Jilid 015 Halaman 2


Untara tidak menjawab. Tetapi ia hanya menundukkan kepalanya.
“Suruh orang-orangmu melayani orang-orang yang terluka dan membawa para korban. Bagaimana menurut pertimbanganmu supaya para korban dan mereka yang terluka tidak menggemparkan banjar desa?”
Untara berpikir sejenak, kemudian jawabnya,
“Mereka akan kami tinggalkan di pedukuhan sebelah Ki Gede. Beberapa orang akan mengawalnya. Apabila terjadi sesuatu, mereka harus membunyikan tanda bahaya.”
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baik. Kita akan berangkat.”
Ki Gede Pemanahan pun kemudian meneruskan perjalanannya. Kuda-kuda yang masih berkeliaran segera ditangkap kembali. Dan mereka yang sudah kehilangan kudanya segera naik bersama-sama dua orang di atas satu punggung kuda. Sedang para peronda yang datang berjalan kaki harus kembali ke gardunya sambil membawa orang-orang yang terluka dan beberapa mayat korban pertempuran itu, dibantu oleh beberapa orang prajurit berkuda yang datang dari Sangkal Putung. Di sepanjang perjalanan yang sudah tidak terlampau jauh itu, hampir-hampir tidak ada yang mengucapkan sepatah katapun. Semuanya terdiam oleh angan-angan mereka yang berputaran. Baru ketika mereka hampir memasuki induk kademangan, Untara berkata,
“Apakah beberapa orang dari kami diperkenankan mendahului, Ki Gede. Kami ingin membuat beberapa persiapan.”
Ki Gede menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Pergilah.”
Kemudian kepada seorang perwira pengiringnya Ki Gede berkata,
“Kibarkan panji-panji. Pakailah tombak sebagai tunggulnya.”

Sebelum Untara mendahului rombongan itu bersama beberapa orang untuk mengatur penyambutan, maka ia masih sempat melihat Panji-panji Wira Tamtama berkibar pada sebuah landean tombak. Panji-panji Wira Tamtama yang mengatakan bahwa dalam rombongan itu ada seorang perwira tertinggi dari kesatuan Wira Tamtama.
Kepada Untara dan orang-orangnya sekali lagi Ki Gede Pemanahan berpesan,
“Untara, kalau kau masih mengharap bahwa Sumangkar benar-benar akan menyerah, maka sekali lagi aku pesankan rahasiakan dahulu apa yang telah terjadi.”
Untara mengangguk sambil menjawab,
“Ya Ki Gede. Akan kami lakukan.”
Untara itu pun kemudian mendorong kudanya berjalan lebih cepat untuk mendahului rombongan Ki Gede Pemanahan. Baberapa saat kemudian mereka berpacu memasuki lorong-lorong di dalam induk Kademangan Sangkal Putung menuju ke banjar desa.
Beberapa orang melihat Untara dengan berbagai pertanyaan di dalam hati. Para prajurit yang berada di alun-alun, beserta anak-anak muda Sangkal Putung, memalingkan kepala mereka sejenak. Tetapi ketika yang mereka lihat Untara sedang berpacu, maka kembali mereka bercakap-cakap di antara mereka. Orang-orang yang berada di alun-alun itu sama sekali tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Mereka menyangka bahwa Untara memang sedang bermain-main sendiri. Permainan yang masih dirahasiakan bagi mereka.
Melihat kedatangan Untara tanpa Ki Gede Pemanahan hati Widura berdesir. Apakah Untara telah terlambat sehingga Ki Gede Pemanahan menemui bencana? Dengan tergesa-gesa ia segera menyongsong kedatangan Untara. Demikian Untara meloncat dari punggung kudanya di muka pendapa banjar desa, terdengar Widura bertanya perlahan-lahan,
“Apakah kau terlambat Untara?”
Untara mengerutkan keningnya. Jawabnya dengan nada rendah,
“Ya Paman.”
“He?” darah Widura serasa membeku,
“lalu bagaimana dengan Ki Gede Pemanahan?”
“Sebentar lagi Ki Gede akan datang.”
“Oh,” Widura menghela nafas. “Jadi Ki Gede Pemanahan tidak apa-apa?”
Baru Untara kini menyadari, bahwa jawabannya telah mengejutkan Widura. Maka katanya,
“Tidak Paman, Ki Gede Pemanahan tidak mengalami cidera. Tetapi aku sebenarnya datang terlambat. Orang-orang Jipang telah terusir.”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa dadanya menjadi lapang. Dengan mengelus dada ia berkata,
“Dadaku selama ini serasa akan meledak. Sukurlah kalau Ki Gede Pemanahan tidak mendapat cidera apapun. Apakah Ki Gede akan segera memasuki banjar desa?”
“Ya. Ki Gede akan memasuki banjar desa. Ki Gede menghendaki apa yang terjadi tetap dirahasiakan,” sahut Untara sambil memandang berkeliling kepada para petugas yang berdiri agak jauh dari padanya yang memancarkan pertanyaan lewat sorot mata mereka. Tetapi mereka tidak mendengar percakapan itu. Akhirnya Untara itu pun berkata,
“Kita sekarang harus segera menyiapkan penyambutan Paman.”
Widura menyadari bahwa waktu telah menjadi sangat sempit. Karena itu, maka kemudian ia memanggil salah seorang dari para petugas yang berdiri di muka pendapa itu. Ketika orang itu telah menghadap di depannya maka katanya,
“Bunyikan tanda bagi para prajurit di alun-alun.”
Orang itu memandang Widura dengan herannya. Tanda apakah yang harus dibunyikan? Karena itu maka ia bertanya,
“Ki Wídura, tanda apakah yang harus aku bunyikan. Tanda untuk berperang? Atau tanda untuk bubar dan kembali ke pondok masing-masing.”
Widura mengerutkan keningnya. Kemudian baru disadarinya bahwa perintahnya kurang lengkap.
“Tanda bahwa akan datang tamu agung di banjar desa ini.”
“Tamu agung?”
“Ya.”
“Siapa?”
“Cepat, kau akan melihat nanti.”
Orang itu tidak bertanya lagi. Segera ia berlari-lari kecil ke sisi halaman di samping gandok. Dengan serta merta diraihnya pemukul kentongan sebesar lengannya. Dan dengan sekuat-kuat tenaganya dipukulnya kentongan itu dalam irama tiga-dua.
Para prajurit yang berada di alun-alun beserta para anak-anak muda Sangkal Putung dan setiap orang yang berdiri mengitari alun-alun itu terkejut. Mereka telah mengenal tanda itu. Tanda bahwa akan ada tamu yang datang di kademangan mereka.
Sesaat mereka saling berpandangan. Kemudian terdengar bisik di antara mereka,
“Siapakah yang bakal datang?”

Semua orang saling menggelengkan kepala mereka. Mereka sama sekali belum mendengar siapa yang bakal datang ke kademangan itu. Hanya satu dua orang kepala kelompok yang sudah mendengar berita kedatangan Ki Pemanahan, namun mereka  pun berpura-pura menggelengkan kepala mereka pula. Namun tanda itu masih bergema terus. Karena itu, maka segera para prajurit dan anak-anak muda Sangkal Putung mengatur diri dalam barisan yang teratur menurut susunan masing-masing, sedang orang-orang yang berdiri menonton di sekitar alun-alun itu pun segera mendesak maju. Untara dan Widura beserta beberapa orang  pun kini telah berada di regol halaman. Mereka menanti kedatangan Ki Gede Pemanahan beserta rombongannya dengan berdebar-debar. Apalagi Untara, yang mengetahui bahwa rombongan yang datang dari Pajang itu telah tidak utuh seperti semula. Ada di antara mereka yang kini terpaksa ditinggalkan karena luka-luka mereka, bahkan ada di antara mereka yang terbunuh. Bukan hanya itu yang menggelisahkan Untara. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya matahari telah terlampau tinggi. Kalau matahari itu mencapai puncaknya, maka Sumangkar dan sebagian orang-orang Jipang harus diterimanya. Tetapi sudah tentu Untara tidak dapat meninggalkan halaman itu sebelum Ki Gede Pemanahan datang. Ia hanya dapat mengharap mudah-mudahan Ki Gede Pemanahan segera datang dan orang-orang Jipang tidak mendahului waktu yang telah ditentukan. Apalagi kalau orang-orang Jipang itu curang dan seperti apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi, mereka datang untuk menghancurkan Sangkal Putung, tidak untuk menyerah. Orang-orang di gardu-gardu akan dapat dikelabuhinya. Mereka datang untuk berpura-pura menyerah sebelum mereka mencekik leher para peronda, sehingga mereka tidak sempat memukul tanda bahaya. Untara itu seakan-akan berdiri di atas bara api. Sekali ia melangkah ke tengah-tengah jalan melihat apakah Ki Gede Pemanahan telah tampak, sekali ia melangkah ke regol halaman sambil berkomat-kamit. Ia beserta pasukannya harus segera ke Benda. Melihat kehadiran orang-orang Jipang dengan senjata di tangan. Menyaksikan mereka mengumpulkan senjata-senjata mereka dan kemudian menerima mereka secara resmi yang seharusnya disaksikan oleh Ki Gede Pemanahan. Kemudian orang-orang Pajang harus menyingkirkan senjata-senjata itu. Selanjutnya orang-orang Jipang itu besuk atau lusa harus pergi ke Pajang dengan sebuah pengawalan yang kuat bersama-sama Ki Gede Pemanahan. Tetapi melihat perkembangan terakhir, maka rencana itu pun harus mendapat perubahan. Ternyata Ki Tambak Wedi sudah mulai bergerak terlampau cepat dari dugaan Untara, sehingga pada saat-saat orang Jipang nanti selama dalam perjalanan ke Demak  pun harus diperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Ki Tambak Wedi. Waktu yang pendek itu terasa betapa panjangnya. Untara hampir-hampir menjadi tidak bersabar lagi dan hampir-hampir ia memerintahkan menyediakan kudanya untuk kembali menyongsong Ki Gede Pemanahan.

Dalam pada itu, para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung yang berada di alun-alun kecil di muka banjar desa itu pun mulai menebak-nebak. Siapakah tamu agung yang bakal datang? Dalam keragu-raguan itu terdengar seseorang berbisik,
“Apakah orang-orang Jipang yang menyerah itu kita terima sebagai tamu agung?”
Kawannya berbicara mengerinyitkan alisnya. Gumamnya,
“Tentu tidak.”
“Siapa tahu. Anak-anak yang selama ini menjadi liar dan gila itu, kini mendapatkan perlakuan yang berlebih-lebihan, mereka dimanjakan dan dihormati seperti tamu agung.”
“Kalau demikian, aku akan memaki mereka di depan orang banyak ini,” sahut orang yang diajak berbicara.
“Tidak hanya memaki,” sela yang lain, yang mendengar pembicaraan itu.
“Aku akan melempar mereka dengan tombakku ini.”
Pembicaran itu segera terhenti, ketika mereka mendengar sebuah teriakan melengking dari salah seorang pemimpin penghubung, “Tamu kita telah datang.”
“Setan,” desis salah seorang prajurit.
“Apakah benar mereka orang-orang Jipang.”
“Tetapi mereka datang dari arah yang lain. Lihat, para pemimpin kita menyongsong para tamu yang datang dari arah Timur.”
Mereka pun kemudian terdiam. Tetapi beberapa orang yang sudah melihat kedatangan serombongan prajurit Pajang dengan sebuah panji-panji yang telah mereka kenal menjadi terkejut bukan kepalang. Rombongam yang semakin lama menjadi semakin dekat itu ternyata membawa panji-panji kehormatan Wira Tamtama, bukan sekedar panji-panji pasukan Wira Tamtama. Panji-panji yang mengabarkan bahwa di dalam rombongan itu ikut serta Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan.
Tiba-tiba dengan serta-merta mereka  pun bersorak. Semakin lama menjadi semakin keras. Orang-orang yang berdiri di belakang yang tidak dapat melihat arah kedatangan para tamu, karena terhalang pepohonan di samping lapangan itu, semakin ingin tahu, siapakah sebenarnya yang datang. Orang-orang yang berdiri di muka, yang dapat melihat agak jauh sepanjang jalan, di muka banjar desa itu pun berteriak,
“Ki Gede Pemanahan, Ki Gede Pemanahan.”
“Kau dengar kata-kata itu?” bertanya salah seorang prajurit yang berdiri di belakang.
“Apakah betul mereka menyebut nama Ki Gede Pemanahan?”

Mereka  pun terdiam. Kembali mereka mendengar sorak itu, sehingga akhirnya orang-orang yang berdiri di belakang tidak dapat mengendalikan diri lagi. Segera mereka mendesak maju, sementara rombongan dari Pajang  pun sudah semakin dekat. Yang pertama-tama mereka lihat adalah panji-panji itu. Dan dengan serta-merta pula mulut mereka berdesis,
“Panji-panji itu adalah panji-panji kehormatan, bukan panji-panji pasukan Wira Tamtama. Yang datang bukanlah sepasukan prajurit dalam siaga tempur, yang datang adalah Panglima Wira Tamtama.”
Sejenak para prajurit itu terpesona. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa panglima mereka yang namanya selalu tergores di dalam dada mereka, setiap prajurit Wira Tamtama, datang mengunjungi desa terpencil ini. Karena itu, maka hati mereka  pun menjadi menggelegak oleh suatu kebanggaan.
“Tetapi kenapa kedatangan Ki Gede Pemanahan tidak dalam suatu sikap kebesaran? Dengan pengawal segelar sepapan dan segala macam tanda-tanda yang lain?”
Kawannya menggelengkan kepalanya. Namun tiba-tiba ketika Ki Gede Pemanahan sudah semakin dekat, tanpa mereka sengaja, mulut-mulut mereka itu pun telah berteriak,
“Ki Gede Pemanahan.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum di atas punggung kudanya. Ditatapnya gairah yang menyala dalam penyambutan yang sederhana itu. Justru karena kedatangannya tidak diduga-duga, maka sambutan para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung meledak seperti ledakan gunung berapi. Mereka berteriak-teriak mbata rubuh. Mereka melambaikan tangan-tangan mereka, bahkan senjata-senjata mereka. Ki Demang Sangkal Putung bahkan menjadi seolah-olah membeku. Kedatangan Panglima Wira Tamtama di Sangkal Putung, adalah suatu kehormatan yang tidak terkira.
Karena itu, karena kebanggaan orang-orang Sangkal Putung dan para prajurit Pajang atas kunjungan Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama, maka sambutan mereka  pun meledak tanpa terkendali. Sorak yang gemuruh, pekik yang seolah-olah memecahkan selaput kuping. Sejenak kemudian maka banjar desa itu  pun segera menjadi ribut. Para petugas menjadi terlampau sulit untuk menahan arus orang-orang Sangkal Putung yang akan menerobos masuk ke halaman. Bahkan kemudian para prajurit Pajang terpaksa berdiri berjajar rapat di pintu regol untuk mencegah orang-orang yang tanpa terkendali memasuki halaman yang tidak terlampau luas.

Tetapi dalam pada itu, Ki Demang Sangkal Putung mempunyai kesibukan yang lain. Ia belum siap sama sekali, bagaimana ia nanti akan memberikan hidangan yang pantas kepada Panglima Wira Tamtama itu, sehingga dengan agak kisruh ia dengan tergesa-gesa bertanya kepada Widura,
“Adi Widura, apakah yang harus kami hidangkan nanti kepada tamu agung kita?”
Widura mengerutkan keningnya, kemudian jawabnya,
“Ki Gede Pemanahan adalah orang yang tidak banyak memperhatikan masalah-masalah yang demikian. Hidangkan saja apa yang akan Kakang Demang hidangkan kepada kita hari ini. Nasi seperti biasa kita makan, dan minum seperti yang biasa kita minum.”
“Ah,” desah Ki demang,
“itu terlampau sederhana bagi seseorang Panglima Wira Tamtama.”
“Ki Gede Pemanahan adalah seorang prajurit,” sahut Widura.
“Ia bukan prajurit di dalam bilik perang di Pajang untuk mengatur gerak prajuritnya sambil duduk memintal kumis. Ki Gede Pemanahan adalah seorang prajurit medan. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan tidak akan pernah menilai hidangan yang dihidangkan kepadanya.”
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, namun keningnya kemudian dibasahi oleh keringat dingin yang mengalir tak henti-hentinja. Dengan serta merta dipanggilnya Swandaru sambil berkata,
“Swandaru, pulanglah ke kademangan sejenak. Berkatalah kepada ibumu dan adikmu Sekar Mirah. Buatlah hidangan yang agak pantas untuk Ki Gede Pemanahan dengan rombongan dari Pajang.”
“Hidangan apa ayah?”
“Makanan, makan siang dan minuman”
“Rujak degan.”
“Jangan mengigau. Itu hanya kesukaanmu sendiri”
Ki Demang terkejut bukan buatan ketika seorang anak muda yang ternyata memisahkan diri dari rombongannya dan berjalan di halaman itu menyahut,
“Ayah senang sekali rujak degan.”

Ki Demang memandangi anak muda itu dengan mata hampir tak berkedip. Ia melihat lengan baju anak muda itu membekas darah dan bahkan kainnya  pun terkena percikannya pula. Tetapi wajahnya masih juga memancarkan sebuah senyuman yang segar. Ketika dengan ragu-ragu Ki Demang ingin menanyakan siapakah anak muda itu, maka terdengar pula suara yang lain di belakangnya.
“Ki Demang, anak muda inilah yang bernama Sutawijaya dan bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.”
“Oh,” Ki Demang itu berdiri sejenak dengan mulut ternganga. Inilah anak muda yang telah herhasil menyobek perut Pengeran Arya Penangsang, Adipati Jipang.
Swandaru yang mendengar nama itu, dadanya bergetar. Tiba-tiba ia meloncat maju sambil menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Dengan hormatnya ia berkata,
“Aku mengagumi Tuan melampaui segala-galanya.”
“Ah,” anak muda itu berdesah. Katanya kemudian,
“Bagaimana dengan rujak degan itu?”
Swandaru menjadi tersipu-sipu. Tetapi ternyata Sutawijaya mendesaknya,
“Kami terlampau haus. Apakah di sini ada kelapa muda? Aku juga bisa memanjat untuk memetiknya.”
“Jangan, jangan,” cegah Swandaru.
“Aku anak kademangan ini. Aku sudah terlalu biasa memanjat batang kelapa.”
Swandaru tidak berkata-kata lagi. Segera ia berlari-lari ke halaman belakang banjar desa. Kepada beberapa orang dimintanya untuk segera menurunkan beberapa kelapa muda seperti yang diminta oleh Sutawijaya.
Dalam pada itu, Sutawijaya yang masih berada di halaman, memandangi anak muda yang telah memperkenalkannya kepada Ki Demang Sangkal Putung. Anak muda itu dilihatnya datang bersama-sama dengan Untara ke bulak tempat mereka bertempur melawan orang-orang Jipang. Tetapi anak muda itu belum dikenalnya, dan anak muda itu tidak berpakaian atau bertanda apa pun sebagai seorang prajurit. Karena itu, maka dengan serta-merta ia bertanya,
“Bukankah kau yang datang bersama Kakang Untara?”
Anak muda itu menganggukkan kepalanya. “Ya, Tuan.”
“Siapakah namamu?”
“Agung Sedayu.”
“Apakah kau bukan seorang prajurit meskipun di lambungmu tergantung sehelai pedang?”
“Ya, Tuan. Aku bukan seorang prajurit Wira Tamtama.”
“Apakah kau termasuk laskar Sangkal Putung?”
“Ya, Tuan, meskipun aku bukan anak Sangkal Putung.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ia bertanya,
“Dari manakah kau?”
“Jati Anom.”
“Oh, jadi apakah kau mempunyai hubungan khusus dengau Kakang Untara?”
“Aku adiknya.”
Sutawijaya tertawa. “Pantas,” katanya.

Tetapi ia tidak meneruskannya. Ternyata Agung Sedayu menarik perhatiannya. Kecuali umurnya yang sebaya, juga ketangkasannya. Sutawijaya melihat anak muda itu meloncat dari punggung kudanya, langkahnya dan pedang di lambungnya. Tetapi anak muda ini tampaknya agak berbeda dengan orang-orang yang berada di halaman itu. Bahkan dengan Untara dan Widura sekalipun. Agung Sedayu bersikap lain dari pada para prajurit. Anak muda itu tidak sekeras kakaknya. Sikapnya agak lebih lunak meskipun dari sepasang matanya memancar pula sifat-sifat yang membayangkan betapa anak muda itu memandang hari depan dengan penuh gairah.
“Apakah kau sudah lama berada di tempat ini?” bertanya Sutawijaya.
“Belum, Tuan.”
“Sejak Paman Widura di sini?”
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Belum lama. Aku datang bersama-sama dengan Kakang Untara.”
“Oh,” Sutawijaya mengerutkan keningnya. “Ya!” serunya. Tiba-tiba putera Panglima Wira Tamtama itu teringat sesuatu. Katanya,
“Aku pernah mendengar laporan yang disampaikan oleh seorang penghubung tentang dirimu. Tentang Agung Sedayu. Bukankah kau yang menyampaikan berita pertama kali ke Sangkal Putung tentang gerakan Tohpati?”
Wajah Agung Sedayu menjadi tertunduk karenanya.
“Bukankah begitu?”
Agung Sedayu menggigit bibirnya. Yang menjawab kemudian adalah pamannya yang masih berdiri di sampingnya,
“Ya, Angger Agung Sedayu lah yang telah membawa berita itu. Berita yang seolah-olah telah melepaskan kami dari bencana.”
“Luar biasa. Kau benar-benar mengagumkan.”
Tetapi Agung Sedayu menjadi semakin rikuh. Terasa wajahnya menjadi tebal, seakan-akan kulit di mukanya menjadi bengkak. Yang mengucapkan pujian itu adalah anak muda sebayanya yang pernah bertempur melawan Arya Penangsang, apa lagi kalau dikenangnya apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu. Tetapi pembicaraan itu pun segera terhenti. Widura dengan tergesa-gesa harus naik ke pendapa. Para tamu dan para pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung telah duduk di pendapa banjar desa. Ki Demang  pun segera dipanggil pula duduk di antara mereka.

Alangkah tegang sikap Demang Sangkal Putung itu. Menghadap seorang Panglima Wira Tamtama adalah kesempatan yang baru pertama kali ini didapatnya. Dahulu, seorang tumenggung dari Demak pernah datang pula ke kademangan ini. Pada saat itu, ia dan para pamong kademangan harus duduk beberapa langkah dari para tamu itu sambil menundukkan wajah mereka dalam-dalam. Dengan sikap yang garang tumenggung itu memberikan beberapa perintah dan petuah. Tetapi hampir tak seorang pun yang mendapat kesempatan untuk mengucapkan sepatah pertanyaan pun, dan bahkan hampir tak ada kesempatan untuk menatap wajah tumenggung yang dikawal oleh beberapa orang prajurit dengan segala macam tanda-tanda kebesaran. Tetapi kini, yang datang adalah orang tertinggi dari kesatuan Wira Tamtama, justru begitu sederhana dan ramah. Semua orang mendapat kesempatan duduk dalam lingkaran bersama-sama, berbicara dengan ramah dan berbincang dengan terbuka. Namun dengan demikian, maka Ki Demang itu menjadi semakin hormat kepada Panglima yang sederhana ini. Namun dalam pada itu, Untara lah yang seolah-olah dibakar oleh kegelisahannya. Meskipun Ki Gede Pemanahan selalu mendengarkan pendapat orang lain, namun ia tidak berani mengemukakan persoalan orang-orang Jipang itu terlampau segera. Ki Gede Pemanahan baru saja duduk di pendapa itu. Belum lagi minuman dihidangkan, setelah Ki Gede dan para prajurit yang mengawalnya bertempur dengan orang-orang Jipang yang dipimpin oleh Ki Tambak Wedi. Sekali-kali Untara itu memandangi Ki Demang Sangkal Putung dan Widura berganti-ganti. Seakan-akan terpancarlah pertanyaan dari sorot matanya,
“Apakah tidak segera dihidangkan minumam untuk para tamu yang pasti kehausan setelah bertempur ini?”
Tetapi pertanyaan itu dijawabnya sendiri,
“Salahmu. Kau tidak memberitahukan bahwa akan datang tamu agung dari Pajang dan tidak kau katakan bahwa mereka habis bertempur di ladang jagung.”
Untara menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia terkejut ketika kemudian beberapa orang naik ke pendapa untuk menghidangkan minuman yang tidak disangka-sangkanya. Rujak degan.
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia menarik nafas dalam ketika Widura berkata,
“Ki Gede, Puteranda mengatakan bahwa Ki Gede sangat gemar minum rujak degan.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, \
“Sutawijaya berkata sebenarnya.”

Maka beredarlah mangkuk-mangkuk berisi rujak degan yang digulai dengan cairan legen mentah. Alangkah segarnya. Namun Untara sama sekali tidak merasakan kasegaran itu. Sekali-kali ia memandang bayangan matahari yang memanjat semakin tinggi. Apakah jadinya kalau orang-orang Jipang itu datang dengan tiba-tiba menyergap beberapa gardu perondan. Meskipun ia yakin bahwa penjagaan induk Kademangan Sangkal Putung ini tidak akan dapat dengan mudah ditembus. Namun kesempatan mereka mendekati induk kademangan adalah kesempatan yang amat merugikan bagi Sangkal Putung. Sifat dan sikap Sanakeling agak berbeda dengan Macan Kepatihan. Apalagi kini di antara mereka ada orang-orang seperti Tambak Wedi dan Sidanti yang tamak. Dalam pada itu, Sutawijaya masih saja berada di halaman. Sehingga karena itu Agung Sedayu bertanya,
“Apakah Tuan tidak duduk di antara para tamu dan pemimpin-pemimpin Sangkal Putung?”
“Terlampau panas. Lebih sejuk di halaman ini,” sahut Sutawijaya.
“Kenapa kau juga tidak naik?”
Agung Sedayu tersenyum, katanya,
“Aku bukan salah seorang dari para pemimpin.”
Sutawijaya tertawa mendengar jawaban itu. Bahkan segera ia berkata,
“Apakah bedanya, pemimpin dan bukan pemimpin?”
Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu. Tetapi justru karena itu, maka ia  pun tertawa pula.
Beberapa orang yang mendengar mereka tertawa, mengernyitkan alisnya. Tetapi mereka kemudian bertanya-tanya di dalam hati kenapa putera Ki Gede Pemanahan itu tidak duduk di antara para tamu yang datang dari Pajang. Dalam pada itu, agaknya Agung Sedayu telah menemukan jawaban atas pertanyaan Sutawijaya. Katanya,
“Tuan apabila pemimpin dan bukan pemimpin tidak dibedakan, maka pendapa itu pasti tidak akan muat.”
“Ya, bedanya apa?” desak Sutawijaya.
“Bedanya, pemimpin boleh memilih. Duduk di atas atau berjalan di halaman. Sedang yang bukan pemimpin hanya ada satu pilihan. Tidak ada pilihan ke dua. Karena itu, aku tetap di sini.”
Sekali lagi Sutawijaya tertawa. Bahkan kali ini lebih keras, sehingga orang-orang yang berada di pendapa  pun berpaling kepadanya.
Tetapi suara tertawa itu telah memberikan isyarat tanpa disengaja kepada Ki Gede Pemanahan. Tiba-tiba Panglima Wira Tamtama itu melihat bahwa bayangan matahari telah hampir tegak di bawah kaki. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan itu  pun segera berpaling kepada Untara. Panglima Wira Tamtama itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata dahi Untara telah dibasahi oleh keringat dinginnya. Dari wajahnya membayang kegelisahan yang amat sangat. Ki Gede Pemanahan tersenyum. Ia menangkap apa yang bergolak di dalam dada anak muda itu. Katanya,
“Apakah kau gelisah karena matahari telah cukup tinggi?”
Untara membungkukkan badannya dalam-dalam. “Ya, Ki Gede.”
Namun pertanyaan itu terasa seperti embun yang menetes di jantungnya yang seakan-akan terbakar.
“Maaf Untara,” berkata Ki Gede Pemanahan itu pula.
“Mungkin aku datang terlampau siang. Aku terlambat dari waktu yang telah aku tetapkan sendiri.”

Jantung Untara terasa berdentang keras sekali. Sekali lagi ia merasa betapa ia telah berbuat bodoh sekali. Laporannya ternyata jauh meleset dari apa yang terjadi. Sangkal Putung sama sekali belum menjadi aman seperti yang disampaikannya kepada Panglima Wira Tamtama itu. Sejenak Untara terbungkam. Ia tidak dapat menjawab sama sekali, selain hanya menundukkan kepalanya saja. Karena Untara tidak menjawab maka Ki Cede Pemanahan berkata pula,
“Untara, kalau kau masih mempunyai kewajiban yang lain lakukanlah. Kalau aku akan kau bawa pula, marilah aku sudah bersedia.”
Untara mengigit bibirnya. Tapi ia tidak dapat menjawab lain dari pada,
“Ya Ki Gede. Saat penyerahan hampir tiba.”
“Baik. Siapkan orang-orangmu. Aku akan pergi bersamamu.”
Untara  pun kemudian berdiri dan turun dari pendapa. Diberikannya beberapa perintah kepada Widura menyiapkan pasukan yang segera akan pergi ke Benda. Beberapa orang berkuda akan lebih dahulu pergi. Melihat apa yang terjadi di desa kecil itu. Mereka harus membawa alat-alat tanda bahaya apabila keadaan memaksa. Namun dalam pada itu, Untara menjadi heran sejak ia kembali dari bulak tegalan jagung, ia belum melihat Ki Tanu Metir. Sehingga karena itu maka ia bertanya kepada Widura,
“Paman, di manakah Kiai Gringsing ?”
Widura mengerutkan keningnya. Demikian sibuknya ia mengurusi berbagai soal sehingga tidak diingatnya Kiai Gringsing itu lagi. Karena itu maka jawabnya,
“Aku tidak melihatnya Untara.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiai Gringsing adalah orang yang aneh. Orang yang hanya menuruti kehendak sendiri, meskipun kadang-kadang bahkan sering menguntungkannya. Karena itu Untara tidak lagi mencarinya. Widura yang kemudian pergi ke lapangan di muka banjar desa itu  pun segera mempersiapkan orang-orangnya. Kepada beberapa orang pemimpin kelompok diperintahkannya menyiapkan para prajurit Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung dalam kesiagaan penuh. Mereka akan menerima orang-orang Jipang yang akan menyerah. Namun segala kemungkinan dapat terjadi.
“Kami tidak percaya kepada mereka” Tiba-tiba terdengar Hudaya yang sudah berdiri di belakangnya berkata.
Widura berpaling. Ditatapnya wajah Hudaya yang tegang,
“Jangan merusak rencana Hudaya. Rencana ini sudah menjadi masak.”
“Apakah yang terjadi di bulak tegalan jagung itu tidak mendapat pertimbangan? Aku mendengar dari para tamu, apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi.”
“Kau harus tahu, bahwa Ki Tambak Wedi dan Sumangkar tidak sependapat.”
“Bukankah mereka dapat berpura-pura berbuat begitu?”
“Karena itu marilah kita berada dalam kesiap siagaan yang penuh.”
“Belum cukup. Kalau kita biarkan mereka mendekati barisan kita, sedang kita hanya menunggu saja di Padukuhan Benda, maka kita akan kehilangan kesempatan. Harus kita perhitungkan pula orang-orang Tambak Wedi yang dapat saja datang dari jurusan yang berbeda-beda. Kalau kita sedang terlibat dalam bentrokan yang kacau, kemudian kita dengar tanda bahaya dari sudut lain, maka kita akan kehilangan waktu dan perhitungan.”
“Jangan terlampau berprasangka. Marilah kita lakukan perintah yang telah disetujui oleh Panglima Wira Tamtama dengan tidak meninggalkan kewaspadaan.”

Hudaya tidak dapat membantah lagi. Perintah ini, harus di jalankan, apalagi telah disetujui oleh Panglima Wira Tamtama. Tetapi tiba-tiba kembali mereka menjadi tegang ketika seorang kepala kelompok yang lain bertanya,
“Apakah yang kau katakan itu ada hubungannya dengan luka Kakang Sonya yang baru saja mengigau tentang orang-orang Jipang di bulak jagung?”
Dada Widura berdesir mendengar pertanyaan itu, sehingga ia pun bertanya pula,
“Apa kata Sonya?”
“Pertempuran di tegal jagung. Menurut Sonya, orang-orang Jipang telah mencegat Ki Gede Pemanahan beserta rombongannya,” sahut orang itu.
Kini dada Widura benar-benar menjadi berdebar-debar. Ia telah minta agar Sonya merahasiakan peristiwa itu untuk menjaga ketenteraman hati para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung. Tetapi agaknya seseorang bahkan lebih telah mendengar peristiwa itu.
“Apakah Sonya telah menceriterakan kepadamu apa yang terjadi?” bertanya Widura.
Orang itu menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Hudaya seakan-akan ia ingin mendapat penjelasan, apa yang sedang dipercakapkannya dengan Widura. Tetapi karena Hudaya seolah-olah membisu, maka ia pun menjawab,
“Sonya telah terluka. Mula-mula ia tidak mau mengatakan apa sebabnya ia terluka. Bahkan orang yang memapahnya dari pendapa ke gandok  pun tidak diberitakukannya. Tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi sangat panas, sehingga ia mengigau. Dalam igauannya itulah ia mengatakan bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang Jipang. Bahkan sekali-sekali ia berteriak-teriak memanggil nama Untara.”
Widura mengerutkan keningnya. Ia tidak mendapat laporan tentang keadaan Sonya itu. Bahkan oleh beberapa kesibukan yang lain, ia tidak sempat menunggui orang yang terluka itu.
“Apakah Ki Tanu Metir tidak memberinya obat?”
“Ya,” sahut orang itu,
“tetapi kemudian orang tua itu pergi sampai sekarang tidak kembali lagi.”
Debar di dada Widura menjadi semakin keras. Sekali-sekali ditatapnya wajah Hudaya yang seolah-olah memancarkan tuntutan kepadanya.
Namun Widura itu kemudian menjawab,
“Sonya hanya mengigau. Mungkin telah terjadi sesuatu dengan perjalanannya, tetapi sebaiknya kita mendengarkan laporannya besok apabila ia sudah tidak mengigau lagi, sehingga kata-katanya dapat dipertanggung-jawabkan.”

Pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjadi curiga ketika ia melihat Hudaya tersenyum. Senyum yang aneh. Dan senyum itu sama sekali tidak menyenangkan hati Widura. Katanya kemudian,
“Sekarang, lakukan perintah yang diberikan oleh Untara dan telah disetujui oleh Ki Gede Pemanahan. Bersiaplah. Sebentar lagi kita akan pergi ke Padukuhan Benda. Mudah-mudahan kita datang lebih dahulu daripada orang-orang Jipang, sehingga kita dapat membangun pertahanan-pertahanan yang perlu apabila keadaan berkembang tidak seperti yang diharapkan.”
Hudaya menggeleng lemah. Desisnya,
“Aku tidak dapat mengerti apa yang harus aku lakukan. Tetapi perintah ini akan aku jalankan. Mudah-mudahan kita tidak masuk ke dalam api neraka.”
Widura memandang Hudaya dengan penuh curiga. Tetapi dibiarkannya Hudaya berjalan ke kelompoknya. Di belakangnya berjalan para pemimpin kelompok yang lain.
Tetapi Hudaya itu tertegun dan berpaling ketika ia mendengar Widura memanggilnya,
“Hudaya. Aku minta bantuanmu.”
Hudaya mengerti sepenuhnya arti kata-kata itu. Widura minta kepadanya supaya ia tetap merahasiakan apa yang diketahuinya di tegal jagung. Tetapi apabila kemudian berita tentang tegal jagung itu tersebar, adalah bukan salahnya. Ia patuh pada perintah itu, betapa hatinya sendiri meronta.
Maka jawabnya,
“Aku telah mencoba. Tetapi aku tidak dapat mencegah Sonya mengigau terus.”
Widura menarik nafas panjang. Ia pun tahu sepenuhnya bahwa bukan Hudaya sumber dari ceritera tentang tegal jagung itu seandainya ceritera itu menjalar. Karena Sonya telah mengigau, maka peristiwa itu tentu akan menjadi bahan pembicaraan. Sebagian dari prajurit Pajang pasti percaya pada igauan itu. Bahkan mungkin telah membakar hati mereka pula. Apalagi laskar Sangkal Putung sampai mendengarnya. Tetapi Widura tidak dapat berbuat apa-apa. Satu dua orang telah terlanjur mendengar Sonya mengigau. Agaknya satu dua orang itu telah berceritera kepada orang-orang lain lagi, sehingga dalam saat yang pendek, ceritera itu pasti sudah akan tersebar di seluruh Sangkal Putung.

Sudah tentu ceritera itu menggelisahkan para pemimpin Sangkal Putung. Ketika Widura melaporkan kesiagaan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung, maka kemudian ceritera tentang sonya itu dibisikkannya kepada Untara.
“Celaka,” Untara berdesis, “bagaimana dugaan Paman?”
“Mereka dibakar oleh dendam yang meluap-luap. Ceritera itu seperti minyak yang disiramkan ke dalam api.”
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kepalanya benar-benar menjadi pening. Kalau benar orang-orang Jipang itu curang, maka sekali lagi ia akan dibebani oleh sebuah kesalahan yang besar setelah kebodohannya yang hampir-hampir menyiderai Ki Gede Pemanahan. Tetapi apabila laskar Sangkal Putung dan para prajurit Pajang yang mendahului menyergap orang-orang Jipang yang datang untuk menyerah, maka ia pun akan membuat kesalahan yang lain. Ternyata prajurit Pajang di Sangkal Putung telah kehilangan ikatan kepemimpinan sehingga mereka dapat berbuat sesuka hatinya.
Tetapi Untara belum mendapat kesempatan untuk memecahkan persoalan yang telah membuat kepalanya seperti berputar-putar. Kini ia terpaksa mendampingi Ki Gede Pemanahan turun dari pendapa dan berjalan ke halaman. Namun ia sempat berbisik kepada pamannya,
“Paman, kita harus berusaha sebaik-baiknya.”
Pamannya mengangguk. Ia terpaksa memisahkan diri untuk mengawasi langsung keadaan para prajurit dan laskar Sangkal Putung.
Sementara itu, Sutawijaya yang masih saja duduk bersama Agung Sedayu berkata,
“Aku akan ikut ayah melihat orang-orang Jipang yang menyerah. Apakah kau tidak akan ikut?”
“Ya. Aku akan ikut pula,” sahut Agung Sedayu.
Sutawijaya tersenyum. Ia senang pergi bersama-sama dengan kawan yang sebaya umurnya. Apalagi kemudian Swandaru datang kepada mereka. Dan menyatakan keinginannya untuk pergi bersama pula.
“Bagaimana dengan anak-anak muda Sangkal Putung?” bertanya Agung Sedayu.
“Ayah akan memimpin mereka,” sahut Swandaru.
“Marilah kita pergi bersama-sama,” ajak Sutawijaya.

Tetapi Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Apakah kakaknya akan mengijinkannya, bahkan seandainya ia harus pergi sekalipun, mungkin telah disediakan tugas khusus kepadanya. Tetapi Sutawijaya itu berkata,
“Biarlah aku mintakan ijinmu kepada Kakang Untara.”
Agung Sedayu membiarkannya pergi kepada Untara sambil berkata,
“Kakang Untara, apakah adikmu Agung Sedayu akan kau bawa?”
“Tidak, Tuan,” jawab Untara.
“Kenapa?”
“Aku dan Paman Widura harus pergi ke Padukuhan Benda. Agung Sedayu biarlah tinggal di banjar desa ini untuk mengawasi orang-orang yang terluka, terutama orang-orang Jipang supaya tidak terjadi sesuatu pada mereka.”
“Serahkan pekerjaan itu kepada seorang prajurit Pajang, bukankah Agung Sedayu bukan seorang prajurit?”
Untara menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu maksud Sutawijaya. Bahkan Ki Gede Pemanahan bertanya,
“Apakah maksudmu Sutawijaya? Meskipun Agung Sedayu bukan seorang prajurit, tetapi kalau Untara telah memberinya kepercayaan?”
“Agung Sedayu dan Swandaru akan aku ajak pergi bersama-sama melihat orang-orang Jipang itu Ayah.”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata,
“Kau hanya memikirkan kesenanganmu sendiri. Agung Sedayu mempunyai tugas di sini, tidak ada kesempatan bagi setiap orang di Sangkal Putung yang jumlahnya sedikit untuk melihat-lihat seperti kau.”
“Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru akan aku bawa serta.”
Ki Gede pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya wajah Untara yang dipenuhi oleh kebimbangan. Ia tidak tahu, apakah sebaiknya adiknya diijinkannya seperti yang dikehendaki oleh Sutawijaya atau justru harus tetap diberinya tugas seperti yang disebut-sebut oleh Ki Gede Pemanahan.

Agung Sedayu sendiri menjadi sangat kecewa mendengar tugas yang akan diserahkan kepadanya. Menunggui orang sakit dan mungkin harus bertengkar dengan orang-orang Pajang atau Sangkal Putung sendiri, karena mereka akan berbuat sesuatu atas orang-orang Jipang itu. Tetapi ia menjadi senang sekali ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan berkata,
“Biarlah Agung Sedayu dan kawannya itu pergi pula. Serahkan pekerjaan itu kepada orang lain.”
Untara menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Baik Ki Gede.”
Akhirnya Agung Sedayu dan Swandaru ikut pula pergi ke Benda, untuk menerima orang-orang Jipang yang akan menyerah.
“Kita pergi berkuda,” ajak Sutawijaya.
“Tetapi yang lain berjalan kaki,” sahut Agung Sedayu.
“Biar sajalah, kita pergi berkuda.”
Agung Sedayu tidak membantah. Tetapi sekali lagi ia menjadi ragu-ragu, apakah kakaknya akan mengijinkannya? Katanya,
“Aku akan minta ijin Kakang Untara.”
“O,” desah Sutawijaya,
“kau selalu saja ragu-ragu. Biar sajalah. Kakang Untara tidak akan marah.”
“Ayolah,” desak Swandaru pula. Anak itu pun sama sekali tidak membuat pertimbangan lagi. Bahkan ia menjadi sangat bergembira pergi bersama dengan Sutawijaya, apalagi berkuda.
Agung Sedayu masih saja ragu-ragu. Sehingga Sutawijaya itu berkata,
“Baiklah, mintalah ijin Kakang Untara.”
Sekali lagi Agung Sedayu menemui Untara untuk minta ijin kepadanya, bahwa ia akan pergi bersama Sutawijaya berkuda.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat melarang adiknya. Meskipun demikian ia berpesan,
“Agung Sedayu. Seandainya kau pergi dahulu, jangan berbuat sesuatu yang dapat merusak rencana kita. Meskipun Adi Sutawijaya sekalipun yang akan berbuat, tetapi kalau menurut pertimbanganmu akan dapat merusak suasana, maka kau pun wajib memperingatkannya.”
“Baik, Kakang,” sahut Agung Sedayu, yang kemudian menyiapkan kudanya untuk pergi bersama dengan Sutawijaya dan Swandaru Geni.

Sementara itu, pasukan yang berada di alun-alun  pun telah siap sepenuhnya. Setelah Ki Gede Pemanahan dan Untara selesai dengan semua persiapan, maka mereka pun segera keluar dari halaman dan sekali lagi sambutan yang gemuruh telah menyongsongnya. Ki Gede Pemanahan melambaikan tangannya kepada para prajurit Pajang, orang-orang Sangkal Putung yang berada dalam barisan dan kepada rakyat yang berada di sekitarnya. Kepada Untara, Ki Gede Pemanahan minta agar para pemimpin kelompok dikumpulkannya. Ki Gede Pemanahan sendiri ingin bercakap-cakap langsung dengan mereka.
“Baik Ki Gede,” sahut Untara. Namun keringat dinginnya masih saja mengalir. Sekali-sekali ia menengadahkan wajahnya memandang matahari yang seolah-olah terlampau cepat menanjak ke puncak langit.
“Hanya sebentar,” desis Ki Gede Pemanahan.
Untara menggigit bibirnya. Ternyata Ki Gede Pemamahan dapat membaca hatinya. Setelah para pemimpin kelompok dari seluruh pasukan berkumpul maka Ki Gede Pemanahan  pun memberi mereka beberapa petuah dan petunjuk. Kepada mereka akhirnya Ki Gede Pemanahan berkata,
“Kalian tidak berbuat untuk kepentingan kalian masing-masing sesuai dengan kesenangan kalian. Tetapi kalian berbuat untuk Pajang dalam satu rangkuman dengan segenap perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang lain untuk kepentingan yang serupa.”
Kata-kata Ki Gede Pemanahan itu meresap satu-satu, seakan-akan langsung menghunjam ke pusat jantung. Para pemimpin kelompok itu menyadari, apakah yanq telah dikatakan oleh Panglimanya itu dengan sebaik-baiknya. Hubungan langsung dengan berhadapan wajah dengan wajah telah menumbuhkan kecintaan dan keseganan yang bertambah-tambah atas panglimanya.
“Nah,” berkata Ki Gede Pemanahan,
“sekarang kita berangkat. Kita harus merasa bahwa Wira Tamtama seluruhnya seakan-akan memiliki satu otak, sehingga apa yang kita lakukan akan merupakan sebagian dari anggota badan. Seperti juga kaki dan tangan. Meskipun melakukan gerak yang berbeda-beda tetapi keduanya dalam satu pusat kehendak. Bukan sebaliknya apabila kaki kita berlari menjauhi sesuatu tetapi tangan kita berpegang sesuatu yang hendak kita jauhi.”
Sekali lagi para pemimpin kelompok itu menganggukkan kepala mereka. Kesadaran kesatuan di antara mereka meresap semakin dalam. Sejenak kemudian, maka segala sesuatu telah diserahkan kembali oleh Ki Gede Pemanahan kepada Untara sambil berkata,
“Untara, sebelum dadamu meledak karena kegelisahan, maka aku serahkan kembali pimpinan ini. Marilah kita berangkat.”
Untara menganggukkan kepalanya. Ia masih melihat Ki Gede menahan tersenyum.

Sesaat kemudian, maka seluruh pasukan yang berada di halaman dan di lapangan kecil di muka banjar desa itu pun telah bergerak menuju ke Desa Benda. Dengan hati yang berdebar-debar Untara memimpin pasukannya menyongsong laskar Jipang yang akan menyerah. Namun betapa para pemimpin kelompok menyadari, bahwa mereka tidak sewajarnya melakukan perbuatan menurut kehendak sendiri, tetapi mereka akan berhasil mengendalikan kemarahan yang tersimpan di dalam hati para prajuritnya dan laskar Sangkal Putung. Laskar Sangkal Putung-lah yang justru akan lebih sulit dikendalikan.
“Mudah-mudahan kehadiran Ki Gede Pemanahan mempunyai banyak pengaruh atas mereka.”
Namun sekali lagi Widura mendengar percakapan di antara prajurit Pajang, tentang Sonya yang terluka. Igauan Sonya ternyata telah menjalar dari mulut ke mulut, sehingga seluruh pasukan telah mendengarnya. Baik para prajurit Pajang maupun laskar Sangkal Putung.
“Kenapa kita masih juga percaya kepada orang-orang Jipang itu?” desis salah seorang prajurit Pajang.
Pemimpin kelompoknya yang mendengar segera berkata,
“Jangan membuat tafsiran sendiri-sendiri tentang peristiwa yang telah dan bakal terjadi. Ki Gede Pemanahan akan menentukan segala macam sikap yang harus dilakukan oleh semua prajurit Wira Tamtama.”
“Tetapi Ki Gede tidak menghadapinya sehari-hari. Mungkin pengetahuannya tentang orang-orang Jipang tidak terlampau banyak. Ternyata orang-orang Jipang berhasil mencegatnya di tegal jagung pagi tadi.”
“Ki Gede Pemanahan bukannya seorang malaekat yang tahu apa yang akan terjadi. Juga kita semua. Karena itu, kita jangan membuat tafsiran sendiri-sendiri. Kita lihat apa yang akan terjadi. Kemudian kita serahkan semuanya pada kebijaksanaan pimpinan kita. Apalagi pimpinan tertinggi kita ada di sini.”
Prajurit itu terdiam. Tetapi pemimpin kelompoknya tahu benar bahwa kediaman itu, bukanlah suatu pernyataan bahwa apa yang dilakukan itu benar-benar diyakininya. Widura yang mendengar percakapan itu tanpa diketahui oleh prajurit yang berkepentingan, menarik nafas dalam-dalam. Bukan hanya satu dua orang prajurit yang berpendapat seperti itu, seolah-olah apa yang dilakukan kini adalah perbuatan yang sangat bodoh, setelah mereka mendengar ceritera tentang Sonya. Luka-luka Sonya yang berat, seakan-akan meyakinkan mereka, betapa orang-orang Jipang benar-benar telah berusaha membunuhnya.

Ketika kemudian Widura membisikkan apa yang didengarnya itu kepada Untara, maka Untara  pun mengerutkan keningnya. Di wajahnya telah membayang kecemasan hatinya.
“Kalau mereka melihat orang-orang Jipang datang dengan senjata masih di tangan mereka maka perasaan orang-orang kita  pun akan menjadi sangat sulit dikendalikan. Satu langkah saja di antara kita, apakah orang-orang Pajang, apakah orang-orang Jipang, berbuat hal-hal di luar dugaan dan mencurigakan, maka akibatnya akan dapat menyulitkan sekali,” sahut Untara.
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Bagaimana pertimbanganmu Untara.”
“Padahal, menurut pembicaraan kita, orang-orang Jipang itu akan datang dengan senjata masing-masing, kemudian baru setelah mereka sampai di Benda, mereka akan mengumpulkan senjata-senjata mereka untuk diserahkan. Sudah tentu mereka harus merasa diri mereka aman. Mereka setidak-tidaknya harus melihat kita berada di antara pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung dengan penuh pertanggungan jawab.”
Saat yang paling berbahaya adalah saat dimana orang-orang Jipang itu memasuki daerah pedesaan Benda. Pada saat-saat kedua pasukan berhadapan hampir tanpa jarak. Padahal di tangan masing-masing masih tergenggam senjata-senjata mereka. Sedang di dalam dada masing-masing berkobar dendam dan kebencian.
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus benar-benar dapat menguasai keadaan. Karena itu maka katanya,
“Kami harus berada di tempat yang terpisah-pisah sehingga kami dapat menguasai seluruh keadaan.”
“Kita hanya berdua,” desah Widura.
Untara menarik nafas. Agung Sedayu dilihatnya duduk di atas punggung kuda, jauh di belakang pasukan yang berjalan seperti ular menyusur jalan ke Benda.
“Hem,” Untara menarik nafas,
“biarlah kita coba. Kalau perlu kita akan bersikap keras terhadap orang-orang kita sendiri. Kami akan mengharap pengaruh Ki Gede Pemanahan pula apabila terpaksa.”
Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum yakin bahwa pasukannya akan dapat dikendalikan. Meskipun demikian ia harus berusaha.
Dengan dahi yang berkerut-kerut ia berkata,
“Untara. Peristiwa Sidanti, merupakan arang yang tercoreng di wajahku. Ternyata aku tidak dapat menguasai anak itu sebagai anak buahku. Bahkan ia telah mencoba membunuhmu. Aku menyadari, bahwa seandainya senapati Pajang yang di tempatkan di lereng Merapi ini bukan kemenakanku, apakah kira-kira laporan yang telah dikirim kepada Ki Gede Pemanahan tentang aku dan wibawaku di daerah kekuasaanku? Meskipun kau telah mencoba menyembunyikan beberapa hal mengenai Sidanti, namun terasa juga terutama pada diriku sendiri, kekurangan yang telah terjadi pada pimpinan di Sangkal Putung ini. Sekarang aku dihadapkan lagi pada suatu keadaan yang mendebarkan. Kalau kali ini aku gagal menguasai anak buahku, maka adalah tidak wajar aku tetap dalam kedudukanku sakarang.”
“Tetapi rencana dari pada peristiwa ini akulah yang menyusunnya Paman. Setiap kesalahan tidak akan dapat dibebankan pada Paman sendiri.”
“Aku adalah pimpinan langsung bagi pasukan di Sangkal Putung. Adalah kebetulan bahwa kau kemenakanku yang tidak dapat melepaskan hubungan keluarga di antara kita, sehingga banyak hal yang seharusnya tidak kau tangani sendiri terpaksa kau kerjakan. Pekerjaan yang seharusnya tinggal kau ucapkan dan akulah yang harus melakukannya.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak ingin melihat pamannya menjadi cemas. Pamannya yang tetap tenang menghadapi laskar Jipang yang betapapun kuatnya melanda Sangkal Putung, namun dicemaskan oleh goyahnya keteguhan ikatan anak buahnya sendiri karena dendam, benci dan segala macam perasaan yang bercampur baur.
“Paman jangan terlalu cemas. Para pemimpin kelompok telah menyadari apa yang sedang mereka hadapi. Mudah-mudaan mereka tidak mudah menjadi goyah. Dengan demikian kita berdua tidak berdiri sendiri.”
“Mudah-mudahan,” sahut Widura kosong.
Dalam pada itu iring-iringan itu berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin jauh dari induk kademangan, dan semakin dekat dengan desa yang seolah-olah agak terpencil di ujung kademangan itu. Pedesaan Benda yang sepi, penduduknya telah diungsikan ke desa yang lain, untuk memberi kesempatan nanti malam kepada orang-orang Jipang untuk bermalam, sebelum mereka dibawa ke Pajang menerima keputusan tentang diri mereka. Setiap kali Untara selalu menengadahkan wajahnya menatap langit. Setiap kali hatinya menjadi berdebar-debar. Matahari merayap terlampau cepat. Tetapi ketika pedesaan Benda lamat-lamat tampak di hadapan wajahnya ia bergumam,
“Mudah-mudahan kita tidak terlambat. Mudah-mudahan di desa itu tidak bersembunyi orang-orang Jipang yang telah siap menyergap kita apabila kita memasukinya.”
Widura mendengar gumam itu, tetapi tidak jelas, sehingga terpaksa ia bertanya,
“Apa yang kau katakan?”
Untara menggeleng,
“Tidak apa-apa Paman. Aku hanya menyebut nama desa itu. Bukankah desa seberang bulak itu Desa Benda?”
“Ya,” Widura mengangguk.
Kemudian mereka pun terdiam. Namun hati mereka menjadi berdebar-debar. Di hadapan mereka berjalan Ki Gede Pemanahan dengan beberapa orang pengawalnya. Tetapi ketika mereka menjadi semakin dekat, maka Untara dan Widura  pun berjalan pula di sisi mereka. Tanpa mereka kehendaki. Tangan-tangan mereka telah meraba-raba hulu pedang mereka, apabila setiap saat diperlukan.
“Desa itukah yang kau maksud dengan Desa Benda?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Ya, Ki Gede,” jawab Untara singkat.
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia berpaling memandangi barisan yang berjalan di belakangnya. Menjalar sepanjang jalan, seperti seekor ular raksasa yang merayap-rayap.
Terasa oleh Untara dan Widura, bahwa sikap itu pun adalah suatu sikap berhati-hati setelah hampir saja Ki Gede Pemanahan dijebak oleh orang-orang Jipang. Namun Ki Gede itu berjalan terus. Wajahnya masih saja tenang, seakan-akan tidak ada suatu pun yang mencemaskannya. Tetapi Untara-lah yang kemudian menjadi cemas. Ia harus yakin, bahwa kedatangan Ki Gede di Benda tidak akan mendapat bencana. Karena itu, sebelum mereka memasuki desa maka dua orang penghubung harus mendahului dan melihat keadaan. Namun hati Untara itu pun kemudian berdesir ketika ia melihat Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru mempercepat derap kudanya mendahului pasukan yang berjalan di sepanjang jalan persawahan.
Demikian kuda-kuda itu sampai di sisinya terdengar Sutawijaia berkata,
“Kakang Untara, kami bertiga akan mendahului kalian melihat-lihat desa di hadapan kita.”
Dada Untara sekali lagi berdesir. Segera ia menyahut,
“Jangan. Biarlah dua atau tiga orang penghubung melihat pedesaan itu dahulu sebelum kita memasukinya.”
Sutawijaya tertawa, katanya,
“Apakah Kakang Untara mencemaskan kami? Percayalah bahwa Tambak Wedi hanya membual. Seandainya benar orang-orang Jipang merencanakan penyerangan, maka kegagalan Tambak Wedi pasti akan membawa perubahan. Mereka tidak akan berani menjebak kami di desa itu.”


Halaman 1 2 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar