“Kalau keadaan tidak berubah, Ki Gede. Tetapi suara titir yang menjalar dari Timur telah menarik sebagian pasukan ini bersama Ki Samekta sendiri. Sedangkan Pandan Wangi tetap berada di medan ini.”
Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia masih juga melangkah maju menyusur
bekas medan yang bosah-baseh.
“Aku akan
menyusur garis surut pasukan Menoreh,” tiba-tiba Ki Gede bergumam.
Kerti
terperanjat. Sehingga dengan serta-merta ia berkata,
“Terlampau
berbahaya Ki Gede.”
Ki Gede tidak
menjawab, tetapi ia melangkah terus sambil berpegangan pundak Kerti.
“Ki Gede masih
terlampau lelah. Seandainya tidak ada bahaya apa pun di perjalanan, maka Ki Gede akan
terlampau banyak membuang tenaga.”
“Aku
tergantung di pundakmu.”
“Itu bukan
berarti Ki Gede tidak mengeluarkan tenaga.”
“Tetapi
tenagaku masih cukup. Jangan kau cemaskan. Aku tidak akan mati karena berjalan
menyusur jalan surut sampai ke tempatnya yang sekarang. Di sepanjang jalan
mundur itu aku akan mencari mayat Pandan Wangi.”
Kerti menjadi
bingung. Tetapi ia tidak dapat berhenti, karena Ki Gede yang tergantung di
lehernya masih benjalan selangkah-selangkah terus, meskipun dengan susah payah.
Tetapi yang mencemaskan Kerti dan pengawal-pengawal yang lain, bukanlah tenaga
yang akan dikeluarkan oleh Ki Gede itu sendiri, meskipun hal itu pun harus mendapat perhatian, tetapi bahwa di
garis surut para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu, pasti akan ditemui suatu
pengawalan yang ketat dari orang-orang Sidanti.
“Ki Gede,”
berkata salah seorang dari ketiga pengawal yang menjemput Ki Gede,
“kalau kita
akan menyelusur garis surut itu, berarti kita harus berjalan dari sini sampai
ke Karang Sari.”
Ki Gede
menarik nafas dalam-dalam. Apabila ia ingin menyusur bekas peperangan sampai ke
tempat para pengawal itu menarik diri, memang ia harus berjalan dari pategalan
itu, lewat Wura-Wari melalui beberapa bulak lagi sampai ke Karang Sari.
Meskipun
demikian Ki Gede bergumam,
“Tetapi aku
akan menemukan puteriku di sepanjang daerah itu.”
Tak
seorang pun yang segera dapat menjawab.
Mereka terpaksa berjalan menurut bekas-bekas peperangan di pategalan itu.
Semakin lama semakin menepi. Para pengawal yang menjemput Ki Gede tahu benar,
bahwa sebentar lagi mereka harus melalui daerah persawahan yang terbuka semakin
dekat dengan tempat-tempat yang mungkin dihuni oleh orang-orang Sidanti.
Ketika mereka
melangkah semakin maju lagi, tiba-tiba salah seorang dari ketiga pengawal itu
berkata,
“Ki Gede,
tidak ada gunanya kita mencarinya lebih jauh.”
Ki Gede
memandangnya dengan penuh keheranan, “Kenapa?”
“Di sini
Pandan Wangi bertempur.”
“Aku tahu, aku
tahu,” jawab Ki Gede, “tetapi bukankah mereka mundur?”
“Yang mundur
adalah pasukan pengawal. Pandan Wangi mencoba melindungi kami. Aku tahu, betapa
besar tanggung jawabnya sebagai putera Ki Gede. Kami sudah mencoba untuk
membawanya serta. Tetapi ia tidak bersedia. Sedang keadaan peperangan telah
memaksa kami untuk selangkah demi selangkah mundur terus, kalau kami tidak
ingin binasa sesuai dengan perintah Pandan Wangi sendiri sebagai pimpinan kami
waktu itu sepeninggal Samekta.”
Wajah Ki Gede
menjadi semakin tegang.
“Pandan Wangi
terpaksa bertempur seorang lawan seorang melawan Ki Peda Sura.”
Tiba-tiba
terdengar Ki Gede menggeram. Sejenak ia berdiri membeku tergantung di pundak
Kerti. Namun kemudian ia berkata lantang,
“Kita kembali
ke induk pasukan di Karang Sari. Aku akan memimpin pasukan itu langsung ke
padukuhan induk. Aku harus menemukan Pandan Wangi dalam keadaan apa pun.”
Para
pengawalnya menjadi berdebar-debar. Dan mereka mendengar Ki Gede berkata,
“Di sini aku
tidak menemukan mayatnya. Anak itu pasti dibawa oleh Ki Peda Sura.”
Dada Kerti
menjadi semakin bergetar. Bahkan para pengawal itu menjadi terbungkam untuk
sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata,
“Apabila
demikian, maka aku akan tinggal di sini.”
“Untuk apa?”
“Aku akan
mencoba mencari sekali lagi. Lebih teliti di daerah peperangan ini.”
Ki Gede berpikir
sejenak. Kemudian katanya,
“Terserahlah
kepadamu. Tetapi aku akan segera menyiapkan pasukan yang ada. Aku tidak mau
menunda lagi. Hilangnya Pandan Wangi adalah karena salahku. Aku terlalu
bernafsu untuk menjaga harga diriku dengan perang tanding itu, sehingga keadaan
Tanah Perdikan ini menjadi terpecah belah, dan anakku satu-satunya itu hilang.”
Ki Gede tidak
menunggu jawaban apa pun lagi. Bersama Kerti ia segera kembali ke kudanya.
“Cepat, kita
pergi ke Karang Sari.”
Setelah
menolong Ki Gede naik, maka Kerti pun
segera naik pula. Dua dari mereka tinggal di pategalan itu untuk melihat
kemungkinan yang mengerikan apabila hal itu terjadi atas Pandan Wangi. Sedang
Ki Gede dengan tergesa-gesa segera meneruskan perjalanan mereka ke Karang Sari.
Di perjalanan
itu Ki Gede bergumam, “Kita hindari daerah yang dikuasai Sidanti.”
Kerti
mengerutkan keningnya. Ia agak heran mendengar pesan itu. Selama ini Ki Gede
agaknya sama sekali tidak ingin menghindar dari kemungkinan bertemu dengan
lawan, namun tiba-tiba pesan itu diberikannya.
“Aku akan
memimpin pasukan,” geramnya kemudian.
Kerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tahu, bahwa Ki Gede merasa bahwa
tugasnya masih belum selesai, sehingga ia tidak mau tertahan lagi di perjalanan
ini. Kuda-kuda itu pun kemudian berpacu
dengan kencangnya. Debu yang keputih-putihan meloncat di belakang kaki-kaki
kuda yang berderap di jalan kecil di tengah-tengah bulak yang panjang. Sementara
itu bulan di langit sudah menjadi terlampau rendah. Di ujung Timur telah
menyala cahaya fajar yang kemerah-merahan. Semakin lama menjadi semakin cerah. Di
kejauhan terdengar suara kokok ayam yang seakan-akan menjalar dari satu kandang
ke kandang yang lain. Sahut-menyahut tanpa menghiraukan apa saja yang telah
terjadi di atas Tanah Perdikan Menoreh yang sedang kemelut dibakar oleh api
pertentangan di antara mereka yang selama ini bersama-sama memelihara. Apalagi
setelah ada orang-orang yang tidak dikenal mencoba memanfaatkan keadaan untuk
kepentingan mereka sendiri. Kuda-kuda yang berlari di tengah-tengah bulak itu
semakin lama menjadi semakin dekat dengan sebuah padesan yang agak besar, yang
menjadi tempat pasukan Menoreh menarik diri, Karang Sari.
“Apakah
perempuan dan anak-anak ada di Karang Sari itu pula?” bertanya Ki Gede
tiba-tiba.
“Tidak, Ki Gede,”
jawab salah seorang pengawal, “mereka berada di Patemon.”
Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi terdengar ia menggeram, sementara
langit menjadi semakin cerah. Namun agaknya Ki Gede tidak ingin melihat
matahari terbit dalam perjalanannya. Sehingga dengan memandangi langit yang
semburat merah kekuning-kuningan ia berkata,
“Kerti, kita
harus sampai ke Karang Sari sebelum fajar.”
“Kita akan
berusaha, Ki Gede,” sahut Kerti sambil mempercepat kuda mereka pula.
“Aku harus
segera mempersiapkan pasukan Menoreh,” geram Ki Gede.
Kerti tidak
menyahut. Tetapi ia sudah tidak terlampau gelisah lagi. Mereka sudah tidak akan
melampaui tempat-tempat yang dapat dianggap berbahaya, yang mungkin menjadi
tempat-tempat bersembunyi bagi para peronda dari pihak Sidanti. Karang Sari itu
pun kemudian telah berada di hadapan mereka. Sebuah padesan yang tidak begitu
besar, dikitari oleh rum pun bambu ori yang lebat, seolah-olah sengaja ditanam
sebagai benteng yang kuat untuk melindungi desa Karang Sari dari bahaya. Di
antara rum pun bambu ori yang penuh dengan duri-duri yang tajam itu, terdapat
sebuah lorong yang sempit menyusup di bawah sebuah regol yang kuat. Itu adalah
salah satu dari empat jalan untuk memasuki desa Karang Sari di empat penjuru. Ki
Gede serasa tidak sabar lagi menunggu langkah kaki kudanya. Ingin ia meloncat
langsung memasuki desa yang berpagar rapat itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat
lain daripada membiarkan dirinya tetap duduk di atas punggung kuda bersama
dengan Kerti.
Ketika mereka
menjadi semakin dekat, maka segera mereka melihat beberapa pengawal bersenjata
berdiri di depan regol desa. Sikap mereka menunjukkan kesiap-siagaan mereka.
Senjata-senjata telanjang tergenggam di tangan mereka dengan eratnya. Beberapa
orang di antara mereka menyongsong maju dengan tombak merunduk setinggi dada. Beberapa
puluh langkah dari regol itu Kerti memperlambat langkah kudanya. Para pengawal
yang lain kini berada di belakangnya. Dengan dada berdebar-debar Kerti
mengangkat tangan kanannya ke atas tanpa senjata. Dan sebelum ia menghentikan
kudanya terdengar salah seorang pengawal berteriak,
“Ki Gede.”
Yang lain pun
segera meloncat keluar dari regol padesan itu. Berdesak-desakan. Dan mereka
melihat, bahwa sebenarnyalah yang berada di atas punggung kuda bersama dengan
Kerti itu adalah Ki Gede Menoreh. Maka mereka
pun segera menyibak, memberi jalan supaya kuda Ki Gede Menoreh dapat
melangkah maju. Ketika sorot matahari yang pertama jatuh di atas desa Karang
Sari, maka Ki Gede pun telah berada di
regol desa itu. Di antara para pengawalnya ia merasa dirinya menjadi lebih
baik. Dengan dada yang gemetar ia berkata,
“Kita harus
menebus kekalahan ini.”
Sejenak
pengawal-pengawalnya terdiam memandangi wajah Ki Gede yang pucat. Namun
kemudian seperti hentakan yang melonjak dari dalam dada masing-masing, mereka
berteriak menyambut,
“Ya, kita
harus menebus kekalahan ini.”
Samekta dan
Wrahasta yang mendengar suara ribut itu segera berlari-lari ke luar dari rumah
di ujung desa itu, yang mereka pakai sebagai tempat untuk melakukan pimpinan
atas para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Mereka terperanjat ketika mereka
melihat Ki Argapati yang pucat duduk di atas punggung kuda dibantu oleh Kerti.
“Apakah Ki
Gede terluka,” bertanya Samekta dengan serta-merta.
Ki Gede
mengangguk perlahan-lahan. Dipandanginya wajah Samekta dan Wrahasta
berganti-ganti. Seolah-olah ia ingin melihat, apa saja yang telah mereka
lakukan selama ini. Sorot mata Ki Gede terasa terlampau tajam menusuk dada
kedua pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu. Perlahan-lahan kepala
mereka pun kemudian tertunduk. Seolah-olah Ki Gede sedang mengamati
ketidak-mampuan mereka mempertahankan Tanah Perdikan ini dari kehancuran.
Ki Gede
melihat kegelisahan di wajah kedua orang itu, sehingga dengan nada yang dalam
ia berkata,
“Aku tidak
dapat menyalahkan kalian dan menyalahkan siapa pun. Aku tahu bahwa kalian telah
berbuat sebanyak-banyaknya yang dapat kalian lakukan. Aku yakin bahwa semua
orang telah berjuang untuk mempertahankan Tanah ini, selain aku sendiri yang
asyik memanjakan perasaan tanpa nalar yang bening. Sekarang Tanah ini terluka
parah dan aku sendiri pun terluka pula.”
Semua orang
menundukkan kepala mereka. Tidak seorang
pun yang berani menatap wajah Ki Argapati yang sayu dan pucat. Namun
tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara Ki Gede,
“Tetapi aku
ingin memperbaiki kesalahan itu. Sekarang aku akan memimpin sendiri pasukan
Menoreh, merebut kembali daerah yang terpaksa kalian lepaskan itu.”
Samekta
hampir-hampir tidak percaya kepada pendengarannya. Dengan pandangan yang aneh
ditatapnya wajah Ki Gede Menoreh. Tetapi mulutnya tidak segera dapat
mengucapkan sesuatu.
“Jangan
menjadi gelisah. Aku sendiri yang akan memimpin pasukan Menoreh sekarang juga.”
“Tetapi,”
suara Samekta terbata-bata, “tetapi bukankah Ki Gede sedang terluka.”
“Lukaku tidak
seberapa. Aku akan segera menjadi kuat lagi.”
“Tetapi Ki
Gede memerlukan beristirahat. Meskipun hanya satu hari ini. Mungkin besok Ki
Gede telah menjadi pulih kembali dan mampu memimpin pasukan Menoreh yang masih
ada untuk merebut kembali semua tempat yang telah terpaksa kita lepaskan.”
“Aku tidak
dapat menunggu sampai besok. Aku harus berangkat hari ini.”
Dada setiap
orang yang mendengar kata-kata Ki Gede itu bergetar. Terjadilah pergolakan di
setiap dada. Dorongan perasaan mereka, apalagi ketika mereka melihat Ki Gede
sudah ada di antara mereka, seakan-akan telah membakar jantung mereka dan
mendidihkan darah mereka. Hampir saja para pengawal itu berteriak, “Sekarang!
Sekarang!” Tetapi apabila mereka lihat Ki Gede yang lemah dan pucat, Betapapun
ia masih tetap dijalari oleh tekad yang menyala-nyala, mereka tidak akan dapat
membenarkan sikap yang tergesa-gesa itu. Sikap itulah yang menjadi teka-teki
bagi mereka. Ki Gede Menoreh tidak pernah kehilangan pengamatan, seperti kali
ini.
Karena itu,
maka baik para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, maupun para pemimpinnya, tidak
segera dapat menyahut. Mereka seakan-akan terpukau dalam kediaman mereka.
Membeku sambil memandangi wajah Ki Gede yang pucat. Karena tidak seorang pun yang mengucapkan sepatah kata menyambut
perintahnya, maka Ki Gede berkata pula,
“Kenapa kalian
menjadi beku? Apakah kalian ragu-ragu, bahwa kita tidak mampu lagi untuk
merebut setiap kedudukan yang telah kita tinggalkan?”
Samekta
menelan ludahnya. Selangkah ia maju mendekati Ki Gede dengan dada yang
berdebar-debar. Menurut tanggapannya, pasti ada sesuatu yang menyebabkan Ki
Gede menjadi terlampau tergesa-gesa mengambil keputusan.
“Ki Gede,” berkata
Samekta dengan hati-hati,
“marilah. Kami
persilahkan Ki Gede beristirahat. Marilah, kita membicarakannya dengan tenang.”
Tetapi Ki Gede
Menoreh sama sekali tidak berkenan di hati. Dengan keras ia menjawab,
“Aku tidak
akan membicarakannya. Kalau kalian masih mengakui aku sebagai Kepala Tanah
Perdikan, maka aku akan memerintahkan kalian untuk bersiap sekarang.”
Setiap dada
terasa berdesir mendengar kata-kata Ki Gede itu. Sejenak mereka saling
berpandangan. Ki Argapati tidak pernah demikian. Namun Samekta masih mencoba
bertanya,
“Ki Gede,
apakah yang menyebabkan Ki Gede harus melakukannya sekarang? Bagaimana
seandainya besok atau setiap saat apabila Ki Gede sudah pulih kembali.”
“O, kalian
terlampau memikirkan diri sendiri,” suara Ki Argapati menjadi semakin keras.
Kini ia duduk tegak di atas punggung kudanya meskipun Kerti masih belum turun
juga.
“Kalian tidak
dapat merasakan, betapa sakit hatiku mengalami peristiwa ini. Mungkin terlampau
pribadi, dan mungkin kalian tidak mau terseret dalam kepentingan ini. Kalau
demikian baiklah. Aku akan mengambil jalan lain. Tetapi aku harus mendapatkannya
sekarang dalam segala keadaan.”
Samekta
menjadi semakin tidak mengerti. Dipandanginya sejenak wajah Wrahasta. Tetapi
Wrahasta yang bertubuh raksasa itu seakan-akan membeku di tempatnya. Di
tubuhnya masih tergores jalur-jalur merah, bekas-bekas luka oleh sentuhan
senjata lawan ketika ia bertempur mati-matian mempertahankan rumah Kepala Tanah
Perdikan Menoreh. Agaknya karena sesuatu hal, maka ia tidak mati di peperangan
itu. Seandainya pada saat itu Pandan Wangi masih ada di dalam rumah itu, maka
ia tidak akan beranjak sampai ke ujung hidupnya.
“Baiklah,”
berkata Ki Argapati kemudian, “beristirahatlah. Aku akan pergi sendiri.”
Samekta
menjadi semakin bingung. Kerti pun
menjadi bingung pula. Apalagi ketika ia tersentuh tubuh Ki Argapati yang
menjadi terlampau panas. Panas oleh benturan yang terjadi di dalam tubuhnya.
Benturan antara obat yang memampatkan lukanya dengan warangan yang ada pada
ujung senjata Ki Tambak Wedi yang tergores di dada Ki Gede Menoreh itu,
meskipun tidak terlampau tajam.
“Ki Gede,”
berbisik Kerti lirih,
“tubuh Ki Gede
menjadi terlampau panas. Mungkin terjadi sesuatu di dalam tubuh Ki Gede.”
“Oh,” desah Ki
Argapati, “muugkin. Tetapi aku merasa semakin sehat. Aku sudah hampir pulih
kembali.”
“Tetapi apakah
agaknya yang memaksa Ki Gede untuk berbuat sekarang?” bertanya Kerti pula.
“Mungkin
karena Ki Gede merasa kehilangan Pandan Wangi?”
“Sudah aku
katakan,” sahut Ki Gede.
Namun agaknya
pertanyaan Kerti itu telah membuat Samekta, Wrahasta dan orang-orang lain
menjadi terperanjat. Dengan terbata-bata Samekta bertanya,
“Maksud Ki
Gede. Ki Gede ingin menemukan Pandan Wangi? Dan karena itu Ki Gede akan pergi
sekarang?”
“Sudah aku
katakan. Itulah sebabnya maka aku sebut persoalan ini kalian anggap terlampau
pribadi. Aku terlampau mementingkan diriku sendiri, sekedar mencari anakku yang
hilang itu.”
“Oh,” Samekta
maju lagi selangkah,
“tidak Ki
Gede. Tidak. Pandan Wangi sama sekali tidak hilang.”
“He?” Ki
Argapati terbelalak mendengar kata-kata itu.
Samekta
mengangguk lemah. Ketika sekali lagi ia memandang wajah Ki Gede, maka wajah itu
sudah menjadi semakin pucat. Dan bahkan kini tubuh Ki Gede itu mulai menggigil.
Agaknya benturan di dalam darahnya menjadi semakin dahsyat. Bahkan Kerti mulai
bercuriga, apakah obat dari orang yang membawa cambuk dan mengaku bernama
Gupala itu bukan justru racun yang memperkuat warangan senjata Ki Tambak Wedi
yang tergores di dada Argapati.
Tetapi Kerti
tidak bertanya tentang hal itu.
“Ki Gede,”
berkata Samekta kemudian, “Pandan Wangi sudah kembali dengan selamat.”
“Siapa yang
mengatakannya?” bertanya Argapati.
“Ia ada di
sini.”
“Mana
orangnya?”
“Ia sedang
tidur. Ia terlampau lelah karena ia bertempur melawan Ki Peda Sura.”
Argapati
termenung sejenak. Kata-kata Samekta itu seolah-olah sebuah mimpi saja yang
mengganggunya. Perlahan-lahan dirabanya tengkuknya. Terasa lehernya menjadi
terlampau panas. Tiba-tiba saja ia merasakan tubuhnya menjadi terlampau
lungkrah. Tulang-tulangnya seakan-akan terlepas dari tubuhnya. Kini baru ia
mengerti, betapa tubuhnya dalam keadaan yang parah. Namun dengan demikian, ia
bertanya di dalam dirinya sendiri,
“Apakah benar
aku mendengar bahwa Pandan Wangi ada di sini? Atau karena keadaanku, maka aku
menjadi kehilangan kesadaran, atau pingsan atau mimpi atau dalam keadaan apa
pun. Tetapi itu hanya sekedar bayangan di dalam hati?”
Tetapi ia mendengar
lagi Samekta berkata,
“Marilah Ki
Gede, kami bawa Ki Gede kepadanya. Kepada Pandan Wangi.”
Ki Gede masih
tetap ragu-ragu. Tetapi ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Marilah.
Tetapi kalau kalian menipuku, maka aku dapat berbuat apa saja di luar sadarku.
Adalah di luar nalar, kalau Pandan Wangi mampu melepaskan dirinya dari Peda
Sura.”
Samekta
tertegun sejenak. Namun kemudian segera ia berpular dan melangkah ke rumah yang
diperuntukkan bagi Pandan Wangi. Beberapa orang yang mengerumuni Ki Gede segera
menyibak ketika kuda Ki Gede melangkah pula maju mengikuti Samekta. Sementara
itu Kerti masih juga duduk di belakang Ki Gede. Di belakang kuda itu para
pengawal yang sedang tidak bertugas di regol desa segera mengikutinya
berbondong-bondong. Samekta yang melangkah di depan kuda Ki Gede berjalan
semakin cepat. Seperti seorang senapati yang maju di depan pasukannya di
peperangan.
“Itulah rumah
yang dipergunakannya, Ki Gede,” berkata Samekta sambil menunjuk sebuah rumah
yang sedang di pinggir jalan di dalam lingkungan pagar batang-batang pring ori.
Ki Gede
menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak maka luka dan keadaan dirinya sendiri
terlupakan lagi. Yang dipandanginya adalah pintu rumah yang kini telah berada
di depannya. Perlahan-lahan mereka memasuki regol halaman yang tidak terlampau
luas. Wrahasta segera menahan para pengawal yang tidak berkepentingan agar
mereka tidak turut masuk memenuhi halaman rumah itu. Suara ribut-ribut di luar
ternyata telah mengejutkan Pandan Wangi yang sedang beristirahat di bilik dalam
rumah itu. Dengan hati yang berdebar-debar ia melangkah ke luar. Kedua
pedangnya tetap siap di lambungnya.
“Apakah yang
diributkan oleh orang-orang di luar itu bibi?” bertanya Pandan Wangi kepada
seorang perempuan tua pemilik rumah itu.
“Entahlah,
Ngger. Aku belum menjenguk juga.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku akan
melihatnya sebentar.”
Perempuan tua
yang lagi duduk di belakang alat tenunnya itu menengadahkan wajahnya. Sambil memiringkan
kepalanya ia berkata,
“Ya, aku
memang mendengar orang ribut di halaman.” Tetapi perempuan itu tidak beranjak
dari tempatnya. Sejenak kemudian ia telah mulai melemparkan jarum tenunnya
lagi.
Pandan Wangi
menarik nafas. Agaknya perempuan tua itu tidak tertarik lagi kepada apa pun juga selain jarum tenunnya yang besar
itu.
“Apakah Paman
tidak ada di rumah?” bertanya Pandan Wangi pula.
“Tidak, Ngger.
Pamanmu sedang keluar,” jawabnya. Tetapi perempuan itu sama sekali tidak
berpaling.
Sekali lagi
Pandan Wangi menarik nafas.
Dan Pandan
Wangi itu terperanjat ketika ia mendengar desah langkah seseorang masuk.
Sebelum ia melihat orangnya, Pandan Wangi telah mendengar suara orang itu
memanggilnya.
“Angger Pandan
Wangi. Apakab kau sudah bangun?”
“Paman
Samekta,” desis Pandan Wangi.
Samekta kini
telah berdiri di depan pintu. Katanya selanjutnya,
“Aku telah
mendengar suaramu. Tentu kau sudah tidak tidur lagi.”
“Aku banya
dapat tidur sekejap, Paman. Selebihnya aku banya sekedar berbaring saja.” Pandan
Wangi berhenti sejenak, lalu,
“Siapakah yang
berada di luar selain Paman Samekta.”
“Marilah,
lihatlah sendiri.”
“Siapa?”
“Wrahasta.”
“Ah,” Pandan
Wangi berdesah.
“Ada yang lain
lagi, Ngger, marilah, lihatlah sendiri.”
Pandan Wangi
masih juga ragu-ragu. Tetapi Samekta mendesaknya.
“Marilah,
Ngger, lihatlah siapakah yang menunggumu di luar.”
Samekta tidak
menunggu jawaban Pandan Wangi. Segera ia berbalik dan melangkah ke luar,
melintas pendapa. Dengan ragu-ragu Pandan Wangi mengikutinya di belakang.
Ketika ia melangkahi pintu, maka di bawah tangga pendapa dilihatnya seekor kuda
yang dipegangi oleh seorang pengawal. Di belakang pengawal itu ia melihat Kerti
sedang menolong seseorang turun dengan susah payah dari kuda itu. Tiba-tiba
Pandan Wangi terpekik, “Ayah.”
Dengan
cepatnya Pandan Wangi meloncat berlari menyongsong ayahnya yang baru saja turun
dari punggung kudanya. Menilik keadaannya, Pandan Wangi segera dapat
mengetahui, bahwa sesuatu telah terjadi atas ayahnya itu. Karena itu maka
dadanya serasa berhenti, seolah-olah menghentikan arus nafasnya. Ki Argapati
mendengar suara anaknya. Sejenak ia menengadahkan dadanya. Dipandangmya
seseorang yang berlari ke arahnya. Seorang gadis dengan dua buah pedang di
lambungnya sebelah-menyebelah.
“Pandan Wangi.”
Pandan Wangi
yang berlari-lari itu langsung memeluk ayahnya yang lemah sambil berdesis,
“Ayah, kenapa
ayah?”
Ayahnya tidak
segera menjawab. Tetapi Pandan Wangi terperanjat ketika tubuhnya tersentuh
badan ayahnya.
“Ayah
terlampau panas.”
Dengan
tangannya yang lemah dilayani oleh Kerti Ki Argapati membelai kepala puterinya.
Terdengar suaranya terlampau dalam, “Kau selamat Pandan Wangi.”
“Ya, Ayah, aku
selamat,” sahut Pandan Wangi, suaranya menjadi gemetar. Betapa ia bertahan,
namun ia adalah seorang gadis. Karena itu, maka terasa di pipinya air matanya
mengalir satu-satu.
“Aku mendengar
kau terlibat dalam perang tending melawan Ki Peda Sura.”
“Ya, Ayah.”
“Hanya tangan
Tuhanlah yang dapat menyelamatkanmu.”
Pandan Wangi
mengangguk. “Ya ayah.”
Ki Argapati
terdiam sejenak. Tangannya masih membelai rambut puterinya yang kini menangis
terisak-isak.
“Ki Gede,” berkata
Kerti yang melayaninya,
“sebaiknya,
silahkan Ki Gede naik dan beristirahat.”
“Oh,” Pandan
Wangi berdesah sambil melepaskan pelukannya.
“Ya, Ayah. Silahkan
Ayah naik. Apakah Ayah terluka?”
Argapati
mengangguk perlahan. Terdengar suaranya semakin lirih,
“Ya, aku
terluka Wangi.”
“Dan tubuh
Ayah terlampau panas. Apakah luka itu berbahaya dan parah?”
Argapati tidak
segera menyahut. Dipalingkan wajahnya, beredar di halaman rumah itu. Dilihatnya
beberapa orang pengawal berdiri mematung. Yang lain menyilangkan tombaknya di
regol, supaya orang-orang yang tidak berkepentingan tidak masuk ke halaman.
“Ayah, apakah
luka Ayah cukup parah?”
Ki Argapati
yang lemah itu menggelengkan kepalanya. Desisnya,
“Tidak Wangi.
Lukaku tidak terlampau parah.”
“Tetapi Ayah
sangat pucat dan tubuh Ayah sangat panas.”
Ki Argapati
mencoba tersenyum. Namun tampak betapa ia menahan gejolak di dalam tubuhnya.
Perasaan yang aneh menjalar menyusur peredaran darahnya. Di dalam dadanya
serasa menyala api yang sangat panasnya.
“Angger,”
potong Kerti kemudian ketika Pandan Wangi masih ingin bertanya,
“Biarlah Ki
Gede Menoreh naik ke rumah dan beristirahat.”
“O, marilah.
Marilah Ayah.”
Kerti dan
Pandan Wangi kemudian membamu Ki Gede menaiki tangga pendapa. Perlahan-lahan
mereka melintas dan masuk ke ruang dalam.
“Bibi,”
berkata Paudan Wangi kepada perempuan tua yang lagi menenun di sudut ruang,
“Ayahku minta
ijin untuk tinggal di rumah ini pula bersamaku, Bibi. Ayah sedang terluka.”
Perempuan tua
itu berpaling sejenak. Dipandanginya Argapati yang menjadi semakin lemah. Acuh
tidak acuh ia menjawab,
“Silahkan.
Bawalah masuk ke bilik sebelah.”
Pandan Wangi
menarik nafas dalam-dalam. Perempuan itu segera melanjutkan kerjanya tanpa
memperhatikan lagi orang-orang yang berada di dalam rumahnya. Perempuan tua itu
tidak berpaling ketika Pandan Wangi menyahut,
“Terima kasih,
Bibi.”
Namun
tiba-tiba perempuan itu terbelalak. Dengan terbata-bata ia bertanya,
“Siapa? Siapa
yang kau katakan akan tinggal di rumah ini bersamamu?”
“Ayah, Bibi.
Ayahku.”
“Maksudmu, Ki
Gede Menorah?”
“Ya, Bibi.”
“O,” dengan
tergesa-gesa perempuan tua itu melepaskan dirinya dari alat tenunnya. Dengan
tergesa-gesa ia berdiri dan berkata,
“Maaf. Maafkan
aku. Aku tidak menyadari bahwa yang datang adalah Ki Gede Menoreh.”
Maka
terbungkuk-bungkuk perempuan tua itu melangkah ke bilik yang lain sambil
berkata,
“Di sini. Di
sinilah Ki Gede akan beristirahat.”
Dengan
tergesa-gesa pula ia mengemasi pembaringan di dalam bilik itu. Dibentangkannya
tikar pandan yang putih sambil bergumam,
“Aku tidak
menyangka, bahwa Ki Gede akan sudi singgah di rumah ini.”
Ki Gede
Menoreh yang terluka itu pun segera
dibaringkan di pembaringan itu. Tubuhnya ternyata menjadi semakin panas, dan
nafasnya menjadi tersengal-sengal. Kerti, Samekta. Wrahasta, Pandan Wangi, dan
beberapa pemimpin pengawal yang lain menungguinya dengan cemas. Betapa
garangnya Pandan Wangi, namun sebagai seorang gadis yang menghadapi ayahnya
yang terbujur dengan wajah pucat dan tubuh menggigil, Pandan Wangi tidak dapat
menyembunyikan perasaannya. Betapa ia mumpuni mempergunakan sepasang
senjatanya, namun untuk mengatasi keadaan ayahnya ia tidak dapat mempergunakan
kemampuannya mempergunakan sepasang pedangnya. Dalam keadaan yang demikian,
maka tidak ada yang dapat memberinya pengharapan selain Kekuasaan Yang
Tertinggi. Tidak ada senjata, tidak ada pedang, tombak atau apa pun juga yang akan mampu menolongnya, selain
Sumber Hidupnya. Karena itu, maka baik Pandan Wangi mau pun Ki Argapati
sendiri, dalam keadaan demikian telah melepaskan dirinya dari segala macam
kemampuan diri, segala macam jenis senjata dan ilmu yang paling dahsyat
sekalipun. Kini mereka mencoba mendekatkan diri semakin lekat kepada
Penciptanya.
Namun ternyata
Ki Gede Menoreh yang telah lebih dalam menyadap pengalaman hidup, lebih cepat
dapat menyandarkan perasaannya. Ia lebih cepat meletakkan dirinya ke dalam
tangan Yang Maha Kuasa, dalam pasrah diri yang sedalam-dalamnya. Karena itu,
maka tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk tersenyum dan berkata
lirih kepada Pandan Wangi,
“Pandan Wangi,
kenapa kau menjadi terlampau cemas?”
“Ayah panas
sekali, bahkan menggigil.”
“Luka ini
sudah diobati Wangi. Jangan cemas.”
Kerti menarik
nafas dalam-dalam. Ia bahkan menjadi semakin curiga terhadap obat yang telah
ditaburkan di atas luka Ki Gede. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya, supaya Ki
Gede Menorek tidak menjadi cemas pula. Tetapi agaknya Ki Gede dapat mengerti
kecemasan yang tersirat di hati Kerti, sehingga sambil tersenyum ia berkata,
“Jangan
mencemaskan obat yang telah kau taburkan di atas luka itu Kerti. Aku percaya
bahwa orang itu tidak akan berkhianat meskipun aku sudah hampir tidak dapat
mengingatnya lagi siapakah dan bagaimanakah bentuk wajahnya.”
Kerti
mengerutkan keningnya. Namun ia bertanya pula,
“Tetapi
bukankah keadaan Ki Gede menjadi semakin sulit.”
Ki Gede adalah
seseorang yang memiliki pengetahuan yang jauh lebih luas dari orang-orangnya.
Dalam keadaan yang demikian ia masih dapat membuat perhitungan atas dirinya
sendiri. Katanya,
“Mudah-mudahan
aku menjadi segera lebih baik, Kerti. Mungkin benturan antara kekuatan racun
pada senjata Tambak Wedi dan obat yang ditaburkan di atas lukaku, telah terjadi
di dalam arus darahku. Tetapi kalau aku mampu mengatasinya, maka aku akan
segera baik.”
Kerti tidak
menjawab. Tetapi kecemasan masih membayang di wajahnya, di wajah Wrahasta dan
di wajah Samekta, bahkan di wajah-wajah yang lain. Dalam keadaan yang demikian,
ternyata bahwa orang-orang di sekitar Ki Gede itu tidak mampu lagi untuk
menenteramkan hati mereka sendiri, apalagi bagi yang sedang terluka. Setiap
kali mereka berdesah untuk melepaskan ketegangan yang menghimpit dada mereka. Dalam
ketegangan, mereka yang berada di sekitar Ki Gede berdiri tegak dalam kediaman.
Mereka memandang wajah Ki Gede yang pucat dan suram. Yang dapat mereka lakukan
hanyalah menunggu apa yang akan terjadi atas Ki Gede kemudian. Namun di dalam
hati mereka tidak sepi dari doa dan harapan atas kemurahan Tuhan Maha Pencipta.
Nafas Ki Gede Menoreh pun menjadi
semakin deras. Arus panas di dalam darahnya menyebabkannya basah oleh keringat.
Pandan Wangi akhirnya tidak dapat menahan ketegangan di dalam dirinya sehingga
terloncatlah pertanyaannya kepada Kerti,
“Paman, obat
apakah yang telah dipergunakan oleh ayah?”
“Seseorang
telah memberi obat itu di bawah Pucang Kembar, Ngger.”
“Siapakah
orang itu?”
Kerti
mengaugkat bahunya sambil berdesah,
“Aku baru
melihatnya sekali itu. Namanya Gupala.”
“Oh,” Pandan
Wangi terperanjat,
“jadi ayah
mempergunakan obat dari seseorang yang belum jelas bagi Paman dan bagi ayah
sendiri?”
Kerti menjadi
ragu-ragu. Dipandanginya wajah Ki Gede yang pucat. Namun sebelum Kerti
menjawab, terdengar suara Ki Gede lirih, “Aku tidak berprasangka jelek kepada
anak yang gemuk itu, Kerti. Aku harap bahwa aku akan menjadi semakin baik
setelah benturan yang terjadi antara kekuatan racun dan obat itu mereda.”
Kerti tidak
menjawab, dan Pandan Wangi pun tidak
bertanya lagi. Mereka kini berdiri seperti patung menyaksikan Ki Gede yang
terbaring diam sambil memejamkan matanya. Dicobanya untuk memusatkan segenap
sisa-sisa tenaganya dalam perjuangannya mengatasi keadaan yang gawat pada
dirinya. Tetapi Ki Gede meletakkan dirinya pada lambaran yang mapan. Pasrah
setulus hati kepada Kekuasaan Yang Tertinggi.
Ruangan itu
kini menjadi sepi. Perempuan tua pemilik rumah itu sudah tidak menenun lagi.
Meskipun ia berdiri di luar pintu, namun ia dapat ikut merasakan, betapa
ketegangan mencengkam ruang di dalam.
Hanya
nafas-nafas yang tertahan sajalah yang terdengar. Hampir tidak ada mata yang
sempat berkedip. Semuanya menatap wajah Ki Gede yang pucat pasi. Kadang-kadang
mereka memandangi nafasnya yang bekejaran dan dadanya yang menggelombang.
Tangannya yang gemetar bersilang di atas dadanya, sedang kedua kakinya terbujur
lurus di bawah selimut kain panjang. Sekali-kali mereka melihat Ki Gede menarik
nafas dalam-dalam. Sekali-kali Pandan Wangi mengusap keringat yang mengembun di
kening ayahnya, perlahan-lahan sekali. Tetapi Pandan Wangi tidak berani
bertanya sesuatu. Dadanya berdesir ketika ia melihat tombak pendek ayahnya
terbaring di sisi tubuh Ki Argapati itu. Belum dimasukkan ke dalam
selongsongnya, meskipun sudah berwrangka. Tiba-tiba dendamnya kepada Ki Tambak
Wedi melonjak sampai ke ujung ubun-ubun. Kalau terjadi sesuatu atas ayahnya,
maka segala kesalahan adalah tanggung jawab iblis tua itu. Sejak ayahnya kawin
dengan ibunya yang sudah mengandung kakaknya Sidanti, kemudian kemelutnya Tanah
Perdikan Menoreh adalah akibat semata-mata dari kelahiran Sidanti, dan akhirnya
keadaan ayahnya yang parah saat ini. Tanpa sesadarnya, maka Pandan Wangi
menggeretakkan giginya, sehingga Kerti berpaling ke arahnya. Orang tua itu
segera dapat menangkap betapa kemarahan menyala di hati gadis yang perkasa itu.
Kerti menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi ia segera menyadari, bahwa tidak ada seorang pun yang akan mampu melawan Ki Tambak Wedi
selain Ki Gede Menoreh. Apalagi di lingkungan mereka terdapat orang-orang yang
bernama Ki Peda Sura, Sidanti, Argajaya, dan orang-orang yang tidak mereka
kenal sebelumnya. Dalam ketegangan keadaan itu, Kerti mencoba menilai keadaan
secermat-cermatnya. Pasukan Samekta telah terpukul mundur, bahkan bersama-sama
dengan para pengawal pilihan yang dipimpin oleh Wrahasta. Tetapi apakah yang
dapat dilakukan Samekta dan Wrahasta menghadapi Sidanti dan Argajaya? Adalah
suatu keajaiban bahwa Pandan Wangi tidak terbunuh atau tertangkap ketika ia
berkelahi melawan Ki Peda Sura. Tetapi Pandan Wangi masih belum mengatakan,
apakah sebabnya ia berhasil melepaskan dirinya. Angan-angan mereka itu segera
tersentak ketika mereka mendengar desah Ki Gede menarik nafas dalam-dalam.
Perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya, kemudian sekali lagi menarik nafas
dalam-dalam.
“Ayah,” desis
Pandan Wangi. Ki Gede tidak segera menjawab.
“Ayah, Ayah,”
Pandan Wangi menjadi pucat, “Ayah.”
Hampir saja ia
menjerit sambil memeluk ayahnya, apabila Kerti tidak segera menahannya,
“Jangan,
Ngger. Jangan membuat ayah terkejut. Lihat, nafasnya menjadi semakin teratur.”
“Tetapi….”
Pandan Wangi
menjadi semakin bingung ketika Kerti tidak juga melepaskannya. Lenyaplah
gambaran seorang prajurit yang tangkas di peperangan. Yang ada kini adalah
seorang gadis yang kecemasan menunggui ayahnya, satu-satunya orang tuanya yang
ada, yang sedang dibelai maut.
“Tidak, Ngger.
Lihatlah. Ayah sedang mencoba mengatasi kesulitan yang ada di dalam dirinya
dengan memusatkan segenap kemampuanya dan kekuatan yang tersisa. Ayah sedang
memohon kepada Tuhan dengan segenap hatinya, segenap budinya. Marilah kita ikut
berdoa di dalam hati.”
“Tetapi,
tetapi, bagaimanakah keadaan ayah itu nanti.”
“Jangan cemas.
Kita pasrahkan keadaannya kepada Penciptanya. Tetapi menilik tata-lahir yang
kasat mata, keadaan ayahmu menjadi semakin baik.”
“Tetapi,
tetapi, apakah obat itu bukan justru menyesatkan?”
Pertanyaan itu
menyentuh perasaan Kerti yang Betapapun kecilnya mempunyai dugaan serupa pula.
Tetapi ia yakin, bahwa Ki Gede sendiri, seorang yang hampir mumpuni, pasti
dapat membedakan, apakah yang sedang terjadi atas dirinya, sehingga karena Ki
Gede sendiri sama sekali tidak berprasangka, maka ia tidak berbuat apa-apa.
“Paman,”
Pandan Wangi mendesak,
“apakah tidak
ada reorang dukun yang cukup cakap untuk mengetahui, apakah yang menyebabkan
ayah menjadi terlampau panas dan parah seperti ini.”
Kerti tidak
dapat menjawab pertanyaan itu. Seandainya ada seorang dukun yang cakap tentang
obat-obatan, namun Ki Argapati sendiri telah mantap mempergunakan obat dari
orang yang belum begitu dikenalnya itu. Tetapi meskipun demikian, ikhtiar itu
harus dilakukan. Pendapat Pandan Wangi itu dapat diusahakan seandainya mungkin.
Karena itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berdesis,
“Memang hal
itu pun akan dapat kami coba.”
Kerti pun
kemudian berbisik kepada seseorang yang berdiri di belakangnya, untuk
menghubungi pemimpin-pemimpin pengawal yang lain. Yang mungkin dapat memanggil
seseorang yang mampu menolong keadaan Ki Gede yang sedang parah itu.
Orang itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
berkata,
“Aku akan
mencoba.”
“Tetapi orang
itu harus benar-benar dapat dipercaya. Lebih baik apabila orang itu tinggal di
daerah ini. Orang yang selama ini selalu berhubungan dengan Ki Gede dalam soal
obat-obatan ternyata kini telah berada di pihak Sidanti.”
“Ki Wasi?”
bertanya orang itu.
Kerti
mengangguk.
“Ya, orang itu
ternyata kini berpihak kepada lawan meskipun selama ini ia selalu dekat dengan
Ki Gede dalam soal obat-obatan.”
Pengawal itu
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya,
“Tetapi
bukankah obat yang dipergunakan oleh Ki Gede ini bukan obat dari Ki Wasi.”
Kerti
menggelengkan kepalanya.
“Bukan, aku
kira bukan.” Namun terbersit keragu-raguan di dalam dadanya. Apakah anak yang
gemuk itu bukan sekedar suruhan Ki Wasi untuk meracuni Ki Argapati?
“Ah, kenapa
aku menjadi terlampau cemas,” berkata Kerti di dalam hatinya.
“Ki Gede telah
mengenal cirri-ciri orang yang memberinya obat. Agaknya Ki Gede mempercayainya.
Kenapa aku menjadi terlalu gelisah?”
Kerti mengangguk
ketika pengawal itu berkata,
“Baiklah aku
pergi sekarang. Mudah-mudahan di padesan ini aku dapat menemukannya. Yang
benar-benar baik dan dapat dipercaya.”
“Pergilah.
Asal bukan Ki Wasi dan Ki Muni. Kedua-duanya tidak lagi dapat dipercaya.”
Pengawal itu
segera pergi meninggalkan ruangan itu, untuk mencoba memenuhi permintaan Kerti
dan Pandan Wangi. Pandan Wangi, Wrahasta, Kerti, dan beberapa orang yang lain
masih saja mengerumuni Ki Argapati dengan dada yang dicengkam oleh ketegangan.
Ki Argapati masih terbaring diam sambil memejamkan matanya, dengan tangan
bersilang di dadanya.
“Bagaimana
keadaan ayah, Paman?” Pandan Wangi berbisik dalam kecemasan yang mencengkam.
“Kita hanya
dapat menunggu, Ngger. Tetapi setidak-tidaknya keadaannya tidak menjadi semakin
parah. Bahkan, lihatlah, pernafasannya sudah jauh lebih baik dan teratur.”
“Ayah telah
mengerahkan tenaganya untuk mengatur jalan pernafasannya. Tetapi apakah ia
dapat bertahan?”
Kerti tidak
menjawab. Tetapi kecemasan yang sangat membayang di matanya. Keningnya yang
telah berkerut, menjadi semakin berkerut-merut.
Wrahasta yang
berdiri tegak di samping Kerti, sama sekali tidak bergerak. Ia pun tidak kalah cemasnya dari Kerti dan
Samekta. Tetapi seperti juga Samekta, ia berusaha untuk menekan kecemasannya di
dalam hatinya. Apalagi mereka tidak melihat langsung seperti Kerti, seseorang
yang kurang mereka kenal memberikan obat kepada Ki Gede, dan obat itu telah
ditaburkan di atas lukanya.
Di halaman rumah
itu, pengawal yang mendapat tugas dari Kerti untuk mencari seorang dukun,
segera melakukan tugasnya. Dengan tergesa-gesa ia berlalu dari halaman rumah
itu, menghubungi seorang penduduk untuk menanyakan apakah di padukuhan itu ada
seorang dukun yang baik untuk mengobati luka-luka baru, luka-luka karena
senjata dan racun.
Tetapi
pengawal itu kecewa ketika ia melihat orang itu menggelengkan kepala.
“Sayang, di
desa ini tidak ada seorang pun yang
pantas untuk mengobati luka. Apakah Ki Gede terluka parah?”
“Ya, Ki Gede
terluka.”
“Apakah luka
itu berbahaya bagi jiwanya?”
Pengawal itu
terdiam. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Namun kediamannya telah
memberikan kesan kepada orang yang bertanya kepadanya, bahwa memang keadaan Ki
Gede cukup berbahaya. Berita tentang keadaan Ki Gede itu pun segera tersiar. Orang orang yang berdiri
di luar halaman, di gardu-gardu dan hampir di segala tempat, telah
mempercakapkan keadaan Ki Gede Menoreh. Mereka menjadi sangat berprihatin. Pada
saat tanah perdikan ini mengalami bencana, maka pada saat yang demikian Ki Gede
berada dalam keadaan luka parah, dan bahkan membahayakan jiwanya. Pada saat
orang-orang di seluruh padesan itu sedang berdoa untuk keselamatan Ki Gede,
seluruh pengawal yang mundur ke dalam daerah itu, dan seluruh peududuk di
daerah-daerah yang masih setia kepadanya, mengharapkan kesembuhannnya, maka
para pengawal di jurusan Timur padesan itu telah dikejutkan oleh suara panah
sendaren yang meluncur dari dalam daerah lingkungan bambu berduri.
Suara panah
sendaren itu benar-benar telah menarik perhatian para pengawal, sehingga
pemimpin pengawal yang berada di daerah itu segera memberikan perintah.
“Dua orang
pergi bersama aku.”
Ketiganya
segera meloncat ke atas punggung kuda berlari ke arah panah sendaren itu meluncur.
Namun agaknya mereka telah terlambat. Panah itu jatuh ke dalam sebuah pategalan
yang agak rimbun. Ketika kuda mereka mendekat, maka mereka melihat seekor kuda
meluncur dengan cepatnya, menerobos dedaunan berlari ke jurusan induk
kademangan.
“Seorang
pengbubung atau petugas sandi dari Sidanti.”
“Marilah kita
kejar,” geram salah seorang pengawal itu.
Tetapi
pemimpin pengawal itu menggelengkan kepalanya,
“Tidak akan
dapat kita capai. Kuda itu tidak kalah baiknya dengan kuda-kuda kita. Kita
kalah waktu dan kita pasti akan terjebak.”
Tetapi panah
itu sangat menarik perhatian para pengawal, sehingga pemimpin pengawal itu
berkata seterusnya,
“Kita harus
melaporkan, bahwa di dalam lingkungan kita pasti ada petugas sandi Sidanti yang
telah melepaskan panah sendaren itu.”
Ketika
pengawal berkuda itu segera berpacu kembali. Dengan segera mereka pun berusaha menemui Samekta yang sedang
menunggui Ki Gede yang sedang sakit.
“Ada apa?”
bertanya Samekta berbisik.
Pemimpin
pengawal itu ragu-ragu sejenak. Beberapa langkah ia bergeser diikuti oleh
Samekta yamg mengerti maksud pengawal itu. Lalu katanya,
“Seseorang
telah melepasksan panah sendaren dari ujung desa ini.”
Samekta
mengerutkan keningnya. Berita itu merupakan berita penting baginya.
“Kami bertiga
sudah berusaha untuk mengejar panah sendaren itu, karena kami yakin bahwa
seseorang telah menunggunya. Tetapi ternyata kami terlambat.”
“Kenapa?”
“Panah
sendaren itu merupakan sesuatu yang tiba-tiba bagi kami. Ketika kami berkuda
menyusul arah panah itu, maka seekor kuda yang lain telah berlari
kencang-kencang dari petegalan sebelah.”
“Apakah kalian
tidak mengejarnya?”
“Sudah
terlampau jauh.”
Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti, bahwa mustahil para pengawal
dapat berbuat terlampau cepat dan tiba-tiba, memacu kudanya secepat anak panah
pula. Tetapi peristiwa itu tidak akan dapat dibiarkannya saja. Maka sebelum ia menemukan
pemecahan ia berkata,
“Awasi keadaan
baik-baik. Usahakan untuk mengetahui, siapakah yang telah melepaskan anak panah
itu, atau setidak-tidaknya berusaha untuk mencegah, jangan sampai hal serupa
itu terulang.”
Pemimpin
pengawal itu menganggukkan kepalanya. Kemudian ia minta diri, meninggalkan
rumah itu. Sekali ia berpaling, mencoba memandang wajah Ki Gede dari sela-sela
yang mengerumuninya. Wajah itu masih juga pucat, dan mata Ki Gede masih saja
terpejam. Kerti yang berdiri di samping Pandan Wangi dengan gelisahnya menunggu
orang yang disuruhnya mencari seorang dukun yang mungkin dapat membantu Ki
Argapati, tetapi orang itu masih juga belum datang. Sedang keadaan Ki Gede
merupakan teka-teki yang menegangkan bagi mereka yang tidak begitu mengerti
tentang persoalan serupa itu. Dengan tergesa-gesa Kerti menyongsongnya, ketika
orang yang disuruhnya itu memasuki pintu. Tetapi ia menjadi kecewa ketika orang
itu mengangkat bahunya sambil berkata,
“Tidak ada.
Tidak ada seorang pun yang dapat
melakukannya dengan meyakinkan. Di sini memang ada dukun-dukun kecil yang hanya
mampu mengobati luka-luka kecil. Mungkin sakit sawan atau kerasukan. Tetapi
tidak untuk melawan luka yaug begitu parah.”
Kerti
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menjadi semakin cemas. Tetapi ia sama sekali
tidak dapat berbuat sesuatu. Perlahan-lahan ia melangkah kembali ke tempatnya
di samping Pandan Wangi.
“Bagaimana,
Paman?” bisik Pandan Wangi.
“Belum, Ngger.
Orang itu belum menemukan. Tetapi yang lain masih akan berusaha terus.”
Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Kecemasan yang sangat membayang di wajahnya. Tetapi
seperti juga Kerti, ia pun tidak mampu
berbuat apa-apa selain menunggu. Menunggu dan berdoa di dalam hati. Ia masih
mengharap, bahwa secepatnya akan ada orang yang datang untuk membantu
memperingan penderitaan Ki Gede dengan segala cara. Namun sebenarnya ia tidak
akan dapat mengharap siapa pun. Kerti
pun tidak, karena orang yang disuruhnya itu, tidak lagi berusaha untuk
mendapatkan orang lain. Tidak ada orang yang dapat diharapkannya lagi.
Namun
sementara itu, seseorang berjalan tertatih-tatih mendekati gardu penjagaan.
Dengan nafas terengah-engah ia berkata kepada para penjaga,
“Aku akan
keluar, Ngger.”
“Apakah
keperluanmu, Kek?” bertanya seorang pengawal.
“Aku akan
mencari seorang dukun yang baik, yang mungkin mampu mengobati luka-luka Ki
Argapati.”
“Kemana kau
akan pergi?”
“Kemana pun
juga. Ki Samekta menyuruh aku mendapatkannya segera di mana pun.”
Beberapa orang
pengawal saling berpandangan sejenak. Ketika pemimpin pengawal menganggukkan
kepalanya, maka pengawal itu berkata,
“Pergilah.
Hati-hati, Kek. Keadaan semakin gawat.”
“O, tidak ada
lagi halangannya buat seorang seperti aku, Ngger. Aku sudah tua.”
“Tetapi kau
harus hati-hati. Apalagi kalau orang lain tahu bahwa kau mencari obat untuk Ki
Argapati.”
“Baik, Ngger.”
Orang itu pun kemudian berjalan tersuruk-suruk di
panasnya matahari meninggalkan padesan yang dilingkungi oleh pering ori yang
rapat, membentengi tempat pemusatan pasukan induk pengawal Tanah Perdikan
Menoreh yang terdesak dari padukuhan induk. Berita tentang luka Ki Argapati
memang sudah tersebar sampai hampir seluruh tanah perdikan. Tetapi tidak
seorang pun di luar lingkungan pagar
pering ori yang tahu keadaan sebenarnya dari luka Ki Gede itu. Ki Tambak Wedi
yang tahu benar tentang luka itu pun, tidak dapat membayangkan akibatnya.
Apakah yang kemudian terjadi dengan Ki Gede itu. Apakah luka itu menjadi
bertambah parah, ataukah Ki Gede dapat mengabaikannya. Ketika Ki Tambak Wedi
meninggalkannya, tampaknya Ki Gede masih tetap segar dan mampu melawannya. Karena
itu, maka Ki Tambak Wedi memerlukan keterangan. Yang diharapkannya adalah
beberapa orang yang memang sudah berada di dalam lingkungan pering ori itu, di
padukuhan kecil tempat induk pasukan Menoreh menempatkan dirinya. Ketika
seorang petugas sandinya datang dan melaporkan bahwa sudah ada tanda panah
sendaren dari seseorang di dalam lingkungan pasukan Menoreh, maka harapan Ki
Tambak Wedi menjadi semakin besar untuk segera dapat mengetahui apakah yang
telah terjadi dengan Ki Argapati.
“Ia pasti
segera datang,” desisnya.
Sidanti
mengannguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Sekilas dilihatnya
wajah Argajaya dengan sudut matanya. Wajah itu pun sama sekali tidak memberikan
kesan apa pun juga. Sementara itu, orang tua yang keluar dari
daerah tertutup, pemusatan pasukan Menoreh semakin lama menjadi semakin jauh
dari regol desa. Ketika orang tua itu berbelok dan masuk ke dalam daerah
pategalan, maka tiba-tiba ia menarik nafas dalam. Punggungnya yang selama ini
terbungkuk-bungkuk menjadi tegak kembali. Sambil menggeliat ditekankannya kedua
tangannya di lambungnya sambil bergumam lirih,
“Hem, serasa
hampir patah punggungku.”
Sejenak
kemudian orang itu berpaling. Sama sekali tidak dilihatnya seseorang
menyusulnya. Daerah iu benar-benar merupakan daerah mati.
“Aku harus
segera menyampaikannya kepada Sidanti, bahwa luka Ki Argapati sangat parah,
bahkan hampir merenggut jiwanya,” katanya di dalam hati.
Orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ketika ia akan melangkahkan kakinya ia
mendengar gemerisik di sampingnya. Cepat ia meloncat dan bersiaga untuk
menghadapi setiap kemungkinan. Sejenak kemudian dari balik rimbunnya dedaunan,
muncul seseorang sambil berkata,
“Hem, aku
sudah mengira.”
Orang tua itu
terperanjat. Orang yang muncul dari balik rimbunnya dedaunan itu adalah salah
seorang pengawal Menoreh.
“Apa yang kau
duga?” bertanya orang tua itu.
“Aku bercuriga
melihat kau keluar dari padesan untuk mencari obat buat Ki Argapati. Ki Samekta
tidak akan memerintahkan kepadamu, seandainya ia benar-benar memerlukan.
Ternyata belum terlampau jauh, kau telah membuka kedokmu. Kau ternyata tidak terlampau
tua seperti yang kau perankan. Kau belum begitu lemah dan belum saatnya
berjalan tersuruk-suruk. Bahkan agaknya kau masih mampu untuk bertempur.”
“Hem,” orang
tua itu menarik nafas, “Hidung petugas sandi pengawal Menoreh cukup tajam.”
“Bukankah kau
juga orang Menoreh? Kita pasti sudah pernah berjumpa sebelum ini. Aku pernah
mengenalmu, tetapi tidak tertatih-tatih dan tersuruk-suruk seperti keadaanmu
pada saat kau keluar dari regol desa itu. Itulah yang membuat aku bercuriga.
Tetapi kau tetap dilepaskan, seolah-olah kami sama sekali tidak menaruh
perhatian atasmu. Nah, sekarang, marilah kita kembali saja. Kalau kau tidak
terlalu banyak ribut, maka kau tidak akan mengalami nasib terlampau jelek.”
Orang tua itu
mengerutkan keningnya. Sesaat ia tegak seolah-olah membeku. Namun tiba-tiba,
secepat kilat ia mencabut sehelai keris kecil dari wrangkanya di bawah bajunya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi
ia langsung menyerang, menusuk dada. Tetapi pengawal dari Menoreh itu pun telah mempersiapkan dirinya. Sehingga
dengan demikian, maka ia pun mampu untuk
meloncat menghindari serangan itu.
“Hem, kau
melawan, Kek?” katanya.
Orang tua itu
tidak menjawab, Tetapi serangannya telah berulang lagi. Semakin lama semakin
cepat. Kerisnya mematuk-matuk dengan dahsyatnya seperti seekor bilalang yang
melenting-lenting untuk hinggap di tubuh pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu. Dengan
demikian, maka petugas sandi dari Menoreh itu tidak dapat terus-menerus
menghindar dan menghindar. Akhirnya ia
pun harus bertempur pula. Sesaat kemudian kedua tangannya telah
menggenggam sepasang pisau belati pendek, yang segera terayun-ayun dengan
dahsyatnya, menyambar-nyambar mengimbangi gerak keris lawannya. Demikianlah,
maka perkelahian itu pun semakin lama
menjadi semakin sengit. Masing-masing ternyata adalah orang-orang terpilih.
Orang orang yang memiliki beberapa kelebihan dari kawan-kawan mereka sehingga
mereka mendapat tugas untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya. Setelah
perkelahian itu berlangsung beberapa saat, maka ternyata bahwa pengawal tanah
perdikan yang sedang bertempur itu memiliki beberapa kelebihan dari lawannya.
Umurnya masih jauh lebih muda dan nafasnya masih tetap segar, meskipun ia telah
memeras kemampuannya. Sedang orang tua yang bersenjata keris itu semakin lama
telah menjadi semakin susut tenaganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar