“Belum tentu Adi,” sanggah Untara,
“segala
kemungkinan akan dapat terjadi.”
Tetapi Sutawijaya
tertawa terus. Katanya,
“Bukankah
orang-orang Jipang itu sekedar akan menyerahkan diri?”
Untara
tersentak mendengar pertanyaan itu. Sejenak ia terbungkam. Setelah menarik
nafas dalam-dalam ia menjawab,
“Ya. Mereka
hanya sekedar akan menyerah.”
“Karena itu,
Kakang Untara tidak perlu mencemaskan aku, Agung sedayu dan Swandaru.”
Sekali lagi
Untara tidak dapat mengatasinya. Tetapi batinnya masih tetap dikuasai oleh
kegelisahan dan kecemasan. Sehingga tanpa disadarinya Untara itu memandangi Ki
Gede Pemanahan, seolah-olah minta kepadanya, supaya ia melarang anaknya pergi
mendahului barisan. Tetapi Ki Gede Pemanahan tidak menangkap maksudnya, bahkan
ia sama sekali tidak memperhatikan percakapan itu. Panglima Wira Tamtama itu
berjalan dengan tenangnya di antara beberapa orang perwira pengawalnya. Akhirnya
Untara tidak kuasa lagi mencegah Sutawijaya ketika sambil mempercepat jalan
kudanya anak muda itu berkata,
“Kami akan
berhat-hati Kakang.” Kemudian kepada ayahnya ia berkata,
“Ayah, aku
ingin mendahului untuk melihat-lihat daerah Sangkal Putung yang subur ini.”
Sekali lagi
Untara menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan menganggukkan
kepalanya sambil menjawab,
“Hati-hatilah
Sutawijaya. Kau tidak sedang bertamasya sekarang ini.”
Sekejap
kemudian mereka melihat kuda anak muda itu berpacu disusul oleh kuda Swandaru.
Namun Agung Sedayu masih sekali lagi berkata kepada kakaknya,
“Aku
mendahului Kakang.”
“Hati-hatilah,”
sahut Untara. Ia pun tidak dapat mencegah adiknya itu, karena Sutawijaya dan
Swandaru telah mendahuluinya.
Agung
Sedayu pun kemudian memacu kudanya. Ia
membungkukkan badannya dalam-dalam hampir melekat punggung kuda ketika ia
mendahului Ki Gede Pemanahan yang berjalan hampir di ujung barisan, di belakang
tiga orang prajurit yang membawa panji-panji kebesaran, melekat pada landean
tombak larakan yang panjang, beserta pengawalnya.
Yang tampak
kemudian hanyalah kepulan-kepulan debu yang putih, yang dilemparkan oleh
kaki-kaki kuda yang berpacu seperti angin. Sutawijaya yang membawa sebatang
tombak pendek bernama Kiai Pasir Sewukir menjadi gembira sekali. Kudanya
berlari dengan tegarnya, berderap di atas tanah berdebu. Di belakang berpacu
Swandaru Geni yang gemuk. Ketika tampak olehnya juntai yang kuning berkilauan
pada tombak Sutawijaya, maka tanpa disengajanya ia meraba hulu pedangnya. Dalam
hati ia berkata,
“Besok aku
akan mencari tampar yang kuning emas seperti juntai pada tombak itu. Pedangku
akan menjadi bertambah bagus. Hulunya terbuat dari gading gajah dengan juntai
yang berwarna kuning emas. Alangkah bagusnya.”
Swandaru itu
pun tersenyum sendiri. Namun ketika sebutir debu masuk ke matanya, ia
mengumpat-umpat.
Ketika ia
berpaling, dilihatnya kuda Agung Sedayu agak jauh di belakang. Tetapi kuda itu
meluncur seperti anak panah. Sehingga jarak di antara mereka menjadi bertambah
pendek. Swandaru itu melambaikan tangannya. Ia menjadi gembira sekali seperti
juga Sutawijaya. Seolah-olah mereka mendapat kesempatan untuk berpacu kuda.
Sehingga dengan demikian, ketika kuda Agung Sedayu menjadi semakin dekat,
Swandaru melecut kudanya. Ia tidak mau jarak itu menjadi bertambah pendek
bahkan kalau mungkin menjadi semakin jauh. Tetapi Swandaru tidak dapat
mendahului Sutawijaya. Anak muda itu ternyata tidak mempercepat kudanya bahkan
ketika sekali ia berpaling maka agaknya ia menunggu kedua kawan-kawannya itu.
Sesaat
kemudian ketiga ekor kuda itu telah berlari berbareng. Tiga orang anak-anak
muda yang sebaya. Yang seorang menggenggam tombak di tangan. Sedang di lambung
kedua orang yang lain tergantung pedang. Bulak itu memang merupakan bulak yang
agak panjang. Tetapi karena ketika anak-anak muda itu berkuda, maka segera
mereka menjadi semakin dekat. Beberapa saat lagi, mereka telah melihat mulut
lorong yang dilaluinya itu memasuki Desa Benda. Ternyata Sutawijaya yang jauh
lebih berpengalaman dari kedua kawan-kawannya yang lain, melihat mulut lorong
itu dengan sikap yang cukup masak. Dengan isyarat ia minta kedua kawan-kawannya
memperlambat kuda-kuda mereka. Semakin dekat mereka dengan desa Benda, semakin
lambat pula lari kuda-kuda mereka. Bahkan kuda-kuda itu kemudian berjalan tidak
lebih cepat dari langkah kaki.
“Mulut lorong
itu seperti mulut ular yang menganga menanti kita masuk ke dalamnya,” gurau
Sutawijaya.
Agung Sedayu
dan Swandaru tersenyum.
“Tetapi ular
itu, ular mati,” sahut Swandaru.
Sutawijaya pun tertawa. Tetapi kemudian ia bertanya,
“Apakah tidak
ada penjagaan di desa ini?”
“Ada,” sahut
Swandaru,
“di ujung
lorong yang lain menghadap ke bulak sebelah.”
“Di ujung
ini?”
Swandaru
menggeleng, “Tidak,” jawabnya.
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. “Aneh,” katanya,
“seharusnya
ada gardu peronda di kedua sisi. Apa kalian menyangka bahwa apabila musuh
datang tidak dapat mengambil jalan ini? Mereka hanya cukup menambah beberapa
langkah dengan melingkar desa ini, kemudian masuk melalui mulut lorong tanpa
diketahui oleh para penjaga. Bukankah dengan damikian hampir tak ada gunanya di
ujung lain diberi gardu peronda?”
“Desa ini
adalah desa yang hampir tak berpenghuni. Desa ini memang sengaja dilepaskan.
Justru karena itu maka orang-orang Jipang sering mendatangi desa ini. Mereka
kadang-kadang mengambil beberapa macam perbekalan sebelum mereka menghilang.
Namun dengan demikian, banyak keterangan yang kita dapatkan dari
penghuni-penghuninya. Penghuni-penghuni asli dan penghuni-penghuni yang sengaja
kita tanam di sini,” sahut Agung Sedayu.
Sutawijaya
tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan Agung
Sedayu mengenai desa itu. Ia senang mendengar sikap Untara dan Widura yang
cerdik. Namun kemudian ia bertanya,
“Tetapi dengan
demikian, bagaimana dengan para penjaga itu? Apakah mereka tidak sekedar
menjadi umpan hidup bagi orang-orang Jipang itu?”
“Penjagaan itu
baru diadakan sejak pagi ini menjelang saat-saat penyerahan orang-orang Jipang.
Mereka harus mengawasi gerak-gerik orang-orang Jipang itu.”
Kembali
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Mari, kita
temui para penjaga itu.”
“Marilah,”
sahut Agung Sedayu.
Kini mereka
bertiga telah sampai di mulut lorong yang memasuki desa Benda. Desa itu tampak
terlampau sepi, seperti sebuah kuburan yang besar. Hampir tidak terasa bahwa
desa itu adalah desa yang hidup dan berpenghuni. Sebelah-menyebelah lorong
adalah sebuah pagar batu yang agak tinggi. Regol-regol yang sempit dan kurang
terpelihara. Halaman-halaman yang tidak terlampau bersih dan di sana-sini masih
terdapat tumbuh-tumbuhan yang liar di antara rumpun-rum pun bambu yang lebat.
“Desa ini
memang sepi,” gumam Sutawijaya,
“apakah dalam
kehidupan sehari-hari desa ini juga sesepi ini?”
“Tidak jauh
berbeda,” sahut Agung Sedayu,
“hanya
kadang-kadang kita mendengar suara derit senggot apabila seseorang mengambil
air, atau suara pekik anak-anak yang sedang bermain-main. Tetapi suara itu
terlampau jarang. Anak-anak lebih senang tinggal di dalam rumah masing-masing.”
“Kehidupan
yang tertekan,” gumam Sutawijaya.
“Bukan hanya
desa ini. Bukan saja Benda, tetapi banyak desa lain, yang tersebar
berserak-serak antara kademangan ini dengan kademangan-kademangan di
sekitarnya. Tetapi agaknya Sangkal Putung-lah yang paling menarik perhatian
bagi orang-orang Jipang.”
“Kenapa
Sangkal Putung?”
“Sangkal
Putung adalah kademangan yang kaya raya sejak lama. Bukankah begitu Adi
Swandaru? Putera Ki Demang ini tahu benar kekayaan yang tersimpan di dalam
kademangannya. Penduduknya yang rajin dan tahu menghargai kerja, maka mereka
telah berhasil membangun kademangannya menjadi kademangan yang banyak menyimpan
kekayaan di dalamnya. Contohnya, pedang Adi Swandaru itu. Hulunya terbuat dari
gading yang mahal.”
Sutawijaya
tersenyum tetapi ia berpaling juga melihat hulu pedang Swandaru yang
benar-benar terbuat daripada gading.
“Ya,” desis
Sutawijaya,
“bagus benar
hulu pedang itu.”
“Lebih bagus
lagi apabila pada hulu ini diberi juntai tampar yang berwarna kuning emas
seperti pada tombak Tuan.”
Sutawijaya
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertanya,
“Kau senang
pada tali ini?”
“Ya, Tuan.”
Kembali
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Hati Swandaru berdebar-debar ketika ia
melihat Sutawijaya mengurai tali kuningnya, “Kau ingin ini?” ia bertanya.
Mata Swandaru
menjadi berkilat-kilat. Sambil tersenyum ia menjawab agak segan-segan,
“Ya Tuan.”
“Pakailah. Aku
masih mempunyai tali semacam ini banyak sekali di rumah.”
Swandaru
menjadi gembira sekali menerima tali yang berwarna kuning emas itu. Tali yang
akan menjadikan pedangnya bertambah cantik.
Tetapi
wajahnya yang gembira itu tiba-tiba menjadi tegang ketika ia melihat asap yang
mengepul. Semakin lama semakin besar. Asap itu menjilat ke udara dari balik
rumpun bambu agak jauh dari lorong itu.
Sutawijaya dan
Agung Sedayu melihat asap itu pula, sehingga wajah mereka menjadi tegang pula.
“Asap apakah
itu?” desis Sutawijaya.
Agung Sedayu
menggeleng, “Entahlah.”
“Marilah kita
menemui para penjaga. Mungkin mereka tahu asap apakah yang mengepul semakin
besar itu?”
“Marilah,”
sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir berbareng.
Sesaat
kemudian mereka telah mempercepat kuda-kuda mereka menuju ke gardu penjagaan di
ujung lorong. Para penjaga di gardu itu terkejut ketika mereka mendengar derap
kuda mendekati. Tetapi mereka menyangka, bahwa yang datang itu adalah para
penghubung. Karena itu, maka mereka tidak segera menyongsongnya. Tetapi
ternyata yang datang adalah Agung Sedayu, Swandaru, dan seorang anak muda yang
belum mereka kenal. Pemimpin penjaga di gardu itu tersenyum sambil menyambut
kedatangan mereka.
“Marilah
anak-anak muda. Aku kira beberapa penghubung datang untuk menanyakan keadaan di
sini. Ternyata kalian bertiga. Apakah ada persoalan yang kalian bawa?”
“Tidak,
Paman,” sahut Agung Sedayu.
Orang itu
mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia bertanya,
“Jadi kenapa
Angger kemari mendahului barisan?”
Agung Sedayu
tidak segera menjawab. Ia sendiri tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Yang
menjawab kemudian adalah Sutawijaya.
“Kami hanya
bermain-main Paman.”
Orang itu
menjadi heran. Jawaban itu hampir tak masuk di akalnya. Bermain-main di daerah
yang demikian gawatnya. Sehingga karena itu maka wajah orang itu menjadi
semakin berkerut-kerut. Agaknya jawaban itu tidak menyenangkan hatinya. Agung
Sedayu melihat kesan yang tergores pada kerut-merut wajah pemimpin gardu itu.
Karena itu maka segera ia ingin memperbaiki suasana dengan serta-merta ia berkata,
“Paman,
mungkin Paman belum mengenal anak muda ini. Ia adalah putera Ki Gede Pemanahan
yang bernama Sutawijaya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.”
Wajah yang
berkerut-kerut itu tiba-tiba menjadi tegang. Pemimpin penjaga itu benar-benar
terkejut mendengar nama itu. Nama yang selama ini menjadi kebanggaan prajurit
Pajang. Nama yang ternyata telah berhasil mengalahkan Pangeran Arya Penangsang.
Bukan saja pemimpin penjaga itu yang menjadi tegang. Para prajurit yang lain
pun tidak kalah terkejutnya. Hampir bersamaan mereka membungkukkan badan mereka
dalam-dalam sambil berkata,
“Maafkan kami
Tuan. Kami ternyata terlampau bodoh sehingga kami tidak mengenal Tuan.”
Sutawijaya
tertawa. Tetapi ia berkata,
“Jangan
membongkok-bongkok. Nanti kau tidak melihat asap yang mengepul itu.”
“Asap?” desis
penjaga itu.
“Jadi kalian
belum melihat asap itu?” berkata Sutawijaya sambil menunjuk ke arah asap yang
kini menjadi semakin besar.
“He?” teriak
kepala penjaga itu. Ia menjadi sangat terkejut.
“Asap apakah
itu?”
Para penjaga
yang lain menjadi terkejut pula. Sejenak mereka saling berpandangan, tetapi tak
seorang pun dari mereka yang tahu apa yang telah terjadi.
“Lihat, asap
apakah itu,” perintah kepala penjaga. Ketika seseorang telah siap untuk
meloncat berlari ke arah asap itu, maka Sutawijaya yang cerdas dalam menanggapi
setiap persoalan itu mencegahnya,
“Jangan.”
“Kenapa Tuan?”
“Mungkin Bahu
Reksa Benda sedang marah, atau ada hantu yang buas berkeliaran di desa ini.
Tinggallah di sini biarlah kami yang melihatnya.”
“Kenapa Tuan?”
bertanya penjaga itu.
Sutawijaya
tidak menjawab. Segera ia meloncat dari punggung kudanya diikuti oleh Swandaru
dan Agung Sedayu.
“Apakah kalian
menyediakan kuda pula?”
“Ada dua ekor
kuda di sini. Apabila keadaan memaksa, dua dari kami harus segera melapor.”
“Kentongan
raksasa itu?”
“Kalau perlu
kami harus memukul tanda-tanda.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlengkapan gardu itu cukup baik. Sambil
menyerahkan kendali kudanya ia berkata,
“Biarlah
kuda-kuda ini kami tinggalkan di sini. Kami akan melihat apa yang terjadi.”
“Baik Tuan,”
sahut para penjaga sambil menerima kuda-kuda itu.
Sesaat kemudian
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru telah melangkah meninggalkan gardu itu.
Asap yang mengepul kehitam-hitaman itu pun menjadi semakin besar. Bahkan
kemudian mereka melihat lidah api menjilat ke udara.
“Api,” desis
Sutawijaya. Anak muda itu kini tidak tersenyum lagi.
“Kita ambil
jalan memintas,” katanya sambil meloncati dinding halaman di hadapannya. Agung
Sedayu dan Swandaru pun segera
mengikutinya pula meloncati dinding halaman.
Tetapi sebelum
mereka berlari melintasi halaman itu menuju ke arah asap yang semakin tinggi,
tiba-tiba Sutawijaya teringat sesuatu. Sekali ia menjengukkan kepalanya sambil
berkata,
“Jangan
berbuat apa pun lebih dahulu sebelum aku tahu pasti apa yang terjadi.”
Para penjaga
masih berada di tempatnya. Pemimpin penjaga itu membungkukkan kepalanya sambil
menyahut,
“Ya tuan.”
Namun
Sutawijaya itu pun kemudian tertegun ketika mendengar di kejauhan suara tertawa
terbahak-bahak. Bahkan kemudian terdengar sapa di antara derai tertawa itu,
“He, siapa
yang berada di gardu peronda?”
Para penjaga
itu tidak segera menjawab. Mereka pun terkejut bukan kepalang. Ketika mereka
berpaling ke arah suara itu, mereka melihat tiga orang muncul dari tikungan.
“Siapakah
itu?” desis Swandaru.
Sutawijaya
kini telah merendahkan dirinya dan menempelkan tubuhnya pada dinding halaman
bagian dalam. Sambil meletakkan jari telunjuknya pada bibirnya ia berdesis.
Swandaru dan
Agung Sedayu pun terdiam. Kini mereka pun berbuat seperti Sutawijaya pula.
Dengan hati-hati mereka menunggu apa yang akan terjadi, dan mencoba mengetahui
suara siapakah yang menggeletar di desa Benda yang kecil ini.
Sekali lagi
mereka mendengar sebuah pertanyaan,
“Siapakah yang
berada di gardu ronda?”
Sesaat tidak
terdengar jawaban. Namun wajah para penjaga itu pun menjadi tegang ketika mereka
mengenal orang-orang yang mendekati mereka dengan senjata telanjang di tangan
mereka.
“Bukankah kau
Wira Lele?” terdengar kembali suara itu.
Swandaru
hampir tidak sabar lagi. Tetapi sekali lagi Sutawijaya memberinya isyarat.
Tetapi mereka
bertiga yang berada di dalam halaman itu pun terkejut pula ketika mereka
mendengar kepala penjaga itu berdesis, “Kau, Sidanti?”
“Ya, aku sudah
rindu untuk menemuimu, Wira Lele. Aku rindu melihat kumismu benar-benar seperti
kumis seekor lele kurus.”
Wira Lele,
kepala penjaga itu menggeram. Tiba-tiba terdengar gemerincing pedang. Ternyata
Wira Lele dan kawan-kawannya telah menghunus pedang-pedang mereka pula.
“Ha, kau mau
bergurau?” bertanya Sidanti.
“Berapa orang
semuanya?”
Wira-lele
tidak menjawab.
Yang terdengar
adalah suara Sidanti semakin dekat.
“Satu, dua,
tiga, empat, lima. Lima orang. Masih ada yang di dalam gardu? Takaran kami
bertiga adalah tiga puluh orang sejenis kalian ini.”
Wira Lele
membelalakkan matanya yang memancarkan kemarahan. Tanpa dikehendakinya ia berpaling
memandangi kentongannya. Tetapi kembali terdengar suara Sidanti,
“Jangan
mencoba menyentuh kentongan itu.”
Dada Wira Lele
menjadi berdebar-debar. Nafasnya serasa semakin cepat mengalir. Betapa
kemarahan membakar jantungnya, tetapi ia menyadari siapakah yang berdiri di
hadapannya. Ia menyadari kekuatan Sidanti. Apalagi ketika kemudian Sidanti itu
berkata,
“Wira Lele,
mungkin kau pernah melihat sahabatku ini. Kalau belum, namanya pasti pernah kau
dengar. Yang satu, yang kuning langsat ini adalah Alap-alap Jalatunda, sedang
yang lain, yang seperti arang ini adalah Sanakeling.”
Jantung Wira
Lele seakan-akan menjadi berhenti berdenyut. Yang datang ternyata benar-benar
orang-orang seperti kata Sidanti, mempunyai takaran masing-masing sepuluh.
Namun terdengar
Sanakeling menggeram,
“Jangan
menghina Sidanti. Meskipun kulitku hitam, tetapi lebih dari dua puluh lima
gadis tergila-gila kepadaku. Nah, bagaimama dengan kau? Bagaimana dengan gadis
anak Ki Demang Sangkal Putung itu?”
Sidanti
tertawa, tetapi ia tidak menaruh perhatian akan dua puluh lima gadis yang jatuh
cinta kepada Sanakeling. Yang terdengar adalah suaranya yang menggelegar,
“He, Wira
Lele. Sebenarnya pekerjaanku sudah selesai. Membakar rumah-rumah itu. Kau tahu
maksudnya? Kalau tidak, baiklah aku beritahukan. Aku sedang memberi aba-aba
kepada induk pasukan Jipang untuk menyergap. Dari jurusan induk Kademangan
Sangkal Putung, telah terlihat barisan orang-orang Pajang dan orang-orang
Sangkal Putung. Tanda itu adalah sebuah perintah. Nah, apa katamu?”
Sekali lagi
terdengar Wira Lele menggeram. Tanpa disengaja maka ia pun beringsut mendekati
kentongannya. Namun sekali lagi terdengar Sidanti tertawa sambli berkata,
“Kentongan itu
tak akan berarti. Tangan kami lebih cepat dari langan-lengan kalian yang akan
memukul kentongan itu.” Sidanti berhenti sebentar, kemudian katanya lebih
lanjut,
“Nah, aku
ternyata memerlukan singgah di gardumu, untuk memberitahukan kepadamu apakah
yang akan terjadi di Benda ini. Kau sangka orang-orang Jipang itu akan
menyerah? Tidak, mereka akan menyergap kalian, orang-orang Pajang dan Sangkal
Putung. Kalian boleh saja mendengar rencana ini, sebab sebentar lagi kalian
akan mati. Begitu?”
Wira Lele
tidak menjawab. Mulutnya serasa menjadi bisu. Ia berdiri saja seperti tonggak
kayu.
“Kenapa kau berdiam
diri?” bertanya Sidanti.
“Kau harus
marah. MengambiI sikap dan marilah kita bertempur. Waktuku hanya sedikit.
Sebentar lagi orang-orang Pajang telah memasuki pedukuhan ini.”
Tetapi
Wira-lele tidak bergerak.
“Bunuh saja
mereka,” terdengar desis Sanakeling dalam nada yang berat.
“Buat apa
mereka dibiarkan hidup? Orang-orang Pajang telah membunuh orang-orang Jipang
yang dijumpainya. Adalah omong kosong kalau orang-orang Pajang akan bersedia
menerima kami manyerah. Dan ternyata kami bukan orang-orang bodoh yang dapat
mereka bujuk dengan akal yang licik seperti demit.”
Wira Lele
masih membeku. Namun digenggamnya hulu pedangnya erat-erat. Sementara itu
Sanakeling berkata lagi,
“Aku menyesal
lewat di jalan ini. Aku terpaksa mengotori pedangku dengan darah kelinci.”
“Aku tidak
sabar menunggu kalian berbicara berkepanjangan. Sementara itu orang-orang
Pajang menjadi semakin dekat,” sela Alap-alap Jalatunda.
“Pengecut,”
desis Sanakeling.
“Kenapa?”
“Kau takut
kalau orang-orang Pajang itu akan melihat hidungmu.”
Alap-alap
Jalatunda mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Mungkin.
Mungkin demikian, mungkin aku akan menjadi ketakutan. Apakah kalian tidak akan
lari terbirit-birit apabila Ki Gede Pemanahan dan anaknya itu datang kemari?”
“Persetan!”
desis Sanakeling.
“Nah, karena
itu marilah kita selesaikan pekerjaan kita. Pekerjaan ini adalah pekerjaan
tambahan yang hanya akan mengotori tangan-tangan kita.”
Alap-alap
Jalatunda tidak menunnggu Sanakeling atau Sidanti menyahut. Segera ia melangkah
maju sambil mengayun-ayunkan pedangnya,
“Ayo, siapa
yang terdahulu? Kalau masih ada orang di dalam gardu itu, marilah, kita bermain
bersama-sama.”
Tetapi di
dalam gardu sudah tidak ada orang lagi. Yang mereka hadapi hanyalah lima orang
itu. Karena itu maka Alap-alap Jalatunda berkata,
“Serahkan
kelima-limanya ini kepadaku.”
“Jangan
sombong,” potong Sanakeling.
“Ambilah tiga.
Beri kami masing-masing seorang sekedar supaya pedang-pedang kami tidak
berkarat.”
Yang terdengar
adalah geram Wira Lele. Kini ia sudah siaga menghadapi setiap kemungkinan.
Tetapi ia menyesal, bahwa ia tidak dapat memberi tanda kepada para prajurit
Pajang. Bukan untuk mendapatkan pertolongan, tetapi supaya mereka menjadi lebih
barhati-hati. Tetapi ketika Alap-alap Jalatanda maju semakin dekat, maka tiba-tiba
langkahnya tertegun. Dari balik dinding batu di tepi jalan itu ia mendengar
suara.
“Siapa lagi
yang masih berada di dalam gardu?”
Bukan saja
Alap-alap Jalatunda, tetapi Sanakeling dan Sidanti pun terkejut. Mereka mendengar suara itu
sedemikian jelasnya. Karena itu, telinga Sidanti yang tajam segera mengetahui
bahwa suara itu berasal dari balik dinding batu di samping jalan itu.
“Hem,” Sidanti
menggeram.
“Ternyata yang
lain tidak berada di dalam gardu, tetapi mereka bersembunyi di balik dinding halaman.”
Terdengar
suara dari balik dinding itu menyahut,
“Ya, kami
bersembunyi di sini. Tiga puluh orang semuanya, sebagai takaran yang pantas
untuk melawan kalian bertiga. Alap-alap cengeng, perwira Jipang yang hitam
kelam, dan anak muda yang gagal dalam bercinta menurut istilah Sanakeling.”
Suara dari
balik dinding itu ternyata telah menggetarkan jantung Sidanti dan kedua
kawannya. Bahkan para penjaga gardu itu pun terkejut pula. Orang yang berada di
balik dinding itu menganggap Sidanti, Sanakeling, dan Alap-alap Jalatunda
sebagai orang-orang yang sama sekali tidak berarti. Bahkan mereka dengan
sengaja telah menghinanya pula.
Sidanti
menggeram seperti seekor harimau kelaparan. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah
membara. Sedang Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda untuk sesaat justru berdiri
saja seperti patung. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa ada orang yang
berani menghinanya sedemikian menyakitkan hati.
Tiba-tiba
terdengar Sidanti membentak,
“He, siapa
kau?”
“Kami adalah
satu di antara kelinci-kelinci penjaga gardu,” jawab suara itu pula.
“Gila!” teriak
Sidanti.
“Jangan
bersembunyi. Ayo keluar kalau kau benar-benar jantan.”
Kini yang
terdengar adalah suara tertawa. Di antara derai tertawa itu terdengar
kata-kata,
“Jangan marah.
Siapakah yang marah itu? Apakah kau yang bernama Sanakeling, Sidanti, atau
Alap-alap Jalatunda?”
“Persetan!”
teriak Sidanti.
“Keluar dari
persembunyian itu.”
“Tidak
sekarang.”
“Kapan?”
“Nanti, kalau
para prajurit Pajang sudah datang. Sekarang mereka pasti sudah hampir sampai ujung
bulak. Sesaat lagi mereka akan memasuki Sangkal Putung. Bukankah kalian tadi
yang mencegat mereka di bulak jagung?”
“He?”
pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Sidanti. Orang yang bersembunyi di
belakang dinding itu mengetahuinya apa yang telah dikerjakannya pagi tadi.
Karena itu, Sidanti tidak sabar lagi. Tetapi ketika ia hampir meloncat,
terdengar Sanakeling yang lebih tua daripadanya mencegah,
“Jangan
Sidanti. Mungkin di balik dinding itu, ujung-ujung tombak siap menyobek
perutmu, seperti pada saat Pengeran Arya Penangsang menyeberangi sungai.
Bukankah saat itu Arya Penangsang dibakar oleh kemarahan dan kehilangan
kewaspadaan?”
“Hem,” kembali
Sidanti menggeram.
“Tetapi mereka
tidak mau keluar dari persembunyiannya.”
“Marilah kita
tunggu.”
“Sehari, sebulan
atau sampai orang-orang Pajang datang?”
Tiba-tiba
Sanakeling berkata,
“Biarkan
mereka. Marilah para penjaga ini kita bunuh satu persatu. Kemudian kita akan
mendapat beberapa ekor kuda. Kau setuju?”
Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata,
“Kau cerdik
Sanakeling. Mari, kalau orang-orang di balik dinding itu tidak mau keluar juga
dari persembunyiannya kita cincang saja para penjaga ini.”
Tiba-tiba
terdengar suara dari balik dinding, “Hem, kalian memang cerdik. Agaknya kalian
cukup berpengalaman mencari cengkerik. Kalau kau tak berhasil menggalinya, maka
cukup kau siram dengan air, maka cengkerik itu akan keluar sendiri dari
lubangnya.”
Kemarahan
telah menghentak-hentak dada Sidanti dan kawan-kawannya. Dengan tegang mereka
menunggu, siapakah yang akan keluar dari persembunyiannya itu. Tetapi setelah
sejenak mereka menunggu, orang-orang dari balik dinding itu sama sekali belum
menampakkan dirinya.
“Hem,” kini
Alap-alap Jalatunda-lah yang menggeram.
“Mereka
sengaja mempermainkan kita Kakang. Mungkin benar juga kata mereka, supaya para
prajurit Pajang itu datang sebelum kita meninggalkan tempat ini karena terikat
oleh permainan yang gila ini.”
Sanakeling
tidak menjawab. Tetapi matanya benar-benar memancarkan kemarahan yang meluap-luap.
Namun ia cukup hati-hati. Ia tidak mau meloncati pagar itu dan diterima oleh
ujung tombak atau pedang pada lambung atau perutnya. Maka cara yang paling baik
adalah cara yang telah dikatakannya, sehingga sekali lagi ia berteriak,
“Jangan
hiraukan orang-orang gila di belakang dinding itu. Bunuh para penjaga ini lebih
dahulu.”
Tetapi tanpa
disangka-sangka, mereka kini dikejutkan oleh suara lantang,
“Aku akan
keluar dari persembunyian,” disusul oleh sesosok tubuh yang dengan lincahnya
melayang melangkahi dinding halaman itu. Namun demikian tubuh itu tegak di atas
tanah, maka tiba-tiba orang itu menggeliat sambil menguap.
“Hem. Aku
menunggu kalian terlampau lama sehingga aku menjadi terkantuk-kantuk
karenanya.”
Mata Sidanti,
Sanakeling, dan Alap-alap Jalatunda terbelalak melihat orang itu. Seorang anak
muda dengan sebatang tombak di tangannya. Apalagi kemudian mereka melihat
seorang anak muda yang lain yang telah mereka kenal pula. Agung Sedayu meloncat
dinding itu pula, disusul oleh seorang lagi, seorang anak muda yang gemuk,
sedang memanjat dinding. Kemudian tubuhnya yang bulat itu pun terjun pula dari
atas dinding halaman.
“Agak
hati-hati sedikit Swandaru,” berkata Sutawijaya.
“Tubuhmu akan
dapat menimbulkan gempa.”
Swandaru
tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab kata-kata Sutawijaya. Dengan lucu
dipandanginya Sidanti yang memandangnya pula dengan sinar kemarahan.
“Jangan kau
tampar aku kali ini Sidanti,” desis Swandaru.
Sidanti
menggeram. Kalau tidak ada Sutawijaya di hadapannya ia pasti sudah meloncat dan
menampar mulut yang gembung itu.
“Kau sudah
mengenalnya?” bertanya Sutawijaya kepada Swandaru.
“Aku sudah
kenal terlampau rapat Tuan,” jawab Swandaru.
“Kalau
demikian, siapakah yang disebut Sanakeling, gadis anak Demang Sangkal Putung?
Bukankah kau anak Demang Sangkal Putung itu?”
Wajah Swandaru
menjadi kemerah-merahan. Tetapi tidak semerah wajah Sidanti yang benar-benar
menjadi semerah darah.
Bukan saja
mereka, bahkan Agung Sedayu pun merasa
wajahnya menjadi panas. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun. Ketika
kemudian Swandaru berpaling kepadanya sambil tersenyum, maka Agung Sedayu itu
pun segera menundukkan wajahnya. Mendengar senda gurau itu darah Sidanti
benar-benar telah mendidih. Ia merasa bahwa seakan-akan anak-anak muda itu
sengaja mempermainkannya. Apalagi Sanakeling yang garang. Betapa kemarahannya
telah merayap sampai ke ubun-ubun. Dengan kasarnya berteriak,
“He kau
anak-anak gila. Jangan bertingkah. Apakah kalian tidak menyadari dengan siapa
kalian berhadapan?” Tetapi tiba-tiba Sanakeling lah yang menyadari dirinya
sendiri dari kata-katanya. Anak muda itu adalah anak muda yang dilihatnya tadi
datang bersama-sama dengan Ki Gede Pemanahan. Anak itu adalah anak Panglima
Wira Tamtama Pajang.
Yang menjawab
pertanyaan itu adalah Sutawijaya,
“Tentu
Sanakeling. Aku menyadari sepenuhnya, dengan siapa aku berhadapan. Yang kuning
langsat ini adalah Alap-alap Jalatunda, yang hitam seperti arang adalah
Sanakeling dan yang jatuh cinta kepada adik atau kakak perempuanmu, he
Swandaru,” berkata Sutawijaya sambil berpaling ke arah Swandaru,
“adalah anak
muda murid Ki Tambak Wedi yang garang itu.”
Karena
kemarahan yang telah memuncak, maka mulut Sidanti, seakan-akan justru terkunci.
Ia berdiri saja mematung dengan kaki bergetar. Yang terdengar hanyalah gemeretak
giginya beradu. Sutawijaya masih saja tersenyum. Setelah ia melihat siapakah
yang membuat keonaran, membakar rumah-rumah di desa Benda, maka justru hatinya
menjadi tenang. Sidanti, Sanakeling, dan Alap-alap Jalatunda pasti tidak puas
dengan pertempuran yang terjadi di bulak jagung pagi tadi. Mereka masih selalu
berusaha memancing kekeruhan, sehingga karena itu, maka apa yang terjadi kini
sama sekali bukanlah suatu perkembangan baru dari peristiwa orang-orang Jipang
yang akan menyerah, tetapi peristiwa ini adalah kelanjutan saja dari peristiwa
pagi tadi. Karena itu, tanpa menghiraukan Sidanti, Sanakeling, dan Alap-alap
Jalatunda, Sutawijaya berkata,
“Paman Wira
Lele, bukankah Sidanti menyebutmu Wira Lele?” bertanya Sutawijaya.
Tanpa
sesadarnya Wira Lele mengangguk, “Ya Tuan.”
“Nah, ambilah
kudamu. Pergilah menemui barisan yang mendatang. Mereka sekarang pasti hampir
memasuki desa ini. Tetapi mereka pasti terhenti di bulak sebelah karena mereka
melihat asap dan api.” Sutawijaya berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan,
“Kau harus
menemui Kakang Untara. Beritahukan kepadanya bahwa di desa ini tidak terjadi
apa-apa. Katakan bahwa karena Sutawijaya bermain-main api, maka apinya telah
menjilat gardu sehingga gardumu dan setumpuk alang-alang terbakar. Mereka harus
berjalan terus, supaya orang-orang Jipang yang sungguh-sungguh berhasrat
kembali, tidak mendahului mereka dan terjadi persoalan-persoalan di luar
kehendak kedua belah pihak karena pokal Sidanti.”
Kata-kata itu
bagi Sidanti dan kawan-kawannya terdengar seperti gunung Merapi meledak dan
runtuh menimpa dada mereka. Sidanti yang terbungkam, menjadi semakin tegang.
Namun gemeretak giginya menjadi semakin keras. Yang terdengar kemudian adalah
geram Sanakeling,
“Wira Lele,
kalau kau bergeser setapak saja dari tempatmu, maka saat itu adalah saat
kematianmu.”
Wira Lele
tidak beranjak. Namun ia menjadi ragu-ragu. Ia ingin melakukan perintah
Sutawijaya, tetapi ancaman Sanakeling telah mencegahnya.
“Jangan takut Wira
Lele,” berkata Sutawijaya.
“Serahkan ketiganya
ini kepadaku.” Kemudian kepada Sanakeling ia berkata,
“Sanakeling,
jangan terlampau sombong. Hitunglah orang-orang yang berada di sini. Dari
pihakmu hanya ada tiga orang, sedang dari pihak paman Wira Lele ada sedikitnya
delapan orang. Dan sebentar lagi pasukan Pajang yang lain akan segera datang
pula.”
Kata-kata itu,
meskipun diucapkan dengan serta-merta, seakan-akan sama sekali tidak
dipertimbangkan sebelumnya, namun pengaruhnya sangat dalam menghunjam ke pusat
jantung Sidanti dan kawan-kawannya. Meskipun Sutawijaya menyebut jumlah dari
kedua belah pihak, seolah-olah ia memerlukan kedelapan orang itu untuk melawan Sidanti
bertiga, namun kata-kata itu adalah peringatan yang tajam bagi mereka. Lebih
tajam dari sebuah tantangan untuk bertempur dalam perang tanding. Sebab Sidanti
harus mengakui, bahwa berdua dengan Alap-alap Jalatunda ia tidak segera dapat
mengalahkan Sutawijaya. Apalagi kini Sutawijaya itu berkawan tujuh orang,
sedang dirinya sendiri hanya berkawan dua orang.
Dalam
keragu-raguan itu terdengar Sutawijaya berkata pula,
“Cepat paman
Wira Lele, sebelum Kakang Untara mengambil sikap yang dapat merusak rencana
penerimaan orang-orang Jipang yang menyadari kedudukannya.”
“Baik Tuan,”
jawab Wira Lele. Tetapi matanya memandangi Sanakeling yang membelakanginya.
“Jangan
mengganggu Sanakeling,” desis Sutawijaya sambil melangkah maju mendekati Wira
Lele. Kemudian tanpa berkata apa pun dibimbingnya orang itu ke sisi jalan di
samping gardu. Di situlah kuda-kuda mereka diikat. Sedang kuda Swandaru masih
belum sempat diikat di sisi gardu itu. Seseorang masih tetap memegangi
kendalinya.
“Pakai
kudaku,” teriak Swandaru dari sisi yang lain.
Sutawijaya
berpaling, kemudian katanya,
“Ya, pakai
kuda itu supaya lebih cepat.”
Wira Lele pun kemudian menerima kendali kuda Swandaru.
Ketika ia meloncat naik, kembali terdengar Sanakeling menggeram,
“Jangan kau
teruskan rencanamu. Kau akan bertemu dengan orang-orang Jipang di ujung lorong
ini. Orang-orang Jipang yang telah siap menerkam pasukan Pajang yang
mendatang.”
Kembali Wira
Lele menjadi ragu-ragu. Ditatapnya wajah Sutawijaya, seolah-olah ia ingin
mendapat ketegasan daripada anak muda itu. Sutawijaya menjadi jengkel melihat
kebimbangan yang mencengkam hati Wira Lele. Namun ia masih tersenyum sambil
berkata,
“Jangan mau
diperbodoh oleh Sanakeling itu Paman. Kalau benar orang-orang Jipang akan
menjebak prajurit Pajang di desa ini, maka mereka pasti tidak akan sebodoh
Sanakeling. Mereka tidak perlu membakar satu atau dua rumah. Sebab dengan
demikian para prajurit Pajang pasti segera akan bersiaga. Karena itu, cepat,
pergilah. Sampaikan kepada Kakang Untara seperti pesanku.”
Wira Lele yang
ragu-ragu itu tidak segera menggerakkan kudanya, sehingga Sutawijaya yang
menjadi semakin jengkel tiba-tiba memukul lambung kuda itu. Kuda itu pun
terkejut dan meloncat berlari. Wira Lele yang berada di punggungnya pun
terkejut pula. Hampir saja ia terjatuh. Untunglah bahwa segera ia mendapatkan
keseimbangannya.
“Hati-hati
Paman,” teriak Sutawijaya.
“Berpeganglah
kuat-kuat. Kuda itu cukup jinak.”
Kuda itu
berlari terus. Derap kakinya menghentak-hentak tanah berbatu-batu seperti derap
di dalam dada Wira Lele yang menderu karena kejutan loncatan kudanya. Tetapi
ketika kuda itu menjadi semakin jauh, maka ia pun menjadi semakin tenang.
“Anak-anak itu
bukan main,” desisnya.
“Mereka
menghadapi keadaan yang demikian gawatnya seperti sedang bermain-main saja.
Tetapi untunglah mereka datang. Kalau tidak, maka leherku pasti sudah dipenggal
oleh Sidanti yang gila itu.”
Sambil
berkumat-kumit mengucap sukur atas keselamatannya, Wira Lele memacu kudanya. Ia
harus segera menyampaikan berita itu kepada Untara, meskipun semula ia
ragu-ragu. Berita apakah yang harus dikatakannya? Apakah ia harus berkata
sebenarnya, apakah ia harus berkata menurut pesan Sutawijaya?
“Aku harus
berkata sebenarnya,” desisnya kemudian.
“Supaya Angger
Untara dapat mengambil tindakan yang tepat sesuai dengan keadaan.”
Dalam pada
itu, Sanakeling yang berdiri terpaku di tempatnya mengumpat-umpat tidak
habis-habisnya. Ingin ia meloncat menghalang-halangi Wira Lele, tetapi
dilihatnya ujung tombak Sutawijaya yang tergetar seolah-olah menunjuk ke
jantungnya. Karena itu, maka sagenap perhatiannya ditumpahkannya kepada ujung
tumbak anak muda itu.
“Nah, apa
katamu sekarang?” tiba-tiba terdengar Sutawijaya itu bertanya.
Sanakeling
menggeram. Tetapi ia tidak tahu, jawaban apakah yang sebaiknya diucapkan.
Sejenak mereka
terpukau dalam kesenyapan. Meskipun demikian masing-masing telah berada dalam
puncak kesiagaan. Sidanti, Alap-alap Jalatunda dan Sanakeling benar-benar telah
dibakar oleh kemarahan dan kegelisahan, bahwa orang-orang Pajang akan segera
datang. Mereka bertiga adalah orang-orang yang cukup berpengalaman dalam
medan-medan peperangan maupun perang tanding, sehingga betapapun kemarahan
membakar dada mereka, namun di dalam kepala mereka telah merayap segala macam
kemungkinan yang dapat terjadi atas mereka. Secara naluriah mereka telah
membuat perhitungan-perhitungan, bahwa tidak seharusnya mereka membiarkan diri
mereka terjebak dan terkurung oleh prajurit-prajurit Pajang. Anak-anak muda
yang mereka hadapi, yang seolah-olah baru mengenal bermain kucing-kucingan itu
adalah anak-anak muda yang tidak dapat mereka rendahkan, bahkan Sidanti telah
mengenal mereka dengan baik. Ia yakin, bahwa Agung Sedayu kini pasti akan dapat
menghadapinya seorang lawan seorang. Tidak seperti pada saat mereka berkelahi
di samping kandang kuda di kademangan, di mana ia mendapat kesempatan memungut
sepotong kayu. Kini di tangan mereka sama-sama tergenggam senjata. Sedang
seorang lagi, lebih-lebih membuat hatinya kecut. Sutawijaya mempunyai takaran
mereka berdua, Sidanti dan Alap-alap Jalatunda.
Selagi mereka
diam menimbang-nimbang terdengarkah Sutawijaya berkata,
“Nah, sekarang
apa lagi yang akan kalian lakukan?”
Sidanti tidak
segera menjawab. Juga Sanakeling terbungkam. Sedang Alap-alap Jalatunda menjadi
semakin gelisah, karena menurut perhitungannya para prajurit Pajang sudah
menjadi semakin dekat.
“Sekarang,
anggaplah keempat penjaga gardu itu tidak ada,” berkata Sutawijaya sambil
tersenyum-senyum.
“Kita
berhadapan tanpa kita sengaja, dalam jumlah yang sama. Tiga lawan tiga.”
Kemudian kepada para penjaga gardu itu Sutawijaya berkata,
“Jangan ganggu
kami. Kami akan mencoba bermain-main tanpa orang lain turut campur di dalamnya.
Bahkan seandainya kepalaku terpenggal, jangan kalian ributkan. Seandainya
kemudian orang-orang Jipang dan murid Tambak Wedi ini akan mencincang Agung
Sedayu atau Swandaru, jangan kalian mencoba mencegahnya.”
Para penjaga
gardu itu terpaku diam. Mereka tidak tahu bagaimana menanggapi perintah itu,
sehingga mereka berdiri saja dengan mulut ternganga.
“Ayo,
berbuatlah sesuatu,” berkata Sutawijaya.
“Jangan kalian
biarkan aku berbicara terus sampai mulutku meniren. Ayo, Agung Sedayu dan
Swandaru. Kalian boleh memilih, manakah yang paling kalian sukai di antara
mereka. Mungkin Swandaru memilih yang kuning langsat, dan Agung Sedayu memilih
yang hitam gelap, begitu?”
Yang terdengar
adalah gemeretak gigi Sanakeling. Bagaimana ia mampu membiarkan penghinaan itu.
Karena itu tiba-tiba ia berteriak,
“Ayo, siapkan
pedangmu, Kita segera akan mulai.”
Agung
Sedayu pun kemudian bergeser
mendekatinya, sementara Swandaru menarik pedangnya yang berhulu gading.
“Inikah
Alap-alap Jalatunda itu?” desisnya sambil menunjuk Alap-alap itu dengan ujung
pedangnya. Hati Alap-alap muda itu menjadi sangat panas, sehingga dengan
serta-merta ia memukul pedang Swandaru dengan pedangnya.
Ketika kedua
pedang itu berdentang, alangkah terkejut mereka masing-masing. Terasa pada tangan-tangan
mereka, tenaga yang kuat beradu pada tajam kedua pedang itu. Dentang kedua
pedang itu pun seakan-akan merupakan pertanda bahwa perkelahian segera akan
mulai.
Sejenak
Sutawijaya dan Agung Sedayu sempat menyaksikan Swandaru memutar pedangnya. Dengan
langkah yang tangguh ia menggeser tubuhnya semakin dekat. Ayunan pedangnya
terasa menyalurkan kekuatan yang dahsyat. Namun Alap-alap Jalatunda adalah anak
muda yang cukup lincah. Sekali ia meloncat surut, tetapi kemudian pedangnya
terjulur lurus-lurus mematuk dada Swandaru. Dengan tangkasnya, murid Kiai
Gringsing itu menggerakkan pedangnya. Sekali lagi kedua pedang itu beradu.
Tetapi kini pedang Swandaru-lah yang terayun memukul pedang Alap-alap
Jalatunda. Dalam dentang kedua pedang itu, Alap-alap Jalatunda merasakan
kedahsyatan kekuatan Swandaru, sehingga Alap-alap yang lincah itu berkata di
dalam hatinya,
“Hem gajah
kerdil ini memang benar-benar memiliki kekuatan luar biasa.”
Kini Alap-alap
Jalatunda mengetahui bahwa tangan Swandaru yang bulat pendek itu melampaui
kekuatan tangannya. Ia tidak boleh setiap kali beradu kekuatan. Ia harus
memanfaatkan kelincahannya untuk melawan gajah kecil yang gemuk ini. Perkelahaian
mereka menjadi bertambah seru. Bukan saja Alap-alap Jalatunda yang menyadari
kekuatan dan kelemahan diri, namun Swandaru
pun mengetahui pula, bahwa anak muda lawannya itu dapat bergerak
selincah burung Alap-alap di udara. Sekali menukik menyambar, namun kemudian
terbang melesat menjauhinya. Karena itu, maka Swandaru harus menghemat
tenaganya. Ia tidak pernah dengan tergesa-gesa mengejar lawannya apabila
Alap-alap itu meloncat beberapa langkah ke samping atau sengaja surut ke
belakang. Ia tahu Alap-alap Jalatunda memancingnya dalam perkelahian yang
kisruh. Tetapi Swandaru cukup waspada. Dibiarkannya lawannya
berloncat-loncatan. Bahkan wajahnya yang lucu masih sempat tersenyum. Kalau
Alap-alap itu melontar agak jauh, maka satu tangannya yang menggenggam pedang
bersilang di hadapan perutnya yang besar, sedang tangannya yang lain bertolak
pinggang. Alap-alap Jalatunda menggeram melihat sikap Swandaru yang tenang. Ia
tahu, bahwa lawannya yang gemuk itu pun menyadari dirinya, sehingga mempunyai
caranya sendiri untuk menghadapinya. Sidanti dan Sanakeling masih sempat
menilai lawannya. Mereka menganggap bahwa melawan Agung Sedayu masih lebih baik
daripada melawan Sutawijaya. Tetapi mereka malu untuk berebut musuh. Bukan
memilih yang paling kuat, tetapi memilih yang lebih ringan. Karena itu,
Betapapun juga, Sidanti masih sempat mencoba menyelubungi kekecilan hatinya,
“Ajo, siapakah lawanku? Yang membawa tombak atau kawan lamaku yang bernama
Agung Sedayu?” Tetapi Agung Sedayu telah berdiri hampir berhadapan dengan
Sanakeling, sehingga Sutawijaya berkata,
“Biarlah ia
melawan kawanmu yang hitam-hitam manis itu, dan kau tetap di situ untuk melawan
aku. Meskipun yang menggores tanganku tadi pagi adalah pedang Alap-alap yang
jinak itu, tetapi kaulah yang sebenarnya telah melukai aku. Sekarang aku ingin
menebus kekalahan itu. Sedikit-dikitnya aku harus mampu melukai tanganmu atau
kakimu. Aku akan mencoba untuk tidak menyentuh wajahmu yang tampan itu dengan
ujung tombakku.”
Kata-kata itu
terasa sepanas api yang menyentuh jantung. Sidanti kemudian tidak menunggu
lebih lama lagi. Pedang di tangan kanan dan nenggalanya di tangan kiri. Sekali
ia meloncat maju sambil mengajunkan pedangnya. Ketika ia melihat lawannya,
menghindarinya sambil merendahkan diri, secepat itu pula ujung nenggalanya menyambar
seperti tatit. Dalam satu putaran, kedua ujung senjata itu seperti
berguIung-gulung melanda Sutawijaya. Terdengar Sutawijaya memekik kecil. Ia
benar-benar terkejut melihat cara Sidanti mempergunakan senjatanya. Sidanti
yang mengerahkan segenap kemampuannya pada saat-saat permulaan dari
perkelahiannya. Sutawijaya terpaksa meloncat beberapa langkah surut Sambil
tersenyum ia berkata,
“Dahsyat.
Alangkah dahsyatnya murid Ki Tambak Wedi yang menurut ceritera mampu menangkap
angin. Mari anak muda yang perkasa, marilah kita mulai permainan kita yang
menarik ini.”
Sidanti tidak
membiarkan lawannya. Begitu ia melihat lawannya meloncat mundur, maka dengan
serta merta ia mengejarnya. Namun kini Sidanti-lah yang terkejut, ketika
tiba-tiba saja ujung tombak Sutawijaya terjulur hampir menyentuh hidungnya.
“Gila!”
teriaknya. Pedangnya dengan tangkas menyambar tombak itu. Tetapi tombak itu
telah meluncur surut, sehingga pedang Sidanti tidak sempat menyentuhnya. Perkelahian
antara Sidanti dan Sutawijaya itu pun segera menjadi bertambah sengit. Sidanti
dengan darah yang mendidih dibakar oleh kemarahannya, telah mencoba bertempur
sebaik-baiknya meskipun ia berhadapan dengan Sutawijaya yang telah dianggap
mampu melawan Arya Penangsang dengan cara yang khusus. Namun sejenak kemudian
ia terpaksa mengakui, bahwa Sutawijaja, meskipun umurnya masih lebih muda
daripada dirinya, tetapi kecepatannya bergerak dan kemahirannya mempergunakan
senjata telah benar-benar menggetarkan hati murid Ki Tambak Wadi itu.
Sanakeling
yang melihat kedua kawannya telah terlibat dalam perkelahian, sudah tentu tidak
akan tinggal menonton seperti nonton adu cengkerik. Ketika ia melihat Agung
Sedayu telah menggenggam pedang, maka segera ia pun meloncat maju sambil
berkata,
“Kita bertemu
kembali dalam kesempatan yang luas. Kita masing-masing tidak akan terganggu
lagi oleh hiruk-pikuk perkelahian tikus-tikus di sekitar kita. Kini kita harus
menentukan diri sendiri dalam takaran yang wajar.”
Agung Sedayu
tersenyum. Ternyata Sanakeling yang dijumpainya dalam peperangan yang terakhir,
saat Tohpati terbunuh, kini menghadapinya dengan dendam di hatinya.
Hati
Sanakeling itu menjadi membara melihat senyum Agung Sedayu. Seolah-olah anak
itu sama sekali tidak menghargai kemampuannya. Karena itu, maka tiba-tiba ia
meloncat sambil memekik tinggi. Agung Sedayu terkejut, bukan karena kecepatan
gerak Sanakeling, tetapi justru karena pekiknya yang keras itu.
“Hem,”
desisnya.
“Suaramu mirip
gemuruhnya petir di langit.”
Sanakeling
tidak menyahut. Geraknya menjadi semakin garang. Serangannya datang membadai.
Tak henti-hentinya. Namun Agung Sedayu telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ia
sama sekali tidak menjadi bingung. Dengan lincahnya ia menghindari setiap
serangan. Bahkan kemudian hampir setiap serangan Sanakeling telah dibalas
dengan serangan pula oleh Agung Sedayu. Demikianlah maka ketiga anak-anak muda
itu masing-masing telah menemukan lawannya. Swandaru Geni melawan Alap-alap
Jalatunda, Agung Sedayu melawan Sanakeling dan Sutawijaya berhadapan dengan
Sidanti. Betapa murid Tambak Wedi itu berjuang, namun lawannya benar-benar
gesit seperti burung sriti. Tombaknya mematuk-matuk dari segenap arah.
Sekali-sekali tombak itu menyentuh pedang dan nenggala Sidanti, dan dalam
setiap sentuhan itu terasa, betapa tenaga anak muda itu telah menggetarkan
tangan murid dari lereng Merapi yang selama ini menghantui anak-anak muda
sebayanya.
Hati Sidanti
benar-benar menjadi panas, ketika dalam perkelahian yang semakin seru itu masih
saja dilihatnya Sutawijaya selalu tersenyum-senyum. Bahkan kemudian terdengar
ia berkata,
“Sidanti, aku
sudah berjanji untuk menagih hutangmu. Kau telah meneteskan darah dari tubuhku,
maka aku pun harus berbuat serupa. Meskipun sementara ini aku belum mempunyai
keinginan untuk membunuhmu. Entah nanti, apabila keringatku telah membasahi
landean tombakku dan kau masih saja berkeras kepala mungkin aku mengambil
keputusan lain.”
Yang terdengar
adalah geram Sidanti. Telinganya seperti disentuh api mendengar kata-kata
Sutawijaya yang menganggapnya terlampau remeh. Dengan sepenuh tenaga ia
menyerang dengan pedangnya, terayun ke lambung lawan. Namun Sutawijaya selalu
mampu menghindarinya. Bahkan Sutawijaya itu pun kemudian benar-benar ingin
melakukan apa yang dikatakannya, sehingga serangan-serangannya pun semakin lama
menjadi semakin cepat dan membingungkan. Sidanti yang pernah bertempur melawan
Tohpati dan tidak dapat mengalahkan Macan yang garang itu, merasa bahwa
sebenarnya Sutawijaya masih berada selapis di atas Tohpati. Karena itu, maka
terbersit pula di dalam hatinya, pengakuan bahwa tidaklah mungkin baginya untuk
mengalahkan Sutawijaya. Sedang kedua kawannya yang lain pun ternyata telah
menemukan lawan yang seimbang. Betapa banyak pengalaman Sanakeling dalam
petualangannya, namun menghadapi Agung Sedayu yang masih muda itu, ternyata
masih harus memeras segenap kemampuannya untuk tetap dapat bertahan menghadapi
serangan-serangan anak muda itu. Sedang di sisi yang lain, Swandaru bertempur
dengan serunya pula melawan Alap-alap Jalatunda. Murid Kiai Gringsing itu ternyata
telah mendapat kemajuan yang jauh sekali, dibandingkan dengan apa yang pernah
dimilikinya pada saat pertama kali ia menerima pelajarannya di pinggir kali.
Betapa saat itu ia mengumpat-umpat karena ia merasa bahwa waktunya hanya
terbuang sia-sia. Apalagi ketika ia mendengar Kiai Gringsing mengajaknya
bermain loncat-loncatan di atas batu.
Kini Swandaru
telah cukup lincah memainkan pedangnya. Meskipun tubuhnya gemuk, namun ia mampu
menghadapi kelincahan Alap-alap Jalatunda dengan gerakan-gerakan yang mantap.
Meskipun Swandaru yang gemuk itu selalu menghemat tenaganya, namun kemana
Alap-alap Jalatunda meloncat, maka Swandaru telah menghadapinya dengan pedang
terjulur. Dalam pada itu, di luar desa Benda yang kecil, Ki Tambak Wedi
menunggu muridnya dengan hati berdebar-debar. Ia telah melihat asap mengepul
dan kemudian disusul dengan api yang menjilat tinggi seolah-olah akan menggapai
awan yang terbang rendah dihanyutkan angin dari Selatan. Tetapi Sidanti sama
sekali tidak segera dilihatnya. Dengan gelisah Ki Tambak Wedi itu duduk di
pematang. Matanya seakan-akan tergantung di pagar batu desa Benda yang tidak
seberapa jauh.
“Setan kecil
itu apa lagi yang dilakukannya,” gumamnya.
“Mungkin anak
itu sempat mengambil beberapa macam barang atau barangkali ditemuinya seorang
gadis.”
Namun Ki
Tambak Wedi tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya dengan berbagai-bagai
dugaan. Sekali ia berdiri, berjalan mondar-mandir dan kemudian berjongkok lagi.
Ia menyesal menyuruh muridnya pergi ke desa itu.
“Lebih baik
aku kerjakan sendiri,” gerutunya. Ia menyuruh muridnya membakar beberapa rumah
dengan pertimbangan, bahwa di desa itu pasti tidak akan ditemuinya prajurit
yang mampu melawan muridnya itu bersama-sama kedua kawannya, sedang dirinya
sendiri cukup mengawasi mereka dari kejauhan sambil mengawasi para prajurit
Pajang yang pasti segera akan datang. Tambak Wadi itu pun menggeram. Ia telah
menyuruh orang-orangnya yang lain menyingkir. Juga penghubungnya yang terakhir,
yang dari kejauhan mengintai prajurit Pajang yang telah meninggalkan induk
kademangan. Berlari-lari penghubung itu memberitahukan kepadanya, sehingga
dengan tergesa-gesa disuruhnya Sidanti melakukan pekerjaan itu. Tetapi agaknya
Sidanti terlalu lama berada di Desa Benda yang kecil.
“Anak gila,”
geram Tambak Wedi. Menurut perhitungannya, maka prajurit Pajang sudah menjadi
semakin dekat. Sebentar lagi prajurit-prajurit itu pasti sudah akan tampak di
tengah-tengah bulak yang agak panjang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar