TETAPI Ki Tambak Wedi tidak dapat menyembunyikan kenyataan yang terjadi. Kedua kawannya menjadi semakin terdesak dan teka-teki yang meliputi benaknya tentang pasukan kecilnya yang seolah-olah hilang dihembus angin prahara. Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu. Kalau ia memaksa diri untuk menundukkan Argapati yang telah terluka itu, maka apakah yang terjadi bukan sebaliknya? Yang mengejarnya kini adalah pertanyaan tentang pasukan kecilnya. Bahkan kemudian ia mengambil kesimpulan,
“Pasti ada
seseorang yang dengan rahasia membantu Argapati. Mungkin seorang atau dua
orang, tetapi mungkin sepasukan. Kalau mereka kemudian datang mengepung aku, maka
keadaan akan menjadi sulit. Apalagi kalau mereka berhasil menangkap aku, maka
kemenangan yang didapat Sidanti akan buyar tanpa arti.”
Akhirnya, Ki
Tambak Wedi terpaksa mengambil keputusan yang betapapun sakitnya. Ia terpaksa
melepaskan tekadnya yang bulat untuk membunuh Argapati. Meskipun dendam yang
terungkat kembali sejak beberapa puluh tahun yang lampau masih tetap menyala di
dalam hatinya, tetapi ia tidak boleh kehilangan akal. Ia tidak boleh terjerumus
dalam kesulitan didorong oleh perasaannya. Bagaimanapun juga, ia harus tetap
sadar dan mempergunakan nalarnya. Karena itu, maka Ki Tambak Wedi itu pun
mengambil suatu keputusan yang tidak diduga-duga sebelumnya. Melarikan diri.
Betapa
liciknya orang itu, ketika tiba-tiba saja ia meloncat mundur. Seleret sinar
yang hitam mengkilat meluncur ke dada Argapati. Untunglah, bahwa meskipun
Argapati telah terluka, tetapi ia masih memiliki kelincahan bergerak, sehingga
ia masih mampu menggerakkan tombaknya, menghantam sinar yang terbang seperti
petir di udara. Terdengar suara berdentum, disusul oleh gemerincingnya sebuah
gelang-gelang yang jatuh di atas batu-batu cadas. Namun Ki Tambak Wedi mampu
memanfaatkan saat yang pendek itu. Selagi perhatian Argapati terpusat kepada
gelang-gelangnya yang terbang menyambar dada, maka saat itu dipergunakannya
sebaik-baiknya. Dengan cepatnya, hampir secepat gelang-gelangnya ia melompat
dan berlari meninggalkan gelanggang. Kedua kawan-kawannya terkejut melihat Ki
Tambak Wedi tiba-tiba saja meninggalkan gelanggang. Sejenak mereka kehilangan
akal, dan karena itulah, maka perlawanan mereka menjadi semakin lemah. Sebelum
mereka menyadari apa yang terjadi, maka sebuah sengatan yang nyeri telah
menggetarkan jantungnya. Sesaat mereka menyadari, bahwa hampir bersamaan mereka
telah terluka. Tetapi mereka tidak kuasa lagi untuk melawan. Para pengawal dari
Menoreh itu dapat mempergunakan keadaan sebaik-baiknya. Yang terjadi kemudian
adalah terlampau mengerikan. Kedua orang itu hampir bersamaan pula memekik
tinggi, ketika dada mereka sekali lagi disobek oleh ujung senjata lawan. Dan
hampir bersamaan pula mereka terhuyung-huyung, dan selanjutnya jatuh tersungkur
di tanah.
Argapati masih
berdiri di sisi sepasang Pucang Kembar sambil menggenggam tombaknya. Debar di
dadanya masih menghentak-hentak, serasa akan meledakkan jantung. Kemarahan,
kebencian, dan dendam menyala-nyala di hatinya. Tetapi ia tidak berdaya untuk
melepaskan, karena Ki Tambak Wedi telah hilang dari pandangan matanya menyusup
ke dalam rimbunnya dedaunan. Dorongan perasaannya ingin membawanya untuk
mengejar orang tua yang telah terlampau banyak menyakitkan hatinya itu. Bukan
baru kemarin atau kemarin dulu, bukan baru sepekan dua pekan, tetapi sejak
berpuluh tahun yang lampau, sepanjang umur Sidanti itu sendiri. Tetapi pengalaman
dan kematangan telah mengekangnya. Ia menyadari bahaya yang tersembunyi di
balik rerungkudan itu. Gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi meluncur terlampau
cepat mengarah ke sasarannya. Bahaya itu tidak boleh diabaikan, sehingga
Betapapun nafsunya melonjak-lonjak, tetapi ia tidak mengejar setan tua yang
licik itu. Ketika ia melihat dua orang temannya Ki Tambak Wedi tersungkur di
tanah, hatinya berdesir. Demikian liciknya orang itu, sehingga kawannya
sendiri pun telah dikorbankannya. Ia
sadar, ketika melihat Kerti dan kedua kawannya mendekatinya. Dengan nada rendah
Kerti bertanya,
“Ki Gede
terluka?”
Baru pada saat
itulah, seolah-olah pembuluh darah Ki Argapati dijalari oleh perasaan pedih dan
nyeri dari dadanya. Selama ia berkelahi, ia sama sekali tidak merasa, betapa
pedihnya luka di dadanya itu. Namun ketika lawannya telah hilang, maka perasaan
sakit itu tiba-tiba saja tumbuh dan mencekamnya.
Perlahan-lahan
Ki Argapati mengangguk, “Ya, aku terluka.”
Kerti melihat
darah meleleh dari luka di dada itu mewarnai baju, ikat pinggang kulit, dan
kain panjangnya.
“Luka itu
cukup parah, Ki Gede,” desis salah seorang kawan Kerti.
Ki Gede
Menoreh tidak menjawab. Kelelahan dan darah yang mengalir membuatnya menjadi
terlampau lemah. Tiba-tiba saja ia terhuyung-huyung dan terpaksa berpegangan
pada tangkai tombaknya.
“Ki Gede,”
Kerti terkejut
“Aku
memerlukan pertolonganmu, Kerti,” desis Ki Gede.
Dengan
tergesa-gesa Kerti menghampirinya. Tangan Ki Gede yang gemetar segera melingkar
di leher Kerti sambil bergumam lirih,
“Aku terlampau
bernafsu melawan Tambak Wedi, sehingga aku melupakan luka di dada ini. Apakah
kau mempunyai sesuatu yang dapat menahan arus darahku ini?”
“Ya, ya Ki
Gede. Aku selalu membawanya di dalam peperangan,” sahut Kerti.
Ki Gede
Menoreh itu segera dipapahnya menepi, dan didudukkannya di atas rerumputan.
Dari kantong ikat pinggang kulitnya, Kerti mengambil seberkas reramuan kering
yang kemudian dikunyahnya. Dengan obat itulah ia mencoba menahan arus darah
dari luka Ki Gede Menoreh. Tetapi luka itu cukup parah dan darah yang mengalir
agak deras sehingga obat itu tidak terlampau banyak dapat menolongnya. Karena
itu, maka dada Kerti pun menjadi
berdebar. Darah masih saja mengalir, dan Ki Argapati menjadi semakin lemah
karenanya. Ki Argapati sendiri pun
menyadari keadaannya. Karena itu, maka ia berusaha untuk tidak bergerak-gerak
lagi, supaya darahnya tidak semakin banyak mengalir dari lukanya. Perlahan-lahan
terdengar Argapati berdesis,
“Bagaimana
Kerti, apakah obatmu dapat berpengaruh atas aliran darah luka itu?”
Kerti menjadi
agak ragu-ragu menentramkan hati Argapati, ia menjawab,
“Ya, Ki Gede.
Agaknya obat itu akan dapat menolong sekedarnya.”
Tetapi Ki Gede
tidak dapat dihiburnya dengan cara itu. Terdengar suara tertawanya perlahan sekali.
Katanya,
“Agaknya
obatmu kurang baik, Kerti. Tetapi itu bukan salahmu. Kau sudah berusaha. Kalau
usaha itu tidak berhasil, maka kita sudah tidak dapat dipersalahkan lagi.”
“Tetapi obat
itu berpengaruh juga, Ki Gede.”
“Sedikit
sekali. Tetapi baiklah. Cobalah obatmu itu terus.”
Kerti pun
mengunyah obat-obat itu semakin banyak. Semua persedian yang ada padanya.
Kemudian diusapkannya pada luka Ki Argapati. Namun meskipun demikian, darah Ki
Argapati masih saja mengalir dari lukanya. Pengaruh obat itu ternyata hanya
kecil sekali. Sehingga dengan demikian, Kerti dan kedua kawannya pun menjadi cemas.
“Sebaiknya Ki
Gede segera kembali.”
Argapati yang
lemah itu menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan sekali ia bertanya,
“Kemana aku
harus kembali, Kerti?”
Kerti terdiam
sejenak. Ia telah mendengar pula tanda-tanda yang kurang menyenangkan, dan
mereka yang berada di bawah Pucang Kembar itu tidak tahu, apakah yang
sebenarnya terjadi di padukuhan induk Menoreh.
“Mungkin aku
sudah tidak akan dapat melihat rumah itu lagi,” desis Argapati.
“Tidak, Ki
Gede. Kita akan kembali pada suatu saat, seandainya kali ini kita tidak dapat
bertahan. Tetapi kita sudah menentukan tempat yang baik bagi pasukan kita,
apabila kita terpaksa mengundurkan diri. Bukankah pesan Ki Gede berbunyi
demikian, meskipun saat itu kita sama sekali tidak pernah membayangkan, bahwa
kita akan mengalami bencana ini?”
Ki Gede tidak
menjawab. Diangkatnya wajahnya yang pucat. Ditatapnya daun pucang yang
bergerak-gerak ditiup angin.
“Pohon ini
sudah jauh berubah,” desisnya di dalam hati,
“kini daunnya
sudah semakin jarang, dan batangnya pun
pasti akan segera rapuh. Beberapa puluh tahun yang lampau, sepasang pucang itu
tampak tegak perkasa, seolah-olah tidak akan pernah mengalami hari-hari tuanya
dan yang kemudian akan lenyap untuk seterusnya.
Sekali lagi Ki
Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dikenangkannya masa-masa
mudanya. Dengan penuh dendam ia berperang tanding di bawah pucang itu. Tetapi
ia masih muda. Kini ia menjadi semakin tua, seperti sepasang batang pucang itu
pula.
Ki Gede itu
berpaling, ketika ia mendengar Kerti berkata,
“Marilah, Ki
Gede. Kita berusaha untuk menemukan pasukan Menoreh di mana pun berada. Kita
akan melihat, apakah mereka masih berada di padukuhan induk atau tidak, dan
kita akan mencari di mana mereka mengundurkan diri seandainya mereka terpaksa
terdesak.”
“Tanda-tanda
yang aku dengar agaknya tidak menyenangkan.”
Kerti
menganggukkan kepalanya. Ia pun sadar akan
hal itu. Tetapi ia berkata,
“Kita masih
harus meyakinkan. Mungkin pasukan Menoreh terdesak, tetapi kemungkinan untuk
menemukan keseimbangannya kembali dapat saja terjadi.”
Argapati
mengangguk. Tetapi ia berkata,
“Aku sudah
lemah sekali. Kalau darah ini tidak segera dapat dihentikan, maka aku akan
kehabisan. Kau tahu, akibat dari seseorang yang kehabisan darah.”
“Ya, Ki Gede.
Tetapi kita juga tidak dapat tinggal di sini terus-menerus tanpa berbuat
sesuatu.”
“Terserah
kepadamu, Kerti.”
Kerti
mengerutkan keningnya. Dipandanginya kedua kawannya berganti-ganti. Ia
menyadari, bahwa membawa Ki Gede itu sama sekali bukan tugas yang ringan.
Sepanjang jalan mungkin akan ditemuinya orang-orang Sidanti, atau bahkan Ki
Tambak Wedi. Apalagi mereka bertemu dengan Ki Tambak Wedi, sedang Ki Gede
berada dalam keadaan demikian, maka yang akan terjadi sudah dapat
dibayangkannya.
“Tetapi kita
harus berusaha,” namun kata-kata itu tidak terucap.
Kedua kawannya
agaknya dapat mengerti perasaan yang berada di dalam dada Kerti. Salah seorang
dari mereka berkata,
“Marilah. Kita
harus segera secepatnya.”
Serentak
mereka bergeser maju. Mereka akan mengangkat Ki Gede dan membawanya mencari
pasukan Menoreh. Tetapi salah seorang dari mereka bertiga harus bebas, sehingga
apabila datang bahaya setiap saat, maka seorang yang bebas itu akan dapat
berbuat lebih dahulu untuk melindungi kawan-kawannya yang lain, dan terutama Ki
Gede yang sedang terluka itu.
“Biarlah kami
berdua yang mengangkatnya,” berkata salah seorang dari mereka kepada Kerti.
“Kau berjalan
di depan. Kau harus berusaha melindungi kami.”
Kerti mengangguk.
“Baiklah,” jawabnya.
Tetapi sebelum
mereka menyentuh Ki Gede Menoreh, yang menjadi semakin lemah itu, tiba-tiba
seperti disengat lebah mereka serentak meloncat berdiri. Senjata-senjata mereka
segera siap di tangan untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Dalam cahaya
bulan yang kekuning-kungingan, mereka melihat sesosok tubuh di dalam bayangan
dedaunan. Selangkah-selangkah ia maju, semakin lama semakin nyata. Kerti dan
kedua kawannya menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja mereka merenggang.
Setapak, Kerti melangkah maju. Dari mulutnya terdengar pertanyaan,
“Siapa kau?”
Orang yang
baru datang itu tertegun. Tetapi tidak segera terdengar jawaban dari mulutnya.
Wajah Kerti
dan kedua kawan-kawannya menjadi semakin tegang. Mereka berdiri tegak,
membelakangi Ki Argapati yang menjadi semakin lemah dan berbaring di atas
rerumputan. Dengan senjata di tangan masing-masing, mereka siap menghadapi
setiap kemungkinan.
Setapak lagi
Kerti melangkah maju sambil kertanya, “Siapa kau?”
Orang itu pun maju selangkah pula. Tetapi Kerti masih
belum dapat memandang wajah orang itu dengan jelas dalam keremangan cahaya
bulan yang semakin rendah di ujung Barat.
“Siapa kau,
dan apa maksudmu?” pertanyaan Kerti menjadi semakin keras.
“Namaku
Gupala,” jawab orang itu.
Kerti dan
kedua kawannya mengerutkan kening mereka. Mereka belum pernah mendengar nama
itu. Karena itu, ingatan mereka segera hinggap kepada orang-orang liar yang
telah membantu Ki Tambak Wedi berkelahi melawan Ki Argapati.
“Apakah ia
termasuk salah seorang dari mereka, atau justru orang yang khusus mendapat
tugas dari Ki Tambak Wedi?” Pertanyaan itu telah mengetuk dada ketiga orang
itu.
“Apakah
maksudmu, kau belum menjawab?” desak Kerti.
Orang itu
menghela nafas. Setapak ia maju. Kerti dan kawan-kawannya menjadi semakin bersiaga.
Tetapi ternyata orang yang datang itu sama sekali tidak membawa senjata.
Seandainya ia kehilangan pedangnya, maka pasti masih membawa wrangkanya di
lambungnya. Tetapi orang itu sama sekali tidak berkesan, bahwa ia bersenjata.
“Maafkan,”
berkata orang itu, “aku membawa sesuatu untuk Ki Gede Menoreh”
Dada Kerti dan
kedua kawannya berdesir. Bahkan jawaban yang didengar pula oleh Ki Gede Menoreh
yang terluka, telah sangat menarik perhatiannya.
“Obat. Obat
untuk mengobati lukanya.”
“Apakah yang
kau bawa?” bertanya Kerti.
Jawaban itu
telah membuat mereka yang mendengarnya terkejut. Orang itu sama sekali belum
dikenalnya. Dalam keadaan itu, tiba-tiba ia datang menawarkan obat untuk
menyembuhkan luka-luka di dada Ki Argapati.
Itulah
sebabnya, maka kecurigaan Kerti menjadi semakin meningkat. Tiba-tiba saja ia
tidak mau memperpanjang waktu lagi, karena ia tahu, bahwa luka Ki Gede
benar-benar harus segera mendapat perawatan. Maka katanya,
“Sebutkan
orang yang menyuruhmu datang dengan membawa racun itu. Jangan kau sangka, bahwa
kami terlampau bodoh untuk menyerahkan nyawa kami kepada orang-orang yang tidak
kami kenal.
“Oh,” jawab
orang itu,
“sama sekali
bukan. Bukan racun. Tetapi aku membawa obat dari ayahku. Ayahku tahu benar,
bawah Ki Gede sedang terluka. Itulah sebabnya, aku harus datang untuk
menyerahkan obat itu kemari.”
“Siapakah
ayahmu,” bertanya Kerti.
“Kiai Garit.”
Sekali lagi
Kerti dan kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Nama itu pun sama sekali belum pernah mereka dengar.
Sehingga karena itu, maka Kerti berkata,
“Jangan
terlampau banyak bicara. Waktuku terlampau sedikit. Sekarang aku terpaksa
membawanya untuk sementara. Kalau ternyata kau benar-benar tidak bersalah aku
akan melepaskanmu.”
“Apakah
maksudmu,” bertanya orang itu.
“Kau terlampau
mencurigakan. Karena itu, kau harus ikut kami. Jangan melawan, supaya kami
tidak berbuat terlampau kasar.” Kerti
pun kemudian berpaling kepada kawan-kawannya,
“Marilah kita
bawa Ki Gede ke induk pasukan. Biarlah orang ini aku bawa pula bersama kita.”
“Tunggu,”
potong orang itu,
“apa pun yang
akan kalian lakukan atasku, terserahlah. Tetapi aku minta obat ini dapat kalian
taburkan di atas luka itu, supaya Ki Gede tidak kehabisan darah.”
“Omong kosong.
Kau akan membunuh dengan cara yang sangat licik.”
“Jangan salah
mengerti. Aku tidak mempunyai kepentingan apa pun untuk membunuhnya.”
“Jangan banyak
bicara. Ayo, berjalanlah di depan.”
Orang itu
hampir tidak mendapat kesempatan untuk menjawab, karena Kerti melangkah semakin
dekat sambil mengacungkan senjatanya. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun,
ketika ia mendengar Ki Gede memanggilnya perlahan-lahan,
“Bawalah orang
itu kemari.”
Kerti
ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian katanya,
“Baiklah, Ki
Gede.” Lalu kepada orang yang menyebut dirinya bernama Gupala itu,
“Mendekatlah. Tetapi
jangan membuat aku kehilangan kesabaran dan menghunjamkan pedang ini di
punggungmu.”
Perlahan-lahan
Gupala maju mendekati Ki Gede yang sedang terbaring. Beberapa langkah
daripadanya, Kerti berdesis,
“Berdirilah di
sini.”
Orang itu pun berhenti dan kemudian duduk di atas
tanah.
“Kami belum
pernah mengenalmu, Ki Sanak,” berkata Argapagi lirih.
“Apakah kau
dapat membuktikan, bahwa kau benar-benar bermaksud baik?”
Gupala menjadi
bingung. Jawabnya berterus terang,
“Tidak, Ki
Gede. Aku tidak dapat membuktikan dengan cara apa pun, kecuali apabila Ki Gede
bersedia mencoba menaburkan obat ini. Akan tampak kemudian dengan cepat, bahwa
darah itu akan segera berhenti”
“Dan membeku,”
potong Kerti. Dengan tegangnya ia berkata,
“Jangan
main-main dengan cara yang licik.” Kemudian kepada Ki Gede ia berkata,
“Marilah, Ki
Gede, kita segera berjalan. Kita akan kehabisan waktu. Mungkin mereka
memperpanjang waktu termasuk cara yang mereka perhitungkan pula. Karena itu,
jangan hiraukan lagi orang ini.”
Ki Gede tidak segera
menjawab. Dicoba untuk memperhatikan wajah orang itu. Tetapi ia memang belum
pernah mengenalnya.
“Maafkan, Ki
Sanak,” desis Argapati,
“dalam keadaan
serupa ini, aku wajib mencurigai setiap orang yang belum aku kenal. Juga kau.
Apa pun dapat terjadi atasku dalam
keadaan ini.”
“Tetapi luka
itu segera memerlukan pertolongan sementara,” jawab Gupala.
“Pertolongan
itu akan kami usahakan. Tetapi dengan cara yang meyakinkan,” potong Kerti.
Gupala terdiam
sejenak. Agaknya ia sudah tidak mungkin lagi meyakinkan, bahwa obat yang
dibawanya adalah obat yang baik, benar-benar obat yang dapat memampatkan arus
darah dari luka. Kecuali dari penolakan itu, maka Gupala pun menjadi bingung, apakah yang sebaiknya
dilakukan. Kerti telah mencoba menahannya dan akan membawanya serta. Dalam
kebingungan itu, ia mendengar Kerti berkata, “Ayolah, kita sudah tidak
mempunyai waktu lagi. Ikutlah kami dan jangan mencoba berbuat sesuatu yang akan
membahayakan dirimu sendiri.”
“Tetapi,
tetapi,” sahut Gupala terputus-putus, “aku bermaksud baik, ayahku pun bermaksud
baik.”
“Jangan banyak
bicara lagi,” potong kawan Kerti.
Gupala menjadi
ragu-ragu. Apakah sebaiknya yang dilakukannya? Dalam pada itu ia melihat kedua
kawan Kerti berjongkok di samping Ki Gede Menoreh, siap untuk mengangkatnya.
Sedang Kerti sendiri berdiri di sampingnya dengan penuh kewaspadaan. Namun
tiba-tiba, Ki Gede yang sudah lemah itu terperanjat. Bukan saja Ki Gede, tetapi
semua orang yang berada di bawah Pucang Kembar itu. Dalam keheningan malam, di
sela-sela desah angin yang lembut, tiba-tiba saja terdengar suara ledakan
memekakkan telinga. Ledakan cambuk yang dahsyat sekali, seperti ledakan petir
yang bersabung di langit. Sejenak orang-orang yang berada di bawah Pucang
Kembar itu terbungkam. Tidak seorang pun
yang tahu, apakah yang sedang mereka hadapi. Namun perlahan-lahan Ki Gede
menari nafas dalam-dalam. Kepalanya yang lemah perlahan-lahan terangguk kecil. Ketika
sekali lagi terdengar ledakan cambuk yang dahsyat itu, maka seakan-akan Ki Gede
menemukan suatu keyakinan tentang sesuatu. Perlahan-lahan terdengar ia
berguman,
“He, Ki Sanak,
apakah kau kenal siapakah yang meledakkan cambuknya seperti ledakan petir di
udara itu?”
Gupala ragu
sejenak. Namun akhirnya ia menjawab,
“Ya, Ki Gede.
Aku mengenalnya. Ia lah ayahku, yang aku katakan menyuruhku menyerahkan obat
ini kepada Ki Gede.”
Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“apakah benar
kau anaknya?”
“Ya, Ki Gede”
Dalam
keremangan cahaya bulan tampak wajah Ki Gede yang pucat itu tersenyum.
Ditatapnya wajah Gupala yang bulat tubuhnya yang gemuk dan kaki-kakinya yang
kokoh.
“Apakah kau
satu-satunya anak orang yang meledakkan cambuk itu?”
Sekali lagi
Gupala menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab sambil menggeleng,
“Tidak, Ki
Gede. Aku adalah anaknya yang muda.”
“Berapa
anaknya?”
“Dua,”
Ki Gede
Menoreh diam sejenak. Terasa lukanya menjadi semakin pedih dan tubuhnya menjadi
semakin lemah. Kini ia pun menjadi
ragu-ragu. Suara campuk itu suatu isyarat yang penah dikenalnya beberapa puluh
tahun yang lampau, ketika ia masih menjadi seorang prajurit.
Setelah mereka
berpisah, maka jarang-jarang sekali mereka saling bertemu, dan bahkan hampir
tidak pernah sama sekali. Kabar tentang kawannya, manusia bercambuk itu pun
semakin lama semakin tidak bernah didengarnya lagi. Kini, tiba-tiba ia
mendengar ledakan serupa. Ledakan cambuk itu, ketika ia sedang dalam keadaan
yang sulit.
Kerti dan
kedua kawannya pun seolah-olah membeku pula. Dilihatnya wajah Ki Gede yang
pucat itu, membayangkan sebuah yang menjadi rahasia.
“Apakah Ki
Gede mengenal suara itu?” berkata Kerti.
Perlahan-lahan
Ki Gede menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan pula ia berdesis,
“Panggil anak
muda yang bernama Gupala itu mendekat.”
Kerti menjadi
ragu-ragu. Tetapi ia berpaling dan berkata kepada Gupala,
“Ki Gede
memanggilmu.”
Gupala
melangkah maju. Kemudian berjongkok di samping Ki Gede.
“Apakah benar
kau anaknya?”
“Ya, Ki Gede,”
sahut Gupala.
“Coba, tunjukkan
kepadaku, apakah kau mempunyai cambuk pula seperti ayahmu?”
Gupala tidak
menjawab. Ia masih tetap ragu-ragu. Tanpa disadarnya dipandanginya tombak
pendek yang masih tetap di dalam genggaman Ki Gede Menoreh.
“Gupala,”
desis Ki Gede, “kalau kau mempunyai juga, coba tunjukkanlah kepadaku.”
Gupala tidak
dapat berbuat lain. Dengan ragu-ragu ia meraih cambuknya yang melingkar di
bawah bajunya. Dengan tangan gemetar ditunjukkannya cambuk itu kepada Ki Gede
Menoreh. Tangan Ki Gede yang masih lemah itu
pun meraba cambuk Gupala. Terasa sesuatu yang aneh menjalari perasaannya.
Tiba-tiba ia berkata,
“Buktikan
kepadaku, bahwa kau anaknya. Kau pasti pandai bermain cambuk pula. Kalau kau
mampu meledakkan seperti ayahmu, meskipun tidak sesempurna itu, maka aku
percaya kepadamu dan kepada ayahmu.”
Gupala masih
saja dicekam oleh keragu-raguan. Tetapi ia berdiri juga dan melangkah beberapa
langkah surut.
“Maafkan, Ki
Gede,” katanya, “aku akan mencobanya.”
“Silahkan,”
sahut Ki Gede.
Kerti dan
kedua kawannya mengerutkan keningnya. Disiapkannya dadanya dan telinganya untuk
mendengar cambuk itu meledak, supaya dadanya tidak menjadi pedih dan telinganya
menjadi mengiang-ngiang. Sesaat kemudian cambuk itu meledak, memekakkan
telinga, meskipun tidak sekeras suara cambuk yang lebih dahulu. Namun demikian,
Kerti dan kedua kawannya terpaksa menggeleng-gelengkan kepalanya, karena serasa
sesuatu kemudian menyumbat telinganya.
Argapati
menangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ia berkata lirih,
“Kini aku
percaya kepadamu. Berikan obat itu kepada Kerti. Biarlah ia menaburkannya di
atas lukaku.” Ki Gede berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi kenapa
ayahmu itu tidak datang sendiri kemari mengantar obat ini? Aku tidak akan
mempersoalkan lagi, apalagi ia sendiri sudi datang kepadaku dalam saat-saat
yang seperti ini. Aku tidak perlu bercuriga dan bertanya-tanya.”
Sejenak Gupala
terdiam. Namun sejenak kemudian ia mengambil obat dari kantong bajunya,
menyerahkannya kepada Kerti sambil menjawab,
“Inilah obat
itu. Menurut ayah, obat itu harus ditaburkan di sekeliling luka dan pada luka
itu sendiri.”
Kerti menerima
obat itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergeser maju
mendekati Ki Argapati. Sementara itu Gupala berkata,
“Menurut pesan
ayah, ayah belum dapat menemui Ki Gede sekarang. Ada sesuatu yang mencegahnya.
Karena itu, ayah menyuruhku menyerahkannya kepada Ki Gede.”
Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Gumannya,
“Aku tidak
tahu, apa yang telah menghalang-halangi ayahmu menemui aku. Aku tidak pernah
merasa mempunyai persoalan apa pun. Tetapi baiklah, sampaikan kepadanya, bahwa
aku sangat berterima kasih atas pemberian ini. Aku berharap, bahwa pada suatu
ketika kita akan dapat bertemu.”
Gupala mengangguk-angguk
kepalanya. Katanya,
“Aku akan
menyampaikannya kepada ayah.”
Sementara itu,
Kerti telah mulai menabur-naburkan obat yang terbungkus dengan daun kelaras.
Perlahan-lahan, merata di atas guratan luka yang panjang. Sejenak kemudian,
terasa arus yang dingin menjalari pembuluh-pembuluh darah Ki Argapati. Perasaan
pedih yang menyengat-nyengat menjadi berangsur berkurang, meskipun tidak lenyap
sama sekali. Namun yang memberinya harapan adalah kemampuan obat itu
memampatkan lukanya, sehingga hampir tidak percaya kepada penglihatannya, Kerti
berkata,
“Apakah benar,
bahwa darah itu tiba-tiba saja berhenti mengalir?”
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Meskipun tubuhnya terasa terlampau lemah, namun ia
tersenyum,
“Sampaikan
kepada ayahmu itu Gupala, aku benar-benar berterima kasih kepadanya. Aku ingin
segera bertemu dan meyakini, bahwa ia berputerakan seorang anak muda segemuk
kau ini?”
Terasa dada
Gupala berdesir. Tetapi ia tidak menyahut.
“Aku sekarang
merasa, bahwa seolah-olah aku tetap hidup lagi setelah aku meninjau ke daerah
maut. Sebenarnya aku sama sekali sudah tidak berpengharapan, karena darahku
sudah tidak dapat dibendung lagi oleh obat yang dibawa oleh Kerti. Tetapi obat
ayahmu benar-benar obat yang telah menumbuhkan harapanku kembali.”
“Mudah-mudahan,
Ki Gede,” sahut Gupala, “mudah-mudahan obat itu dapat menyembuhkan luka Ki
Gede.”
“Tetapi
sampaikan kepada ayahmu, Gupala, bahwa pada saatnya aku ingin bertemu. Terserah
kepadanya, kapan ia bersedia. Kalau aku yang harus datang kepadanya, aku pasti
akan datang. Tetapi kalau ia bersedia datang kepadaku, akan aku terima dengan
segala senang hati.”
“Ya, Ki Gede.
Aku akan menyampaikannya,” jawab Gupala, kemudian,
“kini
perkenankanlah aku kembali kepada ayah.”
Ki Argapati
menganggukkan kepalanya, “Baiklah, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih.”
Gupala pun segera minta diri. Kemudian dengan
langkah yang tetap, ditinggalkannya Ki Gede Menoreh yang terbaring dilingkari
oleh Kerti dan kedua kawannya.
Namun beberapa
langkah kemudian ia tertegun. Ia tidak dapat menahan dirinya yang dijalari oleh
sifat-sifat yang aneh. Karena itu, maka tiba-tiba ia berpaling. Dipandanginya
wajah Kerti yang samar-samar di dalam cahaya bulan yang bulat. Kemudian
tiba-tiba ia bertanya, “Kiai, Kiai Kerti. Bukankah nama Kiai demikian? Nah,
apakah Kiai masih ingin membawa aku beserta dengan kalian.”
Kerti
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Yang terdengar sekedar desis
dari sela-sela bibirnya.
Karena Kerti
tidak menjawab, maka Gupala pun kemudian
melangkahkan kakinya pula sambil berkata,
“Terima kasih,
kalau Kiai tidak membutuhkan aku lagi.”
Yang terdengar
kemudian adalah suara tertawa tertahan. Kerti mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Namun ia mendengar Argapati tertawa lirih,
“Anak itu suka
bergurau.”
Kerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ragu-ragu ia bertanya,
“Siapakah
sebenarnya mereka itu, Ki Gede?”
“Aku pernah
mengenalnya. Seorang yang baik hati. Tetapi sudah agak lama aku kehilangan
hubungan. Kini tiba-tiba ia datang ketika aku sedang di dalam bahaya. Orang itu
memang seorang ahli obat-obatan yang baik.”
“Apakah Ki
Gede ingat, siapakah namanya?”
“Nama tidak
penting baginya. Ia adalah seorang yang bersembunyi di belakang seribu satu
macam nama.”
“Tetapi ia
mempunyai kedirian yang tidak berubah seperti perubahan namanya itu.”
Ki Argapati
menarik nafas dalam-dalam. Desisnya,
“Itulah yang
sukar untuk dikatakan. Tetapi menurut hematku, ia bukan seorang yang tidak
berarti.”
“Orang yang
hidupnya ditabiri oleh seribu macam rahasia.”
“Tepat. Apa
kau sangka, bahwa anak yang bernama Gupala itu pun tidak berlatih merahasiakan
dirinya? Aku tidak yakin, bahwa ia anak orang bercambuk itu. Entahlah, aku
tidak tahu, kenapa aku berprasangka demikian.” Sejenak Ki Gede berhenti, lalu,
“Tetapi
sebaiknya kita tidak usah menjadi pening karenanya.”
Kerti
menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Dengan
demikian, maka sejenak suasana dicekam oleh kesenyapan. Yang terdengar hanyalah
desir angin pada daun pucang yang bergerak-gerak, seperti sedang melambai
kepada bulan yang semakin rendah di ujung Barat. Tiba-tiba kesenyapan itu
dipecahkan oleh gonggong anjing-anjing liar di kejauhan. Ki Gede yang masih
lemah itu pun berkata,
“Apakah kalian
akan berada di sini semalam suntuk?”
“Oh,” Kerti
seolah-olah baru tersadar dari lamunannya. Terbata-bata ia menjawab,
“Tidak, Ki
Gede. Marilah, marilah kita berangkat ke induk pasukan.”
Kedua kawan
Kerti pun kemudian memapah Ki Gede. Kedua lengan Ki Gede melingkar di pundak
kedua orang itu di kedua sisinya, sedang Kerti dengan senjata terhunus berjalan
di paling depan. Mereka menyadari, bahwa perjalanan yang pendek itu adalah
perjalanan yang justru penuh dengan bahaya.
Sejenak mereka
berjalan tertatih-tatih di atas tanah berbatu cadas. Kemudian meloncati
tebing-tebing kecil, menyusup gerumbul-gerumbul liar, meninggalkan sepasang
batang pucang yang masih tegak menjulang tinggi, seolah-olah ingin meraih bulan
yang bulat di langit dengan daun-daunnya yang bergerak-gerak seperti jari
jemari yang panjang.
“Bukankah Ki
Gede tadi sore berangkat dengan naik kuda?” bertanya Kerti.
Ki Gede
mengangguk, “Ya, aku membawa seekor kuda.”
“Kami juga
membawa kuda,” berkata Kerti pula.
Mereka pun
segera berusaha menemukan kuda-kuda itu. Dengan hati-hati Ki Gede dipapah,
didudukkannya di atas kudanya.
“Aku akan
duduk di belakang Ki Gede,” berkata Kerti.
Ki Gede tidak
menjawab. Tetapi ia mengangguk pula. Dipercayakannya saja dirinya yang terluka
itu kepada pengawal-pengawalnya. Kerti pun kemudian duduk di belakang Ki Gede
Menoreh, sedang kudanya diserahkannya kepada kawannya. Diikatkannya kendali
kuda itu pada pelana kudanya sendiri, dan dengan demikian maka kuda itu akan
selalu mengikutinya. Meskipun demikian, perjalanan mereka belum berarti lepas
sama sekali dari bahaya. Di sepanjang perjalanan mereka akan dapat bertemu
dengan sepasukan lawan. Sepasukan yang besar, atau segerombol peronda yang
nganglang dari pihak Sidanti. Dengan demikian, maka mereka pun tetap berhati-hati, setiap saat mereka
harus bersiap menghadapi segala macam kemungkinan yang datang dengan tiba-tiba.
Apalagi pada saat itu, Ki Argapati sedang dalam keadaan terluka cukup parah,
sehingga tidak mungkin baginya untuk berbuat sesuatu, apabila mereka bertemu dengan
lawan. Dalam silirnya angin malam, kuda-kuda itu berjalan tidak terlampau
cepat. Menyusur jalan sempit di hutan-hutan perdu yang jarang.
“Kita harus
berusaha mencari jalan yang paling aman,” berkata Kerti,
“Kalau benar
padukuhan induk sudah tidak dapat dianggap aman, maka kita harus menuju ke
padesan yang lain.”
Argapati
mengangguk perlahan. Terdengar suaranya dalam,
“Aku sudah
menasehatkan, kalau terpaksa mereka tidak dapat menahan diri dari arus kekuatan
Sidanti, maka aku minta para keluarga mereka disingkirkan ke Patemon. Sehingga
seandainya pasukan Menoreh benar-benar terdesak, aku kira mereka pun akan menyingkir ke padesan itu pula.
“Baiklah, aku
akan melihat padesan itu lebih dahulu,” berkata salah seorang kawan Kerti.
“Jangan
sekarang. Nanti setelah kita mendekati padesan itu. Di perjalanan setiap tenaga
kami sangat diperlukan.”
Pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari, bahwa memang seharusnya ia tidak
meninggalkan rombongan kecil yang parah itu. Namun belum lagi mereka terlampau
jauh dari Pucang Kembar. Mareka mendengar derap kaki kuda dari arah depan.
Semakin lama semakin dekat, sehingga Kerti menarik kekang kudanya sambil
berdesis,
“Apakah kalian
mendengar pula?”
“Derap
kaki-kaki kuda.”
“Ya. Derap itu
menuju ke arah ini.”
Wajah Kerti
dan kawan-kawannya segera menjadi tegang. Sejenak mereka saling berpandangan.
Namun mereka tidak segera berbuat sesuatu.
“Kita
menyingkir dahulu,” terdengar suara Ki Argapati lambat, “kita bersembunyi di
belakang semak-semak.”
“Oh,”
seolah-olah Kerti baru sadar dari angan-angannya. Tanpa menunggu lagi dibawanya
kudanya masuk ke belakang semak-semak yang agak rimbun. Demikian pula kedua
kawannya pun bersembunyi di balik
dedaunan.
Tetapi Kerti
segera meloncat dari kudanya sambil berkata lirih,
“Aku ingin
melihat, siapakah mereka itu Ki Gede.”
“Hati-hatilah.”
Kerti
mengangguk sambil berjalan tergesa-gesa, menyusup di bawah dedaunan untuk
mengintip kuda-kuda yang akan lewat di jalan sempit di mukanya. Jalan yang baru
saja ditelusuri pula.
Semakin dekat,
maka tampaklah kuda-kuda itu semakin jelas bersama penunggangnya. Tiga ekor
kuda. Kerti menahan nafasnya ketika kuda-kuda itu menjadi semakin dekat.
Semakin jelas olehnya, siapakah yang berada di punggung kuda itu hatinya
menjadi semakin berdebar-debar.
“Benarkah
mereka itu?”
Ketika kuda
itu beberapa langkah lagi lewat di depannya, maka tiba-tiba Kerti pun segera
meloncat dari dalam gerumbul, dan berdiri tegak di tepi jalan sambil memamggil,
“He, berhenti.
Berhenti!”
Orang-orang
berkuda itu terkejut. Seekor di antara mereka telah mendahului. Mendengar
teriakan itu segera kuda itu berhenti sambil meringkik, kemudian dengan
tangkasnya berputar menghadap ke arah Kerti. Sedang dua ekor yang lain, yang
masih belum melampaui Kerti segera berhenti. Demikian tegang penunggangnya
menarik kekang kuda itu, sehingga kuda-kuda itu terlonjak berdiri.
Setelah
kuda-kuda itu agak tenang, maka bertanyalah Kerti,
“Kemanakah
kalian akan pergi?”
Ketiga orang
itu hampir bersamaan menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang dari mareka
berkata,
“Kau
mengejutkan kami.”
“Aku harus
hati-hati. Aku tidak menyangka, bahwa kalian akan datang kemari.”
“Kami datang
menyusul Ki Argapati.”
“Kenapa?
Bukankah Ki Argapati berpesan bahwa tidak seorang pun boleh ikut campur dalam persoalan pribadinya?”
“Kami tidak
akan mencampuri persoalannya. Tetapi apabila Ki Gede sudah selesai, maka aku
akan memberitahukan, bahwa pasukan Menoreh terpaksa ditarik dari padukuhan
induk.”
Kerti menarik
nafas dalam-dalam. Katanya dalam nada yang rendah,
“Ki Gede sudah
menduga. Suara tanda yang mencemaskan terdengar dari bawah Pucang Kembar.”
“Darimana kau
tahu bahwa Ki Gede sudah menduga? Apakah kau sudah menemuinya?”
Kerti
mengangguk. Katanya,
“Ki Gede
sekarang ada di sini. Dadanya terluka agak parah.”
“He,” ketiga
orang itu terperanjat mendengar berita yang tidak terduga-duga itu.
Justru karena
itu mereka terdiam. Tetapi sorot mata mereka seakan-akan tidak mempercayai
berita itu. Ki Argapati tidak boleh terluka. Ki Argapati tidak akan dapat
dilukai oleh siapa pun. Kerti melihat kebimbangan pada sorot mata itu, sehingga
ia perlu menjelaskan,
“Ki Argapati
memang terluka.”
Pengawal yang
datang bertiga di atas punggung kuda itu saling berpandangan sejenak, kemudian
salah seorang dari mereka bertanya dengan nada penuh kebimbangan,
“Apakah kau
berkata sebenarnya?”
“Aku berkata
sebenarnya.”
“Kalau kau
berkata sebenarnya, siapakah yang melukainya?”
“Ki Tambak
Wedi.”
“He,”
wajah-wajah itu pun segera menjadi tegang,
“apakah Ki
Argapati tidak dapat menyamai kelebihan Ki Tambak Wedi?”
“Bukan begitu.
Tetapi bukan saat kini kita bercerita.”
Kalau kau
mengenal jalan yang paling baik, marilah kita segera pergi ke induk pasukan
yang telah ditarik itu.”
“Oh, baiklah.”
“Tunggu, aku
akan memanggil Ki Gede.”
Kerti pun kemudian meloncat hilang di balik
gerumbul, untuk memberitahukan kehadiran ketiga pengawal Tanah Perdikan yang
telah beruaha menghubungi Ki Gede untuk melaporkan keadaan pasukannya.
Sejenak
kemudian Ki Gede yang terluka itu pun
muncul pula dari balik gerumbul di atas punggung kuda bersama Kerti yang
menjaganya. Kehadirannya benar-benar telah membuat ketiga pengawal yang baru
datang itu menjadi berdebar-debar. Ternyata bahwa Ki Gede Menoreh benar-benar
terluka di dadanya.
“Marilah,
berjalanlah di depan. Jangan terlampau cepat,” barkata Kerti kepada ketiga
pengawal itu.
Salah seorang
dari mereka agaknya masih ingin bertanya, tetapi Kerti mendahuluinya,
“Jangan
terlampau banyak bertanya. Kita harus segera meninggalkan tempat ini sebelum Ki
Tambak Wedi kembali dengan membawa prajurit segelar sepapan.”
“Oh,” orang
itu mengurungkan niatnya, “marilah.”
Ketiganya
segera mendahului berjalan di depan. Kemudian Kerti yang sedang menjaga Ki Gede
yang masih terlampau lemah. Di belakang mereka adalah kedua kawan-kawan Kerti
yang telah ikut berkelahi melawan orang-orang Ki Tambak Wedi. Perjalanan itu
adalah perjalanan yang tegang. Setiap saat mereka harus bersiap menghadapi
segala macam kemungkinan. Dalam keadaan itu, bagi Menoreh, tidak ada lagi batas
yang dapat digoreskan, yang akan memisahkan daerah kekuasaan pasukan Sidanti
dan daerah kekuasaan pasukau Samekta. Keduanya mungkin berada di segala tempat,
dan keduanya mungkin merondai segala jalan di telatah Tanah Perdikan Menoreh.
Sehingga dengan demikian, maka sukarlah bagi siapa pun untuk dapat segera mengenal kawan atau
lawan apabila mereka bertemu di perjalanan.
“Kita
melingkari padukuhan Sampit,” berkata sahah seorang dari ketiga orang yang
berkuda di depan.
“Kemana kita
akan pergi?” terdenger suara Ki Argapati.
“Kita akan
pergi ke Karang Sari, Ki Gede. Dan kita harus melingkari padukuhan Supit,
supaya kita berjalan dekat dengan daerah Wurawari.”
“Kenapa kita
memilih jalan Wurawari?” bertanya Kerti.
Ketiga orang
yang berkuda di depan itu tidak ada yang segera menjawab. Bahkan mereka sejenak
saling berpandangan.
“Kenapa?”
desak Kerli.
Belum
seorang pun yang menjawab.
Ternyata
kediaman mereka telah menimbulkan kecurigaan pada Kerti, sehingga ia mendesak
lebih keras lagi,
“Kenapa, he?
Apakah ada rahasia yang harus kalian sembunyikan?”
“Tidak. Tidak
sama sekali. Tetapi aku ragu-ragu apakah beritaku tidak akan mengejutkan.
Terutama bagi Ki Gede.”
“Bodoh kau,”
bentak Kerti.
“Kepada siapa
kau akan menyampaikan semua persoalan kalau tidak kepada Ki Gede?”
“Tetapi Ki
Gede sedang terluka,”
“Apa bedanya?”
Tetapi ketiga
orang itu masih tetap ragu-ragu. Meskipun mereka tidak berpaling, namun tampak
bahwa mereka menjadi gelisah.
“Katakanlah,” desis
Ki Gede Menoreh kemudian,
“apa pun yang akan kau katakan, aku akan
mendengarkannya. Aku tidak boleh terpengaruh oleh keadaan apa pun. Adalah
kewajibanku untuk mendengar semua persoalan. Yang baik, dan yang menyulitkan
sekalipun.”
Salah seorang
dari ketiga pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya wajah
kedua kawannya berganti-ganti. Tetapi yang dilihatnya wajah-wajah itu masih
tetap memancarkan kebimbangan hati.
“Katakanlah,”
desak Ki Gede dalam nada datar.
“Baiklah, Ki
Gede. Tetapi perkenankan aku menyampaikan penyesalan yang sedalam-dalamnya dari
kakang Samekta, Wrahasta, dan para pengawal seluruhnya.”
“Ya, ya.”
“Pandan Wangi
belum tampak di antara para prajurit yang mengundurkan diri.”
“He?”
Betapapun juga terasa sesuatu menghentak di dada Ki Gede Menoreh. Ia tidak akan
terkejut dan apalagi bingung seandainya ia mendengar berita bahwa rumahnya
telah menjadi karang abang, karena dibakar oleh Sidanti. Ia tidak akan
tersentak sehingga nafasnya serasa terhenti, kalau ia mendengar bahwa seluruh
padukuhan induk telah diduduki oleh Ki Tambak Wedi. Tetapi berita yang didengarnya
ini adalah, bahwa Pandan Wangi belum ada di antara para pengawal yang
mngundurkan diri.
“Di manakah
anak itu agaknya,” terdengar suara Ki Argapati dalam nada yang dalam.
“Karena itulah
maka aku mencarinya kemari,” sahut Kerti.
“Oh, kau
keliru,” potong salah seorang dari ketiga orang berkuda itu.
“Pandan Wangi
ternyata telah menemui Kakang Samekta, bahkan ikut bertempur di medan sebelah
Barat. Kemudian Kakang Samekta meninggalkannya karena ia harus pergi ke medan
yang baru. Ketika pasukan itu mundur, Pandan Wangi tidak ada di antara mereka.”
Kecemasan yang
dalam telah tergores di dinding hati Ki Argapati. Pandan Wangi adalah
satu-satunya keturunan yang diharapkannya dapat menyambung namanya kelak,
setelah ternyata Sidanti tidak dapat diharapkannya lagi. Tetapi ternyata bahwa
gadis itu hilang di peperangan.
“Kenapa gadis
itu dapat terlepas sehingga ia sendiri terjun di dalam peperangan?” terdengar
suara Ki Argapati datar.
Meskipun Ki
Argapati seolah-olah hanya bergumam kepada diri sendiri, namun kata-kata itu
telah membuat Kerti tertunduk sambil berdesah,
“Aku minta
maaf Ki Gede. Bagaimana kami di rumah mencoba menahannya. Tetapi tiba-tiba saja
ia telah lenyap.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya lemah,
“Ya. Tidak
seorang pun dapat dipersalahkan. Anak
itu mempunyai kaki untuk melangkah dan mempunyai kehendak untuk mendorong
kakinya itu. Anak itu memang keras kepala.”
Kerti tidak
menjawab lagi. Meskipun Ki Gede tidak langsung menyalahkannya, namun ia adalah
salah seorang yang diserahi untuk mengawasi anak itu. Dan ternyata anak itu
kini hilang.
Tetapi Ki
Argapati menjadi semakin terperanjat ketika orang yang menyusulnya itu berkata,
“Beberapa
orang melihat, Pandan Wangi terlibat dalam pertempuran melawan, Ki Peda Sura.
Ketika pasukannya mundur, ia tertahan. Maksudnya dapat jelas kami tangkap,
melindungi kami yang mundur dari senjata Peda Sura yang ganas itu. tetapi
akhirnya, ia sendiri terpisah dari pasukannya.”
“Jadi Pandan
Wangi bertempur melawan Ki Peda Sura?” bertanya Argapati yang menjadi semakin
cemas.
“Ya, Ki Gede.”
“Seorang
melawan seorang?”
“Ya, Ki Gede.”
“Oh,” Ki
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya terdengar kata-kata dari
sela-sela bibirnya.
“Hanya
kekuasaan Tuhan saja yang akan dapat melepaskannya. Peda Sura belum akan dapat
dilawannya. Meskipun ia mempunyai bekal yang cukup namun pengalaman setan itu
jauh lebih banyak dan luas. Ia tidak mempunyai batas bagi perbuatannya. Apa pun
dapat dilakukannya untuk mencapai tujuannya.”
Para pengawal
yang mendengar kata-kata itu pun menjadi
semakin cemas pula. Tidak seorang pun
yang dapat membayangkan, apa yang telah terjadi dengan Pandan Wangi. Dan
tiba-tiba saja mereka terperanjat ketika Ki Gede beekata,
“Kita pergi ke
bekas pertempuran itu. Aku ingin melihat sendiri, apakah yang sudah terjadi.”
Dada Kerti
menjadi berdebar-debar. Betapapun ia merasa bersalah, namun diberanikan dirinya
berkata,
“Ki Gede.
Bukankah tempat itu masih terlampau berbahaya?”
“Ya, sangat
berbahaya,” sahut salah seorang dari ketiga pengawal yang menjemputnya.
“Peda Sura
agaknya meninggalkan sekelompok orangnya di sekitar bekas pertempuran itu.”
“Apa pun yang
akan terjadi aku akan melihat,” kata-kata Argapati tiba-tiba menjadi tajam.
“Aku ingin
melihat, apakah aku dapat menemukan mayat anakku. Kalau tidak maka ia pasti
dibawa oleh Peda Sura. Jika demikian, maka Pandan Waugi akan mengalami
penderitaan yang mengerikan.” Ki Gede berhenti sejenak. Lalu terdengar ia
menggeram,
“Kalau
demikian halnya, maka aku sendiri akan memimpin langsung pasukan Menoreh yang
ada untuk merebut kembali semua kedudukan. Aku harus menemukan Pandan Wangi
dalam segala kadaan dan menemukan kembali keutuhan Tanah Perdikan Menoreh,
meskipun kini sudah tersayat-sayat.”
Dada Kerti
berdesir mendengar kata-kata itu. Ki Gede adalah seorang yang keras hati.
Hampir setiap kata-katanya dilakukannya dengan baik. Karena itu maka dengan
hati-hati ia berkata,
“Tetapi
bukankah Ki Gede kini sedang terluka?”
“Lukaku tidak
seberapa. Aku sudah sembuh dan aku berterima kasih kepada orang bercambuk itu.”
“Tetapi,” Kerti
masih mencoba menahannya,
“apabila Ki
Gede langsung terjun di peperangan maka luka itu akan berbahaya.”
“Jadi
maksudmu, aku baiknya tidur di pembaringan, sedang anakku dan seluruh Tanah
Perdikan Menoreh sedang dibakar oleh api kedengkian, nafsu dan pamrih yang
melonjak-lonjak?” suara Ki Gede menjadi semakin keras, dan bahkan hampir
berteriak.
Kerti menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi kecemasan yang merambat di dadanya menjadi semakin
dalam tergores di dinding jantungnya. Ki Gede sudah mulai menentukan sikap.
Jika demikian, maka sulitlah baginya, dan bagi siapa pun untuk mengurungkannya. Kerti adalah
seorang yang sudah cukup lama berada di samping Ki Gede. Ia tahu benar sifatnya
dan tabiatnya. Namun pengetahuannya tentang watak Ki Gede itulah yang kini
membuatnya bingung dan tidak menentu.
“Cepat!”
tiba-tiba Ki Gede berteriak. “Pacu kuda ini.”
“Oh,” Kerti
berdesah.
“Cepat, kau
dengar?”
“Baiklah, Ki
Gede.”
Kerti Tidak
dapat berbuat lain kecuali mempercepat langkah kudanya. Dengan demikian maka yang
lain pun menjadi semakin cepat pula.
“Kita tidak
hanya sekedar lewat di daerah Wura-wari. Tetapi kita akan singgah di padesan
itu. Bukankah maksudmu, pertempuran berlangsung di daerah itu? Bukankah
begitu?” berkata Ki Gede kepada ketiga pengawalnya yang berkuda di depan.
“Ya, Ki Gede,”
jawbab salah seorang dari mereka,
“tetapi tempat
itu benar-benar berbahaya. Kalau kita lewat di sekitarnya, mungkin kita akan
mendapat bahan untuk mengetahui di mana Pandan Wangi berada. Tetapi kalau kita
langsung masuk ke daerah Wura-wari dalam keadaan serupa ini, maka kita telah
kehilangan perhitungan.”
“Persetan,”
sahut Argapati,
“aku sendiri
akan melihat daerah itu. Aku bukan seorang yang terlampau bodoh dan tidak
mempunyai perhitungan. Tetapi aku akan melihat bekas pertempuran.”
“Ki Gede,”
suara Kerti merendah,
“bagaimana
mungkin Ki Gede akan melakukannya? Baiklah, aku dengan kedua kawanku inilah
yang melihatnya. Kami dapat mempergunakan cara apa pun, sambil bersembunyi atau
merangkak di antara tumbuh-tumbuhan. Tetapi kami tidak sedang terluka seperti
Ki Gede saat ini.”
Terdengar Ki
Gede Menoreh menggeretakkan giginya. Seakan-akan ia sama sekali tidak mendengar
kata-kata Kerti itu. Bahkan ia berkata dengan lantangnya,
“Kalau perlu
aku akan masuk ke padesan yang sudah diduduki pasukan Sidanti. Aku ingin tahu
dengan pasti, apakah yang sudah terjadi dengan Pandan Wangi.”
Kerti menarik
nafas dalam-dalam. Tubuh Ki Gede Menoreh masih terlampau lemah. Hanya
kadang-kadang saja ia menghentakkan dirinya, namun kemujan ia tersandar kembali
ke dada Kerti yang duduk di belakangnya.
“Jangan
terlampau banyak bergerak Ki Gede. Aku takut kalau luka itu kembali berdarah
lagi,” berkata Kerti kemudian.
Ki Gede tidak
menjawab. Tatapan matanya jauh menembus kabut malam yang keputih-putihan di
bawah sinar bulan yang sedang purnama. Setitik embun jatuh dari dahan di atas
mereka. Dingin. Namun betapa hangatnya dada Kerti yang gelisah itu. Kalau
benar-benar Ki Gede kehilangan pengamatan diri karena hilangnya Pandan Wangi,
maka keadaan akan menjadi semakin sulit. Kalau terjadi sesuatu atas Ki Gede,
maka pasukan Menoreh akan kehilangan induknya, seperti sapu lisi kehilangan
suhnya. Mawut bertebaran terserak-serak di halaman.
Ketika mereka
telah melampaui bulak di sebelah padukuhan Supit yang kecil, hati Kerti menjadi
semakin berdebar-debar. Sebentar lagi mereka akan sampai ke pategalan,
berseberangan dengan padukuhan kecil tempat pasukan Samekta menunggu gerombolan
Ki Peda Sura.
Tiba-tiba
ketiga pengawal yang berkuda di depan merapat dan saling berbisik,
“Kita bawa Ki
Gede ke pategalan. Bekas pertempuran di pategalan itu sajalah yang kita
tunjukkan kepadanya supaya ia tidak mendekat ke padesan di sebelah. Aku yakin
bahwa di padesan itu pasti dijaga oleh pasukan Sidanti.”
“Ya,” jawab
yang lain,
“dengan
demikian pasti akan lebih aman bagi Ki Gede.”
Mereka
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan dengan demikian maka mereka agak
menjadi tenteram. Karena mereka tahu, bahwa Ki Argapati benar sedang dalam
keadaan parah. Karena itu, ketika mereka sampai ke simpang tiga yang menuju ke
pategalan yang agak rimbun itu, ketiga pengawal yang berada di depan itu pun berbelok.
“He, kenapa
mereka berbelok,” bertanya Ki Gede.
“Tunggu,”
teriak Kerti.
Ketiga
pengawal itu pun segera menarik kekang
kuda mereka. Salah seorang dari mereka berpaling sambil meletakkan jari
telunjuknya di depan mulut,
“Sst, di
padesan itu sedang berjaga-jaga pasukan Sidanti,” desis salah seorang dari
mereka setelah Kerti mendekat.
“Tetapi kenapa
kalian berbelok kemari?” bertanya Ki Argapati.
“Bukankah kita
masih harus maju lagi untuk mencapai Wura-wari?”
“Pertempuran
itu terjadi di pategalan itu Ki Gede,” jawab salah seorang dari mereka.
Ki Gede
mengerutkan keningnya. Namun ia menggeram, “Aku ingin melihat.”
Mereka pun kemudian meneruskan perjalanan itu.
Ketika mereka sampai di ujung pategalan, maka mereka pun segera berhenti. Satu-satu mereka turun
dari kuda mereka dengan penuh kewaspadaan. Tangan-tangan mereka telah melekat
di hulu pedang masing-masing. Dengan hati-hati Kerti menolong Ki Gede turun
dari kudanya dan memapahnya berjalan perlahan-lahan memasuki pategalan yang
sunyi itu. Sementara itu, seorang dari mereka berdiri di luar pategalan untuk
mengawasi kuda-kuda mereka. Demikian mereka memasuki pategalan itu, maka segera
Ki Gede menggeram. Ketiga pengawal itu tidak menipunya. Ki Gede masih sempat
melihat bekas pertempuran. Bahkan masih dilihatnya beberapa sosok mayat yang
terbaring di tanah. Mayat-mayat itu akan tinggal di tempatnya sampai besok.
Kalau orang-orang Sidanti di padukuhan sebelah sempat, maka mayat-mayat itu
baru akan dikuburkan.
“Hem,” Ki Gede
berdesah, “perang yang kisruh.”
“Ya, Ki Gede,
perang brubuh.”
Ki Gede tidak
menyahut. Perlahan-lahan sambil berpegangan leher Kerti ia melangkah maju
semakin dalam. Dilihatnya bekas peperangan itu dengan tegangnya. Hampir setiap
mayat yang dijumpainya ditatapnya dengan tajamnya dan bahkan kadang-kadang
diamatinya dengan seksama. Kadang-kadang memang dijumpainya mayat-mayat orang
yang pernah dikenalnya, Pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Apakah
pasukan Peda Sura telah membersihkan medan ini dengan mengambil mayat
kawan-kawannya dan mereka yang terluka parah?” bertanya Ki Gede Menoreh.
“Aku kira
belum, Ki Gede. Mayat masih banyak berserakan. Kalau Ki Gede sempat
memperhatikan seluruh bekas medan ini.”
Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Menilik
korban yang jatuh, seharusnya pasukan Menoreh tidak dapat terdesak mundur.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar