Jilid 038 Halaman 1


TETAPI Ki Tambak Wedi tidak dapat menyembunyikan kenyataan yang terjadi. Kedua kawannya menjadi semakin terdesak dan teka-teki yang meliputi benaknya tentang pasukan kecilnya yang seolah-olah hilang dihembus angin prahara. Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu. Kalau ia memaksa diri untuk menundukkan Argapati yang telah terluka itu, maka apakah yang terjadi bukan sebaliknya? Yang mengejarnya kini adalah pertanyaan tentang pasukan kecilnya. Bahkan kemudian ia mengambil kesimpulan,
“Pasti ada seseorang yang dengan rahasia membantu Argapati. Mungkin seorang atau dua orang, tetapi mungkin sepasukan. Kalau mereka kemudian datang mengepung aku, maka keadaan akan menjadi sulit. Apalagi kalau mereka berhasil menangkap aku, maka kemenangan yang didapat Sidanti akan buyar tanpa arti.”
Akhirnya, Ki Tambak Wedi terpaksa mengambil keputusan yang betapapun sakitnya. Ia terpaksa melepaskan tekadnya yang bulat untuk membunuh Argapati. Meskipun dendam yang terungkat kembali sejak beberapa puluh tahun yang lampau masih tetap menyala di dalam hatinya, tetapi ia tidak boleh kehilangan akal. Ia tidak boleh terjerumus dalam kesulitan didorong oleh perasaannya. Bagaimanapun juga, ia harus tetap sadar dan mempergunakan nalarnya. Karena itu, maka Ki Tambak Wedi itu pun mengambil suatu keputusan yang tidak diduga-duga sebelumnya. Melarikan diri.
Betapa liciknya orang itu, ketika tiba-tiba saja ia meloncat mundur. Seleret sinar yang hitam mengkilat meluncur ke dada Argapati. Untunglah, bahwa meskipun Argapati telah terluka, tetapi ia masih memiliki kelincahan bergerak, sehingga ia masih mampu menggerakkan tombaknya, menghantam sinar yang terbang seperti petir di udara. Terdengar suara berdentum, disusul oleh gemerincingnya sebuah gelang-gelang yang jatuh di atas batu-batu cadas. Namun Ki Tambak Wedi mampu memanfaatkan saat yang pendek itu. Selagi perhatian Argapati terpusat kepada gelang-gelangnya yang terbang menyambar dada, maka saat itu dipergunakannya sebaik-baiknya. Dengan cepatnya, hampir secepat gelang-gelangnya ia melompat dan berlari meninggalkan gelanggang. Kedua kawan-kawannya terkejut melihat Ki Tambak Wedi tiba-tiba saja meninggalkan gelanggang. Sejenak mereka kehilangan akal, dan karena itulah, maka perlawanan mereka menjadi semakin lemah. Sebelum mereka menyadari apa yang terjadi, maka sebuah sengatan yang nyeri telah menggetarkan jantungnya. Sesaat mereka menyadari, bahwa hampir bersamaan mereka telah terluka. Tetapi mereka tidak kuasa lagi untuk melawan. Para pengawal dari Menoreh itu dapat mempergunakan keadaan sebaik-baiknya. Yang terjadi kemudian adalah terlampau mengerikan. Kedua orang itu hampir bersamaan pula memekik tinggi, ketika dada mereka sekali lagi disobek oleh ujung senjata lawan. Dan hampir bersamaan pula mereka terhuyung-huyung, dan selanjutnya jatuh tersungkur di tanah.

Argapati masih berdiri di sisi sepasang Pucang Kembar sambil menggenggam tombaknya. Debar di dadanya masih menghentak-hentak, serasa akan meledakkan jantung. Kemarahan, kebencian, dan dendam menyala-nyala di hatinya. Tetapi ia tidak berdaya untuk melepaskan, karena Ki Tambak Wedi telah hilang dari pandangan matanya menyusup ke dalam rimbunnya dedaunan. Dorongan perasaannya ingin membawanya untuk mengejar orang tua yang telah terlampau banyak menyakitkan hatinya itu. Bukan baru kemarin atau kemarin dulu, bukan baru sepekan dua pekan, tetapi sejak berpuluh tahun yang lampau, sepanjang umur Sidanti itu sendiri. Tetapi pengalaman dan kematangan telah mengekangnya. Ia menyadari bahaya yang tersembunyi di balik rerungkudan itu. Gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi meluncur terlampau cepat mengarah ke sasarannya. Bahaya itu tidak boleh diabaikan, sehingga Betapapun nafsunya melonjak-lonjak, tetapi ia tidak mengejar setan tua yang licik itu. Ketika ia melihat dua orang temannya Ki Tambak Wedi tersungkur di tanah, hatinya berdesir. Demikian liciknya orang itu, sehingga kawannya sendiri  pun telah dikorbankannya. Ia sadar, ketika melihat Kerti dan kedua kawannya mendekatinya. Dengan nada rendah Kerti bertanya,
“Ki Gede terluka?”
Baru pada saat itulah, seolah-olah pembuluh darah Ki Argapati dijalari oleh perasaan pedih dan nyeri dari dadanya. Selama ia berkelahi, ia sama sekali tidak merasa, betapa pedihnya luka di dadanya itu. Namun ketika lawannya telah hilang, maka perasaan sakit itu tiba-tiba saja tumbuh dan mencekamnya.
Perlahan-lahan Ki Argapati mengangguk, “Ya, aku terluka.”
Kerti melihat darah meleleh dari luka di dada itu mewarnai baju, ikat pinggang kulit, dan kain panjangnya.
“Luka itu cukup parah, Ki Gede,” desis salah seorang kawan Kerti.
Ki Gede Menoreh tidak menjawab. Kelelahan dan darah yang mengalir membuatnya menjadi terlampau lemah. Tiba-tiba saja ia terhuyung-huyung dan terpaksa berpegangan pada tangkai tombaknya.
“Ki Gede,” Kerti terkejut
“Aku memerlukan pertolonganmu, Kerti,” desis Ki Gede.
Dengan tergesa-gesa Kerti menghampirinya. Tangan Ki Gede yang gemetar segera melingkar di leher Kerti sambil bergumam lirih,
“Aku terlampau bernafsu melawan Tambak Wedi, sehingga aku melupakan luka di dada ini. Apakah kau mempunyai sesuatu yang dapat menahan arus darahku ini?”
“Ya, ya Ki Gede. Aku selalu membawanya di dalam peperangan,” sahut Kerti.
Ki Gede Menoreh itu segera dipapahnya menepi, dan didudukkannya di atas rerumputan. Dari kantong ikat pinggang kulitnya, Kerti mengambil seberkas reramuan kering yang kemudian dikunyahnya. Dengan obat itulah ia mencoba menahan arus darah dari luka Ki Gede Menoreh. Tetapi luka itu cukup parah dan darah yang mengalir agak deras sehingga obat itu tidak terlampau banyak dapat menolongnya. Karena itu, maka dada Kerti  pun menjadi berdebar. Darah masih saja mengalir, dan Ki Argapati menjadi semakin lemah karenanya. Ki Argapati sendiri  pun menyadari keadaannya. Karena itu, maka ia berusaha untuk tidak bergerak-gerak lagi, supaya darahnya tidak semakin banyak mengalir dari lukanya. Perlahan-lahan terdengar Argapati berdesis,
“Bagaimana Kerti, apakah obatmu dapat berpengaruh atas aliran darah luka itu?”
Kerti menjadi agak ragu-ragu menentramkan hati Argapati, ia menjawab,
“Ya, Ki Gede. Agaknya obat itu akan dapat menolong sekedarnya.”

Tetapi Ki Gede tidak dapat dihiburnya dengan cara itu. Terdengar suara tertawanya perlahan sekali. Katanya,
“Agaknya obatmu kurang baik, Kerti. Tetapi itu bukan salahmu. Kau sudah berusaha. Kalau usaha itu tidak berhasil, maka kita sudah tidak dapat dipersalahkan lagi.”
“Tetapi obat itu berpengaruh juga, Ki Gede.”
“Sedikit sekali. Tetapi baiklah. Cobalah obatmu itu terus.”
Kerti pun mengunyah obat-obat itu semakin banyak. Semua persedian yang ada padanya. Kemudian diusapkannya pada luka Ki Argapati. Namun meskipun demikian, darah Ki Argapati masih saja mengalir dari lukanya. Pengaruh obat itu ternyata hanya kecil sekali. Sehingga dengan demikian, Kerti dan kedua kawannya  pun menjadi cemas.
“Sebaiknya Ki Gede segera kembali.”
Argapati yang lemah itu menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan sekali ia bertanya,
“Kemana aku harus kembali, Kerti?”
Kerti terdiam sejenak. Ia telah mendengar pula tanda-tanda yang kurang menyenangkan, dan mereka yang berada di bawah Pucang Kembar itu tidak tahu, apakah yang sebenarnya terjadi di padukuhan induk Menoreh.
“Mungkin aku sudah tidak akan dapat melihat rumah itu lagi,” desis Argapati.
“Tidak, Ki Gede. Kita akan kembali pada suatu saat, seandainya kali ini kita tidak dapat bertahan. Tetapi kita sudah menentukan tempat yang baik bagi pasukan kita, apabila kita terpaksa mengundurkan diri. Bukankah pesan Ki Gede berbunyi demikian, meskipun saat itu kita sama sekali tidak pernah membayangkan, bahwa kita akan mengalami bencana ini?”
Ki Gede tidak menjawab. Diangkatnya wajahnya yang pucat. Ditatapnya daun pucang yang bergerak-gerak ditiup angin.
“Pohon ini sudah jauh berubah,” desisnya di dalam hati,
“kini daunnya sudah semakin jarang, dan batangnya  pun pasti akan segera rapuh. Beberapa puluh tahun yang lampau, sepasang pucang itu tampak tegak perkasa, seolah-olah tidak akan pernah mengalami hari-hari tuanya dan yang kemudian akan lenyap untuk seterusnya.
Sekali lagi Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dikenangkannya masa-masa mudanya. Dengan penuh dendam ia berperang tanding di bawah pucang itu. Tetapi ia masih muda. Kini ia menjadi semakin tua, seperti sepasang batang pucang itu pula.
Ki Gede itu berpaling, ketika ia mendengar Kerti berkata,
“Marilah, Ki Gede. Kita berusaha untuk menemukan pasukan Menoreh di mana pun berada. Kita akan melihat, apakah mereka masih berada di padukuhan induk atau tidak, dan kita akan mencari di mana mereka mengundurkan diri seandainya mereka terpaksa terdesak.”
“Tanda-tanda yang aku dengar agaknya tidak menyenangkan.”
Kerti menganggukkan kepalanya. Ia  pun sadar akan hal itu. Tetapi ia berkata,
“Kita masih harus meyakinkan. Mungkin pasukan Menoreh terdesak, tetapi kemungkinan untuk menemukan keseimbangannya kembali dapat saja terjadi.”
Argapati mengangguk. Tetapi ia berkata,
“Aku sudah lemah sekali. Kalau darah ini tidak segera dapat dihentikan, maka aku akan kehabisan. Kau tahu, akibat dari seseorang yang kehabisan darah.”
“Ya, Ki Gede. Tetapi kita juga tidak dapat tinggal di sini terus-menerus tanpa berbuat sesuatu.”
“Terserah kepadamu, Kerti.”

Kerti mengerutkan keningnya. Dipandanginya kedua kawannya berganti-ganti. Ia menyadari, bahwa membawa Ki Gede itu sama sekali bukan tugas yang ringan. Sepanjang jalan mungkin akan ditemuinya orang-orang Sidanti, atau bahkan Ki Tambak Wedi. Apalagi mereka bertemu dengan Ki Tambak Wedi, sedang Ki Gede berada dalam keadaan demikian, maka yang akan terjadi sudah dapat dibayangkannya.
“Tetapi kita harus berusaha,” namun kata-kata itu tidak terucap.
Kedua kawannya agaknya dapat mengerti perasaan yang berada di dalam dada Kerti. Salah seorang dari mereka berkata,
“Marilah. Kita harus segera secepatnya.”
Serentak mereka bergeser maju. Mereka akan mengangkat Ki Gede dan membawanya mencari pasukan Menoreh. Tetapi salah seorang dari mereka bertiga harus bebas, sehingga apabila datang bahaya setiap saat, maka seorang yang bebas itu akan dapat berbuat lebih dahulu untuk melindungi kawan-kawannya yang lain, dan terutama Ki Gede yang sedang terluka itu.
“Biarlah kami berdua yang mengangkatnya,” berkata salah seorang dari mereka kepada Kerti.
“Kau berjalan di depan. Kau harus berusaha melindungi kami.”
Kerti mengangguk. “Baiklah,” jawabnya.
Tetapi sebelum mereka menyentuh Ki Gede Menoreh, yang menjadi semakin lemah itu, tiba-tiba seperti disengat lebah mereka serentak meloncat berdiri. Senjata-senjata mereka segera siap di tangan untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Dalam cahaya bulan yang kekuning-kungingan, mereka melihat sesosok tubuh di dalam bayangan dedaunan. Selangkah-selangkah ia maju, semakin lama semakin nyata. Kerti dan kedua kawannya menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja mereka merenggang. Setapak, Kerti melangkah maju. Dari mulutnya terdengar pertanyaan,
“Siapa kau?”
Orang yang baru datang itu tertegun. Tetapi tidak segera terdengar jawaban dari mulutnya.
Wajah Kerti dan kedua kawan-kawannya menjadi semakin tegang. Mereka berdiri tegak, membelakangi Ki Argapati yang menjadi semakin lemah dan berbaring di atas rerumputan. Dengan senjata di tangan masing-masing, mereka siap menghadapi setiap kemungkinan.
Setapak lagi Kerti melangkah maju sambil kertanya, “Siapa kau?”
Orang itu  pun maju selangkah pula. Tetapi Kerti masih belum dapat memandang wajah orang itu dengan jelas dalam keremangan cahaya bulan yang semakin rendah di ujung Barat.
“Siapa kau, dan apa maksudmu?” pertanyaan Kerti menjadi semakin keras.
“Namaku Gupala,” jawab orang itu.
Kerti dan kedua kawannya mengerutkan kening mereka. Mereka belum pernah mendengar nama itu. Karena itu, ingatan mereka segera hinggap kepada orang-orang liar yang telah membantu Ki Tambak Wedi berkelahi melawan Ki Argapati.
“Apakah ia termasuk salah seorang dari mereka, atau justru orang yang khusus mendapat tugas dari Ki Tambak Wedi?” Pertanyaan itu telah mengetuk dada ketiga orang itu.
“Apakah maksudmu, kau belum menjawab?” desak Kerti.

Orang itu menghela nafas. Setapak ia maju. Kerti dan kawan-kawannya menjadi semakin bersiaga. Tetapi ternyata orang yang datang itu sama sekali tidak membawa senjata. Seandainya ia kehilangan pedangnya, maka pasti masih membawa wrangkanya di lambungnya. Tetapi orang itu sama sekali tidak berkesan, bahwa ia bersenjata.
“Maafkan,” berkata orang itu, “aku membawa sesuatu untuk Ki Gede Menoreh”
Dada Kerti dan kedua kawannya berdesir. Bahkan jawaban yang didengar pula oleh Ki Gede Menoreh yang terluka, telah sangat menarik perhatiannya.
“Obat. Obat untuk mengobati lukanya.”
“Apakah yang kau bawa?” bertanya Kerti.
Jawaban itu telah membuat mereka yang mendengarnya terkejut. Orang itu sama sekali belum dikenalnya. Dalam keadaan itu, tiba-tiba ia datang menawarkan obat untuk menyembuhkan luka-luka di dada Ki Argapati.
Itulah sebabnya, maka kecurigaan Kerti menjadi semakin meningkat. Tiba-tiba saja ia tidak mau memperpanjang waktu lagi, karena ia tahu, bahwa luka Ki Gede benar-benar harus segera mendapat perawatan. Maka katanya,
“Sebutkan orang yang menyuruhmu datang dengan membawa racun itu. Jangan kau sangka, bahwa kami terlampau bodoh untuk menyerahkan nyawa kami kepada orang-orang yang tidak kami kenal.
“Oh,” jawab orang itu,
“sama sekali bukan. Bukan racun. Tetapi aku membawa obat dari ayahku. Ayahku tahu benar, bawah Ki Gede sedang terluka. Itulah sebabnya, aku harus datang untuk menyerahkan obat itu kemari.”
“Siapakah ayahmu,” bertanya Kerti.
“Kiai Garit.”
Sekali lagi Kerti dan kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Nama itu  pun sama sekali belum pernah mereka dengar. Sehingga karena itu, maka Kerti berkata,
“Jangan terlampau banyak bicara. Waktuku terlampau sedikit. Sekarang aku terpaksa membawanya untuk sementara. Kalau ternyata kau benar-benar tidak bersalah aku akan melepaskanmu.”
“Apakah maksudmu,” bertanya orang itu.
“Kau terlampau mencurigakan. Karena itu, kau harus ikut kami. Jangan melawan, supaya kami tidak berbuat terlampau kasar.” Kerti  pun kemudian berpaling kepada kawan-kawannya,
“Marilah kita bawa Ki Gede ke induk pasukan. Biarlah orang ini aku bawa pula bersama kita.”
“Tunggu,” potong orang itu,
“apa pun yang akan kalian lakukan atasku, terserahlah. Tetapi aku minta obat ini dapat kalian taburkan di atas luka itu, supaya Ki Gede tidak kehabisan darah.”
“Omong kosong. Kau akan membunuh dengan cara yang sangat licik.”
“Jangan salah mengerti. Aku tidak mempunyai kepentingan apa pun untuk membunuhnya.”
“Jangan banyak bicara. Ayo, berjalanlah di depan.”

Orang itu hampir tidak mendapat kesempatan untuk menjawab, karena Kerti melangkah semakin dekat sambil mengacungkan senjatanya. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun, ketika ia mendengar Ki Gede memanggilnya perlahan-lahan,
“Bawalah orang itu kemari.”
Kerti ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian katanya,
“Baiklah, Ki Gede.” Lalu kepada orang yang menyebut dirinya bernama Gupala itu,
“Mendekatlah. Tetapi jangan membuat aku kehilangan kesabaran dan menghunjamkan pedang ini di punggungmu.”
Perlahan-lahan Gupala maju mendekati Ki Gede yang sedang terbaring. Beberapa langkah daripadanya, Kerti berdesis,
“Berdirilah di sini.”
Orang itu  pun berhenti dan kemudian duduk di atas tanah.
“Kami belum pernah mengenalmu, Ki Sanak,” berkata Argapagi lirih.
“Apakah kau dapat membuktikan, bahwa kau benar-benar bermaksud baik?”
Gupala menjadi bingung. Jawabnya berterus terang,
“Tidak, Ki Gede. Aku tidak dapat membuktikan dengan cara apa pun, kecuali apabila Ki Gede bersedia mencoba menaburkan obat ini. Akan tampak kemudian dengan cepat, bahwa darah itu akan segera berhenti”
“Dan membeku,” potong Kerti. Dengan tegangnya ia berkata,
“Jangan main-main dengan cara yang licik.” Kemudian kepada Ki Gede ia berkata,
“Marilah, Ki Gede, kita segera berjalan. Kita akan kehabisan waktu. Mungkin mereka memperpanjang waktu termasuk cara yang mereka perhitungkan pula. Karena itu, jangan hiraukan lagi orang ini.”
Ki Gede tidak segera menjawab. Dicoba untuk memperhatikan wajah orang itu. Tetapi ia memang belum pernah mengenalnya.
“Maafkan, Ki Sanak,” desis Argapati,
“dalam keadaan serupa ini, aku wajib mencurigai setiap orang yang belum aku kenal. Juga kau. Apa  pun dapat terjadi atasku dalam keadaan ini.”
“Tetapi luka itu segera memerlukan pertolongan sementara,” jawab Gupala.
“Pertolongan itu akan kami usahakan. Tetapi dengan cara yang meyakinkan,” potong Kerti.

Gupala terdiam sejenak. Agaknya ia sudah tidak mungkin lagi meyakinkan, bahwa obat yang dibawanya adalah obat yang baik, benar-benar obat yang dapat memampatkan arus darah dari luka. Kecuali dari penolakan itu, maka Gupala  pun menjadi bingung, apakah yang sebaiknya dilakukan. Kerti telah mencoba menahannya dan akan membawanya serta. Dalam kebingungan itu, ia mendengar Kerti berkata, “Ayolah, kita sudah tidak mempunyai waktu lagi. Ikutlah kami dan jangan mencoba berbuat sesuatu yang akan membahayakan dirimu sendiri.”
“Tetapi, tetapi,” sahut Gupala terputus-putus, “aku bermaksud baik, ayahku pun bermaksud baik.”
“Jangan banyak bicara lagi,” potong kawan Kerti.
Gupala menjadi ragu-ragu. Apakah sebaiknya yang dilakukannya? Dalam pada itu ia melihat kedua kawan Kerti berjongkok di samping Ki Gede Menoreh, siap untuk mengangkatnya. Sedang Kerti sendiri berdiri di sampingnya dengan penuh kewaspadaan. Namun tiba-tiba, Ki Gede yang sudah lemah itu terperanjat. Bukan saja Ki Gede, tetapi semua orang yang berada di bawah Pucang Kembar itu. Dalam keheningan malam, di sela-sela desah angin yang lembut, tiba-tiba saja terdengar suara ledakan memekakkan telinga. Ledakan cambuk yang dahsyat sekali, seperti ledakan petir yang bersabung di langit. Sejenak orang-orang yang berada di bawah Pucang Kembar itu terbungkam. Tidak seorang  pun yang tahu, apakah yang sedang mereka hadapi. Namun perlahan-lahan Ki Gede menari nafas dalam-dalam. Kepalanya yang lemah perlahan-lahan terangguk kecil. Ketika sekali lagi terdengar ledakan cambuk yang dahsyat itu, maka seakan-akan Ki Gede menemukan suatu keyakinan tentang sesuatu. Perlahan-lahan terdengar ia berguman,
“He, Ki Sanak, apakah kau kenal siapakah yang meledakkan cambuknya seperti ledakan petir di udara itu?”
Gupala ragu sejenak. Namun akhirnya ia menjawab,
“Ya, Ki Gede. Aku mengenalnya. Ia lah ayahku, yang aku katakan menyuruhku menyerahkan obat ini kepada Ki Gede.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“apakah benar kau anaknya?”
“Ya, Ki Gede”
Dalam keremangan cahaya bulan tampak wajah Ki Gede yang pucat itu tersenyum. Ditatapnya wajah Gupala yang bulat tubuhnya yang gemuk dan kaki-kakinya yang kokoh.
“Apakah kau satu-satunya anak orang yang meledakkan cambuk itu?”
Sekali lagi Gupala menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab sambil menggeleng,
“Tidak, Ki Gede. Aku adalah anaknya yang muda.”
“Berapa anaknya?”
“Dua,”
Ki Gede Menoreh diam sejenak. Terasa lukanya menjadi semakin pedih dan tubuhnya menjadi semakin lemah. Kini ia  pun menjadi ragu-ragu. Suara campuk itu suatu isyarat yang penah dikenalnya beberapa puluh tahun yang lampau, ketika ia masih menjadi seorang prajurit.
Setelah mereka berpisah, maka jarang-jarang sekali mereka saling bertemu, dan bahkan hampir tidak pernah sama sekali. Kabar tentang kawannya, manusia bercambuk itu pun semakin lama semakin tidak bernah didengarnya lagi. Kini, tiba-tiba ia mendengar ledakan serupa. Ledakan cambuk itu, ketika ia sedang dalam keadaan yang sulit.
Kerti dan kedua kawannya pun seolah-olah membeku pula. Dilihatnya wajah Ki Gede yang pucat itu, membayangkan sebuah yang menjadi rahasia.
“Apakah Ki Gede mengenal suara itu?” berkata Kerti.
Perlahan-lahan Ki Gede menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan pula ia berdesis,
“Panggil anak muda yang bernama Gupala itu mendekat.”
Kerti menjadi ragu-ragu. Tetapi ia berpaling dan berkata kepada Gupala,
“Ki Gede memanggilmu.”
Gupala melangkah maju. Kemudian berjongkok di samping Ki Gede.
“Apakah benar kau anaknya?”
“Ya, Ki Gede,” sahut Gupala.
“Coba, tunjukkan kepadaku, apakah kau mempunyai cambuk pula seperti ayahmu?”

Gupala tidak menjawab. Ia masih tetap ragu-ragu. Tanpa disadarnya dipandanginya tombak pendek yang masih tetap di dalam genggaman Ki Gede Menoreh.
“Gupala,” desis Ki Gede, “kalau kau mempunyai juga, coba tunjukkanlah kepadaku.”
Gupala tidak dapat berbuat lain. Dengan ragu-ragu ia meraih cambuknya yang melingkar di bawah bajunya. Dengan tangan gemetar ditunjukkannya cambuk itu kepada Ki Gede Menoreh. Tangan Ki Gede yang masih lemah itu  pun meraba cambuk Gupala. Terasa sesuatu yang aneh menjalari perasaannya. Tiba-tiba ia berkata,
“Buktikan kepadaku, bahwa kau anaknya. Kau pasti pandai bermain cambuk pula. Kalau kau mampu meledakkan seperti ayahmu, meskipun tidak sesempurna itu, maka aku percaya kepadamu dan kepada ayahmu.”
Gupala masih saja dicekam oleh keragu-raguan. Tetapi ia berdiri juga dan melangkah beberapa langkah surut.
“Maafkan, Ki Gede,” katanya, “aku akan mencobanya.”
“Silahkan,” sahut Ki Gede.
Kerti dan kedua kawannya mengerutkan keningnya. Disiapkannya dadanya dan telinganya untuk mendengar cambuk itu meledak, supaya dadanya tidak menjadi pedih dan telinganya menjadi mengiang-ngiang. Sesaat kemudian cambuk itu meledak, memekakkan telinga, meskipun tidak sekeras suara cambuk yang lebih dahulu. Namun demikian, Kerti dan kedua kawannya terpaksa menggeleng-gelengkan kepalanya, karena serasa sesuatu kemudian menyumbat telinganya.
Argapati menangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ia berkata lirih,
“Kini aku percaya kepadamu. Berikan obat itu kepada Kerti. Biarlah ia menaburkannya di atas lukaku.” Ki Gede berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi kenapa ayahmu itu tidak datang sendiri kemari mengantar obat ini? Aku tidak akan mempersoalkan lagi, apalagi ia sendiri sudi datang kepadaku dalam saat-saat yang seperti ini. Aku tidak perlu bercuriga dan bertanya-tanya.”
Sejenak Gupala terdiam. Namun sejenak kemudian ia mengambil obat dari kantong bajunya, menyerahkannya kepada Kerti sambil menjawab,
“Inilah obat itu. Menurut ayah, obat itu harus ditaburkan di sekeliling luka dan pada luka itu sendiri.”
Kerti menerima obat itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergeser maju mendekati Ki Argapati. Sementara itu Gupala berkata,
“Menurut pesan ayah, ayah belum dapat menemui Ki Gede sekarang. Ada sesuatu yang mencegahnya. Karena itu, ayah menyuruhku menyerahkannya kepada Ki Gede.”
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Gumannya,
“Aku tidak tahu, apa yang telah menghalang-halangi ayahmu menemui aku. Aku tidak pernah merasa mempunyai persoalan apa pun. Tetapi baiklah, sampaikan kepadanya, bahwa aku sangat berterima kasih atas pemberian ini. Aku berharap, bahwa pada suatu ketika kita akan dapat bertemu.”
Gupala mengangguk-angguk kepalanya. Katanya,
“Aku akan menyampaikannya kepada ayah.”

Sementara itu, Kerti telah mulai menabur-naburkan obat yang terbungkus dengan daun kelaras. Perlahan-lahan, merata di atas guratan luka yang panjang. Sejenak kemudian, terasa arus yang dingin menjalari pembuluh-pembuluh darah Ki Argapati. Perasaan pedih yang menyengat-nyengat menjadi berangsur berkurang, meskipun tidak lenyap sama sekali. Namun yang memberinya harapan adalah kemampuan obat itu memampatkan lukanya, sehingga hampir tidak percaya kepada penglihatannya, Kerti berkata,
“Apakah benar, bahwa darah itu tiba-tiba saja berhenti mengalir?”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Meskipun tubuhnya terasa terlampau lemah, namun ia tersenyum,
“Sampaikan kepada ayahmu itu Gupala, aku benar-benar berterima kasih kepadanya. Aku ingin segera bertemu dan meyakini, bahwa ia berputerakan seorang anak muda segemuk kau ini?”
Terasa dada Gupala berdesir. Tetapi ia tidak menyahut.
“Aku sekarang merasa, bahwa seolah-olah aku tetap hidup lagi setelah aku meninjau ke daerah maut. Sebenarnya aku sama sekali sudah tidak berpengharapan, karena darahku sudah tidak dapat dibendung lagi oleh obat yang dibawa oleh Kerti. Tetapi obat ayahmu benar-benar obat yang telah menumbuhkan harapanku kembali.”
“Mudah-mudahan, Ki Gede,” sahut Gupala, “mudah-mudahan obat itu dapat menyembuhkan luka Ki Gede.”
“Tetapi sampaikan kepada ayahmu, Gupala, bahwa pada saatnya aku ingin bertemu. Terserah kepadanya, kapan ia bersedia. Kalau aku yang harus datang kepadanya, aku pasti akan datang. Tetapi kalau ia bersedia datang kepadaku, akan aku terima dengan segala senang hati.”
“Ya, Ki Gede. Aku akan menyampaikannya,” jawab Gupala, kemudian,
“kini perkenankanlah aku kembali kepada ayah.”
Ki Argapati menganggukkan kepalanya, “Baiklah, sekali lagi aku mengucapkan terima kasih.”
Gupala  pun segera minta diri. Kemudian dengan langkah yang tetap, ditinggalkannya Ki Gede Menoreh yang terbaring dilingkari oleh Kerti dan kedua kawannya.
Namun beberapa langkah kemudian ia tertegun. Ia tidak dapat menahan dirinya yang dijalari oleh sifat-sifat yang aneh. Karena itu, maka tiba-tiba ia berpaling. Dipandanginya wajah Kerti yang samar-samar di dalam cahaya bulan yang bulat. Kemudian tiba-tiba ia bertanya, “Kiai, Kiai Kerti. Bukankah nama Kiai demikian? Nah, apakah Kiai masih ingin membawa aku beserta dengan kalian.”
Kerti mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Yang terdengar sekedar desis dari sela-sela bibirnya.
Karena Kerti tidak menjawab, maka Gupala  pun kemudian melangkahkan kakinya pula sambil berkata,
“Terima kasih, kalau Kiai tidak membutuhkan aku lagi.”
Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa tertahan. Kerti mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Namun ia mendengar Argapati tertawa lirih,
“Anak itu suka bergurau.”
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ragu-ragu ia bertanya,
“Siapakah sebenarnya mereka itu, Ki Gede?”
“Aku pernah mengenalnya. Seorang yang baik hati. Tetapi sudah agak lama aku kehilangan hubungan. Kini tiba-tiba ia datang ketika aku sedang di dalam bahaya. Orang itu memang seorang ahli obat-obatan yang baik.”
“Apakah Ki Gede ingat, siapakah namanya?”
“Nama tidak penting baginya. Ia adalah seorang yang bersembunyi di belakang seribu satu macam nama.”
“Tetapi ia mempunyai kedirian yang tidak berubah seperti perubahan namanya itu.”
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Desisnya,
“Itulah yang sukar untuk dikatakan. Tetapi menurut hematku, ia bukan seorang yang tidak berarti.”
“Orang yang hidupnya ditabiri oleh seribu macam rahasia.”
“Tepat. Apa kau sangka, bahwa anak yang bernama Gupala itu pun tidak berlatih merahasiakan dirinya? Aku tidak yakin, bahwa ia anak orang bercambuk itu. Entahlah, aku tidak tahu, kenapa aku berprasangka demikian.” Sejenak Ki Gede berhenti, lalu,
“Tetapi sebaiknya kita tidak usah menjadi pening karenanya.”
Kerti menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

Dengan demikian, maka sejenak suasana dicekam oleh kesenyapan. Yang terdengar hanyalah desir angin pada daun pucang yang bergerak-gerak, seperti sedang melambai kepada bulan yang semakin rendah di ujung Barat. Tiba-tiba kesenyapan itu dipecahkan oleh gonggong anjing-anjing liar di kejauhan. Ki Gede yang masih lemah itu  pun berkata,
“Apakah kalian akan berada di sini semalam suntuk?”
“Oh,” Kerti seolah-olah baru tersadar dari lamunannya. Terbata-bata ia menjawab,
“Tidak, Ki Gede. Marilah, marilah kita berangkat ke induk pasukan.”
Kedua kawan Kerti pun kemudian memapah Ki Gede. Kedua lengan Ki Gede melingkar di pundak kedua orang itu di kedua sisinya, sedang Kerti dengan senjata terhunus berjalan di paling depan. Mereka menyadari, bahwa perjalanan yang pendek itu adalah perjalanan yang justru penuh dengan bahaya.
Sejenak mereka berjalan tertatih-tatih di atas tanah berbatu cadas. Kemudian meloncati tebing-tebing kecil, menyusup gerumbul-gerumbul liar, meninggalkan sepasang batang pucang yang masih tegak menjulang tinggi, seolah-olah ingin meraih bulan yang bulat di langit dengan daun-daunnya yang bergerak-gerak seperti jari jemari yang panjang.
“Bukankah Ki Gede tadi sore berangkat dengan naik kuda?” bertanya Kerti.
Ki Gede mengangguk, “Ya, aku membawa seekor kuda.”
“Kami juga membawa kuda,” berkata Kerti pula.
Mereka pun segera berusaha menemukan kuda-kuda itu. Dengan hati-hati Ki Gede dipapah, didudukkannya di atas kudanya.
“Aku akan duduk di belakang Ki Gede,” berkata Kerti.
Ki Gede tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk pula. Dipercayakannya saja dirinya yang terluka itu kepada pengawal-pengawalnya. Kerti pun kemudian duduk di belakang Ki Gede Menoreh, sedang kudanya diserahkannya kepada kawannya. Diikatkannya kendali kuda itu pada pelana kudanya sendiri, dan dengan demikian maka kuda itu akan selalu mengikutinya. Meskipun demikian, perjalanan mereka belum berarti lepas sama sekali dari bahaya. Di sepanjang perjalanan mereka akan dapat bertemu dengan sepasukan lawan. Sepasukan yang besar, atau segerombol peronda yang nganglang dari pihak Sidanti. Dengan demikian, maka mereka  pun tetap berhati-hati, setiap saat mereka harus bersiap menghadapi segala macam kemungkinan yang datang dengan tiba-tiba. Apalagi pada saat itu, Ki Argapati sedang dalam keadaan terluka cukup parah, sehingga tidak mungkin baginya untuk berbuat sesuatu, apabila mereka bertemu dengan lawan. Dalam silirnya angin malam, kuda-kuda itu berjalan tidak terlampau cepat. Menyusur jalan sempit di hutan-hutan perdu yang jarang.
“Kita harus berusaha mencari jalan yang paling aman,” berkata Kerti,
“Kalau benar padukuhan induk sudah tidak dapat dianggap aman, maka kita harus menuju ke padesan yang lain.”
Argapati mengangguk perlahan. Terdengar suaranya dalam,
“Aku sudah menasehatkan, kalau terpaksa mereka tidak dapat menahan diri dari arus kekuatan Sidanti, maka aku minta para keluarga mereka disingkirkan ke Patemon. Sehingga seandainya pasukan Menoreh benar-benar terdesak, aku kira mereka  pun akan menyingkir ke padesan itu pula.
“Baiklah, aku akan melihat padesan itu lebih dahulu,” berkata salah seorang kawan Kerti.
“Jangan sekarang. Nanti setelah kita mendekati padesan itu. Di perjalanan setiap tenaga kami sangat diperlukan.”
Pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari, bahwa memang seharusnya ia tidak meninggalkan rombongan kecil yang parah itu. Namun belum lagi mereka terlampau jauh dari Pucang Kembar. Mareka mendengar derap kaki kuda dari arah depan. Semakin lama semakin dekat, sehingga Kerti menarik kekang kudanya sambil berdesis,
“Apakah kalian mendengar pula?”
“Derap kaki-kaki kuda.”
“Ya. Derap itu menuju ke arah ini.”
Wajah Kerti dan kawan-kawannya segera menjadi tegang. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun mereka tidak segera berbuat sesuatu.
“Kita menyingkir dahulu,” terdengar suara Ki Argapati lambat, “kita bersembunyi di belakang semak-semak.”
“Oh,” seolah-olah Kerti baru sadar dari angan-angannya. Tanpa menunggu lagi dibawanya kudanya masuk ke belakang semak-semak yang agak rimbun. Demikian pula kedua kawannya  pun bersembunyi di balik dedaunan.
Tetapi Kerti segera meloncat dari kudanya sambil berkata lirih,
“Aku ingin melihat, siapakah mereka itu Ki Gede.”
“Hati-hatilah.”
Kerti mengangguk sambil berjalan tergesa-gesa, menyusup di bawah dedaunan untuk mengintip kuda-kuda yang akan lewat di jalan sempit di mukanya. Jalan yang baru saja ditelusuri pula.

Semakin dekat, maka tampaklah kuda-kuda itu semakin jelas bersama penunggangnya. Tiga ekor kuda. Kerti menahan nafasnya ketika kuda-kuda itu menjadi semakin dekat. Semakin jelas olehnya, siapakah yang berada di punggung kuda itu hatinya menjadi semakin berdebar-debar.
“Benarkah mereka itu?”
Ketika kuda itu beberapa langkah lagi lewat di depannya, maka tiba-tiba Kerti pun segera meloncat dari dalam gerumbul, dan berdiri tegak di tepi jalan sambil memamggil,
“He, berhenti. Berhenti!”
Orang-orang berkuda itu terkejut. Seekor di antara mereka telah mendahului. Mendengar teriakan itu segera kuda itu berhenti sambil meringkik, kemudian dengan tangkasnya berputar menghadap ke arah Kerti. Sedang dua ekor yang lain, yang masih belum melampaui Kerti segera berhenti. Demikian tegang penunggangnya menarik kekang kuda itu, sehingga kuda-kuda itu terlonjak berdiri.
Setelah kuda-kuda itu agak tenang, maka bertanyalah Kerti,
“Kemanakah kalian akan pergi?”
Ketiga orang itu hampir bersamaan menarik nafas dalam-dalam. Salah seorang dari mareka berkata,
“Kau mengejutkan kami.”
“Aku harus hati-hati. Aku tidak menyangka, bahwa kalian akan datang kemari.”
“Kami datang menyusul Ki Argapati.”
“Kenapa? Bukankah Ki Argapati berpesan bahwa tidak seorang  pun boleh ikut campur dalam persoalan pribadinya?”
“Kami tidak akan mencampuri persoalannya. Tetapi apabila Ki Gede sudah selesai, maka aku akan memberitahukan, bahwa pasukan Menoreh terpaksa ditarik dari padukuhan induk.”
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Katanya dalam nada yang rendah,
“Ki Gede sudah menduga. Suara tanda yang mencemaskan terdengar dari bawah Pucang Kembar.”
“Darimana kau tahu bahwa Ki Gede sudah menduga? Apakah kau sudah menemuinya?”
Kerti mengangguk. Katanya,
“Ki Gede sekarang ada di sini. Dadanya terluka agak parah.”
“He,” ketiga orang itu terperanjat mendengar berita yang tidak terduga-duga itu.
Justru karena itu mereka terdiam. Tetapi sorot mata mereka seakan-akan tidak mempercayai berita itu. Ki Argapati tidak boleh terluka. Ki Argapati tidak akan dapat dilukai oleh siapa pun. Kerti melihat kebimbangan pada sorot mata itu, sehingga ia perlu menjelaskan,
“Ki Argapati memang terluka.”
Pengawal yang datang bertiga di atas punggung kuda itu saling berpandangan sejenak, kemudian salah seorang dari mereka bertanya dengan nada penuh kebimbangan,
“Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Aku berkata sebenarnya.”
“Kalau kau berkata sebenarnya, siapakah yang melukainya?”
“Ki Tambak Wedi.”
“He,” wajah-wajah itu pun segera menjadi tegang,
“apakah Ki Argapati tidak dapat menyamai kelebihan Ki Tambak Wedi?”
“Bukan begitu. Tetapi bukan saat kini kita bercerita.”
Kalau kau mengenal jalan yang paling baik, marilah kita segera pergi ke induk pasukan yang telah ditarik itu.”
“Oh, baiklah.”
“Tunggu, aku akan memanggil Ki Gede.”
Kerti  pun kemudian meloncat hilang di balik gerumbul, untuk memberitahukan kehadiran ketiga pengawal Tanah Perdikan yang telah beruaha menghubungi Ki Gede untuk melaporkan keadaan pasukannya.

Sejenak kemudian Ki Gede yang terluka itu  pun muncul pula dari balik gerumbul di atas punggung kuda bersama Kerti yang menjaganya. Kehadirannya benar-benar telah membuat ketiga pengawal yang baru datang itu menjadi berdebar-debar. Ternyata bahwa Ki Gede Menoreh benar-benar terluka di dadanya.
“Marilah, berjalanlah di depan. Jangan terlampau cepat,” barkata Kerti kepada ketiga pengawal itu.
Salah seorang dari mereka agaknya masih ingin bertanya, tetapi Kerti mendahuluinya,
“Jangan terlampau banyak bertanya. Kita harus segera meninggalkan tempat ini sebelum Ki Tambak Wedi kembali dengan membawa prajurit segelar sepapan.”
“Oh,” orang itu mengurungkan niatnya, “marilah.”
Ketiganya segera mendahului berjalan di depan. Kemudian Kerti yang sedang menjaga Ki Gede yang masih terlampau lemah. Di belakang mereka adalah kedua kawan-kawan Kerti yang telah ikut berkelahi melawan orang-orang Ki Tambak Wedi. Perjalanan itu adalah perjalanan yang tegang. Setiap saat mereka harus bersiap menghadapi segala macam kemungkinan. Dalam keadaan itu, bagi Menoreh, tidak ada lagi batas yang dapat digoreskan, yang akan memisahkan daerah kekuasaan pasukan Sidanti dan daerah kekuasaan pasukau Samekta. Keduanya mungkin berada di segala tempat, dan keduanya mungkin merondai segala jalan di telatah Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga dengan demikian, maka sukarlah bagi siapa  pun untuk dapat segera mengenal kawan atau lawan apabila mereka bertemu di perjalanan.
“Kita melingkari padukuhan Sampit,” berkata sahah seorang dari ketiga orang yang berkuda di depan.
“Kemana kita akan pergi?” terdenger suara Ki Argapati.
“Kita akan pergi ke Karang Sari, Ki Gede. Dan kita harus melingkari padukuhan Supit, supaya kita berjalan dekat dengan daerah Wurawari.”
“Kenapa kita memilih jalan Wurawari?” bertanya Kerti.
Ketiga orang yang berkuda di depan itu tidak ada yang segera menjawab. Bahkan mereka sejenak saling berpandangan.
“Kenapa?” desak Kerli.
Belum seorang  pun yang menjawab.
Ternyata kediaman mereka telah menimbulkan kecurigaan pada Kerti, sehingga ia mendesak lebih keras lagi,
“Kenapa, he? Apakah ada rahasia yang harus kalian sembunyikan?”
“Tidak. Tidak sama sekali. Tetapi aku ragu-ragu apakah beritaku tidak akan mengejutkan. Terutama bagi Ki Gede.”
“Bodoh kau,” bentak Kerti.
“Kepada siapa kau akan menyampaikan semua persoalan kalau tidak kepada Ki Gede?”
“Tetapi Ki Gede sedang terluka,”
“Apa bedanya?”
Tetapi ketiga orang itu masih tetap ragu-ragu. Meskipun mereka tidak berpaling, namun tampak bahwa mereka menjadi gelisah.
“Katakanlah,” desis Ki Gede Menoreh kemudian,
“apa  pun yang akan kau katakan, aku akan mendengarkannya. Aku tidak boleh terpengaruh oleh keadaan apa pun. Adalah kewajibanku untuk mendengar semua persoalan. Yang baik, dan yang menyulitkan sekalipun.”

Salah seorang dari ketiga pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya wajah kedua kawannya berganti-ganti. Tetapi yang dilihatnya wajah-wajah itu masih tetap memancarkan kebimbangan hati.
“Katakanlah,” desak Ki Gede dalam nada datar.
“Baiklah, Ki Gede. Tetapi perkenankan aku menyampaikan penyesalan yang sedalam-dalamnya dari kakang Samekta, Wrahasta, dan para pengawal seluruhnya.”
“Ya, ya.”
“Pandan Wangi belum tampak di antara para prajurit yang mengundurkan diri.”
“He?” Betapapun juga terasa sesuatu menghentak di dada Ki Gede Menoreh. Ia tidak akan terkejut dan apalagi bingung seandainya ia mendengar berita bahwa rumahnya telah menjadi karang abang, karena dibakar oleh Sidanti. Ia tidak akan tersentak sehingga nafasnya serasa terhenti, kalau ia mendengar bahwa seluruh padukuhan induk telah diduduki oleh Ki Tambak Wedi. Tetapi berita yang didengarnya ini adalah, bahwa Pandan Wangi belum ada di antara para pengawal yang mngundurkan diri.
“Di manakah anak itu agaknya,” terdengar suara Ki Argapati dalam nada yang dalam.
“Karena itulah maka aku mencarinya kemari,” sahut Kerti.
“Oh, kau keliru,” potong salah seorang dari ketiga orang berkuda itu.
“Pandan Wangi ternyata telah menemui Kakang Samekta, bahkan ikut bertempur di medan sebelah Barat. Kemudian Kakang Samekta meninggalkannya karena ia harus pergi ke medan yang baru. Ketika pasukan itu mundur, Pandan Wangi tidak ada di antara mereka.”
Kecemasan yang dalam telah tergores di dinding hati Ki Argapati. Pandan Wangi adalah satu-satunya keturunan yang diharapkannya dapat menyambung namanya kelak, setelah ternyata Sidanti tidak dapat diharapkannya lagi. Tetapi ternyata bahwa gadis itu hilang di peperangan.
“Kenapa gadis itu dapat terlepas sehingga ia sendiri terjun di dalam peperangan?” terdengar suara Ki Argapati datar.
Meskipun Ki Argapati seolah-olah hanya bergumam kepada diri sendiri, namun kata-kata itu telah membuat Kerti tertunduk sambil berdesah,
“Aku minta maaf Ki Gede. Bagaimana kami di rumah mencoba menahannya. Tetapi tiba-tiba saja ia telah lenyap.”
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya lemah,
“Ya. Tidak seorang  pun dapat dipersalahkan. Anak itu mempunyai kaki untuk melangkah dan mempunyai kehendak untuk mendorong kakinya itu. Anak itu memang keras kepala.”
Kerti tidak menjawab lagi. Meskipun Ki Gede tidak langsung menyalahkannya, namun ia adalah salah seorang yang diserahi untuk mengawasi anak itu. Dan ternyata anak itu kini hilang.
Tetapi Ki Argapati menjadi semakin terperanjat ketika orang yang menyusulnya itu berkata,
“Beberapa orang melihat, Pandan Wangi terlibat dalam pertempuran melawan, Ki Peda Sura. Ketika pasukannya mundur, ia tertahan. Maksudnya dapat jelas kami tangkap, melindungi kami yang mundur dari senjata Peda Sura yang ganas itu. tetapi akhirnya, ia sendiri terpisah dari pasukannya.”
“Jadi Pandan Wangi bertempur melawan Ki Peda Sura?” bertanya Argapati yang menjadi semakin cemas.
“Ya, Ki Gede.”
“Seorang melawan seorang?”
“Ya, Ki Gede.”
“Oh,” Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya terdengar kata-kata dari sela-sela bibirnya.
“Hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan dapat melepaskannya. Peda Sura belum akan dapat dilawannya. Meskipun ia mempunyai bekal yang cukup namun pengalaman setan itu jauh lebih banyak dan luas. Ia tidak mempunyai batas bagi perbuatannya. Apa pun dapat dilakukannya untuk mencapai tujuannya.”

Para pengawal yang mendengar kata-kata itu  pun menjadi semakin cemas pula. Tidak seorang  pun yang dapat membayangkan, apa yang telah terjadi dengan Pandan Wangi. Dan tiba-tiba saja mereka terperanjat ketika Ki Gede beekata,
“Kita pergi ke bekas pertempuran itu. Aku ingin melihat sendiri, apakah yang sudah terjadi.”
Dada Kerti menjadi berdebar-debar. Betapapun ia merasa bersalah, namun diberanikan dirinya berkata,
“Ki Gede. Bukankah tempat itu masih terlampau berbahaya?”
“Ya, sangat berbahaya,” sahut salah seorang dari ketiga pengawal yang menjemputnya.
“Peda Sura agaknya meninggalkan sekelompok orangnya di sekitar bekas pertempuran itu.”
“Apa pun yang akan terjadi aku akan melihat,” kata-kata Argapati tiba-tiba menjadi tajam.
“Aku ingin melihat, apakah aku dapat menemukan mayat anakku. Kalau tidak maka ia pasti dibawa oleh Peda Sura. Jika demikian, maka Pandan Waugi akan mengalami penderitaan yang mengerikan.” Ki Gede berhenti sejenak. Lalu terdengar ia menggeram,
“Kalau demikian halnya, maka aku sendiri akan memimpin langsung pasukan Menoreh yang ada untuk merebut kembali semua kedudukan. Aku harus menemukan Pandan Wangi dalam segala kadaan dan menemukan kembali keutuhan Tanah Perdikan Menoreh, meskipun kini sudah tersayat-sayat.”
Dada Kerti berdesir mendengar kata-kata itu. Ki Gede adalah seorang yang keras hati. Hampir setiap kata-katanya dilakukannya dengan baik. Karena itu maka dengan hati-hati ia berkata,
“Tetapi bukankah Ki Gede kini sedang terluka?”
“Lukaku tidak seberapa. Aku sudah sembuh dan aku berterima kasih kepada orang bercambuk itu.”
“Tetapi,” Kerti masih mencoba menahannya,
“apabila Ki Gede langsung terjun di peperangan maka luka itu akan berbahaya.”
“Jadi maksudmu, aku baiknya tidur di pembaringan, sedang anakku dan seluruh Tanah Perdikan Menoreh sedang dibakar oleh api kedengkian, nafsu dan pamrih yang melonjak-lonjak?” suara Ki Gede menjadi semakin keras, dan bahkan hampir berteriak.
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kecemasan yang merambat di dadanya menjadi semakin dalam tergores di dinding jantungnya. Ki Gede sudah mulai menentukan sikap. Jika demikian, maka sulitlah baginya, dan bagi siapa  pun untuk mengurungkannya. Kerti adalah seorang yang sudah cukup lama berada di samping Ki Gede. Ia tahu benar sifatnya dan tabiatnya. Namun pengetahuannya tentang watak Ki Gede itulah yang kini membuatnya bingung dan tidak menentu.
“Cepat!” tiba-tiba Ki Gede berteriak. “Pacu kuda ini.”
“Oh,” Kerti berdesah.
“Cepat, kau dengar?”
“Baiklah, Ki Gede.”
Kerti Tidak dapat berbuat lain kecuali mempercepat langkah kudanya. Dengan demikian maka yang lain  pun menjadi semakin cepat pula.
“Kita tidak hanya sekedar lewat di daerah Wura-wari. Tetapi kita akan singgah di padesan itu. Bukankah maksudmu, pertempuran berlangsung di daerah itu? Bukankah begitu?” berkata Ki Gede kepada ketiga pengawalnya yang berkuda di depan.
“Ya, Ki Gede,” jawbab salah seorang dari mereka,
“tetapi tempat itu benar-benar berbahaya. Kalau kita lewat di sekitarnya, mungkin kita akan mendapat bahan untuk mengetahui di mana Pandan Wangi berada. Tetapi kalau kita langsung masuk ke daerah Wura-wari dalam keadaan serupa ini, maka kita telah kehilangan perhitungan.”
“Persetan,” sahut Argapati,
“aku sendiri akan melihat daerah itu. Aku bukan seorang yang terlampau bodoh dan tidak mempunyai perhitungan. Tetapi aku akan melihat bekas pertempuran.”
“Ki Gede,” suara Kerti merendah,
“bagaimana mungkin Ki Gede akan melakukannya? Baiklah, aku dengan kedua kawanku inilah yang melihatnya. Kami dapat mempergunakan cara apa pun, sambil bersembunyi atau merangkak di antara tumbuh-tumbuhan. Tetapi kami tidak sedang terluka seperti Ki Gede saat ini.”

Terdengar Ki Gede Menoreh menggeretakkan giginya. Seakan-akan ia sama sekali tidak mendengar kata-kata Kerti itu. Bahkan ia berkata dengan lantangnya,
“Kalau perlu aku akan masuk ke padesan yang sudah diduduki pasukan Sidanti. Aku ingin tahu dengan pasti, apakah yang sudah terjadi dengan Pandan Wangi.”
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tubuh Ki Gede Menoreh masih terlampau lemah. Hanya kadang-kadang saja ia menghentakkan dirinya, namun kemujan ia tersandar kembali ke dada Kerti yang duduk di belakangnya.
“Jangan terlampau banyak bergerak Ki Gede. Aku takut kalau luka itu kembali berdarah lagi,” berkata Kerti kemudian.
Ki Gede tidak menjawab. Tatapan matanya jauh menembus kabut malam yang keputih-putihan di bawah sinar bulan yang sedang purnama. Setitik embun jatuh dari dahan di atas mereka. Dingin. Namun betapa hangatnya dada Kerti yang gelisah itu. Kalau benar-benar Ki Gede kehilangan pengamatan diri karena hilangnya Pandan Wangi, maka keadaan akan menjadi semakin sulit. Kalau terjadi sesuatu atas Ki Gede, maka pasukan Menoreh akan kehilangan induknya, seperti sapu lisi kehilangan suhnya. Mawut bertebaran terserak-serak di halaman.
Ketika mereka telah melampaui bulak di sebelah padukuhan Supit yang kecil, hati Kerti menjadi semakin berdebar-debar. Sebentar lagi mereka akan sampai ke pategalan, berseberangan dengan padukuhan kecil tempat pasukan Samekta menunggu gerombolan Ki Peda Sura.
Tiba-tiba ketiga pengawal yang berkuda di depan merapat dan saling berbisik,
“Kita bawa Ki Gede ke pategalan. Bekas pertempuran di pategalan itu sajalah yang kita tunjukkan kepadanya supaya ia tidak mendekat ke padesan di sebelah. Aku yakin bahwa di padesan itu pasti dijaga oleh pasukan Sidanti.”
“Ya,” jawab yang lain,
“dengan demikian pasti akan lebih aman bagi Ki Gede.”
Mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan dengan demikian maka mereka agak menjadi tenteram. Karena mereka tahu, bahwa Ki Argapati benar sedang dalam keadaan parah. Karena itu, ketika mereka sampai ke simpang tiga yang menuju ke pategalan yang agak rimbun itu, ketiga pengawal yang berada di depan itu  pun berbelok.
“He, kenapa mereka berbelok,” bertanya Ki Gede.
“Tunggu,” teriak Kerti.
Ketiga pengawal itu  pun segera menarik kekang kuda mereka. Salah seorang dari mereka berpaling sambil meletakkan jari telunjuknya di depan mulut,
“Sst, di padesan itu sedang berjaga-jaga pasukan Sidanti,” desis salah seorang dari mereka setelah Kerti mendekat.
“Tetapi kenapa kalian berbelok kemari?” bertanya Ki Argapati.
“Bukankah kita masih harus maju lagi untuk mencapai Wura-wari?”
“Pertempuran itu terjadi di pategalan itu Ki Gede,” jawab salah seorang dari mereka.
Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun ia menggeram, “Aku ingin melihat.”

Mereka  pun kemudian meneruskan perjalanan itu. Ketika mereka sampai di ujung pategalan, maka mereka  pun segera berhenti. Satu-satu mereka turun dari kuda mereka dengan penuh kewaspadaan. Tangan-tangan mereka telah melekat di hulu pedang masing-masing. Dengan hati-hati Kerti menolong Ki Gede turun dari kudanya dan memapahnya berjalan perlahan-lahan memasuki pategalan yang sunyi itu. Sementara itu, seorang dari mereka berdiri di luar pategalan untuk mengawasi kuda-kuda mereka. Demikian mereka memasuki pategalan itu, maka segera Ki Gede menggeram. Ketiga pengawal itu tidak menipunya. Ki Gede masih sempat melihat bekas pertempuran. Bahkan masih dilihatnya beberapa sosok mayat yang terbaring di tanah. Mayat-mayat itu akan tinggal di tempatnya sampai besok. Kalau orang-orang Sidanti di padukuhan sebelah sempat, maka mayat-mayat itu baru akan dikuburkan.
“Hem,” Ki Gede berdesah, “perang yang kisruh.”
“Ya, Ki Gede, perang brubuh.”
Ki Gede tidak menyahut. Perlahan-lahan sambil berpegangan leher Kerti ia melangkah maju semakin dalam. Dilihatnya bekas peperangan itu dengan tegangnya. Hampir setiap mayat yang dijumpainya ditatapnya dengan tajamnya dan bahkan kadang-kadang diamatinya dengan seksama. Kadang-kadang memang dijumpainya mayat-mayat orang yang pernah dikenalnya, Pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Apakah pasukan Peda Sura telah membersihkan medan ini dengan mengambil mayat kawan-kawannya dan mereka yang terluka parah?” bertanya Ki Gede Menoreh.
“Aku kira belum, Ki Gede. Mayat masih banyak berserakan. Kalau Ki Gede sempat memperhatikan seluruh bekas medan ini.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Menilik korban yang jatuh, seharusnya pasukan Menoreh tidak dapat terdesak mundur.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar