Mungkin orang-orang Tambak Wedi akan menetap di kademangan ini atau menghancurkan isi dan bentuknya. Yang kedua itulah yang paling mungkin dilakukan. Sebab bagi orang-orang Tambak Wedi dan sisa-sisa pengikut Tohpati itu lebih merasa aman bertahan di padepokan Tambak Wedi.
“Aku harus mengambil sikap segera,” desis Untara,
“satu-satunya jalan yang segera dapat aku lakukan adalah menarik sebagian pasukan Pajang di Sangkal Putung. Tetapi itu pasti mengandung bahaya, seandainya orang-orang Sanakeling dan Sidanti langsung menyerang Sangkal Putung. Mungkin aku dapat menempatkan beberapa orang pengawas, tetapi kemungkinan yang paling pahit harus menjadi pertimbanganku.”

Ki Tanu Metir tidak menjawab. Pikirannya pun berkata demikian dan ia  pun menjadi cemas seperti Untara, apabila Tambak Wedi langsung menusuk ke Sangkal Patung. Sejenak mereka terdiam. Untara sibuk berpikir tentang masalah yang sedang dihadapinya. Masalah yang segera harus mendapat pemecahan. Dan ia berterima kasih kepada Kiai Gringsing dan kepada Wuranta yang telah memungkinkan ia melihat perimbangan kekuatan antara pasukannya dan pasukan lawannya. Namun dalam pada itu Agung Sedayu dan Swandaru masih saja dirisaukan oleh sikap Untara. Meskipun guru mereka telah menyinggung-nyinggung tentang Sekar Mirah, tetapi Untara seakan-akan menanggapinya dengan acuh tidak acuh. Sehingga karena dadanya yang pepat, maka diberanikannya dirinya bertanya,
“Kakang, lalu bagaimana dengan Sekar Mirah?”
Untara mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada Kiai Gringsing,
“Bagaimanakah dengan gadis itu Kiai? Apakah yang telah Kiai lakukan dengan mendahului keberangkatan kami?”
“Yang baru kami lakukan adalah menemukan Angger Wuranta,” sahut Kiai Gringsing.
“Kalau kita dapat menyelesaikan persoalan Ki Tambak Wedi, merebut kedudukan mereka, bukankah persoalan Sekar Mirah itu akan selesai dengan sendirinya.”
Agung Sedayu dan Swandaru tersentak di tempatnya. Bahkan setapak mereka bergeser maju. Wajah-wajah mereka menjadi tegang dan bahkan terdengar Swandaru berdesis dalam nada yang tinggi,
“Tidak. Tidak semudah itu.”
Untara mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Swandaru yang gemuk bulat itu, tetapi Swandaru  pun menatap wajah Untara dengan tajamnya.
“Setiap hari aku berkelahi dengan gadis itu, tetapi ia adalah adikku. Aku adalah saudaranya laki-laki. Karena itu keselamatannya adalah menjadi tanggung jawabku.”
Wajah Untara  pun kemudian menjadi tegang,
“Bagaimanakah maksudmu?” ia bertanya.
“Sekar Mirah harus mendapat perhatian yang khusus. Ia harus mendapat penyelesaian lebih dahulu justru sebelum pasukan Pajang menyerang padepokan Tambak Wedi. Sebab apabila demikian, maka Sekar Mirah akan menjadi banten. Ia akan menjadi tempat untuk melepaskan kemarahan orang-orang Tambak Wedi. Seperti seekor kambing di antara kawanan serigala yang lapar dan buas.”
Dahi Untara  pun kemudian menjadi berkerut-merut,
“Lalu apa yang harus aku kerjakan?”
Swandaru terdiam, namun sorot matanya masih memancarkan suatu tuntutan perasaannya yang tidak terucapkan. Yang menjawab pertanyaan Untara itu adalah Agung Sedayu,
“Kakang, setiap tindakan atas padepokan itu harus dipertimbangkan pula keselamatan Sekar Mirah. Kakang tidak akan dapat bertindak hanya berdasarkan kepentingan pasukan saja.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya,
“Ya, aku memang memperhatikan keduanya. Aku mempertimbangkan untung rugi setiap tindakan. Itulah sebabnya aku tidak dapat dengan tergesa-gesa mengambil sikap apa pun tentang Sekar Mirah. Sejak aku masih berada di Sangkal Putung, bukankah pendirian itu sudah kau mengerti? Tanggung jawabku adalah tanggung jawab keperajuritan. Aku bertanggung jawab terbadap Panglima Wira Tamtama. Tidak kepada orang lain. Karena itu maka setiap tindakanku  pun berdasarkan atas pertanggungan jawab itu.”

Agung Sedayu dan Swandaru sama sekali tidak puas mendengar jawaban itu. Hampir saja mereka berbareng menyatakan perasaannya. Tetapi Kiai Gringsing, orang tua yang telah kenyang makan pahit manis kehidupan, segera memotongnya,
“Nah, apalagi yang masih akan dipersoalkan? Semuanya sudah jelas. Semuanya berpijak pada pendirian yang serupa. Mungkin ada perbedaan landasan untuk berbuat, tetapi unsur-unsur yang harus dipertimbangkan tidak berbeda. Adalah wajar bahwa sudut pandangan Angger Swandaru dan Agung Sedayu berbeda dengan Angger Untara. Tetapi kalian masing-masing tidak akan dapat berbuat sendiri-sendiri. Apalagi dalam keadaan sekarang, di mana Angger Untara masih harus memikirkan jumlah dan kekuatannya. Bukankah begitu Angger?”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia tidak sependapat sepenuhnya, tetapi kalimat Ki Tanu Metir yang terakhir merupakan tekanan yang tidak dapat dihindarinya. Ia dihadapkan pada kenyataan, bahwa pasukan Pajang tidak akan dapat berdiri sendiri tanpa orang-orang itu. Meskipun Untara tidak lagi secara langsung memerlukan anak-anak muda Sangkal Putung, tetapi hal itu tidak akan dapat dihindarinya. Setiap ia menginginkan sebagian dari pasukan Widura, maka setiap kali ia harus mempertimbangkan anak-anak muda kademangan itu. Dan Swandaru adalah pemimpin langsung dari anak-anak muda Sangkal Putung. Apalagi kalau diingatnya, bahwa Ki Tanu Metir lah yang mengatakan pertimbangan itu. Tak ada orang lain yang dapat mengimbangi kekuatan dan kemampuan Ki Tambak Wedi selain Ki Tanu Metir. Pertimbangan-pertimbangan itulah yang membuat Untara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam dalam nada yang datar,
“Ya, Kiai benar. Aku tidak dapat berbuat lain lepas dari pertimbangan itu. Aku tahu benar maksud Kiai. Dan aku tidak dapat melangkahinya.”
“Jangan begitu, Ngger,” berkata Kiai Gringsing.
“Aku sama sekali tidak meletakkan pepalang di hadapan Angger sebagai pertanda, kapan dan bagaimana Angger harus berbuat. Bukankah kenyataan yang Angger hadapi pun memaksa Angger untuk diam di kademangan ini untuk sementara dan merahasiakan kekuatan Angger yang sebenarnya? Bukankah Angger Untara tidak akan dapat segera memukul padepokan Tambak Wedi karena jumlah pasukan Angger kurang mencukupi?”
Untara menarik nafas dalam-dalam,
“Ya, Kiai benar.” Namun terasa sesuatu seakan-akan menyentuh jantungnya.
“Angger Untara,” berkata Ki Tanu Metir,
“ketahuilah, bahwa Angger Wuranta malam ini datang ke kademangan ini.”
Untara mengangkat wajahnya sambil bertanya, “Dimana ia sekarang?”
“Ia telah kembali.”
“Aku ingin bertemu.”
“Jangan sekarang, Ngger. Masih ada satu dua orang yang bertugas mengawasinya. Karena itu ia harus dijaga benar-benar agar tidak dicurigai oleh orang-orang lereng Merapi itu. Malam ini Angger Wuranta membawa berita bahwa siang tadi Angger Untara telah datang di Jati Anom.”
“Kenapa berita itu justru dibawa oleh Wuranta?”
“Adalah lebih baik demikian, sebab mereka pasti akan segera tahu pula. Bahkan apabila Angger Wuranta belum memberitahukan kepada mereka, maka kepercayaan mereka kepada Angger Wuranta akan surut. Setidak-tidaknya mereka menganggap bahwa Angger Wuranta kurang cakap melakukan tugasnya. Tetapi yang perlu Angger ketahui adalah, bahwa Angger Wuranta akan melaporkan kepada Sidanti, bahwa Angger datang segelar sepapan lengkap dengan prajurit-prajurit berkuda.”
“Kenapa demikian?”
“Sidanti akan ragu-ragu untuk mendahului menyerang Angger. Karena itu Angger  pun harus pasang gelar sandi. Setiap hari Angger harus membuat kesan seakan-akan Kademangan penuh dengan prajurit. Setiap hari semua prajurit harus keluar, berjalan dalam kelompok-kelompok dan meronda berkeliling. Beberapa orang berkuda harus selalu hilir mudik pula di segenap sudut kademangan.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang Senapati segera ia menangkap maksud Kiai Gringsing. Ia harus berusaha mengelabuhi petugas-petugas sandi dari Tambak Wedi yang pasti akan dipasang oleh Sidanti. Bahkan mungkin di antara petugas-petugas sandi itu nanti adalah Wuranta sendiri. Meskipun Untara merasa singgungan-singgungan langsung pada perasaannya, oleh kata-kata Kiai Gringsing, apalagi kedua muridnya, yang seakan-akan kepentingan mereka harus mendapat perhatian terlampau banyak dari kepentingan-kepentingan yang lain, namun ia mengucapkan terima kasih pula di dalam hatinya kepada orang tua yang aneh ini. Orang itu telah mendahuluinya berbuat sesuatu. Dan apa yang dilakukannya ternyata sangat barguna, tidak saja bagi orang tua itu serta murid-muridnya sendiri, tetapi sangat berguna pula bagi seluruh pasukan Pajang di Jati Anom.
Untara seakan-akan tersedar ketika ia mendengar Kiai Gringsing bertanya,
“Bagaimana pertimbangan Angger?”
“Ya, ya Kiai,” sahut Untara terbata-bata,
“aku sependapat dengan Kiai. Mulai besok aku akan pasang gelar sandi untuk mengelabuhi perhitungan lawan, supaya mereka tidak mengambil keuntungan dari keadaan ini dengan mendahului menyerang Jati Anom.”
“Bagus,” desis Kiai Gringsing.
“Sementara itu, aku akan dapat mengumpulkan anak-anak muda Jati Anom, teman-temanku bermain, di masa kanak-kanak. Meskipun jumlah mereka dan ketrampilan mereka belum seperti anak-anak muda Sangkal Putung, namun aku mengharap mereka akan membantu.”
“Tentu.”
“Kalau demikian, maka malam ini aku akan memberikan beberapa perintah kepada para pemimpin prajurit Pajang di sini,” berkata Untara,
“supaya sejak pagi, mereka telah melakukan gelar sandi yang kita maksudkan.”
“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “kami  pun akan segera beristirahat. Mungkin kami masih akan banyak berbuat di samping Angger Untara. Meskipun demikian, sebelumnya kami minta maaf seandainya kami tidak berada dan berbuat di dalam lingkungan Angger, sebab kami bukan prajurit Pajang. Meskipun demikian kami berjanji, bahwa kami tidak akan mengganggu setiap rencana Angger. Kami akan selalu bertanya apa yang akan Angger lakukan dan kami selalu akan melaporkan apa yang akan kami perbuat, supaya kami tidak menjadi saling tunjang.”
Untara menarik nafas dalam-dalam. Seandainya yang berbicara itu bukan seorang Kiai Gringsing, maka ia akan menyawab,
“Dalam keadaan serupa ini, maka perintah seorang Senapati perang berlaku bagi setiap orang di dalam wilayah kekuasaannya untuk kepentingan gerakan pasukan.” Tetapi Untara tidak dapat berkata demikian terhadap orang tua itu. Ia merasa ada sesuatu perbawa yang tidak mampu dilampauinya. Ia tahu bahwa ia hanya bertanggung jawab terhadap Ki Gede Pemanahan. Namun orang tua ini  pun sangat mempengaruhi sikap dan jalan pikirannya. Kadang-kadang ia merasa, sebagai seorang Senapati, ia adalah orang yang harus mengambil sikap dan keputusan. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan tentang orang tua yang bernama Ki Tanu Metir dan sering menyebut dirinya dengan sebutan Kiai Gringsing itu.
“Nah, selamat malam, Ngger,” desis Kiai Gringsing itu kemudian,
“kami, aku dan anak-anak ini akan beristirahat. Mudah-mudahan usaha Angger berhasil dan usaha kami pun akan berhasil.”
“Baik, Kiai,” sahut Untara,
“terima kasih.” Namun hatinya sekali lagi merasakan sebuah sentuhan kata-kata orang tua itu yang telah membuat garis pemisah atas kerja yang akan mereka lakukan masing-masing. Tetapi Untara tidak ingin bertanya.

Kiai Gringsing dan kedua muridnya  pun segera meninggalkan rumah itu. Mereka pergi ke rumah Wuranta. Menurut pendapat Kiai Gringsing, kedua muridnya dan dirinya sendiri lebih baik berada di tempai itu. Setiap saat mereka dapat bertemu dengan Wuranta apabila anak itu pulang, tanpa dicurigai oleh orang-orang yang mungkin masih saja mengawasinya. Dalam pada itu, Wuranta telah menjadi semakin dekat dengan padepokan Tambak Wedi. Kali ini ia tidak kesiangan. Bahkan sebelum bayangan fajar mewarnai langit di ujung Timur, Wuranta telah memasuki daerah padepokan Tambak Wedi.
“Justru dengan demikian ia merasakan betapa ketatnya penjagaan. Tanpa disadarinya, tiba tiba dua ujung tombak telah mengarah ke lambungnya. Terdengar suara berdesis,
“Siapa?”
Wuranta berpaling. Dilihatnya dari sisi sebuah batu besar dua orang pengawal telah mengancamnya dengan tombak, sedang dua orang lain berdiri beberapa langkah dengan pedang di tangan.
“Mereka sangat berhati-hati,” desisnya di dalam hati.
“Siapa?” terdengar pertanyaan itu diulang.
“Wuranta,” jawab Wuranta pendek.
Para penjaga itu terdiam sejenak. Tampaknya mereka sedang berpikir.
“Dari mana?” salah seorang dari mereka bertanya pula.
“Jati Anom.”
Kedua ujung tombak itu  pun kemudian terangkat kembali. Tanpa mengucapkan kata-kata mereka melepaskan Wuranta begitu saja. Bahkan keempat orang itu  pun segera meninggalkannya. Wuranta menjadi agak heran melihat sikap itu, tetapi ia tidak bertanya. Ia langsung melangkahkan kakinya, meneruskan perjalanannya. Tetapi tiba-tiba ia tertegun ketika lamat-lamat ia mendengar suara berdesis,
“Ia datang ke mari dibawa oleh Ki Lurah Sidanti. Tetapi ia sekarang menjadi sahabat Alap-alap kerdil itu.”
Terasa dada Wuranta berdesir. Kenapa orang-orang di padepokan ini berkata demikian? Agaknya mereka telah membedakan antara Sidanti dan Alap-alap Jalatunda. Sambil merenung Wuranta berjalan terus. Berkali-kali ia membelok menyusup antara batu-batu besar. Dan ia tahu, bahwa di setiap sisi batu-batu itu, tidak mustahil akan terjulur ujung-ujung pedang yang akan menghentikan langkahnya.

Tetapi beberapa orang penjaga yang telah mengenalnya, membiarkannya lewat tanpa menyapa sepatah kata pun. Bahkan ada yang dengan malas memalingkan mukanya. Tetapi ada pula yang mendebarkan dada Wuranta. Lamat-lamat ia mendengar sekelompok penjaga menyapanya,
“He, apakah Tuanku baru datang dari bertamasya?”
Wuranta tidak tahu maksud pertanyaan itu. Karena itu ia tidak segera menjawab.
“Tentu Tuanku belum mengenal kami,” sambung yang lain.
Wuranta masih berdiam diri.
“Kenapa Tuanku menjadi terheran-heran seperti seekor kera kena sumpit?”
Wajah Wuranta menjadi merah. Kini ia tahu benar, bahwa sekelompok penjaga itu sedang mempermainkannya.
“Apakah maksud kalian dengan pertanyaan itu?” desis Wuranta.
“Jangan marah Tuan. Semalam kami berburu kelinci, tetapi tak satu  pun yang aku dapatkan. Jangan Tuan membiarkan diri Tuan menjadi kelinci buruan kami. Tuan akan kami kuliti dan kami bakar seperti kami membakar kelinci.”
Alangkah marahnya anak muda Jati Anom itu. Tetapi ia masih mencoba menahan dirinya. Ia tidak tahu ujung pangkal dari persoalannya. Karena itu, ia masih belum menanggapinya.
“Pergilah. Laporlah kepada Yang Dipertuan Sidanti. Katakanlah, bahwa kami prajurit-prajurit dari kadipaten Jipang, pengikut setia Senapati Agung kami Arya Penangsang dan Senapati muda Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan telah menghinamu…”
Belum lagi suara itu berhenti, terdengar mereka tertawa bersama. Meledak seolah-olah tawa itu telah tertahan-tahan bertahun-tahun di dalam dada mereka.
“Kenapa terjadi demikian?” gumam Wuranta di dalam hatinya.
Kini ia mendapat kesimpulan, bahwa kedua golongan di dalam padepokan itu agaknya tidak dapat luluh menjadi satu keluarga. Agaknya mereka masing-masing merasa, bahwa hubungan yang terjadi itu hanyalah bersifat sementara. Kini tahulah Wuranta, kenapa beberapa orang yang ditemuinya baru-baru saja bersikap aneh terhadapnya. Tahulah ia kenapa orang-orang itu berkata, bahwa kedatangannya kemari karena ia dibawa oleh Sidanti, tetapi ia kini telah menjadi sahabat Alap-alap yang kerdil. Wuranta menarik nafas. Ia tidak ingin menanggapi orang-orang itu. Dengan demikian ia akan hanyut dalam pertentangan orang-orang padepokan itu sendiri tanpa dapat menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan kepadanya.

Tetapi sebelum ia melangkahkan kakinya, dadanya berdesir sekali lagi. Tiba-tiba ia melihat bayangan seseorang berdiri di atas sebuah batu yang besar sambil bertolak pinggang. Terdengarlah suaranya lantang,
“Ayo, siapa yang ingin bertemu dengan Sidanti. Inilah Sidanti. Jangan hanya berteriak-teriak di belakang punggung.”
Tiba-tiba setiap suara dan orang-orang yang menyebut dirinya prajurit Jipang itu terdiam. Tak seorang  pun yang berani bergerak dari tempatnya. Mulut mereka  pun seoIah-olah terkunci. Bahkan beberapa orang menjadi saling berpandangan. Dalam keadaan yang demikian, terasa betapa besar perbawa Sidanti. Prajurit-prajurit Jipang itu pun dapat dipengaruhinya seperti kena sihir. Laki-laki yang tegap dan kokoh, dengan berbagai macam senjata di tangan mereka, berdiri diam seperti patung oleh kehadiran Sidanti itu.
“Ayo,” berkata Sidanti,
“siapa yang ingin mencoba, bagaimana Sidanti berbuat terhadap orang-orang yang ingin menghinanya. Padepokan ini adalah padepokan guruku. Kalian berada di tempat ini karena belas kasian guruku, Ki Tambak Wedi. Kalau kalian merasa bahwa kalian tidak kerasan di sini, kenapa kalian tidak pergi saja?”
Tak seorang  pun yang berani menjawab.
“Siapa?” sekali lagi Sidanti bertanya,
“kalau aku tidak mengingat kepentingan yang sama di antara kita, maka kalian akan menjadi bangkai malam ini juga. Sidanti bukan hanya pandai berbicara, tetapi pedangnya mampu juga memenggal lehermu.”
Belum lagi debar jantung Wuranta berhenti, sekali lagi dadanya digetarkan oleh peristiwa yang menyusul. Dari dalam kegelapan terdengar sebuah suara nyaring menjawab kata-kata Sidanti,
“Ah, jangan terlampau sombong Sidanti. Kalau kita sudah meletakkan dasar kerja sama yang baik, maka setiap persoalan harus diselesaikan dengan baik pula. Tidak dengan caramu itu. Kau dapat menghubungi aku, dan aku lah yang akan bertindak atas anak-anakku yang kau anggap kurang sopan. Tidak dengan menjajakan keberanian dan kesaktian,”
“Orang-orang Jipang itulah yang keterlaluan,” bantah Sidanti,
“mereka sengaja menghinaku.”
“Tetapi caramu tidak menyenangkan aku.”
“Aku tidak perduli, apakah kau senang atau tidak senang.”
“Kalau demikian, apa maumu?”
Dari dalam kegelapan, Wuranta melihat sebuah bayangan meluncur langsung bertengger di atas sebuah batu yang lain tepat di hadapan Sidanti. Orang itu adalah Sanakeling.

Kini keduanya telah berhadapan dengan wajah-wajah yang tegang. Meskipun mereka belum mencabut pedang masing-masing, tetapi di tangan kiri mereka telah tergenggam senjata-senjata rangkapan, justru senjata-senjata mereka yang berbahaya. Tangan kiri Sidanti menggenggam nanggalnya yang runcing di kedua ujungnya, sedang tangan kiri Sanakeling menggenggam sebuah bindi. Dalam ketegangan itu, tiba-tiba mereka telah dikejutkan oleh sebuah ledakan di samping mereka. Sebuah batu yang besar terpukul sehingga percikan pecahannya berserakan ke segala penjuru. Kemudian berdentang sebuah gelang-gelang besi di bawah batu-batu tempat Sidanti dan Sanakeling berdiri. Sidanti dan Sanakeling menyeringai bersama sama. Bahkan orang-orang Jipang  pun terdengar mengaduh. Ternyata pecahan-pecahan batu itu telah melukai tubuh-tubuh mereda sehingga berdarah. Yang dapat berbuat sedahsyat itu, dengan senjata semacam itu tidak ada duanya. Pasti Ki Tambak Wedi. Dan sejenak kemudian KiTambak Wedi telah berdiri di antara mereka. Di antara Sidanti dan Sanakeling. Dengan wajah yang merah padam, maka ditunjuknya hidung Sanakeling dan Sidanti berganti-ganti.
“Gila. Kalian anak-anak gila. Apakah kalian sadari apa yang kalian lakukan itu? Alangkah bodohnya. Alangkah gobloknya. Kalian akan menghancurkan diri sendiri di hadapan hidung orang-orang Pajang. Apakah kalian buta dan tuli? Lihat dan dengar. Sekarang pasukan Pajang telah berada di Jati Anom.”
Sidanti, Sanakeling, dan orang-orang Jipang yang lain terkejut untuk kedua kalinya. Kini jantung mereka bergetar dan seakan-akan mereka disentakkan pada sebuah mimpi yang mengerikan. Bahwa orang Pajang akan datang ke Jati Anom adalah suatu hal yang telah mereka duga, tetapi demikian cepatnya itu cepatlah di luar perhitungan mereka.
Karena itu dengan serta-merta Sidanti bertanya,
“Apakah mereka orang-orang Pajang yang berada di Sangkal Putung?”
“Aku tidak tahu,” sahut Ki Tambak Wedi. Kemudian ia melanjutkan.
”Dari Sangkal Putung atau bukan, tetapi kalau kalian berkelahi sesama kalian, maka membunuh kalian akan sama mudahnya mencekik katak kekeringan.”
Sanakeling dan Sidanti terdiam. Keduanya menundukkan kepala masing-masing. Namun mereka merasa beruntung, bahwa belum terjadi sesuatu di antara mereka. Kalau mereka bertempur, maka anak buah mereka  pun pasti tidak akan tinggal diam. Dan kini mereka tidak akan dapat lagi saling menyembunyikan diri, bahwa sebenarnya di dalam padepokan itu telah terjadi keretakan yang semakin lama menjadi semakin parah. Hanya karena Ki Tambak Wedi lah maka mereka tetap berada di pihak masing-masing sambil mengendalikan diri sekuat-kuat hati. Namun Ki Tambak Wedi pun yang tampaknya berdiri di tengah-tengah itu, sebenarnya tidak berpijak di tempatnya dengan jujur. Ia tetap memelihara ikatan di antara mereka, karena mereka mempunyai kepentingan yang bersamaan. Tetapi apabila kepentingan bersama itu telah lampau, maka dengan hati dan darah yang dingin, Ki Tambak Wedi akan dengan mudah membinasakan orang-orang Jipang yang kini berada di pihaknya. Kesepian itu tiba-tiba pecah, ketika dengan serta-merta pula Sidanti berkata,
“He Wuranta. Bukankah kau datang dari Jati Anom?”
Wuranta tersentak. Dengan terbata-bata ia menjawab,
“Ya Tuan.” Tetapi hatinya menjadi kecut ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi telah mengatakannya lebih dahulu, bahwa orang-orang Pajang telah berada di Jati Anom.
“Guru telah mengatakan bahwa orang-orang Pajang sudah berada di Jati Anom. Lalu apa kerjamu sehingga kau belum mengetahuinya?”
“Aku sudah mengetahuinya, Tuan.”
“Tetapi kau tidak mengatakan. Dari mana aku tahu, bahwa kau telah mengetahuinya.”
Dada Wuranta berdebar-debar mendengar pertanyaan itu. Dicobanya untuk tetap tenang dan menjawabnya,
“Tuan. Bukankah aku baru saja datang? Aku melihat Tuan berdiri di atas batu itu dengan wajah merah padam. Bagaimana aku berani berbuat sesuatu?”
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Apakah baru sekarang kau ketahui?”
“Pasukan Untara datang siang kemarin. Baru sore tadi aku berangkat.”
Sekali lagi Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Sekarang katakan, apa yang kau lihat?”
“Pasukan Untara segelar sepapan telah berada di Jati Anom. Lengkap dengan pasukan berkuda.” Meskipun kata-katanya lancar, tetapi terasa juga sebuah getaran yang meragukan. Kini ia berhadapan dengan orang yang bernama Ki Tambak Wedi yang telah mengetahui pula, bahwa pasukan Untara berada di Jati Anom. Apakah Ki Tambak Wedi itu tahu pula tentang dirinya? Kalau demikian, maka akan selesailah tugasnya oleh sebuah tali gantungan.
“Siapakah anak itu?” terdengar Ki Tambak Wedi menggeram.
“Aku ketemukan anak ini di Jati Anom, Guru.”
“Apakah ia dapat kau percaya?”
“Sampai saat ini, Guru,” jawab Sidanti ragu-ragu. Sebenarnya ia tidak ingin menunjukkan kepercayaan itu langsung di muka Wuranta. Dan Sidanti itu menjadi semakin sulit ketika gurunya bertanya,
“Apakah dua orang yang aku jumpai malam tadi mengikutinya dan mengawasinya?”
Sidanti menggigit bibirnya. Tetapi ia menjawab,
“Aku masih perlu meyakinkannya, Guru.”

Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Wuranta menundukkan wajahnya, untuk menyembunyikan berbagai kesan yang bergolak di dalam dirinya. Ia senang mendengar kepercayaan Sidanti, dan ia tersenyum di dalam hati mendengar pertanyaan Ki Tambak Wedi yang terlampau berterus terang itu. Tetapi tiba-tiba lehernya berkerut merut,
“Apakah Ki Tambak Wedi sedang mencoba menilai tanggapan Sidanti tentang diriku yang salah, yang justru sebenarnya telah diketahui oleh Ki Tambak Wedi?”
Tetapi ternyata tidak demikian. Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu  pun meloncat pergi sambil bergumam,
“Kalau kalian masih juga bertengkar, maka kalian berdua akan aku bunuh bersama-sama. Tak ada gunanya kalian berdua di padepokan ini. Kau jangan merasa, bahwa justru kau muridku Sidanti. Tetapi kebodohanmu hampir tak dapat dimaafkan.”
Sidanti tidak menjawab. Kepalanya tiba-tiba menunduk. Dan tanpa bertanya sepatah pun dibiarkannya gurunya pergi. Sepeninggal Ki Tambak Wedi, maka Sidanti  pun segera meloncat turun mendapatkan Wuranta. Dilanjutkannya pertanyaannya,
“Jadi pasukan Pajang telah berada di Jati Anom?”
“Ya, seperti yang telah dikatakan oleh Ki Tambak Wedi. Dari manakah diketahuinya tentang hal ini?”
“Guru adalah orang aneh. Tetapi bagaimana dengan pasukan Untara itu?”
Wuranta tidak segera menjawab. Sekali lagi ia mengatur perasaannya yang sebenarnya bergejolak. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba Sidanti mendesaknya,
“Bagaimana? Kenapa dengan pasukan itu?”
“Pasukan Untara datang segelar sepapan, Tuan”
“Bagaimana dengan pasukan Untara itu dibandingkan dengan pasukan Widura?”
Hampir saja terloncat jawaban dari mulutnya, tetapi untunglah ia menjadi sadar, bahwa ia belum pernah melihat pasukan Widura. Maka jawabnya,
“Pasukan Widura yang manakah yang Tuan maksud?”
“Oh,” Sidanti menelan ludahnya,
“kau belum pernah melihatnya. Pasukan itu berada di Sangkal Putung.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Untunglah ia tidak terlanjur menjawab karena terlampau bernafsu.
“Tetapi bagaimana aku mendapat gambaran tentang kekuatan pasukan Untara itu?”
“Sulit Tuan. Adalah sulit bagiku untuk mengatakan seberapa banyak orang di dalam pasukan itu.”
“Baik, Baik. Guru pasti akan melihatnya sendiri. Kalau tidak, aku akan mengirim seseorang yang cukup berpengalaman melihat kekuatan pasukan.”
“Silahkanlah Tuan,” gumam Wuranta,
“aku tidak banyak mengetahui keadaan dan susunan keprajuritan.”
“Kau perlu pengetahuan mengenai hal itu Wuranta, apabila kau akan menjadi seorang prajurit yang baik kelak.”
“Aku tidak begitu bernafsu untuk menjadi seorang prajurit, Tuan. Aku ingin menjadi seorang Demang.”
Sidanti tersenyum. Katanya,
“Baik. Kau akan menjadi Demang Jati Anom. Aku akan membunuh Demang yang sekarang ini berkuasa. Bukankah begitu maksudmu?”

Tiba-tiba dada Wuranta berdesir. Telinganya masih terasa ngeri mendengar kata-kata Sidanti itu. Ia sama sekali tidak ingin melihat demangnya terbunuh. Tetapi ia tidak menjawab lain daripada mengangguk dan berkata,
“Demikianlah Tuan.”
“Jangan takut,” tetapi hati Sidanti mengumpat habis-habisan. Katanya di dalam hatinya,
“Persetan kau. Baru saja kau mulai, kau sudah membayangkan pangkat yang menyenangkan itu. Aku yang sudah lama berada di dalam perjuangan ini sama sekali belum mendapat apa-apa. Membayangkan saja aku belum sempat. Sepantasnya kau aku cekik sampai mati, begitu kami berhasil menduduki Jati Anom dan mengusir pasukan Pajang itu. Dengan demikian, maka pemberontakan Tambak Wedi akan menjadi jelas. Dan Pajang yang baru akan tegak berdiri dan sedang menghadapi Adipati-adipati di pesisir Lor dan Bang Wetan itu akan menjadi semakin sulit kedudukannya. Sementara itu Ki Tambak Wedi akan terus menghimpun kekuatan ke Selatan dan Timur Gunung Merapi.”
Keduanya kemudian terdiam. Langkah mereka seakan-akan menjadi semakin cepat. Dan agak jauh di belakang mereka, berjalan Sanakeling menjinjing bindinya. Para pemimpin padepokan Tambak Wedi dan orang-orang Jipang yang berada di padepokan itu  pun segera mengadakan pertemuan. Kali ini dipimpin sendiri oleh Ki Tambak Wedi. Agaknya kehadiran Untara di Jati Amom telah menumbuhkan persoalan yang harus mendapat perhatian yang cukup. Tetapi sayang, bahwa Wuranta tidak diperkenankan ikut serta di dalam pembicaraan itu. Hanya orang-orang penting dan mendapat kepercayaan sajalah yang boleh ikut di dalam pembicaraan itu.
“Beristirahatlah,” berkata Sidanti kepada Wuranta,
“mungkin kau akan mendapat pekerjaan baru yang lebih penting dari kerjamu yang dahulu.”
“Baik, Tuan,” sahut Wuranta.
Tetapi ketika ia melangkah keluar dari ruangan itu, ia tertegun. Alap-alap Jalatunda menggamitnya sambil berbisik,
“Jangan kau ganggu gadis itu.”
“Ah,” Wuranta tersenyum, “apakah aku tidak boleh melihatnya?”
“Aku cekik kau sampai mati. Sekarang kau jangan lagi bersandar kepada kekuatan Sidanti. Nama itu semakin lama menjadi semakin jelek di mata prajurit-prajurit Jipang. Salah sendiri. Sikapnya terlampau sombong. Ia bukan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan. Tetapi ia bersikap seolah-olah berkuasa melampaui Tohpati itu.”
“Ki Sanakeling hampir berkelahi melawan anak muda itu.”
“He? Begitu?”
“Ya.”
“Aku belum sempat menemuinya. Aku harap demikian. Kalau tidak, maka akulah yang akan berkelahi kelak.”
“Perkara gadis itu?”
“Mungkin. Mungkin juga karena kesombongannya. Aku tidak dapat lagi diperintahnya seperti hari-hari yang lampau.”
“Tetapi pasukan Untara telah datang. Apakah kalian akan sibuk dengan pertentangan pribadi?”

Alap-alap Jalatunda terdiam. Tetapi kerut-merut di keningnya tampak semakin dalam.
“Kau dapat bertemu dengan gadis itu?” tiba-tiba Alap-alap Jalatunda bertanya.
“Kenapa?”
“Tetapi apakah kau berpihak kepada Sidanti?”
“Aku selalu mementingkan kepentingan bersama.”
“Persetan. Kau mau apa tidak membawa pesanku kepada gadis itu?”
“Baiklah. Itu tidak ada sangkut pautnya dengan pasukan Untara.”
“Katakan aku menginginkannya. Kalau ia bersedia, maka aku akan mengorbankan segala-galanya untuknya.”
“Baik, Tuan. Pesan itu akan sampai segera. Siang ini.”
Wuranta  pun kemudian meninggalkan rumah itu. Ketika ia berpaling, ia melihat para pemimpin agaknya telah semakin banyak hadir. Bahkan ia melihat beberapa orang penjaga telah siap pula di muka rumah itu. Menilik perbedaan sikap dan pakaian maka yang berjaga-jaga di luar itu datang dari kedua belah pihak. Dan kini Wuranta telah mendapatkan suatu kepastian, bahwa di dalam padepokan itu  pun telah terjadi keretakan yang gawat. Suatu hal yang menguntungkan bagi pasukan Untara. Tetapi bagaimana dapat memanfaatkan keretakan itulah yang harus dicari saat dan kesempatan yang tepat. Meskipun Wuranta merasa juga agak lelah dan kantuk, namun ia tidak ingin tidur. Ia ingin tetap bangun dan berjaga-jaga. Kalau-kalau ada sesuatu keputusan mengenai dirinya, maka ia tidak akan diseret selagi ia sedang tidur. Tetapi tiba-tiba Wuranta teringat akan pesan Alap-alap Jalatunda untuk menemui Sekar Mirah dan menyampaikan pesannya. Pesan yang gila.
“Hem,” Wuranta menarik nafas dalam-dalam, “apakah aku akan menyampaikan pesan itu?”
Sementara itu matahari yang telah mulai memanjat langit di ujung Timur, telah memancarkan sinarnya yang kekuning-kuningan. Dedaunan menjadi cerah dan segar. Tetes-tetes embun yang masih menyangkut di rerumputan memantulkan kilatan cahaya matahari yang binar. Wuranta masih saja duduk di muka pondokan yang diperuntukkannya. Pondokan pada sebuah rumah yang didiami oleh seorang laki-laki dan perempuan tua. Suami isteri yang agaknya telah terlampau lama menghuni padepokan ini.
“Apakah Angger tidak ingin tidur?” bertanya kakek penghuni rumah itu,
“Ke manakah Angger semalam tadi pergi?”
“Jalan-jalan saja, Kek,” sahut Wuranta.
“Huh, tak ada seorang anak muda dari padepokan ini yang sempat berjalan-jalan. Tetapi agaknya Angger bukan anak muda dari padepokan ini.”
“Aku anak Jati Anom.”
“O, pantas, pantas. Aku baru melihat Angger setelah Angger di tempatkan di rumah ini.”
“Ya, Kek.”
“Bagus. Angger telah memilih pihak yang benar. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang tidak dapat ditakar kemampuannya, ia mampu menangkap angin taufan, seperti Ki Ageng Sela. mampu menangkap petir. Meskipun aku sudah tua, tetapi aku masih bersedia mengangkat, senjata seperti anak-anak muda apabila orang-orang Pajang benar-benar akan menahancurkan padepokan ini. Bukankah orang-orang Pajang telah merencanakannya demikian hanya karena Adipati Pajang menjadi iri hati atas kesaktian Ki Tambak Wedi.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak menjawab.
“Ah, agaknya Angger mengantuk dan payah. Silahkanlah beristirahat. Di amben dalam telah disediakan oleh nenek, ubi rebus. Tidak sekedar ubi rebus, tetapi ubi yang direbus dengan legen. Manis, Ngger.”
“Terima kasih, Kek,” Wuranta  pun segera bangkit. Perutnya memang merasa lapar. Dan ubi badek adalah makanan yang sangat digemarinya. Namun meskipun kemudian mulutnya mengunyah ubi, pikirannya masih juga dikalutkan oleh berbagai macam persoalan. Pesan Alap-alap Jalatunda, pembicaraan para pemimpin padepokan ini dan orang-orang Jipang dan berbagai macam yang lain. Disadarinya, bahwa keadaan akan dapat berkembang dengan cepatnya.

Setelah kenyang, maka Wuranta segera bangkit. Perlahan-lahan ia pergi ke biliknya, berbaring-baring untuk melepaskan waktu. Namun ia tidak melepaskan pedang dari lambungnya.
“Baiklah, aku penuhi pesan Alap-alap Jalatunda,” desisnya.
“Aku mengharap bahwa perkembangan daripadanya tidak akan berbahaya bagi Sekar Mirah, tetapi dapat mempertajam keretakan antara Sidanti dan Alap-alap yang buas itu.”
Akhirnya Wuranta  pun berketetapan hati untuk menemui gadis itu di pinggir sungai, menyampaikan pesan Alap-alap Jalatunda dan melihat kemungkinan yang dapat terjadi. Kini ia akan berjalan seorang diri. Tidak dalam pengawasan Alap-alap Jalatunda, karena anak muda itu sedang mengadakan pembicaraan dengan pimpinan-pimpinan yang lain. Wuranta itu kemudian menjadi gelisah, ia tidak lagi dapat berbaring di dalam biliknya. Perlahan-lahan ia bangkit dan melangkah ke luar. Di halaman dilihatnya kakek penghuni rumah itu sedang menyiangi tanamannya.
“Kau tidak tidur, Ngger?”
“Tidak, Kek.”
“Dua malam Angger berada di sini. Dua malam Angger tidak tidur di pondokan.”
Wuranta tersenyum. Tetapi ia merasa aneh dengan badannya sendiri. Ia tidak merasa terlampau lelah dan terlampau kantuk.
“Aku akan berjalan-jalan, Kek. Aku akan menikmati cerahnya pagi di padepokan ini.”
“Heh,” kakek itu tersenyum,
“silahkan. Seumurku ini  pun agaknya aku tidak sempat menikmati cerahnya pagi.”
Kalau begitu, Kakek banyak kehilangan pada usia-usia muda Kakek.”
“Mungkin. Mungkin aku banyak kehilangan. Tetapi aku banyak pula menemukan. Aku kehilangan cerahnya pagi, tetapi aku dapat menyadap ilmu Ki Tambak Wedi sebanyak-banyaknya. Ilmu kasampurnan lahir dan batin.”
“Ilmu macam apakah itu?”
“Ilmu kasunyatan. Persoalan kita adalah persoalan yang nyata. Kita manfaatkan apa yang dapat kita lihat dan kita raba dan kita rasakan.”
“Maknanya?” bertanya Wuranta.
“Kemampuan berpikir menguasai alam. Memecahkan teka-teki yang memenuhi keadaan di sekitar kita. Dengan demikian maka kita akan menjadi rajin bekerja dan mencari. Menguasai dan memanfaatkan alam. Menghisap sari-patinya.”
“Itu saja?”
“Apa lagi?”
“Itulah sebabnya Kakek banyak kehilangan. Kakek tidak dapat menikmati cerahnya pagi. Apalagi menikmati kurnia Pencipta pagi yang cerah. Yang memiliki rahasia yang tak akan terpecahkan, sehingga sia-sialah Kakek menghabiskan umur.”

Laki-laki itu terkejut mendengar jawaban Wuranta, sehingga ia terhenyak beberapa saat. Ditatapnya wajah anak muda yang tersenyum-senyum itu. Tiba-tiba orang tua itu berkata,
“Agaknya Angger mempunyai pengetahuan yang berbeda?”
“O, aku sama sekali tidak berpengetahuan, Kakek. Apalagi berilmu. Tetapi aku hanya sekedar mencoba mengerti tentang diri sendiri. Siapa dan apakah aku ini?”
“Kasihan,” orang tua itu seakan-akan mengeluh,
“kasihan benar kau, Ngger. Lihat, betapa Ki Tambak Wedi mampu menjadikan dirinya seorang yang maha sakti karena ia mampu memecahkan teka-teki alam di sekitarnya.”
“Dari manakah Ki Tambak Wedi menemukan kekuatannya dan kemampuannya yang luar biasa itu?”
“Justru ia menguasai dan memanfaatkan kekuatan alam di sekitarnya.”

Wuranta tersenyum. Ia tidak akan dapat berbantah dengan orang tua itu. Bertahun-tahun orang tua itu mengunyah dan menelan saja pandangan hidup yang didengarnya dari Ki Tambak Wedi. Meskipun demikian, Wuranta itu bertanya,
“Dan apakah yang sudah Kakek dapatkan setelah Kakek menyadap ilmu Ki Tambak Wedi sebanyak-banyaknya? Ilmu yang dapat Kakek pergunakan menangkap taufan atau menangkap asap atau menangkap petir seperti Ki Ageng Sela?”
Orang tua itu terkejut mendengar pertanyaan Wuranta. Tiba-tiba ia terdiam. Sejenak ia menjadi bingung. Wuranta masih saja tersenyum. Tiba-tiba ia berkata,
“Sudahlah Kakek, bekerjalah. Aku akan berjalan-jalan. Aku tidak pernah berusaha menghisap kekuatan yang diberikan oleh alam seperti cara yang ditempuh oleh Ki Tambak Wedi. Tetapi aku ingin menikmati cerahnya pagi. Mengucap syukur kepada Pencipta pagi yang cerah dan memohon kekuatan kepada-Nya untuk menghadapi tiap kesulitan.”
“Kepada siapa?” orang tua itu bertanya.
“Tidak kepada benda-benda yang memiliki segala macam kekuatan, tidak berusaha mencari dan memanfaatkan dan menguasai rahasia kekuatan dari pepohonan dan sudut-sudut yang gelap, tetapi kepada Pencipta setiap benda, setiap pepohonan dan setiap sudut-sudut yang gelap dan terang.”
Orang tua itu masih saja menjadi bingung. Bahkan wajahnya kini menjadi berkerut-merut. Tetapi Wuranta sudah melangkahkan kakinya sambil berkata,
“Lain kali kita bercakap-cakap, Kakek. Sekarang aku akan berjalan-jalan.”
“Silahkan, Ngger, silahkan,” jawab orang tua itu. Namun kepalanya masih dilingkari oleh kata-kata Wuranta yang terdengar aneh di telinganya.
Dalam pada itu Wuranta telah meninggalkan halaman rumah kakek tua itu. Namun tiba-tiba ia menjadi cemas. Kalau orang tua itu mengatakan pendiriannya kepada kawan-kawannya, maka setidak-tidaknya ia akan mendapat perhatian khusus. Tetapi Wuranta akhirnya dapat melupakan pembicaraan itu. Kakek tua itu pasti tidak akan mempersoalkannya, karena orang tua itu tidak segera memahami kata-katanya dan kata-katanya sendiri. Langkah Wuranta itu kemudian membawanya ke jalan padepokan yang kemarin dilewatinya bersama Alap-alap Jalatunda. Menyelusuri tebing sungai. Sepanjang jalan Wuranta selalu mereka-reka, bagaimana ia akan menyampaikan pesan Alap-alap Jalatunda kepada Sekar Mirah.
“Mudah-mudahan ia tidak salah mengerti,” desis Wuranta seorang diri.
“Mudah-mudahan ia sadar akan persoalan yang dihadapinya dan dapat memanfaatkannya.”
Tetapi alangkah kecewa Wuranta ketika ia sampai kebelik sungai itu. Ia tidak melihat Sekar Mirah mencuci pakaiannya seperti kemarin.
“Hem,” desahnya, “agaknya tidak setiap hari ia pergi ke sungai mencuci pakaian. Mungkin hari ini pakaiannya tidak ada lagi yang dicucinya. Bagaimana aku dapat menemuinya?”

Wuranta itu menjadi agak bimbang. Apakah ia dapat menemui gadis itu di pemondokannya? Wuranta tidak berani menerima akibat dari perbuatannya itu. Kalau para penjaga dan pengawas melihatnya, maka akibatnya adalah kegagalan seluruh tugasnya.
“Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya.
Tetapi tanpa disadarinya langkahnya telah menyelusuri jalan menuju ke pondokan Sekar Mirah. Sekali dua kali di jumpainya juga beberapa orang laskar yang sedang meronda. Tetapi para peronda itu seakan-akan tidak menghiraukannya. Mereka telah mengenal Wuranta, karena Wuranta sering berjalan bersama Sidanti, Alap-alap Jalatunda, dan pemimpin yang lain. Tetapi tanpa diduga-duganya langkahnya terhenti. Di lorong sempit yang menuju ke sungai ia melihat Sekar Mirah berjalan di depannya dalam arah yang berlawanan. Tiba-tiba saja hatinya menjadi berdebar-debar. Dan tiba-tiba saja keringatnya mengalir membasahi punggungnya.
“Aku hanya sekedar membawa pesan,” desisnya di dalam hati untuk menenangkan perasaannya sendiri.
“Mudah-mudahan ia tidak salah terima.”
Dadanya menjadi semakin tegang ketika di kejauhan ia melihat Sekar Mirah itu tersenyum kepadanya. Senyum yang cerah, secerah sinar pagi yang mengusap ujung pepohonan. Langkah mereka, semakin lama menjadi semakin dekat. Dan jantung Wuranta seakan-akan berhenti berdenyut ketika ia mendengar gadis itu menyapanya,
“Selamat pagi, Tuan.”
“Selamat pagi,” jawab Wuranta tergagap. Sikapnya tiba-tiba berubah. Tidak selincah sikapnya kemarin.
“Dari mana Tuan sepagi ini?”
“E,” Wuranta agak kebingungan mencari jawab. Akhirnya sekenanya ia berkata,
“Jalan-jalan, Nini.”
“Sepagi ini?”
“Justru sepagi ini, Nini. Pagi yang cerah,” Wuranta telah menjadi agak tenang sehingga kata-katanya telah mulai meluncur agak lancar.
Tetapi meskipun demikian hatinya masih saja diliputi oleh kebimbangan tentang pesan Alap-alap Jalatunda yang harus disampaikannya. Dalam pada itu terdengar Sekar Mirah bertanya pula,
“Kenapa Tuan hanya seorang diri? Di manakah kawan Tuan yang seorang kemarin?”
“Ia adalah orang yang penting di dalam kedudukannya, Nini. Pagi ini orang-orang penting sedang mengadakan pertemuan. Sedang aku adalah seorang yang hampir tak berarti di sini.”
Sekar Mirah tersenyum. Katanya,
“Tuan terlampau merendahkan diri.”
“Aku berkata sebenarnya.”
“Tetapi bagaimanakah kedudukan kawan Tuan kemarin di samping kedudukan Sidanti?”
“Ada bedanya Nini, Sidanti adalah pemimpin padepokan ini, sedang Alap-alap Jalatunda adalah pemimpin Laskar Jipang.”

Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyangka bahwa Wuranta adalah anak muda dari padepokan ini. Kalau Wuranta itu salah seorang laskar Jipang. maka setidak-tidaknya ia pernah mendengar nama Sekar Mirah sebagai seorang puteri Demang Sangkal Putung yang akan dapat membedakan kedudukan Sidanti dan Alap-alap Jalatunda. Sebab keduanya pernah berada di sekitar Sangkal Putung, bahkan Sidanti sendiri pernah berada di kademangan itu. Tetapi hal itu tidak penting bagi Sekar Mirah. Ia tidak pula bertanya kenapa justru anak itu menjadi sahabat Alap-alap Jalatunda, meskipun Sekar Mirah tidak tahu, bahwa persahabatan itu adalah persahabatan yang semu, yang didorong pula oleh keharusan Alap-alap Jalatunda mengawasi Wuranta. Dengan sadar Sekar Mirah menghadapi keduanya. Sidanti dan Alap-alap Jalatunda. Itulah sebabnya ia bertanya,
“Jadi Alap-alap Jalatunda itu benar-benar seorang pemimpin Laskar Jipang?”
“Ya.”
“Alangkah menarik. Usianya agaknya masih cukup muda. Tetapi ia telah memangku kedudukan yang cukup berat.”
“Ya.”
“Sayang ia tidak berjalan bersama Tuan pagi ini.”
Kening Wuranta berkerut. Debar dadanya menjadi semakin deras. Ia merasa bahwa ia telah mendapatkan kesempatan. Tetapi ia masih saja ragu-ragu.
“Apakah sepagi ini para pemimpin padepokan ini sudah mulai mengadakan pembicaraan?”
“Dalam keadaan khusus, Nini.”
“Kenapa?”
“Pasukan Untara telah berada di Jati Anom.”
“He,” tiba-tiba wajah Sekar Mirah itu berubah. Tetapi hanya sejenak. Gadis itu berusaha untuk menguasai perasaannya sekuat-kuatnya. Tetapi sejenak kemudian, ia melangkah sambil bergumam,
“Aku melihat dua orang prajurit berjalan kejurusan ini. Aku tidak mau mereka mencurigai aku atau Tuan.”
“Oh,” dada Wuranta menjadi berdebar-debar. Ketika ia berpaling, ia memang melihat dua orang prajurit berjalan di kejauhan. Tetapi ia telah menyatakan kesanggupannya menyampaikan pesan Alap-alap Jalatunda. Karena itu dengan tergesa-gesa ia berkata,
“Nini, sebenarnya aku membawa pesan dari Alap-alap Jalatunda. Pesan itu mengatakan, bahwa Alap-alap Jalatunda menginginkan Nini untuknya. Ia sanggup mengorbankan apa saja untuk kepentingan itu.”
Wuranta melihat wajah Sekar Mirah menjadi kemerah-merahan. Tetapi yang sama sekali tidak diduganya gadis itu tersenyum sambil menyahut dengan serta-merta,
“Aku menunggunya.”
“Gila. Gila,” desis Wuranta di dalam hati. Bagaimana mungkin jawaban itu begitu cepatnya tanpa dipikirkannya? Apakah gadis itu telah mempunyai perhitungannya tersendiri atau memang semuanya ini telah masuk di dalam rencananya.

Tetapi sebelum Wuranta sempat berkata lagi, Sekar Mirah telah meneruskan perjalanannya. Kedua orang peronda berjalan ke arahnya. Perlahan-lahan Wuranta melangkahkan kakinya pula, namun dadanya masih dipenuhi berbagai macam persoalan antara Alap-alap Jalatunda dan gadis itu. Kedua peronda itu kemudian berjalan di sisinya melampauinya. Keduanya berpaling dan salah seorang daripadanya bertanya,
“Kau sudah kenal gadis itu?”
Wuranta menggeleng sambil tersenyum,
“Belum. Apakah ia adikmu?”
“Pantas kau berani mengganggunya.”
“Aku tidak mengganggu. Aku hanya mengucapkan selamat pagi. Sebab aku heran, bahwa padepokan ini telah melahirkan gadis secerah matahari pagi.”
“Dengar,” berkata yang seorang lagi,
“ingat-ngatlah kata-kataku ini. Supaya lehermu tidak dipancung oleh Sidanti, jangan mencoba-coba mengganggunya.”
“He,” Wuranta pura-pura terkejut
“apakah ia adik Sidanti?”
“Setan belang itu tidak bersanak keluarga di sini, selain gurunya yang hidungnya mancung seperti paruh burung hantu, dan baru-baru ini datang pamannya yang bernama Argajaya. Gadis itu adalah gadis simpanannya yang dicurinya duri Sangkal Putung.”
“O,” Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya,
“maaf. Aku tidak tahu.”
“Untunglah bahwa kami yang melihat perbuatanmu. Kalau orang-orang padepokan ini, mungkin kau segera akan digantung.”
“Maafkan aku,” desis Wuranta pula.
Kedua orang itu pun segera berlalu. Wuranta sama sekali sudah tidak memperhatikannya lagi. Tetapi yang mencemaskannya adalah bagaimanakah jadinya apabila Alap-alap Jalatunda ingin melaksanakan maksudnya?,
“Itu adalah tanggung jawabnya,” desisnya,
“tetapi apakah anak yang liar itu tidak berbahaya bagi Sekar Mirah?”
Wuranta kemudian berjalan kembali ke pondoknya dengan penuh kebimbangan dan kecemasan. Tetapi ia harus menyampaikan jawaban Sekar Mirah,
“Aku menunggunya.”
“Kalau saja jawaban itu dilandasi oleh kesadaran dan perhitungan yang cermat,” desisnya di dalam hati.
“Tetapi Alap-alap itu bukan seorang anak muda yang dungu.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar