Jilid 022 Halaman 3


Ketika Wuranta sampai di halaman pondokannya, ia melihat kakek yang menghuni rumah itu masih bekerja di halamannya. Ketika kakek tua itu melihat Wuranta maka segera disapanya,
“Cepat sekali Angger menikmati pagi? Apakah Angger sudah puas?”
Wuranta tersenyum, jawabnya, “Sudah, Kakek. Aku sudah puas.”
Kakek tua itu pun tersenyum pula. Katanya kemudian,
“Angger mendapat kepuasan dengan kesejukan dan kesegaran pagi. Aku mendapat kepuasan dengan kerja ini. Tetapi kerjaku menghasilkan, sedang selain kepuasan apakah yang Angger dapat dengan berjalan-jalan itu?”
Wuranta mengerutkan alisnya. Tetapi kemudian ia tersenyum kembali, jawabnya,
“Kau mendapatkan sesuatu yang langsung dapat kau rasakan, bahkan kau raba, Kek.”
“Lalu, apakah ada hal-hal lain daripada ini?”
“Tentu. Berapa umurmu, Kek?”
“Limapuluh tahun.”
“He?” Wuranta terkejut mendengar jawaban itu.
“Kenapa kau terkejut, Ngger?
“Kakek terlampau banyak bekerja. Kakek kurang sekali menikmati keindahan pagi. Itulah sebabnya dalam usia Kakek yang baru setengah abad itu, Kakek tampaknya telah terlampau tua. Ayahku adalah seorang petani yang bekerja setiap hari hampir sehari penuh. Tetapi setiap kali ayahku menengadahkan wajahnya ke langit. Melihat matahari yang baru terbit di pagi hari atau melihat bintang gemintang yang bergayutan di langit di malam hari. Setiap kali ayahku menyebut nama Penciptanya. Maka hatinya menjadi tenteram dan damai. Kedamaian hati dan kerja yang tekun itulah agaknya yang menjadikan ayahku masih kelihatan terlampau muda meskipun umurnya sudah tujuhpuluh lima tahun.”
Kakek tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Benarkah itu?”
“Ya, Kek. Aku tidak berbohong. Kerja keras, tetapi kita gembira karena kita menyadari arti dari hidup kita. Aku melihat Kakek terlampau tekun bekerja, tetapi kerja itu menjadi tujuan hidup Kakek.”
“Kalau aku tidak bekerja begini keras, aku akan mati kelaparan, Ngger.”
“Kerjalah, Kek. Kerja keras. Tetapi hidup bukan sekedar bekerja.”
“Kalau aku seorang yang kaya raya, Ngger, maka aku tidak perlu bekerja begini berat.”
Wuranta kini tertawa. Ia mengerti jalan pikiran kakek tua itu. Sedang kakek tua itu menangkap kata-katanya begitu wantah, seperti kata-kata yang terucapkan. Tetapi kakek itu tidak dapat menangkap maksud yang seharusnya diungkapkan dari balik kata-katanya. Karena itu maka Wuranta berkata,
“Maaf, Kakek. Aku terlampau lelah, aku ingin beristirahat.”
“Silahkan, Ngger. Silahkan beristirahat. Angger juga terlampau keras bekerja, supaya Angger tidak menjadi lekas tua.”
Wuranta tertawa semakin keras. Jawabnya,
“Ya, ya Kek. Tetapi aku menyadari arti dari kerja yang aku lakukan. Bukan karena sekedar takut kelaparan.”
“Ah,” orang tua itu mengerutkan keningnya, tetapi ia  pun kemudian tertawa. Namun suara tertawanya sama sekali tidak mengungkapkan pengertiannya atas kata-kata Wuranta.
Tetapi Wuranta tidak menghiraukannya lagi. Ia ingin beristirahat, menganyam persoalan yang baru saja dihadapi dan masih harus dipecahkannya.

Tanpa menanggalkan pakaian, dan pedangnya, Wuranta merebahkan dirinya di sebuah amben bambu di dalam bilik yang diperuntukkan baginya. Terdengar amben itu berderit, dan berderit pulalah hati anak muda itu.
“Hem,” desisnya,
“ternyata pekerjaan ini tidak semudah yang aku sangka. Mudah-mudahan aku berhasil.”
Wuranta yang lelah itu akhirnya sekali dua kali menguap, dan sejenak kemudian maka ia  pun telah tertidur. Tetapi agaknya anak muda itu tidak cukup lama beristirahat. Tiba-tiba ia terkejut ketika, ia mendengar pintu berderak. Cepat ia meloncat bangun dan dilihatnya Alap-alap Jalatunda berdiri di hadapannya, memandanginya seperti seekor harimau lapar melihat seekor rusa yang masih muda.
“He Wuranta,” desisnya,
“kau mampu bangun dari tidur secepat itu, dan secepat itu siap pula berdiri tegak, menghadapi setiap kemungkinan?”
Wuranta tidak tahu arah pertanyaan itu, karena itu ia tidak menjawab.
“Hem,” desis Alap-alap Jalatunda,
“ternyata kau bukan anak muda sebodoh yang aku sangka. Sejak aku melihat kau berkelahi di perjalanan ke Jati Anom, aku sudah menyangka, bahwa kau memiliki bekal cukup untuk bermain-main dengan pedang.”
“Apakah yang sebenarnya Tuan maksud?”
“Kau sudah mengganggu Sekar Mirah. Dua orang melihat dan memberitahukan kepadaku. Ingat, dengan sedikit ramuan kata-kata, aku dapat menggerakkan Sidanti untuk memancungmu di perapatan.”
“Apakah katanya?”
“Hem, kau agaknya membanggakan kepandaianmu yang sama sekali tidak berarti itu?”
“Kapankah Tuan lihat aku berkelahi dengan seorang laki-laki di perjalanan ke Jati Anom?”
Tiba-tiba Alap-alap Jalatunda terbungkam. Tanpa disadari ia telah terlanjur mengatakan apa yang sudah dilihatnya ketika ia dengan diam-diam mengikuti Wuranta. Sebenarnya Wuranta sama sekali tidak terkejut mendengarnya, tetapi ia harus berpura-pura tidak tahu.
“Tuan, aku tidak tahu kata-kata Tuan semuanya. Aku sama sekali tidak mengganggu Sekar Mirah. Aku sama sekali tidak berkelahi dengan siapa  pun juga. Memang aku bertemu, dan ditegur oleh dua orang laskar Tuan. Tetapi apakah aku harus menjawab bahwa aku sedang menyampaikan pesan Alap-alap Jalatunda kepada Sekar Mirah? Bukankah lebih baik bagi Tuan jika aku mengiakan dan pura-pura saja tidak tahu siapakah gadis itu?”
Alap-alap Jalatunda mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban Wuranta. Bahkan kemudian ia tertawa sambil berkata,
“Ternyata kau memang tidak terlampau bodoh, Wuranta. Terima kasih. Agaknya kau berbuat sesuatu yang menyenangkan.”
“Apakah yang menyenangkan?” Wuranta masih pura-pura bertanya.
“Kau, kau telah berbuat sesuatu yang menyenangkan aku. Kau telah menghindarkan aku dari kecurigaan kedua orang prajurit itu, meskipun ia adalah prajuritku sendiri, tetapi seandainya kau tidak menerima teguran itu dan mengatakan bahwa akulah yang menyuruhmu, maka orang itu pasti akan mengatakannya kepada kawan-kawannya, meskipun tidak bermaksud jahat. Tetapi hal yang demikian itu berbahaya, sebab mungkin orang-orang Sidanti akan mendengarnya pula.”
“Bagaimana kalau Sidanti mendengarnya?”
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya. Tiba-tiba wajahnya menjadi semburat merah dan giginya gemeretak,
“Persetan, dengan orang itu! Aku kini tidak takut lagi. Tetapi untuk berhadapan dengan Sidanti aku harus tahu benar, bahwa aku tidak sedang berebut tulang kering. Bagaimana pesan itu?”
“Sudah aku katakan, Tuan.”
“Bagaimanakah jawabnya?”
Wuranta menjadi ragu-ragu.
“Jangan membisu. Kau tinggal menirukan jawabannya. Menirukan saja. Bukan kau yang harus menjawab.”
Wuranta menarik nafas panjang. Kemudian ia menjawab, “Ia menanti Tuan.”
“He,” mata Alap-alap itu terbelalak, “ia menanti aku?”
“Demikianlah jawabnya.”
“Hanya itu?”
“Ya, hanya itu. Sebab kedua laskar Tuan yang keparat itu segera datang dan Sekar Mirah  pun meninggalkan aku.”
“O, setan betul kedua prajurit itu. Tetapi, tetapi Sekar Mirah berkata demikian?”
“Ya, Tuan. Tuan dapat percaya atau tidak. Tetapi demikianlah pendengaran telingaku.”
“Baik. Baik. Aku percaya kepadamu. Nanti malam aku akan datang kepadanya.”
“He,” kini Wuranta-lah yang terkejut, “nanti malam Tuan akan datang?”
“Ya, bagaimana?”
“Bagaimana Tuan akan datang kepada Sekar Mirah di dalam padepokan ini? Apakah dengan demikian Tuan tidak akan langsung berhadapan dengan Sidanti?”
“Bodoh kau. Aku akan datang dengan diam-diam. Kalau Sekar Mirah memang menerima aku, maka aku tidak akan menemui kesulitan apa-apa.”
“Apakah Sekar Mirah akan Tuan bawa pergi?”
“Kemana aku harus pergi? Oh, kau ternyata terlampau bodoh. Apakah perlunya aku pergi. Aku dapat datang ke pondoknya setiap saat dengan diam-diam. Kenapa harus pergi?”
“Bagaimana mungkin Tuan? Bagaimana mungkin Tuan berbuat demikian?”
“Itu urusanku. Jangan ributkan lagi hubungan kami seterusnya. Aku akan datang setiap saat aku anggap aman. Tak akan ada kesulitan apa-apa. Orang-orangku akan dapat membantu aku mengawasi keadaan selagi aku berada di rumah itu.”
“Tuan,” nafas Wuranta menjadi tersengal-sengal, “apakah Tuan tidak bermaksud membawanya pergi dan kemudian kawin?”
“Kawin?” sahut Alap-alap Jalatunda hampir berteriak karena terkejut mendengar pertanyaan itu. Tetapi kemudian suara tertawanya pun meledak. Demikian kerasnya sampai tubuhnya berguncang-guncang. Jawabnya,
“Oh anak yang malang. Kenapa kau berpikir bahwa aku akan kawin? Apakah saat seperti ini adalah saat yang baik untuk kawin. Tidak Wuranta. Aku tidak mau kawin sebelum aku memenangkan peperangan ini. Aku cemas kalau malam ini aku kawin, besok aku ditangkap Untara.”
“Lalu apa yang akan Tuan lakukan?”
“Tidak apa-apa. Hubungan kami tidak perlu diikat dengan perkawinan atau ikatan macam apapun. Sekar Mirah akan dapat kawin dengan siapa saja kelak. Dengan Sidanti atau dengan orang lain.”
“Oh,” keringat dingin kini memenuhi tubuh Wuranta. Ini adalah perbuatan yang liar dan bahkan biadab. Seandainya Sekar Mirah menyadari perbuatannya sebagai suatu usaha untuk melepaskan diri dari lingkungan padepokan ini, maka ia akan kecewa. Bahkan mungkin ia akan kecewa sepanjang hidupnya menghadapi Alap-alap yang buas ini.
“Kenapa kau menjadi bingung?” bertanya Alap-alap Jalatunda.
“Tidak. Aku tidak bingung. Aku hanya sedikit kurang mengerti. Kenapa Tuan tidak saja mengambilnya sebagai isteri. Bukankah dengan demikian hubungan Tuan dengan gadis itu tidak akan pernah merasa tenteram? Bukankah Tuan telah mengatakan akan mengorbankan apa saja untuk kepentingan itu. Aku kira juga kedudukan Tuan dan cita-cita Tuan. Tuan akan dapat meninggalkan padepokan ini dan hidup di tempat yang jauh bersama gadis itu selelah Tuan melamarnya kepada ayahnya.”
Sekali lagi Alap-alap Jalatunda itu tertawa terbahak-bahak.
“Tidak, tidak demikian Wuranta. Tetapi kau jangan menghiraukan persoalan ini. Kau sudah cukup berjasa bagiku. Kau telah mengikat hubungan yang tak berhasil aku sambung sendiri. Aku dapat berhubungan dengan perempuan-perempuan yang cukup dewasa menghadapi keadaan, tetapi menghadapi gadis-gadis yang masih terlampau hijau aku menjadi canggung. Dan bahkan aku menjadi bingung.”
“Itu adalah pertanda bahwa sebenarnya Tuan merasa bahwa, tubuh Tuan tidak lagi sesuai untuk gadis-gadis seperti Sekar Mirah.”
“Apa?” tiba-tiba wajah Alap-alap Jalatunda menyadi merah.
“Kau maksudkan bahwa aku tidak pantas berhubungan dengan Sekar Mirah?”

Wuranta terkejut melihat sikap Alap-alap Jalatunda itu. Agaknya kata-katanya terdorong terlampau tajam, sehingga Alap-alap itu menjadi marah kepadanya. Karena itu, maka seterusnya ia mencoba mengendalikan dirinya dan mencoba mempergunakan pikirannya untuk menguasai perasaannya. Ketika kemudian dilihatnya Alap-alap Jalatunda benar-benar marah, maka Wuranta menahan dirinya sekuatnya untuk tidak berkata terlampau lancang.
“Wuranta,” geram Alap-alap Jalatunda dengan mata yang menjadi kemerah-merahan,
“ternyata kau benar-benar gila dan ingin mati di padepokan ini. Kau mencoba mencampuri persoalanku dengan Sekar Mirah. Kau mencoba mempengaruhi perasaanku supaya aku menjauhkan diri dari gadis yang menurut katamu justru telah bersedia menungguku.”
Wuranta menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan sangat hati-hati,
“Tuan agaknya salah paham.”
Alap-alap Jalatunda mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menyawab.
“Aku berkata bahwa Tuan merasa tubuh Tuan tidak sesuai lagi untuk gadis-gadis seperti Sekar Mirah. Aku tidak mengatakan bahwa sebenarnya demikian. Tuan, kata-kataku belum selesai. Lanjutannya adalah, seharusnya Tuan jangan merasa demikian. Supaya Tuan tidak menjadi canggung apalagi bingung.”
Alap-alap Jalatunda menggigit bibirnya. Tetapi ia menggeram,
“Wuranta, aku tahu bahwa kau mencoba mempermainkan kata-kata. Tetapi aku tahu benar maksud kata-katamu. Aku bukan anak-anak yang dapat kau kelabui dengan kalimat-kalimat yang kau susun jungkir balik. Kau memang berkata seperti yang ingin kau katakan. Aku tidak salah paham. Tetapi yang tidak jelas bagiku adalah maksud kata-katamu itu. Apakah kau sebenarnya ingin mempengaruhi aku agar menjauhkan diri dari Sekar Mirah dan memberi kesempatan kepadamu, ataukah karena kau sekedar terdorong oleh perasaanmu sehingga kau mengucapkan kata-kata itu.”

Wajah Wuranta segera menadi semburat merah. Alap-alap Jalatunda sebenarnya memang bukan anak-anak. Ternyata ia menangkap usahanya untuk memperbaiki kesalahannya. Tetapi hatinya menjadi lega ketika Alap-alap itu berkata,
“Wuranta, kali ini kau aku maafkan, sebab aku mengira bahwa kau hanya terlanjur saja menuruti perasaan. Ternyata kau menyampaikan pesan itu kepada Sekar Mirah. Malam nanti aku akan datang kepadanya. Kalau kau tidak sebenarnya menyampaikan pesan itu, maka kau akan aku gantung di prapatan di muka regol padepokan dengan seribu macam alasan yang pasti akan diterima oleh setiap orang yang tinggal di padepokan ini. Apalagi keadaan kini menjadi semakin tegang karena kedatangan Untara. Ki Tambak Wedi sendiri akan melihat, apakah benar pasukan Untara itu segelar sepapan seperti yang kau katakan. Agaknya Ki Tambak Wedi kurang percaya dan ia mempunyai perhitungan tersendiri. Justru karena itu aku harus segera mendapatkan Sekar Mirah sebelum besok atau lusa aku harus bertempur melawan orang-orang Pajang di Jati Anom. Mungkin Ki Tambak Wadi tidak akan menunggu mereka kemari, tetapi kitalah yang akan datang ke sana.”
Dada Wuranta menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata Alap alap Jalatunda itu. Bukan saja karena Alap-alap Jalatunda itu tahu tepat perasaannya mengenai Sekar Mirah, tetapi juga tentang sikap Ki Tambak Wedi. Ternyata Ki Tambak Wedi benar-benar seorang yang mempunyai pandangan yang cermat nenghadapi pasukan Pajang. Ia tidak lekas percaya dan mempunyai daya pengamatan yang jauh. Dalam pada itu Alap-alap Jalatunda berkata seterusnya,
“Nah, sekarang beristirahatlah. Jangan mencoba mengkhianati aku dengan segala macam fitnah yang dapat kau sampaikan kepada Sidanti, supaya kau selamat di padepokan ini. Jangan kau sangka bahwa Sidanti mempercayaimu sepenuhnya, apalagi Ki Tambak Wedi. Hari ini Ki Tambak Wedi akan ke Jati Anom, sedang kau harus tinggal di padepokan ini sampai besok. Ki Tambak Wedi akan berbuat menurut pertimbangannya. Baik atas orang-orang Pajang di Jati Anom, maupun terhadapmu.”
Dada Wuranta menjadi semakin berdebar-debar. Terasa sikap Ki Tambak Wedi itu berbahaya baginya. Dalam keadaan yang demikian maka Wuranta itu  pun teringatlah kepada Ki Tanu Metir. Menghadapi Ki Tambak Wedi, Ki Tanu Metir mendapat sikap yang seimbang. Karena itu, maka keadaannya akan banyak tergantung pada permainan antara kedua orang tua-tua itu.
“Tetapi hari ini aku harus tetap berada di padepokan ini,” katanya di dalam hati.
Tetapi Wuranta itu terkejut ketika ia mendengar Alap-alap Jalatunda berkata,
“Beristirahatlah. Tidak hanya hari, tetapi kau dapat beristirahat sampai besok. Sampai Ki Tambak Wedi menentukan sikap. Aku mengucapkan terima kasih bahwa kau telah membantuku apabila katamu benar, bahwa kau telah menyampaikan pesan itu kepada Sekar Mirah.”

Wuranta tidak segera menjawab. Ia masih dikuasai oleh kegelisahan. Dan ia mendengar Alap-alap Jalatunda itu berkata,
“Aku akan pergi. Maaf bahwa aku tidak dapat berbuat sesuatu untuk mengusir prajurit-prajurit yang kini di tempatkan di sekitar rumah ini. Itu bukan atas kehendakku. Bukan pula kehendak Sidanti. Sidanti hanya berceritera tentang kau, bagaimana kau diketemukan dan bagaimana kau mendapat kepercayaan daripadanya. Ki Tambak Wedi ternyata mempunyai sikap tersendiri kepadamu. Kau harus tetap tinggal di sini sampai jatuh keputusan lain dari orang tua itu.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia berusaha untuk menguasai dirinya dengan baik. Perlahan-lahan ia bergumam,
“Baik. Aku akan tetap tinggal di sini menunggu keputusan itu. Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi berhasil melihat keadaan sesungguhnya di Jati Anom, sehingga kecurigaan yang ada itu segera hilang.”
Wuranta menjadi curiga ketika ia melihat Alap-alap Jalatunda tersenyum. Senyum itu terlampau aneh baginya. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Dibiarkannya Alap-alap Jalatunda itu meninggalkannya. Ia merasa bahwa Alap-alap itu pun sudah tidak memerlukannya lagi. Ketika ia mengantarkannya sampai ke muka pintu, maka dilihatnya beberapa orang prajurit berjalan hilir mudik di luar regol halaman. Wuranta pun segera menyadari keadaannya. Orang-orang yang berjaga-jaga itu pasti mendapat perintah untuk mengawasinya. Terasa juga bahwa dadanya menjadi berdebar-debar.
“Hem,” gumamnya di dalam hati, “pekerjaan ini memang penuh dengan bermacam-macam bahaya.”
Tetapi semisal seseorang yang menyeberangi sungai, Wuranta telah berada di tengah-tengah. Maju atau mundur, ia sudah terlanjur menjadi basah. Maka harapannya kemudian adalah mudah-mudahan Ki Tanu Metir dapat mengimbangi permainan Ki Tambak Wedi, sehingga nyawanya tidak segera berada di ujung tali gantungan.
Wuranta masih melihat orang tua yang menghuni rumah itu bekerja dengan tekun di halamannya tanpa memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Seakan-akan kerja yang dilakukan itu adalah pusar dari segenap hidupnya, dan orang tua itu sendiri telah menjadi budak daripadanya,
“Sayang,” desisnya di dalam hati.
“Seandainya orang tua itu mendengar kata-kata Alap-alap Jalatunda maka Sidanti pun mungkin akan mendengar laporannya. Ternyata ia masih saja sibuk dengan kerjanya.”

Perlahan-lahan Wuranta melangkah ke halaman. Ia merasa bahwa beberapa pasang mata sedang mengamatinya. Tetapi Wuranta pura-pura tidak mengetahuinya. Ketika ia mengamati pagar dinding halaman itu, maka ia melihat bahwa pagar itu tidak terlampau tinggi. Tetapi sudah barang tentu ia tidak dapat berusaha melarikan diri dan melampaui dinding padepokan Tambak Wadi meskipun ia akan dengan mudah keluar dari halaman itu.
“Apakah Angger sudah cukup beristirahat?” terdengar orang tua yang sedang bekerja di halamannya itu bertanya.
“Sudah, Kek,” sahut Wuranta, “sudah terlampau cukup.”
“Apakah Angger akan berjalan-jalan lagi untuk menikmati siang yang cerah ini?”
“Di halaman ini  pun aku dapat menikmatinya.”
Orang tua itu berhenti bekerja. Dipandanginya wajah Wuranta sambil berkata,
“Kenapa di halaman ini? Apakah Angger tidak dapat menikmati pagi di halaman ini pula?”
Wuranta tersenyum. Katanya,
“Teruskan kerjamu, Kek. Aku tidak akan mengganggu dengan bermacam-macam percakapan yang tidak akan berarti apa-apa buat kau.”
Kakek itu  pun tersenyum pula. Dan diteruskannya kerja. Sejenak kemudian ia berhenti pula sambil memandangi berkeliling. Ia melihat pula kehadiran dan kepergian Alap-alap Jalatunda. Kemudian beberapa orang laskar di sekitar halamannya. Perlahan-lahan ia berkata kepada Wuranta yang berdiri dekat padanya,
“Kalau aku tidak bekerja keras, dan penghasilanku tidak memenuhi ketentuan yang diberikan oleh pimpinan padepokan, maka aku bukanlah penghuni padepokan yang baik. Aku akan dapat bermacam-macam peringatan dan bahkan apabila hal tersebut berjalan beberapa kali, aku akan dapat menerima hukuman denda atas hasil dari seluruh halaman, kebun, sawah dan ladangku yang tidak seberapa luas. Dengan demikian, maka makan kami sekeluarga akan menjadi sangat kurang.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah menduga bahwa ada suatu tekanan yang memaksa orang-orang padepokan ini diperbudak oleh kerja. Tetapi ia tidak akan sempat lagi memikirkannya. Memikirkan kakek yang tua itu dan persoalan-persoalan lain yang tidak banyak diketahuinya. Ia kini harus memikirkan dirinya sendiri. Bagaimanakah keadaan yang akan dihadapi selanjutnya.
“Aku hanya dapat menunggu,” katanya di dalam hati, “aku tidak dapat berbuat sesuatu.”
Dengan demikian, maka Wuranta itu  pun kembali masuk ke dalam biliknya dan dengan hati yang kosong merebahkan dirinya di atas amben pembaringannya. Kepalanya kini menjadi semakin pening memikirkan dirinya sendiri dan Sekar Mirah. Bagaimanakah sikap gadis itu nanti apabila Alap-alap Jalatunda datang kepadanya.
“Aku tidak sempat memberi peringatan kepada gadis itu,” gumamnya kepada diri sendiri,
“mudah-mudahan ia dapat membawa dirinya.”

Semakin jauh matahari bergeser di garis edarnya, hati Wuranta menjadi semakin tidak tenang. Ketika matahari telah menjadi condong ke Barat, maka dadanya terasa menjadi pepat. Makan siang yang dihidangkan oleh nenek penghuni rumah itu tak dapat ditelannya seperti biasanya. Hanya satu dua suap saja yang dapat dimakannya, sehingga suami isteri itu menjadi sangat heran.
“Apakah kau sakit, Ngger?” bertanya laki-laki tua yang makan bersamanya.
“Tidak, Kek” sahut Wuranta.
“Angger makan terlampau sedikit.”
“Aku tidak apa-apa, Kek.”
Laki-laki tua itu tidak bertanya lagi. Tetapi sebagai orang Tambak Wedi ia dapat mengerti. Laskar yang hilir-mudik di luar halamannya itu pasti berhubungan dengan adanya anak muda Jati Anom itu di rumahnya. Demikianlah, maka akhirnya matahari  pun menjadi semakin rendah menggantung di langit sebelah Barat. Sejenak kemudian, maka ujung Gunung Merapi yang menjulang tinggi itu  pun menjadi kemerah-merahan seperti seonggok bara raksasa yang memanasi langit yang kemerah-merahan pula. Ketika terdengar suara burung yang ribut berebut sarang, maka hati Wuranta pun menjadi semakin kisruh. Kisruh tentang dirinya sendiri dan tentang nasib Sekar Mirah, adik Swandaru yang selalu dihantui oleh kegelisahan. Tetapi Wuranta tidak dapat berbuat apapun, ketika perlahan-lahan malam turun menyelimuti lereng Gunung Merapi. Semakin lama semakin samar dan gelap. Lampu-lampu minyak  pun segera dinyalakan berkeredipan seperti mata anak-anak yang cemas ketakutan. Apabila angin yang silir menyentuhnya, maka lampu-lampu itu  pun seakan-akan terpejam untuk sesaat.
Hati Wuranta  pun menjadi semakin tidak tenang. Ia tidak dapat mengetahui apakah yang sudah terjadi di luar pagar batu halaman rumah itu. Ia tidak tahu apakah yang sedang dilakukan oleh Ki Tambak Wedi kini. Apakah orang tua itu sedang berada di Jati Anom, apakah ia sedang merencanakan untuk memancungnya. Tetapi bayangan yang terkuat mempengaruhinya adalah bayangan Alap-alap Jalatunda yang sedang merayap-rayap mendekati pondok Sekar Mirah. Dengan demikian maka hati Wuranta menjadi semakin cemas. Kalau Alap-alap Jalatunda itu berhasil dan Ki Tambak Wedi mengetahui peranan yang sedang dilakukan, maka semua usahanya itu akan sia-sia. Ia tidak berhasil memberikan bantuan apa-apa kepada Agung Sedayu, Swandaru, dan Ki Tanu Metir. Apalagi kepada pasukan Pajang. Bahkan mungkin namanya  pun untuk seterusnya tidak akan dapat diperbaikinya, sebab orang-orang Jati Anom yang melihatnya berjalan bersama-sama dengan orang-orang lereng Merapi pasti sudah menyangkanya bahwa ia berpihak kepada Jipang. Kematiannya akan tidak berarti sama sekali. Ia akan merupakan korban yang sia-sia. Namun meskipun demikian, ia masih juga dapat menghibur dirinya, bahwa usaha itu dilakukan dengan maksud yang baik, dengan tekad yang dapat dibanggakan. Adalah wajar, bahwa sesuatu usaha itu dapat berhasil dan dapat juga gagal. Akhirnya Wuranta itu  pun menjadi agak tenang. Ia pasrah diri kepada Kekuasaan Tertinggi. Kekuasaan yang jauh lebih tinggi, dan bahkan sama sekali tidak dapat diperbandingkan dengan kekuasaan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Alap-alep Jalatunda. Hanya di dalam tangan-Nya terletak kepastian tentang dirinya.

Meskipun demikian, Wuranta sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Ia ingin tidur dan melupakan segala-galanya. Seandainya sesuatu terjadi, tetapi ia tidak dapat berbuat apapun, maka hatinya pasti akan bertambah pedih. Karena itu, ia ingin saja tidur. Tidur. Namun meskipun ia ingin tidur, ia sama sekali tidak menanggalkan pedangnya, dan slarak kancing pintu biliknya pun dipasangnya. Wuranta mengangkat kepalanya sesaat ketika ia mendengar langkah kaki di muka biliknya. Ia berdesah di dalam hati, ketika kemudian ia mendengar suara batuk-batuk kakek tua penghuni rumah itu. Tetapi agaknya kakek tua itu berhenti di muka pintu biliknya dan perlahan-lahan berkata,
“Angger, apakah Angger sedang sakit?”
“Oh, tidak Kek,” jawab Wuranta sambil barbaring.
“Apakah Angger tidak makan lebih dahulu? Bukankah ini masih terlampau sore untuk pergi tidur, Ngger?”
“Aku terlampau lelah, Kek. Dua malam aku hampir tidak tidur sama sekali. Sekarang aku ingin tidur sepuas-puasnya.”
“Tetapi makanlah dahulu.”
“Terima kasih, Kek.”
“Heh,” Wuranta mendengar orang tua itu berdesah, lalu terdengar langkahnya menjauh. Wuranta memang tidak mempunyai nafsu sama sekali untuk makan. Perutnya sama sekali tidak terasa lapar meskipun siang tadi ia  pun hanya makan terlalu sedikit. Rumah itu  pun kemudian menjadi sunyi. Sekali-sekali terdengar suara batuk-batuk kakek tua penghuni rumah itu, tetapi sebentar kemudian sunyi kembali. Wuranta terkejut ketika ia mendengar suara cicak dekat sekali di atas kepalanya, sehingga ia mengumpat di dalam hatinya. Sementara itu, malam  pun menjadi semakin malam. Di kejauhan terdengar suara burung hantu seperti suara jejaka yang sedang mengeluh meratapi nasibnya yang malang. Wuranta masih berbaring di pembaringannya. Terasa olehnya betapa waktu berjalan terlampau lamban. Serasa sudah hampir semalam suntuk ia berbaring, tetapi kemudian ia mendengar suara kentong di kejauhan. Dara muluk.
“He,” Wuranta terkejut mendengar suara kentongan itu,
“baru tengah malam.” Dan anak muda itu merasa tersiksa di pembaringannya.
Tetapi sekali lagi Wuranta mengangkat kepalanya. Kemudian ia berusaha untuk mengatur nafasnya, supaya orang di luar biliknya menyangkanya bahwa ia sudah tidur, karena ia mendengar desah langkah mendekati biliknya. Namun yang didengarnya itu bukan hanya langkah seseorang.
“Siapakah mereka?” pertanyaan itu berputus di dalam dadanya.
Sejenak kemudian Wuranta mendengar pintu lereg biliknya diketuk orang perlahan-lahan. Dan Wuranta itu  pun kemudian mendengar suara di luar, “Angger, Angger Wuranta. Apakah Angger sudah tidur?”

Wuranta mempertajam pendengarannya. Memang tidak hanya satu orang yang berdiri di luar pintu biliknya. Dan tanpa disengaja tangannya meraba hulu pedangnya.
“Hem, apa lagi yang akan terjadi? Apakah Ki Tambak Wedi sudah mendapat kesimpulan tentang diriku?”
“Angger Wuranta,” ia mendengar suara itu lagi.
“Kakek tua itu,” desis Wuranta di dalam hatinya. Tetapi Wuranta tidak segera menjawab.
Sakali lagi terdengar ketokan di pintunya dan suara orang tua itu terdengar lagi,
“Angger, bangunlah. Ada sesuatu yang barangkali penting bagi Angger?”
Wuranta menggeliat di pembaringannya. Perlahan-lahan ia menyahut dengan nada yang datar, “Apa Kek?”
“Bangunlah, Ngger. Ada yang penting bagi Angger.”
“Apakah yang penting itu?”
“Silahkan Angger keluar sebentar, hanya sebentar.”
Hati Wuranta berdesir. Perasaannya seakan-akan memberitahukan kepadanya, bahwa akan terjadi sesuatu yang berbahaya baginya. Tetapi ia tidak akan dapat menghindar. Dan terdengar sekali lagi suara kakek tua itu,
“Keluarlah sebentar, Ngger.”
Wuranta itu  pun bangkit dari pembaringannya. Dibenahinya pakaiannya dan dirabanya hulu pedangnya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa ia tidak akan dapat menghindari apa pun yang akan terjadi. Dengan demikian maka tekadnya menjadi bulat. Dan ia berkata kepada diri sendiri di dalam hatinya,
“Aku bukan cacing yang menyerahkan dirinya untuk diinjak-injak. Aku harus berbuat sesuatu meskipun akibatnya sama. Tetapi lebih baik mati dengan pedang di tangan daripada mati di tiang gantungan.” Dengan demikian maka Wuranta itu tidak menjadi ragu-ragu lagi. Perlahan-lahan dan hati-hati ia mendekati pintu biliknya. Perlahan-lahan dan hati-hati pula ia membukanya. Ketika pintu itu terbuka, alangkah terkejutnya anak muda itu. Ia melihat kakek tua penghuni rumah itu berdiri tegap di muka pintunya dengan sehelai pedang di lambungnya.
Wuranta tegak sebagai patung melihat orang tua itu tersenyum. Sejenak mulutnya seakan-akan terbungkam, namun dadanya bergelora demikian kerasnya.
“Selamat malam, Ngger,” orang tua penghuni rumah itu menyapanya. Senyum yang masih saja membayang di wajahnya, terasa oleh Wuranta sebagai suatu ejekan yang menusuk perasaannya.
“Apakah Angger heran melihat aku? Bukankah aku sudah Angger kenal sejak tiga hari yang lalu?”
“Oh,” Wuranta mengumpat di dalam hati, “setan tua itu sempat juga membuat hatiku menjadi samakin parah.”
“Adakah yang aneh padaku, Ngger?”
Dengan nada yang datar Wuranta menjawab, “Tidak ada, Kek. Tidak ada yang aneh.”
“Tetapi tatapan mata Angger Wuranta terasa agak lain dari biasanya. Apakah dengan bekerja sehari ini aku sudah bertambah tua lagi?”
Dada Wuranta berdesir. Tetapi ia menjawab,
“Tidak Kek. Kakek tampaknya bertambah muda. Agaknya kakek menyadari kebenaran kata-kataku. Dan agaknya kakek telah mencoba menikmati keindahan malam. Nah, apakah Kakek ingin mengajakku melihat bintang yang bergayutan di langit? Bukankah dengan demikian Kakek dapat melupakan sejenak kesulitan dan penderitaan Kakek selama Kakek diperbudak oleh kerja yang membosankan itu?”
Orang tua itu mengerutkan keningnya, tetapi ia kemudian tersenyum. Ketika ia berpaling, dilihatnya laki-laki yang datang bersamanya memandanginya dengan penuh pertanyaan.
“Kau belum mengenalnya,” berkata kakek itu kepada kawannya.
“Sudah, Paman” jawab laki-laki yang masih agak muda itu.
“Kau baru mengenal orangnya. Bentuknya dan wajahnya. Tetapi kau belum mengenal tabiat dan sifat-sifatnya. Anak muda ini adalah anak muda yang mempunyai perasaan lembut seperti helai-helai benang kepompong sutra.”
“Ah,” Wuranta berdesah. Tiba-tiba ia melihat sinar yang aneh memancar dari sepasang mata orang tua itu, selain senyumnya yang menyentuh perasaan. Wuranta merasakan bahwa orang tua itu sengaja menyindirnya dan membuatnya sakit hati. Apalagi ketika ia melihat laki-laki, kawan orang tua itu tertawa pendek.
“Sekarang, apakah maksud Kakek, dan siapakah Kakek ini sebenarnya?”
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Petanyaanmu aneh anak muda. Bukankah Angger telah mengenal aku selama beberapa hari?”
“Aku mengenal Kakek kemarin berbeda dengan aku melihat Kakek saat ini. Aku telah mengenal Kakek dengan cangkul di tangan, tetapi Kakek sekarang membawa pedang di lambung.”
“Oh, itukah yang Angger tanyakan? Aku yang kemarin adalah aku yang sekarang. Setiap laki-laki di padepokan berhak mengenakan pedang di lambungnya dan berkewajiban mempertahankan padepokan ini dengan seluruh kemampuan yang ada. Kini keadaan meningkat dengan cepatnya. Pasukan Untara telah berada di Jati Anom. Itulah sebabnya aku mengenakan pedangku.”

Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Nah, sekarang katakan maksudmu. Katakanlah kepentingan yang kau sebut-sebut itu?”
Dada Wuranta menjadi bertambah pepat ketika ia masih saja melihat kakek tua itu tersenyum.
“Katakanlah” desak Wuranta tanpa sesadarnya.
“Sabarlah, Ngger,” sahut orang tua itu,
“aku akan mengatakannya perlahan-lahan, supaya aku tidak salah ucap. Dengarlah baik-baik. Angger Wuranta, aku mendapat perintah dari Angger Sidanti untuk membawa Angger menghadap.”
“Tengah malam begini?”
“He,” orang tua itu menjadi heran mendengar jawaban Wuranta,
“apa bedanya tengah malam dan tengah hari? Bukankah bagi seorang prajurit, apalagi dalam keadaan yang penting semacam ini, tidak ada perbedaan waktu? Sekarang Angger harus menghadap. Besok pagi Angger Sidanti sudah akan mulai dengan sebuah gerakan yang menentukan. Kau tahu, bahwa apa yang kau katakan kepada Angger Sidanti ternyata tidak benar? Mungkin kau tidak sengaja berbohong, tetapi kalau kesalahan tidak dibetulkan, maka akibatnya akan jauh sekali. Ternyata menurut Ki Tambak Wedi yang baru saja datang dari Jati Anom, Untara sama sekali tidak datang dengan pasukan segelar sepapan. Memang ia membuat gelar sandi dengan menggerakkan orang-orangnya yang dibawanya. Peronda yang hilir-mudik dan penghubung-penghubung berkuda. Tetapi Ki Tambak Wedi tak dapat dikelabuhi. Itulah sebabnya Ki Tambak Wedi memutuskan, sebentar lagi kita berangkat ke Jati Anom. Begitu matahari memanjat langit, begitu kita hancurkan pasukan Pajang. Nah, kau dengar. Itulah sebabnya semua persoalan harus diselesaikan sekarang. Termasuk persoalanmu.”
“Apakah ada persoalan dengan aku?” bertanya Wuranta.
Orang tua itu tertawa. Ketika ia berpaling, maka laki-laki yang berdiri di sampingnya itu  pun tertawa pula.
“Aku tidak tahu pasti, Ngger. Apakah persoalanmu itu. Tetapi yang aku tangkap, ternyata Ki Tambak Wedi mencurigaimu. Apalagi ketika Ki Tambak Wedi itu mendengar percakapan di dalam rumahmu. Percakapan yang mencurigakan. Bukankah di dalam rumahmu itu bersembunyi anak-anak muda yang bernama Swandaru dan Agung Sedayu? Apakah dengan demikian tidak sewajarnya bahwa Ki Tambak Wedi menjadi curiga. Bukankah dengan demikian dapat timbul dugaan, bahwa kedua anak muda itu merupakan penghubung antara Angger Wuranta dan Untara tanpa mencurigakan? Tetapi aku tidak banyak mengetahui, Ngger. Aku adalah orang kecil. Tugasku sekarang membawa Angger menghadap Angger Sidanti. Marilah.”

Wuranta memandang wajah orang tua itu dengan pandangan mata yang berapi-api. Kini jelas baginya, bahwa nyawanya telah berada di ujung nenggala Sidanti yang mengerikan itu. Tetapi apakah ia akan dengan suka-rela dituntun oleh kakek-kakek tua itu menghadap pada Sidanti untuk menyerahkan lehernya? Berbagai persoalan telah merangsang jantung Wuranta. Sesaat ia berdiri saja seperti tonggak. Namun gemuruh di dalam dadanya serasa gemuruhnya perut Gunung Merapi. Yang juga menumbuhkan pertanyaan di dalam hatinya adalah orang tua yang bernama Ki Tanu Metir. Kalau Ki Tambak Wedi mendengar suara Agung Sedayu dan Swandaru di dalam rumahnya, lalu apakah Ki Tambak Wedi tidak mengetahui bahwa Ki Tanu Metir ada di dalamnya pula? Wuranta itu tersadar ketika orang tua yang berdiri di mukanya itu berkata,
“Sudahkah Angger siap menghadap Angger Sidanti?”
Wuranta memandang wajah orang tua itu dengan tajamnya. Sekilas ia melihat pedang di lambung kakek tua itu dan di lambung laki-laki yang datang bersamanya, seolah-olah ia ingin mengetahui, apakah kedua pedang itu akan mampu mematahkan pedangnya. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa di luar rumah itu pun agaknya berkeliaran orang-orang Sidanti. Karena itu, maka ia harus berhati-hati. Meskipun demikian, apakah ia akan menurut saja dijerat lehernya seperti seekor kambing yang akan disembelih.
“Aku adalah laki-laki,” katanya di dalam hati,
“aku sudah menyanggupi melakukan pekerjaan seperti ini yang oleh Ki Tanu Metir sudah disebut-sebut pula kemungkinan-kemungkinannya. Karena itu aku tidak boleh menghindar. Lebih baik bagiku mati di sini, dikeroyok orang-orang itu daripada aku harus menjawab beribu macam pertanyaan yang pasti akan diberikan oleh Sidanti, Ki Tambak Wedi, dan mungkin juga Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda.”
Karena itu maka tiba-tiba Wuranta itu mundur selangkah sambil meraba hulu pedangnya, katanya,
“Kakek, siapakah yang memerlukan, aku atau Sidanti. Kalau Sidanti yang memerlukan aku, biarlah ia datang kemari. Kalau aku yang memerlukannya, maka aku akan datang kepadanya.”
Kakek tua itu mengerutkan keningnya. Kemudian ditatapnya wajah Wuranta dengan tajamnya. Namun sesaat kemudian ia tersenyum,
“Jangan begitu, Ngger. Sebaiknya Angger datang kepadanya, apa pun yang akan terjadi. Kami hanyalah utusan-utusan yang tidak banyak mengerti persoalannya. Tetapi aku menyesal bahwa aku telah mengatakan sebagian dari persoalan yang aku ketahui.”
“Tidak, Kakek. Aku tetap di sini.”
“Ah,” orang tua itu berdesah, “jangan memperberat pekerjaan kami.”
Wuranta melihat cahaya mata orang tua itu. Tetapi ia sudah membulatkan tekadnya. Hanya tiba-tiba saja terasa hatinya berdesir tajam ketika teringat olehnya akan nasib Sekar Mirah. Apakah yang akan terjadi dengan gadis itu? Apakah saat ini Alap-alap Jalatunda telah memasuki pondok gadis itu? Adalah bertepatan sekali, ketika Wuranta sedang mencemaskan Sekar Mirah, maka Alap-alap Jalatunda benar-benar sedang merayap-rayap mendekati pondoknya. Sehabis mendengarkan beberapa penjelasan dari Ki Tambak Wedi tentang Jati Anom yang baru saja dilihat oleh orang tua itu, maka dengan tergesa-gesa Alap-alap Jalatunda berusaha untuk memenuhi pesannya lewat Wuranta meskipun ia tahu bahwa Wuranta pasti akan dipanggil oleh Sidanti. Tetapi ia mengharap Wuranta tidak mengatakan tentang dirinya. Ia mengharap Wuranta memerlukannya untuk mengurangi kesalahannya atau mungkin menolongnya. Seandainya Wuranta akan mengatakan juga tentang dirinya, maka ia akan dengan mudahnya menjawab, bahwa semuanya itu hanyalah fitnah saja. Wuranta itu dapat dituduh sedang mencari kawan menjelang tiang gantungan. Apabila kemudian Sidanti bertanya kepada Sekar Mirah, maka gadis yang telah bersedia menunggunya itu pasti tidak akan mengatakan apa yang telah terjadi.

Namun pertimbangan-pertimbangan Alap-alap Jalatunda ternyata sudah tidak jernih lagi, karena keinginannya yang meluap-luap untuk segera mendapatkan Sekar Mirah. Otaknya seakan-akan sudah tidak dapat lagi dipakainya untuk membuat pertimbangan-pertimbangan yang tepat. Itulah sebabnya, maka ia tidak dapat memperhitungkan, bahwa Sidanti akan segera saat itu juga memanggil Wuranta. Pada sangkanya, maka hal itu akan dilakukannya nanti atau besok atau kapan saja, bahkan mungkin setelah Jati Anom jatuh. Sebab menurut perhitungan Ki Tambak Wedi, Jati Anom pasti tidak akan mampu bertahan terhadap sergapan yang akan dilakukan dengan tiba-tiba. Sayang, bahwa Alap-alap Jalatunda tergesa-gesa meninggakan pertemuan setelah penjelasan Ki Tambak Wedi selesai. Hanya Sanakeling-lah yang kemudian ikut memutuskan, bahwa malam itu juga pasukan Jipang dan Tambak Wedi akan turun ke Jati Anom. Keputusan itu kemudian dibicarakan lagi dalam pertemuan yang lebih lengkap. Tetapi mereka tidak menemukan Alap-alap Jalatunda di dalam pertemuan itu. Seorang yang bertugas di regol banjar pertemuan itu berkata, bahwa ia bertemu dengan Alap-alap Jalatunda yang sedang pergi nganglang. Tetapi karena Sanakeling bersedia mempertanggung-jawabkan keputusan itu bersama beberapa orang pemimpin laskarnya yang lain, maka keputusan itu jatuhlah atas semua kekuatan di Tambak Wedi.
“Aku akan mencari Alap-alap Jalatunda,” berkata Sanakeling,
“Kalau aku tidak menemuinya karena ia pergi nganglang ke luar padepokan, maka biarlah aku memanggilnya dengan tanda.”
“Baik,” sahut Sidanti,
“sementara ini aku memanggil Wuranta. Anak gila itu lebih baik diselesaikan sekarang daripada menjadi duri di dalam padepokan ini.”
Tetapi baik Sidanti maupun Sanakeling tidak menyangka sama sekali, bahwa Alap-alap Jalatunda itu sedang dituntun oleh nafsunya menuju ke gubug Sekar Mirah.
“Persetan dengan sesorah demit tua itu,” Alap-alap Jalatunda menggerutu di dalam hatinya,
“aku sudah terlanjur mengikat janji. Aku harus datang. Kalau ada sesuatu yang penting, biarlah Kakang Sanakeling mendengarnya. Ia pasti akan menyampaikan kepadaku nanti. Tetapi malam ini aku harus bertemu dengan gadis itu supaya kelak semua pesan-pesanku tidak dianggapnya sebagai pesan yang kosong, bahkan berbohong. Kalau mereka memerlukan aku segera maka Kakang Sanakeling pasti akan membunyikan tanda.”
Demikianlah, maka dengan hati-hati Alap-alap Jalatunda melangkah semakin dekat dengan pondok gadis yang sedang menunggunya itu. Malam  pun semakin lama menjadi semakin dalam. Di kejauhan masih saja terdengar burung hantu mengeluh berkepanjangan. Embun yang sejuk setetes-setetes jatuh di antara rerumputan yang hijau kekuning-kuningan.
Desah kaki Alap-alap Jalatunda hampir tidak terdengar. Perlahan-lahan sekali ia mendekat pondok Sekar Mirah. Ia tidak berani mengambil jalan dari depan, sebab ia tahu benar, bahwa Sidanti meletakkan beberapa orang pengawas di sekitar pondok itu. Meskipun Alap-alap Jalatunda tahu juga, bahwa pengawasan itu tidak begitu ketat. Karena Sidanti menganggap bahwa Sekar Mirah tidak akan mungkin dapat lari meninggalkan padepokannya. Tetapi kali ini Alap-alap Jalatunda cukup berhati-hati. Keinginannya untuk bertemu dengan Sekar Mirah telah mendorongnya untuk berbuat apa saja, asal maksudnya itu tercapai. Dengan sangat hati-hati anak muda itu merayap-rayap dari satu halaman ke halaman berikutnya. Dengan hati-hati anak muda itu meloncati dinding batu yang satu kemudian dinding batu berikutnya. Ia harus mendekati pondok itu dari belakang, supaya tak seorang pun yang melihatnya. Pengenalannya tentang padepokan itu sudah cukup baik, sehingga dengan tidak banyak kesulitan, maka Alap-alap Jalatunda itu  pun menjadi semakin dekat. Ketika ia tinggal terpisah oleh selapis dinding batu, maka Alap-alap itu berhenti sejenak. Dicobanya mengatur detak jantung, serta pernafasannya.
“Tengah malam,” desisnya, “mudah-mudahan aku tidak dianggapnya berbohong.”

Namun demikian, dadanya kini menjadi berdebar-debar. Timbullah kebimbangan di dalam hatinya. Bagaimanapun juga ia harus memperhitungkan, apakah yang akan dilakukannya, apabila seseorang melihatnya masuk ke dalam pondok itu.
“Hem,” Alap-alap itu menggeram,
“tak akan ada seorang  pun yang melihat. Kalau aku berhasil masuk, maka aku akan mendapat sambutan yang tak akan dapat aku lupakan seumur hidupku. Sambutan itu pasti akan sangat berbeda dengan sambutan yang pernah aku terima dari perempuan yang manapun. Nyai Sari, Nyai Lames, dan bahkan Nyai Pinan, yang menyebabkan aku hampir saja menjadi lumat karena kemarahan Tohpati.”
Alap-alap Jalatunda itu menyadari, bahwa Sekar Mirah adalah seorang gadis yang jauh berbeda dengan perempuan-perempuan yang pernah dikenalnya. Perempuan-perempuan yang tidak lagi membedakan, apakah yang datang itu Alap-alap Jalatunda, apakah laki-laki yang mana pun juga. Tetapi Sekar Mirah itu telah menunggunya. Alap-alap Jalatunda. Bukan laki-laki yang lain. Bukan pula Sidanti atau Wuranta sendiri. Angan-angan itu telah mendorong Alap-alap Jalatunda ke dalam suatu tindakan yang lebih berani. Kini pagar yang tinggal selembar itu telah diloncatinya. Dan kini ia telah berada di halaman belakang pondok yang dipakai untuk menyimpan Sekar Mirah oleh Sidanti. Sebuah pondok kecil yang didiami oleh Sekar Mirah seorang diri. Hanya kadang-kadang saja, setiap hari satu dua kali, seorang perempuan tua yang memasak untuknya, datang mengantarkan makanannya dan meminjaminya satu dua lembar pakaian. Di halaman belakang itu Alap-alap Jalatunda bersembunyi. Sejenak ia berdiam diri melihat keadaan di sekitarnya. Dipasangnya telinga dan matanya sebaik-baiknya. Ia tidak ingin gagal untuk mendapatkan Sekar Mirah malam itu juga. Ketika tidak seorang  pun yang dilihatnya, dan tidak didengarnya gemerisik apapun, perlahan-lahan ia merayap mendekati pondok itu. Ia berlindung dari satu gerumbul ke gerumbul yang lain. Sangat berhati-hati, seperti seseorang yang sedang mengintai lawannya yang sangat disegani. Akhirnya Alap-alap Jalatunda itu sampai juga beberapa langkah dari dinding pondok Sekar Mirah. Sekali lagi ia menjadi ragu-ragu. Di dalam pondok itu terasa sangat sepinya. Tetapi Alap-alap Jalatunda melihat sinar pelita yang berkeredipan, berloncatan dari lubang-lubang dinding bambu rumah itu. Terasa suatu pergolakan yang dahsyat di dalam dada anak muda itu. Kadang-kadang tumbuh juga keinginannya untuk membatalkan saja niatnya dan menunggu sampai kesempatan lain yang lebih baik. Tetapi ketika teringat olehnya, bahwa pasukan Untara sudah berada di hadapan hidungnya, maka nafsunya menjadi berkembang kembali.

“Mungkin besok atau lusa aku harus sudah meninggalkan padepokan ini. Mungkin Ki Tambak Wedi akan mengambil keputusan untuk menduduki Jati Anom. Kalau aku harus berangkat besok malam, maka aku tidak akan pernah mendapat kesempatan sama sekali.”
Dengan demikian, maka Alap-alap Jalatunda itu menjadi semakin bernafsu. Kini ia maju beberapa langkah lagi. Dengan sangat hati-hati ia melekatkan tubuhnya pada dinding rumah itu. Beberapa kali ia bergeser, sehingga suatu ketika ia berhenti sambil menarik nafas dalam-dalam.
“Di sini gadis itu tidur,” desisnya. Telinganya yang tajam ternyata berhasil mendengar desah nafas Sekar Mirah di dalam pondok itu.
Perlahan-lahan, sangat perlahan-lahan ia mengetuk dinding. Dan sangat perlahan-lahan pula ia menyebut nama Sekar Mirah.
Ternyata ia berhasil membangunkan gadis itu. Ia mendengar pembaringan Sekar Mirah berderit.
“Mirah,” desis Alap-alap Jalatunda.
“Siapa?” bertanya Sekar Mirah. Suaranya hampir tidak terdengar. Dengan demikian maka Alap-alap Jalatunda menjadi sangat gembira. Sekar Mirah benar-benar akan menyambutnya seperti yang diharapkannya.
“Aku, Mirah.”
“Alap-alap Jalatunda?”
Alangkah gembiranya hati anak muda itu. Tanpa sesadarnya terloncat pertanyaannya,
“Darimana kau tahu, bahwa aku yang datang?”
“Sidanti tidak akan datang lewat belakang rumah. Apalagi kawanmu telah menyampaikan pesan itu kepadaku siang tadi.”
Alap-alap Jalatunda hampir-hampir menjadi pingsan karena gembira mendengar jawaban itu. Ternyata Wuranta benar-benar telah menepati kesanggupannya, dan Sekar Mirah benar-benar telah menunggunya. Karena itu maka ia berdesis di dalam hatinya,
“Terima kasih Wuranta. Kau telah berjasa kepadaku. Tetapi maaf, bahwa aku tidak sempat menolongmu. Mudah-mudahan kau besok atau lusa segera naik ke tiang gantungan, atau mudah-mudahan aku mendapat tugas untuk memenggal lehermu. Aku sekarang sama sekali tidak memerlukanmu lagi.”
Ketika angin malam berdesah di dedaunan membawa udara yang sejuk dingin, maka terdengar Alap-alap Jalatunda berbisik di balik dinding,
“Sekar Mirah, apakah benar kau telah menungguku seperti yang dikatakan oleh Wuranta?”
Sekar Mirah terdiam sejenak. Wajahnya menjadi kemerah-merahan. Meskipun demikian Alap-alap Jalatunda mendengar suara Sekar Mirah sendat,
“Ya, ya, aku menunggumu.”
Alap-alap Jalatunda menarik nafas dalam-dalam. Kini ia benar-benar telah mendengar sendiri apa yang dikatakan oleh Sekar Mirah. Maka ia tidak akan menjumpai kesulitan lagi masuk ke dalam gubug itu, dan kemudian meninggalkannya.
“O, alangkah bodohnya Sidanti,” desahnya di dalam hati,
“ia tinggal akan menemukan Sekar Mirah yang sama sekali tidak seperti yang diharapkannya. Anak itu yang bersusah payah mengambilnya ke Sangkal Putung, maka aku lah yang akan mendapatkannya. Agaknya aku tidak hanya mendapat kesempatan satu kali dua kali datang ke rumah ini, asal aku tidak terbunuh saja besok atau lusa di medan Jati Anom. Seandainya terbunuh sekalipun, maka aku sudah tidak akan menyesal lagi.”
Alap-alap Jalatunda itu  pun kemudian bergeser beberapa langkah maju sambil berbisik,
“Sekar Mirah, aku akan masuk.”
“Masuklah, pintu tidak terkancing. Aku tidak memasang slarak di dalam.”
“Aku tidak dapat masuk lewat pintu, Mirah. Aku tidak ingin kedatanganku dilihat oleh para pengawas.”
“Kau akan masuk dari mana?”
“Maaf Mirah. Aku akan membuka dinding bambu yang ringkih di sudut rumah ini. Tolong, singkirkanlah pelita, sehingga sinarnya tidak jatuh ke sudut di sebelah kanan ini.”
“Oh. Apakah kau tidak akan mendapat kesulitan?”
“Tidak Mirah. Pekerjaan itu terlampau mudah aku kerjakan.”
“Baiklah. Aku akan memindahkan pelita itu ke sisi sebelah kiri.”
Sesaat kemudian terdengarlah gemerisik kaki Sekar Mirah pada lantai pondoknya, Perlahan-lahan gadis itu berjalan memindahkan pelita minyak tanah ke sisi yang lain.

Alap-alap Jalatunda hampir-hampir tidak dapat bersabar lagi menunggunya. Begitu sinar pelita bergerak, maka anak muda itu segera menarik pedangnya, dan memutuskan beberapa utas tali pengikat dinding pada tiang di sudut rumah. Dinding itu memang tidak begitu kuat, sehingga dalam waktu yang pendek, Alap-alap Jalatunda telah berhasil masuk ke dalamnya. Ketika Sekar Mirah melihat anak muda itu telah berada di dalam pondoknya, maka tiba-tiba tubuhnya menggigil karenanya. Tiba-tiba ia menyesal bahwa ia telah membuat suatu permainan yang berbahaya. Tetapi meskipun demikian, ia masih tetap menyadari apa yang sedang dihadapinya. Karena itu, maka sesaat Sekar Mirah itu berdiri saja mematung. Ditatapnya Alap-alap Jalatunda dengan tajamnya. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk tetap tenang, dan sadar mempergunakan nalarnya. Alap-alap Jalatunda yang telah berada di dalam rumah itu  pun sejenak berdiri tegak seperti tiang-tiang bambu yang berjajar di dalam rumah itu. Sejenak ia kehilangan akal. Dan sejenak ia tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Ternyata Sekar Mirah itu sama sekali tidak seperti yang dibayangkannya. Tidak seperti Nyai Sari, Nyai Lames, dan lebih-lebih Nyai Pinan. Seandainya yang berdiri di hadapannya itu Nyai Pinan, maka perempuan itu pasti akan segera lari menubruknya, menyeretnya duduk di atas ambennya. Tetapi Sekar Mirah tidak berbuat demikian. Tidak menyambutnya seperti yang dibayangkannya. Justru karena itu maka ia menjadi bingung. Alap-alap Jalatunda mengharap Sekar Mirah itu berlari dan kemudian memeluknya, sambil membisikkan kata-kata-yang mesra. Tetapi yang dijumpainya adalah Sekar Mirah itu berdiri beberapa langkah daripadanya sambil memandanginya seperti memandangi hantu. Namun Alap-alap Jalatunda itu  pun segera menyadari keadaannya. Waktunya tidak terlampau banyak. Ia harus segera menemui Sanakeling dan mungkin Ki Tambak Wedi masih akan mengadakan beberapa pembicaraan lagi. Karena itu, maka ia harus segera meninggalkan tempat itu. Karena Sekar Mirah masih saja berdiri mematung, maka dengan sepenuh keberaniannya, Alap-alap Jalatunda berkata,
“Bukankah kau menungguku Sekar Mirah?”
Sekar Mirah tergagap mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia menjawab,
“Ya, aku menunggumu.”
“Waktuku tidak banyak Sekar Mirah. Aku harus segera kembali ke tempat pertemuan.”
Sekar Mirah menjadi merah padam mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak mengetahui maksud sebenarnya dari Alap-alap Jalatunda. Karena itu maka ia menjawab,
“Aku hanya ingin tahu maksudmu.”
“He,” kata-kata itu benar-benar mengejutkan Alap-alap Jalatunda. Bagaimana mungkin Sekar Mirah itu masih bertanya apakah maksudnya. Tetapi Alap-alap Jalatunda itu terdesak oleh kesempatan yang sangat sempit. Maka sifat-sifatnya segera nampak pada sikapnya. Dengan kasar ia berkata,
“Mirah. Aku menginginimu. Bukankah Wuranta telah mengatakan?”
Sekali lagi wajah Sekar Mirah menjadi merah. Tetapi kini ia hampir berhasil menguasai dirinya. Dengan agak tenang ia menjawab,
“Ya, Wuranta telah mengatakannya. Karena itu, aku ingin membicarakannya dengan kau langsung.”

Sesaat Alap-alap Jalatunda berdiri termangu-mangu. Ia sama sekali tidak mengerti maksud Sekar Mirah. Apakah yang masih harus dibicarakan? Dalam keragu-raguan itu ia melihat Sekar Mirah membetulkan letak sanggulnya yang kurang rapi karena ia baru saja terbangun dari tidur. Namun dalam keadaannya itu, Alap-alap Jalatunda melihat wajah Sekar Mirah menjadi bertambah cantik. Matanya yang redup dan beberapa helai rambutnya yang jatuh terkulai di sisi telinganya, membuat wajah itu seolah-olah menjadi semakin berseri. Dengan penuh keragu-raguan, Alap-alap Jalatunda itu kemudian bertanya,
“Sekar Mirah, apakah masih ada yang harus dibicarakan lagi?”
Sekar Mirah  pun menjadi tidak mengerti pula jalan pikiran Alap-alap Jalatunda. Bukankah menurut pesannya dan seperti yang dikatakannya sendiri, Alap-alap Jalatunda itu menginginkannya.
Karena itu, maka jawabnya,
“Alap-alap Jalatunda. Bukankah kau telah menyampaikan pesan lewat Wuranta dan kemudian telah kau ulangi sendiri pula? Bukankah dengan demikian di antara kita lalu timbul persoalan? Alap-alap Jalatunda, apabila benar demikian maka kita harus membicarakan, apakah yang akan kita lakukan?”
Alap-alap Jalatunda menggeleng-gelengkan kepalanya yang mulai terasa pening. Tidak saja karena tuak yang diminumnya ketika ia berada di dalam banjar para pemimpin padepokan tetapi juga karena kata-kata Sekar Mirah itu. Dalam pada itu Sekar Mirah berkata pula,
“Alap-alap Jalatunda. Kita harus tahu benar bahwa apa yang ingin kita lakukan bersama itu berhasil tanpa diketahui oleh Sidanti.”
“Tak seorang  pun yang tahu. Aku yakin, bahwa tak seorang  pun yang melihat aku masuk kemari.”
“Mungkin Alap-alap Jalatunda, tetapi persoalan kita tidak hanya sekedar persoalan hari ini. Persoalan kita adalah persoalan yang cukup panjang.”
“Sekar Mirah,” sahut Alap-alap Jalatunda,
“aku tidak berkeberatan kalau persoalan kita menjadi persoalan yang panjang, tidak hanya berhenti saat ini. Tetapi itu tidak perlu dibicarakan. Aku akan selalu kembali apabila ada kesempatan. Mungkin besok atau lusa aku harus turun ke Jati Anom karena pasukan Untara kini telah berada di depan hidung kita. Apabila aku kemudian kembali ke padepokan ini, aku akan selalu datang kepadamu pula.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Berita kedatangan pasukan Untara mendekati padepokan itu telah membuatnya agak berpengharapan. Tetapi kemudian ia menjadi cemas. Apabila Sidanti menjadi mata gelap, bukankah kedatangan Untara mendekati padepokan itu hanya mempercepat kehancurannya. Tetapi kini yang berdiri di hadapannya bukanlah Sidanti, tetapi Alap-alap Jalatunda. Dan jawaban Alap-alap Jalatunda tidak dapat dimengertinya.


Halaman 1 2 3


<<< Jilid 021                                                                                                       Jilid 023 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar