Untara tidak menjawab. Tetapi ia hanya menundukkan kepalanya.
“Suruh
orang-orangmu melayani orang-orang yang terluka dan membawa para korban. Bagaimana
menurut pertimbanganmu supaya para korban dan mereka yang terluka tidak
menggemparkan banjar desa?”
Untara berpikir
sejenak, kemudian jawabnya,
“Mereka akan
kami tinggalkan di pedukuhan sebelah Ki Gede. Beberapa orang akan mengawalnya.
Apabila terjadi sesuatu, mereka harus membunyikan tanda bahaya.”
Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Baik. Kita
akan berangkat.”
Ki Gede
Pemanahan pun kemudian meneruskan perjalanannya. Kuda-kuda yang masih
berkeliaran segera ditangkap kembali. Dan mereka yang sudah kehilangan kudanya
segera naik bersama-sama dua orang di atas satu punggung kuda. Sedang para
peronda yang datang berjalan kaki harus kembali ke gardunya sambil membawa
orang-orang yang terluka dan beberapa mayat korban pertempuran itu, dibantu
oleh beberapa orang prajurit berkuda yang datang dari Sangkal Putung. Di
sepanjang perjalanan yang sudah tidak terlampau jauh itu, hampir-hampir tidak
ada yang mengucapkan sepatah katapun. Semuanya terdiam oleh angan-angan mereka
yang berputaran. Baru ketika mereka hampir memasuki induk kademangan, Untara
berkata,
“Apakah
beberapa orang dari kami diperkenankan mendahului, Ki Gede. Kami ingin membuat
beberapa persiapan.”
Ki Gede
menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Pergilah.”
Kemudian
kepada seorang perwira pengiringnya Ki Gede berkata,
“Kibarkan
panji-panji. Pakailah tombak sebagai tunggulnya.”
Sebelum Untara
mendahului rombongan itu bersama beberapa orang untuk mengatur penyambutan,
maka ia masih sempat melihat Panji-panji Wira Tamtama berkibar pada sebuah
landean tombak. Panji-panji Wira Tamtama yang mengatakan bahwa dalam rombongan
itu ada seorang perwira tertinggi dari kesatuan Wira Tamtama.
Kepada Untara
dan orang-orangnya sekali lagi Ki Gede Pemanahan berpesan,
“Untara, kalau
kau masih mengharap bahwa Sumangkar benar-benar akan menyerah, maka sekali lagi
aku pesankan rahasiakan dahulu apa yang telah terjadi.”
Untara
mengangguk sambil menjawab,
“Ya Ki Gede.
Akan kami lakukan.”
Untara itu pun
kemudian mendorong kudanya berjalan lebih cepat untuk mendahului rombongan Ki
Gede Pemanahan. Baberapa saat kemudian mereka berpacu memasuki lorong-lorong di
dalam induk Kademangan Sangkal Putung menuju ke banjar desa.
Beberapa orang
melihat Untara dengan berbagai pertanyaan di dalam hati. Para prajurit yang
berada di alun-alun, beserta anak-anak muda Sangkal Putung, memalingkan kepala
mereka sejenak. Tetapi ketika yang mereka lihat Untara sedang berpacu, maka
kembali mereka bercakap-cakap di antara mereka. Orang-orang yang berada di
alun-alun itu sama sekali tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Mereka
menyangka bahwa Untara memang sedang bermain-main sendiri. Permainan yang masih
dirahasiakan bagi mereka.
Melihat
kedatangan Untara tanpa Ki Gede Pemanahan hati Widura berdesir. Apakah Untara
telah terlambat sehingga Ki Gede Pemanahan menemui bencana? Dengan tergesa-gesa
ia segera menyongsong kedatangan Untara. Demikian Untara meloncat dari punggung
kudanya di muka pendapa banjar desa, terdengar Widura bertanya perlahan-lahan,
“Apakah kau
terlambat Untara?”
Untara
mengerutkan keningnya. Jawabnya dengan nada rendah,
“Ya Paman.”
“He?” darah
Widura serasa membeku,
“lalu
bagaimana dengan Ki Gede Pemanahan?”
“Sebentar lagi
Ki Gede akan datang.”
“Oh,” Widura
menghela nafas. “Jadi Ki Gede Pemanahan tidak apa-apa?”
Baru Untara
kini menyadari, bahwa jawabannya telah mengejutkan Widura. Maka katanya,
“Tidak Paman,
Ki Gede Pemanahan tidak mengalami cidera. Tetapi aku sebenarnya datang
terlambat. Orang-orang Jipang telah terusir.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa dadanya menjadi lapang. Dengan mengelus
dada ia berkata,
“Dadaku selama
ini serasa akan meledak. Sukurlah kalau Ki Gede Pemanahan tidak mendapat cidera
apapun. Apakah Ki Gede akan segera memasuki banjar desa?”
“Ya. Ki Gede
akan memasuki banjar desa. Ki Gede menghendaki apa yang terjadi tetap
dirahasiakan,” sahut Untara sambil memandang berkeliling kepada para petugas
yang berdiri agak jauh dari padanya yang memancarkan pertanyaan lewat sorot
mata mereka. Tetapi mereka tidak mendengar percakapan itu. Akhirnya Untara itu
pun berkata,
“Kita sekarang
harus segera menyiapkan penyambutan Paman.”
Widura
menyadari bahwa waktu telah menjadi sangat sempit. Karena itu, maka kemudian ia
memanggil salah seorang dari para petugas yang berdiri di muka pendapa itu.
Ketika orang itu telah menghadap di depannya maka katanya,
“Bunyikan
tanda bagi para prajurit di alun-alun.”
Orang itu
memandang Widura dengan herannya. Tanda apakah yang harus dibunyikan? Karena
itu maka ia bertanya,
“Ki Wídura,
tanda apakah yang harus aku bunyikan. Tanda untuk berperang? Atau tanda untuk
bubar dan kembali ke pondok masing-masing.”
Widura
mengerutkan keningnya. Kemudian baru disadarinya bahwa perintahnya kurang
lengkap.
“Tanda bahwa
akan datang tamu agung di banjar desa ini.”
“Tamu agung?”
“Ya.”
“Siapa?”
“Cepat, kau
akan melihat nanti.”
Orang itu
tidak bertanya lagi. Segera ia berlari-lari kecil ke sisi halaman di samping
gandok. Dengan serta merta diraihnya pemukul kentongan sebesar lengannya. Dan
dengan sekuat-kuat tenaganya dipukulnya kentongan itu dalam irama tiga-dua.
Para prajurit
yang berada di alun-alun beserta para anak-anak muda Sangkal Putung dan setiap
orang yang berdiri mengitari alun-alun itu terkejut. Mereka telah mengenal
tanda itu. Tanda bahwa akan ada tamu yang datang di kademangan mereka.
Sesaat mereka
saling berpandangan. Kemudian terdengar bisik di antara mereka,
“Siapakah yang
bakal datang?”
Semua orang
saling menggelengkan kepala mereka. Mereka sama sekali belum mendengar siapa
yang bakal datang ke kademangan itu. Hanya satu dua orang kepala kelompok yang
sudah mendengar berita kedatangan Ki Pemanahan, namun mereka pun berpura-pura menggelengkan kepala mereka
pula. Namun tanda itu masih bergema terus. Karena itu, maka segera para
prajurit dan anak-anak muda Sangkal Putung mengatur diri dalam barisan yang
teratur menurut susunan masing-masing, sedang orang-orang yang berdiri menonton
di sekitar alun-alun itu pun segera mendesak maju. Untara dan Widura beserta
beberapa orang pun kini telah berada di
regol halaman. Mereka menanti kedatangan Ki Gede Pemanahan beserta rombongannya
dengan berdebar-debar. Apalagi Untara, yang mengetahui bahwa rombongan yang
datang dari Pajang itu telah tidak utuh seperti semula. Ada di antara mereka
yang kini terpaksa ditinggalkan karena luka-luka mereka, bahkan ada di antara
mereka yang terbunuh. Bukan hanya itu yang menggelisahkan Untara. Ketika ia
menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya matahari telah terlampau tinggi. Kalau
matahari itu mencapai puncaknya, maka Sumangkar dan sebagian orang-orang Jipang
harus diterimanya. Tetapi sudah tentu Untara tidak dapat meninggalkan halaman
itu sebelum Ki Gede Pemanahan datang. Ia hanya dapat mengharap mudah-mudahan Ki
Gede Pemanahan segera datang dan orang-orang Jipang tidak mendahului waktu yang
telah ditentukan. Apalagi kalau orang-orang Jipang itu curang dan seperti apa
yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi, mereka datang untuk menghancurkan Sangkal
Putung, tidak untuk menyerah. Orang-orang di gardu-gardu akan dapat
dikelabuhinya. Mereka datang untuk berpura-pura menyerah sebelum mereka
mencekik leher para peronda, sehingga mereka tidak sempat memukul tanda bahaya.
Untara itu seakan-akan berdiri di atas bara api. Sekali ia melangkah ke
tengah-tengah jalan melihat apakah Ki Gede Pemanahan telah tampak, sekali ia
melangkah ke regol halaman sambil berkomat-kamit. Ia beserta pasukannya harus
segera ke Benda. Melihat kehadiran orang-orang Jipang dengan senjata di tangan.
Menyaksikan mereka mengumpulkan senjata-senjata mereka dan kemudian menerima mereka
secara resmi yang seharusnya disaksikan oleh Ki Gede Pemanahan. Kemudian
orang-orang Pajang harus menyingkirkan senjata-senjata itu. Selanjutnya
orang-orang Jipang itu besuk atau lusa harus pergi ke Pajang dengan sebuah
pengawalan yang kuat bersama-sama Ki Gede Pemanahan. Tetapi melihat
perkembangan terakhir, maka rencana itu pun harus mendapat perubahan. Ternyata
Ki Tambak Wedi sudah mulai bergerak terlampau cepat dari dugaan Untara,
sehingga pada saat-saat orang Jipang nanti selama dalam perjalanan ke Demak pun harus diperhitungkan setiap kemungkinan
yang dapat dilakukan oleh Ki Tambak Wedi. Waktu yang pendek itu terasa betapa
panjangnya. Untara hampir-hampir menjadi tidak bersabar lagi dan hampir-hampir
ia memerintahkan menyediakan kudanya untuk kembali menyongsong Ki Gede
Pemanahan.
Dalam pada
itu, para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung yang berada di
alun-alun kecil di muka banjar desa itu pun mulai menebak-nebak. Siapakah tamu
agung yang bakal datang? Dalam keragu-raguan itu terdengar seseorang berbisik,
“Apakah
orang-orang Jipang yang menyerah itu kita terima sebagai tamu agung?”
Kawannya
berbicara mengerinyitkan alisnya. Gumamnya,
“Tentu tidak.”
“Siapa tahu.
Anak-anak yang selama ini menjadi liar dan gila itu, kini mendapatkan perlakuan
yang berlebih-lebihan, mereka dimanjakan dan dihormati seperti tamu agung.”
“Kalau
demikian, aku akan memaki mereka di depan orang banyak ini,” sahut orang yang
diajak berbicara.
“Tidak hanya
memaki,” sela yang lain, yang mendengar pembicaraan itu.
“Aku akan
melempar mereka dengan tombakku ini.”
Pembicaran itu
segera terhenti, ketika mereka mendengar sebuah teriakan melengking dari salah
seorang pemimpin penghubung, “Tamu kita telah datang.”
“Setan,” desis
salah seorang prajurit.
“Apakah benar
mereka orang-orang Jipang.”
“Tetapi mereka
datang dari arah yang lain. Lihat, para pemimpin kita menyongsong para tamu
yang datang dari arah Timur.”
Mereka pun
kemudian terdiam. Tetapi beberapa orang yang sudah melihat kedatangan
serombongan prajurit Pajang dengan sebuah panji-panji yang telah mereka kenal
menjadi terkejut bukan kepalang. Rombongam yang semakin lama menjadi semakin
dekat itu ternyata membawa panji-panji kehormatan Wira Tamtama, bukan sekedar
panji-panji pasukan Wira Tamtama. Panji-panji yang mengabarkan bahwa di dalam
rombongan itu ikut serta Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan.
Tiba-tiba
dengan serta-merta mereka pun bersorak.
Semakin lama menjadi semakin keras. Orang-orang yang berdiri di belakang yang
tidak dapat melihat arah kedatangan para tamu, karena terhalang pepohonan di
samping lapangan itu, semakin ingin tahu, siapakah sebenarnya yang datang. Orang-orang
yang berdiri di muka, yang dapat melihat agak jauh sepanjang jalan, di muka
banjar desa itu pun berteriak,
“Ki Gede
Pemanahan, Ki Gede Pemanahan.”
“Kau dengar
kata-kata itu?” bertanya salah seorang prajurit yang berdiri di belakang.
“Apakah betul
mereka menyebut nama Ki Gede Pemanahan?”
Mereka pun terdiam. Kembali mereka mendengar sorak
itu, sehingga akhirnya orang-orang yang berdiri di belakang tidak dapat
mengendalikan diri lagi. Segera mereka mendesak maju, sementara rombongan dari
Pajang pun sudah semakin dekat. Yang
pertama-tama mereka lihat adalah panji-panji itu. Dan dengan serta-merta pula
mulut mereka berdesis,
“Panji-panji
itu adalah panji-panji kehormatan, bukan panji-panji pasukan Wira Tamtama. Yang
datang bukanlah sepasukan prajurit dalam siaga tempur, yang datang adalah
Panglima Wira Tamtama.”
Sejenak para
prajurit itu terpesona. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa panglima
mereka yang namanya selalu tergores di dalam dada mereka, setiap prajurit Wira
Tamtama, datang mengunjungi desa terpencil ini. Karena itu, maka hati
mereka pun menjadi menggelegak oleh
suatu kebanggaan.
“Tetapi kenapa
kedatangan Ki Gede Pemanahan tidak dalam suatu sikap kebesaran? Dengan pengawal
segelar sepapan dan segala macam tanda-tanda yang lain?”
Kawannya
menggelengkan kepalanya. Namun tiba-tiba ketika Ki Gede Pemanahan sudah semakin
dekat, tanpa mereka sengaja, mulut-mulut mereka itu pun telah berteriak,
“Ki Gede
Pemanahan.”
Ki Gede
Pemanahan tersenyum di atas punggung kudanya. Ditatapnya gairah yang menyala
dalam penyambutan yang sederhana itu. Justru karena kedatangannya tidak
diduga-duga, maka sambutan para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung
meledak seperti ledakan gunung berapi. Mereka berteriak-teriak mbata rubuh.
Mereka melambaikan tangan-tangan mereka, bahkan senjata-senjata mereka. Ki
Demang Sangkal Putung bahkan menjadi seolah-olah membeku. Kedatangan Panglima
Wira Tamtama di Sangkal Putung, adalah suatu kehormatan yang tidak terkira.
Karena itu,
karena kebanggaan orang-orang Sangkal Putung dan para prajurit Pajang atas
kunjungan Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama, maka sambutan mereka pun meledak tanpa terkendali. Sorak yang
gemuruh, pekik yang seolah-olah memecahkan selaput kuping. Sejenak kemudian
maka banjar desa itu pun segera menjadi
ribut. Para petugas menjadi terlampau sulit untuk menahan arus orang-orang
Sangkal Putung yang akan menerobos masuk ke halaman. Bahkan kemudian para
prajurit Pajang terpaksa berdiri berjajar rapat di pintu regol untuk mencegah
orang-orang yang tanpa terkendali memasuki halaman yang tidak terlampau luas.
Tetapi dalam
pada itu, Ki Demang Sangkal Putung mempunyai kesibukan yang lain. Ia belum siap
sama sekali, bagaimana ia nanti akan memberikan hidangan yang pantas kepada
Panglima Wira Tamtama itu, sehingga dengan agak kisruh ia dengan tergesa-gesa
bertanya kepada Widura,
“Adi Widura,
apakah yang harus kami hidangkan nanti kepada tamu agung kita?”
Widura
mengerutkan keningnya, kemudian jawabnya,
“Ki Gede
Pemanahan adalah orang yang tidak banyak memperhatikan masalah-masalah yang
demikian. Hidangkan saja apa yang akan Kakang Demang hidangkan kepada kita hari
ini. Nasi seperti biasa kita makan, dan minum seperti yang biasa kita minum.”
“Ah,” desah Ki
demang,
“itu terlampau
sederhana bagi seseorang Panglima Wira Tamtama.”
“Ki Gede
Pemanahan adalah seorang prajurit,” sahut Widura.
“Ia bukan
prajurit di dalam bilik perang di Pajang untuk mengatur gerak prajuritnya
sambil duduk memintal kumis. Ki Gede Pemanahan adalah seorang prajurit medan.
Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan tidak akan pernah menilai hidangan yang
dihidangkan kepadanya.”
Ki Demang
Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, namun
keningnya kemudian dibasahi oleh keringat dingin yang mengalir tak
henti-hentinja. Dengan serta merta dipanggilnya Swandaru sambil berkata,
“Swandaru,
pulanglah ke kademangan sejenak. Berkatalah kepada ibumu dan adikmu Sekar
Mirah. Buatlah hidangan yang agak pantas untuk Ki Gede Pemanahan dengan
rombongan dari Pajang.”
“Hidangan apa
ayah?”
“Makanan,
makan siang dan minuman”
“Rujak degan.”
“Jangan
mengigau. Itu hanya kesukaanmu sendiri”
Ki Demang
terkejut bukan buatan ketika seorang anak muda yang ternyata memisahkan diri
dari rombongannya dan berjalan di halaman itu menyahut,
“Ayah senang
sekali rujak degan.”
Ki Demang
memandangi anak muda itu dengan mata hampir tak berkedip. Ia melihat lengan
baju anak muda itu membekas darah dan bahkan kainnya pun terkena percikannya pula. Tetapi wajahnya
masih juga memancarkan sebuah senyuman yang segar. Ketika dengan ragu-ragu Ki
Demang ingin menanyakan siapakah anak muda itu, maka terdengar pula suara yang
lain di belakangnya.
“Ki Demang,
anak muda inilah yang bernama Sutawijaya dan bergelar Mas Ngabehi Loring
Pasar.”
“Oh,” Ki
Demang itu berdiri sejenak dengan mulut ternganga. Inilah anak muda yang telah
herhasil menyobek perut Pengeran Arya Penangsang, Adipati Jipang.
Swandaru yang mendengar
nama itu, dadanya bergetar. Tiba-tiba ia meloncat maju sambil menganggukkan
kepalanya dalam-dalam. Dengan hormatnya ia berkata,
“Aku mengagumi
Tuan melampaui segala-galanya.”
“Ah,” anak
muda itu berdesah. Katanya kemudian,
“Bagaimana
dengan rujak degan itu?”
Swandaru
menjadi tersipu-sipu. Tetapi ternyata Sutawijaya mendesaknya,
“Kami
terlampau haus. Apakah di sini ada kelapa muda? Aku juga bisa memanjat untuk
memetiknya.”
“Jangan,
jangan,” cegah Swandaru.
“Aku anak
kademangan ini. Aku sudah terlalu biasa memanjat batang kelapa.”
Swandaru tidak
berkata-kata lagi. Segera ia berlari-lari ke halaman belakang banjar desa.
Kepada beberapa orang dimintanya untuk segera menurunkan beberapa kelapa muda
seperti yang diminta oleh Sutawijaya.
Dalam pada
itu, Sutawijaya yang masih berada di halaman, memandangi anak muda yang telah
memperkenalkannya kepada Ki Demang Sangkal Putung. Anak muda itu dilihatnya
datang bersama-sama dengan Untara ke bulak tempat mereka bertempur melawan
orang-orang Jipang. Tetapi anak muda itu belum dikenalnya, dan anak muda itu
tidak berpakaian atau bertanda apa pun sebagai seorang prajurit. Karena itu,
maka dengan serta-merta ia bertanya,
“Bukankah kau
yang datang bersama Kakang Untara?”
Anak muda itu
menganggukkan kepalanya. “Ya, Tuan.”
“Siapakah
namamu?”
“Agung
Sedayu.”
“Apakah kau
bukan seorang prajurit meskipun di lambungmu tergantung sehelai pedang?”
“Ya, Tuan. Aku
bukan seorang prajurit Wira Tamtama.”
“Apakah kau
termasuk laskar Sangkal Putung?”
“Ya, Tuan,
meskipun aku bukan anak Sangkal Putung.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ia bertanya,
“Dari manakah
kau?”
“Jati Anom.”
“Oh, jadi
apakah kau mempunyai hubungan khusus dengau Kakang Untara?”
“Aku adiknya.”
Sutawijaya
tertawa. “Pantas,” katanya.
Tetapi ia
tidak meneruskannya. Ternyata Agung Sedayu menarik perhatiannya. Kecuali
umurnya yang sebaya, juga ketangkasannya. Sutawijaya melihat anak muda itu
meloncat dari punggung kudanya, langkahnya dan pedang di lambungnya. Tetapi
anak muda ini tampaknya agak berbeda dengan orang-orang yang berada di halaman
itu. Bahkan dengan Untara dan Widura sekalipun. Agung Sedayu bersikap lain dari
pada para prajurit. Anak muda itu tidak sekeras kakaknya. Sikapnya agak lebih
lunak meskipun dari sepasang matanya memancar pula sifat-sifat yang
membayangkan betapa anak muda itu memandang hari depan dengan penuh gairah.
“Apakah kau
sudah lama berada di tempat ini?” bertanya Sutawijaya.
“Belum, Tuan.”
“Sejak Paman
Widura di sini?”
Agung Sedayu
menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Belum
lama. Aku datang bersama-sama dengan Kakang Untara.”
“Oh,”
Sutawijaya mengerutkan keningnya. “Ya!” serunya. Tiba-tiba putera Panglima Wira
Tamtama itu teringat sesuatu. Katanya,
“Aku pernah
mendengar laporan yang disampaikan oleh seorang penghubung tentang dirimu.
Tentang Agung Sedayu. Bukankah kau yang menyampaikan berita pertama kali ke
Sangkal Putung tentang gerakan Tohpati?”
Wajah Agung
Sedayu menjadi tertunduk karenanya.
“Bukankah
begitu?”
Agung Sedayu
menggigit bibirnya. Yang menjawab kemudian adalah pamannya yang masih berdiri
di sampingnya,
“Ya, Angger
Agung Sedayu lah yang telah membawa berita itu. Berita yang seolah-olah telah
melepaskan kami dari bencana.”
“Luar biasa.
Kau benar-benar mengagumkan.”
Tetapi Agung
Sedayu menjadi semakin rikuh. Terasa wajahnya menjadi tebal, seakan-akan kulit
di mukanya menjadi bengkak. Yang mengucapkan pujian itu adalah anak muda
sebayanya yang pernah bertempur melawan Arya Penangsang, apa lagi kalau
dikenangnya apa yang sebenarnya terjadi pada waktu itu. Tetapi pembicaraan itu
pun segera terhenti. Widura dengan tergesa-gesa harus naik ke pendapa. Para
tamu dan para pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung telah duduk di pendapa
banjar desa. Ki Demang pun segera
dipanggil pula duduk di antara mereka.
Alangkah
tegang sikap Demang Sangkal Putung itu. Menghadap seorang Panglima Wira Tamtama
adalah kesempatan yang baru pertama kali ini didapatnya. Dahulu, seorang
tumenggung dari Demak pernah datang pula ke kademangan ini. Pada saat itu, ia
dan para pamong kademangan harus duduk beberapa langkah dari para tamu itu
sambil menundukkan wajah mereka dalam-dalam. Dengan sikap yang garang
tumenggung itu memberikan beberapa perintah dan petuah. Tetapi hampir tak
seorang pun yang mendapat kesempatan untuk mengucapkan sepatah pertanyaan pun,
dan bahkan hampir tak ada kesempatan untuk menatap wajah tumenggung yang
dikawal oleh beberapa orang prajurit dengan segala macam tanda-tanda kebesaran.
Tetapi kini, yang datang adalah orang tertinggi dari kesatuan Wira Tamtama, justru
begitu sederhana dan ramah. Semua orang mendapat kesempatan duduk dalam
lingkaran bersama-sama, berbicara dengan ramah dan berbincang dengan terbuka.
Namun dengan demikian, maka Ki Demang itu menjadi semakin hormat kepada
Panglima yang sederhana ini. Namun dalam pada itu, Untara lah yang seolah-olah
dibakar oleh kegelisahannya. Meskipun Ki Gede Pemanahan selalu mendengarkan
pendapat orang lain, namun ia tidak berani mengemukakan persoalan orang-orang
Jipang itu terlampau segera. Ki Gede Pemanahan baru saja duduk di pendapa itu.
Belum lagi minuman dihidangkan, setelah Ki Gede dan para prajurit yang
mengawalnya bertempur dengan orang-orang Jipang yang dipimpin oleh Ki Tambak
Wedi. Sekali-kali Untara itu memandangi Ki Demang Sangkal Putung dan Widura berganti-ganti.
Seakan-akan terpancarlah pertanyaan dari sorot matanya,
“Apakah tidak
segera dihidangkan minumam untuk para tamu yang pasti kehausan setelah
bertempur ini?”
Tetapi pertanyaan
itu dijawabnya sendiri,
“Salahmu. Kau
tidak memberitahukan bahwa akan datang tamu agung dari Pajang dan tidak kau
katakan bahwa mereka habis bertempur di ladang jagung.”
Untara menarik
nafas dalam-dalam.
Tetapi ia
terkejut ketika kemudian beberapa orang naik ke pendapa untuk menghidangkan
minuman yang tidak disangka-sangkanya. Rujak degan.
Untara
mengerutkan keningnya. Tetapi ia menarik nafas dalam ketika Widura berkata,
“Ki Gede,
Puteranda mengatakan bahwa Ki Gede sangat gemar minum rujak degan.”
Ki Gede
Pemanahan tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, \
“Sutawijaya
berkata sebenarnya.”
Maka
beredarlah mangkuk-mangkuk berisi rujak degan yang digulai dengan cairan legen
mentah. Alangkah segarnya. Namun Untara sama sekali tidak merasakan kasegaran
itu. Sekali-kali ia memandang bayangan matahari yang memanjat semakin tinggi.
Apakah jadinya kalau orang-orang Jipang itu datang dengan tiba-tiba menyergap
beberapa gardu perondan. Meskipun ia yakin bahwa penjagaan induk Kademangan
Sangkal Putung ini tidak akan dapat dengan mudah ditembus. Namun kesempatan mereka
mendekati induk kademangan adalah kesempatan yang amat merugikan bagi Sangkal
Putung. Sifat dan sikap Sanakeling agak berbeda dengan Macan Kepatihan. Apalagi
kini di antara mereka ada orang-orang seperti Tambak Wedi dan Sidanti yang
tamak. Dalam pada itu, Sutawijaya masih saja berada di halaman. Sehingga karena
itu Agung Sedayu bertanya,
“Apakah Tuan
tidak duduk di antara para tamu dan pemimpin-pemimpin Sangkal Putung?”
“Terlampau
panas. Lebih sejuk di halaman ini,” sahut Sutawijaya.
“Kenapa kau
juga tidak naik?”
Agung Sedayu
tersenyum, katanya,
“Aku bukan
salah seorang dari para pemimpin.”
Sutawijaya
tertawa mendengar jawaban itu. Bahkan segera ia berkata,
“Apakah
bedanya, pemimpin dan bukan pemimpin?”
Agung Sedayu
tidak dapat segera menjawab pertanyaan itu. Tetapi justru karena itu, maka
ia pun tertawa pula.
Beberapa orang
yang mendengar mereka tertawa, mengernyitkan alisnya. Tetapi mereka kemudian
bertanya-tanya di dalam hati kenapa putera Ki Gede Pemanahan itu tidak duduk di
antara para tamu yang datang dari Pajang. Dalam pada itu, agaknya Agung Sedayu
telah menemukan jawaban atas pertanyaan Sutawijaya. Katanya,
“Tuan apabila
pemimpin dan bukan pemimpin tidak dibedakan, maka pendapa itu pasti tidak akan
muat.”
“Ya, bedanya
apa?” desak Sutawijaya.
“Bedanya,
pemimpin boleh memilih. Duduk di atas atau berjalan di halaman. Sedang yang
bukan pemimpin hanya ada satu pilihan. Tidak ada pilihan ke dua. Karena itu,
aku tetap di sini.”
Sekali lagi
Sutawijaya tertawa. Bahkan kali ini lebih keras, sehingga orang-orang yang
berada di pendapa pun berpaling
kepadanya.
Tetapi suara
tertawa itu telah memberikan isyarat tanpa disengaja kepada Ki Gede Pemanahan.
Tiba-tiba Panglima Wira Tamtama itu melihat bahwa bayangan matahari telah
hampir tegak di bawah kaki. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan itu pun segera berpaling kepada Untara. Panglima
Wira Tamtama itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata dahi Untara telah dibasahi
oleh keringat dinginnya. Dari wajahnya membayang kegelisahan yang amat sangat. Ki
Gede Pemanahan tersenyum. Ia menangkap apa yang bergolak di dalam dada anak
muda itu. Katanya,
“Apakah kau
gelisah karena matahari telah cukup tinggi?”
Untara
membungkukkan badannya dalam-dalam. “Ya, Ki Gede.”
Namun
pertanyaan itu terasa seperti embun yang menetes di jantungnya yang seakan-akan
terbakar.
“Maaf Untara,”
berkata Ki Gede Pemanahan itu pula.
“Mungkin aku
datang terlampau siang. Aku terlambat dari waktu yang telah aku tetapkan
sendiri.”
Jantung Untara
terasa berdentang keras sekali. Sekali lagi ia merasa betapa ia telah berbuat
bodoh sekali. Laporannya ternyata jauh meleset dari apa yang terjadi. Sangkal
Putung sama sekali belum menjadi aman seperti yang disampaikannya kepada
Panglima Wira Tamtama itu. Sejenak Untara terbungkam. Ia tidak dapat menjawab
sama sekali, selain hanya menundukkan kepalanya saja. Karena Untara tidak
menjawab maka Ki Cede Pemanahan berkata pula,
“Untara, kalau
kau masih mempunyai kewajiban yang lain lakukanlah. Kalau aku akan kau bawa
pula, marilah aku sudah bersedia.”
Untara mengigit
bibirnya. Tapi ia tidak dapat menjawab lain dari pada,
“Ya Ki Gede.
Saat penyerahan hampir tiba.”
“Baik. Siapkan
orang-orangmu. Aku akan pergi bersamamu.”
Untara pun kemudian berdiri dan turun dari pendapa.
Diberikannya beberapa perintah kepada Widura menyiapkan pasukan yang segera
akan pergi ke Benda. Beberapa orang berkuda akan lebih dahulu pergi. Melihat
apa yang terjadi di desa kecil itu. Mereka harus membawa alat-alat tanda bahaya
apabila keadaan memaksa. Namun dalam pada itu, Untara menjadi heran sejak ia
kembali dari bulak tegalan jagung, ia belum melihat Ki Tanu Metir. Sehingga
karena itu maka ia bertanya kepada Widura,
“Paman, di
manakah Kiai Gringsing ?”
Widura
mengerutkan keningnya. Demikian sibuknya ia mengurusi berbagai soal sehingga
tidak diingatnya Kiai Gringsing itu lagi. Karena itu maka jawabnya,
“Aku tidak
melihatnya Untara.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiai Gringsing adalah orang yang aneh. Orang
yang hanya menuruti kehendak sendiri, meskipun kadang-kadang bahkan sering
menguntungkannya. Karena itu Untara tidak lagi mencarinya. Widura yang kemudian
pergi ke lapangan di muka banjar desa itu
pun segera mempersiapkan orang-orangnya. Kepada beberapa orang pemimpin
kelompok diperintahkannya menyiapkan para prajurit Pajang dan anak-anak muda
Sangkal Putung dalam kesiagaan penuh. Mereka akan menerima orang-orang Jipang
yang akan menyerah. Namun segala kemungkinan dapat terjadi.
“Kami tidak
percaya kepada mereka” Tiba-tiba terdengar Hudaya yang sudah berdiri di
belakangnya berkata.
Widura
berpaling. Ditatapnya wajah Hudaya yang tegang,
“Jangan
merusak rencana Hudaya. Rencana ini sudah menjadi masak.”
“Apakah yang
terjadi di bulak tegalan jagung itu tidak mendapat pertimbangan? Aku mendengar
dari para tamu, apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi.”
“Kau harus
tahu, bahwa Ki Tambak Wedi dan Sumangkar tidak sependapat.”
“Bukankah
mereka dapat berpura-pura berbuat begitu?”
“Karena itu
marilah kita berada dalam kesiap siagaan yang penuh.”
“Belum cukup.
Kalau kita biarkan mereka mendekati barisan kita, sedang kita hanya menunggu
saja di Padukuhan Benda, maka kita akan kehilangan kesempatan. Harus kita
perhitungkan pula orang-orang Tambak Wedi yang dapat saja datang dari jurusan
yang berbeda-beda. Kalau kita sedang terlibat dalam bentrokan yang kacau,
kemudian kita dengar tanda bahaya dari sudut lain, maka kita akan kehilangan
waktu dan perhitungan.”
“Jangan
terlampau berprasangka. Marilah kita lakukan perintah yang telah disetujui oleh
Panglima Wira Tamtama dengan tidak meninggalkan kewaspadaan.”
Hudaya tidak
dapat membantah lagi. Perintah ini, harus di jalankan, apalagi telah disetujui
oleh Panglima Wira Tamtama. Tetapi tiba-tiba kembali mereka menjadi tegang
ketika seorang kepala kelompok yang lain bertanya,
“Apakah yang
kau katakan itu ada hubungannya dengan luka Kakang Sonya yang baru saja
mengigau tentang orang-orang Jipang di bulak jagung?”
Dada Widura
berdesir mendengar pertanyaan itu, sehingga ia pun bertanya pula,
“Apa kata
Sonya?”
“Pertempuran
di tegal jagung. Menurut Sonya, orang-orang Jipang telah mencegat Ki Gede
Pemanahan beserta rombongannya,” sahut orang itu.
Kini dada
Widura benar-benar menjadi berdebar-debar. Ia telah minta agar Sonya
merahasiakan peristiwa itu untuk menjaga ketenteraman hati para prajurit Pajang
dan orang-orang Sangkal Putung. Tetapi agaknya seseorang bahkan lebih telah
mendengar peristiwa itu.
“Apakah Sonya
telah menceriterakan kepadamu apa yang terjadi?” bertanya Widura.
Orang itu
menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Hudaya seakan-akan ia ingin mendapat
penjelasan, apa yang sedang dipercakapkannya dengan Widura. Tetapi karena
Hudaya seolah-olah membisu, maka ia pun menjawab,
“Sonya telah
terluka. Mula-mula ia tidak mau mengatakan apa sebabnya ia terluka. Bahkan
orang yang memapahnya dari pendapa ke gandok
pun tidak diberitakukannya. Tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi sangat
panas, sehingga ia mengigau. Dalam igauannya itulah ia mengatakan bahwa ia
telah bertemu dengan orang-orang Jipang. Bahkan sekali-sekali ia berteriak-teriak
memanggil nama Untara.”
Widura
mengerutkan keningnya. Ia tidak mendapat laporan tentang keadaan Sonya itu.
Bahkan oleh beberapa kesibukan yang lain, ia tidak sempat menunggui orang yang
terluka itu.
“Apakah Ki
Tanu Metir tidak memberinya obat?”
“Ya,” sahut
orang itu,
“tetapi kemudian
orang tua itu pergi sampai sekarang tidak kembali lagi.”
Debar di dada
Widura menjadi semakin keras. Sekali-sekali ditatapnya wajah Hudaya yang
seolah-olah memancarkan tuntutan kepadanya.
Namun Widura
itu kemudian menjawab,
“Sonya hanya
mengigau. Mungkin telah terjadi sesuatu dengan perjalanannya, tetapi sebaiknya
kita mendengarkan laporannya besok apabila ia sudah tidak mengigau lagi,
sehingga kata-katanya dapat dipertanggung-jawabkan.”
Pemimpin
kelompok itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjadi curiga ketika ia
melihat Hudaya tersenyum. Senyum yang aneh. Dan senyum itu sama sekali tidak
menyenangkan hati Widura. Katanya kemudian,
“Sekarang,
lakukan perintah yang diberikan oleh Untara dan telah disetujui oleh Ki Gede
Pemanahan. Bersiaplah. Sebentar lagi kita akan pergi ke Padukuhan Benda.
Mudah-mudahan kita datang lebih dahulu daripada orang-orang Jipang, sehingga
kita dapat membangun pertahanan-pertahanan yang perlu apabila keadaan
berkembang tidak seperti yang diharapkan.”
Hudaya
menggeleng lemah. Desisnya,
“Aku tidak
dapat mengerti apa yang harus aku lakukan. Tetapi perintah ini akan aku
jalankan. Mudah-mudahan kita tidak masuk ke dalam api neraka.”
Widura
memandang Hudaya dengan penuh curiga. Tetapi dibiarkannya Hudaya berjalan ke
kelompoknya. Di belakangnya berjalan para pemimpin kelompok yang lain.
Tetapi Hudaya
itu tertegun dan berpaling ketika ia mendengar Widura memanggilnya,
“Hudaya. Aku
minta bantuanmu.”
Hudaya
mengerti sepenuhnya arti kata-kata itu. Widura minta kepadanya supaya ia tetap
merahasiakan apa yang diketahuinya di tegal jagung. Tetapi apabila kemudian
berita tentang tegal jagung itu tersebar, adalah bukan salahnya. Ia patuh pada
perintah itu, betapa hatinya sendiri meronta.
Maka jawabnya,
“Aku telah
mencoba. Tetapi aku tidak dapat mencegah Sonya mengigau terus.”
Widura menarik
nafas panjang. Ia pun tahu sepenuhnya bahwa bukan Hudaya sumber dari ceritera
tentang tegal jagung itu seandainya ceritera itu menjalar. Karena Sonya telah
mengigau, maka peristiwa itu tentu akan menjadi bahan pembicaraan. Sebagian
dari prajurit Pajang pasti percaya pada igauan itu. Bahkan mungkin telah
membakar hati mereka pula. Apalagi laskar Sangkal Putung sampai mendengarnya. Tetapi
Widura tidak dapat berbuat apa-apa. Satu dua orang telah terlanjur mendengar
Sonya mengigau. Agaknya satu dua orang itu telah berceritera kepada orang-orang
lain lagi, sehingga dalam saat yang pendek, ceritera itu pasti sudah akan
tersebar di seluruh Sangkal Putung.
Sudah tentu
ceritera itu menggelisahkan para pemimpin Sangkal Putung. Ketika Widura
melaporkan kesiagaan para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung, maka
kemudian ceritera tentang sonya itu dibisikkannya kepada Untara.
“Celaka,”
Untara berdesis, “bagaimana dugaan Paman?”
“Mereka
dibakar oleh dendam yang meluap-luap. Ceritera itu seperti minyak yang
disiramkan ke dalam api.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kepalanya benar-benar menjadi pening.
Kalau benar orang-orang Jipang itu curang, maka sekali lagi ia akan dibebani
oleh sebuah kesalahan yang besar setelah kebodohannya yang hampir-hampir
menyiderai Ki Gede Pemanahan. Tetapi apabila laskar Sangkal Putung dan para
prajurit Pajang yang mendahului menyergap orang-orang Jipang yang datang untuk
menyerah, maka ia pun akan membuat kesalahan yang lain. Ternyata prajurit
Pajang di Sangkal Putung telah kehilangan ikatan kepemimpinan sehingga mereka
dapat berbuat sesuka hatinya.
Tetapi Untara
belum mendapat kesempatan untuk memecahkan persoalan yang telah membuat
kepalanya seperti berputar-putar. Kini ia terpaksa mendampingi Ki Gede
Pemanahan turun dari pendapa dan berjalan ke halaman. Namun ia sempat berbisik
kepada pamannya,
“Paman, kita
harus berusaha sebaik-baiknya.”
Pamannya
mengangguk. Ia terpaksa memisahkan diri untuk mengawasi langsung keadaan para
prajurit dan laskar Sangkal Putung.
Sementara itu,
Sutawijaya yang masih saja duduk bersama Agung Sedayu berkata,
“Aku akan ikut
ayah melihat orang-orang Jipang yang menyerah. Apakah kau tidak akan ikut?”
“Ya. Aku akan
ikut pula,” sahut Agung Sedayu.
Sutawijaya
tersenyum. Ia senang pergi bersama-sama dengan kawan yang sebaya umurnya.
Apalagi kemudian Swandaru datang kepada mereka. Dan menyatakan keinginannya
untuk pergi bersama pula.
“Bagaimana
dengan anak-anak muda Sangkal Putung?” bertanya Agung Sedayu.
“Ayah akan
memimpin mereka,” sahut Swandaru.
“Marilah kita
pergi bersama-sama,” ajak Sutawijaya.
Tetapi Agung
Sedayu menjadi ragu-ragu. Apakah kakaknya akan mengijinkannya, bahkan
seandainya ia harus pergi sekalipun, mungkin telah disediakan tugas khusus
kepadanya. Tetapi Sutawijaya itu berkata,
“Biarlah aku
mintakan ijinmu kepada Kakang Untara.”
Agung Sedayu
membiarkannya pergi kepada Untara sambil berkata,
“Kakang
Untara, apakah adikmu Agung Sedayu akan kau bawa?”
“Tidak, Tuan,”
jawab Untara.
“Kenapa?”
“Aku dan Paman
Widura harus pergi ke Padukuhan Benda. Agung Sedayu biarlah tinggal di banjar
desa ini untuk mengawasi orang-orang yang terluka, terutama orang-orang Jipang
supaya tidak terjadi sesuatu pada mereka.”
“Serahkan
pekerjaan itu kepada seorang prajurit Pajang, bukankah Agung Sedayu bukan
seorang prajurit?”
Untara menjadi
ragu-ragu. Ia tidak tahu maksud Sutawijaya. Bahkan Ki Gede Pemanahan bertanya,
“Apakah
maksudmu Sutawijaya? Meskipun Agung Sedayu bukan seorang prajurit, tetapi kalau
Untara telah memberinya kepercayaan?”
“Agung Sedayu
dan Swandaru akan aku ajak pergi bersama-sama melihat orang-orang Jipang itu
Ayah.”
Ki Gede
Pemanahan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata,
“Kau hanya
memikirkan kesenanganmu sendiri. Agung Sedayu mempunyai tugas di sini, tidak
ada kesempatan bagi setiap orang di Sangkal Putung yang jumlahnya sedikit untuk
melihat-lihat seperti kau.”
“Tetapi Agung
Sedayu dan Swandaru akan aku bawa serta.”
Ki Gede
pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya wajah Untara yang
dipenuhi oleh kebimbangan. Ia tidak tahu, apakah sebaiknya adiknya diijinkannya
seperti yang dikehendaki oleh Sutawijaya atau justru harus tetap diberinya
tugas seperti yang disebut-sebut oleh Ki Gede Pemanahan.
Agung Sedayu
sendiri menjadi sangat kecewa mendengar tugas yang akan diserahkan kepadanya.
Menunggui orang sakit dan mungkin harus bertengkar dengan orang-orang Pajang
atau Sangkal Putung sendiri, karena mereka akan berbuat sesuatu atas
orang-orang Jipang itu. Tetapi ia menjadi senang sekali ketika ia mendengar Ki
Gede Pemanahan berkata,
“Biarlah Agung
Sedayu dan kawannya itu pergi pula. Serahkan pekerjaan itu kepada orang lain.”
Untara
menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Baik Ki Gede.”
Akhirnya Agung
Sedayu dan Swandaru ikut pula pergi ke Benda, untuk menerima orang-orang Jipang
yang akan menyerah.
“Kita pergi
berkuda,” ajak Sutawijaya.
“Tetapi yang
lain berjalan kaki,” sahut Agung Sedayu.
“Biar sajalah,
kita pergi berkuda.”
Agung Sedayu
tidak membantah. Tetapi sekali lagi ia menjadi ragu-ragu, apakah kakaknya akan
mengijinkannya? Katanya,
“Aku akan
minta ijin Kakang Untara.”
“O,” desah
Sutawijaya,
“kau selalu
saja ragu-ragu. Biar sajalah. Kakang Untara tidak akan marah.”
“Ayolah,”
desak Swandaru pula. Anak itu pun sama sekali tidak membuat pertimbangan lagi.
Bahkan ia menjadi sangat bergembira pergi bersama dengan Sutawijaya, apalagi
berkuda.
Agung Sedayu
masih saja ragu-ragu. Sehingga Sutawijaya itu berkata,
“Baiklah,
mintalah ijin Kakang Untara.”
Sekali lagi
Agung Sedayu menemui Untara untuk minta ijin kepadanya, bahwa ia akan pergi
bersama Sutawijaya berkuda.
Untara menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat melarang adiknya. Meskipun demikian ia
berpesan,
“Agung Sedayu.
Seandainya kau pergi dahulu, jangan berbuat sesuatu yang dapat merusak rencana
kita. Meskipun Adi Sutawijaya sekalipun yang akan berbuat, tetapi kalau menurut
pertimbanganmu akan dapat merusak suasana, maka kau pun wajib
memperingatkannya.”
“Baik,
Kakang,” sahut Agung Sedayu, yang kemudian menyiapkan kudanya untuk pergi
bersama dengan Sutawijaya dan Swandaru Geni.
Sementara itu,
pasukan yang berada di alun-alun pun
telah siap sepenuhnya. Setelah Ki Gede Pemanahan dan Untara selesai dengan
semua persiapan, maka mereka pun segera keluar dari halaman dan sekali lagi
sambutan yang gemuruh telah menyongsongnya. Ki Gede Pemanahan melambaikan
tangannya kepada para prajurit Pajang, orang-orang Sangkal Putung yang berada
dalam barisan dan kepada rakyat yang berada di sekitarnya. Kepada Untara, Ki
Gede Pemanahan minta agar para pemimpin kelompok dikumpulkannya. Ki Gede
Pemanahan sendiri ingin bercakap-cakap langsung dengan mereka.
“Baik Ki
Gede,” sahut Untara. Namun keringat dinginnya masih saja mengalir.
Sekali-sekali ia menengadahkan wajahnya memandang matahari yang seolah-olah
terlampau cepat menanjak ke puncak langit.
“Hanya
sebentar,” desis Ki Gede Pemanahan.
Untara
menggigit bibirnya. Ternyata Ki Gede Pemamahan dapat membaca hatinya. Setelah
para pemimpin kelompok dari seluruh pasukan berkumpul maka Ki Gede
Pemanahan pun memberi mereka beberapa
petuah dan petunjuk. Kepada mereka akhirnya Ki Gede Pemanahan berkata,
“Kalian tidak
berbuat untuk kepentingan kalian masing-masing sesuai dengan kesenangan kalian.
Tetapi kalian berbuat untuk Pajang dalam satu rangkuman dengan segenap
perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang lain untuk kepentingan yang serupa.”
Kata-kata Ki
Gede Pemanahan itu meresap satu-satu, seakan-akan langsung menghunjam ke pusat
jantung. Para pemimpin kelompok itu menyadari, apakah yanq telah dikatakan oleh
Panglimanya itu dengan sebaik-baiknya. Hubungan langsung dengan berhadapan
wajah dengan wajah telah menumbuhkan kecintaan dan keseganan yang
bertambah-tambah atas panglimanya.
“Nah,” berkata
Ki Gede Pemanahan,
“sekarang kita
berangkat. Kita harus merasa bahwa Wira Tamtama seluruhnya seakan-akan memiliki
satu otak, sehingga apa yang kita lakukan akan merupakan sebagian dari anggota
badan. Seperti juga kaki dan tangan. Meskipun melakukan gerak yang berbeda-beda
tetapi keduanya dalam satu pusat kehendak. Bukan sebaliknya apabila kaki kita
berlari menjauhi sesuatu tetapi tangan kita berpegang sesuatu yang hendak kita
jauhi.”
Sekali lagi
para pemimpin kelompok itu menganggukkan kepala mereka. Kesadaran kesatuan di
antara mereka meresap semakin dalam. Sejenak kemudian, maka segala sesuatu
telah diserahkan kembali oleh Ki Gede Pemanahan kepada Untara sambil berkata,
“Untara,
sebelum dadamu meledak karena kegelisahan, maka aku serahkan kembali pimpinan
ini. Marilah kita berangkat.”
Untara
menganggukkan kepalanya. Ia masih melihat Ki Gede menahan tersenyum.
Sesaat
kemudian, maka seluruh pasukan yang berada di halaman dan di lapangan kecil di
muka banjar desa itu pun telah bergerak menuju ke Desa Benda. Dengan hati yang
berdebar-debar Untara memimpin pasukannya menyongsong laskar Jipang yang akan
menyerah. Namun betapa para pemimpin kelompok menyadari, bahwa mereka tidak
sewajarnya melakukan perbuatan menurut kehendak sendiri, tetapi mereka akan
berhasil mengendalikan kemarahan yang tersimpan di dalam hati para prajuritnya
dan laskar Sangkal Putung. Laskar Sangkal Putung-lah yang justru akan lebih
sulit dikendalikan.
“Mudah-mudahan
kehadiran Ki Gede Pemanahan mempunyai banyak pengaruh atas mereka.”
Namun sekali
lagi Widura mendengar percakapan di antara prajurit Pajang, tentang Sonya yang
terluka. Igauan Sonya ternyata telah menjalar dari mulut ke mulut, sehingga
seluruh pasukan telah mendengarnya. Baik para prajurit Pajang maupun laskar
Sangkal Putung.
“Kenapa kita
masih juga percaya kepada orang-orang Jipang itu?” desis salah seorang prajurit
Pajang.
Pemimpin
kelompoknya yang mendengar segera berkata,
“Jangan
membuat tafsiran sendiri-sendiri tentang peristiwa yang telah dan bakal
terjadi. Ki Gede Pemanahan akan menentukan segala macam sikap yang harus dilakukan
oleh semua prajurit Wira Tamtama.”
“Tetapi Ki
Gede tidak menghadapinya sehari-hari. Mungkin pengetahuannya tentang
orang-orang Jipang tidak terlampau banyak. Ternyata orang-orang Jipang berhasil
mencegatnya di tegal jagung pagi tadi.”
“Ki Gede Pemanahan
bukannya seorang malaekat yang tahu apa yang akan terjadi. Juga kita semua.
Karena itu, kita jangan membuat tafsiran sendiri-sendiri. Kita lihat apa yang
akan terjadi. Kemudian kita serahkan semuanya pada kebijaksanaan pimpinan kita.
Apalagi pimpinan tertinggi kita ada di sini.”
Prajurit itu
terdiam. Tetapi pemimpin kelompoknya tahu benar bahwa kediaman itu, bukanlah
suatu pernyataan bahwa apa yang dilakukan itu benar-benar diyakininya. Widura
yang mendengar percakapan itu tanpa diketahui oleh prajurit yang
berkepentingan, menarik nafas dalam-dalam. Bukan hanya satu dua orang prajurit
yang berpendapat seperti itu, seolah-olah apa yang dilakukan kini adalah
perbuatan yang sangat bodoh, setelah mereka mendengar ceritera tentang Sonya.
Luka-luka Sonya yang berat, seakan-akan meyakinkan mereka, betapa orang-orang
Jipang benar-benar telah berusaha membunuhnya.
Ketika
kemudian Widura membisikkan apa yang didengarnya itu kepada Untara, maka
Untara pun mengerutkan keningnya. Di
wajahnya telah membayang kecemasan hatinya.
“Kalau mereka
melihat orang-orang Jipang datang dengan senjata masih di tangan mereka maka
perasaan orang-orang kita pun akan
menjadi sangat sulit dikendalikan. Satu langkah saja di antara kita, apakah
orang-orang Pajang, apakah orang-orang Jipang, berbuat hal-hal di luar dugaan
dan mencurigakan, maka akibatnya akan dapat menyulitkan sekali,” sahut Untara.
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya,
“Bagaimana
pertimbanganmu Untara.”
“Padahal,
menurut pembicaraan kita, orang-orang Jipang itu akan datang dengan senjata
masing-masing, kemudian baru setelah mereka sampai di Benda, mereka akan
mengumpulkan senjata-senjata mereka untuk diserahkan. Sudah tentu mereka harus
merasa diri mereka aman. Mereka setidak-tidaknya harus melihat kita berada di antara
pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung dengan penuh pertanggungan jawab.”
Saat yang
paling berbahaya adalah saat dimana orang-orang Jipang itu memasuki daerah
pedesaan Benda. Pada saat-saat kedua pasukan berhadapan hampir tanpa jarak.
Padahal di tangan masing-masing masih tergenggam senjata-senjata mereka. Sedang
di dalam dada masing-masing berkobar dendam dan kebencian.
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus benar-benar dapat menguasai keadaan.
Karena itu maka katanya,
“Kami harus
berada di tempat yang terpisah-pisah sehingga kami dapat menguasai seluruh
keadaan.”
“Kita hanya
berdua,” desah Widura.
Untara menarik
nafas. Agung Sedayu dilihatnya duduk di atas punggung kuda, jauh di belakang
pasukan yang berjalan seperti ular menyusur jalan ke Benda.
“Hem,” Untara
menarik nafas,
“biarlah kita
coba. Kalau perlu kita akan bersikap keras terhadap orang-orang kita sendiri.
Kami akan mengharap pengaruh Ki Gede Pemanahan pula apabila terpaksa.”
Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum yakin bahwa pasukannya
akan dapat dikendalikan. Meskipun demikian ia harus berusaha.
Dengan dahi yang
berkerut-kerut ia berkata,
“Untara.
Peristiwa Sidanti, merupakan arang yang tercoreng di wajahku. Ternyata aku
tidak dapat menguasai anak itu sebagai anak buahku. Bahkan ia telah mencoba
membunuhmu. Aku menyadari, bahwa seandainya senapati Pajang yang di tempatkan
di lereng Merapi ini bukan kemenakanku, apakah kira-kira laporan yang telah
dikirim kepada Ki Gede Pemanahan tentang aku dan wibawaku di daerah
kekuasaanku? Meskipun kau telah mencoba menyembunyikan beberapa hal mengenai
Sidanti, namun terasa juga terutama pada diriku sendiri, kekurangan yang telah
terjadi pada pimpinan di Sangkal Putung ini. Sekarang aku dihadapkan lagi pada
suatu keadaan yang mendebarkan. Kalau kali ini aku gagal menguasai anak buahku,
maka adalah tidak wajar aku tetap dalam kedudukanku sakarang.”
“Tetapi
rencana dari pada peristiwa ini akulah yang menyusunnya Paman. Setiap kesalahan
tidak akan dapat dibebankan pada Paman sendiri.”
“Aku adalah
pimpinan langsung bagi pasukan di Sangkal Putung. Adalah kebetulan bahwa kau
kemenakanku yang tidak dapat melepaskan hubungan keluarga di antara kita,
sehingga banyak hal yang seharusnya tidak kau tangani sendiri terpaksa kau
kerjakan. Pekerjaan yang seharusnya tinggal kau ucapkan dan akulah yang harus
melakukannya.”
Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak ingin melihat pamannya menjadi
cemas. Pamannya yang tetap tenang menghadapi laskar Jipang yang betapapun
kuatnya melanda Sangkal Putung, namun dicemaskan oleh goyahnya keteguhan ikatan
anak buahnya sendiri karena dendam, benci dan segala macam perasaan yang
bercampur baur.
“Paman jangan
terlalu cemas. Para pemimpin kelompok telah menyadari apa yang sedang mereka
hadapi. Mudah-mudaan mereka tidak mudah menjadi goyah. Dengan demikian kita
berdua tidak berdiri sendiri.”
“Mudah-mudahan,”
sahut Widura kosong.
Dalam pada itu
iring-iringan itu berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin jauh dari induk
kademangan, dan semakin dekat dengan desa yang seolah-olah agak terpencil di
ujung kademangan itu. Pedesaan Benda yang sepi, penduduknya telah diungsikan ke
desa yang lain, untuk memberi kesempatan nanti malam kepada orang-orang Jipang
untuk bermalam, sebelum mereka dibawa ke Pajang menerima keputusan tentang diri
mereka. Setiap kali Untara selalu menengadahkan wajahnya menatap langit. Setiap
kali hatinya menjadi berdebar-debar. Matahari merayap terlampau cepat. Tetapi
ketika pedesaan Benda lamat-lamat tampak di hadapan wajahnya ia bergumam,
“Mudah-mudahan
kita tidak terlambat. Mudah-mudahan di desa itu tidak bersembunyi orang-orang
Jipang yang telah siap menyergap kita apabila kita memasukinya.”
Widura
mendengar gumam itu, tetapi tidak jelas, sehingga terpaksa ia bertanya,
“Apa yang kau
katakan?”
Untara
menggeleng,
“Tidak apa-apa
Paman. Aku hanya menyebut nama desa itu. Bukankah desa seberang bulak itu Desa
Benda?”
“Ya,” Widura
mengangguk.
Kemudian
mereka pun terdiam. Namun hati mereka menjadi berdebar-debar. Di hadapan mereka
berjalan Ki Gede Pemanahan dengan beberapa orang pengawalnya. Tetapi ketika
mereka menjadi semakin dekat, maka Untara dan Widura pun berjalan pula di sisi mereka. Tanpa
mereka kehendaki. Tangan-tangan mereka telah meraba-raba hulu pedang mereka,
apabila setiap saat diperlukan.
“Desa itukah
yang kau maksud dengan Desa Benda?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Ya, Ki Gede,”
jawab Untara singkat.
Ki Gede
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia berpaling memandangi barisan yang
berjalan di belakangnya. Menjalar sepanjang jalan, seperti seekor ular raksasa
yang merayap-rayap.
Terasa oleh
Untara dan Widura, bahwa sikap itu pun adalah suatu sikap berhati-hati setelah
hampir saja Ki Gede Pemanahan dijebak oleh orang-orang Jipang. Namun Ki Gede
itu berjalan terus. Wajahnya masih saja tenang, seakan-akan tidak ada suatu pun
yang mencemaskannya. Tetapi Untara-lah yang kemudian menjadi cemas. Ia harus
yakin, bahwa kedatangan Ki Gede di Benda tidak akan mendapat bencana. Karena
itu, sebelum mereka memasuki desa maka dua orang penghubung harus mendahului
dan melihat keadaan. Namun hati Untara itu pun kemudian berdesir ketika ia
melihat Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru mempercepat derap kudanya
mendahului pasukan yang berjalan di sepanjang jalan persawahan.
Demikian
kuda-kuda itu sampai di sisinya terdengar Sutawijaia berkata,
“Kakang
Untara, kami bertiga akan mendahului kalian melihat-lihat desa di hadapan
kita.”
Dada Untara
sekali lagi berdesir. Segera ia menyahut,
“Jangan.
Biarlah dua atau tiga orang penghubung melihat pedesaan itu dahulu sebelum kita
memasukinya.”
Sutawijaya
tertawa, katanya,
“Apakah Kakang
Untara mencemaskan kami? Percayalah bahwa Tambak Wedi hanya membual. Seandainya
benar orang-orang Jipang merencanakan penyerangan, maka kegagalan Tambak Wedi
pasti akan membawa perubahan. Mereka tidak akan berani menjebak kami di desa
itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar