Jilid 038 Halaman 2


“Kalau keadaan tidak berubah, Ki Gede. Tetapi suara titir yang menjalar dari Timur telah menarik sebagian pasukan ini bersama Ki Samekta sendiri. Sedangkan Pandan Wangi tetap berada di medan ini.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ia masih juga melangkah maju menyusur bekas medan yang bosah-baseh.
“Aku akan menyusur garis surut pasukan Menoreh,” tiba-tiba Ki Gede bergumam.
Kerti terperanjat. Sehingga dengan serta-merta ia berkata,
“Terlampau berbahaya Ki Gede.”
Ki Gede tidak menjawab, tetapi ia melangkah terus sambil berpegangan pundak Kerti.
“Ki Gede masih terlampau lelah. Seandainya tidak ada bahaya apa  pun di perjalanan, maka Ki Gede akan terlampau banyak membuang tenaga.”
“Aku tergantung di pundakmu.”
“Itu bukan berarti Ki Gede tidak mengeluarkan tenaga.”
“Tetapi tenagaku masih cukup. Jangan kau cemaskan. Aku tidak akan mati karena berjalan menyusur jalan surut sampai ke tempatnya yang sekarang. Di sepanjang jalan mundur itu aku akan mencari mayat Pandan Wangi.”

Kerti menjadi bingung. Tetapi ia tidak dapat berhenti, karena Ki Gede yang tergantung di lehernya masih benjalan selangkah-selangkah terus, meskipun dengan susah payah. Tetapi yang mencemaskan Kerti dan pengawal-pengawal yang lain, bukanlah tenaga yang akan dikeluarkan oleh Ki Gede itu sendiri, meskipun hal itu  pun harus mendapat perhatian, tetapi bahwa di garis surut para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu, pasti akan ditemui suatu pengawalan yang ketat dari orang-orang Sidanti.
“Ki Gede,” berkata salah seorang dari ketiga pengawal yang menjemput Ki Gede,
“kalau kita akan menyelusur garis surut itu, berarti kita harus berjalan dari sini sampai ke Karang Sari.”
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Apabila ia ingin menyusur bekas peperangan sampai ke tempat para pengawal itu menarik diri, memang ia harus berjalan dari pategalan itu, lewat Wura-Wari melalui beberapa bulak lagi sampai ke Karang Sari.
Meskipun demikian Ki Gede bergumam,
“Tetapi aku akan menemukan puteriku di sepanjang daerah itu.”
Tak seorang  pun yang segera dapat menjawab. Mereka terpaksa berjalan menurut bekas-bekas peperangan di pategalan itu. Semakin lama semakin menepi. Para pengawal yang menjemput Ki Gede tahu benar, bahwa sebentar lagi mereka harus melalui daerah persawahan yang terbuka semakin dekat dengan tempat-tempat yang mungkin dihuni oleh orang-orang Sidanti.
Ketika mereka melangkah semakin maju lagi, tiba-tiba salah seorang dari ketiga pengawal itu berkata,
“Ki Gede, tidak ada gunanya kita mencarinya lebih jauh.”
Ki Gede memandangnya dengan penuh keheranan, “Kenapa?”
“Di sini Pandan Wangi bertempur.”
“Aku tahu, aku tahu,” jawab Ki Gede, “tetapi bukankah mereka mundur?”
“Yang mundur adalah pasukan pengawal. Pandan Wangi mencoba melindungi kami. Aku tahu, betapa besar tanggung jawabnya sebagai putera Ki Gede. Kami sudah mencoba untuk membawanya serta. Tetapi ia tidak bersedia. Sedang keadaan peperangan telah memaksa kami untuk selangkah demi selangkah mundur terus, kalau kami tidak ingin binasa sesuai dengan perintah Pandan Wangi sendiri sebagai pimpinan kami waktu itu sepeninggal Samekta.”
Wajah Ki Gede menjadi semakin tegang.
“Pandan Wangi terpaksa bertempur seorang lawan seorang melawan Ki Peda Sura.”
Tiba-tiba terdengar Ki Gede menggeram. Sejenak ia berdiri membeku tergantung di pundak Kerti. Namun kemudian ia berkata lantang,
“Kita kembali ke induk pasukan di Karang Sari. Aku akan memimpin pasukan itu langsung ke padukuhan induk. Aku harus menemukan Pandan Wangi dalam keadaan apa pun.”
Para pengawalnya menjadi berdebar-debar. Dan mereka mendengar Ki Gede berkata,
“Di sini aku tidak menemukan mayatnya. Anak itu pasti dibawa oleh Ki Peda Sura.”
Dada Kerti menjadi semakin bergetar. Bahkan para pengawal itu menjadi terbungkam untuk sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata,
“Apabila demikian, maka aku akan tinggal di sini.”
“Untuk apa?”
“Aku akan mencoba mencari sekali lagi. Lebih teliti di daerah peperangan ini.”
Ki Gede berpikir sejenak. Kemudian katanya,
“Terserahlah kepadamu. Tetapi aku akan segera menyiapkan pasukan yang ada. Aku tidak mau menunda lagi. Hilangnya Pandan Wangi adalah karena salahku. Aku terlalu bernafsu untuk menjaga harga diriku dengan perang tanding itu, sehingga keadaan Tanah Perdikan ini menjadi terpecah belah, dan anakku satu-satunya itu hilang.”
Ki Gede tidak menunggu jawaban apa pun lagi. Bersama Kerti ia segera kembali ke kudanya.
“Cepat, kita pergi ke Karang Sari.”

Setelah menolong Ki Gede naik, maka Kerti  pun segera naik pula. Dua dari mereka tinggal di pategalan itu untuk melihat kemungkinan yang mengerikan apabila hal itu terjadi atas Pandan Wangi. Sedang Ki Gede dengan tergesa-gesa segera meneruskan perjalanan mereka ke Karang Sari.
Di perjalanan itu Ki Gede bergumam, “Kita hindari daerah yang dikuasai Sidanti.”
Kerti mengerutkan keningnya. Ia agak heran mendengar pesan itu. Selama ini Ki Gede agaknya sama sekali tidak ingin menghindar dari kemungkinan bertemu dengan lawan, namun tiba-tiba pesan itu diberikannya.
“Aku akan memimpin pasukan,” geramnya kemudian.
Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tahu, bahwa Ki Gede merasa bahwa tugasnya masih belum selesai, sehingga ia tidak mau tertahan lagi di perjalanan ini. Kuda-kuda itu  pun kemudian berpacu dengan kencangnya. Debu yang keputih-putihan meloncat di belakang kaki-kaki kuda yang berderap di jalan kecil di tengah-tengah bulak yang panjang. Sementara itu bulan di langit sudah menjadi terlampau rendah. Di ujung Timur telah menyala cahaya fajar yang kemerah-merahan. Semakin lama menjadi semakin cerah. Di kejauhan terdengar suara kokok ayam yang seakan-akan menjalar dari satu kandang ke kandang yang lain. Sahut-menyahut tanpa menghiraukan apa saja yang telah terjadi di atas Tanah Perdikan Menoreh yang sedang kemelut dibakar oleh api pertentangan di antara mereka yang selama ini bersama-sama memelihara. Apalagi setelah ada orang-orang yang tidak dikenal mencoba memanfaatkan keadaan untuk kepentingan mereka sendiri. Kuda-kuda yang berlari di tengah-tengah bulak itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan sebuah padesan yang agak besar, yang menjadi tempat pasukan Menoreh menarik diri, Karang Sari.
“Apakah perempuan dan anak-anak ada di Karang Sari itu pula?” bertanya Ki Gede tiba-tiba.
“Tidak, Ki Gede,” jawab salah seorang pengawal, “mereka berada di Patemon.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi terdengar ia menggeram, sementara langit menjadi semakin cerah. Namun agaknya Ki Gede tidak ingin melihat matahari terbit dalam perjalanannya. Sehingga dengan memandangi langit yang semburat merah kekuning-kuningan ia berkata,
“Kerti, kita harus sampai ke Karang Sari sebelum fajar.”
“Kita akan berusaha, Ki Gede,” sahut Kerti sambil mempercepat kuda mereka pula.
“Aku harus segera mempersiapkan pasukan Menoreh,” geram Ki Gede.
Kerti tidak menyahut. Tetapi ia sudah tidak terlampau gelisah lagi. Mereka sudah tidak akan melampaui tempat-tempat yang dapat dianggap berbahaya, yang mungkin menjadi tempat-tempat bersembunyi bagi para peronda dari pihak Sidanti. Karang Sari itu pun kemudian telah berada di hadapan mereka. Sebuah padesan yang tidak begitu besar, dikitari oleh rum pun bambu ori yang lebat, seolah-olah sengaja ditanam sebagai benteng yang kuat untuk melindungi desa Karang Sari dari bahaya. Di antara rum pun bambu ori yang penuh dengan duri-duri yang tajam itu, terdapat sebuah lorong yang sempit menyusup di bawah sebuah regol yang kuat. Itu adalah salah satu dari empat jalan untuk memasuki desa Karang Sari di empat penjuru. Ki Gede serasa tidak sabar lagi menunggu langkah kaki kudanya. Ingin ia meloncat langsung memasuki desa yang berpagar rapat itu. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain daripada membiarkan dirinya tetap duduk di atas punggung kuda bersama dengan Kerti.

Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka segera mereka melihat beberapa pengawal bersenjata berdiri di depan regol desa. Sikap mereka menunjukkan kesiap-siagaan mereka. Senjata-senjata telanjang tergenggam di tangan mereka dengan eratnya. Beberapa orang di antara mereka menyongsong maju dengan tombak merunduk setinggi dada. Beberapa puluh langkah dari regol itu Kerti memperlambat langkah kudanya. Para pengawal yang lain kini berada di belakangnya. Dengan dada berdebar-debar Kerti mengangkat tangan kanannya ke atas tanpa senjata. Dan sebelum ia menghentikan kudanya terdengar salah seorang pengawal berteriak,
“Ki Gede.”
Yang lain pun segera meloncat keluar dari regol padesan itu. Berdesak-desakan. Dan mereka melihat, bahwa sebenarnyalah yang berada di atas punggung kuda bersama dengan Kerti itu adalah Ki Gede Menoreh. Maka mereka  pun segera menyibak, memberi jalan supaya kuda Ki Gede Menoreh dapat melangkah maju. Ketika sorot matahari yang pertama jatuh di atas desa Karang Sari, maka Ki Gede  pun telah berada di regol desa itu. Di antara para pengawalnya ia merasa dirinya menjadi lebih baik. Dengan dada yang gemetar ia berkata,
“Kita harus menebus kekalahan ini.”
Sejenak pengawal-pengawalnya terdiam memandangi wajah Ki Gede yang pucat. Namun kemudian seperti hentakan yang melonjak dari dalam dada masing-masing, mereka berteriak menyambut,
“Ya, kita harus menebus kekalahan ini.”
Samekta dan Wrahasta yang mendengar suara ribut itu segera berlari-lari ke luar dari rumah di ujung desa itu, yang mereka pakai sebagai tempat untuk melakukan pimpinan atas para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Mereka terperanjat ketika mereka melihat Ki Argapati yang pucat duduk di atas punggung kuda dibantu oleh Kerti.
“Apakah Ki Gede terluka,” bertanya Samekta dengan serta-merta.
Ki Gede mengangguk perlahan-lahan. Dipandanginya wajah Samekta dan Wrahasta berganti-ganti. Seolah-olah ia ingin melihat, apa saja yang telah mereka lakukan selama ini. Sorot mata Ki Gede terasa terlampau tajam menusuk dada kedua pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu. Perlahan-lahan kepala mereka pun kemudian tertunduk. Seolah-olah Ki Gede sedang mengamati ketidak-mampuan mereka mempertahankan Tanah Perdikan ini dari kehancuran.
Ki Gede melihat kegelisahan di wajah kedua orang itu, sehingga dengan nada yang dalam ia berkata,
“Aku tidak dapat menyalahkan kalian dan menyalahkan siapa pun. Aku tahu bahwa kalian telah berbuat sebanyak-banyaknya yang dapat kalian lakukan. Aku yakin bahwa semua orang telah berjuang untuk mempertahankan Tanah ini, selain aku sendiri yang asyik memanjakan perasaan tanpa nalar yang bening. Sekarang Tanah ini terluka parah dan aku sendiri pun terluka pula.”

Semua orang menundukkan kepala mereka. Tidak seorang  pun yang berani menatap wajah Ki Argapati yang sayu dan pucat. Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara Ki Gede,
“Tetapi aku ingin memperbaiki kesalahan itu. Sekarang aku akan memimpin sendiri pasukan Menoreh, merebut kembali daerah yang terpaksa kalian lepaskan itu.”
Samekta hampir-hampir tidak percaya kepada pendengarannya. Dengan pandangan yang aneh ditatapnya wajah Ki Gede Menoreh. Tetapi mulutnya tidak segera dapat mengucapkan sesuatu.
“Jangan menjadi gelisah. Aku sendiri yang akan memimpin pasukan Menoreh sekarang juga.”
“Tetapi,” suara Samekta terbata-bata, “tetapi bukankah Ki Gede sedang terluka.”
“Lukaku tidak seberapa. Aku akan segera menjadi kuat lagi.”
“Tetapi Ki Gede memerlukan beristirahat. Meskipun hanya satu hari ini. Mungkin besok Ki Gede telah menjadi pulih kembali dan mampu memimpin pasukan Menoreh yang masih ada untuk merebut kembali semua tempat yang telah terpaksa kita lepaskan.”
“Aku tidak dapat menunggu sampai besok. Aku harus berangkat hari ini.”
Dada setiap orang yang mendengar kata-kata Ki Gede itu bergetar. Terjadilah pergolakan di setiap dada. Dorongan perasaan mereka, apalagi ketika mereka melihat Ki Gede sudah ada di antara mereka, seakan-akan telah membakar jantung mereka dan mendidihkan darah mereka. Hampir saja para pengawal itu berteriak, “Sekarang! Sekarang!” Tetapi apabila mereka lihat Ki Gede yang lemah dan pucat, Betapapun ia masih tetap dijalari oleh tekad yang menyala-nyala, mereka tidak akan dapat membenarkan sikap yang tergesa-gesa itu. Sikap itulah yang menjadi teka-teki bagi mereka. Ki Gede Menoreh tidak pernah kehilangan pengamatan, seperti kali ini.
Karena itu, maka baik para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, maupun para pemimpinnya, tidak segera dapat menyahut. Mereka seakan-akan terpukau dalam kediaman mereka. Membeku sambil memandangi wajah Ki Gede yang pucat. Karena tidak seorang  pun yang mengucapkan sepatah kata menyambut perintahnya, maka Ki Gede berkata pula,
“Kenapa kalian menjadi beku? Apakah kalian ragu-ragu, bahwa kita tidak mampu lagi untuk merebut setiap kedudukan yang telah kita tinggalkan?”
Samekta menelan ludahnya. Selangkah ia maju mendekati Ki Gede dengan dada yang berdebar-debar. Menurut tanggapannya, pasti ada sesuatu yang menyebabkan Ki Gede menjadi terlampau tergesa-gesa mengambil keputusan.
“Ki Gede,” berkata Samekta dengan hati-hati,
“marilah. Kami persilahkan Ki Gede beristirahat. Marilah, kita membicarakannya dengan tenang.”
Tetapi Ki Gede Menoreh sama sekali tidak berkenan di hati. Dengan keras ia menjawab,
“Aku tidak akan membicarakannya. Kalau kalian masih mengakui aku sebagai Kepala Tanah Perdikan, maka aku akan memerintahkan kalian untuk bersiap sekarang.”

Setiap dada terasa berdesir mendengar kata-kata Ki Gede itu. Sejenak mereka saling berpandangan. Ki Argapati tidak pernah demikian. Namun Samekta masih mencoba bertanya,
“Ki Gede, apakah yang menyebabkan Ki Gede harus melakukannya sekarang? Bagaimana seandainya besok atau setiap saat apabila Ki Gede sudah pulih kembali.”
“O, kalian terlampau memikirkan diri sendiri,” suara Ki Argapati menjadi semakin keras. Kini ia duduk tegak di atas punggung kudanya meskipun Kerti masih belum turun juga.
“Kalian tidak dapat merasakan, betapa sakit hatiku mengalami peristiwa ini. Mungkin terlampau pribadi, dan mungkin kalian tidak mau terseret dalam kepentingan ini. Kalau demikian baiklah. Aku akan mengambil jalan lain. Tetapi aku harus mendapatkannya sekarang dalam segala keadaan.”
Samekta menjadi semakin tidak mengerti. Dipandanginya sejenak wajah Wrahasta. Tetapi Wrahasta yang bertubuh raksasa itu seakan-akan membeku di tempatnya. Di tubuhnya masih tergores jalur-jalur merah, bekas-bekas luka oleh sentuhan senjata lawan ketika ia bertempur mati-matian mempertahankan rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Agaknya karena sesuatu hal, maka ia tidak mati di peperangan itu. Seandainya pada saat itu Pandan Wangi masih ada di dalam rumah itu, maka ia tidak akan beranjak sampai ke ujung hidupnya.
“Baiklah,” berkata Ki Argapati kemudian, “beristirahatlah. Aku akan pergi sendiri.”
Samekta menjadi semakin bingung. Kerti  pun menjadi bingung pula. Apalagi ketika ia tersentuh tubuh Ki Argapati yang menjadi terlampau panas. Panas oleh benturan yang terjadi di dalam tubuhnya. Benturan antara obat yang memampatkan lukanya dengan warangan yang ada pada ujung senjata Ki Tambak Wedi yang tergores di dada Ki Gede Menoreh itu, meskipun tidak terlampau tajam.
“Ki Gede,” berbisik Kerti lirih,
“tubuh Ki Gede menjadi terlampau panas. Mungkin terjadi sesuatu di dalam tubuh Ki Gede.”
“Oh,” desah Ki Argapati, “muugkin. Tetapi aku merasa semakin sehat. Aku sudah hampir pulih kembali.”
“Tetapi apakah agaknya yang memaksa Ki Gede untuk berbuat sekarang?” bertanya Kerti pula.
“Mungkin karena Ki Gede merasa kehilangan Pandan Wangi?”
“Sudah aku katakan,” sahut Ki Gede.
Namun agaknya pertanyaan Kerti itu telah membuat Samekta, Wrahasta dan orang-orang lain menjadi terperanjat. Dengan terbata-bata Samekta bertanya,
“Maksud Ki Gede. Ki Gede ingin menemukan Pandan Wangi? Dan karena itu Ki Gede akan pergi sekarang?”
“Sudah aku katakan. Itulah sebabnya maka aku sebut persoalan ini kalian anggap terlampau pribadi. Aku terlampau mementingkan diriku sendiri, sekedar mencari anakku yang hilang itu.”
“Oh,” Samekta maju lagi selangkah,
“tidak Ki Gede. Tidak. Pandan Wangi sama sekali tidak hilang.”
“He?” Ki Argapati terbelalak mendengar kata-kata itu.
Samekta mengangguk lemah. Ketika sekali lagi ia memandang wajah Ki Gede, maka wajah itu sudah menjadi semakin pucat. Dan bahkan kini tubuh Ki Gede itu mulai menggigil. Agaknya benturan di dalam darahnya menjadi semakin dahsyat. Bahkan Kerti mulai bercuriga, apakah obat dari orang yang membawa cambuk dan mengaku bernama Gupala itu bukan justru racun yang memperkuat warangan senjata Ki Tambak Wedi yang tergores di dada Argapati.
Tetapi Kerti tidak bertanya tentang hal itu.
“Ki Gede,” berkata Samekta kemudian, “Pandan Wangi sudah kembali dengan selamat.”
“Siapa yang mengatakannya?” bertanya Argapati.
“Ia ada di sini.”
“Mana orangnya?”
“Ia sedang tidur. Ia terlampau lelah karena ia bertempur melawan Ki Peda Sura.”

Argapati termenung sejenak. Kata-kata Samekta itu seolah-olah sebuah mimpi saja yang mengganggunya. Perlahan-lahan dirabanya tengkuknya. Terasa lehernya menjadi terlampau panas. Tiba-tiba saja ia merasakan tubuhnya menjadi terlampau lungkrah. Tulang-tulangnya seakan-akan terlepas dari tubuhnya. Kini baru ia mengerti, betapa tubuhnya dalam keadaan yang parah. Namun dengan demikian, ia bertanya di dalam dirinya sendiri,
“Apakah benar aku mendengar bahwa Pandan Wangi ada di sini? Atau karena keadaanku, maka aku menjadi kehilangan kesadaran, atau pingsan atau mimpi atau dalam keadaan apa pun. Tetapi itu hanya sekedar bayangan di dalam hati?”
Tetapi ia mendengar lagi Samekta berkata,
“Marilah Ki Gede, kami bawa Ki Gede kepadanya. Kepada Pandan Wangi.”
Ki Gede masih tetap ragu-ragu. Tetapi ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Marilah. Tetapi kalau kalian menipuku, maka aku dapat berbuat apa saja di luar sadarku. Adalah di luar nalar, kalau Pandan Wangi mampu melepaskan dirinya dari Peda Sura.”
Samekta tertegun sejenak. Namun kemudian segera ia berpular dan melangkah ke rumah yang diperuntukkan bagi Pandan Wangi. Beberapa orang yang mengerumuni Ki Gede segera menyibak ketika kuda Ki Gede melangkah pula maju mengikuti Samekta. Sementara itu Kerti masih juga duduk di belakang Ki Gede. Di belakang kuda itu para pengawal yang sedang tidak bertugas di regol desa segera mengikutinya berbondong-bondong. Samekta yang melangkah di depan kuda Ki Gede berjalan semakin cepat. Seperti seorang senapati yang maju di depan pasukannya di peperangan.
“Itulah rumah yang dipergunakannya, Ki Gede,” berkata Samekta sambil menunjuk sebuah rumah yang sedang di pinggir jalan di dalam lingkungan pagar batang-batang pring ori.
Ki Gede menjadi semakin berdebar-debar. Sejenak maka luka dan keadaan dirinya sendiri terlupakan lagi. Yang dipandanginya adalah pintu rumah yang kini telah berada di depannya. Perlahan-lahan mereka memasuki regol halaman yang tidak terlampau luas. Wrahasta segera menahan para pengawal yang tidak berkepentingan agar mereka tidak turut masuk memenuhi halaman rumah itu. Suara ribut-ribut di luar ternyata telah mengejutkan Pandan Wangi yang sedang beristirahat di bilik dalam rumah itu. Dengan hati yang berdebar-debar ia melangkah ke luar. Kedua pedangnya tetap siap di lambungnya.
“Apakah yang diributkan oleh orang-orang di luar itu bibi?” bertanya Pandan Wangi kepada seorang perempuan tua pemilik rumah itu.
“Entahlah, Ngger. Aku belum menjenguk juga.”
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku akan melihatnya sebentar.”
Perempuan tua yang lagi duduk di belakang alat tenunnya itu menengadahkan wajahnya. Sambil memiringkan kepalanya ia berkata,
“Ya, aku memang mendengar orang ribut di halaman.” Tetapi perempuan itu tidak beranjak dari tempatnya. Sejenak kemudian ia telah mulai melemparkan jarum tenunnya lagi.
Pandan Wangi menarik nafas. Agaknya perempuan tua itu tidak tertarik lagi kepada apa  pun juga selain jarum tenunnya yang besar itu.
“Apakah Paman tidak ada di rumah?” bertanya Pandan Wangi pula.
“Tidak, Ngger. Pamanmu sedang keluar,” jawabnya. Tetapi perempuan itu sama sekali tidak berpaling.
Sekali lagi Pandan Wangi menarik nafas.

Dan Pandan Wangi itu terperanjat ketika ia mendengar desah langkah seseorang masuk. Sebelum ia melihat orangnya, Pandan Wangi telah mendengar suara orang itu memanggilnya.
“Angger Pandan Wangi. Apakab kau sudah bangun?”
“Paman Samekta,” desis Pandan Wangi.
Samekta kini telah berdiri di depan pintu. Katanya selanjutnya,
“Aku telah mendengar suaramu. Tentu kau sudah tidak tidur lagi.”
“Aku banya dapat tidur sekejap, Paman. Selebihnya aku banya sekedar berbaring saja.” Pandan Wangi berhenti sejenak, lalu,
“Siapakah yang berada di luar selain Paman Samekta.”
“Marilah, lihatlah sendiri.”
“Siapa?”
“Wrahasta.”
“Ah,” Pandan Wangi berdesah.
“Ada yang lain lagi, Ngger, marilah, lihatlah sendiri.”
Pandan Wangi masih juga ragu-ragu. Tetapi Samekta mendesaknya.
“Marilah, Ngger, lihatlah siapakah yang menunggumu di luar.”
Samekta tidak menunggu jawaban Pandan Wangi. Segera ia berbalik dan melangkah ke luar, melintas pendapa. Dengan ragu-ragu Pandan Wangi mengikutinya di belakang. Ketika ia melangkahi pintu, maka di bawah tangga pendapa dilihatnya seekor kuda yang dipegangi oleh seorang pengawal. Di belakang pengawal itu ia melihat Kerti sedang menolong seseorang turun dengan susah payah dari kuda itu. Tiba-tiba Pandan Wangi terpekik, “Ayah.”
Dengan cepatnya Pandan Wangi meloncat berlari menyongsong ayahnya yang baru saja turun dari punggung kudanya. Menilik keadaannya, Pandan Wangi segera dapat mengetahui, bahwa sesuatu telah terjadi atas ayahnya itu. Karena itu maka dadanya serasa berhenti, seolah-olah menghentikan arus nafasnya. Ki Argapati mendengar suara anaknya. Sejenak ia menengadahkan dadanya. Dipandangmya seseorang yang berlari ke arahnya. Seorang gadis dengan dua buah pedang di lambungnya sebelah-menyebelah.
“Pandan Wangi.”
Pandan Wangi yang berlari-lari itu langsung memeluk ayahnya yang lemah sambil berdesis,
“Ayah, kenapa ayah?”
Ayahnya tidak segera menjawab. Tetapi Pandan Wangi terperanjat ketika tubuhnya tersentuh badan ayahnya.
“Ayah terlampau panas.”
Dengan tangannya yang lemah dilayani oleh Kerti Ki Argapati membelai kepala puterinya. Terdengar suaranya terlampau dalam, “Kau selamat Pandan Wangi.”
“Ya, Ayah, aku selamat,” sahut Pandan Wangi, suaranya menjadi gemetar. Betapa ia bertahan, namun ia adalah seorang gadis. Karena itu, maka terasa di pipinya air matanya mengalir satu-satu.
“Aku mendengar kau terlibat dalam perang tending melawan Ki Peda Sura.”
“Ya, Ayah.”
“Hanya tangan Tuhanlah yang dapat menyelamatkanmu.”
Pandan Wangi mengangguk. “Ya ayah.”

Ki Argapati terdiam sejenak. Tangannya masih membelai rambut puterinya yang kini menangis terisak-isak.
“Ki Gede,” berkata Kerti yang melayaninya,
“sebaiknya, silahkan Ki Gede naik dan beristirahat.”
“Oh,” Pandan Wangi berdesah sambil melepaskan pelukannya.
“Ya, Ayah. Silahkan Ayah naik. Apakah Ayah terluka?”
Argapati mengangguk perlahan. Terdengar suaranya semakin lirih,
“Ya, aku terluka Wangi.”
“Dan tubuh Ayah terlampau panas. Apakah luka itu berbahaya dan parah?”
Argapati tidak segera menyahut. Dipalingkan wajahnya, beredar di halaman rumah itu. Dilihatnya beberapa orang pengawal berdiri mematung. Yang lain menyilangkan tombaknya di regol, supaya orang-orang yang tidak berkepentingan tidak masuk ke halaman.
“Ayah, apakah luka Ayah cukup parah?”
Ki Argapati yang lemah itu menggelengkan kepalanya. Desisnya,
“Tidak Wangi. Lukaku tidak terlampau parah.”
“Tetapi Ayah sangat pucat dan tubuh Ayah sangat panas.”
Ki Argapati mencoba tersenyum. Namun tampak betapa ia menahan gejolak di dalam tubuhnya. Perasaan yang aneh menjalar menyusur peredaran darahnya. Di dalam dadanya serasa menyala api yang sangat panasnya.
“Angger,” potong Kerti kemudian ketika Pandan Wangi masih ingin bertanya,
“Biarlah Ki Gede Menoreh naik ke rumah dan beristirahat.”
“O, marilah. Marilah Ayah.”
Kerti dan Pandan Wangi kemudian membamu Ki Gede menaiki tangga pendapa. Perlahan-lahan mereka melintas dan masuk ke ruang dalam.
“Bibi,” berkata Paudan Wangi kepada perempuan tua yang lagi menenun di sudut ruang,
“Ayahku minta ijin untuk tinggal di rumah ini pula bersamaku, Bibi. Ayah sedang terluka.”
Perempuan tua itu berpaling sejenak. Dipandanginya Argapati yang menjadi semakin lemah. Acuh tidak acuh ia menjawab,
“Silahkan. Bawalah masuk ke bilik sebelah.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Perempuan itu segera melanjutkan kerjanya tanpa memperhatikan lagi orang-orang yang berada di dalam rumahnya. Perempuan tua itu tidak berpaling ketika Pandan Wangi menyahut,
“Terima kasih, Bibi.”
Namun tiba-tiba perempuan itu terbelalak. Dengan terbata-bata ia bertanya,
“Siapa? Siapa yang kau katakan akan tinggal di rumah ini bersamamu?”
“Ayah, Bibi. Ayahku.”
“Maksudmu, Ki Gede Menorah?”
“Ya, Bibi.”
“O,” dengan tergesa-gesa perempuan tua itu melepaskan dirinya dari alat tenunnya. Dengan tergesa-gesa ia berdiri dan berkata,
“Maaf. Maafkan aku. Aku tidak menyadari bahwa yang datang adalah Ki Gede Menoreh.”
Maka terbungkuk-bungkuk perempuan tua itu melangkah ke bilik yang lain sambil berkata,
“Di sini. Di sinilah Ki Gede akan beristirahat.”
Dengan tergesa-gesa pula ia mengemasi pembaringan di dalam bilik itu. Dibentangkannya tikar pandan yang putih sambil bergumam,
“Aku tidak menyangka, bahwa Ki Gede akan sudi singgah di rumah ini.”

Ki Gede Menoreh yang terluka itu  pun segera dibaringkan di pembaringan itu. Tubuhnya ternyata menjadi semakin panas, dan nafasnya menjadi tersengal-sengal. Kerti, Samekta. Wrahasta, Pandan Wangi, dan beberapa pemimpin pengawal yang lain menungguinya dengan cemas. Betapa garangnya Pandan Wangi, namun sebagai seorang gadis yang menghadapi ayahnya yang terbujur dengan wajah pucat dan tubuh menggigil, Pandan Wangi tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Betapa ia mumpuni mempergunakan sepasang senjatanya, namun untuk mengatasi keadaan ayahnya ia tidak dapat mempergunakan kemampuannya mempergunakan sepasang pedangnya. Dalam keadaan yang demikian, maka tidak ada yang dapat memberinya pengharapan selain Kekuasaan Yang Tertinggi. Tidak ada senjata, tidak ada pedang, tombak atau apa  pun juga yang akan mampu menolongnya, selain Sumber Hidupnya. Karena itu, maka baik Pandan Wangi mau pun Ki Argapati sendiri, dalam keadaan demikian telah melepaskan dirinya dari segala macam kemampuan diri, segala macam jenis senjata dan ilmu yang paling dahsyat sekalipun. Kini mereka mencoba mendekatkan diri semakin lekat kepada Penciptanya.
Namun ternyata Ki Gede Menoreh yang telah lebih dalam menyadap pengalaman hidup, lebih cepat dapat menyandarkan perasaannya. Ia lebih cepat meletakkan dirinya ke dalam tangan Yang Maha Kuasa, dalam pasrah diri yang sedalam-dalamnya. Karena itu, maka tiba-tiba ia menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk tersenyum dan berkata lirih kepada Pandan Wangi,
“Pandan Wangi, kenapa kau menjadi terlampau cemas?”
“Ayah panas sekali, bahkan menggigil.”
“Luka ini sudah diobati Wangi. Jangan cemas.”
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Ia bahkan menjadi semakin curiga terhadap obat yang telah ditaburkan di atas luka Ki Gede. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya, supaya Ki Gede Menorek tidak menjadi cemas pula. Tetapi agaknya Ki Gede dapat mengerti kecemasan yang tersirat di hati Kerti, sehingga sambil tersenyum ia berkata,
“Jangan mencemaskan obat yang telah kau taburkan di atas luka itu Kerti. Aku percaya bahwa orang itu tidak akan berkhianat meskipun aku sudah hampir tidak dapat mengingatnya lagi siapakah dan bagaimanakah bentuk wajahnya.”
Kerti mengerutkan keningnya. Namun ia bertanya pula,
“Tetapi bukankah keadaan Ki Gede menjadi semakin sulit.”

Ki Gede adalah seseorang yang memiliki pengetahuan yang jauh lebih luas dari orang-orangnya. Dalam keadaan yang demikian ia masih dapat membuat perhitungan atas dirinya sendiri. Katanya,
“Mudah-mudahan aku menjadi segera lebih baik, Kerti. Mungkin benturan antara kekuatan racun pada senjata Tambak Wedi dan obat yang ditaburkan di atas lukaku, telah terjadi di dalam arus darahku. Tetapi kalau aku mampu mengatasinya, maka aku akan segera baik.”
Kerti tidak menjawab. Tetapi kecemasan masih membayang di wajahnya, di wajah Wrahasta dan di wajah Samekta, bahkan di wajah-wajah yang lain. Dalam keadaan yang demikian, ternyata bahwa orang-orang di sekitar Ki Gede itu tidak mampu lagi untuk menenteramkan hati mereka sendiri, apalagi bagi yang sedang terluka. Setiap kali mereka berdesah untuk melepaskan ketegangan yang menghimpit dada mereka. Dalam ketegangan, mereka yang berada di sekitar Ki Gede berdiri tegak dalam kediaman. Mereka memandang wajah Ki Gede yang pucat dan suram. Yang dapat mereka lakukan hanyalah menunggu apa yang akan terjadi atas Ki Gede kemudian. Namun di dalam hati mereka tidak sepi dari doa dan harapan atas kemurahan Tuhan Maha Pencipta. Nafas Ki Gede Menoreh  pun menjadi semakin deras. Arus panas di dalam darahnya menyebabkannya basah oleh keringat. Pandan Wangi akhirnya tidak dapat menahan ketegangan di dalam dirinya sehingga terloncatlah pertanyaannya kepada Kerti,
“Paman, obat apakah yang telah dipergunakan oleh ayah?”
“Seseorang telah memberi obat itu di bawah Pucang Kembar, Ngger.”
“Siapakah orang itu?”
Kerti mengaugkat bahunya sambil berdesah,
“Aku baru melihatnya sekali itu. Namanya Gupala.”
“Oh,” Pandan Wangi terperanjat,
“jadi ayah mempergunakan obat dari seseorang yang belum jelas bagi Paman dan bagi ayah sendiri?”
Kerti menjadi ragu-ragu. Dipandanginya wajah Ki Gede yang pucat. Namun sebelum Kerti menjawab, terdengar suara Ki Gede lirih, “Aku tidak berprasangka jelek kepada anak yang gemuk itu, Kerti. Aku harap bahwa aku akan menjadi semakin baik setelah benturan yang terjadi antara kekuatan racun dan obat itu mereda.”
Kerti tidak menjawab, dan Pandan Wangi  pun tidak bertanya lagi. Mereka kini berdiri seperti patung menyaksikan Ki Gede yang terbaring diam sambil memejamkan matanya. Dicobanya untuk memusatkan segenap sisa-sisa tenaganya dalam perjuangannya mengatasi keadaan yang gawat pada dirinya. Tetapi Ki Gede meletakkan dirinya pada lambaran yang mapan. Pasrah setulus hati kepada Kekuasaan Yang Tertinggi.
Ruangan itu kini menjadi sepi. Perempuan tua pemilik rumah itu sudah tidak menenun lagi. Meskipun ia berdiri di luar pintu, namun ia dapat ikut merasakan, betapa ketegangan mencengkam ruang di dalam.

Hanya nafas-nafas yang tertahan sajalah yang terdengar. Hampir tidak ada mata yang sempat berkedip. Semuanya menatap wajah Ki Gede yang pucat pasi. Kadang-kadang mereka memandangi nafasnya yang bekejaran dan dadanya yang menggelombang. Tangannya yang gemetar bersilang di atas dadanya, sedang kedua kakinya terbujur lurus di bawah selimut kain panjang. Sekali-kali mereka melihat Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sekali-kali Pandan Wangi mengusap keringat yang mengembun di kening ayahnya, perlahan-lahan sekali. Tetapi Pandan Wangi tidak berani bertanya sesuatu. Dadanya berdesir ketika ia melihat tombak pendek ayahnya terbaring di sisi tubuh Ki Argapati itu. Belum dimasukkan ke dalam selongsongnya, meskipun sudah berwrangka. Tiba-tiba dendamnya kepada Ki Tambak Wedi melonjak sampai ke ujung ubun-ubun. Kalau terjadi sesuatu atas ayahnya, maka segala kesalahan adalah tanggung jawab iblis tua itu. Sejak ayahnya kawin dengan ibunya yang sudah mengandung kakaknya Sidanti, kemudian kemelutnya Tanah Perdikan Menoreh adalah akibat semata-mata dari kelahiran Sidanti, dan akhirnya keadaan ayahnya yang parah saat ini. Tanpa sesadarnya, maka Pandan Wangi menggeretakkan giginya, sehingga Kerti berpaling ke arahnya. Orang tua itu segera dapat menangkap betapa kemarahan menyala di hati gadis yang perkasa itu.
Kerti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia segera menyadari, bahwa tidak ada seorang  pun yang akan mampu melawan Ki Tambak Wedi selain Ki Gede Menoreh. Apalagi di lingkungan mereka terdapat orang-orang yang bernama Ki Peda Sura, Sidanti, Argajaya, dan orang-orang yang tidak mereka kenal sebelumnya. Dalam ketegangan keadaan itu, Kerti mencoba menilai keadaan secermat-cermatnya. Pasukan Samekta telah terpukul mundur, bahkan bersama-sama dengan para pengawal pilihan yang dipimpin oleh Wrahasta. Tetapi apakah yang dapat dilakukan Samekta dan Wrahasta menghadapi Sidanti dan Argajaya? Adalah suatu keajaiban bahwa Pandan Wangi tidak terbunuh atau tertangkap ketika ia berkelahi melawan Ki Peda Sura. Tetapi Pandan Wangi masih belum mengatakan, apakah sebabnya ia berhasil melepaskan dirinya. Angan-angan mereka itu segera tersentak ketika mereka mendengar desah Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya, kemudian sekali lagi menarik nafas dalam-dalam.
“Ayah,” desis Pandan Wangi. Ki Gede tidak segera menjawab.
“Ayah, Ayah,” Pandan Wangi menjadi pucat, “Ayah.”
Hampir saja ia menjerit sambil memeluk ayahnya, apabila Kerti tidak segera menahannya,
“Jangan, Ngger. Jangan membuat ayah terkejut. Lihat, nafasnya menjadi semakin teratur.”
“Tetapi….”

Pandan Wangi menjadi semakin bingung ketika Kerti tidak juga melepaskannya. Lenyaplah gambaran seorang prajurit yang tangkas di peperangan. Yang ada kini adalah seorang gadis yang kecemasan menunggui ayahnya, satu-satunya orang tuanya yang ada, yang sedang dibelai maut.
“Tidak, Ngger. Lihatlah. Ayah sedang mencoba mengatasi kesulitan yang ada di dalam dirinya dengan memusatkan segenap kemampuanya dan kekuatan yang tersisa. Ayah sedang memohon kepada Tuhan dengan segenap hatinya, segenap budinya. Marilah kita ikut berdoa di dalam hati.”
“Tetapi, tetapi, bagaimanakah keadaan ayah itu nanti.”
“Jangan cemas. Kita pasrahkan keadaannya kepada Penciptanya. Tetapi menilik tata-lahir yang kasat mata, keadaan ayahmu menjadi semakin baik.”
“Tetapi, tetapi, apakah obat itu bukan justru menyesatkan?”
Pertanyaan itu menyentuh perasaan Kerti yang Betapapun kecilnya mempunyai dugaan serupa pula. Tetapi ia yakin, bahwa Ki Gede sendiri, seorang yang hampir mumpuni, pasti dapat membedakan, apakah yang sedang terjadi atas dirinya, sehingga karena Ki Gede sendiri sama sekali tidak berprasangka, maka ia tidak berbuat apa-apa.
“Paman,” Pandan Wangi mendesak,
“apakah tidak ada reorang dukun yang cukup cakap untuk mengetahui, apakah yang menyebabkan ayah menjadi terlampau panas dan parah seperti ini.”
Kerti tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Seandainya ada seorang dukun yang cakap tentang obat-obatan, namun Ki Argapati sendiri telah mantap mempergunakan obat dari orang yang belum begitu dikenalnya itu. Tetapi meskipun demikian, ikhtiar itu harus dilakukan. Pendapat Pandan Wangi itu dapat diusahakan seandainya mungkin. Karena itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berdesis,
“Memang hal itu  pun akan dapat kami coba.”
Kerti pun kemudian berbisik kepada seseorang yang berdiri di belakangnya, untuk menghubungi pemimpin-pemimpin pengawal yang lain. Yang mungkin dapat memanggil seseorang yang mampu menolong keadaan Ki Gede yang sedang parah itu.
Orang itu  pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
“Aku akan mencoba.”
“Tetapi orang itu harus benar-benar dapat dipercaya. Lebih baik apabila orang itu tinggal di daerah ini. Orang yang selama ini selalu berhubungan dengan Ki Gede dalam soal obat-obatan ternyata kini telah berada di pihak Sidanti.”
“Ki Wasi?” bertanya orang itu.
Kerti mengangguk.
“Ya, orang itu ternyata kini berpihak kepada lawan meskipun selama ini ia selalu dekat dengan Ki Gede dalam soal obat-obatan.”
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya,
“Tetapi bukankah obat yang dipergunakan oleh Ki Gede ini bukan obat dari Ki Wasi.”
Kerti menggelengkan kepalanya.
“Bukan, aku kira bukan.” Namun terbersit keragu-raguan di dalam dadanya. Apakah anak yang gemuk itu bukan sekedar suruhan Ki Wasi untuk meracuni Ki Argapati?
“Ah, kenapa aku menjadi terlampau cemas,” berkata Kerti di dalam hatinya.
“Ki Gede telah mengenal cirri-ciri orang yang memberinya obat. Agaknya Ki Gede mempercayainya. Kenapa aku menjadi terlalu gelisah?”
Kerti mengangguk ketika pengawal itu berkata,
“Baiklah aku pergi sekarang. Mudah-mudahan di padesan ini aku dapat menemukannya. Yang benar-benar baik dan dapat dipercaya.”
“Pergilah. Asal bukan Ki Wasi dan Ki Muni. Kedua-duanya tidak lagi dapat dipercaya.”

Pengawal itu segera pergi meninggalkan ruangan itu, untuk mencoba memenuhi permintaan Kerti dan Pandan Wangi. Pandan Wangi, Wrahasta, Kerti, dan beberapa orang yang lain masih saja mengerumuni Ki Argapati dengan dada yang dicengkam oleh ketegangan. Ki Argapati masih terbaring diam sambil memejamkan matanya, dengan tangan bersilang di dadanya.
“Bagaimana keadaan ayah, Paman?” Pandan Wangi berbisik dalam kecemasan yang mencengkam.
“Kita hanya dapat menunggu, Ngger. Tetapi setidak-tidaknya keadaannya tidak menjadi semakin parah. Bahkan, lihatlah, pernafasannya sudah jauh lebih baik dan teratur.”
“Ayah telah mengerahkan tenaganya untuk mengatur jalan pernafasannya. Tetapi apakah ia dapat bertahan?”
Kerti tidak menjawab. Tetapi kecemasan yang sangat membayang di matanya. Keningnya yang telah berkerut, menjadi semakin berkerut-merut.
Wrahasta yang berdiri tegak di samping Kerti, sama sekali tidak bergerak. Ia  pun tidak kalah cemasnya dari Kerti dan Samekta. Tetapi seperti juga Samekta, ia berusaha untuk menekan kecemasannya di dalam hatinya. Apalagi mereka tidak melihat langsung seperti Kerti, seseorang yang kurang mereka kenal memberikan obat kepada Ki Gede, dan obat itu telah ditaburkan di atas lukanya.
Di halaman rumah itu, pengawal yang mendapat tugas dari Kerti untuk mencari seorang dukun, segera melakukan tugasnya. Dengan tergesa-gesa ia berlalu dari halaman rumah itu, menghubungi seorang penduduk untuk menanyakan apakah di padukuhan itu ada seorang dukun yang baik untuk mengobati luka-luka baru, luka-luka karena senjata dan racun.
Tetapi pengawal itu kecewa ketika ia melihat orang itu menggelengkan kepala.
“Sayang, di desa ini tidak ada seorang  pun yang pantas untuk mengobati luka. Apakah Ki Gede terluka parah?”
“Ya, Ki Gede terluka.”
“Apakah luka itu berbahaya bagi jiwanya?”
Pengawal itu terdiam. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Namun kediamannya telah memberikan kesan kepada orang yang bertanya kepadanya, bahwa memang keadaan Ki Gede cukup berbahaya. Berita tentang keadaan Ki Gede itu  pun segera tersiar. Orang orang yang berdiri di luar halaman, di gardu-gardu dan hampir di segala tempat, telah mempercakapkan keadaan Ki Gede Menoreh. Mereka menjadi sangat berprihatin. Pada saat tanah perdikan ini mengalami bencana, maka pada saat yang demikian Ki Gede berada dalam keadaan luka parah, dan bahkan membahayakan jiwanya. Pada saat orang-orang di seluruh padesan itu sedang berdoa untuk keselamatan Ki Gede, seluruh pengawal yang mundur ke dalam daerah itu, dan seluruh peududuk di daerah-daerah yang masih setia kepadanya, mengharapkan kesembuhannnya, maka para pengawal di jurusan Timur padesan itu telah dikejutkan oleh suara panah sendaren yang meluncur dari dalam daerah lingkungan bambu berduri.

Suara panah sendaren itu benar-benar telah menarik perhatian para pengawal, sehingga pemimpin pengawal yang berada di daerah itu segera memberikan perintah.
“Dua orang pergi bersama aku.”
Ketiganya segera meloncat ke atas punggung kuda berlari ke arah panah sendaren itu meluncur. Namun agaknya mereka telah terlambat. Panah itu jatuh ke dalam sebuah pategalan yang agak rimbun. Ketika kuda mereka mendekat, maka mereka melihat seekor kuda meluncur dengan cepatnya, menerobos dedaunan berlari ke jurusan induk kademangan.
“Seorang pengbubung atau petugas sandi dari Sidanti.”
“Marilah kita kejar,” geram salah seorang pengawal itu.
Tetapi pemimpin pengawal itu menggelengkan kepalanya,
“Tidak akan dapat kita capai. Kuda itu tidak kalah baiknya dengan kuda-kuda kita. Kita kalah waktu dan kita pasti akan terjebak.”
Tetapi panah itu sangat menarik perhatian para pengawal, sehingga pemimpin pengawal itu berkata seterusnya,
“Kita harus melaporkan, bahwa di dalam lingkungan kita pasti ada petugas sandi Sidanti yang telah melepaskan panah sendaren itu.”
Ketika pengawal berkuda itu segera berpacu kembali. Dengan segera mereka  pun berusaha menemui Samekta yang sedang menunggui Ki Gede yang sedang sakit.
“Ada apa?” bertanya Samekta berbisik.
Pemimpin pengawal itu ragu-ragu sejenak. Beberapa langkah ia bergeser diikuti oleh Samekta yamg mengerti maksud pengawal itu. Lalu katanya,
“Seseorang telah melepasksan panah sendaren dari ujung desa ini.”
Samekta mengerutkan keningnya. Berita itu merupakan berita penting baginya.
“Kami bertiga sudah berusaha untuk mengejar panah sendaren itu, karena kami yakin bahwa seseorang telah menunggunya. Tetapi ternyata kami terlambat.”
“Kenapa?”
“Panah sendaren itu merupakan sesuatu yang tiba-tiba bagi kami. Ketika kami berkuda menyusul arah panah itu, maka seekor kuda yang lain telah berlari kencang-kencang dari petegalan sebelah.”
“Apakah kalian tidak mengejarnya?”
“Sudah terlampau jauh.”
Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti, bahwa mustahil para pengawal dapat berbuat terlampau cepat dan tiba-tiba, memacu kudanya secepat anak panah pula. Tetapi peristiwa itu tidak akan dapat dibiarkannya saja. Maka sebelum ia menemukan pemecahan ia berkata,
“Awasi keadaan baik-baik. Usahakan untuk mengetahui, siapakah yang telah melepaskan anak panah itu, atau setidak-tidaknya berusaha untuk mencegah, jangan sampai hal serupa itu terulang.”

Pemimpin pengawal itu menganggukkan kepalanya. Kemudian ia minta diri, meninggalkan rumah itu. Sekali ia berpaling, mencoba memandang wajah Ki Gede dari sela-sela yang mengerumuninya. Wajah itu masih juga pucat, dan mata Ki Gede masih saja terpejam. Kerti yang berdiri di samping Pandan Wangi dengan gelisahnya menunggu orang yang disuruhnya mencari seorang dukun yang mungkin dapat membantu Ki Argapati, tetapi orang itu masih juga belum datang. Sedang keadaan Ki Gede merupakan teka-teki yang menegangkan bagi mereka yang tidak begitu mengerti tentang persoalan serupa itu. Dengan tergesa-gesa Kerti menyongsongnya, ketika orang yang disuruhnya itu memasuki pintu. Tetapi ia menjadi kecewa ketika orang itu mengangkat bahunya sambil berkata,
“Tidak ada. Tidak ada seorang  pun yang dapat melakukannya dengan meyakinkan. Di sini memang ada dukun-dukun kecil yang hanya mampu mengobati luka-luka kecil. Mungkin sakit sawan atau kerasukan. Tetapi tidak untuk melawan luka yaug begitu parah.”
Kerti menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menjadi semakin cemas. Tetapi ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Perlahan-lahan ia melangkah kembali ke tempatnya di samping Pandan Wangi.
“Bagaimana, Paman?” bisik Pandan Wangi.
“Belum, Ngger. Orang itu belum menemukan. Tetapi yang lain masih akan berusaha terus.”
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kecemasan yang sangat membayang di wajahnya. Tetapi seperti juga Kerti, ia  pun tidak mampu berbuat apa-apa selain menunggu. Menunggu dan berdoa di dalam hati. Ia masih mengharap, bahwa secepatnya akan ada orang yang datang untuk membantu memperingan penderitaan Ki Gede dengan segala cara. Namun sebenarnya ia tidak akan dapat mengharap siapa pun. Kerti  pun tidak, karena orang yang disuruhnya itu, tidak lagi berusaha untuk mendapatkan orang lain. Tidak ada orang yang dapat diharapkannya lagi.
Namun sementara itu, seseorang berjalan tertatih-tatih mendekati gardu penjagaan. Dengan nafas terengah-engah ia berkata kepada para penjaga,
“Aku akan keluar, Ngger.”
“Apakah keperluanmu, Kek?” bertanya seorang pengawal.
“Aku akan mencari seorang dukun yang baik, yang mungkin mampu mengobati luka-luka Ki Argapati.”
“Kemana kau akan pergi?”
“Kemana pun juga. Ki Samekta menyuruh aku mendapatkannya segera di mana pun.”
Beberapa orang pengawal saling berpandangan sejenak. Ketika pemimpin pengawal menganggukkan kepalanya, maka pengawal itu berkata,
“Pergilah. Hati-hati, Kek. Keadaan semakin gawat.”
“O, tidak ada lagi halangannya buat seorang seperti aku, Ngger. Aku sudah tua.”
“Tetapi kau harus hati-hati. Apalagi kalau orang lain tahu bahwa kau mencari obat untuk Ki Argapati.”
“Baik, Ngger.”

Orang itu  pun kemudian berjalan tersuruk-suruk di panasnya matahari meninggalkan padesan yang dilingkungi oleh pering ori yang rapat, membentengi tempat pemusatan pasukan induk pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang terdesak dari padukuhan induk. Berita tentang luka Ki Argapati memang sudah tersebar sampai hampir seluruh tanah perdikan. Tetapi tidak seorang  pun di luar lingkungan pagar pering ori yang tahu keadaan sebenarnya dari luka Ki Gede itu. Ki Tambak Wedi yang tahu benar tentang luka itu pun, tidak dapat membayangkan akibatnya. Apakah yang kemudian terjadi dengan Ki Gede itu. Apakah luka itu menjadi bertambah parah, ataukah Ki Gede dapat mengabaikannya. Ketika Ki Tambak Wedi meninggalkannya, tampaknya Ki Gede masih tetap segar dan mampu melawannya. Karena itu, maka Ki Tambak Wedi memerlukan keterangan. Yang diharapkannya adalah beberapa orang yang memang sudah berada di dalam lingkungan pering ori itu, di padukuhan kecil tempat induk pasukan Menoreh menempatkan dirinya. Ketika seorang petugas sandinya datang dan melaporkan bahwa sudah ada tanda panah sendaren dari seseorang di dalam lingkungan pasukan Menoreh, maka harapan Ki Tambak Wedi menjadi semakin besar untuk segera dapat mengetahui apakah yang telah terjadi dengan Ki Argapati.
“Ia pasti segera datang,” desisnya.
Sidanti mengannguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Sekilas dilihatnya wajah Argajaya dengan sudut matanya. Wajah itu pun sama sekali tidak memberikan kesan apa  pun juga.  Sementara itu, orang tua yang keluar dari daerah tertutup, pemusatan pasukan Menoreh semakin lama menjadi semakin jauh dari regol desa. Ketika orang tua itu berbelok dan masuk ke dalam daerah pategalan, maka tiba-tiba ia menarik nafas dalam. Punggungnya yang selama ini terbungkuk-bungkuk menjadi tegak kembali. Sambil menggeliat ditekankannya kedua tangannya di lambungnya sambil bergumam lirih,
“Hem, serasa hampir patah punggungku.”
Sejenak kemudian orang itu berpaling. Sama sekali tidak dilihatnya seseorang menyusulnya. Daerah iu benar-benar merupakan daerah mati.
“Aku harus segera menyampaikannya kepada Sidanti, bahwa luka Ki Argapati sangat parah, bahkan hampir merenggut jiwanya,” katanya di dalam hati.
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ketika ia akan melangkahkan kakinya ia mendengar gemerisik di sampingnya. Cepat ia meloncat dan bersiaga untuk menghadapi setiap kemungkinan. Sejenak kemudian dari balik rimbunnya dedaunan, muncul seseorang sambil berkata,
“Hem, aku sudah mengira.”
Orang tua itu terperanjat. Orang yang muncul dari balik rimbunnya dedaunan itu adalah salah seorang pengawal Menoreh.
“Apa yang kau duga?” bertanya orang tua itu.
“Aku bercuriga melihat kau keluar dari padesan untuk mencari obat buat Ki Argapati. Ki Samekta tidak akan memerintahkan kepadamu, seandainya ia benar-benar memerlukan. Ternyata belum terlampau jauh, kau telah membuka kedokmu. Kau ternyata tidak terlampau tua seperti yang kau perankan. Kau belum begitu lemah dan belum saatnya berjalan tersuruk-suruk. Bahkan agaknya kau masih mampu untuk bertempur.”
“Hem,” orang tua itu menarik nafas, “Hidung petugas sandi pengawal Menoreh cukup tajam.”
“Bukankah kau juga orang Menoreh? Kita pasti sudah pernah berjumpa sebelum ini. Aku pernah mengenalmu, tetapi tidak tertatih-tatih dan tersuruk-suruk seperti keadaanmu pada saat kau keluar dari regol desa itu. Itulah yang membuat aku bercuriga. Tetapi kau tetap dilepaskan, seolah-olah kami sama sekali tidak menaruh perhatian atasmu. Nah, sekarang, marilah kita kembali saja. Kalau kau tidak terlalu banyak ribut, maka kau tidak akan mengalami nasib terlampau jelek.”

Orang tua itu mengerutkan keningnya. Sesaat ia tegak seolah-olah membeku. Namun tiba-tiba, secepat kilat ia mencabut sehelai keris kecil dari wrangkanya di bawah bajunya. Tanpa mengucapkan sepatah kata  pun lagi ia langsung menyerang, menusuk dada. Tetapi pengawal dari Menoreh itu  pun telah mempersiapkan dirinya. Sehingga dengan demikian, maka ia  pun mampu untuk meloncat menghindari serangan itu.
“Hem, kau melawan, Kek?” katanya.
Orang tua itu tidak menjawab, Tetapi serangannya telah berulang lagi. Semakin lama semakin cepat. Kerisnya mematuk-matuk dengan dahsyatnya seperti seekor bilalang yang melenting-lenting untuk hinggap di tubuh pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu. Dengan demikian, maka petugas sandi dari Menoreh itu tidak dapat terus-menerus menghindar dan menghindar. Akhirnya ia  pun harus bertempur pula. Sesaat kemudian kedua tangannya telah menggenggam sepasang pisau belati pendek, yang segera terayun-ayun dengan dahsyatnya, menyambar-nyambar mengimbangi gerak keris lawannya. Demikianlah, maka perkelahian itu  pun semakin lama menjadi semakin sengit. Masing-masing ternyata adalah orang-orang terpilih. Orang orang yang memiliki beberapa kelebihan dari kawan-kawan mereka sehingga mereka mendapat tugas untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya. Setelah perkelahian itu berlangsung beberapa saat, maka ternyata bahwa pengawal tanah perdikan yang sedang bertempur itu memiliki beberapa kelebihan dari lawannya. Umurnya masih jauh lebih muda dan nafasnya masih tetap segar, meskipun ia telah memeras kemampuannya. Sedang orang tua yang bersenjata keris itu semakin lama telah menjadi semakin susut tenaganya.


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar