MAKA sejenak kemudian mereka berdua telah terlibat dalam sebuah pekelahian yang semakin sengit. Pedang Sidanti berputar dengan cepatnya sedang senjata khususnya di tangan kiri dipergunakannya sebagai perisai, namun kadang-kadang senjata itulah yang mematuk dengan sangat berbahaya. Sebuah sentuhan dan goresan pada kulit lawan, maka akibatnya akan dapat berarti maut. Tetapi lawan Sidanti itu dapat mempergunakan senjatanya dengan sangat cekatan pula. Sepasang kakinya ternyata terlampau lincah. Loncatan-loncatan yang panjang telah membingungkan lawannya. Ujung tombaknya yang bernama Kiai Pasir Sewukir ternyata dapat menusuk lawannya dari segala arah. Ujung yang satu itu seolah-olah kini berubah menjadi berpuluh-puluh mata tombak yang mematuk dari segenap penjuru. Sementara, itu pertempuran semakin lama menjadi semakin seru. Orang-orang Jipang yang berjumlah lebih dari dua kali lipat itu terpaksa menahan nafsu mereka untuk segera dapat membinasakan lawan mereka. Para prajurit Pajang ternyata mampu menguasai medan dengan derap kuda mereka. Bahkan kini orang-orang Jipang sama sekali sudah tidak mampu untuk mengepung para prajurit Pajang yang dapat bergerak lebih cepat dari mereka. Tetapi orang-orang Jipang yang seakan-akan mendapat kesempatan untuk meluapkan dendam mereka itu, bertempur dengan nafsu yang menyala-nyala. Ki Gede Pemanahan dan Sutawijaya adalah penyebab langsung dari kematian Adipati Jipang. Karena itu, maka apabila orang-orang Jipang itu dapat membinasakan keduanya, maka seolah-olah sebagian dari dendam mereka sudah dapat mereka lepaskan. Apalagi jumlah mereka yang jauh lebih banyak dari pada lawan-lawan mereka.
Dalam
kekalutan peperangan, maka satu demi satu para prajurit Pajang terpaksa
berloncatan turun dari kuda-kuda mereka. Orang-orang Jipang yang menemui
beberapa kesulitan atas kuda-kuda lawan mereka, ternyata telah berusaha untuk
pertama-tama melumpuhkan kuda-kuda itu. Dengan demikian, maka para
penunggangnya akan terpaksa turun dan bertempur di atas tanah. Para prajurit
Pajang pun menyadari pula cara itu.
Sebagian dari mereka yang masih berada di punggung-punggung kuda mereka, kini
menyerang orang-orang Jipang dengan cara yang lain. Mereka menyambar-nyambar
seperti elang. Menukik, kemudian membubung tinggi. Pedang-pedang mereka yang
tajam berkilat-kilat seakan-akan memancarkan sinar yang melontar dari daerah
maut. Namun bagaimanapun juga, jumlah yang jauh lebih banyak itu pun banyak
mempengaruhi keadaan. Apalagi yang berjumlah dua kali lipat itu pun terdiri
dari prajurit-prajurit yang cukup terlatih dan berpengalaman pula dalam
berbagai bentuk pertempuran. Ki Gede Pemanahan melihat keadaan itu dengan hati
yang berdebar-debar, tetapi ia tidak dapat melepaskan Ki Tambak Wedi. Bahkan ia
harus tetap berusaha mengikat orang tua itu dalam pertempuran melawannya.
Meskipun demikian Ki Gede Pemanahan berusaha supaya ia tetap berada di atas
punggung kudanya. Keadaan yang menguntungkan itu masih belum memuaskan Ki
Tambak Wedi. Ia ingin pekerjaan itu cepat selesai. Orang-orang Pajang itu
segera dapat dibinasakan, untuk kemudian mereka akan segera menghilang. Setelah
mereka berhasil meninggalkan bencana yang akan membakar tidak saja para
prajurit Pajang di sangkal Putung, tetapi segenap prajurit Pajang yang tersebar
di pasisir Kidul sampai ke pasisir Lor. Meskipun Ki Tambak Wedi menyadari
akibatnya kemudian, namun ia telah menyiapkan dirinya untuk menghadapi
kemungkinan itu. Ia akan dapat menghimpun kekuatan dengan segera di lereng
Merapi ini. Kemudian memanfaatkan kekuatan yang tersimpan di seberang hutan
Mentaok, di sepanjang pegunungan Menoreh, daerah yang dikuasai oleh ayah
Sidanti. Seorang kepala daerah perdikan yang perkasa. Seorang sahabat yang
mempercayakan anaknya kepada Ki Tambak Wedi bukan karena ia sendiri tidak mampu
untuk menempa anaknya, tetapi karena pekerjaannya yang hampir merampas seluruh
waktunya, maka dipercayakannya anaknya, harapan bagi masa depannya itu kepada
seorang sahabatnya, Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka dalam pertempuran itu Ki
Tambak Wedi sendiri telah memeras segenap kemampuannya. Namun yang dihadapi
adalah Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan. Orang yang kadang-kadang
disebut-sebut telah mewarisi kesaktian leluhurnya, mampu menguasai petir.
Tetapi yang tampak pada Ki Gede Pemanahan adalah kedahsyatan tangannya. Telapak
tangannya benar-benar seperti menyimpan tenaga petir. Apabila tubuh lawannya
tersentuh oleh tangan itu, maka akibatnya akan melampaui sebuah pukulan senjata
yang betapapun kerasnya. Melampaui hantaman bindi atau bahkan tidak kalah
dengan tongkat baja putih Macan Kepatihan.
Sedang
anaknya, Sutawijaya, yang bertempur melawan Sidanti itu pun ternyata memiliki
kelincahan yang mengagumkan. Selincah petir yang menari-nari di langit. Sidanti,
murid Ki Tambak Wedi yang perkasa itu, terpaksa memeras keringatnya menghadapi
ujung tombak Sutawijaya. Berkali-kali Sidanti terpaksa meloncat surut.
Berkali-kali Sidanti terpaksa mengumpat tak habis-habisnya. Untung tombak
Sutawijaya seakan-akan memiliki biji-biji mata. Kemana ia menghindar, ujung
tombak itu selalu mengejarnya. Kini Sidanti terpaksa mengakui di dalam hatinya,
bahwa Sutawijaya tidak hanya dapat berceritera tentang kematian Arya Penangsang
yang perkasa. Kini Sidanti terpaksa mengalami kegelisahan karena anak muda itu.
Sepasang kakinya seolah-olah tidak lagi terjejak di atas tanah. Berloncatan
dari satu sisi ke sisi lawannya yang lain. Meskipun sebenarnya kemampuan
Sutawijaya belum mengimbangi kesaktian Arya Penangsang yang sewajarnya, namun
Sidanti tidak akan dapat bertahan untuk menghadapinya. Keringatnya mengalir
dari segenap lubang-lubang kulitnya, dan bahkan dari telapak tangannya,
sehingga gagang pedangnya serasa menjadi licin.
“Gila,”
Sidanti menggeram di dalam hati. Ia tidak menyangka bahwa suatu ketika ia akan
berhadapan dengan anak muda selincah itu. Ia pernah berkelahi melawan Agung
Sedayu. Pernah pula berkelahi melawan Untara dan Macan Kepatihan. Namun terasa
bahwa mereka belum dapat menyamai anak muda yang bergelar Mas Ngabehi Loring
Pasar ini.
Ki Tambak Wedi
yang bertempur melawan Ki Gede Pemanahan melihat kesulitan muridnya. Ia melihat
Sidanti terus-menerus terdesak mundur. Sidanti kini seakan-akan hanya tinggal
mampu mencoba menyelamatkan dirinya. Orang tua itu pun mengumpat pula di dalam
hatinya. Ia tidak rela apabila muridnya yang selalu dimanjakannya itu mendapat
bencana. Karena itu, maka ia mencoba mencari jalan lain untuk menolong Sidanti.
Ia sendiri tidak dapat meninggalkan Ki Gede Pemanahan yang pasti akan sangat
berbahaya bagi orang-orangnya yang lain. Di sudut lain Ki Tambak Wedi melihat
Sanakeling bertempur dengan seorang perwira Wira Tamtama. Keduanya memiliki
kemampuan yang seimbang, sehingga keduanya tidak segera dapat menguasai
lawannya. Tetapi di sisi yang lain lagi Ki Tambak Wedi melihat Alap-alap
Jalatunda bertempur dalam kerumuman yang ribut. Beberapa orang bertempur
melawan dua orang perwira Wira Tamtama yang lain. Kedua Wira Tamtama itu
ternyata mengalami banyak kesulitan, namun kawan-kawan mereka yang masih berada
di atas punggung kuda selalu membantu mereka. Kuda-kuda mereka
menyambar-nyambar dengan garangnya, menyerang orang-orang Jipang yang sedang
bertempur itu.
Ki tambak Wedi
menggeram keras. Dengan serta-merta, tanpa malu-malu ia berteriak,
“Alap-alap
Jalatunda. Supaya lekas selesai pakerjaan Sidanti, cepat, bantulah ia mengikat
kaki dan tangan anak Pemanahan itu. Anak muda itu akan kita bawa ke lereng
Merapi, supaya menjadi tontonan, betapa anak muda, yang diceriterakan mampu
membunuh Arya Penangsang itu, tidak dapat melepaskan diri dari tangan kalian.”
Alap-alap
Jalatunda mendengar perintah itu. Segera ia meloncat mundur, melepaskan
lawannya kepada kawan-kawannya yang lain. Ketika ia melihat berkeliling, ia
melihat Sidanti dalam kesulitan. Karena itu dengan serta-merta ia meloncat,
menerobos perkelahian yang hiruk-pikuk itu, mendekati lingkaran perkelahian
Sidanti. Sutawijaya yang melihat kehadiran lawannya yang lain mengerutkan
keningnya. Lawannya yang baru ini pun masih muda pula. Matanya memancar seperti
mata burung alap-alap yang berputaran di udara mencari mangsa. Dengan demikian
putera Ki Gede Pemanahan itu menyadari, bahwa pekerjaannya akan menjadi semakin
berat. Demikian Alap-alap Jalatunda menerjunkan dirinya dalam perkelahian itu, segera
terasa, bahwa ketrampilannya sangat mambantu ketangkasan Sidanti. Gabungan dari
kecakapan mereka masing-masing terasa benar oleh Sutawijaya. Karena itu,
terdengar anak muda itu menggeretakkan giginya. Ujung tombaknya pun menjadi
semakin cepat berputar dan mematuk-matuk semakin dahsyat.
Sementara itu,
di jalan yang menuju langsung ke Banjar Desa Sangkal Putung, Sonya masih
berpacu di atas punggung kudanya. Darah yang merah segar mengalir tak
henti-hentinya dari luka di kakinya, sedang bahunya serasa akan patah. Nafasnya
yang sesak, satu-satu berdesakan di lubang hidungnya. Tetapi Sonya masih tetap
sadar akan kewajibannya. Ia dapat membayangkan apa yang kira-kira terjadi atas
sepasukan kecil prajurit Wira Tamtama yang justru di antaranya adalah panglimanya
sendiri. Dengan menahan segala macam perasaan sakit, Sonya manghentak-hentakkan
kendali kudanya, supaya berjalan lebih cepat. Ketika ia memasuki desa kecil
yang pertama, di hadapan gardu peronda ia memperlambat kudanya. Ketika ia
melihat beberapa orang turun dari gardu dan berdiri di sisi-sisi jalan
seberang-menyeberang, Sonya segera berhenti.
“Kakang
Sonya,” sapa salah seorang dari mereka dengan sangat terkejut.
“Kenapa lukamu
itu?”
“Berapa orang
di sini,” bertanya Sonya tanpa menghiraukan pertanyaan orang itu.
“Yang bertugas
lima orang, tetapi di sini ada sepuluh orang.”
“Kenapa
sepuluh?”
“Lima orang
baru saja datang untuk menggantikan kami yang bertugas malam.”
“Bagus,” desis
Sonya.
“Yang delapan
pergi cepat ke bulak sebelah. Di sebelah Timur simpang empat telah terjadi
pertempuran. Orang-orang Jipang mencegat perjalanan para prajurit yang datang
dari Pajang. Di antaranya Ki Gede Pemanahan.”
“He?” serentak
kesepuluh orang itu menjadi kian terkejut. Hampir bersamaan pula mereka
mengulang,
“Ki Gede Pemanahan?”
“Ya,” sahut
Sonya,
“Jumlah orang
Jipang itu jauh lebih banyak. Dipimpin oleh Ki Tambak Wedi. Kalian, delapan
orang akan dapat membantu untuk sementara. Aku akan melaporkannya kepada Kakang
Widura.”
“Baik,” sahut
para prajurit Pajang itu.
Kembali Sonya
memacu kudanya. Kembali ia bergulat dengan waktu dan perasaan sakitnya. Tetapi
ia harus menyelesaikan perjalanannya itu. Ia harus sampai ke Banjar Desa
Sangkal Putung. Sepeninggal Sonya, maka delapan orang dari kesepuluh orang di
gardu itu segera membenahi diriya. Mereka tidak mengenakan sepenuhnya
kelengkapan untuk bertempur. Tetapi sebagai seorang prajurit, maka mereka harus
dapat berbuat secepatnya. Dengan tergesa-gesa, bahkan berlari-lari kecil mereka
menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Sonya. Sebelah Timur simpang empat di
tengah-tengah bulak di hadapan mereka. Dari kejauhan mereka segera melihat debu
yang mengepul tinggi. Karena itu, maka segera mereka mempercepat perjalanan
mereka, mendekati pertempuran itu.
Kedatangan
kedelapan orang itu segera diketahui oleh kedua belah pihak. Ki Gede
Pemanahan pun melihat kedatangan mereka.
Karena itu maka segera ia bertanya lantang,
“Siapakah yang
datang?”
Pertanyaan itu
sebenarya tidak penting baginya. Ia tahu bahwa orang-orang itu adalah prajurit
Pajang. Namun jawabnya dapat mempengaruhi lawan-lawannya. Meskipun orang-orang
Jipang itu pun sudah tahu pula bahwa orang-orang itu adalah prajurit Pajang di
Sangkal Putung, namun hati mereka berdesir juga ketika mereka mendengar
jawaban,
“Kami prajurit
Pajang di Sangkal Putung, Ki Gede.”
“Kenapa hanya
beberapa orang saja?” bertanya Ki Gede Pemanahan sambil menghindari serangan Ki
Tambak Wedi.
“Kami adalah
peronda di gardu dari desa sebelah. Kakang Sonya sedang menyampaikan berita ini
langsung ke pusat kademangan Ki Gede.”
“Bagus. Ayo,
mulailah. Aku ingin melihat, apakah selama kalian berada di Sangkal Putung
kalian masih dapat berkelahi dengan baik.”
Ki Tambak Wedi
menggeram keras sekali. Ia tahu benar, betapa Ki Gede Pemanahan mempergunakan
percakapan itu untuk mempengaruhi perasaan orang-orang Jipang. Karena itu maka
segera ia berteriak,
“He
orang-orang Pajang yang malang. Mari, marilah kalian datang agak terlambat.
Setelah lebih dari separo kawan-kawanmu yang datang dari Pajang binasa, baru
kalian datang membantu. Akibatnya, kalian pun akan tenggelam dalam arus
ke-marahan orang-orang Jipang. Alangkah bodohnya pimpinan-pimpinanmu di Sangkal
Putung yang percaya kepada cara kami membuat Sangkal Putung hancur lebur.
Kalian menyangka bahwa kami akan benar-benar menyerah. Tak ada seorang prajurit
Jipang pun yang bersedia menyerah.
Sebentar lagi dari arah yang lain akan datang induk pasukan di bawah pimpinan
Sumangkar sendiri.
Tetapi Ki Gede
Pemanahan pun segera meyahut,
“Kalau benar
demikian, alangkah marahya kami. Karena itu, ayo binasakan orang-orang Jipang
yang curang.”
Ki Tambak Wedi
tidak sempat untuk menyahut. Kedelapan orang Pajang itu kini telah terjun ke
medan pertempuran yang kalut itu. Meskipun demikian, tenaga mereka yang segar
itu ternyata berpengaruh juga. Orang-orang Pajang kini mendapat kesempatan
untuk sedikit bernafas, meskipun jumlah mereka sama sekali masih belum
seimbang, tetapi kedelapan orang itu sudah tentu akan dapat menambah daya
perlawanan mereka, setidak-tidaknya memperpanjang waktu.
Dalam pada itu
ternyata Sonya telah menggemparkan halaman Banjar Desa Sangkal Putung. Dengan
wajah yang tegang Untara dan Widura meyambut kedatangan Sonya yang hampir
kehabisan tenaga. Demikian Sonya berhenti di muka pendapa Banjar Desa demikian
ia disambut oleh Widura, dan dibantuya turun dari kudanya, tetapi Sonya telah
begitu lemah karena terlampau banyak darah yang mengalir dari lukanya. Ki Tanu
Metir yang melihatnya dengan tergopoh-gopoh segera mengambil reramuan
obat-obatan untuk menghentikan arus darah yang masih saja mengalir dari luka
yang menganga di kaki Sonya itu, setelah Sonya dibawanya naik ke pendapa.
Tetapi Sonya
merasa perlu untuk segera meyampaikan berita tentang peristiwa yang dilihatnya.
Karena itu,
betapa perasaan sakit serasa menghunjam sampai ke pusat jantungya, namun dengan
penuh kesadaran atas kewajibannya ia berkata terbata-bata di sela nafasnya yang
terengah-engah.
“Aku telah
bertemu dengan Ki Gede Pemanahan.”
“Ya,” sahut
Untara, “tetapi kenapa kau terluka?”
“Aku membawa
rombongan prajurit yang datang itu memasuki Kademangan Sangkal Putung.”
“Ya.”
“Semua
berjumlah duapuluh orang.”
Untara
terkejut.
“Jumlah itu
terlampau sedikit. Apalagi di antaranya terdapat Panglima Wira Tamtama
sendiri.”
“Dengan jumlah
yang sedikit itu Ki Gede Pemanahan ingin membuat kesan bahwa Sangkal Putung
telah benar-benar menjadi aman seperti laporan yang diterimanya,” berkata Sonya
seterusnya.
Dada Untara
berdesir. Ia sendiri yang membuat Iaporan itu. Menurut tanggapannya, Sangkal
Putung pasti akan segera menjadi aman. Apabila kelak terjadi benturan-benturan
berikutnya, maka pusat kegiatan orang-orang Jipang dan Sidanti pasti akan
berpindah ke lereng Merapi. Sebab menurut Kiai Gringsing, Sanakeling dan
orang-orangnya telah pergi mengikuti Ki Tambak Wedi ke padepokannya. Tetapi
menilik keadaan, pasti terjadi sesuatu dengan Ki Gede Pemanahan dengan
rombongannya.
Dalam pada itu
Sonya berkata dengan terputus-putus. Badannya menjadi bertambah lemah. Namun
kata-katanya masih terdengar jelas,
“Rombongan
kami ternyata dicegat oleh orang-orang Jipang. Kali ini dipimpin oleh Ki Tambak
Wedi, Sanakeling, Sidanti dan aku tidak tahu siapa lagi. Aku hanya melihat
mereka sepintas lalu memotong jalanku. Untunglah aku dapat melepaskan diri dari
mereka meskipun aku terluka. Luka pedang ini tidak begitu sakit selain darah
yang terlampau banyak megalir, tetapi bahuku serasa remuk oleh gelang-gelang
besi ki Tambak Wedi.”
Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Kalau demikian, maka ia harus segera merawat luka dalam
yang dialami oleh Sonya di bahunya. Tetapi dibiarkannya Sonya berkata terus.
“Seterusya aku
barpacu kemari. Jumlah orang Jipang itu agaknya terlampau banyak.”
Dada Untara
serasa akan pecah. Dengan wajah tegang ia memandang Kiai Gringsing yang
keningnya semakin berkerut-kerut. Seolah-olah Untara ingin menuntut suatu
pertanggungan jawab dari orang tua itu. Kenapa orang-orang Jipang itu tiba-tiba
saja berada di perjalanan Ki Gede Pemanahan, sedang menurut keterangan Kiai
Gringsing dan kemudian diperkuat oleh Sumangkar, orang-orang Jipang itu telah
berada di padepokan Ki Tambak Wedi. Pancaran mata Untara itu benar-benar terasa
menusuk dada Kiai Gringsing. Ia segera merasa, bahwa pertanggungan jawab atas
peristiwa ini seolah-olah ada padanya, meskipun Untara telah dipertemukannya
sendiri dengan Sumangkar. Tetapi perasaan Kiai Gringsing telah cukup mengendap
karena perbendaharaan pengalamannya, sehingga dengan segera ia dapat mengurai
keadaan. Ketajaman pandangan dan kecepatan menemukan hubungan antara
persoalan-persoalan yang diamatinya, telah membawa Kiai Gringsing ke dalam
persoalan yang sewajarnya.
Orang tua itu
pun kemudian mengangguk-anggukan kepalanya. Dengan tenang ia berkata,
“Ini adalah
pokal Ki Tambak Wedi. Aku tidak tahu, apakah ia dengan sengaja dan sadar
mencegat perjalanan Ki Gede Pemanahan, atau suatu kebetulan. Tetapi adalah
maksud Ki Tampak Wedi datang ke Sangkal Putung tepat pada hari yang dijanjikan
oleh Sumangkar, untuk mengacau keadaan. Kegagalan yang terjadi akan memberinya
peluang untuk bertindak. Ia mengharap, baik orang-orang Jipang yang tidak
sependirian dengan mereka, maupun orang Pajang akan terlibat dalam pertentangan
perasaan yang akan dapat meledak. Ki tambak Wedi kini sedang meletakkan api
pada minyak yang sedang tergenang. Kalau kita kurang berhati-hati, maka kita
akan dapat terbakar karenanya.”
Untara
menggeretakkan giginya. Sebagian besar dari keterangan itu dapat dimengerti,
tetapi kemarahanya telah membakar ubun-ubunnya. Apalagi ketika kemudian Sonya
berkata,
“Ki Gede
Pemanahan dan para pengawalnya kini pasti telah terlibat dalam pertempuran.”
Wajah Untara
segera menjadi merah membara. Dengan serta-merta ia berteriak nyaring kepada
seorang penghubung yang berdiri di ujung pendapa,
“Cepat siapkan
kudaku!”
Orang itu
terkejut. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Segera ia berlari untuk mempersiapkan
kudanya.
“Apakah kau
akan pergi seorang diri Untara?” bertanya pamannya.
Untara
menggigit bibirnya. Kemudian ia bertanya,
“Berapakah
jumlah orang-orang Jipang?”
Sonya yang
sedang meyeringai menahan sakit berdesah,
“Aku tidak
tahu pasti, tetapi mereka tidak akan lebih dari tujuh puluh orang.”
Darah Untara
tersirap mendengar jumlah itu. Ki Gede Pemanahan hanya membawa duapuluh orang
ditambah dengan penghubungnya yang hanya tinggal empat orang. Karena itu, maka
dengan degup jantung yang semakin cepat ia berkata kepada Widura, sebagai seorang
senapati kepada bawahannya,
“Paman Widura,
siapkan dua puluh lima orang prajurit berkuda.” Meskipun demikian pertanggungan
jawabnya sebagai seorang pemimpin masih memberinya kesadaran untuk berkata,
“Biarlah
Hudaya pergi bersama aku. Paman tinggal di sini supaya orang-orang Jipang yang
terluka di dalam banjar ini tidak menjadi korban kemarahan para prajurit yang
kemudian pasti mendengar apa yang telah terjadi atas Sonya dan Panglima Wira
Tamtama. Tetapi apabila kemudian benar-benar orang-orang Jipang itu berbuat
curang, maka aku sendiri yang akan memenggal leher mereka di alun-alun di depan
banjar ini.”
Widura tidak
menjawab. Diserahkannya Sonya yang luka itu kepada Kiai Gringsing dan beberapa
orang yang sedang bertugas di halaman itu, yang berdatangan kemudian setelah
mereka melihat Sonya terluka. Namun Untara sempat berkata,
“Sonya,
cobalah merahasiakan apa yang telah terjadi atasmu untuk menjaga ketenangan
keadaan.”
Sonya
mengangguk lemah. Tetapi ia tidak dapat mengerti kenapa hal itu mesti harus
dirahasiakan. Beberapa orang yang berada di alun-alun melihat Sonya berpacu
seperti dikejar hantu. Tetapi karena jarak yang tidak terlampau dekat, serta
banyak peristiwa-peristiwa yang tak dapat mereka mengerti yang terjadi pagi itu
maka orang-orang di alun-alun pun tidak bayak memperhatikanya lagi. Sementara
itu, orang-orang yang bertugas di halaman dan mengerumuni Sonya, telah memapah
Sonya ke Gandok Wetan. Dibaringkannya Sonya di sudut gandok itu untuk segera
mendapat pengobatan dari Kiai Gringsing. Namun segera setelah Kiai Gringsing
memberikan pertolongan pertama, ditinggalkannya Sonya dan dengan tergesa-gesa
orang tua itu kembali mendekat Untara yang dengan gelisah menunggu kudanya.
Tetapi sudah
tentu Widura tidak segera dapat mengumpulkan dua puluh lima ekor kuda di banjar
desa itu. Ia harus mengumpulkan segenap kuda prajurit Pajang yang tersebar di
seluruh kademangan, pada gardu-gardu peronda yang penting.
Di dalam
banjar desa itu, yang segera dapat dikumpulkan adalah baru sepuluh ekor kuda,
tetapi segera Untara berkata,
“Biarlah kami
bersepuluh berangkat dahulu. Yang lain segera meyusul. Dua tiga, empat atau
lima. Tidak perlu menunggu sampai limabelas sekaligus sepeninggalku.”
Widura pun segera menjadi sibuk. Beberapa orang yang
melihatnya menjadi heran. Apakah yang sebenarnya telah terjadi. Hanya
orang-orang di dalam halaman sajalah yang melihat, bahwa sebenarnya Sonya telah
terluka dan Widura menjadi sedemikian sibuknya mengumpulkan beberapa ekor kuda.
Para petugas yang harus meyediakan kuda-kuda itu pun menjadi sibuk pula. Dengan
tergesa-gesa mereka menyiapkan kuda-kuda itu di muka pendapa. Setelah kuda yang
sepuluh itu siap, maka segera Widura memerintahkan memanggil Hudaya dan
beberapa orang untuk ikut serta bersama Untara ke tempat pertempuran itu
terjadi. Agung Sedayu yang datang kemudian pun menjadi terheran-heran. Ia melihat
betapa wajah kakaknya menjadi tegang dan sepuluh ekor kuda telah siap di
halaman.
Dengan
hati-hati ia kemudian bertanya kepada gurunya,
“Apakah yang
telah terjadi Kiai?”
Dengan singkat
Kiai Gringsing mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan apa
yang didengarnya itu telah menggetarkan dadanya pula. Karena itu ketika
tiba-tiba ia mendengar suara kakaknya memanggil, dengan tergopoh-gopoh ia
mendekatinya.
“Kau ikut
bersamaku,” perintah kakaknya.
“Baik Kakang,”
sahut, Agung Sedayu. Karena Agung Sedayu telah mendengar apa yang terjadi maka
segera ia pun menyiapkan pedangnya dan membenahi pakaiannya.
Sesaat
kemudian berkumpulah sepuluh orang di halaman. Wajah mereka memancarkan
berbagai pertanyaan yang tersimpan di dalam hati mereka.
Di antara
mereka itu adalah Hudaya yang dipanggil dari alun-alun di muka banjar desa itu.
Dengan singkat dan tergesa-gesa Untara berkata kepada mereka,
“Kalian ikut
dengan aku. Bawa senjatamu. Mungkin kita akan berhadapan dengan bahaya.”
Hudaya
mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia sempat bertanya, Untara berkata pula,
“Tak ada
kesempatan untuk membicarakan masalah ini. Siap di atas punggung kuda. Kita
berangkat. Hanya ada sepuluh ekor kuda. Dua di antaranya untuk aku dan Agung
Sedayu.”
Para prajurit
Pajang itu benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk bertanya. Untara segera
meloncat ke atas punggung kudanya diikuti oleh Agung Sedayu. Meskipun berbagai
pertanyaan bergelut di dalam hati masing-masing, namun kedelapan ekor kuda yang
lain pun segera berpenumpang di punggungnya.
“Aku akan
berangkat sekarang Paman. Aku serahkan segala kebijaksanaan di sini kepada
Paman dan Kiai Gringsing,” berkata Untara.
“Mudah-mudahan
Ki Tambak Wedi tak akan dapat melampaui kesaktian Ki Gede. Kalau demikian,
mungkin salah seorang dari kami akan datang kembali menjemput Kiai.”
“Baik,” jawab
Widura singkat.
Untara tidak
berkata apa pun lagi. Segera ia menggerakkan kendali kudanya, dan kuda itu pun
segera meloncat diikuti oleh kuda-kuda yang lain. Meskipun demikian, perkataan
Untara yang terakhir itu pun menambah pertanyaan yang meIingkar-lingkar di
dalam hati para prajurit Pajang yang lain. Kesepuluh ekor kuda itu pun kemudian
berpacu seperti angin meninggalkan halaman banjar desa, menghambur-hamburkan
debu yang putih mengepul tinggi ke udara. Kembali para prajurit Pajang dan
anak-anak muda Sangkal Putung bertambah heran. Bahkan Ki Demang dan Swandaru
yang kemudian berada di antara anak-anak muda Sangkal Putung di lapangan di
muka banjar desa itu pun melihat kuda yang berpacu itu sambil bersungut-sungut.
Tetapi mereka tidak ingin menanyakannya kepada Widura. Sebab terasa bahwa ada
sesuatu yang memang dirahasiakan. Sehingga apa yang terjadi itu pun mereka
sangka, adalah rangkaian dari persoalan-persoalan yang memang dirahasiakan dan
telah direncanakan. Tetapi Untara sendiri berpacu dengan hati yang gelisah.
Kudanya serasa berlari terlampau lamban. Kalau ia terlambat sampai di tempat
pertempuran itu, dan para prajurit Wira Tamtama yang dipimpin sendiri oleh Gede
Pemanahan mengalami bencana, maka lehernya akan menjadi taruhan, bukan soal
yang menyedihkannya, tetapi seluruh Wira Tamtama akan kehilangan panglimanya
karena kesalahannya. Memang dalam laporan yang disampaikan ke Pajang,
seakan-akan Sangkal Putung telah menjadi aman. Ternyata yang terjadi adalah
benar-benar memalukannya. Karena itu, maka dipacunya kudanya secepat-cepatnya,
supaya ia dan kawan-kawannya tidak terlampau lambat sampai. Hudaya dan
kawan-kawannya berpacu sambil saling berpandangan. Namun firasat keprajuritan
mereka telah mengatakan, bahwa mereka sedang berhadapan dengan bahaya. Ternyata
Untara tidak membiarkan mereka berteka-teki sepanjang jalan. Ketika kuda-kuda
itu telah meninggalkan induk kademangan, maka berkatalah Untara tanpa
berpaling,
“Kita akan
bertempur melawan pecahan orang Jipang yang hari ini tidak ingin melihat
kawan-kawannya kami terima dengan baik.”
Hudaya
mengerutkan keningnya. Tetapi ia bertanya,
“Kenapa kita
hanya bersepuluh?”
“Orang-orang
Jipang itu tidak terlampau banyak. Mereka telah terlibat dalam pertempuran
melawan prajurit-prajurit Pajang yang hari ini datang ke Sangkal Putung untuk
mengawal Ki Gede Pemanahan.”
“Ki Gede
Pemanahan?” Hudaya mengulangi.
“Ya.”
Hati para
prajurit itu berdesir. Ki Gede Pemanahan adalah panglima mereka, meskipun satu
dua di antara mereka ada yang belum pernah melihatnya. Namun namanya telah
menjadi buah bibir segenap prajurit Wira Tamtama. Kuda mereka berpacu terus.
Sementara itu Hudaya berkata,
“Aku sudah
menyangka, orang orang Jipang tidak dapat dipercaya. Mereka membiarkan sebagian
dari mereka untuk berpura-pura menyerah. Kemudian mereka menyerang pada hari
yang sebenarnya ditentukan untuk menerima mereka. Namun orang-orang Jipang yang
lain akan berdatangan pula, tidak untuk menyerah, tetapi untuk menjadikan
Sangkal Putung ini karang abang.”
“Marilah kita
lihat apa yang sebenarnya terjadi,” berkata Untara kemudian.
“Tetapi jangan
terlampau terburu nafsu.”
Hudaya tidak
menjawab. Tetapi kebenciannya kepada orang-orang Jipang semakin melonjak.
Karena itulah maka tiba-tiba ia menggeretakkan giginya. Dan tanpa sadarnya
tangan kirinya membelai hulu pedangnya. Kini mereka menyusup ke dalam sebuah
desa kecil. Mereka melihat sebuah gardu di pinggir jalan. Beberapa orang
penjaganya telah turun dan berdiri di sisi jalan. Namun Untara tidak
memperlambat kudanya. Tetapi sekali ia berteriak lantang,
“Hati-hati,
awasi keadaan baik-baik.”
Para penjaga
di gardu itu melihat kuda-kuda itu berpacu dengan mulut ternganga. Belum lama
berselang ia melihat Sonya yang luka berpacu ke arah yang berlawanan.
Sebelumnya, di pagi pagi buta Sonya menempuh jalan ini pula berlima. Para
penjaga itu merasa bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Ketika
mereka memandangi kuda-kuda yang berpacu maka yang tampak kemudian adalah debu
yang putih mengepul tinggi ke udara. Kuda-kuda itu masih harus berlari
melampaui sebuah desa lagi, barulah kemudian mereka sampai ke bulak yang agak
panjang. Di bulak itulah pertempuran antara orang-orang Jipang dan para
prajurit Pajang terjadi. Di ujung desa itu pun ada sebuah gardu pula. Tetapi
yang berada di dalamnya tinggal dua orang. Yang lain telah mendahului membantu
para prajurit Pajang yang bertempur di tengah-tengah bulak itu. Berkali-kali
Untara mencoba mempercepat lari kudanya, yang seakan-akan terlampau malas. Di
belakangnya berurutan sembilan orang yang lain. Di antaranya Agung Sedayu.
Dengan dahi yang berkerut-kerut Agung Sedayu sekali-sekali mengusap debu yang
melekat di wajahnya yang berkeringat, meskipun matahari belum terlampau tinggi.
Di
tengah-tengah bulak itu pertempuran, kian lama menjadi kian seru. Kedua belah
pihak telah mengerahkan tenaga sejauh-jauh mungkin. Pakaian mereka telah basah
oleh keringat, dan wajah-wajah mereka telah menjadi merah hitam. Di antara
mereka, para prajurit Pajang dan orang-orang Jipang itu telah menjadi
waringuten. Tetapi karena jumlah orang-orang Jipang itu terlampau banyak bagi
para prajurit Pajang, maka Betapapun juga, ternyata para prajurit Pajang
mengalami beberapa kesulitan. Mas Ngabehi Loring Pasar, yang harus bertempur
melawan Sidanti berdua dengan Alap-alap Jalatunda ternyata mampu
mengimbanginya. Meskipun anak yang masih sangat muda itu sekali-sekali
mengalami kesulitan, tetapi kelincahannya telah melepaskannya dari setiap usaha
lawannya untuk membinasakannya. Namun dengan demikian berkali-kali Sutawijaya
harus bergeser mundur. Berkali-kali ia harus meloncat menghindar jauh-jauh
untuk mendapat jarak yang wajar dari kedua lawannya. Meskipun Alap-alap
Jalatunda tidak dapat berbuat selincah Sidanti, tetapi beberapa kali Alap-alap
yang muda itu berhasil menjebaknya untuk memberi kesempatan pada Sidanti
menyerangnya dengan serangan-serangan maut. Anak muda yang mengagumkan itu pun
telah bermandi keringat. Berkali-kali terdengar ia menggeram. Betapa
kemarahannya membakar darahnya, tetapi ia masih bertempur dengan segenap
perhitungan. Apalagi menghadapi sepasang anak-anak muda yang cukup memiliki
bekal untuk melawannya. Sementara itu Ki Gede Pemanahan pun kini telah bertempur dengan sengitnya
melawan Ki Tambak Wedi. Kalau semula Ki Gede Pemanahan masih mencoba bertahan
sambil memperhatikan setiap prajuritnya, maka kini ia berpendirian lain. Ia
harus segera mengalahkan lawannya. Kemudian ia akan banyak mendapat kesempatan,
meskipun ia tidak akan melepaskan sama sekali perhatiannya terhadap pertempuran
itu dalam keseluruhannya. Dengan demikian, maka pertempuran antara keduanya,
antara ki Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi menjadi semakin seru. Masing-masing
adalah orang-orang sakti pilih tanding. Namun, bagaimanapun juga Ki Gede Pemanahan
tidak dapat melepaskan pengaruh keadaan di sekitarnya. Untunglah bahwa ia masih
tetap di atas punggung kudanya, sehingga kesempatan masih lebih banyak baginya
daripada lawannya. Peperangan itu menjadi bertambah seru. Namun ternyata bahwa
para prajurit Pajang kini telah benar-benar terdesak. Beberapa kali mereka
terpaksa berkisar mendekati Sangkal Putung, sedang kawan-kawan mereka yang
masih berada di atas punggung kuda mencoba melindungi mereka. Sekali-sekali
kuda-kuda yang menyambar-nyambar itu pun masih juga mampu untuk membuat
orang-orang Jipang menjadi bingung. Ki Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi
menyadari keadaan itu. Karena itu Ki Tambak Wedi sempat tertawa sambil berkata,
“Jangan
menyesal Ki Gede Pemanahan, perwira tertinggi Wira Tamtama. Aku sudah
kehilangan kesabaran, sehingga kesempatan yang aku berikan telah aku cabut
kembali. Yang akan terjadi adalah, Untara akan datang dan akan menemukan
mayatmu dan mayat orang-orangmu. Sedang anakmu akan aku bawa ke padepokanku
akan aku jadikan tontonan bagi para prajurit Jipang. Inilah orangnya yang
langsung menghujamkan tombak ke lambung Arya Penangsang dengan akal yang sangat
curang.”
Tetapi
alangkah kecewanya Ki Tambak Wedi. Ia mengharap Ki Gede Pamanahan menjadi
tegang dan mengumpat-umpat. Tetapi ternyata Ki Gede Pemanahan itu tersenyum
sambil menjawab,
“Aku akan
mengucapkan selamat Ki Tambak Wedi seandainya kau mampu berbuat begitu.”
“Kau masih
mencoba mengingkari kenyataan ini?” Ki Tambak Wedi-lah yang membentak-bentak.
Sementara itu kuda Ki Gede Pemanahan menyambarnya. Ujung Keris Kiai Naga Kemala
hampir-hampir saja menyentuh tengkuknya.
“Setan!”
teriaknya.
Ki Gede
Pemanahan tertawa. Katanya,
“Kenapa kau
mengumpat Ki Tambak Wedi. Apakah anak buahmu hampir binasa?”
Ki Tambak Wedi
meloncat maju menyerang Ki Gede Pemanahan. Tetapi Ki Gede Pemanahan benar-benar
tangkas, sehingga usahanya sia-sia. Ki Tambak Wedi benar-benar menjadi sangat
marah menghadapi panglima Wira Tamtama ini. Ia benar-benar hampir tak berdaya.
Apalagi Ki Gede Pemanahan masih saja berada di punggung kudanya, sehingga
tiba-tiba hantu lereng Merapi itu berteriak,
“Ayo, kalau
kau jantan, turun dari kudamu!”
“Ki Tambak
Wedi,” sahut Pemanahan,
“apakah kau
juga akan bersikap jantan?”
“Tentu!”
teriak Ki Tambak Wedi.
“Apakah kau
bersedia menjadi penentu dari pertempuran ini bersama aku. Ayo, aku akan turun
dari kuda, dan aku akan tetap mempergunakan kerisku ini untuk melawanmu. Tetapi
akibat dari perkelahian itu akan menentukan keadaan kita semuanya. Meskipun
kemudian Untara datang, tetapi keadaan tidak akan berubah, kau dan aku,
pertempuran itu akan barlangsung sampai tuntas. Salah seorang dari kita akan
mati, atau menyerah. Kau setuju?”
“Kau
benar-benar licik seperti anak demit. Ketika kau melihat anak buahmu akan
binasa, kau mengajukan syarat itu,” sahut Ki Tambak Wedi,
“Kita bertemu
dalam keadaan ini. Aku dengan orang-orangku dan kau dengan orang-orangmu.
Biarlah kita semuanya yang menentukan keadaan ini.”
“Bagus. Kita
bertemu dalam keadaan ini. Kau di atas kedua kakimu, aku di atas punggung kuda.
Biarlah keadaan ini menentukan akhir dari pertempuran.”
Ki Tambak Wedi
menggeram sambil mengumpat habis-habisan. Namun betapa ia mengerahkan
tenaganya, tetapi Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama itu, bukanlah
Widura, Untara, atau Agung Sedayu yang dapat dipijitnya semudah memijit ranti.
Bahkan terasa bahwa semakin lama tandang Ki Gede Pemanahan itu pun menjadi
semakin garang. Namun keseluruhan dari pertempuran itu benar-benar tidak
menguntungkannya. Berkali-kali anak panglima itu, Sutawijaja, terpaksa
berloncatan surut. Orang-orang Jipang yang datang seakan-akan sengaja
mengurungnya dan menahan setiap prajurit Pajang yang datang di atas punggung
kuda. Tetapi Mas Ngabehi Loring Pasar, betapa kemarahan mencengkam dirinya, ia
masih tetap mempergunakan perhitungan yang baik dalam melawan sepasang musuhnya
itu. Namun keadaan para prajurit yang lain ternyata agak lebih sulit. Mereka
bertempur dalam kelompok-kelompok untuk menghindarkan diri dari sergapan dari
arah yang tak dikehendaki. Namun lawan mereka telah mencoba menekan mereka
sekuat-kuatnya. Kedua pihak adalah prajurit-prajurit pilihan dari dua kadipaten
yang saling bermusuhan, sehingga dendam dan kebencian ikut pula berbicara dalam
pertempuran itu. Matahari di langit merayap semakin tinggi. Sinarnya yang cerah
memancar berserakan di atas wajah bumi. Di atas dedaunan dan batang-batang
jagung muda. Namun di sekitar pertempuran itu batang jagung telah rusak ditebas
oleh kaki-kaki kuda dan kaki-kaki para prajurit yang sedang bertempur. Semakin
lama semakin luas, berkisar dari satu titik ke titik yang lain. Sedang
kuda-kuda para prajurit Pajang kadang-kadang berlari-lari melingkari daerah
yang lebih luas lagi untuk mengambil ancang-ancang. Kuda-kuda itu seolah-olah
burung rajawali yang melayang di udara, yang kemudian menukik dengan garangnya
menyambar mangsanya. Tetapi orang-orang Jipang menyongsongnya dengan pedang di
tangan. Dalam pertempuran yang hiruk-pikuk itu, Ki Tambak Wedi telah mencoba
untuk mempercepat penyelesaian. Berkali-kali ia berteriak memberikan aba-aba
kepada Sanakeling dan orang-orang lain supaya mempercepat pekerjaan mereka.
Tetapi pekerjaan itu bukan pekerjaan yang dapat ditentukan oleh sepihak,
sehingga Ki Tambak Wedi itu seolah-olah tidak lagi dapat bersabar menunggu.
Namun demikian pekerjaannya sendiri tidak dapat juga segera dapat diselesaikan.
Demikianlah, pertempuran itu berjalan terus. Bagaimanapun juga Ki Gede
Pamanahan tidak dapat mengingkari kenyataan. Keadaan anak buahnya memang
terlampau sulit. Bahkan ada di antaranya yang telah terluka dan jatuh menjadi
korban.
Dalam keadaan
yang demikian itulah Untara memacu kudanya bersama beberapa orang prajurit
Pajang yang berada di Sangkal Putung. Setiap kali Untara selalu melecut
kudanya, supaya berlari lebih cepat. Kini ia telah memasuki bulak jagung.
Sebentar lagi ia akan sampai di tempat yang ditunjuk oleh Sonya. Tetapi kudanya
serasa berlari terlampau lamban, seolah-olah sengaja memperlambat agar ia tidak
datang tepat pada waktunya. Karena itu kegelisahan di dada Untara semakin lama
menjadi semakin menyala. Seolah-olah ia ingin meloncat mendahului derap kaki
kudanya. Tetapi hal itu sudah tentu tidak dapat dilakukannya. Ia harus bersabar
dan tetap di atas punggung kuda yang dirasanya sangat malas itu. Meskipun
demikian, meskipun kudanya dirasanya terlampau lamban, namun akhirnya Untara
itu melihat debu yang berhamburan di balik pohon-pohon jagung muda. Ketika
jalan yang ditempuhnya sedikit menanjak, maka dadanya seolah-olah berdentangan.
Kini ia melihat, meskipun tidak seluruhnya karena tertutup oleh batang-batang
jagung, betapa riuhnya pertempuran yang telah terjadi antara para prajurit
Pajang yang dipimpin sendiri oleh Ki Gede Pemanahan dan orang-orang Jipang yang
dipimpin oleh ki Tambak Wedi. Tanpa sesadarnya, Untara mencambuk kudanya
sejadi-jadinya. Kuda itu pun terkejut dan meloncat sambil meringkik kecil.
Larinya menjadi semakin bertambah cepat sehingga Untara meninggalkan
kawan-kawannya beberapa langkah di belakang. Agung Sedayu pun mencambuk kudanya pula. Demikian juga kawan-kawannya.
Mereka seolah-olah menjadi tidak bersabar lagi menunggu langkah kaki-kaki kuda
itu. Demikian bernafsunya Untara sehingga sebelum mencapai tempat pertempuran
itu, tangannya telah menggenggam pedang. Diacung-acungkannya pedangnya seperti
sedang menghalau burung di sawah. Ki Tambak Wadi yang bertempur dengan serunya
melawan Ki Gede Pemanahan terkejut melihat kilatan pedang di kejauhan. Kemudian
tampak sebuah kepala muncul di atas batang-batang jagung. Disusul oleh yang
lain, yang lain lagi seperti berkejar kejaran. Dada orang tua itu berdesir.
Orang yang datang itu tidak terlampau banyak. Tetapi yang tidak terlampau
banyak itu pasti segera akan merubah keseimbangan. Karena itu tiba-tiba ia
menggeram. Betapa kemarahan membakar dadanya. Orang-orang Jipang benar-benar
tidak memberinya kepuasan. Mereka bertempur seperti mengejar-ngejar tupai saja,
tidak cekatan dan tidak bertenaga. Ketika musuh-musuh mereka masih terlampau
lemah mereka tidak segera dapat mengalahkan dan membinasakan. Apalagi kini
datang lagi beberapa orang berkuda. Maka keadaan orang-orang Jipang pasti tidak
akan sebaik semula. Kemarahan Ki Tambak Wedi itu semakin memuncak ketika ia
mendengar Ki Gede Pemanahan tertawa sambil berkata,
“Kau sedang
menghitung pedang yang datang itu, bukan, Ki Tambak Wedi?”
“Persetan!”
geram Ki Tambak Wedi.
“Kalau aku
menjadi Hadiwijaya dari Pajang, aku malu mempunyai Panglima semacam kau ini.
Panglima yang hanya dapat mengharap orang lain datang memberi bantuan. Kenapa
kau tidak berusaha memenangkan pertempuran dengan kekuatan yang ada padamu?
Kenapa kau menggantungkan dirimu dari bantuan yang bakal datang dengan
memperpanjang waktu?”
Ki Gede
Pemanahan mengerutkan keningnya. Ia benar-benar tersinggung mendengar kata-kata
itu, sehingga sekali lagi ia mengulangi tantangannya,
“Ki Tambak
Wadi, kalau kau tidak mau melihat prajurit-prajurit Pajang yang jumlahnya jauh
lebih kecil dari orang-orangmu ini mendapatkan kemenangan, maka marilah, kita
berhadapan langsung di dalam arena. Biarlah aku layani seandainya kau ingin
melihat Pemanahan lepas dari kedudukannya, yang dapat memanggil tidak saja
prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung, tetapi seluruh prajurit di segenap
sudut Pajang untuk menangkap dan menggantungmu di alun-alun Pajang. Kalau kau
ingin melihat Pemanahan sendiri yang terpisah dari prajurit-prajuritnya,
marilah, biarlah para prajurit dari kedua belah pihak melihat, siapa di antara
kita orang tua-tua ini yang masih cukup mampu bermain loncat-loncatan.”
Sekali lagi Ki
Tambak Wedi menggeram, tantangan itu benar-benar menusuk pusat jantungnya.
Betapa ia ingin melayaninya seandainya ia tidak sedang dalam keadaan yang
sulit. Ia harus cepat melihat keadaan dalam keseluruhannya. Karena itu maka,
tiba-tiba ia bersuit panjang. Sebelum Untara sampai ke tempat pertempuran itu,
anak buahnya harus sudah mengundurkan diri dan mencoba menghilang di antara
tanaman-tanaman jagung muda. Seterusnya mereka akan menyusup ke dalam sebuah
tegalan dan segera mereka akan sampai ke rumpun-rumpun bambu liar.
Ki Gede
Pemanahan, meskipun tidak tahu arti daripada siutan itu menurut persetujuan
orang-orang Jipang, tetapi ia sudah dapat menduga. Ada dua kemungkiman yang
bakal terjadi. Ki Tambak Wedi memanggil pasukan cadangannya, atau
orang-orangnya yang telah bertempur di arena itu harus mengundurkan diri.
Namun dalam
pada itu terdengar Ki Tambak Wedi berkata lantang,
“Tunggu sampai
matahari mencapai puncaknya, Sangkal Putung akan dilanda arus induk pasukan
Jipang yang akan datang dari Barat. Mereka akan dipimpin oleh Adi Sumangkar,
saudara muda seperguruan Patih Mantahun. Bukankah kau telah mengenalnya pula
Pemanahan? Aku akan datang kembali bersama-sama dengan mereka.”
Belum lagi
kata-kata itu habis diucapkannya, maka Ki Gede Pemanahan telah melihat
orang-orang Jipang itu berkisar surut begitu cepat, sehingga ia tidak mendapat
kesempatan untuk memberikan perintah lain. Orang-orang Jipang itu bertempur
sambil mengambil ancang-ancang. Namun dalam pada itu, seperti jengkerik yang
lenyap ke dalam liangnya, mereka menyusup satu-satu ke dalam lindungan
batang-batang jagung. Orang-orang Pajang yang telah melihat kehadiran sepasukan
kecil dari Sangkal Putung menjadi berbesar hati, sehingga dengan demikian
mencoba mengejar orang-orang Jipang itu. Namun orang-orang Jipang berlari
berpencaran. Kadang-kadang satu dua di antara mereka masih juga menyergap
dengan tiba-tiba di dalam rimbunnya daun jagung yang hijau, namun kemudian
mereka kembali menghilang. Sehingga dengan demikian amat sulitlah untuk dapat
mengejar mereka dengan sebaik-baiknya. Sehingga karena itu, maka akhirnya
mereka terpaksa melepaskan orang-orang Jipang itu menghilang.
Untara datang
terlambat. Pertempuran di bulak jagung itu telah selesai. Yang dilihatnya
tinggalah bekas-bekasnya. Darah dan beberapa sosok mayat dari kedua belah
pihak. Darah Untara serasa membeku ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan duduk di
atas punggung kudanya. Tangannya masih menggenggam keris Kiai Naga Kemala,
sedang peluhnya seperti terperas dari tubuh membasahi segenap pakaiannya.
Apalagi ketika kemudian dilihat oleh Untara, seorang anak muda yang menggenggam
tombak di tangannya. Tombak yang sama sekali masih belum membekas darah, tetapi
pakaian anak muda itu sendiri telah diwarnai oleh darahnya sendiri. Ternyata
lengan Sutawijaya telah terluka justru oleh Alap-alap Jalatunda, bukan oleh
Sidanti. Pedang Alap-alap muda itu berhasil menyentuh lengan Mas Ngabehi Loring
Pasar. Agaknya perhatian Sutawijaya lebih banyak ditujukan kepada Sidanti,
sehingga Alap-alap Jalatunda mendapat kesempatan lebih banyak, tetapi anak muda
itu tersenyum dan menyapa,
“Kau baru
datang Kakang Untara, kami baru saja bujana andrawina. Sayang, kau tidak dapat
ikut serta.”
Untara tidak
menjawab, tetapi segera ia meloncat dari kudanya dan menghadap ki Gede
Pemanahan sambil membungkuk dalam-dalam.
“Aku mohon
maaf Ki Gede.”
Ki Gede
Pemanahan tersenyum. Senyum yang kecut sekali. Dilihatnya kawan-kawan Untara
yang kemudian berloncatan pula dari punggung kudanya dan yang kemudian
menyarungkan pedang masing-masing, tetapi Untara sendiri baru menyarungkan
pedang ketika ia dikejutkan oleh suara Ki Gede Pemanahan,
“Sarungkan
pedangmu Untara. Tak ada lagi yang akan kau ajak bermain pedang.”
Untara
menggigit bibirnya. Sambil menundukkan kepalanya ia menyarungkan pedangnya.
Tetapi ketika ia sempat memandang tangan Ki Gede Pemanahan dengan sudut
matanya, maka dilihatnya Ki Gede pun
telah menyarungkan kerisnya Kiai Naga Kemala.
“Sambutan yang
cukup hangat Untara,” desis Ki Gede Pemanahan.
“Selama aku
menjadi Panglima Wira Tamtama ternyata sambutan Sangkal Putung atas kedatangan
peninjauanku adalah yang paling hangat yang pernah aku alami.”
Kepala Untara
menjadi semakin tunduk. Hudaya, Agung Sedayu dan kawan-kawannya pun menundukkan
wajah-wajah mereka pula. Namun di dalam hati, Hudaya mengumpati orang-orang
Jipang itu tidak habis-habisnya. Kalau ia mendapat kesempatan, maka ia pasti
akan menumpahkan segenap kemarahan, kebencian dan dendam kepada mereka.
“Aku sudah
menyangka bahwa mereka pasti, akan berbuat curang,” katanya di dalam hati.
“Penyerahan itu
hanyalah sekedar cara untuk membuat kita menjadi lengah.”
“Aku mohon
maaf Ki Gede,” desis Untara kemudian.
“Mungkin ada
sesuatu yang tidak berkenan di hati Ki Gede Pemanahan.”
Ki Gede
Pemanahan tersenyum. Senyumnya masih sebuah senyuman yang kecut. Jawabnya,
“Untunglah aku
masih hidup sehingga aku masih mendapat kesempatan untuk memberi maaf kepadamu.
Kalau aku sudah dipenggal kepalaku oleh Ki Tambak Wedi, mungkin kau akan
menyesal. Bukan karena kematianku, tetapi karena aku tidak dapat memberi maaf
lagi kepadamu.”
Untara tidak
menjawab. Terasa tubuhnya bergetar. Ia merasa memanggul kesalahan di atas
pundaknya. Dan Ki Gede Pemanahan telah langsung menunjuk kesalahan itu.
Ki Gede itu
kemudian berkata pula,
“Berapa orang
yang kau bawa itu?”
“Sepuluh orang
Ki Gede, selain yang delapan orang telah mendahului,” jawab Untara.
Ki Gede
Pemanahan kemudian memandangi kesepuluh orang itu satu persatu, tetapi ia tidak
melihat Widura. Beberapa orang di antaranya sama sekali belum dikenalnya.
Dalam pada
itu, kembali mereka mendengar suara kaki kuda berderap. Dari kejauhan mereka
melihat bermunculan beberapa buah kepala di atas batang-batang jagung muda. Dan
sejenak kemudian tujuh orang yang sedang berpacu sampai pula di antara mereka.
Ketujuh orang itupuh dengan serta merta menghentikan kuda-kuda mereka dan
segera berloncatan turun.
“Berapa orang
yang akan datang lagi?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Semuanya
paling sedikit duapuluh lima orang ki Gede?” jawab Untara.
Ki Gede
Pemanahan mengangguk-anggukan kepalanya. Jumlah yang disebutkan Untara itu
telah mengurangi kekecewaannya. Ternyata perhitungan Untara cukup baik. Ia
tidak mempercayakan diri dengan jumlah yang hanya sepuluh orang itu. Dengan
duapuluh lima orang Untara dapat menarik suatu kepastian, bukan sekedar untung-untungan.
Dalam peperangan maka diperlukan suatu perhitungan yang mantap meskipun
kadang-kadang keadaan yang khusus dan tiba-tiba dapat merubah keadaan yang
telah diperhitungkan itu, namun itu adalah akibat dari kekhususannya. Ternyata
apa yang dikatakan Untara bukanlah sekedar untuk mengurangi kesalahannya.
Kembali dari arah yang sama datang orang-orang berkuda. Kali ini serombongan
kecil sebanyak lima orang. Meskipun jumlah mereka seluruhnya belum mencapai
duapuluh lima orang, namun jumlah itu telah mendekati, dan bahkan melampaui
apabila yang delapan orang diperhitungkan pula.
“Jumlah
orang-orangmu cukup untuk menyambut kedatanganku Untara,” berkata Ki Gede
Pemanahan.
“Ternyata kau
cukup berprihatin mendengar laporan Sonya. Bukan begitu?”
Untara mengangguk.
“Ya Ki Gede.”
“Kenapa hal
ini dapat terjadi?”
Untara
menunduk semakin dalam. Ki Gede Pemanahan agaknya benar-benar menjadi kecewa
atas kejadian ini. Dan Untara tidak akan mengingkari, bahwa di pundaknyalah
terletak segala kesalahan.
“Aku percaya
pada setiap laporanmu. Aku percaya sebab menurut penglihatanku, pada saat-saat
lampau kau hampir tidak pernah berbuat kesalahan. Apalagi kesalahan sebodoh
kali ini. Namun ternyata kau hampir-hampir saja menyeret aku ke dalam suatu
kesulitan.”
Untara tidak
menjawab. Ia berdiri tegak seperti patung dengan kepala menunduk. Bukan saja
Untara yang merasa hatinya bergetar, tetapi semua prajurit Pajang yang berada
di tempat itu. Mereka mengenal Untara sebagai seorang senapati yang baik.
Tetapi Betapapun baiknya, seseorang suatu ketika memang dapat membuat
kesalahan. Sesaat kemudian berkata Ki Gede Pemanahan itu pula,
“Untara. Aku
datang kemari karena aku memenuhi undanganmu. Aku sependapat dengan semua
usulmu. Sekarang, terserah kepadamu, apa yang harus aku lakukan.”
Dada Untara
menjadi semakin berdebar-debar. Apa yang harus dilakukan dalam keadaan seperti
sekarang ini? Apalagi ketika Ki Gede Pemanahan kemudian berkata,
“Menurut Ki
Tambak Wedi, segera akan datang induk pasukan dari arah Barat yang dipimpin
oleh Sumangkar. Tetapi sesuai dengan laporanmu, bahwa Sanakeling dan Sumangkar
berbeda pendirian, maka ada beberapa kemungkinan yang bakal terjadi. Kalau
Sumangkar barhasil mengelabui kau Untara, maka perbedaan pendirian itu adalah
semata-mata suatu cara untuk menjebakmu. Tetapi kalau Sumangkar benar-benar
akan menyerah, maka Ki Tambak Wedi lah yang licin seperti belut. Darimana Ki
Tambak Wedi tahu bahwa aku akan datang?”
Dengan
hati-hati Untara menjawab,
“Tak seorang
pun yang tahu, bahwa Ki Gede akan datang kecuali beberapa orang penghubung,
beberapa orang pemimpin kelompok dan Paman Widura sendiri. Sebagian besar dari
orang-orang yang datang ini pun baru tahu bahwa Ki Gede berada dalam,
perjalanan setelah kami berangkat dari halaman Banjar Desa Sangkal Putung.”
Ki Gede
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi pikirannya masih juga
meraba-raba, apakah sebenarnya yang akan dihadapi oleh Sangkal Putung. Sejenak
suasana menjadi sunyi. Masing-masing mencoba untuk mencari jalan yang
sebaik-baiknya menghadapi keadaan yang sulit itu. Dalam pada itu tiba-tiba
terdengar Mas Ngabehi Loring Pasar berkata,
“Mari kita
teruskan perjalanan ini ayah. Aku ingin melihat Sangkal Putung.”
Ki Gede
Pemanahan mengerutkan keningnya. Ia melihat darah yang membasahi pakaian anaknya.
Tetapi anaknya seolah-olah tidak merasakan sesuatu pada lengannya yang terluka
itu.
“Coba,
tahanlah darah yang mengalir itu dengan sepotong kain, Jebeng,” perintah
ayahnya.
Sutawijaya
berpaling. Dipandanginya kudanya. Namun ia berkata,
“Tidak apa-apa
Ayah.”
“Tetapi jangan
terlampau banyak darah mengalir.”
Sutawijaya
menarik lengan bajunya dan mencoba mengusap lukanya dengan lengan baju itu.
Tetapi darahnya masih juga menetes satu-satu. Karena itu, maka terpaksa ia
memegangi lukanya dengan tangan kanannya, sedang tangan yang luka itu
menggenggam landean tombaknya. Tetapi luka itu seolah-olah memang tidak terasa.
Bahkan ia berkata,
“Kakang
Untara, besok aku akan meneruskan perjalanan ke Barat. Aku ingin melihat hutan
Mentaok yang menurut ayah, apabila Ramanda Hadiwijaya berkenan, akan dirampas
menjadi sebuah perkampungan.”
“Ah,” potong
ayahnya,
“sekarang kita
sedang berbicara tentang Sangkal Putung dan orang-orang Jipang. Kau berbicara
menurut seleramu sendiri.”
Sutawijaya
tersenyum. Katanya,
“Bukankah yang
lain-lain dapat juga dibicarakan di Sangkal Putung? Tidak di tengah-tengah
bulak ini. Dengan demikian, orang-orang yang terluka pun segera dapat ditolong
dengan cara yang lebih baik.”
Ki Gede
Pemanahan menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Pendapatmu
baik.” Kepada Untara Ki Gede Pemanahan berkata,
“Untara. Aku
akan berjalan terus ke Sangkal Putung. Kalau benar ada orang-orang Jipang yang
berada di banjar desa, maka sebaiknya apa yang terjadi ini sementara
dirahasiakan supaya keadaan Banjar Desa Sangkal Putung tidak menjadi tegang
karena prajurit-prajurit Pajang yang terbakar perasaannya karena peristiwa
ini.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia menyahut,
“Ya Ki Gede,
ada beberapa orang-orang Jipang yang luka-luka di sana.”
“Apakah
persiapanmu untuk menyambut orang-orang Jipang cukup baik? Menyerah atau
seandainya mereka menyerang?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Menurut
perhitungan kami di Sangkal Putung, persiapan itu cukup baik Ki Gede.”
“Aku masih
cukup percaya kepadamu. Peristiwa yang terjadi ini mungkin sama sekali di luar
dugaanmu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar